Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 61 Tahun 2023
Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 61 TAHUN 2023
TENTANG
TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK ATAS JUMLAH PAJAK YANG
MASIH HARUS DIBAYAR
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
- bahwa untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan terhadap pelaksanaan tindakan penagihan pajak dan peraturan perundang-undangan di bidang penagihan pajak, serta mengingat terdapat penyesuaian ketentuan mengenai bantuan penagihan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai tata cara penagihan pajak atas jumlah pajak yang masih harus dibayar;
- bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar masih memerlukan penyempurnaan untuk menampung penyesuaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sehingga perlu diganti;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, ketentuan Pasal 44E ayat (2) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan ketentuan Pasal 50 Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar;
Mengingat :
- Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
- Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6051);
- Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 226, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6834);
- Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG TATA CARA PELAKSANAAN PENAGIHAN PAJAK ATAS JUMLAH PAJAK YANG MASIH HARUS DIBAYAR.
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan:
- Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
- Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
- Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
- Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar Pajak, pemotong Pajak, dan pemungut Pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau Badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Penanggung Pajak atas Klaim Pajak adalah pihak yang identitasnya tercantum dalam klaim Pajak yang bertanggung jawab atas pembayaran nilai klaim Pajak.
- Pemegang Saham Mayoritas adalah pemegang saham yang memiliki saham lebih dari 50% (lima puluh persen) dari keseluruhan saham perusahaan.
- Pemegang Saham Pengendali adalah pemegang saham yang baik langsung maupun tidak langsung memiliki wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan.
- Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan memberhentikan jurusita Pajak, menerbitkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus, surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, surat pencabutan sita, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, pembatalan lelang, surat perintah penyanderaan, dan surat lain yang diperlukan untuk penagihan Pajak sehubungan dengan Penanggung Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang Pajak menurut undang-undang.
- Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Pajak.
- Kantor Pelayanan Pajak adalah instansi vertikal Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Kantor Wilayah.
- Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan Pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan surat paksa, penyitaan, dan penyanderaan.
- Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
- Biaya Penagihan Pajak adalah biaya pelaksanaan surat paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, jasa penilai, dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan Pajak.
- Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.
- Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
- Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh Utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak.
- Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Utang Pajak menurut peraturan perundang-undangan.
- Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan jaminan Utang Pajak.
- Barang adalah tiap benda atau hak yang dapat dijadikan Objek Sita.
- Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
- Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
- Lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
- Lembaga Jasa Keuangan Lainnya adalah lembaga jasa keuangan lainnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
- Entitas Lain adalah badan hukum seperti perseroan terbatas atau yayasan, atau non-badan hukum seperti persekutuan atau trust, yang melaksanakan kegiatan selain di sektor perbankan, pasar modal, dan perasuransian, yang dikategorikan sebagai lembaga keuangan sesuai standar pertukaran informasi berdasarkan perjanjian internasional.
- Rekening Keuangan adalah rekening yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, rekening efek dan subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan/atau Entitas Lain.
- Pemblokiran adalah tindakan pengamanan Barang milik Penanggung Pajak yang dikelola oleh Lembaga Jasa Keuangan, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain, yang meliputi rekening bagi bank, subrekening efek bagi perusahaan efek dan bank kustodian, polis asuransi bagi perusahaan asuransi, dan/atau aset keuangan lain bagi Lembaga Jasa Keuangan Lainnya dan/atau Entitas Lain, dengan tujuan agar terhadap Barang dimaksud tidak terdapat perubahan apapun, selain penambahan jumlah atau nilai.
- Bantuan Penagihan Pajak adalah fasilitas bantuan penagihan Pajak yang terdapat di dalam perjanjian internasional yang dapat dimanfaatkan oleh Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra secara resiprokal untuk melakukan penagihan atas Utang Pajak yang diadministrasikan oleh Direktur Jenderal Pajak atau otoritas pajak negara mitra atau yurisdiksi mitra.
- Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra adalah negara atau yurisdiksi yang terikat dengan Pemerintah Indonesia dalam perjanjian internasional.
- Perjanjian Internasional adalah perjanjian bilateral atau multilateral yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan ketentuan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional.
- Klaim Pajak adalah instrumen legal dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sehubungan dengan permintaan Bantuan Penagihan Pajak.
- Nilai Klaim Pajak adalah nilai uang yang dimintakan Bantuan Penagihan Pajak oleh Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang memuat antara lain nilai pokok Pajak yang masih harus dibayar, sanksi administrasi, dan biaya penagihan yang dikenakan oleh Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra.
- Rekening Pemerintah Lainnya adalah rekening pemerintah yang dipergunakan untuk menampung uang yang tidak dapat ditampung pada Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran berdasarkan tugas dan fungsi Direktorat Jenderal Pajak berupa rekening giro pada bank umum yang dipergunakan untuk menampung penerimaan dan/atau pengeluaran sementara untuk tujuan Bantuan Penagihan Pajak.
- Dokumen Penagihan Pajak adalah Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis, surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus, Surat Paksa, surat perintah melaksanakan Penyitaan, surat perintah Penyanderaan, pengumuman lelang, surat penentuan harga limit, dan surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan Pajak.
- Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Badan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Badan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Badan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Badan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status Badan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
- Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Badan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Badan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Badan yang meleburkan diri dan status Badan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
- Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Badan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Badan beralih karena hukum kepada dua Badan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Badan beralih karena hukum kepada satu Badan atau lebih.
- Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan Pajak dilaksanakan.
- Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
- Pengadilan Negeri adalah pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tindakan penagihan Pajak dilaksanakan.
- Hari adalah hari kalender.
BAB II
PEJABAT, JURUSITA PAJAK, DAN TINDAKAN PENAGIHAN
PAJAK
Bagian Kesatu
Pejabat
Pasal 2
(1) | Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan Pajak pusat. |
(2) | Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
Bagian Kedua
Jurusita Pajak
Pasal 3
(1) | Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2). |
(2) | Jurusita Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
|
Bagian Ketiga
Tindakan Penagihan Pajak
Pasal 4
(1) | Setiap Wajib Pajak wajib membayar Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. |
(2) | Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi jenis Pajak:
|
(3) | Atas Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wajib Pajak dapat mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pengangsuran dan penundaan pembayaran Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak yang masih harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pelunasan, dilakukan serangkaian tindakan penagihan Pajak. |
(1) | Serangkaian tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) terdiri atas:
|
(2) | Penjualan Barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan dengan:
|
(1) | Pejabat menerbitkan Surat Teguran setelah lewat waktu 7 (tujuh) Hari sejak saat jatuh tempo pembayaran Utang Pajak, dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi Utang Pajak. |
(2) | Apabila setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) Hari terhitung sejak tanggal Surat Teguran disampaikan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
(3) | Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak, Pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan dan Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak. |
(4) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan pengumuman lelang atas Barang sitaan yang akan dilelang. |
(5) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pengumuman lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan penjualan Barang sitaan Penanggung Pajak melalui kantor lelang negara. |
(6) | Apabila setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, Penanggung Pajak belum melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat segera menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan Barang sitaan. |
(7) | Dalam hal telah dilakukan upaya:
|
(8) | Pengusulan Pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal Surat Paksa diberitahukan tanpa didahului penerbitan surat perintah melaksanakan Penyitaan, pelaksanaan Penyitaan, atau penjualan Barang sitaan, dalam hal:
|
(9) | Dalam hal terhadap Penanggung Pajak telah dilakukan Pencegahan, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam jangka waktu paling cepat 30 (tiga puluh) Hari sebelum berakhirnya jangka waktu Pencegahan atau berakhirnya jangka waktu perpanjangan Pencegahan. |
(10) | Penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, dalam hal:
|
BAB III
PENANGGUNG PAJAK
Pasal 7
Penagihan Pajak dilakukan terhadap:
- Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi; atau
- Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan.
Penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a dilakukan terhadap:
- orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak;
- istri dari Wajib Pajak orang pribadi bersangkutan yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan sebagai satu kesatuan;
- seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta peninggalan dari Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan harta warisan belum terbagi yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
- jumlah harta warisan yang belum terbagi dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada harta warisan yang belum terbagi; atau
- seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil dari pada harta warisan yang belum terbagi;
- para ahli waris dari Wajib Pajak yang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
- porsi harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada harta warisan yang telah dibagi; atau
- seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil dari pada harta warisan yang telah terbagi;
- wali bagi anak yang belum dewasa yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
- jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau
- seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal:
a) Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil daripada jumlah harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; atau b) Pejabat dapat membuktikan bahwa wali yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta anak yang belum dewasa yang berada dalam perwaliannya; - pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan yang bertanggung jawab atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebesar:
- jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya dalam hal Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sama atau lebih besar dari pada jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau
- seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, dalam hal:
a) Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak lebih kecil daripada jumlah harta orang yang berada dalam pengampuannya; atau b) Pejabat dapat membuktikan bahwa pengampu yang bersangkutan mendapat manfaat dari pelaksanaan kepengurusan harta orang yang berada dalam pengampuannya.
(1) | Penagihan Pajak terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b dilakukan terhadap:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Penagihan Pajak terhadap pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan terhadap:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak Badan memiliki cabang, pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, termasuk kepala cabang yang bertanggung jawab atas seluruh Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dari cabang yang bersangkutan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Termasuk pengertian orang yang nyata-nyata sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf i yakni:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Termasuk pengertian pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a yakni pemilik sebenarnya atas saham. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Termasuk pengertian pemilik modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf g, dan huruf h yakni pemilik sebenarnya atas modal. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dilakukan terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) secara berurutan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Dalam hal terdapat perubahan atau penggantian pengurus yang tercantum dalam akta, penagihan Pajak dilakukan terlebih dahulu terhadap pengurus yang namanya tercantum dalam akta perubahan kemudian terhadap pengurus yang namanya tercantum dalam akta sebelumnya. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Untuk pengurus yang namanya tidak tercantum dalam akta, urutan penagihan Pajak tetap mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Urutan Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan untuk dilakukan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), tidak berlaku dalam hal:
|
(1) | Penagihan Pajak dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang: a. dinyatakan pailit; b. dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir; c. dilakukan Penggabungan; d. dilakukan Peleburan; dan/atau e. dilakukan Pemisahan. |
(2) | Dalam hal harta kekayaan Wajib Pajak yang dinyatakan pailit tidak mencukupi untuk melunasi Utang Pajak, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b. |
(3) | Setelah Wajib Pajak dibubarkan, dilikuidasi, atau status badan hukumnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, tindakan penagihan Pajak tetap dapat dilakukan kepada Penanggung Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak melakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c sampai dengan huruf e, tindakan penagihan Pajak dilakukan kepada Penanggung Pajak atas Wajib Pajak yang masih memiliki Utang Pajak sebelum dilakukan Penggabungan, Peleburan, atau Pemisahan, kecuali dapat meyakinkan Pejabat dengan membuktikan bahwa kedudukannya tidak dapat dibebani Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
BAB IV
SURAT TEGURAN, SURAT PERINTAH PENAGIHAN SEKETIKA
DAN SEKALIGUS, SURAT PAKSA, DAN SURAT PERINTAH
MELAKSANAKAN PENYITAAN
Bagian Kesatu
Surat Teguran
Pasal 11
(1) | Penagihan Pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a. |
(2) | Surat Teguran tidak diterbitkan terhadap Wajib Pajak yang telah mendapat persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). |
Bagian Kedua
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
Pasal 12
Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dalam hal:
- Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
- Penanggung Pajak memindahtangankan Barang yang dimiliki atau yang dikuasai untuk menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukan di Indonesia;
- terdapat tanda-tanda bahwa Badan akan dibubarkan, digabungkan, dimekarkan, dipindahtangankan, atau dilakukan perubahan bentuk lainnya;
- Badan akan dibubarkan oleh negara;
- terjadi Penyitaan atas Barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga; atau
- terdapat tanda-tanda kepailitan.
(1) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diterbitkan:
|
(2) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Bagian Ketiga
Surat Paksa
Pasal 14
Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) paling sedikit memuat:
- nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;
- dasar penagihan Pajak;
- besarnya Utang Pajak; dan
- perintah untuk membayar.
(1) | Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak. |
(2) | Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak. |
(3) | Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak orang pribadi dilakukan kepada:
|
(4) | Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap Penanggung Pajak atas Wajib Pajak Badan dilakukan kepada:
|
(5) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan pailit dilakukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan. |
(6) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, dilakukan kepada orang atau Badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator. |
(7) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Wajib Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, dapat dilakukan kepada penerima kuasa. |
Dalam hal Penanggung Pajak telah diterbitkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam keputusan persetujuan pengangsuran atau penundaan pembayaran Utang Pajak, Surat Paksa dapat diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran.
(1) | Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dituangkan dalam berita acara pemberitahuan Surat Paksa yang ditandatangani oleh Jurusita dan pihak yang menerima pemberitahuan Surat Paksa. |
(2) | Berita acara pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(1) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 tidak dapat dilaksanakan, Surat Paksa disampaikan melalui aparat Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa. |
(2) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggalnya, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, penyampaian Surat Paksa dilaksanakan dengan menempelkan Surat Paksa pada papan pengumuman di kantor Pejabat yang menerbitkannya, mengumumkan melalui media massa, atau cara lain. |
(3) | Cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengumumkan melalui situs resmi Direktorat Jenderal Pajak atau situs lain yang ditunjuk oleh Pejabat. |
(4) | Dalam hal pihak yang dimaksud dalam Pasal 15 menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Pajak meninggalkan Surat Paksa dimaksud dan mencatatnya dalam berita acara bahwa Penanggung Pajak menolak untuk menerima Surat Paksa, dan Surat Paksa dianggap telah diberitahukan. |
(1) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dilaksanakan di luar wilayah kerja Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat pemberitahuan Surat Paksa. |
(2) | Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk memberitahukan Surat Paksa di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota setempat. |
(3) | Dalam hal pemberitahuan Surat Paksa harus dilakukan di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
|
(4) | Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) huruf a menyampaikan informasi mengenai pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa kepada Pejabat yang meminta bantuan. |
(5) | Penyampaian informasi mengenai pelaksanaan pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan berita acara pemberitahuan Surat Paksa. |
Bagian Keempat
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
Pasal 20
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita berdasarkan surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3). |
(2) | Dalam hal Objek Sita berada di luar wilayah kerja Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa meminta bantuan kepada Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat Objek Sita berada untuk menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan kepada Jurusita untuk melakukan Penyitaan. |
(3) | Dalam hal di 1 (satu) kota terdapat lebih dari 1 (satu) Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Pajak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang menerbitkan Surat Paksa dapat memerintahkan Jurusita Pajaknya untuk melaksanakan Penyitaan terhadap Objek Sita yang berada di luar wilayah kerjanya sepanjang masih berada di kota setempat. |
(4) | Dalam hal Objek Sita berada di luar kota tempat kedudukan kantor Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa tetapi masih dalam wilayah kerjanya, Pejabat yang menerbitkan Surat Paksa:
|
(5) | Pejabat yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) huruf a memberitahukan pelaksanaan surat perintah melaksanakan Penyitaan kepada Pejabat yang meminta bantuan segera setelah Penyitaan dilaksanakan dengan mengirimkan berita acara pelaksanaan sita. |
(6) | Surat perintah melaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
BAB V
PENYITAAN DAN PENJUALAN BARANG SITAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 21
(1) | Dalam pelaksanaan Penyitaan, Jurusita Pajak harus:
|
(2) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jurusita Pajak:
|
(4) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. |
(5) | Dalam hal pelaksanaan Penyitaan tidak dihadiri oleh Penanggung Pajak atau Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh Jurusita Pajak dan saksi, dengan syarat salah seorang saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa. |
(6) | Berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. |
(7) | Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada Penanggung Pajak dan dapat ditempelkan pada Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita atau di tempat Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita berada atau di tempat umum. |
(8) | Dalam hal Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang yang kepemilikannya terdaftar, salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan juga kepada instansi tempat kepemilikan Barang dimaksud terdaftar termasuk kepada:
|
(9) | Dalam hal Penyitaan dilaksanakan terhadap Barang tidak bergerak yang kepemilikannya belum terdaftar, salinan berita acara pelaksanaan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (7) disampaikan juga kepada Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat untuk diumumkan menurut cara yang lazim di tempat itu. |
Penyitaan tambahan dapat dilaksanakan untuk:
- nilai Barang sitaan yang tidak cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak; atau
- hasil lelang, penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang tidak cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
Bagian Kedua
Objek Sita
Pasal 23
(1) | Objek Sita meliputi:
|
(2) | Pemisahan harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemisahan harta yang tercantum dalam perjanjian perkawinan yang telah dicatat oleh instansi yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Objek Sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan Penyitaan meliputi:
|
(4) | Barang bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, dapat berupa:
|
(5) | Barang tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa:
|
(1) | Penyitaan dilaksanakan dengan mendahulukan Barang bergerak, kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap Barang tidak bergerak. |
(2) | Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
|
(3) | Urutan Barang bergerak dan/atau Barang tidak bergerak yang disita ditentukan oleh Jurusita Pajak dengan memperhatikan jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak serta kemudahan penjualan atau pencairannya. |
(4) | Penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah nilai Barang sitaan diperkirakan cukup untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(5) | Dalam memperkirakan nilai Barang yang disita, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan penilaian kepada penilai pajak. |
(1) | Barang sitaan dititipkan kepada Penanggung Pajak, kecuali dalam hal menurut Jurusita Pajak Barang sitaan perlu disimpan di kantor Pejabat atau di tempat lain. |
(2) | Dasar pertimbangan Jurusita Pajak untuk menentukan tempat penitipan atau penyimpanan Barang sitaan, dapat berupa:
|
(3) | Tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
Bagian Ketiga
Pencabutan Sita
Pasal 26
(1) | Pencabutan sita dilaksanakan dalam hal:
|
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf h merupakan:
|
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf h, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan atau didapatkan. |
(5) | Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak dan instansi yang terkait. |
Bagian Keempat
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan
pada Lembaga Jasa Keuangan Sektor Perbankan, Lembaga
Jasa Keuangan Sektor Perasuransian, Lembaga Jasa
Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain
Pasal 27
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang disimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf c dan huruf d, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Untuk melaksanakan Pemblokiran, Pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran kepada:
|
(1) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dilampiri dengan:
|
(2) | Pejabat melakukan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebesar jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebagaimana tercantum dalam Surat Paksa atau daftar Surat Paksa. |
(3) | Dalam hal terdapat perbedaan mengenai identitas Penanggung Pajak yang terdapat pada data Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi identitas yang digunakan berdasarkan dokumen:
|
(1) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dilakukan secara tertulis. |
(2) | Permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sekaligus dengan permintaan pemberitahuan secara tertulis atas:
|
(1) | Atas permintaan Pemblokiran dan permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain, wajib:
|
(2) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan secara seketika setelah permintaan Pemblokiran diterima oleh Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(3) | Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberitahukan seluruh nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2). |
(4) | Atas pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan bukti penerimaan. |
(5) | Pejabat dapat mengajukan kembali permintaan pemberitahuan saldo harta kekayaan yang tersimpan pada nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak setelah diterima pemberitahuan dari Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal diketahui saldo harta kekayaan Penanggung Pajak kurang dari Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(6) | Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(1) | Atas pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan. |
(2) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(3) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat dan Penanggung Pajak segera setelah dilaksanakan Pemblokiran. |
(1) | Sejak saat diterimanya permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain tidak diizinkan melakukan pemindahbukuan dan/atau penarikan atas saldo dalam Rekening Keuangan Penanggung Pajak yang telah diblokir, kecuali terdapat permintaan dari Pejabat. |
(2) | Dalam hal terdapat informasi dan/atau data yang menunjukkan:
|
(3) | Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain wajib memberikan jawaban paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan rincian transaksi. |
(1) | Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan, dilakukan dalam hal:
|
(2) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
|
(3) | Terhadap pelaksanaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(4) | Atas pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(1) | Pembayaran Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pejabat. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
|
(1) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
(2) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan:
|
Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf i dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh Pejabat kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak.
(1) | Dalam hal setelah saldo harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain diketahui dan Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan. |
(2) | Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9. |
(3) | Atas Penyitaan terhadap saldo harta kekayaan Penanggung Pajak, Jurusita Pajak:
|
(1) | Setelah dilaksanakannya Penyitaan tetapi belum dilakukan pemindahbukuan, pencabutan sita dilakukan dalam hal:
|
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan:
|
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita atas kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Pembayaran Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah disita sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pejabat. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
|
(1) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Utang Pajak dan Biaya, Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1), Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. |
(2) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan:
|
(3) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak dilakukan sekaligus dengan penyampaian surat pencabutan sita oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a dan huruf b serta ayat (2) huruf b sampai dengan huruf h dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
- permintaan pencabutan blokir kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak; dan
- surat pencabutan sita kepada Penanggung Pajak dengan tembusan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
Bagian Kelima
Penyitaan Surat Berharga yang Diperdagangkan di Pasar Modal
Pasal 42
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Pajak yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (4) huruf e, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Pelaksanaan Pemblokiran surat berharga milik Penanggung Pajak, didahului dengan penyampaian permintaan:
|
(3) | Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal wajib memberitahukan nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Setelah mengetahui nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan Pemblokiran Rekening Keuangan yang terdapat pada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal yang ditujukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan menyebutkan:
|
(5) | Permintaan pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilampiri dengan: a. salinan Surat Paksa atau daftar Surat Paksa; dan b. salinan surat perintah melaksanakan Penyitaan. |
(6) | Ketentuan mengenai pelaksanaan Pemblokiran dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
(7) | Pejabat dapat mengajukan kembali permintaan pemberitahuan nomor Rekening Keuangan Penanggung Pajak dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak setelah diterima pemberitahuan dari Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam hal diketahui saldo harta kekayaan Penanggung Pajak kurang dari Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(8) | Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal wajib memberitahukan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya permintaan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (7). |
(9) | Atas pemberitahuan seluruh nomor Rekening Keuangan dan saldo harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (8), diberikan bukti penerimaan. |
(1) | Atas pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (6), pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal membuat berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan. |
(2) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(3) | Berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat, Otoritas Jasa Keuangan, dan Penanggung Pajak segera setelah dilaksanakan Pemblokiran. |
(1) | Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Pajak yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dilakukan dalam hal:
|
(2) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
|
(3) | Terhadap pelaksanaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(4) | Atas pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh Pejabat kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Penanggung Pajak.
(1) | Dalam hal telah diterima berita acara Pemblokiran atau dokumen yang dipersamakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan Penanggung Pajak tetap tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak, Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan. |
(2) | Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Pajak yang diperdagangkan di pasar modal dilaksanakan sampai dengan jumlah yang mencukupi untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sesuai dengan tanggung jawab Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9. |
(3) | Atas Penyitaan terhadap surat berharga milik Penanggung Pajak yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Jurusita Pajak:
|
(1) | Setelah dilaksanakan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 tetapi belum dilakukan penjualan terhadap surat berharga milik Penanggung Pajak yang diperdagangkan di bursa efek, pencabutan sita dilakukan dalam hal:
|
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi:
|
(3) | Barang lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan:
|
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan sita atas kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(5) | Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
|
Bagian Keenam
Penyitaan Surat Berharga yang Tidak Diperdagangkan di
Pasar Modal, Piutang, dan Penyertaan Modal
Pasal 48
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap:
|
(2) | Jurusita Pajak membuat:
|
(1) | Berita acara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a dan huruf b paling sedikit memuat:
|
(2) | Akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf c paling sedikit memuat:
|
(3) | Berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(4) | Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Penanggung Pajak tidak diketahui tempat tinggal, tempat usaha, atau tempat kedudukannya, atau Penanggung Pajak patut diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan, Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Jurusita Pajak membuat berita acara pelaksanaan sita. |
(5) | Dalam hal Penanggung Pajak menolak untuk menandatangani berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak, Jurusita Pajak:
|
(6) | Berita acara atau akta persetujuan pengalihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tetap sah serta mempunyai kekuatan hukum mengikat. |
(7) | Salinan berita acara atau persetujuan pengalihan hak disampaikan kepada Penanggung Pajak dan pihak yang berkewajiban membayar utang atau perusahaan tempat penyertaan modal. |
Bagian Ketujuh
Penjualan Barang Sitaan
Pasal 50
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak setelah dilakukan Penyitaan, Pejabat berwenang:
|
(2) | Dalam menentukan harga limit untuk penjualan Barang sitaan secara lelang dan menentukan harga jual untuk Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, Pejabat dapat meminta bantuan penilaian kepada penilai pajak. |
(1) | Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a dilakukan oleh pejabat lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang berwenang melaksanakan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan lelang. |
(2) | Dalam hal penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena Barang sitaan dibebani hak tanggungan atau jaminan fidusia, Pejabat dapat:
|
(3) | Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat dengan memperhatikan pembayaran Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak secara optimal. |
(4) | Dalam hal Barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilakukan penjualan, Pejabat mencabut sita. |
(1) | Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b dapat berupa:
|
(2) | Terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2, Pejabat meminta kepada pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain untuk melakukan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak. |
(3) | Terhadap surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal. |
(4) | Setelah menyampaikan permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat melakukan penjualan surat berharga milik Penanggung Pajak di bursa efek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
(5) | Terhadap piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5, Pejabat dapat:
|
(6) | Terhadap Barang yang mudah rusak atau cepat busuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat dapat menjual Barang dimaksud untuk pelunasan Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). |
(1) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan:
|
(2) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak sebesar sejumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita. |
(3) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilampiri dengan:
|
(4) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan:
|
(5) | Pejabat dapat melakukan permintaan Pemblokiran kembali terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak yang telah dilakukan pencabutan blokir dengan menyampaikan kembali permintaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2). |
Pejabat atau Jurusita Pajak yang menerima hasil penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), harus menyetorkan ke kas negara untuk melunasi Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak.
BAB VI
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Permintaan Pencegahan
Pasal 55
(1) | Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (7) dan ayat (8) hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang:
|
(2) | Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
|
(1) | Pejabat mengajukan permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 kepada Menteri. |
(2) | Atas permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(4) | Jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c diberikan paling lama 6 (enam) bulan. |
(5) | Permintaan Pencegahan sampai dengan penerbitan keputusan Menteri dilakukan secara:
|
(1) | Menteri menyampaikan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lambat 3 (tiga) Hari sejak tanggal keputusan Menteri ditetapkan. |
(2) | Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan surat permintaan untuk dilaksanakan. |
(1) | Dalam keadaan yang mendesak Direktur Jenderal Pajak dapat meminta secara langsung disertai surat permintaan Pencegahan kepada pejabat imigrasi pada tempat pemeriksaan imigrasi atau unit pelaksana teknis yang membawahi tempat pemeriksaan imigrasi untuk melakukan Pencegahan. |
(2) | Keadaan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tanda-tanda Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia atau melarikan diri ke luar negeri. |
(3) | Menteri wajib menyampaikan keputusan Menteri mengenai Pencegahan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia paling lama 20 (dua puluh) Hari terhitung sejak tanggal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan. |
(4) | Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai dengan surat permintaan untuk dilaksanakan. |
Menteri menyampaikan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58 ayat (3) ke alamat domisili Penanggung Pajak, keluarga Penanggung Pajak, atau perwakilan negara Penanggung Pajak di Indonesia paling lambat 7 (tujuh) Hari sejak tanggal keputusan Menteri ditetapkan.
Bagian Kedua
Permintaan Perpanjangan Jangka Waktu Pencegahan
Pasal 60
(1) | Pejabat dapat mengajukan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan kepada Menteri dengan ketentuan:
|
(2) | Berdasarkan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(4) | Jangka waktu perpanjangan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling lama 6 (enam) bulan. |
(1) | Menteri menyampaikan keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) kepada:
|
(2) | Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disertai dengan surat permintaan untuk dilaksanakan. |
Bagian Ketiga
Permintaan Pencabutan Pencegahan
Pasal 62
(1) | Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 berakhir karena:
|
(2) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
|
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan:
|
(4) | Terhadap pelaksanaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Dalam hal terpenuhinya salah satu pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 pada ayat (2), Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pencegahan kepada Menteri. |
(2) | Atas permintaan pencabutan Pencegahan, Menteri menetapkan keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan. |
(3) | Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan paling sedikit memuat:
|
(4) | Menteri menyampaikan Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan kepada:
|
(5) | Penyampaian Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a disertai dengan surat permintaan untuk dilaksanakan. |
BAB VII
PENYANDERAAN
Bagian Kesatu
Tata Cara Penyanderaan
Pasal 64
(1) | Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (9) dan ayat (10) hanya dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak yang:
|
(2) | Penanggung Pajak diragukan iktikad baiknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
|
(1) | Pejabat mengajukan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 kepada Menteri. |
(2) | Permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Berdasarkan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menerbitkan izin Penyanderaan. |
(4) | Izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:
|
(5) | Permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerbitan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan penyampaian izin Penyanderaan dilakukan secara:
|
(1) | Pejabat menerbitkan surat perintah Penyanderaan seketika setelah menerima izin Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (3). |
(2) | Surat perintah Penyanderaan paling sedikit memuat:
|
(3) | Jangka waktu Penyanderaan diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penanggung Pajak ditempatkan atau dititipkan dalam tempat Penyanderaan. |
(4) | Tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tempat pengekangan yang ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Jurusita Pajak menyampaikan surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) secara langsung kepada Penanggung Pajak yang akan disandera dan salinannya disampaikan kepada kepala tempat Penyanderaan. |
(2) | Penyampaian surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disaksikan oleh 2 (dua) orang penduduk Indonesia yang telah dewasa, dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak yang akan disandera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat ditemukan, Jurusita Pajak melalui Pejabat dapat meminta bantuan Kepolisian Republik Indonesia atau Kejaksaan Republik Indonesia untuk menghadirkan Penanggung Pajak yang tidak dapat ditemukan tersebut. |
(4) | Jurusita Pajak membuat berita acara penyampaian surat perintah Penyanderaan yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak yang disandera, dan saksi-saksi pada saat surat perintah Penyanderaan disampaikan kepada Penanggung Pajak yang disandera. |
(5) | Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menolak penyampaian surat perintah Penyanderaan, Jurusita Pajak:
|
(6) | Surat perintah Penyanderaan yang ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan telah disampaikan. |
(7) | Jurusita Pajak membuat:
|
(8) | Dalam hal Penanggung Pajak yang disandera menolak menandatangani berita acara pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a, Jurusita Pajak mencatat dalam berita acara yang menyatakan penolakan penandatangan berita acara pelaksanaan Penyanderaan. |
(9) | Berita acara pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan berita acara penempatan atau penitipan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf b paling sedikit memuat:
|
Penyanderaan dapat dilaksanakan terhadap Penanggung Pajak yang telah atau sedang dilakukan Pencegahan.
Bagian Kedua
Hak dan Kewajiban Penanggung Pajak yang Disandera
Pasal 69
(1) | Selama dalam Penyanderaan Penanggung Pajak berhak:
|
(2) | Penanggung Pajak yang disandera selama dalam tempat Penyanderaan wajib mematuhi tata tertib dan disiplin di tempat Penyanderaan. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak melakukan pelanggaran tata tertib dan disiplin, kepala tempat Penyanderaan memberitahukan kepada Pejabat. |
(4) | Dalam hal pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan suatu tindak pidana, kepala tempat Penyanderaan melaporkan kepada Kepolisian Republik Indonesia. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak melarikan diri dalam masa:
|
(2) | Biaya dalam rangka penangkapan yang timbul karena Penanggung Pajak melarikan diri merupakan Biaya Penagihan Pajak yang dibebankan kepada Penanggung Pajak. |
(3) | Masa pelarian Penanggung Pajak tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan. |
(1) | Selain memperoleh hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1), Penanggung Pajak yang disandera berhak mendapatkan izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan. |
(2) | Izin keluar sementara dari tempat Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Pejabat dalam hal Penanggung Pajak yang disandera:
|
(3) | Pemberian surat izin keluar sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah berkoordinasi dengan kepala tempat penyanderaan. |
(4) | Jangka waktu yang tercantum dalam surat izin keluar sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dihitung sebagai masa Penyanderaan. |
Bagian Ketiga
Perpanjangan Jangka Waktu Penyanderaan
Pasal 72
(1) | Pejabat dapat mengajukan permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan kepada Menteri dengan ketentuan:
|
(2) | Berdasarkan permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri menerbitkan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan. |
(3) | Izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(4) | Jangka waktu perpanjangan Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Penyanderaan sebelumnya berakhir. |
(5) | Permohonan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penerbitan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyampaian izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan dilakukan secara:
|
(6) | Berdasarkan izin perpanjangan jangka waktu Penyanderaan dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat menerbitkan kembali surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1). |
(7) | Mekanisme pengajuan permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dan pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 berlaku secara mutatis mutandis terhadap perpanjangan jangka waktu Penyanderaan. |
Bagian Keempat
Pelepasan Penanggung Pajak yang Dilakukan Penyanderaan
Pasal 73
(1) | Penanggung Pajak yang dilakukan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 dilepas dengan persyaratan sebagai berikut:
|
(2) | Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
|
(3) | Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a merupakan:
|
(4) | Terhadap pelaksanaan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, Pejabat menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera. |
(2) | Jurusita Pajak menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada kepala tempat Penyanderaan. |
(3) | Dalam hal Penanggung Pajak memenuhi salah satu pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2), Pejabat menyampaikan usulan pelepasan sandera kepada Menteri. |
(4) | Mekanisme permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku secara mutatis mutandis terhadap mekanisme penyampaian usulan pelepasan sandera. |
(5) | Berdasarkan usulan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menerbitkan surat rekomendasi pelepasan sandera. |
(6) | Pejabat menerbitkan surat pemberitahuan pelepasan sandera setelah menerima surat rekomendasi pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dari Menteri. |
(7) | Jurusita Pajak menyampaikan surat pemberitahuan pelepasan sandera kepada kepala tempat Penyanderaan paling lama 24 (dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diterimanya surat rekomendasi pelepasan sandera dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(1) | Selain persyaratan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1), Penanggung Pajak yang disandera dilepaskan dalam hal Penanggung Pajak yang disandera meninggal dunia di tempat Penyanderaan. |
(2) | Kepala tempat Penyanderaan segera memberitahukan kepada Pejabat dan keluarga dari Penanggung Pajak yang disandera disertai berita acara kematian. |
Bagian Kelima
Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak yang Disandera
dan Pemberian Ganti Rugi
Pasal 76
(1) | Penanggung Pajak yang disandera dapat mengajukan gugatan terhadap pelaksanaan Penyanderaan hanya kepada Pengadilan Negeri. |
(2) | Pengajuan gugatan terhadap pelaksanaan Penyanderaan tidak dapat diajukan setelah Penyanderaan berakhir. |
(3) | Dalam hal gugatan Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikabulkan dan putusan pengadilan telah mempunyai kekuatan hukum tetap, Penanggung Pajak dapat mengajukan permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas Penyanderaan yang telah dijalaninya. |
(1) | Permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (3) diajukan kepada Pejabat yang menerbitkan surat perintah Penyanderaan. |
(2) | Permohonan rehabilitasi nama baik dan ganti rugi atas masa Penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan menggunakan Bahasa Indonesia. |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(4) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan:
|
(5) | Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat yang menerbitkan surat perintah Penyanderaan, melaksanakan:
paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya permohonan secara lengkap. |
(6) | Rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dimuat dalam bentuk 1 (satu) kali pengumuman pada media massa cetak harian berskala nasional dan/atau media massa elektronik dengan ukuran yang memadai. |
(7) | Pemberian ganti rugi kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dimuat dalam surat keputusan pemberian ganti rugi. |
(8) | Surat keputusan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diterbitkan oleh Pejabat. |
(9) | Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diberikan kepada Penanggung Pajak sebesar Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) setiap Hari selama masa Penyanderaan yang telah dijalani. |
BAB VIII
BANTUAN PENAGIHAN PAJAK DENGAN NEGARA MITRA
ATAU YURISDIKSI MITRA
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Bantuan Penagihan Pajak
Pasal 78
(1) | Menteri berwenang melakukan kerja sama untuk pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak dengan Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(2) | Pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Permintaan Bantuan Penagihan Pajak dan pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak berdasarkan Perjanjian Internasional secara resiprokal. |
(4) | Perjanjian Internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam bantuan Penagihan Pajak meliputi:
|
(5) | Permintaan Bantuan Penagihan Pajak dan pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam hal Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra memiliki ketentuan domestik yang mengatur mengenai pelaksanaan Bantuan Penagihan Pajak secara resiprokal. |
(6) | Pelaksanaan permintaan Bantuan Penagihan Pajak dan pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis antara Direktur Jenderal Pajak dengan pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(7) | Dalam rangka mendukung pelaksanaan permintaan Bantuan Penagihan Pajak dan pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan korespondensi atau pembahasan dengan pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
Bagian Kedua
Permintaan Bantuan Penagihan Pajak
Pasal 79
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat mengajukan permintaan Bantuan Penagihan Pajak kepada pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf a dalam rangka memperoleh pembayaran atas Utang Pajak dan Biaya Penagihan Pajak. |
(2) | Permintaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(3) | Permintaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencantumkan informasi atau data:
|
(4) | Dalam hal permintaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d berupa pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, penjualan Barang sitaan, Pencegahan, dan/atau Penyanderaan, atau tindakan penagihan Pajak yang dapat dipersamakan di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, harus melampirkan berita acara pemberitahuan Surat Paksa. |
Direktur Jenderal Pajak dapat memberitahukan secara tertulis kepada pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam hal terdapat perubahan informasi atau data permintaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3), meliputi:
- pengurangan sebagian jumlah Utang Pajak;
- penambahan daftar Barang milik Penanggung Pajak;
- perubahan tanggal daluwarsa penagihan Pajak; dan/atau
- perubahan Nomor Rekening Pemerintah Lainnya.
(1) | Hasil permintaan Bantuan Penagihan Pajak kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) ditampung dalam Rekening Pemerintah Lainnya. |
(2) | Hasil permintaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetorkan ke kas negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
Direktur Jenderal Pajak menghentikan permintaan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 dalam hal:
- terdapat permohonan Peninjauan Kembali atas Utang Pajak yang sedang dimintakan Bantuan Penagihan Pajak; dan/atau
- terdapat pembayaran, pengurangan, atau pembatalan Utang Pajak yang sedang dimintakan Bantuan Penagihan Pajak yang mengakibatkan tidak terdapat Pajak yang masih harus dibayar.
Bagian Ketiga
Pemberian Bantuan Penagihan Pajak
Paragraf 1
Pelaksanaan Pemberian Bantuan Penagihan Pajak
Pasal 83
(1) | Pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan Klaim Pajak yang diajukan oleh pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Berdasarkan Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian kesesuaian dengan informasi atau data yang harus dimuat dalam Klaim Pajak dan kriteria pemberian Bantuan Penagihan Pajak. |
(3) | Informasi atau data yang harus dimuat dalam Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(4) | Kriteria pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(5) | Dalam hal pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e berupa pemberitahuan Surat Paksa, Penyitaan, penjualan Barang sitaan, Pencegahan, dan/atau Penyanderaan, Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra harus melampirkan dokumen yang dapat dipersamakan dengan berita acara pemberitahuan Surat Paksa. |
(6) | Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak dapat menerima atau menolak Klaim Pajak yang diajukan oleh pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(7) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menerima Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat persetujuan pemberian Bantuan Penagihan Pajak. |
(8) | Dalam hal Direktur Jenderal Pajak menolak Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat pemberitahuan penolakan pemberian Bantuan Penagihan Pajak. |
Paragraf 2
Tindakan Penagihan Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 84
(1) | Klaim Pajak yang telah disetujui untuk diberikan Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (7) merupakan dasar penagihan Pajak. |
(2) | Nilai Klaim Pajak yang tercantum dalam Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kedudukannya dipersamakan dengan Utang Pajak. |
(3) | Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan tindakan penagihan Pajak melalui kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) sesuai prinsip resiprokal. |
(1) | Pelaksanaan tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (3) dilakukan terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(2) | Tindakan penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat yang wilayah kerjanya meliputi tempat Penanggung Pajak atas Klaim Pajak atau Barang milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak berada. |
Paragraf 3
Surat Teguran untuk Penagihan Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 86
(1) | Penagihan Pajak atas Klaim Pajak dilakukan dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran. |
(2) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan setelah lewat waktu 7 (tujuh) Hari terhitung sejak saat diterima Klaim Pajak dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (7). |
Paragraf 4
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus untuk Penagihan
Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 87
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak, dalam hal:
|
(2) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus dapat diterbitkan:
|
(3) | Surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
Paragraf 5
Surat Paksa untuk Penagihan Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 88
(1) | Apabila setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) Hari terhitung sejak tanggal Surat Teguran disampaikan, Penanggung Pajak atas Klaim Pajak belum melunasi Nilai Klaim Pajak, Surat Paksa diterbitkan oleh Pejabat dan diberitahukan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(2) | Dalam hal Penanggung Pajak atas Klaim Pajak telah diterbitkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), Surat Paksa dapat diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran. |
(3) | Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(1) | Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan dan penyerahan salinan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(2) | Pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan dengan cara membacakan isi Surat Paksa oleh Jurusita Pajak. |
(3) | Pemberitahuan Surat Paksa atas orang pribadi yang identitasnya tercantum dalam Klaim Pajak dilakukan kepada:
|
(4) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Badan yang identitasnya tercantum dalam Klaim Pajak dilakukan kepada:
|
(5) | Pemberitahuan Surat Paksa atas Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakan, dapat dilakukan kepada penerima kuasa. |
Mekanisme pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, dan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemberitahuan Surat Paksa untuk penagihan Pajak atas Klaim Pajak.
Paragraf 6
Penyitaan Terhadap Barang Milik Penanggung Pajak atas Klaim
Pajak
Pasal 91
(1) | Apabila setelah lewat waktu 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, Penanggung Pajak atas Klaim Pajak belum melunasi Nilai Klaim Pajak, Pejabat menerbitkan surat perintah melaksanakan Penyitaan dan Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang tercantum dalam Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf f. |
(2) | Mekanisme pelaksanaan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) sampai dengan ayat (6) dan Pasal 21 dan penitipan Barang sitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan Penyitaan dan penitipan Barang sitaan untuk penagihan Pajak atas Klaim Pajak. |
(1) | Pencabutan sita dilaksanakan dalam hal:
|
(2) | Pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan surat pencabutan sita yang diterbitkan oleh Pejabat dan disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dan instansi yang terkait. |
Paragraf 7
Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim
Pajak yang Tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan Sektor
Perbankan, Lembaga Jasa Keuangan Sektor Perasuransian,
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain
(1) | Dalam hal Barang yang tercantum dalam Klaim Pajak berupa:
|
(2) | Mekanisme permintaan dan pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28 sampai dengan Pasal 33 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permintaan Pemblokiran dan pelaksanaan Pemblokiran harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
(1) | Pencabutan blokir harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak sebelum dilaksanakan Penyitaan, dilakukan dalam hal:
|
(2) | Atas pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Nilai Klaim Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Nilai Klaim Pajak. |
(1) | Pembayaran Nilai Klaim Pajak dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang telah diblokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pejabat. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan:
|
(3) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang diblokir untuk membayar Nilai Klaim Pajak, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan:
|
Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf f dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh Pejabat kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak.
Mekanisme Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Penyitaan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain untuk penagihan Pajak atas Klaim Pajak.
Setelah dilaksanakannya Penyitaan tetapi belum dilakukan pemindahbukuan, pencabutan sita dilakukan dalam hal:
- Penanggung Pajak atas Klaim Pajak membayar Nilai Klaim Pajak dengan menggunakan harta kekayaan yang telah disita;
- Penanggung Pajak atas Klaim Pajak melunasi Nilai Klaim Pajak;
- adanya putusan pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan pajak;
- Barang sitaan musnah karena gagal teknologi;
- Barang sitaan digunakan untuk kepentingan umum;
- hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak yang menjadi dasar dilakukan Penyitaan telah daluwarsa penagihan;
- pemberian Bantuan Penagihan Pajak telah dihentikan; dan/atau
- pemberian Bantuan Penagihan Pajak telah diselesaikan.
(1) | Pembayaran Nilai Klaim Pajak dengan menggunakan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 huruf a dilakukan dengan mengajukan permohonan kepada Pejabat. |
(2) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dengan melampirkan surat setoran ke Rekening Pemerintah Lainnya untuk pembayaran Nilai Klaim Pajak dengan mencantumkan informasi yang paling sedikit memuat:
|
(3) | Berdasarkan permohonan penggunaan harta kekayaan yang disita untuk membayar Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak, yang dilampiri dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Berdasarkan permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain secara seketika melakukan:
|
(5) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dilakukan sekaligus dengan penyampaian surat pencabutan sita oleh Pejabat kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dengan tembusan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain. |
Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 huruf b sampai dengan huruf h dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
- permintaan pencabutan blokir kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain dengan tembusan kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak; dan
- surat pencabutan sita kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dengan tembusan kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain.
Paragraf 8
Penyitaan Terhadap Barang Milik Penanggung Pajak atas Klaim
Pajak Berupa Surat Berharga yang Diperdagangkan di Pasar Modal
Pasal 101
(1) | Jurusita Pajak melaksanakan Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak berupa surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal, dengan melakukan Pemblokiran terlebih dahulu. |
(2) | Mekanisme permintaan dan pelaksanaan Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2) sampai dengan ayat (9) dan Pasal 43 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permintaan dan pelaksanaan Pemblokiran terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak berupa surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal. |
(1) | Pencabutan blokir sebelum dilaksanakan Penyitaan Barang milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak berupa surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, dilakukan dalam hal:
|
(2) | Atas Pemblokiran yang dilakukan melebihi jumlah Nilai Klaim Pajak yang menjadi dasar dilakukan Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, pencabutan blokir dilakukan terhadap nilai yang melebihi jumlah Nilai Klaim Pajak. |
(3) | Pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permintaan pencabutan blokir yang diajukan oleh Pejabat kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal dengan tembusan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
Mekanisme Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak berupa surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Penyitaan terhadap Barang milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak berupa surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal.
(1) | Setelah dilakukan Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 tetapi belum dilakukan penjualan terhadap surat berharga milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang diperdagangkan di bursa efek, pencabutan sita dilakukan dalam hal:
|
(2) | Pelaksanaan pencabutan sita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat dengan menyampaikan:
|
Paragraf 9
Penyitaan Surat Berharga yang Tidak Diperdagangkan di Pasar
Modal, Piutang, dan Penyertaan Modal Milik Penanggung Pajak
atas Klaim Pajak
Pasal 105
Mekanisme Penyitaan surat berharga yang tidak diperdagangkan di pasar modal, piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 berlaku secara mutatis mutandis terhadap Penyitaan surat berharga yang tidak diperdagangkan di pasar modal, piutang, dan penyertaan modal milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak.
Paragraf 10
Penjualan Barang Sitaan untuk Pelunasan Nilai Klaim Pajak
Pasal 106
(1) | Dalam hal Penanggung Pajak atas Klaim Pajak tidak melunasi Nilai Klaim Pajak setelah dilakukan Penyitaan, Pejabat berwenang:
|
(2) | Dalam menentukan harga limit untuk penjualan Barang sitaan secara lelang dan menentukan harga jual untuk Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, Pejabat dapat meminta bantuan penilaian kepada penilai pajak. |
(3) | Pejabat atau Jurusita Pajak yang menerima hasil penjualan secara lelang atau penggunaan, penjualan, dan/atau pemindahbukuan Barang sitaan yang penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus menyetorkan ke Rekening Pemerintah Lainnya untuk melunasi Nilai Klaim Pajak. |
Pelaksanaan penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a dilakukan oleh pejabat lelang pada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang yang berwenang melaksanakan lelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai petunjuk pelaksanaan lelang.
(1) | Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b dapat berupa:
|
(2) | Terhadap harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang tersimpan pada Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 1 dan angka 2, Pejabat meminta kepada pihak Lembaga Jasa Keuangan sektor perbankan, Lembaga Jasa Keuangan sektor perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau Entitas Lain untuk melakukan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(3) | Terhadap surat berharga yang diperdagangkan di pasar modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 3, Pejabat menyampaikan permintaan pencabutan blokir kepada Lembaga Jasa Keuangan sektor pasar modal. |
(4) | Setelah menyampaikan permintaan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat melakukan penjualan surat berharga milik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak di bursa efek sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. |
(5) | Terhadap piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 5, Pejabat dapat:
|
(6) | Terhadap Barang yang mudah rusak atau cepat busuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Pejabat dapat menjual Barang dimaksud untuk pelunasan Nilai Klaim Pajak sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6). |
(1) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (2) dilakukan dengan menyampaikan:
|
(2) | Pelaksanaan pemindahbukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak sebesar jumlah yang tercantum dalam berita acara pelaksanaan sita. |
(3) | Permintaan pencabutan blokir dan pemindahbukuan harta kekayaan Penanggung Pajak atas Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilampiri dengan surat setoran ke Rekening Pemerintah Lainnya untuk pembayaran Nilai Klaim Pajak dengan mencantumkan informasi yang paling sedikit memuat:
|
Paragraf 11
Pencegahan Terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 110
(1) | Dalam hal telah dilakukan upaya:
|
(2) | Pengusulan Pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal Surat Paksa diberitahukan tanpa didahului penerbitan surat perintah melaksanakan Penyitaan, pelaksanaan Penyitaan, atau penjualan Barang sitaan, dalam hal:
|
(3) | Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang merupakan orang pribadi. |
(4) | Mekanisme permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 sampai dengan Pasal 59 dan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal 61 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permintaan Pencegahan dan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(1) | Pencegahan terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 berakhir karena: a. jangka waktu yang ditetapkan telah habis; atau b. dicabut berdasarkan keputusan Menteri. |
(2) | Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut:
|
(3) | Terhadap pelaksanaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(4) | Dalam hal terpenuhinya salah satu pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat mengajukan permintaan pencabutan Pencegahan kepada Menteri. |
(5) | Mekanisme permintaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) sampai dengan ayat (5) berlaku secara mutatis mutandis terhadap permintaan pencabutan Pencegahan terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
Paragraf 12
Penyanderaan Terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 112
(1) | Dalam hal terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak telah dilakukan Pencegahan, Penyanderaan dapat dilakukan terhadap Penanggung Pajak dalam jangka waktu paling cepat 30 (tiga puluh) Hari sebelum berakhirnya jangka waktu Pencegahan atau berakhirnya jangka waktu perpanjangan Pencegahan. |
(2) | Penyanderaan dapat dilakukan setelah lewat waktu 14 (empat belas) Hari sejak tanggal Surat Paksa diberitahukan, dalam hal:
|
(3) | Mekanisme permohonan izin Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dan Pasal 65, penerbitan surat perintah Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, pelaksanaan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 71, dan perpanjangan jangka waktu Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan izin Penyanderaan, penerbitan surat perintah Penyanderaan, pelaksanaan Penyanderaan dan perpanjangan jangka waktu Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(1) | Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang dilakukan Penyanderaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 112 dilepas dengan persyaratan sebagai berikut:
|
(2) | Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
|
(3) | Terhadap pelaksanaan pelepasan sandera sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Pejabat melakukan Penyitaan terlebih dahulu atas Barang yang diserahkan. |
(4) | Dalam hal Penanggung Pajak atas Klaim Pajak memenuhi pertimbangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat menyampaikan usulan pelepasan sandera kepada Menteri. |
(5) | Mekanisme pelepasan sandera sebagaimana dimaksud dalam:
|
(1) | Selain persyaratan pelepasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1), Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang disandera dilepaskan dalam hal Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang disandera meninggal dunia di tempat Penyanderaan. |
(2) | Kepala tempat Penyanderaan segera memberitahukan kepada Pejabat dan keluarga dari Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang disandera disertai berita acara kematian. |
Mekanisme permohonan dan pelaksanaan rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak dan pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 77 berlaku secara mutatis mutandis terhadap permohonan dan pelaksanaan rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang disandera dan pemberian ganti rugi.
Paragraf 13
Pembayaran Nilai Klaim Pajak
Pasal 116
(1) | Penanggung Pajak atas Klaim Pajak melakukan pembayaran Nilai Klaim Pajak dengan menyetor ke Rekening Pemerintah Lainnya. |
(2) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mencantumkan informasi yang paling sedikit memuat:
|
(3) | Penanggung Pajak harus memberitahukan pembayaran Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Pejabat. |
(1) | Dalam hal Nilai Klaim Pajak dapat tertagih, Biaya Penagihan Pajak ditanggung oleh Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra yang meminta Bantuan Penagihan Pajak. |
(2) | Dalam hal Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat tertagih, Biaya Penagihan Pajak ditanggung oleh negara Indonesia. |
Dalam hal Penanggung Pajak atas Klaim Pajak yang dimintakan Bantuan Penagihan Pajak oleh Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra juga mempunyai Utang Pajak di Indonesia, negara Indonesia memiliki hak mendahulu untuk menagih Utang Pajak di Indonesia.
Paragraf 14
Pengiriman Hasil Penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak
Pasal 119
(1) | Direktur Jenderal Pajak menampung dan mengirimkan hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra melalui Rekening Pemerintah Lainnya. |
(2) | Hasil penagihan Pajak yang dikirimkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa nilai keseluruhan atau nilai sebagian dengan terlebih dahulu memperhitungkan Utang Pajak di Indonesia, Biaya Penagihan Pajak, dan biaya lain sehubungan dengan penampungan dan pengiriman hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan pengiriman hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
(4) | Pengiriman hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak kepada Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dilakukan sebelum tanggal daluwarsa hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf g. |
(1) | Pengiriman hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) dilakukan dengan menerbitkan bukti penyetoran berupa surat setoran Klaim Pajak. |
(2) | Surat setoran Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
(3) | Surat setoran Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan:
|
Paragraf 15
Pemberitahuan Perubahan Informasi dalam Klaim Pajak dan
Penghentian Pemberian Bantuan Penagihan Pajak
Pasal 121
(1) | Pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dapat memberitahukan perubahan informasi yang tercantum dalam Klaim Pajak, meliputi:
|
(2) | Pemberitahuan perubahan sebagaimana dimaksud pada:
|
(3) | Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penyesuaian informasi yang tercantum dalam Klaim Pajak. |
(4) | Tindakan penagihan Pajak atas Klaim Pajak dilakukan berdasarkan Klaim Pajak yang telah disesuaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(1) | Dalam hal terdapat permintaan penghentian pemberian Bantuan Penagihan Pajak dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Jenderal Pajak menghentikan pemberian Bantuan Penagihan Pajak atas Klaim Pajak yang sedang dilakukan tindakan penagihan Pajak atas Klaim Pajak. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak menghentikan pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan memberitahukan penghentian pemberian Bantuan Penagihan Pajak secara tertulis kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dan/atau pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra. |
Paragraf 16
Pembetulan Penyetoran dan Pengembalian Hasil Penagihan Pajak
atas Nilai Klaim Pajak
Pasal 123
(1) | Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dapat mengajukan permohonan pembetulan kekeliruan penyetoran Nilai Klaim Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak. |
(2) | Berdasarkan permohonan dari Penanggung Pajak atas Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian. |
(3) | Berdasarkan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
|
(4) | Dalam hal berdasarkan surat keterangan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menyebabkan kelebihan setor dan hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak belum dikirim ke Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Jenderal Pajak mengembalikan sejumlah kelebihan setor ke Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(5) | Dalam hal berdasarkan surat keterangan pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a menyebabkan kelebihan setor dan hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sudah dikirim ke Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan kelebihan setor ke Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dengan tembusan kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
(1) | Direktur Jenderal Pajak mengembalikan hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dalam hal terdapat:
|
(2) | Dalam hal surat setoran Klaim Pajak sudah diterbitkan, pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah surat setoran Klaim Pajak dibatalkan. |
(3) | Direktur Jenderal Pajak mengembalikan hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk uang. |
(4) | Dalam hal hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari hasil pelaksanaan lelang, Penanggung Pajak atas Klaim Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak menuntut pengembalian Barang yang telah dilelang. |
(1) | Pengembalian hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (4) dan Pasal 124 ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan Utang Pajak di Indonesia, Biaya Penagihan Pajak, dan biaya lain sehubungan dengan penampungan dan pengembalian hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak. |
(2) | Pengembalian hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menerbitkan bukti pengembalian berupa surat pengembalian Klaim Pajak. |
(3) | Surat pengembalian Klaim Pajak paling sedikit memuat:
|
(4) | Surat pengembalian Klaim Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan:
|
Dalam hal terdapat:
- pengiriman hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2); atau
- pengembalian hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak kepada Penanggung Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1),
- dengan menggunakan satuan mata uang selain rupiah, hasil penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak dikonversi dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh bank tempat pembukaan Rekening Pemerintah Lainnya pada tanggal transaksi.
Paragraf 17
Penyelesaian Pemberian Bantuan Penagihan Pajak
Pasal 127
(1) | Direktur Jenderal Pajak menyampaikan pemberitahuan penyelesaian pemberian Bantuan Penagihan Pajak kepada pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra dalam hal:
|
(2) | Pemberitahuan penyelesaian pemberian Bantuan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditembuskan kepada Penanggung Pajak atas Klaim Pajak. |
BAB IX
PEMBETULAN, PENGGANTIAN, DAN PEMBATALAN DOKUMEN
PENAGIHAN PAJAK
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Pembetulan, Penggantian, dan Pembatalan
Dokumen Penagihan Pajak
Pasal 128
(1) | Terhadap Dokumen Penagihan Pajak dapat dilakukan pembetulan, penggantian, atau pembatalan. |
(2) | Pembetulan, penggantian, atau pembatalan Dokumen Penagihan Pajak dilakukan:
|
(3) | Pembetulan Dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal terdapat kesalahan atau kekeliruan dalam penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, jumlah Utang Pajak, atau keterangan lain. |
(4) | Penggantian Dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal hilang, rusak, atau karena alasan lain. |
(5) | Pembatalan Dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal seharusnya tidak diterbitkan. |
Bagian Kedua
Keputusan Pembetulan, Penggantian, dan Pembatalan Dokumen
Penagihan Pajak Berdasarkan Permohonan Penanggung Pajak
Pasal 129
(1) | Pejabat melakukan penelitian atas permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf a. |
(2) | Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat harus memberi keputusan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari sejak tanggal diterima permohonan. |
(3) | Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui, Pejabat tidak memberikan keputusan:
|
(5) | Berdasarkan keputusan pembetulan atau penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), Pejabat menerbitkan Dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau Dokumen Penagihan Pajak pengganti dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari Sejak tanggal keputusan pembetulan atau penggantian. |
(6) | Dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan Dokumen Penagihan Pajak yang dibetulkan atau diganti. |
(7) | Dalam hal permohonan pembetulan, penggantian, atau pembatalan tidak diberikan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaksanaan penagihan Pajak ditunda sampai dengan Dokumen Penagihan Pajak pembetulan, Dokumen Penagihan Pajak pengganti, keputusan pembatalan Dokumen Penagihan Pajak diterbitkan. |
Bagian Ketiga
Keputusan Pembetulan, Penggantian, dan Pembatalan Dokumen
Penagihan Pajak secara Jabatan oleh Pejabat
Pasal 130
(1) | Pejabat melakukan pembetulan, penggantian, atau pembatalan Dokumen Penagihan Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf b dengan melakukan penelitian. |
(2) | Berdasarkan hasil penelitian, Pejabat menerbitkan:
|
(3) | Berdasarkan keputusan pembetulan atau penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat menerbitkan Dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau Dokumen Penagihan Pajak pengganti dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari terhitung sejak tanggal keputusan pembetulan atau penggantian. |
(4) | Dokumen Penagihan Pajak pembetulan atau pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial dan/atau kedudukan hukum yang sama dengan Dokumen Penagihan Pajak yang dibetulkan atau diganti. |
Bagian Keempat
Mekanisme Pembetulan, Penggantian, dan Pembatalan Dokumen
Penagihan Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 131
Mekanisme pembetulan, penggantian, atau pembatalan Dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128, Pasal 129, dan Pasal 130 berlaku secara mutatis mutandis terhadap pembetulan, penggantian, atau pembatalan Dokumen Penagihan Pajak atas Klaim Pajak.
BAB X
PERMOHONAN DARI PENANGGUNG PAJAK DAN/ATAU
PENYAMPAIAN DOKUMEN PENAGIHAN PAJAK
Bagian Kesatu
Permohonan dari Penanggung Pajak
Pasal 132
(1) | Penanggung Pajak dapat menyampaikan:
|
(2) | Penanggung Pajak atas Klaim Pajak dapat menyampaikan:
|
(3) | Permohonan dan/atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan:
|
Bagian Kedua
Penyampaian Dokumen Penagihan Pajak dari Pejabat kepada
Penanggung Pajak atau Penanggung Pajak atas Klaim Pajak
Pasal 133
(1) | Pejabat menyampaikan Dokumen Penagihan Pajak berupa:
|
(2) | Penyampaian Dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
Bagian Ketiga
Penyampaian Surat Terkait Pemberian Bantuan Penagihan Pajak
dari Direktur Jenderal Pajak kepada Penanggung Pajak atas Klaim
Pajak
Pasal 134
(1) | Direktur Jenderal Pajak menyampaikan:
|
(2) | Penyampaian surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
(1) | Penyampaian permohonan dan/atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) huruf c, Dokumen Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (2) huruf c, dan surat sebagaimana dimaksud dalam 134 ayat (2) huruf c dilakukan dalam hal sistem sudah tersedia. |
(2) | Tata cara penyampaian permohonan dan/atau pemberitahuan, Dokumen Penagihan Pajak, dan surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan Peraturan Menteri yang mengatur mengenai tata cara pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan serta penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan pajak secara elektronik. |
Bagian Keempat
Penyampaian Dokumen Penagihan Pajak kepada Lembaga Jasa
Keuangan Sektor Perbankan, Lembaga Jasa Keuangan Sektor
Perasuransian, Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, dan/atau
Entitas Lain
Pasal 136
(1) | Pejabat menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal saluran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau terdapat gangguan teknis pada sistem, penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
Bagian Kelima
Penyampaian Dokumen Penagihan Pajak kepada Lembaga Jasa
Keuangan Sektor Pasar Modal dan/atau Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 137
(1) | Pejabat menyampaikan:
|
(2) | Dalam hal saluran elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia atau terdapat gangguan teknis pada sistem, penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
Bagian Keenam
Penyampaian Dokumen Terkait Bantuan Penagihan Pajak kepada
Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra
Pasal 138
(1) | Direktur Jenderal Pajak menyampaikan:
|
(2) | Pejabat yang berwenang di Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra menyampaikan:
|
(3) | Penyampaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan:
|
BAB XI
DALUWARSA PENAGIHAN
Pasal 139
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak, daluwarsa setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian tahun Pajak atau tahun Pajak yang bersangkutan. |
(2) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk Utang Pajak tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang belum diselesaikan. |
(3) | Daluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tertangguh dalam hal:
|
(1) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (3) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (3) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan Biaya Penagihan Pajak, atas Utang Pajak tahun Pajak 2008 dan setelahnya, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan surat tagihan pajak, surat ketetapan pajak kurang bayar, serta surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan, dan surat keputusan pembetulan, surat keputusan keberatan, putusan banding, serta putusan peninjauan kembali. |
(2) | Daluwarsa penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh dalam hal:
|
(1) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(2) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf b, dalam hal Wajib Pajak:
|
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e hanya berlaku untuk Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang terkait dengan jumlah pajak dalam surat ketetapan pajak yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan. |
(1) | Dalam hal terhadap Wajib Pajak diterbitkan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (3) huruf a dan Pasal 141 ayat (2) huruf a, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal diberitahukannya Surat Paksa. |
(2) | Dalam hal terhadap Surat Paksa dilakukan pembetulan atau penggantian, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak:
|
(3) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) dan Pasal 142 ayat (1), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(4) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (2), daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(5) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal:
|
(6) | Dalam hal Wajib Pajak menyatakan pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (2) huruf e, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal diterbitkan surat keputusan keberatan atau putusan banding. |
(7) | Dalam hal terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (2) huruf c, daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat perintah penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. |
(8) | Dalam hal suatu dasar penagihan Pajak terdapat lebih dari 1 (satu) kondisi yang menyebabkan daluwarsa penagihan Pajak tertangguh, penangguhan daluwarsa penagihan Pajak dihitung sejak tanggal terakhir penyebab tertangguhnya daluwarsa penagihan Pajak. |
Penagihan Pajak atas Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengikuti daluwarsa atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah yang menjadi dasar penagihan Pajaknya.
(1) | Hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak daluwarsa sejak tanggal daluwarsa yang tercantum dalam Klaim Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf g. |
(2) | Dalam hal terdapat pemberitahuan dari Negara Mitra atau Yurisdiksi Mitra mengenai perubahan tanggal daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (3) huruf g, hak untuk melakukan penagihan Pajak atas Nilai Klaim Pajak daluwarsa sejak tanggal daluwarsa yang tercantum dalam pemberitahuan. |
BAB XII
DUKUNGAN PELAKSANAAN TINDAKAN PENAGIHAN PAJAK
Pasal 146
(1) | Dalam mendukung pelaksanaan tindakan penagihan Pajak:
|
(2) | Pemberian rekomendasi dan/atau permohonan pembatasan atau pemblokiran layanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan ketentuan:
|
(3) | Atas pembatasan atau pemblokiran layanan publik tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Direktur Jenderal Pajak dapat memberikan rekomendasi dan/atau mengajukan permohonan pembukaan dalam hal:
|
BAB XIII
PELIMPAHAN KEWENANGAN
Bagian Kesatu
Pelimpahan Kewenangan Menteri
Pasal 147
Menteri dapat memberikan pelimpahan kewenangan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Pajak untuk:
- menetapkan permintaan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1);
- menyampaikan Keputusan Menteri mengenai Pencegahan dan surat permintaan untuk dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 dan Pasal 58;
- menetapkan permintaan perpanjangan jangka waktu Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1);
- menyampaikan Keputusan Menteri mengenai perpanjangan jangka waktu Pencegahan dan surat permintaan untuk dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61;
- menetapkan permintaan pencabutan Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (1); dan
- menyampaikan Keputusan Menteri mengenai pencabutan Pencegahan dan surat permintaan untuk dilaksanakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (4) dan ayat (5).
Bagian Kedua
Pelimpahan Kewenangan Direktur Jenderal Pajak
Pasal 148
(1) | Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk:
|
(2) | Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk:
|
(3) | Kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk memberikan rekomendasi dan/atau permohonan:
|
(4) | Pejabat yang menerima pelimpahan kewenangan dalam bentuk delegasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat mendelegasikan lebih lanjut atau mensubdelegasikan kewenangan dimaksud kepada pejabat satu tingkat dibawahnya. |
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 149
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Dokumen Penagihan Pajak, daftar, formulir, dan laporan yang telah diterbitkan dalam rangka penagihan Pajak sebelum berlakunya Peraturan Menteri dinyatakan tetap berlaku.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 150
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 85/KMK.03/2002 tentang Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa;
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23/PMK.03/2006 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 85/KMK.03/2002 tentang Tata Cara Penyitaan Kekayaan Penanggung Pajak Berupa Piutang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa; dan
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar (Berita Negara Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1394),
- dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Juni 2023
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
SRI MULYANI INDRAWATI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2023
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ASEP N. MULYANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 446
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.