Peraturan Pemerintah Nomor : 7 TAHUN 2021
Kemudahan, Pelindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2021
TENTANG
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 94, Pasal 104, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 3502);
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH.
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
- Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
- Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
- Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini.
- Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Menengah sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah ini.
- Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
- Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perkoperasian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
- Kemitraan dengan Pola Rantai pasok adalah kerja sama antar usaha baik mikro, kecil, menengah dan besar yang memiliki ketergantungan dalam aliran barang dan jasa yang mengubah bahan mentah menjadi produk dalam upaya yang efisien dan ekonomis mencakup berbagai proses dari produksi, pengembangan produk dan jasa, sistem informasi, serta pengemasan produk atau penghantaran jasa kepada konsumen.
- Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
- Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
- Inkubasi adalah suatu proses pembinaan, pendampingan, dan pengembangan yang diberikan oleh lembaga inkubator kepada peserta inkubasi (tenant).
- Dinas adalah dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
- Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
- Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) | Kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
|
BAB II
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI
Bagian Kesatu
Kemudahan Penyelenggaraan Koperasi
Paragraf 1
Pembentukan Koperasi
(1) | Koperasi primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang. |
(2) | Koperasi sekunder dibentuk paling sedikit oleh 3 (tiga) Koperasi. |
Koperasi memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkan surat keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia tentang pengesahan badan hukum Koperasi.
Pembentukan Koperasi dilakukan dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar.
(1) | Dalam pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diawali dengan rapat pembentukan Koperasi yang dihadiri oleh pendiri. |
(2) | Rapat pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring dan/atau luring. |
(3) | Hasil rapat pembentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dengan notulen atau berita acara yang ditandatangani oleh pimpinan rapat, dalam bentuk paraf atau tanda tangan dengan tinta basah atau elektronik. |
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pendampingan bagi kelompok masyarakat yang akan membentuk Koperasi.
Paragraf 2
Rapat Anggota
Pasal 8
(1) | Rapat anggota dapat dilaksanakan secara daring dan/atau luring. |
(2) | Hasil pelaksanaan rapat anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kementerian dan/atau Dinas melalui sistem pelaporan secara elektronik. |
(3) | Dalam hal pelaporan hasil pelaksanaan rapat anggota tidak dapat dilakukan melalui sistem pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hasil pelaksanaan rapat anggota disampaikan secara manual. |
(4) | Kementerian dan/atau Dinas memfasilitasi kemudahan pelaporan hasil pelaksanaan rapat anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam serta usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah wajib menyampaikan laporan kepada Kementerian dan/atau Dinas secara periodik dan sewaktu-waktu. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui sistem pelaporan secara elektronik. |
(3) | Sistem pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat oleh Kementerian. |
(4) | Dinas dapat membuat sistem pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan ketentuan mengenai sistem pelaporan secara elektronik yang ditetapkan oleh Kementerian. |
(5) | Dalam hal sistem pelaporan secara elektronik belum terbentuk, Koperasi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara manual. |
Bagian Kedua
Usaha Koperasi
Paragraf 1
Umum
Pasal 10
(1) | Usaha Koperasi merupakan usaha yang:
|
(2) | Usaha Koperasi yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit:
|
(3) | Usaha Koperasi untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit:
|
(1) | Kegiatan usaha Koperasi dapat dilaksanakan secara: a. tunggal usaha; atau b. serba usaha. |
(2) | Kegiatan usaha Koperasi yang dilaksanakan secara tunggal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Koperasi yang diselenggarakan pada 1 (satu) bidang atau sektor usaha tertentu. |
(3) | Kegiatan usaha Koperasi yang dilaksanakan secara serba usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Koperasi yang diselenggarakan dengan beberapa kegiatan usaha pada 1 (satu) atau lebih bidang atau sektor usaha tertentu. |
(4) | Kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memiliki bidang usaha inti. |
(5) | Kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan paling sedikit:
|
(6) | Kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki dan/atau memanfaatkan platform teknologi digital untuk mendorong akselerasi dan integrasi serta daya saing. |
(1) | Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik minat masyarakat menjadi anggota Koperasi. |
(2) | Kelebihan kemampuan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Koperasi simpan pinjam dan unit usaha simpan pinjam Koperasi. |
(3) | Kelebihan kemampuan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung oleh pengurus Koperasi secara periodik atau pada saat transaksi kegiatan usaha langsung. |
(4) | Pelayanan kepada masyarakat yang bukan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai transaksi bisnis. |
(5) | Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip Koperasi:
|
Paragraf 2
Usaha Koperasi yang Melaksanakan Prinsip Syariah
Pasal 13
(1) | Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah. |
(2) | Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan kata "Syariah" dalam penamaan Koperasi. |
(3) | Usaha Koperasi berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat Dilaksanakan oleh Koperasi syariah. |
(4) | Usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib dituangkan dalam anggaran dasar Koperasi. |
(5) | Koperasi syariah didirikan, dikelola, dan menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. |
(6) | Koperasi syariah harus melaksanakan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. |
(1) | Koperasi syariah melaksanakan kegiatan usaha syariat berdasarkan paling sedikit:
|
(2) | Usaha Koperasi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan akad pinjam-meminjam, bagi hasil, sewa-menyewa, jual beli, dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah. |
(3) | Koperasi syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal untuk pemberdayaan sosial ekonomi anggota dan masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah hanya dapat dilaksanakan oleh:
|
(2) | Usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh Koperasi syariah dilaksanakan dengan kegiatan sesuai dengan Prinsip Syariah, meliputi:
|
(3) | Koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal untuk pemberdayaan sosial ekonomi anggota dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melaksanakan kegiatan usaha secara elektronik. |
Koperasi syariah yang menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) atau Koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah yang menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), melaporkan pelaksanaan fungsi sosial kepada Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, Badan Amil Zakat Nasional, dan Badan Wakaf Indonesia.
(1) | Koperasi syariah wajib mempunyai dewan pengawas syariah. |
(2) | Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas paling sedikit memberikan nasihat dan saran kepada pengurus serta mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan Prinsip Syariah. |
(3) | Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki pengetahuan mengenai Prinsip Syariah. |
(1) | Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama melakukan pembinaan dan pengembangan kapasitas dewan pengawas syariah pada Koperasi syariah. |
(2) | Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui pelatihan dan/atau bimbingan teknis. |
(3) | Dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. |
(4) | Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama mendelegasikan pelaksanaan pembinaan atau pengembangan kapasitas dengan pengawas syariah Koperasi syariah kepada gubernur dan/atau bupati/wali kota berdasarkan wilayah keanggotaan Koperasi. |
Bagian Ketiga
Pelindungan Koperasi
Pasal 19
- menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan Koperasi; dan
- menetapkan bidang dan sektor usaha di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.
