PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON
NOMOR 1 TAHUN 2023

TENTANG

PAJAK SARANG BURUNG WALET

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BUTON,

Menimbang :
  1. bahwa pajak sarang burung walet merupakan pendapatan asli daerah yang menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pembangunan di daerah, sehingga pembangunan dapat berjalan dengan baik dan mampu meningkatkan pertumbuhan perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
  2. bahwa Kabupaten Buton memiliki potensi pengembangbiakan sarang burung walet yang cukup besar, sehingga dapat menjadi sumber pendapatan asli daerah dari sektor pajak daerah;
  3. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pajak ditetapkan dengan peraturan daerah;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Sarang Burung Walet;
Mengingat : 
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II di Sulawesi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1822);
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN BUTON
dan
BUPATI BUTON

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK SARANG BURUNG WALET.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah adalah Kabupaten Buton.
  2. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  3. Kepala Daerah adalah Bupati Buton.
  4. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  5. Subyek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai pajak.
  6. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  7. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, Yayasan, organisasi massa, organisasi politik, atau organisasi lainnya, Lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  8. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
  9. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
  10. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
  11. Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  12. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak serta pengawasan penyetorannya.
  13. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  14. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
  15. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak yang terutang.
  16. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  17. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  18. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  19. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Pasal 2

(1) Pajak Sarang Burung walet merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(2) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(3) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 3

(1) Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak.
(2) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak oleh Kepala Daerah; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak.
(3) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.


BAB II
NAMA, OBJEK, SUBJEK, DAN WAJIB PAJAK

Pasal 4

(1) Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
(2) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
(3) Tidak termasuk objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).


Pasal 5

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
 

BAB III
DASAR PENGENAAN, TARIF DAN CARA PENGHITUNGAN PAJAK

Pasal 6

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
  

Pasal 7

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 2,5 % (dua koma lima persen).


Pasal 8

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.


BAB IV
WILAYAH PEMUNGUTAN

Pasal 9

Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.


BAB V
MASA PAJAK, TAHUN PAJAK DAN SURAT PEMBERITAHUAN PAJAK DAERAH

Pasal 10

(1) Saat terutang pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang.
(4) Tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
   

Pasal 11

(1) Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak.
(4) SPTPD sabagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Daerah setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD dan batas waktu penyampaian SPTPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.


BAB VI
TATA CARA PEMUNGUTAN, PEMBAYARAN DAN PENAGIHAN

Bagian Kesatu
Tata Cara Pemungutan

Pasal 12

(1) Bupati dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya Pajak dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN.
(2) Penerbitan SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika:
a. berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
b. SPTPD tidak disampaikan kepada Bupati dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam surat teguran; atau
c. kewajiban mengisi SPTPD tidak dipenuhi, Pajak yang terutang dihitung secara jabatan.
(3) Penerbitan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah Pajak yang terutang.
(4) Penerbitan SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.
(5) Penambahan jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKBT tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan penetapan Pajak Sarang Burung Walet diatur dalam Peraturan Kepala Daerah.


Bagian Kedua
Tata Cara Pembayaran

Pasal 13

(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
(3) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
(4) Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.


Bagian Kedua
Tata Cara Penagihan

Pasal 14

(1) Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD dalam hal:
a. hasil penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
b. SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(2) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
 

Pasal 15

(1) Pajak yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh penanggung pajak setelah jatuh tempo merupakan dasar pelaksanaan penagihan Pajak.
(2) Penagihan Pajak diawali dengan imbauan kepada penanggung pajak untuk melunasi Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo.
(3) Dalam hal setelah imbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak belum melunasi utang pajak, Kepala Daerah dapat melakukan penagihan terhadap penanggung pajak.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui penagihan dengan surat paksa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 16

(1) Dalam rangka melakukan penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Kepala Daerah berwenang menunjuk pejabat untuk melaksanakan penagihan.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. mengangkat dan memberhentikan jurusita pajak; dan
b. menerbitkan:
1. surat teguran, surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
2. surat perintah penagihan seketika, dan sekaligus;
3. surat paksa;
4. surat perintah melaksanakan penyitaan;
5. surat perintah penyanderaan;
6. surat pencabutan sita;
7. pengumuman lelang;
8. surat penentuaan harga limit;
9. pembatalan lelang; dan
10. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.
(3) Jurusita pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melaksanakan penagihan pajak sesuai alur penagihan pajak.
  

Pasal 17

(1) Alur penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) diawali dengan penerbitan surat teguran.
(2) Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah tanggal surat teguran, penanggung pajak harus melunasi utang pajak.
(3) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam surat teguran terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi utang pajaknya, terhadap penanggung pajak diterbitkan surat paksa.


BAB VII
PENGEMBALIAN KELEBIHAN PEMBAYARAN

Pasal 18

(1) Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian secara tertuls kepada Kepala Daerah.
(2) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan.
(3) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Apabila wajib pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak lainnya tersebut.
(5) Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
(6) Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak.
(7) Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.


BAB VIII
KEBERATAN DAN BANDING

Bagian Kesatu
Keberatan

Pasal 19

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk terhadap SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak, dengan disertai alasan-alasan yang jelas.
(3) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya.
(4) Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah.
(5) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar pajak terutang paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(6) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan.
(7) Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(8) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
(9) Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2).
(10) Pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

(1) Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) diterima, harus mengeluarkan keputusan atas keberatan yang diajukan.
(2) Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah tidak memberikan keputusan, permohonan keberatan dianggap dikabulkan.
(3) Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian atau menambah besarnya pajak yang terutang.
(4) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar pajak.
 

Bagian Kedua
Banding

Pasal 21

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak terhadap Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya keputusan keberatan, dengan dilampiri salinan dari surat keberatan tersebut.
(3) Pengajuan permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
 

Pasal 22

(1) Apabila pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 atau banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.

     
BAB IX
KEDALUWARSA

Pasal 23

(1) Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Dalam hal saat terutang pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala daerah berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
(3) Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
a. diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa, atau
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(4) Dalam hal diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat teguran dan/atau surat paksa.
(5) Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(6) Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
(7) Dalam hal ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut.


Pasal 24

(1) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Kepala Daerah menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Kepala Daerah.


BAB X
INSENTIF PEMUNGUTAN

Pasal 25

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif diatur dalam Peraturan Kepala Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.


BAB XI
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 26

(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan daerah dan retribusi daerah;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
d. memeriksa buku, catatan dan dokumen lain yang berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti, pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda dan /atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 27

(1) Wajib Pajak yang tidak menyampaikan, mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan Keuangan Daerah dipidana dengan pidana kurungan maksimal 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran.


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Buton.




Ditetapkan di Pasarwajo
pada tanggal 9 Januari 2023
Pj. BUPATI BUTON,

ttd.

BASIRAN


Diundangkan di Pasarwajo
pada tanggal 9 Januari 2023
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN BUTON,

ttd.

ASNAWI JAMALUDDIN



LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON TAHUN 2023 NOMOR 187





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BUTON
NOMOR 1 TAHUN 2023

TENTANG

PAJAK SARANG BURUNG WALET

I. UMUM

Kebijakan keuangan daerah selama ini dilaksanakan dengan meningkatkan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah terutama yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah pusat yang ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan kapasitas fiskal daerah untuk menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan pungutan memaksa lainnya (retribusi dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah.

Pajak Sarang Burung Walet yang sangat berpotensi kini telah menjadi perhatian dan sasaran pemerintah dalam pemungutan pajak sarang burung walet. Mengingat daya jual yang terbilang cukup tinggi, penerapan pajak terhadap sarang burung walet sangat berpotensi dapat membantu pertumbuhan pajak dan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Di Kabupaten Buton agrobisnis sarang burung walet merupakan hal yang tergolong masih baru. Tingginya harga yang ditawarkan dan banyaknya permintaan membuat usaha budidaya burung walet di Kabupaten Buton akhir-akhir ini terus bertambah. Pengembangan sarang burung walet di Kabupaten Buton memiliki potensi yang sangat baik karena didukung oleh kondisi fisik lingkungan Kabupaten Buton yang terletak di pesisir pantai, banyak tebing-tebing tinggi, gua pinggir laut dan suhu yang cocok serta memiliki sumber makanan yang melimpah merupakan tempat yang disukai burung walet.

Pajak Sarang Burung Walet dikenakan terhadap orang maupun badan yang melakukan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Tidak semua daerah Kabupaten/Kota memiliki potensi sarang burung walet. Sehingga jika ditelaah, Pajak Sarang Burung Walet ini termasuk salah satu potensi daerah yang unik yang hanya dapat ditemui di beberapa daerah tertentu. Dengan potensi daerah yang berasal dari pengusahaan sarang burung walet ini, apabila dilaksanakan proses pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet secara signifikan, mampu mendorong peningkatan pendapatan asli daerah Kabupaten Buton.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengamanatkan bahwa tarif pajak sarang burung walet ditetapkan dengan peraturan daerah. Kemudian lebih ditekankan lagi bahwa pajak ditetapkan dengan peraturan daerah. Ketentuan tersebut mengharuskan untuk menetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah terlebih dahulu sebelum dilakukan pemungutan pajak daerah, sehingga penetapan peraturan daerah tentang pajak sarang burung walet menjadi prasyarat terhadap pemberlakuan pajak sarang burung walet di Kabupaten Buton.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, guna terciptanya kepastian hukum dan tertib dasar peraturan perundang-undangan maka dipandang perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Buton tentang Pajak Sarang Burung Walet.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BUTON NOMOR 59

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA