Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Pajak Sarang Burung walet merupakan jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak. |
(2) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah. |
(3) | Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemungutan Pajak Sarang Burung Walet dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. |
(1) | Dengan nama Pajak Sarang Burung Walet dipungut pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. |
(2) | Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. |
(3) | Tidak termasuk objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). |
(1) | Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet. |
(2) | Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet. |
(2) | Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet. |
(1) | Saat terutang pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subyektif dan obyektif atas suatu jenis Pajak dalam satu kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. |
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak. |
(3) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. |
(4) | Tahun pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali jika Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. |
(1) | Wajib Pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) mengisi SPTPD. |
(2) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. |
(3) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu masa Pajak. |
(4) | SPTPD sabagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kepala Daerah setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD dan batas waktu penyampaian SPTPD ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Bupati dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sesudah saat terutangnya Pajak dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, dan SKPDN. | ||||||
(2) | Penerbitan SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika:
|
||||||
(3) | Penerbitan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap yang menyebabkan penambahan jumlah Pajak yang terutang. | ||||||
(4) | Penerbitan SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan jika jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak. | ||||||
(5) | Penambahan jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKBT tidak dikenakan apabila Wajib Pajak melaporkan sendiri sebelum dilakukan tindakan pemeriksaan. | ||||||
(6) | Ketentuan mengenai tata cara penghitungan dan penetapan Pajak Sarang Burung Walet diatur dalam Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. |
(2) | Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD. |
(3) | Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. |
(4) | Kepala Daerah menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak. |
(1) | Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD dalam hal:
|
||||||
(2) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 2% (dua persen) perbulan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(1) | Pajak yang terutang berdasarkan SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh penanggung pajak setelah jatuh tempo merupakan dasar pelaksanaan penagihan Pajak. |
(2) | Penagihan Pajak diawali dengan imbauan kepada penanggung pajak untuk melunasi Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo. |
(3) | Dalam hal setelah imbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak belum melunasi utang pajak, Kepala Daerah dapat melakukan penagihan terhadap penanggung pajak. |
(4) | Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui penagihan dengan surat paksa sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka melakukan penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1), Kepala Daerah berwenang menunjuk pejabat untuk melaksanakan penagihan. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Jurusita pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a melaksanakan penagihan pajak sesuai alur penagihan pajak. |
(1) | Alur penagihan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (3) diawali dengan penerbitan surat teguran. |
(2) | Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah tanggal surat teguran, penanggung pajak harus melunasi utang pajak. |
(3) | Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam surat teguran terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi utang pajaknya, terhadap penanggung pajak diterbitkan surat paksa. |
(1) | Atas kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian secara tertuls kepada Kepala Daerah. |
(2) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan, sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memberikan keputusan. |
(3) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. |
(4) | Apabila wajib pajak mempunyai utang pajak lainnya, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak lainnya tersebut. |
(5) | Pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB. |
(6) | Jika pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran pajak. |
(7) | Tata cara pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk terhadap SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, dan pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga. | ||||||||||
(2) | Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak, dengan disertai alasan-alasan yang jelas. | ||||||||||
(3) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat atau tanggal pemotongan atau pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasannya. | ||||||||||
(4) | Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||
(5) | Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar pajak terutang paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. | ||||||||||
(6) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai Surat Keberatan. | ||||||||||
(7) | Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Kepala Daerah atau pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. | ||||||||||