Selain pelindungan terhadap Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pemulihan usaha Koperasi dalam kondisi darurat tertentu melalui:
- restrukturisasi kredit;
- rekonstruksi usaha;
- bantuan modal; dan/atau
- bantuan bentuk lain.
Bagian Keempat
Pemberdayaan Koperasi
Pasal 21
(1) | Dalam melakukan pemberdayaan Koperasi melalui menumbuhkan iklim usaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dalam aspek paling sedikit:
|
||||||||||||
(2) | Kebijakan pada aspek kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meningkatkan paling sedikit:
|
||||||||||||
(3) | Kebijakan pada aspek produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit:
|
||||||||||||
(4) | Kebijakan pada aspek pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit:
|
||||||||||||
(5) | Kebijakan pada aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit:
|
||||||||||||
(6) | Kebijakan pada aspek inovasi dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling sedikit:
|
(1) | Program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 21 dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara terpadu sesuai kewenangannya. |
(2) | Pemerintah Daerah sesuai wilayah dan kewenangannya menyusun rencana tahunan dan menyediakan alokasi anggaran program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi. |
(3) | Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari:
|
Pemerintah Daerah melaporkan hasil pelaksanaan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi yang dibiayai melalui DAK dan/atau dana dekonsentrasi kepada Pemerintah Pusat.
(1) | Pemerintah Pusat melalui Kementerian melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(2) | Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar Pemerintah Pusat dalam menentukan keberlanjutan dan pengembangan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi. |
Bagian Kelima
Kebijakan Pengembangan Koperasi di Sektor Tertentu
Pasal 25
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan bagi Koperasi yang melakukan kegiatan usaha tertentu di sektor:
- kelautan dan perikanan;
- angkatan perairan pelabuhan;
- kehutanan;
- perdagangan; dan
- pertanian.
(1) | Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf a meliputi:
|
(2) | Dalam penyelenggaraan tempat pelelangan ikan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan kerja sama daerah dengan Koperasi. |
(3) | Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
|
(1) | Dalam hal belum terdapat Koperasi di sektor kelautan dan perikanan yang dinyatakan sehat dan mampu menyelenggarakan pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (3) huruf b, pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain. |
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikutsertakan Koperasi dalam kegiatan penyelenggaraan pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan dengan memperhatikan konsep kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina Koperasi di sektor kelautan dan perikanan bagi:
|
(2) | Pembinaan Koperasi di sektor kelautan dan perikanan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui:
|
(1) | Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, meliputi:
|
(2) | Pembinaan dan pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara terkoordinasi oleh Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pembinaan dan pengawasan kepada Koperasi tenaga kerja bongkar muat pelabuhan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan secara terkoordinasi meliputi:
|
(2) | Pembinaan dan pengawasan Koperasi tenaga kerja bongkar muat pelabuhan dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan secara terkoordinasi dengan memberikan:
|
(3) | Pembinaan dan pengawasan kegiatan Koperasi tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan yang dilakukan oleh kementerian dengan memberikan:
|
Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c meliputi:
- perizinan dan kerja sama bagi Koperasi yang melakukan kegiatan usaha di sektor kehutanan; dan
- pembinaan Koperasi yang melakukan kegiatan Usaha di sektor kehutanan.
Setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan pada hutan lindung wajib melaksanakan kerja sama dengan Koperasi.
(1) | Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d meliputi:
|
(2) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan memberikan kesempatan berusaha bagi Koperasi melalui pola kemitraan dengan memperhatikan sistem pembinaan terpadu dan basis data tunggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Kementerian bersama kementerian teknis, Dinas, dan dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang perdagangan melakukan pembinaan Koperasi di sektor perdagangan paling sedikit:
|
(1) | Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, berupa:
|
(2) | Pemerintah Pusat memberikan kemudahan kepada Koperasi yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertanian. |
(3) | Menteri bersama menteri teknis/gubernur/bupati/wali kota melakukan pembinaan terhadap Koperasi di sektor pertanian. |
(4) | Korporasi petani model Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memperhatikan aspek:
|
(5) | Pengembangan korporasi petani model Koperasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melalui:
|
(6) | Pengembangan bisnis korporasi petani model Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dimotivasi melalui pola kemitraan dengan badan hukum lain untuk pemberdayaan petani. |
BAB III
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN
USAHA KECIL
Bagian Kesatu
Kemudahan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Paragraf 1
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pasal 35
(1) | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan. |
(2) | Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha. |
(3) | Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
(4) | Untuk pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah selain kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan kriteria hasil penjualan tahunan. |
(5) | Kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
|
(6) | Dalam hal pelaku usaha telah melaksanakan kegiatan usaha sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memenuhi kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Nilai nominal kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian. |
(1) | Untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. |
(2) | Penggunaan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh menteri teknis atau pimpinan lembaga harus mendapatkan pertimbangan dari Menteri. |
Paragraf 2
Perizinan Usaha Berbasis Risiko
Pasal 37
(1) | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam melakukan kegiatan usahanya harus memiliki Perizinan Berusaha. |
(2) | Perizinan Berusaha untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diberikan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dalam bentuk:
|
(3) | Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil termasuk dalam kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah atau risiko tinggi, selain wajib memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaku usaha wajib memiliki sertifikat standar produk dan/atau standar usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilaksanakan melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik, yang dikelola oleh lembaga yang mengelola Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik. |
(2) | Pemenuhan persyaratan dan tata cara permohonan Perizinan Berusaha dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk kemudahan Perizinan Berusaha. |
(2) | Dalam melaksanakan pembinaan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
|
Dalam hal pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil tidak dapat mengakses Perizinan Berusaha secara daring, Dinas, perangkat di tingkat kecamatan, dan/atau kantor kelurahan/kantor desa memfasilitasi pendaftaran Perizinan Berusaha dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah.
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan pendampingan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang telah mendapatkan nomor induk berusaha. |
(2) | Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk:
|
(3) | Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilaksanakan melalui fasilitasi bimbingan teknis, konsultasi, dan/atau pelatihan. |
Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang baru mendirikan usaha dapat langsung mengajukan permohonan nomor induk berusaha, sertifikat standar, dan/atau izin melalui sistem Perizinan Berusaha yang terintegrasi secara elektronik.
Paragraf 3
Perizinan Tunggal dan Fasilitasi Sertifikasi Standar dan/atau Izin
Pasal 43
(1) | Pemerintah Pusat menyelenggarakan perizinan tunggal Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik. |
(2) | Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Perizinan Berusaha, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil memiliki risiko rendah diberikan nomor induk berusaha yang sekaligus berlaku sebagai perizinan tunggal. |
(4) | Lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal mengkoordinasikan penyelenggaraan perizinan tunggal Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
Nomor induk berusaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3), berlaku sebagai identitas dan legalitas dalam melaksanakan kegiatan berusaha.
(1) | Perizinan tunggal, sertifikat standar dan/atau izin bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil berlaku selama kegiatan usaha berlangsung. |
(2) | Ketentuan masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk sertifikat halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan produk halal. |
(3) | Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pemenuhan perizinan tunggal, sertifikat standar dan/atau izin bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Pendaftaran perizinan tunggal, pemenuhan kepemilikan sertifikat standar dan/atau izin, dan perpanjangan sertifikat jaminan produk halal bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil tidak dikenakan biaya.
Paragraf 4
Informasi Perizinan Berusaha
Pasal 47
Menteri menyampaikan informasi Perizinan Berusaha kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai pemohon Perizinan Berusaha melalui sarana media publikasi daring atau elektronik mengenai:
- persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon;
- tata cara mengajukan permohonan izin usaha; dan
- pembebasan biaya perizinan.
Bagian Kedua
Pelindungan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Paragraf 1
Penyediaan Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi Usaha Mikro
dan Usaha Kecil
Pasal 48
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(2) | Layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya. |
(3) | Layanan bantuan dan pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
Untuk memperoleh layanan bantuan dan pendampingan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus memenuhi persyaratan:
- mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
- memiliki nomor induk berusaha; dan
- menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan Perkara.
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada Usaha Mikro dan usaha Kecil yang meminta layanan bantuan dan pendampingan hukum yang disediakan pihak lain. |
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(3) | Layanan bantuan dan pendampingan hukum yang dilakukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(4) | Tata cara dan besaran bantuan pembiayaan layanan bantuan dan pendampingan hukum ditetapkan oleh Menteri. |
Dalam upaya pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah paling sedikit:
- melakukan identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
- membuka informasi kepada pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil mengenai bentuk dan cara mengakses layanan bantuan dan pendampingan hukum;
- meningkatkan literasi hukum;
- mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program dari kegiatan layanan bantuan dan pendampingan hukum; dan
- melakukan kerja sama dengan instansi terkait, perguruan tinggi dan/atau organisasi profesi hukum.
(1) | Pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 dilaksanakan oleh setiap Kementerian/lembaga dan perangkat daerah yang melakukan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sesuai dengan kewenangan. |
(2) | Hasil pelaksanaan pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Kementerian. |
(3) | Kementerian melaksanakan evaluasi terhadap pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum Usaha Mikro dan Kecil paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
Paragraf 2
Pemulihan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Pasal 53
(1) | Dalam hal terjadi kondisi darurat tertentu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengupayakan pemulihan Usaha Mikro dan Usaha Kecil meliputi:
|
(2) | Pemulihan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang terdampak untuk pemulihan perekonomian masyarakat. |
Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah aktif dalam memberikan perlindungan dan pengamanan untuk menjaga daya saing produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil di pasar domestik.
Bagian Ketiga
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Paragraf 1
Basis Data Tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pasal 55
(1) | Basis data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dikoordinasikan oleh Kementerian. |
(2) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
(3) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada standar data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang paling sedikit memuat identitas usaha dan identitas pelaku usaha. |
(4) | Penyusunan standar data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan badan yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang statistik. |
(1) | Untuk pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah harus menyampaikan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kepada Menteri sesuai standar data dan memenuhi kaidah interoperabilitas. |
(2) | Kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara periodik 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat semester pertama tahun anggaran berjalan. |
(3) | Pendataan, pengumpulan, dan/atau pengelolaan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait lainnya. |
Penyelenggaraan basis data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menggunakan sistem informasi data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(1) | Kementerian menyebarluaskan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait dan Pemerintah Daerah. |
(2) | Penyebarluasan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
|
(3) | Dalam memberikan afirmasi kepada Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus mengacu kepada basis data tunggal. |
(4) | Data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dipublikasikan dalam sistem informasi yang dapat diakses oleh publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Penyelenggaraan basis data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilaksanakan oleh Menteri.
Paragraf 2
Penyediaan Tempat Promosi dan Pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
pada Infrastruktur Publik
(1) | Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha swasta wajib melakukan penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil paling sedikit 30% (tiga puluh persen) total luas lahan area komersial, luas tempat perbelanjaan, dan/atau tempat promosi yang strategis pada infrastruktur publik. |
(2) | Infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan serta menjaga ketertiban dalam pelayanan infrastruktur publik. |
(4) | Tempat istirahat dan pelayanan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, selain diperuntukkan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil juga diperuntukkan bagi Usaha Menengah. |
(1) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan apresiasi berbentuk insentif kepada badan usaha yang menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sesuai dengan alokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1). |
(2) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa subsidi, keringanan biaya retribusi daerah, fasilitas kemudahan. dan/atau penghargaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Alokasi besaran penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) wajib tertuang dalam kontrak kerja sama antara penyelenggara infrastruktur publik dengan pengelola infrastruktur publik. |
(2) | Ketentuan kewajiban menuangkan alokasi besaran dalam kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk penyediaan tempat promosi dan pengembangan usaha bagi Usaha Menengah dalam penyelenggaraan infrastruktur publik di tempat istirahat. dan pelayanan jalan tol. |
(3) | Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2j paling sedikit memuat:
|
(4) | Ketentuan pemenuhan alokasi 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) berlaku untuk penyelenggaraan infrastruktur publik yang:
|
(1) | Penyediaan tempat promosi untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) paling sedikit berupa:
|
(2) | Penyediaan tempat pengembangan usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) paling sedikit berupa:
|
(3) | Tempat promosi dan pengembangan usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil berada di lokasi strategis pada infrastruktur publik. |
(4) | Penyediaan tempat promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud ayat (2) berlaku pula bagi Usaha Menengah pada tempat istirahat dan pelayanan jalan tol. |
(1) | Pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada infrastruktur publik dilakukan oleh masing-masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta sebagai penyelenggara infrastruktur publik. |
(2) | Dalam melakukan pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara infrastruktur publik dapat menyerahkan pengelolaan dan pengembangannya kepada Koperasi. |
(3) | Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapatkan prioritas sebagai pengelola tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada infrastruktur publik. |
(4) | Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan hak pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil setelah dilakukan seleksi oleh Kementerian atau Dinas. |
(1) | Penyelenggara infrastruktur publik yang mengelola tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus:
|
(2) | Koperasi yang mendapatkan hak pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus:
|
Kementerian atau Dinas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil oleh penyelenggara infrastruktur publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan infrastruktur publik.
Penyelenggara infrastruktur publik menetapkan biaya sewa tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari harga sewa komersial.
Paragraf 3
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Pasal 68
(1) | Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(2) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diimplementasikan secara bersinergi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait melalui penataan klaster. |
(1) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil merupakan kelompok Usaha Mikro dan Usaha, Kecil yang terkait dalam: a. suatu rantai produk umum; b. ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa; atau c. penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi |
(2) | Anggota kelompok Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Koperasi guna mewadahi kegiatan pengelolaan terpadu. |
(3) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
|
(4) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan secara terintegrasi, sistematis, akuntabel, dan berkelanjutan. |
Pemerintah memberikan kemudahan, pendampingan, dan fasilitasi untuk implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Kemudahan, pendampingan, dan fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 meliputi:
a. | pendirian/legalisasi berupa:
|
||||||||||||||||||||||||
b. | pembiayaan berupa:
|
||||||||||||||||||||||||
c. | penyediaan bahan baku berupa:
|
||||||||||||||||||||||||
d. | proses produksi berupa:
|
||||||||||||||||||||||||
e. | kurasi berupa:
|
||||||||||||||||||||||||
f. | pemasaran produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui perdagangan elektronik/nonelektronik berupa:
|
(1) | Penentuan lokasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil memperhatikan paling sedikit:
|
(2) | Bagi daerah yang memiliki kawasan ekonomi khusus, lokasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil berada dalam wilayah kawasan ekonomi khusus. |
(3) | Lokasi untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai usaha pendukung bagi perusahaan yang berada di kawasan ekonomi khusus ditetapkan sebagai lokasi pengelolaan terpadu. |
(1) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil disusun dalam rencana aksi nasional pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(2) | Rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah nasional. |
(3) | Rencana aksi nasional pengelolaan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun rencana aksi di daerah. |
(4) | Rencana aksi di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka menengah daerah provinsi dan kabupaten/kota. |
Menteri mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam perumusan kebijakan, penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
Koordinasi dan pengendalian pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster dilakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(1) | Dalam melakukan koordinasi dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Menteri melakukan:
|
(2) | Hasil koordinasi dan pengendalian kebijakan umum dan program/kegiatan, pelaksanaan program/kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster tingkat nasional menjadi masukan untuk pelaksanaan program di tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota. |
Pembiayaan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil bersumber dari:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
- sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual
Pasal 79
(1) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia memberikan kemudahan dalam memperoleh hak kekayaan intelektual secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa keringanan biaya pendaftaran dan pencatatan hak kekayaan intelektual bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen). |
(3) | Kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangannya mendampingi Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk memperoleh hak kekayaan intelektual dengan melakukan:
|
(4) | Keringanan biaya pendaftaran kepemilikan hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pendaftaran hak kekayaan intelektual internasional. |
(5) | Kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangannya mendampingi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak kekayaan intelektual dengan melakukan:
|
Paragraf 5
Jaminan Kredit Program
Pasal 80
(1) | Kegiatan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program. |
(2) | Jaminan kredit program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
Paragraf 6
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Pasal 81
(1) | Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah wajib menggunakan barang/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
(2) | Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari nilai anggaran belanja barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
(3) | Pemberian pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah. |
(4) | Penyedia usaha besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan pekerjaan harus melakukan kerja sama usaha dalam bentuk kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan. |
(1) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara mendorong badan usaha milik negara untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa. |
(2) | Pemerintah Daerah mendorong badan usaha milik daerah untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa. |
(1) | Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memasukkan rencana belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan paling lambat di bulan November tahun berjalan untuk rencana belanja tahun mendatang. |
(2) | Rencana belanja tahun mendatang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dengan sistem informasi data tunggal. |
(1) | Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dibayar langsung. |
(2) | Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 50% (lima puluh persen). |
(3) | Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara nilai lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan nilai Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 30% (tiga puluh persen). |
(1) | Menteri/menteri teknis/kepala daerah wajib melakukan pengawasan pengalokasian dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi melalui aparat pengawasan internal pada kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah. |
(2) | Menteri berkoordinasi dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi. |
(3) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
|
(4) | Penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat menggunakan penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) yang sudah berjalan. |
(5) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari tahap:
|
(6) | Ruang lingkup pengawasan keterlibatan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi pada pengadaan barang/jasa meliputi:
|
(7) | Hasil pengawasan digunakan untuk pengendalian pelaksanaan pengadaan barang/jasa. |
(1) | Monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Menteri menyediakan laman sistem monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa pada sistem informasi data tunggal. |
(3) | Monitoring dan evaluasi dilakukan secara reguler dan dilaporkan kepada Presiden paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan Desember pada tahun berjalan. |
Realisasi pelaksanaan pengalokasian 40% (empat puluh persen) pengadaan barang/jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi yang dilakukan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat.
Pencatatan dan Pembukuan Sistem Aplikasi Laporan Keuangan
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(2) | Sistem aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar akuntansi yang berlaku bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(3) | Standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan kesederhanaan dan kemudahan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(4) | Fasilitasi penyediaan sistem aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan sederhana bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil tidak dipungut biaya. |
(5) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas pelatihan dan pendampingan pembukuan/pencatatan keuangan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi dan asosiasi. |
Paragraf 8
Pengalokasian Usaha Bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Pasal 89
(1) | Pemerintah Pusat mengalokasikan bidang usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta bidang usaha untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama melalui kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) | Alokasi bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanam.an modal. |
Paragraf 9
Pemeliharaan Terminal
Pasal 90
(1) | Pemeliharaan terhadap fasilitas utama dan fasilitas penunjang pada terminal harus bekerjasama dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(2) | Pemeliharaan yang harus dikerjasamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang transportasi. |
Bagian Keempat
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah |
(2) | Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
|
(3) | Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendekatan:
|
(1) | Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dilaksanakan berdasarkan intensitas dan jangka waktu. |
(2) | Intensitas dan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(3) | Menteri membuat pedoman klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Pedoman klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit:
|
Bagian Kelima
Koordinasi dan Pengendalian Kemudahan Perlindungan, dan Pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Paragraf 1
Lingkup Koordinasi
Pasal 93
Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah meliputi penyusunan dan pengintegrasian, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap:
- peraturan perundang-undangan dan kebijakan penumbuhan iklim dan pengembangan usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
- program penumbuhan iklim dan pengembangan usaha yang diselenggarakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
Paragraf 2
Penyelenggaraan Koordinasi dan Pengendalian Kemudahan, Pelindungan, dan
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
Pasal 94
(1) | Menteri mengkoordinasikan dan mengendalikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) | Koordinasi dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu dengan menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, bupati/wali kota, dunia usaha, dan masyarakat. |
(1) | Dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, Menteri bertugas:
|
(2) | Dalam pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian bertugas:
|
(3) | Dalam pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, gubernur dan bupati/wali kota bertugas:
|
(4) | Kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilaksanakan sesuai dengan pembagian kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah. |
(1) | Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3) kepada Menteri dan gubernur. |
(2) | Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri dan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember. |
(3) | Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3) kepada Menteri. |
(4) | Gubernur atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember. |
(5) | Menteri melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden secara berkala dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. |
(1) | Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam perumusan kebijakan, penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. |
(2) | Dunia usaha dan masyarakat yang melakukan program pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan serta kemitraan, menginformasikan dan menyampaikan rencana, pelaksanaan, dan hasil penyelenggaraan program kepada Menteri. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara peran serta dunia usaha dan masyarakat mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ditetapkan oleh Menteri. |
Paragraf 3
Koordinasi dan Pengendalian
Pasal 98
(1) | Dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1), Menteri melakukan:
|
(2) | Hasil koordinasi dan pengendalian kebijakan umum dan program/kegiatan, pelaksanaan program/kegiatan, pemantauan dan evaluasi kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tingkat nasional menjadi masukan untuk pelaksanaan program di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. |
Biaya pelaksanaan koordinasi dan pengendalian bersumber dari anggaran Kementerian, kementerian teknis/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 4
Upah pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil
Pasal 101
(1) | Ketentuan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(2) | Ketentuan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengupahan. |
BAB IV
KEMITRAAN
Bagian Kesatu
Insentif Kemitraan
Pasal 102
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan usaha Menengah dan usaha besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil, berupa:
|
(3) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Usaha Menengah dan usaha besar, berupa:
|
(4) | Insentif kepada Usaha Menengah dan usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan ketentuan:
|
(5) | Kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Kementerian dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan. |
(2) | Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian dan Pemerintah Daerah dapat berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian. |
(3) | Hasil pengawasan dan evaluasi kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan paling sedikit untuk: a. kerja sama dalam perencanaan program kemitraan; dan/atau b. advokasi pelaku usaha dalam pelaksanaan kemitraan. |
Bagian Kedua
Pola Kemitraan
Paragraf 1
Umum
Pasal 104
(1) | Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dengan Usaha Menengah dan usaha besar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip kemitraan dan menjunjung etika bisnis yang sehat. |
(2) | Prinsip kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prinsip saling:
|
(3) | Dalam melaksanakan kemitraan, para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan berlaku hukum Indonesia. |
(4) | Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dengan Usaha Menengah dan usaha besar dilaksanakan dengan disertai bantuan dan penguatan oleh usaha besar. |
(1) | Kemitraan mencakup proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai dengan pola kemitraan. |
(2) | Alih keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui pelatihan, peningkatan kemampuan, pemagangan, dan pendampingan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
Paragraf 2
Pola Kemitraan
Pasal 106
(1) | Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dilaksanakan melalui pola:
|
(2) | Bentuk kemitraan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, paling sedikit:
|
(3) | Dalam melakukan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku usaha didampingi oleh pendamping. |
(4) | Pendampingan yang dilakukan oleh pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi. |
Dalam pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a:
- usaha besar berkedudukan sebagai inti dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai plasma; atau
- Usaha Menengah berkedudukan sebagai inti dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai plasma.
(1) | Dalam pola kemitraan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b:
|
(2) | Dalam pelaksanaan pola kemitraan subkontrak, usaha besar sebagai kontraktor memberikan dukungan:
|
(1) | Dalam pola kemitraan waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf c:
|
(2) | Usaha besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kapasitas dan kelayakan usaha. |
(3) | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat melakukan kemitraan dengan pola waralaba sebagai pemberi waralaba. |
(4) | Ketentuan mengenai waralaba diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Kemitraan usaha dengan pola perdagangan umum, dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama pemasaran dan penyediaan lokasi usaha dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh usaha besar yang dilakukan secara terbuka. |
(2) | Pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk kerja sama kemitraan perdagangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak. |
Dalam pola kemitraan distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf e:
- usaha besar memberikan hak khusus memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; atau
- Usaha Menengah memberikan hak khusus memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(1) | Pelaksanaan Kemitraan dengan Pola Rantai Pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf f, dapat dilakukan dalam satu rangkaian kegiatan yang melibatkan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah dan usaha besar, paling sedikit:
|
(2) | Dalam pola kemitraan rantai pasok sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
(3) | Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh usaha besar atau Usaha Menengah dilakukan melalui pola kemitraan rantai pasok mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan. |
(4) | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang berada di sekitar wilayah ekonomi diprioritaskan sebagai usaha pendukung di Kawasan Ekonomi Khusus. |
(1) | Dalam pola kemitraan bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf a:
|
(2) | Para pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki serta disepakati kedua belah pihak yang bermitra. |
(3) | Besarnya pembagian keuntungan yang diterima atau kerugian yang ditanggung para pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil berdasarkan pada perjanjian yang disepakati. |
Pola kemitraan kerja sama operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf b antara:
- Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan usaha besar menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai; atau
- Usaha Mikro dan Usaha Kecil dengan Usaha Menengah menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai.
(1) | Dalam pola kemitraan usaha patungan (joint venture) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf c:
|
(2) | Dalam menjalankan aktivitas ekonomi bersama para pihak berbagi secara proporsional dalam pemilikan saham, keuntungan, risiko, dan manajemen perusahaan. |
(1) | Dalam pola kemitraan pola penyumberluaran (outsourcing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf d:
|
(2) | Kemitraan pola penyumberluaran dijalankan pada bidang dan jenis usaha yang bukan merupakan pekerjaan pokok dan/atau bukan komponen pokok. |
(3) | Dalam pola kemitraan penyumberluaran:
|
(4) | Pelaksanaan pola kemitraan penyumberluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Bagian Ketiga
Perjanjian Kemitraan
Pasal 117
(1) | Setiap bentuk kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dituangkan dalam perjanjian kemitraan. |
(2) | Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia. |
(3) | Dalam hal salah satu pihak merupakan orang atau badan hukum asing, perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing. |
(4) | Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
|
Bagian Keempat
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Kemitraan
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur:
|
(2) | Untuk melaksanakan peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah:
|
Bagian Kelima
Pengawasan Kemitraan
Pasal 119
(1) | Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pengawas Persaingan Usaha berkoordinasi dengan instansi terkait. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. |
(4) | Pelaksanaan pengawasan dan evaluasi terhadap kemitraan dapat dilaksanakan bersama antara kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha. |
Bagian Keenam
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
Pasal 120
(1) | Pengenaan sanksi administratif dilakukan terhadap usaha besar atau Usaha Menengah yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam kemitraan, berdasarkan inisiatif dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan/atau laporan yang masuk ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh:
|
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis disertai bukti dan keterangan yang lengkap dan jelas. |
(1) | Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120, Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan pemeriksaan pendahuluan. |
(2) | Dalam hal hasil pemeriksaan pendahuluan menyatakan adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120, Komisi Pengawas Persaingan Usaha memberikan peringatan tertulis kepada.pelaku usaha untuk melakukan perbaikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan. |
(3) | Pelaku usaha yang tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu yang ditetapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan tetap tidak melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses dilanjutkan kepada acara pemeriksaan lanjutan. |
(1) | Berdasarkan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3), Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengeluarkan putusan berupa pengenaan sanksi administratif kepada usaha besar atau Usaha Menengah yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120. |
(2) | Dalam hal putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan pencabutan izin usaha, pejabat pemberi izin wajib mencabut izin usaha pelaku usaha yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran berdasarkan inisiatif Komisi Pengawas Persaingan Usaha maupun laporan, diatur dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
BAB V
KEMUDAHAN DAN INSENTIF
Pasal 124
(1) | Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Usaha Mikro dan Usaha Kecil tertentu dapat diberi insentif pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan. |
(3) | Insentif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan basis data tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58. |
(4) | Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberikan insentif berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberikan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi kriteria:
|
(6) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
|
(1) | Pemerintah Daerah memberikan bantuan modal kepada Usaha Mikro Usaha Kecil, dan/atau Koperasi. |
(2) | Pemerintah Daerah memberikan bantuan untuk riset dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi. |
(3) | Pemerintah Daerah memberikan fasilitas pelatihan vokasi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi |
Terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang berorientasi ekspor, dapat diberikan insentif kepabeanan, berupa pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberikan kemudahan dan penyederhanaan proses impor bahan baku dan bahan penolong industri. |
(2) | Kemudahan dan penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal bahan baku dan penolong industri tidak dapat dipenuhi dalam negeri. |
(3) | Selain kemudahan dan penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat diberikan fasilitasi ekspor. |
(4) | Kemudahan dan penyederhanaan proses impor bahan baku dan bahan penolong industri dan fasilitas ekspor dilaksanakan berdasarkan kewenangan kementerian/lembaga nonkementerian terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB VI
PENYEDIAAN PEMBIAYAAN BAGI USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL
Pasal 128
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan yang murah dan mudah bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam bentuk subsidi, penjamin, dan pinjaman atau pembiayaan lainnya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
(2) | Kementerian mendorong terbangunnya sistem penilaian tingkat risiko secara terpadu melalui pemanfaatan basis data tunggal bekerja sama dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, serta pihak-pihak terkait pengembangan data dan aplikasi. |
(3) | Pembiayaan murah diberikan dengan pemberian subsidi yang besarnya berdasarkan selisih antara bunga/margin pasar dengan tingkat bunga yang ditetapkan Pemerintah Pusat. |
(4) | Pinjaman atau Pembiayaan yang mudah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk paling sedikit:
|
(5) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan hibah dan/atau bantuan dalam bentuk paling sedikit:
|
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan peningkatan literasi keuangan dan memberikan pendampingan akses pembiayaan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil. |
(1) | Badan usaha milik negara menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam bentuk pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya dari penyisihan bagian laba tahunan badan usaha milik negara. |
(2) | Penyediaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui peningkatan kolaborasi program pendanaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil antar badan usaha milik negara yang merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial dan lingkungan badan usaha milik negara. |
(3) | Badan usaha milik negara menyediakan pembiayaan dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan yang mudah dan murah. |
(4) | Badan usaha milik negara menyediakan pembiayaan dalam bentuk pinjaman atau hibah paling sedikit berupa:
|
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan kemudahan bagi usaha besar yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam bentuk pinjaman, penjaminan, hibah, dan/atau pembiayaan lainnya melalui kemitraan. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
(3) | Pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
Usaha besar menyediakan pembiayaan dalam bentuk:
- pinjaman dan pembiayaan yang mudah dan murah yang tidak memberatkan bagi kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
- pembiayaan untuk uang muka pekerjaan yang dimitrakan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil; atau
- hibah bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil pemula dengan produk inovasi yang memiliki potensi pasar, nilai komersial, atau berbasis teknologi.
BAB VII
PENYELENGGARAAN INKUBASI
Pasal 132
(1) | Penyelenggaraan Inkubasi bertujuan untuk:
|
(2) | Penyelenggaraan Inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga pendidikan, badan hukum dan bukan badan hukum, dan/atau masyarakat. |
(3) | Penyelenggaraan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh lembaga inkubator dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun. |
(4) | Lembaga inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan:
|
(5) | Dalam menyelenggarakan Inkubasi, lembaga inkubator memberikan layanan dalam aspek berupa:
|
(6) | Penyelenggara inkubator dalam penyelenggaraan Inkubasi dapat bekerja sama dengan pihak lain baik dari dalam negeri dan/atau luar negeri. |
(1) | Lembaga inkubator sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) menyelenggarakan kegiatan meliputi:
|
(2) | Tahapan pra Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a paling sedikit terdiri dari:
|
(3) | Tahapan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit:
|
(4) | Tahapan pasca Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit:
|
(1) | Penyelenggaraan Inkubasi dilakukan oleh lembaga inkubator. |
(2) | Lembaga inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, badan usaha, dan/atau masyarakat. |
(3) | Lembaga inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang terdaftar dalam sistem pendaftaran, informasi, dan evaluasi Inkubasi pada Kementerian. |
(4) | Kementerian menyelenggarakan kurasi dan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pemeringkatan lembaga inkubator. |
(5) | Penyelenggaraan inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria tentang penyelenggaraan Inkubasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(6) | Lembaga inkubator wajib melaporkan penyelenggaraan inkubator kepada Menteri 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember melalui sistem pendaftaran, informasi, dan evaluasi Inkubasi. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengembangan Inkubasi secara terpadu dan berjenjang. | ||||||||||||||
(2) | Pemerintah Pusat dalam pengembangan Inkubasi secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan:
|
||||||||||||||
(3) | Pengembangan Inkubasi secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan oleh Menteri. | ||||||||||||||
(4) | Menteri menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengembangan Inkubasi. | ||||||||||||||
(5) | Pemerintah Daerah dalam melakukan pengembangan Inkubasi secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan:
|
||||||||||||||
(6) | Pengembangan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sesuai kewenangan dan wilayah. | ||||||||||||||
(7) | Dalam hal Pemerintah Daerah tidak dapat melaksanakan. pengembangan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Pemerintah Pusat memfasilitasi dan/atau melaksanakan pengembangan Inkubasi di daerah yang bersangkutan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi inkubasi kepada calon wirausaha dan/atau wirausaha pemula peserta Inkubasi melalui penanggungan biaya Inkubasi paling lama 12 (dua belas) bulan. |
(2) | Fasilitasi Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada peserta Inkubasi dengan kriteria:
|
(1) | Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pengembangan Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) huruf d dilakukan secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. |
(2) | Lembaga inkubator yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (5) dan ayat (6) dikenai sanksi administratif oleh Menteri berupa:
|
Sumber pendanaan untuk peningkatan dan pengembangan inkubator berupa pinjaman atau hibah yang bersumber dari:
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
- Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
- program tanggung jawab sosial dan lingkungan badan usaha milik negara;
- dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan;
- lembaga swadaya masyarakat baik dalam dan luar negeri; dan/atau
- sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PENGALOKASIAN DANA ALOKASI KHUSUS
Pasal 139
(1) | Pemerintah Pusat mengalokasikan DAK untuk mendanai program/kegiatan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil di daerah. |
(2) | DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa DAK Fisik dan DAK Nonfisik. |
(3) | DAK Fisik dan DAK Nonfisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mendanai program/kegiatan kemudahan, pelindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi paling sedikit:
|
(4) | Pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 140
- Koperasi simpan pinjam yang memiliki unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah yang sudah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, wajib melakukan pemisahan unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah menjadi Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah paling lama 1 (satu) tahun setelah Peraturan Pemerintah ini diundangkan;
- permohonan Perizinan Berusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang telah diajukan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku;
- seluruh sektor yang menerapkan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyesuaikan perubahan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun; dan
- penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada infrastruktur publik yang telah beroperasi dan belum memenuhi alokasi 30% (tiga puluh persen), harus memenuhi alokasi 30% (tiga puluh persen) paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
BAB X
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 141
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan dari:
a. | Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5404); |
b | Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 66); dan |
c. | Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 222), |
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. | Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5404); |
b | Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 66); dan |
c. | Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan.untuk Usaha Mikro dan Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 222); |
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
YASONNA H. LAOLY
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 17
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2020
TENTANG
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
I. UMUM
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan salah satu pilar kekuatan ekonomi rakyat yang mampu memperluas lapangan kerja dan berperan dalam pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan stabilitas nasional. Mengingat arti penting Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam perekonomian nasional, harus memperoleh keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kemudahan, dukungan, pelindungan, dan pemberdayaan.
Peraturan Pemerintah ini disusun sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal lain yang mendasari dan mendorong perlunya pengaturan yang lebih jelas terkait Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah antara lain bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja dan belum terintegrasi sehingga perlu dilakukan perubahan.
Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur antara lain mengenai:
a. | kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi; |
b | kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; |
c. | penyelenggaraan Inkubasi; dan |
d. | Dana alokasi khusus kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Yang dimaksud dengan "Koperasi sekunder" meliputi semua Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi Primer dan/atau Koperasi Sekunder.
Berdasarkan kesamaan kepentingan cian tujuan efisiensi, Koperasi sekunder dapat didirikan oleh Koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan.
Dalam hal Koperasi mendirikan Koperasi sekunder dalam, berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal sebagai Pusat, Gabungan, dan Induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang bersangkutan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Pembinaan dan pendampingan bagi kelompok masyarakat yang akan membentuk Koperasi antara lain dilakukan untuk menumbuhkan kaderisasi Koperasi dan mendorong kelompok masyarakat untuk berkoperasi.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Fasilitasi kemudahan pelaporan rapat anggota secara daring dan/atau luring dilakukan Kementerian dan/atau Dinas dengan mengikutsertakan lembaga gerakan Koperasi.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "bidang usaha inti" adalah bidang usaha utama atau pokok yang dilakukan Koperasi serba usaha di antara bidang lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hasil penghitungan kelebihan kemampuan pelayanan diinformasikan kepada masyarakat bukan anggota sebagai peluang pelayanan untuk menarik minat masyarakat menjadi anggota.
Ayat (4)
Transaksi bisnis kepada masyarakat bukan anggota Koperasi dan transaksi pelayanan kepada anggota Koperasi disusun menjadi laporan keuangan integrasi Koperasi.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Baitul maal dalam mengelola zakat menjadi unit pengumpul zakat dari Badan Amil Zakat Nasional atau bermitra dengan Lembaga Amil Zakat Nasional, serta menjadi Nazhir yang terdaftar pada Badan Wakaf Indonesia/kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Baitul maal dalam mengelola zakat menjadi Unit Pengumpul Zakat dari Badan Amil Zakat Nasional atau bermitra dengan Lembaga Amil Zakat Nasional, serta menjadi Nazhir yang terdaftar pada Badan Wakaf Indonesia/kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
Ayat (4)
Kegiatan usaha secara elektronik antara lain penggunaan transaksi elektronik dalam kegiatan usaha.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Kondisi darurat tertentu antara lain bencana, wabah, atau kondisi lainnya yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
Huruf a
Restrukturisasi kredit termasuk relaksasi dan penjadwalan ulang kredit.
Huruf b
Rekonstruksi usaha antara lain pemberian bantuan dalam bentuk hibah sarana produksi.
Huruf c
Bantuan modal antara lain berupa bantuan modal yang disalurkan dalam bentuk hibah, pinjaman, atau pembiayaan.
Huruf d
Bantuan bentuk lain antara lain pemberian prioritas kepada Koperasi yang terdaftar sebagai pedagang di pasar rakyat yang mengalami bencana berupa kebakaran, bencana alam, atau konflik sosial, untuk memperoleh toko, kios, los, dan/atau tenda dengan harga pemanfaatan yang terjangkau.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pengembangan jaringan usaha Koperasi dengan pihak lain termasuk memprioritaskan Koperasi sebagai pelaku usaha atau usaha pendukung di Kawasan Ekonomi Khusus.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Ayat (1)
Pembinaan Koperasi di sektor kelautan dan perikanan dilakukan oleh Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, Dinas, dan Cinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kelautan dan perikanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "Koperasi tenaga kerja bongkar muat" adalah Koperasi yang bergerak di bidang jasa tenaga kerja bongkar muat.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 30
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Fasilitasi negosiasi penetapan tarif ongkos pelabuhan pemuatan/ongkos pelabuhan tujuan dan biaya penggunaan tenaga kerja bongkar muat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "korporasi petani model Koperasi" adalah kelembagaan ekonomi petani yang dikelola secara profesional, dengan skala usaha ekonomi yang berbasis industrialisasi pertanian melalui Koperasi primer dan/atau Koperasi sekunder antara lain dilakukan dengan penguatan pengelolaan Koperasi, perbaikan laporan keuangan, dan peningkatan kepercayaan publik kepada surat utang Koperasi.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Modal usaha merupakan modal sendiri dan modal pinjaman untuk menjalankan kegiatan usaha.
Pelaku usaha yang melakukan pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha terdiri dari:
a. | badan usaha berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum; dan |
b. | perorangan. |
Pelaku usaha badan usaha baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum melakukan pendirian atau pendaftaran melalui sistem administrasi badan hukum pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Pelaku usaha perorangan melakukan pendirian atau pendaftaran melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik pada lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 36
Ayat (1)
kepentingan tertentu antara lain kepentingan pelaksanaan survei, sebagai alat ukur untuk membandingkan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dengan negara lain, serta untuk mengakomodir kepentingan sektor industri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko dan peraturan pemndang-undangan di bidang kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lembaga yang mengelola perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik" adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "standar nasional Indonesia dalam perizinan tunggal" adalah standar penerapan standar nasional indonesia sebagai persyaratan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan "sertifikasi jaminan produk halal dalam perizinan tunggal" adalah pernyataan halal dari pelaku usaha atas produk usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 44
Yang dimaksud dengan "nomor induk berusaha yang berlaku sebagai legalitas dalam melaksanakan kegiatan berusaha" adalah jaminan kepastian hukum bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki risiko rendah terhadap kesehatan dan keselamatan serta lingkungan dalam menjalankan kegiatan usaha.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Yang dimaksud "pendaftaran" adalah pengajuan persyaratan administratif untuk perizinan tunggal dan perpanjangan sertifikat.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Usaha Mikro dan Usaha Kecil termasuk juga Koperasi dalam skala Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Lembaga pemberi bantuan hukum dapat menggunakan data lembaga pemberi bantuan hukum yang terakreditasi di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Kondisi darurat tertentu antara lain bencana, wabah, atau kondisi lainnya yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.
Huruf a
Restrukturisasi kredit termasuk relaksasi dan penjadwalan ulang kredit.
Huruf b
Restrukturisasi usaha antara lain pemberian bantuan dalam bentuk hibah sarana produksi.
Huruf c
Bantuan permodalan antara lain bantuan modal disalurkan dalam bentuk hibah atau pembiayaan.
Huruf d
Bantuan bentuk lain antara lain pemberian prioritas kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang terdaftar sebagai pedagang di pasar rakyat yang mengalami bencana berupa kebakaran, bencana alam, atau konflik sosial, untuk memperoleh toko kios, los, dan/atau tenda dengan harga pemanfaatan yang terjangkau.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "interoperabilitas" data antara lain konsisten dalam sintak atau bentuk, struktur atau komposisi penyajian, dan semantik atau artikulasi keterbacaan, dan disimpan dalam format terbuka yang dapat dibaca sistem elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 57
Yang dimaksud dengan "sistem informasi data tunggal Usaha Mikro, Kecil. dan Menengah" berupa sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi penyelenggaraan data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di tingkat kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dan/atau sistem informasi yang terintegrasi.
Pasal 58
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyebarluasan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilakukan dengan memanfaatkan sistem jaringan dan informasi dan/atau media lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara infrastruktur publik" adalah badan atau lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan infrastruktur publik.
Yang dimaksud dengan "pengelola infrastruktur publik" adalah badan usaha yang diberikan hak pengusahaan penyelenggaraan dan pengelolaan infrastruktur publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68
Cukup jelas.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada kawasan ekonomi khusus, Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagai pelaku usaha maupun usaha pendukung.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Ayat (1)
Pengutamaan penggunaan hasil produksi diupayakan pula bagi anak perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyediaan laman/dashboard sistem monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa dilakukan melalui berbagi data (sharing data) dengan basis data yang dikelola oleh lembaga yang membidangi kebijakan pengembangan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 87
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Huruf a
Peraturan perundang-undangan dan kebijakan penumbuhan iklim dan pengembangan usaha memberikan kepastian dan keadilan berusaha dalam aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan;
Huruf b
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Ayat (1)
Huruf a
Kebijakan umum secara nasional tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui antara lain penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan, dan penjaminan serta kemitraan;
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Kebijakan umum di daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui antara lain penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasa1 111
Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Cukup jelas.
Pasal 119
Cukup jelas.
Pasal 120
Cukup jelas.
Pasal 121
Cukup jelas.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pemberian kemudahan, penyederhanaan impor, dan/atau fasilitasi ekspor dapat berupa kuota jaminan, prosedur kepabeanan, asistensi, dan kemudahan serta fasilitasi lain sesuai dengan kewenangan kementerian/lembaga nonkementerian terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 128
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah bantuan dala.m bentuk modal yang bersifat tidak mengikat dan tidak terus-menerus.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 129
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "hibah" adalah bantuan dalam bentuk modal yang bersifat tidak mengikat dan tidak terus-menerus.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Cukup jelas.
Pasal 132
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
yang dimaksud dengan "menguatkan dan mengembangkan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah" adalah meningkatkan kapasitas daya saing.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 133
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "peserta Inkubasi (tenant)" adalah pelaku usaha pemula.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 134
Cukup jelas.
Pasal 135
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137
Ayat (1)
Pemantauan dan evaluasi sewaktu-waktu dilakukan berdasarkan adanya temuan atau laporan dari masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Alokasi anggaran DAK untuk peningkatan kapasitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pendampingan dapat digunakan termasuk untuk alokasi honorarium tenaga pendamping.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 140
Cukup jelas.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6619
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.