Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini diselenggarakan berdasarkan asas:
|
(2) | Selain berdasarkan asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan Cipta Kerja dilaksanakan berdasarkan asas lain sesuai dengan bidang hukum yang diatur dalam undang-undang yang bersangkutan. |
(1) | Perizinan Berusaha berbasis risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf a dilakukan berdasarkan penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. |
(2) | Penetapan tingkat risiko dan peringkat skala usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh berdasarkan penilaian tingkat bahaya dan potensi terjadinya bahaya. |
(3) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap aspek:
|
(4) | Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. |
(5) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
|
(6) | Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
(7) | Berdasarkan penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (6), tingkat risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi:
|
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf a berupa pemberian nomor induk berusaha yang merupakan legalitas pelaksanaan kegiatan berusaha. |
(2) | Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf b meliputi:
|
(2) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa pemberian:
|
(3) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa pemberian:
|
(4) | Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. |
(5) | Sertifikat standar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan sertifikat standar usaha yang diterbitkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha. |
(6) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko menengah memerlukan standardisasi produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat menerbitkan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melakukan kegiatan komersialisasi produk. |
(1) | Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) huruf c berupa pemberian:
|
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha berisiko tinggi memerlukan pemenuhan standar usaha dan standar produk, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menerbitkan sertifikat standar usaha dan sertifikat standar produk berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar. |
(1) | Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf a merupakan kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. |
(2) | Pemerintah Daerah wajib menyusun dan menyediakan RDTR dalam bentuk digital dan sesuai standar. |
(3) | Penyediaan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan standar dan dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat untuk mendapatkan informasi mengenai kesesuaian rencana lokasi kegiatan dan/atau usahanya dengan RDTR. |
(4) | Pemerintah Pusat wajib mengintegrasikan RDTR dalam bentuk digital sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke dalam sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. |
(5) | Dalam hal Pelaku Usaha mendapatkan informasi rencana lokasi kegiatan usahanya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah sesuai dengan RDTR, Pelaku Usaha mengajukan permohonan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dengan mengisi koordinat lokasi yang diinginkan untuk memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang. |
(6) | Setelah memperoleh konfirmasi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Pelaku Usaha mengajukan permohonan Perizinan Berusaha. |
(1) | Dalam hal Pemerintah Daerah belum menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pemerintah Pusat memberikan persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan rencana tata ruang. |
(3) | Rencana tata ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
Wewenang Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Wewenang Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dalam Penyelenggaraan Penataan Ruang meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 34A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Pengendalian Pemanfaatan Ruang dilakukan melalui:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Pasal 50 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Pasal 51 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Pasal 52 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Pasal 53 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Pasal 54 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
Dalam Pemanfaatan Ruang, setiap Orang wajib:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
Setiap Orang yang tidak menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a yang mengakibatkan perubahan fungsi Ruang dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
Setiap Orang yang tidak mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c yang mengakibatkan perubahan fungsi Ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Pasal 72 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Di antara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 7C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7A
Pasal 7B
Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
Pasal 7C
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 7A dan Pasal 7B diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Pasal 8 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Judul Bagian Kesatu pada Bab V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Bagian Kesatu
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut dan Perizinan Berusaha |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Di antara Pasal 16 dan Pasal 17 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 16A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16A
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari Perairan Pesisir yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Dalam hal pemegang kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) tidak merealisasikan kegiatannya dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut diterbitkan, pemegang kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dikenai sanksi administratif berupa pencabutan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 22A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 22B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22B
Orang perseorangan warga negara Indonesia atau korporasi yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan koperasi yang dibentuk oleh Masyarakat yang mengajukan pemanfaatan laut wajib memenuhi kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 22C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22C
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 26A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26A
Dalam rangka penanaman modal asing, pemanfaatan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya harus memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Di antara Pasal 26A dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 26B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26B
Setiap Orang yang tidak memiliki Perizinan Berusaha dalam memanfaatkan pulau-pulau kecil dan pemanfaatan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan dan mencabut Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut di wilayah Perairan Pesisir. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
Pemanfaatan ruang perairan dan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Di antara Pasal 71 dan Pasal 72 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 71A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Di antara Pasal 73 dan Pasal 74 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 73A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73A
Setiap Orang yang memanfaatkan Pulau Kecil dan perairan di sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26A yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
Setiap Orang yang memanfaatkan ruang dari perairan yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Pasal 75A dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 78A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78A
Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundang-undangan menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 43 dan Pasal 44 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43A
|
||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A
|
||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan Sumber Daya Kelautan sesuai dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi dapat diberi insentif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||
10. | Di antara Pasal 49 dan Pasal 50 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 49A dan Pasal 49B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49A
Pasal 49B
Setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang Laut secara menetap yang tidak memiliki kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) yang mengakibatkan perubahan fungsi ruang dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||
3. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||
7. | Di antara Pasal 22 dan Pasal 23 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 22A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22A
|
||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||
10. | Pasal 56 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
Dokumen Amdal memuat:
|
||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Dalam menyusun dokumen Amdal, pemrakarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dapat menunjuk pihak lain. |
||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||
14. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
|
||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 38 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||||||||||||
18. | Pasal 40 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A
Dalam hal penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan:
|
||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
|
||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap Perizinan Berusaha, atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. |
||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Daerah diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dalam hal Menteri menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 76
|
||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
Menteri dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dalam hal Menteri menganggap Pemerintah Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap pelanggaran yang serius di bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. |
||||||||||||||||||||||||
30. | Pasal 79 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||||||||||||||
32. | Di antara Pasal 82 dan Pasal 83 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 82A, Pasal 82B, dan Pasal 82C sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82A
Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
Pasal 82B
Pasal 82C
|
||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
Setiap Orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola Limbah B3, dan/atau yang menimbulkan Ancaman Serius terhadap Lingkungan Hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya. |
||||||||||||||||||||||||
34. | Pasal 93 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
35. | Pasal 102 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
Setiap Orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki:
|
||||||||||||||||||||||||
37. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
Pejabat pemberi Persetujuan Lingkungan yang menerbitkan Persetujuan Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (4) dan Pasal 34 ayat (3) tanpa dilengkapi dengan Amdal atau UKL-UPL dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan Perizinan Berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 yang mengakibatkan terjadinya Pencemaran Lingkungan Hidup dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 8 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 9 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 11 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
11. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 16 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
14. | Pasal 17 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
15. | Pasal 18 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 19 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
17. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
18. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 22 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
20. | Pasal 23 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 24 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
22. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
23. | Pasal 26 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
24. | Pasal 27 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
25. | Pasal 28 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
26. | Pasal 29 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
27. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
28. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
29. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
30. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||||
33. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
34. | Di antara Pasal 36 dan Pasal 37 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 36A dan Pasal 36B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36A
Pasal 36B
|
||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||
36. | Di antara Pasal 37 dan Pasal 38 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 37A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37A
Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan Pemanfaatan Bangunan Gedung diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
Setiap Pemilik Bangunan Gedung, Pengguna Bangunan Gedung, Penyedia Jasa Konstruksi, Profesi Ahli, Penilik, dan/atau Pengkaji Teknis yang tidak memenuhi kewajiban pemenuhan fungsi, persyaratan, dan/atau Penyelenggaraan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||||||||||
44. | Di antara Pasal 47 dan Pasal 48 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 47A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47A
|
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
Untuk melakukan Praktik Arsitek, seseorang wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Arsitek. |
||||||||
4. | Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 6A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6A
Dalam hal penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan karya Arsitektur berupa bangunan gedung sederhana dan bangunan gedung adat, penyelenggaraan kegiatan tidak wajib dilakukan oleh Arsitek. |
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerbitan dan pencabutan Surat Tanda Registrasi Arsitek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 diatur dalam Peraturan Pemerintah |
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Organisasi Profesi bertugas:
|
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||
11. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||
12. | Pasal 37 dihapus. | ||||||||
13. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||
14. | Pasal 39 dihapus. | ||||||||
15. | Pasal 40 dihapus. | ||||||||
16. | Pasal 41 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||
3. | Di antara Pasal 20 dan Pasal 21 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 20A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20A
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 25A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25A
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||
7. | Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27A
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28A
Setiap Orang dilarang:
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait usaha Perikanan dan Kapal Perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 35A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan membangun, mengimpor, atau memodifikasi Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, pendaftaran Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, pemberian tanda pengenal Kapal Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, penggunaan alat Penangkapan Ikan oleh kapal penangkap Ikan berbendera asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, penggunaan 2 (dua) jenis alat Penangkapan Ikan secara bergantian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, serta pengukuran Kapal Perikanan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
Setiap Kapal Perikanan yang melakukan kegiatan Perikanan wajib memenuhi standar laik operasi Kapal Perikanan dari pengawas Perikanan tanpa dikenai biaya. |
||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
Dalam hal Kapal Perikanan berada dan/atau berpangkalan di luar Pelabuhan Perikanan, persetujuan berlayar diterbitkan oleh syahbandar setempat setelah memenuhi standar laik operasi dari pengawas Perikanan yang ditugaskan pada pelabuhan setempat. |
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Setiap Orang asing yang mendapat Perizinan Berusaha untuk melakukan Penangkapan Ikan di ZEEI dikenai pungutan Perikanan. |
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89
Setiap Orang yang melakukan penanganan dan pengolahan Ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan Ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) yang menimbulkan korban terhadap kesehatan manusia dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). |
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
Setiap Orang yang dengan sengaja di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia melakukan usaha Perikanan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
Setiap Orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut Ikan berbendera Indonesia atau berbendera asing di wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang melakukan pengangkutan Ikan atau kegiatan yang terkait yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 94A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94A
Setiap Orang yang memalsukan dokumen Perizinan Berusaha, menggunakan Perizinan Berusaha palsu, menggunakan Perizinan Berusaha milik kapal lain atau orang lain, dan/atau menggandakan Perizinan Berusaha untuk digunakan oleh kapal lain dan/atau kapal milik sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||
30. | Pasal 95 dihapus. | ||||||||||||
31. | Pasal 96 dihapus. | ||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
Nakhoda Kapal Perikanan yang tidak memiliki persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 100B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100B
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 12, Pasal 14 ayat (4), Pasal 16 ayat (1), Pasal 21, Pasal 23 ayat (1), atau Pasal 26 ayat (1), yang dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 100C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100C
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dilakukan oleh Nelayan Kecil dan/atau Pembudi Daya-Ikan Kecil dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 84 ayat (3), Pasal 84 ayat (4), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, atau Pasal 94A dilakukan oleh Korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan terhadap Korporasi dipidana denda dengan tambahan pemberatan 1/3 (sepertiga) dari pidana denda yang dijatuhkan.3 |
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Perusahaan Perkebunan yang melakukan kegiatan kemitraan dilarang memindahkan hak atas Tanah Usaha Perkebunan yang mengakibatkan terjadinya satuan usaha yang kurang dari luas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14. |
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
8. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
Pelaku Usaha Perkebunan dapat melakukan Usaha Perkebunan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Pengalihan kepemilikan Perusahaan Perkebunan kepada penanam modal asing dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
Kegiatan usaha Pengolahan Hasil Perkebunan dapat didirikan pada wilayah Perkebunan swadaya masyarakat yang belum ada usaha Pengolahan Hasil Perkebunan setelah memperoleh hak atas Tanah dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
14. | Pasal 45 dihapus. | ||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||
17. | Pasal 49 dihapus. | ||||||||||||
18. | Pasal 50 dihapus. | ||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||
22. | Pasal 68 dihapus. | ||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
|
||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
|
||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103
Setiap pejabat yang menerbitkan Perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||
32. | Pasal 105 dihapus. | ||||||||||||
33. | Pasal 106 dihapus. | ||||||||||||
34. | Pasal 109 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
1. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
Pengeluaran Tanaman, Benih Tanaman, Benih Hewan, Bibit Hewan, dan hewan dari wilayah Negara Republik Indonesia oleh Setiap Orang dapat dilakukan jika keperluan dalam negeri telah terpenuhi setelah mendapat Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 86 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 86
|
||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102
|
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||||
9. | Pasal 111 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||
3. | Pasal 101 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||
4. | Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35A
|
||||||||||
5. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||
7. | Pasal 51 dihapus. | ||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||
12. | Pasal 63 dihapus. | ||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
Ketentuan lebih lanjut mengenai usaha budi daya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, tata cara pendataan dan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66, serta izin khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90 |
||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
|
||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
Pelaku Usaha menengah dan besar wajib memberikan kesempatan pemagangan dan alih teknologi. |
||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 122
|
||||||||||
21. | Pasal 126 dihapus. | ||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 128 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 128
Setiap orang yang mengedarkan produk segar hortikultura impor tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) huruf a, huruf c, dan/atau huruf d dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
||||||||||
23. | Pasal 131 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 36B diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36B
|
||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36C diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36C
|
||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat membina dan memfasilitasi berkembangnya industri pengolahan Produk Hewan. |
||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
|
||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
|
||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
Setiap Orang yang memproduksi dan/atau mengedarkan Alat dan Mesin Peternakan yang belum diuji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) yang mengakibatkan kerusakan fungsi lingkungan atau membahayakan nyawa orang, dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan dan paling lama 11 (sebelas) bulan dan pidana denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
a. | Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 44121; dan |
b. | Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 130, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432). |
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
|
||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
|
||||||||||||||||||||||||
8. |
Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 29A dan Pasal 29B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29A
Pasal 29B
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha pemanfaatan Hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta yang memperoleh Perizinan Berusaha pemanfaatan Hutan wajib bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat. |
||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
Pemegang Perizinan Berusaha wajib untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan Hutan yang dikelolanya. |
||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||
13. |
Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||
18. |
Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 50A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 50A
|
||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 80 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80
|
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
Pencegahan Perusakan Hutan dilakukan, oleh masyarakat, badan hukum, dan/atau Korporasi yang memperoleh Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan Hutan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
Setiap Orang dilarang:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 12A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Di antara Pasal 17 dan Pasal 18 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 17A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Setiap Orang dilarang:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Setiap Pejabat dilarang:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 53 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Pasal 54 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 93
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105
Setiap Pejabat yang:
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Di antara Pasal 110 dan Pasal 111 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 110A dan Pasal 1108 sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 110A
Pasal 110B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 111 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Pasal 112 dihapus. |
a. | Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6525); |
b. | Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4152); |
c. | Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 217, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5585); dan |
d. | Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052). |
1. | Di antara Pasal 128 dan Pasal 129 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 128A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 128A
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162
Setiap Orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR, atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70, Pasal 86F huruf b, dan Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 23 dan Pasal 24 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 23A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
Setiap orang yang melakukan Eksplorasi dan/atau Eksploitasi tanpa memiliki Perizinan Berusaha atau Kontrak Kerja Sama dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
Jika tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23A mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
Setiap orang yang menyalahgunakan Pengangkutan dan/atau Niaga Bahan Bakar Minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi dan/atau penyediaan dan pendistribusiannya diberikan penugasan Pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah). |
1. |
Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
Kewenangan Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 12 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, termasuk harga energi Panas Bumi, diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Dalam hal kegiatan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung berada di Kawasan Hutan, pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi wajib memenuhi Perizinan Berusaha di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 25 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Pemerintah Pusat dapat membatalkan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf d jika:
|
||||||||||||||||||||||||||||
16. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||
17. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
Setiap Orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi yang telah memegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi dan telah menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
|
||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung berhak melakukan pengusahaan Panas Bumi sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan
|
||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib:
|
||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Pelaku usaha Pemanfaatan Langsung wajib memenuhi kewajiban berupa:
|
||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||||||
25. |
Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||
27. | Pasal 60 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tanpa Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
Setiap Orang yang memiliki Perizinan Berusaha untuk Pemanfaatan Langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung tidak pada lokasi yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Langsung yang tidak sesuai dengan peruntukannya, yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja melakukan Eksplorasi, Eksploitasi, dan/atau pemanfaatan bukan pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 71
Badan Usaha yang dengan sengaja melakukan pengusahaan Panas Bumi untuk Pemanfaatan Tidak Langsung tanpa Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
Badan Usaha pemilik Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi yang dengan sengaja menggunakan Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi tidak sesuai dengan peruntukannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
Setiap Orang yang dengan sengaja menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi terhadap pemegang Perizinan Berusaha di bidang Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp70.000.000.000,00 (tujuh puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||
35. | Pasal 74 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 3
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dan usaha penunjang Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan setelah mendapatkan Perizinan Berusaha.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) huruf b diwajibkan untuk pembangkit Tenaga Listrik dengan kapasitas tertentu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 23
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Pemegang Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk kepentingan umum wajib:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Di antara Pasal 50 dan Pasal 51 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 51A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51A
Setiap Orang yang mendirikan bangunan atau membiarkan bangunan dan/atau menanam kembali tanarnan yang telah:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Pasal 52 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
1. |
Di antara Pasal 2 dan Pasal 3 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 2A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 2A
Pemerintah Pusat berwenang memberikan Perizinan Berusaha terkait Ketenaganukliran. |
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 9 dan Pasal 10 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 9A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9A
|
||||||||||||||
5. | Pasal 10 dihapus. | ||||||||||||||
6. | Penjelasan Pasal 14 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. | ||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||
8. | Pasal 18 dihapus. | ||||||||||||||
9. |
Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 20
|
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 41
|
1. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Pembangunan sumber daya Industri meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Di antara Pasal 48 dan Pasal 49 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 48A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 48A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. |
Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 84
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 102 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
Setiap Perusahaan Industri yang memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (3) dapat melakukan perluasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 105 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Di antara Pasal 105 dan Pasal 106 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 105A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 105A
Perizinan Berusaha untuk kegiatan usaha Kawasan Industri yang berada di kawasan ekonomi khusus dilakukan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang kawasan ekonomi khusus yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101, Pasal 104, Pasal 105, dan kewajiban berlokasi di Kawasan Industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 serta tata cara pengenaan sanksi administratif dan besaran denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. |
Ketentuan Pasal 115 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 115
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117
|
a. | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512); |
b. | Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3193); dan |
c. | Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 295, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5604). |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai Distribusi Barang diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 49 dihapus | ||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
18. |
Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
19. |
Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
21. |
Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
Penyedia Jasa yang memperdagangkan Jasa yang tidak dilengkapi dengan sertifikat kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (a) dikenai sanksi administratif.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 65 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 65
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Di antara Pasal 77 dan Pasal 78 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 77A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan, kemudahan, dan keikutsertaan dalam Promosi Dagang dalam rangka kegiatan pencitraan Indonesia diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
30. |
Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 99
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) mempunyai wewenang melakukan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pengawasan kegiatan Perdagangan dan pengawasan terhadap Barang yang ditetapkan sebagai Barang dalam pengawasan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
Produsen atau Importir yang memperdagangkan Barang terkait dengan keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup yang tidak didaftarkan kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap keamanan, keselamatan, kesehatan, dan/atau lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan f alan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 116 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116
Setiap Pelaku Usaha yang menyelenggarakan pameran dagang dengan mengikutsertakan peserta dan/atau produk yang dipromosikan berasal dari luar negeri yang tidak mendapatkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
Pemerintah Pusat mengatur tentang:
|
||||||
2. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||
3. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||
4. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai barang dalam keadaan terbungkus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 4 dan Pasal 5 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 4A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 4A
|
||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
|
||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Di antara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 10A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10A
Kerja sama BPJPH dengan perguruan tinggt sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (21 dilakukan untuk sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal.
|
||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 10A diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai LPH dan Auditor Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||||||||||||||||||
12. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
|
||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada MUI, MUI Provinsi, MUI Kabupaten/Kota, atau Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dengan tembusan yang dikirimkan kepada BPJPH, melalui sistem elektronik terintegrasi. |
||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 33A dan Pasal 33B sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 33A
Pasal 33B
|
||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Sertifikat Halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33A ayat (4) dan Pasal 34 ayat (1) diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak penetapan kehalalan Produk diterima oleh BPJPH.
|
||||||||||||||||||||||||||||||
22. |
Di antara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 35A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35A Apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administratif.
|
||||||||||||||||||||||||||||||
23. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai Label Halal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||
26. |
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
|
||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 48
|
||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Pengawasan JPH dilakukan terhadap:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Di antara BAB VII dan BAB VIII disisipkan 2 (dua) bab dan 2 (dua) pasal, yakni BAB VIIA dan BAB VIIB serta Pasal 52A dan Pasal 52B sehingga berbunyi sebagai berikut: BAB VIIA
LAYANAN PENYELENGGARAAN JAMINAN PRODUK HALAL BERBASIS ELEKTRONIK Pasal 52A
BAB VIIB
SUMBER PENDANAAN Pasal 52B Pendanaan pelaksanaan Undang-Undang ini bersumber dari:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pemberian penghargaan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||
32. |
Di antara Pasal 63 dan Pasal 64 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 63A, Pasal 638, dan Pasal 63C sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 63A
Pelaksanaan layanan penyelenggaraan JPH menggunakan sistem elektronik terintegrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52A dibangun secara bertahap paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 63B
Sertifikat Halal yang telah diterbitkan oleh BPJPH sebelum Undang-Undang ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan komposisi Bahan dan/atau PPH.
Pasal 63C
|
a. | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5188); |
b. | Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5252); |
c. | Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6018); dan |
d. | Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6405). |
1. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. |
Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 35 Pembangunan Perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi Rumah sederhana, Rumah menengah, dan Rumah mewah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 107
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. |
Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 109
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. |
Di antara BAB IX dan BAB X disisipkan 1 (satu) bab, yakni BAB IXA dan di antara Pasal 117 dan Pasal 118 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 117A dan Pasal 117B sehingga berbunyi sebagai berikut:
BAB IXA
BADAN PERCEPATAN PENYELENGGARAAN PERUMAHAN Pasal 117A
Pasal 117B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. |
Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 134
Setiap Orang dilarang menyelenggarakan pembangunan Perumahan yang tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum yang diperjanjikan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 150
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151
Setiap Orang yang menyelenggarakan pembangunan Perumahan yang membangun Perumahan tidak sesuai dengan kriteria, spesifikasi, persyaratan, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum yang diperjanjikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
|
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Dalam melakukan pembangunan Rumah Susun, Pelaku Pembangunan harus memenuhi ketentuan administratif yang meliputi :
|
||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait rencana fungsi dan pemanfaatan serta pengubahannya diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||||||||||||||||
16. | Pasal 72 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
17. | Pasal 73 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
Setiap Orang yang menyelenggarakan Rumah Susun tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), Pasal 22 ayat (3), Pasal 25 ayat (1), Pasal 26 ayat (1), Pasal 39 ayat (1), Pasal 40 ayat (1), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 66, Pasal 74 ayat (1), Pasal 98, Pasal 100, atau Pasal 101 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 108 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 108
|
||||||||||||||||||||||||||
20. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 112 dihapus | ||||||||||||||||||||||||||
22. |
Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 113
Setiap Orang yang:.
|
||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
Setiap pejabat yang:
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 117 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 117
|
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 6
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 7
Kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
Kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten/kota dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada sub-urusan Jasa Konstruksi meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat melibatkan masyarakat Jasa Konstruksi. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab dan kewenangan serta Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 9 diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada usaha orang perseorangan yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. |
Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 28
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha yang berdomisili di wilayahnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Perizinan Berusaha, tata cara kerja sama operasi, dan penggunaan lebih banyak tenaga kerja Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan pemberian Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Pasal 36 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 42 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. |
Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 44
Pengguna Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (2) dilarang menggunakan Penyedia Jasa yang terafiliasi pada pembangunan untuk kepentingan umum tanpa melalui tender, seleksi, atau katalog elektronik. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 57 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Pasal 58 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. |
Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 69
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Pasal 74 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. |
Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 89
Setiap usaha orang perseorangan dan badan usaha yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Pasal 92 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Pasal 101 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 102 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 102 Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99, dan Pasal 100 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 8
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12
Tugas dan wewenang Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) meliputi tugas dan wewenang Pemerintah Daerah provinsi dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. |
Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 17
Pemerintah desa atau yang disebut dengan nama lain sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memiliki tugas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
Tahapan Pengelolaan Sumber Daya Air meliputi:.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. |
Di antara ketentuan Pasal 40 dan Pasal 41 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 40A sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 40A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 44
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Perizinan Berusaha penggunaan Sumber Daya Air untuk kebutuhan usaha dengan menggunakan Air dan Daya Air sebagai materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b yang menghasilkan produk berupa Air minum untuk kebutuhan pokok sehari-hari diberikan kepada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa penyelenggara Sistem Penyediaan Air Minum.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 70 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 70
Setiap Orang yang dengan sengaja:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
Setiap Orang yang karena kelalaiannya:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Di antara Pasal 75 dan Pasal 76 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 75A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75A
|
a. | Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); |
b. | Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 47221; |
c. | Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); dan |
d. | Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4956). |
1. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
Setiap Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek wajib singgah di Terminal yang sudah ditentukan, kecuali ditetapkan lain dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||||||||||
3. |
Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 43
|
||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
|
||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 53
|
||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||||||||||||
12. | Pasal 100 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 101 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
Pengemudi Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang dilarang:
|
||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 162 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 162
|
||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 165 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 165
|
||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 170 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 170
|
||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 173 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 173
|
||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 174 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
20. | Pasal 175 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 176 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
22. | Pasal 177 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
23. | Pasal 178 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 179 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 179
|
||||||||||||||||||||||
25. | Pasal 180 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185
|
||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 199 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 199
|
||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 220 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 220
|
||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222
|
||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 302 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 302 Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor Umum angkutan orang yang tidak berhenti selain di tempat yang telah ditentukan, mengetem, menurunkan penumpang selain di tempat pemberhentian, atau melewati jaringan jalan selain yang ditentukan dalam trayek yang telah disetujui dalam Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
|
||||||||||||||||||||||
31. |
Ketentuan Pasal 305 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 305
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang mengangkut barang khusus yang tidak memenuhi ketentuan mengenai persyaratan keselamatan, pemberian tanda barang, Parkir, bongkar dan muat, atau waktu operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau pidana denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
|
||||||||||||||||||||||
32. | Pasal 308 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||
2. | Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 24A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24A
Badan Usaha yang menyelenggarakan Prasarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||
5. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32A
Badan Usaha yang menyelenggarakan Sarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33A
Penyelenggara Perkeretaapian khusus yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
9. | Di antara Pasal 80 dan Pasal 81 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 80A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 80A
Petugas Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 82
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 107 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 107
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112
Dalam hal Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
13. | Di antara Pasal 116 dan Pasal 117 disisipkan 2 (dua) pasal yakni Pasal 116A dan Pasal 116B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 116A
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif. Pasal 116B
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan Kereta Api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberikan ganti kerugian senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 168 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 168
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||
16. | Di antara Pasal 185 dan Pasal 186 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 185A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 185A
|
||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188
Badan Usaha yang menyelenggarakan Prasarana Perkeretaapian umum yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 190
Badan Usaha yang menyelenggarakan Sarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban terhadap manusia dan/atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 191
Jika tindakan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33A mengakibatkan timbulnya kecelakaan Kereta Api dan/atau kerugian bagi harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 195 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 195
Petugas Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) yang mengakibatkan terjadinya kecelakaan dan/atau menimbulkan korban dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun. |
||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 196 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 196
|
||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 203 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 203
|
||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 204 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 204
|
||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 210 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 210
|
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Di antara Pasal 14 dan Pasal 15 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 14A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Untuk melakukan kegiatan Angkutan di Perairan, orang perseorangan warga negara Indonesia atau Badan Usaha wajib memenuhi Perizinan Berusaha. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Pasal 30 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 31 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 31
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
Badan Usaha yang didirikan khusus untuk penyelenggaraan Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan Perizinan Berusaha jasa terkait dengan Angkutan di Perairan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kegiatan pengusahaan di Pelabuhan serta Perizinan Berusaha terkait pembangunan dan pengoperasian Pelabuhan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Pasal 103 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
Terminal Khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan Perizinan Berusaha yang telah diberikan, maka:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Pasal 107 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 124
Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan Kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian Kapal di Perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan Keselamatan Kapal yang sesuai dengan ketentuan standar internasional. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 127 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 127
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 129 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 129
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pembangunan Kapal serta pemeriksaan dan sertifikasi Keselamatan Kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Penjelasan Pasal 154 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 155
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 157
|
(1) | Kapal yang telah diukur dan mendapat surat ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada pejabat pendaftar dan pencatat balik nama Kapal yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | ||||||
(2) | Kapal yang dapat didaftarkan di Indonesia yaitu:
|
||||||
(3) | Pendaftaran Kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar Kapal Indonesia. | ||||||
(4) | Sebagai bukti Kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberi grosse akta pendaftaran Kapal yang berfungsi sebagai bukti hak milik atas Kapal yang telah didaftarkan. | ||||||
(5) | Kapal yang telah didaftarkan wajib dipasang tanda pendaftaran. |
(1) | Pendaftaran Kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pemilik Kapal bebas memilih salah satu tempat pendaftaran Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan kapalnya. |
(1) | Kapal yang didaftarkan di Indonesia dan berlayar di laut diberi surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia oleh Pemerintah Pusat. | ||||||
(2) | Surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
|
||||||
(3) | Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberi pas sungai dan danau. |
(1) | Pemilik atau operator Kapal yang mengoperasikan Kapal untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari Kapal. |
(2) | Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat. |
(3) | Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa dokumen penyesuaian manajemen keselamatan (document of compliance) untuk perusahaan dan sertifikat manajemen keselamatan (safety management certificate) untuk Kapal. |
(4) | Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat. |
(5) | Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemilik atau operator Kapal yang mengoperasikan Kapal untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keamanan Kapal. |
(2) | Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat. |
(3) | Sertifikat manajemen keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa sertifikat keamanan Kapal internasional (international ship security certificate). |
(4) | Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat. |
(5) | Sertifikat manajemen keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Pemerintah Pusat. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan Kapal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1), Pasal 97 ayat (1), Pasal 98 ayat (1), Pasal 100 ayat (3), Pasal 104 ayat (2), Pasal 106, Pasal 125 ayat (1), Pasal 130 ayat (1), Pasal 131 ayat (2), Pasal 132 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 135, Pasal 137 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 138 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 141 ayat (1) atau ayat (2), Pasal 149 ayat (1), Pasal 152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 158 ayat (5), Pasal 160 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), atau Pasal 165 ayat (1) dikenai sanksi administratif. |
(2) | Dihapus |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk kepentingan Keselamatan dan Keamanan Pelayaran, desain dan Pekerjaan Pengerukan Alur-Pelayaran dan Kolam Pelabuhan, serta Reklamasi wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pekerjaan Pengerukan Alur-Pelayaran dan Kolam Pelabuhan serta Reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan Pekerjaan Pengerukan Alur-Pelayaran, Kolam Pelabuhan, dan Reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Kegiatan Salvage dilakukan terhadap Kerangka Kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. |
(2) | Setiap kegiatan Salvage dan Pekerjaan Bawah Air wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
(1) | Pemilik, operator Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan kapalnya di Pelabuhan kepada Syahbandar. |
(2) | Setiap Kapal yang memasuki Pelabuhan wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta Kapal kepada Syahbandar seketika pada saat Kapal tiba di Pelabuhan dan/atau menyampaikan secara elektronik sebelum Kapal tiba untuk dilakukan pemeriksaan. |
(3) | Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), surat, dokumen, dan warta Kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya surat persetujuan berlayar. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan Kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1), Pasal 204 ayat (2), Pasal 213 ayat (1), Pasal 213 ayat(2), Pasal 214, Pasal 215, atau Pasal 216 ayal (1) dikenai sanksi administratif. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, atau Pasal 239 ayat (2) dikenai sanksi administratif. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenai sanksi administratif. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Setiap Orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang mengakibatkan timbulnya korban manusia atau kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). |
(2) | Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerugian harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
(3) | Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan/atau kerugian harta benda, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
(1) | Setiap Orang yang membangun dan mengoperasikan Pelabuhan sungai dan danau yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (3) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
(2) | Setiap Orang yang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat Kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di Pelabuhan, Terminal Khusus dan Terminal untuk Kepentingan Sendiri tanpa memenuhi Perizinan Berusaha atau Persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
(1) | Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, dan menggunakan kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). |
(2) | Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya. |
(3) | Setiap pejabat yang karena melaksanakan tugas sesuai dengan jabatan dan kewenangannya menyebabkan kerugian harta benda dan/atau hilangnya nyawa seseorang di luar kekuasaannya, pejabat tersebut tidak dapat dikenai sanksi. |
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Pasal 14 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, atau baling-baling Pesawat Terbang yang dibuat berdasarkan rancang bangun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 untuk diproduksi harus memiliki sertifikat tipe. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
Setiap perubahan terhadap rancang bangun Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, atau baling-baling Pesawat Terbang yang telah mendapat sertifikat tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 harus mendapat persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur mendapatkan persetujuan rancang bangun, kegiatan rancang bangun, perubahan rancang bangun Pesawat Udara, sertifikat validasi tipe, dan sertifikat tipe diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 20 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 21 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 22 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
Pesawat Udara yang telah didaftarkan dan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 diterbitkan sertifikat pendaftaran. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pendaftaran dan penghapusan tanda pendaftaran dan tanda kebangsaan Indonesia serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Pasal 31 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Pasal 32 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Pasal 33 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37 Sertifikat Kelaikudaraan standar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat Kelaikudaraan dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 41
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 42 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur memperoleh sertifikat operator Pesawat Udara atau sertifikat pengoperasian Pesawat Udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 46
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang, dan komponennya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 hanya dapat dilakukan oleh:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 huruf b dapat diberikan kepada organisasi perawatan Pesawat Udara (approved maintenance organisation) di luar negeri yang memenuhi persyaratan setelah memiliki sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara yang diterbitkan oleh otoritas penerbangan negara yang bersangkutan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 50 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 50
Setiap Orang yang melanggar ketentuan perawatan Pesawat Udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dikenai sanksi administratif. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 51
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara, prosedur, dan pemberian sertifikat organisasi perawatan Pesawat Udara dan Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara dan kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
Lisensi personel Pesawat Udara yang diberikan oleh negara lain dapat diakui melalui pengesahan oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh Lisensi, atau Sertifikat Kompetensi dan lembaga pendidikan dan/atau sertifikat pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Pasal 64 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai proses dan biaya sertifikasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
Angkutan Udara Niaga dalam negeri hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha Angkutan Udara nasional yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 93
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Ketentuan Pasal 96 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 96
Ketentuan lebih lanjut mengenai Angkutan Udara Niaga, kerja sama Angkutan Udara, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan, diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 97
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Pasal 99 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Ketentuan Pasal 100 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 100
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Ketentuan Pasal 109 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 109
Kegiatan Angkutan Udara Niaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 dilakukan oleh badan usaha di bidang Angkutan Udara Niaga nasional setelah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Pasal 110 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Pasal 111 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
48. | Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 112
Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 berlaku selama pemegang Perizinan Berusaha masih menjalankan kegiatan Angkutan Udara secara nyata dengan terus menerus mengoperasikan Pesawat Udara sesuai dengan Perizinan Berusaha yang diberikan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
49. | Ketentuan Pasal 113 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 113
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
50. | Ketentuan Pasal 114 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 114
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara, dan prosedur memperoleh Perizinan Berusaha terkait Angkutan Udara Niaga diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
51. | Ketentuan Pasal 118 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
52. | Ketentuan Pasal 119 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
53. | Ketentuan Pasal 120 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 120
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban pemegang Perizinan Berusaha, persyaratan, dan sanksi administratif termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
54. | Ketentuan Pasal 130 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 130
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif Angkutan Udara Niaga berjadwal dalam negeri kelas ekonomi dan Angkutan Udara Perintis serta sanksi administratif, termasuk prosedur dan tata cara pengenaan sanksi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
55. | Pasal 131 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
56. | Pasal 132 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
57. | Pasal 133 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
58. | Ketentuan Pasal 137 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 137
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
59. | Ketentuan Pasal 138 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 138
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
60. | Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
61. | Ketentuan Pasal 205 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 205
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
62. | Pasal 215 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
63. | Ketentuan Pasal 218 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 218
Ketentuan lebih lanjut mengenai keselamatan dan keamanan Penerbangan, pelayanan jasa Bandar Udara, serta tata cara dan prosedur untuk memperoleh sertifikat Bandar Udara atau register Bandar Udara dan kriteria, jenis, besaran denda, serta tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
64. | Ketentuan Pasal 219 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 219
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
65. | Ketentuan Pasal 221 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 221
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian fasilitas Bandar Udara serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
66. | Ketentuan Pasal 222 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 222
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
67. | Ketentuan Pasal 224 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 224
Lisensi personel Bandar Udara yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
68. | Ketentuan Pasal 225 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 225
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh Lisensi, lembaga pendidikan dan/atau pelatihan, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
69. | Ketentuan Pasal 233 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 233
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
70. | Ketentuan Pasal 237 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 237
Pemerintah Pusat mengembangkan usaha Kebandarudaraan melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
71. | Ketentuan Pasal 238 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 238
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan pengusahaan di Bandar Udara, serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
72. | Ketentuan Pasal 242 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 242
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab atas kerugian serta kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
73. | Ketentuan Pasal 247 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 247
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
74. | Ketentuan Pasal 249 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 249
Bandar Udara Khusus dilarang melayani Penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri kecuali dalam keadaan tertentu dan bersifat sementara setelah memperoleh persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
75. | Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250
Bandar Udara Khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum, kecuali dalam keadaan tertentu dengan persetujuan dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
76. | Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 252
Ketentuan lebih lanjut mengenai persetujuan pembangunan dan pengoperasian Bandar Udara Khusus serta perubahan status menjadi Bandar Udara yang dapat melayani kepentingan umum diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
77. | Ketentuan Pasal 253 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 253
Tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
78. | Ketentuan Pasal 254 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 254
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
79. | Ketentuan Pasal 255 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 255
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pemberian persetujuan pembangunan dan pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
80. | Ketentuan Pasal 275 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 275
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
81. | Ketentuan Pasal 277 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 277
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pembentukan dan sertifikasi lembaga penyelenggara pelayanan Navigasi Penerbangan serta biaya pelayanan jasa Navigasi Penerbangan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
82. | Ketentuan Pasal 292 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 292
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
83. | Ketentuan Pasal 294 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 294
Lisensi personel Navigasi Penerbangan yang diberikan oleh negara lain dinyatakan sah melalui pengesahan atau validasi oleh Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
84. | Ketentuan Pasal 295 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 295
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan, tata cara dan prosedur memperoleh Lisensi, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
85. | Ketentuan Pasal 317 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 317
Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem manajemen keselamatan penyedia jasa Penerbangan, kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
86. | Ketentuan Pasal 389 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 389
Setiap personel di bidang Penerbangan yang telah memiliki Sertifikat Kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 388 dapat diberi Lisensi oleh Pemerintah Pusat setelah memenuhi persyaratan. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
87. | Ketentuan Pasal 392 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 392
Ketentuan lebih lanjut mengenai Sertifikat Kompetensi dan Lisensi serta penyusunan program pelatihan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
88. | Ketentuan Pasal 409 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 409
Setiap Orang selain yang ditentukan dalam Pasal 47 yang melakukan perawatan Pesawat Udara, mesin Pesawat Udara, baling-baling Pesawat Terbang dan komponennya dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
89. | Ketentuan Pasal 414 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 414
Setiap Orang yang mengoperasikan Pesawat Udara Sipil Asing di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
90. | Ketentuan Pasal 416 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 416
Setiap Orang yang melakukan kegiatan Angkutan Udara Niaga dalam negeri tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
91. | Ketentuan Pasal 418 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 418
Setiap Orang yang melakukan kegiatan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal luar negeri tanpa persetujuan terbang dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
92. | Ketentuan Pasal 423 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 423
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
93. | Ketentuan Pasal 426 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 426
Setiap Orang yang membangun Bandar Udara Khusus tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
94. | Ketentuan Pasal 427 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 427
Setiap Orang yang mengoperasikan Bandar Udara Khusus dengan melayani Penerbangan langsung dari dan/atau ke luar negeri tanpa persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
95. | Ketentuan Pasal 428 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 428
|
a. | Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); |
b. | Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5072); |
c. | Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671); |
e. | Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360). |
1. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 35
Ketentuan lebih lanjut mengenai Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 60 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60
|
||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
|
||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 111
|
||||||||||||||||||
6. |
Ketentuan Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 182
|
||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 183
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dalam melaksanakan tugasnya dapat mengangkat tenaga pengawas dengan tugas pokok untuk melakukan pengawasan terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan Sumber Daya di Bidang Kesehatan dan Upaya Kesehatan. |
||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 187
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan dalam penyelenggaraan upaya di bidang kesehatan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 188
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat mengambil tindakan administratif terhadap Tenaga Kesehatan dan/atau Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang melanggar ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. |
||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 197 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 197
Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan Sediaan Farmasi dan/atau Alat Kesehatan yang tidak memiliki Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dan/atau ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 27
Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dapat dicabut jika:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha terkait Rumah Sakit diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 40
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 62 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 62
Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit yang tidak memenuhi Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya korban/kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp7.000.000.000,00 (tujuh miliar rupiah). |
1. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 5
Psikotropika hanya dapat diproduksi oleh industri farmasi yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 9
|
||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
Pemerintah Pusat menyampaikan surat persetujuan impor terkait impor Psikotropika kepada pemerintah negara pengekspor Psikotropika. |
||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan ekspor atau impor Psikotropika diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||
3. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||
5. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||
6. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara memperoleh Surat Persetujuan Impor dan Surat Persetujuan Ekspor diatur dalam Peraturan Pemerintah.
