Undang-Undang Nomor : 4 TAHUN 2023
Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2023
TENTANG
PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
- bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara perlu mewujudkan pembangunan nasional yang didukung dengan perekonomian yang tangguh melalui pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang lebih optimal;
- bahwa untuk mendukung dan mewujudkan upaya pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia yang sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks dan beragam; perekonomian nasional dan internasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi; sistem keuangan yang makin maju; serta untuk memperkuat kerangka pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, diperlukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan;
- bahwa upaya pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan, dapat dilakukan perubahan Undang-Undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang ke dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;
- Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23D, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
- Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
- Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835);
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. | Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang terhubung dengan lembaga jasa keuangan. | ||||
2. | Stabilitas Sistem Keuangan adalah stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. | ||||
3. | Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | ||||
4. | Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | ||||
5. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. | ||||
6. | Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. | ||||
7. | Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | ||||
8. | Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan. | ||||
9. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. | ||||
10. | Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan. | ||||
11. | Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah. | ||||
12. | Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
|
||||
13. | Pasar Uang adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan:
dalam mata uang Rupiah atau valuta asing. |
||||
14. | Pasar Valuta Asing adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2 (dua) negara yang berbeda beserta derivatifnya, tetapi tidak termasuk penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan usaha penukaran valuta asing. | ||||
15. | Derivatif adalah suatu instrumen yang nilainya merupakan turunan dari aset yang mendasarinya. | ||||
16. | Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa. | ||||
17. | Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah. | ||||
18. | Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang selanjutnya disebut Usaha Bersama adalah badan hukum yang menyelenggarakan usaha asuransi dan dimiliki oleh anggota, yang telah ada pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan. | ||||
19. | Rapat Umum Anggota Usaha Bersama yang selanjutnya disingkat dengan RUA adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi Usaha Bersama atau dewan komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. | ||||
20. | Panitia Pemilihan adalah panitia yang bertugas melakukan pemilihan peserta RUA. | ||||
21. | Direksi Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama, serta mewakili Usaha Bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan Undang-Undang ini. | ||||
22. | Dewan Komisaris Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Undang-Undang ini, serta memberikan nasihat kepada Direksi Usaha Bersama. | ||||
23. | Proposal Perubahan Bentuk Badan Hukum yang selanjutnya disebut Proposal adalah dokumen yang memuat data dan informasi berkaitan dengan rencana perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama menjadi perseroan terbatas. | ||||
24. | Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. | ||||
25. | Dewan Pengawas Syariah adalah pihak yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan perusahaan/badan hukum agar sesuai dengan Prinsip Syariah. | ||||
26. | Usaha Jasa Pembiayaan adalah kegiatan penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara penyelenggara usaha jasa pembiayaan dan penerima pembiayaan yang mewajibkan pihak penerima pembiayaan untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, bagi hasil, dan/atau kelebihan pembayaran lainnya, dengan atau tanpa adanya agunan. | ||||
27. | Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet. | ||||
28. | Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. | ||||
29. | Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu, yaitu penyelenggara infrastruktur pasar keuangan, LJK, emiten atau perusahaan publik, dan/atau kemampuan untuk memengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu tersebut. | ||||
30. | Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha baik yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham atau yang setara dengan saham pada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan/atau mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas pihak dimaksud. | ||||
31. | Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang selanjutnya disingkat PSPT adalah orang perseorangan atau negara yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham perusahaan dan merupakan pengendali terakhir atau pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) dari suatu perusahaan atau kelompok usaha. | ||||
32. | Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian. | ||||
33. | Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (Financial Holding Company) yang selanjutnya disingkat PIKK adalah badan hukum yang dimiliki oleh PSP atau PSPT untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan. | ||||
34. | Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat ITSK adalah inovasi berbasis teknologi yang berdampak pada produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital. | ||||
35. | Keuangan Berkelanjutan adalah sebuah ekosistem dengan dukungan menyeluruh berupa kebijakan, regulasi, norma, standar, produk, transaksi, dan jasa keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. | ||||
36. | Literasi Keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan keuangan masyarakat. | ||||
37. | Inklusi Keuangan adalah ketersediaan akses pemanfaatan atas produk dan/atau layanan pelaku usaha sektor keuangan yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat. | ||||
38. | Konsumen adalah setiap orang yang memiliki dan/atau memanfaatkan produk dan/atau layanan yang disediakan oleh pelaku usaha sektor keuangan. | ||||
39. | Pelindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan pelindungan kepada Konsumen. | ||||
40. | Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat PUSK adalah LJK, pelaku usaha infrastruktur pasar keuangan, pelaku usaha di sistem pembayaran, lembaga pendukung di sektor keuangan, dan pelaku usaha sektor keuangan lainnya baik yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan. | ||||
41. | Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) adalah pengawasan terhadap perilaku PUSK dalam mendesain, menyediakan dan menyampaikan informasi, menawarkan, menyusun perjanjian, memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa dalam upaya mewujudkan Pelindungan Konsumen. | ||||
42. | Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis termasuk dalam bentuk elektronik yang ditetapkan secara sepihak oleh PUSK dan memuat klausul baku tentang isi, bentuk, dan cara pembuatan, serta digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal. | ||||
43. | Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat LAPS-SK adalah lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa antara Konsumen dan PUSK di luar pengadilan. | ||||
44. | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah. | ||||
45. | Profesi Sektor Keuangan adalah bidang pekerjaan yang memberikan suatu jasa keprofesian di sektor keuangan yang memerlukan tingkat keahlian dan kualifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
46. | Pelaku Profesi Sektor Keuangan adalah seseorang yang melakukan Profesi Sektor Keuangan. | ||||
47. | Profesi Penunjang Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan. | ||||
48. | Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu keprofesian terbatas pada suatu industri sektor keuangan. | ||||
49. | Asosiasi Profesi adalah organisasi profesi yang menaungi Pelaku Profesi Sektor Keuangan. | ||||
50. | Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan memperoleh lisensi dari badan atau lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
51. | Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya. |
BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN,
DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Asas
Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas:
- kepentingan nasional;
- kemanfaatan;
- kepastian hukum;
- keterbukaan;
- akuntabilitas;
- keadilan;
- Pelindungan Konsumen;
- edukasi; dan
- keterpaduan.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
(1) | Undang-Undang ini dibentuk dengan maksud mendorong kontribusi sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat. | ||||
(2) | Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
|
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup dalam Undang-Undang ini mengatur ekosistem sektor keuangan meliputi:
- kelembagaan;
- perbankan;
- Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing;
- perasuransian dan penjaminan;
- asuransi Usaha Bersama;
- program penjaminan polis;
- Usaha Jasa Pembiayaan;
- kegiatan usaha bulion (bullion);
- Dana Pensiun, program jaminan hari tua, dan program pensiun;
- kegiatan koperasi di sektor jasa keuangan;
- lembaga keuangan mikro;
- Konglomerasi Keuangan;
- ITSK;
- penerapan Keuangan Berkelanjutan;
- Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Pelindungan Konsumen;
- akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
- sumber daya manusia;
- Stabilitas Sistem Keuangan;
- lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan
- penegakan hukum di sektor keuangan.
BAB III
KELEMBAGAAN
Bagian Kesatu
Umum
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); dan
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223).
Bagian Kedua
Komite Stabilitas Sistem Keuangan
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Komite Stabilitas Sistem Keuangan bertugas:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6 Komite Stabilitas Sistem Keuangan berwenang:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 10 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 11 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut: | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Dalam hal Presiden memutuskan kondisi Krisis Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan bersama-sama melaksanakan langkah penanganan Krisis Sistem Keuangan. |
Bagian Ketiga
Lembaga Penjamin Simpanan
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A Lembaga Penjamin Simpanan bertujuan menjamin dan melindungi dana masyarakat yang ditempatkan pada Bank serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4 Lembaga Penjamin Simpanan berfungsi:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A Dalam melakukan penghitungan premi Penjaminan, Lembaga Penjamin Simpanan memperhitungkan dana yang ditempatkan oleh Pemerintah pada Bank dalam rangka kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional dalam kondisi krisis. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Penjelasan Pasal 16 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Penjelasan Pasal 19 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 21 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34 Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan Undang-Undang ini:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 50A dan Pasal 50B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50A
Pasal 50B
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Pasal 62 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Pasal 64 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. | Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 65A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67 Calon anggota Dewan Komisioner harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Pasal 70 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Pasal 73 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Di antara Pasal 74 dan Pasal 75 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 74A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Bagian Ketiga dalam Bab VII dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. | Pasal 77 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. | Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. | Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 83A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83A Ketentuan mengenai perpajakan Lembaga Penjamin Simpanan diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. | Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
59. | Pasal 89 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
60. | Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XA |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
61. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
Pasal 89B
Pasal 89C
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
62. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
63. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
65. | Di antara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 95A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95A Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta pegawai dan mantan pegawai Bank Dalam Resolusi yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban pemberian data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
Bagian Keempat
Otoritas Jasa Keuangan
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
Dalam rangka mencapai tujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan berfungsi:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. |
Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 8A dan Pasal 8B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 8A
Pasal 8B
Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap debitur yang merupakan Bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Dana Pensiun, lembaga penjamin, Lembaga Pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, atau LJK Lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Penjelasan Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 15
Syarat calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf i adalah sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 24
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 34
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 368 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36A
Ketentuan mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 mulai berlaku untuk tahun anggaran 2025.
Pasal 36B
Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36A diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Di antara Bab IX dan Bab X disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38A
Pasal 38B
Pasal 38C
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 48A dan Pasal 48B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48A
Pertukaran data dan/atau informasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka kerja sama internasional, termasuk di bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 48B
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53 Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1), Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) untuk perseorangan atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) untuk korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 54
Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan:
|
Bagian Kelima
Bank Indonesia
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7 Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. |
||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 10A dan Pasal 10B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10A
Pasal 10B
|
||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Pasal 26 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 28 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 34 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Pasal 35 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIA |
||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial dalam rangka turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta meningkatkan inklusi ekonomi, Inklusi Keuangan, dan Keuangan Berkelanjutan. Pasal 35B
|
||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Di antara Bab VIA dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIB sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIB |
||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Di antara Pasal 35B dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35C dan Pasal 35D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35C Bank Indonesia merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dari debitur yang merupakan penyedia jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur Sistem Pembayaran, penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah, perusahaan pialang Pasar Uang, penyedia sarana perdagangan, sarana kliring untuk transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar over-the-counter, atau lembaga lainnya yang diberikan izin dan/atau penetapan oleh Bank Indonesia sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Pasal 35D
|
||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40 Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 58A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Di antara Pasal 58A dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 58B dan Pasal 58C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58B
Pasal 58C
|
||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Pasal 61 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Penjelasan Pasal 62 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | ||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XA KERAHASIAAN INFORMASI |
||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Di antara Pasal 64A dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64B
|
Bagian Keenam
Rupiah Digital
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223) diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2
|
||||||||||
|
|
||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
|
||||||||||
|
|
||||||||||
3. |
Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 14A
|
||||||||||
|
|||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 19
Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 14A secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada DPR. |
Bagian Ketujuh
Pengembangan Sektor Keuangan
(1) |
Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan pengembangan sektor keuangan. |
||
(2) |
Dalam melaksanakan pengembangan sektor keuangan, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan koordinasi dan dapat melibatkan kementerian/lembaga yang lain. |
Bagian Kedelapan
Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme
(1) |
PUSK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi, dan/atau jaringan distribusi. |
||
(2) |
PUSK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme. |
||
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya, dengan mengacu pada undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. |
BAB IV
PERBANKAN
Bagian Kesatu
Umum
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perbankan dan perbankan syariah, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34 72) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); dan
- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
Bagian Kedua
Perbankan
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A
Pasal 7B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10 Bank Umum dilarang:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 12A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 12A dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13A Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, BPR dapat memanfaatkan teknologi informasi. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14 BPR dilarang:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12A berlaku secara mutatis mutandis bagi BPR. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 19 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pasal 20B
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 30A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 3 lA diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31A Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugas tertentu. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35 Bank wajib mengumumkan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 36 Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi BPR. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Di antara Pasal 37B dan Pasal 38 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 37C, Pasal 37D, dan Pasal 37E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37C
Pasal 37D
Pasal 37E
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 40A, Pasal 40B, dan Pasal 40C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40A
Pasal 40B Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
Pasal 40C Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. | Pasal 41 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 42A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A Bank wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43 Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf a, berlaku:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf c, Bank wajib memberikan informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan pada Bank yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Dalam rangka tukar menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf f, direksi Bank atau yang setara dapat memberitahukan Rahasia Bank kepada Bank lain. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Ketentuan Pasal 44A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 44B dan 44C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44B Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 44C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Di antara Pasal 45 dan Pasal 46, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 47A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan dan/atau tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dan/atau Pasal 36A ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50 Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. | Ketentuan Pasal 50A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50A Pemegang saham atau yang setara yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. | Di antara Pasal 50A dan Pasal 51 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 50B, Pasal 50C, dan Pasal 50D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50B
Pasal 50C
Pasal 50D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. | Pasal 51 dihapus. |
Bagian Ketiga
Perbankan Syariah
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13 Bank Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang Pasar Modal. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 21A, Pasal 21B, dan Pasal 21C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21A Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, BPR Syariah dapat:
Pasal 21B
Pasal 21C
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25 BPR Syariah dilarang:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Pasal 28 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 29 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Pasal 30 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Pasal 31 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41A
Pasal 41B Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
Pasal 41C Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta informasi mengenai Nasabah Investor dan Investasinya. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Pasal 42 dihapus. | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44 Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45 Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf a, berlaku:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45A Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf c, Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan dan Investasi Nasabah Investor pada Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46 Dalam rangka tukar menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf f, direksi Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dapat memberitahukan Rahasia Bank kepada Bank lain. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47 Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf d, Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan Rahasia Bank kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48 Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf e berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Investasi Nasabah Investor. |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48A, Pasal 488, dan Pasal 48C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48A Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan penyelenggaraan negara dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 48B
Pasal 48C
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51 Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan serta aspek terkait tingkat kesehatan dan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 54A dan 54B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pasal 54B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59 Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah). |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan informasi, Rahasia Bank, dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62 Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. |
Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 63
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64 Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65 Pemegang saham atau yang setara yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). |
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 66
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. | Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66A
Pasal 66B
Pasal 66C
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. | Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 67A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67A
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut. Pasal 68
|
BAB V
PASAR MODAL, PASAR UANG, DAN PASAR VALUTA ASING
Bagian Kesatu
Infrastruktur Pasar
(1) | Penyelenggaraan pasar di sektor keuangan harus didukung oleh infrastruktur pasar yang mengikuti perkembangan teknologi. | |
(2) | Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|
(3) | Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mendorong pengembangan infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | |
(4) | Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselenggarakan oleh otoritas sektor keuangan atau perusahaan berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin atau ditunjuk oleh otoritas sektor keuangan. | |
(5) | Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f kecuali huruf d, dapat digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar setelah memperoleh izin dari otoritas asal infrastruktur dan persetujuan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung. | |
(6) | Dalam hal infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar, otoritas asal infrastruktur pasar dan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung harus melakukan koordinasi, paling sedikit dalam rangka:
|
|
(7) | Dalam hal ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan hasil pengawasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dilakukan tindakan hukum dan/atau pengenaan sanksi terhadap penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pelaku pasar oleh otoritas asal masing-masing infrastruktur pasar sesuai dengan kewenangannya. | |
(8) | Sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e harus menyediakan data yang akurat, mencukupi, dan tepat waktu kepada publik dan kepada otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. | |
(9) | Penyelenggaraan infrastruktur pasar harus memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, prinsip kehati-hatian, dan manajemen risiko yang efektif, memenuhi prinsip keamanan, efisiensi, dan keandalan. | |
(10) | Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, otoritas dapat menetapkan kategori infrastruktur pasar berdasarkan tingkat risiko. |
(1) | Dalam hal penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menggunakan penyedia jasa pendukung infrastruktur, penyelenggara infrastruktur pasar memastikan kemampuan dan ketahanan operasional infrastruktur pasar dalam rangka meminimalisir risiko Stabilitas Sistem Keuangan. | |
(2) | Otoritas di sektor keuangan dan penyelenggara infrastruktur pasar memiliki akses informasi yang diperlukan terhadap penyedia jasa pendukung infrastruktur. |
(1) | Dalam hal terdapat instrumen keuangan dan/atau transaksi atas instrumen keuangan yang memiliki:
|
|
(2) | Standar pengaturan dan pengawasan yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
|
|
(3) | Dalam rangka pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas Pasar Modal, otoritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, serta otoritas perdagangan berjangka komoditi melakukan koordinasi. |
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perdagangan berjangka komoditi, Undang-Undang 101 mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232).
Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3A
Komoditi yang dijadikan subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak termasuk efek, instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.
Bagian Kedua
Pasar Modal
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor Pasar Modal, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) diubah:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5 Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal SA, Pasal SB, Pasal SC, dan Pasal SD sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A
Pasal 5B
Pasal 5C Anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab secara pribadi baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri atas kerugian yang diderita Pihak tersebut dan/atau nasabahnya dan/atau pemodal atau investor yang timbul karena:
Pasal 5D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Setelah Bagian Kedua BAB IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Ketiga sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A
Pasal 29B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB V |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 42A dan Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A Dalam pengelolaan investasi, Manajer Investasi dilarang memiliki hubungan Afiliasi dengan bank Kustodian, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah. Pasal 42B Setiap Pihak dilarang memiliki saham dan/atau melakukan tindakan pengendalian pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Efek baik secara langsung maupun tidak langsung, kecuali karena kepemilikan saham atau penyertaan modal Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan BAB VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIII |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 55A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61 Efek dalam Penitipan Kolektif dapat dipinjamkan atau dijaminkan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Bab IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IX |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 690 sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A
Pasal 69B
Pasal 69C
Pasal 69D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 70A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70A Kegiatan terkait dengan Efek bersifat utang dalam Pasal 30, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 70, berlaku mutatis mutandis untuk sukuk. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Di antara Pasal 84 dan Pasal 85 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 84A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89A
Pasal 89B
Pasal 89C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 Dalam kegiatan perdagangan Efek atau kegiatan pengelolaan investasi, setiap Pihak dilarang dengan sengaja baik secara langsung atau tidak langsung:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91 Setiap Pihak dilarang melakukan tindakan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Penyelenggara Pasar sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92 Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, yang menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu baik di Bursa Efek maupun luar Bursa Efek dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93 Setiap Pihak dilarang, dengan cara apa pun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang tidak benar atau menyesatkan sehingga memengaruhi harga Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94 Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan tindakan tertentu yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek dan/atau Pihak lain yang bukan merupakan tindakan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97 Setiap Pihak yang memiliki informasi orang dalam dan sepatutnya mengetahui bahwa informasi tersebut merupakan informasi orang dalam dikenai larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. | Di antara BAB XII dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIIA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB XIIA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. | Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100A
Pasal 100B
Pasal 100C
Pasal 100D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104 Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, atau Pasal 98 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Di antara Pasal 104 dan Pasal 105 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 104A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104A Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105 Manajer Investasi dan/atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Di antara Pasal 106 dan Pasal 107 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 106A, Pasal 106B, dan Pasal 106C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106A
Pasal 106B
Pasal 106C Setiap Pihak yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107 Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Otoritas Jasa Keuangan, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108 Ancaman pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 104A, Pasal 105,Pasal 106,Pasal 106A,Pasal 106B,Pasal 106C, dan Pasal 107, berlaku pula bagi Pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi Pihak lain untuk melakukan pelanggaran pasal-pasal dimaksud. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109 Setiap Pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 dua ratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Di antara Pasal 109 dan Pasal 110 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 109A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Pasal 110 dihapus. |
Bagian Ketiga
Bursa Karbon
(1) |
Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon. |
||||
(2) |
Unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan efek berdasarkan Undang-Undang ini. |
(1) |
Perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon. |
|||
(2) |
Bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon. |
|||
(3) |
Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. |
|||
(4) |
Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggara pasar dapat mengembangkan kegiatan atau produk berbasis unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
|||
(5) |
Perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
|
|||
(6) |
Pengembangan infrastruktur perdagangan karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan secara terkoordinasi antara kementerian/lembaga dengan otoritas pengawas bursa karbon. |
|||
(7) |
Pusat bursa karbon berkedudukan di Indonesia. |
Perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(1) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
||||
(2) |
Dalam rangka penyusunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga berwenang lain terkait. |
Bagian Keempat
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing
(1) |
Dalam rangka mendukung kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya. |
||||
(2) |
Dalam melaksanakan kewenangan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pembahasan bersama dengan Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
|
|||
(2) | Setiap penerbitan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia. |
(1) | Kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 untuk mengatur kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku bagi Pihak yang melakukan penawaran instrumen Pasar Uang yang diterbitkan dan dijamin oleh Pemerintah Indonesia. | |
(2) | Dalam hal terdapat instrumen keuangan yang merupakan kewenangan otoritas lain ditransaksikan di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia dan otoritas lain melakukan koordinasi dalam harmonisasi pengaturan dan koordinasi pengawasan. |
(1) |
Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat dilakukan penerbitan dan transaksinya baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah. |
|
(2) |
Instrumen Pasar Uang berdasarkan Prinsip Syariah wajib memenuhi Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
Dalam penyelenggaraan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, pembentukan harga acuan wajib dilakukan secara transparan, menggunakan cara dan/atau metode yang kredibel, serta memenuhi ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
(1) |
Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
|
|
(2) |
Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing harus menerapkan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, mematuhi pedoman perilaku dan kode etik pasar, serta melakukan Pelindungan Konsumen dan investor. |
Sarana kliring (central counterparty) di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing melaksanakan fungsi kliring untuk transaksi yang dilakukan secara over-the-counter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan transaksi Derivatif, baik tanpa novasi maupun dengan novasi sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli.
Bagian Kelima
Pengembangan Pasar Keuangan
Paragraf 1
pengelolaan Instrumen Keuangan dan/atau Pengelolaan Dana Perwalian
(1) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) merupakan badan usaha khusus yang dibentuk untuk melakukan kegiatan sekuritisasi dan/atau melakukan kegiatan pengelolaan dana perwalian yang mencakup kegiatan:
|
|||||||||||||||||||||||
(2) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berbentuk perseroan terbatas dengan karakteristik tertentu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
|||||||||||||||||||||||
(3) |
Pengelola dana perwalian (trustee) dapat berbentuk badan hukum atau orang perseorangan. |
|||||||||||||||||||||||
(4) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan. |
|||||||||||||||||||||||
(5) |
Dalam hal badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) melakukan kegiatan di bidang atau sektor yang menjadi kewenangan di luar Otoritas Jasa Keuangan, badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin dari otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya, dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin. |
|||||||||||||||||||||||
(6) |
Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
|||||||||||||||||||||||
(7) |
Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b meliputi:
|
|||||||||||||||||||||||
(8) |
Kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dapat dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah. |
|||||||||||||||||||||||
(9) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dapat membantu kegiatan penerbitan sukuk. |
|||||||||||||||||||||||
(10) |
Kegiatan usaha badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) diatur dan diawasi oleh otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya. |
(1) |
Dalam melaksanakan fungsinya, pengelola dana perwalian (trustee) wajib menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik (good governance). |
|
(2) |
Terhadap pengelola dana perwalian (trustee) yang berbentuk orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) berlaku tata kelola sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
|
(3) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:
suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh keuntungan ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas asetnya. |
|
(4) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee). |
|
(5) |
Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota direksi, pegawai/pejabat dari badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee), atau pihak yang bertindak untuk dan atas nama badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
|
(6) |
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:
|
(1) | Permohonan pailit badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Aset yang dialihkan hak, manfaat dan risikonya badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) bukan merupakan bagian dari aset kreditur/pemilik aset asal (originator) dan dicatat terpisah dari aset badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee). |
(3) | Dalam hal kreditur/pemilik aset asal (originator) dipailitkan, semua aset yang hak, manfaat dan risikonya telah dialihkan sepenuhnya kepada badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak termasuk dalam harta pailit (boedel pailit) kreditur/pemilik aset asal (originator). |
Dengan berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36:
a. | pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi yang telah ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan |
b. | ketentuan mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, dapat berlaku mutatis mutandis terhadap pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a. |
(1) | Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 dan peraturan pelaksanaannya. |
(2) | Ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan lainnya berlaku terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
Ketentuan lebih lanjut mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 38 dan perlakuan perpajakannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Penyelesaian Transaksi
Pasal 40
(1) | Penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan menganut prinsip:
|
(2) | Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang terjadi sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang wajib diselesaikan seolah-olah tidak terjadi kepailitan. |
(3) | Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang telah memenuhi persyaratan wajib diselesaikan dan tidak dapat dibatalkan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas di sektor keuangan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
(1) | Penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan dengan mekanisme netting. |
(2) | Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi, penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sepanjang dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting). |
(3) | Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan proses pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) terhadap transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diperjanjikan dalam kontrak, transaksi tersebut wajib diselesaikan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi dan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. |
(1) | Pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah terjadi kepailitan. |
(2) | Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) oleh debitor pailit tidak dapat dibatalkan pengadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. |
(3) | Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan permohonan perjumpaan utang sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. |
Kurator tidak dapat membatalkan atau menganggap tidak sah suatu pembayaran atau transfer kolateral yang terjadi sehubungan dengan penyelesaian yang diakhiri dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai atau jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party) kecuali terbukti bahwa pembayaran atau transfer kolateral terjadi karena fraud.
(1) | Dalam perjanjian pada transaksi di Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing termasuk transaksi instrumen Derivatif, para pihak dapat menggunakan kontrak pintar (smart contract) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(2) | Kontrak pintar (smart contract) dan/atau hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(3) | Penggunaan kontrak pintar (smart contract) diikuti penyimpanan kesepakatan yang paling sedikit memuat syarat dan ketentuan mengenai otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan smart contract. |
(4) | Pengaturan mengenai kontrak pintar (smart contract) mengacu kepada pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik. |
(1) | Penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan pengalihan kepemilikan efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan tanpa warkat (scripless). |
(2) | Efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diterbitkan tanpa warkat (scripless) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk proses penatausahaan, pencatatan, dan pengalihannya, dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. |
Bagian Keenam
Instrumen Keuangan Surat Utang Negara
Pasal 46
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan instrumen keuangan surat utang negara, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236).
Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan:
a. | membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; |
b. | menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam 1 (satu) tahun anggaran; |
c. | mengelola portofolio utang negara; dan |
d. | membiayai pembangunan proyek. |
Bagian Ketujuh
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing
Pasal 48
(1) | Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan penukaran valuta asing ke rupiah dan penukaran rupiah ke valuta asing, dapat diselenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing. |
(2) | Kegiatan usaha penukaran valuta asing dapat diselenggarakan oleh:
|
(1) | Penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a merupakan bagian dari kegiatan usaha bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah. |
(2) | Pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b. |
(2) | Badan hukum bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. |
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perasuransian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal SA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15 Pengendali wajib ikut bertanggungjawab untuk mengganti kerugian Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam hal kerugian dimaksud disebabkan oleh tindakan Pengendali, pengaruh Pengendali, dan/atau tindakan Pihak dalam pengendaliannya. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal ISA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan/atau anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pegawai, dan/atau pihak lain dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima tanpa hak suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka memperoleh jasa, layanan, perolehan bisnis, penempatan investasi, dan/atau pencairan klaim dari Perusahaan Perasuransian. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 21A dan Pasal 218 sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21A
Pasal 21B Setiap Orang dilarang menggelapkan kekayaan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang merugikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Di antara Pasal 62 dan Pasal 63 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 62A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Di antara Pasal 72 dan Pasal 73 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 72A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 73A, Pasal 73B, dan Pasal 73C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73A
Pasal 73B
Pasal 73C Setiap Orang yang menggelapkan kekayaan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang merugikan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21B dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75 Setiap Orang yang dengan sengaja tidak memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta mengenai risiko, manfaat, kewajiban, dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan kepada calon Pemegang Polis, calon Tertanggung, calon Peserta, Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (7), Pasal 28 ayat (6), dan Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 87
|
BAB VII
ASURANSI USAHA BERSAMA
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup dan Prinsip Usaha Bersama
Pasal 53
(1) | Usaha Bersama mempunyai ruang lingkup di bidang usaha asuransi jiwa. |
(2) | Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam menjalankan usahanya:
|
(1) | Usaha Bersama wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usaha. |
(2) | Dalam menerapkan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Usaha Bersama wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalitas, dan kewajaran. |
(3) | Usaha Bersama wajib menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Usaha Bersama dalam menetapkan dan mengelola premi dari pemegang polis harus menghitung risiko dan manfaat yang akan didapat oleh pemegang polis atau tertanggung untuk memastikan tidak terjadi kegagalan perusahaan dalam memenuhi kewajiban kepada pemegang polis atau tertanggung. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kedua
Anggaran Dasar Usaha Bersama
Pasal 55
(1) | Anggaran dasar Usaha Bersama minimal memuat:
|
(2) | Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam RUA. |
(3) | Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. |
(4) | Dalam hal perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan, anggaran dasar yang berlaku adalah anggaran dasar yang telah berlaku sebelumnya. |
(5) | Perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia. |
(6) | Usaha Bersama wajib menyampaikan bukti pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) | Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan Usaha Bersama untuk melakukan perubahan anggaran dasar guna mewujudkan penyelenggaraan usaha yang sesuai dengan prinsip tata kelola perusahaan yang baik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
(8) | Usaha Bersama wajib menjalankan perintah dari Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (7). |
(9) | RUA wajib menetapkan perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8). |
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai muatan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tata cara perubahan anggaran dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tata cara persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan tata cara penyampaian bukti pengumuman kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketiga
Keanggotaan Usaha Bersama
Pasal 56
(1) | Anggota Usaha Bersama terdiri atas:
|
(2) | Dalam hal pemegang polis merupakan badan hukum, lembaga, kelompok, atau perkumpulan yang tunduk pada hukum Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, keanggotaan dalam Usaha Bersama diwakili oleh pengurus atau pihak yang ditunjuk oleh pemegang polis. |
(3) | Keanggotaan pada Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir apabila:
|
(4) | Anggota Usaha Bersama berhak:
|
(5) | Anggota Usaha Bersama wajib:
|
(6) | Usaha Bersama wajib menyatakan secara jelas hak dan kewajiban anggota di dalam polis. |
Bagian Keempat
Organ Usaha Bersama
Pasal 57
Organ Usaha Bersama terdiri atas RUA, Direksi Usaha Bersama, dan Dewan Komisaris Usaha Bersama.
Paragraf 1
RUA
Subparagraf 1
Wewenang RUA
Pasal 58
(1) | RUA mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini. |
(2) | RUA berwenang:
|
(3) | Peserta RUA wajib menjalankan wewenangnya sebagai RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama. |
Subparagraf 2
Penyelenggaraan RUA
Pasal 59
(1) | Penyelenggaraan RUA dapat dilaksanakan secara fisik dan/atau melalui media telekonferensi, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUA saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat. |
(2) | Dalam hal penyelenggaraan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara fisik, RUA diadakan di tempat kedudukan Usaha Bersama atau di tempat Usaha Bersama melakukan kegiatan usahanya. |
(3) | Tempat pelaksanaan RUA secara fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terletak di wilayah Negara Republik Indonesia. |
(4) | Usaha Bersama memberitahukan agenda dan materi yang akan dibicarakan dan diputuskan dalam RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | RUA terdiri atas RUA tahunan dan RUA luar biasa. |
(2) | Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan dilakukannya RUA luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kepentingan Usaha Bersama. |
(3) | RUA dinyatakan sah jika memenuhi kuorum. |
(4) | RUA dinyatakan memenuhi kuorum jika peserta RUA yang hadir telah mencapai 2/3 (dua per tiga) dari peserta RUA. |
(5) | Pemenuhan kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dapat dihitung berdasarkan kehadiran secara fisik dan/atau keikutsertaan peserta RUA melalui media telekonferensi, konferensi video, atau sarana media elektronik lainnya yang memungkinkan semua peserta RUA saling melihat dan mendengar secara langsung, serta berpartisipasi dalam rapat. |
(6) | Keputusan RUA diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat. |
(7) | Dalam hal keputusan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak dari peserta RUA yang hadir. |
(8) | Keputusan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) dituangkan dalam risalah RUA yang disetujui dan ditandatangani oleh peserta RUA yang hadir. |
(9) | Risalah RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib dinyatakan dalam akta notaris. |
(10) | Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (9) harus disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(11) | Keputusan RUA dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
(12) | Otoritas Jasa Keuangan berwenang membatalkan keputusan RUA dalam hal:
|
(13) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (12) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 3
Kepesertaan RUA
Pasal 61
(1) | Peserta RUA berhak:
|
(2) | Peserta RUA dilarang:
|
(3) | Peserta RUA bertanggung jawab secara pribadi dan tanggung renteng atas kerugian Usaha Bersama dalam hal yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Peserta RUA berjumlah ganjil paling sedikit 11 (sebelas) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang. |
(2) | Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perwakilan anggota dari setiap wilayah pemilihan. |
(3) | Jumlah wilayah pemilihan disesuaikan dengan jumlah peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Jumlah peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembagian wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam anggaran dasar. |
Subparagraf 4
Pemilihan Peserta RUA
Pasal 63
(1) | Setiap anggota di setiap wilayah pemilihan berhak dipilih menjadi peserta RUA. |
(2) | Penentuan anggota di setiap wilayah pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada data domisili terakhir yang tercatat pada sistem Usaha Bersama. |
(3) | Untuk dapat dipilih menjadi peserta RUA, anggota harus memenuhi persyaratan umum sebagai berikut:
|
(4) | Selain harus memenuhi persyaratan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggota juga harus memenuhi persyaratan khusus sebagai berikut:
|
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pemilihan peserta RUA dilakukan oleh Panitia Pemilihan yang dibentuk oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama. |
(2) | Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib membentuk Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat 6 (enam) bulan sebelum masa kepesertaan RUA periode sebelumnya berakhir. |
(3) | Dalam hal tidak terdapat Dewan Komisaris Usaha Bersama atau Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak membentuk Panitia Pemilihan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direksi Usaha Bersama wajib membentuk Panitia Pemilihan. |
(4) | Anggota Panitia Pemilihan berjumlah ganjil paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 7 (tujuh) orang. |
(5) | Panitia Pemilihan terdiri atas unsur:
|
(6) | Panitia Pemilihan bertugas untuk melakukan seleksi terhadap bakal calon peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan. |
(7) | Panitia Pemilihan menetapkan dan menyampaikan kepada Direksi Usaha Bersama urutan calon peserta RUA dari setiap wilayah pemilihan yang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (3) dan ayat (4). |
(8) | Direksi Usaha Bersama menyampaikan calon peserta RUA kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan persetujuan. |
(9) | Persetujuan oleh Otoritas Jasa Keuangan diberikan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan kepada calon peserta RUA. |
(10) | Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan verifikasi atas pelaksanaan proses pemilihan peserta RUA. |
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) dan penilaian kemampuan dan kepatutan dan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 5
Masa Tugas dan Pemberhentian peserta RUA
Pasal 65
(1) | Peserta RUA memiliki masa tugas selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali. |
(2) | Status sebagai peserta RUA berakhir apabila peserta RUA:
|
(3) | Status peserta RUA berakhir karena diberhentikan sebelum masa tugasnya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, apabila peserta RUA:
|
(4) | Penetapan pemberhentian peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keputusan RUA berlaku sejak tanggal keputusan RUA atau tanggal lain yang ditetapkan dalam keputusan RUA. |
(5) | Dalam hal status peserta RUA berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), peserta RUA dilarang melakukan tindakan yang berkaitan dengan wewenang dan hak sebagai peserta RUA. |
(6) | Dalam hal status peserta RUA berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kedudukannya digantikan oleh calon peserta RUA dengan terlebih dahulu mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (9). |
(7) | Peserta RUA pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (6) melanjutkan sisa masa tugas dari peserta RUA yang digantikan. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Peserta RUA merupakan Pengendali. |
(2) | Dalam hal terdapat Pengendali selain peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan Pengendali lain. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 2
Direksi Usaha Bersama
Subparagraf 1
Pengurusan Usaha Bersama
Pasal 67
(1) | Untuk kepentingan Usaha Bersama, pengurusan Usaha Bersama dilaksanakan oleh Direksi Usaha Bersama. |
(2) | Usaha Bersama wajib memiliki paling sedikit 3 (tiga) orang Direksi Usaha Bersama yang salah seorang di antaranya diangkat sebagai direktur utama berdasarkan keputusan RUA. |
(3) | Paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang pengelolaan risiko sesuai dengan bidang usaha dari Usaha Bersama. |
Subparagraf 2
Pengangkatan dan Pemberhentian Anggota Direksi Usaha Bersama
Pasal 68
(1) | Anggota Direksi Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh RUA. |
(2) | Anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) | Anggota Direksi Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. |
(4) | Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan dalam keputusan RUA. |
(5) | Anggota Direksi Usaha Bersama yang telah diangkat oleh RUA hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. |
(7) | Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 3
Masa Tugas dan Pemberhentian Direksi Usaha Bersama
Pasal 69
(1) | Anggota Direksi Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua) periode berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat 1 (satu) periode berikutnya. |
(2) | Anggota Direksi Usaha Bersama berakhir masa jabatannya apabila:
|
(3) | Anggota Direksi Usaha Bersama yang jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c, tetap bertanggung jawab terhadap tindakannya yang belum diterima pertanggungjawabannya oleh RUA. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberhentian anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab Direksi Usaha Bersama
Pasal 70
(1) | Direksi Usaha Bersama bertugas untuk menjalankan pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama. |
(2) | Pembagian tugas dan wewenang pengurusan di antara anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan berdasarkan keputusan RUA. |
(3) | Dalam hal RUA tidak menetapkan pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pembagian tugas dan wewenang anggota Direksi Usaha Bersama ditetapkan berdasarkan keputusan Direksi Usaha Bersama. |
(4) | Anggota Direksi Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama, serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama. |
(5) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direksi Usaha Bersama berwenang untuk menetapkan kebijakan dalam batas yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan anggaran dasar. |
(6) | Direksi Usaha Bersama bertanggung jawab kepada RUA dalam menjalankan pengurusan Usaha Bersama. |
(7) | Anggota Direksi Usaha Bersama:
|
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggung jawab Direksi Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Anggota Direksi Usaha Bersama wajib mengungkapkan:
|
(2) | Pengungkapan kepemilikan oleh anggota Direksi Usaha Bersama kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
Paragraf 3
Dewan Komisaris Usaha Bersama
Subparagraf 1
Pengawasan Usaha Bersama
Pasal 72
(1) | Pengawasan Usaha Bersama dilaksanakan oleh Dewan Komisaris Usaha Bersama. |
(2) | Dewan Komisaris Usaha Bersama paling sedikit terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama yang salah seorang di antaranya diangkat sebagai ketua Dewan Komisaris Usaha Bersama berdasarkan keputusan RUA. |
(3) | Paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama merupakan komisaris independen. |
(4) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama tidak dapat bertindak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan keputusan Dewan Komisaris Usaha Bersama. |
Subparagraf 2
Pengangkatan Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama
Pasal 73
(1) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama diangkat dan diberhentikan oleh RUA. |
(2) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(3) | Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama independen juga harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
|
(4) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama diangkat untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun. |
(5) | Pengangkatan, penggantian, dan pemberhentian anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama ditetapkan dalam keputusan RUA. |
(6) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama yang telah diangkat oleh RUA hanya dapat menjalankan tugas dan wewenangnya setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan setelah dilakukan penilaian kemampuan dan kepatutan. |
(8) | Penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penilaian kemampuan dan kepatutan di sektor jasa keuangan. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 3
Masa Tugas dan Pemberhentian
Dewan Komisaris Usaha Bersama
Pasal 74
(1) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama hanya dapat menjabat selama 2 (dua) periode secara berturut-turut dan dapat diangkat kembali setelah paling singkat 1 (satu) periode berikutnya. |
(2) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama berakhir masa jabatannya apabila:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai masa tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pemberhentian Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Subparagraf 4
Tugas, Wewenang, dan Tanggung Jawab
Dewan Komisaris Usaha Bersama
Pasal 75
(1) | Dewan Komisaris Usaha Bersama bertugas:
|
(2) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) dengan iktikad baik, kehati-hatian, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan Usaha Bersama serta sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama. |
(3) | Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Komisaris Usaha Bersama berwenang untuk:
|
(4) | Dewan Komisaris Usaha Bersama bertanggung jawab kepada RUA atas pelaksanaan tugas dan wewenangnya. |
(5) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama:
|
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, dan tanggungjawab anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib mengungkapkan:
|
(2) | Pengungkapan kepemilikan oleh anggota Dewan Komisaris Usaha Bersama kepada Otoritas Jasa Keuangan disampaikan dalam laporan penerapan tata kelola perusahaan yang baik bagi perusahaan perasuransian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
Bagian Kelima
Perubahan Bentuk Badan Hukum
Pasal 77
(1) | Usaha Bersama dapat melakukan perubahan bentuk badan hukum menjadi perseroan terbatas. |
(2) | Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan prinsip:
|
(3) | Perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diusulkan oleh:
|
(4) | Dewan Komisaris Usaha Bersama wajib melakukan pengawasan proses perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama. |
(5) | Rencana perubahan bentuk badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Proposal dan harus mendapatkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) | Proposal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mendapatkan persetujuan RUA terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) | Perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama mengakibatkan:
|
(8) | Pada saat Usaha Bersama berubah menjadi badan hukum baru, Usaha Bersama dinyatakan bubar tanpa likuidasi. |
(9) | Proses pendirian badan hukum baru dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(10) | Direksi Usaha Bersama wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan terkait:
|
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (10) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keenam
Pembubaran Usaha Bersama
Pasal 78
(1) | Pembubaran Usaha Bersama dilakukan apabila izin usaha dari Usaha Bersama dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal Usaha Bersama:
|
(3) | Pembubaran Usaha Bersama karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUA untuk melakukan penghentian kegiatan usaha. |
(4) | Status badan hukum Usaha Bersama berakhir sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembubaran Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
BAB VIII
PROGRAM PENJAMINAN POLIS
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Program Penjaminan Polis
Pasal 79
(1) | Berdasarkan Undang-Undang ini diselenggarakan program penjaminan polis. |
(2) | Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk melindungi pemegang polis, tertanggung, atau peserta dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya akibat mengalami kesulitan keuangan. |
(3) | Program penjaminan polis dapat menggunakan Prinsip Syariah. |
Bagian Kedua
Kepesertaan
Pasal 80
(1) | Setiap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis. |
(2) | Untuk menjadi peserta program penjaminan polis pada saat pertama kali, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan tertentu. |
(3) | Kriteria persyaratan tingkat kesehatan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikoordinasikan dengan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis wajib:
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
(1) | Iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dibayarkan 1 (satu) kali pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah menjadi peserta. |
(2) | Iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dibayarkan 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun untuk:
|
(3) | Iuran berkala penjaminan untuk masing-masing periode sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan paling lambat tanggal:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran awal kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan iuran berkala penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup dan Mekanisme Penjaminan
Pasal 83
(1) | Program penjaminan polis hanya menjamin unsur proteksi dari produk asuransi pada lini usaha tertentu. |
(2) | Program asuransi sosial dan program asuransi wajib dikecualikan dari program penjaminan polis. |
(3) | Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi persyaratan untuk menjadi peserta program penjaminan polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) wajib membentuk dana jaminan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai lini usaha tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian program asuransi sosial dan program asuransi wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Program penjaminan polis dilaksanakan atas polis asuransi yang masih aktif atau belum berakhir dan klaim polis asuransi dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya. |
(2) | Pelaksanaan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
|
(3) | Terhadap polis yang dilakukan pengalihan portofolio sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menerima pengalihan dinyatakan tetap berlaku sepanjang Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya masih dalam proses penanganan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan program penjaminan polis. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
(1) | Batas maksimal penjaminan program penjaminan polis diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
(2) | Batas maksimal penjaminan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan keberlanjutan program penjaminan polis dan cakupan program penjaminan polis. |
Bagian Keempat
Penyelenggara Program Penjaminan Polis
Pasal 86
Program penjaminan polis diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(1) | Lembaga Penjamin Simpanan wajib menerapkan tata kelola yang baik termasuk penataan investasi, manajemen risiko, dan pengendalian internal dalam melakukan kegiatan usahanya. |
(2) | Dalam menerapkan tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan wajib menerapkan prinsip kehati-hatian, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, profesionalisme, dan kewajaran. |
(3) | Lembaga Penjamin Simpanan menyusun sistem pengendalian internal dan prosedur internal mengenai pelaksanaan tata kelola yang baik. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(1) | Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menyampaikan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan polis yang layak dibayar. |
(2) | Dalam rangka menjalankan tugas untuk melaksanakan program penjaminan polis, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta. |
(3) | Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta yang disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | Penyampaian data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan perasuransian. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data polis berbasis pemegang polis, tertanggung, dan/atau peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
(1) | Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, Lembaga Penjamin Simpanan dapat meminta data, informasi, dan/atau dokumen kepada pihak lain. |
(2) | Setiap pihak yang dimintai data, informasi, dan/atau dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan. |
Bagian Kelima
Penanganan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah Bermasalah
Paragraf 1
Mekanisme Penanganan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah Bermasalah
Pasal 90
(1) | Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis kepada Lembaga Penjamin Simpanan setiap penetapan status pengawasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
(2) | Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan status pengawasan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dapat berdampak pada pencabutan izin usaha, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan langkah persiapan pelaksanaan program penjaminan polis. |
(3) | Dalam melakukan langkah persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin Simpanan berwenang melakukan pemeriksaan terhadap Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
(4) | Otoritas Jasa Keuangan memberikan data dan informasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam status yang dapat berdampak pada pencabutan izin usaha kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka persiapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(5) | Jenis, bentuk, dan tata cara pemberian data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dituangkan dalam nota kesepahaman antara Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah karena tidak dapat disehatkan, Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan secara tertulis dan menyerahkan penyelesaiannya kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
Dalam rangka likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya, Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tindakan sebagai berikut:
a. | menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama; |
b. | menjual dan/atau mengalihkan aset dan/atau kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah kepada pihak lain tanpa persetujuan debitur, kreditur, atau pihak manapun; |
c. | memberikan talangan untuk pembayaran gaji pegawai yang terutang dan talangan pesangon pegawai sebesar jumlah minimum pesangon sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan; |
d. | melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka pengamanan aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebelum proses likuidasi dimulai; dan |
e. | memutuskan pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, membentuk tim likuidasi, dan menyatakan status Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi berdasarkan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a. |
Terhitung sejak izin usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan, seluruh hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham dan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
(1) | Pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh tim likuidasi. |
(2) | Dengan terbentuknya tim likuidasi, tanggung jawab dan kepengurusan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dilaksanakan oleh tim likuidasi. |
(3) | Dalam melaksanakan tugasnya, tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah. |
(4) | Pengawasan atas pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
(1) | Keputusan pembubaran badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e wajib:
|
(2) | Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b memuat pula pernyataan bahwa seluruh aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi berada dalam tanggung jawab dan pengurusan tim likuidasi. |
(1) | Untuk kepentingan aset atau kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi, tim likuidasi dapat meminta pembatalan kepada pengadilan niaga atas segala perbuatan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mengakibatkan berkurangnya aset atau bertambahnya kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, yang dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sebelum pencabutan izin usaha. |
(2) | Perbuatan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang wajib dilakukan berdasarkan Undang-Undang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta pegawai dan mantan pegawai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi wajib memberikan data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi. |
(2) | Pengendali, pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta pegawai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dilarang secara langsung atau tidak langsung menghambat proses likuidasi. |
(1) | Pembayaran kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah kepada para kreditur dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
|
(2) | Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam daftar biaya likuidasi menjadi beban aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya. |
(3) | Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan. |
(4) | Dalam hal seluruh kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa tersebut diserahkan kepada pemegang saham lama atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama. |
(5) | Dalam hal seluruh aset Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama yang terbukti menyebabkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dicabut izin usahanya. |
Setelah menerima pertanggungjawaban tim likuidasi, Lembaga Penjamin Simpanan:
a. | meminta tim likuidasi:
|
b. | membubarkan tim likuidasi. |
Status badan hukum Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilikuidasi hapus terhitung sejak tanggal pengumuman berakhirnya likuidasi dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a angka 1.
(1) | Likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menghentikan kegiatan usahanya dilakukan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang bersangkutan. |
(2) | Lembaga Penjamin Simpanan tidak membayar penjaminan polis dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya karena menghentikan kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Bagian Keenam
Pengelolaan Aset dan Kewajiban
Pasal 102
(1) | Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab atas pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban penyelenggaraan program penjaminan polis. |
(2) | Lembaga Penjamin Simpanan memisahkan pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dari pencatatan aset dan kewajiban penyelenggaraan penjaminan simpanan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dan penatausahaan aset dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Seluruh dana yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan program penjaminan polis merupakan biaya penyelesaian penjaminan polis bagi Lembaga Penjamin Simpanan. |
(2) | Dalam hal terdapat selisih kurang antara biaya penyelesaian penjaminan polis dan dana yang diterima Lembaga Penjamin Simpanan, selisih kurang tersebut bukan merupakan kerugian keuangan negara. |
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor penjaminan, Undang-Undang ini mengubah ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835).
Ketentuan Pasal 62 dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 62
(1) | Dalam hal Perusahaan Penjaminan memiliki unit syariah, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Perusahaan Penjaminan dimaksud wajib melakukan pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah. |
(2) | Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta pemisahan unit syariah menjadi Perusahaan Penjaminan Syariah dalam rangka konsolidasi penjaminan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan dan konsolidasi serta sanksi bagi Perusahaan Penjaminan yang tidak melakukan pemisahan unit syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(4) | Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
BAB X
USAHA JASA PEMBIAYAAN
Bagian Kesatu
Ruang Lingkup Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 106
(1) | Ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan meliputi:
|
(2) | Selain melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan kegiatan lain setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Dalam melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama. |
(4) | Ruang lingkup usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. |
(5) | Tidak termasuk dalam ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan Undang-Undang ini, merupakan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan yang dilakukan oleh:
|
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Untuk memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang mengelola dana ventura dalam bentuk kontrak investasi bersama harus memenuhi persyaratan minimal mengenai:
|
(3) | Badan yang dibentuk melalui kontrak investasi bersama dana ventura dipersamakan sebagai badan hukum. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan dana ventura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kedua
Bentuk Badan Hukum, Kepemilikan, Kepengurusan dan Penilaian
Kemampuan dan Kepatutan, dan Sumber Dana Penyertaan
Paragraf 1
Bentuk Badan Hukum
Pasal 108
Bentuk badan hukum penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan terdiri atas:
a. | perseroan terbatas; dan |
b. | koperasi. |
Paragraf 2
Kepemilikan
Pasal 109
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, hanya dapat dimiliki oleh:
|
(2) | Kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan bersama:
|
(3) | Kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f hanya dapat dilakukan melalui transaksi di Pasar Modal. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 3
Kepengurusan dan Penilaian Kemampuan dan Kepatutan
Pasal 110
(1) | Anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, atau pengelola dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang melaksanakan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang diangkat dalam rapat umum pemegang saham atau rapat anggota atas rekomendasi dari lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
(1) | Anggota direksi, anggota dewan komisaris, Dewan Pengawas Syariah, PSP, anggota pengurus, anggota pengawas, dan pengelola dari penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib terlebih dahulu memenuhi persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penilaian kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 4
Sumber Dana Penyertaan
Pasal 112
(1) | Sumber dana penyertaan bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan ditetapkan berdasarkan ruang lingkup Usaha Jasa Pembiayaan yang dilakukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106. |
(2) | Sumber dana penyertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan sumber dana penyertaan bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketiga
Perizinan
Paragraf 1
Izin Usaha
Pasal 113
(1) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 wajib memperoleh izin usaha sebagai penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali apabila diatur dengan undang-undang tersendiri. |
(2) | Untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon harus menyampaikan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan dengan memenuhi persyaratan minimal:
|
(3) | Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan lingkup usaha yang akan dijalankan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan pembukaan kantor cabang. |
(2) | Pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 2
Konversi dan Pembentukan Unit Usaha Syariah
Pasal 115
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha secara konvensional dapat melakukan konversi menjadi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang menyelenggarakan kegiatan usaha sesuai dengan Prinsip Syariah. |
(2) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat mendirikan unit usaha syariah. |
(3) | Konversi dan pendirian unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang memiliki unit usaha syariah wajib melakukan pemisahan unit usaha syariah apabila memenuhi kriteria tertentu. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai konversi dan unit usaha syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Usaha
Pasal 116
(1) | Perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan wajib dituangkan dalam perjanjian tertulis. |
(2) | Perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi ketentuan penyusunan perjanjian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
a. | menghimpun dana secara langsung dari masyarakat berbentuk giro, tabungan, deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan penghimpunan dana masyarakat; |
b. | memberikan jaminan dalam segala bentuknya atas pemenuhan kewajiban pihak lain; dan |
c. | menerbitkan surat sanggup bayar (promissory note), kecuali sebagai jaminan atas utang kepada krediturnya. |
(1) | Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
(2) | Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilarang:
|
(3) | Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan dilarang menyuruh anggota direksi, anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota pengurus, pengelola, pegawai Usaha Jasa Pembiayaan, dan/atau pihak terafiliasi lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi Usaha Jasa Pembiayaan. |
Sertifikat jaminan fidusia yang diterima oleh penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagai jaminan dalam rangka pemenuhan kewajiban konsumen sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai jaminan fidusia memiliki kekuatan eksekutorial.
(1) | Setiap pihak yang menyerahkan barang bergerak sebagai jaminan atau barang titipan kepada penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dianggap sebagai pemilik. |
(2) | Dalam hal di kemudian hari diduga atau terbukti bahwa kepemilikan atau penguasaan barang jaminan berasal dari kejahatan atau perbuatan melanggar hukum lainnya, penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan tidak dapat dituntut atas tindak pidana yang berhubungan dengan penerimaan barang jaminan atau barang titipan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pembebasan dari tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat diberikan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan telah melakukan penerapan prinsip mengenal pengguna jasa berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib melaksanakan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menerapkan manajemen risiko secara efektif yang minimal mencakup:
|
(2) | Dalam menerapkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memiliki pedoman penerapan manajemen risiko. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan prinsip manajemen risiko pada Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib memenuhi persyaratan tingkat kesehatan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan persyaratan tingkat kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kelima
Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan
Pasal 124
(1) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dapat melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan pemisahan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keenam
Pencabutan Izin Usaha
Pasal 125
(1) | Pencabutan izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. | ||||||||||
(2) | Pencabutan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan:
|
||||||||||
(3) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan likuidasi atau penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan izin usaha dan pembubaran atas penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketujuh
Asosiasi Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 126
(1) | Setiap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menjadi anggota salah satu asosiasi yang sesuai dengan jenis usahanya. |
(2) | Asosiasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Otoritas Jasa Keuangan mendorong peran asosiasi Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk membangun pengawasan berbasis disiplin pasar dalam rangka penguatan dan/atau penyehatan industri Usaha Jasa Pembiayaan. |
Bagian Kedelapan
Profesi Penunjang Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 127
(1) | Profesi penunjang pada Usaha Jasa Pembiayaan terdiri atas:
|
(2) | Untuk dapat menyediakan jasa bagi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menggunakan jasa dari profesi penunjang yang telah terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran profesi penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kesembilan
Pengawasan dan Pelaporan
Pasal 128
(1) | Pengawasan terhadap penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan wajib menyampaikan laporan bulanan, laporan keuangan tahunan dan/atau laporan lain secara benar kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan sebagaimana diatur pada ayat (1) dan kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan berbadan hukum perseroan terbatas mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta:
|
(2) | Dalam hal penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan berbadan hukum koperasi mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang meminta:
|
(3) | Dalam hal menurut Otoritas Jasa Keuangan tindakan penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak cukup untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi, Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan. |
(4) | Setelah Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), rapat umum pemegang saham atau rapat anggota wajib memproses likuidasi atau penyelesaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
BAB XI
KEGIATAN USAHA BULION (BULLION)
Pasal 130
Kegiatan usaha bulion (bullion) merupakan kegiatan usaha yang berkaitan dengan emas dalam bentuk simpanan, pembiayaan, perdagangan, penitipan emas, dan/atau kegiatan lainnya yang dilakukan oleh LJK.
LJK yang melakukan kegiatan usaha bulion (bullion) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
Ketentuan mengenai penyelenggaraan kegiatan usaha bulion (bullion) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang paling sedikit memuat:
a. | pentahapan pelaksanaan kegiatan usaha bulion (bullion); |
b. | tata kelola; |
c. | manajemen risiko; |
d. | prinsip kehati-hatian; dan |
e. | sanksi administratif. |
BAB XII
DANA PENSIUN, PROGRAM JAMINAN HARI TUA, DAN PROGRAM PENSIUN
Pasal 133
Dalam rangka memperbaiki sistem pensiun di Indonesia guna meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan masyarakat di hari tua, meningkatkan produktivitas dunia usaha, meningkatkan kepercayaan masyarakat atas penyelenggaraan program pensiun, dan mempercepat akumulasi dana jangka panjang, perlu dilakukan penyempurnaan pengaturan mengenai penyelenggaraan program pensiun.
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. | Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun. |
2. | Dana Pensiun Pemberi Kerja adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh pendiri bagi kepentingan sebagian atau seluruh karyawannya sebagai peserta, dan yang menimbulkan kewajiban terhadap pemberi kerja. |
3. | Dana Pensiun Lembaga Keuangan adalah Dana Pensiun yang dibentuk oleh LJK tertentu, selaku pendiri, yang ditujukan bagi karyawan yang diikutsertakan oleh pemberi kerjanya dan/atau perorangan secara mandiri. |
4. | Manfaat Pensiun adalah manfaat yang diterima oleh peserta baik secara berkala dan/atau sekaligus sebagai penghasilan hari tua yang dikaitkan dengan usia pensiun, masa kerja, dan/atau masa mengiur. |
5. | Peraturan Dana Pensiun adalah peraturan yang berisi ketentuan yang menjadi dasar penyelenggaraan program pensiun bagi suatu Dana Pensiun. |
6. | Program Pensiun adalah setiap program yang mengupayakan Manfaat Pensiun bagi peserta. |
7. | Program Pensiun Iuran Pasti adalah Program Pensiun yang iurannya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan seluruh iuran serta hasil pengembangannya dibukukan pada rekening masing-masing peserta sebagai Manfaat Pensiun. |
8. | Program Pensiun Manfaat Pasti adalah Program Pensiun yang manfaatnya ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun atau Program Pensiun lain yang bukan merupakan Program Pensiun Iuran Pasti. |
9. | Peserta adalah orang perseorangan yang memenuhi persyaratan mengikuti Program Pensiun. |
10. | Usia Pensiun Normal adalah usia normal ketika Peserta berhak mendapatkan Manfaat Pensiun. |
11. | Disabilitas adalah keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik yang menyebabkan seseorang tidak mampu lagi melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, keterampilan, dan pengalamannya. |
12. | Manfaat Pensiun Normal adalah Manfaat Pensiun yang mulai dibayarkan pada saat Peserta telah mencapai Usia Pensiun Normal atau sesudahnya. |
13. | Manfaat Pensiun Dipercepat adalah Manfaat Pensiun yang dibayarkan apabila Peserta berhenti bekerja pada usia tertentu sebelum Usia Pensiun Normal. |
14. | Manfaat Pensiun Disabilitas adalah Manfaat Pensiun yang mulai dibayarkan pada saat Peserta berhenti bekerja karena Disabilitas. |
15. | Pensiun Ditunda adalah hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta yang berhenti bekerja sebelum mencapai Usia Pensiun Normal dan yang ditunda pembayarannya sampai dengan paling cepat pada saat Peserta memasuki usia tertentu sebelum Usia Pensiun Normal. |
16. | Pemberi Kerja adalah Setiap Orang yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam bentuk lainnya. |
17. | Pendiri adalah badan hukum yang membentuk Dana Pensiun Pemberi Kerja dan/atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
18. | Mitra Pendiri adalah Pemberi Kerja yang menyertakan sebagian atau seluruh karyawannya ke dalam Program Pensiun yang diselenggarakan oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja. |
19. | Bank Kustodian adalah bank umum dan bank umum syariah yang telah memperoleh persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagai kustodian sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pasar modal. |
20. | Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
21. | Pengurus adalah organ Dana Pensiun yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengelolaan Dana Pensiun untuk kepentingan Dana Pensiun, sesuai dengan maksud dan tujuan Dana Pensiun serta mewakili Dana Pensiun di dalam dan di luar pengadilan. |
22. | Dewan Pengawas adalah organ Dana Pensiun yang bertugas memberikan nasihat dan saran serta melakukan pengawasan terhadap pengelolaan Dana Pensiun kepada Pengurus. |
23. | Pihak yang Berhak adalah pihak yang memiliki hak atas Manfaat Pensiun dalam hal Peserta meninggal dunia, yaitu janda/duda, anak, atau pihak yang ditunjuk oleh Peserta apabila Peserta tidak memiliki janda/duda atau anak. |
24. | Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan. |
25. | Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya. |
26. | Janda/Duda Peserta Program Pensiun yang selanjutnya disebut Janda/Duda adalah istri/suami yang sah dari Peserta atau pensiunan yang meninggal dunia, yang telah terdaftar pada Dana Pensiun. |
Bagian Kedua
Dana Pensiun
Paragraf 1
Bentuk Badan Hukum dan Kepemilikan Dana Pensiun
Pasal 135
Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dengan syarat dan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun wajib memperoleh pengesahan sebagai Dana Pensiun dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali Program Pensiun yang didasarkan pada undang-undang tersendiri.
Paragraf 2
Ruang Lingkup Usaha Dana Pensiun
Pasal 137
(1) | Jenis Dana Pensiun terdiri atas:
|
(2) | Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a hanya dapat dibentuk oleh Pemberi Kerja dan atas persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dibentuk oleh badan hukum yang telah memiliki izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagai:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pembentukan Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dan/atau Program Pensiun Iuran Pasti. |
(2) | Dana Pensiun Lembaga Keuangan hanya dapat menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti. |
(3) | Dana Pensiun dapat menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah dalam bentuk:
|
(4) | Dalam hal tertentu, Dana Pensiun dapat memberikan manfaat lain sebagai tambahan dari Program Pensiun. |
(5) | Dana Pensiun tidak dapat menyelenggarakan program yang hanya memberikan manfaat lain, tanpa menyelenggarakan Program Pensiun. |
(6) | Dalam hal Dana Pensiun menyelenggarakan manfaat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4), berlaku ketentuan:
|
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Program Pensiun dan manfaat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 3
Pembentukan Dana Pensiun
Pasal 139
(1) | Pembentukan Dana Pensiun harus didasarkan pada:
|
(2) | pernyataan tertulis Pendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, wajib memuat keputusan untuk membiayai penyelenggaraan Dana Pensiun sesuai dengan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya serta Peraturan Dana Pensiun. |
(3) | Dana Pensiun Pemberi Kerja dapat didirikan untuk lebih dari 1 (satu) Pemberi Kerja. |
(4) | Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan setiap perubahannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dana Pensiun memiliki status sebagai badan hukum dan dapat memulai kegiatannya sebagai suatu Dana Pensiun sejak tanggal pengesahan pembentukan Dana Pensiun oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) | Pengurus wajib mengumumkan pembentukan Dana Pensiun dengan menempatkan pengesahan Otoritas Jasa Keuangan atas Peraturan Dana Pensiun pada Berita Negara Republik Indonesia. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembentukan Dana Pensiun serta materi muatan Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pendiri mengajukan permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Otoritas Jasa Keuangan memiliki kewenangan untuk menyetujui atau menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan pengesahan pembentukan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pemberi Kerja dapat menjadi Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja yang telah berdiri. |
(2) | Dana Pensiun yang telah berdiri dapat menggabungkan diri dengan Dana Pensiun lain atau memisahkan diri menjadi 2 (dua) atau lebih Dana Pensiun. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Mitra Pendiri, penggabungan, atau pemisahan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pendiri mengajukan permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Otoritas Jasa Keuangan menyetujui atau menolak permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak permohonan pengesahan diterima secara lengkap. |
(3) | Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya. |
(4) | Perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mengurangi Manfaat Pensiun yang sudah menjadi hak Peserta yang diperoleh selama kepesertaannya sampai pada saat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) | Hak Peserta sebelum perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dipenuhi sampai saat pengesahan perubahan atas Peraturan Dana Pensiun oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(6) | Seluruh perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (4) hanya dapat dilaksanakan apabila telah mendapat pengesahan Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan atas Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 4
Penyelenggaraan Dana Pensiun
Pasal 143
(1) | Dana Pensiun wajib menerapkan:
|
(2) | Dana Pensiun wajib dikelola dengan mengutamakan kepentingan Peserta serta Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(3) | Dana Pensiun wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pengurus dan Dewan Pengawas ditunjuk oleh dan bertanggung jawab kepada Pendiri. |
(2) | Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan Pengurus dan Dewan Pengawas. |
(3) | Pengurus dilarang merangkap jabatan sebagai Pengurus Dana Pensiun lain, direksi, atau jabatan eksekutif pada badan usaha lain. |
(4) | Pengurus dan Dewan Pengawas yang ditunjuk harus memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai terkait bidang yang menjadi tanggung jawabnya. |
(5) | Pendiri Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (3) wajib menunjuk Dewan Pengawas Syariah atas rekomendasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
(6) | Pendiri dapat memberhentikan dan mengubah susunan Dewan Pengawas Syariah. |
(7) | Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah wajib memenuhi ketentuan dan persyaratan kemampuan dan kepatutan serta ketentuan dan persyaratan lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengurus, Dewan Pengawas, dan Dewan Pengawas Syariah Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 5
Kepesertaan Dana Pensiun
Pasal 145
(1) | Setiap karyawan pada Pemberi Kerja berhak menjadi Peserta Dana Pensiun Pemberi Kerja apabila telah memenuhi syarat kepesertaan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(2) | Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja menetapkan adanya iuran Peserta, karyawan berhak untuk tidak menjadi Peserta. |
(3) | Dalam hal karyawan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memutuskan menjadi Peserta, karyawan harus menyatakan kesediaannya untuk dipotong upah atau gajinya setiap bulan. |
(4) | Kepesertaan dalam Dana Pensiun Lembaga Keuangan terbuka bagi:
|
(5) | Pemberi Kerja yang mengikutsertakan sebagian atau seluruh karyawan pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b membuat perjanjian tertulis dengan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
(1) | Usia Pensiun Normal untuk pertama kali ditetapkan paling rendah 55 (lima puluh lima) tahun. |
(2) | Usia Pensiun Normal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direviu dan ditetapkan secara berkala paling lama setiap 3 (tiga) tahun sekali dengan mempertimbangkan angka harapan hidup dan kondisi makroekonomi. |
(3) | Penetapan Usia Pensiun Normal dalam Peraturan Dana Pensiun mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara reviu dan penetapan Usia Pensiun Normal secara berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Dana Pensiun wajib merahasiakan data pribadi Peserta. |
(2) | Kewajiban merahasiakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undanga.n |
Paragraf 6
Iuran dan Manfaat Pensiun
Pasal 148
(1) | Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun berupa:
|
(2) | Iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak boleh hanya berupa iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam laporan aktuaris yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dihitung berdasarkan standar praktik aktuaria Dana Pensiun yang berlaku di Indonesia. |
(3) | Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, besaran iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(4) | Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b pada Dana Pensiun Pemberi Kerja, besaran iuran Peserta ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan iuran Program Pensiun pada Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a wajib dibayarkan secara berkala dengan angsuran paling sedikit 1 (satu) kali setiap bulan. |
(2) | Dalam hal terdapat iuran Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b, berlaku ketentuan:
|
(3) | Bagi peserta mandiri pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) huruf a, iuran Peserta disetorkan langsung kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan berdasarkan perjanjian antara Peserta dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
(4) | Dalam hal Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, Pengurus wajib memberitahukan hal tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) | Dalam hal Mitra Pendiri pada Dana Pensiun Pemberi Kerja tidak mampu memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan secara berturut-turut, Pengurus wajib memberitahukan hal tersebut kepada Pendiri. |
(6) | Berdasarkan pemberitahuan Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pendiri dapat menetapkan:
|
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran iuran Pemberi Kerja dan iuran Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam hal berdasarkan laporan aktuaris yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan diketahui Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti memiliki aset melebihi kewajibannya, kelebihan aset atas kewajiban yang melampaui batas tertentu diperhitungkan sebagai iuran Pemberi Kerja. |
(2) | Ketentuan mengenai batas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Kewajiban Dana Pensiun Pemberi Kerja yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dihitung dengan menggunakan metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai metode dan asumsi aktuaria yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam hal iuran Dana Pensiun Pemberi Kerja terdiri atas iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran kepada Dana Pensiun. |
(2) | Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, Pemberi Kerja wajib menyetor seluruh iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. |
(3) | Bagi Dana Pensiun Pemberi Kerja, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan:
|
(4) | Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah, iuran Peserta dan iuran Pemberi Kerja yang belum disetor setelah melewati 1 (satu) bulan sejak jatuh tempo, dinyatakan sebagai utang Pemberi Kerja dan dikenai sanksi (ta'zir) berupa denda yang dihitung sejak hari pertama dari bulan jatuh tempo penyetoran iuran. |
(5) | Dana yang berasal dari sanksi (ta'zir) berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk dalam aset Dana Pensiun dan hanya dapat digunakan untuk kepentingan sosial. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan imbal hasil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan sanksi (ta'zir) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dana Pensiun harus menjaga kondisi pendanaan agar berada dalam keadaan dana terpenuhi (fully funded). |
(2) | Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila aset yang diperhitungkan untuk mendanai seluruh Manfaat Pensiun tidak kurang dari kewajiban atas pembayaran seluruh Manfaat Pensiun kepada Peserta. |
(3) | Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti dinyatakan dalam keadaan dana terpenuhi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila iuran bulanan yang jatuh tempo telah disetorkan. |
(4) | Dalam hal Dana Pensiun Pemberi Kerja dalam keadaan dana tidak terpenuhi, Pemberi Kerja bertanggung jawab agar Dana Pensiun Pemberi Kerja baik secara langsung maupun bertahap mencapai keadaan dana terpenuhi. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan dana terpenuhi pada Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Peserta berhak atas Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, atau Pensiun Ditunda. |
(2) | Dalam hal Peserta meninggal dunia, baik pada saat sedang mendapatkan Manfaat Pensiun maupun masih aktif bekerja, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada Janda/Duda. |
(3) | Dalam hal Janda/Duda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak ada, meninggal dunia, atau kawin lagi, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada anak. |
(4) | Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada, Manfaat Pensiun dibayarkan kepada pihak yang telah ditunjuk oleh Peserta. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Manfaat Pensiun Normal, Manfaat Pensiun Disabilitas, Manfaat Pensiun Dipercepat, dan Pensiun Ditunda kepada Janda/Duda, anak, atau pihak yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Hak terhadap setiap Manfaat Pensiun yang dibayarkan oleh Dana Pensiun dilarang untuk digunakan sebagai jaminan pinjaman, dialihkan, dan/atau disita. |
(2) | Penyerahan, pembebanan, pengikatan, pembayaran Manfaat Pensiun sebelum jatuh tempo, atau tindakan menjaminkan Manfaat Pensiun yang diperoleh dari Dana Pensiun akibat dilakukannya larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan batal demi hukum. |
(3) | Pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta atau Pihak yang Berhak yang dilakukan oleh Dana Pensiun membebaskan Dana Pensiun dari tanggung jawab atas pembayaran Manfaat Pensiun dimaksud. |
(4) | Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti dihitung berdasarkan rumus yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(2) | Besarnya hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti merupakan himpunan:
|
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran hak atas Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Manfaat Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Manfaat Pensiun bagi Peserta Program Pensiun Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Peserta yang berhenti bekerja pada Usia Pensiun Normal atau setelahnya berhak atas Manfaat Pensiun Normal. |
(2) | Peserta yang berhenti bekerja paling cepat 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat. |
(3) | Peserta yang berhenti bekerja dan memiliki masa kepesertaan kurang dari 3 (tiga) tahun berhak atas himpunan iuran Peserta yang bersangkutan ditambah hasil pengembangannya. |
(4) | Nilai hasil pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti setiap tahunnya wajib paling sedikit sebesar imbal hasil deposito bank umum milik pemerintah dengan jangka waktu 1 (satu) tahun. |
(5) | Peserta yang mengikuti Program Pensiun Manfaat Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun, tetapi belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan jumlah yang dihitung berdasarkan rumus Manfaat Pensiun bagi kepesertaannya sampai pada saat berhenti bekerja. |
(6) | Peserta yang mengikuti Program Pensiun Iuran Pasti apabila berhenti bekerja setelah memiliki masa kepesertaan paling singkat 3 (tiga) tahun, tetapi belum berhak atas Manfaat Pensiun Dipercepat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berhak atas Pensiun Ditunda yang besarnya sama dengan iurannya sendiri dan iuran Pemberi Kerja beserta hasil pengembangannya. |
Dalam hal terdapat pengalihan dana awal Pemberi Kerja atau pengalihan dana dari Dana Pensiun lain kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (3) tidak berlaku dan hak Peserta diperhitungkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 157 ayat (2).
(1) | Peserta mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (4) huruf a dapat mengalihkan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) huruf c kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya atau Dana Pensiun Pemberi Kerja. |
(2) | Dalam hal Peserta berhak atas Pensiun Ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) dan ayat (6), hak atas Pensiun Ditunda dapat dibayarkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan/atau Dana Pensiun Pemberi Kerja yang bersangkutan atau dapat dialihkan kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lainnya dan/atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lainnya, dengan ketentuan yang bersangkutan masih hidup dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah berhenti bekerja. |
(3) | Pemberi Kerja yang menanggung sebagian atau seluruh iuran Program Pensiun bagi karyawannya dapat mengalihkan kepesertaan. karyawannya kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan lain atau Dana Pensiun Pemberi Kerja lain. |
(4) | Dalam hal Peserta turut menanggung sebagian iuran Program Pensiun, pengalihan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilakukan dengan terlebih dahulu memperhatikan pendapat dari Peserta. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan hak dan kepesertaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran apa pun, kecuali pembayaran yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(2) | Pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak harus dilakukan secara berkala. |
(1) | Dana Pensiun dilarang melakukan pembayaran Manfaat Pensiun kepada Peserta yang belum mencapai usia paling rendah 5 (lima) tahun sebelum Usia Pensiun Normal kecuali untuk:
|
(2) | Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, Manfaat Pensiun bagi Peserta atau bagi Janda/Duda harus dibayarkan secara berkala dengan nilai tetap atau meningkat yang pembayarannya dilakukan untuk seumur hidup. |
(3) | Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti, Manfaat Pensiun bagi anak dibayarkan secara berkala sampai dengan anak mencapai batas usia tertentu. |
(4) | Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti, Manfaat Pensiun bagi Peserta, Janda/Duda, atau anak dibayarkan secara berkala untuk periode tertentu. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembayaran Manfaat Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pembayaran Manfaat Pensiun secara berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (2) dapat dilakukan dengan cara:
|
(2) | Tata cara pembayaran Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dana Pensiun. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan terkait tata cara pembayaran Manfaat Pensiun dalam Peraturan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Manfaat Pensiun bagi Peserta atau Pihak yang Berhak dapat dibayarkan secara sekaligus dengan ketentuan:
|
(2) | Peraturan Dana Pensiun dapat memuat ketentuan yang mengatur pilihan pembayaran Manfaat Pensiun pertama kali secara sekaligus paling banyak 20% (dua puluh persen) dari Manfaat Pensiun. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembayaran Manfaat Pensiun secara sekaligus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Peserta tidak dapat mengundurkan diri atau menuntut haknya dari Dana Pensiun dalam hal masih memenuhi syarat kepesertaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Dana Pensiun.
(1) | Dana Pensiun wajib melakukan pencatatan tersendiri atas dana yang dikategorikan sebagai dana tidak aktif. |
(2) | Sampai dengan jangka waktu tertentu, dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialihkan kepada balai harta peninggalan. |
(3) | Dalam jangka waktu tertentu setelah dialihkan kepada balai harta peninggalan, dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dialihkan kepada Negara. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pencatatan tersendiri dana tidak aktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengalihan dana tidak aktif dan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 7
Aset Dana Pensiun dan Pengelolaannya
Pasal 167
(1) | Aset Dana Pensiun dihimpun dari:
|
(2) | Aset Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dikecualikan dari setiap tuntutan hukum atas aset Pendiri. |
(1) | Pengurus Dana Pensiun wajib melakukan pengelolaan aset Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan mengenai investasi yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Dengan persetujuan Pendiri dan Dewan Pengawas, pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihkan oleh Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja kepada lembaga keuangan yang memenuhi ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(3) | Bagi Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah, pengalihan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat persetujuan Dewan Pengawas Syariah. |
(4) | Dalam hal pengelolaan aset Dana Pensiun Pemberi Kerja dialihkan kepada lembaga keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pengurus Dana Pensiun Pemberi Kerja wajib bertanggung jawab atas kepatuhan lembaga keuangan terhadap ketentuan mengenai pengelolaan aset dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(5) | Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Dana Pensiun menyimpan dan/atau menatausahakan sebagian atau seluruh aset Dana Pensiun pada Bank Kustodian. |
(6) | Aset Dana Pensiun yang disimpan pada Bank Kustodian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) hanya dapat ditarik atau dialihkan atas perintah Pengurus. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dana Pensiun Pemberi Kerja dilarang mengembalikan asetnya kepada Pemberi Kerja. | ||||||||
(2) | Dana Pensiun dilarang:
|
||||||||
(3) | Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Dana Pensiun Lembaga Keuangan dilarang mengalihkan pengelolaan aset kepada pihak ketiga. | ||||||||
(4) | Dana Pensiun wajib menerapkan prinsip tata kelola Dana Pensiun yang baik dan manajemen risiko yang efektif dalam setiap kegiatan usahanya pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. | ||||||||
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) juga berlaku bagi lembaga keuangan yang mengelola aset Dana Pensiun Pemberi Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (2). | ||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengecualian atas larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Penyewaan atau jual beli tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya milik Dana Pensiun kepada pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b, hanya dapat dilakukan sepanjang menggunakan harga pasar wajar. |
(2) | Harga pasar wajar atas:
|
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi investasi Dana Pensiun pada instrumen keuangan yang tercatat atau diperdagangkan di Pasar Modal dan Pasar Uang, dengan memenuhi ketentuan perundang-undangan mengenai arahan investasi atau pengelolaan aset Dana Pensiun. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan harga pasar wajar dalam aktivitas penyewaan tanah, bangunan, atau harta tetap lainnya oleh Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pengecualian investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 8
Perlakuan/Insentif Perpajakan
Pasal 171
Penyelenggaraan Program Pensiun dan manfaat lain oleh Dana Pensiun dapat diberikan perlakuan/insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Paragraf 9
Pengaturan, Pengawasan, dan Pelaporan Dana Pensiun
Pasal 172
(1) | Pengaturan dan pengawasan atas Dana Pensiun dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyelenggaraan Program Pensiun, termasuk penyelenggaraan atas manfaat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (4), dan pengelolaan aset Dana Pensiun. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai cakupan pengaturan dan pengawasan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengaturan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. | ||||||||||||||||||||
(2) | Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
|
||||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf e dilakukan secara berkala dan/atau sewaktu-waktu. |
(2) | Setiap Pendiri, Mitra Pendiri, Pengurus, Dewan Pengawas, Dewan Pengawas Syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun, serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Setiap Orang yang pernah menjadi Pengurus, Dewan Pengawas, Dewan Pengawas Syariah, dan lembaga atau profesi penunjang Dana Pensiun, serta pihak lain terkait dengan kegiatan Dana Pensiun, wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan untuk melihat semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan Dana Pensiun yang diperlukan dalam rangka pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
Setiap Orang dilarang:
a. | membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan; |
b. | menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun; dan |
c. | mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun. |
(1) | Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf h diberikan dalam hal Otoritas Jasa Keuangan berkesimpulan bahwa Dana Pensiun:
|
(2) | Dana Pensiun dan/atau pihak tertentu wajib mematuhi perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang melakukan perjanjian dengan Dana Pensiun untuk membatalkan atau menolak perjanjian, menghindari kewajiban yang ditentukan di dalam perjanjian, atau melakukan hal yang dapat mengakibatkan kerugian bagi Dana Pensiun. |
(4) | Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berhak mendapatkan ganti kerugian dari Dana Pensiun dalam hal menderita kerugian yang disebabkan oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Dana Pensiun. |
(5) | Ketentuan ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak berlaku apabila pihak yang bersangkutan merupakan pihak terafiliasi atau pihak yang terkait dengan keadaan yang menyebabkan dikeluarkannya perintah tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Otoritas Jasa Keuangan dapat menonaktifkan anggota Pengurus, anggota Dewan Pengawas, dan/atau anggota Dewan Pengawas Syariah, dalam hal:
|
(2) | Pengelola statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf g mempunyai tugas:
|
(3) | Pada saat pengelola statuter mulai melakukan pengambilalihan kepengurusan Dana Pensiun:
|
(4) | Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif dilarang mengundurkan diri selama fungsi kepengurusan diambil alih oleh pengelola statuter. |
(5) | Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dapat memberhentikan pengelola statuter. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelola statuter serta hak dan kewajiban Pengurus, Dewan Pengawas dan/atau Dewan Pengawas Syariah nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pengelola statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun. |
(2) | Pengelola statuter sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi setiap perintah tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai pengendalian dan pengelolaan kegiatan usaha dari Dana Pensiun. |
(3) | Pengelola statuter mengambil alih pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun terhitung sejak tanggal penetapan sebagai pengelola statuter. |
(4) | Pengelola statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi Pengurus, Dewan Pengawas, dan/atau Dewan Pengawas Syariah dari Dana Pensiun. |
(5) | Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pengelola statuter juga memiliki kewenangan untuk membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat oleh Dana Pensiun dengan pihak ketiga, yang menurut pengelola statuter dapat merugikan kepentingan Dana Pensiun, Peserta, dan Pihak yang Berhak. |
(6) | Pengelola statuter bertanggung jawab atas kerugian Dana Pensiun dan/atau pihak ketiga jika kerugian disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun. |
(7) | Pengendalian dan pengelolaan Dana Pensiun oleh pengelola statuter berakhir apabila Otoritas Jasa Keuangan memutuskan:
|
(8) | Pengelola statuter wajib mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya dalam mengendalikan dan mengelola Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
Dalam menetapkan pengelola statuter, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (2) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan:
a. | mempertimbangkan ketersediaan tenaga individu yang akan ditunjuk sebagai pengelola statuter; |
b. | melakukan penunjukan pengelola statuter melalui uji kelayakan dan kepatutan; dan/atau |
c. | mempertimbangkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Dalam hal terjadi kerugian yang tidak disebabkan oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaan pengelola statuter untuk tidak mematuhi ketentuan perundang-undangan di bidang Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 ayat (6), Pendiri wajib bertanggung jawab atas hak keuangan Peserta.
(1) | Dana Pensiun wajib menyampaikan laporan berkala mengenai kegiatannya kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Dana Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Manfaat Pasti wajib memiliki laporan aktuaris dan menyampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun atau sewaktu waktu dalam hal dilakukan perubahan terhadap Peraturan Dana Pensiun yang mengakibatkan perubahan dalam pendanaan dan Manfaat Pensiun. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyampaian laporan berkala dan laporan aktuaris oleh Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dana Pensiun wajib mengumumkan kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha secara transparan kepada Peserta. |
(2) | Dana Pensiun wajib menyampaikan keterangan kepada Peserta mengenai hal yang timbul terkait kepesertaannya. |
(3) | Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) minimal memuat informasi mengenai jumlah dana yang telah terkumpul dan/atau proyeksi besaran manfaat yang akan diterima. |
(4) | Dana Pensiun wajib menyampaikan informasi setiap perubahan Peraturan Dana Pensiun secara transparan kepada Peserta. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengumuman kondisi keuangan dan perhitungan hasil usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyampaian keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan penyampaian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Pembubaran Dana Pensiun terjadi dalam hal:
|
||||||
(2) | Dalam rangka pembubaran Dana Pensiun, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan:
|
||||||
(3) | Dalam hal pembubaran Dana Pensiun terjadi karena kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Otoritas Jasa Keuangan menunjuk dan menetapkan likuidator. | ||||||
(4) | Pengurus, likuidator Pendiri, dan/atau pihak lain dapat ditunjuk sebagai likuidator. | ||||||
(5) | Dewan Pengawas tidak dapat ditunjuk sebagai likuidator. | ||||||
(6) | Biaya yang timbul dalam rangka pembubaran Dana Pensiun dibebankan pada Dana Pensiun, Pendiri, dan/atau Mitra Pendiri. | ||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembubaran Dana Pensiun dan penunjukan likuidator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Sebelum proses likuidasi Dana Pensiun selesai, Pemberi Kerja tetap bertanggung jawab atas iuran yang terutang sampai pada saat Dana Pensiun dibubarkan sesuai dengan ketentuan mengenai pendanaan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Dalam hal iuran yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dilunasi oleh Pemberi Kerja kepada Dana Pensiun sampai dengan jangka waktu tertentu, iuran yang terutang dimaksud dialihkan hak tagihnya dari hak tagih Dana Pensiun menjadi hak tagih Peserta kepada Pemberi Kerja. |
(3) | Pada saat proses likuidasi, Dana Pensiun dilarang mengembalikan aset Dana Pensiun kepada Pemberi Kerja. |
(4) | Setiap kelebihan kekayaan atas kewajiban pada saat pembubaran harus dipergunakan untuk meningkatkan Manfaat Pensiun bagi Peserta sampai jumlah maksimum yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(5) | Dalam hal masih terdapat kelebihan dana sesudah peningkatan manfaat sampai jumlah maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sisa dana tersebut harus dibagikan kepada Peserta dan Pihak yang Berhak atas Manfaat Pensiun. |
(6) | Dalam pembagian aset Dana Pensiun yang dilikuidasi, hak Peserta dan/atau Pihak yang Berhak mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lain kecuali dalam hal kewajiban kepada negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(7) | Pendiri dan/atau pemegang saham dari Pendiri wajib bertanggungjawab terhadap pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi Dana Pensiun yang dilaksanakan oleh likuidator. |
(8) | Dewan Pengawas wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penyelesaian proses likuidasi Dana Pensiun yang dilaksanakan oleh likuidator. |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai proses likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Likuidator wajib melaporkan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi Dana Pensiun kepada Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Likuidator wajib mengumumkan hasil penyelesaian likuidasi Dana Pensiun yang telah disetujui oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam Berita Negara Republik Indonesia. |
(3) | Status badan hukum Dana Pensiun berakhir terhitung sejak tanggal pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan pelaksanaan dan penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman hasil penyelesaian likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Paragraf 10
Asosiasi Dana Pensiun
Pasal 186
(1) | Setiap Dana Pensiun wajib menjadi anggota salah satu asosiasi Dana Pensiun yang sesuai dengan ruang lingkup usahanya. |
(2) | Asosiasi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Ketiga
Program Jaminan Hari Tua Sistem Jaminan Sosial Nasional
Pasal 187
Dalam rangka peningkatan perlindungan hari tua, serta pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan sistem jaminan sosial nasional, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
Bagian Keempat
Program Pensiun
Paragraf 1
Harmonisasi Program Pensiun
Pasal 189
(1) | Pemerintah mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum. |
(2) | Harmonisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pengaturan Program Pensiun yang bersifat wajib. |
(3) | Program Pensiun yang bersifat wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencakup program jaminan hari tua dan program jaminan pensiun yang merupakan bagian dari sistem jaminan sosial nasional. |
(4) | Selain program jaminan hari tua dan jaminan pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah dapat melaksanakan Program Pensiun tambahan yang bersifat wajib yang diselenggarakan secara kompetitif bagi pekerja dengan penghasilan tertentu dalam rangka mengharmonisasikan seluruh Program Pensiun sebagai upaya peningkatan perlindungan hari tua dan memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(5) | Dalam rangka harmonisasi Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan koordinasi antara kementerian/lembaga dan otoritas terkait. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi seluruh Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR. |
Paragraf 2
Pengelolaan Aset dan Liabilitas Program Pensiun
Pasal 190
(1) | Pengelola Program Pensiun merupakan profesional yang wajib memiliki kompetensi dan pengalaman yang memadai. |
(2) | Aset dan liabilitas Program Pensiun wajib dikelola dengan menerapkan prinsip tata kelola yang baik dengan minimal menerapkan prinsip transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, independensi, dan kewajaran. |
(3) | Pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bertujuan untuk memberikan manfaat yang optimal bagi pemangku kepentingan khususnya Peserta dan/atau Pihak yang Berhak memperoleh Manfaat Pensiun. |
(4) | Setiap keputusan dan tindakan terkait pengembangan aset yang dilakukan oleh pengelola Program Pensiun wajib didasarkan pada analisis pengembangan aset yang objektif, independen, dan rasional. |
(5) | Analisis pengembangan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib didokumentasikan dan tertuang dalam kertas kerja analisis yang memadai. |
(6) | Pengelola Program Pensiun yang menyelenggarakan Program Pensiun Iuran Pasti wajib memberikan penjelasan kepada Peserta dan/atau Pemberi Kerja mengenai pilihan alokasi aset secara lengkap dan transparan. |
(7) | Peserta dan/atau Pemberi Kerja berhak menentukan pilihan alokasi aset pada Program Pensiun Iuran Pasti sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(8) | Pengelola Program Pensiun wajib menyampaikan pengukuran kinerja atas pengelolaan aset Program Pensiun kepada Peserta dengan ketentuan minimal:
|
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bagi Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan aset dan liabilitas Program Pensiun bagi pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk memberikan kemungkinan imbal hasil yang lebih optimal dan mencegah kerugian yang lebih besar, anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara dapat melakukan cut loss atas aset yang dikelola dengan ketentuan:
|
(2) | Kerugian atas aset investasi yang dilakukan cut loss sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian negara atau kerugian lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Tindakan cut loss yang dilakukan oleh pengelola Program Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dipermasalahkan secara hukum. |
(4) | Dalam hal terdapat penurunan nilai aset yang dikelola, anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian dari penurunan nilai aset dimaksud dengan ketentuan:
|
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai cut loss dan penurunan nilai aset yang dikelola oleh pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Paragraf 3
Pembentukan Unit Aktuaria
Pasal 192
(1) | Otoritas Jasa Keuangan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan membentuk unit aktuaria yang mendukung tugas dan fungsi yang memerlukan analisis aktuaria paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) | Unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai fungsi untuk melakukan analisis aktuaria minimal mengenai:
|
(3) | Pembentukan unit aktuaria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada:
|
Bagian Kelima
Sanksi Administratif Terkait Dana Pensiun
Pasal 193
(1) | Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (6) huruf a dan huruf b, Pasal 139 ayat (6), Pasal 142 ayat (5), Pasal 143 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 144 ayat (3), ayat (5), dan ayat (7), Pasal 147 ayat (1), Pasal 149 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 150 ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 153 ayat (1), ayat (2), dan ayat (5), Pasal 158 ayat (4), Pasal 160 ayat (4), Pasal 166 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 169 ayat (1), ayat (21 huruf c dan huruf d, ayat (3), dan ayat (4), Pasal 174 ayat (21 dan ayat (3), Pasal 176 ayat (2), Pasal 177 ayat (3) huruf b dan ayat (4), Pasal 178 ayat (1), ayat (2), dan ayat (8), Pasal 180, Pasal 181 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 182 ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), Pasal 184 ayat (3), ayat (7), dan ayat (8), Pasal 185 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 186 ayat (1), serta Pasal 190 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (8). |
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf d, dan huruf f tidak berlaku terhadap pelanggaran ketentuan Pasal 190 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (8) oleh penyelenggara Program Pensiun selain Dana Pensiun Pemberi Kerja dan Dana Pensiun Lembaga Keuangan. |
(4) | Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menilai kondisi Dana Pensiun membahayakan kepentingan Peserta dan/atau Pihak yang Berhak, Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi pembubaran Dana Pensiun tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain. |
(5) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk sanksi administratif, besaran denda administratif, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keenam
Ketentuan Pidana Terkait Dana Pensiun
Pasal 194
Setiap Orang yang menjalankan Program Pensiun, tidak memperoleh pengesahan sebagai Dana Pensiun dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). Pasal 195 Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja melakukan pembayaran selain yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja melakukan pembayaran selain yang ditetapkan dalam Peraturan Dana Pensiun dan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 161 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rpl00.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja meminjamkan atau mengagunkan aset Dana Pensiun kepada pihak manapun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Anggota Dewan Pengawas, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota Pengurus, dan pegawai Dana Pensiun yang dengan sengaja menginvestasikan aset Dana Pensiun baik secara langsung maupun tidak langsung, pada surat berharga yang diterbitkan, atau pada tanah dan/atau bangunan yang dimiliki atau yang dipergunakan oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (2) huruf b dan dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 170 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
Setiap Orang yang dengan sengaja:
a. | membuat atau menyebabkan adanya laporan, informasi, data atau dokumen Dana Pensiun yang tidak benar, palsu, atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf a; |
b. | menghilangkan, tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf b; dan/atau |
c. | mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus atau menghilangkan suatu informasi atau data dalam buku catatan, laporan, atau dokumen Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 huruf c, |
Dalam hal anggota direksi atau yang setara pada pengelola Program Pensiun yang terkait dengan keuangan negara melakukan cut loss tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan/atau menyebabkan penurunan nilai aset tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (4) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1) | Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 dan Pasal 199 dilakukan oleh badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
(2) | Terhadap badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, asosiasi, atau kelompok terorganisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah). |
(3) | Terhadap orang perseorangan yang memberi perintah untuk melakukan dan/atau yang bertindak sebagai pemimpin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). |
BAB XIII
KOPERASI DI SEKTOR JASA KEUANGAN
Pasal 201
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi, Undang-Undang ini mengubah dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).
Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44B
(1) | Koperasi dapat melaksanakan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Koperasi yang melaksanakan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memenuhi kriteria sebagai berikut:
|
(3) | Perizinan, pengaturan, dan pengawasan Koperasi yang berkegiatan di dalam sektor jasa keuangan dilaksanakan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan Undang-Undang. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, pengaturan, dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
BAB XIV
LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Pasal 203
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan lembaga keuangan mikro, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394) diubah sebagai berikut:
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8 LKM dilarang dimiliki selain oleh:
|
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||
7. | Judul Bab X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB X |
||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 30A, Pasal 30B, dan Pasal 30C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30A
Pasal 30B
Pasal 30C Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi LKM dilarang memberikan laporan, informasi, data, dan dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan. |
||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31 Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dan ayat (3) termasuk kegiatan pemeriksaan. |
||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 38A dan Pasal 38B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38A
Pasal 38B Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, penjatuhan pidana terhadap badan hukum dimaksud dilakukan baik terhadap pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan maupun pihak yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya. |
BAB XV
KONGLOMERASI KEUANGAN
Pasal 205
(1) | Otoritas Jasa Keuangan menetapkan LJK yang signifikan dan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian sebagai Konglomerasi Keuangan. |
(2) | Selain dengan mempertimbangkan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan LJK sebagai 1 (satu) Konglomerasi Keuangan tersendiri dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan. |
(3) | Dalam hal perusahaan induk dari suatu konglomerasi bukan merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa keuangan, tetapi memiliki anak perusahaan yang merupakan LJK, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan LJK yang signifikan berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok dimaksud sebagai Konglomerasi Keuangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Konglomerasi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Setiap Orang yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan wajib membentuk PIKK. |
(2) | PIKK dimiliki oleh PSP/PSPT Konglomerasi Keuangan. |
(3) | Pihak yang mengendalikan Konglomerasi Keuangan dapat menunjuk perusahaan yang bertindak sebagai PIKK dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan. |
(4) | PIKK bertanggung jawab untuk seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan. |
(5) | PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikecualikan untuk Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu. |
(6) | PIKK diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Konglomerasi Keuangan dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Kegiatan usaha PIKK meliputi:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha PIKK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam melaksanakan kegiatan usaha, PIKK wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian. |
(2) | Ketentuan mengenai prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Direksi dan dewan komisaris PIKK wajib memenuhi persyaratan kemampuan dan kepatutan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan kemampuan dan kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang untuk meminta data dan informasi termasuk melakukan pemeriksaan terhadap pihak terelasi dalam Konglomerasi Keuangan dan/atau pihak lain yang terkait dengan Konglomerasi Keuangan. |
(2) | Pihak terelasi dan/atau pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi permintaan data dan informasi serta hal lain yang diperlukan Otoritas Jasa Keuangan. |
Pembentukan PIKK, termasuk juga proses pengalihan aset dalam pembentukan PIKK, dapat diberikan fasilitas perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.
Dalam rangka pelaksanaan tugas dan/atau wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 205 sampai dengan Pasal 211, Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Bank Indonesia dan/atau kementerian/lembaga terkait.
BAB XVI
INOVASI TEKNOLOGI SEKTOR KEUANGAN
Pasal 213
Ruang lingkup ITSK meliputi:
a. | sistem pembayaran; |
b. | penyelesaian transaksi surat berharga; |
c. | penghimpunan modal; |
d. | pengelolaan investasi; |
e. | pengelolaan risiko; |
f. | penghimpunan dan/atau penyaluran dana; |
g. | pendukung pasar; |
h. | aktivitas terkait aset keuangan digital, termasuk aset kripto; dan |
i. | aktivitas jasa keuangan digital lainnya. |
(1) | ITSK dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan ekonomi dan keuangan termasuk yang dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah. |
(2) | Kegiatan ekonomi dan keuangan yang menggunakan ITSK berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengikuti Prinsip Syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. |
(1) | Pihak yang menyelenggarakan ITSK terdiri atas:
|
(2) | Penyelenggara ITSK berbentuk:
|
(3) | Penyelenggara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menerapkan prinsip:
|
(1) | Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangan masing-masing. |
(2) | Pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan prinsip:
|
(3) | Ruang lingkup pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
(1) | Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan penyelenggaraan ITSK. |
(2) | Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
(3) | Dalam rangka pengaturan, pengawasan, dan pengembangan ITSK, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dapat berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, dan pihak lain. |
(4) | Mekanisme dan tata cara penyelenggaraan ruang uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Penyelenggara ITSK wajib memenuhi ketentuan perizinan yang diatur oleh Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(1) | Otoritas berwenang melakukan evaluasi dan/atau tindak lanjut hasil uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) terhadap penyelenggara ITSK. |
(2) | Terhadap suatu produk, aktivitas, layanan, atau model bisnis dari penyelenggara ITSK yang telah lulus proses uji coba/pengembangan inovasi (sandbox) dan mendapatkan perizinan dari otoritas sektor keuangan terkait, pengaturan, pengawasan, dan pengenaan sanksi tunduk pada ketentuan industri yang bersangkutan. |
(1) | Setiap penyelenggara ITSK wajib memenuhi ketentuan kepesertaan dalam asosiasi penyelenggara ITSK yang disetujui dan diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) | Dalam menjalankan pengaturan bagi anggotanya, asosiasi penyelenggara ITSK harus mengacu pada ketentuan yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(3) | Asosiasi penyelenggara ITSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melakukan pembinaan dan pemantauan terhadap setiap penyelenggara ITSK yang terdaftar sebagai anggota asosiasi sejalan dengan fungsi dan tugas yang diamanatkan oleh otoritas sektor keuangan. |
(4) | Pengaturan terkait koordinasi antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan dengan asosiasi penyelenggara ITSK diatur oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Penyelenggara ITSK wajib menyampaikan data, informasi, dan/atau laporan berkala atau sewaktu-waktu kepada Bank Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan fungsi dan/atau kewenangan masing-masing. |
(2) | Terhadap data, informasi, dan/atau laporan berkala atau sewaktu-waktu yang diterima, Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemrosesan, pertukaran, dan diseminasi, melalui sistem informasi digital dan/atau mekanisme lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data, informasi, dan/atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
BAB XVII
PENERAPAN KEUANGAN BERKELANJUTAN
Bagian Kesatu
Penerapan Keuangan Berkelanjutan bagi Pelaku Usaha Sektor Keuangan,
Emiten, dan Perusahaan Publik
Pasal 222
(1) | PUSK, emiten, dan perusahaan publik menerapkan Keuangan Berkelanjutan dalam kegiatan usahanya. |
(2) | PUSK, emiten, dan perusahaan publik dalam rangka menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan:
|
(3) | PUSK, emiten, dan perusahaan publik harus membangun kapasitas dalam rangka menerapkan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(4) | PUSK, emiten, dan perusahaan publik menyusun laporan keberlanjutan sebagai bagian dari akuntabilitas kinerja penerapan Keuangan Berkelanjutan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur oleh otoritas sektor keuangan dan Menteri sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Bagian Kedua
Kebijakan, Dukungan, dan Mekanisme Koordinasi
Pengembangan Keuangan Berkelanjutan
Pasal 223
(1) | Dalam rangka pengembangan Keuangan Berkelanjutan, Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia melakukan:
|
(2) | Ketentuan mengenai taksonomi berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk mendukung pengembangan Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 223 ayat (1), Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia membentuk komite Keuangan Berkelanjutan. |
(2) | Menteri bertindak sebagai koordinator dalam komite Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai komite Keuangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
BAB XVIII
LITERASI KEUANGAN, INKLUSI KEUANGAN, DAN PELINDUNGAN KONSUMEN
Bagian Kesatu
Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan
Pasal 225
(1) | Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi untuk meningkatkan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi inklusif. |
(2) | Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan bersinergi melakukan penyusunan strategi, serta pemantauan dan evaluasi pelaksanaan strategi Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan yang berkelanjutan. |
(1) | PUSK wajib melaksanakan kegiatan dalam rangka meningkatkan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan kepada Konsumen dan masyarakat. |
(2) | Dalam rangka peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan, Pemerintah membentuk komite nasional yang mengoordinasikan peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan dalam rangka peningkatan Literasi Keuangan dan Inklusi Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan serta komite nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Kedua
Prinsip dan Tujuan Pelindungan Konsumen
Pasal 227
PUSK dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip Pelindungan Konsumen.
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan menerapkan prinsip:
a. | edukasi yang memadai; |
b. | keterbukaan dan transparansi informasi produk dan/atau layanan; |
c. | perlakuan yang adil dan perilaku bisnis yang bertanggung jawab; |
d. | pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen; |
e. | penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien; |
f. | penegakan kepatuhan; dan |
g. | persaingan yang sehat. |
Pelindungan Konsumen di sektor keuangan diselenggarakan dengan tujuan:
a. | menciptakan ekosistem Pelindungan Konsumen yang mewujudkan kepastian hukum serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang efektif dan efisien; |
b. | menumbuhkan kesadaran PUSK mengenai perilaku bisnis yang bertanggung jawab, perlakuan yang adil; memberikan pelindungan aset, privasi, dan data Konsumen; serta meningkatkan kualitas produk dan/atau layanan PUSK; dan |
c. | meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian Konsumen mengenai produk dan/atau layanan PUSK serta meningkatkan pemberdayaan Konsumen. |
Bagian Ketiga
Cakupan Pelindungan Konsumen di Sektor Keuangan
Pasal 230
PUSK merupakan pihak yang menyelenggarakan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan yang menyelenggarakan usaha baik di luar jaringan maupun dalam jaringan.
Objek dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan meliputi perilaku PUSK dalam:
a. | melakukan perancangan, menyusun dan menyampaikan informasi, dan melakukan penawaran atas produk dan/atau layanan di sektor keuangan; |
b. | membuat perjanjian dan memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan di sektor keuangan; dan |
c. | melakukan penanganan pengaduan. |
Ruang lingkup pengaturan Pelindungan Konsumen sektor keuangan meliputi:
a. | wewenang pengaturan dan pengawasan dalam rangka Pelindungan Konsumen di sektor keuangan; |
b. | hak dan kewajiban Konsumen serta hak, kewajiban, dan larangan bagi PUSK; |
c. | ketentuan Perjanjian Baku; |
d. | pelindungan data Konsumen; |
e. | Literasi Keuangan; |
f. | pembinaan dan pengawasan; |
g. | penanganan pengaduan; |
h. | penyelesaian sengketa sektor keuangan; |
i. | LAPS-SK; |
j. | sanksi administratif; dan |
k. | ketentuan pidana. |
Bagian Keempat
Wewenang Pengaturan dan Pengawasan dalam rangka Pelindungan Konsumen
di Sektor Keuangan
Pasal 233
(1) | Otoritas sektor keuangan berwenang melakukan pengaturan dalam rangka Pelindungan Konsumen dan masyarakat di sektor keuangan. |
(2) | Otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang mengatur mengenai:
|
(3) | Pelindungan Konsumen di sektor keuangan tunduk pada Undang-Undang ini. |
(1) | Otoritas sektor keuangan melakukan Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) untuk memastikan kepatuhan PUSK dalam menerapkan ketentuan Pelindungan Konsumen dan masyarakat secara langsung dan/atau tidak langsung sesuai dengan fungsi, tugas, dan wewenang otoritas sektor keuangan yang diberikan berdasarkan Undang-Undang. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Bagian Kelima
Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Sektor Keuangan
Pasal 235
(1) | Dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan, Konsumen memiliki hak dan kewajiban. |
(2) | Hak Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Kewajiban Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai hak dan kewajiban Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Dalam penyelenggaraan Pelindungan Konsumen di sektor keuangan, PUSK memiliki hak, kewajiban, dan larangan yang harus dipatuhi. |
(2) | Hak PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(3) | Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(4) | PUSK dilarang:
|
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai hak, kewajiban, dan larangan PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Setiap Orang dilarang melakukan:
a. | penghimpunan dana dari masyarakat dan/atau untuk disalurkan kepada masyarakat; |
b. | penerbitan surat berharga yang ditawarkan kepada masyarakat; |
c. | penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran; dan |
d. | kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan penghimpunan dana, penyaluran dana, pengelolaan dana, keperantaraan di sektor keuangan, dan penyediaan produk atau jasa sistem pembayaran, |
Bagian Keenam
Ketentuan Perjanjian Baku
Pasal 238
(1) | PUSK memenuhi keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan Konsumen. |
(2) | Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk perjanjian tertulis. |
(3) | Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk Perjanjian Baku yang memuat klausul baku, kecuali yang dilarang berdasarkan Undang-Undang ini. |
(4) | PUSK dilarang membuat dan menggunakan Perjanjian Baku yang memuat klausul baku yang berisi:
|
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Perjanjian Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Bagian Ketujuh
Pelindungan Data Konsumen
Pasal 239
(1) | PUSK wajib menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen. |
(2) | Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menerapkan prinsip dasar pemrosesan pelindungan data pribadi sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi. |
(3) | Dalam hal PUSK bekerja sama dengan pihak lain untuk mengelola data dan/atau informasi Konsumen, PUSK wajib memastikan pihak lain tersebut menjaga kerahasiaan dan keamanan data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Dalam penggunaan data dan/atau informasi Konsumen, PUSK dapat melakukan pertukaran data dan/atau informasi Konsumen dengan pihak lain dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi dan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan. |
(2) | Pertukaran data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan langsung oleh PUSK dan/atau melalui infrastruktur pengelolaan data secara terintegrasi yang difasilitasi oleh otoritas sektor keuangan. |
(3) | Pertukaran data dan/atau informasi Konsumen di sektor keuangan dapat dilakukan dalam hal:
|
(1) | PUSK dapat melakukan transfer data dan/atau informasi Konsumen kepada pihak lain di luar wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi dan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan. |
(2) | Penyelenggaraan transfer data dan/atau informasi Konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pelindungan data pribadi. |
Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya, PUSK wajib memastikan keamanan sistem informasi dan ketahanan siber sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai keamanan sistem informasi dan ketahanan siber, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang ditetapkan oleh otoritas sektor keuangan.
Pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan melakukan koordinasi dalam rangka Pelindungan Konsumen di sektor keuangan.
(1) | Dalam rangka Pelindungan Konsumen, otoritas sektor keuangan berwenang memberikan perintah atau melakukan tindakan tertentu kepada PUSK. |
(2) | Ketentuan mengenai pelaksanaan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan otoritas sektor keuangan. |
(1) | PUSK wajib memiliki dan melaksanakan mekanisme penanganan pengaduan yang disampaikan oleh Konsumen. |
(2) | Dalam hal tidak terdapat kesepakatan terhadap hasil penanganan pengaduan yang dilakukan oleh PUSK sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Konsumen dapat:
|
(3) | Dalam melakukan kegiatan Pelindungan Konsumen, otoritas sektor keuangan melakukan penanganan pengaduan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(4) | Dalam hal terdapat gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum, pembuktian ada tidaknya unsur kesalahan merupakan tanggung jawab PUSK. |
(5) | Otoritas sektor keuangan dapat mewajibkan PUSK untuk menjadi anggota badan atau lembaga penyelesaian sengketa. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | LAPS-SK wajib mendapat persetujuan dari otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan dan syarat-syarat LAPS-SK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Untuk melindungi kepentingan masyarakat, Otoritas Jasa Keuangan bersama otoritas/kementerian/lembaga terkait membentuk satuan tugas untuk penanganan kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan. |
(2) | Satuan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas mencegah dan menangani kegiatan usaha tanpa izin di sektor keuangan. |
(3) | Pembentukan satuan tugas serta kelembagaan dan tata kelola satuan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan bersama dengan otoritas/kementerian/lembaga anggota satuan tugas. |
(4) | Tindak lanjut pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan oleh otoritas/kementerian/lembaga terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Peraturan perundang-undangan mengenai Pelindungan Konsumen di sektor keuangan bersifat khusus terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pelindungan Konsumen di luar sektor keuangan.
BAB XIX
AKSES PEMBIAYAAN USAHA MIKRO, KECIL, DAN MENENGAH
Pasal 249
(1) | Dalam rangka meningkatkan ketahanan ekonomi nasional melalui pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, perlu dilakukan kemudahan akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) | Kemudahan akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh seluruh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank dengan menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing setelah dikonsultasikan dengan DPR. |
(1) | Dalam hal terjadi piutang macet, perlu adanya kepastian hukum dalam rangka penanganan piutang macet pada Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(2) | Piutang macet pada Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penghapusbukuan dan penghapustagihan untuk mendukung kelancaran pemberian akses pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
(3) | Penghapusbukuan piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara dengan ketentuan sebagai berikut:
|
(1) | Kerugian yang dialami oleh Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara dalam melaksanakan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang merupakan kerugian Bank dan/atau lembaga keuangan non-Bank badan usaha milik negara yang bersangkutan. |
(2) | Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan kerugian keuangan negara sepanjang dapat dibuktikan tindakan dilakukan berdasarkan iktikad baik, ketentuan peraturan perundang-undangan, anggaran dasar, dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. |
(3) | Direksi dalam melakukan penghapusbukuan dan/atau penghapustagihan piutang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian yang terjadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
BAB XX
SUMBER DAYA MANUSIA
Bagian Kesatu
Penguatan Kualitas Sumber Daya Manusia pada Sektor Keuangan
Pasal 252
(1) | PUSK bertanggung jawab melakukan pengembangan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia. |
(2) | Peningkatan kompetensi dan keahlian sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia secara berkesinambungan. |
(3) | Untuk mendukung penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia, PUSK wajib menyediakan dana pendidikan dan pelatihan dari anggaran tahun berjalan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyediaan dana pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
(1) | PUSK harus menerapkan standar kompetensi. |
(2) | Standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengacu pada standar kompetensi yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang yang telah mendapatkan persetujuan atau pengakuan dari otoritas sektor keuangan terkait. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai standar kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur oleh otoritas sektor keuangan. |
Bagian Kedua
Profesi Sektor Keuangan
Paragraf 1
Pengelolaan Profesi Sektor Keuangan
Pasal 254
Profesi Sektor Keuangan terdiri atas:
a. | Profesi Penunjang Sektor Keuangan; dan |
b. | Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan. |
Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang profesional.
(1) | Setiap Profesi Sektor Keuangan harus memiliki Asosiasi Profesi. |
(2) | Setiap Pelaku Profesi Sektor Keuangan harus menjadi anggota Asosiasi Profesi. |
(1) | Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256 harus mendapat pengakuan dari kementerian atau otoritas terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Asosiasi Profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
|
Setiap Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib menaati kode etik yang ditetapkan oleh Asosiasi Profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
Paragraf 2
Profesi Penunjang Sektor Keuangan
Pasal 259
(1) | Profesi Penunjang Sektor Keuangan terdiri atas:
|
||||||||
(2) | Dalam melakukan kegiatan usaha di industri sektor keuangan, Profesi Penunjang Sektor Keuangan wajib memberikan jasa yang independen. | ||||||||
(3) | Pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh:
|
||||||||
(4) | Kementerian, lembaga, atau otoritas lain dapat melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Profesi Penunjang Sektor Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan berkoordinasi dengan kementerian, lembaga, atau otoritas sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||
(5) | Untuk dapat menyediakan jasa bagi industri sektor keuangan, Profesi Penunjang Sektor Keuangan wajib:
|
||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pembinaan dan pengawasan Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a diatur dalam peraturan menteri, lembaga, atau otoritas terkait. | ||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pendaftaran Profesi Penunjang Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Paragraf 3
Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan
Pasal 260
(1) | Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan terdiri atas:
|
(2) | Pembinaan dan pengawasan Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan dilakukan oleh otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
(3) | Untuk dapat menyediakan Jasa bagi industri sektor keuangan, Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh izin dan/atau terdaftar di:
|
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan dan/atau pendaftaran Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
Paragraf 4
Sertifikasi Profesi Sektor Keuangan
Pasal 261
(1) | Pelaku Profesi Sektor Keuangan wajib memiliki sertifikat profesi sesuai bidang pekerjaan masing-masing. |
(2) | Sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh:
|
(3) | Untuk dapat menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Sertifikasi Profesi wajib mendapatkan lisensi terlebih dahulu dari badan atau lembaga yang diberikan kewenangan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Untuk mendapatkan lisensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga Sertifikasi Profesi minimal harus mendapatkan rekomendasi terlebih dahulu dari kementerian, lembaga, atau otoritas pada sektor keuangan terkait bidang pekerjaan masing-masing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Kementerian, lembaga, atau otoritas sektor keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat mengadministrasikan Lembaga Sertifikasi Profesi dan/atau Asosiasi Profesi yang menerbitkan sertifikat profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing. |
Dalam hal PUSK menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan, PUSK wajib menggunakan jasa Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang telah memperoleh izin dan/atau persetujuan pendaftaran dari kementerian atau otoritas yang berwenang.
Paragraf 5
Peningkatan Kualitas dan Kuantitas Profesi Sektor Keuangan Dalam Negeri
Pasal 263
Pemerintah dan/atau otoritas sektor keuangan mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas Profesi Sektor Keuangan dalam negeri guna menciptakan industri sektor keuangan yang kredibel.
Pemerintah dan/atau otoritas sektor keuangan dapat bekerja sama dengan Asosiasi Profesi, Lembaga Sertifikasi Profesi, lembaga pendidikan tinggi, dan/atau lembaga pendidikan lainnya yang setara untuk mendorong pendidikan dan pelatihan Profesi Sektor Keuangan.
Paragraf 6
Pemantauan dan Evaluasi Penguatan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Sektor Keuangan
Pasal 265
(1) | Dalam rangka pengembangan dan penguatan sumber daya manusia sektor keuangan, disusun peta jalan. |
(2) | Peta jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai bahan pemantauan dan evaluasi kebijakan sumber daya manusia sektor keuangan. |
(3) | Ketentuan mengenai penetapan peta jalan dan tata cara pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Bagian Ketiga
Penerapan Tata Kelola yang Baik pada Sektor Keuangan
Pasal 266
(1) | PUSK wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik yang minimal mencakup:
|
(2) | Selain penerapan prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1), PUSK harus mengikuti perkembangan dinamika industri dalam rangka penerapan tata kelola yang baik. |
PUSK wajib menerapkan manajemen risiko yang efektif.
PUSK wajib menyampaikan laporan pelaksanaan tata kelola yang baik dan penerapan manajemen risiko secara berkala kepada otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266, penerapan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 267, dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268 diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing.
(1) | Dalam rangka memastikan agar industri sektor keuangan dijalankan secara profesional, efektif, efisien, dan berkinerja optimal, otoritas sektor keuangan melakukan pemantauan dan evaluasi atas penerapan tata kelola yang baik. |
(2) | Pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemantauan dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Bagian Keempat
Pelaporan Keuangan
Pasal 271
(1) | PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan harus menyampaikan laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disusun berdasarkan standar laporan keuangan. |
(3) | Standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh komite standar laporan keuangan yang independen dengan tata kelola yang baik. |
(4) | Dengan tetap memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan dapat melengkapi pengaturan ketentuan akuntansi dalam rangka keterbukaan dan pelindungan investor publik. |
(5) | Komite standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang menyusun dan menetapkan standar laporan keuangan. |
(6) | Komite standar laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. |
(7) | Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diaudit oleh akuntan publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka penyampaian laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1), Pemerintah dapat membentuk atau menunjuk platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window). |
(2) | Penyampaian laporan keuangan melalui platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewenangan kementerian, lembaga, atau otoritas terkait untuk meminta laporan keuangan secara langsung kepada entitas pelapor sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan bertanggung jawab atas laporan keuangan yang disampaikan, termasuk yang disampaikan melalui platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window). |
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban penyusunan dan penyampaian laporan keuangan, standar laporan keuangan, dan komite standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 dan platform bersama pelaporan keuangan (financial reporting single window) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB XXI
STABILITAS SISTEM KEUANGAN
Pasal 274
Ruang lingkup pengaturan Stabilitas Sistem Keuangan dalam bab ini meliputi:
a. | koordinasi kebijakan makroprudensial, mikroprudensial, dan penanganan permasalahan Bank; |
b. | pengawasan Bank dan tindak lanjut; dan |
c. | penanganan permasalahan Bank. |
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan Stabilitas Sistem Keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872).
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
1. | Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 dalam Bagian Kesatu Bab III disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 15A dan Pasal 158B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15A
Pasal 15B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Bagian Kesatu dan Bagian Kedua Bab III disisipkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Kedua sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kedua |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 5 (lima) pasal, yakni Pasal 16A, Pasal 16B, Pasal 16C, Pasal 16D, dan Pasal 16E sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A
Pasal 16B
Pasal 16C
Pasal 16D Pengelola statuter yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan, dalam hal Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya atau Bank dalam penyehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16B, berwenang untuk:
Pasal 16E
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Bagian Kedua Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Ketiga |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18 Bank Sistemik wajib memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 18 dan Pasal 19 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 18C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18A
Pasal 18B
Pasal 18C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Bagian Ketiga Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Keempat |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Di antara Bagian Keempat dan Bagian Kelima disisipkan 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 1 sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1 |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Di antara Bagian Keempat dan Bagian Kelima disisipkan 1 (satu) paragraf, yakni Paragraf 2 dan disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 20B, Pasal 20C, dan Pasal 20D sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 2
Pasal 20C
Pasal 20D
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Bagian Keempat Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kelima |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A Ketentuan mengenai perpajakan penanganan permasalahan solvabilitas Bank Sistemik diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 dalam Bagian Kelima Bab III, disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 29A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29A Ketentuan mengenai:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Bagian Kelima Bab III diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Keenam |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30 Ketentuan mengenai:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Di antara Bab III dan Bab IV disisipkan 1 (satu) Bab, yakni Bab IIIA, sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IIIA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 31A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A
Pasal 36B
Pasal 36C
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 42A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42A Ketentuan mengenai perlakuan perpajakan dalam penyelenggaraan Program Restrukturisasi Perbankan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Di antara Bab IV dan Bab V disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IVA sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB IVA |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 46A dan Pasal 46B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46A
Pasal 46B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A Bank, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi yang melanggar ketentuan larangan penggunaan penempatan dana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20D ayat (1) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
BAB XXII
LEMBAGA PEMBIAYAAN EKSPOR INDONESIA
Pasal 277
Dalam rangka menunjang kebijakan Pemerintah untuk mendorong program ekspor nasional, Undang-Undang ini mengubah dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957).
Ketentuan Pasal 16 dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Repuik Indonesia Nomor 4957) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) | Dalam melakukan kegiatannya, LPEI turut serta dalam sistem pembayaran nasional dan internasional. |
(2) | LPEI dapat menerima devisa hasil ekspor atas transaksi ekspor debitur LPEI dan masuk ke dalam sistem keuangan Indonesia. |
(3) | Devisa hasil ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditampung dalam rekening debitur di LPEI. |
(4) | Kegiatan penerimaan devisa hasil ekspor oleh LPEI tidak dimaksudkan untuk penghimpunan dana. |
BAB XXIII
SANKSI ADMINISTRATIF
Bagian Kesatu
Sanksi Administratif Terkait Asuransi Usaha Bersama
Pasal 279
(1) | Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. | ||||||||||||||
(2) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 55 ayat (6), ayat (8), dan ayat (9), Pasal 56 ayat (5) dan ayat (6), Pasal 58 ayat (3), Pasal 60 ayat (9), Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 65 ayat (5), Pasal 67 ayat (2), Pasal 70 ayat (4), Pasal 71 ayat (1), Pasal 75 ayat (2), Pasal 76 ayat (1), Pasal 77 ayat (4) dan ayat (10), Pasal 78 ayat (3), dan Pasal 317 ayat (9) dan ayat (11) dikenai sanksi administratif. | ||||||||||||||
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
||||||||||||||
(4) | Ketentuan mengenai prosedur dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian. |
Bagian Kedua
Sanksi Administratif Terkait Program Penjaminan Polis
Pasal 280
(1) | Lembaga Penjamin Simpanan berwenang mengenakan sanksi administratif berupa denda administratif kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dan huruf d. |
(2) | Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib memenuhi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas bulan). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan. |
Lembaga Penjamin Simpanan menyampaikan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan Pasal 280.
Bagian Ketiga
Sanksi Administratif Terkait Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 282
(1) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, Pasal 111 ayat (1), Pasal 112 ayat (2) huruf a, Pasal 116 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 117, Pasal 121 ayat (1), Pasal 122 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 123 ayat (1), Pasal 126 ayat (1), Pasal 127 ayat (2) dan ayat (3), dan Pasal 128 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Keempat
Sanksi Administratif Terkait Konglomerasi Keuangan
Pasal 283
(1) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (1), Pasal 208 ayat (1), Pasal 209 ayat (1), dan Pasal 210 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. |
Bagian Kelima
Sanksi Administratif Terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
Pasal 284
(1) | Penyelenggara ITSK yang:
|
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(3) | Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, kriteria, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas sektor keuangan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
Bagian Keenam
Sanksi Administratif Terkait Pelindungan Konsumen
Pasal 285
(1) | Otoritas sektor keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada PUSK yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(2) | PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 ayat (1), Pasal 227, Pasal 236 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf j, huruf k, huruf n, atau huruf o, atau ayat (4) huruf c atau huruf g, Pasal 239 ayat (1), Pasal 242, atau Pasal 246 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(3) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan dan batas pemenuhan dalam jangka waktu tertentu. |
(4) | Dalam hal sanksi administratif untuk pelanggaran Pasal 236 ayat (3) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, huruf j, huruf k, huruf n, atau huruf o, atau ayat (4) huruf c atau huruf g tidak dipenuhi, PUSK dapat dikenakan sanksi pidana. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan dan batas pemenuhan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan tugas dan kewenangan masing-masing. |
Bagian Ketujuh
Sanksi Administratif Terkait Sumber Daya Manusia
Pasal 286
PUSK, Pelaku Profesi Sektor Keuangan, Asosiasi Profesi, dan/atau Lembaga Sertifikasi Profesi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 252 ayat (3), Pasal 255, Pasal 258, Pasal 259 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 260 ayat (3), Pasal 261 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 262, Pasal 266, Pasal 267, Pasal 268, serta Pasal 271 ayat (2) dan ayat (7) dikenai sanksi administratif oleh menteri, lembaga, atau otoritas terkait sesuai dengan kewenangan masing-masing.
BAB XXIV
KETENTUAN PIDANA
Bagian Kesatu
Ketentuan Pidana Terkait Pasar Uang dan Kegiatan Usaha
Penukaran Valuta Asing
Pasal 287
(1) | Setiap Orang yang menerbitkan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) untuk diperdagangkan di pasar sekunder tanpa izin dari Bank Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
(2) | Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, penjatuhan pidana terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak sebagai pengurus dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya. |
(1) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing tanpa win dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
(2) | Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, penjatuhan pidana terhadap badan dilakukan baik kepada yang memberi perintah melakukan perbuatan itu maupun kepada yang bertindak sebagai pimpinan dalam perbuatan itu atau terhadap keduanya. |
Bagian Kedua
Ketentuan Pidana Terkait Kegiatan Badan Pengelola Instrumen Keuangan
(Special Purpose Vehicle) dan/atau Pengelola Dana Perwalian (Trustee)
Pasal 289
Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pegawai/pejabat dari pengelola dana perwalian (trustee), dan pihak yang bertindak untuk dan atas nama pengelola dana perwalian (trustee) yang tidak menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling banyak 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja:
a. | melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3); dan/atau |
b. | tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), |
Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(1) | Tindak pidana yang dilakukan oleh badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, tuntutan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
|
(2) | Terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagai badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000.000,00 (sepuluh triliun rupiah). |
Bagian Ketiga
Ketentuan Pidana Terkait Program Penjaminan Polis
Pasal 294
(1) | Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham, atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali atau pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau huruf f, a tau Pasal 280 ayat (2) dan/atau menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
(2) | Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali atau pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang menyebabkan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf c dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
Anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham, atau yang setara dengan anggota direksi, anggota dewan komisaris, dan/atau pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau Usaha Bersama, serta Pengendali, pegawai, atau mantan pegawai Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam likuidasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap Orang yang memberikan dokumen, data, informasi, dan/atau laporan yang berkaitan dengan penjaminan polis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a, huruf d, atau huruf e, atau Pasal 89 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Setiap Orang yang menolak memberikan data, informasi, dan/atau dokumen kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Bagian Keempat
Ketentuan Pidana Terkait Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 298
(1) | Setiap Orang yang menjalankan usaha tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) | Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) | Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) | Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat berupa:
|
(5) | Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) | Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) | Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) | Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
(9) | Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas atau koperasi, penjatuhan pidana dilakukan terhadap badan hukum, pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan itu dan/atau yang memimpin perbuatan itu. |
(1) | Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang:
|
(2) | Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) | Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) | Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) | Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) | Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) | Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) | Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
(1) | Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang:
|
(2) | Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) | Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) | Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) | Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) | Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) | Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) | Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
(1) | Pemegang saham dan/atau pihak terafiliasi Usaha Jasa Pembiayaan yang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan, dan/atau pihak terafiliasi lainnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Usaha Jasa Pembiayaan tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Usaha Jasa Pembiayaan terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) | Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) | Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) | Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) | Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) | Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) | Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) | Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
(1) | Anggota dewan komisaris, anggota pengawas, anggota direksi, anggota pengurus, pengelola, pegawai, dan/atau pihak terafiliasi penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (2) huruf e dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
(2) | Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian terhadap harta benda atau kerusakan barang, selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelaku juga dipidana dengan pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang. |
(3) | Pidana tambahan berupa penggantian kerugian atas harta benda atau kerusakan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan. |
(4) | Penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:
|
(5) | Dalam melaksanakan putusan pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpidana diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. |
(6) | Dalam hal terdapat alasan kuat termasuk proses pelepasan aset transaksi jual beli dan pengalihan hak, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan. |
(7) | Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau pidana tambahan berupa ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian. |
(8) | Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana denda dan pidana tambahan berupa ganti kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun. |
Bagian Kelima
Ketentuan Pidana Terkait Kegiatan Usaha Bulion (Bullion)
Pasal 303
LJK yang menjalankan kegiatan usaha bulion (bullion) tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
Bagian Keenam
Ketentuan Pidana Terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan
Pasal 304
Setiap Orang yang melanggar ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah).
Bagian Ketujuh
Ketentuan Pidana Terkait Pelindungan Konsumen
Pasal 305
(1) | Setiap Orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah). |
(2) | Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, penjatuhan pidana dilakukan terhadap badan hukum, pihak yang memberi perintah melakukan perbuatan itu, dan/atau yang memimpin perbuatan itu. |
(1) | PUSK yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (3) huruf c, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf l, atau huruf m, atau ayat (4) huruf a, huruf b, huruf d, huruf e, atau huruf f, atau Pasal 238 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). |
(2) | Dalam hal sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (4) tidak dilaksanakan pada batas pemenuhan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 285 ayat (5), PUSK dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000.000,00 (dua ratus lima puluh miliar rupiah). |
BAB XXV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 307
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan, Pemerintah dapat memberikan perlakuan dan/atau insentif perpajakan atas penyelenggaraan jasa keuangan tertentu dan/atau program tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
BAB XXVI
KETENTUAN PERALIHAN
Bagian Kesatu
Ketentuan Peralihan Terkait Kelembagaan Sektor Keuangan
Pasal 308
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, berdasarkan Undang-Undang ini:
|
(2) | Masa jabatan:
|
Wakil Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan menjalankan tugas dan wewenang sebagai Kepala Eksekutif sampai dengan ditetapkannya Peraturan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) dalam Pasal 7 angka 37 Undang-Undang ini.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. | Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya berdasarkan Undang-Undang ini ditetapkan menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun. |
b. | Masa jabatan Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun sebagaimana dimaksud dalam huruf a melanjutkan sisa masa jabatan sebagai Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya. |
Sampai dengan diangkat dan ditetapkannya pejabat definitif:
a. | Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya; dan |
b. | Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto, |
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peralihan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan:
|
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai peralihan tugas pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dalam Peraturan Pemerintah yang harus ditetapkan paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang telah diangkat dan ditetapkan sebelum Undang-Undang ini diundangkan, tetap menjalankan tugas dan wewenangnya sampai dengan masa jabatannya berakhir.
Bagian Kedua
Ketentuan Peralihan Terkait Perbankan dan Perbankan Syariah
Pasal 314
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. | Nomenklatur "Bank Perkreditan Rakyat" yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dimaknai sama dengan "Bank Perekonomian Rakyat" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. |
b. | Nomenklatur "Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" yang telah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dimaknai sama dengan "Bank Perekonomian Rakyat Syariah" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. |
c. | Perubahan nomenklatur "Bank Perkreditan Rakyat" menjadi "Bank Perekonomian Rakyat" dan "Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" menjadi "Bank Perekonomian Rakyat Syariah" dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
d. | Bank Perkreditan Rakyat yang berbentuk badan hukum selain perseroan terbatas atau koperasi yang telah ada berdasarkan peraturan perundang-undangan sebelum berlakunya Undang-Undang ini masih tetap dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Bank Perkreditan Rakyat dan diberikan kesempatan paling lama 3 (tiga) tahun untuk melakukan perubahan bentuk badan hukum sesuai dengan Undang-Undang ini. |
Bagian Ketiga
Ketentuan Peralihan Terkait Pasar Modal
Pasal 315
(1) | Setiap Pihak yang telah memiliki saham dan/atau melakukan tindakan pengendalian pada lebih dari 1 (satu) perusahaan efek berdasarkan undang-undang mengenai pasar modal wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) | Perusahaan efek yang telah memperoleh izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai penjamin emisi efek dan/atau perantara pedagang efek, atau manajer investasi sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib menyesuaikan dengan Undang-Undang ini dengan memisahkan kegiatan usahanya sebagai manajer investasi paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Perusahaan efek yang sebelum berlakunya Undang-Undang ini dalam proses pencabutan izin usaha bukan karena pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan tidak wajib melakukan pembubaran perseroan sepanjang dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak berlakunya Undang-Undang ini perusahaan efek mengubah anggaran dasar yang berkaitan dengan nama dan kegiatan usaha perusahaan efek.
Bagian Keempat
Ketentuan Peralihan Terkait Asuransi Usaha Bersama
Pasal 317
(1) | Polis asuransi yang dimiliki oleh pemegang polis sebelum berlakunya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam polis asuransi. |
(2) | Perpanjangan atas polis asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan setelah berlakunya Undang-Undang ini harus mengikuti ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(3) | Anggaran dasar Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(4) | Izin usaha dari Usaha Bersama yang telah ada sebelum diundangkannya Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku. |
(5) | Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai RUA dan memiliki tugas serta kewenangan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(6) | Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan, dinyatakan sebagai peserta RUA. |
(7) | Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) memiliki masa tugas paling lama sampai dengan berakhirnya periode masa tugas Anggota Badan Perwakilan Anggota Usaha Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(8) | Peserta RUA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) memiliki hak, larangan, dan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
(9) | Usaha Bersama wajib menyelenggarakan RUA untuk menetapkan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. |
(10) | Ketentuan anggaran dasar Usaha Bersama yang bertentangan dengan Undang-Undang ini dinyatakan tidak berlaku dan berlaku ketentuan dalam Undang-Undang ini. |
(11) | Kewajiban penyelenggaraan RUA untuk menetapkan penyesuaian anggaran dasar sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini sebagaimana dimaksud pada ayat (9) wajib dilakukan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Bagian Kelima
Ketentuan Peralihan Terkait Usaha Jasa Pembiayaan
Pasal 318
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini; dan |
b. | Penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Setiap Orang di luar penyelenggara Usaha Jasa Pembiayaan yang telah melakukan kegiatan Usaha Jasa Pembiayaan sebelum berlakunya Undang-Undang ini wajib memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagian Keenam
Ketentuan Peralihan Terkait Dana Pensiun, Program Jaminan Hari Tua, dan
Program Pensiun
Pasal 320
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, bagi semua Dana Pensiun yang telah mendapatkan pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan, pengesahan dari Otoritas Jasa Keuangan tersebut dinyatakan tetap berlaku. |
(2) | Dana Pensiun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang menyelenggarakan Program Pensiun yang menjanjikan pembayaran uang secara sekaligus bagi peserta Program Pensiun sebelum 20 April 1992, tetap dapat melanjutkan program tersebut sampai selesainya seluruh kewajiban kepada karyawan yang telah menjadi peserta Program Pensiun pada tanggal 20 April 1992. |
(3) | Pelaksana tugas Pengurus pada Dana Pensiun Lembaga Keuangan menjadi Pengurus Dana Pensiun Lembaga Keuangan dan dewan komisaris dari Pendiri Dana Pensiun Lembaga Keuangan bertindak sebagai Dewan Pengawas Dana Pensiun Lembaga Keuangan sampai dengan jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, berlaku untuk Setiap Orang yang mulai menjadi Peserta Dana Pensiun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (3) diterapkan oleh Dana Pensiun Lembaga Keuangan paling lambat 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(6) | Bagi Dana Pensiun Lembaga Keuangan yang telah mengatur adanya penarikan sejumlah dana tertentu oleh peserta Program Pensiun di dalam Peraturan Dana Pensiun, penarikan dana tersebut dapat dilakukan paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Bagian Ketujuh
Ketentuan Peralihan Terkait Koperasi di Sektor Jasa Keuangan
Pasal 321
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi harus melakukan penilaian sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini; |
b. | penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus diselesaikan paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; |
c. | koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini wajib melaporkan kegiatan usahanya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi; |
d. | penyelenggaraan penilaian sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi dapat dibantu oleh Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota; |
e. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi menyerahkan daftar koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) dalam Pasal 202 Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai sektor jasa keuangan; |
f. | Otoritas Jasa Keuangan memproses perizinan usaha yang diajukan oleh koperasi yang tercantum dalam daftar sebagaimana dimaksud dalam huruf e paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak daftar koperasi diterima sepanjang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai sektor jasa keuangan; dan |
g. | sebelum Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan izin sebagaimana dimaksud dalam huruf f, izin usaha koperasi yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tetap berlaku dan pengawasan dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi atau Pemerintah Daerah provinsi atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan undang-undang mengenai perkoperasian. |
Bagian Kedelapan
Ketentuan Peralihan Terkait Lembaga Keuangan Mikro
Pasal 322
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. | LKM yang telah mendapatkan izin usaha sebelum berlakunya Undang-Undang ini, dinyatakan telah memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini; |
b. | LKM sebagaimana dimaksud dalam huruf a wajib menyesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; |
c. | LKM yang menghimpun dana masyarakat dan belum memiliki izin usaha harus mengajukan izin usaha kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagai LKM skala usaha kecil, menengah atau besar paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan; dan |
d. | LKM yang tidak menghimpun dana masyarakat dan belum memiliki izin usaha harus melakukan pendaftaran kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagai LKM inkubasi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Bagian Kesembilan
Ketentuan Peralihan Terkait Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan
Pelindungan Konsumen
Pasal 323
Kewajiban PUSK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1) dilaksanakan oleh PUSK dengan kriteria tertentu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagian Kesepuluh
Ketentuan Peralihan Terkait Sumber Daya Manusia
Pasal 324
Ketentuan mengenai pelaporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 271 ayat (1) dilakukan oleh PUSK dan pihak yang melakukan interaksi bisnis dengan sektor keuangan dilaksanakan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Bagian Kesebelas
Ketentuan Peralihan Terkait Stabilitas Sistem Keuangan
Pasal 325
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Bank yang status pengawasannya sebagai Bank dalam pengawasan intensif atau Bank dalam pengawasan khusus diubah status pengawasannya dan dinyatakan sebagai Bank dalam penyehatan oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XXVII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 326
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
a. | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
b. | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477); |
c. | Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
d. | Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608); |
e. | Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232); |
f. | Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir· dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); |
g. | Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236); |
h. | Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963); |
i. | Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
j. | Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); |
k. | Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957); |
l. | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223); |
m. | Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); |
n. | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394); |
o. | Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618); |
p. | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835); dan |
q. | Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872), |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, ketentuan mengenai:
a. | permohonan kepailitan bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 2; dan |
b. | penundaan kewajiban pembayaran utang bagi Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, dan Dana Pensiun sebagaimana diatur dalam Pasal 223, |
Pada saat program penjaminan polis mulai dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang ini, ketentuan mengenai likuidasi dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, dan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang menjadi peserta program penjaminan polis.
Penyelenggaraan program penjaminan polis mulai berlaku 5 (lima) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3477) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan;
a. | Usaha Jasa Pembiayaan; |
b. | Pelindungan Konsumen di sektor keuangan; |
c. | ITSK; |
d. | sumber daya manusia, profesi, tata kelola yang baik dan pelaporan keuangan di sektor keuangan; dan |
e. | asuransi Usaha Bersama, |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, rencana resolusi bank umum yang telah disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan telah memenuhi ketentuan Undang-Undang ini dan selanjutnya penyampaian rencana resolusi mengikuti ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini.
(1) | Untuk pertama kali, salah satu anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) huruf d dalam Pasal 7 angka 39 Undang-Undang ini diangkat dan ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sebelum program penjaminan polis dimulai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329. |
(2) | Pengangkatan dan penetapan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengikuti ketentuan mengenai pengangkatan dan penetapan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang berakhir masa jabatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 dalam Pasal 7 angka 39 Undang-Undang ini. |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan dan peraturan pelaksanaannya, pelaksanaan tugas dan wewenang serta penyebutan:
a. | Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya menjadi:
|
b. | Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon; dan |
c. | anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen menjadi Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen. |
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, berdasarkan Undang-Undang ini, masa jabatan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang membidangi edukasi dan Pelindungan Konsumen periode tahun 2022-2027 ditetapkan masa jabatannya menjadi 6 (enam) tahun terhitung sejak diangkat dan ditetapkan. |
(2) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, untuk pertama kali, pengangkatan dan penetapan:
|
Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 dalam Pasal 7 angka 61 Undang-Undang ini dan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B dalam Pasal 8 angka 19 Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a. | semua istilah "LPS" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah "Lembaga Penjamin Simpanan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; |
b. | semua istilah "Lembaga Pengawas Perbankan" dan "OJK" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah "Otoritas Jasa Keuangan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; |
c. | semua istilah "Bank Gagal" dan "Bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan wewenang yang dimilikinya" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi "Bank dalam resolusi"; |
d. | semua istilah "Bank Gagal yang Berdampak Sistemik" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi "Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam resolusi"; |
e. | semua istilah "Bank Gagal yang tidak berdampak sistemik" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku diganti menjadi "Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank dalam resolusi"; |
f. | semua istilah "Lembaga Jasa Keuangan" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku harus dimaknai sebagai istilah "LJK" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; |
g. | semua istilah "Sistem Keuangan" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku termasuk dalam undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan harus dimaknai sebagai istilah "Sistem Keuangan" sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; dan |
h. | semua istilah "Majelis Ulama Indonesia" yang sudah ada sebelum Undang-Undang ini berlaku dalam perundang-undangan di sektor keuangan dibaca sebagai "lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah". |
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan "Bank Perkreditan Rakyat" dan "Bank Pembiayaan Rakyat Syariah" dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang-Undang ini.
(1) | Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) | Peraturan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) dalam Pasal 7 angka 37 Undang-Undang ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
(1) | Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang ini dilakukan setelah Undang-Undang ini diundangkan. |
(2) | Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah. |
(3) | Pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh DPR melalui alat kelengkapan yang khusus menangani bidang legislasi. |
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 12 Januari 2023 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 2023
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PRATIKNO
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 4
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2023
TENTANG
PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN
I. | UMUM |
Reformasi di sektor keuangan memiliki urgensi yang tinggi dalam meningkatkan peranan intermediasi sektor keuangan, serta memperkuat resiliensi sistem keuangan nasional. Sektor keuangan yang dalam, inovatif, efisien, inklusif, dapat dipercaya, kuat, dan stabil akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang kuat, seimbang, inklusif, dan berkesinambungan yang sangat diperlukan dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Saat ini sektor keuangan Indonesia masih mengalami banyak permasalahan fundamental. Proporsi aset di sektor keuangan nasional belum cukup merata. Sektor perbankan yang merupakan salah satu sumber pembiayaan jangka pendek masih sangat dominan dibandingkan dengan sektor keuangan yang lain. Porsi aset di industri keuangan nonbank yang merupakan sumber dana jangka panjang yang diharapkan dapat mendukung pembiayaan pembangunan, relatif masih kecil. Kondisi ini mengindikasikan bahwa penghimpunan dana oleh industri keuangan relatif masih terbatas, sedangkan potensi pendalaman pasar keuangan nasional masih cukup besar.
Di sektor perbankan, permasalahan fundamental tercermin antara lain dari tingginya tingkat bunga pinjaman, serta ketimpangan jumlah rekening dan simpanan antara nasabah kecil dan besar. Permasalahan juga tercermin dari rendahnya kapitalisasi pasar saham dan obligasi nasional dibandingkan negara lain, serta terbatasnya instrumen keuangan untuk investasi dan pengelolaan risiko (hedging) khususnya untuk produk keuangan yang bersifat kompleks dan berisiko tinggi (high risk). Di sisi lain, sektor keuangan Indonesia juga menghadapi tantangan dari munculnya instrumen keuangan yang kompleks dan berisiko tinggi seperti kripto serta penilaian tata kelola dan penegakan hukum sektor keuangan dalam berbagai asesmen terkini juga rendah.
Selain permasalahan fundamental, sektor keuangan juga menghadapi berbagai tantangan dari luar seperti disrupsi teknologi serta munculnya risiko keuangan baru yang terkait dengan perubahan iklim dan situasi geopolitik. Sumber daya manusia di sektor keuangan juga masih mengalami ketertinggalan, baik dari kuantitas maupun kualitas. Dengan sejumlah permasalahan dan tantangan tersebut, diperlukan suatu reformasi di sektor keuangan. Reformasi sektor keuangan ini diharapkan dapat memperdalam dan meningkatkan efisiensi sektor keuangan Indonesia, melalui upaya perluasan jangkauan, produk, dan basis investor, promosi investasi jangka panjang, peningkatan kompetisi untuk mendukung efisiensi, penguatan mitigasi risiko, serta peningkatan pelindungan investor dan Konsumen. Reformasi di sektor keuangan ini adalah lanjutan dari reformasi secara menyeluruh seperti di sektor riil melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, di bidang perpajakan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, serta di bidang perimbangan keuangan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dari sisi regulasi, kerangka hukum pengaturan mengenai sektor keuangan tersebar dalam berbagai Undang-Undang yang di antaranya telah berusia cukup lama sehingga belum optimal dalam mengakomodir pengaturan dan pengawasan terhadap aktivitas, produk, dan perkembangan industri keuangan terkini yang terus mengalami perkembangan yang cepat dan pesat. Dengan demikian, untuk mewujudkan upaya-upaya reformasi sektor keuangan secara utuh, dibutuhkan landasan hukum yang sesuai dengan perkembangan industri keuangan terkini melalui pembenahan peraturan perundang-undangan yang dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi dalam 1 (satu) undang-undang mengenai sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus melalui Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Undang-Undang ini mereformasi sektor keuangan dengan mengatur kelembagaan dan Stabilitas Sistem Keuangan dan pengembangan dan penguatan industri. Oleh sebab itu, Undang-Undang ini mengatur penguatan hubungan pengawasan dan pengaturan antar lembaga di bidang sektor keuangan guna mewujudkan Stabilitas Sistem Keuangan dalam hal ini antara Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Kementerian Keuangan. Salah satunya melalui wadah Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam mekanisme pengawasan makroprudensial dan mikroprudensial dalam jaring pengaman sistem keuangan. Selanjutnya, penguatan lembaga yang berwenang sebagai pengatur dan pengawas sektor keuangan dilakukan untuk menjaga kestabilan industri sektor keuangan dan peningkatan kepercayaan masyarakat.
Penguatan jaring pengaman sistem keuangan dalam kerangka Komite Stabilitas Sistem Keuangan merupakan hal yang sangat diperlukan dalam memastikan penanganan permasalahan perbankan dan menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Penanganan permasalahan bank, penguatan koordinasi antarlembaga, dan penguatan kewenangan kelembagaan di sektor keuangan yang optimal untuk mencegah kegagalan perbankan yang dapat mengganggu sistem keuangan adalah sasaran yang dituju melalui Undang-Undang ini. Hal ini dilakukan melalui penguatan dan penyempurnaan mekanisme koordinasi dan pertukaran informasi serta tata kelola (governance), sehingga pengambilan keputusan penanganan permasalahan di sektor keuangan dapat dilakukan secara lebih efektif.
Undang-Undang ini juga memperkuat masing-masing lembaga pengatur dan pengawas sektor keuangan. Penguatan peran Bank Indonesia dilakukan dengan penegasan bahwa Bank Indonesia memiliki tujuan di antaranya untuk turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Bank Indonesia bertugas untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan, mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.
Selanjutnya, penguatan kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan dilakukan dengan menegaskan kewenangan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan di antaranya untuk memimpin pengawasan terintegrasi dan Komisioner Eksekutif melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan dan dalam rangka meningkatkan fungsi check and balance, dilakukan pembentukan badan supervisi di Otoritas Jasa Keuangan.
Selain itu, Undang-Undang ini juga mempertegas mandat Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terintegrasi dan konglomerasi keuangan. Undang-Undang ini juga menambah kewenangan Otoritas Jasa Keuangan untuk melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap koperasi yang bergerak di sektor keuangan, aktivitas aset digital, Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), penguatan fungsi edukasi, Pelindungan Konsumen, dan pengawasan perilaku pasar (market conduct), yang bertujuan untuk membawa sektor keuangan nasional lebih kuat dan berkembang.
Lembaga Penjamin Simpanan merupakan salah satu lembaga penyokong kestabilan ekonomi melalui perannya dalam dunia perbankan juga diberikan penguatan kewenangan dalam Undang-Undang ini. Di samping memperkuat kewenangan Lembaga Penjamin Simpanan dalam menjalankan fungsi penjaminan simpanan dan resolusi bank, Lembaga Penjamin Simpanan juga mendapatkan mandat baru sebagai penyelenggara program penjaminan polis asuransi yang akan diiringi dengan peningkatan fungsi pengawasan dan pengaturan oleh otoritas pengawas asuransi.
Undang-Undang ini juga mengatur penguatan penanganan permasalahan bank sebagai sektor yang sangat penting di Indonesia. Hal ini dilakukan dengan mengatur penguatan peran dan wewenang KSSK, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Penguatan peran dan wewenang dicapai melalui penguatan instrumen pencegahan dan penanganan permasalahan bank seperti rencana pemulihan dan resolusi bank, pengaturan pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek syariah, penempatan dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan, serta penegasan peran Lembaga Penjamin Simpanan sebagai lembaga resolusi dengan mandat pengurangan risiko (risk minimizer), serta penguatan koordinasi makroprudensial-mikroprudensial dan makroprudensial-mikroprudensial resolusi.
Penguatan industri keuangan menjadi bagian dari cakupan pengaturan dalam Undang-Undang ini. Proses konsolidasi perbankan ditujukan agar meningkatkan daya saing pada sektor perbankan, memperkuat pengaturan bank digital dan pemanfaatan teknologi informasi oleh perbankan, dan memperkuat peran Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah dalam menggerakkan perekonomian daerah dan pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Pengaturan terhadap perbankan juga diarahkan pada perluasan kegiatan usaha perbankan dan perbankan syariah untuk menggerakkan ekonomi nasional. Penguatan pengawasan terhadap perbankan juga dilakukan terhadap perbankan yang juga merupakan bagian dari Konglomerasi Keuangan.
Pada bidang perasuransian, penguatan dilakukan dengan memperluas ruang lingkup perasuransian, memperkuat market conduct pelaku usaha perasuransian, dan menegaskan kebijakan pemisahan (spin-off) unit usaha syariah. Selain menambahkan pengaturan mengenai tata kelola Usaha Bersama asuransi, program penjaminan polis juga menjadi salah satu tulang punggung penguatan sektor keuangan bidang perasuransian yang diharapkan dapat menjadi sarana peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap asuransi dan menjaga kestabilan industri asuransi di Indonesia.
Pengaturan di bidang Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing diarahkan untuk mendorong penerapan prinsip aktivitas sama, risiko sama, regulasi setara (same activity, same risk, same regulation) untuk transaksi instrumen keuangan, perluasan akses dan daya saing di antaranya melalui infrastruktur pasar yang dapat bekerja antar sistem (interoperable), bursa karbon, dan pengaturan entitas tujuan khusus (special purpose vehicle) untuk meningkatkan variasi instrumen keuangan, dan pengelola dana perwalian (trustee) untuk pendalaman dan meningkatkan partisipasi pelaku pasar keuangan dan peningkatan aturan keterbukaan informasi dan tata kelola yang baik.
Selanjutnya, pengaturan industri Dana Pensiun ditujukan untuk meningkatkan pelindungan hari tua bagi masyarakat, khususnya para pekerja, meningkatkan literasi, mendorong kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan program pensiun, dan mempercepat akumulasi sumber dana jangka panjang sebagai sumber utama pembiayaan pembangunan.
Pengaturan di bidang pelaporan keuangan diarahkan kepada kewajiban penyampaian laporan keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pengaturan mengenai standar laporan keuangan, pembentukan komite standar yang independen, dan pembentukan platform bersama laporan keuangan, serta kewajiban untuk penyusunan dan penyampaian laporan berkelanjutan.
Di bidang industri jasa keuangan lainnya, pengaturan mencakup usaha jasa pembiayaan, koperasi yang bergerak di sektor keuangan, dan lembaga keuangan mikro. Pengaturannya berbasis prinsip (principle based), sehingga tercipta keadilan (level of playing field), meningkatkan Pelindungan Konsumen, memperkuat pengawasan koperasi yang bergerak di sektor keuangan, dan memperkuat ekosistem pendukung pembiayaan.
Selanjutnya, Undang-Undang ini juga mencapai tujuan pembentukannya dengan mengatur peningkatan peran sektor keuangan dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan penguatan kualitas sumber daya manusia sektor keuangan. Sementara itu, peningkatan literasi dan inklusi keuangan, juga merupakan hal yang dibutuhkan untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memahami sektor keuangan lebih baik dan dapat menopang kehidupan ekonomi lebih baik. Undang-Undang ini juga mengatur penguatan upaya mendukung Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah termasuk dengan memudahkan akses pembiayaannya dengan tetap menerapkan prinsip kehati-hatian.
Jenis pelanggaran dan perbuatan tindak pidana di sektor keuangan juga menjadi substansi penting dalam pengaturan Undang-Undang ini. Hal ini dilakukan untuk memberikan pelindungan bagi aktivitas sektor keuangan, termasuk pihak yang terlibat di dalam aktivitas sektor keuangan tersebut. Dalam rangka menjaga ketertiban dan memberikan efek jera, dibutuhkan mekanisme pemidanaan guna menjerat pelaku pelanggaran dengan menetapkan tindakan/perbuatan tersebut menjadi tindak pidana ekonomi. Ketentuan pidana dalam Undang-Undang ini tidak hanya terbatas pada tindak pidana yang dilakukan oleh perorangan tetapi juga oleh korporasi. Dalam merespons perkembangan tindak pidana ekonomi yang terjadi di bidang sektor keuangan tersebut, konsep penegakan hukumnya tidak harus selalu dengan pemberian sanksi pidana, tetapi perlu mengedepankan pemulihan keadaan pihak yang dirugikan terlebih dahulu atau yang dikenal dengan prinsip keadilan restoratif (restorative justice).
Dalam rangka mendukung kelancaran pelaksanaan Undang-Undang ini dan agar implementasinya sesuai dengan maksud dan tujuan sebagaimana diatur dalam BAB II, terhadap beberapa pengaturan terutama yang memberikan dampak terhadap masyarakat memerlukan konsultasi atau persetujuan DPR. Pelaksanaan pengaturan tersebut dilakukan oleh alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap yaitu komisi yang tugas dan kewenangannya di bidang keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan, sebagai wujud peran dan fungsi DPR sesuai tata kelola dan tanpa mengurangi independensi otoritas sektor keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pembentukan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan diharapkan akan memberikan kontribusi positif dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat, serta terpercaya.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6845
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.