Putusan Pengadilan Pajak Nomor : Put-88640/PP/M.IIIB/16/2017

Jenis Pajak : PPN
Tahun Pajak : 2017
Pokok Sengketa : Koreksi Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Agustus 2011 sebesar Rp7.597.527.656,00
Menurut Terbanding :
1. Bahwa bentuk sengketa antara Pemohon Banding dengan Terbanding adalah sengketa bukti sekaligus penafsiran atau yuridis fiscal terkait dengan pengenaan PPN atas penyerahan LPG atau elpiji. Menurut Terbanding penyerahan LPG atau elpiji oleh Pemohon Banding terutang PPN sedangkan menurut Pemohon Banding tidak terutang PPN;
2. bahwa berdasarkan Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu atas Kontrak Bagi Hasil pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama QWE Blok B oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Tahun 2010 dan 2011, diketahui bahwa selama tahun 2011 Pemohon Banding memproduksi sekaligus melakukan lifting atas Minyak Mentah, Natural Gas, dan Liquid Petroleum, Gas (LPG);
3. bahwa berdasarkan LHA BPKP tersebut di atas, jumlah lifting LPG Pemohon Banding yang diserahkan kepada PT Pertamina selama tahun 2011 mencapai USD10,052,964.15;
4. bahwa proses produksi LPG, baik Propana maupun Butana melalui proses penyulingan, yakni pemisahan berbagai senyawa hidrokarbon yang terdapat dari gas bumi dan membuang air, minyak, H2S, CO2, Mercury dan kondensat, serta senyawa lainnya yang tidak diinginkan agar diperoleh gas yang memenuhi standard dan kualitas untuk dikonsumsi. Proses penyulingan atau fraksinasi menggunakan seperangkat alat yang terdiri dari Generator, Ruang Kontrol, Hot Oil System, Dehydration Unit, Gas Suction Scrubber, Feed Gas Compressor, Refrigerant Compressor, Contactor, Fractination Tower, Kolam untuk system hidran. Adapun alat penyimpanan meliputi: Tanki LPG, Tanki Kondensat yang digabung dengan Minyak Oli, Tanki Propana dan Butana;
5. bahwa LPG yang diserahkan Pemohon Banding bukan lagi sebagai Natural Gas, melainkan gas yang telah melalui serangkaian proses fraksinasi, yaitu pemisahan dari berbagai gas bumi yang diambil dari alam, dan sudah ditambah dengan unsur gas lain, seperti Gykol, dan tidak dialirkan melalui pipa, buan LNG serta bukan CNG;
6. bahwa pada dasarnya LPG yang diserahkan Pemohon Banding sudah siap untuk digunakan oleh masyarakat, baik sebagai bahan bakar alat dapur (terutama kompor gas) untuk rumah, pusat perbelanjaan dan perhotelan, bahan bakar kendaraan bermotor, maupun digunakan untuk industry konstruksi seperti steel workshop sebagai bahan bakar las. Begitu juga untuk Propana sebagai bahan bakar atau pengganti Freon yang lebih ramah lingkungan. Adapun penambahan Ethyl Mercaptan untuk memberikan unsur bau, demi keamanan dalam mengkonsumsi, pada dasarnya tidak merubah substansi bahwa gas propana dan butana Pemohon Banding sudah siap digunakan masyarakat;
7. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN, diatur bahwa jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
8. bahwa berdasarkan memori penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN dijelaskan bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
9. bahwa berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tentang Gas Bumi yang Termasuk Dalam Jenis Barang Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, diatur bahwa cakupan gas bumi yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: gas bumi yang dialirkan melalui pipa; Liquified Natural Gas (LNG); dan Compressed Natural Gas (CNG);
10. bahwa berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2012 cq. Permenkeu Nomor 213/PMK.011/2011 yang diterbitkan Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan Gas Alam dalam bentuk cair dan gas dikenakan bea masuk dan PPN;
11. bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa pengenaan PPN atas penyerahan LPG telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
12. bahwa tanggapan atas alasan keberatan Pemohon Banding bahwa gas yang diserahkan Pemohon Banding bukan elpiji dan kata “elpiji” dalam UU PPN merujuk produk PT Pertamina, adalah bahwa berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia diketahui bahwa kata el.pi.ji [n] merupakan ucapan asing bentuk singkatan dari Liquified petroleum gas. Pengertian tersebut juga sama dengan yang termuat dalam laman Wikipedia, http://id.wikipedia.org/wiki/elpiji, yang menyebutkan bahwa elpiji merupakan pelafalan bahasa Indonesia dari akronim bahasa inggris; LPG (Liquified Petroleum Gas, harafiah: “gas minyak bumi yang dicairkan”), adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas alam. Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah menjadi cair. Komponennya didominasi propana (C3H8) dan butana (C4H10). Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil, misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa antara elpiji dan LPG pada dasarnya sama, yakni Liquified Petroleum Gas atau gas bumi yang berbentuk cair;
13. bahwa kata “elpiji” dalam penjelasan Pasal 4A Avat (2) huruf a UU PPN, bukanlah yang dimaksud adalah merek produk PT Pertamina, karena diatur dalam UU bukan UU Pertamina. Kata “elpiji” dimaksud merujuk pada LPG, yaitu gas bumi yang berbentuk cair;
14. bahwa menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu elpiji campuran, elpiji propana dan elpiji butana. Spesifikasi masing-masing elpiji tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasarkan Pertamina adalah eipiji campuran;
15. Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2008 mengatur tentang Harga Jual Eceran LPG Tabung 3 Kilogram untuk Keperluan Rumah Tangga dan Usaha Mikro, mengatur bahwa harga jual eceran LPG Tabung 3 Kilogram untuk rumah tangga dan usaha mikro pada titik serah Agen termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan margin Agen ditetapkan Rp12,750,00 (dua belas ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Dengan demikian, dari sisi bahasa antara “LPG” maupun “elpiji” tidak ada perbedaan. Keduanya merupakan kata untuk produk yang sama;
16. bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka gas yang diserahkan Pemohon Banding kepada PT Pertamina merupakan elpiji atau LPG, yaitu gas bumi yang berbentuk cair. Terkait alasan Pemohon Banding bahwa kata elpiji dengan LPG berbeda, menurut Terbanding, Pemohon Banding menyempitkan makna suatu kata, dan itu bertentangan dengan pengertian berdasarkan kamus Bahasa Indonesia yang diakui secara umum;
17. bahwa tanggapan atas alasan keberatan Pemohon Banding bahwa Gas yang diserahkan tidak siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, adalah bahwa gas yang diserahkan Pemohon Banding terdiri dari propana dan butana, baik terpisah maupun menyatu, merupakan gas hasil proses fraksinasi pemisahan gas dari berbagai unsur gas alam dan penambahan sejumlah senyawa, dengan serangkaian proses produksi yang akhirnya menghasilkan gas propana dan butana, sehingga bukan lagi sebagai gas alam (natural gas), dan sudah aman dikonsumsi karena bebas dari senyawa yang berbahaya seperti mercury, dengan demikian pada dasarnya siap untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Pengertian “siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat” adalah dalam arti luas baik dikonsumsi oleh masyarakat rumah tangga maupun masyarakat perusahaan. Sebagai contoh, dalam Gas Business perusahaan K3S yang lain, gas yang dialirkan selain dapat diolah menjadi LNG & LPG juga bisa langsung dikonsumsi oleh perusahaan dalam negeri dalam rangka menghasilkan produk berupa pupuk, pemanfaatan listrik, dll. Selain itu pemeriksa berpendapat bahwa LPG yang dihasilkan tidak dipilah-pilah berdasarkan kegiatan usaha hulu maupun hilir sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, termasuk (sebagaimana pendapat Pemohon Banding) harus melalui 4 tahap kegiatan usaha hilir, yakni pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan niaga, akan tetapi lebih kepada apakah LPG (elpiji) tersebut merupakan Barang Pajak atau bukan sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Adapun penambahan Ethyl Mercaptan untuk memberikan unsur bau, demi keamanan dalam mengkonsmi, pada dasarnya tidak merubah subtansi bahwa gas propana dan butana Pemohon Banding sudah siap digunakan masyarakat;
18. bahwa tanggapan atas alasan keberatan Pemohon Banding bahwa Pemohon Banding bukan subjek pajak yang Wajib memungut, melapor dan menyetor PPN, adalah Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, UU PPN, menyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kera Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Oleh karena itu disimpulkan bahwa dalam peraturan ini tidak membedakan Pengusaha yang sudah dikukuhkan maupun belum/tidak dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan pertimbangan dasar hukum di atas, maka Terbanding menyimpulkan bahwa Pemohon Banding telah memenuhi syarat subjektif, K3S adalah pengusaha yang melakukan penyerahan BKP, dan K3S tidak termasuk kriteria pengusaha kecil. Oleh karena itu, koreksi Pemeriksa telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku;
19. bahwa berdasarkan invoice nomor 04/CPCL/II/2011 tertanggal 24 Februari 2011 dan LHA BPKP, diketahui bahwa nilai transaksi penyerahan LPG yang terjadi lebih besar, yakni mencapai USD10,052,964.15. Oleh karena itu disimpulkan bahwa terdapat nilai penyerahan yang belum dikenakan PPN;
20. bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 1529/KM.1/2011 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Ekspor, Dan Pajak Penghasilan Yang Berlaku Untuk Tanggal 26 Desember 2011 Sampai Dengan 01 Januari 2012, diketahui bahwa nilai kurs sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Ekspor, dan Pajak Penghasilan yang berlaku untuk tanggal 26 Desember 2011 sampai dengan 01 Januari 2012, ditetapkan sebesar Rp9.069,00 untuk Dolar Amerika Serikat (USD) 1.-;
21. bahwa adapun perhitungan per masa, khusus koreksi DPP PPN Masa Pajak Agustus 2011 sebesar Rp7.597.527.656,00, dengan jumlah PPN yang masih harus dibayar sebesar Rp1.124.434.094,00;

No Masa Jumlah Menurut Selisih
Pemohon Banding
(Rp)
Terbanding
(Rp)
1 Januari 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
2 Februari 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
3 Maret 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
4 April 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
5 Mei 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
6 Juni 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
7 Juli 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
8 Agustus 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
9 September 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
10 Oktober 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
11 November 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
12 Desember 0,00 7.597.527.656,00 7.597.527.656,00
Jumlah 0,00 91.170.331.876,00 91.170.331.876,00

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, keberatan Pemohon Banding ditolak, dan mempertahankan koreksi DPP PPN Masa Pajak Januari s.d Desember 2011 sebesar Rp91.170.331.876,00;
Menurut Pemohon Banding :
I. LPG yang diproduksi oleh Pemohon Banding ditambang/diambil langsung dari sumbernya berdasarkan Kontrak Kerja Sama (“KKS”) Perusahaan Hulu Migas
1. bahwa LPG merupakan istilah umum dalam industri migas untuk Propana dan Butana. Dalam kasus Pemohon Banding, Propana dan Butana tersebut diproduksi langsung dari kegiatan pertambangan migas berdasarkan KKS Blok B, sebagaimana halnya kegiatan pertambangan migas lainnya. Berdasarkan KKS Blok B, Pemohon Banding hanya memiliki izin untuk memproduksi/memperoleh gas bumi yang ditambang/diambil langsung dari sumbernya, yakni dari sumur-sumur yang berada dalam Wilayah Kerja Pertambangan KKS Blok B;
2. bahwa gas bumi yang diambil langsung oleh Pemohon Banding merupakan campuran dari beberapa gas (dan kondensat) termasuk propana dan butana, dengan gas utama berupa methana (yang dijual sebagai gas bumi). Setelah diambil langsung dari sumbernya, gas bumi tentunya membutuhkan proses untuk memungkinkan transportasi gas tersebut kepada pembeli (Pertamina). Proses ini pada dasarnya adalah untuk memisahkan methana dari gas (dan kondensat) lainnya. Pemohon Banding memisahkan propana dan butana di dalam fasilitas hulu yang berada di Blok B yang hasilnya kemudian disimpan dalam tangki yang terpisah untuk selanjutnya ditransportasikan oleh Pertamina;
3. bahwa hingga tahap ini, LPG yang diproduksi dan diserahkan kepada Pertamina masih merupakan “gas bumi”, dan belum dapat diklasifikasikan sebagai “elpiji” yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat (lihat poin II dibawah);
4. bahwa aktivitas “pengolahan” yang dilakukan oleh Pemohon Banding hanyalah sebatas “proses lapangan” dimana aktivitas ini masih termasuk ke dalam kegiatan eksploitasi sebagaimana termasuk dalam aktivitas hulu migas berdasarkan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”):
“Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya”;
5. bahwa sedangkan, Pasal 1 butir 11 UU Migas menyatakan bahwa:
“Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan”;
6. bahwa dalam hal ini, “pengolahan lapangan” tidak sama dengan “penyulingan”, dimana proses penyulingan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin pengusahaan hilir migas;
7. bahwa LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina semata-mata merupakan hasil dari “proses pengolahan lapangan”, oleh karenanya masih merupakan gas bumi yang ditambang/diambil langsung dari sumbernya, sehingga tidak terutang PPN berdasarkan Pasal 4A ayat 2 (a) UU PPN;
II. LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding belum siap untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat
8. bahwa Pemohon Banding memahami bahwa, walaupun diambil langsung dari sumbernya, gas bumi tertentu dengan jelas dinyatakan sebagai Barang Kena Pajak, termasuk “elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”. Hal ini berdasarkan Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN dan Penjelasannya;
9. bahwa namun demikian, dalam kasus ini, Terbanding salah mengartikan bahwa LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina sama dengan “elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”;
10. bahwa sebagaimana telah Pemohon Banding jelaskan selama proses pemeriksaan dan keberatan kepada Terbanding bahwa LPG yang diproduksi dan diserahkan Pemohon Banding kepada Pertamina belum siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat. Bersama ini Pemohon Banding lampirkan proses yang dilakukan oleh Pertamina untuk mengubah propana dan butana untuk menjadi Elpiji™ (merk dagang atas produk Pertamina) (Lampiran 6), meliputi beberapa tahap berikut ini:
a) Propana dan Butana dimasukkan secara terpisah dan dikirim FOB Terminal LPG ke kapal tanker Pertamina;
b) kapal tanker Pertamina mengangkut Propana dan Butana ke fasilitas terminal di darat atau ke fasilitas Floating Storage Offloading (FSO), dimana Propana dan Butana dicampur sesuai dengan persyaratan khusus pasar Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (“Dirjen Migas”) Nomor 26525.K/10/DJM.T/2009 (Lampiran 7). Zat Ethyl Mercaptan juga ditambahkan dalam proses ini sehingga kebocoran dapat dengan mudah dideteksi untuk menghindari bahaya kebakaran, ledakan, sesak nafas, dsb sehingga aman untuk digunakan oleh masyarakat;
c) Elpiji™ yang sudah dirubah tersebut dikirim ke Depot Elpiji™ Pertamina yang melakukan perubahan tekanan, untuk kemudian dipindahkan ke tabung elpiji dan disalurkan oleh truk-truk tanker Pertamina;
d) truk tangki Pertamina kemudian mengirimkan elpiji tersebut ke stasiun pengisian bahan bakar gas;
e) melalui agen Pertamina, elpiji dijual/disalurkan secara langsung ke (a) Pangkalan, (b) Pengecer elpiji, atau (c) Masyarakat;
11. bahwa berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa LPG yang diserahkan oleh Pemohon Banding ke Pertamina jelas belum “siap untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat”. Dengan demikian seharusnya LPG tersebut tidak diklasifikasikan sebagai BKP berdasarkan Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN;
III. Terbanding telah memberikan penjelasan bahwa LPG yang dikenakan PPN terbatas pada LPG dalam silinder yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat (dan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh Dirjen Migas)
12. bahwa Terbanding merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 yang terbit dan berlaku efektif sejak 28 Desember 2012;
13. bahwa jika Terbanding menerapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 secara konsisten, maka seharusnya Terbanding juga mempertimbangkan Surat Direktur Perpajakan I dari pihak Terbanding yakni Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014 (“S-1024”) yang ditujukan kepada Kepala KPP Migas sebagaimana terlampir (Lampiran 8). Dalam Surat tersebut, Terbanding memberikan klarifikasi mengenai perlakuan PPN terhadap penyerahan LPG berdasarkan Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012;
14. bahwa menurut Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014 Terbanding menegaskan bahwa:
Gas Bumi yang dikenai PPN (BKP) adalah Liquefied Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
LPG dalam tabung yang siap dikonsumsi oleh masyarakat dapat mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 26525.K/10/DJM.T/2009;
15. bahwa berdasarkan klarifikasi tersebut, sudah sangat jelas bahwa interpretasi yang benar sehubungan dengan perlakuan PPN atas penyerahan LPG adalah, hanya LPG dalam silinder yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat yang memenuhi kriteria berdasarkan Keputusan Dirjen Migas No. 26525 yang merupakan objek PPN. Contohnya adalah LPG yang dijual oleh Pertamina yang dikenal sebagai Elpiji™;
16. bahwa mengingat Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014 memberikan penegasan atas interpretasi Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN yang diterbitkan dan berlaku efektif sejak April 2010, interpretasi ini seharusnya dapat diterapkan pada kasus ini;
17. bahwa oleh karena itu, LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina, yang belum siap untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan belum memenuhi spesifikasi yang diterapkan oleh Dirjen Migas, tidak dapat dinyatakan sebagai BKP;
IV. Pemohon Banding tidak memenuhi Persyaratan Subyektif sebagai Pengusaha Kena Pajak berdasarkan UU PPN
18. bahwa mengingat LPG yang diserahkan Pemohon Banding kepada Pertamina bukan merupakan BKP, maka Pemohon Banding tidak dapat dianggap dan dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
19. bahwa perlu Pemohon Banding tekankan bahwa kasus ini seharusnya tidak dianggap sebagai hal yang tidak lazim. Dapat Pemohon Banding sampaikan bahwa, sebagai Kontraktor KKS, Pemohon Banding tidak dapat melakukan kegiatan operasi yang “menambah nilai” atas barang yang diserahkan (setidaknya dalam konteks UU PPN). Hal ini mengingat bahwa berdasarkan Pasal 5 UU Migas, aktivitas usaha Migas dibagi menjadi aktivitas hulu (meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi) dan aktivitas hilir (meliputi pengolahan, perhubungan, penyimpanan dan perdagangan).
Tidak ada kegiatan hulu migas yang dapat “menambah nilai” dalam konteks PPN, sedangkan untuk aktivitas yang dikategorikan sebagai kegiatan usaha migas hilir, Pemohon Banding tidak memiliki izin kontraktual untuk melakukannya;
20. bahwa sejauh pemahaman Pemohon Banding, tidak ada Wajib Pajak Kontraktor KKS lainnya yang melakukan kegiatan usaha hulu berdasarkan KKS, yang diharuskan atau berhak untuk dikukuhkan, sebagai PKP. Menurut Pemohon Banding, hal ini merupakan landasan pokok perlakuan PPN yang telah diakui selama lebih dari 40 tahun sejak kegiatan hulu migas berdasarkan KKS dilakukan di Indonesia;
Menurut Majelis : Bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan keterangan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Terbanding atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Agustus 2011 sebesar Rp7.597.527.656,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;

bahwa menurut Terbanding, terdapat penyerahan BKP berupa Liquefied Petroleum Gas (“LPG”) dari Pemohon Banding kepada Pertamina yang seharusnya terutang PPN;

bahwa proses produksi LPG, baik propana (C3H8) maupun butana (C4H10) melalui proses penyulingan yakni pemisahan berbagai senyawa hidrokarbon yang terdapat dari gas bumi dan membuang air, minyak, H2S, CO2. Mercury dan kondensat, serta senyawa lainnya yang tidak diinginkan agar diperoleh gas yang memenuhi standard dan kualitas untuk dikonsumsi;

bahwa LPG yang diserahkan Pemohon Banding bukan lagi sebagai Natural Gas, melainkan gas yang telah melalui serangkaian proses fraksinasi, yaitu pemisahan dari berbagai gas bumi yang diambil dari alam, dan sudah ditambah dengan unsur lain, seperti Gykol, dan tidak dialirkan melalui pipa, bukan LNG serta bukan CNG;

bahwa apabila Propana (C3H8) dan Butana (C4H10) akan dikirim melalui tabung, maka gas tersebut dicairkan dengan cara diberi tekanan sebesar 22 bar, ini yang disebut Elpiji atau LPG (Liquefied Petroleum Gas). Proses pencairan atau pemberian tekanan lebih besar dari tekanan atmosfer adalah untuk efisiensi pengiriman karena dengan cara tersebut jumlah volume gas yang terkirim lebih banyak;

bahwa dengan demikian yang dimaksud dengan LPG adalah gas bumi Propana (C3H8) dan Butana (C4H10) yang dicairkan. Sebaliknya apabila gas bumi Propana (C3H8) dan Butana (C4H10) belum dicairkan maka gas bumi tersebut bukan elpiji (LPG) melainkan gas alam (natural gas);

bahwa gas alam akan menjadi cair (LPG) apabila gas tersebut berada di tabung. Hal ini di dasarkan pada keadaan dalam kondisi atmosfer, elpiji akan berbentuk gas;

bahwa elpiji yang dimaksud pada ketentuan perpajakan yang berlaku bukan menunjuk pada LPG yang dijual Pertamina dengan merk elpiji, karena LPG yang dijual selain pertamina terdapat juga LPG dengan merk blue gaz yang dijual oleh PT. BGI;

bahwa berdasarkan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut dengan UU.PPN) :

Pasal 4A ayat (2): Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf a:
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya meliputi:
b. Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”;

bahwa untuk dapat lebih memahami kalimat gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, maka kalimat tersebut akan menjadi lebih dimengerti jika struktur kalimatnya diubah menjadi sebagai berikut: tidak termasuk gas bumi yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, seperti elpiji;

bahwa dengan demikian yang namanya elpiji (LPG) merupakan gas bumi yang siap dikonsumsi;

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 (selanjutnya disebut PMK-252) tentang Gas Bumi yang Termasuk Dalam Jenis Barang Yang Tidak dikenai PPN meliputi gas bumi yang dialirkan melalui pipa, LNG dan CNG;

bahwa berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2012 cq. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 yang diterbitkan Kementerian Keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan Gas Bumi dalam bentuk cair dan gas dikenakan bea masuk dan PPN;

bahwa dengan demikian, apabila gas bumi baik itu gas yang komponennya bertipe Propana, Butana, Metana maupun Etana yang dialirkan melalui pipa, maka gas bumi tersebut bukan barang kena pajak, sedangkan apabila gas bumi dikirim dengan cara dicairkan dalam tabung (tanki, silinder) sehingga gas bersebut menjadi gas LPG, LNG dan dikompres menjadi CNG maka yang bukan barang kena pajak adalah jenis gas LNG dan CNG sedangkan jenis LPG merupakan barang kena pajak;

bahwa menurut Pemohon Banding, LPG yang diproduksi oleh Pemohon Banding ditambang/diambil langsung dari sumbernya berdasarkan Kontrak Kerja Sama (“KKS”) Perusahaan Hulu Migas;

bahwa LPG merupakan istilah umum dalam industri migas untuk Propana dan Butana, dalam kasus Pemohon Banding, Propana dan Butana tersebut diproduksi langsung dari kegiatan pertambangan migas berdasarkan KKS Blok B, sebagaimana halnya kegiatan pertambangan migas lainnya. Berdasarkan KKS Blok B, Pemohon Banding hanya memiliki izin untuk memproduksi/memperoleh gas bumi yang ditambang/diambil langsung dari sumbernya, yakni dari sumur-sumur yang berada dalam Wilayah Kerja Pertambangan KKS Blok B;

bahwa Gas bumi yang diambil langsung oleh Pemohon Banding merupakan campuran dari beberapa gas (dan kondensat) termasuk propana dan butana, dengan gas utama berupa methana (yang dijual sebagai gas bumi). Setelah diambil langsung dari sumbernya, gas bumi tentunya membutuhkan proses untuk memungkinkan transportasi gas tersebut kepada pembeli (Pertamina). Proses ini pada dasarnya adalah untuk memisahkan methana dari gas (dan kondensat) lainnya. Pemohon Banding memisahkan propana dan butana di dalam fasilitas hulu yang berada di Blok B yang hasilnya kemudian disimpan dalam tangki yang terpisah untuk selanjutnya ditransportasikan oleh Pertamina;

bahwa hingga tahap ini, LPG yang diproduksi dan diserahkan kepada Pertamina masih merupakan “gas bumi, dan belum dapat diklasifikasikan sebagai “elpiji” yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;

bahwa aktivitas “pengolahan” yang dilakukan oleh Pemohon Banding hanyalah sebatas “proses lapangan” dimana aktivitas ini masih termasuk ke dalam kegiatan eksploitasi sebagaimana termasuk dalam aktivitas hulu migas berdasarkan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”): Eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya”;

sedangkan, Pasal 1 butir 11 UU Migas menyatakan bahwa : Pengolahan adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan”;

bahwa dalam hal ini, “pengolahan lapangan” tidak sama dengan “penyulingan”, dimana proses penyulingan hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin pengusahaan hilir migas;

bahwa menurut Pemohon Banding, jika Terbanding menerapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 secara konsisten, maka seharusnya Terbanding juga mempertimbangkan Surat Direktur Perpajakan I dari pihak Terbanding yakni Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014 (selanjutnya disebut S-1024) yang ditujukan kepada Kepala KPP Migas sebagaimana terlampir. Dalam surat tersebut, Terbanding memberikan klarifikasi mengenai perlakuan PPN terhadap penyerahan LPG berdasarkan Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012;

bahwa menurut S-1024/PJ.02/2014 Terbanding menegaskan bahwa:
a. Gas Bumi yang dikenai PPN (BKP) adalah Liquefied Petroleum Gas (LPG) dalam tabung yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
b. LPG dalam tabung yang siap dikonsumsi oleh masyarakat dapat mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 26525.K/10/DJM.T/2009;

bahwa berdasarkan klarifikasi tersebut, sudah sangat jelas bahwa interpretasi yang benar sehubungan dengan perlakuan PPN atas penyerahan LPG adalah, hanya LPG dalam silinder yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat yang memenuhi kriteria berdasarkan Keputusan Dirjen Migas Nomor 26525 yang merupakan objek PPN. Contohnya adalah LPG yang dijual oleh Pertamina yang dikenal sebagai Elpiji™;

bahwa mengingat S-1024 memberikan penegasan atas interpretasi Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN yang diterbitkan dan berlaku efektif sejak April 2010, interpretasi ini seharusnya dapat diterapkan pada kasus ini;

bahwa berdasarkan penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa pada dasarnya yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan penyerahan Liquefied Petroleum Gas (“LPG”) dari Pemohon Banding kepada Pertamina apakah merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN atau tidak;

bahwa menurut Majelis, pada dasarnya dalam UU PPN. Pasal 4A ayat (2) dan penjelasannya sebagaimana tersebut di atas, mengatur bahwa Jenis barang hasil pertambangan yang tidak dikenai PPN adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, yang meliputi Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”;

bahwa berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa gas bumi yang diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina, merupakan hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, dimana Pemohon Banding merupakan Kontraktor dari Kontrak Kerja Sama South Natuna Sea Block B yang melakukan kegiatan penambangan gas bumi di sumur-sumur dalam Wilayah Kerja Blok B tepatnya di lapangan Belanak offshore, dengan menggunakan fasilitas Belanak FPSO (Floating Production Storage and Offloading) untuk dapat memperoleh gas propana dan butana yang kemudian Pemohon Banding serahkan kepada Pertamina;

bahwa terkait dengan pengertian “yang tidak dikenai PPN adalah Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat” sebagaimana dimaksud Pasal 4 A ayat (2) huruf a a quo, Majelis berpendapat, bahwa kalimat tersebut mempunyai makna bahwa di samping terdapat elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, terdapat juga jenis elpiji lain yang tidak/belum siap untuk dikonsumsi langsung oleh masyarakat, sehingga harus dikecualikan dari pengenaan PPN;

bahwa berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas dokumen-dokumen dan gambar-gambar yang telah diserahkan serta penjelasan Pemohon Banding dalam persidangan terkait dengan proses penambangan sampai dengan pembuatan LPG oleh Pertamina, Majelis dapat meyakini bahwa proses fraksinasi gas bumi yang diambil langsung dari alam hingga menjadi gas propana dan butana, adalah sematamata proses “pengolahan lapangan” yang tidak berbeda halnya dengan proses gas bumi yang disalurkan melalui pipa, ataupun LNG dan CNG yang tetap merupakan gas bumi. Yang membedakan adalah kandungan dalam LPG adalah zat propana dan butana(C3 dan C4), sedangkan kandungan dalam gas bumi yang dialirkan melalui pipa adalah metana dan etana (C1 dan C2), begitu pula kandungan LNG;

bahwa selain itu, kegiatan pengolahan lapangan yang dilakukan di Wilayah Kerja Blok B masih dalam rangka kegiatan “eksploitasi migas”/kegiatan hulu sesuai Undang-Undang Migas Nomor 22/2001, dan tidak termasuk kegiatan pengolahan/pemurnian yang mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah gas bumi, dimana kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha yang memiliki izin usaha hilir migas;

bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan diketahui bahwa perbedaan antara gas propana dan butana yang diserahkan oleh Pemohon Banding dengan LPG. Yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat adalah sebagai berikut :

Jenis
Perbedaan
Gas Propana dan Butana yang
diserahkan oleh Pemohon
Banding
LPG yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat
Kondisi gas Masih berupa “refrigerated
gas” dengan temperatur
rendah (minus 400 F) dan
tekanan rendah (16psig),
sehingga Pertamina harus
menggunakan kapal tanker
khusus untuk mengambil
refrigerated gas dari Terminal
LPG dalam Fasilitas Produksi
di Lapangan lepas pantai
Belanak. Tentunya tidak
mungkin bagi masyarakat
untuk mengambil refrigerated
gas tersebut untuk langsung
dikonsumsi. (mohon lihat
Lampiran 2 yang menunjukkan
pengambilan gas dari Terminal
LPG ke Kapal Tanker
Pertamina).
LPG harus berada dalam
temperatur normal/ambien dengan
menggunakan tabung logam
khusus bertekanan sedang
(“pressurised gas”) agar tetap
dalam keadaan cair (tabung
biasanya diisi sebanyak 80-85%
untuk mengantisipasi ekspansi
panas, dimana volume gas
sebenarnya ketika menguap bisa
mencapai 250:1).
Komposisi gas Masih berdiri sendiri sebagai
gas propana dan gas butana
yang dialirkan secara terpisah
melalui pipa dan tanki yang
terpisah ke kapal tanker
Pertamina.
LPG sudah merupakan campuran
gas propana dan butana untuk
menyesuaikan dengan spesifikasi
yang diatur oleh Pemerintah
Zat bau Tidak memiliki bau Ditambahkan zat bau Etil atau Butil
Merkaptan sesuai spesifikasi yang
diatur oleh Pemerintah

bahwa mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0048 Tahun 2005 tentang Standar Mutu serta Pengawasan Bahan Bakar termasuk LPG yang dipasarkan di Dalam Negeri (selanjutnya disebut Permen ESDM-0048):

Pasal 2: “Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar Gas, LPG.. yang akan dipasarkan dan/atau diedarkan di dalam negeri wajib memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) yang ditetapkan”;

Pasal 3: “Dirjen menetapkan Standar dan Mutu (Spesifikasi) LPG yang yang dipasarkan dan/atau diedarkan didalam negeri”;

Pasal 7: “Badan Usaha wajib menarik dari peredaran dan/atau pemasaran terhadap… LPG yang tidak memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) yang ditetapkan”; dan

Pasal 8: “Terhadap Badan Usaha yang telah beroperasi… yang telah memperoleh Izin Usaha yang berkaitan dengan pemasaran dan atau peredaran … LPG… wajib menyesuaikan dengan ketentuan Peraturan Menteri ini”.

bahwa mengacu pada Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 26525.K/10/DJM.T/2009 (selanjutnya disebut KEP 26525), mengatur tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Gas jenis Liquefied Petroleum Gas yang dipasarkan di dalam negeri. Jenis LPG yang memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) sesuai Kep Dirjen inilah yang diproduksi oleh Pertamina dengan merek elpijiTM (begitu pula seharusnya LPG yang beredar di masyarakat lainnya yang disebutkan Terbanding seperti PT. RTY);

bahwa Pemohon Banding selaku kontraktor hulu usaha pertambangan migas tidak memiliki izin terkait serta tidak berhak untuk memproduksi LPG sesuai spesifikasi Keputusan Dirjen Migas untuk konsumsi langsung masyarakat dalam negeri;

bahwa berdasarkan fakta sebagaimana tersebut di atas, refrigerated gas yang diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina, berbeda dengan pressurised gas LPG yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat;

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas Majelis berpendapat, bahwa gas propana dan butana yang diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina, bukanlah merupakan jenis LPG/elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, sehingga sebagai gas bumi yang diambil langsung dari sumbernya, masih merupakan barang yang tidak dikenai PPN (non-BKP);

bahwa terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 252/PMK.011/2012,Tentang Gas Bumi Yang Termasuk Dalam Jenis Barang Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut PMK 252), yang dijadikan Terbanding acuan dalam sengketa ini, ternyata baru mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2012;

bahwa menurut Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (selanjutnya disebut Undang-Undang 12 Tahun 2011) Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, disebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang berlaku;

bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis berpendapat bahwa oleh karena PMK-252/2012 baru mulai berlaku 28 Desember 2012, sedangkan SKPKB yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan masa pajak Agustus tahun 2011, maka PMK-252 a quo tidak dapat diterapkan dalam sengketa ini;

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:

Pasal 69 ayat (1) alat bukti dapat berupa:
a. surat atau tulisan;
..... dst
d. pengakuan para pihak; dan/atau
e. pengetahuan Hakim, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya;

Pasal 74: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal.

Pasal 78: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";

Memori penjelasan pasal 78: "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan";

bahwa berdasarkan bukti-bukti, penjelasan para pihak dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Pemohon Banding sudah benar, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN Masa Pajak Agustus 2011 sebesar Rp7.597.527.656,00 tidak dapat dipertahankan;
Menimbang : Bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit Pajak;

bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi;

bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding, sehingga Dasar Pengenaan Pajak PPN Masa Pajak Agustus 2011 dihitung kembali menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak menurut Terbanding 7.597.527.656,00
Koreksi dibatalkan Majelis 7.597.527.656,00
Dasar Pengenaan Pajak menurut Majelis 0,00
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini
Memutuskan : Mengabulkan seluruhnya Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-3893/WPJ.07/2015 tanggal 19 Nopember 2015 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00042/207/11/081/14 tanggal 25 Agustus 2014 Masa Pajak Agustus 2011 sebagaimana telah dibetulkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 00230/WPJ.07/KP.1003/2015 tanggal 4 November 2015, atas nama ASD LTD. sehingga Jumlah PPN Yang Masih Harus Dibayar menjadi sebagai berikut :

Dasar Pengenaan Pajak 0,00
Pajak Pertambahan Nilai 0,00
Sanksi Administrasi : Bunga Pasal 13 ayat (2) KUP 0,00
Jumlah PPN Yang Masih Harus Dibayar 0,00

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2016 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Hakim Majelis IIIB dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

ABC, S.H., M.Kn. sebagai Hakim Ketua,
Dr. DEF, S.H., M.H., M.Si. sebagai Hakim Anggota,
GHI, S.E., S.H, M.M.,M.H.,C.Fr.A sebagai Hakim Anggota,
Dengan dibantu oleh
JKL, S.E., M.M.,

sebagai Panitera Pengganti

Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua Majelis IIIB pada hari Selasa tanggal 12 September 2017, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, namun tidak dihadiri baik oleh Pemohon Banding maupun oleh Terbanding.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA