Jenis
Pajak |
: |
PPN |
|
|
|
Tahun Pajak |
: |
2017 |
|
|
|
Pokok
Sengketa |
: |
Koreksi
Dasar Pengenaan Pajak Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak Agustus 2011
sebesar Rp7.597.527.656,00 |
|
|
|
|
|
|
Menurut Terbanding |
: |
1. |
Bahwa
bentuk sengketa antara Pemohon Banding dengan Terbanding adalah
sengketa bukti sekaligus penafsiran atau yuridis fiscal terkait dengan
pengenaan PPN atas penyerahan LPG atau elpiji. Menurut Terbanding
penyerahan LPG atau elpiji oleh Pemohon Banding terutang PPN sedangkan
menurut Pemohon Banding tidak terutang PPN; |
2. |
bahwa
berdasarkan Laporan Hasil Audit Tujuan Tertentu atas Kontrak Bagi
Hasil pada Kontraktor Kontrak Kerja Sama QWE Blok B oleh Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Tahun 2010 dan 2011,
diketahui bahwa selama tahun 2011 Pemohon Banding memproduksi sekaligus
melakukan lifting atas Minyak Mentah, Natural Gas, dan Liquid
Petroleum, Gas (LPG); |
3. |
bahwa
berdasarkan LHA BPKP tersebut di atas, jumlah lifting LPG Pemohon
Banding yang diserahkan kepada PT Pertamina selama tahun 2011 mencapai
USD10,052,964.15; |
4. |
bahwa
proses produksi LPG, baik Propana maupun Butana melalui proses
penyulingan, yakni pemisahan berbagai senyawa hidrokarbon yang terdapat
dari gas bumi dan membuang air, minyak, H2S, CO2, Mercury dan
kondensat, serta senyawa lainnya yang tidak diinginkan agar diperoleh
gas yang memenuhi standard dan kualitas untuk dikonsumsi. Proses
penyulingan atau fraksinasi menggunakan seperangkat alat yang terdiri
dari Generator, Ruang Kontrol, Hot Oil System, Dehydration Unit, Gas
Suction Scrubber, Feed Gas Compressor, Refrigerant Compressor,
Contactor, Fractination Tower, Kolam untuk system hidran. Adapun alat
penyimpanan meliputi: Tanki LPG, Tanki Kondensat yang digabung dengan
Minyak Oli, Tanki Propana dan Butana; |
5. |
bahwa
LPG yang diserahkan Pemohon Banding bukan lagi sebagai Natural
Gas, melainkan gas yang telah melalui serangkaian proses fraksinasi,
yaitu pemisahan dari berbagai gas bumi yang diambil dari alam, dan
sudah ditambah dengan unsur gas lain, seperti Gykol, dan tidak
dialirkan melalui pipa, buan LNG serta bukan CNG; |
6. |
bahwa
pada dasarnya LPG yang diserahkan Pemohon Banding sudah siap
untuk digunakan oleh masyarakat, baik sebagai bahan bakar alat dapur
(terutama kompor gas) untuk rumah, pusat perbelanjaan dan perhotelan,
bahan bakar kendaraan bermotor, maupun digunakan untuk industry
konstruksi seperti steel workshop sebagai bahan bakar las. Begitu juga
untuk Propana sebagai bahan bakar atau pengganti Freon yang lebih ramah
lingkungan. Adapun penambahan Ethyl Mercaptan untuk memberikan unsur
bau, demi keamanan dalam mengkonsumsi, pada dasarnya tidak merubah
substansi bahwa gas propana dan butana Pemohon Banding sudah siap
digunakan masyarakat; |
7. |
bahwa
berdasarkan ketentuan Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN, diatur
bahwa jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah
barang tertentu dalam kelompok barang adalah barang hasil pertambangan
atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; |
8. |
bahwa
berdasarkan memori penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf a UU PPN
dijelaskan bahwa barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang
diambil langsung dari sumbernya meliputi gas bumi, tidak termasuk gas
bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; |
9. |
bahwa
berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.011/2012 tentang Gas Bumi yang Termasuk Dalam Jenis Barang Yang
Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai, diatur bahwa cakupan gas bumi
yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi: gas bumi yang dialirkan melalui pipa; Liquified
Natural Gas (LNG); dan Compressed Natural Gas (CNG); |
10. |
bahwa
berdasarkan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2012 cq.
Permenkeu Nomor 213/PMK.011/2011 yang diterbitkan Kementerian Keuangan
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai menetapkan Gas Alam dalam bentuk cair
dan gas dikenakan bea masuk dan PPN; |
11. |
bahwa
berdasarkan uraian tersebut di atas, maka disimpulkan bahwa
pengenaan PPN atas penyerahan LPG telah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; |
12. |
bahwa
tanggapan atas alasan keberatan Pemohon Banding bahwa gas yang
diserahkan Pemohon Banding bukan elpiji dan kata
“elpiji” dalam UU PPN
merujuk produk PT Pertamina, adalah bahwa berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia diketahui bahwa kata el.pi.ji [n] merupakan ucapan
asing bentuk singkatan dari Liquified petroleum gas. Pengertian
tersebut juga sama dengan yang termuat dalam laman Wikipedia,
http://id.wikipedia.org/wiki/elpiji, yang menyebutkan bahwa elpiji
merupakan pelafalan bahasa Indonesia dari akronim bahasa inggris; LPG
(Liquified Petroleum Gas, harafiah: “gas minyak bumi yang
dicairkan”),
adalah campuran dari berbagai unsur hidrokarbon yang berasal dari gas
alam. Dengan menambah tekanan dan menurunkan suhunya, gas berubah
menjadi cair. Komponennya didominasi propana (C3H8) dan butana (C4H10).
Elpiji juga mengandung hidrokarbon ringan lain dalam jumlah kecil,
misalnya etana (C2H6) dan pentana (C5H12). Berdasarkan uraian tersebut
di atas, dapat disimpulkan bahwa antara elpiji dan LPG pada dasarnya
sama, yakni Liquified Petroleum Gas atau gas bumi yang berbentuk cair; |
13. |
bahwa
kata “elpiji” dalam penjelasan Pasal 4A Avat (2)
huruf a UU PPN,
bukanlah yang dimaksud adalah merek produk PT Pertamina, karena diatur
dalam UU bukan UU Pertamina. Kata “elpiji” dimaksud
merujuk pada LPG,
yaitu gas bumi yang berbentuk cair; |
14. |
bahwa
menurut spesifikasinya, elpiji dibagi menjadi tiga jenis yaitu
elpiji campuran, elpiji propana dan elpiji butana. Spesifikasi
masing-masing elpiji tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Minyak
dan Gas Bumi Nomor 25K/36/DDJM/1990. Elpiji yang dipasarkan Pertamina
adalah eipiji campuran; |
15. |
Pasal
1 ayat (1) Peraturan Menteri ESDM Nomor 28 Tahun 2008 mengatur
tentang Harga Jual Eceran LPG Tabung 3 Kilogram untuk Keperluan Rumah
Tangga dan Usaha Mikro, mengatur bahwa harga jual eceran LPG Tabung 3
Kilogram untuk rumah tangga dan usaha mikro pada titik serah Agen
termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan margin Agen ditetapkan
Rp12,750,00 (dua belas ribu tujuh ratus lima puluh rupiah). Dengan
demikian, dari sisi bahasa antara “LPG” maupun
“elpiji” tidak ada
perbedaan. Keduanya merupakan kata untuk produk yang sama; |
16. |
bahwa
berdasarkan uraian tersebut di atas, maka gas yang diserahkan
Pemohon Banding kepada PT Pertamina merupakan elpiji atau LPG, yaitu
gas bumi yang berbentuk cair. Terkait alasan Pemohon Banding bahwa kata
elpiji dengan LPG berbeda, menurut Terbanding, Pemohon Banding
menyempitkan makna suatu kata, dan itu bertentangan dengan pengertian
berdasarkan kamus Bahasa Indonesia yang diakui secara umum; |
17. |
bahwa
tanggapan atas alasan keberatan Pemohon Banding bahwa Gas yang
diserahkan tidak siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, adalah bahwa
gas yang diserahkan Pemohon Banding terdiri dari propana dan butana,
baik terpisah maupun menyatu, merupakan gas hasil proses fraksinasi
pemisahan gas dari berbagai unsur gas alam dan penambahan sejumlah
senyawa, dengan serangkaian proses produksi yang akhirnya menghasilkan
gas propana dan butana, sehingga bukan lagi sebagai gas alam (natural
gas), dan sudah aman dikonsumsi karena bebas dari senyawa yang
berbahaya seperti mercury, dengan demikian pada dasarnya siap untuk
dikonsumsi oleh masyarakat. Pengertian “siap dikonsumsi
langsung oleh
masyarakat” adalah dalam arti luas baik dikonsumsi oleh
masyarakat
rumah tangga maupun masyarakat perusahaan. Sebagai contoh, dalam Gas
Business perusahaan K3S yang lain, gas yang dialirkan selain dapat
diolah menjadi LNG & LPG juga bisa langsung dikonsumsi oleh
perusahaan dalam negeri dalam rangka menghasilkan produk berupa pupuk,
pemanfaatan listrik, dll. Selain itu pemeriksa berpendapat bahwa LPG
yang dihasilkan tidak dipilah-pilah berdasarkan kegiatan usaha hulu
maupun hilir sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2001, termasuk (sebagaimana pendapat Pemohon Banding) harus
melalui 4 tahap kegiatan usaha hilir, yakni pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan dan niaga, akan tetapi lebih kepada apakah LPG (elpiji)
tersebut merupakan Barang Pajak atau bukan sesuai peraturan perundangan
yang berlaku. Adapun penambahan Ethyl Mercaptan untuk memberikan unsur
bau, demi keamanan dalam mengkonsmi, pada dasarnya tidak merubah
subtansi bahwa gas propana dan butana Pemohon Banding sudah siap
digunakan masyarakat; |
18. |
bahwa
tanggapan atas alasan keberatan Pemohon Banding bahwa Pemohon
Banding bukan subjek pajak yang Wajib memungut, melapor dan menyetor
PPN, adalah Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009, UU PPN,
menyatakan bahwa Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kera Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini. Oleh karena itu
disimpulkan bahwa dalam peraturan ini tidak membedakan Pengusaha yang
sudah dikukuhkan maupun belum/tidak dikukuhkan sebagai PKP. Berdasarkan
pertimbangan dasar hukum di atas, maka Terbanding menyimpulkan bahwa
Pemohon Banding telah memenuhi syarat subjektif, K3S adalah pengusaha
yang melakukan penyerahan BKP, dan K3S tidak termasuk kriteria
pengusaha kecil. Oleh karena itu, koreksi Pemeriksa telah sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku; |
19. |
bahwa
berdasarkan invoice nomor 04/CPCL/II/2011 tertanggal 24 Februari
2011 dan LHA BPKP, diketahui bahwa nilai transaksi penyerahan LPG yang
terjadi lebih besar, yakni mencapai USD10,052,964.15. Oleh karena itu
disimpulkan bahwa terdapat nilai penyerahan yang belum dikenakan PPN; |
20. |
bahwa
berdasarkan Pasal 1 angka 1 Keputusan Menteri Keuangan Republik
Indonesia Nomor 1529/KM.1/2011 tentang Nilai Kurs Sebagai Dasar
Pelunasan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Ekspor, Dan Pajak Penghasilan Yang
Berlaku Untuk Tanggal 26 Desember 2011 Sampai Dengan 01 Januari 2012,
diketahui bahwa nilai kurs sebagai Dasar Pelunasan Bea Masuk, Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, Pajak Ekspor, dan Pajak Penghasilan yang berlaku untuk tanggal
26 Desember 2011 sampai dengan 01 Januari 2012, ditetapkan sebesar
Rp9.069,00 untuk Dolar Amerika Serikat (USD) 1.-; |
21. |
bahwa
adapun perhitungan per masa, khusus koreksi DPP PPN Masa Pajak
Agustus 2011 sebesar Rp7.597.527.656,00, dengan jumlah PPN yang masih
harus dibayar sebesar Rp1.124.434.094,00; |
No |
Masa |
Jumlah
Menurut |
Selisih |
Pemohon
Banding
(Rp) |
Terbanding
(Rp) |
1 |
Januari |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
2 |
Februari |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
3 |
Maret |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
4 |
April |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
5 |
Mei |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
6 |
Juni |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
7 |
Juli |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
8 |
Agustus |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
9 |
September |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
10 |
Oktober |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
11 |
November |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
12 |
Desember |
0,00 |
7.597.527.656,00 |
7.597.527.656,00 |
Jumlah |
0,00 |
91.170.331.876,00 |
91.170.331.876,00 |
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, keberatan Pemohon Banding
ditolak, dan mempertahankan koreksi DPP PPN Masa Pajak Januari s.d
Desember 2011 sebesar Rp91.170.331.876,00; |
|
|
|
Menurut Pemohon
Banding |
: |
I. |
LPG
yang diproduksi oleh Pemohon Banding ditambang/diambil langsung
dari sumbernya berdasarkan Kontrak Kerja Sama
(“KKS”) Perusahaan Hulu
Migas |
|
|
1. |
bahwa
LPG merupakan istilah umum dalam industri migas untuk Propana dan
Butana. Dalam kasus Pemohon Banding, Propana dan Butana tersebut
diproduksi langsung dari kegiatan pertambangan migas berdasarkan KKS
Blok B, sebagaimana halnya kegiatan pertambangan migas lainnya.
Berdasarkan KKS Blok B, Pemohon Banding hanya memiliki izin untuk
memproduksi/memperoleh gas bumi yang ditambang/diambil langsung dari
sumbernya, yakni dari sumur-sumur yang berada dalam Wilayah Kerja
Pertambangan KKS Blok B; |
2. |
bahwa
gas bumi yang diambil langsung oleh Pemohon Banding merupakan
campuran dari beberapa gas (dan kondensat) termasuk propana dan butana,
dengan gas utama berupa methana (yang dijual sebagai gas bumi). Setelah
diambil langsung dari sumbernya, gas bumi tentunya membutuhkan proses
untuk memungkinkan transportasi gas tersebut kepada pembeli
(Pertamina). Proses ini pada dasarnya adalah untuk memisahkan methana
dari gas (dan kondensat) lainnya. Pemohon Banding memisahkan propana
dan butana di dalam fasilitas hulu yang berada di Blok B yang hasilnya
kemudian disimpan dalam tangki yang terpisah untuk selanjutnya
ditransportasikan oleh Pertamina; |
3. |
bahwa
hingga tahap ini, LPG yang diproduksi dan diserahkan kepada
Pertamina masih merupakan “gas bumi”, dan belum
dapat diklasifikasikan
sebagai “elpiji” yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat (lihat
poin II dibawah); |
4. |
bahwa
aktivitas “pengolahan” yang dilakukan oleh Pemohon
Banding
hanyalah sebatas “proses lapangan” dimana aktivitas
ini masih termasuk
ke dalam kegiatan eksploitasi sebagaimana termasuk dalam aktivitas hulu
migas berdasarkan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011
tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Migas”):
“Eksploitasi adalah
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas
Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran
dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan,
dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di
lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya”; |
5. |
bahwa
sedangkan, Pasal 1 butir 11 UU Migas menyatakan bahwa:
“Pengolahan
adalah kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi
mutu, dan mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi,
tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan”; |
6. |
bahwa
dalam hal ini, “pengolahan lapangan” tidak sama
dengan
“penyulingan”, dimana proses penyulingan hanya
dapat dilakukan oleh
perusahaan yang memiliki izin pengusahaan hilir migas; |
7. |
bahwa
LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding kepada
Pertamina semata-mata merupakan hasil dari “proses pengolahan
lapangan”, oleh karenanya masih merupakan gas bumi yang
ditambang/diambil langsung dari sumbernya, sehingga tidak terutang PPN
berdasarkan Pasal 4A ayat 2 (a) UU PPN; |
|
|
II. |
LPG
yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding belum siap untuk
dikonsumsi langsung oleh masyarakat |
|
|
8. |
bahwa
Pemohon Banding memahami bahwa, walaupun diambil langsung dari
sumbernya, gas bumi tertentu dengan jelas dinyatakan sebagai Barang
Kena Pajak, termasuk “elpiji yang siap dikonsumsi langsung
oleh
masyarakat”. Hal ini berdasarkan Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN
dan
Penjelasannya; |
9. |
bahwa
namun demikian, dalam kasus ini, Terbanding salah mengartikan
bahwa LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon Banding kepada
Pertamina sama dengan “elpiji yang siap dikonsumsi langsung
oleh
masyarakat”; |
10. |
bahwa
sebagaimana telah Pemohon Banding jelaskan selama proses
pemeriksaan dan keberatan kepada Terbanding bahwa LPG yang diproduksi
dan diserahkan Pemohon Banding kepada Pertamina belum siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat. Bersama ini Pemohon Banding lampirkan proses
yang dilakukan oleh Pertamina untuk mengubah propana dan butana untuk
menjadi Elpiji™ (merk dagang atas produk Pertamina) (Lampiran
6),
meliputi beberapa tahap berikut ini:
a) |
Propana
dan Butana dimasukkan secara terpisah dan dikirim FOB Terminal LPG ke
kapal tanker Pertamina; |
b) |
kapal
tanker Pertamina mengangkut Propana dan Butana ke fasilitas
terminal di darat atau ke fasilitas Floating Storage Offloading (FSO),
dimana Propana dan Butana dicampur sesuai dengan persyaratan khusus
pasar Indonesia sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal
Minyak dan Gas Bumi (“Dirjen Migas”) Nomor
26525.K/10/DJM.T/2009
(Lampiran 7). Zat Ethyl Mercaptan juga ditambahkan dalam proses ini
sehingga kebocoran dapat dengan mudah dideteksi untuk menghindari
bahaya kebakaran, ledakan, sesak nafas, dsb sehingga aman untuk
digunakan oleh masyarakat; |
c) |
Elpiji™
yang sudah dirubah tersebut dikirim ke Depot Elpiji™
Pertamina
yang melakukan perubahan tekanan, untuk kemudian dipindahkan ke tabung
elpiji dan disalurkan oleh truk-truk tanker Pertamina; |
d) |
truk
tangki Pertamina kemudian mengirimkan elpiji tersebut ke stasiun
pengisian bahan bakar gas; |
e) |
melalui
agen Pertamina, elpiji dijual/disalurkan secara langsung ke (a)
Pangkalan, (b) Pengecer elpiji, atau (c) Masyarakat; |
|
11. |
bahwa
berdasarkan hal di atas, dapat disimpulkan bahwa LPG yang
diserahkan oleh Pemohon Banding ke Pertamina jelas belum
“siap untuk
dikonsumsi langsung oleh masyarakat”. Dengan demikian
seharusnya LPG
tersebut tidak diklasifikasikan sebagai BKP berdasarkan Pasal 4A ayat
2(a) UU PPN; |
|
|
III. |
Terbanding
telah memberikan penjelasan bahwa LPG yang dikenakan PPN
terbatas pada LPG dalam silinder yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat (dan sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan oleh Dirjen
Migas) |
|
|
12. |
bahwa
Terbanding merujuk kepada Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 yang terbit dan berlaku
efektif sejak 28 Desember 2012; |
13. |
bahwa
jika Terbanding menerapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012 secara konsisten, maka
seharusnya Terbanding juga mempertimbangkan Surat Direktur Perpajakan I
dari pihak Terbanding yakni Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12
November 2014 (“S-1024”) yang ditujukan kepada
Kepala KPP Migas
sebagaimana terlampir (Lampiran 8). Dalam Surat tersebut, Terbanding
memberikan klarifikasi mengenai perlakuan PPN terhadap penyerahan LPG
berdasarkan Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN dan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012; |
14. |
bahwa
menurut Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014
Terbanding menegaskan bahwa:
Gas Bumi yang dikenai PPN (BKP) adalah Liquefied Petroleum Gas (LPG)
dalam tabung yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
LPG
dalam tabung yang siap dikonsumsi oleh masyarakat dapat mengacu pada
Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor
26525.K/10/DJM.T/2009; |
15. |
bahwa
berdasarkan klarifikasi tersebut, sudah sangat jelas bahwa
interpretasi yang benar sehubungan dengan perlakuan PPN atas penyerahan
LPG adalah, hanya LPG dalam silinder yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat yang memenuhi kriteria berdasarkan Keputusan Dirjen Migas
No. 26525 yang merupakan objek PPN. Contohnya adalah LPG yang dijual
oleh Pertamina yang dikenal sebagai Elpiji™; |
16. |
bahwa
mengingat Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014
memberikan penegasan atas interpretasi Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN yang
diterbitkan dan berlaku efektif sejak April 2010, interpretasi ini
seharusnya dapat diterapkan pada kasus ini; |
17. |
bahwa
oleh karena itu, LPG yang diproduksi dan diserahkan oleh Pemohon
Banding kepada Pertamina, yang belum siap untuk dikonsumsi langsung
oleh masyarakat dan belum memenuhi spesifikasi yang diterapkan oleh
Dirjen Migas, tidak dapat dinyatakan sebagai BKP; |
|
|
IV. |
Pemohon
Banding tidak memenuhi Persyaratan Subyektif sebagai Pengusaha Kena
Pajak berdasarkan UU PPN |
|
|
18. |
bahwa
mengingat LPG yang diserahkan Pemohon Banding kepada Pertamina
bukan merupakan BKP, maka Pemohon Banding tidak dapat dianggap dan
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; |
19. |
bahwa
perlu Pemohon Banding tekankan bahwa kasus ini seharusnya tidak
dianggap sebagai hal yang tidak lazim. Dapat Pemohon Banding sampaikan
bahwa, sebagai Kontraktor KKS, Pemohon Banding tidak dapat melakukan
kegiatan operasi yang “menambah nilai” atas barang
yang diserahkan
(setidaknya dalam konteks UU PPN). Hal ini mengingat bahwa berdasarkan
Pasal 5 UU Migas, aktivitas usaha Migas dibagi menjadi aktivitas hulu
(meliputi kegiatan eksplorasi dan eksploitasi) dan aktivitas hilir
(meliputi pengolahan, perhubungan, penyimpanan dan perdagangan).
Tidak
ada kegiatan hulu migas yang dapat “menambah nilai”
dalam konteks PPN,
sedangkan untuk aktivitas yang dikategorikan sebagai kegiatan usaha
migas hilir, Pemohon Banding tidak memiliki izin kontraktual untuk
melakukannya; |
20. |
bahwa
sejauh pemahaman Pemohon Banding, tidak ada Wajib Pajak
Kontraktor KKS lainnya yang melakukan kegiatan usaha hulu berdasarkan
KKS, yang diharuskan atau berhak untuk dikukuhkan, sebagai PKP. Menurut
Pemohon Banding, hal ini merupakan landasan pokok perlakuan PPN yang
telah diakui selama lebih dari 40 tahun sejak kegiatan hulu migas
berdasarkan KKS dilakukan di Indonesia; |
|
|
|
|
Menurut Majelis |
: |
Bahwa
berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding dan
keterangan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi
sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan koreksi Terbanding
atas nilai Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai Masa
Pajak Agustus 2011 sebesar Rp7.597.527.656,00 yang tidak disetujui oleh
Pemohon Banding;
bahwa menurut Terbanding, terdapat penyerahan
BKP berupa Liquefied Petroleum Gas (“LPG”) dari
Pemohon Banding kepada
Pertamina yang seharusnya terutang PPN;
bahwa proses produksi
LPG, baik propana (C3H8) maupun butana (C4H10) melalui proses
penyulingan yakni pemisahan berbagai senyawa hidrokarbon yang terdapat
dari gas bumi dan membuang air, minyak, H2S, CO2. Mercury dan
kondensat, serta senyawa lainnya yang tidak diinginkan agar diperoleh
gas yang memenuhi standard dan kualitas untuk dikonsumsi;
bahwa
LPG yang diserahkan Pemohon Banding bukan lagi sebagai Natural Gas,
melainkan gas yang telah melalui serangkaian proses fraksinasi, yaitu
pemisahan dari berbagai gas bumi yang diambil dari alam, dan sudah
ditambah dengan unsur lain, seperti Gykol, dan tidak dialirkan melalui
pipa, bukan LNG serta bukan CNG;
bahwa apabila Propana (C3H8)
dan Butana (C4H10) akan dikirim melalui tabung, maka gas tersebut
dicairkan dengan cara diberi tekanan sebesar 22 bar, ini yang disebut
Elpiji atau LPG (Liquefied Petroleum Gas). Proses pencairan atau
pemberian tekanan lebih besar dari tekanan atmosfer adalah untuk
efisiensi pengiriman karena dengan cara tersebut jumlah volume gas yang
terkirim lebih banyak;
bahwa dengan demikian yang dimaksud
dengan LPG adalah gas bumi Propana (C3H8) dan Butana (C4H10) yang
dicairkan. Sebaliknya apabila gas bumi Propana (C3H8) dan Butana
(C4H10) belum dicairkan maka gas bumi tersebut bukan elpiji (LPG)
melainkan gas alam (natural gas);
bahwa gas alam akan menjadi
cair (LPG) apabila gas tersebut berada di tabung. Hal ini di dasarkan
pada keadaan dalam kondisi atmosfer, elpiji akan berbentuk gas;
bahwa
elpiji yang dimaksud pada ketentuan perpajakan yang berlaku bukan
menunjuk pada LPG yang dijual Pertamina dengan merk elpiji, karena LPG
yang dijual selain pertamina terdapat juga LPG dengan merk blue gaz
yang dijual oleh PT. BGI;
bahwa berdasarkan bahwa berdasarkan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang
Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut
dengan UU.PPN) :
Pasal 4A ayat (2): Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang
tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. |
barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya;
Penjelasan Pasal 4A ayat (2) huruf a:
Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya meliputi: |
b. |
Gas
bumi, tidak termasuk gas bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat”; |
bahwa
untuk dapat lebih memahami kalimat gas bumi seperti elpiji yang siap
dikonsumsi langsung oleh masyarakat, maka kalimat tersebut akan menjadi
lebih dimengerti jika struktur kalimatnya diubah menjadi sebagai
berikut: tidak termasuk gas bumi yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat, seperti elpiji;
bahwa dengan demikian yang namanya elpiji (LPG) merupakan gas bumi yang
siap dikonsumsi;
bahwa
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal
28 Desember 2012 (selanjutnya disebut PMK-252) tentang Gas Bumi yang
Termasuk Dalam Jenis Barang Yang Tidak dikenai PPN meliputi gas bumi
yang dialirkan melalui pipa, LNG dan CNG;
bahwa berdasarkan Buku
Tarif Kepabeanan Indonesia Tahun 2012 cq. Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.011/2011 yang diterbitkan Kementerian Keuangan Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai menetapkan Gas Bumi dalam bentuk cair dan gas
dikenakan bea masuk dan PPN;
bahwa dengan demikian, apabila gas
bumi baik itu gas yang komponennya bertipe Propana, Butana, Metana
maupun Etana yang dialirkan melalui pipa, maka gas bumi tersebut bukan
barang kena pajak, sedangkan apabila gas bumi dikirim dengan cara
dicairkan dalam tabung (tanki, silinder) sehingga gas bersebut menjadi
gas LPG, LNG dan dikompres menjadi CNG maka yang bukan barang kena
pajak adalah jenis gas LNG dan CNG sedangkan jenis LPG merupakan barang
kena pajak;
bahwa menurut Pemohon Banding, LPG yang diproduksi
oleh Pemohon Banding ditambang/diambil langsung dari sumbernya
berdasarkan Kontrak Kerja Sama (“KKS”) Perusahaan
Hulu Migas;
bahwa
LPG merupakan istilah umum dalam industri migas untuk Propana dan
Butana, dalam kasus Pemohon Banding, Propana dan Butana tersebut
diproduksi langsung dari kegiatan pertambangan migas berdasarkan KKS
Blok B, sebagaimana halnya kegiatan pertambangan migas lainnya.
Berdasarkan KKS Blok B, Pemohon Banding hanya memiliki izin untuk
memproduksi/memperoleh gas bumi yang ditambang/diambil langsung dari
sumbernya, yakni dari sumur-sumur yang berada dalam Wilayah Kerja
Pertambangan KKS Blok B;
bahwa Gas bumi yang diambil langsung
oleh Pemohon Banding merupakan campuran dari beberapa gas (dan
kondensat) termasuk propana dan butana, dengan gas utama berupa methana
(yang dijual sebagai gas bumi). Setelah diambil langsung dari
sumbernya, gas bumi tentunya membutuhkan proses untuk memungkinkan
transportasi gas tersebut kepada pembeli (Pertamina). Proses ini pada
dasarnya adalah untuk memisahkan methana dari gas (dan kondensat)
lainnya. Pemohon Banding memisahkan propana dan butana di dalam
fasilitas hulu yang berada di Blok B yang hasilnya kemudian disimpan
dalam tangki yang terpisah untuk selanjutnya ditransportasikan oleh
Pertamina;
bahwa hingga tahap ini, LPG yang diproduksi dan
diserahkan kepada Pertamina masih merupakan “gas bumi, dan
belum dapat
diklasifikasikan sebagai “elpiji” yang siap
dikonsumsi langsung oleh
masyarakat;
bahwa aktivitas “pengolahan” yang dilakukan oleh
Pemohon Banding hanyalah sebatas “proses lapangan”
dimana aktivitas ini
masih termasuk ke dalam kegiatan eksploitasi sebagaimana termasuk dalam
aktivitas hulu migas berdasarkan Pasal 1 butir 9 Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU
Migas”): Eksploitasi adalah
rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas
Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran
dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan,
dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di
lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya”;
sedangkan,
Pasal 1 butir 11 UU Migas menyatakan bahwa : Pengolahan adalah kegiatan
memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan
mempertinggi nilai tambah Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi, tetapi tidak
termasuk pengolahan lapangan”;
bahwa dalam hal ini, “pengolahan
lapangan” tidak sama dengan
“penyulingan”, dimana proses penyulingan
hanya dapat dilakukan oleh perusahaan yang memiliki izin pengusahaan
hilir migas;
bahwa menurut Pemohon Banding, jika Terbanding
menerapkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 252/PMK.011/2012 tanggal 28
Desember 2012 secara konsisten, maka seharusnya Terbanding juga
mempertimbangkan Surat Direktur Perpajakan I dari pihak Terbanding
yakni Surat Nomor S-1024/PJ.02/2014 tanggal 12 November 2014
(selanjutnya disebut S-1024) yang ditujukan kepada Kepala KPP Migas
sebagaimana terlampir. Dalam surat tersebut, Terbanding memberikan
klarifikasi mengenai perlakuan PPN terhadap penyerahan LPG berdasarkan
Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
252/PMK.011/2012 tanggal 28 Desember 2012;
bahwa menurut S-1024/PJ.02/2014 Terbanding menegaskan bahwa:
a. |
Gas
Bumi yang dikenai PPN (BKP) adalah Liquefied Petroleum Gas (LPG) dalam
tabung yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat; |
b. |
LPG
dalam tabung yang siap dikonsumsi oleh masyarakat dapat mengacu pada
Keputusan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor
26525.K/10/DJM.T/2009; |
bahwa berdasarkan klarifikasi tersebut,
sudah sangat jelas bahwa interpretasi yang benar sehubungan dengan
perlakuan PPN atas penyerahan LPG adalah, hanya LPG dalam silinder yang
siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat yang memenuhi kriteria
berdasarkan Keputusan Dirjen Migas Nomor 26525 yang merupakan objek
PPN. Contohnya adalah LPG yang dijual oleh Pertamina yang dikenal
sebagai Elpiji™;
bahwa mengingat S-1024 memberikan penegasan
atas interpretasi Pasal 4A ayat 2(a) UU PPN yang diterbitkan dan
berlaku efektif sejak April 2010, interpretasi ini seharusnya dapat
diterapkan pada kasus ini;
bahwa berdasarkan penjelasan para
pihak dalam persidangan, diketahui bahwa pada dasarnya yang menjadi
sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan penyerahan Liquefied
Petroleum Gas (“LPG”) dari Pemohon Banding kepada
Pertamina apakah
merupakan jenis barang yang tidak dikenai PPN atau tidak;
bahwa
menurut Majelis, pada dasarnya dalam UU PPN. Pasal 4A ayat (2) dan
penjelasannya sebagaimana tersebut di atas, mengatur bahwa Jenis barang
hasil pertambangan yang tidak dikenai PPN adalah barang hasil
pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari
sumbernya, yang meliputi Gas bumi, tidak termasuk gas bumi seperti
elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat”;
bahwa
berdasarkan fakta dalam persidangan diketahui bahwa gas bumi yang
diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina, merupakan hasil
pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, dimana Pemohon Banding
merupakan Kontraktor dari Kontrak Kerja Sama South Natuna Sea Block B
yang melakukan kegiatan penambangan gas bumi di sumur-sumur dalam
Wilayah Kerja Blok B tepatnya di lapangan Belanak offshore, dengan
menggunakan fasilitas Belanak FPSO (Floating Production Storage and
Offloading) untuk dapat memperoleh gas propana dan butana yang kemudian
Pemohon Banding serahkan kepada Pertamina;
bahwa terkait dengan
pengertian “yang tidak dikenai PPN adalah Gas bumi, tidak
termasuk gas
bumi seperti elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh
masyarakat”
sebagaimana dimaksud Pasal 4 A ayat (2) huruf a a quo, Majelis
berpendapat, bahwa kalimat tersebut mempunyai makna bahwa di samping
terdapat elpiji yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat, terdapat
juga jenis elpiji lain yang tidak/belum siap untuk dikonsumsi langsung
oleh masyarakat, sehingga harus dikecualikan dari pengenaan PPN;
bahwa
berdasarkan pemeriksaan dan penilaian Majelis atas dokumen-dokumen dan
gambar-gambar yang telah diserahkan serta penjelasan Pemohon Banding
dalam persidangan terkait dengan proses penambangan sampai dengan
pembuatan LPG oleh Pertamina, Majelis dapat meyakini bahwa proses
fraksinasi gas bumi yang diambil langsung dari alam hingga menjadi gas
propana dan butana, adalah sematamata proses “pengolahan
lapangan” yang
tidak berbeda halnya dengan proses gas bumi yang disalurkan melalui
pipa, ataupun LNG dan CNG yang tetap merupakan gas bumi. Yang
membedakan adalah kandungan dalam LPG adalah zat propana dan butana(C3
dan C4), sedangkan kandungan dalam gas bumi yang dialirkan melalui pipa
adalah metana dan etana (C1 dan C2), begitu pula kandungan LNG;
bahwa
selain itu, kegiatan pengolahan lapangan yang dilakukan di Wilayah
Kerja Blok B masih dalam rangka kegiatan “eksploitasi
migas”/kegiatan
hulu sesuai Undang-Undang Migas Nomor 22/2001, dan tidak termasuk
kegiatan pengolahan/pemurnian yang mempertinggi mutu, dan mempertinggi
nilai tambah gas bumi, dimana kegiatan ini hanya dapat dilakukan oleh
Badan Usaha yang memiliki izin usaha hilir migas;
bahwa
berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan diketahui bahwa
perbedaan antara gas propana dan butana yang diserahkan oleh Pemohon
Banding dengan LPG. Yang siap dikonsumsi langsung oleh masyarakat
adalah sebagai berikut :
Jenis
Perbedaan |
Gas Propana
dan Butana yang
diserahkan oleh Pemohon
Banding |
LPG yang siap
dikonsumsi
langsung oleh masyarakat |
Kondisi gas |
Masih berupa
“refrigerated
gas” dengan temperatur
rendah (minus 400 F) dan
tekanan rendah (16psig),
sehingga Pertamina harus
menggunakan kapal tanker
khusus untuk mengambil
refrigerated gas dari Terminal
LPG dalam Fasilitas Produksi
di Lapangan lepas pantai
Belanak. Tentunya tidak
mungkin bagi masyarakat
untuk mengambil refrigerated
gas tersebut untuk langsung
dikonsumsi. (mohon lihat
Lampiran 2 yang menunjukkan
pengambilan gas dari Terminal
LPG ke Kapal Tanker
Pertamina). |
LPG harus
berada dalam
temperatur normal/ambien dengan
menggunakan tabung logam
khusus bertekanan sedang
(“pressurised gas”) agar tetap
dalam keadaan cair (tabung
biasanya diisi sebanyak 80-85%
untuk mengantisipasi ekspansi
panas, dimana volume gas
sebenarnya ketika menguap bisa
mencapai 250:1). |
Komposisi gas |
Masih berdiri
sendiri sebagai
gas propana dan gas butana
yang dialirkan secara terpisah
melalui pipa dan tanki yang
terpisah ke kapal tanker
Pertamina. |
LPG sudah
merupakan campuran
gas propana dan butana untuk
menyesuaikan dengan spesifikasi
yang diatur oleh Pemerintah |
Zat bau |
Tidak
memiliki bau |
Ditambahkan
zat bau Etil atau Butil
Merkaptan sesuai spesifikasi yang
diatur oleh Pemerintah |
bahwa
mengacu pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor
0048 Tahun 2005 tentang Standar Mutu serta Pengawasan Bahan Bakar
termasuk LPG yang dipasarkan di Dalam Negeri (selanjutnya disebut
Permen ESDM-0048):
Pasal 2: “Bahan Bakar Minyak, Bahan Bakar
Gas, LPG.. yang akan dipasarkan dan/atau diedarkan di dalam negeri
wajib memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) yang
ditetapkan”;
Pasal 3: “Dirjen menetapkan Standar dan Mutu (Spesifikasi)
LPG yang yang dipasarkan dan/atau diedarkan didalam negeri”;
Pasal
7: “Badan Usaha wajib menarik dari peredaran dan/atau
pemasaran
terhadap… LPG yang tidak memenuhi standar dan mutu
(spesifikasi) yang
ditetapkan”; dan
Pasal 8: “Terhadap Badan Usaha yang telah
beroperasi… yang telah memperoleh Izin Usaha yang berkaitan
dengan
pemasaran dan atau peredaran … LPG… wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
Peraturan Menteri ini”.
bahwa mengacu pada Keputusan Direktur
Jenderal Minyak dan Gas Bumi Nomor 26525.K/10/DJM.T/2009 (selanjutnya
disebut KEP 26525), mengatur tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi)
Bahan Bakar Gas jenis Liquefied Petroleum Gas yang dipasarkan di dalam
negeri. Jenis LPG yang memenuhi standar dan mutu (spesifikasi) sesuai
Kep Dirjen inilah yang diproduksi oleh Pertamina dengan merek elpijiTM
(begitu pula seharusnya LPG yang beredar di masyarakat lainnya yang
disebutkan Terbanding seperti PT. RTY);
bahwa Pemohon Banding
selaku kontraktor hulu usaha pertambangan migas tidak memiliki izin
terkait serta tidak berhak untuk memproduksi LPG sesuai spesifikasi
Keputusan Dirjen Migas untuk konsumsi langsung masyarakat dalam negeri;
bahwa
berdasarkan fakta sebagaimana tersebut di atas, refrigerated gas yang
diserahkan oleh Pemohon Banding kepada Pertamina, berbeda dengan
pressurised gas LPG yang dapat dikonsumsi langsung oleh masyarakat;
bahwa
berdasarkan hal-hal tersebut di atas Majelis berpendapat, bahwa gas
propana dan butana yang diserahkan oleh Pemohon Banding kepada
Pertamina, bukanlah merupakan jenis LPG/elpiji yang siap dikonsumsi
langsung oleh masyarakat, sehingga sebagai gas bumi yang diambil
langsung dari sumbernya, masih merupakan barang yang tidak dikenai PPN
(non-BKP);
bahwa terkait dengan Peraturan Menteri Keuangan
Republik Indonesia Nomor 252/PMK.011/2012,Tentang Gas Bumi Yang
Termasuk Dalam Jenis Barang Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai
(selanjutnya disebut PMK 252), yang dijadikan Terbanding acuan dalam
sengketa ini, ternyata baru mulai berlaku pada tanggal 28 Desember 2012;
bahwa
menurut Pasal 87 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 (selanjutnya disebut
Undang-Undang 12 Tahun 2011) Tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, disebutkan bahwa Peraturan Perundang-undangan mulai
berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan,
kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku;
bahwa berdasarkan hal tersebut Majelis berpendapat
bahwa oleh karena PMK-252/2012 baru mulai berlaku 28 Desember 2012,
sedangkan SKPKB yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait
dengan masa pajak Agustus tahun 2011, maka PMK-252 a quo tidak dapat
diterapkan dalam sengketa ini;
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak:
Pasal 69 ayat (1) alat bukti dapat berupa:
a. |
surat
atau tulisan;
..... dst |
d. |
pengakuan
para pihak; dan/atau |
e. |
pengetahuan
Hakim, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui
dan diyakini kebenarannya; |
Pasal
74: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim
Tunggal.
Pasal 78: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan
hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan
keyakinan Hakim";
Memori penjelasan pasal 78: "Keyakinan Hakim
didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan perpajakan";
bahwa berdasarkan bukti-bukti,
penjelasan para pihak dan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di
atas, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Pemohon
Banding sudah benar, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa koreksi
Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN Masa Pajak Agustus 2011
sebesar Rp7.597.527.656,00 tidak dapat dipertahankan; |
|
|
|
Menimbang |
: |
Bahwa
dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kredit
Pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai
Sanksi Administrasi;
bahwa
atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk
mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding, sehingga Dasar
Pengenaan Pajak PPN Masa Pajak Agustus 2011 dihitung kembali menjadi
sebagai berikut :
Dasar
Pengenaan Pajak menurut Terbanding |
7.597.527.656,00 |
Koreksi
dibatalkan Majelis |
7.597.527.656,00 |
Dasar
Pengenaan Pajak menurut Majelis |
0,00 |
|
|
|
|
Mengingat |
: |
Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan
ketentuan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini
|
|
|
|
Memutuskan |
: |
Mengabulkan
seluruhnya Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-3893/WPJ.07/2015 tanggal 19 Nopember
2015 tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00042/207/11/081/14 tanggal 25
Agustus 2014 Masa Pajak Agustus 2011 sebagaimana telah dibetulkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
00230/WPJ.07/KP.1003/2015 tanggal 4 November 2015, atas nama ASD LTD.
sehingga Jumlah PPN Yang Masih Harus Dibayar menjadi sebagai berikut :
Dasar
Pengenaan Pajak |
0,00 |
Pajak
Pertambahan Nilai |
0,00 |
Sanksi
Administrasi : Bunga Pasal 13 ayat (2) KUP |
0,00 |
Jumlah
PPN Yang Masih Harus Dibayar |
0,00 |
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan
dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 6 Desember 2016
oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Hakim Majelis
IIIB dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
ABC,
S.H., M.Kn. |
sebagai
Hakim Ketua, |
Dr.
DEF, S.H., M.H., M.Si. |
sebagai
Hakim Anggota, |
GHI,
S.E., S.H, M.M.,M.H.,C.Fr.A |
sebagai
Hakim Anggota, |
Dengan
dibantu oleh
JKL, S.E., M.M., |
sebagai Panitera Pengganti |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua
Majelis IIIB pada hari Selasa tanggal 12 September 2017, dengan
dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, namun tidak
dihadiri baik oleh Pemohon Banding maupun oleh Terbanding. |