Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
(2) | Setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama dalam penerapan sistem pengupahan tanpa diskriminasi. |
(3) | Setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. |
(1) | Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
(2) | Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan program strategis nasional. |
(3) | Pemerintah Daerah dalam melaksanakan kebijakan pengupahan wajib berpedoman pada kebijakan Pemerintah Pusat. |
(1) | Kebijakan pengupahan ditetapkan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak Pekerja/Buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
(2) | Kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Kebijakan pengupahan ditujukan untuk pencapaian penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. |
(2) | Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dalam bentuk:
|
(1) | Upah terdiri atas komponen:
|
(2) | Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap. |
(3) | Dalam hal komponen Upah terdiri atas Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap. |
(4) | Komponen Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang akan digunakan ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(5) | Persentase besaran Upah pokok dalam komponen Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) untuk jabatan atau pekerjaan tertentu, dapat diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(1) | Pendapatan non-Upah berupa tunjangan hari raya keagamaan. |
(2) | Selain tunjangan hari raya keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha dapat memberikan pendapatan non-Upah berupa:
|
(1) | Tunjangan hari raya keagamaan wajib diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh. |
(2) | Tunjangan hari raya keagamaan wajib dibayarkan paling lama 7 (tujuh) hari sebelum hari raya keagamaan. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tunjangan hari raya keagamaan dan tata cara pembayarannya diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Insentif dapat diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh dalam jabatan atau pekerjaan tertentu. |
(2) | Insentif ditetapkan sesuai kebijakan Perusahaan. |
(1) | Bonus dapat diberikan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh atas keuntungan Perusahaan. |
(2) | Bonus untuk Pekerja/Buruh diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(1) | Perusahaan dapat menyediakan fasilitas kerja bagi:
|
(2) | Dalam hal fasilitas kerja bagi Pekerja/Buruh tidak tersedia atau tidak mencukupi, Perusahaan dapat memberikan uang pengganti fasilitas kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf c. |
(3) | Penyediaan fasilitas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemberian uang pengganti fasilitas kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(1) | Uang servis pada usaha tertentu dikumpulkan dan dikelola oleh Perusahaan. |
(2) | Uang servis pada usaha tertentu wajib dibagikan kepada Pekerja/Buruh . setelah dikurangi biaya cadangan terhadap risiko kehilangan atau kerusakan dan pendayagunaan peningkatan kualitas sumber daya manusia. |
(3) | Ketentuan mengenai uang servis pada usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri. |
a. | satuan waktu; dan/atau |
b. | satuan hasil. |
a. | per jam; |
b. | harian; atau |
c. | bulanan. |
(1) | Penetapan Upah per jam hanya dapat diperuntukkan bagi Pekerja/Buruh yang bekerja secara paruh waktu. | |||||
(2) | Upah per jam dibayarkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh. | |||||
(3) | Kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh lebih rendah dari hasil perhitungan formula Upah per jam. | |||||
(4) | Formula perhitungan Upah per jam sebagai berikut:
|
|||||
(5) | Angka penyebut dalam formula perhitungan Upah per jam dapat dilakukan peninjauan apabila terjadi perubahan median jam kerja Pekerja/Buruh paruh waktu secara signifikan. | |||||
(6) | Peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dan ditetapkan hasilnya oleh Menteri dengan mempertimbangkan hasil kajian yang dilaksanakan oleh dewan pengupahan nasional. |
a. | bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25 (dua puluh lima); atau |
b. | bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 21 (dua puluh satu). |
(1) | Upah berdasarkan satuan hasil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati. |
(2) | Penetapan besarnya Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha. |
(1) | Penetapan besarnya Upah berdasarkan satuan waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah. |
(2) | Dalam hal Upah di perusahaan menggunakan komponen Upah tanpa tunjangan, struktur dan skala Upah menjadi pedoman dalam penetapan besaran Upah tanpa tunjangan. |
(3) | Dalam hal Upah di perusahaan terdiri atas komponen Upah pokok dan tunjangan, struktur dan skala Upah menjadi pedoman dalam penetapan besaran Upah pokok. |
(1) | Pengusaha wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas. |
(2) | Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh secara perorangan. |
(3) | Struktur dan skala Upah yang diberitahukan sekurang-kurangnya struktur dan skala Upah pada golongan jabatan sesuai dengan jabatan Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
(1) | Struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) harus dilampirkan oleh Perusahaan pada saat mengajukan permohonan:
|
(2) | Struktur dan skala Upah yang dilampirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlihatkan kepada pejabat yang berwenang pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(3) | Setelah dokumen struktur dan skala Upah diperlihatkan, pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mengembalikan dokumen struktur dan skalaUpah kepada pihak Perusahaan pada saat itu juga. |
(4) | Selain melampirkan struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Perusahaan melampirkan surat pernyataan telah ditetapkannya struktur dan skala Upah di Perusahaan. |
(5) | Surat pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) didokumentasikan oleh pejabat yang berwenang pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan dan/atau dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, sebagai bukti telah dilakukan penyusunan struktur dan skala Upah. Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala Upah diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Upah minimum merupakan Upah bulanan terendah yaitu:
|
(2) | Dalam hal komponen Upah di Perusahaan terdiri atas Upah pokok dan tunjangan tidak tetap, Upah pokok paling sedikit sebesar Upah minimum. |
(3) | Pengusaha dilarang membayar Upah lebih rendah dari Upah minimum. |
(1) | Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan. |
(2) | Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih berpedoman pada struktur dan skala Upah. |
(1) | Upah minimum terdiri atas:
|
(2) | Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan. |
(3) | Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pertumbuhan ekonomi daerah atau inflasi pada kabupaten/kota yang bersangkutan. |
(4) | Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi variabel:
|
(5) | Data pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median Upah bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. |
(1) | Penyesuaian nilai Upah minimum dilakukan setiap tahun. |
(2) | Penyesuaian nilai Upah minimum ditetapkan pada rentang nilai tertentu di antara batas atas dan batas bawah Upah minimum pada wilayah yang bersangkutan. |
(3) | Batas atas Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan acuan nilai Upah minimum tertinggi yang dapat ditetapkan dan dihitung menggunakan formula sebagai berikut: |
(4) | Batas bawah Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan acuan nilai Upah minimum terendah yang dapat ditetapkan dan dihitung menggunakan formula sebagai berikut: |
(5) | Nilai Upah minimum tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan formula penyesuaian nilai Upah minimum sebagai berikut: |
(6) | Rata-rata konsumsi per kapita, rata-rata banyaknya anggota rumah tangga, dan rata-rata banyaknya anggota rumah tangga bekerja pada setiap rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menggunakan data di wilayah yang bersangkutan. |
(7) | Nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan dalam formula penyesuaian nilai Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi. |
(8) | Data sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. |
(1) | Gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi setiap tahun. |
(2) | Penyesuaian nilai Upah minimum provinsi dilakukan sesuai dengan tahapan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. |
(3) | Nilai penyesuaian Upah minimum provinsi yang ditetapkan harus berdasarkan hasil perhitungan penyesuaian nilai Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Dalam hal Upah minimum provinsi tahun berjalan lebih tinggi dari batas atas Upah minimum provinsi maka gubernur wajib menetapkan Upah minimum provinsi tahun berikutnya sama dengan nilai Upah minimum provinsi tahun berjalan. |
(1) | Perhitungan penyesuaian nilai Upah minimum provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dilakukan oleh dewan pengupahan provinsi. |
(2) | Hasil perhitungan penyesuaian nilai Upah minimum provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) direkomendasikan kepada gubernur melalui dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi. |
(1) | Upah minimum provinsi ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan paling lambat tanggal 21 November tahun berjalan. ' |
(2) | Dalam hal tanggal 21 November jatuh pada hari Minggu, hari libur nasional, atau hari libur resmi, Upah minimum provinsi ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur 1 (satu) hari sebelum hari Minggu, hari libur nasional, atau hari libur resmi. |
(3) | Upah minimum provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. |
(4) | Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. |
(1) | Gubernur dapat menetapkan Upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. |
(2) | Syarat tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
(1) | Upah minimum kabupaten/kota ditetapkan setelah penetapan Upah minimum provinsi. |
(2) | Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus lebih tinggi dari Upah minimum provinsi. |
(1) | Penetapan Upah minimum bagi kabupaten/kota yang belum memiliki Upah minimum kabupaten/kota, menggunakan formula perhitungan Upah minimum dengan tahapan perhitungan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masing-masing dihitung berdasarkan nilai rata-rata 3 (tiga) tahun terakhir dari data yang tersedia pada periode yang sama. | ||||||||
(3) | Dalam hal syarat tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) tidak terpenuhi maka gubernur tidak dapat menetapkan Upah minimum bagi kabupaten /kota yang belum memiliki Upah minimum kabupaten/kota. |
(1) | Perhitungan nilai Upah minimum kabupaten/kota dilakukan oleh dewan pengupahan kabupaten/kota. |
(2) | Hasil perhitungan Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada bupati/wali kota untuk direkomendasikan kepada gubernur melalui dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi. |
(3) | Dalam hal hasil perhitungan Upah minimum kabupaten/kota lebih rendah dari nilai Upah minimum provinsi maka bupati/wali kota tidak dapat merekomendasikan nilai Upah minimum kabupaten/kota kepada gubernur. |
(1) | Penetapan Upah minimum bagi kabupaten/kota yang telah memiliki Upah minimum kabupaten/kota dilakukan dengan penyesuaian nilai Upah minimum. |
(2) | Penyesuaian nilai Upah minimum kabupaten/kota dilakukan sesuai tahapan perhitungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26. |
(3) | Pertumbuhan ekonomi atau inflasi yang digunakan dalam formula penyesuaian nilai Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (5) merupakan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi. |
(4) | Perhitungan penyesuaian nilai Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh dewan pengupahan kabupaten / kota. |
(5) | Hasil perhitungan penyesuaian nilai Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada bupati/wali kota untuk direkomendasikan kepada gubernur melalui dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi. |
(6) | Dalam hal Upah minimum kabupaten/kota tahun berjalan lebih tinggi dari batas atas Upah minimum kabupaten/kota maka bupati/wali kota harus merekomendasikan kepada gubernur nilai Upah minimum kabupaten/kota tahun berikutnya sama dengan nilai Upah minimum kabupaten/kota tahun berjalan. |
(1) | Gubernur meminta saran dan pertimbangan dewan pengupahan provinsi dalam menetapkan Upah minimum kabupaten/kota yang direkomendasikan oleh bupati/wali kota. |
(2) | Upah minimum kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur dan diumumkan paling lambat pada tanggal 30 November tahun berjalan. |
(3) | Dalam hal tanggal 30 November jatuh pada hari Minggu, hari libur nasional, atau hari libur resmi, Upah minimum kabupaten/kota ditetapkan dan diumumkan oleh gubernur 1 (satu) hari sebelum hari Minggu, hari libur nasional, atau hari libur resmi. |
(4) | Upah minimum kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya. |
(5) | Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) tidak boleh bertentangan dengan kebijakan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4. |
(1) | Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 sampai dengan Pasal 35 dikecualikan bagi usaha mikro dan usaha kecil. |
(2) | Upah pada usaha mikro dan usaha kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh di Perusahaan dengan ketentuan:
|
(3) | Rata-rata konsumsi masyarakat dan garis kemiskinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b menggunakan data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik. |
(1) | Upah tidak dibayar apabila Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dan Pengusaha wajib membayar Upah jika Pekerja/Buruh:
|
(3) | Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
|
(4) | Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
|
(5) | Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat atau cutinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c apabila Pekerja/Buruh melaksanakan:
|
(1) | Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a sebagai berikut:
|
(2) | Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh perempuan yang tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama 2 (dua) hari. |
(3) | Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf c sebagai berikut:
|
(1) | Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) huruf a tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara kurang dari besarnya Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha wajib membayar kekurangannya. |
(2) | Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) huruf a tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara sama atau lebih besar dari Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha tidak wajib membayar. |
(3) | Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pengusaha. |
(1) | Pengusaha melakukan peninjauan Upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas. |
(2) | Peninjauan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(1) | Perusahaan yang dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, Upah dan hak lainnya yang belum diterima oleh Pekerja/Buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya. |
(2) | Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sebelum pembayaran kepada semua kreditur. |
(3) | Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali kepada para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan. |
(1) | Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk secara sah berhak meminta keterangan mengenai Upah untuk dirinya dalam hal keterangan terkait Upah tersebut hanya dapat diperoleh melalui dokumen Perusahaan. |
(2) | Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil maka Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk berhak meminta bantuan kepada Pengawas Ketenagakerjaan. |
(3) | Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Upah wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
(2) | Pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran Upah yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh pada saat Upah dibayarkan. |
(3) | Pembayaran Upah oleh Pengusaha dilakukan berdasarkan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(4) | Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan kepada pihak ketiga berdasarkan surat kuasa dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan. |
(1) | Pembayaran Upah harus dilakukan dengan mata uang rupiah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran Upah. |
(1) | Pengusaha wajib membayar Upah pada waktu yang telah diperjanjikan antara Pengusaha dengan Pekerj a/Buruh. |
(2) | Dalam hal hari atau tanggal yang telah disepakati jatuh pada hari libur, hari yang diliburkan, atau hari istirahat mingguan, pelaksanaan pembayaran Upah diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(3) | Upah dapat dibayarkan dengan cara harian, mingguan, atau bulanan. |
(4) | Jangka waktu pembayaran Upah oleh Pengusaha tidak boleh lebih dari 1 (satu) bulan. |
(1) | Pembayaran Upah dilakukan pada tempat yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(2) | Dalam hal tempat pembayaran Upah tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama maka pembayaran Upah dilakukan di tempat Pekerja/Buruh bekerja. |
(1) | Upah dapat dibayarkan secara langsung kepada Pekerja/Buruh atau melalui bank. |
(2) | Dalam hal Upah dibayarkan melalui bank maka Upah harus sudah dapat diuangkan oleh Pekerja/Buruh pada tanggal pembayaran Upah yang disepakati kedua belah pihak. |
(1) | Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah terdiri atas:
|
(2) | Hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(1) | Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(2) | Dalam hal denda tidak diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama maka pengenaan denda mengacu pada ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Denda kepada Pengusaha atau Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dipergunakan hanya untuk kepentingan Pekerja/Buruh. |
(2) | Jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda, dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(1) | Pengusaha yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dikenai denda, dengan ketentuan:
|
(2) | Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh. |
(1) | Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan hari raya keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar. |
(2) | Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh. |
(1) | Pemotongan Upah oleh Pengusaha dapat dilakukan untuk pembayaran:
|
(2) | Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(3) | Pemotongan upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis. |
(4) | Pemotongan Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dilakukan tanpa persetujuan Pekerja/Buruh. |
(1) | Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan berdasarkan surat kuasa dari Pekerja/Buruh. |
(2) | Surat kuasa setiap saat dapat ditarik kembali. |
(3) | Surat kuasa dari Pekerja/Buruh dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada badan yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Komponen Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja terdiri atas:
|
(2) | Dalam hal Pengusaha membayarkan Upah tanpa tunjangan maka dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, yaitu Upah tanpa tunjangan. |
(3) | Dalam hal komponen Upah yang digunakan yaitu Upah pokok dan tunjangan tidak tetap maka dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, yaitu Upah pokok. |
(1) | Upah untuk pembayaran uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 diberikan dengan ketentuan:
|
(2) | Dalam hal Upah sebulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b lebih rendah dari Upah minimum, Upah yang menjadi dasar perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja yaitu Upah minimum yang berlaku di wilayah tempat Pekerja/Buruh bekerja. |
(1) | Upah untuk perhitungan pajak penghasilan yang dibayarkan untuk pajak penghasilan dihitung dari seluruh penghasilan yang diterima oleh Pekerj a / Buruh. |
(2) | Pajak penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibebankan kepada Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama. |
(3) | Upah untuk perhitungan pajak penghasilan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dewan pengupahan terdiri atas:
|
(2) | Dalam hal diperlukan, dapat dibentuk dewan pengupahan kabupaten/kota. |
(1) | Dewan pengupahan nasional dibentuk oleh Presiden. |
(2) | Dewan pengupahan provinsi dibentuk oleh gubernur. |
(3) | Dewan pengupahan kabupaten/kota dibentuk oleh bupati/wali kota. |
(1) | Dewan pengupahan nasional bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah Pusat dalam rangka:
|
(2) | Dewan pengupahan provinsi bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada gubernur dalam rangka:
|
(3) | Dewan pengupahan kabupaten/kota bertugas memberikan saran dan pertimbangan kepada bupati/wali kota dalam rangka:
|
(1) | Keanggotaan dewan pengupahan terdiri atas unsur pemerintah, organisasi Pengusaha, Serikat Pekerja/Serikat Buruh, akademisi, dan pakar. |
(2) | Keanggotaan dewan pengupahan dari unsur pemerintah bersifat melekat pada jabatan (ex officio). |
(3) | Keanggotaan dewan pengupahan dari unsur pemerintah, organisasi Pengusaha, dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dengan komposisi perbandingan 2:1:1 (dua banding satu banding satu). |
(4) | Keanggotaan dewan pengupahan dari unsur akademisi dan pakar jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan. |
(5) | Susunan keanggotaan dewan pengupahan terdiri atas:
|
(6) | Keseluruhan anggota dewan pengupahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berjumlah gasal. |
(1) | Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas rutin dewan pengupahan nasional, dewan pengupahan provinsi, dan dewan pengupahan kabupaten /kota dibantu oleh sekretariat. |
(2) | Sekretariat dewan pengupahan nasional dibentuk oleh Menteri. |
(3) | Sekretariat dewan pengupahan provinsi dibentuk oleh gubernur. |
(4) | Sekretariat dewan pengupahan kabupaten/kota dibentuk oleh bupati/wali kota. |
(1) | Anggota dewan pengupahan nasional diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri. |
(2) | Anggota dewan pengupahan provinsi diangkat dan diberhentikan oleh gubernur atas usul kepala dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan provinsi. |
(3) | Anggota dewan pengupahan kabupaten/kota diangkat dan diberhentikan oleh bupati/wali kota atas usul kepala dinas yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan kabupaten / kota. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan dan pemberhentian dewan pengupahan diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Untuk dapat diangkat menjadi anggota dewan pengupahan, calon anggota harus memenuhi persyaratan:
|
(2) | Anggota dewan pengupahan dari unsur organisasi Pengusaha dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk paling lama 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya. |
(3) | Anggota dewan pengupahan dari unsur akademisi dan pakar diangkat untuk 1 (satu) kali masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali hanya untuk' paling lama 2 (dua) kali masa jabatan berikutnya. |
(4) | Selain berakhirnya masa jabatan, anggota dewan pengupahan diberhentikan jika:
|
(5) | Penggantian anggota dewan pengupahan yang diberhentikan dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diusulkan oleh:
|
(6) | Dalam hal anggota dewan pengupahan mengundurkan diri atas permintaan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, permintaan disampaikan oleh anggota yang bersangkutan kepada:
|
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggantian anggota dewan pengupahan diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Saran dan pertimbangan dewan pengupahan disampaikan dalam bentuk surat rekomendasi. |
(2) | Perumusan saran dan pertimbangan dilakukan berdasarkan musyawarah untuk mufakat. |
(3) | Dalam hal musyawarah tidak mencapai mufakat maka dapat dilakukan pemungutan suara terbanyak. |
(4) | Ketentuan mengenai tata kerja dewan pengupahan diatur dengan Peraturan Menteri. |
(1) | Pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dewan pengupahan nasional dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara bagian anggaran kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(2) | Pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dewan pengupahan provinsi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi. |
(3) | Pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dewan pengupahan kabupaten/kota dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota. |
(4) | Selain sumber pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sumber pendanaan yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas dewan pengupahan dapat berasal dari sumber lain yang sah dan tidak mengikat. |
(1) | Pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (1), Pasal 9 ayat (2), Pasal 13 ayat (2), Pasal 21 ayat (1), Pasal 21 ayat (2), dan/atau Pasal 53 ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap. |
(3) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan peringatan tertulis atas pelanggaran yang dilakukan oleh Pengusaha. |
(4) | Pembatasan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
(5) | Penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berupa tindakan tidak menjalankan sebagian atau seluruh alat produksi barang dan/atau jasa dalam waktu tertentu. |
(6) | Pembekuan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d berupa tindakan menghentikan seluruh proses produksi barang dan/atau jasa di Perusahaan dalam waktu tertentu. |
(1) | Menteri, menteri terkait, gubernur, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 kepada Pengusaha. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan yang berasal dari:
|
(3) | Tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan dituangkan dalam nota pemeriksaan. |
(4) | Dalam hal nota pemeriksaan tidak dilaksanakan oleh Pengusaha, Pengawas Ketenagakerjaan menyampaikan laporan ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan beserta nota pemeriksaan kepada:
|
(5) | Direktur jenderal atau kepala dinas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menyampaikan rekomendasi kepada pejabat yang berwenang mengenakan sanksi administratif. |
(6) | Menteri terkait, gubernur, bupati/wali kota, atau pejabat yang ditunjuk memberitahukan pelaksanaan pengenaan sanksi administratif kepada Menteri. |
(1) | Perusahaan yang telah memberikan Upah lebih tinggi dari Upah minimum yang telah ditetapkan, Pengusaha dilarang mengurangi atau menurunkan Upah. |
(2) | Pengusaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.