Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
Jenis Pajak | : | PPN | ||||||||||||||||||||||||||||||
Tahun Pajak | : | 2019 | ||||||||||||||||||||||||||||||
Pokok Sengketa | : | bahwa
yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah
Koreksi Dasar Pengenaan Pajak sebesar Rp0,00 yang terdiri dari:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut Terbanding | : | bahwa koreksi sebesar Rp21.541.306.150,00 dikarenakan pada saat proses pemeriksaan atas penyerahan Barang Kena Pajak ke kawasan berikat Pemohon Banding tidak dapat menunjukan dokumen pendukung berupa dokumen Pemberitahuan Pemasukan Barang Asal Pabean Ke Kawasan Berikat (form BC 4.0). Berdasarkan Pasal 26 A ayat (4) UU KUP bahwa Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya; | ||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut Pemohon Banding | : | bahwa sesuai dengan rekapitulasi Form BC 4.0 dan Form PPFTZ.03 maka penyerahan yang Pemohon Banding lakukan adalah benar-benar penyerahan ke kawasan berikat dan kawasan perdagangan bebas sehingga seharusnya tidak ada lagi koreksi atas DPP PPN yang harus dipungut sendiri. Pemohon Banding sudah menyampaikan sebagian fotocopi dokumen dokumen Pemberitahuan Pemasukan barang Asal Pabean ke kawasan Berikat (Form BC 4.0), permintaan legalisasi atas dokumen tersebut tidak dapat dipertimbangkan oleh Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai melalui surat Nomor S-1370/WBC.03/KPP.MP.02/2015tanggal 13 November 2015; | ||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut Terbanding | : | bahwa
koreksi DPP PPN yang harus dipungut sendiri sebesar
Rp21.541.306.150,00 dilakukan karena menurut Terbanding masih terdapat
penyerahan ke Kawasan Berikat atau Batam yang tidak didukung dengan
dokumen Pemberitahuan Pemasukan barang Asal Pabean ke kawasan Berikat
(Form BC 4.0) sehingga dianggap sebagai Penyerahan yang PPN-nya harus
dipungut sendiri; bahwa koreksi sebesar Rp21.541.306.150,00 tersebut merupakan koreksi berupa reposisi semula dari penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut menjadi penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri; bahwa dalil Terbanding adalah berdasarkan KMK Nomor 291/KMK.05/1997 tanggal 26 Juni 1997 tentang Kawasan berikat dalam Pasal 9 Ayat (2) berbunyi, “Pemasukan barang modal atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi, barang dan/atau bahan ke kawasan berikat dapat dilakukan dari daerah pabean Indonesia lainnya” dan Pasal 9 Ayat (7) berbunyi, “Pemasukan barang atau bahan dari Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan f, menggunakan Formulir BC 4.0 yang dilampiri faktur pajak dan dokumen pendukung lainnya”, dan dokumen BC 4.0 tidak diberikan pada Terbanding pada saat pemeriksaan; bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyatakan atas penyerahan tersebut adalah nyata-nyata penyerahan ke kawasan berikat dan kawasan perdagangan bebas sesuai peraturan yang ada; bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyampaikan keterangan bahwa penyerahan CPO dan kernel dilakukan ke PT AAA, PT BBB, PT CCC, dan PT DDD, dan 3 (tiga) dari Pembeli tersebut berada di kawasan berikat; bahwa sampai berakhirnya sidang atas sengketa banding ini pemohon banding tidak pernah menyampaikan Asli dokumen Pemberitahuan Pemasukan barang Asal Pabean ke kawasan Berikat (Form BC 4.0); bahwa pada saat persidangan pemohon banding hanya menyerahkan sebagian photocopy dokumen Pemberitahuan Pemasukan barang Asal Pabean ke kawasan Berikat (Form BC 4.0) yaitu untuk transaksi dengan PT AAA sebanyak 6 lembar Form BC 4.0 dengan nilai Rp3.098.645.000,00, transaksi dengan PT CCC sebanyak 2 lembar Form BC 4.0 dengan nilai Rp1.285.290,51 dan transaksi dengan PT DDD sebanyak 1 lembar dengan nilai Rp734.975.500,00; bahwa dalam persidangan Pemohon Banding menyampaikan surat dari Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai Nomor S-1370/WBC.03/KPP.MP.02/2015 tanggal 13 November 2015 yang pada pokoknya menyatakan bahwa Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean B Dumai menyatakan tidak dapat memberikan legalisasi atas salinan dokumen BC 4.0; bahwa ketentuan perpajakan yang terkait dengan permasalahan ini adalah sebagai berikut: bahwa Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UndangUndang Nomor 16 Tahun 2009 mengatur sebagai berikut: Pasal 1 angka 29 ”Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harga, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut”; Pasal 26 A ayat (4) ”Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya”; Pasal 28 ayat (1) ”Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan”; Pasal 28 ayat (3) ”Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya”; Pasal 28 ayat (11) ”Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau ditempat kedudukan Wajib Pajak badan”; Memori Penjelasan Pasal 28 ayat (11) ”Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line dan hasil pengolahan data elektronik yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia. Hal itu diimaksudkan agar apabila Direktur Jenderal Pajak akan mengeluarkan surat ketetapan pajak, bahan pembukuan atau pencatatan yang diperlukan masih tetap ada dan dapat segera disediakan. Kurun waktu 10 (sepuluh) tahun penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan adalah sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai batas daluwarsa penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi on-line harus dilakukan dengan memperhatikan faktor keamanan, kelayakan, dan kewajaran penyimpanan”; Pasal 29 ayat (1) ”Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan”; Memori Penjelasan Pasal 29 ayat (1) ”Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran Surat Pemberitahuan, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak”; bahwa atas jenis, kuantitas, dan nilai barang yang diserahkan ke kawasan berikat yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN harus dibuktikan dengan Form BC 4.0 yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan Dan Pelayanan Bea Cukai pada saat penyerahan tersebut terjadi; bahwa Pemohon Banding tidak dapat menunjukan Asli dokumen atau fotocopi dokumen dokumen Pemberitahuan Pemasukan barang Asal Pabean ke kawasan Berikat (Form BC 4.0) yang telah dilegalisasi; bahwa berdasarkan uraian diatas, Majelis berkesimpulan bahwa koreksi positif atas penyerahan yang PPN nya harus dipungut sendiri telah tepat dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sehingga koreksi Terbanding atas DPP PPN yang harus dipungut sendiri sebesar Rp21.541.306.150,00 tetap dipertahankan;
|
||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut Terbanding | : | bahwa berdasarkan penelitian terhadap faktur pajak masukan, diketahui pajak masukan yang dikoreksi oleh Terbanding seluruhnya terkait dengan kegiatan perkebunan seperti pembelian pupuk, bahan kimia, dan lain-lain. Berdasarkan Pasal 9 Ayat (5) UU PPN, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010, dinyatakan bahwa Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan/sehubungan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan, dalam hal, Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan yang terutang PPN dan juga penyerahan yang tidak terutang PPN (dibebaskan), maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang Terutang PPN; | ||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut Pemohon Banding | : | Pemohon Banding tidak melakukan penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya melakukan kegiatan usaha yang mana atas seluruh penyerahannya terutang PPN 10% yaitu dalam hal ini melakukan penjualan produk CPO dan PK, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh pajak masukan yang Pemohon Banding kreditkan tersebut berkaitan dengan barang untuk menghasilkan CPO yang mana atas penyerahannya seluruhnya terutang PPN 10% (sepuluh persen); | ||||||||||||||||||||||||||||||
Menurut majelis | : | bahwa
Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan sebesar
Rp2.857.260.569,00 dengan mendasarkan pada Pasal 1A ayat (1) huruf d,
Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000,
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 serta Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tanggal 5 April 2010; bahwa Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan dengan dalil bahwa Pajak Masukan tersebut nyata-nyata digunakan untuk unit/divisi perkebunan kelapa sawit yang atas penyerahan hasil perkebunan berupa Tandan Buah Segar (TBS) yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga pajak masukan yang terkait tidak dapat dikreditkan; bahwa berdasarkan Pasal 1A ayat (1) huruf D Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, dinyatakan bahwa pemakaian sendiri atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak (BKP) termasuk dalam pengertian Penyerahan Barang Kena Pajak; bahwa dengan demikian penyerahan TBS dari unit perkebunan ke unit pabrik dalam satu kegiatan usaha terpadu (integrated) termasuk dalam pengertian penyerahan BKP sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Tandan Buah Segar (TBS) merupakan barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perkebunan yang diambil/dipetik langsung dari sumbernya sehingga termasuk dalam BKP tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, atas penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa berdasarkan Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010, dinyatakan bahwa Pajak Masukan yang nyata-nyata digunakan/sehubungan dengan penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan, dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai juga melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (dibebaskan), maka Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi seluruhnya terkait dengan dengan kegiatan perkebunan seperti pembelian pupuk, bahan kimia, dan lain-lain; bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas dokumen-dokumen yang disampaikan Terbanding dan Pemohon Banding, Fakta Hukum yang terungkap dalam persidangan adalah sebagai berikut: bahwa jenis kegiatan usaha Pemohon Banding sesuai dengan Keputusan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 52/T/INDUSTRI/PERTANIAN/2008 adalah bidang usaha kelapa sawit terpadu dengan pengolahannya menjadi minyak sawit (CPO) dan inti sawit yang berlokasi di Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau dan terdaftar sebagai wajib pajak dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU): Industri Minyak Kasar (Minyak Makan) dari Nabati dan Hewani (15141); bahwa Pemohon Banding memiliki 2 (dua) unit usaha yaitu Unit perkebunan yang menghasilkan kelapa sawit (termasuk dalam kategori barang strategis yang PPN-nya dibebaskan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 31 Tahun 2007) dan Unit Pengolahan yang mengolahan TBS menjadi CPO (termasuk barang Kena Pajak); bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penjualan TBS kepada Pihak lain dan hanya menjual Minyak sawit (CPO) dan Minyak Inti sawit (Palm Kernel) hasil dari pengolahan di pabriknya; bahwa TBS digunakan sendiri oleh Pemohon Banding yaitu diolah di Pabrik Pengolahan yang dimilikinya sendiri; bahwa berdasarkan uraian fakta hukum tersebut di atas dan berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku Majelis berpendapat sebagai berikut: bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding adalah perusahaan produsen minyak sawit (CPO) yang terintegrasi dengan jenis kegiatan Perkebunan Kelapa Sawit dan sekaligus juga mempunyai unit perkebunan dan pengolahan (pabrik) yang menghasilkan minyak sawit dan minyak inti sawit; bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding melakukan pengolahan semua TBS hasil dari unit kebunnya dan menjual produk akhirnya kepada pihak lain dalam bentuk minyak sawit dan minyak inti sawit; bahwa Majelis berpendapat bahwa dalam menentukan dapat dikreditkannya suatu pajak masukan haruslah dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak bukan dikaitkan dengan jenis barang yang dihasilkan oleh Pengusaha Kena Pajak; bahwa hal ini secara implisit sesuai dengan Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai yang menyatakan “…Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama”; bahwa selanjutnya Pasal 9 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan “Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak”; bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak/dibebaskan pajak kepada pihak lain berupa Tandan Buah Segar yang dihasilkan oleh unit perkebunannya, sehingga secara jelas Pasal 9 ayat (5) tidak dapat diterapkan pada sengketa banding ini; bahwa Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sesuai falsafah dan historisnya, adalah merupakan aturan khusus di luar ketentuan Pasal 9 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai; bahwa Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai mengatur perlakuan khusus terkait Pajak Masukan untuk perusahaan yang memperoleh fasilitas atas penyerahan hasil produksinya; bahwa Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai secara lengkap mengatur sebagai berikut:
bahwa dari isi pasal a quo, terlihat jelas bahwa ketentuan Pasal 16 B adalah ketentuan yang mengatur hal yang khusus mengenai mekanisme pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; bahwa kekhususan dimaksud adalah terkait dengan: kegiatan, barang kena pajak atau jasa kena pajak, impor barang kena pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak, yaitu dengan adanya kata “tertentu” di belakang hal-hal yang diatur khusus tersebut; bahwa kalimat “yang atas penyerahannya” dalam Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai merujuk pada penyerahan akhir dari Pengusaha Kena Pajak yang melakukan “kegiatan tertentu” terkait dengan “barang kena pajak tertentu” dan “jasa kena pajak tertentu”, “impor Barang Kena Pajak tertentu”, “pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu”, “pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu”, “pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu”; bahwa Majelis berpendapat Pemohon Banding sebagai pengusaha dengan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang terintegrasi dengan pabrik pengolahan CPO dan PK tidak termasuk dalam lingkup kegiatan, penyerahan maupun pemanfaatan sebagaimana diatur dalam ketentuan pada Pasal 16 B UU PPN a quo; bahwa kegiatan Pemohon Banding yang melakukan kegiatan usaha industri kelapa sawit terintegrasi dengan produk akhir berupa CPO dan PK yang jelas-jelas merupakan barang kena pajak yang termasuk dalam lingkup kegiatan, penyerahan maupun pemanfaatan yang diatur oleh ketentuan umum yang mengatur tentang penyerahan barang kena pajak beserta pemungutan pajak pertambahan nilai serta pengkreditan pajak masukan pajak pertambahan nilai yaitu ketentuan sebagaimana diatur pada Pasal 9 ayat (5), ayat (6) dan ayat (7) UU PPN; bahwa Majelis berpendapat terbukti kegiatan Pemohon banding adalah melakukan kegiatan usaha industri kelapa sawit yang terintegrasi dengan produk akhir adalah CPO; bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan terbukti Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan atas hasil produksi unit perkebunannya berupa Tandan Buah Segar yang menurut Pasal 16 B ayat (3) UU PPN dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, penyerahan Tandan Buah Segar dibebaskan dari pengenaan pajak; bahwa Pemohon Banding terbukti hanya melakukan penyerahan atas hasil akhir produksinya berupa Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit yang terutang Pajak Pertambahan Nilai, sehingga secara jelas Pasal 16 B ayat (3) tidak dapat diterapkan pada sengketa banding ini; bahwa dalam butir “Menimbang” pada UU PPN dinyatakan: “bahwa dalam rangka lebih meningkatkan kepastian hukum dan keadilan, serta menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri, dilakukan perubahan terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994”; bahwa butir “Menimbang” a quo secara tegas mengisyaratkan bahwa UU PPN dibuat dalam rangka menciptakan sistem perpajakan yang sederhana dengan tanpa mengabaikan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara agar pembangunan nasional dapat dilaksanakan secara mandiri; bahwa dalam teori hukum khususnya terkait dengan pembuatan peraturan perundang-undangan dikenal metode “Law and Economis/Economis Analysis of Law”; bahwa “Law and Economis/Economis Analysis of Law” adalah: “In brief, this method applies the tool of economic analysis to law with a focus on the free market’s aim of efficiency and wealth/or utility maximization (it is being said that the law simply reflects the economic system within which it is situated” (Morris and Murphy); bahwa menurut metode tersebut pembuatan suatu aturan (perundang-undangan) bertujuan untuk mencapai efisiensi dan maksimisasi kekayaan serta manfaat ekonomis yang kelak akan diperoleh Negara sebagai tujuan akhir dibuatnya aturan terkait; bahwa adanya aturan yang memberikan manfaat dan keuntungan ekonomis bagi perusahaan sawit yang memiliki kebun dan sekaligus pabrik pengolahan adalah dibuat dalam rangka untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyat dan Negara secara keseluruhan sebagai tujuan akhir dibuatnya aturan yang memberikan fasilitas untuk itu; bahwa dalam hal adanya perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun saja dan kemudian tidak mendapatkan fasilitas adalah merupakan kewajaran karena secara ekonomi perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun akan memberikan sumbangan kepada perekonomian tidak sebesar sumbangan yang diberikan oleh perusahaan sawit yang terintegrasi yang telah mengeluarkan modal yang lebih besar; bahwa dengan demikian antara perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun saja dengan perusahaan sawit yang memiliki kebun dan pabrik pengolahan tidak dapat diperbandingkan karena tidak sama (tidak ekual); bahwa dengan kondisi sedemikian maka konsep equal treatment tidak dapat diberlakukan antara perusahaan sawit yang hanya memiliki kebun saja dengan perusahaan sawit terintegrasi yang memiliki kebun dan sekaligus pabrik pengolahan dan menghasilkan CPO dan PK sebagai produk akhir yang merupakan barang kena pajak; bahwa Pasal 2 A ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 21/PMK.011/2014 mengatur: “Pengusaha Kena Pajak yang:
bahwa Majelis berpendapat bahwa TBS yang dihasilkan dari unit perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding digunakan sendiri (pemakaian sendiri) untuk tujuan produktif di unit pengolahan TBS untuk menghasilkan CPO dan PK (Integrated), sehingga tidak tepat apabila hal tersebut dianggap Terbanding sebagai penyerahan Barang Kena Pajak; bahwa Majelis berpendapat unit perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan TBS dan unit pengolahan yang menghasilkan CPO dan PK merupakan satu kesatuan entitas (Single Entity) secara fiskal karena kedua unit tersebut merupakan satu kesatuan NPWP dan NPPKP; bahwa Majelis berpendapat produk akhir Pemohon Banding berupa CPO dan PK yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya terutang PPN yang seharusnya oleh Terbanding dijadikan dasar apakah Pajak Masukan PPN yang dikreditkan berhubungan dengan kegiatan usahanya bukan memilah-milah bagian mata rantai dari proses produksi; bahwa Majelis berpendapat bahwa Pajak Masukan atas pembelian pupuk, biaya angkut pupuk, peptisida dan sebagainya yang dikoreksi Terbanding terbukti mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha yang menghasilkan CPO dan PK yang merupakan produk akhir Pemohon Banding, bukannya dipilah-pilah apakah pajak masukan a quo digunakan untuk menghasilkan barang setengah jadi maupun barang jadi; bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, maka Majelis berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) tidak sesuai dengan ketentuan dan oleh karenanya koreksi a quo tidak dapat dipertahankan; bahwa dalam musyawarah Majelis, Hakim AAA, S.H., Ak., M.Sc. menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atas koreksi koreksi Pajak Masukan yang terkait dengan kebun sebesar Rp2.857.260.569,00 dengan uraian sebagai berikut: bahwa sengketa atas koreksi positif Pajak Masukan sebesar Rp2.857.260.569,00 ini merupakan sengketa yuridis fiskal, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan usaha kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar (selanjutnya disebut dengan TBS), yang dilakukan oleh Pemohon Banding yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dikreditkan atau tidak; bahwa maksud dari terpadu atau terintegrasi (integrated) adalah industri pengolahan CPO menyatu (terintegrasi) dengan usaha perkebunan kelapa sawit (TBS) dalam satu entitas usaha, dimana TBS tersebut merupakan bahan baku untuk diolah menjadi CPO (Crude Palm Oil/Industri minyak kasar); bahwa Pemohon Banding memiliki 2 (dua) unit usaha yaitu Unit perkebunan yang menghasilkan kelapa sawit (termasuk dalam kategori barang strategis yang PPN-nya dibebaskan PP Nomor 31 Tahun 2007) dan Unit Pengolahan yang mengolahan TBS menjadi CPO (termasuk Barang Kena Pajak); bahwa dari sini dapat diyakini bahwa jasa land clearing, bibit, pupuk, dan jasa-jasa lain atau bahan-bahan lain yang diperlukan pada kegiatan unit kebun adalah input untuk memproduksi TBS Sawit dan bukan merupakan input untuk memproduksi CPO dan PK, sementara untuk memproduksi CPO dan PK yang dibutuhkan bukanlah jasa-jasa dan bahan-bahan tersebut sebagaimana tersebut diatas, melainkan TBS Sawit sebagai bahan baku utama, hal ini bisa dibuktikan, dalam kondisi unit pabrik kekurangan bahan baku maka unit pabrik akan membeli TBS Sawit dari pihak luar dan bukan membeli bibit, pupuk, atau memakai jasa land clearing; bahwa Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai menyatakan bahwa “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan”, apakah dalam konteks Pasal ini dapat diartikan Wajib Pajak harus melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (kepada pihak lain); bahwa dalam kamus bahasa Indonesia versi online (http://kbbi.web.id/), kata dasar “yang” memiliki arti sebagai berikut: yang 1p kata untuk menyatakan bahwa kata atau kalimat yg berikut diutamakan atau dibedakan dr yg lain: orang -- baik hati;2p kata yg menyatakan bahwa bagian kalimat yg berikutnya menjelaskan kata yg di depan: dijumpainya seorang pengemis -- sedang berteduh di bawah pohon asam itu;3pron kata yg dipakai sbg kata pembeda: -- kaya sama -- kaya, -- miskin sama -- miskin;4kl p adapun; akan: -- hamba ini diperanakkan di Malaka juga;5p cak bahwa: saya pun percaya -- Adinda kasih juga akan Kakanda; bahwa berdasarkan kamus bahasa Indonesia versi online di atas, kata “yang” bermakna: kata yang menyatakan bahwa bagian kalimat berikutnya menjelaskan kata yang didepannya. Oleh karena itu, kalimat: “atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak Pertambahan nilai tidak dapat dikreditkan”, bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan, melainkan menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas; bahwa berdasarkan uraian di atas, Pasal 16 B Undang-Undang PPN tidak pernah mensyaratkan bahwa harus terjadi penyerahan BKP terlebih dahulu agar Pajak Masukannya dapat dikreditkan, anak kalimat yang berbunyi "yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai" adalah semata berfungsi sebagai keterangan atas Barang Kena Pajak dimana Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan; bahwa hal yang sama juga berlaku untuk pengkreditan Pajak Masukan, yaitu tidak perlu menunggu terjadi penyerahan BKP agar Pajak Masukan-nya bisa dikreditkan, dapat dijelaskan dengan contoh sebagai berikut: Sebuah toko yang menjual komputer baru dibuka pertengahan bulan Maret 2015., selama bulan Maret 2015 tersebut belum ada transaksi penjualan, pada SPT Masa PPN Masa Pajak Maret 2015, Wajib Pajak melaporkan tidak ada Pajak Keluaran karena belum ada transaksi penyerahan BKP (komputer) tetapi Wajib Pajak sudah mengkreditkan Pajak Masukan atas pembelian barang dagangan yaitu komputer tersebut; bahwa dengan demikian, penentuan Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP/JKP dapat dikreditkan atau tidak, bukan didasarkan pada ada tidaknya penyerahan, melainkan jenis BKP/JKP yang diperolehnya yaitu TBS; bahwa landasan filsofis Pasal 16 B Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diuraikan dalam penjelasannya adalah sebagai berikut: Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut; Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional; bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tesebut yaitu mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berupa Tandan Buah Segar Sawit; bahwa Kelapa Sawit adalah salah satu Barang Hasil Pertanian yang merupakan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; bahwa terbukti berdasarkan penjelasan di atas, tujuan dan maksud dari diberikannya perlakuan khusus PPN adalah dalam rangka tersedianya barang strategis berupa TBS Sawit, bahwa Hakim AAA, S.H., Ak., M.Sc. berpendapat, pemberian fasilitas pembebasan PPN juga dimaksudkan untuk memberikan kesederhanaan dan kemudahan bagi para pengusaha kelapa sawit (Petani), bahwa dengan pemberian fasilitas sebagaimana diuraikan di atas, Pengusaha kelapa sawit (Petani) tidak mempunyai kewajiban untuk menerbitkan Faktur Pajak dan sebagai akibanya para Petani tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang telah dibayar, dan harus membebankan sebagai unsur harga pokok penjualan; bahwa konsepsi exemption goods sebagaimana diuraikan di atas, telah dikemukakan juga oleh Tait (Tait,1988:50): “However, a fundamental characteristic of exemption in the VAT system is that they generally do not provide complete relief from the tax, All exemption does is relieve the exempt trader’s value added from VAT, but all his purchases, including capital goods, are taxes”; bahwa pengusaha yang menggunakan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak sebagai input kegiatan produksinya maka mempunyai dampak tersendiri, yaitu ada sebagian pajak masukannya atas perolehan barang yang dibebaskan pajak sebagaimana dikemukakan Tait (Tait 1988:5) sebagai berikut: “if exempts traders sell goods that are not necessarily final sales, but instead are used as inputs in further production of other good or services, then the VAT borne on the exempt trader’s inputs is built into his price and forms part of the cost of any trader buying the good for further productions”; bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan TBS Sawit sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendapat perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16 B UU PPN, maka harus tunduk dengan perlakuan khusus yang diterapkan dalam Pasal 16 B UU PPN; bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan dan penjualan TBS saja maka Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan, sedangkan apabila Wajib Pajak melakukan proses bisnis yang terpadu (integrated) dengan hanya melakukan penyerahan/penjualan CPO (BKP) maka Pajak Masukan sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan, hal tersebut telah mengabaikan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16 B UU PPN; bahwa Hakim AAA, S.H., Ak., M.Sc. berpendapat, penerapan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak adalah antara pengusaha sawit (Petani) dan unit perkebunan kelapa sawit yang dimiliki Pemohon Banding dengan pertimbangan bahwa tujuan dan maksud dari diberikannya perlakuan khusus PPN adalah dalam rangka tersedianya barang strategis berupa TBS Sawit; bahwa berdasarkan prinsip perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak (Equal) yang dianut dalam Pasal 16 B UU PPN, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata hanya digunakan untuk kegiatan untuk menghasilkan BKP strategis, tidak dapat dikreditkan; bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan, karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis, jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan), hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis; bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga prinsip netralitas, maka Hakim AAA, S.H., Ak., M.Sc. berpendapat Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan; bahwa Pasal 9 ayat (2) dan ayat (2a) UU PPN a quo, menyatakan sebagai berikut:
bahwa makna yang terkandung dari bunyi pasal 9 ayat 2 UU PPN merupakan ketentuan umum yang berkaitan dengan pengkreditan pajak masukan; bahwa perlakuan khusus dapat dilihat pada Pasal 9 ayat (2a), dimana Pajak masukan yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan sebelum Pengusaha Kena Pajak menghasilkan BKP (berproduksi) kecuali untuk perolehan barang modal, jadi Pajak Masukan yang dibayar sehubungan dengan perolehan Barang Modal dalam rangka menghasilkan BKP dapat dikreditkan meskipun belum terjadi penyerahan BKP; bahwa berdasarkan fakta hukum dan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mendasari sengketa a quo sebagaimana telah diuraikan di atas Hakim AAA, S.H., Ak., M.Sc. berpendapat:
bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas Hakim AAA, S.H., Ak., M.Sc. berkesimpulan koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp2.857.260.569,00 sudah benar sehingga tetap dipertahankan dan karenanya memutuskan menolak banding Pemohon Banding; |
||||||||||||||||||||||||||||||
menimbang | : | bahwa Pasal 79 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak mengatur sebagai berikut : “Dalam hal pemeriksaan dilakukan oleh Majelis, putusan Pengadilan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dapat dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak”; | ||||||||||||||||||||||||||||||
menimbang | : | bahwa karena salah satu Hakim berpendapat lain, maka putusan diambil berdasarkan suara terbanyak, dengan demikian pendapat berdasarkan suara terbanyak Majelis Hakim adalah mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap koreksi Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan TBS Kelapa Sawit di unit perkebunan sebesar Rp2.857.260.569,00; | ||||||||||||||||||||||||||||||
menimbang | : | bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak; | ||||||||||||||||||||||||||||||
menimbang | : | bahwa
dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai
Sanksi Administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi
tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya; bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, rekapitulasi pendapat Majelis atas pokok sengketa adalah sebagai berikut :
|
||||||||||||||||||||||||||||||
menimbang | : | bahwa oleh karena hasil pemeriksaan dalam persidangan, maka Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengadilan Pajak untuk mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding; | ||||||||||||||||||||||||||||||
Mengingat | : | Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, dan ketentuan perundangundangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini; | ||||||||||||||||||||||||||||||
Memutuskan | : | Menyatakan
mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP-672/WPJ.02/2014 tanggal 4 Juni
2014, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa nomor 00024/207/09/218/13
tanggal 21 Maret 2013 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2009,
atas nama Pemohon Banding dengan perhitungan menjadi sebagai berikut:
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 24 November 2015 oleh Hakim Majelis VIA Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 30 Agustus 2016 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Terbanding dan tidak dihadiri oleh Pemohon Banding. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.