|
||||||||
7. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 24
|
||||||||
8. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||
9. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||
10. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 36
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan dalam rangka keberlanjutan usaha tani, peningkatan kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, serta Pelaku Usaha Pangan skala mikro dan kecil. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 81 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 81
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Pasal 87 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Di antara Pasal 91 dan Pasal 92 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 91A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 133 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 133
Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau menyimpan Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp150.000.000.000,00 (seratus lima puluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 134
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 135 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 135
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 139 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 139
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 140 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 140
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 141 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 141
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 142 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 142
|
(1) | Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 17
|
||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 22
|
||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||
5. | Pasal 79 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 15
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Pasal 16 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 26
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 29 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 29
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 54
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 56 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 64 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 19
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 20
Pemerintah Pusat melakukan pengawasan terhadap PIHK yang memberangkatkan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
Untuk mendapatkan Perizinan Berusaha menjadi PIHK, badan hukum harus memenuhi persyaratan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan PIHK dan pembukaan kantor cabang PIHK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dan Pasal 60 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 63
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 83 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 83
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengawasan dan evaluasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 85 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 85
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 89 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 89
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 90 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 91 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 91
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
Ketentuan lebih lanjut mengenai Perizinan Berusaha dan pembukaan kantor cabang PPIU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, Pasal 90, dan Pasal 91 diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Ketentuan Pasal 99 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 99
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 101 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 101
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Ketentuan Pasal 103 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 103
Pemerintah Pusat menetapkan standar akreditasi PPIU. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 104 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 104
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Ketentuan Pasal 106 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai akreditasi terhadap PPIU diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Di antara Pasal 118 dan Pasal 119 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 118A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 118A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Di antara Pasal 119 dan Pasal 120 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 119A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 119A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 125 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 125
Dalam hal PIHK yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Haji Khusus ke tanah air, PIHK dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 126 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 126
Dalam hal PPIU yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119A dalam waktu paling lama 5 (lima) hari tidak memulangkan Jemaah Umrah ke tanah air, PPIU dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). |
a. | Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2009 tentang Pos (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 146, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5065); |
b. | Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); dan |
c. | Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4252). |
1. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 10
|
||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||||
3. | Pasal 13 dihapus. | ||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 39
|
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
|
||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 28
|
||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 30
|
||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 32
|
||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34
|
||||||||||||||||||||||
7. | Di antara Pasal 34 dan Pasal 35 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 34A dan Pasal 34B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 34A
Pasal 34B
|
||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||
9. | Pasal 46 dihapus. | ||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
Barang siapa yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). |
||||||||||||||||||||||
11. | Pasal 48 dihapus. |
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 16
|
||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 33 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 33
|
||||||||||||||||||||
4. | Pasal 34 dihapus. | ||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
|
||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||
8. | Di antara Pasal 60 dan Pasal 61 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 60A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 60A
|
a. | Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 183, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5343); dan |
b. | Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168). |
1. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 11
Industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a merupakan:
|
||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 21
|
||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 38
|
||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 52 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 52
|
||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 55 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 55
Setiap Orang yang mengekspor dan/atau melakukan transfer alat peralatan yang digunakan untuk pertahanan dan keamanan negara lain wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||
6. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
Setiap Orang dilarang membocorkan informasi yang bersifat rahasia mengenai formulasi rancang bangun teknologi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan bagi pertahanan dan keamanan. |
||||||||||||||||||||||
8. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
Setiap Orang dilarang memproduksi Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 68
Setiap Orang dilarang menjual, mengekspor, dan/atau melakukan transfer Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||
10. | Ketentuan Pasal 69 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69
Setiap Orang dilarang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat. |
||||||||||||||||||||||
11. | Di antara Pasal 69 dan Pasal 70 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 69A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 69A
|
||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 72 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 72
|
||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 73
|
||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 74
|
||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 75 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 75
Setiap Orang yang membeli dan/atau mengimpor Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan tanpa memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan persetujuan dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69A dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). |
(1) | Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14, Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum berwenang:
|
||||||||||||||||||||||||||
(2) | Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berwenang:
|
||||||||||||||||||||||||||
(3) | Tata cara pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf d diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. |
a. | Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724); |
b. | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790); dan |
c. | Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4867). |
1. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 2
Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku dan menjadi acuan utama bagi Penanaman Modal di semua sektor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 12
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 18
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 25
|
(1) | Bank Umum dapat didirikan oleh:
|
||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan pendirian yang wajib dipenuhi pihak-pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan. |
(1) | Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
|
||||||||
(2) | Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh:
|
||||||||
(3) | Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditentukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. |
a. | Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279); |
b. | Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); |
c. | Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); dan |
d. | Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 242, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6141). |
1. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 13
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
2. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 14
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
3. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 37
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
4. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 42
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
5. | Pasal 43 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
6. | Pasal 44 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
7. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 45
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
8. | Pasal 46 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
9. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 47
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
10. | Pasal 48 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
11. | Ketentuan Pasal 49 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Tenaga Kerja Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 56 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 56
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
13. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 57
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
14. | Ketentuan Pasal 58 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 58
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
15. | Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 59
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
16. | Ketentuan Pasal 61 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
17. | Di antara Pasal 61 dan Pasal 62 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 61A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 61A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
18. | Ketentuan Pasal 64 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 64
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
19. | Pasal 65 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
20. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 66
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
21. | Judul Paragraf 1 pada BAB X diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Paragraf 1
Penyandang Disabilitas |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
22. | Ketentuan Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 67
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
23. | Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 77
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
24. | Ketentuan Pasal 78 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 78
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
25. | Ketentuan Pasal 79 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 79
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
26. | Ketentuan Pasal 84 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 84
Setiap Pekerja/Buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, ayat (3), ayat (5), Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat Upah penuh. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
27. | Ketentuan Pasal 88 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
28. | Di antara Pasal 88 dan Pasal 89 disisipkan 6 (enam) pasal, yakni Pasal 88A, Pasal 88B, Pasal 88C, Pasal 88D, Pasal 88E, dan Pasal 88F sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 88A
Pasal 88B
Pasal 88C
Pasal 88D
Pasal 88E
Pasal 88F
Dalam keadaan tertentu Pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88D ayat (2).
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
29. | Pasal 89 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
30. | Pasal 90 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
31. | Di antara Pasal 90 dan Pasal 91 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 90A dan Pasal 90B sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 90A
Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh di Perusahaan.Pasal 90B
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
32. | Pasal 91 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
33. | Ketentuan Pasal 92 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
34. | Di antara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 92A
Pengusaha melakukan peninjauan Upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
35. | Ketentuan Pasal 94 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 94
Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap. |
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
36. | Ketentuan Pasal 95 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 95
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
37. | Pasal 96 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
38. | Pasal 97 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
39. | Ketentuan Pasal 98 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 98
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
40. | Ketentuan Pasal 151 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
41. | Di antara Pasal 151 dan Pasal 152 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 15 IA sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 151A
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) tidak perlu dilakukan oleh Pengusaha dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
42. | Pasal 152 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
43. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 153
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
44. | Pasal 154 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
45. | Di antara Pasal 154 dan Pasal 155 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 154A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 154A
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
46. | Pasal 155 dihapus. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
47. | Ketentuan Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, Pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima | |||||||||||||||||||
(2) | Uang pesangon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||
(3) | Uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||||||||||||||
(4) | Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
|||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (21, ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
48. | Ketentuan Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Komponen Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas:
|
|||||
(2) | Dalam hal penghasilan Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, Upah sebulan sama dengan 30 (tiga puluh) dikalikan Upah sehari. | |||||
(3) | Dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, Upah sebulan sama dengan penghasilan rata-rata dalam 12 (dua belas) bulan terakhir. | |||||
(4) | Dalam hal Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) lebih rendah dari Upah minimum, Upah yang menjadi dasar perhitungan pesangon adalah Upah minimum yang berlaku di wilayah domisili Perusahaan. |
49. | Di antara Pasal 157 dan Pasal 158 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 157A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Selama penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, Pengusaha dan Pekerja/Buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya. | |
(2) | Pengusaha dapat melakukan tindakan skorsing kepada Pekerja/Buruh yang sedang dalam proses Pemutusan Hubungan Kerja dengan tetap membayar Upah beserta hak lainnya yang biasa diterima Pekerja/Buruh. | |
(3) | Pelaksanaan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai tingkatannya. |
50. | Pasal 158 dihapus. |
51. | Pasal 159 dihapus. |
52. | Ketentuan Pasal 160 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam hal Pekerja/Buruh ditahan pihak yangberwajib karena diduga melakukan tindak pidana, Pengusaha tidak wajib membayar Upah, tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut:
|
|||||||||
(2) | Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak hari pertama Pekerja/Buruh ditahan oleh pihak yang berwajib. | |||||||||
(3) | Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||||||||
(4) | Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir dan Pekerja/Buruh dinyatakan tidak bersalah, Pengusaha wajib mempekerjakan Pekerja/Buruh kembali. | |||||||||
(5) | Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan Pekerja/Buruh dinyatakan bersalah, Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
53. | Pasal 161 dihapus. |
54. | Pasal 162 dihapus. |
55. | Pasal 163 dihapus. |
56. | Pasal 164 dihapus. |
57. | Pasal 165 dihapus. |
58. | Pasal 166 dihapus. |
59. | Pasal 167 dihapus. |
60. | Pasal 168 dihapus. |
61. | Pasal 169 dihapus. |
62. | Pasal 170 dihapus. |
63. | Pasal 171 dihapus. |
64. | Pasal 172 dihapus. |
65. | Pasal 184 dihapus. |
66. | Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2), Pasal 68, Pasal 69 ayat (2), Pasal 80, Pasal 82, Pasal 88A ayat (3), Pasal 88E ayat (2), Pasal 143, Pasal 156 ayat (1), atau Pasal 160 ayat (4) dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). | |
(2) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan. |
67. | Ketentuan Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau ayat (3), atau Pasal 93 ayat (2), dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). | |
(2) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
68. | Ketentuan Pasal 187 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (2), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat (2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). | |
(2) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
69. | Ketentuan Pasal 188 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Pasal 63 ayat (2), Pasal 78 ayat (1), Pasal 108 ayat (1), Pasal 111 ayat (3), Pasal 114, atau Pasal 148 dikenai sanksi pidana denda paling sedikit Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). | |
(2) | Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran. |
70. | Ketentuan Pasal 190 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif atas pelanggaran ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 14 ayat (1), Pasal 15, Pasal 25, Pasal 37 ayat (2), Pasal 38 ayat (2), Pasal 42 ayat (1), Pasal 47 ayat (1), Pasal 61A, Pasal 66 ayat (4), Pasal 87, Pasal 92, Pasal 106, Pasal 126 ayat (3), atau Pasal 160 ayat (1) atau ayat (2) Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
71. | Di antara Pasal 191 dan Pasal 192 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 191A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini: | ||
a. | untuk pertama kali Upah minimum yang berlaku, yaitu Upah minimum yang telah ditetapkan berdasarkan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang mengatur mengenai pengupahan. | |
b. | bagi Perusahaan yang telah memberikan Upah lebih tinggi dari Upah minimum yang ditetapkan sebelum Undang-Undang ini, Pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan Upah. |
1. | Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Jenis program jaminan sosial meliputi:
|
2. | Di antara Pasal 46 dan Pasal 47 disisipkan 1 (satu) Bagian yakni Bagian Ketujuh Jaminan Kehilangan Pekerjaan sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapatkan jaminan kehilangan pekerjaan. |
(2) | Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan oleh badan penyelenggara Jaminan Sosial ketenagakerjaan dan Pemerintah Pusat. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan jaminan kehilangan pekerjaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip Asuransi Sosial. |
(2) | Jaminan kehilangan pekerjaan diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat pekerja/buruh kehilangan pekerjaan. |
(1) | Peserta jaminan kehilangan pekerjaan adalah setiap orang yang telah membayar Iuran. |
(2) | Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibayar oleh Pemerintah Pusat. |
(1) | Manfaat jaminan kehilangan pekerjaan berupa uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan kerja. |
(2) | Jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 6 (enam) bulan upah. |
(3) | Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Peserta setelah mempunyai masa kepesertaan tertentu. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Manfaat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan masa kepesertaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Sumber pendanaan jaminan kehilangan pekedaan berasal dari:
|
||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendanaan jaminan kehilangan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a menyelenggarakan program jaminan kesehatan. | |||||||||||
(2) | BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b menyelenggarakan program:
|
2. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | BPJS Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a berfungsi menyelenggarakan program jaminan kesehatan. | |
(2) | BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b berfungsi menyelenggarakan program jaminan kecelakaan kerja, program jaminan kematian, program jaminan pensiun, program jaminan hari tua, dan program jaminan kehilangan pekerjaan. |
3. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. | |
(2) | Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk program jaminan kehilangan pekerjaan ditetapkan paling sedikit Rp6.000.000.000.000,00 (enam triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini: | ||
1. | Calon Pekerja Migran Indonesia adalah setiap tenaga kerja Indonesia yang memenuhi syarat sebagai pencari kerja yang akan bekerja di luar negeri dan terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan. | |
2. | Pekerja Migran Indonesia adalah setiap warga negara Indonesia yang akan, sedang, atau telah melakukan pekerjaan dengan menerima upah di luar wilayah Republik Indonesia. | |
3. | Keluarga Pekerja Migran Indonesia adalah suami, istri, anak, atau orang tua termasuk hubungan karena putusan dan/atau penetapan pengadilan, baik yang berada di Indonesia maupun yang tinggal bersama Pekerja Migran Indonesia di luar negeri. | |
4. | Pekerja Migran Indonesia Perseorangan adalah Pekerja Migran Indonesia yang akan bekerja ke luar negeri tanpa melalui pelaksana penempatan. | |
5. | Pelindungan Pekerja Migran Indonesia adalah segala upaya untuk melindungi kepentingan Calon Pekerja Migran Indonesia dan/atau Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya dalam mewujudkan terjaminnya pemenuhan haknya dalam keseluruhan kegiatan sebelum bekerja, selama bekerja, dan setelah bekerja dalam aspek hukum, ekonomi, dan sosial. | |
6. | Pelindungan Sebelum Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan pelindungan sejak pendaftaran sampai pemberangkatan. | |
7. | Pelindungan Selama Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan pelindungan selama Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya berada di luar negeri. | |
8. | Pelindungan Setelah Bekerja adalah keseluruhan aktivitas untuk memberikan pelindungan sejak Pekerja Migran Indonesia dan anggota keluarganya tiba di debarkasi di Indonesia hingga kembali ke daerah asal, termasuk pelayanan lanjutan menjadi pekerja produktif. | |
9. | Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia adalah badan usaha berbadan hukum perseroan terbatas yang telah memperoleh izin tertulis dari Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pelayanan penempatan Pekerja Migran Indonesia. | |
10. | Mitra Usaha adalah instansi dan/atau badan usaha berbentuk badan hukum di negara tujuan penempatan yang bertanggung jawab menempatkan Pekerja Migran Indonesia pada Pemberi Kerja. | |
11. | Pemberi Kerja adalah instansi pemerintah, badan hukum pemerintah, badan hukum swasta, dan/atau perseorangan di negara tujuan penempatan yang mempekerjakan Pekerja Migran Indonesia. | |
12. | Perjanjian Kerja Sama Penempatan adalah perjanjian tertulis antara Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Mitra Usaha atau Pemberi Kerja yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak dalam rangka penempatan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan. | |
13. | Perjanjian Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut Perjanjian Penempatan adalah perjanjian tertulis antara pelaksana penempatan Pekerja Migran Indonesia dan Calon Pekerja Migran Indonesia yang memuat hak dan kewajiban setiap pihak, dalam rangka penempatan Pekerja Migran Indonesia di negara tujuan penempatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
14. | Perjanjian Kerja adalah perjanjian tertulis antara Pekerja Migran Indonesia dan Pemberi Kerja yang memuat syarat kerja, hak, dan kewajiban setiap pihak, serta jaminan keamanan dan keselamatan selama bekerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
15. | Visa Kerja adalah bin tertulis yang diberikan oleh pejabat yang berwenang di suatu negara tujuan penempatan yang memuat persetujuan untuk masuk dan melakukan pekerjaan di negara yang bersangkutan. | |
16. | Surat Izin Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut SIP3MI adalah izin tertulis yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada badan usaha berbadan hukum Indonesia yang akan menjadi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. | |
17. | Surat Izin Perekrutan Pekerja Migran Indonesia yang selanjutnya disebut SIP2MI adalah izin yang diberikan oleh kepala Badan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia yang digunakan untuk menempatkan Calon Pekerja Migran Indonesia. | |
18. | Jaminan Sosial adalah salah satu bentuk pelindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. | |
19. | Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. | |
20. | Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah badan hukum yang menyelenggarakan program Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia. | |
21. | Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. | |
22. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. | |
23. | Pemerintah Desa adalah kepala desa atau yang disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelenggara pemerintahan desa. | |
24. | Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri yang selanjutnya disebut Perwakilan Republik Indonesia adalah perwakilan diplomatik dan perwakilan konsuler Republik Indonesia yang secara resmi mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa, negara, dan pemerintah Republik Indonesia secara keseluruhan di negara tujuan penempatan atau pada organisasi internasional. | |
25. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. | |
26. | Badan adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas sebagai pelaksana kebijakan dalam pelayanan dan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia secara terpadu. | |
2. | Ketentuan Pasal 51 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 huruf b wajib memiliki izin yang memenuhi Perizinan Berusaha dan diterbitkan oleh Pemerintah Pusat. | |
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan kepada pihak lain. | |
(3) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
3. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia dapat membentuk kantor cabang di luar wilayah domisili kantor pusatnya. | |
(2) | Kegiatan yang dilakukan oleh kantor cabang Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia menjadi tanggung jawab kantor pusat Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia. | |
(3) | Kantor cabang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi Perizinan Berusaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah provinsi. | |
(4) | Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
4. | Ketentuan Pasal 57 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia harus menyerahkan pembaruan data paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja. | |
(2) | Dalam hal Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia tidak menyerahkan pembaruan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia diizinkan untuk memperbarui izin paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja dengan membayar denda keterlambatan. | |
(3) | Ketentuan mengenai denda keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
5. | Di antara Pasal 89 dan Pasal 90 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 89A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, pengertian atau makna SIP3MI dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menyesuaikan dengan ketentuan mengenai Perizinan Berusaha. |
a. | Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3502); |
b. | Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); dan |
c. | Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 12, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6760). |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Koperasi Primer dibentuk paling sedikit oleh 9 (sembilan) orang. | |
(2) | Koperasi Sekunder dibentuk oleh paling sedikit 3 (tiga) Koperasi. |
2. | Penjelasan Pasal 17 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
3. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perangkat organisasi Koperasi terdiri atas:
|
|||||||
(2) | Selain memiliki perangkat organisasi Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib memiliki dewan pengawas syariah. |
4. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Rapat Anggota merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Koperasi. | |
(2) | Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihadiri oleh anggota yang pelaksanaannya diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. | |
(3) | Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan secara daring dan/atau luring. | |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Rapat Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. |
5. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Usaha Koperasi adalah usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota untuk meningkatkan usaha dan kesejahteraan anggota. | |
(2) | Usaha Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara tunggal usaha atau serba usaha. | |
(3) | Kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang bukan anggota Koperasi dalam rangka menarik masyarakat menjadi anggota Koperasi. | |
(4) | Koperasi menjalankan kegiatan usaha dan berperan utama di segala bidang kehidupan ekonomi rakyat. | |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan usaha Koperasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
6. | Di antara Pasal 44 dan Pasal 45 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 44A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Koperasi dapat menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. | |
(2) | Koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mempunyai dewan pengawas syariah. | |
(3) | Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas 1 (satu) orang atau lebih yang memahami syariah dan diangkat oleh Rapat Anggota. | |
(4) | Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada Pengurus serta mengawasi kegiatan Koperasi agar sesuai dengan prinsip syariah. | |
(5) | Dewan pengawas syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya mendapatkan pembinaan atau pengembangan kapasitas oleh Pemerintah Pusat dan/atau Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia. | |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Koperasi yang menjalankan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dapat memuat modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
2. | Ketentuan Pasal 12 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Aspek perizinan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf e ditujukan untuk:
|
|||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara Perizinan Berusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
3. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyediakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. | |
(2) | Badan Usaha Milik Negara menyediakan Pembiayaan dari penyisihan bagian laba tahunan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, Penjaminan, hibah, dan Pembiayaan lainnya. | |
(3) | Usaha Besar nasional dan asing menyediakan Pembiayaan yang dialokasikan kepada Usaha Mikro dan Kecil dalam bentuk pemberian pinjaman, Penjaminan, hibah, dan Pembiayaan lainnya. | |
(4) | Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Dunia Usaha memberikan hibah, mengusahakan bantuan luar negeri, dan mengusahakan sumber Pembiayaan lain yang sah serta tidak mengikat untuk Usaha Mikro dan Kecil. | |
(5) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya memberikan insentif dalam bentuk kemudahan persyaratan perizinan, keringanan tarif sarana dan prasarana, dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan kepada Dunia Usaha yang menyediakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro dan Kecil. |
4. | Pasal 25 dihapus. |
5. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Kemitraan dilaksanakan dengan pola:
|
6. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pelaksanaan Kemitraan dengan pola perdagangan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf d, dapat dilakukan dalam bentuk kerja sama pemasaran atau penyediaan lokasi usaha dari Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah oleh Usaha Besar yang dilakukan secara terbuka. | |
(2) | Pemenuhan kebutuhan barang dan jasa yang diperlukan oleh Usaha Besar dilakukan dengan mengutamakan pengadaan hasil produksi Usaha Kecil atau Usaha Mikro sepanjang memenuhi standar mutu barang dan jasa yang diperlukan. | |
(3) | Pengaturan sistem pembayaran dilakukan dengan tidak merugikan salah satu pihak. |
7. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam pelaksanaan Kemitraan dengan pola rantai pasok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf f, dapat dilakukan melalui kegiatan dari Usaha Mikro dan Kecil oleh Usaha Menengah dan Usaha Besar paling sedikit meliputi:
|
8. | Penjelasan Pasal 35 diubah sebagaimana tercantum dalam penjelasan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan sistem informasi dan pendataan UMK-M yang terintegrasi. |
(2) | Hasil pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai basis data tunggal UMK-M. |
(3) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib digunakan sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan mengenai UMK-M. |
(4) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disajikan secara tepat waktu, akurat, dan tepat guna serta dapat diakses oleh masyarakat. |
(5) | Pemerintah Pusat melakukan pembaharuan sistem informasi dan basis data tunggal paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. |
(6) | Basis data tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dalam jangka waktu paling lama tanggal 2 November 2022. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai basis data tunggal UMK-M diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat mendorong implementasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster melalui sinergi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan terkait. | ||||||||||||||||||||
(2) | Pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kumpulan kelompok Usaha Mikro dan Kecil yang terkait dalam:
|
||||||||||||||||||||
(3) | Saling melengkapi secara terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilaksanakan di lokasi klaster dengan tahap pendirian/legalisasi, pembiayaan, penyediaan bahan baku, proses produksi, kurasi, dan pemasaran produk Usaha Mikro dan Kecil melalui perdagangan elektronik/non elektronik. | ||||||||||||||||||||
(4) | Penentuan lokasi klaster Usaha Mikro dan Kecil disusun dalam program Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan pemetaan potensi, keunggulan daerah, dan strategi penentuan lokasi usaha. | ||||||||||||||||||||
(5) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah melaksanakan pendampingan sebagai upaya pengembangan Usaha Mikro dan Kecil untuk memberi dukungan manajemen, sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana. | ||||||||||||||||||||
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyediakan dukungan sumber daya manusia, anggaran, serta sarana dan prasarana sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memberikan fasilitas yang meliputi:
|
||||||||||||||||||||
(7) | Pemerintah Pusat mengoordinasikan pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. | ||||||||||||||||||||
(8) | Pemerintah Pusat melakukan evaluasi pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil dalam penataan klaster. | ||||||||||||||||||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan terpadu Usaha Mikro dan Kecil diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib memfasilitasi, mendukung, dan menstimulasi kegiatan kemitraan Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan level usaha. |
(2) | Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup proses alih keterampilan di bidang produksi dan pengolahan, pemasaran, permodalan, sumber daya manusia, dan teknologi. |
(3) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah memberikan insentif dan kemudahan berusaha dalam rangka kemitraan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaan kemitraan antara Usaha Menengah dan Usaha Besar dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil. |
(5) | Pemerintah Pusat mengatur pemberian insentif kepada Usaha Menengah dan Usaha Besar yang melakukan kemitraan dengan Koperasi, Usaha Mikro, dan Usaha Kecil melalui inovasi dan pengembangan produk berorientasi ekspor, penyerapan tenaga kerja, penggunaan teknologi tepat guna dan ramah lingkungan, serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemitraan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Dalam rangka kemudahan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya wajib melakukan pembinaan dan pendaftaran bagr Usaha Mikro dan Kecil berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara daring atau luring dengan melampirkan Kartu Tanda Penduduk. |
(3) | Pendaftaran secara daring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberi nomor induk berusaha melalui sistem Perizinan Berusaha secara elektronik. |
(4) | Nomor induk berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perizinan tunggal yang berlaku untuk semua kegiatan usaha. |
(5) | Perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi Perizinan Berusaha, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(6) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan nonna, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat wajib melakukan pembinaan terhadap Perizinan Berusaha, pemenuhan standar, Standar Nasional Indonesia, dan sertifikasi jaminan produk halal. |
(7) | Dalam hal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki risiko menengah atau tinggi terhadap kesehatan, keamanan, dan keselamatan serta lingkungan selain melakukan registrasi untuk mendapatkan nomor induk berusaha, Usaha Mikro dan Kecil wajib memiliki sertifikat sertifikasi standar dan/atau izin. |
(8) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat memfasilitasi sertifikasi standar dan I atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan fasilitasi sertifikasi standar dan/atau izin sebagaimana dimaksud pada ayat (8) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Usaha Mikro dan Kecil diberi kemudahan/penyederhanaan administrasi perpajakan dalam rangka pengajuan fasilitas pembiayaan dari Pemerintah Pusat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(2) | Usaha Mikro dan Kecil yang mengajukan Perizinan Berusaha dapat diberi insentif berupa tidak dikenai biaya atau diberi keringanan biaya. |
(3) | Usaha Mikro dan Kecil yang berorientasi ekspor dapat diberi insentif kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(4) | Usaha Mikro dan Kecil tertentu dapat diberi insentif Pajak Penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak Penghasilan. |
(1) | Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya mempermudah dan menyederhanakan proses untuk Usaha Mikro dan Kecil dalam hal pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kemudahan dan penyederhanaan pendaftaran dan pembiayaan hak kekayaan intelektual, kemudahan impor bahan baku dan bahan penolong industri apabila tidak dapat dipenuhi dari dalam negeri, dan/atau fasilitasi ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat mengalokasikan Dana Alokasi Khusus untuk mendukung pendanaan bagi Pemerintah Daerah dalam rangka kegiatan pemberdayaan dan pengembangan UMK-M. |
(2) | Pengalokasian Dana Alokasi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | menciptakan usaha baru; |
b. | menguatkan dan mengembangkan kualitas UMK-M yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan |
c. | mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya manusia terdidik dalam menggerakkan perekonomian dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. |
a. | penciptaan dan penumbuhan usaha baru serta penguatan kapasitas pelaku usaha pemula yang berdaya saing tinggi; |
b. | penciptaan dan penumbuhan usaha baru yang mempunyai nilai ekonomi dan berdaya saing tinggi; dan |
c. | peningkatan nilai tambah pengelolaan potensi ekonomi melalui pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi. |
a. | pembiayaan alternatif untuk UMK-M pemula; |
b. | pembiayaan dari dana kemitraan; |
c. | bantuan hibah pemerintah; |
d. | dana bergulir; dan |
e. | tanggung jawab sosial perusahaan. |
(1) | Jalan Tol antarkota harus dilengkapi dengan tempat istirahat dan pelayanan untuk kepentingan pengguna Jalan Tol, serta menyediakan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(2) | Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah pada tempat istirahat dan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengalokasikan lahan pada Jalan Tol paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total luas lahan area komersial untuk Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah, baik untuk Jalan Tol yang telah beroperasi maupun untuk Jalan Tol yang masih dalam tahap perencanaan dan konstruksi. |
(3) | Penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan partisipasi Usaha Mikro dan Kecil melalui pola kemitraan. |
(4) | Penanaman dan pemeliharaan tanaman di tempat istirahat dan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah. |
(1) | Dalam rangka pemberdayaan Usaha Mikro dan Kecil, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan/atau badan usaha swasta wajib mengalokasikan penyediaan tempat promosi, tempat usaha, dan/atau pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik yang mencakup:
|
||||||||||||
(2) | Alokasi penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas tempat perbelanjaan dan/atau promosi yang strategis pada infrastruktur publik yang bersangkutan. | ||||||||||||
(3) | Ketentuan mengenai penyediaan tempat promosi dan pengembangan Usaha Mikro dan Kecil pada infrastruktur publik pada ayat (1) dan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
a. | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5216); |
b. | Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5922); |
c. | Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5953); |
d. | Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756); |
e. | Staatsblad Tahun 1926 Nomor 226 juncto Staatsblad Tahun 1940 Nomor 450 tentang Undang-Undang Gangguan (Hinderordonnantie); |
f. | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736); |
g. | Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736); |
h. | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736); |
i. | Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5870); |
j. | Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214); |
k. | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5495); dan |
l. | Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817). |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
2. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
3. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Visa tinggal terbatas diberikan kepada Orang Asing:
|
|||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Visa tinggal terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
4. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemberian Visa kunjungan dan Visa tinggal terbatas merupakan kewenangan Menteri. | |
(2) | Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dan ditandatangani oleh Pejabat Imigrasi. | |
(3) | Dalam hal Visa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan di Perwakilan Republik Indonesia, pemberian Visa dilaksanakan oleh Pejabat Imigrasi di Perwakilan Republik Indonesia dan/atau pejabat dinas luar negeri. | |
(4) | Pejabat dinas luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang memberikan Visa setelah memperoleh Keputusan Menteri. |
5. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Orang Asing pemegang Visa diplomatik atau Visa dinas dengan maksud bertempat tinggal di Wilayah Indonesia setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan permohonan kepada Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk untuk memperoleh Izin Tinggal diplomatik atau lzin Tinggal dinas. | |
(2) | Orang Asing pemegang Visa tinggal terbatas setelah mendapat Tanda Masuk wajib mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh Izin Tinggal terbatas. | |
(3) | Jika Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak melaksanakan kewajiban tersebut, Orang Asing yang bersangkutan dianggap berada di Wilayah Indonesia secara tidak sah. | |
(4) | Dalam hal Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapatkan lzin Tinggal terbatas di Tempat Pemeriksaan Imigrasi, tidak perlu mengajukan permohonan kepada kepala Kantor Imigrasi untuk memperoleh Izin Tinggal terbatas. |
6. | Ketentuan Pasal 54 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Izin Tinggal Tetap dapat diberikan kepada:
|
|||||||||
(2) | Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan kepada Orang Asing yang tidak memiliki paspor kebangsaan. | |||||||||
(3) | Orang Asing pemegang lzin Tinggal Tetap merupakan penduduk Indonesia. | |||||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Izin Tinggal Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
7. | Ketentuan Pasal 63 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Orang Asing tertentu yang berada di Wilayah Indonesia wajib memiliki Penjamin yang menjamin keberadaannya. | |||||||
(2) | Penjamin bertanggung jawab atas keberadaan dan kegiatan Orang Asing yang dijamin selama tinggal di Wilayah Indonesia serta wajib melaporkan setiap perubahan status sipil, status Keimigrasian, dan perubahan alamat. | |||||||
(3) | Penjamin wajib membayar biaya yang timbul untuk memulangkan atau mengeluarkan Orang Asing yang dijaminnya dari Wilayah Indonesia apabila Orang Asing yang bersangkutan:
|
|||||||
(4) | Ketentuan mengenai penjaminan tidak berlaku bagi:
|
|||||||
(5) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (2) huruf g tidak berlaku dalam hal pemegang Izin Tinggal Tetap tersebut putus hubungan perkawinannya dengan warga negara Indonesia memperoleh penjaminan yang menjamin keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||||||
(6) | Pelaku usaha dengan kewarganegaraan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b menyetorkan jaminan Keimigrasian sebagai pengganti Penjamin selama berada di Wilayah Indonesia. | |||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara jaminan Keimigrasian bagi Orang Asing diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
8. | Ketentuan Pasal 71 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Setiap Orang Asing yang berada di Wilayah Indonesia wajib:
|
|||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemenuhan kewajiban Keimigrasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan untuk Invensi yang baru, mengandung langkah inventif, dan dapat diterapkan dalam industri. | |||||||
(2) | Paten sederhana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b diberikan untuk setiap Invensi baru, pengembangan dari produk atau proses yang telah ada, memiliki kegunaan praktis, serta dapat diterapkan dalam industri. | |||||||
(3) | Pengembangan dari produk atau proses yang telah ada sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
|
2. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Paten wajib dilaksanakan di Indonesia. | |||||||
(2) | Pelaksanaan Paten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
3. | Ketentuan Pasal 82 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Lisensi-wajib merupakan Lisensi untuk melaksanakan Paten yang diberikan berdasarkan Keputusan Menteri atas dasar permohonan dengan alasan memenuhi ketentuan:
|
|||||||
(2) | Permohonan Lisensi-wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya. |
4. | Ketentuan Pasal 122 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Paten sederhana diberikan hanya untuk satu Invensi. | |
(2) | Permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana dilakukan bersamaan dengan pengajuan Permohonan Paten sederhana dengan dikenai biaya. | |
(3) | Apabila permohonan pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dilakukan dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau biaya pemeriksaan substantif atas Paten sederhana tidak dibayar, Permohonan Paten sederhana dianggap ditarik kembali. |
5. | Ketentuan Pasal 123 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pengumuman Permohonan Paten sederhana dilakukan paling lambat 14 (empat belas) Hari terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana. | |
(2) | Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan selama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak tanggal diumumkannya Permohonan Paten sederhana. | |
(3) | Pemeriksaan substantif atas Permohonan Paten sederhana dilakukan setelah jangka waktu pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir. | |
(4) | Ketentuan pengajuan pandangan dan/atau keberatan Permohonan Paten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) dan ayat (4) dikecualikan untuk pengajuan pandangan dan/atau keberatan atas Permohonan Paten sederhana. |
6. | Ketentuan Pasal 124 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Menteri wajib memberikan keputusan untuk menyetujui atau menolak Permohonan Paten sederhana paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan Permohonan Paten sederhana. | |
(2) | Paten sederhana yang telah diberikan persetujuan oleh Menteri dicatat dan diumumkan melalui media elektronik dan/atau media non-elektronik. | |
(3) | Menteri memberikan sertifikat Paten sederhana kepada Pemegang Paten sederhana sebagai bukti hak. |
1. | Ketentuan Pasal 20 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Merek tidak dapat didaftar jika: | ||
a. | bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; | |
b. | sama dengan, berkaitan dengan, atau hanya menyebut barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya; | |
c. | memuat unsur yang dapat menyesatkan masyarakat tentang asal, kualitas, jenis, ukuran, macam, tu.iuan penggunaan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya atau merupakan nama varietas tanaman yang dilindungi untuk barang dan/atau jasa yang sejenis; | |
d. | memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi; | |
e. | tidak memiliki daya pembeda; | |
f. | merupakan nama umum dan/atau lambang milik umum; dan/atau | |
g. | mengandung bentuk yang bersifat fungsional. |
2. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemeriksaan substantif merupakan pemeriksaan yang dilakukan oleh Pemeriksa terhadap Permohonan pendaftaran Merek. | |
(2) | Segala keberatan dan/atau sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 menjadi pertimbangan dalam pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |
(3) | Dalam hal tidak terdapat keberatan terhitung sejak tanggal berakhirnya pengumuman, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. | |
(4) | Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari. | |
(5) | Dalam hal terdapat keberatan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal berakhirnya batas waktu penyampaian sanggahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dilakukan pemeriksaan substantif terhadap Permohonan. | |
(6) | Pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) Hari. | |
(7) | Dalam hal diperlukan untuk melakukan pemeriksaan substantif, dapat ditetapkan tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa. | |
(8) | Hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh tenaga ahli pemeriksa Merek di luar Pemeriksa sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat dianggap sama dengan hasil pemeriksaan substantif yang dilakukan oleh Pemeriksa dengan persetujuan Menteri. |
3. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Sertifikat Merek diterbitkan oleh Menteri sejak Merek tersebut terdaftar. | |||||||||||||||||
(2) | Sertifikat Merek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: | ||
1. | Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham atau badan hukum perorangan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil. | |
2. | Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris. | |
3. | Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya. | |
4. | Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan/atau anggaran dasar. | |
5. | Direksi adalah Organ Perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan Perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan serta mewakili Perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. | |
6. | Dewan Komisaris adalah Organ Perseroan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi. | |
7. | Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. | |
8. | Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. | |
9. | Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum. | |
10. | Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum. | |
11. | Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. | |
12. | Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perseroan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perseroan atau lebih. | |
13. | Surat Tercatat adalah surat yang dialamatkan kepada penerima dan dapat dibuktikan dengan tanda terima dari penerima yang ditandatangani dengan menyebutkan tanggal penerimaan. | |
14. | Surat Kabar adalah surat kabar harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional. | |
15. | Hari adalah hari kalender. | |
16. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia |
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia. | |||||||||||
(2) | Setiap pendiri Perseroan wajib mengambil bagian saham pada saat Perseroan didirikan. | |||||||||||
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam rangka Peleburan. | |||||||||||
(4) | Perseroan memperoleh status badan hukum setelah didaftarkan kepada Menteri dan mendapatkan bukti pendaftaran. | |||||||||||
(5) | Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut, pemegang saham yang bersangkutan wajib:
|
|||||||||||
(6) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) telah dilampaui, pemegang saham tetap kurang dari 2 (dua) orang:
|
|||||||||||
(7) | Ketentuan yang mewajibkan Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (5), dan ayat (6) tidak berlaku bagi:
|
|||||||||||
(8) | Usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf e merupakan usaha mikro dan kecil sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai usaha mikro dan kecil. |
3. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perseroan wajib memiliki modal dasar Perseroan. | |
(2) | Besaran modal dasar Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan keputusan pendiri Perseroan. | |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai modal dasar Perseroan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
4. | Ketentuan Pasal 153 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
5. | Di antara Pasal 153 dan Pasal 154 disisipkan 10 (sepuluh) pasal, yakni Pasal 153A, Pasal 153B, Pasal 153C, Pasal 153D, Pasal 153E, Pasal 153F, Pasal 153G, Pasal 153H, Pasal 1531, dan Pasal 153J sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Perseroan yang memenuhi kriteria usaha mikro dan kecil dapat didirikan oleh 1 (satu) orang. | |
(2) | Pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan surat pernyataan pendirian yang dibuat dalam bahasa Indonesia. | |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (2) memuat maksud dan tujuan, kegiatan usaha, modal dasar, dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan. | |
(2) | Pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian. | |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai materi pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan format isian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Perubahan pernyataan pendirian Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ditetapkan oleh RUPS dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai materi dan format isian perubahan pernyataan pendirian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A menjalankan pengurusan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil bagi kepentingan Perseroan sesuai dengan maksud dan tujuan Perseroan. | |
(2) | Direksi berwenang menjalankan pengurusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat, dalam batas yang ditentukan dalam Undang-Undang ini, dan/atau pernyataan pendirian Perseroan. |
(1) | Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A merupakan orang perseorangan. | |
(2) | Pendiri Perseroan hanya dapat mendirikan Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sejumlah 1 (satu) Perseroan untuk usaha mikro dan kecil dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. |
(1) | Direksi Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A harus membuat laporan keuangan dalam rangka mewujudkan tata kelola Perseroan yang baik. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban membuat laporan keuangan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A dilakukan oleh RUPS yang dituangkan dalam pernyataan pembubaran dan diberitahukan secara elektronik kepada Menteri. | |||||||||||||
(2) | Pembubaran Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi karena:
|
(1) | Dalam hal Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sudah tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153A ayat (1), Perseroan harus mengubah statusnya menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengubahan status Perseroan untuk usaha mikro dan kecil menjadi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Perseroan untuk usaha mikro dan kecil diberikan keringanan biaya terkait pendirian badan hukum. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan biaya Perseroan untuk usaha mikro dan kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
(1) | Pemegang saham Perseroan untuk usaha mikro dan kecil tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama Perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki. | |||||||||
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila:
|
1. | Ketentuan Pasal 2 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Yang menjadi subjek pajak adalah:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
(1a) | Bentuk usaha tetap merupakan subjek pajak yang perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan. | |||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. | |||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Subjek pajak dalam negeri adalah:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Subjek pajak luar negeri adalah:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, huruf b, dan huruf c, dan badan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf d untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia yang dapat berupa:
|
|||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak menurut keadaan yang sebenarnya. |
2. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Atas penghasilan tersebut di bawah ini, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan:
|
|||||||||||||||||
(1a) | Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah negara tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak luar negeri yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). | |||||||||||||||||
(1b) | Tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diturunkan dengan Peraturan Pemerintah. | |||||||||||||||||
(2) | Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta di Indonesia, kecuali yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2), yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia, dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi luar negeri dipotong pajak 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. | |||||||||||||||||
(2a) | Atas penghasilan dari penjualan atau pengalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto. | |||||||||||||||||
(3) | Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |||||||||||||||||
(4) | Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen), kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |||||||||||||||||
(5) | Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (2a), dan ayat (4) bersifat final, kecuali:
|
1. | Ketentuan Pasal 1A diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
|||||||||||||||||
(2) | Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah:
|
2. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
|
|||||||||||||||||||
(1a) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuat pada:
|
|||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) Faktur Pajak meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender. | |||||||||||||||||||
(2a) | Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan. | |||||||||||||||||||
(3) | Dihapus. | |||||||||||||||||||
(4) | Dihapus. | |||||||||||||||||||
(5) | Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
|
|||||||||||||||||||
(5a) | Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada pembeli dengan karakteristik konsumen akhir yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan. | |||||||||||||||||||
(6) | Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. | |||||||||||||||||||
(7) | Dihapus. | |||||||||||||||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Faktur Pajak dan tata cara pembetulan atau penggantian Faktur Pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |||||||||||||||||||
(9) | Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material. |
1. | Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. | |
(2) | Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan disampaikan. | |
(2a) | Pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhirnya tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(2b) | Atas pembayaran atau penyetoran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(2c) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) dan ayat (2b) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. | |
(3) | Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. | |
(3a) | Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |
(4) | Direktur Jenderal Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
2. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 17B, Pasal 17C, atau Pasal 17D dikembalikan dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. | |
(1a) | Kelebihan pembayaran pajak sebagai akibat adanya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, dan Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, serta Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga dikembalikan kepada Wajib Pajak dengan ketentuan jika ternyata Wajib Pajak mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak tersebut. | |
(2) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (la) dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima sehubungan dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1), atau sejak diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C atau Pasal 17D, atau sejak diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, atau sejak diterimanya Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. | |
(3) | Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung sejak batas waktu penerbitan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan dan diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(3a) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. | |
(4) | Tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
3. | Pasal 13A dihapus. |
4. | Ketentuan Pasal 15 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. | |
(2) | Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut. | |
(3) | Kenaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. | |
(4) | Dihapus. | |
(5) | Tata cara penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
5. | Ketentuan Pasal 178 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D, harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. | |||||||
(1a) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. | |||||||
(2) | Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir. | |||||||
(3) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar. | |||||||
(4) | Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (la):
|
|||||||
(5) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan dalam hal pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan:
|
|||||||
(6) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |||||||
(7) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. |
6. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung sejak berakhirnya tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung sejak berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | |
(4) | Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi. |
7. | Pasal 27A dihapus. |
8. | Di antara Pasal 27A dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 27B sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. | |||||||||
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
|
|||||||||
(3) | Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak. | |||||||||
(4) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diberikan:
|
|||||||||
(5) | Tarif bunga per bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga. | |||||||||
(6) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali. | |||||||||
(7) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung:
|
|||||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian imbalan bunga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. |
9. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Setiap orang yang karena kealpaannya:
|
1. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
2. | Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemerintah Pusat mengendalikan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Setiap Orang dilarang mengimpor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
4. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Setiap Orang yang melakukan impor Komoditas Perikanan dan Komoditas Pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, waktu pemasukan, dan/atau standar mutu wajib yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dikenai sanksi administratif berupa:
|
|||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
5. | Ketentuan Pasal 74 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
2. | Ketentuan Pasal 87 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Desa dapat mendirikan BUM Desa. | |
(2) | BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelola dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. | |
(3) | BUM Desa dapat menjalankan usaha di bidang ekonomi dan/atau pelayanan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(4) | BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat membentuk unit usaha berbadan hukum sesuai dengan kebutuhan dan tujuan. | |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai BUM Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (6), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak Pelaku Usaha menerima pemberitahuan putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (4), Pelaku Usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada Komisi. | |
(2) | Pelaku Usaha dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Niaga selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut. | |
(3) | Pelaku Usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan Komisi. | |
(4) | Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dijalankan oleh Pelaku Usaha, Komisi menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk dilakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. | |
(5) | Putusan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan. |
2. | Ketentuan Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pengadilan Niaga harus memeriksa keberatan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya keberatan tersebut. | |
(2) | Pihak yang keberatan terhadap putusan Pengadilan Niaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam waktu 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia. | |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan di Pengadilan Niaga dan Mahkamah Agung Republik Indonesia dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
3. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Apabila tidak terdapat keberatan, putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3), telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. | |
(2) | Putusan Komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Niaga. |
4. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Komisi berwenang menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif terhadap Pelaku Usaha yang melanggar ketentuan Undang-Undang ini. | |||||||||||||||
(2) | Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
|||||||||||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, jenis, besaran denda, dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah. |
5. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
6. | Pasal 49 dihapus. |
a. | Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4297); dan |
b. | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 148, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6374). |
1. | Ketentuan judul BAB V diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
2. | Ketentuan Pasal 66 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemerintah Pusat dapat memberikan penugasan khusus kepada BUMN untuk menyelenggarakan fungsi kemanfaatan umum serta riset dan inovasi nasional. | |||||||||||||||
(2) | Penugasan khusus kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap memperhatikan maksud dan tujuan, kegiatan usaha BUMN, serta mempertimbangkan kemampuan BUMN. | |||||||||||||||
(3) | Rencana penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikaji bersama antara BUMN yang bersangkutan dengan Pemerintah Pusat. | |||||||||||||||
(4) | Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak fisibel, Pemerintah Pusat harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan. | |||||||||||||||
(5) | Penugasan kepada BUMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan RUPS atau Menteri. | |||||||||||||||
(6) | BUMN dalam melaksanakan penugasan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bekerja sama dengan:
|
(1) | Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi dibentuk badan riset dan inovasi nasional. | |
(2) | Untuk menjalankan Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan, serta Invensi dan Inovasi yang terintegrasi di daerah, Pemerintah Daerah membentuk badan. | |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai badan riset dan inovasi nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Presiden. |
a. | Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280); dan |
b. | Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068). |
1. | Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini. | |||||
(2) | Dalam hal rencana Pengadaan Tanah, terdapat Objek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/tanah adat, dan/atau tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, penyelesaian status tanahnya harus dilakukan sampai dengan penetapan lokasi. | |||||
(3) | Penyelesaian perubahan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan atau pinjam pakai kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. | |||||
(4) | Perubahan Objek Pengadaan Tanah yang masuk dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) khususnya untuk proyek prioritas Pemerintah Pusat dilakukan melalui mekanisme:
|
2. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) digunakan untuk pembangunan:
|
3. | Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Instansi yang memerlukan tanah membuat perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum dengan melibatkan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(2) | Perencanaan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas Rencana Tata Ruang Wilayah dan prioritas pembangunan yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah, Rencana Strategis, dan/atau Rencana Kerja Pemerintah/Instansi yang bersangkutan. |
4. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Konsultasi Publik rencana pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) dilaksanakan untuk mendapatkan kesepakatan lokasi rencana pembangunan dari:
|
|||||||
(2) | Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan Pihak yang Berhak, pengelola barang milik negara/barang milik daerah, pengguna barang milik negara/barang milik daerah, dan masyarakat yang terkena dampak serta dilaksanakan di tempat rencana pembangunan untuk Kepentingan Umum atau di tempat yang disepakati. | |||||||
(3) | Pelibatan Pihak yang Berhak, pengelola barang milik negara/barang milik daerah, dan pengguna barang milik negara/barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui perwakilan dengan surat kuasa dari dan oleh Pihak yang Berhak, pengelola barang milik negara/barang milik daerah, dan pengguna barang milik negara/barang milik daerah atas lokasi rencana pembangunan. | |||||||
(4) | Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk berita acara kesepakatan. | |||||||
(5) | Atas dasar kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Instansi yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada gubernur. | |||||||
(6) | Gubernur menetapkan lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya pengajuan permohonan penetapan oleh Instansi yang memerlukan tanah. | |||||||
(7) | Pihak yang Berhak, pengelola barang milik negara/barang milik daerah, dan pengguna barang milik negara/barang milik daerah yang tidak menghadiri Konsultasi Publik setelah diundang 3 (tiga) kali secara patut dianggap menyetujui rencana pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | |||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Konsultasi Publik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
5. | Di antara Pasal 19 dan Pasal 20 disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni Pasal 19A, Pasal 19B, dan Pasal 19C sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam rangka efisiensi dan efektivitas, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektare dapat dilakukan langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan Pihak yang Berhak. | |
(2) | Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kesesuaian tata ruang wilayah. |
Dalam hal Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya kurang dari 5 (lima) hektare dilakukan langsung antara Pihak yang Berhak dan Instansi yang memerlukan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19A ayat (1), penetapan lokasi dilakukan oleh bupati/wali kota.
|
Setelah penetapan lokasi Pengadaan Tanah dilakukan, tidak diperlukan lagi persyaratan:
|
6. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (6) atau Pasal 22 ayat (1) diberikan untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. | |
(2) | Permohonan perpanjangan waktu penetapan lokasi disampaikan paling singkat 6 (enam) bulan sebelum masa berlaku penetapan lokasi berakhir. |
7. | Ketentuan Pasal 28 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a meliputi kegiatan:
|
|||||
(2) | Inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. | |||||
(3) | Pengumpulan data Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan oleh penyurvei berlisensi. |
8. | Ketentuan Pasal 34 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Nilai Ganti Kerugian yang dinilai oleh Penilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 merupakan nilai pada saat pengumuman penetapan lokasi pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. | |
(2) | Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Lembaga Pertanahan disertai dengan berita acara. | |
(3) | Besarnya nilai Ganti Kerugian berdasarkan hasil penilaian Penilai sebagaimana dimaksud pada ayat | |
(4) | bersifat final dan mengikat. | |
(5) | Besarnya nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijadikan dasar untuk menetapkan bentuk Ganti Kerugian. |
9. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemberian Ganti Kerugian dapat diberikan dalam bentuk:
|
|||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian Ganti Kerugian dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, kepemilikan saham, atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
10. | Penjelasan Pasal 40 diubah sebagaimana tercantum dalam Penjelasan. |
11. | Ketentuan Pasal 42 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam hal Pihak yang Berhak menolak bentuk dan/atau besarnya Ganti Kerugian berdasarkan hasil musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, atau putusan pengadilan negeri/Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Ganti Kerugian dititipkan di pengadilan negeri setempat. | |||||||||||||
(2) | Penitipan Ganti Kerugian selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan juga terhadap:
|
|||||||||||||
(3) | Pengadilan negeri paling lama dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari wajib menerima penitipan Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
12. | Ketentuan Pasal 46 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pelepasan Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2) tidak diberikan Ganti Kerugian, kecuali:
|
|||||||
(2) | Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan dalam bentuk tanah dan/atau bangunan atau relokasi. | |||||||
(3) | Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. | |||||||
(4) | Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah kas desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat diberikan dalam bentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. | |||||||
(5) | Nilai Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) didasarkan atas hasil penilaian Ganti Kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2). | |||||||
(6) | Nilai Ganti Kerugian atas Objek Pengadaan Tanah berupa harta benda wakaf ditentukan sama dengan nilai hasil penilaian Penilai atas harta benda wakaf yang diganti. |
1. | Ketentuan Pasal 44 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan. | |||||||||
(2) | Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dialihfungsikan dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||||||
(3) | Pengalihfungsian Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk kepentingan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan dengan syarat:
|
|||||||||
(4) | Dalam hal terjadi bencana sehingga pengalihan fungsi lahan untuk infrastruktur tidak dapat ditunda, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b tidak diberlakukan. | |||||||||
(5) | Penyediaan Lahan pengganti terhadap Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dialihfungsikan untuk infrastruktur akibat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi dilakukan. | |||||||||
(6) | Pembebasan kepemilikan hak atas tanah yang dialihfungsikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan dengan pemberian ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
2. | Ketentuan Pasal 73 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemerintah Pusat membentuk badan bank tanah. |
(2) | Badan bank tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan khusus yang mengelola tanah. |
(3) | Kekayaan badan bank tanah merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. |
(4) | Badan bank tanah berfungsi melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. |
(1) | Badan bank tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk:
|
||||||||||||
(2) | Ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari tanah negara yang diperuntukkan badan bank tanah. |
a. | Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; |
b. | pendapatan sendiri; |
c. | penyertaan modal negara; dan |
d. | sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Tanah yang dikelola badan bank tanah diberikan hak pengelolaan. | ||||||||
(2) | Hak atas tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberi hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. | ||||||||
(3) | Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. | ||||||||
(4) | Dalam rangka mendukung investasi, pemegang hak pengelolaan badan bank tanah diberi kewenangan untuk:
|
||||||||
(5) | Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | Komite; |
b. | Dewan Pengawas; dan |
c. | Badan Pelaksana. |
(1) | Komite sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 huruf a diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan beranggotakan para menteri dan kepala yang terkait. |
(2) | Ketua dan anggota Komite ditetapkan dengan Keputusan Presiden berdasarkan usulan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan. |
(1) | Dewan Pengawas berjumlah paling banyak 7 (tujuh) orang terdiri atas 4 (empat) orang unsur profesional dan 3 (tiga) orang yang dipilih oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Terhadap calon unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan proses seleksi oleh Pemerintah Pusat yang selanjutnya disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk dipilih dan disetujui. |
(3) | Calon unsur profesional yang diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), paling sedikit berjumlah 2 (dua) kali jumlah yang dibutuhkan. |
(1) | Badan Pelaksana terdiri atas Kepala dan Deputi. |
(2) | Jumlah Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Ketua Komite. |
(3) | Kepala dan Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Komite. |
(4) | Pengangkatan dan pemberhentian Kepala dan Deputi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diusulkan oleh Dewan Pengawas. |
(1) | Sebagian kewenangan hak menguasai dari negara berupa tanah dapat diberikan hak pengelolaan kepada:
|
||||||||||||
(2) | Hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan kewenangan untuk:
|
||||||||||||
(3) | Pemberian hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas tanah negara dengan keputusan pemberian hak di atas tanah negara. | ||||||||||||
(4) | Hak pengelolaan dapat dilepaskan kepada pihak yang memenuhi syarat. |
(1) | Penyerahan pemanfaatan bagian tanah hak pengelolaan kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) huruf b dilakukan dengan perjanjian pemanfaatan tanah. |
(2) | Di atas tanah hak pengelolaan yang pemanfaatannya diserahkan kepada pihak ketiga baik sebagian atau seluruhnya, dapat diberikan hak guna usaha, hak guna bangunan, dan/atau hak pakai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Jangka waktu hak guna bangunan di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya. |
(4) | Pemerintah Pusat melakukan pengawasan dan pengendalian atas penggunaan dan/atau pemanfaatan tanah di atas hak pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Dalam hal hak atas tanah yang berada di atas hak pengelolaan telah berakhir, tanahnya kembali menjadi tanah hak pengelolaan. |
(1) | Dalam keadaan tertentu, Pemerintah Pusat dapat membatalkan dan/atau mencabut hak pengelolaan sebagian atau seluruhnya. |
(2) | Tata cara pembatalan hak pengelolaan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal bagian bidang tanah hak pengelolaan diberikan dengan hak milik, bagian bidang tanah hak pengelolaan tersebut hapus dengan sendirinya. |
(2) | Hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk keperluan rumah umum dan keperluan transmigrasi. |
(1) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat diberikan kepada:
|
||||||||||
(2) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat beralih atau dialihkan dan dijaminkan. | ||||||||||
(3) | Hak milik atas satuan rumah susun dapat dijaminkan dengan dibebani hak tanggungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Rumah susun dapat dibangun di atas tanah:
|
||||
(2) | Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sekaligus dengan perpanjangan haknya setelah mendapat sertifikat laik fungsi. | ||||
(3) | Pemberian hak guna bangunan bagi rumah susun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diberikan perpanjangan dan pembaruan hak apabila sudah mendapat sertifikat laik fungsi. |
(1) | Tanah atau ruang yang terbentuk pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah dan digunakan untuk kegiatan tertentu dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. |
(2) | Batas kepemilikan tanah pada ruang atas tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan koefisien dasar bangunan, koefisien lantai bangunan, dan rencana tata ruang yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Batas kepemilikan tanah pada ruang bawah tanah oleh pemegang hak atas tanah diberikan sesuai dengan batas kedalaman pemanfaatan yang diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah oleh pemegang hak yang berbeda dapat diberikan hak guna bangunan, hak pakai, atau hak pengelolaan. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan tanah pada ruang atas tanah dan/atau ruang bawah tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. |
a. | Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066); |
b. | Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775); dan |
c. | Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054). |
a. | kawasan ekonomi khusus; dan |
b. | kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
1. | Ketentuan Pasal I diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
2. | Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Kegiatan usaha di KEK terdiri atas:
|
|||||||||||||||||
(2) | Pelaksanaan kegiatan usaha pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e hanya dapat dilakukan berdasarkan persetujuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat. | |||||||||||||||||
(3) | Pelaksanaan kegiatan usaha kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | |||||||||||||||||
(4) | Kegiatan ekonomi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h ditetapkan oleh Dewan Nasional. | |||||||||||||||||
(5) | Di dalam KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. | |||||||||||||||||
(6) | Pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan zonasi di KEK. | |||||||||||||||||
(7) | Di dalam KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung kegiatan perusahaan yang berada di dalam KEK. |
3. | Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK memenuhi kriteria:
|
4. | Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh:
|
|||||||||||
(2) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
|||||||||||
(3) | Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas:
|
5. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) harus memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. | |||||||||||||||
(2) | Usulan pembentukan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi persyaratan minimal:
|
6. | Di antara Pasal 8 dan Pasal 9 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 8A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
7. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Setelah KEK ditetapkan:
|
8. | Pasal 11 dihapus. |
9. | Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK dapat bersumber dari:
|
|||||||||
(2) | Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK. |
10. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian. | |
(2) | Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk Sekretariat Jenderal Dewan Nasional. | |
(3) | Ketentuan mengenai Dewan Nasional dan Sekretariat Jenderal Dewan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
11. | Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dewan Nasional bertugas:
|
|||||||||||||||||
12. | Ketentuan Pasal 19 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dewan Kawasan dapat dibentuk sesuai dengan kebutuhan di tingkat provinsi yang sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK. | |
(2) | Dalam hal suatu KEK wilayahnya mencakup lebih dari 1 (satu) provinsi dapat dibentuk 1 (satu) Dewan Kawasan dengan melibatkan provinsi yang bersangkutan. | |
(3) | Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. | |
(4) | Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bertanggung jawab kepada Dewan Nasional. | |
(5) | Untuk membantu pelaksanaan tugas Dewan Kawasan, dibentuk Sekretariat Dewan Kawasan. |
13. | Pasal 20 dihapus. |
14. | Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dewan Kawasan bertugas:
|
15. | Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam melaksanakan tugas sslagaimana dimaksud dalam Pasal 21, Dewan Kawasan dapat:
|
|||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
16. | Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Administrator bertugas menyelenggarakan:
|
|||||||
(2) | Tugas Administrator sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | |||||||
(3) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Administrator menyampaikan laporan kepada Dewan Nasional dengan tembusan kepada Dewan Kawasan. |
17. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam melaksanakan pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf c, Administrator berwenang untuk mendapatkan laporan atau penjelasan dari Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha mengenai kegiatannya. |
18. | Di antara Pasal 24 dan Pasal 25 disisipkan 3 (tiga) pasaI, yakni Pasal 24A, Pasal 248, dan Pasal 24C sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pelaksanaan tugas Administrator dilakukan sesuai dengan tata kelola pemerintahan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(2) | Administrator dapat dijabat oleh aparatur sipil negara atau nonaparatur sipil negara yang memiliki kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan lain yang dipilih secara selektif sesuai dengan kriteria dan kualifikasi yang ditentukan oleh Dewan Nasional. |
(1) | Administrator dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum. | |
(2) | Penerapan pola pengelolaan keuangan Badan layanan Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
19. | Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dewan Nasional, Sekretariat Jenderal Dewan Nasional, Dewan Kawasan, Sekretariat Dewan Kawasan, dan Administrator memperoleh pembiayaan yang bersumber dari:
|
|||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sumber pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
20. | Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Badan Usaha yang melakukan pembangunan dan pengelolaan KEK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a bertugas:
|
|||||||
(2) | Penyelenggaraan promosi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan secara terpadu dengan promosi yang dilaksanakan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau Pemerintah Daerah terkait. |
21. | Ketentuan Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Di dalam KEK berlaku ketentuan larangan impor dan ekspor yang diatur berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(2) | Terhadap impor barang ke KEK belum diberlakukan ketentuan pembatasan. | |
(3) | Bagi barang yang membahayakan kesehatan, keselamatan, keamanan, dan/atau lingkungan dapat dikenai pembatasan apabila barang dimaksud bukan merupakan bahan baku bagi kegiatan usaha dan institusi teknis terkait secara khusus memberlakukan ketentuan pembatasan di KEK. | |
(4) | Pelaksanaan ketentuan mengenai impor dan ekspor dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional. | |
(5) | Pemerintah Pusat mengembangkan sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
22. | Ketentuan Pasal 30 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberi fasilitas pajak penghasilan. | |
(2) | Selain fasilitas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan tambahan fasilitas pajak penghasilan sesuai dengan jenis kegiatan usaha di KEK. | |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian fasilitas pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
23. | Pasal 31 dihapus. |
24. | Ketentuan Pasal 32 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Impor barang ke KEK diberikan fasilitas berupa:
|
|||||||||
(2) | penyerahan barang kena pajak berwujud dari tempat lain dalam daerah pabean, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, dan tempat penimbunan berikat ke KEK diberikan fasilitas tidak dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. | |||||||||
(3) | Pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud serta jasa kena pajak di KEK diberikan fasilitas tidak dipungut pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. | |||||||||
(4) | Penyerahan barang kena pajak tidak berwujud, barang kena pajak tidak berwujud, dan jasa kena pajak di KEK ke tempat lain dalam daerah pabean dikenai pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah kecuali ditujukan ke kawasan atau pihak yang mendapatkan fasilitas pajak pertambahan nilai atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah. | |||||||||
(5) | Ketentuan mengenai kriteria dan perincian barang kena pajak berwujud, barang kena pajak tidak berwujud, dan/atau jasa kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
25. | Di antara Pasal 32 dan Pasal 33 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 32A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Impor barang konsumsi ke KEK yang kegiatan utamanya bukan produksi dan pengolahan diberikan fasilitas:
|
|||||
(2) | Barang konsumsi asal impor yang dikeluarkan ke tempat lain dalam daerah pabean harus dilunasi bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor. |
26. | Di antara Pasal 33 dan Pasal 34 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 33A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Administrator dapat ditetapkan untuk melakukan kegiatan pelayanan kepabeanan mandiri berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. | |
(2) | Pengawasan dan pelayanan atas perpindahan barang di dalam KEK dilakukan secara manual dan/atau menggunakan teknologi informasi yang terhubung dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
27. | Ketentuan Pasal 35 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Wajib pajak yang melakukan usaha di KEK diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(2) | Insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengurangan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dan pengurangan pajak bumi dan bangunan. | |
(3) | Selain insentif pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah dapat memberikan fasilitas dan kemudahan lain. |
28. | Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | KEK diberikan kemudahan, percepatan, dan prosedur khusus dalam memperoleh hak atas tanah, pemberian perpanjangan, dan/atau pembaharuannya. | |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan setelah mendapat persetujuan dari Dewan Nasional. |
29. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | KEK diberi kemudahan dan keringanan di bidang Perizinan Berusaha, perizinan lainnya, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang asing, serta diberi fasilitas keamanan. | |
(2) | Ketentuan mengenai kemudahan dan keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
30. | Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 38A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Penetapan KEK yang menyelenggarakan kegiatan usaha yang terkait dengan perindustrian sekaligus sebagai penetapan kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai Perindustrian. |
31. | Ketentuan Pasal 40 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Selain pemberian fasilitas dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 32, Pasal 32A, Pasal 33, Pasal 33A, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 38A, dan Pasal 39, Badan Usaha dan Pelaku Usaha di KEK berdasarkan Undang-Undang ini, Pemerintah Pusat dapat memberikan fasilitas dan kemudahan lain. | |
(2) | Ketentuan mengenai bentuk fasilitas dan kemudahan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
32. | Ketentuan Pasal 41 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
33. | Ketentuan Pasal 43 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam KEK dapat dibentuk lembaga kerja sama tripartit khusus oleh gubernur. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga kerja sama tripartit khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
34. | Pasal 44 dihapus. |
35. | Pasal 45 dihapus. |
36. | Ketentuan Pasal 47 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh dibuat perjanjian kerja bersama antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. |
37. | Ketentuan Pasal 48 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, sebagian atau seluruh kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, yaitu Batam, Bintan, dan Karimun, yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Menjadi Undang-Undang Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775), sebelum atau sesudah jangka waktu yang ditetapkan berakhir, dapat ditetapkan menjadi KEK. | |
(2) | Penetapan sebagian atau seluruh kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam, Bintan, dan Karimun menjadi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan usulan dewan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas Batam, Bintan, dan Karimun. | |
(3) | Dalam hal kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak ditetapkan menjadi KEK, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas berakhir sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. | |
(4) | Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. | |
(5) | Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas yang tidak ditetapkan menjadi KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang lokasinya terpisah dari permukiman penduduk dapat diterapkan ketentuan lalu lintas barang dan/atau diberikan fasilitas dan kemudahan KEK. | |
(6) | Ketentuan mengenai pengusulan dan penetapan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan penerapan ketentuan lalu lintas barang dan/atau pemberian fasilitas dan kemudahan KEK sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 huruf b terdiri atas:
|
||||||
(2) | Kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
1. | Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di daerah yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
2. | Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan. | |
(2) | Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan ditetapkan oleh Dewan Kawasan. | |
(3) | Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan. | |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Badan Pengusahaan dan penetapan Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
3. | Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Untuk memperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan diberi wewenang mengeluarkan Perizinan Berusaha dan perizinan lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. | |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
4. | Ketentuan Pasal 11 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. | |
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah memenuhi Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan. | |
(3) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. | |
(4) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. | |
(5) | Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. | |
(6) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai. | |
(7) | Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberi pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. | |
(8) | Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan. |
(1) | Barang yang terkena ketentuan larangan dilarang dimasukkan ke Kawasan Sabang. | |
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat Perizinan Berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. | |
(3) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Sabang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. | |
(4) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberi pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, dan pembebasan pajak penjualan atas barang mewah. | |
(5) | Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) termasuk juga pembebasan cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. | |
(6) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Sabang ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai. | |
(7) | Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Sabang diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, dan pajak penjualan atas barang mewah. | |
(8) | Jumlah dan jenis barang yang diberi fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan Sabang. |
(1) | Investasi Pemerintah Pusat dilakukan dalam rangka meningkatkan investasi dan penguatan perekonomian untuk mendukung kebijakan strategis penciptaan kerja. | ||||||||||||
(2) | Maksud dan tujuan investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||
(3) | Investasi Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh:
|
||||||||||||
(4) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara selaku bendahara umum negara dan lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berwenang untuk:
|
(1) | Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf a, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara dapat menetapkan dan/atau menunjuk badan layanan umum, badan usaha milik negara, dan/atau badan hukum lainnya. |
(2) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara membentuk rekening investasi bendahara umum negara untuk menampung dana investasi Pemerintah Pusat. |
(3) | Dana yang ditampung dalam rekening investasi bendahara umum negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat digunakan kembali secara langsung untuk mendapatkan manfaat ekonomi, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya. |
(4) | Tata kelola investasi Pemerintah Pusat oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara selaku bendahara umum negara sepanjang tidak diatur secara khusus berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, Pemerintah Pusat membentuk Lembaga. |
(2) | Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan hukum Indonesia yang sepenuhnya dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. |
(3) | Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab kepada Presiden. |
(1) | Investasi Pemerintah Pusat yang dilakukan oleh Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf b dapat bersumber dari aset negara, aset badan usaha milik negara, dan/atau sumber lain yang sah. |
(2) | Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipindahtangankan menjadi aset Lembaga yang selanjutnya menjadi milik dan tanggung jawab Lembaga. |
(3) | Aset negara dan aset badan usaha milik negara yang dijadikan investasi Pemerintah Pusat pada Lembaga, dengan persetujuan Lembaga dapat dipindahtangankan secara langsung kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga. |
(4) | Pemindahtanganan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan dengan cara jual beli, dijadikan penyertaan modal, atau cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Aset negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun. |
(6) | Aset badan usaha milik negara yang dipindahtangankan menjadi aset Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau menjadi aset perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dalam sengketa, tidak sedang dilakukan sita pidana atau perdata, dan tidak terdapat kepemilikan atas hak istimewa pihak manapun kecuali disepakati oleh pemilik hak. |
(7) | Ketentuan mengenai pemindahtanganan aset badan usaha milik negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk Perusahaan Perseroan (Persero) atau ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang badan usaha milik negara untuk Perusahaan Umum (Perum). |
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemindahtanganan aset negara kepada Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau kepada perusahaan patungan yang dibentuk oleh Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Modal Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b berasal dari penyertaan modal negara dan/atau sumber lainnya. |
(2) | Setiap perubahan penyertaan modal negara pada Lembaga, baik berupa pengurangan maupun penambahan modal yang berasal dari sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(3) | Lembaga dapat melaksanakan investasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, melakukan kerja sama dengan pihak ketiga, atau melalui pembentukan entitas khusus yang berbentuk badan hukum Indonesia atau badan hukum asing. |
(4) | Keuntungan atau kerugian yang dialami Lembaga dalam melaksanakan investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan keuntungan atau kerugian Lembaga. |
(5) | Dalam hal Lembaga mengalami keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sebagian keuntungan ditetapkan sebagai laba bagian Pemerintah Pusat untuk disetorkan ke kas negara, setelah dilakukan pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal. |
(6) | Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yang menjadi kekayaan Lembaga dicatat dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pencadangan untuk menutup/menanggung risiko kerugian dalam berinvestasi dan/atau melakukan akumulasi modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Untuk meningkatkan nilai aset, Lembaga dapat melakukan pengelolaan aset melalui kerja sama dengan pihak ketiga. | ||||||||
(2) | Kerja sama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Lembaga melalui:
|
||||||||
(3) | Dalam hal kerja sama dilakukan melalui pembentukan perusahaan patungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, aset Lembaga dapat dipindahtangankan untuk dijadikan penyertaan modal dalam perusahaan patungan. | ||||||||
(4) | Penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(5) | Aset yang dijadikan penyertaan modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak boleh berada dalam keadaan:
|
||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengelolaan aset Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Aset Lembaga dapat berasal dari:
|
||||||||||
(2) | Aset Lembaga dapat dijaminkan dalam rangka penarikan pinjaman. | ||||||||||
(3) | Pihak manapun dilarang melakukan penyitaan aset Lembaga, kecuali atas aset yang telah dijaminkan dalam rangka pinjaman. | ||||||||||
(4) | Pengelolaan aset Lembaga sepenuhnya dilakukan oleh organ Lembaga berdasarkan prinsip tata kelola yang baik, akuntabel, dan transparan. |
(1) | Organ dan pegawai Lembaga bukan merupakan penyelenggara negara, kecuali yang berasal dari pejabat negara yang bersifat ex-officio. |
(2) | Lembaga menetapkan sistem kepegawaian, sistem penggajian, penghargaan, program pensiun dan tunjangan hari tua, serta penghasilan lainnya bagi pegawai Lembaga. |
(3) | Lembaga tidak dapat dipailitkan, kecuali dapat dibuktikan dalam kondisi insolven. |
a. | kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; |
b. | telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian sesuai dengan maksud dan tujuan investasi dan tata kelola; |
c. | tidak memiliki benturan kepentingan, baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengelolaan investasi; dan |
d. | tidak memperoleh keuntungan pribadi secara tidak sah. |
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola Lembaga diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(2) | Sepanjang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan keuangan negara, kekayaan negara, dan/atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi Lembaga. |
(1) | Dalam rangka pengelolaan investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (3) huruf b, untuk pertama kali berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dibentuk Lembaga Pengelola Investasi. | ||||
(2) | Pembentukan Lembaga Pengelola Investasi dimaksudkan untuk meningkatkan dan mengoptimalisasi nilai aset secara jangka panjang dalam rangka mendukung pembangunan secara berkelanjutan. | ||||
(3) | Organ Lembaga Pengelola Investasi terdiri atas:
|
(1) | Dewan pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf a terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Anggota dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Untuk memilih anggota dewan pengawas dari unsur profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Presiden membentuk panitia seleksi. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Panitia seleksi melakukan:
|
||||||||||||||||||||||
(5) | Penyampaian nama calon kepada Presiden dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak pembentukan panitia seleksi. | ||||||||||||||||||||||
(6) | Presiden menyampaikan nama calon untuk dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari panitia seleksi. | ||||||||||||||||||||||
(7) | Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia menyelenggarakan sesi konsultasi dengan Presiden paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak diterimanya daftar nama calon dari Presiden. | ||||||||||||||||||||||
(8) | Presiden menetapkan dan mengangkat anggota dewan pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) selesai dilaksanakan. | ||||||||||||||||||||||
(9) | Dalam hal sesi konsultasi tidak terlaksana sesuai jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Presiden menetapkan dan mengangkat anggota dewan pengawas dari unsur profesional dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (8). | ||||||||||||||||||||||
(10) | Ketentuan lebih lanjut mengenai seleksi anggota dewan pengawas dari unsur profesional diatur dalam Peraturan Pemerintah. | ||||||||||||||||||||||
(11) | Sesama anggota dewan pengawas dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota dewan pengawas dan/atau dengan anggota dewan direktur. | ||||||||||||||||||||||
(12) | Anggota dewan pengawas dari unsur profesional diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. | ||||||||||||||||||||||
(13) | Dalam rangka pengangkatan anggota dewan pengawas dari unsur profesional untuk pertama kali, Presiden menetapkan masa jabatan 3 (tiga) anggota dewan pengawas sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||
(14) | Dewan pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas melakukan pengawasan atas penyelenggaraan Lembaga Pengelola Investasi oleh dewan direktur. | ||||||||||||||||||||||
(15) | Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (14) dewan pengawas berwenang:
|
||||||||||||||||||||||
(16) | Untuk membantu dewan pengawas dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, dewan pengawas dapat membentuk komite. |
(1) | Dewan direktur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (3) huruf b berjumlah 5 (lima) orang dari unsur profesional. | ||||||||||||
(2) | Anggota dewan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh dewan pengawas. | ||||||||||||
(3) | Sesama anggota dewan direktur dilarang saling memiliki hubungan keluarga sampai derajat kedua atau besan dengan sesama anggota dewan direktur dan/atau dengan anggota dewan pengawas. | ||||||||||||
(4) | Anggota dewan direktur diangkat untuk masa jabatan 5 (lima) tahun dan hanya dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. | ||||||||||||
(5) | Dalam rangka pengangkatan anggota dewan direktur untuk pertama kali, dewan pengawas menetapkan masa jabatan 5 (lima) anggota dewan direktur sebagai berikut:
|
||||||||||||
(6) | Dewan direktur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas untuk menyelenggarakan pengurusan operasional Lembaga Pengelola Investasi. | ||||||||||||
(7) | Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dewan direktur berwenang:
|
||||||||||||
(8) | Dewan direktur dapat mendelegasikan tugas dan/atau wewenang pelaksanaan operasional Lembaga Pengelola Investasi kepada pegawai Lembaga Pengelola Investasi dan/atau pihak lain yang khusus ditunjuk untuk itu. | ||||||||||||
(9) | Pembidangan setiap anggota dewan direktur ditetapkan oleh dewan direktur. |
a. | warga negara Indonesia; |
b. | mampu melakukan perbuatan hukum; |
c. | sehat jasmani dan rohani; |
d. | berusia paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan pertama; |
e. | bukan pengurus dan/atau anggota partai politik; |
f. | memiliki pengalaman dan/atau keahlian di bidang investasi, ekonomi, keuangan, perbankan, hukum, dan/atau organisasi perusahaan; |
g. | tidak pernah dipidana penjara karena melakukan tindak pidana kejahatan; |
h. | tidak pernah dinyatakan pailit atau tidak pernah menjadi pengurus perusahaan yang menyebabkan perusahaan tersebut pailit; dan |
i. | tidak dinyatakan sebagai orang perseorangan yang tercela di bidang investasi dan bidang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal diperlukan, Lembaga Pengelola Investasi dapat membentuk dewan penasihat untuk memberikan saran dan bimbingan kepada Lembaga Pengelola Investasi dalam hal terkait investasi. |
(2) | Anggota dewan penasihat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh dewan pengawas. |
(1) | Modal awal Lembaga Pengelola Investasi dapat berupa:
|
||||||||
(2) | Modal awal Lembaga Pengelola Investasi ditetapkan paling sedikit Rp 15.000.000.000.000,00 (lima belas triliun rupiah) berupa dana tunai. | ||||||||
(3) | Dalam hal modal Lembaga Pengelola Investasi berkurang secara signifikan, Pemerintah dapat menambah kembali modal Lembaga Pengelola Investasi. | ||||||||
(4) | Penyertaan modal awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Lembaga Pengelola Investasi yang dibentuk dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja hanya dapat dibubarkan dengan Undang-Undang. |
(2) | Pembinaan Lembaga Pengelola Investasi dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Lembaga Pengelola Investasi diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Lembaga Pengelola Investasi dapat melakukan transaksi baik langsung maupun tidak langsung dengan entitas yang dimilikinya. |
(2) | Perlakuan perpajakan atas transaksi yang melibatkan Lembaga Pengelola Investasi dan/atau entitas yang dimilikinya, termasuk transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam menyediakan lahan dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah. |
(2) | Dalam hal pengadaan tanah belum dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh Badan Usaha. |
(3) | Pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan dengan mempertimbangkan prinsip kemampuan keuangan negara dan kesinambungan fiskal. |
(4) | Dalam hal pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Badan Usaha, mekanisme pengadaan tanah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengadaan tanah dan Perizinan Berusaha bagi proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
1. | Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
|
2. | Ketentuan Pasal 24 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat:
|
3. | Ketentuan Pasal 38 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pejabat dan/atau Badan Pemerintahan dapat membuat Keputusan Berbentuk Elektronis. | |
(2) | Keputusan Berbentuk Elektronis wajib dibuat atau disampaikan terhadap Keputusan yang diproses oleh sistem elektronik yang ditetapkan Pemerintah Pusat. | |
(3) | Keputusan Berbentuk Elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis dan berlaku sejak diterimanya Keputusan tersebut oleh pihak yang bersangkutan. | |
(4) | Dalam hal Keputusan dibuat dalam bentuk elektronis, tidak dibuat Keputusan dalam bentuk tertulis. |
4. | Judul bagian kelima dalam BAB VII diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
5. | Ketentuan Pasal 39 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pejabat Pemerintahan yang berwenang dapat menerbitkan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi dengan berpedoman pada AUPB dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||||
(2) | Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Izin apabila:
|
|||||||
(3) | Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Standar apabila:
|
|||||||
(4) | Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Dispensasi apabila:
|
|||||||
(5) | Keputusan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan berbentuk Konsesi apabila:
|
|||||||
(6) | Izin, Dispensasi, atau Konsesi yang diajukan oleh pemohon wajib diberikan persetujuan atau penolakan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan, kecuali ditentukan lain dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||||
(7) | Standar berlaku sejak pemohon menyatakan komitmen pemenuhan elemen Standar. | |||||||
(8) | Izin, Dispensasi, atau Konsesi tidak boleh menyebabkan kerugian negara. |
6. | Di antara Pasal 39 dan Pasal 40 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 39A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib melakukan pembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi. | |
(2) | Pembinaan dan pengawasan terhadap Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikerjasamakan dengan atau dilakukan oleh profesi yang memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan bidang pengawasan. | |
(3) | Ketentuan mengenai jenis, bentuk, dan mekanisme pembinaan dan pengawasan atas Izin, Standar, Dispensasi, dan/atau Konsesi yang dapat dilakukan oleh profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Presiden. |
7. | Ketentuan Pasal 53 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Batas waktu kewajiban untuk menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(2) | Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. | |
(3) | Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang. | |
(4) | Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum. | |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Presiden. |
1. | Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Pemerintah Pusat dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) berwenang untuk:
|
|||||
(2) | Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengacu atau mengadopsi praktik yang baik (good practices). | |||||
(3) | Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berbentuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat sebagai aturan pelaksanaan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan yang menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. | |||||
(4) | Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. | |||||
(5) | Kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibantu oleh kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian. | |||||
(6) | Pelaksanaan kewenangan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus dikoordinasikan dengan kementerian terkait. | |||||
(7) | Penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah mengenai pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren diundangkan. |
2. | Ketentuan Pasal 250 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 250
Perda dan Perkada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) dan ayat (3) dilarang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan.
|
3. | Ketentuan Pasal 251 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 251
Agar tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, asas materi muatan peraturan perundang-undangan, dan putusan pengadilan, penyusunan Perda dan Perkada berkoordinasi dengan kementerian yang membidangi urusan pemerintahan dalam negeri dan melibatkan ahli dan/atau instansi vertikal di daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
4. | Ketentuan Pasal 252 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Penyelenggara Pemerintahan Daerah provinsi atau kabupaten/kota yang masih memberlakukan Perda yang tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 dikenai sanksi. | |
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sanksi administratif. | |
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkan hak keuangan selama 3 (tiga) bulan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | |
(4) | Dihapus. |
5. | Ketentuan Pasal 260 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Daerah sesuai dengan kewenangannya menyusun rencana pembangunan Daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berlandaskan pada riset dan inovasi nasional yang berpedoman pada nilai-nilai Pancasila. | |
(2) | Rencana pembangunan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan, disinergikan, dan diharmonisasikan oleh Perangkat Daerah yang membidangi perencanaan pembangunan Daerah. |
6. | Di antara Pasal 292 dan Pasal 293 disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal 292A sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Dalam hal penyederhanaan perizinan dan pelaksanaan Perizinan Berusaha oleh Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini menyebabkan berkurangnya pendapatan asli Daerah, Pemerintah Pusat memberikan dukungan insentif anggaran. | |
(2) | Pemberian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
7. | Pasal 300 dihapus. |
8. | Ketentuan Pasal 349 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Daerah dapat melakukan penyederhanaan jenis dan prosedur pelayanan publik untuk meningkatkan mutu pelayanan dan daya saing Daerah dan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta kebijakan Pemerintah Pusat. | |
(2) | Penyederhanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Perda. | |
(3) | Pemerintah Daerah dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam penyelenggaraan pelayanan publik. |
9. | Ketentuan Pasal 350 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut: |
(1) | Kepala daerah wajib memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | |||||
(2) | Dalam memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Daerah membentuk unit pelayanan terpadu satu pintu. | |||||
(3) | Pembentukan unit pelayanan terpadu satu pintu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. | |||||
(4) | Pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik yang dikelola oleh Pemerintah Pusat. | |||||
(5) | Kepala daerah dapat mengembangkan sistem pendukung pelaksanaan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terintegrasi sesuai dengan standar yang ditetapkan Pemerintah Pusat. | |||||
(6) | Kepala daerah yang tidak memberikan pelayanan Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan penggunaan sistem Perizinan Berusaha secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang terintegrasi dikenai sanksi administratif. | |||||
(7) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) berupa teguran tertulis kepada gubernur oleh Menteri dan kepada bupati/wali kota oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk pelanggaran yang bersifat administratif. | |||||
(8) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor setelah berkoordinasi dengan Menteri. | |||||
(9) | Dalam hal teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) telah disampaikan 2 (dua) kali berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan oleh kepala daerah:
|
|||||
(10) | Pengambilalihan pemberian Perizinan Berusaha oleh menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi Perizinan Berusaha sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (9) huruf a dilakukan setelah berkoordinasi dengan Menteri. |
10. | Di antara Pasal 402 dan 403 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 402A sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 402A
Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah provinsi serta Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. |
(1) | Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap setiap pelaksanaan Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha. | ||||||||||||
(2) | Pelaksanaan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya. | ||||||||||||
(3) | Aparatur Sipil Negara dalam melaksanakan tugas pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bekerja sama dengan profesi bersertifikat sesuai dengan bidang pengawasan dan pembinaan yang dilakukan. | ||||||||||||
(4) | Dalam hal Aparatur Sipil Negara dan profesi bersertifikat dalam melaksanakan tugasnya menemukan pelanggaran terhadap ketentuan yang tertuang dalam setiap Perizinan Berusaha yang dilakukan oleh pemegang Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif kepada pemegang Perizinan Berusaha. | ||||||||||||
(5) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
||||||||||||
(6) | Kewenangan Pemerintah Pusat dalam melaksanakan pengawasan dan pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif lainnya dan tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pemerintah Pusat wajib melakukan pengawasan terhadap Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat yang melaksanakan tugas dan tanggung jawab pengawasan dan pembinaan. |
(2) | Aparatur Sipil Negara dan/atau profesi bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang tidak melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dan pembinaan terhadap pelaksanaan Perizinan Berusaha dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Kewenangan pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Hak, izin, atau konsesi atas tanah dan/atau kawasan yang dengan sengaja tidak diusahakan atau ditelantarkan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak diberikan, dicabut dan dikembalikan kepada negara. |
(2) | Dalam pelaksanaan pengembalian kepada negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat dapat menetapkan hak, izin, atanu konsesi tersebut sebagai aset bank tanah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pencabutan hak, izin, atau konsesi dan penetapannya sebagai aset bank tanah diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
(1) | Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, setiap peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang berlaku dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau bertentangan dengan putusan pengadilan harus dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi yang dikoordinasikan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Harmonisasi dan sinkronisasi yang berkaitan dengan peraturan daerah dan/atau peraturan kepala daerah, dilaksanakan oleh kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pembentukan peraturan perundang-undangan bersama dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai harmonisasi dan sinkronisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. |
Pada saat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini mulai berlaku:
|
a. | semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang yang telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini; dan |
b. | semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini. |
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 2022
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
JOKO WIDODO |
I. | UMUM Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan bahwa tujuan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, makmur, yang merata, baik materiel maupun spiritual. Sejalan dengan tujuan tersebut, Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, oleh karena itu negara perlu melakukan berbagai upaya atau tindakan untuk memenuhi hak-hak warga negara untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak. Pemenuhan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak pada prinsipnya merupakan salah satu aspek penting dalam pembangunan nasional yang dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya.
Pemerintah Pusat telah melakukan berbagai upaya untuk menciptakan dan memperluas lapangan kerja dalam rangka penurunan jumlah pengangguran dan menampung pekerja baru serta mendorong pengembangan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah dengan tujuan untuk meningkatkan perekonomian nasional yang akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski tingkat pengangguran terbuka terus turun, Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas karena:
Pemerintah Pusat telah berupaya untuk perluasan program jaminan dan bantuan sosial yang merupakan komitmen dalam rangka meningkatkan daya saing dan penguatan kualitas sumber daya manusia, serta untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Dengan demikian melalui dukungan jaminan dan bantuan sosial, total manfaat tidak hanya diterima oleh pekerja, namun juga dirasakan oleh keluarga pekerja:
Terhadap hal tersebut, Pemerintah Pusat perlu mengambil kebijakan strategis untuk menciptakan dan memperluas kerja melalui peningkatan investasi, mendorong pengembangan dan peningkatan kualitas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Untuk dapat meningkatkan penciptaan dan perluasan kerja, diperlukan pertumbuhan ekonomi stabil dan konsisten naik setiap tahunnya. Namun upaya tersebut dihadapkan dengan kondisi saat ini, terutama yang menyangkut terjadinya pelemahan pertumbuhan ekonomi yang bersamaan dengan kenaikan laju harga (yang dikenal dengan fenomena stagflasi). Pada laporan the World Economic Outlook (WEO) Oktober Tahun 2022, International Monetary Fund (IMF) memangkas perkiraan pertumbuhan globalnya menjadi 3,2% pada Tahun 2022 dari sebelumnya di angka 3,6% di WEO pada April Tahun 2022. Kondisi perekonomian dunia diproyeksikan akan memburuk di Tahun 2023, turun pada level 2,7%, jauh di bawah angka 4,9% yang dilaporkan WEO pada Oktober Tahun 2021. Revisi pertumbuhan paling tajam dilaporkan untuk perekonomian utama Eropa, perekonomian Amerika Serikat, dan perekonomian Republik Rakyat Tiongkok. Pertumbuhan Amerika Serikat diproyesikan akan turun pada level 1,0% di Tahun 2023, dari ekspektasi 1,6% di Tahun 2022 dan 5,7% di Tahun 2021. Ekonomi Zona Eropa yang tumbuh sebesar 5,2% di Tahun 2021 diprediksi akan turun pada level 3,1% Tahun 2022 dan 0,5% di Tahun 2023. Perekonomian Republik Rakyat Tiongkok diperkirakan tumbuh sekitar 3,2% di Tahun 2022 dan 4,4% di Tahun 2023, jauh di bawah 8,1% yang dilaporkan tahun lalu.
Yang terjadi di dunia saat ini, permasalahan supply chains atau mata rantai pasokan yang dalam berdampak pada keterbatasan suplai, terutama pada barang-barang pokok, seperti makanan dan energi. Keterbatasan pasokan yang jauh lebih parah dari pada turunnya permintaan berdampak pada kenaikan inflasi yang tidak pernah terjadi selama 40 tahun terakhir di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat dan Inggris. Ekonomi pasar yang disurvei Bloomberg pada pertengahan Tahun 2022 mengantisipasi laju inflasi dunia di atas 6% di Tahun 2022, jauh lebih tinggi dari pada angka di sekitar 2% berdasarkan survei Bloomberg di akhir Tahun 2021.
Perekonomian Indonesia akan terdampak akibat stagflasi global yang sudah terlihat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tadinya diproyeksikan IMF akan pada kisaran 6% pada Tahun 2022 (WEO, Oktober 2021) telah dipangkas turun cukup signifikan. Survei Bloomberg dan laporan IMF (WEO, Oktober 2022), Bank Dunia dan Asian Development Bank melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya pada kisaran 5,1% - 5,3% untuk Tahun 2022, dan turun pada level 4,8% di Tahun 2023. Pada saat bersamaan tekanan inflasi sudah mulai terlihat, di mana laju inflasi pada akhir Kuartal III Tahun 2022 sudah mencapai hampir 6% year-on-year, dibandingkan dengan level di kisaran 3% di Kuartal I Tahun 2022. Tingkat ketidakpastian (uncertainties) yang tinggi pada perekonomian dunia, terutama didorong oleh kondisi geopolitik, mendorong risiko pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih lemah dan inflasi yang lebih tinggi. Respon standar bauran kebijakan, khususnya antara kebijakan moneter dan fiskal, yang terus diperkuat semenjak awal pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) akan semakin dibutuhkan. Di era stagflasi, koordinasi kebijakan menjadi jauh lebih kompleks, di mana pemerintah harus menavigasi antara mendukung pertumbuhan ekonomi dan menahan inflasi
Di tengah kondisi global yang bergejolak dan keterbatasan ruang gerak dari kebijakan makro, penguatan fundamental ekonomi domestik untuk menjaga daya saing ekonomi domestik harus menjadi prioritas utama. Stabilitas kekuatan permintaan domestik, terutama konsumsi privat dan investasi di tengah meningkatnya tekanan harga dan terpuruknya pertumbuhan global, sangat bergantung pada kemampuan Indonesia untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik pasar domestik bagi investor. Di sini pelaksanaan reformasi struktural yang komprehensif yang dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja menjadi sangat penting dan urgen.
Untuk itu diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis Cipta Kerja yang memerlukan keterlibatan semua pihak yang terkait, dan terhadap hal tersebut perlu menyusun dan menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja dengan tujuan untuk menciptakan kerja yang seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia secara merata di seluruh wilayah Negara Republik Indonesia dalam rangka memenuhi hak atas penghidupan yang layak. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja mencakup yang terkait dengan:
Penciptaan lapangan kerja yang dilakukan melalui pengaturan terkait dengan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha paling sedikit memuat pengaturan mengenai penyederhanaan Perizinan Berusaha, persyaratan investasi, kemudahan berusaha, riset dan inovasi, pengadaan lahan, dan kawasan ekonomi.
Untuk mendukung pelaksanaan kebijakan strategis penciptaan kerja beserta pengaturannya, telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah menggunakan metode omnibus (omnibus law). Namun Undang-Undang tersebut telah dilakukan pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 telah menetapkan amar putusan, antara lain
Sebagai tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, telah dilakukan
Selain sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tersebut, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja juga melakukan perbaikan rumusan ketentuan umum Undang-Undang sektor yang diundangkan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.Dengan perbaikan rumusan ketentuan umum (batasan pengertian atau definisi, singkatan atau akronim, dan hal-hal yang bersifat umum) tersebut, maka ketentuan yang ada dalam Undang-Undang sektor yang tidak diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja harus dibaca dan dimaknai sama dengan yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja.
Sebagai tindak lanjut berikutnya, perlu menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja untuk melakukan perbaikan dan penggantian atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Ruang lingkup Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Cipta Kerja ini meliputi:
Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, kondisi tersebut di atas telah memenuhi parameter sebagai kegentingan yang memaksa dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang antara lain:
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dalam kegentingan yang memaksa, sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL |
Angka 4
Pasal 9
Ayat (1)
Penyelenggaraan Penataan Ruang oleh Pemerintah Pusat mencakup antara lain pengaturan, pembinaan, pengawasan Penataan Ruang lintas sektor, lintas Wilayah dan lintas pemangku kepentingan yang dapat dilakukan dengan pendekatan partisipatif melalui komite atau forum.
Ayat (2) Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Rencana rinci Tata Ruang merupakan penjabaran rencana umum Tata Ruang yang dapat berupa Rencana Tata Ruang Kawasan strategis yang penetapan kawasannya tercakup di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah.
Rencana rinci Tata Ruang merupakan operasionalisasi rencana umum Tata Ruang yang dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspirasi masyarakat sehingga muatan rencana masih dapat disempurnakan dengan tetap mematuhi batasan yang telah diatur dalam rencana rinci dan peraturan zonasi. Ayat (2)
Rencana umum Tata Ruang dibedakan menurut Wilayah administrasi pemerintahan karena kewenangan mengatur Pemanfaatan Ruang dibagi sesuai dengan pembagian administrasi pemerintahan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Secara administrasi pemerintahan, Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan Rencana Tata Ruang Wilayah kota memiliki kedudukan yang setara.
Ayat (3)
Huruf a
Rencana Tata Ruang pulau/kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Huruf b
Rencana detail Tata Ruang kabupaten/kota merupakan rencana rinci untuk Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten/kota yang dilengkapi dengan peraturan zonasi kabupaten/kota. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Efektivitas penerapan Rencana Tata Ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta dalam Rencana Tata Ruang. Perencanaan Tata Ruang yang mencakup Wilayah yang luas pada umumnya memiliki tingkat ketelitian atau kedalaman pengaturan dan skala peta yang tidak rinci. Oleh karena itu, dalam penerapannya masih diperlukan perencanaan yang lebih rinci. Apabila Perencanaan Tata Ruang yang mencakup Wilayah yang luasnya memungkinkan pengaturan dan penyediaan peta dengan tingkat ketelitian tinggi, rencana rinci tidak diperlukan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 14A
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam sistem Wilayah, pusat permukiman adalah Kawasan Perkotaan yang merupakan pusat kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik pada Kawasan Perkotaan maupun pada Kawasan Perdesaan. Dalam Sistem Internal Perkotaan, pusat permukiman adalah pusat pelayanan kegiatan perkotaan.
Sistem jaringan prasarana, antara lain, mencakup sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, sistem persampahan dan sanitasi, serta sistem jaringan sumber daya air. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Penetapan proporsi luas Kawasan hutan terhadap luas daerah aliran sungai dimaksudkan untuk menjaga keseimbangan tata air, karena sebagian besar Wilayah Indonesia mempunyai curah dan intensitas hujan yang tinggi, serta mempunyai konfigurasi daratan yang bergelombang, berbukit, dan bergunung yang peka akan gangguan keseimbangan tata air seperti banjir, erosi, sedimentasi, serta kekurangan air.
Distribusi luas Kawasan hutan disesuaikan dengan kondisi daerah aliran sungai yang, antara lain, meliputi morfologi, jenis batuan, serta bentuk pengaliran sungai dan anak sungai. Dengan demikian Kawasan hutan tidak harus terdistribusi secara merata pada setiap Wilayah administrasi yang ada di dalam daerah aliran sungai. Ayat (6)
Keterkaitan antarwilayah merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarwilayah, yaitu Wilayah nasional, Wilayah provinsi, dan Wilayah kabupaten/kota.
Keterkaitan antarfungsi Kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara Kawasan Lindung dan Kawasan Budi Daya. Keterkaitan antarkegiatan Kawasan merupakan wujud keterpaduan dan sinergi antarkawasan, antara lain, meliputi keterkaitan antara Kawasan Perkotaan dan Kawasan Perdesaan. Ayat (7)
Rencana Tata Ruang untuk fungsi pertahanan dan keamanan karena sifatnya yang khusus memerlukan pengaturan tersendiri. Sifat khusus tersebut terkait dengan adanya kebutuhan untuk menjaga kerahasiaan sebagian informasi untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.
Rencana Tata Ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem Rencana Tata Ruang Wilayah mengandung pengertian bahwa Penataan Ruang Kawasan pertahanan dan keamanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya keseluruhan Penataan Ruang Wilayah. Angka 10
Pasal 18
Ayat (1)
Persetujuan substansi dari Pemerintah Pusat dimaksudkan agar peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebijakan nasional, sedangkan rencana rinci Tata Ruang mengacu pada rencana umum Tata Ruang. Selain itu, persetujuan tersebut dimaksudkan pula untuk menjamin kesesuaian muatan peraturan daerah, baik dengan ketentuan peraturan perundang-undangan maupun dengan pedoman bidang penataan ruang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Tujuan Penataan Ruang Wilayah nasional mencerminkan keterpaduan pembangunan antarsektor, antarwilayah, dan antarpemangku kepentingan. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional merupakan landasan bagi pembangunan nasional yang memanfaatkan Ruang.
Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional dirumuskan dengan mempertimbangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, ketersediaan data dan informasi, serta pembiayaan pembangunan. Kebijakan dan strategi Penataan Ruang Wilayah nasional, antara lain, dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing nasional dalam menghadapi tantangan global, serta mewujudkan wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Huruf b
Sistem perkotaan nasional dibentuk dari Kawasan Perkotaan dengan skala pelayanan yang berhierarki yang meliputi pusat kegiatan skala nasional, pusat kegiatan skala Wilayah, dan pusat kegiatan skala lokal. Pusat kegiatan tersebut didukung dan dilengkapi dengan jaringan prasarana Wilayah yang tingkat pelayanannya disesuaikan dengan hierarki kegiatan dan kebutuhan pelayanan.
Sistem jaringan prasarana utama merupakan sistem primer yang dikembangkan untuk mengintegrasikan Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia selain untuk melayani kegiatan berskala nasional yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air. Yang termasuk dalam sistem jaringan primer yang direncanakan adalah jaringan transportasi untuk menyediakan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bagi lalu lintas damai sesuai dengan ketentuan hukum internasional. Huruf c
Pola Ruang Wilayah nasional merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang bersifat strategis nasional, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Kawasan Lindung nasional, antara lain, Kawasan Lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari satu Wilayah provinsi, Kawasan Lindung yang memberikan pelindungan terhadap Kawasan bawahannya yang terletak di Wilayah provinsi lain, Kawasan Lindung yang dimaksudkan untuk melindungi warisan kebudayaan nasional, Kawasan hulu daerah aliran sungai suatu bendungan atau waduk, dan Kawasan Lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Kawasan Lindung nasional adalah Kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam. Kawasan Budi Daya yang mempunyai nilai strategis nasional, antara lain Kawasan yang dikembangkan untuk mendukung fungsi pertahanan dan keamanan nasional, Kawasan industri strategis, Kawasan pertambangan sumber daya alam strategis, Kawasan Perkotaan, Kawasan Metropolitan, dan Kawasan Budi Daya lain yang menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Huruf d
Yang termasuk Kawasan Strategis Nasional adalah Kawasan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai Kawasan khusus.
Huruf e
Indikasi program utama merupakan petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan dalam rangka mewujudkan Pemanfaatan Ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program Pemanfaatan Ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan Penataan Ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama 5 (lima) tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun. Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional menjadi acuan bagi instansi pemerintah tingkat pusat dan daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan Ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang.
Ayat (3)
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang. Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berakhir, dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang baru, hak yang telah dimiliki Orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional tetap diakui. Ayat (4)
Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang.
Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
Ayat (5)
Peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam periode 5 (lima) tahun hanya apabila memenuhi syarat terjadinya perubahan lingkungan strategis. Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan Pemanfaatan Ruang.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi merupakan arahan pewujudan sistem perkotaan dalam Wilayah provinsi dan jaringan prasarana Wilayah provinsi yang dikembangkan untuk mengintegrasikan Wilayah provinsi selain untuk melayani kegiatan skala provinsi yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi digambarkan sistem perkotaan dalam Wilayah provinsi dan peletakan jaringan prasarana Wilayah yang menurut peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan Struktur Ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Rencana Struktur Ruang Wilayah provinsi memuat rencana Struktur Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Huruf c
Pola Ruang Wilayah provinsi merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah provinsi, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya, yang ditinjau dari berbagai sudut pandang akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mendukung pencapaian tujuan pembangunan provinsi apabila dikelola oleh Pemerintah Daerah provinsi dengan sepenuhnya memperhatikan Pola Ruang yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Kawasan Lindung provinsi adalah Kawasan Lindung yang secara ekologis merupakan satu ekosistem yang terletak lebih dari 1 (satu) Wilayah kabupaten/kota, Kawasan Lindung yang memberikan pelindungan terhadap Kawasan bawahannya yang terletak di Wilayah kabupaten/kota lain, dan Kawasan Lindung lain yang menurut peraturan perundang-undangan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan Budi Daya yang mempunyai nilai strategis provinsi merupakan Kawasan Budi Daya yang dipandang sangat penting bagi upaya pencapaian pembangunan provinsi dan/atau menurut peraturan perundang-undangan perizinan dan/atau pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah provinsi. Kawasan Budi Daya yang memiliki nilai strategis provinsi dapat berupa Kawasan permukiman, Kawasan kehutanan, Kawasan pertanian, Kawasan pertambangan, Kawasan perindustrian, dan Kawasan pariwisata. Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten memuat Rencana Pola Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.
Huruf d
Indikasi program utama adalah petunjuk yang memuat usulan program utama, perkiraan pendanaan beserta sumbernya, instansi pelaksana, dan waktu pelaksanaan, dalam rangka mewujudkan Pemanfaatan Ruang yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Indikasi program utama merupakan acuan utama dalam penyusunan program Pemanfaatan Ruang yang merupakan kunci dalam pencapaian tujuan Penataan Ruang, serta acuan sektor dalam menyusun rencana strategis beserta besaran investasi. Indikasi program utama 5 (lima) tahunan disusun untuk jangka waktu rencana 20 (dua puluh) tahun.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi menjadi acuan bagi instansi Pemerintah Daerah serta masyarakat untuk mengarahkan lokasi dan memanfaatkan Ruang dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang di daerah yang bersangkutan. Selain itu, rencana tersebut menjadi dasar dalam memberikan rekomendasi pengarahan Pemanfaatan Ruang.
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan rencana pembangunan jangka panjang provinsi serta rencana pembangunan jangka menengah provinsi merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu.
Ayat (3)
Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi disusun untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dengan visi yang lebih jauh ke depan yang merupakan matra spasial dari rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Apabila jangka waktu 20 (dua puluh) tahun Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi berakhir, maka dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang baru hak yang telah dimiliki Orang yang jangka waktunya melebihi jangka waktu Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi tetap diakui.
Ayat (4)
Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal, serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang.
Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
Ayat (5)
Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun dilakukan apabila dinamika internal provinsi yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang provinsi secara mendasar diakibatkan terjadinya perubahan lingkungan strategis yang antara lain dikarenakan adanya bencana alam, perubahan batas teritorial, perubahan batas Wilayah dan/atau perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis yang mempengaruhi Pemanfaatan Ruang provinsi dan/atau dinamika internal provinsi yang tidak mengubah kebijakan dan strategi Pemanfaatan Ruang Wilayah nasional.
Peninjauan kembali dilakukan bukan untuk pemutihan penyimpangan Pemanfaatan Ruang.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9)
Cukup jelas. Angka 14
Pasal 24
Dihapus.
Angka 15
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Daya dukung dan daya tampung Wilayah kabupaten diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang penyusunannya dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Struktur Ruang Wilayah kabupaten merupakan gambaran sistem perkotaan Wilayah kabupaten dan jaringan prasarana Wilayah kabupaten yang dikembangkan untuk mengintegrasikan Wilayah kabupaten selain untuk melayani kegiatan skala kabupaten yang meliputi sistem jaringan transportasi, sistem jaringan energi dan ketenagalistrikan, sistem jaringan telekomunikasi, dan sistem jaringan sumber daya air, termasuk seluruh daerah hulu bendungan/waduk dari daerah aliran sungai. Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten digambarkan sistem pusat kegiatan Wilayah kabupaten dan perletakan jaringan prasarana Wilayah yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan pengembangan dan pengelolaannya merupakan kewenangan Pemerintah Daerah kabupaten. Rencana Struktur Ruang Wilayah kabupaten memuat rencana Struktur Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang terkait dengan Wilayah kabupaten yang bersangkutan.
Huruf c
Pola Ruang Wilayah kabupaten merupakan gambaran Pemanfaatan Ruang Wilayah kabupaten, baik untuk pemanfaatan yang berfungsi lindung maupun budi daya yang belum ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi. Pola Ruang Wilayah kabupaten dikembangkan dengan sepenuhnya memperhatikan Pola Ruang Wilayah yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi. Rencana Pola Ruang Wilayah kabupaten memuat rencana Pola Ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah provinsi yang terkait dengan Wilayah kabupaten yang bersangkutan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk menetapkan lokasi kegiatan pembangunan dalam memanfaatkan Ruang serta dalam menyusun program pembangunan yang berkaitan dengan Pemanfaatan Ruang di daerah tersebut dan sekaligus menjadi dasar dalam pemberian rekomendasi pengarahan Pemanfaatan Ruang, sehingga Pemanfaatan Ruang dalam pelaksanaan pembangunan selalu sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten.
Rencana Tata Ruang Kawasan Perdesaan merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten yang dapat disusun sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan pertanian yang dapat berbentuk Kawasan Agropolitan.
Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan rencana pembangunan jangka panjang daerah merupakan kebijakan daerah yang saling mengacu. Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten mengacu pada rencana pembangunan jangka panjang kabupaten begitu juga sebaliknya. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten merupakan upaya untuk melihat kesesuaian antara Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten dan kebutuhan pembangunan yang memperhatikan perkembangan lingkungan strategis dan dinamika internal serta pelaksanaan Pemanfaatan Ruang. Hasil peninjauan kembali Rencana Tata Ruang Wilayah kabupaten berisi rekomendasi tindak lanjut sebagai berikut:
Ayat (6)
Peninjauan kembali dan revisi dalam waktu kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun dilakukan apabila strategi Pemanfaatan Ruang dan Struktur Ruang Wilayah kabupaten yang bersangkutan menuntut adanya suatu perubahan yang mendasar sebagai akibat dari adanya perubahan lingkungan strategis. Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Termasuk kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan Wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9)
Cukup jelas. Ayat (10)
Cukup jelas. Angka 17
Pasal 27
Dihapus.
Angka 18
Pasal 34A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rencana zonasi” adalah rencana pengelolaan Ruang laut yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 35
Pengendalian Pemanfaatan Ruang dimaksudkan agar Pemanfaatan Ruang dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang.
Angka 20
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 49
Dihapus.
Angka 23
Pasal 50
Dihapus.
Angka 24
Pasal 51
Dihapus.
Angka 25
Pasal 52
Dihapus.
Angka 26
Pasal 53
Dihapus.
Angka 27
Pasal 54
Dihapus.
Angka 28
Pasal 60
Huruf a
Setiap Orang dapat mengetahui Rencana Tata Ruang melalui Lembaran Negara atau Lembaran Daerah, pengumuman, dan/atau penyebarluasan oleh pemerintah.
Pengumuman atau penyebarluasan tersebut dapat diketahui setiap Orang, antara lain melalui pemasangan peta Rencana Tata Ruang Wilayah yang bersangkutan pada tempat umum, kantor kelurahan, dan/atau kantor yang secara fungsional menangani Rencana Tata Ruang tersebut.
Huruf b
Pertambahan nilai Ruang dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan yang dapat berupa dampak langsung terhadap peningkatan ekonomi masyarakat, sosial, budaya, dan kualitas lingkungan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penggantian yang layak” adalah bahwa nilai atau besarnya penggantian tidak menurunkan tingkat kesejahteraan Orang yang diberi penggantian sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 61
Huruf a
Menaati Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan dimaksudkan sebagai kewajiban setiap Orang untuk memiliki Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dari pejabat yang berwenang sebelum pelaksanaan Pemanfaatan Ruang.
Huruf b
Memanfaatkan Ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap Orang untuk melaksanakan Pemanfaatan Ruang sesuai dengan fungsi Ruang.
Huruf c
Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dimaksudkan sebagai kewajiban setiap Orang untuk memenuhi ketentuan amplop Ruang dan kualitas Ruang.
Huruf d
Pemberian akses dimaksudkan untuk menjamin agar masyarakat dapat mencapai Kawasan yang dinyatakan dalam peraturan perundang-undangan sebagai milik umum. Kewajiban memberikan akses dilakukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:
Angka 30
Pasal 62
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 72
Dihapus.
Angka 36
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 74
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 75
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7A
Cukup jelas.
Pasal 7B
Cukup jelas.
Pasal 7C
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8
Dihapus.
Angka 5
Pasal 9
Dihapus.
Angka 6
Pasal 10
Dihapus.
Angka 7
Pasal 11
Dihapus.
Angka 8
Pasal 12
Dihapus.
Angka 9
Pasal 13
Dihapus.
Angka 10
Pasal 14
Dihapus.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 16A
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 17
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 17A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kebijakan nasional yang bersifat strategis” antara lain proyek strategis nasional atau kegiatan strategis nasional lainnya yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memfasilitasi” dapat berupa kemudahan persyaratan dan pelayanan cepat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 22A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Termasuk dalam kebijakan nasional yang bersifat strategis antara lain pengembangan infrastruktur, pengembangan wilayah, dan pengembangan ekonomi.
Angka 21
Pasal 22B
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 22C
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 26A
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 26B
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 51
Cukup jelas
Angka 27
Pasal 60
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “wilayah penangkapan ikan secara tradisional” adalah wilayah penangkapan ikan untuk kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan tradisional.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 71A
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 73A
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 75
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 75A
Dihapus.
Angka 33
Pasal 78A
Penetapan melalui peraturan perundang-undangan adalah penetapan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 43
Ayat (1)
Perencanaan ruang Laut merupakan suatu proses untuk menghasilkan rencana tata ruang Laut dan/atau rencana zonasi untuk menentukan struktur ruang Laut dan pola ruang Laut. Struktur ruang Laut merupakan susunan pusat pertumbuhan Kelautan dan sistem jaringan prasarana dan sarana Laut yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional.
Pola ruang Laut meliputi kawasan pemanfaatan umum, kawasan konservasi, alur Laut, dan kawasan strategis nasional tertentu. Perencanaan ruang Laut dipergunakan untuk menentukan kawasan yang dipergunakan untuk kepentingan ekonomi, sosial budaya, misalnya, kegiatan perikanan, prasarana perhubungan Laut, industri maritim, pariwisata, permukiman, dan pertambangan; untuk melindungi kelestarian Sumber Daya Kelautan; serta untuk menentukan perairan yang dimanfaatkan untuk alur pelayaran, pipa/kabel bawah Laut, dan migrasi biota Laut.
Huruf a
Perencanaan tata ruang Laut nasional mencakup wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Rencana zonasi kawasan strategis nasional merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional. Rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu merupakan rencana yang disusun untuk menentukan arahan pemanfaatan ruang di kawasan strategis nasional tertentu. Yang dimaksud dengan “kawasan antarwilayah” antara lain:
Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 43A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Perencanaan ruang Laut menggunakan sifat komplementer antarhasil perencanaan ruang. Jika dalam dokumen perencanaan ruang yang lebih rinci tidak terdapat alokasi ruang atau pola ruang untuk suatu kegiatan pemanfaatan ruang Laut maka menggunakan rencana tata ruang atau rencana zonasi kawasan antarwilayah.
Angka 6
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 47A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 49A
Cukup jelas.
Pasal 49B
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12
Dihapus.
Angka 4
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pasang surut air laut” adalah naik turunnya posisi muka air laut yang disebabkan pengaruh gaya gravitasi bulan dan matahari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “garis pantai ditentukan dengan mengacu pada JKVN” adalah garis pantai dan JKVN membentuk suatu kesatuan, karena pengamatan pasang surut diperlukan dalam membangun JKVN dan JKVN diperlukan dalam menentukan garis pantai.
Angka 5
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bertahap” adalah diselenggarakan secara berjenjang, wilayah demi wilayah, skala demi skala, atau berselang waktu sesuai dengan prioritas kepentingan.
Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah diselenggarakan secara teratur sesuai dengan sistem dan teknis pemetaan. Yang dimaksud dengan “wilayah yurisdiksi” adalah wilayah di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jangka waktu tertentu” adalah jangka waktu untuk memutakhirkan IG yang ditentukan berdasarkan kondisi, teknologi, kebutuhan, prioritas, dan anggaran yang tersedia.
Yang dimaksud dengan “periodik” adalah kurun waktu tertentu, misalnya setiap 3 (tiga) tahun, 5 (lima) tahun, atau 10 (sepuluh) tahun.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 22A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “daerah terlarang” adalah daerah yang oleh instansi yang berwenang dinyatakan terlarang pada kurun waktu tertentu.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 9
Pasal 55
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 56
Dihapus.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas. Angka 2
Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “baku mutu air” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “baku mutu air Limbah” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media air.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “baku mutu air laut” adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “baku mutu udara ambien” adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang seharusnya ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “baku mutu emisi” adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “baku mutu gangguan” adalah ukuran batas unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “keputusan kelayakan Lingkungan Hidup” adalah keputusan yang menyatakan kelayakan Lingkungan Hidup dari suatu rencana usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Amdal.
Yang dimaksud dengan “persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah” adalah bentuk keputusan yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sebagai dasar pelaksanaan kegiatan yang dilakukan oleh instansi Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah. Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 25 Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Rencana pengelolaan dan pemantauan Lingkungan Hidup dimaksudkan untuk menghindari, meminimalkan, memitigasi, dan/atau mengompensasi dampak suatu usaha dan/atau kegiatan. Angka 5
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 27 Yang dimaksud dengan “pihak lain” antara lain lembaga penyusun Amdal atau konsultan.
Angka 7
Pasal 28
Cukup jelas
Angka 8
Pasal 29 Dihapus.
Angka 9
Pasal 30 Dihapus.
Angka 10
Pasal 31 Dihapus.
Angka 11
Pasal 32 Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 34 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pernyataan kesanggupan pengelolaan Lingkungan Hidup” adalah standar pengelolaan Lingkungan Hidup dan pemantauan Lingkungan Hidup dari penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah bagi usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 35 Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 36 Dihapus.
Angka 15
Pasal 37 Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 38 Dihapus.
Angka 17
Pasal 39 Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 40 Dihapus.
Angka 19
Pasal 55
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 59 Ayat (1)
Pengelolaan Limbah B3 merupakan rangkaian kegiatan yang mencakup pengurangan, penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, dan/atau pengolahan, termasuk penimbunan Limbah B3. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah badan usaha yang melakukan pengelolaan Limbah B3 dan telah mendapatkan Perizinan Berusaha.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 61 Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 61A
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 63 Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 69 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Kearifan Lokal” adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 (dua) hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Angka 25
Pasal 71 Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 72 Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 73 Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 76 Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 77 Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 79 Dihapus.
Angka 31
Pasal 82 Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 82A Cukup jelas.
Pasal 82B
Cukup jelas.
Pasal 82C
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 88 Yang dimaksud dengan “bertanggung jawab mutlak (strict liability)” adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan Pasal ini merupakan ketentuan khusus (lex specialis) dalam gugatan mengenai perbuatan melawan hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak Lingkungan Hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai “batas tertentu”.
Yang dimaksud dengan “batas tertentu” adalah jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana Lingkungan Hidup. Angka 34
Pasal 93
Dihapus.
Angka 35
Pasal 102 Dihapus.
Angka 36
Pasal 109 Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 110 Dihapus.
Angka 38
Pasal 111 Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “Bangunan Gedung adat” adalah Bangunan Gedung yang didirikan berdasarkan kaidah-kaidah adat atau tradisi Masyarakat sesuai budayanya, misalnya bangunan rumah adat. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 5
Pasal 8 Dihapus.
Angka 6
Pasal 9 Dihapus.
Angka 7
Pasal 10 Dihapus.
Angka 8
Pasal 11 Dihapus.
Angka 9
Pasal 12 Dihapus.
Angka 10 Pasal 13 Dihapus.
Angka 11
Pasal 14 Dihapus.
Angka 12
Pasal 15 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dampak penting” adalah perubahan yang sangat mendasar pada suatu lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Bangunan Gedung yang menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan adalah Bangunan Gedung yang dapat menyebabkan:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 13 Pasal 16 Dihapus.
Angka 14
Pasal 17 Dihapus.
Angka 15
Pasal 18 Dihapus
Angka 16
Pasal 19 Dihapus.
Angka 17
Pasal 20 Dihapus.
Angka 18
Pasal 21 Dihapus.
Angka 19
Pasal 22 Dihapus.
Angka 20
Pasal 23 Dihapus.
Angka 21
Pasal 24 Dihapus.
Angka 22
Pasal 25 Dihapus.
Angka 23
Pasal 26 Dihapus.
Angka 24
Pasal 27 Dihapus.
Angka 25
Pasal 28 Dihapus.
Angka 26
Pasal 29 Dihapus.
Angka 27
Pasal 30 Dihapus.
Angka 28
Pasal 31 Dihapus.
Angka 29
Pasal 32 Dihapus.
Angka 30
Pasal 33 Dihapus.
Angka 31
Pasal 34 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Ketentuan mengenai Penyedia Jasa Konstruksi mengikuti peraturan perundang-undangan mengenai jasa konstruksi. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 32
Pasal 35 Ayat (1)
Perencanaan pembangunan Bangunan Gedung adalah kegiatan penyusunan rencana teknis Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi dan persyaratan teknis yang ditetapkan, sebagai pedoman dalam pelaksanaan dan pengawasan pembangunan. Pelaksanaan pembangunan Bangunan Gedung adalah kegiatan pendirian, perbaikan, penambahan, perubahan, atau pemugaran konstruksi Bangunan Gedung dan/atau instalasi dan/atau perlengkapan Bangunan Gedung sesuai dengan rencana teknis yang telah disusun. Pengawasan pembangunan Bangunan Gedung adalah kegiatan pengawasan pelaksanaan konstruksi mulai dari penyiapan lapangan sampai dengan penyerahan hasil akhir pekerjaan atau kegiatan manajemen konstruksi Bangunan Gedung. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perjanjian tertulis” adalah akta otentik yang memuat ketentuan mengenai hak dan kewajiban setiap pihak, jangka waktu berlakunya perjanjian, dan ketentuan lain yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. Kesepakatan perjanjian sebagaimana dimaksud di atas harus memperhatikan fungsi Bangunan Gedung dan bentuk pemanfaatannya, baik keseluruhan maupun sebagian. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “penyedia jasa perencana konstruksi” antara lain arsitek, ahli struktur, ahli mechanical, ahli electrical, dan ahli plumbing. Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “pengujian” antara lain berupa hasil uji laboratorium, simulasi, dan/atau analisis. Ayat (7)
Cukup jelas. Ayat (8)
Prototipe telah menyesuaikan dengan kondisi geografis pada rencana lokasi Bangunan Gedung. Angka 33
Pasal 36 Dihapus.
Angka 34
Pasal 36A Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sistem elektronik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat” merupakan Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang diperuntukkan bagi Bangunan Gedung bukan untuk kegiatan usaha, dan pelayanan Perizinan Berusaha terintegrasi secara elektronik yang diperuntukkan bagi Bangunan Gedung untuk kegiatan usaha.
Pasal 36B
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pengujian” adalah pelaksanaan pengetesan instalasi mekanis dan elektrik Bangunan Gedung.
Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Angka 35
Pasal 37 Ayat (1)
Yang dimaksud “laik fungsi” yaitu berfungsinya seluruh atau sebagian dari Bangunan Gedung yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan, serta persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan Bangunan Gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 37A Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 39 Ayat (1)
Huruf a
Bangunan Gedung yang tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki akan membahayakan keselamatan Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung apabila Bangunan Gedung tersebut terus digunakan. Dalam hal Bangunan Gedung dinyatakan tidak laik fungsi tetapi masih dapat diperbaiki, Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung diberikan kesempatan untuk memperbaikinya sampai dengan dinyatakan laik fungsi.
Dalam hal Pemilik Bangunan Gedung tidak mampu, untuk rumah tinggal apabila tidak laik fungsi dan tidak dapat diperbaiki serta membahayakan keselamatan penghuni atau lingkungan, bangunan tersebut harus dikosongkan. Apabila bangunan tersebut membahayakan kepentingan umum, pelaksanaan pembongkarannya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah. Huruf b
Yang dimaksud “menimbulkan bahaya” adalah ketika dalam Pemanfaatan Bangunan Gedung dan/atau lingkungannya dapat membahayakan keselamatan Masyarakat dan lingkungan.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah menetapkan status Bangunan Gedung dapat dibongkar setelah mendapatkan hasil pengkajian teknis Bangunan Gedung yang dilaksanakan secara profesional, independen, dan objektif.
Ayat (3)
Dikecualikan bagi rumah tinggal tunggal, khususnya rumah inti tumbuh dan rumah sederhana sehat. Kedalaman dan keluasan tingkatan pengkajian teknis sangat bergantung pada kompleksitas dan fungsi Bangunan Gedung.
Ayat (4)
Rencana teknis Pembongkaran Bangunan Gedung termasuk gambar-gambar rencana, gambar detail, rencana kerja dan syarat-syarat pelaksanaan Pembongkaran, jadwal pelaksanaan, serta rencana pengamanan lingkungan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 40 Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 41 Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a
Tidak dibenarkan memanfaatkan Bangunan Gedung yang tidak sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pemeriksaan Berkala atas kelaikan fungsi Bangunan Gedung meliputi pemeriksaan terhadap pemenuhan persyaratan administratif dan teknis Bangunan Gedung sesuai dengan fungsinya, dengan tingkatan Pemeriksaan Berkala disesuaikan dengan jenis konstruksi, mekanikal dan elektrikal, serta kelengkapan Bangunan Gedung.
Pemeriksaan Berkala dilakukan pada periode tertentu, atau karena adanya perubahan fungsi Bangunan Gedung, atau karena adanya bencana yang berdampak penting pada keandalan Bangunan Gedung, seperti kebakaran dan gempa. Pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung dilakukan oleh Pengkaji Teknis yang kompeten dan memiliki sertifikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Huruf e
Perbaikan dilakukan terhadap seluruh, bagian, komponen, atau bahan Bangunan Gedung yang dinyatakan tidak laik fungsi dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengkaji Teknis, sampai dengan dinyatakan telah laik fungsi.
Huruf f
Selain Pemilik Bangunan Gedung, Pengguna Bangunan Gedung juga dapat diwajibkan membongkar Bangunan Gedung dalam hal yang bersangkutan terikat dalam perjanjian menggunakan bangunan yang tidak laik fungsi.
Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 40
Pasal 43 Ayat (1)
Pembinaan dilakukan dalam rangka tata pemerintahan yang baik melalui kegiatan pengaturan, pemberdayaan,, dan pengawasan sehingga setiap Penyelenggaraan Bangunan Gedung dapat berlangsung tertib dan tercapai keandalan Bangunan Gedung yang sesuai dengan fungsinya, serta terwujudnya kepastian hukum.
Pengaturan dilakukan dengan pelembagaan peraturan perundang-undangan, pedoman, petunjuk, dan standar teknis Bangunan Gedung sampai dengan di daerah dan operasionalisasinya di Masyarakat. Pemberdayaan dilakukan terhadap para penyelenggara Bangunan Gedung dan aparat Pemerintah Daerah untuk menumbuhkembangkan kesadaran akan hak, kewajiban, dan perannya dalam Penyelenggaraan Bangunan Gedung. Pengawasan dilakukan melalui pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan perundang-undangan di bidang Bangunan Gedung dan upaya penegakan hukum.
Ayat (2)
Masyarakat yang terkait dengan Bangunan Gedung seperti Masyarakat ahli, asosiasi profesi, asosiasi perusahaan, Masyarakat Pemilik Bangunan Gedung dan Pengguna Bangunan Gedung, dan aparat Pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 44 Pengenaan sanksi tidak berarti membebaskan Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung dari kewajibannya memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Yang dimaksud dengan “sanksi administratif’ adalah sanksi yang diberikan oleh Pemerintah kepada Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung tanpa melalui proses peradilan karena tidak terpenuhinya ketentuan Undang-Undang ini. Sanksi administratif meliputi beberapa jenis, yang pengenaannya bergantung pada tingkat kesalahan yang dilakukan oleh Pemilik Bangunan Gedung dan/atau Pengguna Bangunan Gedung. Angka 42
Pasal 45 Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 46 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nilai Bangunan Gedung” dalam ketentuan sanksi adalah nilai keseluruhan suatu bangunan pada saat sedang dibangun bagi yang sedang dalam proses pelaksanaan konstruksi, atau nilai keseluruhan suatu Bangunan Gedung yang ditetapkan pada saat sanksi dikenakan bagi Bangunan Gedung yang telah berdiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 47A Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1 Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6 Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “lembaga pendidikan, lembaga penelitian, dan/atau lembaga pengembangan” adalah lembaga Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau swasta.
Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 28 Cukup jelas. Angka 9
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kebijakan” antara lain kebijakan terkait penyelenggaraan profesi Arsitek.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pemberdayaan” antara lain berupa penetapan gelar profesi Arsitek (Ar.), penetapan standar pendidikan Arsitektur, dan penetapan standar Praktik Arsitek.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengawasan” antara lain pengendalian Praktik Arsitek. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 36
Dihapus.
Angka 12
Pasal 37
Dihapus.
Angka 13
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 39
Dihapus.
Angka 15
Pasal 40
Dihapus.
Angka 16
Pasal 41
Dihapus.
Pasal 26 Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Yang dimaksud dengan “sistem pemantauan Kapal Perikanan” adalah salah satu bentuk sistem pengawasan di bidang Penangkapan Ikan dengan menggunakan peralatan pemantauan Kapal Perikanan yang telah ditentukan, seperti sistem pemantauan Kapal Perikanan (vessel monitoring system/VMS).
Huruf l
Dalam usaha meningkatkan produktivitas suatu perairan dapat dilakukan penebaran Ikan jenis baru, yang kemungkinan menimbulkan efek negatif bagi kelestarian sumber daya Ikan setempat sehingga perlu dipertimbangkan agar penebaran Ikan jenis baru dapat beradaptasi dengan lingkungan sumber daya Ikan setempat dan/atau tidak merusak keaslian Sumber Daya Ikan. Huruf m
Yang dimaksud dengan “Penangkapan Ikan berbasis budi daya” adalah penangkapan Sumber Daya Ikan yang berkembang biak dari hasil penebaran kembali. Huruf n
Cukup jelas. Huruf o
Cukup jelas. Huruf p
Ada beberapa cara yang dapat ditempuh dalam melaksanakan rehabilitasi dan peningkatan Sumber Daya Ikan serta lingkungannya, antara lain, dengan penanaman atau reboisasi hutan bakau, pemasangan terumbu karang buatan, pembuatan tempat berlindung atau berkembang biak Ikan, peningkatan kesuburan perairan dengan jalan pemupukan atau penambahan jenis makanan, pembuatan saluran ruaya Ikan, atau pengerukan dasar perairan. Huruf q
Cukup jelas. Huruf r
Cukup jelas. Huruf s
Penetapan wabah dan wilayah wabah penyakit Ikan bertujuan agar masyarakat mengetahui bahwa dalam wilayah tersebut terjangkit wabah, dan ditetapkan langkah pencegahan terjadinya penyebaran wabah penyakit Ikan dari 1 (satu) wilayah ke wilayah lainnya. Huruf t
Cukup jelas. Huruf u
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 20A
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 25A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 27A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 28A
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 35
Ayat (1)
Dalam rangka pengendalian pemanfaatan Sumber Daya Ikan, penataan dan pengendalian terhadap pengadaan kapal baru dan/atau bekas perlu dikendalikan agar sesuai dengan daya dukung Sumber Daya Ikan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 35A
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 38
Ayat (1)
Kewajiban menyimpan alat penangkapan Ikan di dalam palka diberlakukan bagi setiap Kapal Perikanan berbendera asing yang melintasi perairan Indonesia, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), dan ZEEI.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 18
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Klasifikasi Pelabuhan Perikanan termasuk di antaranya Pelabuhan Perikanan samudera, Pelabuhan Perikanan nusantara, dan Pelabuhan Perikanan pantai.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Untuk mendukung dan menjamin kelancaran operasional Pelabuhan Perikanan, ditetapkan batas-batas wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan dalam koordinat geografis. Dalam hal wilayah kerja dan pengoperasian Pelabuhan Perikanan berbatasan dan/atau mempunyai kesamaan kepentingan dengan instansi lain, penetapan batasnya dilakukan melalui koordinasi dengan instansi yang bersangkutan. Huruf f
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bongkar muat Ikan” adalah termasuk juga pendaratan Ikan. Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 20
Pasal 42
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “syahbandar di Pelabuhan Perikanan” adalah syahbandar yang ditempatkan secara khusus di Pelabuhan Perikanan untuk pengurusan administratif dan menjalankan fungsi menjaga keselamatan pelayaran.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Yang dimaksud dengan "log book" adalah laporan harian nakhoda mengenai kegiatan Penangkapan Ikan atau pengangkutan ikan. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Cukup jelas. Huruf m
Cukup jelas. Huruf n
Cukup jelas. Huruf o
Cukup jelas. Huruf p
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Syahbandar yang akan diangkat pengusulannya terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Angka 21
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 45
Kapal Perikanan yang berlayar tidak dari Pelabuhan Perikanan termasuk dari pelabuhan yang dibangun pihak swasta hanya dimungkinkan apabila di tempat tersebut tidak ada Pelabuhan Perikanan.
Termasuk Kapal Perikanan yang berlayar tidak dari Pelabuhan Perikanan di antaranya kapal-kapal yang berlayar dari pelabuhan tangkahan, pelabuhan rakyat, dan pelabuhan lainnya dimana persetujuan berlayar diberikan setelah memenuhi standar laik operasi dari pengawas Perikanan. Ketentuan ini hanya dimungkinkan berlaku bagi Kapal Perikanan yang pada daerah tersebut memang tidak ada Pelabuhan Perikanan dan/atau pelabuhan umum, dan fasilitas lainnya. Dalam hubungan ini, maka persetujuan berlayar dimungkinkan untuk diterbitkan oleh syahbandar setempat. Angka 24
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 89
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 93
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 94
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 94A
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 95
Dihapus.
Angka 31
Pasal 96
Dihapus.
Angka 32
Pasal 97
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 98
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 100B
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 100C
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 101 Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 29 Angka 1
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 15 Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 31
Dihapus.
Angka 9
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 39
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 45
Dihapus.
Angka 15
Pasal 47
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Perusahaan Perkebunan sesuai dengan skala usaha yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan "kapasitas pabrik tertentu" adalah kapasitas minimal unit Pengolahan Hasil Perkebunan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 49
Dihapus.
Angka 18
Pasal 50
Dihapus.
Angka 19
Pasal 58
Ayat (1)
Kewajiban memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% (dua puluh persen) hanya ditujukan kepada Pekebun yang mendapatkan lahan untuk Perkebunan yang berasal dari areal penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/atau yang berasal dari areal lahan dari pelepasan hutan. Kewajiban tersebut timbul atas Lahan Perkebunan yang bersumber dari lahan negara.
Dalam hal perolehan Lahan Perkebunan dilakukan langsung kepada masyarakat yang diberikan hak guna usaha, maka Pekebun tersebut tidak diwajibkan untuk memberikan fasilitasi. Kewajiban fasilitasi Perkebunan masyarakat tersebut diintegrasikan dengan kewajiban lainnya yang timbul dalam perolehan Lahan Perkebunan, antara lain dalam hal lahan berasal dari kawasan hutan yang memberikan kewajiban untuk 20% (dua puluh persen) lahan kepada masyarakat dan telah dilaksanakan, maka kewajiban tersebut sudah selesai. Namun Pekebun tetap didorong memberikan fasilitasi kepada masyarakat yang bersifat sukarela agar masyarakat dapat mengembangkan pengelolaan kebunnya. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 67
Ayat (1)
Memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup di dalamnya termasuk mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha dari Pelaku Usaha Perkebunan. Dalam hal ini Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah provinsi, dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota wajib membina dan memfasilitasi pemeliharaan kelestarian fungsi lingkungan hidup tersebut, khususnya kepada Pekebun. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 22
Pasal 68
Dihapus.
Angka 23
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 74
Ayat (1)
Hasil Perkebunan tertentu yang berbahan baku impor antara lain gula tebu. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 25
Pasal 75
Cukup jelas
Angka 26
Pasal 93
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 95
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 96
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pembinaan teknis” adalah penerapan budi daya yang baik (good agricultural practices), penerapan pascapanen yang baik (good handling practices), dan penerapan pengolahan yang baik (good manufacturing practices), serta penerapan pengembangan Perkebunan berkelanjutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 103
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 105
Dihapus.
Angka 33
Pasal 106
Dihapus.
Angka 34
Pasal 109
Dihapus.
Angka 1
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai bentuk formulir permohonan dan tata cara pengisiannya, serta komponen dan besarnya biaya pemrosesan permohonan, contoh surat kuasa khusus, dan bentuk surat pernyataan aman untuk varietas transgenik.
Angka 2
Pasal 29
Ayat (1)
Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah berakhirnya pengumuman, Kantor PVT belum menerima permohonan pemeriksaan tersebut, maka permohonan PVT dianggap ditarik kembali.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 40
Ayat (1)
Hak PVT pada dasarnya dapat beralih dari, atau dialihkan oleh pemegang hak PVT kepada perorangan atau badan hukum lain.
Yang dimaksud dengan “sebab lain yang dibenarkan oleh undang-undang” misalnya pengalihan hak PVT melalui putusan pengadilan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai persyaratan pengalihan, formulir permohonan pengalihan dan dokumen kelengkapannya, serta komponen dan besarnya biaya pencatatan pengalihan hak PVT.
Angka 4
Pasal 43
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah mengenai perjanjian lisensi meliputi hak dan kewajiban pemberi dan penerima lisensi termasuk bagian-bagian dari pelaksanaan hak PVT yang dilisensikan, jangka waktu, serta bentuk perjanjian lisensi tersebut.
Angka 5
Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 44 Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 86
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "skala tertentu" adalah batasan atau persentase yang ditentukan oleh Pemerintah Pusat kepada Pelaku Usaha dalam melakukan Usaha Budi Daya Pertanian tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Pusat data dan informasi paling sedikit menyampaikan data dan informasi mengenai Varietas Tanaman, letak dan luas wilayah, kawasan, dan unit Usaha Budi Daya Pertanian, permintaan pasar, peluang dan tantangan pasar, perkiraan produksi, perkiraan harga, perkiraan pasokan, perkiraan musim tanam dan musim panen, prakiraan iklim, Organisme Pengganggu Tumbuhan serta hama dan penyakit hewan, ketersediaan Prasarana Budi Daya Pertanian, dan ketersediaan Sarana Budi Daya Pertanian.
Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Cukup jelas. Angka 8
Pasal 108
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 111
Dihapus.
Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 30
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kebutuhan konsumsi” adalah besarnya rata-rata tingkat konsumsi langsung ataupun tidak langsung perkapita (termasuk kebutuhan industri) dikalikan jumlah penduduk pada waktu tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 3
Pasal 101
Dihapus.
Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 35A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 48
Dihapus.
Angka 6
Pasal 49
Ayat (1)
Pendataan dilakukan dalam rangka pembinaan dan pemberdayaan. Ayat (2)
Cukup jelas. Angka 7
Pasal 51
Dihapus.
Angka 8
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “persyaratan teknis minimal” adalah batasan terendah dari spesifikasi teknis yang diterapkan agar Usaha Hortikultura terlaksana dengan baik, jika standar baku belum ditetapkan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “keamanan pangan Produk Hortikultura” adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan Produk Hortikultura dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 10
Pasal 56
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Kemitraan” adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha baik langsung maupun tidak langsung antara usaha mikro dan/atau usaha kecil dengan usaha menengah dan/atau usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan/atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling mempercayai, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “bentuk Kemitraan lainnya” seperti kontrak budi daya, bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing). Kontrak budi daya merupakan perjanjian jual beli dengan pemesanan pada awal penanaman. Kerja sama operasional meliputi kerja sama pembiayaan, penyediaan sarana produksi, teknis budi daya, manajemen, sampai dengan pemasaran.
Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 11
Pasal 57
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “introduksi dalam bentuk Benih atau materi induk” adalah pemasukan Benih atau materi induk dari luar negeri untuk pertama kali dan tidak diedarkan atau diperdagangkan, melainkan untuk keperluan pemuliaan tanaman.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “kelompok” adalah kumpulan pelaku usaha yang menyepakati suatu kegiatan, tanggung jawab atau penanganan risiko secara bersama berdasarkan kesamaan jenis usaha, kesamaan komoditas, dan/atau kesamaan ekosistem.
Ayat (5)
Cukup jelas. Angka 12
Pasal 63
Dihapus.
Angka 13
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 73
Cukup jelas
Angka 15
Pasal 88
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Ketentuan mengenai keamanan dan pelindungan terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, dan lingkungan mengacu pada perjanjian internasional Sanitary and Phitosanitary dari Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Penetapan “pintu masuk” bagi impor Produk Hortikultura dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terkait dengan masuknya OPT Karantina, keamanan hayati, spesies asing yang invasif, dan keamanan pangan. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 16
Pasal 90
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 100
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 101
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 122
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 126
Dihapus.
Angka 22
Pasal 128
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 131
Dihapus.
Angka 1
Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dipertahankan keberadaan dan kemanfaatannya secara berkelanjutan” adalah upaya yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk memasukkan Kawasan Penggembalaan Umum dalam program pembangunan daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kastrasi” adalah tindakan mencegah berfungsinya testis dengan jalan menghilangkannya atau menghambat fungsinya.
Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “penetapan lahan sebagai Kawasan Penggembalaan Umum” adalah upaya yang harus dilakukan oleh Pemerintah Daerah kabupaten/kota untuk menyediakan lahan penggembalaan umum, antara lain tanah pangonan, tanah titisara, atau tanah kas desa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “mutu genetik” adalah ekspresi keunggulan sifat individu.
Yang dimaksud dengan “keragaman genetik” adalah ekspresi keunggulan variasi genetik antarindividu. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “kekurangan Benih" adalah ketidakcukupan jumlah Benih (semen atau embrio) Ternak bukan asli atau lokal (eksotik) yang digunakan untuk kebutuhan pemuliaan dalam rangka meningkatkan produktivitas dan/atau mutu genetik.
Yang dimaksud dengan “kekurangan Bibit” adalah ketidakcukupan jumlah Bibit Ternak eksotik yang sebelumnya telah dikembangkan atau beradaptasi di Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu genetik Ternak eksotik. Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Ternak lokal” adalah hasil persilangan antara Ternak asli luar negeri dan Ternak asli Indonesia, yang telah dikembangbiakkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang teradaptasi pada lingkungan dan/atau manajemen setempat.
Ayat (2)
Ketentuan larangan terhadap pengeluaran Benih dan Bibit terbaik dimaksudkan untuk mempertahankan populasi dan mutu genetik Ternak asli dan lokal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cara pembuatan Pakan yang baik, misalnya dalam hal proses produksi, dan pembuatan Pakan harus menjamin Pakan tidak mengandung cemaran biologi, fisik, kimia di atas ambang batas maksimal yang diperbolehkan, serta memperhatikan dampak sosial akibat buangan bahan baku dan bahan ikutan yang digunakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Pakan yang tidak layak dikonsumsi” antara lain Pakan yang:
Huruf b
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah timbulnya penyakit sapi gila (bovine spongiform encephalopathy) atau scrapie pada domba/kambing.
Yang dimaksud dengan “ruminansia” adalah hewan yang memamah biak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “hormon tertentu” adalah hormon sintetik.
Yang dimaksud dengan “antibiotik” antara lain chloramphenicol dan tetracycline.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak tertentu” antara lain Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, lembaga kepabeanan, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan.
Yang dimaksud dengan “kepentingan khusus” antara lain kuda untuk kavaleri, anjing untuk hewan pelacak pelaku kriminal, dan kelinci untuk penelitian.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “tidak mengganggu ketertiban umum” antara lain kegiatan budi daya Ternak dilakukan dengan memperhatikan kaidah agama dan/atau kepercayaan serta sistem nilai yang dianut oleh masyarakat setempat serta ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 36B
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 36C
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 37
Yang dimaksud dengan "industri pengolahan Produk Hewan" adalah industri yang melakukan kegiatan penanganan dan pemrosesan hasil Hewan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah yang lebih tinggi, dengan memperhatikan aspek produk yang aman, sehat, utuh, dan halal bagi yang dipersyaratkan.
Angka 11
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “tidak memenuhi standar mutu”, antara lain kedaluwarsa dan/atau telah rusak atau mengalami perubahan fisik, kimiawi, dan biologik.
Ayat (3) Cukup jelas. Angka 12
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “nomor kontrol Veteriner” atau NKV adalah nomor registrasi unit usaha Produk Hewan sebagai bukti telah dipenuhinya persyaratan higiene dan sanitasi sebagai kelayakan dasar jaminan keamanan Produk Hewan. Bagi unit usaha Produk Hewan yang mengedarkan Produk Hewan segar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau memasukkan dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan/atau mengeluarkan ke luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib memiliki NKV.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 62
Ayat (1)
Kewajiban Pemerintah Daerah kabupaten/kota memiliki rumah potong Hewan dimaksudkan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan pangan asal Hewan yang aman, sehat, utuh, dan/atau halal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 69
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelayanan Kesehatan Hewan” adalah serangkaian tindakan yang diperlukan, antara lain untuk:
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa laboratorium Veteriner” adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pelayanan Kesehatan Hewan.
Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian Veteriner” adalah layanan jasa diagnostik dan/atau penelitian dan pengembangan dalam rangka pengendalian dan penanggulangan Penyakit Hewan atau Zoonosis, pelaksanaan Kesehatan Masyarakat Veteriner, dan/atau pengujian mutu obat, residu/cemaran, mutu Pakan, mutu Bibit/Benih, dan/atau mutu Produk Hewan. Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa Medik Veteriner” adalah layanan jasa yang berkaitan dengan kompetensi Dokter Hewan yang diberikan kepada masyarakat dalam rangka praktik kedokteran Hewan, seperti rumah sakit Hewan, klinik Hewan, klinik praktik bersama, klinik rehabilitasi reproduksi Hewan, ambulatori, praktik Dokter Hewan, dan praktik konsultasi kesehatan Hewan. Yang dimaksud dengan “pelayanan jasa di pusat Kesehatan Hewan (puskeswan)” adalah layanan jasa Medik Veteriner yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Pelayanan ini dapat bersifat rujukan dan/atau terintegrasi dengan laboratorium Veteriner dan/atau laboratorium pemeriksaan dan pengujian Veteriner. Ayat (2)
Kualifikasi Perizinan Berusaha antara lain:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 72
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 85
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 88
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Penunjukan Kawasan Hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan Kawasan Hutan yang dilakukan secara digital, antara lain berupa:
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 18
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penutupan Hutan” atau forest coverage adalah penutupan lahan oleh vegetasi dengan komposisi dan kerapatan tertentu, sehingga dapat tercipta fungsi Hutan antara lain iklim mikro, tata air, dan tempat hidup satwa sebagai satu ekosistem Hutan.
Yang dimaksud dengan “pengoptimalan manfaat” adalah kesinambungan antara manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekosistem secara lestari.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 19
Ayat (1)
Penelitian terpadu dilaksanakan untuk menjamin objektivitas dan kualitas hasil penelitian, maka kegiatan penelitian diselenggarakan oleh lembaga Pemerintah yang mempunyai kompetensi dan memiliki otoritas ilmiah (scientific authority) bersama-sama dengan pihak lain yang terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 26
Ayat (1)
Pemanfaatan kawasan pada Hutan Lindung adalah segala bentuk usaha yang menggunakan kawasan dengan tidak mengurangi fungsi utama kawasan, seperti:
Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan Lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti:
Pemungutan Hasil Hutan bukan kayu pada Hutan Lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil Hasil Hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti:
Usaha pemanfaatan dan pemungutan pada Hutan Lindung dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga dan meningkatkan fungsi lindung, sebagai amanah untuk mewujudkan keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 29A
Cukup jelas.
Pasal 29B
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 30
Kerja sama dengan koperasi masyarakat setempat dimaksudkan agar masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar Hutan merasakan dan mendapatkan manfaat Hutan secara langsung, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka, serta sekaligus dapat menumbuhkan rasa ikut memiliki. Dalam kerja sama tersebut kearifan tradisional dan nilai-nilai keutamaan yang terkandung dalam budaya masyarakat dan sudah mengakar, dapat dijadikan aturan yang disepakati bersama. Kewajiban badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta bekerja sama dengan koperasi bertujuan untuk memberdayakan koperasi masyarakat setempat agar secara bertahap dapat menjadi koperasi yang tangguh, mandiri, dan profesional. Koperasi masyarakat setempat yang telah menjadi koperasi tangguh, mandiri, dan profesional diperlakukan setara dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta. Dalam hal koperasi masyarakat setempat belum terbentuk, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta turut mendorong segera terbentuknya koperasi tersebut.
Angka 10
Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “aspek kelestarian Hutan” antara lain:
Yang dimaksud dengan “aspek kepastian usaha” antara lain:
Ayat (2)
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
Angka 11
Pasal 32
Khusus bagi pemegang Perizinan Berusaha berskala besar, kewajiban untuk menjaga, memelihara, dan melestarikan Hutan tempat usahanya, mencakup juga pengertian untuk memberdayakan masyarakat di dalam dan di sekitar Hutan tempat usahanya.
Angka 12
Pasal 33
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengolahan Hasil Hutan” adalah pengolahan hulu Hasil Hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 38 Ayat (1)
Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan Hutan Lindung dan Hutan Produksi ditetapkan secara selektif. Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan mengakibatkan hilangnya fungsi Hutan yang bersangkutan dilarang.
Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan adalah kegiatan untuk tujuan strategis yang tidak dapat dielakan, antara lain kegiatan pertambangan, pembangunan jaringan listrik, telepon, dan instalasi air, kepentingan religi, serta kepentingan pertahanan keamanan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Angka 15
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perlindungan Hutan” termasuk di dalamnya melindungi, menghormati, dan memenuhi hak masyarakat hukum adat yang berada di dalam maupun di luar Kawasan Hutan, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Hak masyarakat hukum adat diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kewajiban melindungi Hutan oleh pemegang Perizinan Berusaha meliputi pengamanan Hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia, ternak, dan kebakaran.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah memuat aturan antara lain:
Angka 16
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 50
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “orang” adalah subjek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha.
Yang dimaksud dengan “kerusakan Hutan” adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan Hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dimaksud dengan “pejabat yang berwenang” adalah pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan dalam pemberian Perizinan Berusaha. Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 50A
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 78
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 80
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah masyarakat setempat, masyarakat hukum adat, dan masyarakat umum. Masyarakat setempat merupakan masyarakat yang tinggal di dalam dan/atau sekitar hutan yang merupakan kesatuan komunitas sosial berdasarkan mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal, serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagaan. Masyarakat hukum adat adalah masyarakat tradisional yang masih terkait dalam bentuk paguyuban, memiliki kelembagaan dalam bentuk pranata dan perangkat hukum adat yang masih ditaati, dan masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya yang keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah. Masyarakat umum adalah masyarakat di luar masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Badan hukum adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, badan usaha milik swasta, dan koperasi.
Angka 3
Pasal 12
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan” adalah Perizinan Berusaha untuk memanfaatkan hutan dalam kawasan hutan produksi yang meliputi kegiatan berupa: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan Hasil Hutan kayu, pemanfaatan Hasil Hutan bukan kayu, pemungutan Hasil Hutan kayu, dan/atau pemungutan Hasil Hutan bukan kayu.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penebangan pohon dalam Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan Berusaha” adalah penebangan pohon yang dilakukan berdasarkan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan hutan yang diperoleh secara tidak sah. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Yang dimaksud dengan “memuat” adalah memasukkan ke dalam alat angkut. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Yang dimaksud dengan “alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon”, tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah alat seperti parang, mandau, golok atau alat sejenis lainnya yang dibawa oleh masyarakat setempat sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Cukup jelas. Huruf m
Cukup jelas. Angka 4
Pasal 12A
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 17A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "memindahtangankan" atau “menjual Perizinan Berusaha” adalah terbatas pada pengalihan Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan dari pemegang Perizinan Berusaha kepada pihak lain yang dilakukan melalui jual beli, tetapi tidak termasuk akuisisi.
Angka 9
Pasal 28
Huruf a Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “melindungi” adalah kegiatan yang dapat menghambat berlangsungnya proses penyidikan terhadap pelaku yang telah diketahui sebagai daftar pencarian orang (DPO), seperti menyembunyikan pelaku.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “membantu” adalah mereka yang dengan sengaja membantu dilakukannya kejahatan dan/atau yang dengan sengaja memberi kesempatan dan sarana untuk melakukan kejahatan pembalakan liar.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 53
Dihapus.
Angka 11
Pasal 54
Dihapus.
Angka 12
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan” adalah orang perseorangan yang bermukim di dalam dan/atau di sekitar kawasan hutan yang memiliki mata pencaharian yang bergantung pada kawasan hutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 83
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 84
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 85
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 93
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 96
Cukup jelas
Angka 19
Pasal 105
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 110A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memiliki Perizinan Berusaha” dalam ayat ini adalah setiap orang yang memiliki izin lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 110B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tanpa memiliki Perizinan Berusaha” dalam ayat ini adalah setiap orang yang melakukan kegiatan usaha tanpa perizinan di bidang kehutanan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Contoh penghitungan pembayaran denda administratif pada usaha perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan hutan, antara lain dilakukan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
Rumus perhitungan denda pada kegiatan perkebunan kelapa sawit sebagai berikut: Denda sama dengan luas perkebunan kelapa sawit dikalikan dengan jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (tahun) dikalikan dengan tarif denda dari persentase keuntungan pertahun (Rupiah). D = L x J x TD
Keterangan: L = Luas Perkebunan Kelapa Sawit dalam kawasan hutan (Hektare) J = Jangka waktu kegiatan perkebunan berada dalam kawasan hutan (Tahun) TD = Tarif Denda dari persentase keuntungan per tahun (Rupiah). Contoh Asumsi Perhitungan Denda (D) yang digunakan adalah:
Huruf c
Untuk memberikan efek eksekutorial sanksi administratif pada ayat (1) Huruf a dan Huruf b, perlu diatur sanksi paksaan oleh Pemerintah Pusat termasuk pemberlakuan paksa badan (gizelling) bagi orang yang tidak melaksanakan sanksi administratif.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 111
Dihapus.
Angka 22
Pasal 112
Dihapus.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 128A
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 162
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Berdasarkan jiwa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Minyak dan Gas Bumi sebagai sumber daya alam strategis yang terkandung di dalam bumi Wilayah Hukum Pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai negara. Penguasaan oleh negara sebagaimana dimaksud di atas adalah agar kekayaan nasional tersebut dimanfaatkan bagi sebesar-besar kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 23A
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 55
Dalam ketentuan ini yang dimaksudkan dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan masyarakat banyak dan negara seperti antara lain kegiatan pengoplosan Bahan Bakar Minyak, penyimpangan alokasi Bahan Bakar Minyak, Pengangkutan dan Penjualan Bahan Bakar Minyak ke luar negeri.
Angka 1
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 6
Huruf a
Pembuatan kebijakan nasional, antara lain berupa:
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Pendorongan dilakukan dalam rangka untuk meningkatkan nilai tambah produksi kegiatan penyelenggaraan Panas Bumi. Angka 4
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 12
Dihapus.
Angka 8
Pasal 13
Dihapus.
Angka 9
Pasal 14
Dihapus.
Angka 10
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 25
Dihapus.
Angka 14
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "menghalangi atau merintangi pengusahaan Panas Bumi" adalah segala bentuk tindakan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang dapat menimbulkan kerugian secara materiil.
Angka 21
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 59
Cukup jelas Angka 27
Pasal 60
Dihapus.
Angka 28
Pasal 67
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 72
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 74
Dihapus.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1) Mengingat Tenaga Listrik merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan strategis dalam kehidupan nasional, Usaha Penyediaan Tenaga Listrik dikuasai oleh negara yang dalam penyelenggaraannya ditujukan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Ayat (1)
Badan usaha milik negara dalam ketentuan ini adalah yang berusaha di bidang penyediaan Tenaga Listrik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 7
Ayat (1) Yang dimaksud dengan ’’kebijakan energi nasional” adalah kebijakan energi nasional sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Energi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pemberian prioritas kepada badan usaha milik negara merupakan perwujudan penguasaan negara terhadap penyediaan Tenaga Listrik. Badan usaha milik negara adalah badan usaha yang semata-mata berusaha di bidang penyediaan Tenaga Listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kepentingan sendiri” adalah penyediaan Tenaga Listrik untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperjualbelikan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”lembaga/badan usaha lainnya” adalah perwakilan lembaga asing atau badan usaha asing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 20
Dihapus.
Angka 13
Pasal 21
Dalam penetapan Perizinan Berusaha, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memperhatikan kemampuan dalam penyediaan Tenaga Listrik pemegang Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik yang memiliki Wilayah Usaha setempat.
Perizinan Berusaha penyediaan Tenaga Listrik memuat, antara lain, nama dan alamat badan usaha, jenis usaha yang diberikan, kewajiban dalam penyelenggaraan usaha, syarat teknis, dan ketentuan sanksi. Angka 14
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 28
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Penggunaan produk dan potensi luar negeri dapat digunakan apabila produk dan potensi dalam negeri tidak tersedia.
Angka 20
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ’’instalasi Tenaga Listrik milik Konsumen” adalah instalasi Tenaga Listrik setelah alat pengukur atau alat pembatas penggunaan Tenaga Listrik.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ganti Rugi Hak Atas Tanah termasuk untuk sisa tanah yang tidak dapat digunakan oleh pemegang hak sebagai akibat dari penggunaan sebagian tanahnya oleh pemegang izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik.
Yang dimaksud dengan ’’secara langsung” adalah penggunaan tanah untuk pembangunan instalasi Tenaga Listrik, antara lain, pembangkitan, gardu induk, dan tapak menara transmisi. Ayat (3)
Secara tidak langsung dalam ketentuan ini antara lain penggunaan tanah untuk lintasan jalur transmisi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 33
Ayat (1)
Pengertian harga jual Tenaga Listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penjualan Tenaga Listrik dari pembangkit Tenaga Listrik.
Pengertian harga sewa jaringan Tenaga Listrik meliputi semua biaya yang berkaitan dengan penyewaan jaringan transmisi dan/atau distribusi Tenaga Listrik. Ayat (2)
Dalam memberikan persetujuan harga jual Tenaga Listrik dan sewa jaringan Tenaga Listrik, Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah memperhatikan kesepakatan di antara badan usaha.
Angka 24
Pasal 34
Ayat (1)
Tarif Tenaga Listrik untuk Konsumen meliputi semua biaya yang berkaitan dengan pemakaian Tenaga Listrik oleh Konsumen, antara lain, biaya beban (Rp/kVA) dan biaya pemakaian (Rp/kWh), biaya pemakaian daya reaktif (Rp/kVArh), dan/atau biaya kVA maksimum yang dibayar berdasarkan harga langganan (Rp/bulan) sesuai dengan batasan daya yang dipakai atau bentuk lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 51A
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 52
Dihapus.
Angka 35
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 43 Angka 1
Pasal 2A
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “badan pengawas” adalah lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 9A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Kewajiban mengalihkan kepada negara atau badan usaha milik negara tidak berlaku bagi orang perseorangan atau badan usaha yang sudah memiliki izin sebelum Undang-Undang ini berlaku.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10
Dihapus.
Angka 6
Pasal 14
Ayat (1)
Pengawasan ini perlu dilakukan mengingat bahwa Tenaga Nuklir itu selain bermanfaat juga mempunyai bahaya radiasi.
Pengawasan ini dimaksudkan agar bahaya itu tidak terjadi. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “peraturan” yaitu bahwa pemerintah dalam melakukan pengawasan mengeluarkan peraturan di bidang keselamatan nuklir agar tujuan pengawasan tercapai.
Yang dimaksud dengan “perizinan” yaitu bahwa pemerintah mengeluarkan instrumen perizinan untuk mengendalikan kegiatan Pemanfaatan Tenaga Nuklir. Yang dimaksud dengan “inspeksi” yaitu kegiatan pemeriksaan baik secara berkala maupun sewaktu-waktu untuk mengetahui kesesuaian Pemanfaatan Tenaga Nuklir dengan peraturan yang ditetapkan. Angka 7
Pasal 17
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “hal tertentu” adalah Pemanfaatan zat, alat, atau benda yang pancaran radiasi dan aktivitasnya lebih kecil daripada pancaran radiasi dan aktivitas yang seharusnya memiliki Perizinan Berusaha, antara lain, alat navigasi, jam, kaos lampu petromaks, dan pendeteksi asap.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pembangunan” adalah termasuk penentuan tapak dan konstruksi Instalasi Nuklir.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 18
Dihapus.
Angka 9
Pasal 20
Ayat (1)
Inspeksi dilakukan dalam rangka pengawasan terhadap ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan nuklir.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penentuan tempat penyimpanan lestari Limbah Radioaktif tingkat tinggi perlu ditetapkan oleh Pemerintah Pusat karena menyangkut perubahan suatu daerah yang semula dapat dimanfaatkan menjadi suatu daerah yang sama sekali tidak dapat dimanfaatkan untuk kepentingan lain. Limbah Radioaktif yang berasal dari luar negeri tidak diizinkan disimpan di wilayah hukum Republik Indonesia.
Angka 11
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 44 Angka 1
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 48A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 57
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “seluruh rangkaian” adalah kegiatan pengawasan di pabrik dan koordinasi pengawasan di pasar dengan kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Usaha patungan antara Pemerintah Pusat dan swasta melalui kepemilikan modal mayoritas oleh Pemerintah Pusat.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pembatasan kepemilikan” adalah tidak diperbolehkannya penanaman modal asing.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Penetapan jumlah produksi, distribusi, dan harga produk dilakukan dalam rangka memelihara kemantapan stabilitas ekonomi nasional serta ketahanan nasional.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 101
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 102
Dihapus.
Angka 10
Pasal 104
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 105
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 105A
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 106
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri” adalah Industri baru atau yang melakukan perluasan pada lokasi yang berbeda.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 108
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 115
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pengawasan dilakukan antara lain melalui audit, inspeksi, pengamatan intensif (surveillance), atau pemantauan (monitoring).
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas. Pasal 46 Angka 1 Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “label berbahasa Indonesia” adalah setiap keterangan mengenai Barang yang berbentuk tulisan berbahasa Indonesia, kombinasi gambar dan tulisan berbahasa Indonesia, atau bentuk lain yang memuat informasi tentang Barang dan keterangan Pelaku Usaha, serta informasi lainnya yang disertakan pada Barang, dimasukkan ke dalam, ditempelkan/melekat pada Barang, tercetak pada Barang, dan/atau merupakan bagian kemasan Barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Ayat (1)
Pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan pembinaan yang setara dan berkeadilan terhadap Pasar rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan dimaksudkan untuk menyederhanakan dan kepastian proses Perizinan Berusaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha. Penyederhanaan juga mencakup pengintegrasian dengan persyaratan lain yang diperlukan dan dilakukan menggunakan sistem elektronik.
Yang dimaksud dengan “pemasok” adalah Pelaku Usaha yang secara teratur memasok Barang kepada pengecer dengan tujuan untuk dijual kembali melalui kerja sama usaha. Yang dimaksud dengan “pengecer” adalah perseorangan atau badan usaha yang kegiatan pokoknya melakukan penjualan secara langsung kepada konsumen akhir. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tata ruang” adalah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 45
Ayat (1)
Permohonan Impor Barang diajukan langsung kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan, dan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat diberikan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Perdagangan setelah ada rekomendasi dari kementerian lain jika diperlukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “dalam hal tertentu” adalah dalam hal barang yang dibutuhkan oleh Pelaku Usaha berupa Barang modal bukan baru yang belum dapat dipenuhi dari sumber dalam negeri sehingga perlu diimpor dalam rangka proses produksi industri untuk tujuan pengembangan Ekspor, peningkatan daya saing, efisiensi usaha, investasi dan relokasi industri, pembangunan infrastruktur, dan/atau diekspor kembali.
Selain itu, dalam hal terjadi bencana alam dibutuhkan Barang atau peralatan dalam kondisi tidak baru dalam rangka pemulihan dan pembangunan kembali sebagai akibat bencana alam serta Barang bukan baru untuk keperluan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 49
Dihapus.
Angka 17
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 57
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 61
Cukup jelas
Angka 23
Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 65
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 74
Ayat (1) Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pemangku kepentingan” adalah perguruan tinggi, dunia usaha, asosiasi usaha, dan/atau pemangku kepentingan lainnya.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 77
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 77A
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 81
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 98
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 100
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 102
Cukup jelas.
Angka 33
Pasal 104
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 106
Cukup jelas.
Angka 35
Pasal 109
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 47 Angka 1
Pasal 13
Huruf a
Jenis-jenis Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telepon, alat pengukur kelembaban (moisture tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan Tera Ulang.
Huruf b Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 17
Ayat (1)
Karena penggunaan Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah Pusat yang bertanggung jawab di bidang metrologi, maka pembuatan alat-alat tersebut wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat supaya mudah diawasi dan dibina, sehingga alat-alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan misalnya memperbaiki timbangan wajib memenuhi Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat, supaya mudah diawasi dan dibina.
Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan memperbaiki timbangan dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian dalam bidang itu dan dengan rasa penuh bertanggung jawab, sehingga para pemilik timbangan tidak akan terperdaya oleh orang-orang yang mengaku sebagai reparatir timbangan padahal tidak mempunyai keahlian dalam pekerjaan tersebut dan hanya semata-mata mencari keuntungan untuk dirinya saja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 18
Perizinan Berusaha diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya Alat Ukur, Alat Takar, Alat Timbang, dan Alat Perlengkapan yang tidak memenuhi persyaratan, sebab jika ini terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan Undang-Undang ini.
Angka 4
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 4A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 7
Ayat (1)
Huruf a
Kementerian dan/atau lembaga terkait antara lain kementerian dan/atau lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, perdagangan, kesehatan, pertanian, standardisasi dan akreditasi, koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, serta pengawasan obat dan makanan.
Huruf b
LPH bersifat mandiri.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga keagamaan Islam berbadan hukum” di antaranya organisasi kemasyarakatan Islam berbadan hukum dan yayasan Islam yang mengelola perguruan tinggi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 33A
Cukup jelas.
Pasal 33B Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “ulama” adalah ahli agama tentang syariat kehalalan produk yang berasal dari organisasi kemasyarakatan keagamaan Islam berbadan hukum.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 35A
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 50
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pengawasan kehalalan Produk termasuk pengawasan perubahan Bahan dan/atau PPH.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 52A
Cukup jelas.
Pasal 52B
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pengawasan Produk Halal yang beredar antara lain pengawasan terhadap perubahan Bahan dan/atau PPH, pencantuman Label Halal atau keterangan tidak halal, serta penyajian antara Produk Halal dan tidak halal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 55
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 63A
Cukup jelas.
Pasal 63B
Cukup jelas.
Pasal 63C
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 50 Angka 1
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian kemudahan Perizinan Berusaha bagi Badan Hukum yang mengajukan rencana pembangunan Perumahan untuk MBR dimaksudkan untuk mendorong iklim berusaha bagi Badan Hukum di bidang Perumahan dan Permukiman sekaligus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan Perumahan bagi MBR.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 42
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian pendahuluan jual beli” adalah kesepakatan melakukan jual beli Rumah yang masih dalam proses pembangunan antara calon pembeli Rumah dengan penyedia Rumah yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “hal yang diperjanjikan” adalah kondisi Rumah yang dibangun dan dijual kepada konsumen, yang dipasarkan melalui media promosi, meliputi lokasi Rumah, kondisi tanah/kaveling, bentuk Rumah, spesifikasi bangunan, harga Rumah, Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum Perumahan, fasilitas lain, waktu serah terima Rumah, serta penyelesaian sengketa.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keterbangunan Perumahan” adalah persentase telah terbangunnya Rumah dari seluruh jumlah unit Rumah serta ketersediaan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum dalam suatu Perumahan yang direncanakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 53
Ayat (1)
Pengendalian Perumahan dimaksudkan untuk menjaga dan meningkatkan kualitas Perumahan agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya, sekaligus mencegah terjadinya penurunan kualitas dan terjadinya pemanfaatan yang tidak sesuai.
Ayat (2)
Huruf a
Perizinan Berusaha diberikan kepada Pelaku Usaha, sedangkan persetujuan diberikan kepada non Pelaku Usaha.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penertiban” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui tindakan penegakan hukum bagi Perumahan yang dalam pembangunan dan pemanfaatannya tidak sesuai dengan rencana atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “penataan” adalah cara pengendalian yang dilakukan melalui perbaikan dalam penyelenggaraan agar sesuai dengan tujuan penyelenggaraan Perumahan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pelaksanaan ketentuan ini hanya berlaku dalam kondisi normal, namun tidak berlaku dalam kondisi kahar, antara lain seperti: bencana alam, huru-hara, perang, dan pandemi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 107
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 109
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 114
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 117A
Cukup jelas.
Pasal 117B
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 134
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 150
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 151
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 153
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persyaratan administratif’ adalah perizinan yang diperlukan sebagai syarat untuk melakukan pembangunan Rumah Susun.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “persyaratan teknis” adalah persyaratan yang berkaitan dengan struktur bangunan, keamanan dan keselamatan bangunan, kesehatan lingkungan, kenyamanan, dan lain-lain yang berhubungan dengan rancang bangun, termasuk kelengkapan prasarana dan fasilitas lingkungan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “persyaratan ekologis” adalah persyaratan yang memenuhi analisis dampak lingkungan dalam hal pembangunan Rumah Susun.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 30
Dihapus.
Angka 7
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 33
Dihapus.
Angka 10
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “laik fungsi” adalah berfungsinya seluruh atau sebagian bangunan Rumah Susun yang dapat menjamin dipenuhinya persyaratan tata bangunan dan keandalan bangunan Rumah Susun sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.
Yang dimaksud dengan “sebagian pembangunan Rumah Susun” adalah satu bangunan Rumah Susun atau lebih dari seluruh rencana bangunan Rumah Susun dalam satuan lingkungan. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lingkungan Rumah Susun” adalah sebidang tanah dengan batas-batas yang jelas yang di atasnya dibangun Rumah Susun, termasuk prasarana, sarana, dan utilitas umum yang secara keseluruhan merupakan kesatuan tempat permukiman.
Yang dimaksud dengan “prasarana” adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian Rumah Susun yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan tempat tinggal yang layak, sehat, aman, dan nyaman meliputi jaringan jalan, drainase, sanitasi, air bersih, dan tempat sampah. Yang dimaksud dengan “sarana” adalah fasilitas dalam lingkungan hunian Rumah Susun yang berfungsi untuk mendukung penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi meliputi sarana sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, peribadatan, dan perniagaan) dan sarana umum (ruang terbuka hijau, tempat rekreasi, sarana olahraga, tempat pemakaman umum, sarana pemerintahan, dan lain-lain) . Yang dimaksud dengan “utilitas umum” adalah kelengkapan penunjang untuk pelayanan lingkungan hunian Rumah Susun yang mencakup jaringan listrik, jaringan telepon, dan jaringan gas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 56
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemeliharaan” adalah kegiatan menjaga keandalan bangunan gedung beserta prasarana dan sarananya agar selalu laik fungsi.
Yang dimaksud dengan “perawatan” adalah kegiatan memperbaiki dan/atau mengganti bagian bangunan gedung, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan sarana agar bangunan gedung tetap laik fungsi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 67
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 72
Dihapus.
Angka 17
Pasal 73
Dihapus.
Angka 18
Pasal 107
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 108
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 110
Dihapus.
Angka 21
Pasal 112
Dihapus.
Angka 22
Pasal 113
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 114
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 117
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "rantai pasok Jasa Konstruksi" adalah alur kegiatan produksi dan distribusi material, peralatan, dan teknologi yang digunakan dalam pelaksanaan Jasa Konstruksi.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Pelatihan tenaga kerja konstruksi strategis dan percontohan antara lain pemberian pelatihan bagi penerapan teknologi, metode, dan standar kompetensi baru.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Standar remunerasi minimal ditetapkan dengan mempertimbangkan kompleksitas dari jenis layanan profesional, biaya, risiko, dan teknologi dari penyelenggaraan Jasa Konstruksi yang terkait dengan hasil layanan profesional, dan/atau harga pasar yang berlaku di provinsi tempat diselenggarakannya Jasa Konstruksi.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Teknologi prioritas meliputi:
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 20
Ayat (1)
Kualifikasi usaha menentukan batasan kemampuan suatu usaha Jasa Konstruksi dalam melaksanakan Jasa Konstruksi pada saat yang bersamaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 30
Cukup jelas. Angka 13
Pasal 31
Dihapus.
Angka 14
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 36
Dihapus.
Angka 18
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggaraan usaha Jasa Konstruksi yang dikerjakan sendiri merupakan kegiatan yang pekerjaannya direncanakan, dikerjakan, dan/atau diawasi sendiri oleh pemerintah sebagai penanggung jawab anggaran, dan/atau kelompok masyarakat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 42
Dihapus.
Angka 20
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 57
Dihapus.
Angka 22
Pasal 58
Dihapus.
Angka 23
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 72
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “tanda daftar pengalaman profesional” adalah dokumen yang memuat dan menjelaskan pengalaman tenaga kerja konstruksi yang telah didaftarkan secara resmi kepada pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 74
Dihapus.
Angka 27
Pasal 84
Ayat (1)
Penyelenggaraan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat antara lain registrasi badan usaha Jasa Konstruksi, akreditasi bagi asosiasi perusahaan Jasa Konstruksi dan asosiasi terkait rantai pasok Jasa Konstruksi, registrasi pengalaman badan usaha, registrasi penilai ahli, menetapkan penilai ahli yang teregistrasi dalam hal terjadi Kegagalan Bangunan, akreditasi bagi asosiasi profesi dan lisensi bagi lembaga sertifikasi profesi, registrasi tenaga kerja, registrasi pengalaman profesional tenaga kerja serta lembaga pendidikan dan pelatihan kerja di bidang konstruksi, penyetaraan tenaga kerja asing, dan/atau membentuk lembaga sertifikasi profesi untuk melaksanakan tugas Sertifikasi Kompetensi Kerja yang belum dapat dilakukan lembaga sertifikasi profesi yang dibentuk oleh asosiasi profesi/lembaga pendidikan dan pelatihan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “lembaga" adalah lembaga pengembangan Jasa Konstruksi.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Asosiasi terkait rantai pasok konstruksi antara lain asosiasi terkait material dan peralatan konstruksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Pengaturan pembentukan lembaga antara lain tata cara pemilihan pengurus, masa bakti, tugas pokok dan fungsi, mekanisme kerja lembaga.
Angka 28
Pasal 89
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 92
Dihapus.
Angka 30
Pasal 96
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 101
Dihapus.
Angka 33
Pasal 102
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 8
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 40A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengalihan alur sungai” adalah kegiatan mengalihkan alur sungai dengan cara membuat alur sungai baru yang mengakibatkan alur sungai yang dialihkan tidak berfungsi secara permanen.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 43
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 44
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 70
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 75A
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 55 Angka 1
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 38
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “fasilitas utama” adalah jalur keberangkatan, jalur kedatangan, ruang tunggu penumpang, tempat naik turun penumpang, tempat parkir kendaraan, papan informasi, kantor pengendali terminal, dan loket.
Yang dimaksud dengan “fasilitas penunjang” antara lain adalah fasilitas untuk penyandang disabilitas, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja Terminal” adalah lingkungan yang berkaitan langsung dengan fasilitas Terminal dan dibatasi dengan pagar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Angka 5
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Parkir untuk umum” adalah tempat untuk memarkir kendaraan dengan dipungut biaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan swasta termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “mempunyai kualitas tertentu” adalah bengkel umum yang mampu melakukan jenis pekerjaan Perawatan Berkala, perbaikan kecil, perbaikan besar, serta perbaikan sasis dan bodi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 78
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 99
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur" adalah pembangunan baru, perubahan penggunaan lahan, perubahan intensitas tata guna lahan dan/atau perluasan lantai bangunan dan/atau perubahan intensitas penggunaan, perubahan kerapatan guna lahan tertentu, penggunaan lahan tertentu, antara lain Terminal, Parkir untuk umum di luar Ruang Milik Jalan, tempat pengisian bahan bakar minyak, dan fasilitas umum lain. Analisis dampak Lalu Lintas dalam implementasinya dapat diintegrasikan dengan analisis mengenai dampak lingkungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 100
Dihapus.
Angka 13
Pasal 101
Dihapus.
Angka 14
Pasal 126
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 162
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 165
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “angkutan multimoda” adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari 1 (satu) tempat penerimaan barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lokasi tertentu” adalah tempat pengawasan angkutan barang yang dilakukan secara efektif dan efisien.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 173
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 174
Dihapus.
Angka 20
Pasal 175
Dihapus.
Angka 21
Pasal 176
Dihapus.
Angka 22
Pasal 177
Dihapus.
Angka 23
Pasal 178
Dihapus.
Angka 24
Pasal 179
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 180
Dihapus.
Angka 26
Pasal 185
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “trayek atau lintas tertentu” adalah trayek angkutan penumpang umum orang yang secara finansial belum menguntungkan, termasuk trayek angkutan perintis.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 199
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 220
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “badan hukum” adalah badan (perkumpulan dan sebagainya) yang dalam hukum diakui sebagai subjek hukum yang dapat dilekatkan hak dan kewajiban hukum, seperti perseroan, yayasan, dan lembaga.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 29
Pasal 222
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 302
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 305
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 308
Dihapus.
Angka 1
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24A
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 32A
Cukup je1as.
Angka 6
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 33A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 77
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 80A
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 82
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 107
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 112
Cukup jelas
Angka 13
Pasal 116A
Cukup jelas.
Pasal 116B
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 135
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 168
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 185A
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 188
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 190
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 191
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 195
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 196
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 203
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 204
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 57 Angka 1
Pasal 5
Ayat (1) Yang dimaksud dengan “dikuasai oleh negara” yaitu bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan Pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “intramoda” meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat.
Yang dimaksud dengan “antarmoda” adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara. Intra dan antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan transportasi nasional. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Trayek tetap dan teratur (liner)” adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.
Yang dimaksud dengan “Trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper)” adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “jaringan Trayek” adalah kumpulan dari Trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang dari satu Pelabuhan ke Pelabuhan lainnya.
Ayat (4)
Penyusunan jaringan Trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13
Ayat (1)
Termasuk dalam kegiatan Angkutan Laut Khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri, pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang umum.
Angkutan Laut Khusus baik dalam negeri maupun luar negeri dapat diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang karena sifat muatannya belum dapat diselenggarakan oleh penyedia jasa angkutan laut umum.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 14A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “belum tersedia” adalah jumlah dan jadwal saat diperlukan kapal berbendera Indonesia tersebut tidak tersedia atau belum mencukupi kebutuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 27
Kewajiban pemenuhan Perizinan Berusaha dalam melakukan kegiatan Angkutan di Perairan dimaksudkan sebagai alat pembinaan, pengendalian, dan pengawasan Angkutan di Perairan untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa.
Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 30
Dihapus.
Angka 8
Pasal 31
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 90
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” adalah apabila ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan Terminal dan fasilitas Pelabuhan lainnya untuk melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 96
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 97
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 98
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 103
Dihapus.
Angka 22
Pasal 104
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 106
Cukup jelas
Angka 24
Pasal 107
Dihapus.
Angka 25
Pasal 111
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 124
Yang dimaksud dengan “pengadaan Kapal” adalah kegiatan memasukkan Kapal dari luar negeri, baik Kapal bekas maupun Kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar Kapal Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pembangunan Kapal” adalah pembuatan Kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia. Yang dimaksud dengan “pengerjaan Kapal” adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan Kapal. Yang dimaksud dengan “perlengkapan Kapal” adalah bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika Kapal, dan peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk Kapal dengan ukuran dan daerah Pelayaran tertentu. Yang dimaksud dengan “ketentuan standar internasional” adalah berpedoman pada antara lain Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1974 beserta peraturan pelaksanaannya. Angka 27
Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “perombakan” adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi Kapal.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 126
Ayat (1) Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis Kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
Ayat (2)
Huruf a Jenis sertifikat keselamatan Kapal penumpang antara lain:
Huruf b
Jenis sertifikat keselamatan Kapal barang sesuai dengan Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1974 antara lain:
Huruf c
Sertifikasi kelaikan dan pengawakan Kapal penangkap ikan dilaksanakan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
Angka 29
Pasal 127 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan standar internasional” adalah berpedoman antara lain: Safety of Life at Sea (SOLAS) Convention, 1974 beserta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 129
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 130
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 133
Cukup jelas. Angka 33 Pasal 154
Dalam rangka percepatan kemudahan berusaha, proses pengukuran, pendaftaran, dan penetapan kebangsaan Kapal pada Kapal penangkap ikan dilakukan secara terintegrasi melalui pelayanan 1 (satu) atap. Sarana dan prasarana penyelenggaraan sistem 1 (satu) atap disediakan oleh Pemerintah Pusat.
Angka 34 Pasal 155
Ayat (1)
Pelaksanaan pengukuran Kapal dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. Khusus untuk Kapal penangkap ikan, pelaksanaan pengukuran dapat dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perikanan berdasarkan kompetensi, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 35 Pasal 157
Cukup jelas.
Angka 36 Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pendaftaran Kapal" adalah pendaftaran hak milik atas Kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Selain memenuhi ketentuan pendaftaran Kapal, yang merupakan persyaratan untuk menerbitkan surat tanda kebangsaan Kapal Indonesia bagi Kapal yang mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, pemilik Kapal penangkap ikan wajib memenuhi ketentuan atau persyaratan pendaftaran Kapal penangkap ikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai pendaftaran Kapal penangkap ikan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan " grosse akta pendaftaran" adalah salinan resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran).
Bukti hak milik atas Kapal merupakan dokumen kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik Kapal pada saat mendaftarkan Kapalnya antara lain berupa:
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “tanda pendaftaran” merupakan rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat Kapal didaftarkan, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori Kapal.
Contoh:
Angka 37
Pasal 159
Cukup jelas.
Angka 38 Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “perairan sungai dan danau” meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa.
Angka 39 Pasal 168
Cukup jelas.
Angka 40 Pasal 169
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Kapal untuk jenis dan ukuran tertentu” adalah Kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan Kapal penumpang semua ukuran yang melakukan Pelayaran internasional, sedangkan untuk Kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah Pusat” adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah Pusat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 41 Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “ukuran tertentu” adalah Kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan Kapal penumpang semua ukuran yang melakukan Pelayaran internasional, sedangkan untuk Kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Untuk Kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 171
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dihapus.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 197
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 204
Cukup jelas.
Angka 45
Pasal 213
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 225
Cukup jelas.
Angka 47
Pasal 243
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 273
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 288
Cukup jelas.
Angka 50
Pasal 289
Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 290
Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 291
Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 292
Cukup jelas.
Angka 54
Pasal 293
Cukup jelas.
Angka 55
Pasal 294
Cukup jelas.
Angka 56
Pasal 295
Cukup jelas.
Angka 57
Pasal 296
Cukup jelas.
Angka 58
Pasal 297
Cukup jelas.
Angka 59
Pasal 298
Cukup jelas.
Angka 60
Pasal 299
Cukup jelas.
Angka 61
Pasal 307
Cukup jelas.
Angka 62
Pasal 308
Cukup jelas.
Angka 63
Pasal 310
Cukup jelas.
Angka 64
Pasal 313
Cukup jelas.
Angka 65
Pasal 314
Cukup jelas.
Angka 66
Pasal 321
Cukup jelas.
Angka 67
Pasal 322
Cukup jelas.
Angka 68
Pasal 336
Cukup jelas.
Pasal 58 Angka 1
Pasal 13
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 14
Dihapus.
Angka 3
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 20
Dihapus.
Angka 9
Pasal 21
Dihapus.
Angka 10
Pasal 22
Dihapus.
Angka 11
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 31
Dihapus.
Angka 14
Pasal 32
Dihapus.
Angka 15
Pasal 33
Dihapus.
Angka 16
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 41
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 42
Dihapus.
Angka 20
Pasal 43
Dihapus.
Angka 21
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 47
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Personel pemegang Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara yang dimaksud dalam ketentuan ini hanya dapat melakukan perawatan Pesawat Udara untuk perusahaan Angkutan Udara Bukan Niaga yang berkapasitas penumpang kurang dari 9 (sembilan) orang.
Angka 24
Pasal 48
Dihapus.
Angka 25
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 50
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 51
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 58
Ayat (1)
Personel Pesawat Udara meliputi personel operasi Pesawat Udara, personel penunjang operasi Pesawat Udara, dan personel perawatan Pesawat Udara.
Personel operasi Pesawat Udara meliputi:
Personel penunjang operasi Pesawat Udara meliputi:
Personel perawatan Pesawat Udara, yaitu personel yang telah memiliki Lisensi ahli perawatan Pesawat Udara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sah" adalah dikeluarkan atau dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang.
Yang dimaksud dengan "masih berlaku" adalah Lisensi yang diberikan memiliki batas waktu berlakunya sesuai dengan bidang pekerjaannya.
Angka 29
Pasal 60
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 61
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah:
Yang dimaksud dengan "dalam waktu yang terbatas" adalah waktu pengoperasian Pesawat Udara Sipil Asing dibatasi sampai dapat ditanggulanginya keadaan tertentu oleh Pesawat Udara Indonesia.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "perjanjian antarnegara" adalah perjanjian pelimpahan kewenangan fungsi Kelaikudaraan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "persyaratan Kelaikudaraan" adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 64
Dihapus.
Angka 33
Pasal 66
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanda identitas" adalah tanda pendaftaran.
Angka 35
Pasal 84
Cukup jelas.
Angka 36
Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah adanya kebutuhan kapasitas Angkutan Udara pada rute tertentu yang tidak dapat dipenuhi oleh kapasitas Angkutan Udara Niaga berjadwal yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Angkutan Udara Niaga tidak berjadwal, antara lain paket wisata, MICE (meeting, insentive travel, convention, and exhibition), Angkutan Udara haji, bantuan bencana alam, kegiatan kemanusiaan, dan kegiatan yang bersifat nasional dan internasional.
Yang dimaksud dengan "bersifat sementara' adalah persetujuan yang diberikan terbatas untuk jangka waktu tertentu, paling lama 6 (enam) bulan dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 (satu) kali pada rute yang sama.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah keadaan tidak terpenuhi atau tidak terlayaninya permintaan jasa Angkutan Udara oleh Badan Usaha Angkutan Udara niaga berjadwal pada rute tertentu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 38
Pasal 93
Cukup jelas.
Angka 39
Pasal 94
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 95
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 96
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 97
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pelayanan dengan standar maksimum" antara lain, pemberian makan dan minum, makanan ringan, dan fasilitas ruang tunggu eksekutif (lounge) untuk kelas bisnis (business class) dan kelas utama (first class).
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pelayanan dengan standar menengah" antara lain, pemberian makanan ringan, dan fasilitas lain ruang tunggu eksekutif untuk penumpang kelas ekonomi tertentu.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pelayanan dengan standar minimum" antara lain, hanya ada 1 (satu) kelas pelayanan, tanpa pemberian makan dan minum, makanan ringan, fasilitas ruang tunggu eksekutif, dan dikenakan biaya untuk bagasi tercatat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 43
Pasal 99
Dihapus.
Angka 44
Pasal 100
Cukup Jelas.
Angka 45
Pasal 109
Cukup Jelas.
Angka 46
Pasal 110
Dihapus.
Angka 47
Pasal 111
Dihapus.
Angka 48
Pasal 112
Cukup Jelas.
Angka 49
Pasal 113
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dipindahtangankan' adalah perubahan kepemilikan sebagian atau seluruh saham Badan Usaha Angkutan Udara niaga berupa penggabungan (merger) atau pengambilalihan (akuisisi).
Ayat (2)
Cukup Jelas.
Angka 50
Pasal 114
Cukup jelas.
Angka 51
Pasal 118
Cukup jelas.
Angka 52
Pasal 119
Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 120
Cukup jelas.
Angka 54
Pasal 130
Cukup jelas.
Angka 55
Pasal 131
Dihapus.
Angka 56
Pasal 132
Dihapus.
Angka 57
Pasal 133
Dihapus.
Angka 58
Pasal 137
Cukup jelas.
Angka 59
Pasal 138
Cukup jelas.
Angka 60
Pasal 139
Cukup jelas.
Angka 61
Pasal 205
Cukup jelas.
Angka 62
Pasal 215
Dihapus.
Angka 63
Pasal 218
Cukup jelas.
Angka 64
Pasa1 219
Cukup jelas.
Angka 65
Pasal 221
Cukup jelas.
Angka 66
Pasal 222
Cukup jelas.
Angka 67
Pasal 224
Cukup jelas.
Angka 68
Pasal 225
Cukup jelas.
Angka 69
Pasal 233
Cukup jelas.
Angka 70
Pasal 237
Cukup jelas.
Angka 71
Pasal 238
Cukup jelas.
Angka 72
Pasal 242
Cukup jelas.
Angka 73
Pasal 247
Cukup jelas.
Angka 74
Pasal 249
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”, antara lain, untuk tujuan medical evacuation dan penanganan bencana.
Angka 75
Pasal 250
Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”, dapat berupa:
Angka 76
Pasal 252
Cukup jelas.
Angka 77
Pasal 253
Cukup jelas.
Angka 78
Pasal 254
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “memenuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan dan Keamanan Penerbangan”, antara lain, memiliki buku pedoman pengoperasian tempat pendaratan dan lepas landas Helikopter (heliport manual).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 79
Pasal 255
Cukup jelas.
Angka 80
Pasal 275
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “unit pelayanan Navigasi Penerbangan di Bandar Udara” terdiri atas pelayanan Aerodrome oleh personel pemandu (Aerodrome control) pelayanan komunikasi Penerbangan (aeronautical flight information services), dan pelayanan Aerodrome tanpa personel pemandu (unattended).
Huruf b
Yang dimaksud dengan “unit pelayanan navigasi pendekatan” adalah unit pelayanan Navigasi Penerbangan pada kawasan pendekatan kedatangan (standard arrival route) dan keberangkatan (standard instrument departure).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “unit pelayanan Navigasi Penerbangan jelajah” adalah unit pelayanan lalu lintas Penerbangan terkendali yang diberikan kepada Pesawat Udara yang mendapatkan persetujuan dari personel pemandu lalu lintas Penerbangan (air traffic control clearance), pelayanan informasi Penerbangan (flight information service), dan pelayanan kesiagaan (alerting service).
Angka 81
Pasal 277
Cukup jelas.
Angka 82
Pasal 292
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “personel Navigasi Penerbangan yang terkait langsung dengan pelaksanaan pengoperasian dan/atau pemeliharaan fasilitas Navigasi Penerbangan” meliputi:
Angka 83
Pasal 294
Cukup jelas.
Angka 84
Pasal 295
Cukup jelas.
Angka 85
Pasal 317
Cukup jelas.
Angka 86
Pasal 389
Cukup jelas.
Angka 87
Pasal 392
Cukup jelas.
Angka 88
Pasal 409
Cukup jelas.
Angka 89
Pasal 414
Cukup jelas.
Angka 90
Pasal 416
Cukup jelas.
Angka 91
Pasal 418
Cukup jelas.
Angka 92
Pasal 423
Cukup jelas.
Angka 93
Pasal 426
Cukup jelas.
Angka 94
Pasal 427
Cukup jelas.
Angka 95
Pasal 428
Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60 Angka 1
Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tingkat pertama” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan dasar.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tingkat kedua” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan spesialistik.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pelayanan kesehatan tingkat ketiga” adalah pelayanan kesehatan yang diberikan oleh fasilitas pelayanan kesehatan sub spesialistik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 60
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “alat dan teknologi” dalam ketentuan ini adalah yang tidak bertentangan dengan tindakan pengobatan tradisional yang dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 106
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Sediaan Farmasi" adalah Obat, bahan Obat, Obat Tradisional, dan kosmetik. Termasuk dalam Sediaan Farmasi adalah suplemen kesehatan dan Obat kuasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 111
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar” antara lain terkait dengan pemberian tanda atau label yang berisi:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasa1 182
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 183
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 187
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 188
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 197
Cukup jelas.
Pasal 61 Angka 1
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24
Ayat (1)
Kemampuan pelayanan antara lain ditentukan oleh sumber daya manusia, bangunan, sarana, dan peralatan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal26
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 27
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 28
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 29
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "standar pelayanan Rumah Sakit" adalah semua standar pelayanan yang berlaku di Rumah Sakit, antara lain standar prosedur operasional, standar pelayanan medis, dan standar asuhan keperawatan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan ”Pasien tidak mampu atau miskin” adalah Pasien yang memenuhi persyaratan yang diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “menyelenggarakan rekam medis” adalah penyelenggaraan rekam medis yang dilakukan sesuai dengan standar yang secara bertahap diupayakan mencapai standar internasional.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Rumah Sakit dibangun serta dilengkapi dengan sarana, prasarana dan peralatan yang dapat difungsikan serta dipelihara sedemikian rupa untuk mendapatkan keamanan, mencegah kebakaran atau bencana dengan terjaminnya keamanan, kesehatan dan keselamatan Pasien, petugas, pengunjung, dan lingkungan Rumah Sakit.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “peraturan internal Rumah Sakit” (hospital by laws) adalah peraturan organisasi Rumah Sakit (corporate by laws) dan peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) yang disusun dalam rangka menyelenggarakan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan tata kelola klinis yang baik (good clinical governance). Dalam peraturan staf medis Rumah Sakit (medical staff by law) antara lain diatur kewenangan klinis (Clinical Privilege).
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengawasan yang bersifat teknis medis” adalah audit medis.
Yang dimaksud dengan “pengawasan yang bersifat teknis perumahsakitan” adalah audit kinerja rumah sakit.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 62
Cukup jelas.
Pasal 62 Angka 1
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 18
Ayat (1)
Surat persetujuan ekspor dari Pemerintah Pusat berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah Psikotropika yang disetujui untuk diekspor, nama dan alamat eksportir dan importir di negara pengimpor, jangka waktu pelaksanaan ekspor dan keterangan bahwa ekspor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.
Surat persetujuan impor dari Pemerintah Pusat berisi keterangan tertulis antara lain mengenai nama, jenis, bentuk dan jumlah Psikotropika yang disetujui untuk diimpor, nama dan alamat importir dan eksportir di negara pengekspor, jangka waktu pelaksanaan impor dan keterangan bahwa impor tersebut untuk kepentingan pengobatan dan/atau ilmu pengetahuan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 63 Angka 1
Pasal 11
Ayat (1)
Ketentuan ini membuka kemungkinan untuk memberikan Perizinan Berusaha kepada lebih dari satu Industri Farmasi yang berhak memproduksi obat Narkotika, tetapi dilakukan sangat selektif dengan maksud agar pengendalian dan pengawasan Narkotika dapat lebih mudah dilakukan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah apabila Pedagang Besar Farmasi milik negara dimaksud tidak dapat melaksanakan fungsinya dalam melakukan impor Narkotika karena bencana alam, kebakaran dan lain-lain.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 18
Ayat (1)
Pedagang Besar Farmasi dalam ketentuan ini adalah badan usaha milik negara maupun swasta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "Industri Farmasi" adalah Industri Farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika.
Yang dimaksud dengan "Pedagang Besar Farmasi" adalah Pedagang Besar Farmasi tertentu yang telah memiliki izin khusus untuk menyalurkan Narkotika. Ayat (2)
Ketentuan ini menegaskan bahwa Perizinan Berusaha brgi sarana penyimpanan Sediaan Farmasi pemerintah diperlukan sepanjang surat keputusan pendirian sarana penyimpanan Sediaan Farmasi tersebut tidak dikeluarkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 64 Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "untuk keperluan lain" adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri, dan/atau ekspor.
Angka 4
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 39
Usaha tani meliputi peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan skala mikro dan kecil.
Angka 6
Pasal 68
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rantai Pangan' adalah urutan tahapan dan operasi di dalam produksi, pengolahan, distribusi, penyimpanan, dan penanganan suatu Pangan dan bahan bakunya mulai dari produksi hingga konsumsi, termasuk bahan yang berhubungan dengan Pangan hingga Pangan siap dikonsumsi.
Yang dimaksud dengan "secara terpadu" adalah penyelenggaraan Keamanan Pangan harus dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh semua pemangku kepentingan pada setiap rantai Pangan.
Ayat (2)
Penetapan norna, standar, prosedur, dan kriteria Keamanan Pangan dilakukan antara lain, dengan berbasis analisis risiko. Analisis risiko merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan secara sistematis dan transparan berdasarkan informasi ilmiah yang meliputi manajemen risiko, kajian risiko, dan komunikasi risiko.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 72
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 74
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 77
Ayat (1)
Salah satu persyaratan yang harus dipenuhi dalam Perizinan Berusaha adalah dari aspek Keamanan Pangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bahan baku” adalah bahan utama yang dipakai dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan, yang dapat berupa bahan mentah, bahan setengah jadi, atau bahan jadi.
Yang dimaksud dengan “bahan lain” adalah bahan yang tidak termasuk bahan baku maupun bahan tambahan Pangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 81
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 87
Dihapus.
Angka 12
Pasal 88
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Pangan Olahan tertentu” adalah Pangan Olahan yang dibuat oleh industri rumah tangga Pangan, yaitu industri Pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan manual hingga semi otomatis.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 91A
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 133
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 134
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 135
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 139
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 140
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 141
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 65 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan kata “dapat” dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha tidak berlaku pada sektor pendidikan kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus yang diatur tersendiri.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini menganut prinsip bahwa pengelolaan satuan pendidikan bersifat nirlaba sehingga tidak dapat disamakan dengan pengelolaan kegiatan usaha. Dengan demikian perlakuan, persyaratan, dan proses izin yang diperlukan oleh satuan pendidikan untuk kegiatan operasionalnya tidak dapat sama dengan perlakuan, persyaratan, dan proses Perizinan Berusaha untuk kegiatan yang dapat bersifat laba.
Ketentuan izin untuk satuan pendidikan tetap mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Pendidikan:
Undang-Undang tersebut tidak diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dan oleh karena itu tidak ada kewajiban bagi satuan pendidikan tersebut termasuk satuan pendidikan nonformal yang dikelola oleh masyarakat melakukan proses izin melalui sistem Perizinan Berusaha sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Ketentuan pasal ini memberikan ruang bagi pengelola satuan pendidikan secara sukarela untuk dapat menggunakan proses sistem Perizinan Berusaha antara lain untuk proses kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan gedung. Untuk pengelolaan satuan pendidikan cukup dengan proses yang telah ada sehingga tidak dilakukan melalui sistem Perizinan Berusaha yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Sebagai contoh bahwa untuk pendirian pesantren telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang mengatur bahwa pendirian pesantren hanya dengan mendaftarkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. Sehingga dengan demikian pendirian pesantren tidak berlaku kewajiban untuk menggunakan sistem Perizinan Berusaha dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 17
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 78
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 79
Dihapus.
Angka 1
Pasal 14
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “usaha Daya Tarik Wisata” adalah usaha yang kegiatannya mengelola Daya Tarik Wisata alam, Daya Tarik Wisata budaya, dan Daya Tarik Wisata buatan/binaan manusia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “usaha kawasan Pariwisata” adalah usaha yang kegiatannya membangun dan/atau mengelola kawasan dengan luas tertentu untuk memenuhi kebutuhan Pariwisata.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “usaha jasa transportasi Wisata” adalah usaha khusus yang menyediakan angkutan untuk kebutuhan dan kegiatan Pariwisata, bukan angkutan transportasi reguler/umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “usaha jasa perjalanan Wisata” adalah usaha biro perjalanan Wisata dan usaha agen perjalanan Wsata. Usaha biro perjalanan Wisata meliputi usaha penyediaan jasa perencanaan perjalanan dan/atau jasa pelayanan dan penyelenggaraan Pariwisata, termasuk penyelenggaraan perjalanan ibadah. Usaha agen perjalanan Wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “usaha jasa makanan dan minuman” adalah usaha jasa penyediaan makanan dan minuman yang dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk proses pembuatan dapat berupa restoran, kafe, jasa boga, dan bar/kedai minum.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “usaha penyediaan akomodasi” adalah usaha yang menyediakan pelayanan penginapan yang dapat dilengkapi dengan pelayanan Pariwisata lainnya. Usaha penyediaan akomodasi dapat berupa hotel, vila, pondok wisata, bumi perkemahan, persinggahan karavan, dan akomodasi lainnya yang digunakan untuk tujuan Pariwisata.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “usaha penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi” adalah usaha yang ruang lingkup kegiatannya berupa usaha seni pertunjukan, arena permainan, karaoke, bioskop, serta kegiatan hiburan dan rekreasi lainnya yang bertujuan untuk Pariwisata.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “usaha penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran” adalah usaha yang memberikan jasa bagi suatu pertemuan sekelompok orang, menyelenggarakan perjalanan bagi karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan atas prestasinya, serta menyelenggarakan pameran dalam rangka menyebarluaskan informasi dan promosi suatu barang dan jasa yang berskala nasional, regional, dan internasional.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “usaha jasa informasi Wisata” adalah usaha yang menyediakan data, berita, feature, foto, video, dan hasil penelitian mengenai Kepariwisataan yang disebarkan dalam bentuk bahan cetak dan/atau elektronik.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “usaha jasa konsultan Pariwisata” adalah usaha yang menyediakan saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan, pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang Kepariwisataan.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “usaha Wisata tirta” adalah usaha yang menyelenggarakan wisata dan olahraga air, termasuk penyediaan sarana dan prasarana serta jasa lainnya yang dikelola secara komersial di perairan laut, pantai, sungai, danau, dan waduk.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “usaha spa” adalah usaha perawatan yang memberikan layanan dengan metode kombinasi terapi air, terapi aroma, pijat, rempah-rempah, layanan makanan/minuman sehat, dan olah aktivitas fisik dengan tujuan menyeimbangkan jiwa dan raga dengan tetap memperhatikan tradisi dan budaya bangsa Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 15
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 16
Dihapus.
Angka 4
Pasal 26
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “Usaha Pariwisata dengan kegiatan yang berisiko tinggi” meliputi, antara lain Wisata selam, arung jeram, panjat tebing, permainan jet coaster, dan mengunjungi objek wisata tertentu, seperti melihat satwa liar di alam bebas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 29
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 54
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 56
Dihapus.
Angka 9
Pasal 64
Dihapus.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 58
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “jaminan bank” adalah garansi bank atau deposito atas nama biro perjalanan wisata.
Huruf d
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 59
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 61
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 83
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 84
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 85
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 89
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 90
Cukup je1as.
Angka 13
Pasal 91
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 92
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 94
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 95
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 99
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 101
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 103
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 104
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 106
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 118A
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 119A
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 125
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 126
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13
Dihapus.
Angka 4
Pasal 39
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 11
Ayat (1)
Pemenuhan Perizinan Berusaha dalam Penyelenggaraan Telekomunikasi dimaksudkan sebagai upaya Pemerintah dalam rangka pembinaan untuk mendorong pertumbuhan Penyelenggaraan Telekomunikasi yang sehat.
Pemerintah memublikasikan secara berkala atas daerah/wilayah yang terbuka untuk Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi. Penyelenggaraan Telekomunikasi wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Perizinan Berusaha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 28
Ayat (1)
Formula sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pola perhitungan untuk menetapkan besaran tarif. Formula tarif terdiri atas formula tarif awal dan formula tarif perubahan. Dalam menetapkan formula tarif awal, yang harus diperhatikan adalah komponen biaya, sedangkan untuk menetapkan formula besaran tarif perubahan diperhatikan juga antara lain faktor inflasi, kemampuan masyarakat, dan kesinambungan pembangunan Telekomunikasi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 30
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah kebutuhan Jasa Telekomunikasi di suatu daerah yang karena keadaan tertentu belum dapat dijangkau oleh Jasa Telekomunikasi. Oleh karena itu perlu memberikan kemungkinan kepada Penyelenggara Telekomunikasi khusus yang sebenarnya hanya bergerak untuk kepentingan sendiri, dapat memberikan pelayanan Jasa Telekomunikasi kepada masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
Ayat (2)
Penyelenggara Telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Jasa Telekomunikasi dapat melanjutkan Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi dengan pertimbangan investasi yang telah dilakukannya dan kesinambungan pelayanan kepada Pengguna. Dalam hal ini Penyelenggara Telekomunikasi khusus yang bersangkutan wajib memenuhi seluruh ketentuan yang berlaku bagi Penyelenggaraan Jaringan Telekomunikasi dan/atau Penyelenggaraan Jasa Telekomunikasi.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 32
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 33
Ayat (1)
Pemberian Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis.
Slot orbit satelit bukan merupakan aset nasional. Pemberian Perizinan Berusaha penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme seleksi atau evaluasi.
Ayat (2)
Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio didasarkan pada ketersediaan spektrum frekuensi radio dan hasil analisis teknis. Pemberian persetujuan terkait penggunaan spektrum frekuensi radio dilakukan melalui mekanisme evaluasi.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan peruntukan” adalah penggunaan spektrum frekuensi radio wajib sesuai dengan perencanaan spektrum frekuensi radio dan ketentuan teknis penggunaan spektrum frekuensi radio yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Yang dimaksud dengan “gangguan yang merugikan” adalah jenis gangguan/interferensi yang memberikan dampak merugikan terhadap penggunaan spektrum frekuensi radio yang mendapatkan proteksi dari Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 34
Ayat (1)
Biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio merupakan kompensasi atas penggunaan spektrum frekuensi radio sesuai dengan izin yang diterima. Di samping itu, biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio dimaksudkan juga sebagai sarana pengawasan dan pengendalian agar spektrum frekuensi radio sebagai sumber daya alam terbatas dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin. Besarnya biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio ditentukan berdasarkan jenis dan lebar pita frekuensi radio. Jenis spektrum frekuensi radio akan berpengaruh pada mutu penyelenggaraan, sedangkan lebar pita frekuensi radio akan berpengaruh pada kapasitas/jumlah informasi yang dapat dibawa/dikirimkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 34A
Cukup jelas.
Pasal 34B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “infrastruktur pasif’ termasuk tetapi tidak terbatas pada gorong-gorong (ducting), tiang Telekomunikasi (tower), tiang (pole), dan lain-lain yang dapat digunakan untuk penggelaran Jaringan Telekomunikasi.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “infrastruktur” dalam ketentuan ini adalah infrastruktur aktif.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 46
Dihapus.
Angka 10
Pasal 47
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 48
Dihapus.
Angka 1
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 33
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 34
Dihapus.
Angka 5
Pasal 55
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 57
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 58
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 60A
Ayat (1)
Penyelenggaraan Penyiaran harus mengikuti perkembangan teknologi untuk meningkatkan efisiensi pemanfaatan Spektrum Frekuensi Radio dan spektrum elektromagnetik lainnya, kualitas penerimaan dan pilihan program Siaran radio dan televisi bagi masyarakat, efisiensi dalam operasional penyelenggaraan jasa Penyiaran Radio dan Penyiaran Televisi dan pertumbuhan industri-industri yang terkait dengan bidang Penyiaran.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “migrasi Penyiaran Televisi terestrial dari teknologi analog ke teknologi digital” adalah proses yang dimulai dengan penerapan sistem Penyiaran berteknologi digital untuk Penyiaran Televisi yang diselenggarakan melalui media transmisi terestrial dan dilakukan secara bertahap, serta diakhiri dengan penghentian penggunaan teknologi analog dalam lingkup nasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 11
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 38
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 52
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 55
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 66
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 67
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 68
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 69
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 69A
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 72
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 73
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal74
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat, dan pungutan liar. Wewenang yang dimaksud dalam ayat (1) ini dilaksanakan secara terkoordinasi dengan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "aliran" adalah semua aliran atau paham yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar Negara Republik Indonesia.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "tindakan Kepolisian' adalah upaya paksa dan/atau tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab guna mewujudkan tertib dan tegaknya hukum serta terbinanya ketenteraman masyarakat.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Keterangan dan barang bukti dimaksud adalah yang berkaitan baik dengan proses pidana maupun dalam rangka tugas Kepolisian pada umumnya.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "Pusat Informasi Kriminal Nasional" adalah sistem jaringan dari dokumentasi kriminal yang memuat baik data kejahatan dan pelanggaran maupun kecelakaan dan pelanggaran lalu lintas serta registrasi dan identifikasi lalu lintas.
Huruf k
Surat izin dan/atau surat keterangan yang dimaksud dikeluarkan atas dasar permintaan yang berkepentingan.
Huruf l
Wewenang tersebut dilaksanakan berdasarkan permintaan instansi yang berkepentingan atau permintaan masyarakat.
Huruf m
Yang dimaksud dengan “barang temuan” adalah barang yang tidak diketahui pemiliknya yang ditemukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia atau masyarakat yang diserahkan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia. Barang temuan itu harus dilindungi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan ketentuan apabila dalam jangka waktu tertentu tidak diambil oleh yang berhak akan diselesaikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia setelah menerima barang temuan wajib segera mengumumkan melalui media cetak, media elektronik dan/atau media pengumuman lainnya.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud “keramaian umum” dalam hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 510 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu keramaian atau tontonan untuk umum dan mengadakan arak-arakan di jalan umum. Kegiatan masyarakat lainnya adalah kegiatan yang dapat membahayakan keamanan umum seperti diatur dalam Pasal 495 ayat (1), Pasal 496, Pasal 500, Pasal 501 ayat (2), dan Pasal 502 ayat (1) KUHP.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Kegiatan politik yang memerlukan pemberitahuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah kegiatan politik sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang politik, antara lain kegiatan kampanye pemilihan umum (pemilu), pawai politik, penyebaran pamflet, dan penampilan gambar/lukisan bermuatan politik yang disebarkan kepada umum.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “senjata tajam” dalam Undang-Undang ini adalah senjata penikam, senjata penusuk, dan senjata pemukul, tidak termasuk barang-barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk pertanian, atau untuk pekerjaan rumah tangga, atau untuk kepentingan melakukan pekerjaan yang sah, atau nyata untuk tujuan barang pusaka, atau barang kuno, atau barang ajaib sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12/Drt/1951.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “kejahatan internasional” adalah kejahatan tertentu yang disepakati untuk ditanggulangi antarnegara, antara lain kejahatan narkotika, uang palsu, terorisme, dan perdagangan manusia.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Dalam pelaksanaan tugas ini Kepolisian Negara Republik Indonesia terikat oleh ketentuan hukum internasional, baik perjanjian bilateral maupun perjanjian multilateral. Dalam hubungan tersebut Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat memberikan bantuan untuk melakukan tindakan Kepolisian atas permintaan dari negara lain, sebaliknya Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat meminta bantuan untuk melakukan tindakan Kepolisian dari negara lain sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dari kedua negara. Organisasi kepolisian internasional yang dimaksud, antara lain, International Criminal Police Organization (ICPO-Interpol). Fungsi National Central Bureau ICPO-Interpol Indonesia dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 2
Lingkup Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini tidak termasuk Penanaman Modal tidak langsung atau portofolio.
Angka 2
Pasal 12
Ayat (1)
Pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal didasarkan atas kepentingan nasional yang mencakup antara lain pelindungan sumber daya alam, pelindungan, pengembangan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah.
Kepentingan nasional tersebut dapat mencakup pelindungan atas kegiatan usaha yang dapat membahayakan kesehatan (seperti obat, minuman keras mengandung alkohol), pemberdayaan petani, nelayan, petambak ikan, dan garam, usaha mikro dan kecil dengan pengaturan dan persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah, namun tetap memperhatikan aspek peningkatan ekosistem Penanaman Modal. Kegiatan yang hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah Pusat merupakan kegiatan yang bersifat pelayanan atau dalam rangka pertahanan dan keamanan, mencakup antara lain alat utama sistem persenjataan, museum pemerintah, peninggalan sejarah dan purbakala, penyelenggaraan navigasi penerbangan, telekomunikasi/sarana bantu navigasi pelayaran dan vessel.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persyaratan Penanaman Modal ditujukan untuk bidang usaha yang diprioritaskan oleh Pemerintah Pusat yang dituangkan dalam bentuk daftar prioritas investasi yang diatur dalam Peraturan Presiden yang meliputi antara lain:
Angka 3
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam rangka pelindungan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "industri pionir" adalah industri yang memiliki keterkaitan yang luas, memberi nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup je1as.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang termasuk dalam pengertian badan hukum Indonesia antara lain adalah Negara Republik Indonesia, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan badan usaha milik swasta.
Huruf c
Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Badan hukum asing yang mendirikan Bank Umum Syariah terlebih dahulu harus memperoleh rekomendasi dari otoritas moneter negara asal. Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat keterangan badan hukum asing yang bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak pernah melakukan perbuatan tercela di bidang Perbankan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Persyaratan dan tata cara kepemilikan Bank Umum Syariah oleh badan hukum asing ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 13
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja pemerintah" adalah lembaga Pelatihan Kerja yang dimiliki oleh pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja swasta" adalah lembaga yang dimiliki oleh swasta.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "lembaga Pelatihan Kerja Perusahaan" adalah unit pelatihan yang terdapat di dalam Perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 37
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 43
Dihapus.
Angka 6
Pasal 44
Dihapus.
Angka 7
Pasal 45
Ayat (1)
Huruf a
Tenaga pendamping Tenaga Kerja Asing tidak secara otomatis menggantikan atau menduduki jabatan Tenaga Kerja Asing yang didampinginya. Pendampingan tersebut lebih dititikberatkan pada alih teknologi dan alih keahlian agar tenaga pendamping tersebut dapat memiliki kemampuan sehingga pada waktunya diharapkan dapat mengganti Tenaga Kerja Asing yang didampinginya.
Huruf b
Pendidikan dan Pelatihan Kerja oleh Pemberi Kerja tersebut dapat dilaksanakan baik di dalam negeri maupun dengan mengirimkan Tenaga Kerja warga negara Indonesia untuk berlatih ke luar negeri.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 46
Dihapus.
Angka 9
Pasal 47
Ayat (1)
Kewajiban membayar kompensasi dimaksudkan dalam rangka menunjang upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 48
Dihapus.
Angka 11
Pasal 49
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 56
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 57
Cukup jelas.
Angka 14
Pasal 58
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 59
Ayat (1)
Perjanjian Kerja dalam ayat ini dicatatkan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pekerjaan yang bersifat tetap" adalah pekerjaan yang sifatnya terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu dan merupakan bagian dari suatu proses produksi dalam satu Perusahaan atau pekerjaan yang bukan musiman.
Pekerjaan yang bukan musiman adalah pekerjaan yang tidak tergantung cuaca atau suatu kondisi tertentu. Apabila pekerjaan itu merupakan pekerjaan yang terus menerus, tidak terputus-putus, tidak dibatasi waktu, dan merupakan bagian dari suatu proses produksi, tetapi tergantung cuaca atau pekerjaan itu dibutuhkan karena adanya suatu kondisi tertentu maka pekerjaan tersebut merupakan pekerjaan musiman yang tidak termasuk pekerjaan tetap sehingga dapat menjadi objek perjanjian kerja waktu tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Keadaan atau kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "hak-haknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama adalah hak-hak yang harus diberikan yang lebih baik dan menguntungkan Pekerja/Buruh yang bersangkutan.
Angka 17
Pasal 61A
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 64
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 65
Dihapus.
Angka 20
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pengalihan pelindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh" yaitu Perusahaan alih daya yang baru memberikan perlindungan hak-hak bagi Pekerja/Buruh minimal sama dengan hak-hak yang diberikan oleh Perusahaan alih daya sebelumnya.
Yang dimaksud dengan "objek pekerjaannya tetap ada" adalah pekerjaan yang ada pada 1 (satu) Perusahaan pemberi pekerjaan yang sama.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 67
Ayat (1)
Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat ini misalnya penyediaan aksesibilitas serta pemberian alat kerja dan alat pelindung diri yang disesuaikan dengan jenis dan derajat kedisabilitasan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 77
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu dapat diberlakukan ketentuan waktu kerja yang kurang atau lebih dari 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh)jam 1 (satu) minggu atau 8 (delapan)jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 24
Pasal 78
Ayat (1)
Mempekerjakan lebih dari waktu kerja sedapat mungkin harus dihindarkan karena Pekerja/Buruh harus mempunyai waktu yang cukup untuk istirahat dan memulihkan kebugarannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat kebutuhan yang mendesak yang harus diselesaikan segera dan tidak dapat dihindari sehingga Pekerja/Buruh harus bekerja melebihi waktu kerja.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 79
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Bagi Perusahaan yang telah memberlakukan istirahat panjang tidak boleh mengurangi dari ketentuan yang sudah ada.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 84
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "alasan tertentu' antara lain alasan karena Pekerja/Buruh sedang berhalangan, melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, atau menjalankan hak waktu istirahatnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah" antara lain berupa denda, ganti rugi, pemotongan Upah untuk pihak ketiga, uang muka Upah, sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh, hutang atau cicilan utang Pekerja/Buruh kepada Pengusaha, atau kelebihan pembayaran Upah.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya" antara lain Upah untuk pembayaran pesangon atau Upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 88A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pengusaha dilarang tidak membayar Upah bagi Pekerja/Buruh.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 88B
Cukup jelas.
Pasal 88C
Cukup jelas.
Pasal 88D
Cukup jelas.
Pasal 88E
Cukup jelas.
Pasal 88F
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" mencakup antara lain bencana yang ditetapkan oleh Presiden, kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional seperti bencana nonalam pandemi.
Angka 29
Pasal 89
Dihapus.
Angka 30
Pasal 90
Dihapus.
Angka 31
Pasal 90A
Cukup jelas.
Pasal 90B
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 91
Dihapus.
Angka 33
Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyusunan struktur dan skala Upah dimaksudkan sebagai pedoman penetapan Upah sehingga terdapat kepastian Upah tiap Pekerja/Buruh serta mengurangi kesenjangan antara Upah terendah dan tertinggi di Perusahaan yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 92A
Peninjauan Upah dilakukan untuk penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan, dan kemampuan Perusahaan.
Angka 35
Pasal 94
Yang dimaksud dengan "tunjangan tetap" adalah pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu.
Angka 36
Pasal 95
Ayat (1)
Cukup je1as.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "didahulukan pembayarannya" yaitu pembayaran Upah Pekerja/Buruh didahulukan dari semua jenis kreditur termasuk kreditur separatis atau kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, tagihan hak negara, kantor lelang dan badan umum yang dibentuk pemerintah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 37
Pasal 96
Dihapus.
Angka 38
Pasal 97
Dihapus.
Angka 39
Pasal 98
Cukup jelas.
Angka 40
Pasal 151
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "mengupayakan" adalah kegiatan-kegiatan yang positif yang pada akhirnya dapat menghindari terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja antara lain pengaturan waktu kerja, penghematan, pembenahan metode kerja, dan memberikan pembinaan kepada Pekerja/Buruh.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 41
Pasal 151A
Cukup jelas.
Angka 42
Pasal 152
Dihapus.
Angka 43
Pasal 153
Cukup jelas.
Angka 44
Pasal 154
Dihapus.
Angka 45
Pasal 154A
Cukup jelas.
Angka 46
Pasal 155
Dihapus.
Angka47
Pasal 156
Cukup jelas.
Angka 48
Pasal 157
Cukup jelas.
Angka 49
Pasal 157A
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "hak lainnya" yaitu hak-hak lain yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Contoh: hak cuti yang belum diambil dan belum gugur.
Ayat (3)
Yang dimaksud "sesuai tingkatannya" adalah penyelesaian perselisihan di tingkat bipartit atau mediasi/konsiliasi/arbitrase atau pengadilan Hubungan Industrial.
Angka 50
Pasal 158
Dihapus.
Angka 51
Pasal 159
Dihapus.
Angka 52
Pasal 160
Ayat (1)
Keluarga Pekerja/Buruh yang menjadi tanggungan adalah istri/suami, Anak, atau orang yang sah menjadi tanggungan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 53
Pasal 161
Dihapus.
Angka 54
Pasa1 162
Dihapus.
Angka 55
Pasal 163
Dihapus.
Angka 56
Pasal 164
Dihapus.
Angka 57
Pasal 165
Dihapus.
Angka 58
Pasal 166
Dihapus.
Angka 59
Pasal 167
Dihapus.
Angka 60
Pasal 168
Dihapus.
Angka 61
Pasal 169
Dihapus.
Angka 62
Pasa1 170
Dihapus.
Angka 63
Pasal 171
Dihapus.
Angka 64
Pasal 172
Dihapus.
Angka 65
Pasal 184
Dihapus.
Angka 66
Pasal 185
Cukup jelas.
Angka 67
Pasal 186
Cukup jelas.
Angka 68
Pasal 187
Cukup jelas.
Angka 69
Pasal 188
Cukup jelas.
Angka 70
Pasal 190
Cukup jelas.
Angka 71
Pasal 191A
Huruf a
Yang dimaksud dengan "untuk pertama kali" adalah Upah minimum Tahun 2021 yang ditetapkan pada Tahun 2020.
Huruf b
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 18
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 46A
Cukup jelas.
Pasal 46B
Cukup jelas.
Pasal 46C
Cukup jelas.
Pasal 46D
Cukup jelas.
Pasal 46E
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "rekomposisi Iuran" adalah rekomposisi Iuran yang tidak berasal dari pekerja/buruh tanpa mengurangi manfaat program jaminan sosial lainnya yang menjadi hak pekerja/buruh.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 9
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 51
Cukup Jelas.
Angka 3
Pasal 53
Cukup Jelas.
Angka 4
Pasal 57
Cukup Jelas.
Angka 5
Pasal 89A
Cukup Jelas.
Cukup Jelas.
Angka 1
Pasal 6
Ayat (1)
Persyaratan ini dimaksudkan untuk menjaga kelayakan usaha dan kehidupan Koperasi. Orang-seorang pembentuk Koperasi adalah mereka yang memenuhi persyaratan keanggotaan dan mempunyai kepentingan ekonomi yang sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 17
Ayat (1)
Sebagai pemilik dan pengguna jasa Koperasi, anggota berpartisipasi aktif dalam kegiatan Koperasi. Sekalipun demikian, sepanjang tidak merugikan kepentingannya, Koperasi dapat pula memberikan pelayanan kepada bukan anggota sesuai dengan sifat kegiatan usahanya, dengan maksud untuk menarik yang bukan anggota menjadi anggota Koperasi.
Ayat (2)
Buku daftar anggota Koperasi dapat berbentuk dokumen tertulis atau dokumen elektronik.
Angka 3
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 43
Ayat (1)
Usaha Koperasi terutama diarahkan pada bidang usaha yang berkaitan langsung dengan kepentingan anggota baik untuk menunjang usaha maupun kesejahteraannya. Dalam hubungan ini maka pengelolaan usaha Koperasi harus dilakukan secara produktif, efektif dan efisien dalam arti pelayanan usaha yang dapat meningkatkan nilai tambah dan manfaat yang sebesar-besarnya pada anggota dengan tetap mempertimbangkan untuk memperoleh sisa hasil usaha yang wajar. Untuk mencapai kemampuan usaha seperti tersebut di atas, maka Koperasi dapat berusaha secara luwes baik ke hulu maupun ke hilir serta berbagai jenis usaha lainnya yang terkait. Adapun mengenai pelaksanaan usaha Koperasi, dapat dilakukan di mana saja, baik di dalam maupun di luar negeri, dengan mempertimbangkan kelayakan usahanya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kelebihan kemampuan pelayanan Koperasi” adalah kelebihan kapasitas dana dan daya yang dimiliki oleh Koperasi untuk melayani anggotanya. Kelebihan kapasitas tersebut oleh Koperasi dapat dimanfaatkan untuk berusaha dengan bukan anggota dengan tujuan untuk mengoptimalkan skala ekonomi dalam arti memperbesar volume usaha dan menekan biaya per unit yang memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada anggotanya serta memasyarakatkan Koperasi.
Ayat (4)
Agar Koperasi dapat mewujudkan fungsi dan peran seperti yang dimaksud dalam Pasal 4 maka Koperasi melaksanakan usaha di segala bidang kehidupan ekonomi dan berperan utama dalam kehidupan ekonomi rakyat. Yang dimaksud dengan “kehidupan ekonomi rakyat” adalah semua kegiatan ekonomi yang dilaksanakan dan menyangkut kepentingan orang banyak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 44A
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 12
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “menyederhanakan tata cara dan jenis perizinan” adalah memberikan kemudahan persyaratan dan tata cara perizinan serta informasi yang seluas-luasnya.
Yang dimaksud dengan “sistem pelayanan terpadu satu pintu” adalah proses pengelolaan perizinan usaha yang dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen, dilakukan dalam satu tempat berdasarkan prinsip pelayanan sebagai berikut:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 25
Dihapus.
Angka 5
Pasal 26
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “bentuk-bentuk kemitraan lain” seperti bagi hasil, kerja sama operasional, usaha patungan (joint venture), dan penyumberluaran (outsourcing).
Angka 6
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 32A
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 35
Ayat (1)
Yang dimaksud “memiliki” adalah adanya peralihan kepemilikan secara yuridis atas badan usaha/perusahaan dan/atau aset atau kekayaan yang dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.
Ayat (2)
Yang dimaksud “menguasai” adalah adanya peralihan penguasaan secara yuridis atas kegiatan usaha yang dijalankan dan/atau aset atau kekayaan dimiliki Usaha Mikro, Kecil, dan/atau Menengah oleh Usaha Besar sebagai mitra usahanya dalam pelaksanaan hubungan kemitraan.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “insentif kepabeanan” antara lain pemberian keringanan atau pembebasan bea masuk.
Ayat (4)
Pelaku Usaha Mikro perlu diberikan dukungan antara lain melalui pemberian insentif Pajak Penghasilan agar dapat meningkatkan kapasitas dan skala usahanya untuk berkembang. Pemberian dukungan insentif Pajak Penghasilan tersebut juga ditujukan sebagai sarana pembelajaran bagi pelaku usaha mikro agar dapat lebih memahami hak dan kewajiban perpajakan.
Insentif Pajak Penghasilan diberikan kepada pelaku Usaha Mikro tertentu berdasarkan basis data tunggal UMK-M agar insentif yang diberikan tepat sasaran.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pembiayaan alternatif untuk UMK-M” antara lain meliputi:
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 53A
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 38
Visa kunjungan dalam penerapannya dapat diberikan untuk melakukan kegiatan, antara lain:
Angka 3
Pasal 39
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “Visa tinggal terbatas rumah kedua” adalah Visa yang diberikan kepada Orang Asing beserta keluarganya untuk tinggal menetap di Indonesia selama 5 (lima) tahun atau 10 (sepuluh) tahun setelah memenuhi persyaratan tertentu.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 46
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bertempat tinggal di Wilayah Indonesia” adalah dalam rangka tugas penempatan di perwakilan negara setempat atau perwakilan organisasi internasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 54
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “rohaniwan” adalah pemuka agama yang diakui di Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah suami/istri dan anak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 63
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 71
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Paten sederhana diberikan untuk Invensi yang berupa produk yang bukan sekadar berbeda ciri teknisnya, tetapi harus memiliki fungsi/kegunaan yang lebih praktis daripada Invensi sebelumnya yang disebabkan bentuk, konfigurasi, konstruksi, atau komponennya yang mencakup alat, barang, mesin, komposisi, formula, penggunaan, senyawa, atau sistem. Paten sederhana juga diberikan untuk Invensi yang berupa proses atau metode yang baru.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 20
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 82
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Keadaan ini biasanya terjadi dalam pelaksanaan Paten yang merupakan hasil penyempurnaan atau pengembangan Invensi yang lebih dahulu telah dilindung Paten. Oleh karenanya pelaksanaan Paten yang baru tersebut berarti melaksanakan sebagian atau seluruh Invensi yang telah dilindungi Paten yang dimiliki oleh pihak lain. Jika Pemegang Paten terdahulu memberi Lisensi kepada Pemegang Paten berikutnya, yang memungkinkan terlaksananya Paten berikutnya tersebut, maka dalam hal ini tidak ada masalah pelanggaran Paten. Tetapi kalau Lisensi untuk itu tidak diberikan, semestinya Undang-Undang ini menyediakan jalan keluarnya. Ketentuan ini dimaksudkan agar Paten yang diberikan belakangan dapat dilaksanakan tanpa melanggar Paten yang terdahulu melalui pemberian Lisensi-wajib oleh Menteri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 122
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "satu Invensi" adalah Paten sederhana hanya diajukan untuk satu klaim mandiri produk atau satu klaim mandiri proses, tetapi dapat terdiri atas beberapa klaim turunan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 123
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 124
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 20
Huruf a
Yang dimaksud dengan “bertentangan dengan ketertiban umum” adalah tidak sejalan dengan peraturan yang ada dalam masyarakat yang sifatnya menyeluruh seperti menyinggung perasaan masyarakat atau golongan, menyinggung kesopanan atau etika umum masyarakat, dan menyinggung ketenteraman masyarakat atau golongan.
Huruf b
Merek tersebut berkaitan atau hanya menyebutkan barang dan/atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “memuat unsur yang dapat menyesatkan” misalnya Merek “Kecap No. 1” tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan kualitas barang, Merek “netto 100 gram” tidak dapat didaftarkan karena menyesatkan masyarakat terkait dengan ukuran barang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “memuat keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, atau khasiat dari barang dan/atau jasa yang diproduksi” adalah mencantumkan keterangan yang tidak sesuai dengan kualitas, manfaat, khasiat, dan/atau risiko dari produk dimaksud. Contohnya: obat yang dapat menyembuhkan seribu satu penyakit, rokok yang aman bagi kesehatan.
Huruf e
Tanda dianggap tidak memiliki daya pembeda apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “nama umum” antara lain Merek “rumah makan” untuk restoran, Merek “warung kopi” untuk kafe. Adapun “lambang milik umum” antara lain “lambang tengkorak” untuk barang berbahaya, lambang “tanda racun” untuk bahan kimia, “lambang sendok dan garpu” untuk jasa restoran.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 23
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “tanggal pendaftaran” adalah tanggal didaftarnya Merek.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “orang” adalah orang perseorangan, baik warga negara Indonesia maupun asing atau badan hukum Indonesia atau asing. Ketentuan dalam ayat ini menegaskan prinsip yang berlaku berdasarkan Undang-Undang ini bahwa pada dasarnya sebagai badan hukum, Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian, karena itu mempunyai lebih dari 1 (satu) orang pemegang saham.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam hal Peleburan seluruh aktiva dan pasiva Perseroan yang meleburkan diri masuk menjadi modal Perseroan hasil Peleburan dan pendiri tidak mengambil bagian saham sehingga pendiri dari Perseroan hasil Peleburan adalah Perseroan yang meleburkan diri dan nama pemegang saham dari Perseroan hasil Peleburan adalah nama pemegang saham dari Perseroan yang meleburkan diri.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Perikatan dan kerugian Perseroan yang menjadi tanggung jawab pribadi pemegang saham adalah perikatan dan kerugian yang terjadi setelah lewat waktu 6 (enam) bulan tersebut.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pihak yang berkepentingan” adalah kejaksaan untuk kepentingan umum, pemegang saham, Direksi, Dewan Komisaris, karyawan Perseroan, kreditor, dan/atau pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya.
Ayat (7)
Karena status dan karakteristik yang khusus, persyaratan jumlah pendiri bagi Perseroan sebagaimana dimaksud pada ayat ini diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “persero” adalah badan usaha milik negara yang berbentuk Perseroan yang modalnya terbagi dalam saham yang diatur dalam Undang-Undang tentang Badan Usaha Milik Negara.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Ketentuan pada ayat ini diperlukan untuk mengantisipasi perubahan keadaan perekonomian.
Angka 4
Pasal 153
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 153A
Cukup jelas.
Pasal 153B
Ayat (1)
Modal dasar perseroan untuk usaha mikro dan kecil berasal dari kekayaan pendiri yang dipisahkan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 153C
Cukup jelas.
Pasal 153 D
Cukup jelas.
Pasal 153E
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “orang perseorangan” adalah orang yang cakap melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 153F
Cukup jelas.
Pasal 153G
Cukup jelas.
Pasal 153H
Cukup jelas.
Pasal 153I
Cukup jelas.
Pasal 153 J
Cukup jelas.
Dihapus.
Angka 1
Pasal 2
Ayat (1)
Huruf a
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Huruf b
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Subjek pajak dibedakan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Dengan perkataan lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif. Sehubungan dengan pemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak, Wajib Pajak orang pribadi yang menerima penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak tidak wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak.
Perbedaan yang penting antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri terletak dalam pemenuhan kewajiban pajaknya, antara lain:
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia, pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak badan dalam negeri sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini dan Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan.
Ayat (3)
Huruf a
Pada prinsipnya orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri adalah orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia. Termasuk dalam pengertian orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia adalah mereka yang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. Apakah seseorang mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia ditimbang menurut keadaan.
Keberadaan orang pribadi di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari tidaklah harus berturut-turut, tetapi ditentukan oleh jumlah hari orang tersebut berada di Indonesia dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak kedatangannya di Indonesia.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi subjek pajak dalam negeri dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri dalam pengertian Undang-Undang ini mengikuti status pewaris. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya, warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi dimaksud melekat pada objeknya.
Ayat (4)
Subjek pajak luar negeri adalah orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia, baik melalui maupun tanpa melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, tetapi berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka orang tersebut adalah subjek pajak luar negeri.
Apabila penghasilan diterima atau diperoleh melalui bentuk usaha tetap maka terhadap orang pribadi atau badan tersebut dikenai pajak melalui bentuk usaha tetap. Orang pribadi atau badan tersebut, statusnya tetap sebagai subjek pajak luar negeri. Dengan demikian, bentuk usaha tetap tersebut menggantikan orang pribadi atau badan sebagai subjek pajak luar negeri dalam memenuhi kewajiban perpajakannya di Indonesia. Dalam hal penghasilan tersebut diterima atau diperoleh tanpa melalui bentuk usaha tetap maka pengenaan pajaknya dilakukan langsung kepada subjek pajak luar negeri tersebut.
Ayat (5)
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik atau peralatan otomatis (automated equipment) yang dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas usaha melalui internet.
Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Pengertian bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tidak dapat dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri. Perusahaan asuransi yang didirikan dan bertempat kedudukan di luar Indonesia dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Ayat (6)
Penentuan tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan penting untuk menetapkan Kantor Pelayanan Pajak mana yang mempunyai yurisdiksi pemajakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan tersebut.
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak dalam menentukan tempat tinggal seseorang atau tempat kedudukan badan tersebut, antara lain domisili, alamat tempat tinggal, tempat tinggal keluarga, tempat menjalankan usaha pokok atau hal-hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk memudahkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban pajak. Angka 2
Pasal 26
Atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia, Undang-Undang ini menganut 2 (dua) sistem pengenaan pajak, yaitu pemenuhan sendiri kewajiban perpajakannya bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dan pemotongan oleh pihak yang wajib membayar bagi Wajib Pajak luar negeri lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan atas penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Ayat (1)
Pemotongan pajak berdasarkan ketentuan ini wajib dilakukan oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap di Indonesia dengan tarif sebesar 20% (dua puluh persen) dari jumlah bruto.
Jenis-jenis penghasilan yang wajib dilakukan pemotongan dapat digolongkan dalam:
Sesuai dengan ketentuan ini, misalnya suatu badan subjek pajak dalam negeri membayarkan royalti sebesar Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) kepada Wajib Pajak luar negeri, subjek pajak dalam negeri tersebut berkewajiban untuk memotong Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Sebagai contoh lain, seorang atlet dari luar negeri yang ikut mengambil bagian dalam perlombaan lari maraton di Indonesia kemudian merebut hadiah uang maka atas hadiah tersebut dikenai pemotongan Pajak Penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen).
Ayat (1a)
Negara domisili dari Wajib Pajak luar negeri selain yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia ditentukan berdasarkan tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak yang sebenarnya menerima manfaat dari penghasilan tersebut (beneficial owner). Oleh karena itu, negara domisili tidak hanya ditentukan berdasarkan Surat Keterangan Domisili, tetapi juga tempat tinggal, atau tempat kedudukan dari penerima manfaat dari penghasilan dimaksud.
Dalam hal penerima manfaat adalah orang pribadi, negara domisilinya adalah negara tempat orang pribadi tersebut bertempat tinggal atau berada, sedangkan apabila penerima manfaat adalah badan, negara domisilinya adalah negara tempat pemilik atau lebih dari 50% (lima puluh persen) pemegang saham baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama berkedudukan atau efektif manajemennya berada.
Ayat (1b)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini mengatur tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak luar negeri yang bersumber di Indonesia, selain dari penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yaitu penghasilan dari penjualan atau pengalihan harta, dan premi asuransi, termasuk premi reasuransi. Atas penghasilan tersebut dipotong pajak sebesar 20% (dua puluh persen) dari perkiraan penghasilan neto dan bersifat final. Menteri Keuangan diberikan wewenang untuk menetapkan besarnya perkiraan penghasilan neto dimaksud, serta hal-hal lain dalam rangka pelaksanaan pemotongan pajak tersebut.
Ketentuan ini tidak diterapkan dalam hal Wajib Pajak luar negeri tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia atau apabila penghasilan dari penjualan harta tersebut telah dikenai pajak berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (2). Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Atas Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari bentuk usaha tetap di Indonesia dikenai pajak sebesar 20% (dua puluh persen).
Contoh:
Apabila penghasilan setelah pajak sebesar Rp 13.650.000.000,00 (tiga belas miliar enam ratus lima puluh juta rupiah) tersebut ditanamkan kembali di Indonesia sesuai dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, atas penghasilan tersebut tidak dikenai pajak.
Ayat (5)
Pada prinsipnya pemotongan pajak atas Wajib Pajak luar negeri adalah bersifat final, tetapi atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b dan huruf c, dan atas penghasilan Wajib Pajak orang pribadi atau badan luar negeri yang berubah status menjadi Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, pemotongan pajaknya tidak bersifat final sehingga potongan pajak tersebut dapat dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan.
Contoh:
A sebagai tenaga asing orang pribadi membuat perjanjian kerja dengan PT B sebagai Wajib Pajak dalam negeri untuk bekerja di Indonesia untuk jangka waktu 5 (lima) bulan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2023. Pada tanggal 20 April 2023 perjanjian kerja tersebut diperpanjang menjadi 8 (delapan) bulan sehingga akan berakhir pada tanggal 31 Agustus 2023.
Jika perjanjian kerja tersebut tidak diperpanjang, status A adalah tetap sebagai Wajib Pajak luar negeri. Dengan diperpanjangnya perjanjian kerja tersebut, status A berubah dari Wajib Pajak luar negeri menjadi Wajib Pajak dalam negeri terhitung sejak tanggal 1 Januari 2023. Selama bulan Januari sampai dengan Maret 2023 atas penghasilan bruto A telah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 26 oleh PT B. Berdasarkan ketentuan ini, untuk menghitung Pajak Penghasilan yang terutang atas penghasilan A untuk masa Januari sampai dengan Agustus 2023, Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah dipotong dan disetor PT B atas penghasilan A sampai dengan Maret 2023 tersebut dapat dikreditkan terhadap pajak A sebagai Wajib Pajak dalam negeri. Angka 1
Pasal 1A
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “perjanjian” meliputi jual beli, tukar-menukar, jual beli dengan angsuran, atau perjanjian lain yang mengakibatkan penyerahan hak atas barang.
Huruf b
Penyerahan Barang Kena Pajak dapat terjadi karena perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing).
Yang dimaksud dengan “pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa guna usaha (leasing)” adalah penyerahan Barang Kena Pajak yang disebabkan oleh perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian sewa guna usaha (leasing) dengan hak opsi, Barang Kena Pajak dianggap diserahkan langsung dari Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada pihak yang membutuhkan barang (lessee).
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pedagang perantara” adalah orang pribadi atau badan yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya dengan nama sendiri melakukan perjanjian atau perikatan atas dan untuk tanggungan orang lain dengan mendapat upah atau balas jasa tertentu, misalnya komisioner.
Yang dimaksud dengan “juru lelang” adalah juru lelang pemerintah atau yang ditunjuk oleh pemerintah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemakaian sendiri” adalah pemakaian untuk kepentingan pengusaha sendiri, pengurus, atau karyawan, baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri.
Yang dimaksud dengan “pemberian cuma-cuma” adalah pemberian yang diberikan tanpa pembayaran baik barang produksi sendiri maupun bukan produksi sendiri, seperti pemberian contoh barang untuk promosi kepada relasi atau pembeli.
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, disamakan dengan pemakaian sendiri sehingga dianggap sebagai penyerahan Barang Kena Pajak.
Dikecualikan dari ketentuan pada huruf e ini adalah penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1A ayat (2) huruf e.
Huruf f
Dalam hal suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang baik sebagai pusat maupun sebagai cabang perusahaan, pemindahan Barang Kena Pajak antartempat tersebut merupakan penyerahan Barang Kena Pajak.
Yang dimaksud dengan “pusat” adalah tempat tinggal atau tempat kedudukan. Yang dimaksud dengan “cabang” antara lain lokasi usaha, perwakilan, unit pemasaran, dan tempat kegiatan usaha sejenisnya.
Huruf g
Dihapus.
Huruf h
Contoh:
Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "makelar” adalah makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, yaitu pedagang perantara yang diangkat oleh Presiden atau oleh pejabat yang oleh Presiden dinyatakan berwenang untuk itu. Mereka menyelenggarakan perusahaan mereka dengan melakukan pekerjaan dengan mendapat upah atau provisi tertentu, atas amanat dan atas nama orang-orang lain yang dengan mereka tidak terdapat hubungan kerja.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak mempunyai lebih dari satu tempat kegiatan usaha, baik sebagai pusat maupun cabang perusahaan, dan Pengusaha Kena Pajak tersebut telah menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak, pemindahan Barang Kena Pajak dari satu tempat kegiatan usaha ke tempat kegiatan usaha lainnya (pusat ke cabang atau sebaliknya atau antarcabang) dianggap tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak, kecuali pemindahan Barang Kena Pajak antartempat pajak terutang.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pemecahan usaha” adalah pemisahan usaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang mengatur mengenai perseroan terbatas.
Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, yang dilakukan oleh:
Huruf e
Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan karena tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak.
Angka 2
Pasal 13
Ayat (1)
Dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak dan/atau menyerahkan Jasa Kena Pajak itu wajib memungut Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dan memberikan Faktur Pajak sebagai bukti pungutan pajak. Faktur Pajak tidak perlu dibuat secara khusus atau berbeda dengan faktur penjualan. Faktur Pajak dapat berupa faktur penjualan atau dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak.
Berdasarkan ketentuan ini, atas setiap penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D wajib dibuatkan Faktur Pajak.
Ayat (1a)
Pada prinsipnya Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan atau pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum penyerahan. Dalam hal tertentu dimungkinkan saat pembuatan Faktur Pajak tidak sama dengan saat-saat tersebut, misalnya dalam hal terjadi penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada instansi pemerintah. Oleh karena itu, Menteri Keuangan berwenang untuk mengatur saat lain sebagai saat pembuatan Faktur Pajak.
Ayat (2)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk meringankan beban administrasi, kepada Pengusaha Kena Pajak diperkenankan untuk membuat 1 (satu) Faktur Pajak yang meliputi semua penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalender kepada pembeli Barang Kena Pajak yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama, yang disebut Faktur Pajak gabungan.
Ayat (2a)
Untuk meringankan beban administrasi, Pengusaha Kena Pajak diperkenankan membuat Faktur Pajak gabungan paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak meskipun di dalam bulan penyerahan telah terjadi pembayaran baik sebagian maupun seluruhnya.
Contoh 1: Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 1, 5, 10, 11, 12, 20, 25, 28, dan 31 Juli 2023, tetapi sampai dengan tanggal 31 Juli 2023 sama sekali belum ada pembayaran atas penyerahan tersebut, Pengusaha Kena Pajak A diperkenankan membuat 1 (satu) Faktur Pajak gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan pada bulan Juli 2023, yaitu paling lama tanggal 31 Juli 2023. Contoh 2: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 9, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2023. Pada tanggal 28 September 2023 terdapat pembayaran oleh pengusaha B atas penyerahan pada tanggal 2 September 2023. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2023 yang meliputi seluruh penyerahan yang terjadi pada bulan September 2023. Contoh 3: Pengusaha Kena Pajak A melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pengusaha B pada tanggal 2, 7, 8, 10, 12, 20, 26, 28, 29, dan 30 September 2023. Pada tanggal 28 September 2023 terdapat pembayaran atas penyerahan tanggal 2 September 2023 dan pembayaran uang muka untuk penyerahan yang akan dilakukan pada bulan Oktober 2023 oleh pengusaha B. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak A membuat Faktur Pajak gabungan, Faktur Pajak gabungan dibuat pada tanggal 30 September 2023 yang meliputi seluruh penyerahan dan pembayaran uang muka yang dilakukan pada bulan September 2023.
Ayat (3)
Dihapus.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (5)
Faktur Pajak merupakan bukti pungutan pajak dan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengkreditkan Pajak Masukan. Faktur Pajak harus diisi secara benar, lengkap, dan jelas serta ditandatangani oleh pihak yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya. Namun, keterangan mengenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya diisi apabila atas penyerahan Barang Kena Pajak terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Faktur Pajak yang tidak diisi sesuai dengan ketentuan dalam ayat ini mengakibatkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalamnya tidak dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (8) huruf f.
Ayat (5a)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena:
Ayat (7)
Dihapus.
Ayat (8)
Faktur Pajak yang dibetulkan adalah, antara lain, Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan. Termasuk dalam pengertian salah dalam pengisian atau salah dalam penulisan adalah antara lain, adanya penyesuaian Harga Jual akibat berkurangnya kuantitas atau kualitas Barang Kena Pajak yang wajar terjadi pada saat pengiriman.
Ayat (9)
Faktur Pajak memenuhi persyaratan formal apabila diisi secara benar, lengkap, dan jelas sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atau persyaratan yang diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak memenuhi persyaratan material apabila berisi keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Dengan demikian, walaupun Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak sudah memenuhi ketentuan formal dan sudah dibayar Pajak Pertambahan Nilainya, apabila keterangan yang tercantum dalam Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Faktur Pajak atau dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak tersebut tidak memenuhi syarat material. Angka 1
Pasal 9
Ayat (1)
Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan dengan batas waktu tidak melampaui 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak. Keterlambatan dalam pembayaran dan penyetoran tersebut berakibat dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (2a)
Cukup jelas.
Ayat (2b)
Cukup jelas.
Ayat (2c)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 11
Ayat (1)
Jika setelah dilakukan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dengan jumlah kredit pajak menunjukkan jumlah selisih lebih (jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang) atau telah dilakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, Wajib Pajak berhak untuk meminta kembali kelebihan pembayaran pajak, dengan catatan Wajib Pajak tersebut tidak mempunyai utang pajak.
Dalam hal Wajib Pajak masih mempunyai utang pajak yang meliputi semua jenis pajak baik di pusat maupun cabang-cabangnya, kelebihan pembayaran tersebut harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak tersebut dan jika masih terdapat sisa lebih, dikembalikan kepada Wajib Pajak.
Ayat (1a)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan:
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (3a)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 13A
Dihapus.
Angka 4
Pasal 15
Ayat (1)
Untuk menampung kemungkinan terjadinya suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang ternyata telah ditetapkan lebih rendah atau pajak yang terutang dalam suatu Surat Ketetapan Pajak Nihil ditetapkan lebih rendah atau telah dilakukan pengembalian pajak yang tidak seharusnya sebagaimana telah ditetapkan dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak.
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan merupakan koreksi atas surat ketetapan pajak sebelumnya. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan baru diterbitkan apabila sudah pernah diterbitkan surat ketetapan pajak. Pada prinsipnya untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan perlu dilakukan pemeriksaan. Jika surat ketetapan pajak sebelumnya diterbitkan berdasarkan pemeriksaan, perlu dilakukan pemeriksaan ulang sebelum menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dengan demikian, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan tidak dapat diterbitkan sebelum didahului dengan penerbitan surat ketetapan pajak. Penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan dilakukan dengan syarat adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya. Sejalan dengan itu, setelah Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan sebagai akibat telah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan diterbitkan hanya dalam hal ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Dalam hal masih ditemukan lagi data baru termasuk data yang semula belum terungkap pada saat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang diketahui kemudian oleh Direktur Jenderal Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan masih dapat diterbitkan lagi. Yang dimaksud dengan “data baru” adalah data atau keterangan mengenai segala sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam Surat Pemberitahuan dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan Wajib Pajak yang diserahkan pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang semula belum terungkap, yaitu data yang:
Walaupun Wajib Pajak telah memberitahukan data dalam Surat Pemberitahuan atau mengungkapkannya pada waktu pemeriksaan, tetapi apabila memberitahukannya atau mengungkapkannya dengan cara sedemikian rupa sehingga membuat fiskus tidak mungkin menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang secara benar sehingga jumlah pajak yang terutang ditetapkan kurang dari yang seharusnya, hal tersebut termasuk dalam pengertian data yang semula belum terungkap.
Contoh:
Apabila pada saat penetapan semula Pengusaha Kena Pajak tidak mengungkapkan rincian penggunaan barang tersebut dengan benar sehingga tidak dilakukan koreksi atas pengkreditan Pajak Masukan tersebut oleh fiskus, sebagai akibatnya Pajak Pertambahan Nilai yang terutang tidak dapat dihitung secara benar. Apabila setelah itu diketahui adanya data atau keterangan tentang kesalahan mengkreditkan Pajak Masukan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dimaksud, data atau keterangan tersebut merupakan data yang semula belum terungkap.
Ayat (2)
Dalam hal setelah diterbitkan surat ketetapan pajak ternyata masih ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang belum diperhitungkan sebagai dasar penetapan tersebut, atas pajak yang kurang dibayar ditagih dengan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan ditambah sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari pajak yang kurang dibayar.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 17B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “surat permohonan telah diterima secara lengkap” adalah Surat Pemberitahuan yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
Ayat (1a)
Yang dimaksud dengan “sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan” adalah dimulai sejak surat pemberitahuan pemeriksaan bukti permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
Ayat (2)
Batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum terhadap permohonan Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak sehingga bila batas waktu tersebut dilampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan. Selain itu, batas waktu tersebut dimaksudkan pula untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 27A
Dihapus.
Angka 8
Pasal 27B
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 38
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 37
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 38
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “standar mutu wajib” adalah standar nasional Indonesia (SNI)/standar mutu yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Perikanan atau SNI yang diberlakukan secara wajib pada Komoditas Pergaraman.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 38A
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 74
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 87
Ayat (1)
BUM Desa dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk mendayagunakan segala potensi ekonomi, kelembagaan perekonomian, serta potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa secara spesifik tidak dapat disamakan dengan badan hukum seperti perseroan terbatas atau koperasi. Oleh karena itu, BUM Desa merupakan suatu badan usaha bercirikan Desa yang dalam pelaksanaan kegiatannya di samping untuk membantu penyelenggaraan Pemerintahan Desa, juga untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Desa. BUM Desa juga dapat melaksanakan fungsi pelayanan jasa, perdagangan, dan pengembangan ekonomi lainnya. Dalam meningkatkan sumber pendapatan Desa, BUM Desa dapat menghimpun tabungan dalam skala lokal masyarakat Desa, antara lain melalui pengelolaan dana bergulir dan simpan pinjam. BUM Desa dalam kegiatannya tidak hanya berorientasi pada keuntungan keuangan, tetapi juga berorientasi untuk mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat Desa. BUM Desa diharapkan dapat mengembangkan unit usaha dalam mendayagunakan potensi ekonomi. Dalam hal kegiatan usaha dapat berjalan dan berkembang dengan baik, sangat dimungkinkan pada saatnya BUM Desa mengikuti badan hukum yang telah ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dalam rangka keterpaduan pembangunan daerah, BUM Desa dan unit usaha dibawahnya dalam menjalankan kegiatan usaha harus sesuai dengan rencana induk pembangunan daerah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 44
Ayat (1)
30 (tiga puluh) hari dihitung sejak diterimanya petikan putusan Komisi oleh Pelaku Usaha atau kuasa hukumnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 45
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penghentian integrasi vertikal antara lain dilaksanakan dengan pembatalan perjanjian, pengalihan sebagian perusahaan kepada Pelaku Usaha lain, atau perubahan bentuk rangkaian produksinya.
Huruf c
Yang diperintahkan untuk dihentikan adalah kegiatan atau tindakan tertentu dan bukan kegiatan usaha Pelaku Usaha secara keseluruhan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Ganti rugi diberikan kepada Pelaku Usaha dan kepada pihak lain yang dirugikan.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 48
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 49
Dihapus.
Cukup jelas.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah upaya mengarahkan dan menyinergikan antara lain dalam penyusunan perencanaan, program, anggaran, dan Sumber Daya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bidang Penelitian, Pengembangan, Pengkajian, dan Penerapan untuk menghasilkan Invensi dan Inovasi sebagai landasan ilmiah dalam perumusan dan penetapan kebijakan pembangunan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Mekanisme pinjam pakai kawasan hutan digunakan khusus untuk proyek-proyek yang sifatnya tidak permanen.
Angka 2
Pasal 10
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “bendungan” adalah bangunan yang berupa urukan tanah, urukan batu, beton, dan/atau pasangan batu yang dibangun selain untuk menahan dan menampung air juga untuk menahan dan menampung limbah tambang (tailing) atau lumpur sehingga terbentuk waduk.
Yang dimaksud dengan “bendung” adalah tanggul untuk menahan air di sungai, tepi laut, dan sebagainya.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “sampah” adalah sampah sesuai dengan undang-undang mengenai pengelolaan sampah.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud “fasilitas keselamatan umum” adalah semua fasilitas yang diperlukan untuk menanggulangi akibat suatu bencana, antara lain rumah sakit darurat, rumah penampungan darurat, serta tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan longsor.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Yang dimaksud dengan “fasilitas sosial” digunakan antara lain untuk kepentingan keagamaan atau beribadah.
Yang dimaksud dengan "ruang terbuka hijau publik" adalah ruang terbuka hijau sesuai dengan undang-undang yang mengatur penataan ruang.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Yang dimaksud dengan “kantor Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, atau Desa” adalah sarana dan prasarana untuk menyelenggarakan fungsi pemerintahan, termasuk lembaga pemasyarakatan, rumah tahanan negara, dan unit pelaksana teknis lembaga pemasyarakatan lain.
Huruf o
Yang dimaksud dengan “perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah” adalah perumahan masyarakat yang dibangun di atas tanah Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan kepada penghuninya diberikan status rumah sewa.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Huruf r
Yang dimaksud dengan “pasar umum dan lapangan parkir umum” adalah pasar dan lapangan parkir yang direncanakan, dilaksanakan, dikelola, dan dimiliki oleh Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dan pengelolaannya dapat dilakukan dengan bekerja sama dengan badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta.
Huruf s
Cukup jelas.
Huruf t
Cukup jelas.
Huruf u
Cukup jelas.
Huruf v
Cukup jelas.
Huruf w
Cukup jelas.
Huruf x
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 14
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengelola barang milik negara/barang milik daerah” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengguna barang milik negara/barang milik daerah” adalah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perbendaharaan negara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “masyarakat yang terkena dampak” misalnya masyarakat yang berbatasan langsung dengan lokasi Pengadaan Tanah.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “surat kuasa” adalah surat kuasa untuk mewakili Konsultasi Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “dari dan oleh Pihak yang Berhak” adalah penerima kuasa dan pemberi kuasa sama-sama berasal dari Pihak yang Berhak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 19A
Cukup jelas.
Pasal 19B
Cukup jelas.
Pasal 19C
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 28
Ayat (1)
Inventarisasi dan identifikasi dilaksanakan untuk mengetahui Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Hasil inventarisasi dan identifikasi tersebut memuat daftar nominasi Pihak yang Berhak dan Objek Pengadaan Tanah. Pihak yang Berhak meliputi nama, alamat, dan pekerjaan pihak yang menguasai/memiliki tanah. Objek Pengadaan Tanah meliputi letak, luas, status, serta jenis penggunaan dan pemanfaatan tanah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 34
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 36
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pemukiman kembali” adalah proses kegiatan penyediaan tanah pengganti kepada Pihak yang Berhak ke lokasi lain sesuai dengan kesepakatan dalam proses Pengadaan Tanah.
Huruf d
Yang dimaksud dengan ’’kepemilikan saham” adalah penyertaan saham kegiatan pembangunan untuk Kepentingan Umum terkait dan/atau pengelolaannya didasari kesepakatan antarpihak.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak” misalnya gabungan dari 2 (dua) atau lebih bentuk Kerugian sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 40
Pemberian Ganti Kerugian pada prinsipnya harus diserahkan langsung kepada Pihak yang Berhak atas Ganti Kerugian. Apabila berhalangan, Pihak yang Berhak karena hukum dapat memberikan kuasa kepada pihak lain atau ahli waris. Penerima kuasa hanya dapat menerima kuasa dari satu orang yang berhak atas Ganti Kerugian.
Yang berhak antara lain:
Yang dimaksud dengan “pihak yang menguasai tanah negara dengan itikad baik” adalah:
Pada ketentuannya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang Hak atas Tanah. Untuk hak guna bangunan atau hak pakai yang berada di atas tanah yang bukan miliknya, Ganti Kerugian diberikan kepada pemegang hak guna bangunan atau hak pakai atas bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dimiliki atau dipunyainya, sedangkan Ganti Kerugian atas tanahnya diberikan kepada pemegang hak milik atau hak pengelolaan. Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Pihak yang menguasai tanah negara yang dapat diberikan Ganti Kerugian adalah pemakai tanah negara yang sesuai dengan atau tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Misalnya, bekas pemegang hak yang telah habis jangka waktunya yang masih menggunakan atau memanfaatkan tanah yang bersangkutan, pihak yang menguasai tanah negara berdasarkan sewa-menyewa, atau pihak lain yang menggunakan atau memanfaatkan tanah negara bebas dengan tidak melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud dengan "pemegang dasar penguasaan atas tanah" adalah pihak yang memiliki alat bukti yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan adanya penguasaan yang bersangkutan atas tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang akta jual beli atas Hak atas Tanah yang belum dibalik nama, pemegang akta jual beli atas hak milik adat yang belum diterbitkan sertipikat, dan pemegang surat izin menghuni. Bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah yang belum atau tidak dipunyai dengan Hak atas Tanah, ganti rugi diberikan kepada pemilik bangunan, tanaman, atau benda lain yang berkaitan dengan tanah. Angka 11
Pasal 42
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 46
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan sebagian besar masyarakat yang meliputi kepentingan untuk pembuatan jalan umum, waduk, bendungan, irigasi, saluran air minum atau air bersih, drainase dan sanitasi, bangunan pengairan, pelabuhan, bandar udara, stasiun dan jalan kereta api, terminal, fasilitas keselamatan umum, cagar alam, serta pembangkit dan jaringan listrik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 73
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Reforma agraria dalam kerangka badan bank tanah tidak termasuk tanah dalam kawasan hutan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “sudah digunakan dan/atau dimanfaatkan sesuai dengan tujuan pemberian haknya” adalah pemegang hak atas tanah sudah memiliki sertifikat laik fungsi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Kepemilikan satuan rumah susun oleh warga negara asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya.
Huruf d
Kepemilikan satuan rumah susun oleh badan hukum asing hanya diberikan di Kawasan Ekonomi Khusus, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Kawasan Industri, dan kawasan ekonomi lainnya.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 3
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “logistik dan distribusi” adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain kegiatan penyimpanan, perakitan, penyortiran, pengepakan, pendistribusian, perbaikan dan perekondisian permesinan dari dalam negeri dan dari luar negeri.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pengembangan teknologi” adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain kegiatan riset dan teknologi, rancangan bangunan dan rekayasa, teknologi terapan, pengembangan perangkat lunak, serta jasa di bidang teknologi informasi.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “pariwisata” adalah kegiatan usaha yang meliputi antara lain kegiatan usaha pariwisata untuk mendukung penyelenggaraan hiburan dan rekreasi, pertemuan, perjalanan insentif dan pameran, serta kegiatan yang terkait.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “perumahan bagi pekerja” adalah pembangunan perumahan terpisah dari kegiatan usaha yang ada di KEK.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “kawasan lindung” adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mempunyai batas yang jelas” adalah batas alam (sungai atau laut) atau batas buatan (pagar atau tembok).
Huruf c
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Lokasi pengembangan yang diusulkan dapat merupakan area baru atau perluasan KEK yang sudah ada.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “rencana tata ruang KEK” adalah rencana peruntukan ruang pada lokasi KEK.
Yang dimaksud dengan “pengaturan zonasi” adalah rencana pengembangan KEK yang ditetapkan oleh Badan Usaha, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, atau Badan Usaha Pengelola KEK;
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 8A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 10
Cukup jelas.
Angka 8
Pasal 11
Dihapus.
Angka 9
Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Materi dan syarat kerja sama meliputi antara lain jangka waktu kerja sama, pertanggungjawaban terhadap aset yang berasal dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan swasta, serta hak kepemilikan setelah masa kerja sama berakhir.
Angka 10
Pasal 16
Cukup jelas.
Angka 11
Pasal 17
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Standar pengelolaan di KEK mengatur antara lain standar infrastruktur dan pelayanan.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “permasalahan strategis” antara lain permasalahan yang tidak dapat diselesaikan oleh Dewan Kawasan atau menyangkut kebijakan nasional dan/atau daerah yang memengaruhi pelaksanaan pengelolaan dan pengembangan KEK.
Huruf h
Cukup jelas.
Angka 12
Pasal 19
Cukup jelas.
Angka 13
Pasal 20
Dihapus.
Angka 14
Pasal 21
Cukup jelas.
Angka 15
Pasal 22
Cukup jelas.
Angka 16
Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pelayanan non perizinan” adalah segala bentuk kemudahan pelayanan fasilitas fiskal, fasilitas non-fiskal dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Contoh pelayanan non perizinan antara lain pajak, kepabeanan, cukai, lalu lintas barang, dan keimigrasian.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 17
Pasal 24
Cukup jelas.
Angka 18
Pasal 24A
Cukup jelas.
Pasal 24B
Cukup jelas.
Pasal 24C
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pola pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum” adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 19
Pasal 25
Cukup jelas.
Angka 20
Pasal 26
Cukup jelas.
Angka 21
Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Pada wilayah yang tidak ditetapkan sebagai KEK, terdapat ketentuan mengenai pembatasan impor. Namun, ketentuan mengenai pembatasan impor tersebut tidak dapat diberlakukan bagi barang yang dimasukkan ke dalam KEK mengingat barang yang dimasukkan ke dalam KEK digunakan untuk pembangunan dan pengoperasian KEK. Apabila pembatasan impor diberlakukan di KEK maka dapat mengurangi daya saing KEK.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “sistem elektronik yang terintegrasi secara nasional” adalah integrasi sistem secara nasional yang memungkinkan dilakukannya penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data dan informasi secara tunggal dan sinkron, dan penyampaian keputusan secara tunggal untuk pemberian perizinan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 22
Pasal 30
Cukup jelas.
Angka 23
Pasal 31
Dihapus.
Angka 24
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud serta jasa kena pajak di KEK” adalah pemanfaatan baik yang berasal dari dalam KEK sendiri ataupun yang berasal dari KEK lainnya, luar daerah pabean, tempat lain dalam daerah pabean, kawasan bebas, dan tempat penimbunan berikat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Angka 25
Pasal 32A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “barang konsumsi” antara lain:
Jenis dan jumlahnya diusulkan oleh Administrator dan disetujui oleh Dewan Nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 26
Pasal 33A
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pelayanan kepabeanan mandiri” meliputi antara lain pelekatan dan/atau pelepasan tanda pengaman, pelayanan pemasukan barang, pelayanan pembongkaran barang, pelayanan penimbunan barang, pelayanan pemuatan barang, pelayanan pengeluaran barang, dan/atau pelayanan lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 27
Pasal 35
Cukup jelas.
Angka 28
Pasal 36
Cukup jelas.
Angka 30
Pasal 38A
Cukup jelas.
Angka 31
Pasal 40
Cukup jelas.
Angka 32
Pasal 41
Yang dimaksud dengan “jabatan direksi atau komisaris” adalah jabatan direksi atau komisaris yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan atau perubahannya.
Ketentuan ini diperlukan dalam rangka meningkatkan daya saing KEK. Angka 33
Pasal 43
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “lembaga kerja sama tripartit khusus” adalah lembaga kerja sama tripartit yang berada di KEK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Angka 34
Pasal 44
Dihapus.
Angka 35
Pasal 45
Dihapus.
Angka 36
Pasal 47
Yang dimaksud dengan “Perjanjian Kerja Bersama” adalah Perjanjian Kerja Bersama yang dibuat oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh atau beberapa Serikat Pekerja/Serikat Buruh yang telah tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang Ketenagakerjaan dengan Pengusaha.
Angka 37
Pasal 48
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 6
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 7
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Ayat (1)
Dalam melakukan investasi, pemerintah melakukan pengelolaan dan penempatan sejumlah dana dan/atau aset untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “kegiatan pengelolaan aset” adalah antara lain kegiatan akuisisi, pengelolaan, restrukturisasi perusahaan (saham) maupun aset tetap, divestasi, dan lain-lain yang dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung baik dilakukan sendiri atau melalui kerja sama dengan pihak ketiga atau melalui pembentukan entitas khusus baik berbentuk badan hukum Indonesia maupun badan hukum asing.
Huruf c
Dalam melakukan kerja sama dengan entitas dana perwalian (trust fund), penyedia dana (settlor) harus memberikan kuasa kepada entitas dana perwalian (trust fund) dalam rangka melakukan pengelolaan investasi dengan Lembaga.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "menentukan calon mitra investasi" adalah menunjuk mitra secara langsung dengan pertimbangan antara lain mengikuti praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dalam rangka percepatan proses penentuan calon mitra, dengan tetap menjaga tata kelola yang baik. Kriteria bagi calon mitra yang dapat dipertimbangkan antara lain memiliki reputasi baik, memiliki kemampuan keuangan untuk dapat menunjang komitmen investasinya, dan/atau memiliki keahlian di bidang investasi yang akan dikerjasamakan.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Aset negara yang berasal dari cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan tidak dapat dipindahtangankan kepada orang lain termasuk Lembaga.
Aset negara yang berisikan atau mengelola bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya tetap dikuasai oleh negara dan tidak dipindahtangankan menjadi aset Lembaga.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan”, misalnya: peralihan hak milik atas saham dilakukan dengan Akta Jual Beli atau Akta Hibah atas saham, pengalihan hak milik atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Dalam putusan Rapat Umum Pemegang Saham untuk Persero dengan tetap mengacu ketentuan dan pengaturan dalam anggaran dasar badan usaha milik negara dimaksud atau memuat antara lain proses administrasi pengalihan aset termasuk cara pemindahtanganan.
Ayat (8)
Peraturan Pemerintah antara lain mengatur mengenai mekanisme pembukuan aset yang dipindahtangankan, penentuan aset yang dipindahtangankan dan nilai pasar wajar aset tersebut, dan prosedur pemindahtanganan.
Mekanisme yang diatur tersebut memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan memperhatikan prinsip independensi dan transparansi dari Lembaga.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Kerja sama dengan pihak ketiga dimaksud antara lain dilakukan dengan mitra investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah atau melalui penunjukan manajer investasi berbadan hukum Indonesia atau asing.
Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha yang memenuhi kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (4)
Modal dan kekayaan Lembaga merupakan milik Lembaga dan setiap kerugian yang dialami oleh Lembaga bukan merupakan kerugian negara.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain pertimbangan untuk melakukan pencadangan dan penggunaan akumulasi modal untuk investasi kembali.
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” mencakup mitra investasi, manajer investasi, badan usaha milik negara, badan atau lembaga pemerintah, dan/atau entitas lainnya baik di dalam maupun luar negeri.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bentuk kerja sama lainnya” dapat mencakup pendirian dana kelolaan investasi (fund) bersama pihak lain.
Lembaga dalam kerja sama dengan pihak ketiga, tetap mempertahankan kedudukannya sebagai penentu utama kebijakan usaha dan penentu dalam pengambilan keputusan di badan usaha dengan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
Ayat (3)
Pemindahtanganan aset Lembaga untuk dijadikan penyertaan modal dengan memperhatikan tujuan pemindahtanganan, penilaian atas aset dan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional dan dilakukan dengan prinsip usaha yang sehat.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Peraturan Pemerintah dalam ayat ini sekurang-kurangnya mengatur:
Pengaturan di dalam Peraturan Pemerintah didasarkan pada praktik internasional yang baik.
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Hasil pengembangan usaha dan pengembangan aset Lembaga dapat berupa keuntungan atau aset tetap yang dibeli Lembaga selama masa operasional.
Huruf c
Aset badan usaha milik negara dapat menjadi aset Lembaga antara lain melalui mekanisme transaksi jual beli.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Sumber lain yang sah antara lain aset yang dibeli dari pinjaman atau aset yang berasal dari barang yang diperoleh sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang milik negara/daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Lembaga oleh akuntan publik dilakukan dengan mengikuti standar akuntansi yang diakui secara internasional sebagai standar akuntansi yang berlaku untuk badan hukum pengelola investasi sejenisnya.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kondisi insolven” adalah kondisi di mana Lembaga kekurangan modal yang berdampak pada kesulitan untuk melakukan kegiatan usaha dalam jangka panjang.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Peraturan Pemerintah dimaksud mengatur antara lain kebijakan investasi, keterbukaan informasi, benturan kepentingan, kerahasiaan informasi, pengadministrasian dari data dan informasi yang berkaitan dengan aset yang dikelola, audit internal, tanggung jawab sosial dan lingkungan serta manajemen risiko dengan memperhatikan praktik bisnis yang berlaku secara internasional.
Ayat (2)
Ketidakberlakuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara bagi Lembaga, karena kegiatan pengelolaan aset dan investasi telah diatur secara khusus dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Ayat (1)
Lembaga Pengelola Investasi dapat disebut dengan nama lain seperti: Indonesian Sovereign Wealth Fund atau Indonesia Investment Authority.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “badan usaha” antara lain Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 1
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 24
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “alasan-alasan yang objektif’ adalah alasan-alasan yang diambil berdasarkan fakta dan kondisi faktual, tidak memihak, dan rasional serta berdasarkan AUPB.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “iktikad baik” adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan didasarkan atas motif kejujuran dan berdasarkan AUPB.
Angka 3
Pasal 38
Ayat (1)
Prosedur penggunaan Keputusan Berbentuk Elektronis berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang informasi dan transaksi elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “memerlukan perhatian khusus” adalah setiap usaha atau kegiatan yang dilakukan atau dikerjakan oleh Warga Masyarakat, dalam rangka menjaga ketertiban umum, maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan perlu memberikan perhatian dan pengawasan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “swasta” meliputi perorangan, korporasi yang berbadan hukum di Indonesia, dan asing.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 39A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 53
Cukup jelas.
Angka 1
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “praktik yang baik (good practices)” adalah sesuai standar atau ketentuan yang berlaku secara internasional.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Angka 2
Pasal 250
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan” adalah putusan pengadilan yang telah diikuti oleh putusan hakim berikutnya.
Angka 3
Pasal 251
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 252
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Dihapus.
Angka 5
Pasal 260
Cukup jelas.
Angka 6
Pasal 292A
Cukup jelas.
Angka 7
Pasal 300
Dihapus.
Angka 8
Pasal 349
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyederhanaan jenis pelayanan publik” adalah menggabungkan beberapa jenis pelayanan publik yang diamanatkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan menjadi 1 (satu) jenis pelayanan yang di dalamnya menampung/memuat substansi pelayanan yang digabungkan tersebut.
Yang dimaksud dengan “penyederhanaan prosedur pelayanan publik” adalah mengurangi dan/atau mengintegrasikan persyaratan atau langkah-langkah pemberian layanan, sehingga mempermudah proses pemberian layanan kepada masyarakat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 9
Pasal 350
Cukup jelas.
Angka 10
Pasal 402A
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sertifikat” antara lain: sertifikat halal, sertifikat laik fungsi, dan lain-lain.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Dalam hal dilakukan penyesuaian peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini, Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan:
Cukup jelas.
Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.