Undang-Undang Nomor : 4 TAHUN 2023

Kategori : Lainnya

Pengembangan Dan Penguatan Sektor Keuangan


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 4 TAHUN 2023

 

TENTANG


PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN


DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

 

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

Menimbang :

 

  1. bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara perlu mewujudkan pembangunan nasional yang didukung dengan perekonomian yang tangguh melalui pengembangan dan penguatan sektor keuangan yang lebih optimal;
  2. bahwa untuk mendukung dan mewujudkan upaya pengembangan dan penguatan sektor keuangan di Indonesia yang sejalan dengan perkembangan industri jasa keuangan yang makin kompleks dan beragam; perekonomian nasional dan internasional yang bergerak cepat, kompetitif, dan terintegrasi; sistem keuangan yang makin maju; serta untuk memperkuat kerangka pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga jasa keuangan, diperlukan pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan;
  3. bahwa upaya pengaturan baru dan penyesuaian berbagai peraturan di sektor keuangan, dapat dilakukan perubahan Undang-Undang di sektor keuangan dengan menggunakan metode omnibus guna menyelaraskan berbagai pengaturan yang terdapat dalam berbagai Undang-Undang ke dalam 1 (satu) Undang-Undang secara komprehensif;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;

 

Mengingat :

  1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 23D, Pasal 33, dan Pasal 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
  3. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
  4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608);
  5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang­-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232);
  6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang­-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962);
  7. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236);
  8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang­ Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
  9. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
  10. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
  11. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4957);
  12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223);
  13. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253);
  14. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5394);
  15. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618);
  16. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Penjaminan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5835);
  17. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);

 

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


 
MEMUTUSKAN:

 

 

Menetapkan :

 
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGEMBANGAN DAN PENGUATAN SEKTOR KEUANGAN.

 

BAB I
KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang terhubung dengan lembaga jasa keuangan.
2. Stabilitas Sistem Keuangan adalah stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
6. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
7. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Lembaga Penjamin Simpanan adalah lembaga penjamin simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
9. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
10. Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.
11. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang­-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
12. Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
  1. penawaran umum dan transaksi efek;
  2. pengelolaan investasi;
  3. emiten dan perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya; dan
  4. lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.
13. Pasar Uang adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan:
  1. kegiatan penerbitan dan perdagangan instrumen keuangan atau efek bersifat utang yang berjangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun;
  2. transaksi pinjam meminjam uang;
  3. transaksi derivatif suku bunga; dan
  4. transaksi lainnya yang memenuhi karakteristik di Pasar Uang,

dalam mata uang Rupiah atau valuta asing.

14. Pasar Valuta Asing adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan transaksi yang melibatkan pertukaran mata uang dari 2 (dua) negara yang berbeda beserta derivatifnya, tetapi tidak termasuk penukaran bank notes yang diselenggarakan oleh kegiatan usaha penukaran valuta asing.
15. Derivatif adalah suatu instrumen yang nilainya merupakan turunan dari aset yang mendasarinya.
16. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
17. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
18. Perusahaan Asuransi Berbentuk Usaha Bersama yang selanjutnya disebut Usaha Bersama adalah badan hukum yang menyelenggarakan usaha asuransi dan dimiliki oleh anggota, yang telah ada pada saat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian diundangkan.
19. Rapat Umum Anggota Usaha Bersama yang selanjutnya disingkat dengan RUA adalah organ yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada direksi Usaha Bersama atau dewan komisaris Usaha Bersama dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
20. Panitia Pemilihan adalah panitia yang bertugas melakukan pemilihan peserta RUA.
21. Direksi Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang berwenang dan bertanggung jawab atas pengurusan Usaha Bersama untuk kepentingan Usaha Bersama, sesuai dengan maksud dan tujuan Usaha Bersama, serta mewakili Usaha Bersama baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan Undang-Undang ini.
22. Dewan Komisaris Usaha Bersama adalah organ Usaha Bersama yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Undang-Undang ini, serta memberikan nasihat kepada Direksi Usaha Bersama.
23. Proposal Perubahan Bentuk Badan Hukum yang selanjutnya disebut Proposal adalah dokumen yang memuat data dan informasi berkaitan dengan rencana perubahan bentuk badan hukum Usaha Bersama menjadi perseroan terbatas.
24. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
25. Dewan Pengawas Syariah adalah pihak yang memiliki tugas dan fungsi pengawasan terhadap penyelenggaraan kegiatan perusahaan/badan hukum agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
26. Usaha Jasa Pembiayaan adalah kegiatan penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara penyelenggara usaha jasa pembiayaan dan penerima pembiayaan yang mewajibkan pihak penerima pembiayaan untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga, imbalan, bagi hasil, dan/atau kelebihan pembayaran lainnya, dengan atau tanpa adanya agunan.
27. Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi adalah badan hukum Indonesia yang menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan penyelenggaraan layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi dana dengan penerima dana dalam melakukan pendanaan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan internet.
28. Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.
29. Pengendali adalah pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu, yaitu penyelenggara infrastruktur pasar keuangan, LJK, emiten atau perusahaan publik, dan/atau kemampuan untuk memengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara pada pihak tertentu tersebut.
30. Pemegang Saham Pengendali yang selanjutnya disingkat PSP adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau kelompok usaha baik yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki saham atau yang setara dengan saham pada pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dan/atau mempunyai kemampuan untuk melakukan pengendalian atas pihak dimaksud.
31. Pemegang Saham Pengendali Terakhir (ultimate shareholders) yang selanjutnya disingkat PSPT adalah orang perseorangan atau negara yang secara langsung ataupun tidak langsung memiliki saham perusahaan dan merupakan pengendali terakhir atau pemilik manfaat terakhir (ultimate beneficial owner) dari suatu perusahaan atau kelompok usaha.
32. Konglomerasi Keuangan adalah LJK yang berada dalam 1 (satu) grup atau kelompok karena keterkaitan kepemilikan dan/atau pengendalian.
33. Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (Financial Holding Company) yang selanjutnya disingkat PIKK adalah badan hukum yang dimiliki oleh PSP atau PSPT untuk mengendalikan, mengonsolidasikan, dan bertanggung jawab terhadap seluruh aktivitas Konglomerasi Keuangan.
34. Inovasi Teknologi Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat ITSK adalah inovasi berbasis teknologi yang berdampak pada produk, aktivitas, layanan, dan model bisnis dalam ekosistem keuangan digital.
35. Keuangan Berkelanjutan adalah sebuah ekosistem dengan dukungan menyeluruh berupa kebijakan, regulasi, norma, standar, produk, transaksi, dan jasa keuangan yang menyelaraskan kepentingan ekonomi, lingkungan hidup, dan sosial dalam pembiayaan kegiatan berkelanjutan dan pembiayaan transisi menuju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
36. Literasi Keuangan adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan yang memengaruhi sikap dan perilaku untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan untuk mencapai kesejahteraan keuangan masyarakat.
37. Inklusi Keuangan adalah ketersediaan akses pemanfaatan atas produk dan/atau layanan pelaku usaha sektor keuangan yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan keuangan masyarakat.
38. Konsumen adalah setiap orang yang memiliki dan/atau memanfaatkan produk dan/atau layanan yang disediakan oleh pelaku usaha sektor keuangan.
39. Pelindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan pelindungan kepada Konsumen.
40. Pelaku Usaha Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat PUSK adalah LJK, pelaku usaha infrastruktur pasar keuangan, pelaku usaha di sistem pembayaran, lembaga pendukung di sektor keuangan, dan pelaku usaha sektor keuangan lainnya baik yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.
41. Pengawasan Perilaku Pasar (Market Conduct) adalah pengawasan terhadap perilaku PUSK dalam mendesain, menyediakan dan menyampaikan informasi, menawarkan, menyusun perjanjian, memberikan pelayanan atas penggunaan produk dan/atau layanan, serta penanganan pengaduan dan penyelesaian sengketa dalam upaya mewujudkan Pelindungan Konsumen.
42. Perjanjian Baku adalah perjanjian tertulis termasuk dalam bentuk elektronik yang ditetapkan secara sepihak oleh PUSK dan memuat klausul baku tentang isi, bentuk, dan cara pembuatan, serta digunakan untuk menawarkan produk dan/atau layanan kepada Konsumen secara massal.
43. Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Sektor Keuangan yang selanjutnya disingkat LAPS-SK adalah lembaga yang melakukan penyelesaian sengketa antara Konsumen dan PUSK di luar pengadilan.
44. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah adalah usaha ekonomi produktif yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang memenuhi kriteria usaha mikro, kecil, dan menengah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro, kecil, dan menengah.
45. Profesi Sektor Keuangan adalah bidang pekerjaan yang memberikan suatu jasa keprofesian di sektor keuangan yang memerlukan tingkat keahlian dan kualifikasi tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
46. Pelaku Profesi Sektor Keuangan adalah seseorang yang melakukan Profesi Sektor Keuangan.
47. Profesi Penunjang Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu jasa keprofesian pada berbagai industri sektor keuangan untuk mendukung efektivitas sektor keuangan.
48. Profesi Pelaku Usaha Sektor Keuangan adalah Pelaku Profesi Sektor Keuangan yang memberikan suatu keprofesian terbatas pada suatu industri sektor keuangan.
49. Asosiasi Profesi adalah organisasi profesi yang menaungi Pelaku Profesi Sektor Keuangan.
50. Lembaga Sertifikasi Profesi adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan sertifikasi profesi yang telah memenuhi syarat dan memperoleh lisensi dari badan atau lembaga yang diberikan wewenang untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
51. Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.

 

 

BAB II
ASAS, MAKSUD, TUJUAN,
DAN RUANG LINGKUP


Bagian Kesatu
Asas
 

Pasal 2


Undang-Undang ini dilaksanakan berdasarkan asas:

  1. kepentingan nasional;
  2. kemanfaatan;
  3. kepastian hukum;
  4. keterbukaan;
  5. akuntabilitas;
  6. keadilan;
  7. Pelindungan Konsumen;
  8. edukasi; dan
  9. keterpaduan.

 

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan

 

Pasal 3

  

(1) Undang-Undang ini dibentuk dengan maksud mendorong kontribusi sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat.
(2) Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
  1. mengoptimalkan fungsi intermediasi sektor keuangan kepada usaha sektor produktif;
  2. meningkatkan portofolio pendanaan terhadap sektor usaha yang produktif;
  3. meningkatkan kemudahan akses dan literasi terkait jasa keuangan;
  4. meningkatkan dan memperluas inklusi sektor keuangan;
  5. memperluas sumber pembiayaan jangka panjang;
  6. meningkatkan daya saing dan efisiensi sektor keuangan;
  7. mengembangkan instrumen di pasar keuangan dan memperkuat mitigasi risiko;
  8. meningkatkan pembinaan, pengawasan, dan Pelindungan Konsumen;
  9. memperkuat pelindungan atas data pribadi nasabah sektor keuangan;
  10. memperkuat kelembagaan dan ketahanan Stabilitas Sistem Keuangan;
  11. mengembangkan dan memperkuat ekosistem sektor keuangan;
  12. memperkuat wewenang, tanggung jawab, tugas, dan fungsi regulator sektor keuangan; dan
  13. meningkatkan daya saing masyarakat sehingga dapat berusaha secara efektif dan efisien.

 

 

Bagian Ketiga
Ruang Lingkup

 

Pasal 4

 
Dalam rangka mencapai maksud dan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, ruang lingkup dalam Undang-Undang ini mengatur ekosistem sektor keuangan meliputi:

  1. kelembagaan;
  2. perbankan;
  3. Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing;
  4. perasuransian dan penjaminan;
  5. asuransi Usaha Bersama;
  6. program penjaminan polis;
  7. Usaha Jasa Pembiayaan;
  8. kegiatan usaha bulion (bullion);
  9. Dana Pensiun, program jaminan hari tua, dan program pensiun;
  10. kegiatan koperasi di sektor jasa keuangan;
  11. lembaga keuangan mikro;
  12. Konglomerasi Keuangan;
  13. ITSK;
  14. penerapan Keuangan Berkelanjutan;
  15. Literasi Keuangan, Inklusi Keuangan, dan Pelindungan Konsumen;
  16. akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah;
  17. sumber daya manusia;
  18. Stabilitas Sistem Keuangan;
  19. lembaga pembiayaan ekspor Indonesia; dan
  20. penegakan hukum di sektor keuangan.


 

BAB III
KELEMBAGAAN


Bagian Kesatu
Umum

 

Pasal 5

 
Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan kelembagaan otoritas sektor keuangan, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872);
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang­-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963);
  3. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253); 
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang­-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962); dan
  5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223).

 

 

Bagian Kedua
Komite Stabilitas Sistem Keuangan

 

Pasal 6

 
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5872) diubah sebagai berikut:
 

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Sistem Keuangan adalah suatu kesatuan yang terdiri atas lembaga jasa keuangan, pasar keuangan, dan infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran, yang berinteraksi dalam memfasilitasi pengumpulan dana masyarakat dan pengalokasiannya untuk mendukung aktivitas perekonomian nasional, serta korporasi dan rumah tangga yang terhubung dengan lembaga jasa keuangan.
2. Stabilitas Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem Keuangan yang berfungsi efektif dan efisien serta mampu bertahan dari gejolak yang bersumber dari dalam negeri dan luar negeri.
3. Krisis Sistem Keuangan adalah kondisi Sistem Keuangan yang gagal menjalankan fungsi dan perannya secara efektif dan efisien, yang ditunjukkan dengan memburuknya berbagai indikator ekonomi dan keuangan.
4. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang­-undang mengenai perbankan syariah.
5. Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
6. Surat Berharga Negara adalah surat utang negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat utang negara dan surat berharga syariah negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai surat berharga syariah negara.
7. Bank Perantara adalah bank umum yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank yang ditangani Lembaga Penjamin Simpanan, selanjutnya menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
8. Program Restrukturisasi Perbankan adalah program yang diselenggarakan untuk menangani permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.
9. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang­-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
11. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
12. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
   
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


(1) Berdasarkan undang-undang mengenai pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan dibentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(2) Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyelenggarakan pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan negara di bidang perekonomian.
(3) Komite Stabilitas Sistem Keuangan beranggotakan:
  1. Menteri Keuangan sebagai koordinator merangkap anggota dengan hak suara;
  2. Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota dengan hak suara;
  3. Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sebagai anggota dengan hak suara; dan
  4. Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagai anggota dengan hak suara.
(4) Setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bertindak untuk dan atas nama lembaga yang dipimpinnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 5

 
Komite Stabilitas Sistem Keuangan bertugas:
a. melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan;
b. melakukan penanganan Krisis Sistem Keuangan; dan
c. melakukan koordinasi penanganan permasalahan Bank Sistemik baik dalam kondisi Stabilitas Sistem Keuangan normal maupun kondisi Krisis Sistem Keuangan.
   
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6


Komite Stabilitas Sistem Keuangan berwenang:
a. menetapkan keputusan mengenai tata kelola Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
b. membentuk gugus tugas atau kelompok kerja untuk membantu pelaksanaan tugas Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
c. menetapkan kriteria dan indikator untuk penilaian kondisi Stabilitas Sistem Keuangan;
d. melakukan penilaian terhadap kondisi Stabilitas Sistem Keuangan berdasarkan masukan dari setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan, beserta data dan informasi pendukungnya;
e. menetapkan langkah koordinasi untuk mencegah Krisis Sistem Keuangan dengan mempertimbangkan rekomendasi dan/atau kesepakatan dari anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan;
f. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan perubahan status Stabilitas Sistem Keuangan, dari kondisi normal menjadi kondisi Krisis Sistem Keuangan atau dari kondisi Krisis Sistem Keuangan menjadi kondisi normal;
g. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan langkah penanganan Krisis Sistem Keuangan;
h. mengoordinasikan langkah yang harus dilakukan oleh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan untuk mendukung pelaksanaan penanganan permasalahan Bank Sistemik oleh Lembaga Penjamin Simpanan, termasuk pembelian oleh Bank Indonesia atas Surat Berharga Negara yang dimiliki Lembaga Penjamin Simpanan untuk penanganan Bank Sistemik; dan
i. merekomendasikan kepada Presiden untuk memutuskan penyelenggaraan dan pengakhiran Program Restrukturisasi Perbankan.
   
5. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

 
(1) Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dibantu oleh sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang dipimpin oleh sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(2) Sekretaris Komite Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pejabat eselon I Kementerian Keuangan.
(3) Organisasi dan tata kerja sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan ditetapkan oleh Menteri Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam rangka mendukung pelaksanaan tugas dan wewenang Komite Stabilitas Sistem Keuangan, sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas Sistem Keuangan.
(5) Dalam melakukan analisis, riset, dan/atau asesmen Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan:
  1. menggunakan data dan informasi dari sarana pertukaran informasi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan; dan
  2. mendapatkan akses atas data dan informasi yang tersedia di masing-masing lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau yang berasal dari forum koordinasi antarlembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(6) Sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat menyelenggarakan rapat yang dihadiri oleh pejabat Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan untuk mempersiapkan pelaksanaan rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(7) Anggaran sekretariat Komite Stabilitas Sistem Keuangan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
   
6. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A

 
Selain rapat secara berkala atau sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Komite Stabilitas Sistem Keuangan dapat menyelenggarakan rapat koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan Stabilitas Sistem Keuangan.

   
7. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

 
(1) Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan harus dihadiri oleh seluruh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan secara fisik dan/atau secara virtual.
(2) Rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dipimpin oleh koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(3) Pengambilan keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan dilakukan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan secara musyawarah untuk mufakat.
(4) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(5) Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, Menteri Keuangan sebagai koordinator Komite Stabilitas Sistem Keuangan mengambil keputusan atas nama Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(6) Keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau pelaksanaan dari keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sampai dengan ayat (5) oleh setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan sah dan mengikat setiap anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan dan/atau pihak terkait.
(7) Setiap keputusan Komite Stabilitas Sistem Keuangan ditandatangani oleh seluruh anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan.
(8) Dalam hal koordinator dan/atau anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan berhalangan hadir dalam rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan baik secara fisik maupun secara virtual atau berhalangan tetap, koordinator dan/atau anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan yang bersangkutan diwakili oleh pejabat pengganti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
8. Pasal 10 dihapus.
   
9. Pasal 11 dihapus.
   
10. Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 


Pasal 34A

Dalam hal Presiden memutuskan kondisi Krisis Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan bersama-sama melaksanakan langkah penanganan Krisis Sistem Keuangan.

 
 

Bagian Ketiga
Lembaga Penjamin Simpanan

 

Pasal 7

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4963) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Simpanan adalah simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
2. Bank adalah bank sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang­-undang mengenai perbankan syariah.
3. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang­-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
4. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
5. Nasabah Penyimpan adalah nasabah penyimpan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.
6. Nasabah Debitur adalah nasabah debitur sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan.
7. Bank Dalam Resolusi adalah Bank yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagai Bank yang:
  1. mengalami kesulitan keuangan;
  2. membahayakan kelangsungan usahanya; dan
  3. tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya.
8. Bank Sistemik adalah Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan Bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika Bank tersebut mengalami gangguan atau gagal.
9. Penjaminan Simpanan Nasabah Bank yang selanjutnya disebut Penjaminan, adalah penjaminan yang dilaksanakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas Simpanan nasabah Bank.
10. Cadangan Penjaminan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Lembaga Penjamin Simpanan yang dialokasikan untuk memenuhi kewajiban di masa yang akan datang dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
11. Cadangan Tujuan adalah dana yang berasal dari sebagian surplus Lembaga Penjamin Simpanan yang digunakan di antaranya untuk penggantian atau pembaruan aktiva tetap dan perlengkapan yang digunakan dalam melaksanakan tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
12. Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
13. Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan adalah peraturan yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan.
14. Dewan Komisioner adalah organ tertinggi Lembaga Penjamin Simpanan.
15. Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan yang memuat aturan internal.
16. Rapat Umum Pemegang Saham yang selanjutnya disingkat RUPS adalah rapat umum pemegang saham sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
2. Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


(1) Berdasarkan undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan dibentuk Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum.
(3) Lembaga Penjamin Simpanan merupakan lembaga yang independen, transparan, dan akuntabel dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.
(4) Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab kepada Presiden.
   
3. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A


Lembaga Penjamin Simpanan bertujuan menjamin dan melindungi dana masyarakat yang ditempatkan pada Bank serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
   
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


Lembaga Penjamin Simpanan berfungsi:
a. menjamin Simpanan Nasabah Penyimpan;
b. menjamin polis asuransi;
c. turut aktif dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan kewenangannya;
d. melakukan resolusi Bank; dan
e. melakukan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
   
5. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Dalam menjalankan fungsi menjamin Simpanan Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
  1. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan Penjaminan; dan
  2. melaksanakan Penjaminan.
(2) Dalam menjalankan fungsi menjamin polis asuransi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
  1. merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan program penjaminan polis; dan
  2. melaksanakan program penjaminan polis.
(3) Dalam menjalankan fungsi turut aktif dalam memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan kewenangannya.
(4) Dalam menjalankan fungsi melakukan resolusi Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf d, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
  1. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan tindakan resolusi Bank termasuk uji tuntas pada Bank serta penjajakan kepada Bank atau investor lain; dan
  2. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan resolusi Bank yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi.
(5) Dalam menjalankan fungsi melakukan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf e, Lembaga Penjamin Simpanan bertugas:
  1. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
  2. merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan.
   
6. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

 
(1) Dalam rangka melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
  1. menetapkan dan memungut premi Penjaminan dan iuran berkala penjaminan polis;
  2. menetapkan dan memungut kontribusi pada saat Bank pertama kali menjadi peserta dan iuran awal pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah pertama kali menjadi peserta;
  3. melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Lembaga Penjamin Simpanan, termasuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang serta aset lainnya;
  4. mendapatkan data Simpanan Nasabah Penyimpan, data kesehatan Bank, laporan keuangan Bank, dan laporan hasil pemeriksaan Bank;
  5. mendapatkan data pemegang polis, tertanggung, dan peserta asuransi; data kesehatan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; laporan keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan laporan hasil pemeriksaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
  6. melakukan rekonsiliasi, verifikasi, dan/atau konfirmasi atas data dan laporan sebagaimana dimaksud dalam huruf d dan huruf e;
  7. menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan mengenai pembayaran klaim Penjaminan dan pelaksanaan penjaminan polis;
  8. menunjuk, menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama Lembaga Penjamin Simpanan, guna melaksanakan sebagian tugas tertentu;
  9. melakukan penyuluhan kepada Bank, Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, serta masyarakat mengenai Penjaminan dan penjaminan polis;
  10. melakukan pemeriksaan Bank baik sendiri maupun bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan;
  11. melakukan pemeriksaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah baik sendiri maupun bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan;
  12. melakukan penempatan dana pada Bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan;
  13. menunjuk pengelola statuter pada Bank yang menerima penempatan dana dari Lembaga Penjamin Simpanan;
  14. melakukan pengalihan portofolio pertanggungan, pembayaran klaim penjaminan, dan pengembalian premi atau kontribusi yang belum berjalan, pada saat Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dilikuidasi;
  15. mengalihkan polis asuransi tanpa persetujuan pemegang polis asuransi; dan
  16. mengenakan sanksi administratif.
(2) Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan atas Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
  1. mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS;
  2. menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah;
  3. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah dengan pihak ketiga yang merugikan Bank Dalam Resolusi serta Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah; dan
  4. menjual dan/atau mengalihkan aset Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tanpa persetujuan debitur dan/atau mengalihkan kewajiban Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tanpa persetujuan kreditur.
   
7. Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9A

 
(1) Bank wajib menyampaikan data Simpanan berbasis nasabah kepada Lembaga Penjamin Simpanan untuk menentukan Simpanan yang layak dibayar.
(2) Bank bertanggung jawab atas kebenaran dan kelengkapan data Simpanan berbasis nasabah yang disampaikan kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam rangka menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan pemeriksaan terhadap data Simpanan berbasis nasabah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian data Simpanan berbasis nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
8. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10A

 
(1) Dalam rangka melaksanakan kebijakan Penjaminan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat menjamin Simpanan untuk kelompok nasabah.
(2) Ketentuan mengenai Penjaminan kelompok nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR.
   
9. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Penghitungan premi Penjaminan dilakukan sendiri oleh Bank.
(2) Perhitungan premi oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi final setelah melewati jangka waktu 10 (sepuluh) tahun.
(3) Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan verifikasi atas perhitungan premi oleh Bank sebelum jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Verifikasi yang dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan atas perhitungan premi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan melalui pemeriksaan dokumen, pemanggilan pejabat Bank yang bersangkutan, dan/atau pemeriksaan langsung pada Bank.
(5) Dalam hal dilakukan verifikasi oleh Lembaga Penjamin Simpanan, hasil verifikasi premi dimaksud merupakan perhitungan premi final.
(6) Dalam hal terdapat perbedaan hasil perhitungan premi oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan hasil verifikasi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Bank wajib melakukan penyesuaian jumlah premi pada saat pembayaran premi periode berikutnya.
   
10. Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14A


Dalam melakukan penghitungan premi Penjaminan, Lembaga Penjamin Simpanan memperhitungkan dana yang ditempatkan oleh Pemerintah pada Bank dalam rangka kebijakan penanganan permasalahan perekonomian nasional dalam kondisi krisis.
   
11. Penjelasan Pasal 16 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
   
12. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17


(1) Pembayaran klaim Penjaminan dapat dilakukan secara tunai dan/atau dengan alat pembayaran lain yang setara dengan itu.
(2) Setiap pembayaran klaim Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam mata uang Rupiah.
(3) Klaim Penjaminan dari Simpanan dalam mata uang asing dibayarkan dalam bentuk ekuivalen Rupiah berdasarkan kurs yang diterbitkan Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai alat pembayaran lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kurs sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
13. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18


(1) Dalam hal Nasabah Penyimpan pada saat yang bersamaan mempunyai kewajiban kepada Bank, pembayaran klaim Penjaminan dilakukan setelah Lembaga Penjamin Simpanan melakukan perjumpaan utang antara kewajiban Nasabah Penyimpan kepada Bank dan Simpanan nasabah yang bersangkutan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Ketentuan mengenai perjumpaan utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
14. Penjelasan Pasal 19 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
   
15. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 20


(1) Dalam hal Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) keberatan terhadap keputusan penetapan Simpanan tidak layak dibayar, Nasabah Penyimpan dapat mengajukan keberatan kepada Lembaga Penjamin Simpanan yang didukung dengan bukti nyata dan jelas paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak keputusan diumumkan.
(2) Dalam hal keberatan tidak diajukan sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Nasabah Penyimpan dianggap telah menerima keputusan penetapan Simpanan tidak layak dibayar.
(3) Dalam hal Nasabah Penyimpan mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Lembaga Penjamin Simpanan memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Nasabah Penyimpan dalam jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari kalender.
(4) Nasabah Penyimpan dapat mengajukan upaya hukum melalui pengadilan terhadap keputusan atas keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pemberitahuan surat keputusan atas penanganan keberatan.
(5) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menerima keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau putusan pengadilan mengabulkan upaya hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan hanya membayar Simpanan Nasabah Penyimpan sesuai dengan Penjaminan termasuk bunga atau kompensasi yang wajar.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat, mekanisme, dan tata cara penanganan keberatan Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
16. Pasal 21 dihapus.
   
17. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22


(1) Penyelesaian atau penanganan Bank Dalam Resolusi dilakukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dengan cara sebagai berikut:
  1. penyelesaian Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dilakukan dengan melakukan penyelamatan atau tidak melakukan penyelamatan terhadap Bank Dalam Resolusi; atau
  2. penanganan Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dilakukan dengan melakukan penyelamatan yang mengikutsertakan pemegang saham lama atau tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama.
(2) Pemilihan penyelesaian atau penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:
a. perkiraan biaya resolusi; dan
b. faktor lain yang meliputi:
  1. kondisi perekonomian;
  2. kompleksitas kondisi permasalahan Bank;
  3. pangsa pasar Bank terhadap sistem perbankan;
  4. kebutuhan waktu penanganan;
  5. ketersediaan investor;
  6. efektivitas penanganan permasalahan Bank; dan/atau
  7. kondisi lainnya.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian atau penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
18. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Lembaga Penjamin Simpanan melakukan penyelamatan Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dalam hal pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) telah terpenuhi.
(2) Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta pegawai dan mantan pegawai Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi wajib untuk setiap saat memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
   
19. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25

 
Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank.
   
20. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 26

 
(1) Setelah Lembaga Penjamin Simpanan mengambil alih hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan tindakan:
  1. menguasai, mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas aset milik atau yang menjadi hak Bank dan/atau kewajiban Bank;
  2. melakukan penyertaan modal sementara;
  3. menjual atau mengalihkan aset Bank tanpa persetujuan Nasabah Debitur dart/atau kewajiban Bank tanpa persetujuan nasabah kreditur;
  4. mengalihkan manajemen Bank kepada pihak lain;
  5. melakukan penggabungan atau peleburan dengan Bank lain;
  6. melakukan pengalihan kepemilikan Bank; dan/atau
  7. meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak Bank yang mengikat Bank dengan pihak ketiga, yang menurut Lembaga Penjamin Simpanan merugikan Bank.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
21. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

 
(1) Dalam hal ekuitas Bank bernilai positif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, PSP lama mendapatkan bagian dari hasil penjualan saham Bank yang telah diselamatkan sebesar proporsional kepemilikan PSP terhadap ekuitas Bank pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis.
(2) Dalam hal ekuitas bank bernilai nol atau negatif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, PSP lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham Bank setelah penyelamatan.
   
22. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29


(1) Penggunaan hasil penjualan saham Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dilakukan dengan urutan:
  1. pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan
  2. pengembalian kepada PSP lama sebesar proporsional kepemilikan PSP lama terhadap ekuitas Bank pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank selain Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
(2) Dalam hal setelah penggunaan hasil penjualan saham Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih ada sisa, sisa hasil penjualan saham Bank dibagi secara proporsional kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama sesuai dengan perbandingan pengembalian seluruh biaya penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pengembalian kepada PSP lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
   
23. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 30


(1) Lembaga Penjamin Simpanan wajib menjual seluruh saham yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk menyelamatkan Bank Dalam Resolusi.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap mempertimbangkan tingkat.
(3) Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(4) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
   
24. Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 31


(1) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memutuskan untuk tidak melakukan penyelamatan atau tidak melanjutkan proses penyelamatan, Lembaga Penjamin Simpanan meminta pencabutan izin usaha Bank selain Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi kepada Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan pembayaran klaim Penjaminan kepada Nasabah Penyimpan Bank yang dicabut izin usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
   
25. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 33


(1) Penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 hanya dapat dilakukan apabila pemegang saham Bank Dalam Resolusi telah menyetor modal paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari perkiraan biaya penanganan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan penanganan Bank Dalam Resolusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
26. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 34


Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan Undang-Undang ini:
a. segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan; dan
b. pemegang saham dan pengurus Bank lama tidak dapat menuntut Lembaga Penjamin Simpanan atau pihak yang ditunjuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penanganan Bank Dalam Resolusi, sepanjang Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau pihak yang ditunjuk Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tugasnya dengan iktikad baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan dan tata kelola yang baik.
   
27. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35


(1) Dalam hal ekuitas Bank bernilai positif setelah PSP lama melakukan penyetoran modal sementara, Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama menandatangani perjanjian yang mengatur penggunaan hasil penjualan saham Bank.
(2) Dalam hal ekuitas Bank bernilai nol atau negatif setelah PSP lama melakukan penyetoran modal, PSP lama tidak mendapatkan bagian dari hasil penjualan saham Bank.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
28. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 36

 
(1) Dalam perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), penggunaan hasil penjualan saham Bank diatur dengan urutan sebagai berikut:
  1. pengembalian seluruh biaya penyelamatan yang telah dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan
  2. pengembalian kepada PSP lama sebesar proporsional kepemilikan PSP lama terhadap ekuitas Bank pada posisi sesaat setelah PSP lama melakukan penyetoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
(2) Dalam hal setelah penggunaan hasil penjualan saham Bank masih ada sisa, sisa hasil penjualan saham Bank dibagi secara proporsional kepada Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama sesuai dengan perbandingan pengembalian seluruh biaya penyelamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan pengembalian kepada PSP lama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan hasil penjualan saham Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
29. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37


(1) Lembaga Penjamin Simpanan bertanggung jawab atas kekurangan biaya penanganan Bank Dalam Resolusi setelah pemegang saham lama melakukan penyetoran modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).
(2) Biaya penanganan Bank Dalam Resolusi yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan menjadi penyertaan modal sementara Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank.
   
30. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38


(1) Lembaga Penjamin Simpanan wajib menjual seluruh saham Bank yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk melakukan penanganan.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(4) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
   
31. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40


Terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis atas penetapan Bank Sistemik sebagai Bank Dalam Resolusi dari Otoritas Jasa Keuangan, berdasarkan Undang-Undang ini:
a. segala hak dan wewenang RUPS, kepemilikan, kepengurusan, dan kepentingan lain pada Bank dimaksud beralih kepada Lembaga Penjamin Simpanan; dan
b. pemegang saham dan pengurus Bank lama tidak dapat menuntut Lembaga Penjamin Simpanan atau pihak yang ditunjuk oleh Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penanganan Bank Dalam Resolusi, sepanjang Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau pihak yang ditunjuk Lembaga Penjamin Simpanan melakukan tugasnya dengan iktikad baik, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan dan tata kelola yang baik.
   
32. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42

 
(1) Lembaga Penjamin Simpanan wajib menjual seluruh saham Bank yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan PSP lama Bank Sistemik yang ditetapkan sebagai Bank Dalam Resolusi paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Lembaga Penjamin Simpanan menetapkan untuk melakukan penanganan Bank Dalam Resolusi.
(2) Penjualan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara terbuka dan transparan dengan tetap mempertimbangkan tingkat pengembalian yang optimal bagi Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sebesar seluruh penempatan modal sementara yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(4) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali dengan masing-masing perpanjangan selama 1 (satu) tahun.
(5) Dalam hal tingkat pengembalian yang optimal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) tidak dapat diwujudkan dalam jangka waktu perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Lembaga Penjamin Simpanan menjual saham Bank tanpa memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 1 (satu) tahun berikutnya.
(6) Dalam hal ekuitas Bank bernilai positif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dalam rangka penggunaan hasil penjualan saham Bank dimaksud berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29.
(7) Dalam hal ekuitas Bank bernilai nol atau negatif pada saat Lembaga Penjamin Simpanan menerima pemberitahuan tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, pemegang saham lama tidak memiliki hak atas hasil penjualan saham Bank setelah penanganan.
   
33. Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 50A dan Pasal 50B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 50A

 
(1) Dalam hal terdapat sengketa dalam proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, gugatan diajukan kepada ketua pengadilan niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat.
(2) Dalam hal salah satu pihak bertempat tinggal di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
(3) Panitera mendaftarkan gugatan pada tanggal gugatan diajukan dan kepada penggugat diberikan tanda terima yang ditandatangani oleh panitera pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran gugatan.
(4) Panitera sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan gugatan kepada ketua pengadilan niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak tanggal gugatan didaftarkan.
(5) Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal gugatan disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ketua pengadilan niaga mempelajari gugatan dan menunjuk majelis hakim untuk menetapkan hari sidang.
(6) Pemanggilan para pihak dilakukan oleh juru sita paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak gugatan didaftarkan.
(7) Sidang pemeriksaan sampai dengan putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak perkara diterima oleh majelis yang memeriksa perkara dan dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja atas persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(8) Putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan, harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.
(9) Isi putusan pengadilan niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (8) wajib disampaikan oleh juru sita kepada para pihak paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan atas gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diucapkan.
 

Pasal 50B

 
(1) Terhadap putusan pengadilan niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50A ayat (8) hanya dapat diajukan kasasi.
(2) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan yang dimohonkan kasasi diucapkan atau diberitahukan kepada para pihak dengan mendaftarkan kepada panitera pada pengadilan niaga yang telah memutus gugatan.
(3) Panitera mendaftarkan permohonan kasasi pada tanggal permohonan yang bersangkutan diajukan dan kepada pemohon kasasi diberikan tanda terima yang ditandatangani oleh panitera pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan pendaftaran.
(4) Panitera wajib memberitahukan permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada pihak termohon kasasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak permohonan kasasi didaftarkan.
(5) Pemohon kasasi sudah harus menyampaikan memori kasasi kepada panitera paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan.
(6) Panitera wajib menyampaikan memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) kepada termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak memori kasasi diterima oleh panitera.
(7) Termohon kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi kepada panitera paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal termohon kasasi menerima memori kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan panitera wajib menyampaikan kontra memori kasasi kepada pemohon kasasi paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak kontra memori kasasi diterima oleh panitera.
(8) Panitera wajib menyampaikan berkas perkara kasasi kepada Mahkamah Agung paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak memori kasasi disampaikan kepada termohon sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(9) Sidang pemeriksaan dan putusan atas permohonan kasasi harus diselesaikan paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan kasasi diterima oleh majelis kasasi.
(10) Putusan atas permohonan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (9) yang memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.
(11) Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) kepada panitera paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.
(12) Juru sita wajib menyampaikan isi putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) kepada pemohon kasasi dan termohon kasasi paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak putusan kasasi diterima.
(13) Upaya hukum peninjauan kembali terhadap putusan kasasi sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
34. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

 
(1) Likuidasi Bank dilakukan dengan cara:
  1. pencairan aset dan/atau penagihan piutang kepada para debitur diikuti dengan pembayaran kewajiban Bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan; dan/atau
  2. pengalihan aset dan kewajiban Bank kepada pihak lain berdasarkan persetujuan Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
35. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 54


(1) Pembayaran kewajiban Bank kepada para kreditur dari hasil pencairan dan/atau penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dilakukan dengan urutan sebagai berikut:
  1. penggantian atas talangan pembayaran gaji pegawai yang terutang;
  2. penggantian atas pembayaran talangan pesangon pegawai;
  3. biaya perkara di pengadilan, biaya lelang yang terutang, dan biaya operasional kantor;
  4. biaya penyelamatan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan dan/atau pembayaran atas klaim Penjaminan yang harus dibayarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan;
  5. pajak yang terutang;
  6. kewajiban kepada Bank Indonesia dalam rangka pinjaman likuiditas jangka pendek atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah dan operasi moneter serta kewajiban kepada Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank;
  7. bagian Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dibayarkan penjaminannya dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan yang tidak dijamin; dan
  8. hak dari kreditur lainnya.
(2) Segala biaya yang berkaitan dengan likuidasi dan tercantum dalam daftar biaya likuidasi menjadi beban aset Bank dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya.
(3) Honorarium tim likuidasi yang termasuk salah satu komponen dalam biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan berpedoman pada Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
(4) Dalam hal seluruh kewajiban Bank dalam likuidasi telah dibayarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih terdapat sisa hasil likuidasi, sisa diserahkan kepada pemegang saham lama.
(5) Dalam hal seluruh aset Bank telah habis dalam proses likuidasi dan masih terdapat kewajiban Bank terhadap pihak lain, kewajiban tersebut wajib dibayarkan oleh pemegang saham lama yang terbukti menyebabkan Bank menjadi Bank Dalam Resolusi.
   
36. Pasal 62 dihapus.
   
37. Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 63


(1) Organ Lembaga Penjamin Simpanan berupa Dewan Komisioner.
(2) Dewan Komisioner merupakan pimpinan Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner.
(4) Dewan Komisioner melaksanakan tugas dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(5) Pembagian dan/atau perubahan pembidangan, tugas, tata tertib, dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang Dewan Komisioner dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner setelah dikonsultasikan dengan DPR.
(6) Dewan Komisioner berwenang mewakili Lembaga Penjamin Simpanan di dalam dan di luar pengadilan.
(7) Dewan Komisioner dapat mendelegasikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) kepada anggota Dewan Komisioner, dengan atau tanpa hak substitusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
38. Pasal 64 dihapus.
   
39. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 65


(1) Anggota Dewan Komisioner berjumlah 7 (tujuh) orang terdiri atas:
  1. 1 (satu) orang pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan;
  2. 1 (satu) orang anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan yang ditunjuk oleh Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
  3. 1 (satu) orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia yang ditunjuk oleh Gubernur Bank Indonesia; dan
  4. 4 (empat) orang anggota yang berasal dari dalam dan/atau dari luar Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
  1. Ketua Dewan Komisioner merangkap anggota;
  2. Wakil Ketua Dewan Komisioner merangkap anggota;
  3. anggota Dewan Komisioner yang membidangi program Penjaminan dan resolusi Bank; dan
  4. anggota Dewan Komisioner yang membidangi program penjaminan polis.
(3) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden.
(4) Untuk setiap jabatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden mengusulkan kepada DPR paling sedikit 2 (dua) calon.
(5) Dalam rangka pengajuan calon anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden membentuk panitia seleksi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Susunan keanggotaan dan tata cara pelaksanaan seleksi oleh panitia seleksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Presiden.
(7) DPR memilih calon anggota Dewan Komisioner paling lama 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner dari Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(8) Calon anggota Dewan Komisioner terpilih disampaikan DPR kepada Presiden paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak selesainya proses pemilihan calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
(9) Presiden mengangkat dan menetapkan calon terpilih sebagai anggota Dewan Komisioner paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya nama calon anggota Dewan Komisioner terpilih dari DPR.
   
40. Di antara Pasal 65 dan Pasal 66 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 65A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65A


(1) Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) sebelum memangku jabatannya wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau kepercayaannya di hadapan Presiden.
(2) Bunyi lafal sumpah atau janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:

"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk menjadi Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan langsung atau tidak langsung dengan nama dan dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan untuk memberikan sesuatu kepada siapapun".
 
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, dalam melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapapun sesuatu janji atau pemberian dalam bentuk apapun".
 
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Ketua/Wakil Ketua/anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan dengan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan tugas dan kewajiban tersebut".
 
"Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945".
   
41. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


(1) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali untuk masa jabatan berikutnya.
(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf d melakukan tugas secara penuh waktu dan tidak diperbolehkan menduduki jabatan eksekutif di tempat lain, kecuali merupakan penugasan sehubungan dengan jabatan yang dipegang atau merupakan bagian dari kegiatan sosial.
   
42. Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 67


Calon anggota Dewan Komisioner harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik;
c. cakap melakukan perbuatan hukum;
d. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit;
e. sehat jasmani;
f. berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat ditetapkan;
g. mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan;
h. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih;
i. bukan sebagai konsultan, pegawai, pengurus, dan/atau pemilik Bank atau Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah baik langsung maupun tidak langsung;
j. bukan pengurus dan/atau anggota partai politik saat pencalonan; dan
k. tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang perbankan dan jasa keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
43. Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69

 
(1) Anggota Dewan Komisioner hanya dapat diberhentikan oleh Presiden apabila:
  1. berhalangan tetap;
  2. masa jabatannya berakhir;
  3. mengundurkan diri;
  4. tidak hadir dalam rapat Dewan Komisioner sebanyak 4 (empat) kali berturut-turut tanpa alasan;
  5. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 6 (enam) bulan meskipun dengan alasan yang dapat dipertimbangkan;
  6. memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat kedua atau besan dengan anggota Dewan Komisioner yang lain, dan tidak ada satupun yang mengundurkan diri; atau
  7. tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67.
(2) Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberhentikan dari jabatannya karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I di Kementerian Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, atau anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia.
(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(4) Pemberhentian anggota Dewan Komisioner dan pengusulan anggota yang baru harus dilakukan sedemikian rupa hingga jumlah anggota Dewan Komisioner paling sedikit 4 (empat) orang.
(5) Dalam hal anggota Dewan Komisioner diberhentikan, anggota Dewan Komisioner penggantinya harus ditetapkan paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal pemberhentian.
(6) Masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang diangkat untuk menggantikan anggota yang diberhentikan bukan karena masa jabatannya berakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah sisa masa jabatan anggota Dewan Komisioner yang digantikannya.
   
44. Pasal 70 dihapus.
   
45. Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 71


(1) Dewan Komisioner wajib mengadakan rapat secara berkala paling sedikit 1 (satu) bulan sekali dengan agenda yang memuat:
  1. menetapkan kebijakan Penjaminan dan penjaminan polis berdasarkan Undang-Undang ini;
  2. menetapkan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka turut aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan sesuai dengan kewenangannya;
  3. menetapkan kebijakan resolusi Bank dan penyelesaian permasalahan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  4. mengevaluasi pelaksanaan Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, dan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah, serta pelaksanaan peran Lembaga Penjamin Simpanan dalam rangka turut aktif memelihara Stabilitas Sistem Keuangan;
  5. menerima dan mengevaluasi hal lain yang dilaporkan anggota Dewan Komisioner; dan
  6. hal lain yang berhubungan dengan tugas Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Ketua Dewan Komisioner memimpin rapat Dewan Komisioner.
(3) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner berhalangan sehingga yang bersangkutan tidak dapat memimpin rapat, Ketua Dewan Komisioner dapat menunjuk Wakil Ketua atau anggota Dewan Komisioner lainnya untuk memimpin rapat.
(4) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner berhalangan sehingga yang bersangkutan tidak dapat memimpin rapat dan tidak dapat menunjuk Wakil Ketua atau anggota Dewan Komisioner untuk memimpin rapat, anggota Dewan Komisioner lainnya secara musyawarah untuk mufakat memilih salah satu di antara mereka untuk memimpin rapat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan rapat Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
46. Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 72


(1) Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, Ketua Dewan Komisioner menetapkan keputusan akhir.
(3) Dalam hal anggota Dewan Komisioner mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan objek yang akan diputuskan, yang bersangkutan tidak ikut dalam pengambilan keputusan.
(4) Keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) sah apabila diputuskan dalam rapat Dewan Komisioner.
(5) Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah jika dihadiri lebih dari 1/2 (satu perdua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner.
(6) Keputusan Dewan Komisioner mengikat seluruh anggota Dewan Komisioner.
(7) Semua catatan dan data termasuk argumentasi yang dikemukakan oleh anggota Dewan Komisioner dalam pengambilan keputusan Dewan Komisioner dimuat dalam risalah rapat dan ditandatangani oleh semua anggota Dewan Komisioner yang hadir.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (7) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
47. Pasal 73 dihapus.
   
48. Di antara Pasal 74 dan Pasal 75 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 74A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74A


(1) Dewan Komisioner menetapkan dan menegakkan kode etik Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
49. Bagian Ketiga dalam Bab VII dihapus.
   
50. Pasal 77 dihapus.
   
51. Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 78


(1) Dewan Komisioner menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
52. Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 79


(1) Dalam hal berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap:
  1. anggota Dewan Komisioner atau mantan anggota Dewan Komisioner;
  2. mantan Kepala Eksekutif; dan/atau
  3. pegawai Lembaga Penjamin Simpanan atau mantan pegawai Lembaga Penjamin Simpanan,
diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada pihak lain, sepanjang yang bersangkutan melaksanakan tugas, wewenang, dan/atau fungsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Lembaga Penjamin Simpanan membayar ganti rugi dimaksud.
(2) Biaya penyelesaian perkara terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditanggung oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
   
53. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82


(1) Dana yang digunakan Lembaga Penjamin Simpanan untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 bersumber dari kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk investasi dan bukan investasi.
(3) Kekayaan yang berbentuk investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat ditempatkan pada surat berharga yang diterbitkan oleh Pemerintah Indonesia, Bank Indonesia, dan/atau pemerintah negara asing.
(4) Investasi pada surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling banyak 10% (sepuluh persen) dari total kekayaan Lembaga Penjamin Simpanan.
(5) Lembaga Penjamin Simpanan tidak dapat menempatkan kekayaannya pada Bank atau perusahaan lainnya, kecuali dalam bentuk penyertaan modal sementara dalam rangka penyelamatan atau penanganan Bank Dalam Resolusi, penyertaan modal pada bank perantara, penempatan dana Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank, dan penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset.
(6) Lembaga Penjamin Simpanan dapat menempatkan kekayaan bukan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kegiatan operasional.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan besaran persentase investasi pada surat berharga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah dikonsultasikan dengan DPR.
   
54. Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 82A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 82A


(1) Dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan aset yang diperoleh dari:
  1. penempatan dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank;
  2. penyelesaian dan/atau penanganan Bank Dalam Resolusi;
  3. penanganan Bank dalam program restrukturisasi perbankan; dan/atau
  4. Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang dilikuidasi,
Lembaga Penjamin Simpanan dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan pengelola aset, melakukan penyertaan modal pada perusahaan pengelola aset, dan/atau mendirikan perusahaan pengelola aset.
(2) Badan hukum perusahaan pengelola aset yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbentuk perseroan terbatas dan seluruh sahamnya dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Terhadap perusahaan pengelola aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan yang mewajibkan perseroan terbatas didirikan atau dimiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
   
55. Di antara Pasal 83 dan Pasal 84 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 83A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 83A


Ketentuan mengenai perpajakan Lembaga Penjamin Simpanan diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
   
56. Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 85


(1) Dalam hal modal Lembaga Penjamin Simpanan kurang dari modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), Pemerintah dengan persetujuan DPR menutup kekurangan.
(2) Lembaga Penjamin Simpanan dapat memberikan pinjaman antarprogram dalam hal salah satu program yang diselenggarakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan mengalami kekurangan dana.
(3) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan memperkirakan Lembaga Penjamin Simpanan akan atau telah mengalami kesulitan likuiditas karena menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
  1. menjual dan/atau repo (repurchase agreement) surat berharga negara yang dimiliki kepada Bank Indonesia dan/atau pihak lain;
  2. menerbitkan surat utang;
  3. meminjam kepada pihak lain; dan/atau
  4. meminjam kepada Pemerintah.
(4) Dalam hal penerbitan surat utang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan/atau pelaksanaan pinjaman kepada pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tidak dapat dilakukan karena kondisi pasar keuangan yang tidak memungkinkan, Lembaga Penjamin Simpanan dapat mengajukan permohonan pinjaman kepada Pemerintah.
(5) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan mengajukan pinjaman kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Lembaga Penjamin Simpanan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian pinjaman antarprogram sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pemberian pinjaman Pemerintah kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
   
57. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86


(1) Dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku, Wakil Ketua Dewan Komisioner menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan kepada Dewan Komisioner.
(2) Rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
  1. rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional; dan
  2. rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kebijakan Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, dan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.
(3) Bersamaan dengan penyampaian rencana kerja dan anggaran tahunan, Wakil Ketua Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan kepada Dewan Komisioner.
(4) Ketua Dewan Komisioner menyampaikan rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a kepada Menteri Keuangan untuk mendapat persetujuan.
(5) Penyampaian kepada Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun buku mulai berlaku.
(6) Menteri Keuangan memberikan persetujuan atas rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat tanggal 30 November tahun berjalan.
(7) Rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang memuat:
  1. rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6); dan
  2. rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kebijakan Penjaminan, penjaminan polis, penempatan dana, resolusi Bank, dan likuidasi Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah,
ditetapkan oleh Dewan Komisioner.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan rencana kerja dan anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
58. Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 88


(1) Lembaga Penjamin Simpanan dalam menjalankan Undang-Undang ini wajib mengutamakan prinsip tata kelola kelembagaan yang baik dan profesional.
(2) Lembaga Penjamin Simpanan wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan dalam menjalankan Undang-Undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
(3) Laporan yang disampaikan kepada Presiden dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan.
(4) Laporan triwulanan dan laporan tahunan yang disampaikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, dan Lembaga Penjamin Simpanan.
(5) Dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Penjamin Simpanan wajib menyampaikan penjelasan secara lisan dan/atau tertulis.
(6) Bagian dari laporan triwulanan dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam Berita Negara.
(7) Setiap awal tahun anggaran, Lembaga Penjamin Simpanan wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
  1. evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Lembaga Penjamin Simpanan pada tahun sebelumnya; dan
  2. rencana kebijakan dan penetapan sasaran Lembaga Penjamin Simpanan untuk tahun yang akan datang.
(8) Lembaga Penjamin Simpanan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR.
(9) Lembaga Penjamin Simpanan:
  1. menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun anggaran; dan
  2. menyampaikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah laporan keuangan tahunan selesai disusun.
(10) Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.
(11) Lembaga Penjamin Simpanan wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Lembaga Penjamin Simpanan kepada publik melalui media massa.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan kinerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.
   
59. Pasal 89 dihapus.
   
60. Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XA
BADAN SUPERVISI LEMBAGA PENJAMIN SIMPANAN

   
61. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A

 

(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan.
(2) Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Lembaga Penjamin Simpanan untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan.
(3) Untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan bertugas membantu DPR dalam:
  1. membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
  2. melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan; dan
  3. menyusun laporan kinerja.
(4) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan berwenang:
  1. meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
  2. menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Lembaga Penjamin Simpanan;
  3. melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
  4. meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan;
  5. menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari Lembaga Penjamin Simpanan;
  6. melakukan telaahan atas anggaran operasional Lembaga Penjamin Simpanan;
  7. menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai kelembagaan Lembaga Penjamin Simpanan; dan
  8. meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan.
(5) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk untuk:
  1. menghadiri rapat Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan;
  2. menyatakan pendapat untuk mewakili Lembaga Penjamin Simpanan; dan
  3. menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) baik secara langsung maupun tidak langsung kepada publik.
(6) Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan membuat laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan dan sewaktu-waktu jika diperlukan.
(7) Anggaran Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan bersumber dari anggaran operasional Lembaga Penjamin Simpanan.
(8) Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
 
 

Pasal 89B

 
(1) Keanggotaan Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya.
(2) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
(3) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. warga negara Indonesia;
  2. sehat jasmani dan rohani;
  3. mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
  4. bukan pengurus partai politik saat pencalonan;
  5. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang perbankan, Pasar Modal, perasuransian, Sistem Keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi, dan/atau hukum;
  6. tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan;
  7. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
  8. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus LJK/perusahaan yang menyebabkan LJK/perusahaan tersebut pailit atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
 

Pasal 89C

 
(1) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89B ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh DPR.
(2) Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
(3) DPR memulai proses pemilihan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang lama.
(4) Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia seleksi yang dibentuk DPR.
(5) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan dilarang memiliki benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan wewenangnya.
(7) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan diberhentikan apabila:
  1. meninggal dunia;
  2. berhalangan tetap;
  3. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
  4. mengundurkan diri;
  5. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
  6. tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah;
  7. tidak melaksanakan dengan baik atau lalai dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  8. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 898 ayat (4).
(8) Pemberhentian anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(9) Dalam hal anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang ini.
(10) Anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang digantikan.
(11) Penggantian anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Lembaga Penjamin Simpanan yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
   
62. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91

 
(1) Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, pegawai Lembaga Penjamin Simpanan, atau setiap pihak yang bertugas untuk dan atas nama Lembaga Penjamin Simpanan wajib merahasiakan semua dokumen, informasi, dan catatan yang diperoleh atau dihasilkan dalam pelaksanaan tugasnya yang harus dirahasiakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Perbuatan hukum Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, pegawai Lembaga Penjamin Simpanan, atau setiap pihak yang bertugas untuk dan atas nama Lembaga Penjamin Simpanan yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   
63. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


(1) Bank yang melanggar ketentuan kewajiban:
  1. pembayaran premi Penjaminan;
  2. penyampaian laporan berkala dalam format yang ditentukan;
  3. pemberian data, informasi, dan dokumen yang dibutuhkan dalam rangka penyelenggaraan Penjaminan; dan/atau
  4. penempatan bukti kepesertaan atau salinannya di dalam kantor Bank atau tempat lainnya sehingga dapat diketahui dengan mudah oleh masyarakat,
dikenai sanksi administratif oleh Lembaga Penjamin Simpanan berupa denda paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) per hari keterlambatan penyampaian kewajiban dan/atau laporan.
(2) Pengenaan sanksi administratif kepada Bank yang melanggar ketentuan kewajiban pembayaran premi Penjaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan paling banyak 150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah premi yang seharusnya dibayar untuk setiap periode dan dikenakan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran dan jangka waktu pengenaan serta tata cara pengenaan sanksi administratif untuk pelanggaran kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Lembaga Penjamin Simpanan.
   
64.  Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95

 
(1) Pemegang saham, anggota direksi, anggota dewan komisaris, pegawai, dan/atau pihak lain yang terkait dengan Bank yang dicabut izin usahanya atau Bank dalam likuidasi yang melanggar ketentuan mengenai:
  1. kewajiban membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5);
  2. kewajiban untuk membantu memberikan segala data dan informasi yang diperlukan oleh tim likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2); dan/atau
  3. larangan menghambat proses likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (3),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Anggota Dewan Komisioner dan pegawai Lembaga Penjamin Simpanan, atau pihak lain yang ditunjuk atau disetujui oleh Lembaga Penjamin Simpanan untuk melakukan tugas tertentu, yang melanggar ketentuan kewajiban untuk menjaga kerahasiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang memberikan data, informasi, dan/atau laporan, yang berkaitan dengan Penjaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 9 secara tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang melanggar kewajiban untuk memberikan data, informasi, dan/atau dokumen kepada Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
   
65. Di antara Pasal 95 dan Pasal 96 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 95A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 95A


Pemegang saham, anggota direksi, dan anggota dewan komisaris serta pegawai dan mantan pegawai Bank Dalam Resolusi yang melanggar ketentuan mengenai kewajiban pemberian data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).


 

Bagian Keempat
Otoritas Jasa Keuangan

 

Pasal 8


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5253) diubah sebagai berikut:

 

1.

Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 1

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1.

Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

2.

Dewan Komisioner adalah pimpinan tertinggi Otoritas Jasa Keuangan yang dipimpin oleh Ketua Dewan Komisioner.

3.

Kepala Eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.

4.

Lembaga Jasa Keuangan yang selanjutnya disingkat LJK adalah lembaga yang melaksanakan kegiatan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, modal ventura, lembaga keuangan mikro, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya.

5.

Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perbankan dan undang-undang mengenai perbankan syariah.

6.

Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:

  1. penawaran umum dan transaksi efek;
  2. pengelolaan investasi;
  3. emiten dan perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya; dan
  4. lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek,

 

sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai pasar modal.

7.

Perasuransian adalah usaha perasuransian yang bergerak di sektor usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi memberikan pelindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang, usaha reasuransi, dan usaha penunjang usaha asuransi yang menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa aktuaria.

8.

Dana Pensiun adalah badan hukum yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun.

9.

Lembaga Pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal.

10.

Lembaga Jasa Keuangan Lainnya yang selanjutnya disingkat LJK Lainnya adalah pergadaian, lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, meliputi penyelenggara program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan, sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang­-undangan mengenai pergadaian, penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, perusahaan pembiayaan sekunder perumahan, dan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, serta lembaga jasa keuangan lain yang dinyatakan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

11.

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

12.

Peraturan Dewan Komisioner adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner dan mengikat di lingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan.

13.

Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

14.

Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.

15.

Konsumen adalah pihak yang menempatkan dananya dan/atau memanfaatkan pelayanan yang tersedia di LJK di antaranya nasabah pada Perbankan, pemodal di Pasar Modal, pemegang polis pada Perasuransian, dan peserta pada Dana Pensiun berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

16.

Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

17.

Gubernur Bank Indonesia adalah pemimpin merangkap anggota dewan gubernur Bank Indonesia.

18.

Menteri Keuangan adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.

19.

Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan adalah pemimpin merangkap anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.

20.

Ex officio adalah jabatan seseorang pada lembaga tertentu karena tugas dan kewenangannya pada lembaga lain.

21.

Komite Etik adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas mengawasi kepatuhan Dewan Komisioner, pejabat, dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan terhadap kode etik.

22.

Dewan Audit adalah organ pendukung Dewan Komisioner yang bertugas melakukan evaluasi atas pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan serta menyusun standar audit dan manajemen risiko Otoritas Jasa Keuangan.

23.

Panitia Seleksi adalah panitia yang dibentuk oleh Presiden yang bertugas untuk memilih dan menetapkan calon anggota Dewan Komisioner untuk disampaikan kepada Presiden.

24.

Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.

   

2.

Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 2


(1)

Berdasarkan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan dibentuk Otoritas Jasa Keuangan.

(2)

Otoritas Jasa Keuangan merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.

   

3.

Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 5

 

Dalam rangka mencapai tujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan berfungsi:

a.

menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap keseluruhan kegiatan di sektor jasa keuangan;

b.

memelihara Stabilitas Sistem Keuangan secara aktif sesuai dengan kewenangannya; dan

c.

memberikan pelindungan terhadap Konsumen dan masyarakat.

 

 

4.

Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6

 

(1)

Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap:

  1. kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan;
  2. kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, keuangan Derivatif, dan bursa karbon;
  3. kegiatan jasa keuangan di sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun;
  4. kegiatan jasa keuangan di sektor Lembaga Pembiayaan, perusahaan modal ventura, lembaga keuangan mikro, dan LJK Lainnya;
  5. kegiatan di sektor ITSK serta aset keuangan digital dan aset kripto;
  6. perilaku pelaku usaha jasa keuangan serta pelaksanaan edukasi dan Pelindungan Konsumen; dan
  7. sektor keuangan secara terintegrasi serta melakukan asesmen dampak sistemik Konglomerasi Keuangan.

(2)

Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan bertugas melaksanakan pengembangan sektor keuangan, berkoordinasi dengan kementerian/lembaga dan otoritas terkait.

   

5.

Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 8A dan Pasal 8B sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 8A

 

(1)

Selain kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:

  1. memberikan perintah tertulis kepada LJK untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi;
  2. menetapkan pengecualian bagi pihak tertentu dari kewajiban melakukan prinsip keterbukaan di bidang Pasar Modal dalam rangka pencegahan dan penanganan Krisis Sistem Keuangan;
  3. menetapkan kebijakan mengenai pemanfaatan teknologi informasi dalam penyelenggaraan RUPS atau rapat lain yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  4. memberikan data dan informasi yang dibutuhkan oleh Pemerintah, dalam rangka penanganan permasalahan perekonomian nasional yang melibatkan Perbankan dan/atau LJK yang berada di bawah pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.

(2)

Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dilaksanakan oleh pelaku industri keuangan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 8B

 

Otoritas Jasa Keuangan merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang terhadap debitur yang merupakan Bank, perusahaan efek, bursa efek, penyelenggara pasar alternatif, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, penyelenggara dana perlindungan pemodal, lembaga pendanaan efek, lembaga penilaian harga efek, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, Dana Pensiun, lembaga penjamin, Lembaga Pembiayaan, lembaga keuangan mikro, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, Penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi, atau LJK Lainnya yang terdaftar dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan Undang-Undang lainnya.

 

 

6.

Penjelasan Pasal 9 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.

   

7.

Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 10

 

(1)

Otoritas Jasa Keuangan dipimpin oleh Dewan Komisioner.

(2)

Ketua Dewan Komisioner bertindak sebagai pimpinan Dewan Komisioner.

(3)

Dewan Komisioner beranggotakan 11 (sebelas) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(4)

Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:

  1. seorang Ketua merangkap anggota;
  2. seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;
  3. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;
  4. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon merangkap anggota;
  5. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun merangkap anggota;
  6. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;
  7. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital dan Aset Kripto merangkap anggota;
  8. seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen merangkap anggota;
  9. seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;
  10. seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan
  11. seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

(5)

Ketua Dewan Komisioner memimpin pelaksanaan koordinasi pengawasan terintegrasi di sektor keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf g.

(6)

Kepala Eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c sampai dengan huruf h memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan.

(7)

Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b sampai dengan huruf i melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.

 

 

8.

Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 15

 

Syarat calon anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf i adalah sebagai berikut:

a.

warga negara Indonesia;

b.

memiliki akhlak, moral, dan integritas yang baik;

c.

cakap melakukan perbuatan hukum;

d.

tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit;

e.

sehat jasmani;

f.

berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat ditetapkan;

g.

mempunyai pengalaman atau keahlian di sektor jasa keuangan;

h.

tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman 5 (lima) tahun atau lebih; dan

i.

bukan pengurus dan/atau anggota partai politik pada saat pencalonan.

 

 

9.

Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 17

 

(1)

Anggota Dewan Komisioner tidak dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya berakhir, kecuali apabila memenuhi alasan sebagai berikut:

  1. meninggal dunia;
  2. mengundurkan diri;
  3. dihapus;
  4. berhalangan tetap sehingga tidak dapat melaksanakan tugas atau diperkirakan secara medis tidak dapat melaksanakan tugas lebih dari 6 (enam) bulan berturut-turut;
  5. tidak menjalankan tugasnya sebagai anggota Dewan Komisioner lebih dari 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
  6. tidak lagi menjadi anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf j;
  7. tidak lagi menjadi pejabat setingkat eselon I pada Kementerian Keuangan bagi anggota Ex-officio Dewan Komisioner yang berasal dari Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) huruf k;
  8. memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner lain dan tidak ada satu pun yang mengundurkan diri dari jabatannya;
  9. melanggar kode etik; atau
  10. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22.

(2)

Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diusulkan oleh Dewan Komisioner kepada Presiden untuk mendapatkan penetapan.

 

 

10.

Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 24

 

(1)

Pengambilan keputusan Dewan Komisioner dilakukan secara musyawarah untuk mufakat.

(2)

Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.

(3)

Dalam hal pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, Ketua Dewan Komisioner menetapkan keputusan akhir.

(4)

Dalam hal anggota Dewan Komisioner mempunyai kepentingan pribadi, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat menimbulkan benturan kepentingan dengan objek yang akan diputuskan, yang bersangkutan tidak ikut dalam pengambilan keputusan.

(5)

Keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) sah apabila dilakukan berdasarkan rapat Dewan Komisioner.

(6)

Rapat Dewan Komisioner dapat diselenggarakan melalui tatap muka atau melalui pemanfaatan teknologi informasi baik di hari kerja maupun di hari libur.

(7)

Rapat Dewan Komisioner dinyatakan sah apabila dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota Dewan Komisioner.

(8)

Keputusan Dewan Komisioner mengikat seluruh anggota Dewan Komisioner.

(9)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.

 

 

11.

Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 25

 

(1)

Ketua Dewan Komisioner berwenang mewakili Otoritas Jasa Keuangan di dalam dan di luar pengadilan.

(2)

Ketua Dewan Komisioner dapat mendelegasikan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Wakil Ketua Dewan Komisioner dan/atau anggota Dewan Komisioner lain, dengan atau tanpa hak substitusi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pendelegasian wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.

 

 

12.

Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 34

 

(1)

Dewan Komisioner menyusun rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan.

(2)

Anggaran Otoritas Jasa Keuangan merupakan bagian dari Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(3)

Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibahas Otoritas Jasa Keuangan bersama DPR.

(4)

Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Menteri Keuangan untuk menjadi bahan penyusunan rancangan undang-undang mengenai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

 

 

13.

Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 35

 

(1) Anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) digunakan untuk membiayai kegiatan operasional, administrasi, pengadaan aset, dan kegiatan pendukung lainnya.
(2) Anggaran dan penggunaan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan standar yang wajar di sektor jasa keuangan.
(3) Standar yang wajar di sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk perlakuan khusus terhadap standar biaya, proses pengadaan barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, organisasi, dan remunerasi.
(4) Ketentuan mengenai standar biaya, proses pengadaan barang dan jasa, pengelolaan sumber daya manusia, organisasi, dan remunerasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.

 

 

14.

Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 368 sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 36A

 

Ketentuan mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dan Pasal 35 mulai berlaku untuk tahun anggaran 2025.

 

 

Pasal 36B

 

Ketentuan lebih lanjut mengenai rencana kerja dan anggaran Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36A diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

 

15.

Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 37

 

(1)

Terhadap pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan dikenai pungutan.

(2)

Pihak yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan wajib membayar pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Pungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penerimaan lainnya dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keuangan negara dengan ketentuan:

  1. hasil pungutan dapat digunakan sebagian atau seluruhnya secara langsung oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dan untuk meningkatkan kualitas layanan; dan
  2. dalam hal terdapat hasil pungutan yang tidak digunakan sampai dengan akhir tahun anggaran maka dapat digunakan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun anggaran berikutnya.

(4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai pungutan dan tata kelolanya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

 

16.

Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 37A

 

(1)

Pungutan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebelum berlakunya Undang-Undang ini, tetap berlaku sampai dengan akhir tahun 2024.

(2)

Penggunaan hasil pungutan berdasarkan undang­-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan tetap dapat dilakukan sampai dengan akhir tahun 2024.

(3)

Ketentuan mengenai pungutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 mulai berlaku tahun 2025.

 

 

17.

Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 38

 

(1)

Otoritas Jasa Keuangan dalam menjalankan Undang­-Undang ini wajib mengutamakan prinsip tata kelola kelembagaan yang baik dan profesional.

(2)

Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan dalam menjalankan Undang-Undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.

(3)

Laporan yang disampaikan kepada Presiden dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan.

(4)

Laporan triwulanan dan laporan tahunan yang disampaikan oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Komisioner, anggota Dewan Komisioner, dan Otoritas Jasa Keuangan.

(5)

Dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan penjelasan secara lisan dan/atau tertulis.

(6)

Bagian dari laporan triwulanan dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam Berita Negara.

(7)

Setiap awal tahun anggaran, Otoritas Jasa Keuangan wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:

  1. evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Otoritas Jasa Keuangan pada tahun sebelumnya; dan
  2. rencana kebijakan dan penetapan sasaran Otoritas Jasa Keuangan untuk tahun yang akan datang.

(8)

Otoritas Jasa Keuangan menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR.

(9)

Otoritas Jasa Keuangan:

  1. menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun anggaran; dan
  2. menyampaikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah laporan keuangan tahunan selesai disusun.

(10)

Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.

(11)

Otoritas Jasa Keuangan wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Otoritas Jasa Keuangan kepada publik melalui media massa.

(12)

Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan kinerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Komisioner.

 

 

18.

Di antara Bab IX dan Bab X disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab IXA sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

BAB IXA
BADAN SUPERVISI OTORITAS JASA KEUANGAN

 

 

19.

Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 38A, Pasal 38B, dan Pasal 38C sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 38A
 

(1)

Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan.

(2)

Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Otoritas Jasa Keuangan untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan.

(3)

Untuk menjalankan fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan bertugas membantu DPR dalam:

  1. membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
  2. melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan; dan
  3. menyusun laporan kinerja.

(4)

Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan berwenang:

  1. meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
  2. menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Otoritas Jasa Keuangan;
  3. melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
  4. meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan;
  5. menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari Otoritas Jasa Keuangan;
  6. melakukan telaahan atas anggaran operasional Otoritas Jasa Keuangan;
  7. menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai kelembagaan Otoritas Jasa Keuangan; dan
  8. meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan.

(5)

Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk untuk:

  1. menghadiri rapat Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
  2. menyatakan pendapat untuk mewakili Otoritas Jasa Keuangan; dan
  3. menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) baik secara langsung maupun tidak langsung kepada publik.

(6)

Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan membuat laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.

(7)

Anggaran Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan bersumber dari anggaran operasional Otoritas Jasa Keuangan.

(8)

Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.

 

 

Pasal 38B

 

(1)

Keanggotaan Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya.

(2)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, akademisi, dan masyarakat.

(3)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.

(4)

Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. warga negara Indonesia;
  2. sehat jasmani dan rohani;
  3. mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
  4. bukan pengurus partai politik saat pencalonan;
  5. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang Perbankan, Pasar Modal, Perasuransian, industri keuangan non-Bank, Sistem Keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi, dan/atau hukum;
  6. tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan/atau semenda dengan anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
  7. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
  8. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus LJK atau perusahaan yang menyebabkan LJK atau perusahaan tersebut pailit atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

 

 

Pasal 38C

 

(1)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh DPR.

(2)

Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.

(3)

DPR memulai proses pemilihan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang lama.

(4)

Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Panitia Seleksi yang dibentuk oleh DPR.

(5)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(6)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan dilarang memiliki benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan wewenangnya.

(7)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan diberhentikan apabila:

  1. meninggal dunia;
  2. berhalangan tetap;
  3. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
  4. mengundurkan diri;
  5. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
  6. tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah;
  7. tidak melaksanakan dengan baik atau lalai dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  8. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38B ayat (4).

(8)

Pemberhentian anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(9)

Dalam hal anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

(10)

Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang digantikan.

(11)

Penggantian anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.

 

 

20.

Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 48A dan Pasal 48B yang berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 48A

 

Pertukaran data dan/atau informasi oleh Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka kerja sama internasional, termasuk di bidang pengaturan, pengawasan, dan penyidikan, dikecualikan dari ketentuan kerahasiaan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

Pasal 48B

 

(1)

Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana sektor jasa keuangan.

(2)

Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana sektor jasa keuangan.

(3)

Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana sektor jasa keuangan dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang­-undangan di sektor jasa keuangan.

(4)

Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.

(5)

Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:

  1. ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
  2. nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
  3. dampak terhadap sektor jasa keuangan, LJK, dan/atau kepentingan nasabah, pemodal atau investor, dan/atau masyarakat.

(6)

Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.

(7)

Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.

(8)

Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.

(9)

Selain ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (8), Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tindakan administratif berupa pemberian sanksi administratif terhadap pihak yang diduga melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan.

(10)

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (9), meliputi:

  1. peringatan tertulis;
  2. pembatasan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
  3. pembekuan produk dan/atau layanan dan/atau kegiatan usaha untuk sebagian atau seluruhnya;
  4. pemberhentian pengurus;
  5. denda administratif;
  6. pencabutan izin produk dan/atau layanan;
  7. pencabutan izin usaha; dan/atau
  8. sanksi administratif lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

(11)

Dalam hal:

  1. Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
  2. pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),

 

Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.

(12)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) dilakukan sesuai dengan karakteristik masing-masing sektor jasa keuangan.

(13)

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan penyelesaian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (11) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

21.

Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 49

 

(1)

Penyidik Otoritas Jasa Keuangan terdiri atas:

  1. pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. pejabat pegawai negeri sipil tertentu; dan
  3. pegawai tertentu,
yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan.

(2)

Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diangkat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(3)

Pegawai tertentu yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan setelah memenuhi kualifikasi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(4)

Administrasi pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, dan pelantikan penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.

(5)

Penyidikan atas tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.

(6)

Dalam melaksanakan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

(7)

Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang dan bertanggung jawab:

  1. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  2. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  3. melakukan penelitian terhadap Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang sektor jasa keuangan;
  4. memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang bukti dari Setiap Orang yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  5. meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan pencegahan terhadap warga negara Indonesia dan/atau orang asing serta penangkalan terhadap orang asing yang disangka melakukan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  6. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  7. meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan yang sedang ditangani;
  8. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  9. memblokir rekening pada Bank atau lembaga keuangan lain dari Setiap Orang yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  10. meminta data, dokumen, atau alat bukti lain baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara jasa penyimpanan data dan/atau dokumen;
  11. meminta keterangan dari LJK tentang keadaan keuangan pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;
  12. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  13. melakukan penyidikan tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal berupa tindak pidana di sektor jasa keuangan;
  14. meminta bantuan aparat penegak hukum lain; dan
  15. menyampaikan hasil penyidikan kepada Jaksa untuk dilakukan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

22.

Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 53


Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan, tidak memenuhi, atau menghambat pelaksanaan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1), Pasal 9 huruf c, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, dan/atau Pasal 30 ayat (1) huruf a dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) untuk perseorangan atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) untuk korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.

 

 

23.

Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 54

 

Setiap Orang yang dengan sengaja mengabaikan dan/atau tidak melaksanakan:

a.

perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8A ayat (1) huruf a mengenai perintah tertulis kepada LJK untuk melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, integrasi, dan/atau konversi;

b.

perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf d; atau

c.

tugas untuk menggunakan pengelola statuter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf f,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000.000,00 (tiga ratus miliar rupiah) untuk perseorangan atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000.000,00 (lima ratus miliar rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000.000,00 (satu triliun rupiah) untuk korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.



Bagian Kelima
Bank Indonesia

 

Pasal 9

 
Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4962) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 4

 
(1) Bank Indonesia merupakan Bank Sentral Republik Indonesia.
(2) Bank Indonesia merupakan lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerintah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.
(3) Bank Indonesia merupakan badan hukum berdasarkan Undang-Undang ini.
   
2. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 7

 
Tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas Sistem Pembayaran, dan turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
   
3.  Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 8

 
Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Bank Indonesia mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten, dan transparan;
b. mengatur dan menjaga kelancaran Sistem Pembayaran; dan
c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.
   
4. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 9

 
(1) Pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan Undang-Undang ini.
(2) Bank Indonesia wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak mana pun dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
   
5. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 10

 
(1) Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dengan mengacu pada sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
(2) Dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, Bank Indonesia berwenang:
  1. mengelola suku bunga;
  2. mengelola nilai tukar;
  3. mengelola likuiditas;
  4. mengelola lalu lintas devisa;
  5. mengelola cadangan devisa negara;
  6. mengatur, mengawasi, dan mengembangkan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
  7. menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter lainnya.
(3) Dalam rangka melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia melakukan:
  1. pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi;
  2. komunikasi kebijakan secara akuntabel dan transparan; dan
  3. koordinasi kebijakan dengan Pemerintah, otoritas, dan pemangku kepentingan terkait.
(4) Dalam mengelola suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Bank Indonesia:
  1. menetapkan suku bunga kebijakan, suku bunga penempatan dana pada Bank Indonesia dan penyediaan dana oleh Bank Indonesia, serta suku bunga transaksi lainnya dengan Bank Indonesia; dan
  2. memengaruhi suku bunga pasar.
(5) Dalam mengelola nilai tukar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Bank Indonesia melaksanakan kewenangannya berdasarkan sistem nilai tukar yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Dalam mengelola likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, Bank Indonesia menjaga kecukupan likuiditas di Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, Perbankan, dan perekonomian untuk mendukung pengelolaan suku bunga dan nilai tukar.
(7) Dalam rangka mengelola suku bunga, nilai tukar, dan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c, Bank Indonesia melakukan pengendalian moneter dengan menggunakan cara di antaranya:
  1. operasi moneter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
  2. pengaturan giro wajib minimum dalam Rupiah dan valuta asing.
(8) Cara pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat juga dilaksanakan berdasarkan Prinsip Syariah.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian moneter sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
   
6. Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 10A dan Pasal 10B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 10A

 
(1) Dalam mengelola lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf d, Bank Indonesia dapat menetapkan ketentuan:
a. pelaporan lalu lintas devisa dan pengelolaan risiko terkait aliran modal; dan
b. penerimaan dan/atau penggunaan devisa oleh penduduk, dalam rangka penanganan permasalahan stabilitas makroekonomi dan Sistem Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan lalu lintas devisa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
 
 

Pasal 10B

 
(1) Pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf f meliputi:
  1. penerbitan produk dan mekanisme transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
  2. perizinan dan perilaku pasar pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
  3. mekanisme pembentukan harga acuan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing;
  4. infrastruktur Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
  5. perizinan dan kegiatan usaha penukaran valuta asing yang diselenggarakan oleh bukan Bank.
(2) Pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga dilakukan berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Dalam melakukan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berkoordinasi dengan otoritas dan/atau kementerian/lembaga terkait.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
   
7. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 11

 
(1) Selain pengelolaan likuiditas dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6), Bank Indonesia mengelola likuiditas untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
(2) Pengelolaan likuiditas oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pembelian atau penjualan surat berharga negara dan/atau surat berharga berkualitas lainnya di pasar sekunder, penempatan dana pada lembaga keuangan dalam rangka pengembangan Pasar Uang, kebijakan giro wajib minimum, bauran kebijakan moneter, dan/atau instrumen kebijakan lainnya.
(3) Dalam melakukan pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia mengutamakan pencapaian tujuan untuk mencapai kestabilan nilai Rupiah dalam rangka kebijakan moneter sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dengan memperhatikan kondisi makroekonomi.
(4) Dalam melakukan pengelolaan likuiditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia menerapkan tata kelola yang baik.
   
8. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 14

 
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Bank Indonesia berwenang untuk:
  1. menyelenggarakan survei;
  2. memperoleh data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan dari pihak terkait; dan
  3. memperoleh data dan informasi dari dan/atau melakukan pertukaran data dan informasi dengan otoritas dan/atau kementerian/lembaga terkait.
(2) Bank Indonesia dapat melakukan pemrosesan dan diseminasi data dan/atau informasi terkait dengan pelaksanaan tugas Bank Indonesia melalui sistem informasi digital dan/atau mekanisme lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam penyelenggaraan survei sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau perolehan data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, setiap pihak wajib memberikan data, informasi, laporan, keterangan, dan/atau penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai survei dan perolehan data, informasi, laporan, keterangan dan/atau penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
   
9. Pasal 24 dihapus.
   
10. Pasal 25 dihapus.
   
11. Pasal 26 dihapus.
   
12. Pasal 27 dihapus.
   
13. Pasal 28 dihapus.
   
14. Pasal 29 dihapus.
   
15. Pasal 30 dihapus.
   
16. Pasal 31 dihapus.
   
17. Pasal 32 dihapus.
   
18. Pasal 33 dihapus.
   
19. Pasal 34 dihapus.
   
20. Pasal 35 dihapus.
   
21. Di antara Bab VI dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIA sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

BAB VIA
TUGAS MENETAPKAN DAN MELAKSANAKAN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL

   
22. Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35A dan Pasal 35B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 35A

 
Bank Indonesia menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial dalam rangka turut menjaga Stabilitas Sistem Keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan; memitigasi dan mengelola risiko sistemik; serta meningkatkan inklusi ekonomi, Inklusi Keuangan, dan Keuangan Berkelanjutan. 
 
 

Pasal 35B

 
(1) Dalam rangka menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, Bank Indonesia berwenang melakukan:
  1. pengaturan makroprudensial;
  2. pengawasan makroprudensial, termasuk pemeriksaan dan pengenaan sanksi;
  3. pengaturan dan pengembangan pembiayaan inklusif dan Keuangan Berkelanjutan;
  4. penyediaan dana untuk Bank dalam rangka menjalankan fungsi lender of the last resort;
  5. reverse repo (repurchase agreement) dan/atau pembelian surat berharga negara yang dimiliki oleh Lembaga Penjamin Simpanan pada saat Lembaga Penjamin Simpanan memerlukan likuiditas; dan
  6. koordinasi dengan otoritas terkait.
(2) Kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dan huruf f ditetapkan dan diterapkan terhadap Perbankan, baik yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional maupun yang berdasarkan Prinsip Syariah, dengan mempertimbangkan asesmen terhadap Sistem Keuangan secara keseluruhan dan keterkaitannya dengan kondisi perekonomian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.
   
23. Di antara Bab VIA dan Bab VII disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab VIB sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

BAB VIB
KETENTUAN TERKAIT KEPAILITAN

   
24. Di antara Pasal 35B dan Pasal 36 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 35C dan Pasal 35D sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 35C

 
Bank Indonesia merupakan satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pernyataan pailit dan/atau permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dari debitur yang merupakan penyedia jasa pembayaran dan penyelenggara infrastruktur Sistem Pembayaran, penyelenggara jasa pengolahan uang rupiah, perusahaan pialang Pasar Uang, penyedia sarana perdagangan, sarana kliring untuk transaksi derivatif suku bunga dan nilai tukar over-the-counter, atau lembaga lainnya yang diberikan izin dan/atau penetapan oleh Bank Indonesia sepanjang pembubaran dan/atau kepailitannya tidak diatur berbeda dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 
 
 

Pasal 35D

 
(1) Terhadap debitur yang merupakan penerbit uang elektronik, kepailitan tidak meliputi dana yang telah dipisahkan oleh penerbit guna memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau Jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik.
(2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan sepenuhnya untuk memenuhi kewajiban penerbit kepada pengguna dan/atau penyedia barang dan/atau jasa dalam penyelenggaraan uang elektronik.
   
25. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 38A

 
(1) Dewan Gubernur menetapkan dan menegakkan kode etik Bank Indonesia.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Gubernur.
   
26. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 40

 
Untuk dapat diangkat sebagai anggota Dewan Gubernur, calon yang bersangkutan harus memenuhi syarat:
a. warga negara Indonesia;
b. memiliki integritas, akhlak, dan moral yang tinggi;
c. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang ekonomi, keuangan, perbankan, atau hukum; dan
d. bukan pengurus dan/atau anggota partai politik pada saat pencalonan.
   
27. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 41

 
(1) Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.
(2) Calon Deputi Gubernur diusulkan oleh Presiden berdasarkan rekomendasi dari Gubernur.
(3) Untuk setiap jabatan Gubernur dan Deputi Gubernur Senior sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan kepada DPR paling banyak 3 (tiga) orang calon.
(4) Untuk setiap jabatan Deputi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden mengusulkan kepada DPR paling sedikit 2 (dua) orang calon.
(5) Usulan Presiden kepada DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur.
(6) DPR menyetujui atau menolak calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur paling lambat 1 (satu) bulan terhitung sejak usul diterima.
(7) Dalam hal calon Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak disetujui oleh DPR, Presiden wajib mengajukan calon baru.
(8) Dalam hal calon yang diajukan oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) untuk kedua kalinya tidak disetujui oleh DPR, Presiden wajib mengangkat kembali Gubernur, Deputi Gubernur Senior, atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang sama, atau dengan persetujuan DPR mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi di dalam struktur jabatan Dewan Gubernur dengan memperhatikan ketentuan mengenai masa jabatan anggota Dewan Gubernur dan penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya.
(9) Anggota Dewan Gubernur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali dalam jabatan yang sama untuk paling banyak 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(10) Penggantian anggota Dewan Gubernur yang telah berakhir masa jabatannya dilakukan secara berkala setiap tahun paling banyak 2 (dua) orang.
   
28. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 47

 
(1) Anggota Dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang:
  1. mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan mana pun juga;
  2. merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena kedudukannya wajib memangku jabatan tersebut; dan
  3. menjadi pengurus dan/atau anggota partai politik.
(2) Dalam hal anggota Dewan Gubernur melakukan 1 (satu) atau lebih larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota Dewan Gubernur tersebut wajib mengundurkan diri dari jabatannya.
   
29. Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 58

 
(1) Bank Indonesia dalam menjalankan Undang-Undang ini wajib mengutamakan prinsip tata kelola kelembagaan yang baik dan profesional.
(2) Bank Indonesia wajib menyampaikan laporan kinerja kelembagaan dalam menjalankan Undang-Undang ini, secara tertulis kepada Presiden dan DPR.
(3) Laporan yang disampaikan kepada Presiden dan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas laporan triwulanan dan laporan tahunan.
(4) Laporan triwulanan dan laporan tahunan yang disampaikan oleh Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dievaluasi oleh DPR dan digunakan sebagai bahan penilaian tahunan terhadap kinerja Dewan Gubernur, anggota Dewan Gubernur, dan Bank Indonesia.
(5) Dalam hal DPR memerlukan penjelasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bank Indonesia wajib menyampaikan penjelasan secara lisan dan/atau tertulis.
(6) Bagian dari laporan triwulanan dan laporan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa dengan mencantumkan ringkasannya dalam Berita Negara.
(7) Setiap awal tahun anggaran, Bank Indonesia wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat secara terbuka melalui media massa yang memuat:
  1. evaluasi terhadap pelaksanaan kebijakan Bank Indonesia pada tahun sebelumnya; dan
  2. rencana kebijakan dan penetapan sasaran Bank Indonesia untuk tahun yang akan datang.
(8) Bank Indonesia menyusun dan menyampaikan laporan keuangan tahunan kepada Presiden dan DPR.
(9) Bank Indonesia:
  1. menyelesaikan penyusunan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah berakhirnya tahun anggaran; dan
  2. menyampaikan laporan keuangan kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk dilakukan pemeriksaan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah laporan keuangan tahunan selesai disusun.
(10) Badan Pemeriksa Keuangan menyampaikan laporan hasil pemeriksaan kepada DPR paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak dimulainya pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf b.
(11) Bank Indonesia wajib mengumumkan laporan keuangan tahunan Bank Indonesia kepada publik melalui media massa.
(12) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan susunan laporan kinerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan laporan keuangan tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur.
   
30. Ketentuan Pasal 58A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 58A

 
(1) Dengan Undang-Undang ini dibentuk Badan Supervisi Bank Indonesia.
(2) Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi membantu DPR dalam melaksanakan fungsi pengawasan di bidang tertentu terhadap Bank Indonesia untuk meningkatkan kinerja, akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Bank Indonesia.
(3) Dalam menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan Supervisi Bank Indonesia bertugas membantu DPR dalam:
  1. membuat laporan evaluasi kinerja kelembagaan Bank Indonesia;
  2. melakukan pemantauan untuk meningkatkan akuntabilitas, independensi, transparansi, dan kredibilitas kelembagaan Bank Indonesia; dan
  3. menyusun laporan kinerja.
(4) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Badan Supervisi Bank Indonesia berwenang:
  1. meminta penjelasan mengenai hal yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Bank Indonesia;
  2. menerima tembusan laporan kinerja kelembagaan secara triwulanan dan tahunan dari Bank Indonesia;
  3. melakukan telaahan atas tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Bank Indonesia;
  4. meminta dokumen yang diperlukan dalam melakukan telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c yang berkaitan dengan tata kelola pelaksanaan tugas dan wewenang kelembagaan Bank Indonesia;
  5. menerima tembusan laporan keuangan tahunan dari Bank Indonesia;
  6. melakukan telaahan atas anggaran operasional Bank Indonesia;
  7. menerima laporan dari masyarakat dan industri mengenai kelembagaan Bank Indonesia; dan
  8. meminta penjelasan dan tanggapan Dewan Gubernur Bank Indonesia atas telaahan sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf f dalam rapat bersama dengan Badan Supervisi Bank Indonesia.
(5) Kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak termasuk untuk:
  1. menghadiri rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia;
  2. menyatakan pendapat untuk mewakili Bank Indonesia; dan
  3. menyampaikan informasi yang terkait dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) baik secara langsung maupun tidak langsung kepada publik.
(6) Badan Supervisi Bank Indonesia membuat laporan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada DPR secara berkala 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan atau sewaktu-waktu jika diperlukan.
(7) Anggaran Badan Supervisi Bank Indonesia bersumber dari anggaran operasional Bank Indonesia.
(8) Ketentuan mengenai organisasi, tata kerja, dan anggaran Badan Supervisi Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia setelah dikonsultasikan dengan DPR.
   
31. Di antara Pasal 58A dan Pasal 59 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 58B dan Pasal 58C sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 58B

 
(1) Keanggotaan Badan Supervisi Bank Indonesia berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang yang dipimpin oleh 1 (satu) orang ketua yang dipilih dari dan oleh anggotanya.
(2) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur Pemerintah, akademisi, dan masyarakat.
(3) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia menjabat selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
(4) Untuk dapat diangkat menjadi anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), calon anggota harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. warga negara Indonesia;
  2. sehat jasmani dan rohani;
  3. mempunyai integritas dan moralitas yang tinggi;
  4. bukan pengurus partai politik saat pencalonan;
  5. memiliki keahlian dan pengalaman di bidang moneter, Sistem Pembayaran, makroprudensial, perbankan, Sistem Keuangan, organisasi dan manajemen, sistem informasi, dan/atau hukum;
  6. tidak memiliki hubungan keluarga sampai derajat ketiga dan/atau semenda dengan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia;
  7. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
  8. tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus LJK/perusahaan yang menyebabkan LJK/perusahaan tersebut pailit atau dilikuidasi berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
 
 

Pasal 58C

 
(1) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58B ayat (1) diseleksi dan dipilih oleh DPR.
(2) Badan Supervisi Bank Indonesia memberitahukan kepada DPR dengan tembusan kepada Presiden tentang akan berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota tersebut.
(3) DPR memulai proses pemilihan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia terhitung sejak tanggal diterimanya surat pemberitahuan dari Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan harus menyelesaikan pemilihan anggota yang baru, paling lama 1 (satu) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang lama.
(4) Pemilihan dan penetapan calon anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh panitia seleksi yang dibentuk DPR.
(5) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(6) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia dilarang memiliki benturan kepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan tugas dan wewenangnya.
(7) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia diberhentikan apabila:
  1. meninggal dunia;
  2. berhalangan tetap;
  3. masa jabatannya telah berakhir dan tidak dipilih kembali;
  4. mengundurkan diri;
  5. dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan;
  6. tidak dapat hadir secara fisik dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa alasan yang sah;
  7. tidak melaksanakan dengan baik atau lalai dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
  8. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58B ayat (4).
(8) Pemberhentian anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(9) Dalam hal anggota Badan Supervisi Bank Indonesia diberhentikan karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), pemilihan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia pengganti dilakukan dengan mekanisme pemilihan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(10) Anggota Badan Supervisi Bank Indonesia pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diangkat untuk menggantikan jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang diberhentikan dan melanjutkan sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang digantikan.
(11) Penggantian anggota Badan Supervisi Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (9) tidak dilakukan apabila sisa masa jabatan anggota Badan Supervisi Bank Indonesia yang diberhentikan kurang dari 1 (satu) tahun.
   
32. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 60

 
(1) Tahun anggaran Bank Indonesia adalah tahun kalender.
(2) Paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum dimulai tahun anggaran, Dewan Gubernur menetapkan anggaran tahunan Bank Indonesia.
(3) Anggaran tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. anggaran untuk kegiatan operasional; dan
  2. anggaran untuk kebijakan moneter, Sistem Pembayaran, dan makroprudensial.
(4) Anggaran untuk kegiatan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, serta evaluasi pelaksanaan anggaran tahun berjalan disampaikan kepada DPR untuk mendapat persetujuan.
(5) Proses persetujuan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh alat kelengkapan DPR yang membidangi keuangan, perbankan, dan perencanaan pembangunan.
(6) Anggaran untuk kebijakan moneter, Sistem Pembayaran, dan makroprudensial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b wajib dilaporkan secara khusus kepada DPR.
   
33. Pasal 61 dihapus.
   
34. Penjelasan Pasal 62 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan.
   
35. Di antara Pasal 64 dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 64A

 
(1) Bank Indonesia berwenang melakukan pengelolaan kekayaan Bank Indonesia termasuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang dan aset lainnya.
(2) Pelaksanaan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang dan aset lainnya dilaksanakan sesuai dengan tata kelola yang baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan kekayaan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Dewan Gubernur setelah dikonsultasikan dengan DPR.
   
36. Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni Bab XA sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

BAB XA

KERAHASIAAN INFORMASI

   
37. Di antara Pasal 64A dan Pasal 65 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 64B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 64B

 
(1) Setiap orang perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai:
  1. anggota Dewan Gubernur; atau
  2. pejabat atau pegawai Bank Indonesia,
dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
(2) Setiap Orang yang bertindak untuk dan atas nama Bank Indonesia atau yang dipekerjakan di Bank Indonesia, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
(3) Setiap Orang yang mengetahui informasi yang bersifat rahasia, baik karena kedudukannya, profesinya, sebagai pihak yang diawasi, maupun hubungan apa pun dengan Bank Indonesia, dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi tersebut kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan Bank Indonesia atau diwajibkan oleh Undang-Undang.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dapat dikenai sanksi administratif dan/atau sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerahasiaan, penggunaan, dan pengungkapan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur.

  

  

Bagian Keenam
Rupiah Digital

 

Pasal 10

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5223) diubah sebagai berikut:
 

1.

Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 2

 

(1)

Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Rupiah.

(2)

Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas, Rupiah logam, dan Rupiah digital.

(3)

Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disimbolkan dengan Rp.

 

 

2.

Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 11

 

(1)

Pengelolaan Rupiah kertas dan logam meliputi tahapan:

  1. Perencanaan;
  2. Pencetakan;
  3. Pengeluaran;
  4. Pengedaran;
  5. Pencabutan dan Penarikan; dan
  6. Pemusnahan.

(2)

Perencanaan, Pencetakan, dan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Bank Indonesia yang berkoordinasi dengan Pemerintah.

(3)

Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan Pengeluaran, Pengedaran, dan/atau Pencabutan dan Penarikan Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(4)

Dalam melaksanakan Pengedaran Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia menentukan nomor seri uang kertas.

 

 

3.

Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 14A

 

(1)

Pengelolaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) meliputi pada Perencanaan, penerbitan, Pengedaran, dan penatausahaan.

(2)

Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang berwenang melakukan pengelolaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Pengelolaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memperhatikan aspek:

  1. penyediaan Rupiah digital sebagai alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia;
  2. efektivitas pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter, sistem pembayaran, dan Sistem Keuangan;
  3. dukungan terhadap inovasi teknologi dan inklusi ekonomi dan keuangan digital;
  4. pengembangan ekonomi dan keuangan digital yang terintegrasi secara nasional; dan
  5. pemanfaatan teknologi digital yang dapat menjamin keamanan sistem data dan informasi serta pelindungan data pribadi.

(4)

Dalam melakukan Perencanaan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia berkoordinasi dengan Pemerintah.

(5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan Rupiah digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.

 

 

4.

Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

 

Pasal 19

 

Bank Indonesia wajib melaporkan Pengelolaan Rupiah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 14A secara periodik setiap 3 (tiga) bulan kepada DPR.

 

 

Bagian Ketujuh
Pengembangan Sektor Keuangan

 

Pasal 11

 

(1)

Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan melaksanakan pengembangan sektor keuangan.

(2)

Dalam melaksanakan pengembangan sektor keuangan, lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan koordinasi dan dapat melibatkan kementerian/lembaga yang lain.

 

 

Bagian Kedelapan
Pengendalian Tindak Pidana Pencucian Uang dan/atau Tindak Pidana
Pendanaan Terorisme

 

Pasal 12

 

(1)

PUSK wajib mengidentifikasi, menilai, dan memahami risiko tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana pendanaan terorisme terkait dengan nasabah, negara atau area geografis, produk, jasa, transaksi, dan/atau jaringan distribusi.

(2)

PUSK wajib memiliki kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme.

(3)

Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan, pengawasan, dan prosedur pengelolaan dan mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan atau Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya, dengan mengacu pada undang-undang mengenai pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

 

  

BAB IV
PERBANKAN

Bagian Kesatu
Umum

 

Pasal 13

 

Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perbankan dan perbankan syariah, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam:

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 34 72) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841); dan
  2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang­-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841).

 

 

Bagian Kedua
Perbankan

 

Pasal 14

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:
 

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 1

 
1. Perbankan adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan/atau bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank Umum adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
4. Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah Bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
5. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh nasabah kepada Bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
6. Giro adalah Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
7. Deposito adalah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan Bank.
8. Sertifikat Deposito adalah Simpanan dalam bentuk Deposito yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
9. Tabungan adalah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
10. Surat Berharga adalah surat pengakuan utang, wesel, saham, obligasi, sekuritas kredit, atau setiap derivatifnya, kepentingan lain, atau suatu kewajiban dari penerbit, dalam bentuk yang lazim diperdagangkan dalam Pasar Modal dan Pasar Uang.
11. Kredit adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
12. Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan dana atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
13. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
14. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan perjanjian atau kontrak antara Bank Umum dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
15. Wali Amanat adalah kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Bank Umum untuk mewakili kepentingan pemegang Surat Berharga berdasarkan perjanjian antara Bank Umum dan emiten Surat Berharga yang bersangkutan.
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank.
17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank dalam bentuk Simpanan berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah Debitur adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian Bank dengan Nasabah yang bersangkutan.
19. Kantor Cabang adalah kantor Bank yang secara langsung bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan.
20. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang­-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
21. Pihak Terafiliasi adalah:
  1. komisaris atau yang setara, Dewan Pengawas Syariah, direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank;
  2. pihak yang memberikan jasa kepada Bank, di antaranya akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
  3. pihak yang mengendalikan atau dikendalikan Bank, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
  4. pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan turut serta memengaruhi pengelolaan Bank, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, dengan anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota Dewan Pengawas Syariah, anggota direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank.
22. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Debitur kepada Bank dalam rangka pemberian fasilitas Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
23. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
24. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Bank atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
25. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Bank baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
26. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian Bank.
27. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) Bank menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
28. Rahasia Bank adalah informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanan dari Nasabah Penyimpan.
29. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
     
2. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 6

 
(1) Kegiatan usaha Bank Umum meliputi:
  1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan, Giro, Deposito berjangka, Sertifikat Deposito, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan;
  2. menyalurkan dana dalam bentuk Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;
  3. melakukan aktivitas di bidang sistem pembayaran;
  4. menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
  5. menerbitkan dan/atau melaksanakan transaksi Surat Berharga untuk kepentingan Bank dan/atau Nasabah;
  6. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan Surat Berharga;
  7. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing;
  8. melakukan kegiatan pengalihan piutang;
  9. melakukan kegiatan Penitipan barang dan Surat Berharga; dan
  10. melakukan kegiatan lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Kegiatan usaha Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
     
3. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 7

 
(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), Bank Umum dapat:
  1. melakukan kegiatan penyertaan modal pada LJK dan/atau perusahaan lain yang mendukung industri Perbankan dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  2. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara di luar LJK untuk mengatasi akibat kegagalan Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
  3. bertindak sebagai pendiri Dana Pensiun dan pengurus Dana Pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Dana Pensiun; dan/atau
  4. melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah.
(2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan dan ketentuan peraturan perundang­-undangan mengenai Perbankan.
     
4. Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 7A dan Pasal 7B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 7A

 
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Bank Umum dapat memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Dalam rangka mendorong pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Umum dapat membuka akses data dan informasi Nasabah kepada penyelenggara keuangan lainnya termasuk penyelenggara ITSK berdasarkan persetujuan dan untuk kepentingan Nasabah melalui sistem atau aplikasi tertentu.
(3) Pelaksanaan pembukaan akses data dan informasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
 
 

Pasal 7B

 
(1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Bank Umum dapat beroperasi sebagai Bank digital.
(2) Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki 1 (satu) kantor fisik sebagai kantor pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
     
5. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 8A

 
(1) Bank Umum wajib melakukan transparansi suku bunga untuk mendorong efisiensi penetapan suku bunga Perbankan guna mendukung pembiayaan perekonomian.
(2) Ketentuan mengenai transparansi suku bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
     
6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 10

 
Bank Umum dilarang:
a. melakukan penyertaan modal di luar LJK kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b;
b. melakukan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf d; dan
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7.
     
7. Ketentuan Pasal 12A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 12A

 
(1) Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar pelelangan dari pemilik Agunan dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajiban kepada Bank, dengan ketentuan Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
(2) Dalam hal Nasabah Debitur tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terdapat permasalahan terhadap kepemilikan Agunan, Bank Umum dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
(3) Bank Umum harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan kewajiban Nasabah Bank Umum yang bersangkutan.
(4) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Umum, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
8. Di antara Pasal 12A dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 12B

 
(1) Bank Umum wajib menyalurkan Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah untuk sektor tertentu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pembiayaan inklusif, dan/atau pembiayaan berkelanjutan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mengatur kewajiban penyaluran Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
     
9. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 13

 
(1) Kegiatan usaha BPR meliputi:
  1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan berupa Tabungan dan Deposito berjangka dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan;
  2. menyalurkan dana dalam bentuk Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah;
  3. melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan Nasabah;
  4. menempatkan dana pada Bank lain, meminjam dana dari Bank lain, atau meminjamkan dana kepada Bank lain;
  5. melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing;
  6. melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­-undangan
  7. melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah;
  8. melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan/atau
  9. melakukan kegiatan lainnya dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Kegiatan usaha BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
     
10. Di antara Pasal 13 dan Pasal 14 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 13A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 13A

 
Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, BPR dapat memanfaatkan teknologi informasi.
     
11. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 14

 
BPR dilarang:
a. menerima Simpanan berupa Giro;
b. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali kegiatan usaha penukaran valuta asing;
c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf f;
d. membeli Surat Berharga, kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, atau Pemerintah Daerah;
e. melakukan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf g; dan
f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
     
12. Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 15

 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 11, dan Pasal 12A berlaku secara mutatis mutandis bagi BPR.
     
13. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 15A

 
(1) Bank Umum dapat bekerja sama dengan BPR dalam penyaluran Kredit atau Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama Bank Umum dan BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
14. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 16

 
(1) Setiap Orang yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri.
(2) Untuk memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipenuhi persyaratan minimal:
  1. susunan organisasi dan kepengurusan;
  2. permodalan;
  3. kepemilikan;
  4. keahlian di bidang Perbankan; dan
  5. kelayakan rencana kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Bank Umum atau BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
15. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 18

 
(1) Setiap Bank wajib memiliki kantor.
(2) Bank dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan kantor fisik dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, dan perubahan jaringan kantor Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
16. Pasal 19 dihapus.
     
17. Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 19A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 19A

 
(1) BPR memiliki jaringan kantor dalam wilayah yang terbatas.
(2) Ketentuan mengenai batasan wilayah jaringan kantor BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
18. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 20

 
(1) Pembukaan Kantor Cabang atau kantor perwakilan dari Bank yang berkedudukan di luar negeri, hanya dapat dilakukan dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, serta perubahan jaringan kantor dari Kantor Cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
19. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 20A dan Pasal 20B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 20A

 
(1) Bank wajib menerapkan prinsip kehati-hatian termasuk manajemen risiko dalam melakukan kegiatan usaha.
(2) Bank wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip kehati-hatian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
   
 

Pasal 20B

 
(1) Bank wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik dalam melakukan kegiatan usaha.
(2) Bank wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
20. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 21

 
(1) Bank Umum berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
(2) BPR berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi.
(3) Bentuk badan hukum dari kantor perwakilan dan Kantor Cabang Bank yang berkedudukan di luar negeri mengikuti bentuk badan hukum kantor pusatnya.
     
21. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 23

 
(1) BPR didirikan oleh:
  1. warga negara Indonesia; dan/atau
  2. badan hukum Indonesia.
(2) BPR dapat melakukan penawaran umum di bursa efek dengan syarat dan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian BPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
22. Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 28

 
(1) Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan Bank dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, dan Pemisahan Bank wajib mendapat izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat melakukan integrasi dengan Bank berbadan hukum Indonesia atau konversi menjadi Bank berbadan hukum Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan, integrasi, dan konversi Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
23. Di antara Pasal 28 dan Pasal 29 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 28A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 28A

 
(1) BPR dapat melakukan Penggabungan dengan lembaga keuangan mikro.
(2) Dalam hal terjadi Penggabungan antara BPR dengan lembaga keuangan mikro, entitas hasil Penggabungan wajib menjadi BPR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan BPR dengan lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
24. Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 29

 
(1) Bank wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan Bank serta aspek terkait tingkat kesehatan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Bank dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
(4) Pengawasan secara langsung terhadap Bank oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan melalui pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu­-waktu apabila diperlukan.
(5) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pengawasan secara langsung terhadap pihak terelasi dalam kelompok usaha Bank dan pihak lain yang menerima fasilitas penyediaan dana dari Bank.
(6) Bank wajib mematuhi dan/atau melaksanakan tindak lanjut pengawasan Otoritas Jasa Keuangan.
     
25. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 30

 
(1) Bank wajib menyampaikan data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank, dan hal lain yang terkait dengan kegiatan usahanya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat memeriksa data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank, dan hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Bank wajib memberikan bantuan yang diperlukan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam rangka kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank, dan hal lain yang disampaikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
     
26. Di antara Pasal 30 dan Pasal 31 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 30A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 30A

 
(1) Bank wajib memenuhi rasio kecukupan modal minimum sesuai dengan profil risiko Bank.
(2) Selain kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Umum wajib membentuk tambahan modal.
(3) Ketentuan mengenai rasio kecukupan modal minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ketentuan mengenai tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan mengenai rasio tambahan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang didasarkan pada kondisi pertumbuhan Kredit diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.
     
27. Pasal 31 dihapus.
     
28. Ketentuan Pasal 3 lA diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 31A

 
Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugas tertentu.
     
29. Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 33

 
(1) Hasil pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dituangkan dalam bentuk laporan pemeriksaan.
(2) Hasil penugasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A dituangkan dalam bentuk laporan penugasan.
(3) Laporan pemeriksaan dan laporan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bersifat rahasia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pengawasan secara langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (4) dan penugasan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31A diatur dalam peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
30. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 34

 
(1) Bank wajib menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
     
31. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 35

 
Bank wajib mengumumkan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
 
 

Pasal 36

 
Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) bagi BPR.
     
33. Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 36A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 36A

 
(1) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
  1. meminta Bank untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat yang terkait Bank;
  2. meminta Bank untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan memiliki pengaruh terhadap Bank; dan
  3. memerintahkan Bank untuk melakukan pemblokiran rekening tertentu.
(2) Ketentuan mengenai pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
34. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 37

 
(1) Dalam hal suatu Bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
  1. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham atau yang dipersamakan, komisaris atau yang setara, direksi atau yang setara, dan pemegang saham atau yang setara;
  2. meminta dan/atau memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk menambah modal;
  3. meminta pemegang saham atau yang setara untuk mengganti anggota dewan komisaris atau yang setara, dan/atau direksi atau yang setara;
  4. meminta dan/atau memerintahkan Bank menghapusbukukan Kredit atau penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank dengan modalnya;
  5. meminta Bank melakukan Penggabungan atau Peleburan dengan Bank lain;
  6. meminta pemegang saham atau yang setara untuk menjual kepemilikan Bank kepada pembeli;
  7. meminta dan/atau memerintahkan Bank untuk menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank kepada pihak lain;
  8. meminta dan/atau memerintahkan Bank menjual sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank kepada pihak lain;
  9. memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk memberikan pinjaman kepada Bank;
  10. memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk mendukung pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan saat mengatasi permasalahan Bank;
  11. menunjuk pengelola statuter dan memerintahkan Bank untuk mendukung pelaksanaan tugas pengelola statuter yang ditempatkan di Bank;
  12. memerintahkan Bank untuk tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  13. membatasi kegiatan usaha tertentu Bank;
  14. memberikan perintah tertulis kepada Bank dan/atau pihak tertentu; dan/atau
  15. memerintahkan Bank untuk melakukan langkah lain yang dianggap perlu oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dilakukan, tetapi Bank masih mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha serta tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank sebagai Bank dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Bank Indonesia.
(3) Dalam rangka melaksanakan tindakan resolusi, Lembaga Penjamin Simpanan dapat mengajukan permintaan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank.
(4) Berdasarkan permintaan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha Bank.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha Bank atas permintaan Bank setelah Bank menyelesaikan seluruh kewajibannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
35. Di antara Pasal 37B dan Pasal 38 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 37C, Pasal 37D, dan Pasal 37E sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 37C

 
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem layanan informasi keuangan.
(2) Informasi pada sistem layanan informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan, dan dapat diberikan dan/atau dipertukarkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap pihak yang memperoleh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengawasi lembaga pengelola informasi perkreditan.

 

Pasal 37D

 
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana Perbankan.
(2) Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana Perbankan.
(3) Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana Perbankan dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor Perbankan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.
(5) Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:
  1. ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
  2. nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
  3. dampak terhadap sektor Perbankan, Bank, dan/atau kepentingan Nasabah dan/atau masyarakat.
(6) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
(8) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
(9) Dalam hal:
  1. Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
  2. pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
  Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
(10) Penyidikan atas tindak pidana Perbankan hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai permohonan penyelesaian pelanggaran dan tata cara penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
 
 

Pasal 37E

 
(1) Setiap Orang dilarang:
  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank; dan
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan.
(2) Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, atau dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank.
(3) Setiap Orang dilarang memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank.
(4) Bank, Pihak Terafiliasi, dan pemegang saham atau yang setara wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
36. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 38

 
(1) Pihak utama Bank wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam rangka pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kemampuan serta kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
     
37. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 40

 
(1) Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan sekaligus sebagai Nasabah Debitur, Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan.
     
38. Di antara Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 40A, Pasal 40B, dan Pasal 40C sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 40A

 
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 tidak berlaku untuk:
  1. kepentingan peradilan dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabah, Nasabah dan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah;
  2. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
  3. permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau permintaan likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta;
  4. permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis;
  5. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah meninggal dunia;
  6. tukar menukar informasi antar-Bank;
  7. memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
  8. permintaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  9. kepentingan instansi lain untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sesuai dengan tugas dan kewenangan dalam Undang-Undang;
  10. kepentingan pelaksanaan tugas di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia;
  11. kepentingan pelaksanaan tugas di bidang penjaminan simpanan dan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan
  12. pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 40B

 
Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
a. untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b; dan
b. untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf g.

 

Pasal 40C

 
Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
   
39. Pasal 41 dihapus.
     
40. Ketentuan Pasal 41A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 41A

 
(1) Untuk penyelesaian piutang yang sudah diserahkan kepada panitia urusan piutang negara, Otoritas Jasa Keuangan memberikan izin kepada panitia urusan piutang negara untuk memperoleh keterangan dari Bank mengenai Simpanan Nasabah Debitur.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis oleh Otoritas Jasa Keuangan atas permintaan tertulis dari ketua panitia urusan piutang negara.
(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus menyebutkan nama dan jabatan panitia urusan piutang negara serta nama Nasabah Debitur yang bersangkutan.
     
41. Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 42

 
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf b, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk memperoleh informasi dari Bank mengenai Simpanan tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari:
  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum;
  3. Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua pengadilan negeri; atau
  4. pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan atau jabatan satu tingkat di bawah pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
(3) Untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan izin kepada polisi atau jaksa untuk memperoleh informasi dari Bank berdasarkan undang-undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk di instansinya.
(5) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan:
  1. nama dan jabatan polisi atau jaksa;
  2. nama pihak terkait yang dimintakan; dan
  3. uraian bahwa permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di negara peminta dan statusnya sebagai tersangka atau saksi sebagaimana dimaksud dalam undang­-undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
     
42. Ketentuan Pasal 42A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 42A

 
Bank wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
     
43. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 43

 
Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf a, berlaku:
a. untuk perkara perdata antara Bank dan Nasabah, direksi Bank atau yang setara yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut; atau
b. untuk perkara perdata antara Nasabah dan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah, direksi Bank atau yang setara harus menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah dan informasi lain yang relevan dengan perkara berdasarkan permintaan ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi, atau Ketua Mahkamah Agung.
     
44. Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 43A

 
Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf c, Bank wajib memberikan informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan pada Bank yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi.
     
45. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 44

 
Dalam rangka tukar menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf f, direksi Bank atau yang setara dapat memberitahukan Rahasia Bank kepada Bank lain.
     
46. Ketentuan Pasal 44A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 44A

 
(1) Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf d, Bank wajib memberikan Rahasia Bank kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf e berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan.
     
47. Di antara Pasal 44A dan Pasal 45 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 44B dan 44C sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 44B

 
Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
 

Pasal 44C

 
(1) Untuk pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40A ayat (1) huruf 1, mitra perjanjian mengajukan permintaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan asas resiprokal.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi tersebut dapat digunakan oleh mitra perjanjian yang meminta informasi baik untuk kepentingan pidana, perdata, maupun administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan.
     
48. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 45

 
(1) Pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 43A, Pasal 44, Pasal 44A, dan Pasal 44B, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
(2) Dalam hal permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Bank, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
     
49. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46, disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 45A

 
(1) Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
(3) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang, yang bersangkutan mendapat bantuan hukum dari lembaga yang diwakili atau yang menugaskan.
     
50. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 46

 
Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
     
51. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 47

 
(1) Setiap Orang yang tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau tanpa kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dengan sengaja memaksa Bank atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, pegawai Bank atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
   
52. Ketentuan Pasal 47A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 47A

 
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42A dan Pasal 44A dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
   
53. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 48

 
Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan dan/atau tidak melaksanakan perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1), Pasal 30 ayat (3), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dan/atau Pasal 36A ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
     
54. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 49

 
(1) Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja:

  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf a;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf b; dan/atau
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
   
(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja:
  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf a;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf b; dan/atau
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (1) huruf c,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(4) Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank yang dengan sengaja:
  1. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (2); dan/atau
  2. tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(5) Setiap Orang yang dengan sengaja:
  1. memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Kredit dari Bank, atau dalam rangka pembelian atau pendiskontoan oleh Bank atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Kredit pada Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (3); atau
  2. menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
   
55. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 50

 
Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
   
56. Ketentuan Pasal 50A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 50A

 
Pemegang saham atau yang setara yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37E ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
     
57. Di antara Pasal 50A dan Pasal 51 disisipkan 3 (tiga) pasal yakni Pasal 50B, Pasal 50C, dan Pasal 50D sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 50B

 
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal 50A dilakukan oleh korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dan/atau anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dalam hal tindak pidana:
  1. dilakukan atau diperintahkan oleh anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain;
  2. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain;
  3. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
  4. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain.
 
 

Pasal 50C

 
(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya merupakan pidana denda dengan ketentuan untuk:
  1. Bank Umum paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah);
  2. BPR paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau
  3. korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
  1. pengumuman putusan hakim; dan/atau
  2. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, setelah mendapatkan pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan.
 
 

Pasal 50D

 
(1) Selain dijatuhi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, Pasal 47, Pasal 47A, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 50A, Pasal 50B, dan Pasal 50C terpidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penggantian kerugian apabila tindak pidana mengakibatkan kerugian.
(2) Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sejumlah kerugian yang diderita atau secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(3) Dalam melaksanakan putusan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana diberikan jangka waktu selama 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dan pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian tersebut.
(6) Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana tambahan berupa penggantian kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara sebagaimana diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(7) Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan lamanya pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang ditentukan oleh hakim dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
   
58. Pasal 51 dihapus.

 

 

Bagian Ketiga
Perbankan Syariah

 

Pasal 15

 

Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) diubah sebagai berikut:

 

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha.
2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan dan/atau bentuk lain dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.
3. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
4. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan kegiatan usaha secara konvensional dan berdasarkan jenisnya terdiri atas bank umum konvensional dan bank perekonomian rakyat.
5. Bank Umum Konvensional adalah jenis dari Bank Konvensional yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
6. Bank Perekonomian Rakyat yang selanjutnya disingkat BPR adalah jenis Bank Konvensional yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
7. Bank Syariah adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan investasi dan menyalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan dan/atau bentuk lain berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas bank umum syariah dan bank perekonomian rakyat syariah.
8. Bank Umum Syariah adalah jenis Bank Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
9. Bank Perekonomian Rakyat Syariah yang selanjutnya disebut BPR Syariah adalah jenis Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas giral secara langsung.
10. Unit Usaha Syariah yang selanjutnya disingkat UUS adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah.
11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang bersangkutan.
12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
13. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
14. Rahasia Bank adalah informasi yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanan dari nasabah penyimpan serta nasabah investor dan investasi dari nasabah investor.
15. Pihak Terafiliasi adalah:
  1. komisaris atau yang setara, Dewan Pengawas Syariah, direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS;
  2. pihak yang memberikan jasa kepada Bank Syariah atau UUS, di antaranya akuntan publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
  3. pihak yang mengendalikan atau dikendalikan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, baik langsung maupun tidak langsung; dan/atau
  4. pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan turut serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau UUS, baik langsung maupun tidak langsung, di antaranya pihak yang mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, dengan komisaris atau yang setara, Dewan Pengawas Syariah, anggota direksi atau yang setara atau kuasanya, pejabat, atau karyawan Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.
16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank Syariah dan/atau UUS.
17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah yang bersangkutan.
19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.
20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dalam bentuk giro, tabungan, deposito, sertifikat deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.
21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi'ah, Akad mudharabah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.
22. Deposito adalah Simpanan berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.
23. Sertifikat Deposito adalah Simpanan dalam bentuk Deposito berdasarkan Prinsip Syariah yang sertifikat bukti penyimpanannya dapat dipindahtangankan.
24. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi'ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan perintah pemindahbukuan.
25. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah yang risikonya ditanggung oleh Nasabah Investor.
26. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil, yang meliputi transaksi bagi hasil, transaksi sewa-menyewa, transaksi jual beli, transaksi pinjam meminjam, dan transaksi sewa­ menyewa jasa sesuai dengan Prinsip Syariah.
27. Agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan Nasabah Penerima Fasilitas kepada Bank Syariah dan/atau UUS dalam rangka pemberian fasilitas Pembiayaan.
28. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip, dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas harta tersebut.
29. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan dan pemegang surat berharga tersebut.
30. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 1 (satu) Bank Syariah atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Bank Syariah lain yang telah ada yang mengakibatkan aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank Syariah yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank Syariah yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Bank Syariah yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
31. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh 2 (dua) Bank Syariah atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan 1 (satu) Bank Syariah baru yang karena hukum memperoleh aset, liabilitas, dan ekuitas dari Bank Syariah yang meleburkan diri dan status badan hukum Bank Syariah yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
32. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Bank Syariah yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Bank Syariah.
33. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari 1 (satu) Bank Syariah menjadi 2 (dua) badan usaha atau lebih, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
34. Integrasi adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Kantor Cabang dari Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri dan Bank Syariah, dengan mengalihkan aset dan/atau liabilitas Kantor Cabang dari Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri secara hukum kepada Bank Syariah, dan selanjutnya dilakukan pencabutan izin usaha Kantor Cabang dari Bank Syariah yang berkedudukan di luar negeri.
35. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
36. Lembaga Penjamin Simpanan adalah Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Lembaga Penjamin Simpanan.
37. Hak Manfaat adalah hak untuk memiliki dan mendapatkan hak penuh atas pemanfaatan suatu aset tanpa perlu dilakukan pendaftaran atas kepemilikan dan hak tersebut.
       
2. Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2A

 
(1) Penggunaan aset dalam transaksi atau sebagai bagian struktur produk dan/atau jasa Perbankan Syariah dapat dilakukan dengan cara menjual dan/atau menyewakan Hak Manfaat atas aset atau barang.
(2) Penjualan dan/atau penyewaan Hak Manfaat atas aset atau barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dari peraturan perundang­-undangan yang mewajibkan pendaftaran atas kepemilikan suatu aset atau barang sebagai dasar legalitas kepemilikan.
       
3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

 
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam bentuk lembaga baitulmal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.
(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang berasal dari wakaf uang dan menjadi pengelola wakaf/nazir dan/atau menyalurkannya melalui pengelola wakaf/nazir sesuai dengan kehendak pemberi wakaf/wakif.
(4) Ketentuan pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penghimpunan dana sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

 
(1) Setiap pihak yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2)

Untuk memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah harus memenuhi persyaratan minimal:

  1. susunan organisasi dan kepengurusan;
  2. permodalan;
  3. kepemilikan;
  4. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan
  5. kelayakan usaha.
(3) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama Banknya.
(4) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frasa "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.
(5) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Bank Umum Syariah tidak dapat diubah kegiatan usahanya menjadi Bank Umum Konvensional.
(7) BPR Syariah tidak dapat diubah kegiatan usahanya menjadi BPR.
(8) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Otoritas Jasa Keuangan.
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
5. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 6

 
(1) Setiap Bank Syariah dan UUS wajib memiliki kantor.
(2) Bank Syariah dan UUS dapat melakukan kegiatan usaha melalui jaringan kantor fisik dan/atau melalui jaringan teknologi informasi.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara pembukaan, penutupan, dan perubahan jaringan kantor Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
6. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 6A

 
(1) BPR Syariah memiliki jaringan kantor dalam wilayah yang terbatas.
(2) Ketentuan mengenai batasan wilayah jaringan kantor BPR Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
7. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7

 
(1) Bank Umum Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas.
(2) BPR Syariah berbentuk badan hukum perseroan terbatas atau koperasi.
       
8. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


Bank Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang Pasar Modal.
       
9. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

 
(1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kantor Cabang dari Bank yang berkedudukan di luar negeri dapat melakukan Integrasi menjadi Bank Umum Syariah dengan badan hukum Indonesia.
(3) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
10. Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17A

 
(1) BPR Syariah dapat melakukan Penggabungan dengan lembaga keuangan mikro.
(2) Dalam hal terjadi Penggabungan antara BPR Syariah dan lembaga keuangan mikro, Bank hasil Penggabungan wajib menjadi BPR Syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Penggabungan antara BPR Syariah dan lembaga keuangan mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
11. Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 19

 
(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:
  1. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, Deposito, Sertifikat Deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  3. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  4. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  5. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  7. melakukan Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  8. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
  9. membeli, menjual, atau menjarnin atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
  10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
  11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
  12. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad berdasarkan Prinsip Syariah;
  13. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
  14. melakukan aktivitas di bidang sistem pembayaran;
  15. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah;
  16. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah;
  17. melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan
  18. melakukan kegiatan lain di bidang Perbankan Syariah dan/atau di bidang sosial dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:
  1. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa Giro, Tabungan, Deposito, Sertifikat Deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  3. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  4. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, Akad salam, Akad istishna', atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  5. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  7. melakukan Pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  8. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;
  9. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau hawalah;
  10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh Pemerintah dan/atau Bank Indonesia;
  11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;
  12. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;
  13. melakukan aktivitas di bidang sistem pembayaran;
  14. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan
  15. melakukan kegiatan lain di bidang Perbankan Syariah dan/atau di bidang sosial dengan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kegiatan usaha UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
       
12. Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

 
(1)

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat:

  1. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank Umum Syariah atau LJK yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;
  3. melakukan kegiatan penyertaan modal pada lembaga nonkeuangan yang mendukung industri Perbankan Syariah yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dengan memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  4. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
  5. bertindak sebagai pendiri dan pengurus Dana Pensiun berdasarkan Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­-undangan mengenai Dana Pensiun;
  6. melakukan kegiatan dalam Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang­-undangan mengenai Pasar Modal;
  7. menyelenggarakan kegiatan atau produk Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
  8. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Pasar Uang;
  9. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Pasar Modal;
  10. melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah; dan
  11. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Umum Syariah lainnya berdasarkan Prinsip Syariah.
(2)

Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat:

  1. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan dalam Pasar Modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang­-undangan mengenai Pasar Modal;
  3. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali penyertaannya;
  4. menyelenggarakan kegiatan atau produk Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan sarana elektronik;
  5. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Pasar Uang;
  6. melakukan kerja sama dengan LJK lain dan kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah; dan
  7. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha UUS lainnya berdasarkan Prinsip Syariah.
(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
       
13. Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20A


(1) Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, Bank Umum Syariah dapat beroperasi sebagai Bank digital.
(2) Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki 1 (satu) kantor fisik sebagai kantor pusat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Bank digital sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
       
14. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

 
(1) Kegiatan usaha BPR Syariah meliputi:
a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

1.

Simpanan berupa Tabungan, Deposito, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan

2.

Investasi berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

1.

Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah atau musyarakah;

2.

Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau istishna;

3.

Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;

4.

Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan

5.

pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;

c. menempatkan dana dan menerima penempatan dana dari Bank Syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan Akad wadi'ah atau Investasi berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;
d. melakukan kegiatan transfer dana baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah;
e. melakukan kegiatan pengalihan piutang; dan/atau
f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha BPR Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Kegiatan usaha BPR Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang merupakan kewenangan Bank Indonesia diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia.
       
15. Di antara Pasal 21 dan Pasal 22 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 21A, Pasal 21B, dan Pasal 21C sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 21A

 
Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, BPR Syariah dapat:
a. melakukan kerja sama dengan LJK lain serta kerja sama dengan selain LJK dalam pemberian layanan jasa keuangan kepada Nasabah;
b. melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing; dan
c. melakukan penyertaan modal pada lembaga penunjang BPR Syariah sesuai dengan pembatasan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang­-undangan.
 
 

Pasal 21B

 
(1) Dalam melaksanakan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21A, Bank Syariah dan UUS dapat memanfaatkan teknologi informasi.
(2) Dalam rangka mendorong pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Syariah dan UUS dapat membuka akses data dan informasi Nasabah kepada penyelenggara keuangan lainnya termasuk penyelenggara ITSK berdasarkan persetujuan dan untuk kepentingan Nasabah melalui sistem atau aplikasi tertentu.
(3) Pelaksanaan pembukaan akses data dan informasi Nasabah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 21C

 
(1) Bank Umum Syariah dan UUS wajib menyalurkan Pembiayaan untuk sektor tertentu, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, pembiayaan inklusif, dan/atau pembiayaan berkelanjutan.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mengatur kewajiban penyaluran Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
       
16. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24

 
(1) Bank Umum Syariah dilarang:
  1. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di Pasar Modal;
  3. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d;
  4. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf j; dan
  5. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).
(2) UUS dilarang:
  1. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
  2. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di Pasar Modal;
  3. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c;
  4. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf f; dan
  5. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (2).
       
17. Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25 

 
BPR Syariah dilarang:
a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah;
b. menerima Simpanan berupa Giro;
c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali kegiatan usaha penukaran valuta asing;
d. melakukan kegiatan usaha Perasuransian, kecuali memasarkan produk asuransi dalam rangka kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21A huruf a;
e. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21A huruf c;
f. membeli surat berharga, kecuali yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, Pemerintah, atau Pemerintah Daerah; dan
g. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 21A.
       
18. Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 26

 
(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 sampai dengan Pasal 21A dan/atau produk dan jasa syariah wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
(3) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dengan membentuk peraturan untuk mengatur kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus dikoordinasikan oleh otoritas terkait dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
(5) Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), otoritas terkait dapat membentuk komite perbankan syariah, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dalam peraturan masing-masing otoritas.
       
19. Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

 
(1) Pihak utama wajib mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam rangka pemberian persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian kemampuan dan kepatutan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penilaian kemampuan serta kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
20. Pasal 28 dihapus.
       
21. Pasal 29 dihapus.
       
22. Pasal 30 dihapus.
       
23. Pasal 31 dihapus.
       
24. Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 34

 
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan prinsip tata kelola yang baik dalam melakukan kegiatan usaha.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal mengenai pelaksanaan prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai prinsip tata kelola yang baik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
25. Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 35

 
(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usaha wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.
(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Laporan keuangan tahunan wajib diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi BPR Syariah.
(5) Bank Syariah dan UUS wajib mengumumkan laporan keuangan dan laporan lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
       
26. Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 38

 
(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko dan prinsip mengenal Nasabah.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
27. Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 40

 
(1) Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik Agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar pelelangan dari pemilik Agunan dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajiban kepada Bank, dengan ketentuan Agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
(2) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu tertentu, dan tidak terdapat permasalahan terhadap kepemilikan Agunan, Bank Syariah dan UUS dapat membeli sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan.
(3) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dengan kewajiban Nasabah Bank Syariah dan UUS yang bersangkutan.
(4) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait dengan proses pembelian Agunan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
28. Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41

 
(1) Bank Syariah dan UUS serta Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
(2) Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor sekaligus sebagai Nasabah Penerima Fasilitas, Bank Syariah dan UUS serta Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan informasi mengenai Nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor.
       
29. Di antara Pasal 41 dan Pasal 42 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 41A, Pasal 41B, dan Pasal 41C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 41A

 
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 tidak berlaku untuk:
  1. kepentingan peradilan dalam perkara perdata Bank Syariah dan UUS dengan Nasabah, Nasabah dengan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah;
  2. kepentingan peradilan dalam perkara pidana;
  3. permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau permintaan likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta;
  4. permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis;
  5. permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang telah meninggal dunia;
  6. tukar menukar informasi antar-Bank;
  7. memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana;
  8. permintaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebagaimana ketentuan peraturan perundang-undangan;
  9. kepentingan instansi lain untuk tujuan penyelenggaraan negara di tingkat pusat dan kepentingan umum sesuai dengan tugas dan kewenangan dalam Undang-Undang;
  10. kepentingan pelaksanaan tugas di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran oleh Bank Indonesia;
  11. kepentingan pelaksanaan tugas di bidang penjaminan simpanan dan resolusi oleh Lembaga Penjamin Simpanan; dan/atau
  12. pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Rahasia Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
 

Pasal 41B

 
Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin membuka Rahasia Bank:
a. untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf b; dan
b. untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf g.
 
 

Pasal 41C

 
Setiap Orang yang mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A wajib menjaga kerahasiaan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta informasi mengenai Nasabah Investor dan Investasinya.
       
30. Pasal 42 dihapus.
       
31. Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 43

 
(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf b, Otoritas Jasa Keuangan berwenang memberikan izin kepada polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang berdasarkan Undang-Undang untuk memperoleh informasi dari Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS mengenai Simpanan atau Investasi tersangka, terdakwa, terpidana, atau pihak lain yang terkait dengan tersangka, terdakwa, atau terpidana.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari:
  1. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia, atau kepala kepolisian daerah dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik dari Kepolisian Negara Republik Indonesia;
  2. Jaksa Agung, Jaksa Agung Muda, atau kepala kejaksaan tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh jaksa penyidik dan/atau penuntut umum;
  3. Ketua Mahkamah Agung, ketua pengadilan tinggi, atau ketua pengadilan negeri; atau
  4. pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan atau jabatan satu tingkat di bawah pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan.
(3) Untuk memenuhi bantuan timbal balik dalam masalah pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf g, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan izin kepada polisi atau jaksa untuk memperoleh informasi dari Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS berdasarkan undang-undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan secara tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk di instansinya.
(5) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus menyebutkan:
  1. nama dan jabatan polisi atau jaksa;
  2. nama pihak terkait yang dimintakan; dan
  3. uraian bahwa permintaan bantuan berkaitan dengan suatu penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan di negara peminta dan statusnya sebagai tersangka atau saksi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
       
32. Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 44


Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan informasi yang diminta oleh pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
       
33. Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45


Dalam perkara perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf a, berlaku:
a. untuk perkara perdata antara Bank Syariah atau UUS dan Nasabah, direksi atau yang setara Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut; atau
b. untuk perkara perdata antara Nasabah dan Nasabah, dan terkait dengan Nasabah, direksi atau yang setara Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS harus menginformasikan kepada pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah dan informasi lain yang relevan dengan perkara berdasarkan permintaan ketua pengadilan negeri, ketua pengadilan tinggi, atau Ketua Mahkamah Agung.
       
34. Di antara Pasal 45 dan Pasal 46 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 45A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45A


Atas permintaan kurator yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan niaga mengenai kepailitan atau likuidator yang ditetapkan berdasarkan penetapan pengadilan dalam rangka pemberesan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf c, Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan informasi mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan dan Investasi Nasabah Investor pada Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang terkait dengan pelaksanaan kepailitan atau likuidasi.
       
35. Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 46


Dalam rangka tukar menukar informasi antar-Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf f, direksi Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dapat memberitahukan Rahasia Bank kepada Bank lain.
       
36. Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf d, Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS wajib memberikan Rahasia Bank kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor.
       
37. Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48


Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf e berhak memperoleh keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau Investasi Nasabah Investor.
       
38. Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 48A, Pasal 488, dan Pasal 48C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 48A


Dalam rangka pemenuhan pembukaan Rahasia Bank untuk tujuan penyelenggaraan negara dan kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf i, instansi terkait harus berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 48B


(1) Untuk pelaksanaan perjanjian kerja sama otoritas antarnegara yang telah ditandatangani secara resiprokal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41A ayat (1) huruf l, mitra perjanjian mengajukan permintaan informasi kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mendapatkan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.
(2) Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan mempertimbangkan asas resiprokal.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memberikan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), informasi tersebut dapat digunakan oleh mitra perjanjian yang meminta informasi baik untuk kepentingan pidana, perdata, maupun administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-­undangan.

 

Pasal 48C

 
(1) Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Undang-Undang ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.
(3) Dalam hal Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, serta pejabat dan pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang melaksanakan tugas berdasarkan Undang-Undang ini menghadapi tuntutan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang, yang bersangkutan mendapat bantuan hukum dari lembaga yang diwakili atau yang menugaskan.
       
39. Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 49

 
(1) Pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, Pasal 45, Pasal 45A, Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 48 berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam keterangan yang diberikan.
(2) Dalam hal permintaan pembetulan oleh pihak yang merasa dirugikan akibat keterangan yang diberikan oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS, pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan yang berwenang.
       
40. Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 50


(1) Bank Syariah dan UUS wajib mematuhi peraturan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan terhadap Bank Syariah dan UUS dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung.
(3) Bank Syariah dan UUS wajib mematuhi dan/atau melaksanakan tindak lanjut pengawasan dan larangan Otoritas Jasa Keuangan.
       
41. Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 51


Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan serta aspek terkait tingkat kesehatan dan kepatuhan terhadap Prinsip Syariah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan
       
42. Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 52


(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank Syariah dan UUS, dan hal lain yang terkait dengan kegiatan usahanya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pengawasan secara langsung terhadap Bank Syariah dan UUS oleh Otoritas Jasa Keuangan dilakukan melalui pemeriksaan, baik secara berkala maupun sewaktu-waktu apabila diperlukan.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat memeriksa data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank Syariah dan UUS, dan hal lain yang terkait dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4)

Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:

  1. meminta Bank Syariah dan UUS untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat yang terkait Bank Syariah dan UUS;
  2. meminta Bank Syariah dan UUS untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan memiliki pengaruh terhadap Bank Syariah dan UUS; dan
  3. memerintahkan Bank Syariah dan UUS untuk melakukan pemblokiran rekening tertentu.
(5) Otoritas Jasa Keuangan berwenang melakukan pengawasan secara langsung terhadap pihak terelasi dalam kelompok usaha Bank Syariah dan UUS dan pihak lain yang menerima fasilitas penyediaan dana dari Bank Syariah dan UUS.
(6) Data, informasi, keterangan, atau penjelasan mengenai usaha Bank Syariah dan UUS, dan hal lain yang disampaikan oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diumumkan dan bersifat rahasia.
(7) Bank Syariah dan UUS wajib memberikan bantuan yang diperlukan untuk memperoleh kebenaran dari keterangan, dokumen, dan penjelasan kepada Otoritas Jasa Keuangan dalam pelaksanaan pengawasan.
       
43. Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53


(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan dalam melaksanakan tugas tertentu.
(2) Hasil pelaksanaan tugas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk laporan penugasan.
(3) Laporan penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat rahasia.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penugasan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
44. Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 54

 
(1) Dalam hal suatu Bank Syariah mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
  1. membatasi kewenangan rapat umum pemegang saham atau yang dipersamakan, komisaris atau yang setara, direksi atau yang setara, dan pemegang saham atau yang setara;
  2. meminta dan/atau memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk menambah modal;
  3. meminta pemegang saham atau yang setara untuk mengganti anggota dewan komisaris atau yang setara dan/atau direksi atau yang setara;
  4. meminta dan/atau memerintahkan Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank Syariah dengan modalnya;
  5. meminta Bank Syariah melakukan Penggabungan atau Peleburan dengan Bank Syariah lain;
  6. meminta pemegang saham atau yang setara untuk menjual kepemilikan Bank Syariah kepada pembeli;
  7. meminta dan/atau memerintahkan Bank Syariah menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada pihak lain;
  8. meminta dan/atau memerintahkan Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak lain;
  9. memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk memberikan pinjaman kepada Bank Syariah;
  10. memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk mendukung pelaksanaan tugas Otoritas Jasa Keuangan dan Lembaga Penjamin Simpanan saat mengatasi permasalahan Bank Syariah;
  11. menunjuk pengelola statuter dan memerintahkan Bank Syariah untuk mendukung pelaksanaan tugas pengelola statuter yang ditempatkan di Bank Syariah;
  12. memerintahkan Bank Syariah untuk tidak melakukan transaksi tertentu dengan pihak terkait dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  13. membatasi kegiatan usaha tertentu Bank Syariah;
  14. memberikan perintah tertulis kepada Bank Syariah dan/atau pihak tertentu; dan/atau
  15. memerintahkan Bank Syariah untuk melakukan langkah lain yang dianggap perlu oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam hal kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dilakukan, tetapi Bank Syariah masih mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha serta tidak dapat disehatkan oleh Otoritas Jasa Keuangan sesuai dengan kewenangannya, Otoritas Jasa Keuangan menetapkan Bank Syariah sebagai Bank dalam resolusi dan menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Bank, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Bank Indonesia.
(3) Dalam rangka melaksanakan tindakan resolusi, Lembaga Penjamin Simpanan dapat mengajukan permintaan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mencabut izin usaha Bank Syariah.
(4) Berdasarkan permintaan Lembaga Penjamin Simpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Otoritas Jasa Keuangan melakukan pencabutan izin usaha Bank Syariah.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha Bank Syariah atas permintaan Bank Syariah setelah Bank Syariah menyelesaikan seluruh kewajibannya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
45. Di antara Pasal 54 dan Pasal 55 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 54A dan 54B sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 54A

 
(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengembangkan penyelenggaraan sistem layanan informasi keuangan.
(2) Informasi pada sistem layanan informasi keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola oleh Otoritas Jasa Keuangan serta dapat diberikan dan/atau dipertukarkan kepada pihak lain dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Setiap pihak yang memperoleh informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan data sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengatur dan mengawasi lembaga pengelola informasi perkreditan.
   

Pasal 54B


(1) Setiap Orang dilarang:
  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan.
(2) Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dilarang meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
  1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS;
  2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lain; dan/atau
  3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dana pada Bank Syariah atau uus.
(3) Setiap Orang dilarang memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Pembiayaan dari Bank Syariah atau UUS, atau dalam rangka pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, atau dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas Pembiayaan pada Bank Syariah atau uus.
(4) Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, Pihak Terafiliasi, dan pemegang saham atau yang setara wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
       
46. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 59


Setiap Orang yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
       
47. Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 60

 
(1) Setiap Orang yang tanpa izin dari Otoritas Jasa Keuangan atau tanpa kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, dengan sengaja memaksa Bank Syariah, UUS, atau Pihak Terafiliasi untuk memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
(2) Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS atau Pihak Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).
       
48. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja tidak memberikan informasi, Rahasia Bank, dan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
   
49. Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 62


Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau
b. tidak memberikan data, informasi, keterangan, penjelasan, atau tidak melaksanakan perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
       
50.

Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.


Pasal 63


(1) Anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf a;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf b; dan/atau
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan/atau huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan sengaja:
  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf a;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf b; dan/atau
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS, atau mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (1) huruf c,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(4) Pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka:
  1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (2) huruf a;
  2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, eek dan kertas dagang, atau bukti kewajiban lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (2) huruf b;
  3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54B ayat (2) huruf e; dan/atau
b. tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang­-undangan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4),
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(5) Setiap Orang yang dengan sengaja:
  1. memberikan suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, dan/atau barang berharga, kepada pemegang saham atau yang setara, anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk keuntungan pribadi atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh uang muka, bank garansi, atau fasilitas Pembiayaan dari Bank Syariah atau UUS, atau dalam rangka pembelian oleh Bank Syariah atau UUS atas surat wesel, surat promes, cek, dan kertas dagang atau bukti kewajiban lainnya, ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas penyaluran dana pada Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (3); atau
  2. menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
       
51. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64


Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
       
52. Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 65


Pemegang saham atau yang setara yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan komisaris atau yang setara, anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau UUS tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 548 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).
       
53. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.
 

Pasal 66


(1) Anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja:
  1. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang mengenai perbankan syariah dan perbuatan tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah atau UUS tidak sehat;
  2. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan komisaris;
  3. memberikan penyaluran dana atau fasilitas Penjaminan dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau
  4. tidak melakukan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap ketentuan batas maksimum pemberian penyaluran dana sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah dan/atau ketentuan yang berlaku.

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c dan/atau perbuatan anggota direksi atau yang setara, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Anggota direksi atau yang setara dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau turut serta melakukan perbuatan atau melakukan pembantuan perbuatan anggota direksi atau yang setara dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
       
54. Di antara Pasal 66 dan Pasal 67 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 66A, Pasal 66B, dan Pasal 66C sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 66A

 
(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 dilakukan oleh korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dan/atau anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain.
(2) Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya apabila tindak pidana:
  1. dilakukan atau diperintahkan oleh anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, PSP atau yang dipersamakan, dan/atau pihak lain;
  2. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain;
  3. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
  4. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain.

 

Pasal 66B


(1) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya merupakan pidana denda dengan ketentuan untuk:
  1. Bank Umum Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah);
  2. BPR Syariah paling sedikit sebesar Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah); atau
  3. korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lain selain yang dimaksud dalam huruf a dan huruf b paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
  1. pengumuman putusan hakim; dan/atau
  2. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi atau badan usaha baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, setelah mendapatkan pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan.
 

Pasal 66C


(1) Selain dijatuhi pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 66A, dan Pasal 668 terpidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penggantian kerugian apabila tindak pidana mengakibatkan kerugian.
(2) Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembalikan kepada pihak yang dirugikan sejumlah kerugian yang diderita, atau secara proporsional dalam hal jumlah penggantian kerugian tidak mencukupi jumlah total kerugian yang ditimbulkan.
(3) Dalam melaksanakan putusan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terpidana diberikan jangka waktu selama 1 (satu) bulan sejak putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Dalam hal terpidana tidak membayar pidana denda dan pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta benda terpidana disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi denda dan ganti kerugian tersebut.
(6) Dalam hal penyitaan dan pelelangan harta benda sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak cukup atau tidak memungkinkan untuk dilaksanakan, pidana tambahan berupa penggantian kerugian yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara sebagaimana diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(7) Pidana tambahan berupa penggantian kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan lamanya pidana penjara sebagaimana dimaksud pada ayat (6) yang ditentukan oleh hakim dicantumkan dalam amar putusan pengadilan.
       
55. Di antara Pasal 67 dan Pasal 68 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 67A sehingga berbunyi sebagai berikut:
 

Pasal 67A


(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan dimulainya, tidak dilakukannya, atau dihentikannya penyidikan terhadap tindak pidana Perbankan Syariah.
(2) Sebelum menetapkan dimulainya penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penyelidikan terhadap dugaan tindak pidana Perbankan Syariah.
(3) Pada tahap penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pihak yang diduga melakukan tindak pidana Perbankan Syariah dapat mengajukan permohonan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk penyelesaian pelanggaran atas peraturan perundang­-undangan di sektor Perbankan Syariah.
(4) Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan menghitung nilai kerugian atas pelanggaran.
(5) Dalam melakukan penilaian terhadap permohonan penyelesaian pelanggaran dan perhitungan nilai kerugian atas pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Otoritas Jasa Keuangan mempertimbangkan minimal:
  1. ada atau tidaknya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
  2. nilai transaksi dan/atau nilai kerugian atas pelanggaran; dan
  3. dampak terhadap sektor Perbankan Syariah, Bank Syariah, Bank Konvensional yang memiliki UUS, dan/atau kepentingan Nasabah dan/atau masyarakat.
(6) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menyetujui permohonan penyelesaian pelanggaran, pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran wajib melaksanakan kesepakatan termasuk membayar ganti rugi.
(7) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) telah dipenuhi seluruhnya oleh pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran, Otoritas Jasa Keuangan menghentikan penyelidikan.
(8) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) merupakan hak dari pihak yang dirugikan dan bukan merupakan pendapatan Otoritas Jasa Keuangan.
(9) Dalam hal:
  1. Otoritas Jasa Keuangan tidak menyetujui permohonan penyelesaian atas pelanggaran; atau
  2. pihak yang mengajukan permohonan penyelesaian pelanggaran tidak memenuhi sebagian atau seluruh kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6),
Otoritas Jasa Keuangan berwenang melanjutkan ke tahap penyidikan.
(10) Penyidikan atas tindak pidana Perbankan Syariah hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan penyelesaian pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (9) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
       
56. Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut.

Pasal 68


(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS, setelah memenuhi persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta Pemisahan UUS menjadi Bank Umum Syariah dalam rangka konsolidasi Perbankan Syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan konsolidasi, serta sanksi bagi Bank Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.
(4) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

 

BAB V
PASAR MODAL, PASAR UANG, DAN PASAR VALUTA ASING

Bagian Kesatu
Infrastruktur Pasar

 

Pasal 16

 

(1) Penyelenggaraan pasar di sektor keuangan harus didukung oleh infrastruktur pasar yang mengikuti perkembangan teknologi.
(2) Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  1. sarana transaksi;
  2. sarana kliring dan/atau penjaminan (central counter party);
  3. sarana penyelesaian transaksi, penatausahaan, dan/atau penyimpanan instrumen keuangan (kustodian sentral);
  4. sarana penyelesaian dana (sistem pembayaran);
  5. sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif; dan
  6. sarana lainnya.
 
(3) Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia berkoordinasi untuk mendorong pengembangan infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diselenggarakan oleh otoritas sektor keuangan atau perusahaan berbadan hukum Indonesia yang telah memperoleh izin atau ditunjuk oleh otoritas sektor keuangan.
(5) Infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf f kecuali huruf d, dapat digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar setelah memperoleh izin dari otoritas asal infrastruktur dan persetujuan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung.
(6) Dalam hal infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan dalam penyelenggaraan antarpasar, otoritas asal infrastruktur pasar dan otoritas pengawas dari instrumen keuangan yang akan menggunakan infrastruktur pendukung harus melakukan koordinasi, paling sedikit dalam rangka:
  1. pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi;
  2. pengawasan bersama; dan
  3. langkah memitigasi risiko.
(7) Dalam hal ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan berdasarkan hasil pengawasan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b, dilakukan tindakan hukum dan/atau pengenaan sanksi terhadap penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau pelaku pasar oleh otoritas asal masing-masing infrastruktur pasar sesuai dengan kewenangannya.
(8) Sarana pengelola informasi transaksi (trade repository) instrumen keuangan dan/atau Derivatif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e harus menyediakan data yang akurat, mencukupi, dan tepat waktu kepada publik dan kepada otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.
(9) Penyelenggaraan infrastruktur pasar harus memenuhi prinsip tata kelola perusahaan yang baik, prinsip kehati­-hatian, dan manajemen risiko yang efektif, memenuhi prinsip keamanan, efisiensi, dan keandalan.
(10) Dalam rangka pengaturan dan pengawasan, otoritas dapat menetapkan kategori infrastruktur pasar berdasarkan tingkat risiko.

 

 

Pasal 17

 

(1) Dalam hal penyelenggara infrastruktur pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) menggunakan penyedia jasa pendukung infrastruktur, penyelenggara infrastruktur pasar memastikan kemampuan dan ketahanan operasional infrastruktur pasar dalam rangka meminimalisir risiko Stabilitas Sistem Keuangan.
(2) Otoritas di sektor keuangan dan penyelenggara infrastruktur pasar memiliki akses informasi yang diperlukan terhadap penyedia jasa pendukung infrastruktur.

 

 

Pasal 18

 

(1) Dalam hal terdapat instrumen keuangan dan/atau transaksi atas instrumen keuangan yang memiliki:
  1. lebih dari 1 (satu) karakteristik Pasar Modal, Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan pasar komoditi; dan/atau
  2. karakteristik risiko, hak, dan manfaat yang setara terhadap investor atau penerbit,
masing-masing otoritas menetapkan standar pengaturan dan pengawasan yang setara.
(2) Standar pengaturan dan pengawasan yang setara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
  1. mekanisme penerbitan, keterbukaan informasi, dan pelaporan;
  2. mitigasi risiko termasuk risiko sistemik dan bukan sistemik; dan
  3. pelindungan pemodal atau investor dan sanksi yang wajar terhadap pelaku.
(3) Dalam rangka pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), otoritas Pasar Modal, otoritas Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, serta otoritas perdagangan berjangka komoditi melakukan koordinasi.

 

 

Pasal 19

 

Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perdagangan berjangka komoditi, Undang-Undang 101 mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru yang diatur dalam Undang­-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232).

  

 

Pasal 20

 

Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3720) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 79, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5232) disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:

  

Pasal 3A

 

Komoditi yang dijadikan subjek Kontrak Berjangka, Kontrak Derivatif Syariah, dan/atau Kontrak Derivatif lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tidak termasuk efek, instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor keuangan.

 

 

Bagian Kedua
Pasar Modal

 

Pasal 21

 

Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor Pasar Modal, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608).

 

 

Pasal 22


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3608) diubah:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Afiliasi adalah:            
a. hubungan keluarga karena perkawinan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu hubungan seseorang dengan:
  1. suami atau istri;
  2. orang tua dari suami atau istri dan suami atau istri dari anak;
  3. kakek dan nenek dari suami atau istri dan suami atau istri dari cucu;
  4. saudara dari suami atau istri beserta suami atau istrinya dari saudara yang bersangkutan; atau
  5. suami atau istri dari saudara orang yang bersangkutan.
b. hubungan keluarga karena keturunan sampai dengan derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal, yaitu hubungan seseorang dengan:
  1. orang tua dan anak;
  2. kakek dan nenek serta cucu; atau
  3. saudara dari orang yang bersangkutan. 
c. hubungan antara pihak dengan karyawan, direktur, atau komisaris dari pihak tersebut;
d. hubungan antara 2 (dua) atau lebih perusahaan dimana terdapat satu atau lebih anggota direksi, pengurus, dewan komisaris, atau pengawas yang sama;
e. hubungan antara perusahaan dan pihak, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, mengendalikan atau dikendalikan oleh perusahaan atau pihak tersebut dalam menentukan pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan atau pihak dimaksud;
f. hubungan antara 2 (dua) atau lebih perusahaan yang dikendalikan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun, dalam menentukan pengelolaan dan/atau kebijakan perusahaan oleh pihak yang sama; atau
g. hubungan antara perusahaan dan pemegang saham utama yaitu pihak yang secara langsung maupun tidak langsung memiliki paling kurang 20% (dua puluh persen) saham yang mempunyai hak suara dari perusahaan tersebut.
2. Anggota Bursa Efek adalah:
  1. perantara pedagang efek yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan; dan
  2. pihak lain yang memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan,
yang mempunyai hak untuk mempergunakan sistem dan/atau sarana bursa efek sesuai dengan peraturan bursa efek.
3. Biro Administrasi Efek adalah pihak yang berdasarkan kontrak dengan emiten dan/atau penerbit efek melaksanakan pencatatan pemilikan efek dan pembagian hak yang berkaitan dengan efek.
4. Bursa Efek adalah penyelenggara pasar di pasar modal untuk transaksi bursa.
5. Efek adalah surat berharga atau kontrak investasi baik dalam bentuk konvensional dan digital atau bentuk lain sesuai dengan perkembangan teknologi yang memberikan hak kepada pemiliknya untuk secara langsung maupun tidak langsung memperoleh manfaat ekonomis dari penerbit atau dari pihak tertentu berdasarkan perjanjian dan setiap Derivatif atas Efek, yang dapat dialihkan dan/atau diperdagangkan di Pasar Modal.
6. Emiten adalah pihak yang melakukan penawaran umum.
7. Informasi atau Fakta Material adalah informasi atau fakta penting dan relevan mengenai peristiwa, kejadian, atau fakta yang dapat memengaruhi:
  1. penilaian atas harga Efek pada penyelenggara pasar di Pasar Modal;
  2. penilaian atas harga Efek oleh pemodal atau investor, calon pemodal atau investor, atau pihak lain yang berkepentingan atas peristiwa, kejadian, atau fakta tersebut; dan/atau
  3. keputusan pemodal atau investor, calon pemodal atau investor, atau pihak lain yang berkepentingan atas peristiwa, kejadian, atau fakta tersebut.
8. Kustodian adalah pihak yang memberikan jasa penitipan Efek dan harta lain yang berkaitan dengan Efek, harta yang berkaitan dengan portofolio investasi kolektif, serta jasa lain, termasuk menerima dividen, bunga, dan hak lain, menyelesaikan transaksi Efek, serta mewakili pemegang rekening yang menjadi nasabahnya.
9. Lembaga Kliring dan Penjaminan adalah pihak yang menyelenggarakan jasa kliring dan/atau penjaminan penyelesaian transaksi Efek yang dilakukan melalui penyelenggara pasar di Pasar Modal serta jasa lain yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan antarpasar.
10. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian adalah pihak yang:
  1. menyelenggarakan kegiatan Kustodian sentral bagi bank Kustodian, perusahaan Efek, dan pihak lainnya; dan
  2. memberikan jasa lain yang dapat diterapkan untuk mendukung kegiatan antarpasar.
11. Manajer Investasi adalah pihak yang kegiatan usahanya mengelola portofolio Efek, portofolio investasi kolektif, dan/atau portofolio investasi lainnya untuk kepentingan sekelompok nasabah atau nasabah individual, kecuali Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Dana Pensiun, dan Bank yang melakukan sendiri kegiatan usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.
12. Pasar Modal adalah bagian dari Sistem Keuangan yang berkaitan dengan kegiatan:
  1. penawaran umum dan transaksi Efek;
  2. pengelolaan investasi;
  3. Emiten dan Perusahaan Publik yang berkaitan dengan Efek yang diterbitkannya; dan
  4. lembaga dan profesi yang berkaitan dengan Efek.
13. Penasihat Investasi adalah pihak yang memberi nasihat kepada pihak lain mengenai penjualan atau pembelian Efek dengan memperoleh imbalan jasa.
14. Penawaran Umum adalah kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
15. Penitipan Kolektif adalah jasa penitipan atas Efek dan/atau dana yang dimiliki bersama oleh lebih dari satu pihak yang kepentingannya diwakili oleh Kustodian.
16. Penjamin Emisi Efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan Emiten untuk menjamin Penawaran Umum Efek Emiten dengan atau tanpa kewajiban untuk membeli sisa Efek yang tidak terjual.
17. Perantara Pedagang Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan usaha jual beli Efek untuk kepentingan sendiri atau pihak lain.
18. Pernyataan Pendaftaran adalah dokumen yang wajib disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan oleh Emiten dalam rangka Penawaran Umum atau Perusahaan Publik.
19. Perseroan adalah perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai perseroan terbatas.
20. Perusahaan Efek adalah pihak yang melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi.
21. Perusahaan Publik adalah Perseroan dengan jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
22. Pihak adalah orang perseorangan, badan hukum, perusahaan, usaha bersama, asosiasi, atau kelompok yang terorganisasi.
23. Portofolio Efek adalah kumpulan Efek yang dimiliki oleh Pihak.
24. Prinsip Keterbukaan adalah pedoman umum yang mensyaratkan Emiten, Perusahaan Publik, dan Pihak lain yang tunduk pada Undang-Undang ini untuk menginformasikan kepada masyarakat dalam waktu yang tepat seluruh Informasi Material mengenai usahanya atau efeknya yang dapat berpengaruh terhadap keputusan pemodal atau investor terhadap Efek dimaksud dan/atau harga dari Efek tersebut.
25. Prospektus adalah dokumen tertulis yang memuat informasi Emiten dan informasi lain sehubungan dengan Penawaran Umum dengan tujuan agar Pihak lain membeli Efek.
26. Reksa Dana adalah wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal atau investor untuk selanjutnya diinvestasikan dalam Portofolio Efek, portofolio investasi kolektif, dan/atau instrumen keuangan lainnya oleh Manajer Investasi.
27. Transaksi Bursa adalah kontrak yang dibuat oleh Anggota Bursa Efek sesuai dengan persyaratan yang ditentukan oleh Bursa Efek mengenai jual beli Efek, pinjam meminjam Efek, atau kontrak lain mengenai Efek atau harga Efek.
28. Unit Penyertaan adalah satuan ukuran yang menunjukkan bagian kepentingan setiap Pihak dalam portofolio investasi kolektif.
29. Wali Amanat adalah Pihak yang mewakili kepentingan pemegang Efek bersifat utang dan/atau sukuk.
30. Transaksi Efek adalah setiap aktivitas atau kontrak dalam rangka memperoleh, melepaskan, atau menggunakan Efek yang mengakibatkan terjadinya peralihan kepemilikan atau tidak mengakibatkan terjadinya peralihan kepemilikan di Pasar Modal.
31. Penyelenggara Pasar adalah Pihak yang menyelenggarakan dan menyediakan sistem dan/atau sarana untuk mempertemukan Pihak yang melakukan transaksi atas Efek atau instrumen keuangan pada Pasar Modal atau pasar keuangan yang terorganisir.
32. Portofolio Investasi adalah kumpulan Efek dan/atau instrumen investasi selain Efek.
33. Pemeringkat adalah Pihak yang melakukan kegiatan usaha pemeringkatan atas:
  1. suatu Efek; dan/atau
  2. Pihak tertentu yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
34. Anggota Kliring adalah lembaga yang memenuhi ketentuan dan persyaratan Lembaga Kliring dan Penjaminan di Pasar Modal untuk memperoleh layanan jasa kliring dan/atau penjaminan penyelesaian transaksi Efek yang dilakukan melalui Penyelenggara Pasar di Pasar Modal.
35. Kontrak Investasi Kolektif adalah kontrak antara Manajer Investasi dan bank Kustodian yang secara kolektif mengikat pemodal atau investor dimana Manajer Investasi diberi wewenang untuk mengelola Portofolio Investasi kolektif dan bank Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.
36. Otoritas Jasa Keuangan adalah Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
   
2. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4, Otoritas Jasa Keuangan mempunyai:
a. kewenangan pengaturan untuk:
1. menetapkan persyaratan dan tata cara Pernyataan Pendaftaran, penundaan, pembatalan, atau pencabutan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, serta penundaan Penawaran Umum;
2. menetapkan persyaratan pemilikan saham dan/atau pengendalian Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan;
3. mewajibkan pendaftaran Profesi Penunjang Pasar Modal dan Wali Amanat; 
4. menetapkan persyaratan penggunaan teknologi informasi dalam kegiatan di bidang Pasar Modal;
5. mengatur kewajiban penerbitan Efek dan konversi Efek dalam bentuk Efek tanpa warkat;
6. menetapkan instrumen lain sebagai Efek selain yang telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 5;
7. mengatur penyelenggaraan penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowd funding);
8. mengatur perdagangan sekunder instrumen yang berkaitan dengan nilai ekonomi karbon di bursa karbon;
9. mengatur kegiatan di Pasar Modal, Pihak yang melakukan aktivitas di Pasar Modal, dan produk di Pasar Modal, termasuk kegiatan, Pihak, dan produk berdasarkan Prinsip Syariah;
10. melaksanakan kegiatan internasional di bidang Pasar Modal dan pengaturan perdagangan Efek lintas negara serta memberikan persetujuan atas partisipasi PUSK di bidang Pasar Modal pada organisasi internasional;
11. menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan dan pemberhentian untuk sementara waktu komisaris dan/atau direktur Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, lembaga pendanaan Efek, lembaga penilaian harga Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal, dan/atau lembaga yang didirikan untuk pengembangan Pasar Modal berdasarkan izin Otoritas Jasa Keuangan;
12. menetapkan persyaratan dan tata cara pencalonan direktur dan/atau komisaris Penyelenggara Pasar, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain; dan
13. memberikan penjelasan lebih lanjut yang bersifat teknis atas Undang-Undang ini atau peraturan pelaksanaannya.
b. kewenangan untuk memberikan:
1. izin usaha kepada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Reksa Dana, Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, dan Biro Administrasi Efek;
2. izin orang perseorangan bagi wakil Penjamin Emisi Efek, wakil Perantara Pedagang Efek, dan wakil Manajer Investasi;
3. persetujuan bagi bank Kustodian; dan
4. perizinan, persetujuan, pendaftaran, efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan pengakuan atas kegiatan, Pihak, dan produk yang dapat dilakukan di Pasar Modal, termasuk kegiatan, Pihak, dan produk berdasarkan Prinsip Syariah.
c. kewenangan pengawasan untuk:
1. meminta pengadilan negeri untuk membubarkan dan menunjuk likuidator guna melakukan pemberesan hak dan/atau kewajiban Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain;
2. mengadakan pemeriksaan dan penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya;
3. mewajibkan setiap Pihak untuk:
a) menghentikan atau memperbaiki iklan atau promosi yang berhubungan dengan kegiatan di Pasar Modal; atau
b) mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi akibat yang timbul dari iklan atau promosi dimaksud;
4. melakukan pemeriksaan terhadap:
a) setiap Emiten atau Perusahaan Publik yang telah atau diwajibkan menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan; atau
b) Pihak yang dipersyaratkan memiliki izin usaha, izin orang perseorangan, persetujuan, atau pendaftaran profesi berdasarkan Undang-Undang ini;
5. menunjuk Pihak lain untuk melakukan pemeriksaan tertentu dalam rangka pelaksanaan wewenang Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 dan angka 4;
6. meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan pencegahan dan/atau penangkalan untuk jangka waktu tertentu terhadap seseorang dalam rangka penyidikan terhadap setiap Pihak dalam hal terjadi peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran terhadap Undang­-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya untuk keluar dari atau masuk ke wilayah Indonesia;
7. mengumumkan hasil pemeriksaan;
8. membekukan atau membatalkan pencatatan suatu Efek, atau menghentikan Transaksi Bursa atas Efek tertentu untuk jangka waktu tertentu pada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal dan/atau Bursa Efek guna melindungi kepentingan pemodal atau investor;
9. menghentikan kegiatan perdagangan pada Penyelenggara Pasar di Pasar Modal dan/atau Bursa Efek untuk jangka waktu tertentu dalam hal keadaan darurat;
10. memeriksa keberatan yang diajukan oleh Pihak yang dikenai sanksi oleh Otoritas Jasa Keuangan, Penyelenggara Pasar, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian serta memberikan keputusan menerima atau menolak seluruh atau sebagian keberatan atau memutuskan lain;
11. melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencegah kerugian masyarakat sebagai akibat pelanggaran atas ketentuan di bidang Pasar Modal;
12. mewajibkan Pihak tertentu untuk mengungkapkan kepemilikan efeknya atau kepemilikan Efek Pihak lain yang diketahui atau sepatutnya diketahui oleh Pihak tertentu tersebut;
13. mewajibkan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, dan surat tanda terdaftar atau bentuk lain yang dapat dipersamakan dengan izin, persetujuan, atau surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan untuk mengungkapkan pengendali dari Pihak tertentu tersebut;
14. menetapkan Pihak tertentu merupakan pengendali Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan;
15. melarang Pihak tertentu menjadi pengendali pada Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan yang kriteria larangan Pihak dimaksud ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
16. menetapkan tugas, kewenangan, dan tanggung jawab Pengelola Statuter pada Penyelenggara Pasar, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, dan/atau Pihak lain yang memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan;
17. melakukan pengawasan terhadap kegiatan, Pihak, dan produk yang dapat dilakukan di Pasar Modal, termasuk kegiatan, Pihak, dan produk berdasarkan Prinsip Syariah; dan 
18. melakukan hal lain yang diberikan berdasarkan Undang-Undang ini.
   
3. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal SA, Pasal SB, Pasal SC, dan Pasal SD sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A


(1) Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan wajib menjalankan kegiatannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan menerapkan tata kelola yang baik, standar profesi, dan/atau kode etik.
(2) Dalam rangka melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pengawasan dan penegakan hukum terhadap Pihak yang melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal yang berdasarkan peraturan perundang-undangan menimbulkan pelanggaran yang bersifat material dan mengakibatkan Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan terganggu kelangsungan usahanya, membahayakan keadaan keuangan lembaga dimaksud, dan/atau membahayakan kepentingan nasabahnya dan/atau pemodal atau investor.

 

  

Pasal 5B


Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab terhadap segala kegiatan yang dilakukan oleh anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham utama, pemegang saham pengendali, karyawan, dan Pihak lain yang bekerja untuk Pihak tersebut.

 

Pasal 5C


Anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, pernyataan efektifnya Pernyataan Pendaftaran, dan surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan bertanggung jawab secara pribadi baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri atas kerugian yang diderita Pihak tersebut dan/atau nasabahnya dan/atau pemodal atau investor yang timbul karena:
a. pemanfaatan Pihak dengan iktikad buruk dan/atau secara melawan hukum untuk kepentingan pribadi anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya;
b. anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Pihak;
c. anggota direksi, anggota dewan komisaris, pemegang saham dan/atau Pihak terafiliasinya baik langsung maupun tidak langsung dengan iktikad buruk atau secara melawan hukum menggunakan kekayaan Pihak dan/atau nasabahnya, yang mengakibatkan kekayaan Pihak dan/atau nasabahnya menjadi tidak cukup untuk memenuhi kewajiban Pihak dan/atau nasabahnya; atau
d. anggota direksi dan/atau anggota dewan komisaris bersalah atau lalai dalam menjalankan tugas berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau anggaran dasar.


Pasal 5D


(1) Pihak yang dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Penyelenggara Pasar di Pasar Modal terdiri atas Bursa Efek dan Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek.
(2) Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menetapkan peraturan setelah mendapatkan persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menyelenggarakan kegiatan di Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Perseroan yang memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Bursa Efek dapat memberikan jasa lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan atau persetujuan yang diberikan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjalankan kegiatan di luar Pasar Modal, sepanjang memperoleh izin dari otoritas yang berwenang.
(6) Untuk Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek yang menjalankan kegiatan di luar Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Otoritas Jasa Keuangan dan otoritas lain yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan di luar Pasar Modal wajib melakukan koordinasi, dalam rangka:
  1. pertukaran dan pemutakhiran data dan informasi;
  2. pengawasan bersama;
  3. langkah mitigasi risiko; dan
  4. langkah lain yang diperlukan dalam rangka pengawasan.
(7) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Penyelenggara Pasar di luar Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
4. Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8A


(1) Selain Perusahaan Efek yang telah memperoleh izin usaha untuk melakukan kegiatan sebagai Perantara Pedagang Efek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pihak lain dapat menjadi pemegang saham Bursa Efek.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pihak lain yang dapat menjadi pemegang saham Bursa Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.
   
5. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13


(1) Perseroan yang telah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan dapat menyelenggarakan kegiatan usaha sebagai Lembaga Kliring dan Penjaminan atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
6. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14


(1) Lembaga Kliring dan Penjaminan didirikan dengan tujuan menyediakan sarana kliring dan/atau penjaminan penyelesaian Transaksi Efek yang teratur, wajar, dan efisien.
(2) Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian didirikan dengan tujuan menyediakan jasa Kustodian sentral dan penyelesaian transaksi yang teratur, wajar, dan efisien.
(3) Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat memberikan jasa lain berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Rencana anggaran tahunan dan penggunaan laba Lembaga Kliring dan Penjaminan serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian wajib disusun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh dan dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
   
7. Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) Reksa Dana dapat menerima dan/atau memberikan pinjaman dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Reksa Dana dapat membeli saham, Unit Penyertaan Reksa Dana, atau produk investasi kolektif selain Reksa Dana lainnya dengan persyaratan tertentu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan mengenai pembatasan investasi Reksa Dana diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
8. Setelah Bagian Kedua BAB IV ditambahkan 1 (satu) bagian, yakni Bagian Ketiga sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Ketiga
Pengelolaan Investasi Selain Reksa Dana

   
9. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29A


(1) Manajer Investasi dapat melakukan pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana dan pengelolaan investasi nasabah secara individual.
(2) Pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berbentuk:
  1. Perseroan;
  2. Kontrak Investasi Kolektif; atau
  3. bentuk lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pengelolaan produk investasi kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat terbuka atau tertutup.
(4) Pengelolaan produk investasi kolektif dilakukan berdasarkan Kontrak Investasi Kolektif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b antara Manajer Investasi dan bank Kustodian.
(5) Ketentuan mengenai pengelolaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pengelolaan investasi nasabah secara individual diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 29B


(1) Manajer Investasi sebagai pengelola produk investasi kolektif selain Reksa Dana dapat menjual dan membeli kembali Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lain secara terus-menerus atau secara terbatas sampai dengan jumlah Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lain yang ditetapkan dalam Kontrak Investasi Kolektif.
(2) Dalam hal pemegang Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lainnya melakukan penjualan kembali, Manajer Investasi wajib membeli kembali Unit Penyertaan atau tanda bukti investasi lainnya.
(3) Pengecualian ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan apabila:
  1. Bursa Efek yang memperdagangkan sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana, ditutup;
  2. perdagangan Efek atas sebagian besar Portofolio Efek produk investasi kolektif selain Reksa Dana di Bursa Efek, dihentikan;
  3. keadaan darurat;
  4. Unit Penyertaan produk investasi kolektif selain Reksa Dana tersebut merupakan Unit Penyertaan yang dapat diperdagangkan di Bursa Efek; dan/atau
  5. terdapat hal lain yang ditetapkan dalam kontrak pengelolaan investasi setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam kondisi tertentu pemenuhan kewajiban membeli kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dengan cara lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi tertentu dan cara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
10. Ketentuan BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB V
PERUSAHAAN EFEK, WAKIL PERUSAHAAN EFEK,
PENASIHAT INVESTASI, DAN MANAJER INVESTASI

   
11. Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kesatu
Perizinan Perusahaan Efek

Pasal 30


(1) Pihak yang dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Perusahaan Efek merupakan Perseroan yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi serta kegiatan lain sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pihak yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi hanya untuk Efek yang bersifat utang yang jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun, sertifikat deposito, polis asuransi, Efek yang diterbitkan atau dijamin Pemerintah Indonesia, atau Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, tidak diwajibkan untuk memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Pihak tertentu untuk memperoleh persetujuan atau pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum melakukan kegiatan sebagai Penjamin Emisi Efek dan/atau Perantara Pedagang Efek atau Manajer Investasi untuk Efek yang kegiatan usahanya tidak diwajibkan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perseroan yang telah memperoleh izin usaha sebagai Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilarang melakukan perubahan kegiatan usaha.
(6) Dalam hal izin usaha suatu Perusahaan Efek dicabut, Perusahaan Efek wajib melakukan pembubaran dan pembubaran diumumkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara perizinan, persetujuan, pendaftaran, atau pembubaran Perusahaan Efek dan Pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
12. Di antara Pasal 42 dan Pasal 43 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 42A dan Pasal 42B sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 42A


Dalam pengelolaan investasi, Manajer Investasi dilarang memiliki hubungan Afiliasi dengan bank Kustodian, kecuali hubungan Afiliasi yang terjadi karena kepemilikan atau penyertaan modal Pemerintah.

Pasal 42B


Setiap Pihak dilarang memiliki saham dan/atau melakukan tindakan pengendalian pada lebih dari 1 (satu) Perusahaan Efek baik secara langsung maupun tidak langsung, kecuali karena kepemilikan saham atau penyertaan modal Pemerintah.
   
13. Ketentuan BAB VIII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB VIII
PENYELESAIAN TRANSAKSI EFEK DAN PENITIPAN KOLEKTIF

   
14. Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kesatu
Penyelesaian Transaksi Efek dan Dana Jaminan

   
15. Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55


(1) Penyelesaian Transaksi Efek dilaksanakan dengan penyelesaian pembukuan, penyelesaian fisik, atau cara lain yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Lembaga Kliring dan Penjaminan wajib menjamin penyelesaian Transaksi Efek yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyelesaian Transaksi Efek oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat berupa serah terima Efek, dana pengganti, atau aset pengganti lainnya yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Tata cara dan penjaminan penyelesaian Transaksi Efek didasarkan pada kontrak antara Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Lembaga Kliring dan Penjaminan, serta Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(5) Untuk menjamin penyelesaian Transaksi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Lembaga Kliring dan Penjaminan dapat menetapkan dana jaminan yang wajib dipenuhi oleh pemakai jasa Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(6) Kontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penetapan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mulai berlaku setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian Transaksi Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (6) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
16. Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 55A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55A


(1) Dana jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (5) dikelola oleh Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(2) Dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan milik industri Pasar Modal dan bukan merupakan harta dari Lembaga Kliring dan Penjaminan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
17. Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 61


Efek dalam Penitipan Kolektif dapat dipinjamkan atau dijaminkan dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
   
18. Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64


(1) Profesi penunjang Pasar Modal terdiri atas:
  1. akuntan publik;
  2. konsultan hukum;
  3. penilai;
  4. notaris; dan
  5. profesi lain yang ditetapkan dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk dapat melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal, profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu memperoleh surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Dalam hal tidak terdapat instansi atau lembaga yang berwenang atau memberikan izin pada profesi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e, profesi lain tersebut wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam kondisi tertentu, Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan pengecualian penggunaan jasa profesi penunjang Pasar Modal yang telah memperoleh surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara pemberian izin dan surat tanda terdaftar profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) serta pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
19. Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 66


(1) Setiap profesi penunjang Pasar Modal wajib menaati kode etik dan standar profesi yang ditetapkan oleh asosiasi profesi masing-masing sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya.
(2) Profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendirikan atau menjadi rekan pada kantor profesi penunjang Pasar Modal.
(3) Kantor profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa perorangan atau badan usaha.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan kantor profesi penunjang Pasar Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memperoleh surat tanda terdaftar dari Otoritas Jasa Keuangan sebelum pendiri dan/atau rekan pada kantor profesi penunjang Pasar Modal melakukan kegiatan di bidang Pasar Modal.
(5) Otoritas Jasa Keuangan dapat mengatur standar profesi di bidang Pasar Modal dan tata kelola kantor profesi penunjang Pasar Modal.
   
20. Ketentuan Bab IX diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB IX
PENAWARAN EFEK DAN PERUSAHAAN PUBLIK

   
21. Ketentuan Bagian Kesatu diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Bagian Kesatu
Penawaran Efek, Penawaran Umum, dan Pernyataan Pendaftaran

   
22. Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 690 sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 69A


(1) Dalam rangka memperluas akses Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah untuk mendapatkan pendanaan dari Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan mengatur penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a angka 7.
(2) Persyaratan maksimum jumlah penghimpunan dana dan persyaratan pemodal atau investor yang dapat menggunakan mekanisme penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Penyelenggara sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Dalam hal penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan LJK yang telah memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggara tersebut wajib memperoleh pendaftaran atau persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(5) LJK sebagai penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib menerapkan prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko.
(6) Ketentuan mengenai mekanisme penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dengan menggunakan jasa penyelenggara sistem elektronik (securities crowdfunding) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5), khususnya meliputi:
  1. status perseroan terbuka;
  2. pemindahan hak atas saham;
  3. susunan organ Perseroan; dan
  4. penyelenggaraan rapat umum pemegang saham,
dapat dikecualikan dari peraturan perundang-undangan termasuk mengenai perseroan terbatas.

 

 

Pasal 69B


(1) Dalam rangka memberikan pelindungan kepada pemodal atau investor yang memanfaatkan layanan penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal dapat memberikan pelindungan dana pemodal berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam rangka pengawasan, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek wajib memperhatikan kelengkapan, kecukupan, objektivitas, kemudahan untuk dimengerti, dan kejelasan dokumen penerbit, untuk memastikan bahwa dokumen penerbit telah memenuhi Prinsip Keterbukaan.
(3) Dalam rangka pengawasan, penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek melaporkan informasi terkait pemodal atau investor dan penerbit yang difasilitasi dalam penawaran Efek sesuai permintaan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Penerbit dilarang melakukan penerbitan Efek melalui lebih dari satu penyelenggara, kecuali ditentukan lain oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 69C


(1) Dalam rangka pengembangan Pasar Modal, Penawaran Umum perusahaan berinovasi tinggi dengan pertumbuhan cepat dengan karakteristik tertentu, dapat diatur khusus oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pengaturan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di antaranya mengenai:
  1. klasifikasi saham yang dapat diterbitkan;
  2. tata cara penambahan modal;
  3. transaksi tertentu; dan
  4. pencatatan Efek di Penyelenggara Pasar di Pasar Modal.

 

 

Pasal 69D


(1) Bagi Perseroan yang melakukan kegiatan di Pasar Modal berlaku ketentuan peraturan perundang­-undangan mengenai perseroan terbatas, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditujukan untuk mewujudkan Pasar Modal yang teratur, wajar, efisien, dan melindungi kepentingan pemodal.
   
23. Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70


(1) Penawaran Umum hanya dapat dilakukan dengan ketentuan:
  1. Emiten telah menyampaikan Pernyataan Pendaftaran kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menawarkan Efek dengan tujuan menjual Efek kepada masyarakat; dan
  2. Pernyataan Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam huruf a telah efektif.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi Pihak yang melakukan:
  1. penawaran Efek yang bersifat utang dan/atau sukuk yang jatuh temponya tidak lebih dari 1 (satu) tahun;
  2. penawaran Efek yang diterbitkan dan/atau dijamin Pemerintah Indonesia;
  3. penawaran Efek bersifat utang dan/atau sukuk yang diterbitkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan khusus kepada investor profesional dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya;
  4. penawaran atas Efek atau surat berharga yang secara khusus diatur dalam Undang-Undang; atau
  5. penawaran Efek lain yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan perdagangan Efek bersifat utang Lembaga Penjamin Simpanan dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
   
24. Di antara Pasal 70 dan Pasal 71 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 70A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 70A


Kegiatan terkait dengan Efek bersifat utang dalam Pasal 30, Pasal 51, Pasal 53, Pasal 54, dan Pasal 70, berlaku mutatis mutandis untuk sukuk.
   
25. Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 74


(1) Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif pada hari kerja ke-20 (kedua puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap atau pada tanggal yang lebih awal jika dinyatakan efektif oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dari Emiten atau Perusahaan Publik.
(3) Dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik menyampaikan perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pernyataan Pendaftaran tersebut dianggap telah disampaikan kembali pada tanggal diterimanya perubahan atau tambahan informasi tersebut.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan meminta perubahan dan/atau tambahan informasi dari Emiten atau Perusahaan Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penghitungan waktu untuk efektifnya Pernyataan Pendaftaran dihitung sejak tanggal diterimanya perubahan dan/atau tambahan informasi dimaksud.
(5) Pernyataan Pendaftaran tidak dapat menjadi efektif sampai saat perubahan dan/atau tambahan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima dan telah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Jangka waktu Pernyataan Pendaftaran dapat diubah menjadi efektif lebih cepat dari hari kerja ke-20 (kedua puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap.
(7) Perubahan jangka waktu Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif lebih cepat dari hari kerja ke-20 (kedua puluh) sejak diterimanya Pernyataan Pendaftaran secara lengkap, diatur lebih lanjut oleh Otoritas Jasa Keuangan.
   
26. Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 82


(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memberikan hak memesan Efek terlebih dahulu kepada setiap pemegang saham secara proporsional.
(2) Hak memesan Efek terlebih dahulu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan apabila Emiten atau Perusahaan Publik tersebut menerbitkan saham atau Efek yang dapat ditukar dengan saham Emiten atau Perusahaan Publik.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila Emiten atau Perusahaan Publik melakukan transaksi dimana kepentingan ekonomis Emiten atau Perusahaan Publik berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama Emiten atau Perusahaan Publik.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh persetujuan pemegang saham dalam hal Emiten atau Perusahaan Publik tersebut melakukan transaksi material, perubahan kegiatan usaha, transaksi Afiliasi, penggabungan, pemisahan, peleburan, pengurangan modal, atau pembelian kembali saham.
(5) Dalam rangka memenuhi asas keterbukaan dan melindungi kepentingan publik, Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan Emiten atau Perusahaan Publik untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila Emiten atau Perusahaan Publik akan melakukan transaksi selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(6) Ketentuan mengenai persyaratan dan tata cara penerbitan hak memesan Efek terlebih dahulu, transaksi yang mempunyai benturan kepentingan, serta transaksi material dan/atau perubahan kegiatan usaha utama, transaksi Afiliasi, penggabungan, pemisahan, peleburan, pengurangan modal, atau pembelian kembali saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
27. Di antara Pasal 84 dan Pasal 85 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 84A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 84A


(1) Perusahaan terbuka yang dibatalkan pencatatan sahamnya pada Bursa Efek wajib mengubah status menjadi Perseroan yang tertutup dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perusahaan terbuka dapat secara sukarela mengubah statusnya menjadi Perseroan yang tertutup setelah memenuhi persyaratan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan.
   
28. Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 86


(1) Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik wajib:
  1. menyampaikan laporan secara berkala kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan laporan tersebut kepada masyarakat; dan
  2. menyampaikan laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat memengaruhi harga Efek sesegera mungkin setelah terjadinya peristiwa tersebut.
(2) Emiten yang pernyataan pendaftarannya telah menjadi efektif atau Perusahaan Publik dapat dikecualikan dari kewajiban untuk menyampaikan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jangka waktu penyampaian laporan kepada Otoritas Jasa Keuangan dan mengumumkan kepada masyarakat tentang peristiwa material yang dapat memengaruhi harga Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
29. Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 87


(1) Direktur, komisaris Emiten, atau Perusahaan Publik wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan mengenai kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik, baik langsung maupun tidak langsung dan setiap perubahan kepemilikannya pada Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud.
(2) Setiap Pihak yang secara langsung atau tidak langsung memiliki paling sedikit 5% (lima persen) hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik wajib melaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan atas kepemilikan dan setiap perubahan kepemilikannya atas saham Emiten atau Perusahaan Publik dimaksud.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib disampaikan sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari 5 (lima) hari kerja terhitung sejak terjadinya kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik atau perubahan kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik.
(4) Otoritas Jasa Keuangan dapat menentukan persyaratan jangka waktu penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih cepat dari 5 (lima) hari kerja terhitung sejak terjadinya:
  1. kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik; atau
  2. perubahan kepemilikan hak suara atas saham Emiten atau Perusahaan Publik.
   
30. Di antara Pasal 87 dan Pasal 88 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 87A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 87A


(1) Dalam hal terjadi likuidasi atas Emiten atau Perusahaan Publik, kedudukan pemegang saham publik adalah satu tingkat di bawah kreditur konkuren dan dalam hal terdapat pembagian sisa harta likuidasi, pemegang saham dimaksud berhak didahulukan dari pemegang saham yang bukan merupakan pemegang saham publik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai batasan pemegang saham publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
31. Di antara Bab X dan Bab XI disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XA
PENANGANAN PENYELENGGARA PASAR DI PASAR
MODAL, BURSA EFEK, LEMBAGA KLIRING
DAN PENJAMINAN, SERTA LEMBAGA PENYIMPANAN
DAN PENYELESAIAN DALAM KONDISI TERTENTU

   
32. Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 89A, Pasal 89B, dan Pasal 89C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 89A


(1) Dalam hal Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan:
  1. meminta pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk menambah modal;
  2. memberhentikan sebagian atau seluruh anggota dewan komisaris dan/atau direksi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sementara waktu dan menunjuk pengelola statuter;
  3. meminta pemegang saham Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian untuk mengadakan rapat umum pemegang saham;
  4. memerintahkan Pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian; dan/atau
  5. tindakan lain untuk menyelesaikan kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dan/atau menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan keadaan Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian dapat membahayakan industri Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan dapat:
  1. mencabut izin usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian;
  2. memerintahkan direksi atau pengelola statuter untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna membubarkan badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, dan membentuk tim likuidasi; dan/atau
  3. menunjuk Pihak tertentu sebagai penyelenggara sementara fungsi Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
(3) Dalam hal rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak terselenggara atau memutuskan untuk tidak membubarkan Perseroan, Otoritas Jasa Keuangan meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, atau Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 89B


(1) Dalam hal Perusahaan Efek mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya, Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan tindakan:
  1. meminta pemegang saham Perusahaan Efek untuk menambah modal
  2. memberhentikan sebagian atau seluruh dewan komisaris dan/atau direksi Perusahaan Efek sementara waktu dan menunjuk pengelola statuter;
  3. meminta pemegang saham untuk mengadakan rapat umum pemegang saham Perusahaan Efek;
  4. memerintahkan Pihak tertentu untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang dinilai dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Perusahaan Efek; dan/atau
  5. tindakan lain untuk menyelesaikan kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Efek.
(2) Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh Perusahaan Efek dan/atau menurut penilaian Otoritas Jasa Keuangan keadaan Perusahaan Efek dapat membahayakan industri Pasar Modal, Otoritas Jasa Keuangan dapat:
  1. mencabut izin usaha Perusahaan Efek; dan
  2. memerintahkan direksi atau pengelola statuter untuk segera menyelenggarakan rapat umum pemegang saham guna membubarkan badan hukum Perusahaan Efek dan membentuk tim likuidasi.
(3) Dalam hal rapat umum pemegang saham sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak terselenggara atau memutuskan untuk tidak membubarkan Perseroan, Otoritas Jasa Keuangan meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan penetapan yang berisi pembubaran badan hukum Perusahaan Efek, penunjukan tim likuidasi dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kondisi kesulitan yang membahayakan kelangsungan usaha Perusahaan Efek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 89C


(1) Dalam hal izin usaha Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek telah dicabut, badan hukum Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek tersebut wajib dibubarkan dan dilikuidasi.
(2) Nama Perseroan yang pernah digunakan oleh Penyelenggara Pasar di Pasar Modal, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, atau Perusahaan Efek yang izin usahanya telah dicabut dan/atau badan hukumnya telah dibubarkan dan dilikuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat digunakan lagi sebagai nama Perseroan.
   
33. Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 90


Dalam kegiatan perdagangan Efek atau kegiatan pengelolaan investasi, setiap Pihak dilarang dengan sengaja baik secara langsung atau tidak langsung:
a. mengelabui dengan menggunakan nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan/atau cara apapun, sehingga Pihak lain terpengaruh untuk:
  1. membeli Efek;
  2. menjual Efek;
  3. menahan Efek; dan/atau
  4. menggunakan jasanya untuk mengelola investasi, dengan menyerahkan dana dan/atau Efek untuk dikelola,
dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain; dan/atau
b. membuat pernyataan tidak benar mengenai Informasi atau Fakta Material atau tidak mengungkapkan fakta yang material dengan maksud:
  1. menguntungkan atau menghindarkan kerugian untuk diri sendiri atau Pihak lain;
  2. memengaruhi Pihak lain untuk membeli, menjual, atau menahan Efek; dan/atau
  3. memengaruhi Pihak lain untuk menggunakan jasanya guna mengelola investasi, dengan menyerahkan dana dan/atau Efek untuk dikelola.
   
34. Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 91


Setiap Pihak dilarang melakukan tindakan baik langsung maupun tidak langsung dengan tujuan untuk menciptakan gambaran semu atau menyesatkan mengenai kegiatan perdagangan, keadaan pasar, atau harga Efek di Penyelenggara Pasar sebagai berikut:
  1. transaksi Efek yang tidak mengakibatkan perubahan kepemilikan;
  2. penawaran jual atau penawaran beli Efek pada harga tertentu, Pihak tersebut juga telah bersekongkol dengan Pihak lain yang melakukan penawaran beli atau penawaran jual Efek yang sama pada harga yang kurang lebih sama; dan/atau
  3. tindakan atau transaksi lain yang berkaitan dengan Efek.
   
35. Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 92


Setiap Pihak, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan Pihak lain, dilarang melakukan 2 (dua) transaksi Efek atau lebih, baik langsung maupun tidak langsung, yang menciptakan harga Efek tetap, naik, atau turun yang semu baik di Bursa Efek maupun luar Bursa Efek dengan tujuan untuk menguntungkan diri sendiri atau Pihak lain.
   
36. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 93


Setiap Pihak dilarang, dengan cara apa pun, membuat pernyataan atau memberikan keterangan yang tidak benar atau menyesatkan sehingga memengaruhi harga Efek apabila pada saat pernyataan dibuat atau keterangan diberikan:
  1. Pihak yang bersangkutan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa pernyataan atau keterangan tersebut tidak benar atau menyesatkan; dan/atau
  2. Pihak yang bersangkutan tidak cukup berhati-hati dalam menentukan kebenaran dari pernyataan atau keterangan tersebut.
   
37. Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 94


Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan tindakan tertentu yang dapat dilakukan oleh Perusahaan Efek dan/atau Pihak lain yang bukan merupakan tindakan yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan Pasal 92.
   
38. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 97


Setiap Pihak yang memiliki informasi orang dalam dan sepatutnya mengetahui bahwa informasi tersebut merupakan informasi orang dalam dikenai larangan yang sama dengan larangan yang berlaku bagi orang dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 dan Pasal 96.
   
39. Di antara BAB XII dan BAB XIII disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB XIIA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XIIA
PRINSIP UNA VIA DAN PERINTAH TERTULIS

   
40. Di antara Pasal 100 dan Pasal 101 disisipkan 4 (empat) pasal, yakni Pasal 100A, Pasal 100B, Pasal 100C, dan Pasal 100D sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 100A


(1) Otoritas Jasa Keuangan dapat menetapkan:
  1. tidak melanjutkan ke tahap penyidikan; atau
  2. dimulainya tindakan penyidikan,
terhadap dugaan terjadinya tindak pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Dalam menetapkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian dengan mempertimbangkan:
  1. nilai transaksi dari pelanggaran atau dampak pelanggaran;
  2. ada atau tidak adanya penyelesaian atas kerugian yang timbul akibat tindak pidana;
  3. akibat tindak pidana terhadap kegiatan penawaran dan/atau perdagangan Efek secara keseluruhan; dan
  4. dampak kerugian terhadap sistem Pasar Modal atau kepentingan pemodal atau investor dan/atau masyarakat.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tidak melanjutkan ke tahap penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Otoritas Jasa Keuangan berwenang menetapkan tindakan administratif berupa sanksi administratif dan/atau perintah tertulis terhadap Pihak yang melakukan tindak pidana.

 

 

Pasal 100B


Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menetapkan tindakan administratif berupa sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100A ayat (3) terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100A ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan perintah tertulis kepada Pihak yang melakukan tindak pidana dimaksud untuk mengembalikan keuntungan yang diperoleh dan/atau kerugian yang dapat dihindari secara tidak sah dari pelanggaran administratif atau tindak pidana.

 

Pasal 100C


Otoritas Jasa Keuangan dapat mengenakan sanksi administratif berupa denda dengan disertai perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100B.

 

Pasal 100D


(1) Dalam rangka pelaksanaan perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1008, Otoritas Jasa Keuangan dapat memberikan perintah kepada LJK dan/atau Pihak tertentu untuk:
  1. memblokir rekening atau membekukan aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100B;
  2. memindahbukukan dana dan/atau Efek dalam rekening Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a ke rekening yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  3. mengalihkan aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a kepada Pihak yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
  4. mencairkan aset Pihak dalam rekening Efek atau aset Pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sebagai pemenuhan kewajiban pihak tersebut terhadap perintah Otoritas Jasa Keuangan untuk mengembalikan keuntungan yang diperoleh dan/atau kerugian yang dapat dihindari dari tindak pidana.
(2) Dana yang berasal dari pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d bukan merupakan penerimaan Otoritas Jasa Keuangan dan digunakan untuk memberikan kompensasi kerugian pemodal atau investor dan/atau pengembangan industri Pasar Modal.
(3) Otoritas Jasa Keuangan mengumumkan pengenaan pengembalian yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada masyarakat melalui situs web Otoritas Jasa Keuangan dan/atau media massa.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembalian keuntungan yang diperoleh atau kerugian yang dihindari secara tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan dana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
41. Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 101


(1) Penyidikan atas tindak pidana di bidang Pasar Modal hanya dapat dilakukan oleh penyidik Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyidik Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
  1. menerima laporan, pemberitahuan, atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  2. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  3. melakukan penelitian terhadap Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  4. memanggil, memeriksa, dan meminta keterangan dan barang bukti dari setiap Pihak yang disangka melakukan, atau sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  5. meminta kepada instansi yang berwenang untuk melakukan penangkalan terhadap orang asing yang diduga akan mengganggu keamanan dan ketertiban umum melalui kegiatan di Pasar Modal;
  6. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  7. melakukan penggeledahan di setiap tempat tertentu yang diduga terdapat setiap barang bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  8. memblokir rekening pada bank atau lembaga keuangan lain dari Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal;
  9. meminta data, dokumen, atau barang bukti lain baik cetak maupun elektronik kepada penyelenggara jasa telekomunikasi atau penyelenggara jasa penyimpanan data dan/atau dokumen;
  10. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pasar Modal; dan
  11. menyatakan saat dimulai dan dihentikannya penyidikan.
(3) Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang memperoleh keterangan dari bank tentang keadaan keuangan Pihak yang diduga melakukan atau terlibat dalam tindak pidana di bidang Pasar Modal pada bank.
(4) Dalam rangka pelaksanaan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi tertentu dalam keadaan mendesak untuk melaksanakan pencegahan terhadap seseorang untuk keluar dari wilayah Republik Indonesia.
(5) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
(6) Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
(7) Setiap pegawai Otoritas Jasa Keuangan yang diberi tugas untuk melakukan penyidikan dilarang memanfaatkan untuk diri sendiri atau mengungkapkan informasi yang diperoleh berdasarkan Undang-Undang ini kepada Pihak mana pun, selain dalam rangka upaya untuk mencapai tujuan Otoritas Jasa Keuangan atau dalam hal diharuskan oleh Undang-Undang lainnya.
   
42. Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 103


(1) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal SD, Pasal 6, atau Pasal 13 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa memperoleh izin atau persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), Pasal 30 ayat (1), Pasal 43 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).
(3) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Modal tanpa memperoleh izin, persetujuan, atau surat tanda terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), Pasal 48 ayat (1), Pasal 50 ayat (2), atau Pasal 64 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp80.000.000.000,00 (delapan puluh miliar rupiah).
(4) Setiap Pihak yang melakukan kegiatan sebagai wakil Penjamin Emisi Efek, wakil Perantara Pedagang Efek, wakil Manajer Investasi tanpa memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
43. Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104


Setiap Pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, atau Pasal 98 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).
   
44. Di antara Pasal 104 dan Pasal 105 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 104A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 104A


Perusahaan Efek, Penasihat Investasi, atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
45. Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 105


Manajer Investasi dan/atau Pihak terafiliasinya yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
   
46. Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106


(1) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran atas ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah).
(2) Setiap Pihak yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
47. Di antara Pasal 106 dan Pasal 107 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 106A, Pasal 106B, dan Pasal 106C sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 106A


(1) Kustodian atau Pihak terafiliasinya yang memberikan keterangan mengenai rekening Efek pada Kustodian dimaksud kepada Pihak lain selain kepada Pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
(2) Pihak yang karena kedudukan atau profesinya atau hubungan usahanya dengan Kustodian memperoleh keterangan mengenai rekening Efek dari Kustodian atau Pihak terafiliasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), yang memberikan keterangan mengenai rekening Efek kepada Pihak lain secara melawan hukum dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

 

 

Pasal 106B


Kustodian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

 

Pasal 106C


Setiap Pihak yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
48. Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 107


Setiap Pihak yang dengan sengaja bertujuan menipu atau merugikan Pihak lain atau menyesatkan Otoritas Jasa Keuangan, menghilangkan, memusnahkan, menghapuskan, mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, atau memalsukan catatan dari Pihak yang memperoleh izin, persetujuan, atau pendaftaran termasuk Emiten dan Perusahaan Publik dipidana dengan pidana penjara paling sedikit 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
   
49. Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108


Ancaman pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103, Pasal 104, Pasal 104A, Pasal 105,Pasal 106,Pasal 106A,Pasal 106B,Pasal 106C, dan Pasal 107, berlaku pula bagi Pihak baik yang secara langsung maupun tidak langsung memengaruhi Pihak lain untuk melakukan pelanggaran pasal-pasal dimaksud.
   
50. Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109


Setiap Pihak yang tidak mematuhi atau menghambat pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 dua ratus miliar rupiah).
   
51. Di antara Pasal 109 dan Pasal 110 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 109A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 109A


(1) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), Pasal 103 ayat (2), Pasal 103 ayat (3), Pasal 104, Pasal 104A, Pasal 105, Pasal 106, Pasal 106A, Pasal 106B, Pasal 106C, Pasal 107, Pasal 108, dan Pasal 109 dilakukan oleh korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya dan/atau anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, pemegang saham pengendali atau yang dipersamakan, dan/atau Pihak lain.
(2) Pidana dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila tindak pidana:
  1. dilakukan atau diperintahkan oleh anggota direksi atau yang dipersamakan, anggota dewan komisaris atau yang dipersamakan, pemegang saham pengendali atau yang dipersamakan, dan/atau Pihak lain;
  2. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya;
  3. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan
  4. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
(3) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pidana denda dengan ketentuan untuk:
  1. Penyelenggara Pasar, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Efek, lembaga penilai harga Efek, lembaga pendanaan Efek, penyelenggara dana perlindungan pemodal, dan Emiten dipidana dengan pidana denda paling sedikit sebesar Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah);
  2. Biro Administrasi Efek, Penasihat Investasi, Wali Amanat, Perusahaan Publik, dan penyelenggara sistem elektronik yang memfasilitasi penghimpunan dana masyarakat melalui penawaran Efek dipidana dengan pidana denda paling sedikit sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); dan
  3. korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum atau badan lainnya selain huruf a dan huruf b dipidana dengan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
(4) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya, dapat dipidana dengan pidana tambahan berupa:
  1. pengumuman putusan hakim; dan/atau
  2. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha korporasi badan hukum atau badan lainnya, setelah mendapatkan pertimbangan dari Otoritas Jasa Keuangan.
   
52. Pasal 110 dihapus.



Bagian Ketiga
Bursa Karbon

 

Pasal 23

 

(1)

Perdagangan karbon merupakan mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui kegiatan jual beli unit karbon.

(2)

Unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan efek berdasarkan Undang-Undang ini.

 

 

Pasal 24

 

(1)

Perdagangan karbon dalam negeri dan/atau luar negeri dapat dilakukan dengan mekanisme bursa karbon.

(2)

Bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu sistem yang mengatur perdagangan karbon dan/atau catatan kepemilikan unit karbon.

(3)

Bursa karbon hanya dapat diselenggarakan oleh penyelenggara pasar yang telah memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.

(4)

Berdasarkan peraturan Otoritas Jasa Keuangan, penyelenggara pasar dapat mengembangkan kegiatan atau produk berbasis unit karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(5)

Perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:

  1. pengembangan infrastruktur perdagangan karbon;
  2. pengaturan pemanfaatan penerimaan negara dari perdagangan karbon; dan/atau
  3. administrasi transaksi karbon.

(6)

Pengembangan infrastruktur perdagangan karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan secara terkoordinasi antara kementerian/lembaga dengan otoritas pengawas bursa karbon.

(7)

Pusat bursa karbon berkedudukan di Indonesia.

 

 

Pasal 25

 

Perdagangan karbon melalui bursa karbon wajib memenuhi persyaratan dan telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 26

 

(1)

Ketentuan lebih lanjut mengenai perdagangan karbon melalui bursa karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan setelah dikonsultasikan dengan DPR.

(2)

Dalam rangka penyusunan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berkoordinasi dengan kementerian dan/atau lembaga berwenang lain terkait.

  

  

Bagian Keempat
Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing

 

Pasal 27

 

(1)

Dalam rangka mendukung kebijakan moneter, Bank Indonesia berwenang melakukan pengaturan, pengembangan, dan pengawasan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya.

(2)

Dalam melaksanakan kewenangan pengaturan, pengawasan, dan pengembangan Pasar Uang, Pasar Valuta Asing, dan transaksi derivatifnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bank Indonesia melakukan pembahasan bersama dengan Pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan sesuai dengan kewenangan masing-masing.

 
 

Pasal 28

 

(1) Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:
  1. penerbitan instrumen Pasar Uang; dan
  2. transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.
(2) Setiap penerbitan instrumen Pasar Uang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib terlebih dahulu memperoleh izin dari Bank Indonesia.

 

 

Pasal 29

 

(1) Kewenangan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 untuk mengatur kegiatan di Pasar Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 tidak berlaku bagi Pihak yang melakukan penawaran instrumen Pasar Uang yang diterbitkan dan dijamin oleh Pemerintah Indonesia.
(2) Dalam hal terdapat instrumen keuangan yang merupakan kewenangan otoritas lain ditransaksikan di Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing, Bank Indonesia dan otoritas lain melakukan koordinasi dalam harmonisasi pengaturan dan koordinasi pengawasan.

 

 

Pasal 30

 

(1)

Kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat dilakukan penerbitan dan transaksinya baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.

(2)

Instrumen Pasar Uang berdasarkan Prinsip Syariah wajib memenuhi Prinsip Syariah yang ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

 

 

Pasal 31

 

Dalam penyelenggaraan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, pembentukan harga acuan wajib dilakukan secara transparan, menggunakan cara dan/atau metode yang kredibel, serta memenuhi ketentuan yang berlaku di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.

 

 

Pasal 32

 

(1)

Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing meliputi:

  1. pelaku Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing;
  2. lembaga pendukung Pasar Uang dan/atau Pasar Valuta Asing; dan
  3. Pihak lainnya yang terkait dengan kegiatan dan transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing.

(2)

Pihak yang melakukan kegiatan di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing harus menerapkan prinsip kehati-hatian, manajemen risiko, mematuhi pedoman perilaku dan kode etik pasar, serta melakukan Pelindungan Konsumen dan investor.

 

 

Pasal 33

 

Sarana kliring (central counterparty) di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing melaksanakan fungsi kliring untuk transaksi yang dilakukan secara over-the-counter di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dan transaksi Derivatif, baik tanpa novasi maupun dengan novasi sehingga bertindak sebagai pembeli bagi penjual dan sebagai penjual bagi pembeli.

 

 

Bagian Kelima
Pengembangan Pasar Keuangan

Paragraf 1
pengelolaan Instrumen Keuangan dan/atau Pengelolaan Dana Perwalian

 

Pasal 34

 

(1)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) merupakan badan usaha khusus yang dibentuk untuk melakukan kegiatan sekuritisasi dan/atau melakukan kegiatan pengelolaan dana perwalian yang mencakup kegiatan:

a.

menerima penitipan dan pengelolaan (trust) atas harta milik penitip harta trust berdasarkan perjanjian tertulis antara penerima dan pengelola harta trust (trustee) dengan penitip harta trust (settlor) untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiary); dan/atau

b.

melakukan sekuritisasi yang mencakup kegiatan:

  1. menerima pengalihan atas aset atau sekumpulan aset termasuk aset keuangan dari kreditur/pemilik aset asal (originator);
  2. melakukan sekuritisasi atas sekumpulan aset termasuk aset keuangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
  3. menerbitkan surat berharga hasil sekuritisasi dimaksud kepada investor (beneficiary).

(2)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berbentuk perseroan terbatas dengan karakteristik tertentu sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang ini.

(3)

Pengelola dana perwalian (trustee) dapat berbentuk badan hukum atau orang perseorangan.

(4)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.

(5)

Dalam hal badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) melakukan kegiatan di bidang atau sektor yang menjadi kewenangan di luar Otoritas Jasa Keuangan, badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib memperoleh izin dari otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya, dan dapat memulai kegiatan usahanya sejak memperoleh izin.

(6)

Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:

a.

setiap aset yang diserahkan oleh pemilik aset kepada pengelola dana perwalian (trustee) dalam kegiatan pengelolaan aset bukan merupakan bagian dari kekayaan pengelola dana perwalian (trustee) dan dicatat serta dilaporkan secara terpisah dari aset pengelola dana perwalian (trustee);

b.

pengalihan aset kepada pengelola dana perwalian (trustee) dalam rangka pengelolaan aset dicatat sebagai pemilik tercatat (legal owner) untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiary owner);

c.

penerima manfaat berhak atas manfaat dari aset yang diserahkan oleh pemilik aset kepada pengelola dana perwalian (trustee) dalam rangka pelaksanaan kegiatan pengelolaan aset sesuai dengan yang disepakati dalam perjanjian pengelolaan aset;

d.

pengelola dana perwalian (trustee) mempunyai kewenangan dan tugas untuk mengelola, menggunakan dan/atau melepas aset sesuai dengan tugas khusus yang dibebankan kepadanya berdasarkan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksananya;

e.

pemilik aset dapat menunjuk satu atau lebih pengelola dana perwalian (trustee) untuk menjalankan kegiatan pengelolaan aset berdasarkan perjanjian pengelolaan aset;

f.

pemilik aset dapat menunjuk satu atau lebih penerima manfaat untuk mendapatkan manfaat atas aset;

g.

pengelola dana perwalian (trustee) harus menghentikan kegiatan usahanya dalam hal:

  1. dicabutnya izin usaha pengelola dana perwalian (trustee) oleh Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
  2. adanya putusan pailit kepada pengelola dana perwalian (trustee) dari pengadilan niaga setempat;

h.

kegiatan pengelolaan aset dapat berakhir dengan alasan sebagai berikut:

  1. berakhirnya masa berlaku perjanjian pengelolaan aset; atau
  2. diakhiri oleh pemilik aset;

i.

dalam hal kegiatan pengelolaan aset berakhir sebagaimana dimaksud dalam huruf h angka 1, aset yang dikelola melalui kegiatan pengelolaan dana perwalian (trust) wajib diberikan kepada penerima manfaat pada saat berakhirnya perjanjian pengelolaan aset;

j.

pemilik aset dapat mengakhiri kegiatan pengelolaan aset sebagaimana dimaksud dalam huruf h angka 2 dan menyerahkan hasil pengelolaan aset kepada penerima manfaat apabila pengelola dana perwalian (trustee) melanggar perjanjian pengelolaan aset dan/atau menyalahgunakan aset yang diserahkan yang melanggar ketentuan dalam peraturan perundang-undangan;dan

k.

dalam hal pengelola dana perwalian (trustee) dipailitkan sebagaimana dimaksud dalam huruf g angka 2, semua aset dari pemilik aset bukan merupakan bagian dari harta pailit (boedel pailit) dan wajib dikembalikan kepada pemilik aset.

(7)

Karakteristik tertentu badan yang melaksanakan kegiatan usaha sebagai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b meliputi:

  1. didirikan oleh 1 (satu) pemegang saham atau lebih;
  2. dikelola oleh LJK yang diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan atau pihak yang ditunjuk;
  3. memiliki modal dasar tertentu yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan;
  4. memiliki organ paling sedikit 1 (satu) orang anggota Direksi dan 1 (satu) orang anggota Dewan Komisaris;
  5. pemegang saham dan/atau organ Perseroan dilarang melakukan aksi korporasi berupa penggabungan, peleburan, pengambilalihan, dan/atau pemisahan atas Perseroan badan pengelola instrumen keuangan tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
  6. pemegang saham dilarang mengalihkan saham perseroan tanpa persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan;
  7. pemegang saham bertanggung jawab atas kegiatan usaha yang dilaksanakan perseroan; dan
  8. pengalihan aset kepada badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dalam rangka sekuritisasi dicatat sebagai kekayaan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) sebagai pemilik tercatat (legal owner) untuk kepentingan penerima manfaat (beneficiary owner).

(8)

Kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dapat dilakukan baik secara konvensional maupun berdasarkan Prinsip Syariah.

(9)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) berdasarkan persetujuan Otoritas Jasa Keuangan dapat membantu kegiatan penerbitan sukuk.

(10)

Kegiatan usaha badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) diatur dan diawasi oleh otoritas yang membawahi instrumen atau layanan yang menjadi kegiatan usaha sesuai dengan kewenangannya.

 

 

Pasal 35

 

(1)

Dalam melaksanakan fungsinya, pengelola dana perwalian (trustee) wajib menjaga kerahasiaan data dan transaksi pemilik aset dan penerima manfaat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjaga tata kelola yang baik (good governance).

(2)

Terhadap pengelola dana perwalian (trustee) yang berbentuk orang perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) berlaku tata kelola sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:

  1. meminta atau menerima; atau
  2. mengizinkan atau menyetujui untuk menerima,

suatu imbalan, komisi, uang tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga, untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan keluarganya, dalam rangka mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi orang lain dalam memperoleh keuntungan ataupun dalam rangka memberikan persetujuan bagi orang lain untuk melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas asetnya.

(4)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) wajib melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee).

(5)

Pemegang saham badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang menyuruh anggota dewan komisaris, anggota direksi, pegawai/pejabat dari badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee), atau pihak yang bertindak untuk dan atas nama badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan yang mengakibatkan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak melaksanakan langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku bagi badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

(6)

Badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) dilarang:

  1. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu dalam pembukuan atau dalam proses laporan, dokumen atau laporan kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelolaan dana perwalian, dan/atau laporan transaksi atau rekening pemilik aset;
  2. menghilangkan, tidak memasukkan, atau menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelolaan dana perwalian, dan/atau laporan transaksi atau rekening pemilik aset; dan
  3. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau rekening pemilik aset, atau dengan sengaja mengubah, mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan atau merusak catatan pembukuan tersebut.

 

 

Pasal 36


(1) Permohonan pailit badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Aset yang dialihkan hak, manfaat dan risikonya badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) bukan merupakan bagian dari aset kreditur/pemilik aset asal (originator) dan dicatat terpisah dari aset badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee).
(3) Dalam hal kreditur/pemilik aset asal (originator) dipailitkan, semua aset yang hak, manfaat dan risikonya telah dialihkan sepenuhnya kepada badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) tidak termasuk dalam harta pailit (boedel pailit) kreditur/pemilik aset asal (originator).

 

Pasal 37


Dengan berlakunya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36:
a. pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi yang telah ada sebelum berlakunya Undang­-Undang ini, tetap berlaku sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
b. ketentuan mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana diatur dalam Undang­-Undang ini, dapat berlaku mutatis mutandis terhadap pihak atau badan hukum sejenis yang melakukan kegiatan penitipan dan pengelolaan (trust) dan/atau kegiatan sekuritisasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

    

Pasal 38


(1) Otoritas Jasa Keuangan berwenang mengenakan sanksi administratif kepada setiap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 37 dan peraturan pelaksanaannya.
(2) Ketentuan sanksi dalam peraturan perundang-undangan lainnya berlaku terhadap badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sepanjang tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.


Pasal 39


Ketentuan lebih lanjut mengenai badan pengelola instrumen keuangan (special purpose vehicle) dan/atau pengelola dana perwalian (trustee) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 sampai dengan Pasal 38 dan perlakuan perpajakannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.

 

 

Paragraf 2
Penyelesaian Transaksi

Pasal 40


(1) Penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan menganut prinsip:
  1. penyelesaian transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang telah memenuhi persyaratan, bersifat final dan mengikat;
  2. penyerahan dan/atau pembayaran dalam transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing; dan
  3. diakuinya proses perhitungan hak dan kewajiban antara 2 (dua) pihak atau lebih yang dilakukan oleh para pihak yang bertransaksi tersebut atau lembaga kliring dan penjaminan atau sarana kliring di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing, lembaga kliring lainnya dengan memperhitungkan secara langsung hasil akhir hak dan kewajiban yang dimiliki para pihak tersebut yang dilakukan dengan mekanisme netting dalam transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang efisien.
(2) Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang terjadi sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang wajib diselesaikan seolah-olah tidak terjadi kepailitan.
(3) Transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan yang telah memenuhi persyaratan wajib diselesaikan dan tidak dapat dibatalkan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan otoritas di sektor keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing di pasar keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh otoritas terkait sesuai dengan tugas dan wewenang masing-masing.


Pasal 41


(1) Penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan dengan mekanisme netting.
(2) Dalam hal terjadi wanprestasi oleh salah satu pihak yang bertransaksi, penyelesaian transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sepanjang dipersyaratkan atau diperjanjikan dalam perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting).
(3) Dalam hal sebelum putusan pernyataan pailit diucapkan telah dilaksanakan proses pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) terhadap transaksi di Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diperjanjikan dalam kontrak, transaksi tersebut wajib diselesaikan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelesaian transaksi dan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.


Pasal 42


(1) Pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dilakukan baik sebelum maupun sesudah terjadi kepailitan.
(2) Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang dilakukan berdasarkan perjanjian induk transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) oleh debitor pailit tidak dapat dibatalkan pengadilan sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.
(3) Pelaksanaan pengakhiran transaksi keuangan di pasar keuangan yang mensyaratkan pengakhiran transaksi keuangan melalui perjumpaan utang (close-out netting) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memerlukan permohonan perjumpaan utang sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang.


Pasal 43


Kurator tidak dapat membatalkan atau menganggap tidak sah suatu pembayaran atau transfer kolateral yang terjadi sehubungan dengan penyelesaian yang diakhiri dengan menghitung nilai bersih (netting) dari nilai atau jumlah hak atau kewajiban dengan pihak yang mengalami wanprestasi (defaulting party) kecuali terbukti bahwa pembayaran atau transfer kolateral terjadi karena fraud.


Pasal 44


(1) Dalam perjanjian pada transaksi di Pasar Modal, Pasar Uang, dan Pasar Valuta Asing termasuk transaksi instrumen Derivatif, para pihak dapat menggunakan kontrak pintar (smart contract) sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(2) Kontrak pintar (smart contract) dan/atau hasil cetaknya dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai informasi dan transaksi elektronik.
(3) Penggunaan kontrak pintar (smart contract) diikuti penyimpanan kesepakatan yang paling sedikit memuat syarat dan ketentuan mengenai otomasi pelaksanaan hak dan kewajiban berdasarkan smart contract.
(4) Pengaturan mengenai kontrak pintar (smart contract) mengacu kepada pengaturan lebih lanjut oleh otoritas di sektor keuangan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan mengenai informasi dan transaksi elektronik.


Pasal 45


(1) Penerbitan, penatausahaan, pencatatan, dan pengalihan kepemilikan efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing dapat dilakukan tanpa warkat (scripless).
(2) Efek di Pasar Modal serta instrumen Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing yang diterbitkan tanpa warkat (scripless) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk proses penatausahaan, pencatatan, dan pengalihannya, dapat menjadi alat bukti hukum yang sah sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.


Bagian Keenam
Instrumen Keuangan Surat Utang Negara

Pasal 46


Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan instrumen keuangan surat utang negara, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236).

 

 

Pasal 47


Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2002 tentang Surat Utang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 110, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4236) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4


Surat Utang Negara diterbitkan untuk tujuan:
a. membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. menutup kekurangan kas jangka pendek akibat ketidaksesuaian antara arus kas penerimaan dan pengeluaran dari Rekening Kas Negara dalam 1 (satu) tahun anggaran;
c. mengelola portofolio utang negara; dan
d. membiayai pembangunan proyek.


Bagian Ketujuh
Kegiatan Usaha Penukaran Valuta Asing

Pasal 48


(1) Dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan penukaran valuta asing ke rupiah dan penukaran rupiah ke valuta asing, dapat diselenggarakan kegiatan usaha penukaran valuta asing.
(2) Kegiatan usaha penukaran valuta asing dapat diselenggarakan oleh:
  1. bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah; dan
  2. badan hukum bukan bank.


Pasal 49


(1) Penyelenggaraan kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf a merupakan bagian dari kegiatan usaha bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah.
(2) Pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh bank umum, bank umum syariah, bank perekonomian rakyat, dan bank perekonomian rakyat syariah dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.


Pasal 50


(1) Bank Indonesia melakukan pengaturan, perizinan, pengawasan, pemeriksaan, dan pengenaan sanksi terhadap kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) huruf b.
(2) Badan hukum bukan Bank yang melakukan kegiatan usaha penukaran valuta asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memperoleh izin dari Bank Indonesia.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha penukaran valuta asing oleh badan hukum bukan Bank sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank Indonesia.


BAB VI
PERASURANSIAN

Pasal 51


Dalam rangka pengembangan dan penguatan sektor keuangan melalui penataan di sektor perasuransian, Undang-Undang ini mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618).


Pasal 52


Beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 337, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5618) diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak, yaitu perusahaan asuransi dan pemegang polis, yang menjadi dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk:
  1. memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  2. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
2. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan cara:
  1. memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
  2. memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggalnya peserta atau pembayaran yang didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
3. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
4. Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko, pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi produk asuransi atau produk asuransi syariah, konsultasi dan keperantaraan asuransi, konsultasi dan keperantaraan asuransi syariah, reasuransi, atau reasuransi syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau penilaian kerugian asuransi syariah.
5. Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
6. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang memberikan pembayaran kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak dalam hal tertanggung meninggal dunia atau tetap hidup, atau pembayaran lain kepada pemegang polis, tertanggung, atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
7. Usaha Reasuransi adalah usaha jasa pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi, perusahaan penjaminan, atau perusahaan reasuransi lainnya.
8. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggungjawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
9. Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
10. Usaha Reasuransi Syariah adalah usaha pengelolaan risiko berdasarkan Prinsip Syariah atas risiko yang dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah lainnya.
11. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi, penutupan asuransi syariah, penjaminan, penjaminan syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama pemegang polis, tertanggung, peserta, atau penerima jaminan.
12. Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang melakukan penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
13. Usaha Penilai Kerugian Asuransi adalah usaha jasa penilaian klaim dan/atau jasa konsultasi atas objek asuransi.
14. Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan perusahaan penilai kerugian asuransi.
15. Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum dan perusahaan asuransi jiwa.
16. Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
17. Pihak adalah orang atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum.
18. Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dilikuidasi.
19. Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak langsung mempunyai kemampuan untuk memengaruhi tindakan dan/atau menentukan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi, usaha bersama, Dana Pensiun, atau badan hukum lainnya.
20. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang timbul dari polis yang diterbitkan atau dari klaim asuransi.
21. Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
22. Pemegang Polis adalah Pihak yang mengikatkan diri berdasarkan perjanjian dengan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya, tertanggung, atau peserta lain.
23. Tertanggung adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi.
24. Peserta adalah Pihak yang menghadapi risiko sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.
25. Objek Asuransi adalah jiwa dan raga, kesehatan manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak, rugi, dan/atau berkurang nilainya.
26. Pialang Asuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang asuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta dalam melakukan penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim.
27. Pialang Reasuransi adalah orang yang bekerja pada perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam melakukan penutupan reasuransi atau penutupan reasuransi syariah dan/atau penyelesaian klaim.
28. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan atas nama Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dan memenuhi persyaratan untuk mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah memasarkan produk asuransi atau produk asuransi syariah.
29. Premi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian reasuransi, atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
30. Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan reasuransi syariah dan disetujui oleh Pemegang Polis untuk dibayarkan berdasarkan perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah untuk memperoleh manfaat dari Dana Tabarru' dan/atau dana investasi Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah uang yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
31. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dari mereka dapat memengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari orang yang lain atau badan hukum yang lain atau sebaliknya.
32. Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan peraturan perundang-undangan bagi seluruh atau kelompok tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan pelindungan dari risiko tertentu, tidak termasuk program yang diwajibkan Undang­-Undang untuk memberikan pelindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau Kontribusi.
33. Pengelola Statuter adalah Pihak yang ditunjuk oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk mengambil alih kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
34. Setiap Orang adalah orang perseorangan, korporasi atau badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, atau badan lainnya.
35. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga negara yang independen yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Otoritas Jasa Keuangan.
36. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan adalah peraturan tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner, mengikat secara umum, dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
37. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
   
2. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 3A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3A


(1) Prinsip Syariah dalam kegiatan perasuransian syariah ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditindaklanjuti oleh otoritas terkait dengan membentuk peraturan untuk mengatur kegiatan perasuransian syariah.
(3) Dalam rangka penyusunan peraturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), otoritas di sektor jasa keuangan berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
(4) Dalam hal lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah belum memberikan fatwa atau tidak ada fatwa atas suatu aktivitas atau produk asuransi syariah, otoritas terkait wajib berkoordinasi dengan lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah dan dapat mengikuti rekomendasi lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.
   
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5


(1) Ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
(2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum dan Usaha Asuransi Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. pemberian manfaat yang terkait kegiatan kredit/pembiayaan antara kreditur dan debitur; dan
  2. suretyship.
(3) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
(4) Perusahaan Asuransi Umum dan/atau Perusahaan Asuransi Umum Syariah menyelenggarakan usaha pertanggungan atas tanggung jawab hukum pihak ketiga sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) dan penyelenggaraan usaha pertanggungan atas tanggung jawab hukum pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
4. Di antara Pasal 5 dan Pasal 6 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal SA sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5A


(1) Dalam menyelenggarakan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 5, Perusahaan Perasuransian dapat menggunakan dokumen elektronik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan dokumen elektronik oleh Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
   
5. Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1)