PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA TEGAL,


Menimbang :
  1. bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah untuk membiayai penyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan, serta pelayanan kepada masyarakat demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
  2. bahwa optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilaksanakan sesuai potensi daerah guna mendukung terciptanya iklim invetasi dan kemudahan berusaha serta peningkatan kesejahteraan masyarakat;
  3. bahwa sesuai ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Mengingat :
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kota Kecil dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1954 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 16 dan Nomor 17 Tahun 1950 tentang Pembentukan Kota-Kota Besar dan Kota-Kota Kecil di Jawa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1954 Nomor 40, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 551);
  3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2023 tentang Provinsi Jawa Tengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 58, Tambahan lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6867);
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 Tentang Pemungutan Pajak Daerah dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6762);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);

Dengan Persetujuan Bersama,
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TEGAL
dan
WALI KOTA TEGAL

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah adalah Kota Tegal.
  2. Pemerintah Daerah adalah Wali Kota sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
  3. Wali Kota adalah Wali Kota Tegal.
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintah Daerah.
  5. Perangkat Daerah adalah unsur pembantu Wali Kota dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah.
  6. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  7. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  8. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
  9. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
  10. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
  12. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
  13. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  14. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
  15. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
  16. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
  17. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  18. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  19. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
  20. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan di dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
  21. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
  22. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
  23. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
  24. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
  25. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
  26. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
  27. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
  28. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
  29. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
  30. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
  31. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
  32. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
  33. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
  34. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  35. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh Daerah atas pokok BBNKB ngan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  36. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  37. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
  38. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
  39. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
  40. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
  41. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan Standar Teknis Bangunan Gedung.
  42. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah kecuali untuk Bangunan Gedung Fungsi Khusus oleh Pemerintah Pusat, untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagai syarat untuk dapat dimanfaatkan.
  43. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
  44. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

BAB II
PAJAK DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis Pajak Daerah

Paragraf 1
Umum

Pasal 2

(1) Jenis Pajak Daerah terdiri atas :
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT, atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan
5. Jasa Kesenian dan Hiburan.
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
(2) Jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f dan huruf g tidak dipungut.


Pasal 3

(1) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. Pajak Reklame;
c. PAT;
d. Opsen PKB; dan
e. Opsen BBNKB.
(2) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
a. BPHTB;
b. PBJT, atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan
5. Jasa Kesenian dan Hiburan.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(5) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 2
PBB-P2

Pasal 4

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Yang dikecualikan dari obyek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.


Pasal 5

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


Pasal 6

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah di Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
(6) Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
a. kenaikan NJOP hasil penilaian;
b. bentuk pemanfaatan objek pajak; dan/atau
c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota
(7) Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota.
(8) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(9) Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.


Pasal 7

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
a. untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun; dan
b. untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun.
(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan lahan ternak ditetapkan sebesar 0,08% (nol koma nol delapan persen).


Pasal 8

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7.


Pasal 9

(1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
(3) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(4) Tempat PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
(5) Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
a. laut pedalaman dan perairan darat serta bangunan di atasnya; dan
b. Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.


Paragraf 3
BPHTB

Pasal 10

(1) Objek BPHTB yaitu Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas Badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
(6) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.


Pasal 11

(1) Subjek Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB yaitu orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Pasal 12

(1) Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yakni NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
(5) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


Pasal 13

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Pasal 14

(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.


Pasal 15

(1) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(2) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.


Paragraf 4
PBJT

Pasal 16

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. makanan dan/atau minuman;
b. tenaga listrik;
c. jasa perhotelan;
d. jasa parkir; dan
e. jasa kesenian dan hiburan.


Pasal 17

(1) Penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan makanan dan/atau minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) perbulan.
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
c. dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman.
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.


Pasal 18

(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.


Pasal 19

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 20

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan Negara asing dengan azas timbal balik.


Pasal 21

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.


Pasal 22

(1) Subjek Pajak PBJT yaitu konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib Pajak PBJT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.


Pasal 23

(1) Dasar pengenaan PBJT yaitu jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. jumlah pembayaran kepada penyelenggara tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas kesenian dan hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
(3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.


Pasal 24

(1) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
a. Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
b. Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
(2) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
a. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
b. jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
(3) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
a. kapasitas tersedia;
b. tingkat penggunaan listrik;
c. jangka waktu pemakaian listrik; dan
d. harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.


Pasal 25

(1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen);
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen);
(3) Khusus tarif PBJT atas jasa mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
(4) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).


Pasal 26

(1) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
a. pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir;
e. pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan
(2) Wilayah pemungutan PBJT yang terutang adalah wilayah Daerah tempat layanan atas barang dan/atau jasa tertentu dijual, dikonsumsi, dan/atau diserahkan.
(3) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1).


Paragraf 5
Pajak Reklame

Pasal 27

(1) Objek Pajak Reklame yaitu semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. reklame papan/billboard/videotron/megatron;
b. reklame kain;
c. reklame melekat/stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame film/slide; dan
i. reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
f. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan Pendidikan.


Pasal 28

Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame.


Pasal 29

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Pasal 30

(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame yaitu nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor:
a. jenis;
b. bahan yang digunakan;
c. lokasi penempatan;
d. waktu penayangan;
e. jangka waktu penyelenggaraan;
f. jumlah; dan
g. ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.


Pasal 31

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25 % (dua puluh lima persen).


Pasal 32

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31.
(2) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
(3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.


Paragraf 6
PAT

Pasal 33

(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. pendidikan dan sosial.


Pasal 34

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Pasal 35

(1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(5) Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.


Pasal 36

Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).


Pasal 37

(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Paragraf 8
Opsen

Pasal 38

Opsen dikenakan atas Pajak terutang dari:
a. PKB;
b. BBNKB.


Pasal 39

(1) Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 huruf a dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
(2) Wajib Pajak Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a merupakan Wajib PKB.
(3) Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.


Pasal 40

(1) Dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a merupakan PKB terutang.
(2) Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
(3) Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.


Pasal 41

Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen)


Pasal 42

Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB dengan tarif Opsen PKB.


Pasal 43

(1) Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 huruf b dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.
(2) Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
(3) Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.

 
Pasal 44

(1) Dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b merupakan BBNKB terutang.
(2) Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
(3) Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.


Pasal 45

Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen).


Pasal 46

Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB dengan tarif Opsen BBNKB.


Paragraf 9
Penerimaan Pajak yang Diarahkan Penggunaanya

Pasal 47

(1) Hasil penerimaan atas jenis pajak berikut:
a. Opsen PKB;
b. PBJT atas Tenaga Listrik; dan
c. PAT.
dapat dialokasikan untuk mendanai kegiatan yang telah ditentukan penggunaanya.
(2) Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dialokasikan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(3) Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dialokasikan sebesar 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
(4) Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
(5) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dialokasikan sebanyak 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
a. penanaman pohon;
b. pembuatan lubang atau sumur resapan;
c. pelestarian hutan atau pepohonan; dan
d. pengelolaan limbah.


BAB III
RETRIBUSI DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis dan Objek Retribusi

Pasal 48

Jenis Retribusi terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu.

  
Bagian Kedua
Jenis Pelayanan Retribusi

Pasal 49

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf a meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
d. pelayanan pasar.
(2) Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
(7) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.


Pasal 50

(1) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
e. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
f. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
g. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan.
(7) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta


Pasal 51

(1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 huruf c meliputi:
a. PBG;
b. penggunaan tenaga kerja asing;
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.


Bagian Ketiga
Tata Cara Perhitungan Retribusi

Pasal 52

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum, Jasa Usaha dan pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat Penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
    

Pasal 53

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 54

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efesien dana berorientasi pada harga pasar.
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.


Pasal 55

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.


Bagian Keempat
Objek, Subjek Retribusi, Wajib Retribusi, Tingkat Penggunaan Jasa dan Tarif Retribusi

Paragraf 1
Retribusi Jasa Umum

Pasal 56

(1) Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kesehatan adalah pelayanan administrasi.
(3) Subjek Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kesehatan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan kesehatan.
(4) Wajib Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kesehatan merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kesehatan.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan serta jangka waktu pelayanan.

 
Pasal 57

(1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
d. penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
e. pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
(2) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.
(3) Subjek Retribusi Jasa Umum atas pelayanan kebersihan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati Pelayanan Kebersihan.
(4) Wajib Retribusi Jasa Umum atas merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa umum atas pelayanan kebersihan.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kebersihan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.


Pasal 58

(1) Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Subjek Retribusi Jasa Umum atas pelayanan parkir di tepi jalan umum adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan parkir di tepi jalan umum.
(3) Wajib Retribusi Jasa Umum atas pelayanan parkir di tepi jalan umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Umum atas pelayanan parkir di tepi jalan umum.
(4) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi pelayanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.
 

Pasal 59

(1) Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf d yaitu merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pasar rakyat, berupa pelataran, los, kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Subjek Retribusi Jasa Umum atas pelayanan pasar adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan pasar.
(3) Wajib Retribusi Jasa Umum atas pelayanan pasar merupakan orang pribadi atau Badan yang yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Umum atas pelayanan pasar.
(4) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan pasar dihitung diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.


Paragraf 2
Retribusi Jasa Usaha

Pasal 60

(1) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha.
(2) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi jenis pelayanan Jasa Usaha.

  
Pasal 61

(1) Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.
(2) Subjek Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
(3) Wajib Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya.
(4) Tingkat penggunaan penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.


Pasal 62

(1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
(2) Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.
(3) Subjek Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat pelelangan ikan adalah orang pribadi atau Badan yang memanfaatkan pelayanan dan memanfaatkan fasilitas Tempat Pelelangan Ikan.
(4) Wajib Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat pelelangan ikan merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat pelelangan ikan.
(5) Tingkat penggunaan penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan.


Pasal 63

(1) Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Subjek Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan.
(3) Wajib Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Usaha atas penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan.
(4) Tingkat penggunaan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.


Pasal 64

(1) Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Subjek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan rumah pemotongan hewan ternak.
(3) Wajib Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan rumah pemotongan hewan ternak.
(4) Tingkat penggunaan pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah potong hewan.


Pasal 65

(1) Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf e adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Subjek Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
(3) Wajib Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Usaha atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga.
(4) Tingkat penggunaan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga.


Pasal 66

(1) Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf f merupakan penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.
(2) Tingkat penggunaan penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah.


Pasal 67

(1) Pemanfaatan aset daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf g adalah pemanfaatan aset daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan
(2) Subjek Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset daerah adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemanfaatan aset daerah.
(3) Wajib Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan aset daerah adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan asset daerah.
(4) Tingkat penggunaan jasa atas pemanfaatan aset Daerah dihitung berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.


Paragraf 3
Retribusi Perizinan Tertentu

Pasal 68

(1) Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan pelayanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi Bangunan Gedung, penerbitan SLF dan surat bukti kepemilikan bangunan gedung, serta pencetakan plakat SLF.
(3) Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. Pembangunan baru;
b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
c. PBG perubahan untuk:
1. perubahan fungsi Bangunan Gedung;
2. perubahan lapis Bangunan Gedung;
3. perubahan luas Bangunan Gedung;
4. perubahan tampak Bangunan Gedung;
5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6. perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
7. perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya;atau
8. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
d. PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
(4) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
(5) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan pemberian izin PBG adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan pemberian izin PBG.
(6) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan pemberian izin PBG adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Perizinan Tertentu atas PBG.
(7) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan sesuai peraturan perundang-undangan.
(8) Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdiri atas:
a. Formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
1. Luas Total Lantai;
2. Indeks Lokalitas;
3. Indeks Terintegrasi;
4. Indeks Bangunan Gedung Terbangun, dan
b. Formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
1. Volume;
2. Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
3. Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
 
 
Pasal 69

(1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan di Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah Pusat, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing adalah badan yang menggunakan/menikmati pelayanan penggunaan tenaga kerja asing.
(4) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing adalah badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing.
(5) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan.


Bagian Ketiga
Tata Cara Perhitungan Retribusi

Pasal 70

Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (5), Pasal 57 ayat (5), Pasal 58 ayat (4), dan Pasal 59 ayat (4) dengan tarif Retribusi.


Pasal 71

Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4), Pasal 62 ayat (5), Pasal 63 ayat (4), Pasal 64 ayat (4), Pasal 65 ayat (4), dan Pasal 66 ayat (2) dengan tarif Retribusi.


Pasal 72

(1) Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (7) dan Pasal 69 ayat (5) dengan tarif Retribusi.
(2) Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG.
(3) Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. standar harga satuan tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
b. harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.


Pasal 73

(1) Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(3) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
(4) Tarif retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.


Pasal 74

(1) Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
a. sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
b. kerja sama pemanfaatan;
c. bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
d. kerja sama penyediaan infrastruktur,
tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Daerah ini.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.
(4) Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
(5) Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah.
(7) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(8) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
(9) Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.


Pasal 75

(1) Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
(2) Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
(3) Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(5) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
(6) Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel HSBGN atau SHST dan Indeks Lokalitas.
(7) Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan Pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementrian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(8) Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.


Paragraf 4
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi

Pasal 76

(1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
(2) Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.

  
BAB IV
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 77

(1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(2) Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(3) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan pajak dan retribusi diatur dengan Peraturan Wali Kota.


BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN, PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN PEMBAYARAN ATAS POKOK PAJAK, POKOK RETRIBUSI DAN/ATAU SANKSINYA

Bagian Kesatu
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha

Pasal 78

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
(5) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
a. kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
c. kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
d. faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
(6) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(7) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
(8) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.


Pasal 79

(1) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada pasal 65 ayat (1) ditetapkan dengan peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal tersebut.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam peraturan Wali Kota.


Bagian Kedua
Pemberian Keringan, Pengurangan dan Pembebasan

Pasal 80

(1) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
(3) Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Wali Kota.


Bagian Ketiga
Kemudahan Perpajakan Daerah

Pasal 81

(1) Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
a. perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
b. pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
(2) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
(3) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
(4) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
(5) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
(6) Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
(7) Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
a. menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
c. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(10) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Wali Kota.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.
 

BAB VI
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

Pasal 82

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.


BAB VII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 83

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan.


BAB VIII
KERJA SAMA OPTIMALISASI PEMUNGUTAN PAJAK DAN PEMANFAATAN DATA

Bagian Kesatu
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak

Pasal 84

(1) Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain; dan/atau
c. Pihak ketiga.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
d. pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
e. peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
f. penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
g. kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
(3) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
(4) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.

  
Pasal 85

(1) Daerah dapat:
a. mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1); dan
b. menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1).
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
(3) Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
(4) Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. subjek kerja sama;
b. maksud dan tujuan;
c. ruang lingkup;
d. hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
e. jangka waktu perjanjian;
f. sumber pembiayaan;
g. penyelesaian perselisihan;
h. sanksi;
i. korespondensi; dan
j. perubahan


Bagian Kedua
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak

Pasal 86

(1) Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.

 
BAB IX
SINERGITAS PENGELOLAAN PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Pasal 87

(1) Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
(2) Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (l) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya.
(3) Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
a. pelaksanaan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
b. penanganan piutang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
c. melakukan kajian dan penelitian dalam  rangka pendataan potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
d. optimalisasi pelaksanaan opsen Pajak;
e. pengembangan data potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
f. penentuan target pendapatan berbasis data potensi;
g. mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi;
h. pemberian sanksi administrasi dalam menjamin efektifitas pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
i. pelaksanaan kerja sama teknis; 
j. pertukaran data dan informasi;
k. hal lainnya dalam rangka optimalisasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 88

(1) Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
a. PKB dan Opsen PKB; dan
b. BBNKB dan Opsen BBNKB.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota.


BAB X
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 89

(1) Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan oleh Wali Kota.
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
a. koordinasi dan sinergitas pengelolaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
b. penyusunan kebijakan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
c. perencanaan, pemantauan dan evaluasi.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XI
SISTEM INFORMASI

Pasal 90

(1) Penganggaran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
a. kebijakan makro ekonomi Daerah; dan
b. potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
(2) Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah.
(3) Potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian.


Pasal 91

(1) Potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud pasal 90 ayat (3) menjadi basis data Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
(2) Basis data Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dalam APBD dan kebijakan di bidang keuangan Daerah lainnya.
(3) Pengelolaan basis data Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terintegrasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Wali Kota.


BAB XII
PEMERIKSAAN PAJAK

Pasal 92

(1) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
(2) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
a. Wajib Pajak Daerah mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak Daerah;
b. Terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukan bahwa Pajak Daerah yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
c. Wajib Pajak Daerah yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis resiko.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Peraturan Wali Kota.


BAB XIII
SANKSI

Pasal 93

(1) Dalam hal wajib pajak dan wajib retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan daerah dan retribusi daerah dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan pajak atau retribusi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pajak dan retribusi daerah.


Pasal 94

(1) Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp. 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
(4) Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru hara;
d. wabah penyakit; dan
e. wajib pajak tutup atau mengalami kebankrutan.


BAB XIV
PENYIDIKAN

Pasal 95

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


BAB XV
KETENTUAN PIDANA

Pasal 96

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakannya sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 97

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 98

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan Keuangan Daerah, dipidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 99

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.


BAB XVI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 100

(1) Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini tetap berlaku ketentuan Peraturan Daerah yang berlaku sebelum peraturan ini.
(2) Selama peraturan pelaksana Peraturan Daerah ini belum ditetapkan maka peraturan pelaksana yang ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini.
(3) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, pajak dan retribusi yang masih terutang berdasarkan Peraturan Daerah yang berlaku sebelum peraturan ini masih dapat ditagih selama jangka waktu 5 (lima) tahun untuk pajak daerah dan 3 (tiga) tahun untuk retribusi daerah terhitung sejak saat terutang.
(4) Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, ketentuan mengenai pemberlakuan Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dengan Peraturan Daerah ini mulai berlaku sejak tanggal 5 Januari 2025
  

Pasal 101

Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku, Peraturan Wali Kota yang merupakan peraturan pelaksanaan dari:
1. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 2);
2. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Peralihan atas Hak Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 3);
3. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 4);
4. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 43);
5. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 42);
6. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 44); dan
7. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perijinan Tertentu (Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perijinan Tertentu (Lembaran Daerah Tahun 2020 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 52),
dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.


BAB XVII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 102

Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku:
1. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan (Lembaran Daerah Tahun 2010 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 2);
2. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Peralihan atas Hak Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 3);
3. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 4);
4. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2011 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 7) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 43);
5. Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 9) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 1  Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 42);
6. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 2  Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Tahun 2019 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 44); dan
7. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Perijinan Tertentu (Lembaran Daerah Tahun 2012 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Nomor 3  Tahun 2012 tentang Retribusi Perijinan Tertentu (Lembaran Daerah Tahun 2020 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Tegal Nomor 52),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 103

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.


Pasal 104

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tegal.




Ditetapkan di Tegal
pada tanggal 4 Januari 2024
WALI KOTA TEGAL,

ttd

DEDY YON SUPRIYONO


Diundangkan di Tegal
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KOTA TEGAL,

ttd

AGUS DWI SULISTYANTONO



LEMBARAN DAERAH KOTA TEGAL TAHUN 2024 NOMOR 1
NOREG PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL PROVINSI JAWA TENGAH: (1-1/2024)





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA TEGAL
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

I. UMUM

Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, pemerintah merasa perlu untuk melakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif, sehingga kewenangan pungutan di daerah semakin luas dengan adanya penambahan beberapa jenis pajak dan retribusi baru. Kebijakan ini tentunya sangat strategis dan mendasar di bidang desentralisasi fiskal, karena terdapat perubahan kebijakan yang cukup fundamental dalam penataan kembali hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Pajak daerah dan retribusi daerah merupakan bagian dari Pendapatan Asli Daerah yang merupakan penopang dalam pembangunan daerah sesuai dengan asas otonomi daerah. Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah maka diharuskan menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai dasar pemungutannya.

Pada Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 menyatakan bahwa jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan 2 Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi, untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diantaranya juga mencakup topik terkait restrukturisasi pajak daerah dan penyederhanaan jenis retribusi. Restrukturisasi pajak daerah dapat dilakukan salah satunya untuk menyederhanakan administrasi perpajakan agar manfaat yang diperoleh lebih besar dari biaya pemungutan. Selain itu, restrukturisasi pajak juga akan mempermudah pemantauan pemungutan pajak serta mendukung masyarakat memenuhi kewajiban perpajakan dengan adanya simplifikasi. Sedangkan, terkait penyederhanaan retribusi daerah, jumlah retribusi yang awalnya berjumlah 32 jenis disederhanakan menjadi 18 jenis yang terbagi ke dalam tiga klasifikasi, yaitu jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu.

Pada saat ini pelaksanaan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Daerah berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Pada tanggal 5 Januari 2022 terbit Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang telah mencabut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Upaya reformasi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang dilakukan tidak sekedar dari sisi Fiscal Resource Allocation, namun juga bagaimana memperkuat belanja daerah agar lebih efisien, fokus, dan sinergis dengan Pemerintah Pusat.

Terkait implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Kabupaten/Kota tersebut, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah harus diimplementasikan pada tahun 2024. Berkenaan dengan hal tersebut maka dengan ini Kota Tegal menetapkan Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah untuk melaksanakan pemungutan pajak dan retribusi yang sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.
 
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatu yang sejenis adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat di Daerah tertentu di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
  1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
  2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
  3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
Huruf b
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

Huruf k
Cukup jelas.


Ayat (2)
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan termasuk permainan ketangkasan manual, mekanik dan elektrik. Permainan ketangkasan manual antara lain arena menembak, lempar bola, balon udara, lempar gelang, sepeda air, seluncur es (ice skating), permainan wahana wisata air, permainan anak-anak, kereta pesiar, pertunjukan komedi putar dan sejenisnya. Permainan ketangkasan mekanik antara lain permainan mesin keping (coin game machine), bola ketangkasan (pinball) dan kiddy ride. Permainan ketangkasan elektronik meliputi permainan yang menggunakan aplikasi komputer dan multimedia serta teknologi lain dan sebagainya.

Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya

Huruf j
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.

Huruf l
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak hotel yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “'” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 34
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.
 


TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA TEGAL NOMOR 78

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA