Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PUTUSAN
Nomor 301/B/PK/PJK/2016
DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH
AGUNG
Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan
sebagai berikut dalam perkara:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto
Nomor 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
- ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal
Pajak;
- DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat
Keberatan Banding;
- GHI, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan
Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
- JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan
Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Kesemuanya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, berkantor di Jalan
Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor SKU-1132/PJ./2015 bertanggal 16 Maret 2015;
Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;
melawan:
PT XXX, beralamat di DD Land Plaza (d/h Plaza B) Menara F Lantai Y,
Jalan M Kav. DD Nomor D, Gondangdia, Menteng, Jakarta 10xxx, dalam hal
ini diwakili oleh AAA selaku Direktur;
Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;
Mahkamah Agung tersebut;
Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon
Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan
permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.58502/PP/M.XIB/16/2014, tanggal 15 Desember 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan
Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai
berikut:
bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Terbanding Nomor
KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012 tentang Keberatan Wajib Pajak
atas SKPKB PPN Barang dan Jasa Nomor 00085/207/09/092/11 tanggal 16
Maret 2011 untuk Masa Pajak Januari 2009, yang Pemohon Banding terima
pada tanggal 8 Maret 2012, maka Pemohon Banding berdasarkan Pasal 27
Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2007 mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor
KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012;
- Ketentuan Formal Banding
- bahwa sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:
(1) |
Banding
diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan
Pajak; |
(2) |
Banding
diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima
Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan; |
- bahwa sesuai dengan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4)
UU Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:
(1) |
Terhadap
1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding; |
(2) |
Banding
diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan
tanggal diterima surat keputusan yang dibanding; |
(3) |
Pada
Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding; |
(4) |
Selain
dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat
(2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap
besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan
apabila jumlah yang terutang yang dimaksud telah dibayar sebesar 50%
(lima puluh persen). Untuk memenuhi persyaratan formal banding Pemohon
Banding, Pemohon Banding telah membayar jumlah pajak yang terutang
sebesar Rp9.064.902.639,00; |
- bahwa sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) bahwa Banding hanya
dapat diajukan oleh pengurus yaitu Direksi;
- Kronologis dan Dasar Koreksi Pemeriksa
- bahwa pada tanggal 16 Maret 2011, KPP WP Besar Dua
menerbitkan
SKPKB PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor
00085/207/09/092/11 dengan perincian sebagai berikut:
No. |
Uraian |
Jumlah
Rupiah Menurut |
SPT/WP |
Pemeriksa |
Koreksi |
1. |
Dasar
Pengenaan Pajak: |
|
|
|
|
a.
Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri |
29.760.715.270 |
29.760.715.270 |
- |
|
b.
Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN, tidak dipungut,
dibebaskan dan tidak terhutang |
1.930.620.901 |
1.930.620.901 |
- |
|
c.
Jumlah Seluruh Penyerahan |
31.691.336.171 |
31.691.336.171 |
- |
2. |
Perhitungan
PPN Kurang Bayar: |
|
|
|
|
a.
PPN yang harus dipungut/ dibayar sendiri |
2.976.071.527 |
2.976.071.527 |
- |
|
b.
Dikurangi: Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan |
7.361.594.536 |
2.777.519.756 |
4.584.074.780 |
|
c.
Jumlah |
7.361.594.536 |
2.777.519.756 |
4.584.074.780 |
|
d.
Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan |
7.361.594.536 |
2.777.519.756 |
4.584.074.780 |
|
e.
Jumlah Perhitungan PPN Kurang (Lebih) Bayar |
(4.385.523.009) |
198.551.771 |
4.584.074.780 |
3. |
Kelebihan
Pajak yang sudah: |
|
|
|
|
a.
Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya |
4.385.523.009 |
4.385.523.009 |
- |
|
b.
Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan) |
- |
- |
- |
|
c.
Jumlah (a+b) |
4.385.523.009 |
4.385.523.009 |
- |
4. |
PPN
yang kurang bayar |
0 |
4.584.074.780 |
4.584.074.780 |
5 |
Sanksi
administrasi: |
|
|
|
|
a.
Kenaikan Pasal 13(2) KUP |
|
95.304.850 |
95.304.850 |
|
a.
Kenaikan Pasal 13(3) KUP |
|
4.385.523.009 |
4.385.523.009 |
|
b.
Jumlah |
|
4.480.827.859 |
4.480.827.859 |
6. |
Jumlah
PPN yang masih harus dibayar |
0 |
9.064.902.639 |
9.064.902.639 |
- bahwa selanjutnya, Pemohon Banding telah mengajukan
permohonan
keberatan atas SKPKB PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor
00085/207/09/092/11 melalui Surat Permohonan Nomor 109/SKIPKPP/05/2011
tanggal 26 Mei 2011 yang diterima oleh KPP WP Besar Dua pada tanggal 7
Juni 2011 dimana Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi pemeriksa
terhadap obyek PPN Barang dan Jasa tersebut;
- bahwa menanggapi surat keberatan Pemohon Banding, pada
tanggal
6 Maret 2012 Kanwil DJP WP Besar Dua menerbitkan Keputusan Terbanding
Nomor KEP-201/WPJ.19/2012 yang isinya menolak seluruhnya permohonan
keberatan Pemohon Banding dengan rincian sebagai berikut:
Uraian |
Semula
(Rp) |
Ditambah/(Dikurangi)
(Rp) |
Menjadi
(Rp) |
PPN
Kurang (Lebih) Bayar |
4.584.074.780 |
- |
4.584.074.780 |
Sanksi
Bunga |
95.304.850 |
- |
95.304.850 |
Sanksi
Kenaikan |
4.385.523.009 |
- |
4.385.523.009 |
Jumlah
Pajak ymh/(lebih) dibayar |
9.064.902.639 |
|
9.064.902.639 |
- Permohonan Banding
bahwa menurut Pemohon Banding, jumlah PPN Barang dan Jasa yang masih
harus dibayar untuk Masa Pajak Januari 2009 adalah nihil dengan
penjelasan sebagai berikut:
- bahwa Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri
minyak
kelapa sawit di mana produk yang dijual oleh Pemohon Banding adalah
minyak kelapa sawit (CPO) dan PK, bukan Tandan Buah Segar (TBS);
- bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut,
Pemohon
Banding mengelola perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan hasil
perkebunan kelapa sawit yaitu Tandan Buah Segar (TBS). Adapun hasil
perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding ini tidak dimaksudkan untuk
dijual, tetapi seluruhnya akan diolah lebih lanjut menjadi produk
minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK). CPO dan PK yang
dihasilkan inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan
pendapatan bagi Pemohon Banding;
- bahwa sebagaimana diatur dalam UU PPN dan berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang
perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang
Impor dan / atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis yang dibebaskan dari penggenaan PPN, produk CPO dan PK tidak
termasuk sebagai barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN,
sehingga atas penyerahan CPO dan PK yang dilakukan oleh Pemohon Banding
harus dikenakan PPN sebesar 10%;
- bahwa kemudian di Pasal 9 ayat (5) UU PPN Nomor 18
Tahun 2000
mengatur bahwa: “Apabila dalam suatu masa pajak, Pengusaha
Kena
Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak, ..... maka jumlah pajak masukan
yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak;”
- bahwa lebih lanjut, di Pasal 16B ayat (3) UU PPN Nomor
18
Tahun 2000 juga menyebutkan bahwa: “Pajak Masukan yang
dibayar
untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak
yang atas penyerahannya dibebaskan dari PPN tidak dapat
dikreditkan;”
- bahwa dapat disimpulkan bahwa UU PPN secara jelas
menekankan
bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan
yaitu penyerahan yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari PPN maka
Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN
tidak dapat dikreditkan;
- bahwa dengan demikian, jelas karena Pemohon Banding
tidak
melakukan penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya
melakukan kegiatan usaha yang mana atas seluruh penyerahannya terutang
PPN 10% yaitu dalam hal ini melakukan penjualan produk CPO dan PK,
sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh pajak masukan yang Pemohon
Banding kreditkan tersebut berkaitan dengan barang untuk menghasilkan
CPO yang mana atas penyerahannya seluruhnya terutang PPN 10% (sepuluh
persen);
bahwa sehingga menurut Pemohon Banding seharusnya seluruh pajak masukan
yang dikoreksi oleh Pemeriksa tersebut dapat Pemohon Banding kreditkan;
bahwa berdasarkan penjelasan di atas, menurut Pemohon Banding, PPN
Barang dan Jasa terutang seharusnya adalah nihil;
- Kesimpulan
bahwa sesuai dengan uraian penjelasan Pemohon Banding di atas, menurut
Pemohon Banding jumlah PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 yang
masih harus dibayar adalah nihil dengan perincian sebagai berikut:
No. |
Uraian |
Pemohon
Banding |
1 |
Dasar
Pengenaan Pajak: |
|
|
a.
Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri |
29.760.715.270 |
|
b.
Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN, tidak dipungut,
dibebaskan dan tidak terhutang |
1.930.620.901 |
|
c.
Jumlah Seluruh Penyerahan |
31.691.336.171 |
2. |
Perhitungan
PPN Kurang Bayar: |
|
|
a.
PPN yang harus dipungut/ dibayar sendiri |
2.976.071.527 |
|
b.
Dikurangi: Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan |
7.361.594.536 |
|
c.
Jumlah Perhitungan PPN Kurang (Lebih) Bayar |
(4.385.523.009) |
3. |
Kelebihan
Pajak yang sudah: |
|
|
a.
Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya |
4.385.523.009 |
|
b.
Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan) |
- |
|
c.
Jumlah (a+b) |
4.385.523.009 |
4. |
PPN
yang kurang bayar |
0 |
5. |
Sanksi
administrasi: |
|
|
a.
Kenaikan Pasal 13(3) KUP |
|
|
b.
Jumlah |
|
6. |
Jumlah
PPN yang masih harus dibayar |
0 |
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor
Put.58502/PP/M.XIB/16/2014, tanggal 15 Desember 2014 yang telah
berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
Menyatakan mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6
Maret 2012 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa Masa
Pajak Januari 2009 Nomor 00085/207/09/092/11 tanggal 16 Maret 2011,
atas nama : PT XXX, NPWP 01.371.587.5-xxx, alamat di Plaza B
Menara F Lantai Y, Jalan M Kav. DD Nomor D, Gondangdia, Menteng,
Jakarta 10xxx, sehingga Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa
Pajak Januari 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut:
1. |
Dasar
Pengenaan Pajak (jumlah seluruh penyerahan): |
Rp31.691.336.171,00 |
2. |
Perhitungan
PPN Kurang Bayar: |
|
|
a.
Pajak Keluaran yang harus dipungut / dibayar sendiri |
Rp
2.976.071.527,00 |
|
b.
Dikurangi: Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan menurut Majelis |
Rp
7.234.924.007,00 |
|
c.
PPN Kurang (Lebih) Bayar |
Rp
( 4.258.852.480,00) |
3. |
Kelebihan
pajak yang sudah dikompensasikan ke masa Berikutnya |
Rp
4.385.523.009,00 |
4. |
Jumlah
PPN yang kurang bayar |
Rp
126.670.529,00 |
5. |
Sanksi
Administrasi: |
|
|
a.
Bunga Pasal 13 ayat (2) UU KUP |
Rp
- |
|
b.
Kenaikan Pasal 13 ayat (3) UU KUP |
Rp
126.670.529,00 |
|
c.
Jumlah |
Rp
126.670.529,00 |
6. |
Jumlah
PPN yang masih harus dibayar |
Rp
253.341.058,00 |
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.58502/PP/M.XIB/16 /2014,
tanggal 15 Desember 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan
Kembali pada tanggal 8 Januari 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon
Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa
Khusus Nomor SKU-1132/PJ./2015, tanggal 16 Maret 2015, diajukan
permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan
Pengadilan Pajak pada tanggal 27 Maret 2015, dengan disertai
alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak
tersebut pada tanggal 27 Maret 2015;
Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah
diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 30 Oktober
2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang
diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 27
November 2015;
Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta
alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama,
diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan
peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;
ALASAN PENINJAUAN KEMBALI
Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan
Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa
a quo
ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo pada halaman 26 - 27 yang
antara lain berbunyi sebagai berikut:
bahwa berdasarkan keterangan para pihak dalam persidangan, Majelis
teiah memeriksa SPT Masa PPN Pemohon Banding Masa Pajak Januari 2009
diketahui bahwa penyerahan yang dilakukan Pemohon Banding adalah
sebagai berikut:
- Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri
29.760.715.270,00
- Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut 1.385.309.919,00
- Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN
526.110.982,00
- Penyerahan yang tidak terutang PPN 19.200.000,00
- Faktur Pajak Masukan yang dikreditkan 7.361.594.536,00
bahwa menurut Majelis meskipun berdasarkan penjelasan Pemohon Banding
penyerahan yang dibebaskan bukan dalam bentuk TBS tetapi merupakan
penyerahan bibit, maka periakuan Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan yang dibebaskan dari PPN berupa bibit sama periakuannya
dengan apabila penyerahan yang dibebaskan berupa TBS, dimana menurut
Majelis atas Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak
terutang PPN tidak dapat dikreditkan;
bahwa sesuai ketentuan Pasal 9 Ayat (5) UU PPN dan ketentuan dalam
Pasal 2 Ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000
tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha
Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan
yang Tidak Terutang Pajak, maka sepanjang bagian penyerahan yang
terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang
berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding, Pajak Masukan atas
pembelian dan pemeliharaan bibit tidak dikreditkan. Oleh karena itu
tidak ada Pajak Masukan atas penyerahan BKP yang dibebaskan dari
pengenaan PPN yang dikreditkan oleh Pemohon Banding. Pemohon Banding
menyatakan memiliki lahan tersendiri untuk pengembangbiakkan bibit yang
jika terdapat kelebihan produksi bibit akan dijual kepada pihak lain
yang membutuhkan;
bahwa namun Pemohon Banding tidak menyampaikan dokumen pembukuan yang
membuktikan bahwa Pemohon Banding telah melakukan pembukuan yang
terpisah antara penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak
terutang PPN dan atas Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan
bibit tidak dikreditkan;
bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas maka Majelis berpendapat atas
Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang tidak terutang PPN
atau dibebaskan dari pengenaan Pajak1 Pertambahan Nilai, maupun untuk
unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan
tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding
dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap
peredaran seluruhnya;
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majeiis atas SPT Masa PPN Masa Pajak
Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 diketahui bahwa Pemohon
Banding tidak melakukan penghitungan kembali pajak masukan sehingga
Majeiis menghitung kembali Pajak Masukan Masa Pajak Agustus 2009 yang
dapat dikreditkan dengan mempertimbangkan atas pendapat Majeiis pada
sengketa koreksi Pajak Masukan di atas sebagai berikut:
X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai dalam tahun buku yang bersangkutan;
Y adalah jumlah seluruh peredaran dalam tahun buku yang bersangkutan;
PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya;
- Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan
pokok
sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara
lain sebagai berikut:
- Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), antara lain menyebutkan:
Pasal 76:
Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta
penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling
sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil,
sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan.
Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan
sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak
terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.
Pasal 78:
Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian
pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.
Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 18 tahun 2000 (UU PPN), antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 9 ayat (5):
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan
penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat
diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan
penyerahan yang terutang pajak.
Pasal 16B ayat (1):
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak
dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau
selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
- kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di
dalam Daerah Pabean;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan
Jasa Kena Pajak tertentu;
- impor Barang Kena Pajak tertentu;
- pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu
dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
- pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
Penjelasan Pasal 16B ayat (1):
Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undangundang
Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama
terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang
perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika
benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk
memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama
untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi
dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan
meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta
memperlancar pembangunan nasional.
Pasal 16B ayat (3):
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau
perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa
pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak
adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena
Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan,
karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas
dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 01
Mei
2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang
Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan
Nilai (PP 31), antara lain mengatur sebagai berikut:
Pasal 1 angka 1 huruf c:
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil
pertanian;
Pasal 1 angka 2 huruf a:
Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan
usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik
langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya
termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia
simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan
dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
Lampiran:
Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah
Segar (TBS);
Pasal 2 ayat (2) huruf c:
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis
berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Pasal 3:
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat
strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
- Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000
tanggal
26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak
Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang
Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak (selanjutnya
disebut dengan KMK-575), antara lain menyatakan:
Pasal 2 ayat (1):
Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
- Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang
terdiri
dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau
kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang
Pajak Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya
terdapat
penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang
terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan
barang
dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai
dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
- Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya
sebagian
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan
atau Jasa Kena Pajak yang:
1) |
nyata-nyata
digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas
penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan
dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan; |
2) |
digunakan
baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan
hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun
untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan
tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding
dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap
peredaran seluruhnya |
3) |
nyata-nyata
digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau
kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya:
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha
terpadu
(integrated) yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan Barang Kena
Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah
Barang Kena Pajak).
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa
yang
atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai,
misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan,
disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan
penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan
barang
dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak
Pertambahan Nilai, misal Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya
menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga
melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa
yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
- Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan
usaha
dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak, misal Pengusaha pembangunan
perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang
PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai.
- Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan adalah:
- Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk
yang
digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang
Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai;
- Pajak Masukan untuk pembelian truck yang
digunakan
untuk jasa angkutan, karena jasa angkutan adalah bukan Jasa Kena Pajak
yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
- Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang
digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas
penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai;
- Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali
adalah:
- Pajak Masukan untuk perolehan truck yang
digunakan baik untuk, perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak
jagung.
- Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
sepenuhnya adalah:
- Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin
yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung.”
|
- Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-90/PJ/2011
tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada
Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit (SE-90), antara lain
menyatakan:
Butir 6:
Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa untuk
perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari
unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya
tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan
Nilai, maka:
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa
Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena
Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa
Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan
barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
- Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena
Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang
Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat
dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran
seluruhnya.
- Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara Peninjauan
Kembali ini
adalah dengan tidak dipertahankannya koreksi Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) atas Koreksi Positif Pajak Masukan yang Terkait
Dengan Perolehan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Sebesar
Rp4.584.074.780,00.
- Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
melakukan
Koreksi atas Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp4.584.074.780,00
dengan alasan karena Pajak Masukan tersebut merupakan Pajak Masukan
yang timbul dari perolehan BKP/JKP yang berhubungan dengan
kebun/kegiatan usaha yang menghasilkan barang strategis dalam hal ini
Tandan Buah Segar (TBS), sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 16B
ayat (3) UU PPN jo KMK-575, Pajak Masukan terkait dengan kebun yang
berhubungan dengan perolehan TBS tersebut tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
tidak
setuju dengan Koreksi atas Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar
Rp4.584.074.780,00 karena pembelian pupuk dan perlengkapan perkebunan
yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) adalah nyata-nyata merupakan kegiatan yang berhubungan
langsung dalam memproduksi/ menghasilkan Barang Kena Pajak berupa CPO,
oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya Pajak Pertambahan Nilai
Masukan tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
- Bahwa dengan demikian, sengketa atas Koreksi Positif Pajak
Masukan
Dalam Negeri sebesar Rp4.584.074.780,00 ini merupakan sengketa yuridis,
yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan
BKP Strategis, dalam hal ini TBS, yang dilakukan oleh Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang melakukan kegiatan
usaha terpadu (integrated), dapat dikreditkan atau tidak.
- Bahwa dalam amar pertimbangannya diketahui bahwa Majelis
tidak
mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding)
dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada point 1 tersebut diatas.
- Bahwa fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa Termohon
Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding) di tahun 2009 tidak mempunyai pabrik
dan mesin pengolah minyak kelapa sawit, seluruh TBS yang
dihasilkan/diolah melalui proses tooling oleh pihak ketiga.
- Bahwa berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa
produk yang
dihasilkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)
adalah TBS untuk selanjutnya atas TBS tersebut akan diserahkan kepada
pihak ketiga untuk diproses lebih lanjut menjadi CPO.
- Bahwa atas penyerahan TBS oleh Termohon Peninjauan Kembali
(semula
Pemohon Banding) tersebut menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) berdasarkan PP 31 dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Bahwa salah satu Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari
pengenaan PPN adalah TBS sebagaimana diatur dalam PP 31.
Bahwa dengan demikian menurut pendapat Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk semua
perusahaan yang melakukan penyerahan BKP tertentu yang bersifat
strategis, dalam hal ini termasuk perkebunan kelapa sawit baik yang
melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) ataupun yang tidak
terpadu (non integrated).
- Bahwa dalam hal suatu barang ditetapkan sebagai bukan
Barang Kena
Pajak (Non BKP) atau mendapat fasilitas dibebaskan maka tidak ada PPN
yang dipungut pada saat menyerahkan barang tersebut, sehingga Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata
digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak
terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN berdasarkan KMK-575
tidak dapat dikreditkan.
Bahwa dengan demikian Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan
atau JKP dalam rangka menghasilkan TBS (misal, Pajak Masukan atas pupuk
untuk TBS) yang dihasilkan dari unit perkebunan (kelapa sawit), tidak
dapat dikreditkan.
Bahwa hal tersebut di atas sudah sesuai dengan Pasal 16B ayat (3) UU
PPN yang mengatur bahwa: "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dari/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak
dapat dikreditkan.
- Bahwa ketentuan mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan dalam rangka menghasilkan TBS yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak,
baik bagi perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) maupun bagi
perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated).
Bahwa hal ini sudah sesuai dengan prinsip/filosofi/jiwa perlakuan yang
sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B
ayat (1) UU PPN yang berbunyi: Salah satu prinsip yang harus dipegang
teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan
diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau
terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya same
dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan.
Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika
benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
- Bahwa terkait perbedaan pendapat mengenai Pajak Masukan
atas
perolehan BKP yang digunakan untuk unit yang menghasilkan Barang Kena
Pajak tertentu yang bersifat strategis (TBS) dapat dikreditkan atau
tidak pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu
(integrated), berikut akan dijelaskan lebih lanjut :
- Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN adalah sebagai
berikut:
Bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan
pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan
ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang
pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu
diberikan perlakuan khusus.
Bahwa namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap
dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undangundang perpajakan
yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua
Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundangundangan
yang berlaku.
Bahwa oleh karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika
benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
- Bahwa Pasal 16 B ayat (3) UU PPN menyatakan bahwa "Pajak
Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan".
Bahwa penjelasan Pasal 16 B ayat 3 menyatakan:
Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa
pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak
adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
Contoh:
Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat
fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B
menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai
bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya
lain.
Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak
tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai
kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena
Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan
yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung
diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat
dikreditkan.
- Bahwa kedudukan Pasal 16B di dalam UU PPN yaitu dalam Bab
VA mengenai Ketentuan Khusus.
Bahwa di dalam Bab VA tentang Ketentuan Khusus yaitu Pasal 16A, Pasal
16B, Pasal 16C, Pasal 16D, Pasal 16E , dan Pasal 16F.
Bahwa keberadaan norma khusus akan mengesampingkan norma umumnya,
artinya ada pemberlakuan yang khusus tidak seperti pada umumnya.
- Bahwa secara garis besar ketentuan umum bahwa PPN
dikenakan atas penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4).
Bahwa di dalam penjelasannya bahwa syarat terutangnya PPN yang
dilakukan oleh PKP yaitu:
- Barang/jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP;
- Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
- Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya.
Bahwa PPN yang dipungut oleh PKP merupakan Pajak Keluaran baginya.
Bahwa selanjutnya bahwa Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak
Keluaran, apabila Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan
maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan
sebaliknya apabila Pajak Masukan yang lebih besar daripada Pajak
Keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dmintakan
kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)).
- Bahwa selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan khusus
akan menyimpang dari ketentuan umumnya.
Bahwa berikut ini dapat dijabarkan penjelasan penyimpangannya :
Bahwa Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut PPN, umumnya yang
memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus ketika penyerahan
kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah Pemungut PPN.
Bahwa Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun sendiri, umumnya PPN
dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan BKP/JKP namun diatur
khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada
penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan.
Bahwa Pasal 16D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak
diperjualbelikan namun dengan syarat Pajak Masukannya saat diperoleh
dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana
diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat Pajak Masukannya dapat dikreditkan
atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D.
Bahwa Pasal 16E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat diminta kembali,
umumnya seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP
namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN
yang telah dibayar.
- Bahwa secara umum bahwa Pajak Masukan tidak dapat
dikreditkan
diatur dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur
adanya larangan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
Bahwa artinya ada aturan khusus mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan.
- Bahwa suatu Pasal merupakan satuan aturan dalam
perundangundangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu
kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas.
Bahwa apabila dalam batang tubuh belum memberikan kejelasan bunyi
Pasalnya maka dapat dilihat dalam penjelasan Pasal tersebut.
Bahwa dengan demikian untuk memahami Pasal 16B ayat (3) maka harus
dilihat dahulu Pasal 16B ayat (1) dan penjelasannya.
- Bahwa Pasal 16B ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa pajak
terutang
tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan
pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
- .......;
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan
Jasa Kena Pajak tertentu;
- .......;
- ......; dan
- ...........
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (1) menyatakan “Salah satu
prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan
adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap
semua Wajib Pajak atau terhadap kasuskasus dalam bidang perpajakan yang
pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundangundangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di
atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari
maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
- Bahwa dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16B ayat
(1) menganut prinsip equal treatment.
Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah
sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak
dapat dikatakan baik (good tax).
Bahwa Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach dalam bukunya
Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010
Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis :
- Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan
pemerintah
- Pajak yang baik seharusnya mudah untuk
diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar
- Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian
negara
- Pajak yang baik seharusnya adil
Bahwa selanjutnya Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach, dalam
bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning
2010 Edition, Mc Graw-Hill/Irwin, halaman 32-37 menyebutkan beberapa
kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
- Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan
seharusnya
mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib
Pajak tersebut.
- Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis
pajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama
- Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum
pengenaan
pajak memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B,
maka setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A
seharusnya tetap lebih baik daripada Wajib Pajak.
- Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme
redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat
Bahwa dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan
Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik yakni azas persamaan perlakuan.
- Bahwa sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada
aspek
keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam
pungutan pajak.
Bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan
dari pengenaan PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk
perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan.
Bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS
saja maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila
penyerahan/penjualan CPO dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan
dengan perolehan TBS dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)).
Bahwa pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut
dalam Pasal 16B.
- Bahwa menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B ayat (3),
apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP.
Bahwa apabila dalam Pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya.
Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B
memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara,
yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Bahwa frase kalimat “,yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak
tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai”
menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari
negara
bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Bahwa dicontohkan
bahwa PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan.
Bahwa dalam sengketa ini Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) menghasilkan TBS.
Bahwa kekhususan Pasal 16B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai
penyerahan.
Bahwa dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon
Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan terkait
pemakaian TBS.
- Bahwa sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48
Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum
dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas
pengertiannya daripada undang-undang”.
- Bahwa Negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah
mengeluarkan
SE-90 untuk mengatur pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu
kelapa sawit. Bahwa nyata-nyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak
yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil
pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS),
tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa PP 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan
ketentuan Pasal 16B UU PPN (atribusi).
bahwa PP 31, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal
16B UU PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum.
Bahwa ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip
yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasuskasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundangundangan.
Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika
benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu
dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
- Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan
Pemohon
Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan
tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi
perlakuan yang sama. Bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah
mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak
lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
- Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas
Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
- Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS
- PM kebun tidak dapat dikreditkan;
- PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok
Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO
- Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
- Atas penyerahan CPO terutang PPN
- Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
- PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli,
selanjutnya menjadi unrus HPP bagi CPO;
- Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit
dan Pabrik CPO:
- Tidak ada PPN atas TBS;
- PPN hanya atas CPO;
- PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi
CPO;
Bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan
pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang
berbeda pada:
- Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja
yang
mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang
mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk
harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan
tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
- Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang
berpotensi
memunculkan persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi
perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan
kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan
integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga
cenderung lebih rendah.
- Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis
yang
sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran
dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada Pajak Keluaran baik atas
penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS
busuk), dan tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas
penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan
(TBS busuk).
- Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka
Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar
untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
Bahwa sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak Pupuk Rp.100,00
Dasar Pengenaan Pajak TBS Rp.400,00
Dasar Pengenaan Pajak CPO Rp.900,00
- Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh
PT X
yang mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang
mandiri, dan mengingat penyerahan TBS oleh PT X
- Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit
pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang
digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana pendapat
Majelis, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut: Bahwa
membandingkan perlakuan pada butir 1) dan 2) di atas terlihat jelas ada
ketidakadilan dalam beban pajak yang ditanggung antara perkebunan
penghasil TBS dan pabrik CPO pada 2 (dua) badan usaha terpisah, dengan
apabila perkebunan penghasil TBS dan pabrik CPO merupakan bagian dari
unit usaha dalam 1 badan usaha seperti yang terjadi pada Termohon
Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
- Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit
pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang
digunakan untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana
pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) maka
penghitungan PPN adalah sebagai berikut: Bahwa membandingkan perlakuan
pada butir 1) dan 3) di atas terlihat jelas ada keadilan dalam beban
pajak yang ditanggung antara perusahaan perkebunan penghasil TBS dan
pabrik CPO pada 2 (dua) badan usaha terpisah, dengan apabila perkebunan
penghasil TBS dan pabrik CPO merupakan bagian dari unit usaha dalam 1
(satu) badan usaha seperti yang terjadi pada Termohon Peninjauan
Kembali (semula Pemohon Banding).
Bahwa dengan demikian jelas bahwa tidak dapat dikreditkannya Pajak
Masukan yang terkait kegiatan perkebunan menimbulkan keadilan dalam
pembebanan pajak.
- Bahwa dalam SE-90, ditegaskan kembali bahwa untuk
perusahaan
kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau
kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan
Nilai, maka:
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa
Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena
Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau
Jasa
Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan
barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
- Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena
Pajak
atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang
Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat
dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran
seluruhnya.
Bahwa PPN atas pupuk yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan
untuk menghasilkan TBS, yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur Jenderal Pajak
dalam
pengenaan PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam KMK-575
sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN, yang didalamnya juga
mengatur mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B UU PPN.
Bahwa KMK-575 tidak pernah diuji Mahkamah Agung, namun Peraturan
Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.03/2010 (PMK-78) sebagai pengganti
KMK-575 yang muatannya sama dengan KMK-575 secara kaidah dan norma
sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dalam hal ini
keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding).
Bahwa dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut telah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bahwa kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa
Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa
pupuk yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang
merupakan BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
- Bahwa berdasarkan uraian diatas, baik TBS yang diserahkan
kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan
CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
- Bahwa terkait dengan adanya frase "yang atas penyerahannya"
pada Pasal 2 ayat (1) huruf a KMK-575, Pemohon Peninjauan Kembali
(semula Terbanding) berpendapat sebagai berikut :
- Bahwa maksud frase "yang atas penyerahannya" pada Pasal 2
ayat (1) huruf a KMK-575 tersebut adalah "yang apabila diserahkan".
Bahwa oleh karena itu, dalam konteks Pasal ini tidak diartikan Wajib
Pajak harus melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai (kepada pihak lain).
- Bahwa sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a
KMK-575
dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu
(integrated) contohnya adalah Wajib Pajak yang menghasilkan jagung
(jagung adalah bukan BKP), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung
(minyak jagung adalah BKP).
Bahwa dalam penjelasan tersebut tidak disyaratkan adanya penyerahan
jagung kepada pihak lain.
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf d
angka 1)
KMK-575, antara lain diatur bahwa Pajak Masukan atas pupuk, pestisida,
traktor, dan sebagainya yang nyata-nyata digunakan untuk unit/divisi
perkebunan kelapa sawit yang atas penyerahan unit/divisi tersebut
dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan.
Bahwa dengan demikian koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula
Terbanding) atas pembelian bahan baku pupuk dan barang modal lainnya
yang dipergunakan di usaha perkebunan sudah sesuai dengan ketentuan
perpajakan yang berlaku.
- Bahwa sebagai bahan pertimbangan bahwa dalam Putusan
Pengadilan
Pajak Nomor Put.55605/PP/M.VIB/16/2014 yang diucapkan tanggal 25
September 2014 atas sengketa PT. Kalimantan Sanggar Pusaka (NPWP
01.062.229.8-705.001), salah satu Hakim Anggota yaitu Hakim Wisnoe
Saleh Thaib, Ak., M.Sc yang menyatakan pendapat yang berbeda
(dissenting opinion) dengan uraian sebagai berikut:
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
menetapkan hasil pertanian sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat
stragis {BKP Strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan
Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 beserta
penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa salah satu prinsip yang
harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah
diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib
Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada
hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu setiap kemudahan dalam bidang
perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di
atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari
tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
Berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai
diatur bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena
Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan;
Selanjutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang
Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena
Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang
Tidak terutang Pajak antara lain mengatur bahwa bagi Pengusaha yang
melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit
atau kegiatan yang menghasilkan yang atas penyerahannya tidak terutang
Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang
yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai maka Pajak
Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa
Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang
atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat
dikreditkan.
Oleh karena itu, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam
rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, menurut Hakim Wisnoe
Saleh Thaib Ak, MSc, harus berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak baik
bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) yang mempunyai pabrik CPO
maupun bagi usaha kelapa sawit yang yang tidak terpadu (non integrated)
yang tidak mempunyai pabrik CPO sesuai dengan prinsip perlakuan yang
sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B
ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian Hakim
Wisnoe Saleh Thaib Ak, M.Sc berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak
Masukan dalam rangka menghasilkan TBS sudah benar sehingga tetap
dipertahankan dan karenanya menolak banding Pemohon Banding.
- Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak
antara lain
diatur bahwa "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil
penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim".
- Bahwa dengan demikian putusan Majelis untuk membatalkan
sebagian
koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sebesar
Rp4.584.074.780,00tidak tepat karena tidak didasarkan pada ketentuan
peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku sehingga atas
sengketa koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp4.584.074.780,00 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
- Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi)
tersebut di
atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata
bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak
berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan
dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di
Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra
legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu, Putusan
Pengadilan Pajak Nomor: Put.58502/PP/M.XIB/16/2014 tanggal 15 Desember
2014 harus dibatalkan;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut,
Mahkamah Agung berpendapat:
Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat
dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan Mengabulkan
Sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Terbanding Nomor: KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012, nnengenai
keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor
00085/207/09/092/11 tanggal 16 Maret 2011, atas nama Pemohon Banding,
NPWP: 01.371.587.xxx, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi
Rp253.341.058,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
- Bahwa alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam
perkara
a quo yaitu Koreksi Pajak Masukan yang Terkait Dengan Kebun Kelapa
Sawit untuk kegiatan menghasilkan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis
Sebesar Rp4.584.074.780,00 yang Tidak Dapat Dipertahankan Oleh Majelis
Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan karena setelah membaca
dan meneliti kembali dalil-dalil dalam Memori Peninjauan Kembali yang
diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra
Memori dari Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan
fakta-fakta dan mengesampingkan bukti-bukti yang terungkap dalam
persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena
dalam perkara a quo Pajak Masukan yang terkait dapat dikreditkan
sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran
seluruhnya, oleh karenanya koreksi Terbanding sekarang (Pemohon
Peninjauan Kembali) tidak dapat dipertahankan, karena tidak sesuai
dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5)
UU Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000;
- Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan
Pajak
yang nyatanyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor
14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di
atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon
Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka
Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam
peninjauan kembali;
Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan
perundang-undangan yang terkait;
MENGADILI,
Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali:
DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;
Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam
pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta
lima ratus ribu Rupiah);
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
hari Kamis, tanggal 19 Mei 2016, oleh Dr. H. DDD, S.H., M.Hum., Ketua
Muda Mahkamah Agung R.I Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, BBB,
S.H., M.Hum., dan Dr. H. CCC, S.H., MS., Hakim-Hakim Agung sebagai
Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada
hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis
tersebut dan dibantu oleh FFF, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak
dihadiri oleh para pihak.
Anggota
Majelis :
ttd.
BBB, S.H., M.Hum.
ttd.
Dr. H. CCC, S.H., MS.
|
|
Ketua
Majelis,
ttd.
Dr. H. DDD, S.H., M.Hum.
|
|
|
|
Biaya -
biaya :
1. Meterai...................... Rp
6.000,00
2. Redaksi .................... Rp
5.000,00
3. Administrasi ............. Rp
2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp
2.500.000,00 |
|
Panitera
Pengganti,
ttd.
FFF, S.H. |
Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,
(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.