Peraturan Pemerintah Nomor : 7 TAHUN 2021

Kategori : Lainnya

Kemudahan, Pelindungan, Dan Pemberdayaan Koperasi Dan Usaha Mikro, Kecil, Dan Menengah


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2021
 
TENTANG
 
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
 
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :

bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 94, Pasal 104, dan Pasal 185 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Kemudahan, Pelindungan, dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
     
Mengingat :

  1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 3502);
  3. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866);
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
     

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH.
 

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
  1. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
  2. Usaha Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
  3. Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam peraturan pemerintah ini.
  4. Usaha Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Kecil atau usaha besar yang memenuhi kriteria Usaha Menengah sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah ini.
  5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  7. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perkoperasian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
  8. Kemitraan dengan Pola Rantai pasok adalah kerja sama antar usaha baik mikro, kecil, menengah dan besar yang memiliki ketergantungan dalam aliran barang dan jasa yang mengubah bahan mentah menjadi produk dalam upaya yang efisien dan ekonomis mencakup berbagai proses dari produksi, pengembangan produk dan jasa, sistem informasi, serta pengemasan produk atau penghantaran jasa kepada konsumen.
  9. Dana Alokasi Khusus yang selanjutnya disingkat DAK adalah dana yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
  10. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  11. Inkubasi adalah suatu proses pembinaan, pendampingan, dan pengembangan yang diberikan oleh lembaga inkubator kepada peserta inkubasi (tenant).
  12. Dinas adalah dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  13. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
  14. Kementerian adalah kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
     

Pasal 2


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(2) Kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan bagi Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  1. pembinaan; dan
  2. pemberian fasilitas.
   

BAB II
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI
 
Bagian Kesatu
Kemudahan Penyelenggaraan Koperasi
 
Paragraf 1
Pembentukan Koperasi

 

Pasal 3

(1) Koperasi primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang.
(2) Koperasi sekunder dibentuk paling sedikit oleh 3 (tiga) Koperasi.


     

Pasal 4


Koperasi memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkan surat keputusan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia tentang pengesahan badan hukum Koperasi.
     

Pasal 5


Pembentukan Koperasi dilakukan dengan akta pendirian yang memuat anggaran dasar.
     

Pasal 6


(1) Dalam pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 diawali dengan rapat pembentukan Koperasi yang dihadiri oleh pendiri.
(2) Rapat pembentukan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring dan/atau luring.
(3) Hasil rapat pembentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dengan notulen atau berita acara yang ditandatangani oleh pimpinan rapat, dalam bentuk paraf atau tanda tangan dengan tinta basah atau elektronik.
 
     

Pasal 7


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pendampingan bagi kelompok masyarakat yang akan membentuk Koperasi.
     

Paragraf 2
Rapat Anggota
 
Pasal 8

(1) Rapat anggota dapat dilaksanakan secara daring dan/atau luring.
(2) Hasil pelaksanaan rapat anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan kepada Kementerian dan/atau Dinas melalui sistem pelaporan secara elektronik.
(3) Dalam hal pelaporan hasil pelaksanaan rapat anggota tidak dapat dilakukan melalui sistem pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hasil pelaksanaan rapat anggota disampaikan secara manual.
(4) Kementerian dan/atau Dinas memfasilitasi kemudahan pelaporan hasil pelaksanaan rapat anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

     


Paragraf 3
Pelaporan
 
Pasal 9

(1) Koperasi yang melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam serta usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah wajib menyampaikan laporan kepada Kementerian dan/atau Dinas secara periodik dan sewaktu-waktu.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui sistem pelaporan secara elektronik.
(3) Sistem pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat oleh Kementerian.
(4) Dinas dapat membuat sistem pelaporan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan memperhatikan ketentuan mengenai sistem pelaporan secara elektronik yang ditetapkan oleh Kementerian.
(5) Dalam hal sistem pelaporan secara elektronik belum terbentuk, Koperasi menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara manual.

 


Bagian Kedua
Usaha Koperasi
 
Paragraf 1
Umum
 
Pasal 10

(1) Usaha Koperasi merupakan usaha yang:
  1. berkaitan langsung dengan kepentingan anggota; dan
  2. meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota.
(2) Usaha Koperasi yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit:
  1. kebutuhan anggota dan kapasitas Koperasi;
  2. pengutamaan pemenuhan pelayanan terbaik kepada anggota untuk mendorong peningkatan loyalitas anggota;
  3. praktik tata kelola usaha yang baik untuk membangun profesionalisme dan kepercayaan anggota;
  4. kerja sama antar-Koperasi; dan
  5. kerja sama Koperasi dan/atau antar-Koperasi dengan badan usaha lain.
(3) Usaha Koperasi untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan memperhatikan paling sedikit:
  1. manfaat langsung dan tidak langsung yang dirasakan/diterima oleh anggota dan/atau masyarakat yang memanfaatkan pelayanan/bisnis dengan Koperasi;
  2. kerjasama antar-Koperasi; dan
  3. kemitraan dengan badan usaha lain.



Pasal 11


(1) Kegiatan usaha Koperasi dapat dilaksanakan secara:
     a.    tunggal usaha; atau
     b.    serba usaha.
(2) Kegiatan usaha Koperasi yang dilaksanakan secara tunggal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Koperasi yang diselenggarakan pada 1 (satu) bidang atau sektor usaha tertentu.
(3) Kegiatan usaha Koperasi yang dilaksanakan secara serba usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Koperasi yang diselenggarakan dengan beberapa kegiatan usaha pada 1 (satu) atau lebih bidang atau sektor usaha tertentu.
(4) Kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memiliki bidang usaha inti.
(5) Kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan berdasarkan paling sedikit:
  1. kesamaan usaha;
  2. potensi; dan
  3. kebutuhan anggota.
(6) Kegiatan usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memiliki dan/atau memanfaatkan platform teknologi digital untuk mendorong akselerasi dan integrasi serta daya saing.

          

Pasal 12


(1) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik minat masyarakat menjadi anggota Koperasi.
(2) Kelebihan kemampuan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk Koperasi simpan pinjam dan unit usaha simpan pinjam Koperasi.
(3) Kelebihan kemampuan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung oleh pengurus Koperasi secara periodik atau pada saat transaksi kegiatan usaha langsung.
(4) Pelayanan kepada masyarakat yang bukan anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicatat sebagai transaksi bisnis.
(5) Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan berpedoman pada prinsip Koperasi:
  1. keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka;
  2. pengelolaan dilaksanakan secara demokratis;
  3. pembagian sisa hasil usaha dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota;
  4. pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal;
  5. kemandirian;
  6. pendidikan perkoperasian; dan
  7. kerja sama antar-Koperasi.


Paragraf 2
Usaha Koperasi yang Melaksanakan Prinsip Syariah
 
Pasal 13

(1) Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah.
(2) Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan kata "Syariah" dalam penamaan Koperasi.
(3) Usaha Koperasi berdasarkan prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat Dilaksanakan oleh Koperasi syariah.
(4) Usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib dituangkan dalam anggaran dasar Koperasi.
(5) Koperasi syariah didirikan, dikelola, dan menjalankan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan fatwa syariah yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia.
(6) Koperasi syariah harus melaksanakan kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

     

 

Pasal 14


(1) Koperasi syariah melaksanakan kegiatan usaha syariat berdasarkan paling sedikit:
  1. kesamaan usaha;
  2. potensi; dan/atau
  3. kebutuhan anggota dan masyarakat di bidang industri, perdagangan, jasa, serta bidang usaha lain.
(2) Usaha Koperasi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan akad pinjam-meminjam, bagi hasil, sewa-menyewa, jual beli, dan/atau bentuk lainnya sesuai dengan Prinsip Syariah.
(3) Koperasi syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal untuk pemberdayaan sosial ekonomi anggota dan masyarakat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  
     

Pasal 15


(1) Usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah hanya dapat dilaksanakan oleh:
  1. Koperasi simpan pinjam dan pembiayaan syariah; atau
  2. unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah pada Koperasi syariah.
(2) Usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah oleh Koperasi syariah dilaksanakan dengan kegiatan sesuai dengan Prinsip Syariah, meliputi:
  1. menghimpun dana dari anggota, Koperasi lain, dan anggotanya dalam bentuk tabungan dengan akad titipan, simpanan berjangka dengan akad bagi hasil dan/atau bentuk lain;
  2. menyalurkan dana kepada anggota, Koperasi lain dan anggota, dalam bentuk pinjaman dengan akad pinjam-meminjam; dan
  3. menyalurkan dana kepada anggota, Koperasi lain dan anggotanya, dalam bentuk pembiayaan dengan akad pinjam-meminjam, bagi hasil, sewa-menyewa, jual beli, dan/atau bentuk lain.
(3) Koperasi yang menjalankan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal untuk pemberdayaan sosial ekonomi anggota dan masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melaksanakan kegiatan usaha secara elektronik.


Pasal 16


Koperasi syariah yang menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) atau Koperasi yang melaksanakan usaha simpan pinjam dan pembiayaan syariah yang menjalankan fungsi sosial dalam bentuk baitul maal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), melaporkan pelaksanaan fungsi sosial kepada Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama, Badan Amil Zakat Nasional, dan Badan Wakaf Indonesia.
     

Pasal 17


(1) Koperasi syariah wajib mempunyai dewan pengawas syariah.
(2) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas paling sedikit memberikan nasihat dan saran kepada pengurus serta mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
(3) Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki pengetahuan mengenai Prinsip Syariah.

     

Pasal 18


(1) Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama melakukan pembinaan dan pengembangan kapasitas dewan pengawas syariah pada Koperasi syariah.
(2) Pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui pelatihan dan/atau bimbingan teknis.
(3) Dalam melaksanakan pembinaan dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia.
(4) Kementerian dan/atau kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama mendelegasikan pelaksanaan pembinaan atau pengembangan kapasitas dengan pengawas syariah Koperasi syariah kepada gubernur dan/atau bupati/wali kota berdasarkan wilayah keanggotaan Koperasi.

     

Bagian Ketiga
Pelindungan Koperasi
 
Pasal 19

Dalam rangka pemberian pelindungan kepada Koperasi, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah:
  1. menetapkan bidang kegiatan ekonomi yang hanya boleh diusahakan Koperasi; dan
  2. menetapkan bidang dan sektor usaha di suatu wilayah yang telah berhasil diusahakan oleh Koperasi untuk tidak diusahakan oleh badan usaha lainnya.
     

Pasal 20


Selain pelindungan terhadap Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat melakukan pemulihan usaha Koperasi dalam kondisi darurat tertentu melalui:
  1. restrukturisasi kredit;
  2. rekonstruksi usaha;
  3. bantuan modal; dan/atau
  4. bantuan bentuk lain.
     

Bagian Keempat
Pemberdayaan Koperasi
 
Pasal 21

(1) Dalam melakukan pemberdayaan Koperasi melalui menumbuhkan iklim usaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan dalam aspek paling sedikit:
a. kelembagaan;
b. produksi;
c. pemasaran;
d. keuangan; dan
e. inovasi dan teknologi.
(2) Kebijakan pada aspek kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meningkatkan paling sedikit:
a. kualitas partisipasi anggota Koperasi;
b. kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia pengurus, pengawas, dan pengelola;
c. kemampuan manajerial dan tata kelola Koperasi; dan
d. kapasitas anggota Koperasi sebagai wirausaha Koperasi/wira Koperasi melalui Inkubasi.
(3) Kebijakan pada aspek produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit:
a. meningkatkan teknik produksi dan pengolahan serta kemampuan manajemen bagi Koperasi;
b. memberikan kemudahan dalam pengadaan sarana dan prasarana produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan bagi Koperasi;
c. mendorong penerapan standardisasi dalam proses produksi dan pengolahan; dan
d. meningkatkan kemampuan rancang bangun dan perekayasaan bagi produk anggota Koperasi.
(4) Kebijakan pada aspek pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit:
a. menumbuhkan loyalitas anggota Koperasi;
b. mengembangkan potensi pasar selain anggota untuk pengembangan usaha dan/atau kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi kepada masyarakat bukan anggota;
c. pengembangan jaringan usaha Koperasi dan kerja sama yang saling menguntungkan antar-Koperasi dan antara Koperasi dengan pihak lain;
d. mendorong produk Koperasi untuk memiliki hak paten dan merek sehingga mempunyai daya saing di pasar domestik dan pasar mancanegara; dan
e. melakukan kurasi produk unggulan daerah yang memiliki potensi sebagai waralaba.
(5) Kebijakan pada aspek keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d paling sedikit:
a. meningkatkan partisipasi modal anggota Koperasi melalui pemupukan modal yang berasal dari:
  1. hibah;
  2. penyetaraan simpanan anggota; dan/atau
  3. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. meningkatkan akses pembiayaan kepada sumber-sumber pembiayaan dalam jumlah, bunga atau imbal jasa, dan tenggat waktu tertentu yang berasal dari:
  1. anggota;
  2. non-anggota;
  3. Koperasi lain;
  4. bank dan industri keuangan nonbank; dan/atau
  5. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Kebijakan pada aspek inovasi dan teknologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e paling sedikit:
a. meningkatkan kemampuan riset dan pengembangan usaha Koperasi, keinovasian, dan transformasi digital;
b. mendorong peningkatan kemampuan inovasi Koperasi untuk meningkatkan efisiensi kerja dan daya saing Koperasi;
c. mendorong pemanfaatan teknologi dalam bidang desain dan pengendalian mutu;
d. mendorong peningkatan kerja sama dan alih teknologi;
e. memberikan insentif kepada Koperasi yang mengembangkan teknologi ramah lingkungan; dan
f. pengembangan wirausaha Koperasi melalui Inkubasi.

  

 

Pasal 22


(1) Program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 21 dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah secara terpadu sesuai kewenangannya.
(2) Pemerintah Daerah sesuai wilayah dan kewenangannya menyusun rencana tahunan dan menyediakan alokasi anggaran program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi.
(3) Alokasi anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersumber dari:
  1. anggaran pendapatan dan belanja negara;
  2. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan
  3. sumber lain yang sah dan tidak mengikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  
          

Pasal 23


Pemerintah Daerah melaporkan hasil pelaksanaan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi yang dibiayai melalui DAK dan/atau dana dekonsentrasi kepada Pemerintah Pusat.
          

Pasal 24


(1) Pemerintah Pusat melalui Kementerian melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Hasil pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar Pemerintah Pusat dalam menentukan keberlanjutan dan pengembangan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan usaha Koperasi.


Bagian Kelima
Kebijakan Pengembangan Koperasi di Sektor Tertentu
 
Pasal 25


Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan bagi Koperasi yang melakukan kegiatan usaha tertentu di sektor:
  1. kelautan dan perikanan;
  2. angkatan perairan pelabuhan;
  3. kehutanan;
  4. perdagangan; dan
  5. pertanian.
     

Pasal 26


(1) Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 huruf a meliputi:
  1. kerja sama penyelenggaraan tempat pelelangan ikan; dan
  2. pembinaan oleh pemerintah Daerah kabupaten/kota.
(2) Dalam penyelenggaraan tempat pelelangan ikan, Pemerintah Daerah kabupaten/kota melakukan kerja sama daerah dengan Koperasi.
(3) Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan:
  1. melakukan kegiatan usaha di sektor perikanan;
  2. Koperasi dinyatakan sehat dan mampu menyelenggarakan pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan; dan
  3. telah lolos seleksi dan kurasi oleh Kementerian dan/atau Dinas.
  
          

Pasal 27


(1) Dalam hal belum terdapat Koperasi di sektor kelautan dan perikanan yang dinyatakan sehat dan mampu menyelenggarakan pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (3) huruf b, pemerintah Daerah kabupaten/kota dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengikutsertakan Koperasi dalam kegiatan penyelenggaraan pelelangan ikan di tempat pelelangan ikan dengan memperhatikan konsep kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  

Pasal 28


(1) Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina Koperasi di sektor kelautan dan perikanan bagi:
  1. Koperasi yang belum mampu berperan serta dalam penyelenggaraan pelelangan ikan; dan
  2. Koperasi yang telah bekerjasama sebagai penyelenggara pelelangan ikan.
(2) Pembinaan Koperasi di sektor kelautan dan perikanan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit melalui:
  1. penguatan kelembagaan;
  2. peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
  3. pendampingan;
  4. penyediaan skema pembiayaan yang mudah dan murah melalui kredit program, modal ventura, sistem resi gudang, atau pembiayaan lain;
  5. kemudahan Perizinan Berusaha;
  6. penerapan teknologi produksi tepat guna;
  7. penyediaan pasokan bahan baku; dan/atau
  8. penyediaan sarana produksi;
   
          

Pasal 29


(1) Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor angkutan perairan pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b, meliputi:
  1. penyelenggaraan tenaga kerja bongkar muat oleh Koperasi; dan
  2. pembinaan dan pengawasan Koperasi tenaga kerja bongkar muat.
(2) Pembinaan dan pengawasan Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan secara terkoordinasi oleh Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan, dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 30


(1) Pembinaan dan pengawasan kepada Koperasi tenaga kerja bongkar muat pelabuhan dilakukan oleh penyelenggara pelabuhan secara terkoordinasi meliputi:
  1. mengendalikan dan memastikan bahwa rencana dan realisasi pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang di dalam Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. melaksanakan penertiban dan pengamanan untuk menjamin kelancaran kegiatan bongkar muat dan arus lalu lintas barang di pelabuhan;
  3. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan administrasi dan teknis operasional dan pelayanan tenaga kerja Koperasi tenaga kerja bongkar muat; dan
  4. melakukan fasilitasi negosiasi penetapan tarif ongkos pelabuhan pemuatan/ongkos pelabuhan tujuan dan biaya penggunaan tenaga kerja bongkar muat pelabuhan setempat.
(2) Pembinaan dan pengawasan Koperasi tenaga kerja bongkar muat pelabuhan dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan secara terkoordinasi dengan memberikan:
  1. bimbingan sadar hukum ketenagakerjaan yang berkaitan dengan hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja serta lingkungan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. bimbingan teknis terhadap upaya peningkatan produktivitas kerja, perbaikan pengupahan, dan jaminan sosial untuk meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan perlindungan kerja; dan
  3. bimbingan penyelenggaraan latihan kerja untuk meningkatkan disiplin dan etos kerja serta meningkatkan keterampilan bongkar muat barang guna meningkatkan produktivitas.
(3) Pembinaan dan pengawasan kegiatan Koperasi tenaga kerja bongkar muat di pelabuhan yang dilakukan oleh kementerian dengan memberikan:
  1. penyuluhan dan bantuan kepada Koperasi tenaga kerja bongkar muat dalam menerapkan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Koperasi tenaga kerja bongkar muat pelabuhan;
  2. bimbingan dan pembinaan terhadap seluruh kegiatan Koperasi tenaga kerja bongkar muat, kelembagaan, usaha, dan manajemen Koperasi tenaga kerja bongkar muat;
  3. pembinaan di bidang penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan perkoperasian; dan
  4. motivasi kepada tenaga kerja bongkar muat agar aktif berpartisipasi dalam mengembangkan kemampuan teknis dan manajemen perkoperasian.

      

Pasal 31


Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c meliputi:
  1. perizinan dan kerja sama bagi Koperasi yang melakukan kegiatan usaha di sektor kehutanan; dan
  2. pembinaan Koperasi yang melakukan kegiatan Usaha di sektor kehutanan.
     

Pasal 32


Setiap pemegang Perizinan Berusaha pemanfaatan hutan pada hutan lindung wajib melaksanakan kerja sama dengan Koperasi.
     

Pasal 33


(1) Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor perdagangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d meliputi:
  1. kerja sama bagi Koperasi yang melakukan kegiatan usaha di sektor perdagangan; dan
  2. pembinaan Koperasi yang melakukan kegiatan usaha di sektor perdagangan.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan memberikan kesempatan berusaha bagi Koperasi melalui pola kemitraan dengan memperhatikan sistem pembinaan terpadu dan basis data tunggal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kementerian bersama kementerian teknis, Dinas, dan dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang perdagangan melakukan pembinaan Koperasi di sektor perdagangan paling sedikit:
  1. penguatan kelembagaan;
  2. pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia;
  3. kemudahan akses permodalan; dan
  4. pengembangan usaha.
 

Pasal 34


(1) Pemberdayaan bagi Koperasi di sektor pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c, berupa:
  1. pemberian kesempatan berusaha bagi Koperasi melalui pengembangan bisnis korporasi petani model Koperasi; dan
  2. peningkatan nilai tambah ekonomi.
(2) Pemerintah Pusat memberikan kemudahan kepada Koperasi yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertanian.
(3) Menteri bersama menteri teknis/gubernur/bupati/wali kota melakukan pembinaan terhadap Koperasi di sektor pertanian.
(4) Korporasi petani model Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memperhatikan aspek:
  1. pemberdayaan petani;
  2. kelembagaan usaha;
  3. bisnis proses;
  4. keberlangsungan
  5. peningkatan nilai tambah ekonomi
  6. daya saing komoditas pertanian; dan
  7. kelestarian lingkungan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pengembangan korporasi petani model Koperasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah sesuai kewenangannya melalui:
  1. penguatan kelembagaan;
  2. peningkatan kapasitas sumber daya manusia melalui pendidikan, pelatihan, dan pemagangan;
  3. pendampingan;
  4. penyediaan skema pembiayaan yang mudah dan murah melalui kredit program, modal ventura, sistem resi gudang, atau pembiayaan lain;
  5. kemudahan Perizinan Berusaha;
  6. penerapan teknologi produksi tepat guna;
  7. penyediaan pasokan bahan baku; dan/atau
  8. penyediaan sarana produksi.
(6) Pengembangan bisnis korporasi petani model Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dimotivasi melalui pola kemitraan dengan badan hukum lain untuk pemberdayaan petani.
  
          

BAB III
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO DAN
USAHA KECIL
 
Bagian Kesatu
Kemudahan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
 
Paragraf 1
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
 
Pasal 35

(1) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dikelompokkan berdasarkan kriteria modal usaha atau hasil penjualan tahunan.
(2) Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha.
(3)  Kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. Usaha Mikro memiliki modal usaha sampai dengan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
  2. Usaha Kecil memiliki modal usaha lebih dari Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp5.000.000.O00,00 (lima miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; dan
  3. Usaha Menengah memiliki modal usaha lebih dari Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.
(4) Untuk pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah selain kriteria modal usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan kriteria hasil penjualan tahunan.
(5) Kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:
  1. Usaha Mikro memiliki hasil penjualan tahunan sampai dengan Paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
  2. Usaha Kecil memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan Paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah); dan
  3. Usaha Menengah memiliki hasil penjualan tahunan lebih dari Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(6) Dalam hal pelaku usaha telah melaksanakan kegiatan usaha sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan diberikan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memenuhi kriteria hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Nilai nominal kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (5) dapat diubah sesuai dengan perkembangan perekonomian.


 

Pasal 36


(1) Untuk kepentingan tertentu, selain kriteria modal usaha dan hasil penjualan tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), kementerian/lembaga dapat menggunakan kriteria omzet, kekayaan bersih, nilai investasi, jumlah tenaga kerja, insentif dan disinsentif, kandungan lokal, dan/atau penerapan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
(2) Penggunaan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh menteri teknis atau pimpinan lembaga harus mendapatkan pertimbangan dari Menteri.
  
     

Paragraf 2
Perizinan Usaha Berbasis Risiko
 
Pasal 37

(1) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam melakukan kegiatan usahanya harus memiliki Perizinan Berusaha.
(2) Perizinan Berusaha untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diberikan berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dalam bentuk:
  1. nomor induk berusaha, untuk kegiatan usaha risiko rendah;
  2. nomor induk berusaha dan sertifikat standar, untuk kegiatan usaha risiko menengah rendah dan menengah tinggi; dan
  3. nomor induk berusaha dan izin, untuk kegiatan usaha risiko tinggi.
(3) Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil termasuk dalam kegiatan usaha dengan tingkat risiko menengah atau risiko tinggi, selain wajib memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelaku usaha wajib memiliki sertifikat standar produk dan/atau standar usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  

 

Pasal 38


(1) Perizinan Berusaha untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilaksanakan melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik, yang dikelola oleh lembaga yang mengelola Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik.
(2) Pemenuhan persyaratan dan tata cara permohonan Perizinan Berusaha dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang diatur dalam peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko.


Pasal 39


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pembinaan dan pendaftaran bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk kemudahan Perizinan Berusaha.
(2) Dalam melaksanakan pembinaan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan:
  1. identifikasi dan pemetaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berdasarkan tingkat risiko rendah, menengah, dan tinggi; dan
  2. pendaftaran pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik untuk mendapatkan nomor induk berusaha.

       

Pasal 40


Dalam hal pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil tidak dapat mengakses Perizinan Berusaha secara daring, Dinas, perangkat di tingkat kecamatan, dan/atau kantor kelurahan/kantor desa memfasilitasi pendaftaran Perizinan Berusaha dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah.
          

Pasal 41


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan pendampingan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang telah mendapatkan nomor induk berusaha.
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk:
  1. meningkatkan pengetahuan terhadap penerapan standar nasional Indonesia dan sertifikasi jaminan produk halal bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang baru mendapatkan nomor induk berusaha; dan/atau
  2. memenuhi persyaratan mendapatkan sertifikat standar dan/atau izin.
(3) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit dilaksanakan melalui fasilitasi bimbingan teknis, konsultasi, dan/atau pelatihan.

     

Pasal 42


Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang baru mendirikan usaha dapat langsung mengajukan permohonan nomor induk berusaha, sertifikat standar, dan/atau izin melalui sistem Perizinan Berusaha yang terintegrasi secara elektronik.
     

Paragraf 3
Perizinan Tunggal dan Fasilitasi Sertifikasi Standar dan/atau Izin
 
Pasal 43


(1) Pemerintah Pusat menyelenggarakan perizinan tunggal Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik.
(2) Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Perizinan Berusaha, standar nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal.
(3) Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil memiliki risiko rendah diberikan nomor induk berusaha yang sekaligus berlaku sebagai perizinan tunggal.
(4) Lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal mengkoordinasikan penyelenggaraan perizinan tunggal Usaha Mikro dan Usaha Kecil.

     

Pasal 44


Nomor induk berusaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3), berlaku sebagai identitas dan legalitas dalam melaksanakan kegiatan berusaha.
     

Pasal 45


(1) Perizinan tunggal, sertifikat standar dan/atau izin bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil berlaku selama kegiatan usaha berlangsung.
(2) Ketentuan masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk sertifikat halal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan produk halal.
(3) Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pembinaan pemenuhan perizinan tunggal, sertifikat standar dan/atau izin bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   

Pasal 46


Pendaftaran perizinan tunggal, pemenuhan kepemilikan sertifikat standar dan/atau izin, dan perpanjangan sertifikat jaminan produk halal bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil tidak dikenakan biaya.
     

Paragraf 4
Informasi Perizinan Berusaha
 
Pasal 47


Menteri menyampaikan informasi Perizinan Berusaha kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagai pemohon Perizinan Berusaha melalui sarana media publikasi daring atau elektronik mengenai:
  1. persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon;
  2. tata cara mengajukan permohonan izin usaha; dan
  3. pembebasan biaya perizinan.
     

Bagian Kedua
Pelindungan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
 
Paragraf 1
Penyediaan Layanan Bantuan dan Pendampingan Hukum bagi Usaha Mikro
dan Usaha Kecil
 
Pasal 48


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyediakan layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya.
(3) Layanan bantuan dan pendampingan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. penyuluhan hukum;
  2. konsultasi hukum;
  3. mediasi;
  4. penyusunan dokumen hukum; dan/atau
  5. pendampingan di luar pengadilan.

  

Pasal 49


Untuk memperoleh layanan bantuan dan pendampingan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus memenuhi persyaratan:
  1. mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
  2. memiliki nomor induk berusaha; dan
  3. menyerahkan dokumen yang berkenaan dengan Perkara.
     

Pasal 50


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan bantuan pembiayaan kepada Usaha Mikro dan usaha Kecil yang meminta layanan bantuan dan pendampingan hukum yang disediakan pihak lain.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. perorangan yang memiliki izin praktik sebagai advokat;
  2. lembaga pemberi bantuan hukum; atau
  3. perguruan tinggi.
(3) Layanan bantuan dan pendampingan hukum yang dilakukan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. konsultasi hukum
  2. mediasi;
  3. penyusunan dokumen hukum;
  4. pendampingan di luar pengadilan; dan/atau
  5. pendampingan di pengadilan.
(4) Tata cara dan besaran bantuan pembiayaan layanan bantuan dan pendampingan hukum ditetapkan oleh Menteri.

     

Pasal 51


Dalam upaya pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah paling sedikit:
  1. melakukan identifikasi permasalahan hukum yang dihadapi oleh pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
  2. membuka informasi kepada pelaku Usaha Mikro dan Usaha Kecil mengenai bentuk dan cara mengakses layanan bantuan dan pendampingan hukum;
  3. meningkatkan literasi hukum;
  4. mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program dari kegiatan layanan bantuan dan pendampingan hukum; dan
  5. melakukan kerja sama dengan instansi terkait, perguruan tinggi dan/atau organisasi profesi hukum.
     

Pasal 52


(1) Pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 sampai dengan Pasal 51 dilaksanakan oleh setiap Kementerian/lembaga dan perangkat daerah yang melakukan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sesuai dengan kewenangan.
(2) Hasil pelaksanaan pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Kementerian.
(3) Kementerian melaksanakan evaluasi terhadap pemberian layanan bantuan dan pendampingan hukum Usaha Mikro dan Kecil paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.


Paragraf 2
Pemulihan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
 
Pasal 53

(1) Dalam hal terjadi kondisi darurat tertentu, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengupayakan pemulihan Usaha Mikro dan Usaha Kecil meliputi:
  1. restrukturisasi kredit;
  2. rekonstruksi usaha;
  3. bantuan permodalan; dan/atau
  4. bantuan bentuk lain.
(2) Pemulihan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang terdampak untuk pemulihan perekonomian masyarakat.


          

Pasal 54


Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah aktif dalam memberikan perlindungan dan pengamanan untuk menjaga daya saing produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil di pasar domestik.
 
          

Bagian Ketiga
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
 
Paragraf 1
Basis Data Tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
 
Pasal 55

(1) Basis data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dikoordinasikan oleh Kementerian.
(2) Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
  1. mengumpulkan, memeriksa kesesuaian data, dan mengelola data yang disampaikan oleh kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah; dan
  2. menyebarluaskan pemanfaatan data dengan memanfaatkan sistem jaringan data dan informasi.
(3) Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengacu pada standar data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang paling sedikit memuat identitas usaha dan identitas pelaku usaha.
(4) Penyusunan standar data sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan badan yang melaksanakan urusan pemerintahan di bidang statistik.


 

Pasal 56


(1) Untuk pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2) huruf a, kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah harus menyampaikan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kepada Menteri sesuai standar data dan memenuhi kaidah interoperabilitas.
(2) Kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah menyampaikan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara periodik 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun paling lambat semester pertama tahun anggaran berjalan.
(3) Pendataan, pengumpulan, dan/atau pengelolaan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat melibatkan dunia usaha, perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan pemangku kepentingan terkait lainnya.

     

Pasal 57


Penyelenggaraan basis data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menggunakan sistem informasi data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
     

Pasal 58


(1) Kementerian menyebarluaskan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait dan Pemerintah Daerah.
(2) Penyebarluasan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
  1. pemberian akses;
  2. pendistribusian; dan
  3. pertukaran data.
(3) Dalam memberikan afirmasi kepada Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah harus mengacu kepada basis data tunggal.
(4) Data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dipublikasikan dalam sistem informasi yang dapat diakses oleh publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

     

Pasal 59

Penyelenggaraan basis data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilaksanakan oleh Menteri.

     

Paragraf 2

Penyediaan Tempat Promosi dan Pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil
pada Infrastruktur Publik

 

Pasal 60

(1) Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan usaha swasta wajib melakukan penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil paling sedikit 30% (tiga puluh persen) total luas lahan area komersial, luas tempat perbelanjaan, dan/atau tempat promosi yang strategis pada infrastruktur publik.
(2) Infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. terminal;
  2. bandar udara;
  3. pelabuhan;
  4. stasiun kereta api;
  5. tempat istirahat dan pelayanan jalan tol; dan
  6. infrastruktur publik lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya.
(3) Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dilakukan dengan memperhatikan aspek keselamatan dan keamanan serta menjaga ketertiban dalam pelayanan infrastruktur publik.
(4) Tempat istirahat dan pelayanan jalan tol sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e, selain diperuntukkan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil juga diperuntukkan bagi Usaha Menengah.

     

 

Pasal 61


(1) Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dapat memberikan apresiasi berbentuk insentif kepada badan usaha yang menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sesuai dengan alokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1).
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa subsidi, keringanan biaya retribusi daerah, fasilitas kemudahan. dan/atau penghargaan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 62


(1) Alokasi besaran penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) wajib tertuang dalam kontrak kerja sama antara penyelenggara infrastruktur publik dengan pengelola infrastruktur publik.
(2) Ketentuan kewajiban menuangkan alokasi besaran dalam kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga untuk penyediaan tempat promosi dan pengembangan usaha bagi Usaha Menengah dalam penyelenggaraan infrastruktur publik di tempat istirahat. dan pelayanan jalan tol.
(3) Kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2j paling sedikit memuat:
  1. identitas para pihak;
  2. hak dan kewajiban para pihak;
  3. sanksi; dan
  4. penyelesaian sengketa.
(4) Ketentuan pemenuhan alokasi 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) berlaku untuk penyelenggaraan infrastruktur publik yang:
  1. telah melakukan penandatanganan kontrak pengusahaan infrastruktur publik namun belum melakukan proses pembangunan; atau
  2. sedang dalam proses pembangunan.

 

Pasal 63


(1) Penyediaan tempat promosi untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) paling sedikit berupa:
  1. media luar ruang; dan
  2. ruang pameran.
(2) Penyediaan tempat pengembangan usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) paling sedikit berupa:
  1. tempat berjualan;
  2. tempat bekerja atau akomodasi; dan
  3. pergudangan.
(3) Tempat promosi dan pengembangan usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil berada di lokasi strategis pada infrastruktur publik.
(4) Penyediaan tempat promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengembangan usaha sebagaimana dimaksud ayat (2) berlaku pula bagi Usaha Menengah pada tempat istirahat dan pelayanan jalan tol.

          

Pasal 64


(1) Pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada infrastruktur publik dilakukan oleh masing-masing kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta sebagai penyelenggara infrastruktur publik.
(2) Dalam melakukan pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara infrastruktur publik dapat menyerahkan pengelolaan dan pengembangannya kepada Koperasi.
(3) Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapatkan prioritas sebagai pengelola tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada infrastruktur publik.
(4) Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan hak pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil setelah dilakukan seleksi oleh Kementerian atau Dinas.


Pasal 65


(1) Penyelenggara infrastruktur publik yang mengelola tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus:
  1. melaksanakan rekomendasi Kementerian atau Dinas terkait pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
  2. mendaftarkan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang mendapatkan fasilitasi tempat promosi dan pengembangan usaha pada sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik;
  3. melakukan seleksi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dan kurasi produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang akan melakukan usaha di lokasi infrastruktur publik;
  4. memfasilitasi pelatihan dan pendampingan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk mengembangkan usaha; dan
  5. mengelola tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil secara profesional dan akuntabel.
(2) Koperasi yang mendapatkan hak pengelolaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil harus:
  1. mengutamakan memberikan tempat promosi dan pengembangan usaha kepada anggota Koperasi;
  2. melakukan seleksi kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil dan kurasi produk terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang akan melakukan usaha di lokasi infrastruktur publik;
  3. mendaftarkan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang mendapatkan fasilitasi tempat promosi dan pengembangan usaha pada sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik;
  4. memfasilitasi pelatihan dan pendampingan pengembangan usaha bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang melakukan usaha di lokasi infrastruktur publik; dan
  5. mengelola tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil secara profesional dan akuntabel.

     

Pasal 66


Kementerian atau Dinas melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pelaksanaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil oleh penyelenggara infrastruktur publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan infrastruktur publik.
 

Pasal 67


Penyelenggara infrastruktur publik menetapkan biaya sewa tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari harga sewa komersial.
          

Paragraf 3
Pengelolaan Terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil
 
Pasal 68


(1) Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diimplementasikan secara bersinergi oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait melalui penataan klaster.

     

Pasal 69


(1) Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil merupakan kelompok Usaha Mikro dan Usaha, Kecil yang terkait dalam:
     a.    suatu rantai produk umum;
     b.    ketergantungan atas keterampilan tenaga kerja yang serupa; atau
     c.    penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi secara terintegrasi
(2) Anggota kelompok Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membentuk Koperasi guna mewadahi kegiatan pengelolaan terpadu.
(3) Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  1. pendirian/legalisasi;
  2. pembiayaan;
  3. penyediaan bahan baku;
  4. proses produksi;
  5. kurasi; dan
  6. pemasaran produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui perdagangan elektronik/nonelektronik.
(4) Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan secara terintegrasi, sistematis, akuntabel, dan berkelanjutan.

          

Pasal 70


Pemerintah memberikan kemudahan, pendampingan, dan fasilitasi untuk implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
          

Pasal 71


Kemudahan, pendampingan, dan fasilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 meliputi:
a. pendirian/legalisasi berupa:
1. pendaftaran Perizinan Berusaha bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2. fasilitasi standardisasi dan sertifikasi dalam rangka ekspor bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang telah mendapatkan nomor induk berusaha; dan
3. fasilitasi kepemilikan hak kekayaan intelektual dalam negeri dan untuk ekspor.
b. pembiayaan berupa:
1. meningkatkan akses pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
2. memberikan imbal jasa penjaminan dan subsidi bunga;
3. penjaminan kredit modal kerja;
4. penyaluran dana bergulir;
5. bantuan permodalan; dan
6. bentuk pembiayaan lain.
c. penyediaan bahan baku berupa:
1. membuka akses penyediaan bahan baku dan/atau bahan penolong; dan
2. memastikan ketersediaan bahan baku dan/atau bahan penolong.
d. proses produksi berupa:
1. sarana dan prasarana:
a) penyediaan lahan dan bangunan untuk dimanfaatkan sebagai lokasi proses produksi;
b) mesin dan peralatan produksi; dan/atau
c) sarana pendukung lain.
2. peningkatan kompetensi sumber daya manusia:
a) pendidikan;
b) pelatihan;
c) magang; dan
d)  pendampingan.
3. fasilitasi standardisasi dan sertifikasi produk untuk ekspor melalui pelatihan dan pendampingan berkelanjutan berdasarkan klaster;
4. fasilitasi desain produk dan kemasan, pengembangan pencitraan produk, serta desain dan konten toko online; dan
5. pembinaan dalam proses fabrikasi produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
e. kurasi berupa:
1. melakukan penilaian produk unggulan daerah yang memiliki potensi pasar; dan
2. melakukan seleksi dan penilaian terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil; dan
f. pemasaran produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui perdagangan elektronik/nonelektronik berupa:
1. penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
2. fasilitasi pameran dalam negeri dan luar negeri;
3. pengembangan kapasitas logistik;
4. literasi digital dan nondigital; dan
5. pengembangan aggregator bisnis online untuk membantu pemasaran dan penjualan secara online.

          

Pasal 72

(1) Penentuan lokasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil memperhatikan paling sedikit:
  1. pemetaan potensi berdasarkan ketersediaan bahan baku, ketersediaan tenaga kerja, akses distribusi, akses pembiayaan, penggunaan teknologi yang serupa dan saling melengkapi, dan dampak ekonomi masyarakat;
  2. keunggulan daerah berdasarkan komoditas unggulan dan potensi pasar;
  3. strategi penentuan lokasi berdasarkan ketersediaan lahan, infrastruktur, lingkungan masyarakat, akses distribusi, rencana tata ruang wilayah; dan/atau
  4. lokasi kawasan ekonomi khusus, kawasan industri terpadu, kawasan berikat, dan kawasan terpadu lain.
(2) Bagi daerah yang memiliki kawasan ekonomi khusus, lokasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil berada dalam wilayah kawasan ekonomi khusus.
(3) Lokasi untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi, baik sebagai pelaku usaha maupun sebagai usaha pendukung bagi perusahaan yang berada di kawasan ekonomi khusus ditetapkan sebagai lokasi pengelolaan terpadu.


 

Pasal 73


(1) Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil disusun dalam rencana aksi nasional pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran dari rencana pembangunan jangka menengah nasional.
(3) Rencana aksi nasional pengelolaan terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun rencana aksi di daerah.
(4) Rencana aksi di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bagian integral dari rencana pembangunan jangka menengah daerah provinsi dan kabupaten/kota.
 
     

Pasal 74


Menteri mengkoordinasikan dan mengendalikan pelaksanaan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
 

Pasal 75


Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam perumusan kebijakan, penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
 

Pasal 76


Koordinasi dan pengendalian pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster dilakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
     

Pasal 77


(1) Dalam melakukan koordinasi dan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 Menteri melakukan:
  1. pertukaran data dan informasi perencanaan dan pelaksanaan program di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
  2. konsultasi antar instansi Pemerintah Pusat di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan antara unsur pemerintahan dengan dunia usaha dan masyarakat.
(2) Hasil koordinasi dan pengendalian kebijakan umum dan program/kegiatan, pelaksanaan program/kegiatan, pemantauan dan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster tingkat nasional menjadi masukan untuk pelaksanaan program di tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.

     

Pasal 78

Pembiayaan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil bersumber dari:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan/atau
  3. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     

Paragraf 4
Fasilitasi Hak Kekayaan Intelektual
 
Pasal 79

(1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia memberikan kemudahan dalam memperoleh hak kekayaan intelektual secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif dalam pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa keringanan biaya pendaftaran dan pencatatan hak kekayaan intelektual bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil paling sedikit sebesar 50% (lima puluh persen).
(3) Kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangannya mendampingi Usaha Mikro dan Usaha Kecil untuk memperoleh hak kekayaan intelektual dengan melakukan:
  1. konsultasi, pendampingan pendaftaran, dan pencatatan kekayaan intelektual;
  2. literasi, edukasi, dan sosialisasi kekayaan intelektual; dan
  3. advokasi penyelesaian sengketa kekayaan intelektual.
(4) Keringanan biaya pendaftaran kepemilikan hak kekayaan intelektual sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pendaftaran hak kekayaan intelektual internasional.
(5) Kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangannya mendampingi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk memperoleh sertifikat hak kekayaan intelektual dengan melakukan:
  1. konsultasi dan pendampingan pendaftaran kekayaan intelektual dalam negeri dan hak kekayaan intelektual internasional;
  2. literasi dan sosialisasi kekayaan intelektual; dan
  3. advokasi penyelesaian sengketa kekayaan intelektual.

          


Paragraf 5
Jaminan Kredit Program
 
Pasal 80

(1) Kegiatan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat dijadikan jaminan kredit program.
(2) Jaminan kredit program sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. surat perintah kerja;
  2. faktur;
  3. surat pemesanan (purchase order);
  4. hak kekayaan intelektual;
  5. anjak piutang;
  6. keping/kode batang (chip/barcode) bukti atas kepemilikan benda bergerak; dan/atau
  7. kontrak perjanjian kerja.

   


Paragraf 6
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
 
Pasal 81

(1) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah wajib menggunakan barang/jasa Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta Koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(2) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mengalokasikan paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari nilai anggaran belanja barang/jasa Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(3) Pemberian pengalokasian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan pengadaan barang/jasa pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan barang/jasa pemerintah.
(4) Penyedia usaha besar dan Usaha Menengah yang melaksanakan pekerjaan harus melakukan kerja sama usaha dalam bentuk kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki kemampuan di bidang yang bersangkutan.

    
     

Pasal 82


(1) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara mendorong badan usaha milik negara untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa.
(2) Pemerintah Daerah mendorong badan usaha milik daerah untuk mengutamakan penggunaan hasil produksi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dalam pengadaan barang/jasa.


Pasal 83

(1) Kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memasukkan rencana belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) dalam Sistem Informasi Rencana Umum Pengadaan paling lambat di bulan November tahun berjalan untuk rencana belanja tahun mendatang.
(2) Rencana belanja tahun mendatang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diintegrasikan dengan sistem informasi data tunggal.
 

     

Pasal 84


(1) Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak kurang dari Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dibayar langsung.
(2) Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00. (dua ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 50% (lima puluh persen).
(3) Pembayaran kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi dengan nilai pagu anggaran/kontrak antara nilai lebih dari Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan nilai Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) diberikan uang muka paling sedikit 30% (tiga puluh persen).


Pasal 85


(1) Menteri/menteri teknis/kepala daerah wajib melakukan pengawasan pengalokasian dan pelaksanaan pengadaan barang/jasa untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi melalui aparat pengawasan internal pada kementerian/lembaga/Pemerintah Daerah.
(2) Menteri berkoordinasi dengan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pengadaan barang/jasa bagi Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
  1. audit;
  2. reviu;
  3. pemantauan;
  4. evaluasi; dan/atau
  5. penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system).
(4) Penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dapat menggunakan penyelenggaraan mekanisme pengaduan (whistleblowing system) yang sudah berjalan.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dari tahap:
  1. perencanaan;
  2. penganggaran;
  3. persiapan;
  4. pemilihan penyedia;
  5. pelaksanaan kontrak; dan
  6. serah terima pekerjaan dan pelaporan
(6) Ruang lingkup pengawasan keterlibatan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi pada pengadaan barang/jasa meliputi:
  1. pemenuhan kewajiban pengalokasian sebesar 40% (empat puluh persen) untuk produk barang dan jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi; dan
  2. realisasi atas belanja produk barang dan jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi
(7) Hasil pengawasan digunakan untuk pengendalian pelaksanaan pengadaan barang/jasa.


Pasal 86


(1) Monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 dilakukan oleh Menteri.
(2) Menteri menyediakan laman sistem monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa pada sistem informasi data tunggal.
(3) Monitoring dan evaluasi dilakukan secara reguler dan dilaporkan kepada Presiden paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan Desember pada tahun berjalan.


Pasal 87


Realisasi pelaksanaan pengalokasian 40% (empat puluh persen) pengadaan barang/jasa Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi yang dilakukan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan perangkat daerah dipublikasikan secara transparan kepada masyarakat.
     

Paragraf 7


Pencatatan dan Pembukuan Sistem Aplikasi Laporan Keuangan
 

Pasal 88


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memfasilitasi pelatihan dan pendampingan pemanfaatan sistem aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Sistem aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada standar akuntansi yang berlaku bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(3) Standar akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempertimbangkan kesederhanaan dan kemudahan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(4) Fasilitasi penyediaan sistem aplikasi pembukuan/pencatatan keuangan sederhana bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil tidak dipungut biaya.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan fasilitas pelatihan dan pendampingan pembukuan/pencatatan keuangan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat bekerjasama dengan perguruan tinggi dan asosiasi.

     

Paragraf 8
Pengalokasian Usaha Bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil
 
Pasal 89

(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan bidang usaha untuk Usaha Mikro dan Usaha Kecil serta bidang usaha untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama melalui kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(2) Alokasi bidang usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang penanam.an modal.


Paragraf 9
Pemeliharaan Terminal
 
Pasal 90

(1) Pemeliharaan terhadap fasilitas utama dan fasilitas penunjang pada terminal harus bekerjasama dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Pemeliharaan yang harus dikerjasamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. rutin;
  2. memfungsikan kembali;
  3. penggantian; dan/atau
  4. bersifat melengkapi.
(3) Pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang transportasi.


Bagian Keempat

Pengembangan Usaha
 
Pasal 91

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
(2) Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
  1. pendataan serta identifikasi potensi dan masalah yang dihadapi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  2. penyusunan program pembinaan dan pengembangan sesuai potensi dan masalah yang dihadapi;
  3. pelaksanaan program pembinaan dan pengembangan; dan
  4. pemantauan dan pengendalian pelaksanaan program.
(3) Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pendekatan:
  1. Koperasi;
  2. sentra;
  3. klaster; dan
  4. kelompok.

  

 

Pasal 92


(1) Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dilaksanakan berdasarkan intensitas dan jangka waktu.
(2) Intensitas dan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(3) Menteri membuat pedoman klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pedoman klasifikasi dan tingkat perkembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit:
  1. kriteria klasifikasi berdasarkan masalah dan/atau potensi;
  2. penentuan klasifikasi;
  3. pendekatan pengembangan;
  4. bentuk fasilitasi; dan
  5. jangka waktu fasilitasi.

          

Bagian Kelima
Koordinasi dan Pengendalian Kemudahan Perlindungan, dan Pemberdayaan
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
 
Paragraf 1
Lingkup Koordinasi
 
Pasal 93


Koordinasi dan pengendalian pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah meliputi penyusunan dan pengintegrasian, pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi terhadap:
  1. peraturan perundang-undangan dan kebijakan penumbuhan iklim dan pengembangan usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
  2. program penumbuhan iklim dan pengembangan usaha yang diselenggarakan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dunia usaha, dan masyarakat.
     

Paragraf 2
Penyelenggaraan Koordinasi dan Pengendalian Kemudahan, Pelindungan, dan
Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
 
Pasal 94

(1) Menteri mengkoordinasikan dan mengendalikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(2) Koordinasi dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan secara terpadu dengan menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian, gubernur, bupati/wali kota, dunia usaha, dan masyarakat.


 

Pasal 95


(1) Dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94, Menteri bertugas:
  1. menyiapkan, menyusun, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan umum secara nasional tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  2. menyinergikan perencanaan nasional sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan yang dijabarkan dalam program pembangunan daerah dan pembangunan sektoral;
  3. merumuskan kebijakan penanganan dan penyelesaian masalah yang timbul dalam penyelenggaraan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan di tingkat nasional dan daerah;
  4. menyusun pedoman penyelenggaraan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan di daerah dengan menyinergikan perencanaan pemberdayaan di tingkat nasional dan daerah;
  5. mengkoordinasikan dan menyinergikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  6. mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dan
  7. melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(2) Dalam pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, menteri teknis/kepala lembaga pemerintah nonkementerian bertugas:
  1. menyusun kebijakan teknis dan program, melaksanakan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan berpedoman pada kebijakan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan
  2. menginformasikan hasil pelaksanaan kebijakan teknis dan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah kepada Menteri.
(3) Dalam pemberian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, gubernur dan bupati/wali kota bertugas:
  1. menyusun, menyiapkan, menetapkan, dan/atau melaksanakan kebijakan umum di daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  2. menyinergikan perencanaan daerah, sebagai dasar penyusunan kebijakan dan strategi pemberdayaan yang dijabarkan dalam program daerah provinsi dan kabupaten/kota;
  3. menyelesaikan masalah yang timbul dalam penyelenggaraan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan di daerah provinsi dan kabupaten/kota;
  4. menyinergikan penyusunan dan pelaksanaan peraturan di daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
  5. menyelenggarakan kebijakan dan program pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, dan kemitraan pada daerah provinsi dan kabupaten/kota;
  6. mengkoordinasikan pengembangan kelembagaan dan sumber daya manusia Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di daerah provinsi kabupaten/kota; dan
  7. melakukan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(4) Kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilaksanakan sesuai dengan pembagian kewenangan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah.

   

Pasal 96


(1) Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3) kepada Menteri dan gubernur.
(2) Bupati/wali kota atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri dan gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember.
(3) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk melaporkan secara berkala hasil pelaksanaan kebijakan/program kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (3) kepada Menteri.
(4) Gubernur atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan laporan secara berkala kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember.
(5) Menteri melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Presiden secara berkala dilakukan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember dengan tembusan kepada menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.

    

Pasal 97


(1) Dunia usaha dan masyarakat berperan serta secara aktif dalam perumusan kebijakan, penyelenggaraan, pemantauan dan evaluasi kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
(2) Dunia usaha dan masyarakat yang melakukan program pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan serta kemitraan, menginformasikan dan menyampaikan rencana, pelaksanaan, dan hasil penyelenggaraan program kepada Menteri.
(3) Ketentuan mengenai tata cara peran serta dunia usaha dan masyarakat mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah ditetapkan oleh Menteri.

     

Paragraf 3
Koordinasi dan Pengendalian
 
Pasal 98

Koordinasi dan pengendalian kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilakukan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
     

Pasal 99


(1) Dalam mengkoordinasikan dan mengendalikan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 94 ayat (1), Menteri melakukan:
  1. pertukaran data dan informasi perencanaan dan pelaksanaan program di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; dan
  2. konsultasi antar instansi Pemerintah Pusat, dengan Pemerintah Daerah provinsi, Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan dunia usaha dan masyarakat.
(2) Hasil koordinasi dan pengendalian kebijakan umum dan program/kegiatan, pelaksanaan program/kegiatan, pemantauan dan evaluasi kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah tingkat nasional menjadi masukan untuk pelaksanaan program di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.
 
          

Pasal 100


Biaya pelaksanaan koordinasi dan pengendalian bersumber dari anggaran Kementerian, kementerian teknis/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
          

Paragraf 4
Upah pada Usaha Mikro dan Usaha Kecil
 
Pasal 101

(1) Ketentuan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota dikecualikan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Ketentuan upah minimum provinsi dan upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada ketentuan Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai pengupahan.


 

BAB IV
KEMITRAAN
 
Bagian Kesatu
Insentif Kemitraan
 
Pasal 102

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan usaha Menengah dan usaha besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil, berupa:
  1. pengurangan atau keringanan pajak daerah;
  2. pengurangan atau keringanan retribusi daerah;
  3. pemberian bantuan modal kepada Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi;
  4. bantuan untuk riset dan pengembangan untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi;
  5. fasilitas pelatihan vokasi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi; dan/atau
  6. subsidi bunga pinjaman pada kredit program.
(3) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Usaha Menengah dan usaha besar, berupa:
  1. pengurangan atau keringanan pajak daerah; dan/atau
  2. pengurangan atau keringanan retribusi daerah.
(4) Insentif kepada Usaha Menengah dan usaha besar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan dengan ketentuan:
  1. melakukan inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor;
  2. menyerap tenaga kerja lokal;
  3. menggunakan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan;
  4. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
  5. melakukan pendampingan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil; dan
  6. melibatkan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam perluasan akses pasar.
(5) Kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
  1. pendanaan secara cepat, tepat, murah, dan tidak diskriminatif;
  2. pengadaan sarana prasarana, produksi dan pengolahan, bahan baku, bahan penolong, dan kemasan;
  3. perizinan dan keringanan tarif sarana dan prasarana;
  4. fasilitasi dalam memenuhi persyaratan untuk memperoleh pembiayaan; dan/atau
  5. memperoleh dana, tempat usaha, bidang dan kegiatan usaha, atau pengadaan barang dan jasa untuk pemerintah.

          


Pasal 103


(1) Kementerian dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan.
(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian dan Pemerintah Daerah dapat berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian.
(3) Hasil pengawasan dan evaluasi kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan paling sedikit untuk:
     a.    kerja sama dalam perencanaan program kemitraan; dan/atau
     b.    advokasi pelaku usaha dalam pelaksanaan kemitraan.


Bagian Kedua
Pola Kemitraan
 
Paragraf 1
Umum
 
Pasal 104


(1) Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dengan Usaha Menengah dan usaha besar dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip kemitraan dan menjunjung etika bisnis yang sehat.
(2) Prinsip kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi prinsip saling:
  1. memerlukan;
  2. mempercayai;
  3. memperkuat; dan
  4. menguntungkan.
(3) Dalam melaksanakan kemitraan, para pihak mempunyai kedudukan hukum yang setara dan berlaku hukum Indonesia.
(4) Kemitraan antara Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Koperasi dengan Usaha Menengah dan usaha besar dilaksanakan dengan disertai bantuan dan penguatan oleh usaha besar.
 
          

Pasal 105


(1) Kemitraan mencakup proses alih keterampilan bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi sesuai dengan pola kemitraan.
(2) Alih keterampilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui pelatihan, peningkatan kemampuan, pemagangan, dan pendampingan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.

          

Paragraf 2
Pola Kemitraan
 
Pasal 106


(1) Kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dilaksanakan melalui pola:
  1. inti-plasma;
  2. subkontrak;
  3. waralaba;
  4. perdagangan umum;
  5. distribusi dan keagenan;
  6. rantai pasok; dan
  7. bentuk kemitraan lain
(2) Bentuk kemitraan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, paling sedikit:
  1. bagi hasil;
  2. kerja sama operasional;
  3. usaha patungan (joint venture); dan
  4. penyumberluaran (outsourcing)
(3) Dalam melakukan kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku usaha didampingi oleh pendamping.
(4) Pendampingan yang dilakukan oleh pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah provinsi.


Pasal 107


Dalam pola kemitraan inti-plasma sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a:
  1. usaha besar berkedudukan sebagai inti dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai plasma; atau
  2. Usaha Menengah berkedudukan sebagai inti dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai plasma.
     

Pasal 108


(1) Dalam pola kemitraan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b:
  1. usaha besar berkedudukan sebagai kontraktor dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai subkontraktor; atau
  2. Usaha Menengah berkedudukan sebagai kontraktor dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai subkontraktor.
(2) Dalam pelaksanaan pola kemitraan subkontrak, usaha besar sebagai kontraktor memberikan dukungan:
  1. kemudahan dalam mengerjakan sebagian produksi dan/atau komponen;
  2. kemudahan memperoleh bahan baku;
  3. peningkatan pengetahuan teknis produksi;
  4. teknologi;
  5. pembiayaan; dan
  6. sistem pembayaran.

    

Pasal 109


(1) Dalam pola kemitraan waralaba sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf c:
  1. usaha besar berkedudukan sebagai pemberi waralaba dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai penerima waralaba; atau
  2. Usaha Menengah berkedudukan sebagai pemberi waralaba dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai penerima waralaba.
(2) Usaha besar yang memperluas usahanya dengan cara waralaba memberikan kesempatan dan mendahulukan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang memiliki kapasitas dan kelayakan usaha.
(3) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat melakukan kemitraan dengan pola waralaba sebagai pemberi waralaba.
(4) Ketentuan mengenai waralaba diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 
          

Pasal 110


(1) Kemitraan usaha dengan pola perdagangan umum, dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama pemasaran dan penyediaan lokasi usaha dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh usaha besar yang dilakukan secara terbuka.
(2) Pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk kerja sama kemitraan perdagangan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak.


Pasal 111


Dalam pola kemitraan distribusi dan keagenan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (1) huruf e:
  1. usaha besar memberikan hak khusus memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; atau
  2. Usaha Menengah memberikan hak khusus memasarkan barang dan jasa kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
     

Pasal 112


(1) Pelaksanaan Kemitraan dengan Pola Rantai Pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf f, dapat dilakukan dalam satu rangkaian kegiatan yang melibatkan Usaha Mikro, Usaha Kecil, Usaha Menengah dan usaha besar, paling sedikit:
  1. pengelolaan perpindahan produk yang dilakukan oleh perusahaan dengan penyedia bahan baku;
  2. pendistribusian produk dari perusahaan ke konsumen; dan/atau
  3. pengelolaan ketersediaan bahan baku, pasokan bahan baku. serta proses fabrikasi.
(2) Dalam pola kemitraan rantai pasok sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
  1. usaha besar berkedudukan sebagai penerima barang dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah berkedudukan sebagai penyedia barang; atau
  2. Usaha Menengah berkedudukan sebagai penerima barang dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai penyedia barang.
(3) Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh usaha besar atau Usaha Menengah dilakukan melalui pola kemitraan rantai pasok mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan.
(4) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang berada di sekitar wilayah ekonomi diprioritaskan sebagai usaha pendukung di Kawasan Ekonomi Khusus.

          

Pasal 113


(1) Dalam pola kemitraan bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf a:
  1. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai pelaksana yang menjalankan usaha yang dibiayai atau dimiliki oleh usaha besar; atau
  2. Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai pelaksana yang menjalankan usaha yang dibiayai atau dimiliki oleh Usaha Menengah.
(2) Para pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan dan sumber daya yang dimiliki serta disepakati kedua belah pihak yang bermitra.
(3) Besarnya pembagian keuntungan yang diterima atau kerugian yang ditanggung para pihak yang bermitra dengan pola bagi hasil berdasarkan pada perjanjian yang disepakati.


Pasal 114


Pola kemitraan kerja sama operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf b antara:
  1. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan usaha besar menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai; atau
  2. Usaha Mikro dan Usaha Kecil dengan Usaha Menengah menjalankan usaha yang sifatnya sementara sampai dengan pekerjaan selesai.
     

Pasal 115

(1) Dalam pola kemitraan usaha patungan (joint venture) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf c:
  1. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah lokal dapat melakukan kemitraan usaha dengan usaha besar asing; dan
  2. Usaha Mikro dan Usaha Kecil lokal dapat melakukan kemitraan usaha dengan Usaha Menengah asing, dengan cara menjalankan aktivitas ekonomi bersama dengan mendirikan badan usaha baru berbentuk badan hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menjalankan aktivitas ekonomi bersama para pihak berbagi secara proporsional dalam pemilikan saham, keuntungan, risiko, dan manajemen perusahaan.

 

 

Pasal 116


(1) Dalam pola kemitraan pola penyumberluaran (outsourcing) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) huruf d:
  1. Usaha Mikro, Usaha Kecil, atau Usaha Menengah dapat bermitra dengan usaha besar untuk mengerjakan pekerjaan atau bagian pekerjaan di luar pekerjaan utama usaha besar;
  2. Usaha Mikro atau Usaha Kecil dapat bermitra dengan Usaha Menengah untuk mengerjakan pekerjaan atau bagian pekerjaan di luar pekerjaan utama Usaha Menengah.
(2) Kemitraan pola penyumberluaran dijalankan pada bidang dan jenis usaha yang bukan merupakan pekerjaan pokok dan/atau bukan komponen pokok.
(3)  Dalam pola kemitraan penyumberluaran:
  1. usaha besar berkedudukan sebagai pemilik pekerjaan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah berkedudukan sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan; atau
  2. Usaha Menengah berkedudukan sebagai pemilik pekerjaan dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil berkedudukan sebagai penyedia dan pelaksana jasa pekerjaan.
(4) Pelaksanaan pola kemitraan penyumberluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

      

Bagian Ketiga
Perjanjian Kemitraan
 
Pasal 117

(1) Setiap bentuk kemitraan yang dilakukan oleh Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dituangkan dalam perjanjian kemitraan.
(2) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia.
(3) Dalam hal salah satu pihak merupakan orang atau badan hukum asing, perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dalam Bahasa Indonesia dan bahasa asing.
(4) Perjanjian kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat paling sedikit:
  1. identitas para pihak;
  2. kegiatan usaha;
  3. hak dan kewajiban para pihak;
  4. bentuk pengembangan;
  5. jangka waktu kemitraan;
  6. jangka waktu dan mekanisme pembayaran; dan
  7. penyelesaian perselisihan.


 

Bagian Keempat
Peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Kemitraan
 

Pasal 118

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah mengatur:
  1. usaha besar untuk membangun kemitraan dengan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; atau
  2. Usaha Menengah untuk membangun kemitraan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil.
(2) Untuk melaksanakan peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah:
  1. menyediakan data dan informasi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang siap bermitra;
  2. mengembangkan proyek percontohan kemitraan;
  3. memfasilitasi dukungan kebijakan; dan
  4. melakukan koordinasi penyusunan kebijakan dan program pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, serta pengendalian umum terhadap pelaksanaan kemitraan.

        


Bagian Kelima
Pengawasan Kemitraan
 
Pasal 119

(1) Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan pengawasan pelaksanaan kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Pengawas Persaingan Usaha berkoordinasi dengan instansi terkait.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
(4) Pelaksanaan pengawasan dan evaluasi terhadap kemitraan dapat dilaksanakan bersama antara kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait dengan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.


Bagian Keenam
Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif
 
Pasal 120

(1) Pengenaan sanksi administratif dilakukan terhadap usaha besar atau Usaha Menengah yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam kemitraan, berdasarkan inisiatif dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan/atau laporan yang masuk ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha oleh:
  1. Usaha Mikro, Usaha Kecil, atau Usaha Menengah yang dirugikan atas pemilikan dan/atau penguasaan usahanya dalam hubungan kemitraan dengan usaha besar;
  2. Usaha Mikro atau Usaha Kecil yang dirugikan atas pemilikan dan/atau penguasaan usahanya dalam hubungan kemitraan dengan Usaha Menengah; atau
  3. orang yang mengetahui tentang dugaan pelanggaran pelaksanaan kemitraan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis disertai bukti dan keterangan yang lengkap dan jelas.

     

 

Pasal 121

(1) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120, Komisi Pengawas Persaingan Usaha melakukan pemeriksaan pendahuluan.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan pendahuluan menyatakan adanya dugaan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120, Komisi Pengawas Persaingan Usaha memberikan peringatan tertulis kepada.pelaku usaha untuk melakukan perbaikan atas dugaan pelanggaran yang dilakukan.
(3) Pelaku usaha yang tidak mematuhi peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dalam tenggang waktu yang ditetapkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan tetap tidak melakukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses dilanjutkan kepada acara pemeriksaan lanjutan.

 


Pasal 122


(1) Berdasarkan pemeriksaan lanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 ayat (3), Komisi Pengawas Persaingan Usaha dapat mengeluarkan putusan berupa pengenaan sanksi administratif kepada usaha besar atau Usaha Menengah yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120.
(2) Dalam hal putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerintahkan pencabutan izin usaha, pejabat pemberi izin wajib mencabut izin usaha pelaku usaha yang bersangkutan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.

     

Pasal 123


Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan perkara atas dugaan pelanggaran berdasarkan inisiatif Komisi Pengawas Persaingan Usaha maupun laporan, diatur dengan Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
     

BAB V
KEMUDAHAN DAN INSENTIF
 
Pasal 124


(1) Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Usaha Mikro dan Usaha Kecil tertentu dapat diberi insentif pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak penghasilan.
(3) Insentif pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan berdasarkan basis data tunggal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(4) Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberikan insentif berupa pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberikan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus memenuhi kriteria:
  1. baru mulai berproduksi atau beroperasi;
  2. peredaran usaha paling banyak Rp7.500.000.000.00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per tahun;
  3. melakukan usaha di sektor pertanian, perkebunan, peternakan, industri, jasa, pengangkutan/transportasi, hotel bintang 1/hotel melati/hostel/homestay/guest house, rumah kos, bumi perkemahan/penyediaan akomodasi jangka pendek lainnya, rumah makan/kedai/warung; dan/atau
  4. mengikuti pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik.
(6) Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
  1. pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan;
  2. bea perolehan hak atas tanah dan bangunan; dan
  3. retribusi daerah.

          

Pasal 125

(1) Pemerintah Daerah memberikan bantuan modal kepada Usaha Mikro Usaha Kecil, dan/atau Koperasi.
(2) Pemerintah Daerah memberikan bantuan untuk riset dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi.
(3) Pemerintah Daerah memberikan fasilitas pelatihan vokasi Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan/atau Koperasi

     

 

Pasal 126


Terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang berorientasi ekspor, dapat diberikan insentif kepabeanan, berupa pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     

Pasal 127


(1) Terhadap Usaha Mikro dan Usaha Kecil diberikan kemudahan dan penyederhanaan proses impor bahan baku dan bahan penolong industri.
(2) Kemudahan dan penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal bahan baku dan penolong industri tidak dapat dipenuhi dalam negeri.
(3) Selain kemudahan dan penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat diberikan fasilitasi ekspor.
(4) Kemudahan dan penyederhanaan proses impor bahan baku dan bahan penolong industri dan fasilitas ekspor dilaksanakan berdasarkan kewenangan kementerian/lembaga nonkementerian terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VI
PENYEDIAAN PEMBIAYAAN BAGI USAHA MIKRO DAN USAHA KECIL
 
Pasal 128

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan yang murah dan mudah bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam bentuk subsidi, penjamin, dan pinjaman atau pembiayaan lainnya yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Kementerian mendorong terbangunnya sistem penilaian tingkat risiko secara terpadu melalui pemanfaatan basis data tunggal bekerja sama dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, serta pihak-pihak terkait pengembangan data dan aplikasi.
(3) Pembiayaan murah diberikan dengan pemberian subsidi yang besarnya berdasarkan selisih antara bunga/margin pasar dengan tingkat bunga yang ditetapkan Pemerintah Pusat.
(4) Pinjaman atau Pembiayaan yang mudah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk paling sedikit:
  1. kegiatan Usaha Mikro dan Usaha Kecil dapat dijadikan keringanan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80;
  2. keringanan atau kemudahan penilaian kelayakan kredit berdasarkan rating, skoring, atau analisa digital;
  3. angsuran atau cicilan atas pinjaman atau pembiayaan, lebih rendah yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan atau omzet;
  4. denda atas keterlambatan angsuran atau cicilan diturunkan dan/atau keringanan denda; dan
  5. jangka waktu pengembalian lebih panjang disesuaikan dengan karakteristik usaha.
(5) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan hibah dan/atau bantuan dalam bentuk paling sedikit:
  1. modal bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil pemula (start-up) dengan produk inovasi yang memiliki potensi pasar, nilai komersial, dan berbasis teknologi, untuk mengembangkan usaha dan/atau penyelenggaraan Inkubasi;
  2. modal kepada Koperasi dalam rangka mendukung program strategis; dan
  3. Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan pembiayaan dalam bentuk penjaminan berupa pembayaran imbal jasa penjaminan kepada lembaga penjamin untuk menjaminkan paling banyak 80% (delapan puluh persen) atas pinjaman atau pembiayaan yang diberikan lembaga keuangan bank dan bukan bank.
(6) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan peningkatan literasi keuangan dan memberikan pendampingan akses pembiayaan kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil.

          

 

Pasal 129


(1) Badan usaha milik negara menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam bentuk pinjaman, penjaminan, hibah, dan pembiayaan lainnya dari penyisihan bagian laba tahunan badan usaha milik negara.
(2) Penyediaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui peningkatan kolaborasi program pendanaan Usaha Mikro dan Usaha Kecil antar badan usaha milik negara yang merupakan bagian dari program tanggung jawab sosial dan lingkungan badan usaha milik negara.
(3) Badan usaha milik negara menyediakan pembiayaan dalam bentuk pinjaman atau pembiayaan yang mudah dan murah.
(4) Badan usaha milik negara menyediakan pembiayaan dalam bentuk pinjaman atau hibah paling sedikit berupa:
  1. pemberian pinjaman atau hibah bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil pemula dengan produk Inovasi yang memiliki potensi pasar, nilai komersial, atau berbasis teknologi.
  2. pemberian subsidi logistik bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam melakukan pengiriman produk dari badan usaha milik negara yang bergerak di bidang logistik;
  3. pemberian fasilitasi pendampingan produk dan promosi atau pameran produk Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
  4. pemberian pinjaman untuk penyediaan uang muka pekerjaan paling banyak 50% (lima puluh persen) dari nilai kontrak; atau
  5. bantuan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui Koperasi.

          

Pasal 130


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif dan kemudahan bagi usaha besar yang menyediakan pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam bentuk pinjaman, penjaminan, hibah, dan/atau pembiayaan lainnya melalui kemitraan.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
(3) Pemberian kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


Pasal 131


Usaha besar menyediakan pembiayaan dalam bentuk:
  1. pinjaman dan pembiayaan yang mudah dan murah yang tidak memberatkan bagi kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil;
  2. pembiayaan untuk uang muka pekerjaan yang dimitrakan dengan Usaha Mikro dan Usaha Kecil; atau
  3. hibah bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil pemula dengan produk inovasi yang memiliki potensi pasar, nilai komersial, atau berbasis teknologi.
     

BAB VII
PENYELENGGARAAN INKUBASI
 
Pasal 132

(1) Penyelenggaraan Inkubasi bertujuan untuk:
  1. menciptakan usaha baru;
  2. menguatkan dan mengembangkan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan
  3. mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Penyelenggaraan Inkubasi dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, lembaga pendidikan, badan hukum dan bukan badan hukum, dan/atau masyarakat.
(3) Penyelenggaraan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh lembaga inkubator dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Lembaga inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melakukan:
  1. pembinaan, pelatihan, dari pendampingan kepada calon pelaku usaha; dan/atau
  2. pengembangan pelaku usaha pemula yang inovatif dan produktif.
(5) Dalam menyelenggarakan Inkubasi, lembaga inkubator memberikan layanan dalam aspek berupa:
  1. produksi;
  2. pemasaran;
  3. sumber daya manusia dan manajemen;
  4. pembiayaan; dan/atau
  5. teknologi dan desain.
(6) Penyelenggara inkubator dalam penyelenggaraan Inkubasi dapat bekerja sama dengan pihak lain baik dari dalam negeri dan/atau luar negeri.

     

 

Pasal 133


(1) Lembaga inkubator sebagaimana. dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) menyelenggarakan kegiatan meliputi:
  1. pra Inkubasi;
  2. Inkubasi; dan
  3. pasca Inkubasi.
(2) Tahapan pra Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf a paling sedikit terdiri dari:
  1. penawaran program Inkubasi;
  2. seleksi peserta Inkubasi (tenant); dan
  3. kontrak tertulis dengan peserta Inkubasi (tenant).
(3) Tahapan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit:
  1. perumusan ide usaha;
  2. pelatihan ide usaha peserta Inkubasi;
  3. pemberian bimbingan dan konsultasi pengembangan usaha;
  4. pendampingan; dan
  5. pertemuan mitra usaha (business matching).
(4) Tahapan pasca Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit:
  1. menyediakan jejaring antar peserta Inkubasi (tenant);
  2. memberi peluang partisipasi kepemilikan pada perusahaan peserta Inkubasi (tenant);
  3. melakukan monitoring dan evaluasi perkembangan usaha peserta Inkubasi (tenant) paling singkat 2 (dua) tahun;
  4. memberikan fasilitasi akses sumber pembiayaan; dan
  5. mengarahkan para alumni inkubator membentuk wadah yang legal dalam pengembangan usaha.

          

Pasal 134


(1) Penyelenggaraan Inkubasi dilakukan oleh lembaga inkubator.
(2) Lembaga inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh lembaga pendidikan, badan usaha, dan/atau masyarakat.
(3) Lembaga inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang terdaftar dalam sistem pendaftaran, informasi, dan evaluasi Inkubasi pada Kementerian.
(4) Kementerian menyelenggarakan kurasi dan mengumumkan kepada masyarakat mengenai pemeringkatan lembaga inkubator.
(5) Penyelenggaraan inkubator sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berpedoman kepada norma, standar, prosedur, dan kriteria tentang penyelenggaraan Inkubasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Lembaga inkubator wajib melaporkan penyelenggaraan inkubator kepada Menteri 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun pada bulan Juni dan bulan Desember melalui sistem pendaftaran, informasi, dan evaluasi Inkubasi.

     

Pasal 135

(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melakukan pengembangan Inkubasi secara terpadu dan berjenjang.
(2)  Pemerintah Pusat dalam pengembangan Inkubasi secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan:
a. penetapan dan penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan Inkubasi secara nasional;
b. pendataan, pembinaan, dan pengembangan. penyelenggaraan Inkubasi secara nasional;
c. penyediaan sistem pendaftaran, informasi, dan evaluasi Inkubasi yang mudah diakses; dan
d. pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan Inkubasi secara nasional.
(3) Pengembangan Inkubasi secara terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikoordinasikan oleh Menteri.
(4) Menteri menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan pengembangan Inkubasi.
(5)  Pemerintah Daerah dalam melakukan pengembangan Inkubasi secara berjenjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan:
a. penerapan norma, standar, prosedur, dan kriteria penyelenggaraan Inkubasi yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sesuai dengan kewenangan dan wilayah;
b. pendataan dan pembinaan lembaga inkubator sesuai kewenangan dan wilayah;
c. pembentukan dan pengembangan lembaga inkubator paling sedikit 1 (satu) lembaga inkubator oleh Pemerintah Daerah provinsi dan 1 (satu) lembaga inkubator oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
d. fasilitasi Inkubasi kepada masyarakat calon wirausaha dan/atau wirausaha pemula di wilayahnya:
1) paling sedikit 50 (lima puluh) peserta Inkubasi (tenant) dalam 1 (satu) tahun untuk Pemerintah Daerah provinsi; dan/atau
2) paling sedikit 20 (dua puluh) peserta Inkubasi (tenant) dalam 1 (satu) tahun untuk Pemerintah Daerah kabupaten/kota; dan
e. pelaporan penyelenggaraan Inkubasi di wilayah kepada Menteri paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(6) Pengembangan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikoordinasikan oleh Pemerintah Daerah Provinsi sesuai kewenangan dan wilayah.
(7) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak dapat melaksanakan. pengembangan Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), Pemerintah Pusat memfasilitasi dan/atau melaksanakan pengembangan Inkubasi di daerah yang bersangkutan.

   

 

Pasal 136


(1) Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan fasilitasi inkubasi kepada calon wirausaha dan/atau wirausaha pemula peserta Inkubasi melalui penanggungan biaya Inkubasi paling lama 12 (dua belas) bulan.
(2) Fasilitasi Inkubasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada peserta Inkubasi dengan kriteria:
  1. berbasis teknologi dan/atau berwawasan lingkungan;
  2. berorientasi ekspor; atau
  3. inovatif berbasis industri kreatif.

          

Pasal 137


(1) Pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan pengembangan Inkubasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) huruf d dilakukan secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun atau sewaktu-waktu apabila dibutuhkan.
(2) Lembaga inkubator yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (5) dan ayat (6) dikenai sanksi administratif oleh Menteri berupa:
  1. peringatan lisan;
  2. peringatan tertulis; dan/atau
  3. penghapusan tanda daftar dalam sistem pendaftaran, informasi, dan evaluasi Inkubasi.

          

Pasal 138


Sumber pendanaan untuk peningkatan dan pengembangan inkubator berupa pinjaman atau hibah yang bersumber dari:
  1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
  2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah;
  3. program tanggung jawab sosial dan lingkungan badan usaha milik negara;
  4. dana tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan;
  5. lembaga swadaya masyarakat baik dalam dan luar negeri; dan/atau
  6. sumber lain yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     

BAB VIII
PENGALOKASIAN DANA ALOKASI KHUSUS
 
Pasal 139

(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan DAK untuk mendanai program/kegiatan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil di daerah.
(2) DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa DAK Fisik dan DAK Nonfisik.
(3) DAK Fisik dan DAK Nonfisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk mendanai program/kegiatan kemudahan, pelindungan dan pemberdayaan Usaha Mikro, Usaha Kecil, serta Koperasi paling sedikit:
  1. penyelenggaraan sistem informasi dan pendataan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah serta Koperasi yang terintegrasi;
  2. pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Usaha Kecil dalam penataan klaster;
  3. bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil; dan
  4. peningkatan kapasitas Koperasi dan Usaha Mikro dan Usaha Kecil melalui pelatihan dan pendampingan.
(4) Pengalokasian DAK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti siklus perencanaan dan penganggaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal 140

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
  1. Koperasi simpan pinjam yang memiliki unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah yang sudah ada sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, wajib melakukan pemisahan unit simpan pinjam dan pembiayaan syariah menjadi Koperasi Simpan Pinjam dan Pembiayaan Syariah paling lama 1 (satu) tahun setelah Peraturan Pemerintah ini diundangkan;
  2. permohonan Perizinan Berusaha Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang telah diajukan sebelum Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku;
  3. seluruh sektor yang menerapkan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah menyesuaikan perubahan kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 1 (satu) tahun; dan
  4. penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Usaha Kecil pada infrastruktur publik yang telah beroperasi dan belum memenuhi alokasi 30% (tiga puluh persen), harus memenuhi alokasi 30% (tiga puluh persen) paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
     

BAB X
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 141


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan dari:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5404);
b Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 66); dan
c. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan untuk Usaha Mikro dan Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 222),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
     

 

Pasal 142


Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5404);
b Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pengembangan Inkubator Wirausaha (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 66); dan
c. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2014 tentang Perizinan.untuk Usaha Mikro dan Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 222);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
     

Pasal 143

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.




 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 20121
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
 
ttd.
 
JOKO WIDODO


 
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 2 Februari 2021
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

YASONNA H. LAOLY


 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 17





PENJELASAN


ATAS
 
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 2020
 
TENTANG
 
KEMUDAHAN, PELINDUNGAN, DAN PEMBERDAYAAN KOPERASI DAN USAHA
MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH

     

I. UMUM

Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah merupakan salah satu pilar kekuatan ekonomi rakyat yang mampu memperluas lapangan kerja dan berperan dalam pemerataan dan peningkatan pendapatan masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan mewujudkan stabilitas nasional. Mengingat arti penting Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dalam perekonomian nasional, harus memperoleh keberpihakan politik ekonomi yang lebih memberikan kemudahan, dukungan, pelindungan, dan pemberdayaan.

Peraturan Pemerintah ini disusun sebagai tindak lanjut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Hal lain yang mendasari dan mendorong perlunya pengaturan yang lebih jelas terkait Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah antara lain bahwa pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum untuk percepatan cipta kerja dan belum terintegrasi sehingga perlu dilakukan perubahan.

Dalam Peraturan Pemerintah ini diatur antara lain mengenai:

a. kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi;
b kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
c. penyelenggaraan Inkubasi; dan
d. Dana alokasi khusus kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

II.    PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.


Pasal 2

Cukup jelas.
 

Pasal 3

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (1)

Cukup jelas.

Yang dimaksud dengan "Koperasi sekunder" meliputi semua Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi Primer dan/atau Koperasi Sekunder. 

Berdasarkan kesamaan kepentingan cian tujuan efisiensi, Koperasi sekunder dapat didirikan oleh Koperasi sejenis maupun berbagai jenis atau tingkatan.

Dalam hal Koperasi mendirikan Koperasi sekunder dalam, berbagai tingkatan, seperti yang selama ini dikenal sebagai Pusat, Gabungan, dan Induk, maka jumlah tingkatan maupun penamaannya diatur sendiri oleh Koperasi yang bersangkutan.


Pasal  4

Cukup jelas.


Pasal 5

Cukup jelas.


Pasal 6

Cukup jelas.


Pasal 7

Pembinaan dan pendampingan bagi kelompok masyarakat yang akan membentuk Koperasi antara lain dilakukan untuk menumbuhkan kaderisasi Koperasi dan mendorong kelompok masyarakat untuk berkoperasi.


Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Fasilitasi kemudahan pelaporan rapat anggota secara daring dan/atau luring dilakukan Kementerian dan/atau Dinas dengan mengikutsertakan lembaga gerakan Koperasi.


Pasal 9

Cukup jelas.


Pasal 10

Cukup jelas.


Pasal 11

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "bidang usaha inti" adalah bidang usaha utama atau pokok yang dilakukan Koperasi serba usaha di antara bidang lainnya.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 12

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Hasil penghitungan kelebihan kemampuan pelayanan diinformasikan kepada masyarakat bukan anggota sebagai peluang pelayanan untuk menarik minat masyarakat menjadi anggota.

Ayat (4)

Transaksi bisnis kepada masyarakat bukan anggota Koperasi dan transaksi pelayanan kepada anggota Koperasi disusun menjadi laporan keuangan integrasi Koperasi.

Ayat (5)

Cukup jelas.


Pasal 13

Cukup jelas


Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Baitul maal dalam mengelola zakat menjadi unit pengumpul zakat dari Badan Amil Zakat Nasional atau bermitra dengan Lembaga Amil Zakat Nasional, serta menjadi Nazhir yang terdaftar pada Badan Wakaf Indonesia/kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


Pasal 15

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Baitul maal dalam mengelola zakat menjadi Unit Pengumpul Zakat dari Badan Amil Zakat Nasional atau bermitra dengan Lembaga Amil Zakat Nasional, serta menjadi Nazhir yang terdaftar pada Badan Wakaf Indonesia/kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.

Ayat (4)

Kegiatan usaha secara elektronik antara lain penggunaan transaksi elektronik dalam kegiatan usaha.


Pasal 16

Cukup jelas.


Pasal 17

Cukup jelas.


Pasal 18

Cukup jelas.


Pasal 19

Cukup jelas.


Pasal 20

Kondisi darurat tertentu antara lain bencana, wabah, atau kondisi lainnya yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Huruf a

Restrukturisasi kredit termasuk relaksasi dan penjadwalan ulang kredit.

Huruf b

Rekonstruksi usaha antara lain pemberian bantuan dalam bentuk hibah sarana produksi.

Huruf c

Bantuan modal antara lain berupa bantuan modal yang disalurkan dalam bentuk hibah, pinjaman, atau pembiayaan.

Huruf d

Bantuan bentuk lain antara lain pemberian prioritas kepada Koperasi yang terdaftar sebagai pedagang di pasar rakyat yang mengalami bencana berupa kebakaran, bencana alam, atau konflik sosial, untuk memperoleh toko, kios, los, dan/atau tenda dengan harga pemanfaatan yang terjangkau.


Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pengembangan jaringan usaha Koperasi dengan pihak lain termasuk memprioritaskan Koperasi sebagai pelaku usaha atau usaha pendukung di Kawasan Ekonomi Khusus.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 22

Cukup jelas. 


Pasal 23

Cukup jelas.


Pasal 24

Cukup jelas.


Pasal 25

Cukup jelas.


Pasal 26

Cukup jelas.


Pasal 27

Cukup jelas.


Pasal 28

Ayat (1)

Pembinaan Koperasi di sektor kelautan dan perikanan dilakukan oleh Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, Dinas, dan Cinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang kelautan dan perikanan.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 29

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "Koperasi tenaga kerja bongkar muat" adalah Koperasi yang bergerak di bidang jasa tenaga kerja bongkar muat.

Ayat (2)

Cukup jelas


Pasal 30

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Fasilitasi negosiasi penetapan tarif ongkos pelabuhan pemuatan/ongkos pelabuhan tujuan dan biaya penggunaan tenaga kerja bongkar muat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas


Pasal 31

Cukup jelas.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Cukup jelas.


Pasal 34

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "korporasi petani model Koperasi" adalah kelembagaan ekonomi petani yang dikelola secara profesional, dengan skala usaha ekonomi yang berbasis industrialisasi pertanian melalui Koperasi primer dan/atau Koperasi sekunder antara lain dilakukan dengan penguatan pengelolaan Koperasi, perbaikan laporan keuangan, dan peningkatan kepercayaan publik kepada surat utang Koperasi.

Huruf b

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 35

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Modal usaha merupakan modal sendiri dan modal pinjaman untuk menjalankan kegiatan usaha.

Pelaku usaha yang melakukan pendirian atau pendaftaran kegiatan usaha terdiri dari:

a. badan usaha berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum; dan
b. perorangan.

Pelaku usaha badan usaha baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum melakukan pendirian atau pendaftaran melalui sistem administrasi badan hukum pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Pelaku usaha perorangan melakukan pendirian atau pendaftaran melalui sistem Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik pada lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.


Pasal 36

Ayat (1)

kepentingan tertentu antara lain kepentingan pelaksanaan survei, sebagai alat ukur untuk membandingkan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di Indonesia dengan negara lain, serta untuk mengakomodir kepentingan sektor industri.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 37

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" antara lain peraturan perundang-undangan mengenai penyelenggaraan Perizinan Berusaha berbasis risiko dan peraturan pemndang-undangan di bidang kegiatan usaha yang dilakukan oleh Usaha Mikro dan Usaha Kecil.


Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "lembaga yang mengelola perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik" adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 39

Cukup jelas.


Pasal 40

Cukup jelas.


Pasal 41

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "standar nasional Indonesia dalam perizinan tunggal" adalah standar penerapan standar nasional indonesia sebagai persyaratan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan "sertifikasi jaminan produk halal dalam perizinan tunggal" adalah pernyataan halal dari pelaku usaha atas produk usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 44

Yang dimaksud dengan "nomor induk berusaha yang berlaku sebagai legalitas dalam melaksanakan kegiatan berusaha" adalah jaminan kepastian hukum bagi Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang memiliki risiko rendah terhadap kesehatan dan keselamatan serta lingkungan dalam menjalankan kegiatan usaha.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Yang dimaksud "pendaftaran" adalah pengajuan persyaratan administratif untuk perizinan tunggal dan perpanjangan sertifikat.


Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Ayat (1)

Usaha Mikro dan Usaha Kecil termasuk juga Koperasi dalam skala Usaha Mikro dan Usaha Kecil.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 49

Cukup jelas.


Pasal 50

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Lembaga pemberi bantuan hukum dapat menggunakan data lembaga pemberi bantuan hukum yang terakreditasi di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Huruf c

Cukup jelas

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 51

Cukup jelas.


Pasal 52

Cukup jelas.


Pasal 53

Ayat (1)

Kondisi darurat tertentu antara lain bencana, wabah, atau kondisi lainnya yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang.

Huruf a

Restrukturisasi kredit termasuk relaksasi dan penjadwalan ulang kredit.

Huruf b

Restrukturisasi usaha antara lain pemberian bantuan dalam bentuk hibah sarana produksi.

Huruf c

Bantuan permodalan antara lain bantuan modal disalurkan dalam bentuk hibah atau pembiayaan.

Huruf d

Bantuan bentuk lain antara lain pemberian prioritas kepada Usaha Mikro dan Usaha Kecil yang terdaftar sebagai pedagang di pasar rakyat yang mengalami bencana berupa kebakaran, bencana alam, atau konflik sosial, untuk memperoleh toko kios, los, dan/atau tenda dengan harga pemanfaatan yang terjangkau.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "interoperabilitas" data antara lain konsisten dalam sintak atau bentuk, struktur atau komposisi penyajian, dan semantik atau artikulasi keterbacaan, dan disimpan dalam format terbuka yang dapat dibaca sistem elektronik.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 57

Yang dimaksud dengan "sistem informasi data tunggal Usaha Mikro, Kecil. dan Menengah" berupa sistem informasi yang memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk memfasilitasi penyelenggaraan data tunggal Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah di tingkat kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah sebagai satu kesatuan dan/atau sistem informasi yang terintegrasi.


Pasal 58

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Penyebarluasan data Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dilakukan dengan memanfaatkan sistem jaringan dan informasi dan/atau media lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 59

Cukup jelas.


Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.


Pasal 62

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "penyelenggara infrastruktur publik" adalah badan atau lembaga pemerintah yang bertanggung jawab atas penyelenggaraan infrastruktur publik.

Yang dimaksud dengan "pengelola infrastruktur publik" adalah badan usaha yang diberikan hak pengusahaan penyelenggaraan dan pengelolaan infrastruktur publik.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 63

Cukup jelas.


Pasal 64

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas


Pasal 66

Cukup jelas.


Pasal 67

Cukup jelas.


Pasal 68

Cukup jelas.


Pasal 69

Cukup jelas.


Pasal 70

Cukup jelas.


Pasal 71

Cukup jelas.


Pasal 72

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pada kawasan ekonomi khusus, Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagai pelaku usaha maupun usaha pendukung.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 73

Cukup jelas.


Pasal 74

Cukup jelas.


Pasal 75

Cukup jelas.


Pasal 76

Cukup jelas.


Pasal 77

Cukup jelas.


Pasal 78

Cukup jelas.


Pasal 79

Cukup jelas.


Pasal 80

Cukup jelas.


Pasal 81

Cukup jelas.


Pasal 82

Ayat (1)

Pengutamaan penggunaan hasil produksi diupayakan pula bagi anak perusahaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 83

Cukup jelas.


Pasal 84

Cukup jelas.


Pasal 85

Cukup jelas.


Pasal 86

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Penyediaan laman/dashboard sistem monitoring dan evaluasi pengadaan barang/jasa dilakukan melalui berbagi data (sharing data) dengan basis data yang dikelola oleh lembaga yang membidangi kebijakan pengembangan pengadaan barang/jasa pemerintah.

Ayat (3)

Cukup jelas.


Pasal 87

Cukup jelas.


Pasal 88

Cukup jelas.


Pasal 89

Cukup jelas.


Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.


Pasal 92

Cukup jelas.


Pasal 93

Huruf a

Peraturan perundang-undangan dan kebijakan penumbuhan iklim dan pengembangan usaha memberikan kepastian dan keadilan berusaha dalam aspek pendanaan, sarana dan prasarana, informasi usaha, kemitraan, perizinan usaha, kesempatan berusaha, promosi dagang, dan dukungan kelembagaan;

Huruf b

Cukup jelas.


Pasal 94

Cukup jelas.


Pasal 95

Ayat (1)

Huruf a

Kebijakan umum secara nasional tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui antara lain penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan, dan penjaminan serta kemitraan;

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Kebijakan umum di daerah provinsi dan kabupaten/kota tentang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui antara lain penumbuhan iklim usaha, pengembangan usaha, pembiayaan dan penjaminan, dan Kemitraan.

Huruf b

Cukup jelas

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 96

Cukup jelas.


Pasal 97

Cukup jelas.


Pasal 98

Cukup jelas.


Pasal 99

Cukup jelas.


Pasal 100

Cukup jelas.


Pasal 101

Cukup jelas.


Pasal 102

Cukup jelas.


Pasal 103

Cukup jelas.


Pasal 104

Cukup jelas.


Pasal 105

Cukup jelas.


Pasal 106

Cukup jelas.


Pasal 107

Cukup jelas.


Pasal 108

Cukup jelas.


Pasal 109

Cukup jelas.


Pasal 110

Cukup jelas.


Pasa1 111

Cukup jelas.


Pasal 112

Cukup jelas.


Pasal 113

Cukup jelas.


Pasal 114

Cukup jelas.


Pasal 115

Cukup jelas.


Pasal 116

Cukup jelas.


Pasal 117

Cukup jelas.


Pasal 118

Cukup jelas.


Pasal 119

Cukup jelas.


Pasal 120

Cukup jelas.


Pasal 121

Cukup jelas.


Pasal 122

Cukup jelas.


Pasal 123

Cukup jelas.


Pasal 124

Cukup jelas.


Pasal 125

Cukup jelas.


Pasal 126

Cukup jelas.


Pasal 127

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pemberian kemudahan, penyederhanaan impor, dan/atau fasilitasi ekspor dapat berupa kuota jaminan, prosedur kepabeanan, asistensi, dan kemudahan serta fasilitasi lain sesuai dengan kewenangan kementerian/lembaga nonkementerian terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 128

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "hibah" adalah bantuan dala.m bentuk modal yang bersifat tidak mengikat dan tidak terus-menerus.

Ayat (6)

Cukup jelas.


Pasal 129

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "hibah" adalah bantuan dalam bentuk modal yang bersifat tidak mengikat dan tidak terus-menerus.


Pasal 130

Cukup jelas.


Pasal 131

Cukup jelas.


Pasal 132

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

yang dimaksud dengan "menguatkan dan mengembangkan kualitas Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah" adalah meningkatkan kapasitas daya saing.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas

Ayat (6)

Cukup jelas


Pasal 133

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "peserta Inkubasi (tenant)" adalah pelaku usaha pemula.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 134

Cukup jelas.


Pasal 135

Cukup jelas.


Pasal 136

Cukup jelas.


Pasal 137

Ayat (1)

Pemantauan dan evaluasi sewaktu-waktu dilakukan berdasarkan adanya temuan atau laporan dari masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas.


Pasal 138

Cukup jelas.


Pasal 139

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Alokasi anggaran DAK untuk peningkatan kapasitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah melalui pendampingan dapat digunakan termasuk untuk alokasi honorarium tenaga pendamping.

Ayat (4)

Cukup jelas.


Pasal 140

Cukup jelas.


Pasal 141

Cukup jelas.


Pasal 142

Cukup jelas.


Pasal 143

Cukup jelas.



     

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6619