(8) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. | ||||||||||
(9) | Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). | ||||||||||
(10) | Pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat permohonan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) diterima, harus mengeluarkan keputusan atas keberatan yang diajukan. |
(2) | Apabila setelah lewat waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Daerah tidak memberikan keputusan, permohonan keberatan dianggap dikabulkan. |
(3) | Keputusan Kepala Daerah atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian atau menambah besarnya pajak yang terutang. |
(4) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunda kewajiban membayar pajak. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding kepada Pengadilan Pajak terhadap Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah. |
(2) | Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak diterimanya keputusan keberatan, dengan dilampiri salinan dari surat keberatan tersebut. |
(3) | Pengajuan permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(1) | Apabila pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 atau banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB. |
(1) | Hak untuk melakukan penagihan pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. | ||||
(2) | Dalam hal saat terutang pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala daerah berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT. | ||||
(3) | Kedaluwarsa penagihan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||||
(4) | Dalam hal diterbitkan surat teguran dan/atau surat paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian surat teguran dan/atau surat paksa. | ||||
(5) | Pengakuan utang pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. | ||||
(6) | Pengakuan utang secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. | ||||
(7) | Dalam hal ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut. |
(1) | Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. |
(2) | Kepala Daerah menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara penghapusan piutang pajak yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Kepala Daerah. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan pajak dapat diberikan insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif diatur dalam Peraturan Kepala Daerah dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang mengenai Hukum Acara Pidana. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Wajib Pajak yang tidak menyampaikan, mengisi dengan tidak benar atau tidak lengkap SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, atau melampirkan keterangan yang tidak benar sehingga merugikan Keuangan Daerah dipidana dengan pidana kurungan maksimal 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. |
I. | UMUM Kebijakan keuangan daerah selama ini dilaksanakan dengan meningkatkan kemampuan pembiayaan pemerintah daerah terutama yang bersumber dari pajak daerah dan retribusi daerah. Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan kebijakan desentralisasi fiskal pemerintah pusat yang ditujukan dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan kapasitas fiskal daerah untuk menjalankan setiap urusan yang dilimpahkan kepada daerah. Oleh karena itu pemerintah daerah diberikan kewenangan memungut pajak dan pungutan memaksa lainnya (retribusi dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah) sebagai bagian dari pendapatan asli daerah. Pajak Sarang Burung Walet yang sangat berpotensi kini telah menjadi perhatian dan sasaran pemerintah dalam pemungutan pajak sarang burung walet. Mengingat daya jual yang terbilang cukup tinggi, penerapan pajak terhadap sarang burung walet sangat berpotensi dapat membantu pertumbuhan pajak dan pertumbuhan ekonomi nasional Indonesia. Di Kabupaten Buton agrobisnis sarang burung walet merupakan hal yang tergolong masih baru. Tingginya harga yang ditawarkan dan banyaknya permintaan membuat usaha budidaya burung walet di Kabupaten Buton akhir-akhir ini terus bertambah. Pengembangan sarang burung walet di Kabupaten Buton memiliki potensi yang sangat baik karena didukung oleh kondisi fisik lingkungan Kabupaten Buton yang terletak di pesisir pantai, banyak tebing-tebing tinggi, gua pinggir laut dan suhu yang cocok serta memiliki sumber makanan yang melimpah merupakan tempat yang disukai burung walet. Pajak Sarang Burung Walet dikenakan terhadap orang maupun badan yang melakukan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. Tidak semua daerah Kabupaten/Kota memiliki potensi sarang burung walet. Sehingga jika ditelaah, Pajak Sarang Burung Walet ini termasuk salah satu potensi daerah yang unik yang hanya dapat ditemui di beberapa daerah tertentu. Dengan potensi daerah yang berasal dari pengusahaan sarang burung walet ini, apabila dilaksanakan proses pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet secara signifikan, mampu mendorong peningkatan pendapatan asli daerah Kabupaten Buton. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengamanatkan bahwa tarif pajak sarang burung walet ditetapkan dengan peraturan daerah. Kemudian lebih ditekankan lagi bahwa pajak ditetapkan dengan peraturan daerah. Ketentuan tersebut mengharuskan untuk menetapkan peraturan daerah tentang pajak daerah terlebih dahulu sebelum dilakukan pemungutan pajak daerah, sehingga penetapan peraturan daerah tentang pajak sarang burung walet menjadi prasyarat terhadap pemberlakuan pajak sarang burung walet di Kabupaten Buton. Berdasarkan pertimbangan tersebut, guna terciptanya kepastian hukum dan tertib dasar peraturan perundang-undangan maka dipandang perlu menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Buton tentang Pajak Sarang Burung Walet. |
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.