PUTUSAN
Nomor 802/B/PK/PJK/2013

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH AGUNG

Memeriksa permohonan peninjauan kembali perkara pajak telah memutuskan sebagai berikut dalam perkara:

DIREKTUR JENDERAL PAJAK, berkedudukan di Jl. Jenderal Gatot Subroto, No. 40-42, Jakarta, dalam hal ini memberi kuasa kepada:
  1. ABC, Direktur Keberatan dan Banding, Direktorat Jenderal Pajak;
  2. BCD, Kasubdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan Banding;
  3. CDE, Kepala Seksi Peninjauan Kembali, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
  4. DEF, Penelaah Keberatan, Subdit Peninjauan Kembali dan Evaluasi, Direktorat Keberatan dan Banding;
Kesemuanya berkantor di Jl. Jenderal Gatot Subroto, No. 40-42, Jakarta berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-186/PJ./2011 tanggal 25 Februari 2011;

Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Terbanding;

melawan:

PT. XXX, tempat kedudukan Jl. AA No. E, Kebon Sirih, Jakarta Pusat 10xxx;

Termohon Peninjauan Kembali dahulu Pemohon Banding;

Mahkamah Agung tersebut;

Membaca surat-surat yang bersangkutan;

Menimbang, bahwa dari surat-surat yang bersangkutan ternyata Pemohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Terbanding, telah mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Putusan 27115/PP/M.IX/13/2010, Tanggal 11 November 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap, dalam perkaranya melawan Termohon Peninjauan Kembali dahulu sebagai Pemohon Banding, dengan posita perkara sebagai berikut:
  1. Dasar Hukum dan Penjelasan
    1. Bahwa permohonan banding ini Pemohon Banding ajukan atas dasar Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang menyebutkan bahwa wajib pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada Badan Peradilan Pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Terbanding;
      Bahwa lebih lanjut, dalam Pasal 27 ayat (3) ditegaskan bahwa permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampirkan salinan Surat Keputusan tersebut;
    2. Bahwa selanjutnya Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2000 tentang Pengadilan Pajak menyebutkan bahwa Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutuskan sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku;
    3. Bahwa pada tanggal 11 Maret 2008. Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Menteng. Sam telah menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00002/204/06/021/08 tanggal 11 Maret 2008;
      Bahwa berdasarkan SKPKB tersebut, masih terdapat Pajak Penghasilan Pasal 26 yang kurang dibayar sebesar Rp 12.107.772,00 ditambah sanksi administrasi bunga pasal 13 (2) KUP Rp 3.632.332,00 sehingga jumlah Pajak Penghasilan Pasal 26 yang masih hares dibayar adalah sebesar Rp 15.740.104,00;
    4. Bahwa atas SKPKB tersebut, Pemohon Banding mengajukan keberatan Juni 2008 dengan bukti penerimaan surat Nomor: PEM-000679/021/jun/2008 tanggal 10 Juni 2008;
      Bahwa pada tanggal 10 Maret 2008, Terbanding menerbitkan Surat Keputusan Nomor: KEP-125/WPJ.06/BD.06/2009 tanggal 10 Maret 2009 yang isinya menolak permohonan keberatan Pemohon Banding sehingga perhitungan semula tetap dipertahankan dengan rincian sebagai berikut:
      Uraian Semula (Rp) Ditambah/(Dikurangi) Menjadi (Rp)
      Dasar Pengenaan Pajak 121.077.723,00 0,00 121.077.723,00
      PPh Terutang 12.107.772,00 0,00 12.107.772,00
      Kredit Pajak 0,00 0,00 0,00
      Kompensasi Tahun Pajak/Masa Pajak Sebelumnya 0,00 0,00 0,00
      PPh kurang Bayar 12.107.772,00 0,00 12.107.772,00
      Sanksi Administrasi 3.632.322,00 0,00 3.632.322,00
      Jumlah PPh ymh dibayar 15.740.104,00 0,00 15.740.104,00
  2. Penjelasan Koreksi dan Alasan Pemohon Banding
    Dasar Pengenaan Pajak Rp 121.077.723,00
    Bahwa koreksi yang mendasari penerbitan SKPKB tersebut diatas adalah karena Pemeriksa beranggapan bahwa biaya bunga yang dibayarkan kepada Dupoer Finance BV Netherlands belum dipotong oleh Pemohon Banding;
    Bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Pemeriksa karena biaya bunga dari Dupoer Finance BV, Belanda.
    Bahwa sesuai dengan Pasal 11 ayat (4) P3B antara Indonesia dan Belanda disebutkan bahwa atas bunga pinjaman yang timbul karena pinjaman yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun, hanya dikenakan pajak di negeri Belanda atau dengan kata lain Indonesia tidak berhak mengenakan pajak atas bunga tersebut;
    Bahwa mengingat kedudukan hukum P3B (Tax Treaty) adalah sej ajar dengan Undang-Undang dan bersifat khusus (lex specialist), dimana isinya juga merupakan hasil kesepakatan antara kedua negara, maka tentunya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam P3B tersebut tidak bisa dengan begitu saja ditiadakan/diatur oleh salah satu pihak, apalagi hanya dengan Surat Edaran Dirjen Pajak;
  3. Kesimpulan dan Usul
    Bahwa berdasarkan uraian Pemohon Banding tersebut diatas. Pemohon Banding berpendapat bahwa penerbitan SKPKB tersebut diatas kurang tepat. Karena mengacu pada P3B antara Indonesia Belanda tersebut, maka pembayaran bunga yang Pemohon Banding lakukan kepada Dupoer Finance BV-Belanda tidak terutang Pajak Penghasilan Pasal 26, sehingga demikian, menurut Pemohon Banding, Surat Ketetapan Pajak yang seharusnya diterbitkan adalah Nihil;
Menimbang, bahwa amar Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Putusan 27115/PP/M.IX/13/2010, Tanggal 11 November 2010 yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut adalah sebagai berikut:

Mengabulkan seluruh permohonan banding Pemohon Banding alas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP125/WRI.06/BD.06/2009 tanggal 10 Maret 2009 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00002/204/06/021/08 tanggal 11 Maret 2008 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 atas nama PT XXX NPWP. 01.831.674.5-xxx alamat Jl. AA No. E, Kebon Sirih, Jakarta Pusat 10xxx dengan perhitungan sebagai berikut:
DPP PPh Pasal 26 Rp 0,00
PPh Pasal 26 terutang Rp 0,00
Kredit Pajak Rp 0,00
Pajak yang kurang dibayar Rp 0,00

Menimbang, bahwa sesudah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yaitu Putusan Pengadilan Pajak Jakarta Nomor Putusan 27115/PP/M.IX/13/2010, Tanggal 11 November 2010, diberitahukan kepada Pemohon Peninjauan Kembali pada Tanggal 3 Desember 2010, kemudian terhadapnya oleh Pemohon Peninjauan Kembali dengan perantaraan kuasanya berdasarkan Surat Kuasa Khusus No. SKU-186/PJ./2011 tanggal 25 Februari 2011, diajukan permohonan peninjauan kembali secara lisan di Kepaniteraan Pengadilan Pajak Jakarta pada Tanggal 28 Februari 2011, dengan disertai alasan-alasannya yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 28 Februari 2011;

Menimbang, bahwa tentang permohonan peninjauan kembali tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama pada Tanggal 18 Maret 2011, kemudian terhadapnya oleh pihak lawannya diajukan Jawaban yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Pajak tersebut pada Tanggal 29 April 2011;

Menimbang, bahwa permohonan peninjauan kembali a quo beserta alasan-alasanya telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan saksama, diajukan dalam tenggang waktu dan dengan cara yang ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, juncto Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, maka permohonan peninjauan kembali tersebut secara formal dapat diterima;

ALASAN PENINJAUAN KEMBALI

Menimbang, bahwa Pemohon Peninjauan Kembali telah mengajukan alasan Peninjauan Kembali yang pada pokoknya sebagai berikut:
  1. Tentang Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 telah cacat hukum (Juridisch Gebrek) karena diputus dengan telah melewati jangka waktu yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga tidak memenuhi ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
    1. Bahwa Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 nyata-nyata telah cacat hukum karena telah melewati jangka waktu pemeriksaan banding sebagaimana yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hal ini khususnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
    2. Bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010, maka dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa proses pemeriksaan dan persidangan atas sengketa banding yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali semula Pemohon Banding terhadap Surat Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-125/WPJ.06/BD.06/2009 tanggal 10 Maret 2009, dilakukan melalui pemeriksaan dengan acara biasa sebagaimana yang dimaksud dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak pada Bab IV, Hukum Acara, Bagian Kelima perihal Pemeriksaan Dengan Acara Biasa, antara lain ketentuan Pasal 49, Pasal 50, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 59 dan Pasal 64.
    3. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:
      Ayat (1): "Putusan pemeriksaan dengan acara biasa atas Banding diambil dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak Surat Banding diterima."
      Ayat (3): "Dalam hal-hal khusus, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperpanjang paling lama 3 (tiga) bulan."
      Berdasarkan Penjelasan Pasal 81 ayat (1) dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut:
      Ayat (1): "Penghitungan jangka waktu 12 (dua belas) bulan dalam pengambilan putusan dapat diberikan contoh sebagai berikut Banding diterima tanggal 5 April 2002, putusan harus diambil selambat-lambatnya tanggal 4 April 2003."
      Ayat (3): "Yang dimaksud dengan "dalam hal-hal khusus" antara lain pembuktian sengketa rumit, pemanggilan saksi memerlukan waktu yang cukup lama."
    4. Bahwa berdasarkan pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak dan berdasarkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010, dapat diketahui fakta-fakta sebagai berikut:
      1. Bahwa Surat Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor: 008/SKR-EXTNI/2009 tanggal 5 Juni 2009 diterima oleh Sekretariat Pengadilan Pajak pada tanggal 9 Juni 2009 (diantar) dan terdaftar dalam berkas sengketa pajak nomor: 13-042347-2006.
      2. Bahwa berdasarkan pemeriksaan pemenuhan ketentuan formal atas pengajuan permohonan banding yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, diketahui bahwa formal pengajuan banding atas nama: PT. XXX NPWP 01.831.674.5-xxx, telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku, sehingga telah memenuhi ketentuan formal pengajuan banding sebagaimana yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 35, Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak. (vide Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010, halaman 14-16).
      3. Bahwa oleh karena pemenuhan ketentuan formal pengajuan banding di Pengadilan Pajak telah terpenuhi, maka selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, melakukan pemeriksaan terhadap materi sengketa banding yang diajukan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) di dalam Surat Banding Nomor: 008/SKR-EXTNI/2009 tanggal 5 Juni 2009.
      4. Bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak kemudian telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 26 Agustus 2010 melalui Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 dan putusannya tersebut kemudian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada tanggal 11 November 2010.
      5. Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata bahwa Surat Banding Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) Nomor: 008/SKR-EXT/VI/2009 tanggal 5 Juni 2009 telah diterima oleh Sekretariat Pengadilan Pajak pada tanggal 9 Juni 2009. Dengan demikian, berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka sengketa banding tersebut seharusnya diputus selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak tanggal 09 Juni 2009 atau pada tanggal 08 Juni 2010, kecuali ada hal-hal khusus sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
    5. Bahwa fakta yang terjadi adalah Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memutus sengketa banding tersebut pada tanggal 26 Agustus 2010 atau telah diputus dengan lewat 80 hari dari jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya.
    6. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak berwenang untuk memperpanjang jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud untuk paling lama 3 (tiga) bulan setelah tanggal jatuh tempo putusan bilamana hal-hal yang bersifat khusus sebagaimana yang dimaksud Pasal 81 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak terpenuhi.
    7. Bahwa setelah membaca, meneliti dan mempelajari lebih lanjut Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 tersebut, maka diketahui tidak ditemukan satupun amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang menyatakan adanya hal-hal khusus dimaksud yang menjadi alasan atau penyebab harus adanya perpanjangan jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud.
    8. Bahwa dengan demikian, oleh karena tidak adanya hal-hal khusus dimaksud yang menjadi alasan atau penyebab harus adanya perpanjangan jangka waktu pengambilan putusan atas sengketa banding dimaksud, maka sengketa banding tersebut seharusnya diputus selambat-lambatnya pada tanggal 08 Juni 2010.
    9. Bahwa oleh karena itu, maka Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang memeriksa dan mengadili sengketa banding tersebut, telah terbukti dengan nyata-nyata telah melakukan perbuatan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (contra legem) dengan memutus sengketa banding dimaksud dengan melewati jangka waktu yang seharusnya yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak beserta Penjelasannya.
    10. Bahwa dengan demikian, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 tersebut secara nyata-nyata telah terbukti sebagai suatu Putusan yang cacat hukum.
      Oleh karenanya, Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 tersebut harus dibatalkan.
  2. Sengketa atas Koreksi DPP PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp104.726.073,00 dari koreksi yang dibatalkan Majelis sebesar Rp121.077.723,00.
    1. Bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sangat keberatan dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak, yang antara lain berbunyi sebagai berikut :
      Halaman 25 alinea ke-5:
      "Bahwa pernyataan Terbanding yang menyatakan Dupoer Finance BV bukan Beneficial Owner hanya didasarkan pada analisis dan bukannya bukti konkrit, antara lain :
      • Bahwa Terbanding tidak mempunyai bukti pihak/siapa saja sebenarnya yang menjadi Beneficial Owner atas bunga yang dibayarkan Pemohon Banding kepada GFBV;
      • Bahwa Terbanding tidak mempunyai bukti yang menunjukkan bahwa pembayaran bunga yang diterima GFBV dari Pemohon Banding ditransfer langsung kepada pihak lain yang oleh Terbanding dianggap sebagai Beneficial Owner
      Halaman 26 alinea ke-1 dan alinea ke-2:
      “5.... Majelis berkeyakinan bahwa atas bunga yang dibayarkan Pemohon Banding kepada Dupoer Finance BV berlaku ketentuan pasal 11 ayat (4) P38 Indonesia — Belanda sehingga hak pemajakannya berada di pihak Belanda;"
      “6 bahwa dengan demikian Pemohon Banding sudah benar"
      "Bahwa koreksi Terbanding sebesar Rp 121.077.723,00 atas bunga tersebut menurut Majelis tidak dapat dipertahankan"
    2. Bahwa berkenaan dengan amar pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 tersebut di atas, maka Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) dengan ini menyatakan bahwa Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah memeriksa dan mengadili sengketa Banding tersebut telah salah dan keliru atau setidak-tidaknya telah membuat suatu kekhilafan (error facti) dalam membuat pertimbangan-pertimbangan hukumnya dengan telah mengabaikan fakta hukum dan atau prinsip perpajakan yang berlaku.
    3. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 menyebutkan sebagai berikut:
      Pasal 26 ayat (1) huruf b:
      "(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apapun, yang dibayarkan atau yang terutang oleh badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
      1. Dividen;
      2. Bunga, termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang;"
      Pasal 32 A :
      "Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak."
    4. Bahwa berdasarkan ketentuan pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Kerajaan Belanda yang berbunyi sebagai berikut:
      Pasal 11
      Ayat (1) "Bunga yang timbul di salah satu Negara dan dibayarkan kepada penduduk Negara lainnya dapat dikenakan pajak di Negara lainnya".
      Ayat (2) "Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara dimana bunga tersebut berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut; akan tetapi apabila pemilik manfaat dari bunga tersebut adalah penduduk negara lainnya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga".
      Ayat (3) "Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya sepanjang bunga tersebut diperoleh:
      • Pemerintah Negara lainnya, termasuk bagian ketatanegaraan dan pemerintah daerah lainnya; atau
      • Bank sentral Negara lainnya; atau
      • Lembaga keuangan yang dimiliki atau kendalikan oleh pemerintah Negara lainnya, termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerah; atau
      • Setiap penduduk Negara lainnya sehubungan dengan piutang yang dijamin oleh pemerintah Negara lainnya termasuk bagian ketatanegaraannya dan pemerintah daerahnya, Bank Sentral Negara lainnya, atau setiap lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah tersebut"
      Ayat (4) Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam ayat (2), bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan:.
      Ayat (5) Pejabat yang berwenang dari kedua Negara melalui persetujuan bersama akan mengatur cara-cara untuk menerapkan ayat (2), (3), dan (4)".
    5. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 11 ayat (1) sampai dengan ayat (5) Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia-Belanda pada poin 4 diatas, maka dapat disampaikan penafsiran dan penerapan Pasal 11 ayat (1) sampai ayat (5) P3B antara Indonesia — Belanda yang secara langsung dikaitkan dengan konteks permasalahan/sengketa adalah sebagai berikut:
      1. Pasal 11 ayat (1);
        Ayat ini mengatur hak pemajakan negara dimana penerima penghasilan merupakan residen (negara domisili).
        Dalam konteks kasus ini, ketentuan ayat (1) mengatur bahwa hak pemajakan Belanda atas bunga yang berasal dari Indonesia dapat dikenakan pajak di Belanda, sehingga ketentuan perpajakan Belanda tidak dibatasi penerapannya oleh P3B ini.
      2. Pasal 11 ayat (2);
        Ayat ini mengatur hak pemajakan negara dimana penghasilan bunga berasal (negara sumber).
        Dalam konteks kasus ini, ketentuan ayat (2) mengatur bahwa Indonesia dapat mengenakan pajak sesuai dengan ketentuan di Indonesia apabila bunga tersebut berasal dari Indonesia sesuai ketentuan Pasal 26 UU PPh. Namun apabila penerima manfaat (beneficial owner) penghasilan bunga tersebut adalah residen Belanda, maka pajak yang dikenakan tidak boleh melebihi 10%.
      3. Pasal 11 ayat (3);
        Ayat ini mengatur tentang hak pemajakan atas penghasilan bunga yang diperoleh pemerintah, bank sentral, lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh pemerintah, atau pihak lain yang pinjamannya dijamin oleh pemerintah, bank sentral, atau setiap lembaga keuangan yang dimiliki atau dikendalikan oleh Pemerintah tersebut.
        Dalam kasus ini, ayat (3) tersebut tidak relevan sehingga tidak dibahas lebih lanjut.
      4. Pasal 11 ayat (4);’
        Ayat ini mengatur tentang hak pemajakan atas penghasilan bunga yang timbul dari pinjaman yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan.
        Dalam konteksi kasus ini, hak pemajakan atas bunga hanya ada di belanda apabila :
        • Pemilik manfaat (beneficial owner) penghasilan bunga tersebut adalah residen belanda, dan;
        • Bunga tersebut timbul dari pinjaman yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan.
      5. Pasal 11 ayat (5);
        Ayat ini mengatur bahwa Pejabat berwenang dari kedua negara melalui persetujuan bersama wajib mengatur tata cara untuk menerapkan ayat (2), (3) dan (4).
    6. Bahwa berdasarkan ketentuan butir 1 dan 2 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-17/PJ./2005 tentang Petunjuk Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pasal 11 Tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda, menyebutkan sebagai berikut :
      (1) "Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (2), tidak diperlukan tatacara pelaksanaannya, sehubungan dengan tidak terdapat permasalahan dalam pelaksanaannya. Wajib Pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda balk perorangan maupun badan, diwajibkan melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tariff 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan".
      (2) "Terhadap ketentuan Pasal 11 ayat (4), mengingat tatacara pelaksanaannya belum dibicarakan antara "Pejabat yang Berwenang" Indonesia dan Belanda, maka berlaku ketentuan sebagaimana tercantum dalam butir 1 tersebut di atas yaitu wajib pajak Indonesia yang mempunyai utang atau pinjaman kepada penduduk Belanda balk perorangan maupun badan, diwajibkan untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 26 dengan tariff 10% (sepuluh perseratus) dari jumlah bruto bunga yang dibayarkan".
    7. Bahwa terhadap ketentuan poin 6 atas Petunjuk Perlakuan Terhadap Pasal 11 tentang Bunga Pada Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Indonesia dengan Belanda yang tercantum dalam SE-17/PJ/2005 tanggal 1 Juni 2005 diterbitkan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dengan beberapa dasar pertimbangan sebagai berikut :
      1. Bahwa ketentuan P3B antara Indonesia-Belanda ayat (5) menyebutkan bahwa tatacara pelaksanaan ayat (2), (3) dan (4) akan disusun oleh "Pejabat yang berwenang" antara kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Belanda. Dalam hal ini, baik Direktorat Jenderal Pajak/ Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) selaku "Pejabat yang berwenang" Indonesia maupun "Pejabat yang berwenang" Belanda, belum melakukan pembicaraan tentang aturan pelaksanaan ayat-ayat tersebut.
      2. Bahwa mempertimbangkan banyaknya permintaan informasi dari wajib pajak dan Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak tentang perlakuan pajak penghasilan terhadap bunga yang dibayarkan oleh Wajib Pajak Indonesia atas utang kepada penduduk Belanda baik perorangan maupun badan berkaitan dengan basal 11 ayat (2) dan (4) P3B Indonesia-Belanda
    8. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Surat Edaran Dirjen Pajak nomor SE-04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria "Beneficial Owner" Sebagaimana Tercantum Dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Antara Indonesia Dengan Negara Lainnya, disebutkan bahwa:
      "Sehubungan dengan masih adanya persepsi yang berbeda, yaitu seolah-olah Wajib Pajak luar negeri yang menunjukkan Surat Keterangan Domisili dari suatu negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang paripuma dengan Indonesia, maka Wajib Pajak tersebut secara langsung dapat menikmati fasilitas penurunan tarif. Padahal menurut P3B yang bersangkutan, Wajib Pajak dalam negeri dari negara mitra perjanjian, dapat menikmati pengurangan tarif apabila Wajib Pajak tersebut adalah "beneficial owner" dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan Royalti, yang berkenaan. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak memandang perlu untuk memberikan penjelasan guna menciptakan kepastian hukum mengenai pengertian dan kriteria tentang "beneficial owner" sebagai berikut:
      1. Yang dimaksud dengan "beneficial owner" adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa Dividen, Bunga dan atau Royalti baik Wajib Pajak Perorangan maupun Wajib pajak Badan, yang berhak sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan tersebut.
      2. Dengan demikian, maka "special purpose vehicles" dalam bentuk "conduit company", "paper box company", "pass-through company" serta yang sejenis lainnya, tidak termasuk dalam pengertian "beneficial owner" tersebut di atas."
    9. Bahwa berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, menyebutkan sebagai berikut :
      Pasal 69 ayat (1) ;
      "Alat bukti dapat berupa:
      1. Surat atau tulisan;
      2. Keterangan ahli;
      3. Keterangan para saksi;
      4. Pengakuan para pihak; dan/atau
      5. Pengetahuan Hakim"
      Pasal 70 huruf d:
      "Surat-surat lain atau tulisan yang tidak termasuk huruf a, huruf b, dan huruf c yang ada kaitannya dengan banding atau Gugatan."
      Pasal 76:
      "Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)"
      Kemudian dalam memori penjelasan pasal 76 alinea 1 dan 2 menyebutkan bahwa "Pasal ini memuat ketentuan dalam rangka menentukan kebenaran materiil, sesuai dengan asas yang dianut dalam Undang-Undang perpajakan.
      Oleh karena itu, Hakim berupaya untuk menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian, penilaian yang adil bagi para pihak dan sahnya bukti dari fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak terbatas pada fakta dan hal-hal yang diajukan oleh para pihak."
      Pasal 78:
      "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan hakim."
      Kemudian dalam memori penjelasan pasal 78 menyebutkan bahwa "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.
    10. Bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan berdasarkan hasil pemeriksaan sengketa banding di Pengadilan Pajak sebagaimana yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 serta berdasarkan penelitian atas dokumen-dokumen milik Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding), maka telah dapat diketahui secara jelas dan nyata-nyata adanya fakta-fakta sebagai berikut :
      1. Bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah pembayaran Biaya bunga kepada Dupoer Finance BV sebesar Rp 104.726.073,00 yang merupakan Objek PPh Pasal 26 yang belum dilaporkan oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) yang terdiri dari:
        1. Biaya bunga sebesar 102.106.940,00, dengan perhitungan sebagai berikut: (USD 480.000 x (24/11/06-6/06/06)/360x5.59%xRp 9.133,00;
        2. Biaya bunga sisa hutang sejumlah Rp 2.619.132,00 dengan perhitungan sebagai berikut: (USD 55.000 x (24/1/06-06/06/06)/360x5.59%xRp 9.133,00;
          Bahwa diketahui pada tanggal 6 Juni 2006 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) menerima pinjaman dari Dupoer Finance BV sebesar USD 480,000.00, selanjutnya pada 24 November 2006 Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) melunasi pinjaman sebesar USD 425,000.00 (masih dalam jangka waktu 2 tahun) sehingga hutang yang masih tersisa adalah sebesar USD 55,000.00;
      2. Bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia - Belanda yang mengatur bahwa pajak atas bunga yang dibayarkan untuk pinjaman yang melebihi jangka waktu 2 tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang atau ilmu pengetahuan, dikenakan di negara tempat pemberi pinjaman berkedudukan, telah menimbulkan multi penafsiran dan membuka peluang terjadinya penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Belanda. Bahwa terbukanya peluang penyalahgunaan Pasal 11 ayat (4) apabila diterapkan tanpa adanya tata cara pelaksanaannya antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut:
        1. Pinjaman luar negeri Wajib Pajak sedapat mungkin dibuat melalui perusahaan di Belanda dan akan senantiasa dibentuk untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun, sehingga mendapat pembebasan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 di Indonesia;
        2. Pembelian kredit atas perlengkapan industri, dagang atau ilmu dapat dilakukan melalui perusahaan di Negara Belanda meskipun perlengkapan tersebut bukan diproduksi di Belanda;
      3. Bahwa di dalam paragraf 9 Commentary dari Pasal 11 OECD Model Tax Convention on Income and on Capital July 2005, disebutkan bahwa :
        "9. The requirement of beneficial ownership was introduced in paragraph 2 of Article 11 to clarify the meaning of the words "paid to a resident" as they are used in paragraph 1 of the Article. It makes plain that the State of source is not obliged to give up taxing rights over interest income merely because that income was immediately received by a resident of a State with which the State of source had concluded a convention.
        The term "beneficial owner" is not used in a narrow technical sense, rather. it should be understood in its context and in light of the object and purposes of the Convention, including avoiding double taxation and the prevention of fiscal evasion and avoidance";
        bahwa dari kutipan tersebut di atas, terkait dengan pembayaran bunga oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) kepada pembayaran bunga ke Dupoer Finance BV, Belanda disampaikan pendapat sebagai berikut :
        1. bahwa Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) sebagai otoritas pajak dari negara tempat penghasilan bunga bersumber (negara sumber) tidak berkewajiban untuk menyerahkan hak pemajakan atas penghasilan bunga tersebut, yaitu dengan tidak menerapkan tarif pajak 20% sesuai dengan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan, hanya oleh sebab penghasilan bunga dimaksud diterima oleh resident Belanda, yang menurut Pasal 11 ayat (2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia Belanda, Indonesia sebagai negara sumber dapat mengenakan pajak atas penghasilan bunga dengan tarif pajak tidak melebihi 10%;
        2. Bahwa pihak yang memperoleh bunga, yakni Dupoer Finance BV, Belanda, memang telah dapat mengindikasikan bahwa dirinya adalah resident Belanda. yaitu dengan menunjukkan dokumen berupa Surat Keterangan Domisili yang dikeluarkan oleh Competent Tax Authority di Belanda. Namun Surat Keteranqan Domisili tersebut tidak dapat menunjukkan bahwa Dupoer Finance BV Belanda adalah beneficial owner dari penghasilan bunga tersebut karena informasi yang tersedia dalam Surat Keterangan Domisili hanya menyangkut masalah residency dari Dupoer Finance BV di Belanda. Sementara itu, tarif sebesar 10% baru dapat diterapkan apabila terpenuhi persyaratan bahwa Dupoer Finance BV merupakan beneficial owner dari penghasilan bunga yang diterimanya;
        3. Bahwa Terbanding berpendapat bahwa ketentuan Pasal 11 ayat (2), (3), dan (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda dapat diterapkan jika tata cara yang mengatur penerapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5) sudah ada. Ketentuan dalam Pasal 11 ayat (4) memang sudah berlaku sejak Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tersebut diberlakukan, tetapi juga harus dilihat bahwa ketentuan tersebut tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan ketentuan dalam Pasal 11 ayat (5) yang juga merupakan suatu ketentuan yang harus dilaksanakan;
        4. Bahwa sebagaimana telah diatur dalam Pasal 11 ayat (5) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda, mode of application akan dibentuk dalam rangka penerapan Pasal 11 ayat (4). Meskipun demikian, sampai dengan saat ini hal tersebut masih dalam tahap perundingan antara competent authority perpajakan Indonesia dan Belanda. Berbeda dengan Pasal 11 ayat (2) dan (3), yang tidak menimbulkan potensi permasalahan karena merupakan ketentuan yang umum berlaku dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia, Pasal 11 ayat (4) telah berpotensi mengakibatkan beberapa permasalahan, sehingga diperlukan pembentukan mode of application untuk pelaksanaannya. Permasalahan tersebut adalah menyangkut masalah multi penafsiran dan penyalahgunaan yang dimungkinkan terjadi.
        5. Bahwa dalam rangka pelaksanaan amanat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda secara umum dan Pasal 11 ayat (5) secara khusus, Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 menegaskan bahwa sehubungan dengan belum adanya tata cara pelaksanaan (mode of application) antara pemerintah Indonesia dengan Belanda, maka Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia- Belanda belum dapat diterapkan;
          1. Bahwa sebagai akibat dari belum dapat diterapkannya Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia—Belanda tersebut. maka perlakuan perpajakan terhadap pembayaran bunga dari Indonesia ke Belanda. apabila terpenuhi seluruh persyaratan yang ditentukan, diberlakukan ketentuan Pasal 11 ayat (2) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 11 ayat (2) negara sumber diberikan hak pemajakan atas pembayaran bunga sesuai dengan ketentuan perpajakan domestiknya. Namun demikian apabila penerima bunga tersebut merupakan beneficial owner, maka hak pemajakan negara sumber dibatasi paling tinggi 10% dari jumlah bruto pembayaran bunga dan merupakan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang lazim dilakukan dengan negara lain;
          2. Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ./2005 tersebut harus dilihat sebagai posisi Indonesia dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda.
            Bahwa dengan demikian, Surat Edaran tersebut mempunyai kedudukan yang kuat dan sebagai buktinya adalah dengan diterbitkannya Surat Edaran tersebut pihak Belanda bersedia untuk melakukan renegosiasi terkait ketentuan Pasal 11 ayat (5) tersebut.
          3. Bahwa penekanan dalam sengketa ini adalah pembuktian bahwa penerima bunga yang telah dibayar oleh Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) adalah memenuhi syarat atau tidak untuk memperoleh fasilitas P3B Indonesia Belanda dengan pertimbangan bahwa perlu dicermati usaha untuk menyalahgunakan P3B itu sendiri dalam hal sebagai berikut :
            • Transaksi yang tidak mempunyai substansi ekonomi dilakukan dengan menggunakan struktur/skema sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B;
            • Transaksi dengan struktur/skema yang format hukumnya (legal form) berbeda dengan substansi ekonominya (economic substance) sedemikian rupa dengan maksud semata-mata untuk memperoleh manfaat P3B, atau;
            • Penerima penghasilan bukan merupakan pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan (beneficial owner).
            Bahwa sehubungan dengan maksud dan tujuan dibuatnya P3B Indonesia dengan Belanda maka sudah sewajarnya dilakukan pembuktian atas status benar tidaknya bahwa penerima bunga adalah beneficial owner.
            Bahwa beneficial owner didalam P3B mempunyai makna yang tidak berlandasakan kepada pengertian hukum atau formal, melainkan mengandung makna ekonomis yang lebih melihat kepada substansi;
            Bahwa karakter-karakter yang menjelaskan tidak termasuk dalam pengertian beneficial owner secara negatif adalah "agent", "nominee", "mere fiduciary", "administrator" dan "conduit companies". Selain itu secara positif siapa yang dimaksud dengan beneficial owner adalah orang yang bebas memutuskan tentang suatu modal dan harta dan/atau hasil dari harta atau modal tersebut;
            Bahwa kedua sisi pandang tersebut diatas dapat memberikan penjelasan yang memadai tentang pengertian dari istilah beneficial owner yang diterima oleh negara-negara yang terlibat dalam perjanjian, meskipun sampai saat ini belum terdapat konsensus mengenai definisinya.
          4. Bahwa dalam persidangan Pemohon Peninjauan Kembali telah menyatakan bahwa Dupoer Finance BV bukan Beneficial Owner, dengan alasan sebagai berikut:
            1. Bahwa Dupoer Finance BV didirikan pada tanggal 7 April 2004 di Belanda dengan Pemegang saham Stiching Dupoer yang beralamat di Rokin 551010 KK Amsterdam, Belanda;
            2. Bahwa Modal dasar AAA Finance BV sebesar 90,000 (90.000 lembar nominal 1/lembar) dan modal ditempatkan sebesar 18,000;
            3. Bahwa SPT AAA Finance BV Tahun Pajak 2004 untuk periode 07-04-2004 sampai dengan 31-13-2004 antara lain tercantum sebagai berikut:
              • Laba sebelum pajak sebesar USD 1,110.00;
              • PPh terutang USD322;
              • Laba bersih sebesar USD 788;
              • Terdapat penghasilan kotor berupa bunga USD 3,799.408 00 dan pembebanan biaya bunga sebesar USD 7,799,408.00.
            4. Bahwa Laporan Keuangan tahun 2004 AAA Finance BV memuat informasi antara lain sebagai berikut:
              • Bahwa nilai aktiva perusahaan sebesar USD 22,604.00 dan laba bersih sebesar USD 788;
              • Bahwa Sumber dana berasal dari GA Global Ltd dengan jumlah maksimum USD 10 Miliar, pada tanggal 31 Desember 2004, dana yang diperoleh AAA Finance BV sebesar USD830,870,000.00;
              • Bahwa Seluruh dana yang diperoleh tersebut disalurkan oleh AAA Finance BV kepada perusahaan di Indonesia;
              • Bahwa Terdapat saldo piutang bunga yang sama jumlahnya dengan saldo utang bunga yaitu sebesar USD 3,799,408.00;
              • Bahwa Perusahaan tersebut tidak memiliki karyawan;
              • Bahwa Perusahaan memiliki seorang Managing Director dan tidak memiliki Supervisory Directors;
              • Bahwa Laporan Keuangan dibuat oleh MeesPierson Intertrust BV, bukan oleh AAA Finance By.
              • Bahwa dengan mempertimbangkan data tersebut di atas, Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berpendapat bahwa AAA Finance BV adalah "paper company" yang dibuktikan dengan informasi dari Laporan Keuangannya yaitu:
              • Bahwa Pendirian perusahaan dilakukan oleh MeesPierson lntertrust BV yang dibuktikan oleh dokumen akta pendirian dimana yang menghadap kepada Notaris adalah Marco Hans Frank Otto (kuasa dari MeesPierson Intertrust BV),
              • Bahwa alamat perusahaan yang sama dengan alamat MeesPierson Intertrust BV dan sama dengan alamat Stiching AAA yang menjadi pemegang AAA Finance BV.
              • Bahwa tidak terdapat karyawan atau tidak terdapat biaya gaji karyawan atau beban social securities.
              • Bahwa tidak terdapat manajemen yang menjalankan kebijakan perusahaan yang didukung dengan fakta bahwa laporan keuangan dibuat oleh pihak lain, yaitu MeesPierson Intertrust BV.
              Bahwa menurut Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) AAA Finance BV adalah "pass-through entity" dan "conduit company" hal ini sesuai dengan informasi yang terdapat dalam Laporan Keuangan dan SPT AAA Finace BV yaitu:
              • Bahwa AAA Finance BV menerima dana dari GA Global yang kemudian disalurkan seluruhnya kepada perusahaan Indonesia dengan syarat dan kondisi yang sama dengan syarat dan kondisi ke GA Global;
              • AAA Finance BV membukukan penghasilan bunga dari pemberian pinjaman kepada perusahaan Indonesia dan membebankan biaya bunga pinjaman dengan jumlah yang sama dengan ke GA Global.
              • Harta bersih AAA Finance BV sebesar USD 22,604.00 tidak sebanding dengan besarnya dana yang diperoleh dari GA Global sebesar USD 830,870,000.00. Apabila dibandingkan dengan total komitmen dana yang akan disalurkan oleh GA Global sebesar USD 10,000,000,000.00;
              • Bahwa Laba perusahaan sebesar USD 788 tidak sebanding dengan harta yang digunakan dalam usaha sebesar USD 834,752,727.00;
              Bahwa dengan demikian, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa AAA Finance BV bukanlah Benefial Owner sehingga tidak berhak mendapat fasilitas P3B, karena sumber dana yang dipakai oleh AAA Finance BV adalah dari GA Global Ltd sebesar 10 Miliar Dollar Amerika dimana pada tahun 2004 sudah diterima AAA Finance BV sebesar USD 830,870,000.00, sehingga dana yang diperoleh dari peminjaman oleh AAA Finance BV kepada Termohon Peninjauan Kembali yang sumber dananya adalah dari GA Global Ltd yang selanjutnya dana tersebut dipinjamkan kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia sehingga dalam hal ini Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) berkesimpulan bahwa Beneficial Owner adalah GA Global Ltd;
    11. Bahwa kebijakan domestik Indonesia yang tidak memberikan manfaat tarif 0% sesuai Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Belanda tidak dapat dianggap bahwa pihak Indonesia sudah melanggar Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia-Belanda. Pihak yang sebenarnya berhak (Beneficial Owner yang merupakan resident Belanda) masih dapat memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tersebut melalui mekanisme refund atau MAP. Dengan perkataan lain pemberian manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda tidak diberikan semata-mata pada saat pembayaran penghasilan oleh pemotongan pajak Indonesia.
      Bahwa persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima penghasilan untuk dapat memperoleh manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia, yaitu tarif 10% atau 0% sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (2) dan ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda adalah:
      • Bahwa yang bersangkutan adalah merupakan Beneficial Owner dari penghasilan tersebut;
      • Bahwa yang bersangkutan adalah merupakan Resident Belanda;
    12. Bahwa untuk memutuskan substansi apakah penerima bunga memenuhi kriteria beneficial owner atau bukan untuk memperoleh fasilitas P3B Indonesia Belanda seharusnya Majelis Hakim Pengadilan Pajak melakukan pengujian terlebih dahulu karena berdasarkan fakta penerima bunga adalah sebagai "pass-through entity" dan "conduit company" dimana sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-04/PJ.34/2005 tanggal 7 Juli 2005 tentang Petunjuk Penetapan Kriteria "Beneficial Owner" Sebagaimana Tercantum dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda, hal tersebut bukan merupakan beneficial owner.
      Bahwa dengan demikian, keputusan Majelis yang tidak melakukan pembuktian atas syarat mendapatkan fasilitas P3B Indonesia Belanda yaitu penerima bunga sebagai beneficial owner adalah tidak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
    13. Bahwa dalam rangka pelaksanaan amanat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda secara umum dan Pasal 11 ayat (5) secara khusus, Direktorat Jenderal Pajak melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ./2005 tanggal 1 Juni 2005 menegaskan bahwa sehubungan dengan belum adanya tata cara pelaksanaan (mode of application) antara pemerintah Indonesia dengan Belanda, maka Pasal 11 ayat (4) Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda belum dapat diterapkan. Bahwa dalam ketentuan Pasal 11 ayat (5) P3B Indonesia-Belanda menyebutkan bahwa tatacara pelaksanaan ayat (2), (3) dan (4) akan disusun oleh "Pejabat yang berwenang" antara kedua belah pihak yaitu Indonesia dan Belanda. Bahwa diketahui antara Pemohon Peninjauan Kembali (semula Terbanding) selaku "Pejabat yang berwenang" Indonesia maupun "Pejabat yang berwenang" Belanda. belum melakukan pembicaraan tentang aturan pelaksanaan ayat-ayat tersebut.
      Bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-17/PJ./2005 tersebut harus dilihat sebagai posisi Indonesia dalam kaitannya dengan pelaksanaan ketentuan dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Indonesia - Belanda. Bahwa dengan demikian, Surat Edaran tersebut mempunyai kedudukan yang kuat dan sebagai buktinya adalah dengan diterbitkannya Surat Edaran tersebut pihak Belanda bersedia untuk melakukan renegosiasi terkait ketentuan Pasal 11 ayat (5) tersebut.
      Bahwa dari seluruh P3B yang berlaku efektif pada saat itu, hanya P3B Indonesia-Belanda yang mengatur bahwa bunga yang timbul dari pinjaman dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan, tidak boleh dipajaki oleh negara sumber. Mengingat bahwa pembagian hak perpajakan seperti itu dapat mendorong penyalahgunaan P3B oleh pihak-pihak yang tidak berhak, maka perlu dibuat aturan pelaksanaan (mode of application) sesuai dengan pasal 11 ayat (5) P3B Indonesia-Belanda.
      Bahwa didalam mode of application sebagaimana dimaksud dalam SE-17/PJ.2005 tersebut akan dicantumkan prosedur untuk memastikan bahwa pemilik manfaat (beneficial owner) atas penghasilan bunga adalah residen Belanda sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 11 ayat (4) P3B Indonesia-Belanda dan prosedur penentuan pinjaman dan penjualan kredit yang bunganya akan dibebaskan pajak di Indonesia, dan prosedur untuk mengenakan pajak oleh negara sumber dalam hal terjadi perubahan jangka waktu pinjaman/ perubahan kondisi penjualan kredit.
    14. Bahwa meskipun Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) dapat menunjukkan asli CoD / Surat Keterangan Domisili (SKD) dari AAA Finance BV, namun tidak dapat diyakini kebenaran transaksinya karena Termohon Peninjauan Kembali (semula Pemohon Banding) tidak dapat memberikan bukti-bukti transaksi yang menunjukkan bahwa pemilik manfaat (beneficial owner) adalah resident Belanda dan bunga yang timbul dari pinjaman tersebut memiliki jangka waktu lebih dari 2 tahun. Bahwa berdasarkan uraian di atas, telah terbukti secara jelas dan nyata-nyata bahwa Koreksi DPP PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp104.726.073,00 atas pembayaran bunga ke Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) adalah telah benar dan tepat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
    15. Bahwa dengan demikian, telah terbukti pula secara nyata-nyata bahwa amar pertimbangan dan amar putusan (dictum) Majelis Hakim Pengadilan Pajak yang telah dituangkan dalam Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 tersebut telah dibuat dengan tidak berdasarkan kepada fakta-fakta yang ada dan yang telah nyata-nyata terungkap dalam pemeriksaan sengketa banding tersebut, bukti yang valid serta aturan perpajakan yang berlaku khususnya mengenai Koreksi DPP PPh Pasal 26 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 sebesar Rp104.726.073,00 sehingga hal tersebut nyata-nyata telah melanggar ketentuan Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak dan Penjelasannya, maka Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put.27115/PP/M.IX/13/2010 tanggal 11 November 2010 tersebut adalah cacat secara hukum dan harus dibatalkan.
PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
  1. Bahwa alasan butir A tidak dapat dibenarkan karena tentang jangka waktu yang berkaitan dengan proses administrasi penyelesaian perkara semata, yang tidak dapat membatalkan putusan;
  2. Bahwa alasan butir B juga tidak dapat dibenarkan karena pertimbangan hukum dan Putusan Pengadilan Pajak yang mengabulkan seluruh permohonan banding Pemohon Banding alas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor : KEP125/WRI.06/BD.06/2009 tanggal 10 Maret 2009 tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Penghasilan Pasal 26 Nomor: 00002/204/06/021/08 tanggal 11 Maret 2008 Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2006 atas nama Pemohon Banding sekarang Termohon Peninjauan Kembali dan pajak yang kurang bayar Rp. 0,00 adalah sudah tepat dan benar yaitu bahwa Koreksi DPP PPh Ps. 26 Januari – Desember 2006 tidak dapat dibenarkan karena berdasarkan Pasal 11, P3B Indonesia- Belanda Dupaer Finance BV adalah Beneficial Owner dari biaya yang dibayar oleh Pemohon Banding/ Termohon Peninjauan Kembali;
Bahwa dengan demikian tidak terdapat Putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana dimaksud Pasal 91 huruf e Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali: DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut tidak beralasan sehingga harus ditolak;

Menimbang, bahwa dengan ditolaknya permohonan peninjauan kembali, maka Pemohon Peninjauan Kembali dinyatakan sebagai pihak yang kalah, dan karenanya dihukum untuk membayar biaya perkara dalam peninjauan kembali;

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak serta peraturan perundang-undangan yang terkait;

MENGADILI,

Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : DIREKTUR JENDERAL PAJAK, tersebut;

Menghukum Pemohon Peninjauan Kembali untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali ini sebesar Rp2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu Rupiah);

Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada hari Kamis, tanggal 6 Februari 2014, oleh DDD, S.H., M.Sc., Ketua Muda Pembinaan yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Majelis, H. BBB, S.H., M.H., dan Dr. H. CCC, S.H., M.Hum., Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota Majelis, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh Ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota Majelis tersebut dan dibantu oleh FFF, S.H., Panitera Pengganti dengan tidak dihadiri oleh para pihak.


Anggota Majelis :

ttd.
H. BBB, S.H., M.H.

ttd.
Dr. H. CCC, S.H., M.Hum.
Ketua Majelis,

ttd.
DDD, S.H., M.Sc.


Biaya - biaya :
1. Meterai...................... Rp 6.000,00
2. Redaksi .................... Rp 5.000,00
3. Administrasi ............. Rp 2.489.000,00
Jumlah ..................... Rp 2.500.000,00
Panitera Pengganti,

ttd.
FFF, S.H.


Untuk salinan
MAHKAMAH AGUNG R.I.
a.n. Panitera
Panitera Muda Tata Usaha Negara,


(NN, S.H.)
NIP xxxxxxxx

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA