1   2   3   4   5   6

 

 

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PAJAK

 

PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

 

PETUNJUK UMUM

 

Berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 (UU KUP), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Wajib Pajak adalah sebagai berikut :

1.

Setiap Wajib Pajak wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan dengan benar, lengkap, dan jelas, dan menandatanganinya.

2.

SPT Tahunan ditandatangani oleh pengurus, direksi, orang pribadi, atau orang lain bukan Wajib Pajak sepanjang dilampiri dengan surat kuasa khusus.

3.

SPT Tahunan dianggap tidak disampaikan apabila tidak ditandatangani atau tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan atau dokumen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 534/KMK.04/2000 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-214/PJ./2001.

4.

Wajib Pajak harus mengambil sendiri formulir SPT Tahunan dan menyampaikannya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

5.

Penyampaian SPT Tahunan dapat dilakukan melalui Kantor Pos secara tercatat atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-518/PJ./2001.

6.

Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan harus dibayar lunas paling lambat tanggal 25 (dua puluh lima) bulan ketiga setelah tahun pajak berakhir. Apabila pembayaran dilakukan setelah tanggal jatuh tempo, dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

7.

Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan Giro atau bank yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran untuk menerima pembayaran pajak (Bank Persepsi).

8.

Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran pajak yang terutang pada SPT Tahunan (PPh Pasal 29) paling lama 12 (dua belas) bulan. Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-325/PJ./2001, permohonan harus diajukan secara tertulis kepada Kepala KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dengan menggunakan formulir tertentu sesuai lampiran Keputusan Direktur Jenderal tersebut.

9.

Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian SPT Tahunan paling lama 6 (enam) bulan. Permohonan harus diajukan secara tertulis disertai Surat Pernyataan mengenai penghitungan sementara besarnya pajak terutang dalam 1 (satu) tahun pajak dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak menurut penghitungan sementara tersebut.

Apabila SPT Tahunan tidak disampaikan dalam jangka waktu yang ditetapkan atau dalam batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).

10.

Setiap orang yang karena kealpaannya tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling tinggi 2 (dua) kali jumlah pajak yang terutang yang tidak atau kurang dibayar.

 

Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT Tahunan atau menyampaikan SPT Tahunan dan atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar.

 

 

PETUNJUK KHUSUS

 

Dalam rangka membantu dan memudahkan pengisian SPT Tahunan PPh Pasal 21 dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1.

Pajak Penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi yang disingkat PPh Pasal 21 atau PPh Pasal 26 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 26 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

2.

Bagi Pemotong Pajak yang membayarkan upah kepada pegawai tidak tetap yang seluruh atau sebagian dari PPh Pasal 21 terutangnya ditanggung Pemerintah harus melampirkan suatu daftar khusus yang memuat nama pegawai tidak tetap, jumlah penghasilan bruto, Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), PPh Pasal 21 yang terutang, dan PPh Pasal 21 yang ditanggung pemerintah. Bentuk Lampiran tersebut sesuai dengan contoh terlampir dalam buku petunjuk ini.

3.

Yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Pasal 21 (Formulir 1721) adalah setiap Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang terdiri dari :

 

a.

pemberi kerja yang terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap termasuk juga badan atau organisasi internasional yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai;

 

b.

bendaharawan Pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga Pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan;

 

c.

dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua;

 

d.

perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya;

 

e.

perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri;

 

f.

yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olahraga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi;

 

g.

perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;

 

h.

penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan suatu kegiatan.

 

i.

Perusahaan dan badan sebagaimana dimaksud dalam huruf d, e, dan g termasuk Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, perusahaan swasta dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan badan atau organisasi internasional dalam bentuk apapun yang tidak dikecualikan sebagai Pemotong Pajak berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000.

4.

Bagi pemotong pajak yang tidak wajib memasukkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (1771) wajib menyampaikan daftar biaya.

5.

Pemotong Pajak PPh Pasal 21 dapat menyampaikan lampiran 1721 A-1 dalam bentuk media elektronik (a.l. disket atau cartridge) dalam struktur data yang telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, sedangkan Induk SPT (Formulir 1721) tetap harus diisi dan ditandatangani oleh Pemotong Pajak dan disampaikan bersama lampirannya secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan atau dikirim melalui Kantor Pos secara tercatat atau dengan cara lain yang diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.