Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-113501.16
Putusan Pengadilan Pajak Nomor : PUT-113501.16/2014/PP/M.IIIB Tahun 2018

Jenis Pajak : PPN
Tahun Pajak : 2014
Pokok Sengketa : bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah Koreksi Terbanding Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2014 sebesar Rp346.000.000,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Menurut Terbanding : bahwa koreksi atas Penyerahan yang Pajak Pertambahan Nilai-nya Harus Dipungut Sendiri sebesar Rp346.000.000,00 merupakan koreksi atas penjualan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan berupa mobil Toyota Fortuner;
Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan pendapat Terbanding atas penolakan keberatan sebesar Rp34.600.000,00 yang Pemohon Banding ajukan terkait penyerahan atas Aktiva Tetap yang menurut tujuan semula tidak diperjualbelikan;
Menurut Majelis : bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penelitian Majelis atas berkas banding serta penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Masa Pajak September 2014 sebesar Rp346.000.000,00;

bahwa menurut Terbanding, koreksi DPP a quo disebabkan adanya penyerahan Barang dan Jasa yang terutang PPN yang yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada Steve berupa mobil Toyota Fortuner, yang tujuannya semula tidak untuk diperjualbelikan sebesar Rp346.000.000,00 dan Pemohon Banding belum memungut sendiri Pajak Terhutang atas penyerahan a quo;

bahwa Toyota Fortuner merupakan kelompok mobil Jeep yang Pajak Masukannya dapat dikreditkan (meskipun Pemohon Banding tidak mengkreditkannya), karena tidak termasuk ke dalam negative list kendaraan yang tidak dapat dikreditkan Pajak Masukannya, dan terbukti bahwa pada harga on the road yang dibayarkan Pemohon Banding kepada dealer termasuk di dalamnya Pajak Pertambahan Nilai yang dibayarkan, dengan demikian dapat dibuktikan bahwa pembelian Toyota Fortuner terutang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa menurut Terbanding, kepemilikan mobil tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha berdasarkan bukti sebagai berikut:
  • bahwa Mobil digunakan oleh Direksi, Pengurus yang merupakan bagian dari management Pemohon Banding dengan membuktikan hubungan langsung dengan kegiatan usaha dari fungsi management;
  • bahwa Mobil diatasnamakan PT QWE dan atas mobil tersebut diperhitungkan penyusutan yang mengurangi Penghasilan Bruto Pemohon Banding pada Tahun 2014, hal ini membuktikan bahwa beban penyusutan atas mobil merupakan beban yang termasuk 3M yaitu untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dengan demikian membuktikan bahwa mobil tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding;
  • bahwa mengingat prinsip "Matching Cost Against Revenue" dimana biaya yang dapat dibebankan adalah yang berhubungan dengan penghasilan yang dihasilkannya maka dengan demikian pembebanan penyusutan atas mobil tersebut di atas membuktikan bahwa kepemilikan dan penggunaannya berhubungan langsung dengan penghasilan dari kegiatan usaha Pemohon Banding;

bahwa menurut Terbanding, Toyota Fortuner terbukti memang bukan barang dagangan atau disewakan, namun dimiliki tidak untuk dijual, oleh karenanya atas penyerahannya kepada pihak lain untuk dijual dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur pada Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa menurut Pemohon Banding, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan aktiva Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dapat dikenakan apabila memenuhi persyaratan kumulatif:
  1. berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual belikan;
  2. aktiva tersebut mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

bahwa dalam kasus Pemohon Banding, hanya syarat pertama yang terpenuhi, sementara syarat kedua tidak terpenuhi, karena:
  1. bahwa tidak ada Pajak Pertambahan Nilai Masukan dan/atau Faktur Pajak yang diterima Pemohon Banding pada saat pembelian aktiva tersebut;
  2. bahwa aktiva tersebut berupa kendaraan mewah yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan usaha, karena bersifat konsumtif bagi Direksi;

jadi, tidak ada dasar hukum bagi Terbanding yang mendukung pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas penjualan aktiva yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha;

bahwa menurut Pemohon Banding, sebenarnya mobil ini dipergunakan untuk keperluan konsumtif Direksi, sehingga berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dilihat dari tujuan penggunaannya, Pajak Masukan atas perolehan mobil ini merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan karena tidak secara langsung berhubungan dengan produksi, konsumsi dan manajemen perusahaan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. Bahwa jika Pemohon Banding mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai masukan atas perolehan mobil tersebut, maka justru Pemohon Banding melakukan kesalahan;

bahwa mayoritas penghasilan Pemohon Banding, diperoleh dari laba selisih kurs, penghasilan bunga dan penghasilan dari investasi (dividen dan capital gain) yang bukan merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, Terbanding seharusnya memperhatikan ketentuan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dimana kendaraan untuk direksi, tidak dapat dikreditkan. Apabila di kemudian hari, Pemohon Banding mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai atas kendaraan mewah yang diperuntukkan direksi perusahaan, maka tentunya ini dapat merugikan negara apabila pengkreditan bertentangan dengan Pasal 9 ayat (8) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa hal tersebut di atas dipertegas oleh Terbanding sendiri melalui surat edaran. Dalam salah satu Surat Edarannya (SE-65/PJ.3/1985 tanggal 14 November 1985), Terbanding menyebutkan bahwa Pajak Masukan terkait dengan kendaraan Direksi, tidak dapat dikreditkan karena bersifat konsumtif. Jadi, pengeluaran untuk kendaraan Direksi dinyatakan Terbanding sebagai Pengeluaran yang Tidak mempunyai hubungan secara langsung, atau pun mempunyai hubungan tetapi tidak langsung dengan kegiatan usaha yang menghasilkan BKP yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa atas pembelian mobil Toyota Fortuner tersebut diperuntukkan Direksi, sehingga merupakan pengeluaran yang bersifat konsumtif sehingga tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha yang terutang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN dan atas Pajak Masukannya tidak dapat Pemohon Banding kreditkan. Sehingga, berdasarkan Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b, maka untuk penyerahannya dikecualikan dari Pasal 16D;

bahwa pembelian mobil tersebut tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha karena tanpa pembelian mobil dan atau pemberian fasilitas mobil tersebut pun Pemohon Banding tetap dapat melakukan kegiatan usaha karena sifatnya bukan salah satu komponen utama untuk kegiatan manajerial. Dengan demikian, Terbanding keliru menerapkan Pasal 16D dalam transaksi penyerahan tersebut;

bahwa sesuai dengan Keputusan Terbanding Nomor KEP-220/PJ./2002, maka tidak seluruh biaya kendaraan Direksi dapat dibebankan karena dianggap sebagai kendaraan untuk konsumsi Direksi. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Pajak memandang kendaraan Direksi hanya sebagian (50%) yang mempunyai hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan penghasilan. Jadi, oleh karena itu, Terbanding keliru menerapkan Pasal 16D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai karena Terbanding nyata-nyata bertentangan dengan pendapat Direktur Jenderal Pajak sebelumnya bahwa kendaraan Direksi tidak berhubungan langsung dengan penyerahan BKP yang terutang Pajak Pertambahan Nilai tetapi hanya 50% dapat dibiayakan sesuai KEP-220 karena sebagian ada hubungan tidak langsung dengan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas bukti-bukti dan penjelasan para pihak yang disampaikan dalam persidangan, diketahui bahwa pada dasarnya sengketa banding ini adalah terkait adanya penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) berupa Toyota Fortuner yang tujuannya semula tidak untuk diperjual belikan, dan Pemohon Banding belum memungut sendiri PPN Terhutang atas penyerahan a quo;

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut dengan UU PPN):

Pasal 9 ayat (8): Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksudpada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
  1. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
  2. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

Pasal 16 D: Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c;

bahwa berdasarkan penelitian Majelis atas bukti-bukti berupa Surat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (STNK) dan Surat Penawaran Penjualan Mobil Toyota Fortuner dari Penjual diketahui bahwa:
  • mobil Toyota Fortuner masuk dalam kelompok jenis Jeep sehingga tidak termasuk dalam jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN sebagaimana tersebut di atas;
  • surat penawaran penjualan Mobil Toyota Fortuner dari Penjual pada Harga On The Road sebesar Rp402.250.000,00 dimana pada penjualan kendaraan bahwa yang dimaksud dengan harga on the road adalah harga jual ditambah seluruh pembayaran pajak dan administrasi, dimana pajak yang dimaksud adalah Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Pertambahan Nilai dan PPnBM, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dengan demikian membuktikan bahwa Pemohon Banding membayar harga mobil sebesar Rp402.250.000,00 termasuk di dalamnya pembayaran Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa berdasarkan bukti-bukti a quo, Majelis berpendapat, bahwa Toyota Fortuner tidak termasuk dalam jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf c UU PPN, dengan demikian Pajak Masukannya dapat dikreditkan, meskipun Pemohon Banding tidak mengkreditkannya;

bahwa terkait dengan dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa pada saat pembelian mobil Toyota Fortuner tidak ada pajak masukan yang dapat dikreditkan, karena Pemohon Banding tidak menerima Faktur Pajak Standar, Majelis berpendapat bahwa tidak diterimanya Faktur Pajak Standar tidak dapat menjadi alasan Penyerahan BKP tersebut di atas tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, karena Pemohon Banding telah membayarkan pajak terutang atas pembelian Toyota Fortuner yang termasuk pada harga On The Road;

bahwa dalam persidangan, Pemohon Banding juga menyatakan bahwa Toyota Fortuner a quo tidak mempunyai hubungan Iangsung dengan kegiatan usaha yang terhutang PPN, sehingga sesuai pasal 16 D UU PPN, maka pengalihannya kemudian tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 9 ayat (8) huruf b: Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha. Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. Oleh karena itu, meskipun suatu pengeluaran telah memenuhi syarat adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha, masih dimungkinkan Pajak Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, yaitu apabila pengeluaran dimaksud tidak ada kaitannya dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas bukti-bukti dan penjelasan para pihak yang disampaikan dalam persidangan, diketahui bahwa:
  • Mobil a quo digunakan oleh Direksi, Pengurus yang merupakan bagian dari management Pemohon Banding, dengan demikian membuktikan adanya hubungan langsung dengan kegiatan usaha dari fungsi management;
  • Mobil diatasnamakan PT QWE dan atas mobil tersebut diperhitungkan penyusutan yang mengurangi Penghasilan Bruto Pemohon Banding pada Tahun 2014, hal ini membuktikan bahwa beban penyusutan atas mobil merupakan beban yang termasuk 3M yaitu untuk menghasilkan, menagih, dan memelihara penghasilan, dengan demikian membuktikan bahwa mobil tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Majelis berpendapat bahwa mobil Toyota Fortuner a quo mempunyai hubungan langsung dengan usaha Pemohon Banding;

bahwa dalam persidangan Pemohon Banding juga menyatakan bahwa: mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-65/PJ.3/1985 tentang Penafsiran Atas Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN 1984 (seri ppn-66) (selanjutnya disebut SE-65/PJ.3/1985), Pajak Masukan terkait dengan kendaraan Direksi, tidak dapat dikreditkan karena bersifat konsumtif. Jadi, pengeluaran untuk kendaraan Direksi Tidak mempunyai hubungan secara langsung, ataupun mempunyai hubungan tetapi tidak langsung dengan kegiatan usaha yang menghasilkan BKP yang terutang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa mengacu pada angka 4 Surat Edaran a quo dinyatakan bahwa: Dalam rangka ketentuan sebagaimana dikemukakan pada butir 1 s/d 3 tersebut diatas itulah Pasal 9 ayat (8) huruf b harus dilihat dan diartikan secara sebaliknya (a contrario). Meskipun ketentuan dalam huruf b tersebut menyebutkan: "Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan untuk pembelian barang dan pengeluaran lain yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses menghasilkan Barang Kena Pajak", namun secara historis dan taat asas dengan ketentuan tersebut pada butir 1 s/d 3 diatas, maka Pajak Masukan yang mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan penyaluran/distribusi Barang Kena Pajak baik oleh Pabrikan maupun oleh Penyalur Utama dan Pengusaha Kena Pajak lainnya, tetap merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;

Dengan demikian hanya Pajak Masukan yang benar-benar tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi saja yang tidak dapat dikreditkan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian bahan bakar untuk kendaraan Direksi dan Karyawan, Pajak Masukan atas pengeluaran biaya representasi, jamuan, pengeluaran lain yang sifatnya konsumtif serta pengeluaran yang umumnya termasuk biaya overhead dan Pajak Masukan yang berdasarkan ketentuan khusus dinyatakan tidak dapat dikreditkan sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1985, Keputusan Presiden Nomor 58 Tahun 1985 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 827/KMK.04/1984. Sedangkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf a dan c memang secara tegas dan limitatif dinyatakan tidak dapat dikreditkan;

bahwa mengacu pada angka 4 SE-65/PJ.3/1985 a quo Majelis berpendapat bahwa :
  1. Dalam SE a quo tidak menyebutkan bahwa kendaraan Direksi tidak dapat dikreditkan karena bersifat konsumtif (sebagaimana yang didalilkan Pemohon Banding), namun menyebutkan bahwa Pajak Masukan yang benar-benar tidak mempunyai hubungan langsung dengan proses pabrikasi dan distribusi saja yang tidak dapat dikreditkan, misalnya Pajak Masukan atas pembelian bahan bakar untuk kendaraan Direksi dan Karyawan...dst;
  2. bahwa Surat Edaran diterbitkan pada tanggal 14 November 1985 merupakan penafsiran atas Pasal 9 ayat (8) huruf b UUPPN 1984, sedangkan UU a quo telah diubah dengan UU 42 Tahun 2009;

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan atas Pembelian kendaraan Toyota Fortuner a quo dapat dikreditkan;

bahwa terkait dengan dalil Pemohon Banding yang menyatakan bahwa sesuai dengan Keputusan Terbanding Nomor KEP-220/PJ./2002, maka tidak seluruh biaya kendaraan Direksi dapat dibebankan karena dianggap sebagai kendaraan untuk konsumsi Direksi. Kendaraan Direksi hanya sebagian (50%) yang mempunyai hubungan langsung ataupun tidak langsung dengan penghasilan, oleh karena itu, Terbanding keliru menerapkan Pasal 16D UU PPN. karena Terbanding nyata-nyata bertentangan dengan pendapat Terbanding sebelumnya bahwa kendaraan Direksi tidak berhubungan langsung dengan penyerahan BKP yang terutang PPN. tetapi hanya 50% dapat dibiayakan, karena sebagian ada hubungan tidak langsung dengan penghasilan yang menjadi objek Pajak Penghasilan;

bahwa mengacu pada Pasal 3 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-220/PJ./2002 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler Dan Kendaraan Perusahaan (selanjutnya disebut KEP 220): biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatannya dapat dibebankan sebagai biaya 50%;

bahwa menurut Majelis, ketentuan ini tidaklah berhubungan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena berhubungan dengan kegiatan usaha, sebab dalam Pasal 9 Ayat (8) huruf b UU PPN telah diatur apakah biaya atas kegiatan tertentu termasuk berhubungan langsung atau tidak langsung dengan kegiatan usaha Wajib Pajak, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa Keputusan Direktur Jenderal Pajak terkait penerapan Pajak Penghasilan tidak relevan untuk menentukan penerapan Pasal 9 Ayat (8) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:

Pasal 69 ayat (1) alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
... dst
b. pengakuan para pihak; dan/atau
c. pengetahuan Hakim, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya;

Pasal 74: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal;

Pasal 78: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";

Memori penjelasan Pasal 78: "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundangundangan perpajakan";

bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan, bukti-bukti dan keterangan para pihak dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Terbanding sudah tepat, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN. Masa Pajak September 2014 sebesar Rp346.000.000,00 tetap dipertahankan;
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai kredit pajak;
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi;
Menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk menolak banding Pemohon Banding;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan Menolak Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-00518/KEB/WPJ.07/2017 tanggal 07 April 2017, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2014 Nomor 00009/207/14/054/16 tanggal 21 Januari 2016, atas nama Pemohon Banding;

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 6 Februari 2018 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

ABC, S.H., M.Kn.
DEF, Ak., M.P.P.
GHI, S.H., M.Kn
Dengan dibantu oleh JKL, S.E., M.M.
sebagai Hakim Ketua,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Hakim Anggota,
sebagai Panitera Pengganti,

Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 27 Maret 2018, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon Banding dan tidak dihadiri

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA