Jenis
Pajak |
: |
Pajak
Pertambahan Nilai |
|
|
|
Tahun
Pajak |
: |
2007 |
|
|
|
Pokok
Sengketa |
: |
bahwa
nilai sengketa terbukti dalam sengketa banding ini adalah koreksi
positif Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp22.046.918,00
yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding; |
|
|
|
|
|
|
Menurut
Terbanding |
: |
bahwa
tidak ada TBS yang dijual oleh Pemohon Banding. Pemohon Banding
hanya menjual CPO dan PK maka berdasarkan SPT Masa PPN Pemohon Banding
terdapat penyerahan yang PPN-nya tidak dipungut dan penyerahan yang
dibebaskan dari pengenaan PPN. Berdasarkan hal tersebut maka Terbanding
tetap mempertahankan koreksi Terbanding karena terbukti bahwa terdapat
penyerahan barang atau jasa yang dibebaskan dari pengenaan PPN, yang
tentu saja berdampak untuk Pajak Masukannya terkait hal tersebut tidak
dapat dikreditkan; |
|
|
|
Menurut
Pemohon |
: |
bahwa
Pemohon Banding memproduksi CPO yang merupakan BKP yang dikenakan
PPN sebesar 10%. Dengan demikian maka semua Faktur Pajak Masukan yang
Pemohon Banding peroleh adalah berhubungan dengan penyerahan BKP yang
Pemohon Banding hasilkan. Hal ini berarti bahwa Faktur Pajak Masukan
atas aktivitas kebun Pemohon Banding sebagai contoh, atas pembelian
pupuk untuk kebun merupakan Pajak Masukan yang terkait dengan industri
penghasil CPO yang merupakan BKP dan objek PPN. Perlu Pemohon Banding
tegaskan bahwa Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan yang tidak
terutang pajak/PPN-nya dibebaskan; |
|
|
|
Menurut
Majelis |
: |
bahwa
Terbanding melakukan koreksi atas Pajak Masukan sebesar
Rp22.046.918,00 karena merupakan Pajak Masukan atas Pupuk dan Sparepart
Kendaraan yang berhubungan dengan proses menghasilkan BKP dalam hal ini
Tandan Buah Segar Kelapa Sawit tidak dapat dikreditkan, dengan alasan :
a. |
Koreksi
Terbanding (Pemeriksa) atas Faktur Pajak Masukan
adalah terkait dengan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang
atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan
PPN (unit perkebunan kelapa sawit); |
b. |
Tandan
Buah
Segar (TBS) merupakan hasil pertanian yang atas penyerahannya tidak
terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN sesuai dengan Pasal 16B
UU PPN dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007; |
c. |
Pasal
2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor
575/KMK.04/2000 menjelaskan bahwa Pajak Masukan yang dibayar atas
perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata
digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak
terutang Pajak Pertambahan Nilai atau dibebaskan dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan; |
d. |
Terbanding
melalui Surat Edaran Nomor SE-90/PJ/2011, menegaskan kembali
bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan
BKP yang tidak terutang PPN yang atas penyerahannya dibebaskan dari
pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam PMK-78/PMK.03/2010 jo.
KMK-575/KMK.04/2000; |
bahwa Pemohon Banding tidak setuju
dengan koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp22.046.918,00
atas Pupuk dan Sparepart Kendaraan yang berhubungan dengan proses
menghasilkan BKP dalam hal ini Tandan Buah Segar Kelapa Sawit dengan
penjelasan yang substansinya adalah sebagai berikut :
1. |
Nature
of Business Perusahaan Pemohon Banding adalah industri
penghasil minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil - CPO) yang mengolah
Tandan Buah Segar (TBS) sebagai bahan baku dari hasil kebun sendiri
menjadi CPO sebagai hasil akhir pabrikasi. TBS hasil kebun sendiri yang
Pemohon Banding hasilkan seluruhnya kemudian diolah lebih lanjut untuk
menghasilkan CPO yang merupakan Barang Kena Pajak (BKP) yang pada saat
penyerahannya kepada pihak pembeli dikenakan PPN; |
2. |
bahwa
Perusahaan Pemohon Banding adalah perusahaan yang:
a. |
Secara
administratif
operasional merupakan satu kesatuan; |
b. |
Dalam
pembukuan semua biaya dan penghasilan yang
diperoleh kebun dan kegiatan pabrik dicatat sebagai satu kesatuan
sehingga sama sekali tidak ada sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang
melakukan kegiatan pemisahan antara kegiatan untuk menghasilkan bahan
baku dengan kegiatan pengolahan bahan baku tersebut. Sebagai contoh,
perusahaan Pemohon Banding menggabungkan pencatatan biaya dalam rangka
menghasilkan TBS dan CPO sebagai satu kesatuan di dalam Harga Pokok
Penjualan. Dengan demikian menurut pendapat Pemohon Banding adalah
tidak tepat jika Perusahaan Pemohon Banding dikategorikan usaha yang
atas penyerahannya sebagian terutang PPN dan sebagian lainnya
dibebaskan dari pengenaan PPN seperti yang dimaksud dalam Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000; |
|
3. |
Pengertian
integrasi adalah menyatukan atau satu kesatuan, dan
seharusnya tidak dipisah-pisahkan dalam istilah unit atau kegiatan yang
terpisah. Bahwa menurut Pemohon Banding, suatu kegiatan integrasi
seharusnya bisa dilihat dari hasil akhir dari suatu barang yang
dihasilkan yaitu dapat berupa barang yang terutang PPN dan atau barang
yang tidak terutang PPN/dibebaskan dari PPN, sedangkan istilah unit
atau kegiatan yang menghasilkan barang dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 575/KMK.04/2000 telah memisahkan barang berdasarkan hasil
kegiatan, kemudian dianggap ada penyerahan dari unit perkebunan ke unit
pabrikasi. |
Bahwa berdasarkan Pasal 1A ayat (2) huruf c UU PPN yang mengatur bahwa :
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
adalah penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf f (penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau
sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang) dalam hal
Pengusaha Kena Pajak memperoleh ijin pemusatan tempat pajak terutang;
Memori penjelasannya adalah:
"Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat
usaha, baik sebagai pusat maupun cabang-cabang perusahaan, dan
Pengusaha Kena Pajak tersebut telah memperoleh ijin pemusatan tempat
pajak terutang dari Direktur Jenderal Pajak, maka pemindahan Barang
Kena Pajak dari satu tempat usaha ke tempat usaha lainnya (pusat ke
cabang atau sebaliknya, atau antar cabang) dianggap tidak termasuk
dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan
Barang Kena Pajak antar tempat-tempat pajak terutang".
Bahwa penegasan tentang penyerahan antar unit (intern) perusahaan yang
menjalankan kegiatan usaha terpadu telah ada sejak lama yaitu dalam
Surat Edaran Nomor SE-03/PJ.3/1985 tertanggal 28 Januari 1985 tentang
PPN dalam Perusahaan Terpadu yang Menghasilkan Baik BKP maupun Bukan
BKP (Seri PPN-24) yang berbunyi:
"1.
2 |
Agraria-industri:
Sebagai contoh, Perkebunan yang mengusahakan kelapa
sawit (tidak diproses) dan pabrik/kilang minyak kelapa sawit melalui
proses produksi, baik untuk dijual di dalam negeri maupun ekspor. Pada
dasarnya penyerahan antar unit (intern) perusahaan, bukan merupakan
Penyerahan Kena Pajak dan karenanya tidak terutang Pajak Pertambahan
Nilai, tergantung dari barang yang dihasilkan oleh unit-unit yang
bersangkutan yaitu berupa Barang Kena Pajak atau bukan Barang Kena
Pajak". |
Dengan demikian penyerahan TBS dari kebun ke
pabrik bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal
1A UU PPN, tetapi merupakan penyerahan di dalam satu unit usaha yaitu
penyerahan antar divisi untuk proses produksi selanjutnya karena usaha
Pemohon Banding adalah kegiatan usaha yang terpadu (integrated);
bahwa terkait dengan alasan yang dikemukakan oleh Terbanding dalam
rangka koreksi positif atas Pajak Masukan aquo dan mengingat peraturan
perundang-undangan yang berlaku Majelis berpendapat:
1. |
bahwa
Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai termasuk dalam
kategori hukum publik dimana karakteristik materi yang diatur
didalamnya bersifat material seperti pengaturan mengenai kondisi,
keadaan, peristiwa hukum yang menimbulkan kewajiban hukum dibidang
perpajakan yang biasa disebut dengan objek pajak,subjek pajak, tarif
pajak dan sebagainya sehingga sering disebut sebagai Undang-Undang
pajak material; |
|
|
2. |
bahwa
timbulnya kewajiban
Pajak Pertambahan Nilai hanya dimungkinkan apabila terjadi suatu
peristiwa sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang PPN yaitu:
- |
penyerahan
Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena
Pajak
yang dilakukan oleh Pengusaha di dalam Daerah Pabean; |
- |
Impor
Barang Kena Pajak; |
- |
Pemanfaatan
Barang Kena Pajak
tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean; |
- |
Ekspor
Barang Kena Pajak oleh
Pengusaha Kena Pajak; |
|
|
|
3. |
bahwa
terutangnya Pajak Pertambahan Nilai adalah sebuah
konsekwensi dari terjadinya perbuatan/peristiwa hukum (taatbestand) di
bidang perpajakan (disebut sebagai objek pajak) yang menimbulkan
kewajiban di bidang perpajakan berupa kewajiban pemungutan, penyetoran
dan pelaporan; |
|
|
4. |
bahwa
ketentuan mengenai tidak
dapat dikreditkannya Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang
Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur
dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN haruslah difahami dengan memperhatikan
ayat-ayat yang diatur sebelumnya dalam Pasal 16B tersebut;
bahwa Pasal 16B ayat (3) UU PPN tidaklah berdiri sendiri
tetapi karena Pasal 16B terdiri dari 3 (tiga) ayat, maka untuk memahami
kandungan yang terdapat dalam ayat (3) haruslah difahami bahwa materi
yang terkandung dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) yang ada dalam
Pasal 16B merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan;
bahwa ayat (1) Pasal 16B UU PPN mengatur mengenai
penyerahan yang bagaimana yang mendapatkan fasilitas berupa tidak
dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN, ayat (2) mengatur mengenai
perlakuan Pajak Masukan atas penyerahan yang mendapatkan fasilitas
tidak dipungut PPN dan ayat (3) mengatur mengenai perlakuan Pajak
Masukan atas penyerahan yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari
pengenaan PPN.
bahwa dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pajak masukan yang tidak dapat dikreditkan
sebagaimana dimaksud Pasal 16B ayat (3) UU PPN haruslah berhubungan
dengan adanya penyerahan yang dibebaskan dari pengenaan PPN atau dengan
kata lain, pajak masukan tidak dapat dikreditkan apabila terjadi
penyerahan BKP/JKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN;
bahwa dengan demikian, pendapat Terbanding yang menyatakan
bahwa seluruh Pajak Masukan yang dibayarkan atas perolehan BKP/JKP yang
nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan dalam hal ini
menghasilkan TBS, tidak dapat dikreditkan karena sesuai ketentuan Pasal
16B ayat (3) UU PPN adalah bertolak belakang atau bertentangan dengan
makna Pasal 16B; |
|
|
5. |
bahwa
berdasarkan Pasal 9
ayat (5) dan (6), Pasal 16B Undang-Undang PPN juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak Tertentu yang bersifat Strategis yang dibebaskan dari
Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, dan
fakta yang ada, dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:
- |
bahwa
atas penyerahan Barang Kena Pajak yang
bersifat
strategis, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; |
- |
bahwa
Tandan Buah Segar adalah
termasuk Barang Kena Pajak yang bersifat strategis; |
- |
bahwa
Pemohon Banding melakukan
penyerahan Tandan Buah Segar; |
- |
bahwa
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan
Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak
dapat dikreditkan; |
- |
bahwa
yang dimaksud dengan
penyerahan yang tidak terutang pajak yang Pajak Masukannya tidak dapat
dikreditkan adalah penyerahan barang dan jasa yang tidak dikenakan PPN
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4A dan yang dibebaskan dari pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud Pasal 16B; |
|
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan
determinasi dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (terutang pajak)
adalah adanya suatu peristiwa/objek pajak yang memiliki persyaratan
sebagai berikut:
- |
adanya
penyerahan, pemanfaatan, impor dan atau
ekspor; |
- |
atas
Barang Kena Pajak berwujud maupun tidak
berwujud; |
- |
di
dalam daerah Pabean; |
- |
dilakukan
Pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak; |
bahwa selain hal-hal sebagaimana
dikemukakan di atas ditambahkan beberapa hal sebagai berikut :
a. |
Pasal
1 angka 1 dan Pasal 2 Keputusan Direktur Jenderal
Pajak Nomor KEP-87/PJ./2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pemakaian Sendiri dan atau
Pemberian Cuma-Cuma Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak menyatakan:
Pasal 1 angka 1:
Pemakaian sendiri Barang Kena Pajak adalah pemakaian untuk
kepentingan Pengusaha sendiri, Pengurus, atau diberikan kepada anggota
keluarganya atau karyawannya, baik barang produksi sendiri maupun bukan
produksi sendiri, selain pemakaian Barang Kena Pajak untuk tujuan
produktif.
Pasal 2 :
Pemakaian Barang Kena Pajak dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak untuk
tujuan produktif belum merupakan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau
Jasa Kena Pajak sehingga tidak terutang Pajak ertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.;
|
|
|
b. |
bahwa
berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70
P/HUM/2013 pasalpasal yang menjadi objek dalam perkara hak uji materiil
yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia dinyatakan
bahwa:
- |
Pasal
1 angka 1 huruf c, Pasal 1 angka 2 huruf a,
Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan
Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang
Kena Pajak yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983
tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas
Undang-Undang Nomor &Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan karenanya
tidak sah dan tidak berlaku untuk umum; |
- |
Memerintahkan
kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 1
angka 1 huruf c. Pasal 1 angka 2 huruf a. , Pasal 2 angka 1 huruf f,
dan Pasal 2 angka 2 huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007
tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001
tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak yang Bersifat
Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai; |
|
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat
secara hierarki persyaratan terutangnya Pajak Pertambahan Nilai yang
menimbulkan kewajiban di bidang perpajakan selalu dimulai dari
terjadinya suatu kegiatan atau peristiwa yang menyebabkan beralihnya
hak atas suatu barang dan atau jasa dari dan atau kepada Subjek Pajak
dalam hal ini adalah Pengusaha Kena Pajak atau Pengusaha;
bahwa dengan demikian pernyataan Terbanding “ tidak dapat
dikreditkannya Pajak Masukan sehubungan untuk menghasilkan TBS
dikarenakan kategori penyerahannya yang dibebaskan dari pengenaan PPN
dan bukan pada hubungan sebab akibat telah terjadi atau tidak terjadi
penyerahan/penjualan TBS yang selanjutnya berdampak pada dapat atau
tidak dapatnya Pajak Masukan dikreditkan ”justru bertolak
belakang atau
bertentangan dengan sifat yang menjadi ciri karakteristik pemungutan
Pajak Pertambahan Nilai yang bersifat material yang mengedepankan
adanya suatu peristiwa hukum yang kemudian menimbulkan kewajiban hukum
dibidang perpajakan;
bahwa berdasarkan uraian tersebut
di atas, maka pernyataan Terbanding tidak dapat dikreditkannya Pajak
Masukan sehubungan untuk menghasilkan TBS dikarenakan kategori
penyerahannya yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan bukan pada
hubungan sebab akibat telah terjadi atau tidak terjadi
penyerahan/penjualan TBS yang selanjutnya berdampak pada dapat atau
tidak dapatnya Pajak Masukan dikreditkan, tidak memiliki dasar pijakan
hukum yang kuat;
bahwa dengan demikain Majelis
berketetapan untuk tidak mempertahankan Koreksi positif Pajak Masukan
yang dapat diperhitungkan sebesar Rp22.046.918,00 yang dilakukan
Terbanding. |
|
|
|
Menimbang |
: |
bahwa
dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai tarif pajak; |
|
|
|
Menimbang
|
: |
bahwa
dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai
sanksi administrasi, kecuali bahwa besarnya sanksi administrasi
tergantung pada penyelesaian sengketa lainnya; |
|
|
|
Menimbang |
: |
bahwa
atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan
untuk mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding,
sehingga Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan dihitung kembali
menjadi sebagai berikut :
Pajak
Masukan yang dapat diperhitungkan menurut
Terbanding................................ |
Rp1.797.273.726,00 |
Koreksi
yang tidak dapat
dipertahankan ................... |
Rp
22.046.918,00 |
Pajak
Masukan yang dapat diperhitungkan menurut
Majelis....................................... |
Rp1.819.320.644,00 |
|
|
|
|
Mengingat |
: |
Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan
ketentuan perundangundangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku
dan yang berkaitan dengan perkara ini;
|
|
|
|
Memutuskan |
: |
Mengabulkan
seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-377/WPJ.06/2014 tanggal 10
Maret 2014, tentang Keberatan atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak September 2007 Nomor
00018/207/07/073/13 tanggal 22 Maret 2013, atas nama: XXX, dengan
perhitungan menjadi sebagai berikut :
Dasar
Pengenaan Pajak : |
|
-
Ekspor
............................................................. |
Rp
18.415.236.492,00 |
-
Penyerahan
yang PPN-nya harus dipungut sendiri .... |
Rp
5.056.407.147,00 |
-
Penyerahan yang PPN-nya dipungut oleh
pemungut PPN
................................................... |
Rp
- |
-
Penyerahan
yang PPN-nya tidak dipungut ............... |
Rp
15.355.670.480,00 |
-
Penyerahan Barang dan Jasa yang
dibebaskan
........................................................ |
Rp
1.577.678.604,00 |
Jumlah
seluruh penyerahan
....................................... |
Rp
40.404.992.723,00 |
Perhitungan
PPN Kurang Bayar : |
|
-
Pajak
keluaran yang dipungut/dibayar sendiri ........... |
Rp
505.640.715,00 |
-
Pajak
Masukan yang dapat diperhitungkan ............... |
Rp
1.819.320.644,00 |
Jumlah
perhitungan PPN kurang
bayar ......................... |
Rp
(
1.313.679.929,00) |
Kelebihan
pajak yang sudah dikompensasikan Ke Masa
Pajak.................(karena pembetulan) |
Rp
1.313.679.929,00 |
PPN
yang kurang dibayar
......................................... |
Rp
- |
Sanksi
administrasi: Kenaikan
Pasal 13 (3) UU KUP....... |
Rp
- |
Jumlah
PPN yang masih harus
dibayar......................... |
Rp
- |
Demikian diputus di Jakarta pada hari Selasa tanggal 19 Mei 2015
berdasarkan musyawarah Majelis XIIIA Pengadilan Pajak, dengan susunan
Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut :
Drs.
AAA
............................................. |
sebagai
Hakim Ketua, |
BBB,
S.H., M.M.
................................... |
sebagai
Hakim
Anggota, |
Drs.
CCC, S.H., M.PKN. ......................... |
sebagai
Hakim Anggota, |
yang
dibantu oleh: |
|
Dra.
DDD, M.M.
................................... |
sebagai
Panitera
Pengganti, |
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada
hari Selasa tanggal 11 Agustus 2015 dengan susunan Majelis dan Panitera
Pengganti sebagai berikut :
BBB,
S.H., M.M.
................................... |
sebagai
Hakim Ketua, |
Drs.
CCC, S.H., M.PKN. ......................... |
sebagai
Hakim
Anggota, |
FFF,
Ak., M.M, C.A.
.............................. |
sebagai
Hakim Anggota, |
yang
dibantu oleh: |
|
Dra.
DDD, M.M.
................................... |
sebagai
Panitera
Pengganti, |
dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta
tidak dihadiri oleh Terbanding maupun Pemohon Banding. |