PUTUSAN
Nomor 301/B/PK/PJK/2016

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. DEF, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
  3. GHI, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. JKL, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Kesemuanya pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak, berkantor di Jalan Jenderal Gatot Subroto Nomor 40-42, Jakarta, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1132/PJ./2015 bertanggal 16 Maret 2015;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

PT XXX, beralamat di DD Land Plaza (d/h Plaza B) Menara F Lantai Y, Jalan M Kav. DD Nomor D, Gondangdia, Menteng, Jakarta 10xxx, dalam hal ini diwakili oleh AAA selaku Direktur;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.58502/PP/M.XIB/16/2014, tanggal 15 Desember 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:

bahwa sehubungan dengan telah diterbitkannya Keputusan Terbanding Nomor KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012 tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPN Barang dan Jasa Nomor 00085/207/09/092/11 tanggal 16 Maret 2011 untuk Masa Pajak Januari 2009, yang Pemohon Banding terima pada tanggal 8 Maret 2012, maka Pemohon Banding berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 mengajukan banding atas Keputusan Terbanding Nomor KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012;
  1. Ketentuan Formal Banding
    1. bahwa sesuai dengan Pasal 35 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:
      (1) Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
      (2) Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterima Keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan perundang-undangan perpajakan;
    2. bahwa sesuai dengan Pasal 36 ayat (1), (2), (3), dan (4) UU Nomor 14 Tahun 2002 menyebutkan bahwa:
      (1) Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
      (2) Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
      (3) Pada Surat Banding dilampirkan salinan Keputusan yang dibanding;
      (4) Selain dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) serta Pasal 35, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang yang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen). Untuk memenuhi persyaratan formal banding Pemohon Banding, Pemohon Banding telah membayar jumlah pajak yang terutang sebesar Rp9.064.902.639,00;
    3. bahwa sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) bahwa Banding hanya dapat diajukan oleh pengurus yaitu Direksi;
  2. Kronologis dan Dasar Koreksi Pemeriksa
    1. bahwa pada tanggal 16 Maret 2011, KPP WP Besar Dua menerbitkan SKPKB PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor 00085/207/09/092/11 dengan perincian sebagai berikut:
      No. Uraian Jumlah Rupiah Menurut
      SPT/WP Pemeriksa Koreksi
      1. Dasar Pengenaan Pajak:
      a. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 29.760.715.270 29.760.715.270 -
      b. Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN, tidak dipungut, dibebaskan dan tidak terhutang 1.930.620.901 1.930.620.901 -
      c. Jumlah Seluruh Penyerahan 31.691.336.171 31.691.336.171 -
      2. Perhitungan PPN Kurang Bayar:
      a. PPN yang harus dipungut/ dibayar sendiri 2.976.071.527 2.976.071.527 -
      b. Dikurangi: Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan 7.361.594.536 2.777.519.756 4.584.074.780
      c. Jumlah 7.361.594.536 2.777.519.756 4.584.074.780
      d. Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan 7.361.594.536 2.777.519.756 4.584.074.780
      e. Jumlah Perhitungan PPN Kurang (Lebih) Bayar (4.385.523.009) 198.551.771 4.584.074.780
      3. Kelebihan Pajak yang sudah:
      a. Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya 4.385.523.009 4.385.523.009 -
      b. Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan) - - -
      c. Jumlah (a+b) 4.385.523.009 4.385.523.009 -
      4. PPN yang kurang bayar 0 4.584.074.780 4.584.074.780
      5 Sanksi administrasi:
      a. Kenaikan Pasal 13(2) KUP 95.304.850 95.304.850
      a. Kenaikan Pasal 13(3) KUP 4.385.523.009 4.385.523.009
      b. Jumlah 4.480.827.859 4.480.827.859
      6. Jumlah PPN yang masih harus dibayar 0 9.064.902.639 9.064.902.639
    2. bahwa selanjutnya, Pemohon Banding telah mengajukan permohonan keberatan atas SKPKB PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor 00085/207/09/092/11 melalui Surat Permohonan Nomor 109/SKIPKPP/05/2011 tanggal 26 Mei 2011 yang diterima oleh KPP WP Besar Dua pada tanggal 7 Juni 2011 dimana Pemohon Banding tidak setuju atas koreksi pemeriksa terhadap obyek PPN Barang dan Jasa tersebut;
    3. bahwa menanggapi surat keberatan Pemohon Banding, pada tanggal 6 Maret 2012 Kanwil DJP WP Besar Dua menerbitkan Keputusan Terbanding Nomor KEP-201/WPJ.19/2012 yang isinya menolak seluruhnya permohonan keberatan Pemohon Banding dengan rincian sebagai berikut:
      Uraian Semula (Rp) Ditambah/(Dikurangi)
      (Rp)
      Menjadi
      (Rp)
      PPN Kurang (Lebih) Bayar 4.584.074.780 - 4.584.074.780
      Sanksi Bunga 95.304.850 - 95.304.850
      Sanksi Kenaikan 4.385.523.009 - 4.385.523.009
      Jumlah Pajak ymh/(lebih) dibayar 9.064.902.639 9.064.902.639
  3. Permohonan Banding
    bahwa menurut Pemohon Banding, jumlah PPN Barang dan Jasa yang masih harus dibayar untuk Masa Pajak Januari 2009 adalah nihil dengan penjelasan sebagai berikut:
    1. bahwa Pemohon Banding bergerak dalam bidang industri minyak kelapa sawit di mana produk yang dijual oleh Pemohon Banding adalah minyak kelapa sawit (CPO) dan PK, bukan Tandan Buah Segar (TBS);
    2. bahwa dalam melakukan kegiatan usahanya tersebut, Pemohon Banding mengelola perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan hasil perkebunan kelapa sawit yaitu Tandan Buah Segar (TBS). Adapun hasil perkebunan kelapa sawit Pemohon Banding ini tidak dimaksudkan untuk dijual, tetapi seluruhnya akan diolah lebih lanjut menjadi produk minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK). CPO dan PK yang dihasilkan inilah yang kemudian dijual kepada pihak lain dan merupakan pendapatan bagi Pemohon Banding;
    3. bahwa sebagaimana diatur dalam UU PPN dan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tanggal 8 Januari 2007 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan / atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari penggenaan PPN, produk CPO dan PK tidak termasuk sebagai barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN, sehingga atas penyerahan CPO dan PK yang dilakukan oleh Pemohon Banding harus dikenakan PPN sebesar 10%;
    4. bahwa kemudian di Pasal 9 ayat (5) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 mengatur bahwa: “Apabila dalam suatu masa pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, ..... maka jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;”
    5. bahwa lebih lanjut, di Pasal 16B ayat (3) UU PPN Nomor 18 Tahun 2000 juga menyebutkan bahwa: “Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan;”
    6. bahwa dapat disimpulkan bahwa UU PPN secara jelas menekankan bahwa dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan 2 (dua) macam penyerahan yaitu penyerahan yang terutang PPN dan yang dibebaskan dari PPN maka Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN tidak dapat dikreditkan;
    7. bahwa dengan demikian, jelas karena Pemohon Banding tidak melakukan penjualan TBS (yang dibebaskan dari PPN) akan tetapi hanya melakukan kegiatan usaha yang mana atas seluruh penyerahannya terutang PPN 10% yaitu dalam hal ini melakukan penjualan produk CPO dan PK, sehingga dapat disimpulkan bahwa seluruh pajak masukan yang Pemohon Banding kreditkan tersebut berkaitan dengan barang untuk menghasilkan CPO yang mana atas penyerahannya seluruhnya terutang PPN 10% (sepuluh persen);
    bahwa sehingga menurut Pemohon Banding seharusnya seluruh pajak masukan yang dikoreksi oleh Pemeriksa tersebut dapat Pemohon Banding kreditkan;
    bahwa berdasarkan penjelasan di atas, menurut Pemohon Banding, PPN Barang dan Jasa terutang seharusnya adalah nihil;
  4. Kesimpulan
    bahwa sesuai dengan uraian penjelasan Pemohon Banding di atas, menurut Pemohon Banding jumlah PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 yang masih harus dibayar adalah nihil dengan perincian sebagai berikut:
    No. Uraian Pemohon
    Banding
    1 Dasar Pengenaan Pajak:
    a. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 29.760.715.270
    b. Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh Pemungut PPN, tidak dipungut, dibebaskan dan tidak terhutang 1.930.620.901
    c. Jumlah Seluruh Penyerahan 31.691.336.171
    2. Perhitungan PPN Kurang Bayar:
    a. PPN yang harus dipungut/ dibayar sendiri 2.976.071.527
    b. Dikurangi: Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan 7.361.594.536
    c. Jumlah Perhitungan PPN Kurang (Lebih) Bayar (4.385.523.009)
    3. Kelebihan Pajak yang sudah:
    a. Dikompensasikan Ke masa pajak berikutnya 4.385.523.009
    b. Dikompensasikan Ke masa pajak (karena pembetulan) -
    c. Jumlah (a+b) 4.385.523.009
    4. PPN yang kurang bayar 0
    5. Sanksi administrasi:
    a. Kenaikan Pasal 13(3) KUP
    b. Jumlah
    6. Jumlah PPN yang masih harus dibayar 0
    Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.58502/PP/M.XIB/16/2014, tanggal 15 Desember 2014 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:
    Menyatakan mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor 00085/207/09/092/11 tanggal 16 Maret 2011, atas nama : PT XXX, NPWP 01.371.587.5-xxx, alamat di Plaza B Menara F Lantai Y, Jalan M Kav. DD Nomor D, Gondangdia, Menteng, Jakarta 10xxx, sehingga Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 dihitung kembali menjadi sebagai berikut:
    1. Dasar Pengenaan Pajak (jumlah seluruh penyerahan): Rp31.691.336.171,00
    2. Perhitungan PPN Kurang Bayar:
    a. Pajak Keluaran yang harus dipungut / dibayar sendiri Rp 2.976.071.527,00
    b. Dikurangi: Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan menurut Majelis Rp 7.234.924.007,00
    c. PPN Kurang (Lebih) Bayar Rp ( 4.258.852.480,00)
    3. Kelebihan pajak yang sudah dikompensasikan ke masa Berikutnya Rp 4.385.523.009,00
    4. Jumlah PPN yang kurang bayar Rp 126.670.529,00
    5. Sanksi Administrasi:
    a. Bunga Pasal 13 ayat (2) UU KUP Rp -
    b. Kenaikan Pasal 13 ayat (3) UU KUP Rp 126.670.529,00
    c. Jumlah Rp 126.670.529,00
    6. Jumlah PPN yang masih harus dibayar Rp 253.341.058,00
Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.58502/PP/M.XIB/16 /2014, tanggal 15 Desember 2014, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada tanggal 8 Januari 2015, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor SKU-1132/PJ./2015, tanggal 16 Maret 2015, diajukan permohonan peninjauan kembali secara tertulis di Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada tanggal 27 Maret 2015, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 27 Maret 2015;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada tanggal 30 Oktober 2015, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada tanggal 27 November 2015;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasannya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Bahwa pendapat Majelis Hakim Pengadilan Pajak atas sengketa a quo ini sebagaimana tertuang dalam putusan a quo pada halaman 26 - 27 yang antara lain berbunyi sebagai berikut:
    bahwa berdasarkan keterangan para pihak dalam persidangan, Majelis teiah memeriksa SPT Masa PPN Pemohon Banding Masa Pajak Januari 2009 diketahui bahwa penyerahan yang dilakukan Pemohon Banding adalah sebagai berikut:
    1. Penyerahan yang PPN-nya harus dipungut sendiri 29.760.715.270,00
    2. Penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut 1.385.309.919,00
    3. Penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN 526.110.982,00
    4. Penyerahan yang tidak terutang PPN 19.200.000,00
    5. Faktur Pajak Masukan yang dikreditkan 7.361.594.536,00
    bahwa menurut Majelis meskipun berdasarkan penjelasan Pemohon Banding penyerahan yang dibebaskan bukan dalam bentuk TBS tetapi merupakan penyerahan bibit, maka periakuan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang dibebaskan dari PPN berupa bibit sama periakuannya dengan apabila penyerahan yang dibebaskan berupa TBS, dimana menurut Majelis atas Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak terutang PPN tidak dapat dikreditkan;
    bahwa sesuai ketentuan Pasal 9 Ayat (5) UU PPN dan ketentuan dalam Pasal 2 Ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak, maka sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
    bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding, Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan bibit tidak dikreditkan. Oleh karena itu tidak ada Pajak Masukan atas penyerahan BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dikreditkan oleh Pemohon Banding. Pemohon Banding menyatakan memiliki lahan tersendiri untuk pengembangbiakkan bibit yang jika terdapat kelebihan produksi bibit akan dijual kepada pihak lain yang membutuhkan;
    bahwa namun Pemohon Banding tidak menyampaikan dokumen pembukuan yang membuktikan bahwa Pemohon Banding telah melakukan pembukuan yang terpisah antara penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak terutang PPN dan atas Pajak Masukan atas pembelian dan pemeliharaan bibit tidak dikreditkan;
    bahwa berdasarkan fakta tersebut di atas maka Majelis berpendapat atas Pajak Masukan yang terkait dengan penyerahan yang tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan Pajak1 Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya;
    bahwa berdasarkan pemeriksaan Majeiis atas SPT Masa PPN Masa Pajak Januari 2009 sampai dengan Desember 2009 diketahui bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penghitungan kembali pajak masukan sehingga Majeiis menghitung kembali Pajak Masukan Masa Pajak Agustus 2009 yang dapat dikreditkan dengan mempertimbangkan atas pendapat Majeiis pada sengketa koreksi Pajak Masukan di atas sebagai berikut:
    X adalah jumlah peredaran atau penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dalam tahun buku yang bersangkutan;
    Y adalah jumlah seluruh peredaran dalam tahun buku yang bersangkutan;
    PM adalah Pajak Masukan yang telah dikreditkan seluruhnya;
  2. Bahwa ketentuan perundang-undangan yang terkait dengan pokok sengketa yang digunakan sebagai dasar hukum peninjauan kembali antara lain sebagai berikut:
    1. Bahwa Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak), antara lain menyebutkan:
      Pasal 76:
      Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1).
      Memori penjelasan Pasal 76 menyebutkan:
      Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-undang perpajakan.
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak.
      Pasal 78:
      Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim.
      Memori penjelasan Pasal 78 menyebutkan:
      Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    2. Bahwa Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2000 (UU PPN), antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 9 ayat (5):
      Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak.
      Pasal 16B ayat (1):
      Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
      1. kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
      2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
      3. impor Barang Kena Pajak tertentu;
      4. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
      5. pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
      Penjelasan Pasal 16B ayat (1):
      Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undangundang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
      Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
      Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.
      Pasal 16B ayat (3):
      Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
      Penjelasan Pasal 16B ayat (3):
      Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
      Contoh:
      Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
      Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut. Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
    3. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tanggal 01 Mei 2007 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PP 31), antara lain mengatur sebagai berikut:
      Pasal 1 angka 1 huruf c:
      Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian;
      Pasal 1 angka 2 huruf a:
      Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
      Lampiran:
      Antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Tandan Buah Segar (TBS);
      Pasal 2 ayat (2) huruf c:
      Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 huruf c, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      Pasal 3:
      Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
    4. Bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang tidak Terutang Pajak (selanjutnya disebut dengan KMK-575), antara lain menyatakan:
      Pasal 2 ayat (1):
      Bagi Pengusaha Kena Pajak yang:
      1. Melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      2. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya terdapat penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      3. Melakukan kegiatan menghasilkan atau memperdagangkan barang dan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai; atau
      4. Melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya sebagian terutang Pajak Pertambahan Nilai dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang:
      1) nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
      2) digunakan baik untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maupun untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang Pajak Pertambahan Nilai terhadap peredaran seluruhnya
      3) nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang atas penyerahan hasil dari unit atau kegiatan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai, dapat dikreditkan.
      Penjelasan Pasal 2 ayat (1):
      Contoh Pengusaha Kena Pajak yang dimaksud dalam ayat ini, misalnya:
      1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha terpadu (integrated) yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan Barang Kena Pajak), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah Barang Kena Pajak).
      2. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan usaha jasa yang atas penyerahannya terutang dan tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misalnya Pengusaha Kena Pajak yang bergerak di bidang perhotelan, disamping melakukan usaha jasa di bidang perhotelan, juga melakukan penyerahan jasa persewaan ruangan untuk tempat usaha.
      3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan barang dan jasa yang atas penyerahannya terutang dan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai, misal Pengusaha Kena Pajak yang kegiatan usahanya menghasilkan atau menyerahkan Barang Kena Pajak berupa roti juga melakukan kegiatan di bidang jasa angkutan umum yang merupakan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
      4. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan perluasan usaha dan menghasilkan bukan Barang Kena Pajak, misal Pengusaha pembangunan perumahan yang melakukan penyerahan berupa rumah mewah yang terutang PPN dan rumah sangat sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      1. Contoh Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan adalah:
      • Pajak Masukan untuk pembelian traktor dan pupuk yang digunakan untuk perkebunan jagung, karena jagung adalah bukan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
      • Pajak Masukan untuk pembelian truck yang digunakan untuk jasa angkutan, karena jasa angkutan adalah bukan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai;
      • Pajak Masukan untuk pembelian bahan baku yang digunakan untuk membangun rumah sangat sederhana, karena atas penyerahan rumah sangat sederhana dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
      1. Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan seluruhnya terlebih dahulu namun kemudian harus diperhitungkan kembali adalah:
        • Pajak Masukan untuk perolehan truck yang digunakan baik untuk, perkebunan jagung maupun untuk pabrik minyak jagung.
      2. Contoh Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sepenuhnya adalah:
        • Pajak Masukan untuk perolehan mesin-mesin yang digunakan untuk memproduksi minyak jagung.”
    5. Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-90/PJ/2011 tanggal 23 November 2011 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Terpadu (Integrated) Kelapa Sawit (SE-90), antara lain menyatakan:
      Butir 6:
      Berdasarkan hal tersebut di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
      1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
      2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
      3. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.
  3. Bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam perkara Peninjauan Kembali ini adalah dengan tidak dipertahankannya koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas Koreksi Positif Pajak Masukan yang Terkait Dengan Perolehan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Sebesar Rp4.584.074.780,00.
  4. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) melakukan Koreksi atas Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp4.584.074.780,00 dengan alasan karena Pajak Masukan tersebut merupakan Pajak Masukan yang timbul dari perolehan BKP/JKP yang berhubungan dengan kebun/kegiatan usaha yang menghasilkan barang strategis dalam hal ini Tandan Buah Segar (TBS), sehingga sesuai dengan ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN jo KMK-575, Pajak Masukan terkait dengan kebun yang berhubungan dengan perolehan TBS tersebut tidak dapat dikreditkan.
  5. Bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak setuju dengan Koreksi atas Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp4.584.074.780,00 karena pembelian pupuk dan perlengkapan perkebunan yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah nyata-nyata merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dalam memproduksi/ menghasilkan Barang Kena Pajak berupa CPO, oleh karena itu sudah sewajarnya dan seharusnya Pajak Pertambahan Nilai Masukan tersebut dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan.
  6. Bahwa dengan demikian, sengketa atas Koreksi Positif Pajak Masukan Dalam Negeri sebesar Rp4.584.074.780,00 ini merupakan sengketa yuridis, yaitu apakah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk unit atau kegiatan yang menghasilkan BKP Strategis, dalam hal ini TBS, yang dilakukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), dapat dikreditkan atau tidak.
  7. Bahwa dalam amar pertimbangannya diketahui bahwa Majelis tidak mempertahankan koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan pada point 1 tersebut diatas.
  8. Bahwa fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) di tahun 2009 tidak mempunyai pabrik dan mesin pengolah minyak kelapa sawit, seluruh TBS yang dihasilkan/diolah melalui proses tooling oleh pihak ketiga.
  9. Bahwa berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa produk yang dihasilkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah TBS untuk selanjutnya atas TBS tersebut akan diserahkan kepada pihak ketiga untuk diproses lebih lanjut menjadi CPO.
  10. Bahwa atas penyerahan TBS oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tersebut menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berdasarkan PP 31 dibebaskan dari pengenaan PPN.
  11. Bahwa salah satu Barang Kena Pajak yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS sebagaimana diatur dalam PP 31.
    Bahwa dengan demikian menurut pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) Peraturan Pemerintah ini berlaku untuk semua perusahaan yang melakukan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis, dalam hal ini termasuk perkebunan kelapa sawit baik yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) ataupun yang tidak terpadu (non integrated).
  12. Bahwa dalam hal suatu barang ditetapkan sebagai bukan Barang Kena Pajak (Non BKP) atau mendapat fasilitas dibebaskan maka tidak ada PPN yang dipungut pada saat menyerahkan barang tersebut, sehingga Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN berdasarkan KMK-575 tidak dapat dikreditkan.
    Bahwa dengan demikian Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau JKP dalam rangka menghasilkan TBS (misal, Pajak Masukan atas pupuk untuk TBS) yang dihasilkan dari unit perkebunan (kelapa sawit), tidak dapat dikreditkan.
    Bahwa hal tersebut di atas sudah sesuai dengan Pasal 16B ayat (3) UU PPN yang mengatur bahwa: "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dari/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat dikreditkan.
  13. Bahwa ketentuan mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan TBS yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak, baik bagi perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) maupun bagi perusahaan kelapa sawit yang tidak terpadu (non integrated).
    Bahwa hal ini sudah sesuai dengan prinsip/filosofi/jiwa perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN yang berbunyi: Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya same dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan.
    Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
  14. Bahwa terkait perbedaan pendapat mengenai Pajak Masukan atas perolehan BKP yang digunakan untuk unit yang menghasilkan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis (TBS) dapat dikreditkan atau tidak pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated), berikut akan dijelaskan lebih lanjut :
    1. Bahwa landasan filosofis Pasal 16B UU PPN adalah sebagai berikut:
      Bahwa untuk lebih meningkatkan perwujudan keadilan dalam pembebanan pajak, menunjang peningkatan penanaman modal, mendorong peningkatan ekspor, menciptakan lebih banyak lapangan kerja baru, menunjang pelestarian lingkungan hidup, dan kebijakan-kebijakan lain, perlu diberikan perlakuan khusus.
      Bahwa namun demikian dalam memberikan perlakuan tersebut harus tetap dipegang teguh salah satu prinsip di dalam Undangundang perpajakan yaitu diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundangundangan yang berlaku.
      Bahwa oleh karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
    2. Bahwa Pasal 16 B ayat (3) UU PPN menyatakan bahwa "Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan".
      Bahwa penjelasan Pasal 16 B ayat 3 menyatakan:
      Berbeda dengan ketentuan pada ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan.
      Contoh:
      Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      Untuk memproduksi Barang Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B menggunakan Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak sebagai bahan baku, bahan pembantu, barang modal ataupun sebagai komponen biaya lain.
      Pada waktu membeli Barang Kena Pajak lain dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut, Pengusaha Kena Pajak B membayar Pajak Pertambahan Nilai kepada Pengusaha Kena Pajak yang menjual atau menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak tersebut.
      Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, karena tidak ada Pajak Keluaran berhubung diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan.
    3. Bahwa kedudukan Pasal 16B di dalam UU PPN yaitu dalam Bab VA mengenai Ketentuan Khusus.
      Bahwa di dalam Bab VA tentang Ketentuan Khusus yaitu Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, Pasal 16E , dan Pasal 16F.
      Bahwa keberadaan norma khusus akan mengesampingkan norma umumnya, artinya ada pemberlakuan yang khusus tidak seperti pada umumnya.
    4. Bahwa secara garis besar ketentuan umum bahwa PPN dikenakan atas penyerahan/pemanfaatan BKP atau JKP (Pasal 4).
      Bahwa di dalam penjelasannya bahwa syarat terutangnya PPN yang dilakukan oleh PKP yaitu:
      • Barang/jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP;
      • Penyerahan dilakukan di dalam daerah pabean;
      • Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya.
      Bahwa PPN yang dipungut oleh PKP merupakan Pajak Keluaran baginya.
      Bahwa selanjutnya bahwa Pajak Masukan dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, apabila Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan maka selisihnya merupakan PPN yang harus disetor oleh PKP dan sebaliknya apabila Pajak Masukan yang lebih besar daripada Pajak Keluaran maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat dmintakan kembali atau dikompensasi (Pasal 9 ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)).
    5. Bahwa selanjutnya dapat dijelaskan bahwa ketentuan khusus akan menyimpang dari ketentuan umumnya.
      Bahwa berikut ini dapat dijabarkan penjelasan penyimpangannya :
      Bahwa Pasal 16A mengatur penyerahan kepada Pemungut PPN, umumnya yang memungut PPN adalah PKP penjual namun diatur khusus ketika penyerahan kepada Pemungut maka yang memungut PPN adalah Pemungut PPN.
      Bahwa Pasal 16C mengenakan atas kegiatan membangun sendiri, umumnya PPN dipungut oleh PKP atas penyerahan/pemanfaatan BKP/JKP namun diatur khusus bahwa bukan PKP pun harus menyetor PPN KMS dan tiada penyerahan/pemanfaatan yang dilakukan.
      Bahwa Pasal 16D mengatur penyerahan aktiva yang tujuan semula tidak diperjualbelikan namun dengan syarat Pajak Masukannya saat diperoleh dapat dikreditkan, umumnya bahwa syarat dikenakan PPN sebagaimana diatur Pasal 4 tanpa harus dilihat Pajak Masukannya dapat dikreditkan atau tidak, syarat inilah kekhususan dalam Pasal 16D.
      Bahwa Pasal 16E mengenai PPN yang sudah dibayar dapat diminta kembali, umumnya seperti diatur dalam Pasal 9 ayat (4) yang dilakukan oleh PKP namun secara khusus diatur dimana bukan PKP pun dapat minta kembali PPN yang telah dibayar.
    6. Bahwa secara umum bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan diatur dalam Pasal 9 ayat (8) namun Pasal 16B ayat (3) juga mengatur adanya larangan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.
      Bahwa artinya ada aturan khusus mengenai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
    7. Bahwa suatu Pasal merupakan satuan aturan dalam perundangundangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas dan lugas.
      Bahwa apabila dalam batang tubuh belum memberikan kejelasan bunyi Pasalnya maka dapat dilihat dalam penjelasan Pasal tersebut.
      Bahwa dengan demikian untuk memahami Pasal 16B ayat (3) maka harus dilihat dahulu Pasal 16B ayat (1) dan penjelasannya.
    8. Bahwa Pasal 16B ayat (1) UU PPN menyatakan bahwa pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk:
      1. .......;
      2. penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
      3. .......;
      4. ......; dan
      5. ...........
      diatur dengan Peraturan Pemerintah.
      Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (1) menyatakan “Salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasuskasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan. Oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
    9. Bahwa dapat dilihat secara tersurat bahwa Pasal 16B ayat (1) menganut prinsip equal treatment.
      Bahwa prinsip perlakuan yang sama atau adil (equal treatment) sudah sesuai dengan standar yang harus dipenuhi agar sebuah sistem pajak dapat dikatakan baik (good tax).
      Bahwa Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach dalam bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, McGraw Hill/Irwin halaman 22 menulis :
      1. Pajak yang baik seharusnya memadai sebagai penerimaan pemerintah
      2. Pajak yang baik seharusnya mudah untuk diadministrasikan Pemerintah maupun bagi rakyat untuk membayar
      3. Pajak yang baik seharusnya efisien bagi perekonomian negara
      4. Pajak yang baik seharusnya adil
      Bahwa selanjutnya Sally M Jones dan Shelley C Rhoades-Catanach, dalam bukunya Principles of Taxation for Business and Investment Planning 2010 Edition, Mc Graw-Hill/Irwin, halaman 32-37 menyebutkan beberapa kriteria pajak yang adil adalah sebagai berikut:
      1. Kemampuan untuk membayar, pajak yang dibayarkan seharusnya mencerminkan sumber daya ekonomis yang berada pada penguasaan Wajib Pajak tersebut.
      2. Keadilan horisontal, Wajib Pajak yang memiliki basis pajak yang sama seharusnya mendapat perlakuan pajak yang sama
      3. Keadilan vertikal, Wajib Pajak A yang sebelum pengenaan pajak memiliki kesejahteraan yang lebih baik daripada Wajib Pajak B, maka setelah pengenaan pajak tingkat kesejahteraan Wajib Pajak A seharusnya tetap lebih baik daripada Wajib Pajak.
      4. Keadilan distributif, pajak sebagai mekanisme redistribusi kesejahteraan di dalam suatu masyarakat
      Bahwa dengan menerapkan equal treatment ini DJP telah melaksanakan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik yakni azas persamaan perlakuan.
    10. Bahwa sesuai dengan prinsip Pasal 16B menekankan kepada aspek keadilan dan pendapat ahli juga menekankan adanya keadilan dalam pungutan pajak.
      Bahwa berdasarkan Pasal 16B ayat (1) bahwa penyerahan TBS dibebaskan dari pengenaan PPN dan Pasal 16B ayat (3) bahwa Pajak Masukan untuk perolehan BKP dan/atau JKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan.
      Bahwa ketika Wajib Pajak yang hanya melakukan penyerahan/penjualan TBS saja maka Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan, namun apabila penyerahan/penjualan CPO dan PK maka Pajak Masukan yang sehubungan dengan perolehan TBS dapat dikreditkan (menurut Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)).
      Bahwa pendapat demikian telah mengabaikan prinsip keadilan yang dianut dalam Pasal 16B.
    11. Bahwa menjadi pertanyaan di dalam Pasal 16B ayat (3), apakah diharuskan adanya syarat penyerahan BKP.
      Bahwa apabila dalam Pasal belum jelas maka dapat dilihat penjelasannya.
      Bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (3) mencontohkan Pengusaha Kena Pajak B memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
      Bahwa frase kalimat “,yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai” menerangkan Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari negara bukan menerangkan penyerahan yang dilakukan oleh PKP. Bahwa dicontohkan bahwa PKP yang memproduksi, memproduksi sama dengan menghasilkan.
      Bahwa dalam sengketa ini Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menghasilkan TBS.
      Bahwa kekhususan Pasal 16B ada pengertian dalam menghasilkan sebagai penyerahan.
      Bahwa dengan demikian bahwa Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) seharusnya tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan terkait pemakaian TBS.
    12. Bahwa sesuai Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Hukum lebih luas pengertiannya daripada undang-undang”.
    13. Bahwa Negara dalam hal ini Pemerintah (DJP) telah mengeluarkan SE-90 untuk mengatur pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu kelapa sawit. Bahwa nyata-nyata dengan jelas di butir 6 huruf b bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan.
    14. Bahwa PP 31 Tahun 2007 merupakan aturan pelaksanaan ketentuan Pasal 16B UU PPN (atribusi).
      bahwa PP 31, merupakan aturan pelaksanaan yang diamanatkan dalam Pasal 16B UU PPN yang keberadaanya secara sah dapat dijadikan dasar hukum.
      Bahwa ketentuan ini menjelaskan antara lain, bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasuskasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan perpegang teguh pada ketentuan peraturan perundangundangan.
      Bahwa oleh karena itu, setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
    15. Bahwa penerapan Koreksi Pajak Masukan yang dilakukan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) telah sesuai dengan maksud dan tujuan diberikannya fasilitas: meningkatkan daya saing dan memberi perlakuan yang sama. Bahwa dengan demikian Majelis Hakim telah mengabaikan berprinsip equal karena tidak mempertimbangakan Wajib Pajak lain yang proses bisnisnya tidak terpadu (non integrated);
    16. Bahwa dalam kasus ini, mengenai perlakuan yang sama atas Pajak Keluaran dan Pajak Masukan, dapat dijelaskan sebagai berikut:
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Kebun Sawit saja:
      • Tidak ada PPN Keluaran atas penyerahan TBS
      • PM kebun tidak dapat dikreditkan;
      • PM kebun dibiayakan dan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan (HPP) bagi TBS, dan kelak menjadi unsur HPP bagi CPO
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak adalah Pabrik CPO saja:
      • Atas penyerahan CPO terutang PPN
      • Tidak ada PM atas Pembelian TBS;
      • PM kebun menjadi unsur HPP dari TBS yang dibeli, selanjutnya menjadi unrus HPP bagi CPO;
      1. Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO:
      • Tidak ada PPN atas TBS;
      • PPN hanya atas CPO;
      • PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO;
      Bahwa apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan pabrik CPO, PM kebun dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada:
      • Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi PM kebun ke dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan PM kebun, perbedaan tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
      • Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga harga cenderung lebih rendah.
      • Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak ada Pajak Keluaran baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS busuk), dan tidak ada Pajak Masukan yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk).
    17. Bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, maka Pasal 16B ayat (3) UU PPN dapat dipahami: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
      Bahwa sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut:
      Dasar Pengenaan Pajak Pupuk Rp.100,00
      Dasar Pengenaan Pajak TBS Rp.400,00
      Dasar Pengenaan Pajak CPO Rp.900,00
      1. Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dilakukan oleh PT X yang mandiri dan peran unit Pengolahan dilakukan oleh PT Y yang mandiri, dan mengingat penyerahan TBS oleh PT X
      2. Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Majelis, maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut: Bahwa membandingkan perlakuan pada butir 1) dan 2) di atas terlihat jelas ada ketidakadilan dalam beban pajak yang ditanggung antara perkebunan penghasil TBS dan pabrik CPO pada 2 (dua) badan usaha terpisah, dengan apabila perkebunan penghasil TBS dan pabrik CPO merupakan bagian dari unit usaha dalam 1 badan usaha seperti yang terjadi pada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
      3. Bahwa dalam hal peran unit perkebunan dan peran unit pengolahan dilakukan oleh perusahaan yang sama (Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding)), dan Pajak Masukan atas pupuk (yang digunakan untuk perolehan TBS) tidak dapat dikreditkan sebagaimana pendapat Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) maka penghitungan PPN adalah sebagai berikut: Bahwa membandingkan perlakuan pada butir 1) dan 3) di atas terlihat jelas ada keadilan dalam beban pajak yang ditanggung antara perusahaan perkebunan penghasil TBS dan pabrik CPO pada 2 (dua) badan usaha terpisah, dengan apabila perkebunan penghasil TBS dan pabrik CPO merupakan bagian dari unit usaha dalam 1 (satu) badan usaha seperti yang terjadi pada Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding).
      Bahwa dengan demikian jelas bahwa tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan yang terkait kegiatan perkebunan menimbulkan keadilan dalam pembebanan pajak.
    18. Bahwa dalam SE-90, ditegaskan kembali bahwa untuk perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai, maka:
      1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
      2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN (TBS), tidak dapat dikreditkan;
      3. Sedangkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya.
      Bahwa PPN atas pupuk yang dikeluarkan di kebun, nyata-nyata digunakan untuk menghasilkan TBS, yang merupakan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
    19. Bahwa pendirian dan kebijakan Direktur Jenderal Pajak dalam pengenaan PPN atas kegiatan terpadu (integrated) tertuang dalam KMK-575 sebagai pelaksanaan Pasal 9 ayat (6) UU PPN, yang didalamnya juga mengatur mengenai pelaksanaan Pasal 9 ayat (5) dan Pasal 16B UU PPN.
      Bahwa KMK-575 tidak pernah diuji Mahkamah Agung, namun Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 78/PMK.03/2010 (PMK-78) sebagai pengganti KMK-575 yang muatannya sama dengan KMK-575 secara kaidah dan norma sudah dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung dan dalam hal ini keputusan Mahkamah Agung memenangkan Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding).
      Bahwa dengan demikian secara yuridis kebijakan tersebut telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
      Bahwa kemudian secara materi dalam proses pemeriksaan diungkap bahwa Pajak Masukan yang dikoreksi oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) adalah terkait dengan perolehan barang antara lain berupa pupuk yang dipergunakan di unit perkebunan yang menghasilkan TBS yang merupakan BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
    20. Bahwa berdasarkan uraian diatas, baik TBS yang diserahkan kepada pihak lain maupun TBS yang digunakan sendiri untuk menghasilkan CPO atas keseluruhan Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan.
  15. Bahwa terkait dengan adanya frase "yang atas penyerahannya" pada Pasal 2 ayat (1) huruf a KMK-575, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat sebagai berikut :
    1. Bahwa maksud frase "yang atas penyerahannya" pada Pasal 2 ayat (1) huruf a KMK-575 tersebut adalah "yang apabila diserahkan".
      Bahwa oleh karena itu, dalam konteks Pasal ini tidak diartikan Wajib Pajak harus melakukan penyerahan yang tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai (kepada pihak lain).
    2. Bahwa sesuai dengan penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf a KMK-575 dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) contohnya adalah Wajib Pajak yang menghasilkan jagung (jagung adalah bukan BKP), yang juga mempunyai pabrik minyak jagung (minyak jagung adalah BKP).
      Bahwa dalam penjelasan tersebut tidak disyaratkan adanya penyerahan jagung kepada pihak lain.
    3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) huruf d angka 1) KMK-575, antara lain diatur bahwa Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor, dan sebagainya yang nyata-nyata digunakan untuk unit/divisi perkebunan kelapa sawit yang atas penyerahan unit/divisi tersebut dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan.
      Bahwa dengan demikian koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) atas pembelian bahan baku pupuk dan barang modal lainnya yang dipergunakan di usaha perkebunan sudah sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
  16. Bahwa sebagai bahan pertimbangan bahwa dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put.55605/PP/M.VIB/16/2014 yang diucapkan tanggal 25 September 2014 atas sengketa PT. Kalimantan Sanggar Pusaka (NPWP 01.062.229.8-705.001), salah satu Hakim Anggota yaitu Hakim Wisnoe Saleh Thaib, Ak., M.Sc yang menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dengan uraian sebagai berikut:
    Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 menetapkan hasil pertanian sebagai Barang Kena Pajak yang bersifat stragis {BKP Strategis) yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
    Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 beserta penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-Undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakikatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan, jika benar-benar diperlukan, harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari tujuan diberikannya kemudahan tersebut.
    Berdasarkan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai diatur bahwa Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
    Selanjutnya Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak terutang Pajak antara lain mengatur bahwa bagi Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang Pajak Pertambahan Nilai maka Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.
    Oleh karena itu, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, menurut Hakim Wisnoe Saleh Thaib Ak, MSc, harus berlaku sama terhadap semua Wajib Pajak baik bagi usaha kelapa sawit terpadu (integrated) yang mempunyai pabrik CPO maupun bagi usaha kelapa sawit yang yang tidak terpadu (non integrated) yang tidak mempunyai pabrik CPO sesuai dengan prinsip perlakuan yang sama (equal treatment) sebagaimana diatur dalam penjelasan Pasal 16B ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. Dengan demikian Hakim Wisnoe Saleh Thaib Ak, M.Sc berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan dalam rangka menghasilkan TBS sudah benar sehingga tetap dipertahankan dan karenanya menolak banding Pemohon Banding.
  17. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 78 UU Pengadilan Pajak antara lain diatur bahwa "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim".
  18. Bahwa dengan demikian putusan Majelis untuk membatalkan sebagian koreksi Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sebesar Rp4.584.074.780,00tidak tepat karena tidak didasarkan pada ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan yang berlaku sehingga atas sengketa koreksi Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp4.584.074.780,00 diajukan Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
  19. Bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum (fundamentum petendi) tersebut di atas secara keseluruhan telah membuktikan secara jelas dan nyata-nyata bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus perkara a quo tidak berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak berdasarkan hasil penilaian pembuktian, sehingga pertimbangan dan amar putusan Majelis Hakim pada pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak nyata-nyata telah salah dan keliru serta tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem), khususnya dalam bidang perpajakan. Oleh karena itu, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.58502/PP/M.XIB/16/2014 tanggal 15 Desember 2014 harus dibatalkan;
PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:

Bahwa alasan-alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali tidak dapat dibenarkan, karena putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan Mengabulkan Sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-201/WPJ.19/2012 tanggal 6 Maret 2012, nnengenai keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak Januari 2009 Nomor 00085/207/09/092/11 tanggal 16 Maret 2011, atas nama Pemohon Banding, NPWP: 01.371.587.xxx, sehingga pajak yang masih harus dibayar menjadi Rp253.341.058,00; adalah sudah tepat dan benar dengan pertimbangan:
  1. Bahwa alasan permohonan Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo yaitu Koreksi Pajak Masukan yang Terkait Dengan Kebun Kelapa Sawit untuk kegiatan menghasilkan BKP Tertentu yang Bersifat Strategis Sebesar Rp4.584.074.780,00 yang Tidak Dapat Dipertahankan Oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak tidak dapat dibenarkan karena setelah membaca dan meneliti kembali dalil-dalil dalam Memori Peninjauan Kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali dihubungkan dengan Kontra Memori dari Termohon Peninjauan Kembali tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan mengesampingkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Pengadilan Pajak, karena dalam perkara a quo Pajak Masukan yang terkait dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran yang terutang PPN terhadap peredaran seluruhnya, oleh karenanya koreksi Terbanding sekarang (Pemohon Peninjauan Kembali) tidak dapat dipertahankan, karena tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) UU Pajak Pertambahan Nilai jo. Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000;
  2. Bahwa dengan demikian, tidak terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyatanyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 19 Mei 2016, oleh Dr. H. DDD, S.H., M.Hum., Ketua Muda Mahkamah Agung R.I Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, BBB, S.H., M.Hum., dan Dr. H. CCC, S.H., MS., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh FFF, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.



Anggota Majelis :

ttd.
BBB, S.H., M.Hum.

ttd.
Dr. H. CCC, S.H., MS.
Ketua Majelis,

ttd.
Dr. H. DDD, S.H., M.Hum.


Biaya - biaya :
1. Meterai...................... Rp 6.000,00
2. Redaksi .................... Rp 5.000,00
3. Administrasi ............. Rp 2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp 2.500.000,00
Panitera Pengganti,

ttd.
FFF, S.H.


Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA