Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah, serta memberikan kepastian hukum atas Pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat. |
(2) | Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi. |
a. | Pajak Daerah; |
b. | Retribusi Daerah. |
(1) | Jenis Pajak yang diatur dalam Peraturan Daerah ini meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Jenis Pajak yang tidak dipungut dalam Peraturan Daerah ini adalah Pajak Sarang Burung Walet. | ||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Jenis Pajak Daerah yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu SKPD dan SPPT. | ||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu SPTPD. | ||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. | ||||||||||||||||||
(2) | Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. | ||||||||||||||||||
(3) | Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
(1) | Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP. |
(2) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. |
(3) | NJOP tidak kena Pajak sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2, NJOP tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak. |
(5) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. |
(6) | Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2. |
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena Pajak. | ||||||
(2) | Besaran presentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
||||||
(3) | Ketentuan mengenai besaran prosentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,15% (nol koma satu lima persen). |
(2) | Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen). |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi objek PBB-P2 berupa lahan produksi dan ternak sebagaimana dimakud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Besaran pokok PBB-P2 yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9. |
(2) | Saat terutangnya PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. |
(3) | Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. |
(4) | Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. |
(1) | Tempat Pemungutan PBB-P2 yang terutang adalah di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. | ||||
(2) | Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
|
(1) | Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
(1) | Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek Pajak. | ||||||
(2) | Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan. | ||||||
(4) | Besarnya nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB. | ||||||
(5) | Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
(1) | Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek Pajak tidak kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. | ||||||||||||||
(2) | Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan :
|
||||||||||||||
(3) | Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli tanah adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. | ||||||||||||||
(4) | Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
(1) | Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
||||
(2) | Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
||||
(4) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(2) | Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | Makanan dan/atau Minuman; |
b. | Tenaga Listrik; |
c. | Jasa Perhotelan; |
d. | Jasa Parkir; dan |
e. | Jasa Kesenian dan Hiburan. |
(1) | Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan makanan /minuman:
|
(1) | Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. | ||||||||
(2) | Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(1) | Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d meliputi:
|
||||||
(2) | Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
(1) | Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu. |
(2) | Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumen barang dan jasa tertentu. |
(1) | Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu meliputi :
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. | ||||||||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di Daerah. | ||||||||||
(4) | Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan. |
(1) | Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||
(2) | Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||
(3) | Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah. | ||||
(4) | Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. |
(1) | Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). | ||||||||
(2) | Khusus untuk tarif PBJT atas jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen). | ||||||||
(3) | Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk :
|
(1) | Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30. | ||||||||||
(2) | Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat :
|
||||||||||
(3) | Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. |
(1) | Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. | ||||||||||||||||||
(2) | Objek Pajak Reklame meliputi:
|
||||||||||||||||||
(3) | Dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. |
(2) | Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame. |
(2) | Dalam hal reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media reklame. |
(4) | Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1). |
(2) | Saat terutangnya Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame. |
(1) | Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. |
(2) | Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. |
(1) | Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. | ||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
(1) | Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. | ||||||||||||
(3) | Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah. | ||||||||||||
(4) | Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||||||||||
(5) | Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam Daerah ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur. |
(1) | Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud Pasal 40 ayat (1). |
(2) | Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. |
(1) | Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
(1) | Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang dapat mengambil MBLB. |
(2) | Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB. |
(2) | Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan masing-masing jenis MBLB. |
(3) | Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitungkan berdasarkan harga jual rata-rata masing-masing jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di Daerah. |
(4) | Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara. |
(5) | Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang. |
(6) | Wilayah Pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. |
(1) | Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB. |
(2) | Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB. |
(1) | Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. |
(2) | Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. |
(3) | Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(1) | Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib BBNKB. |
(2) | Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB. |
(1) | Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 56 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57. |
(2) | Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. |
(3) | Wilayah pemungutan opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
a. | Retribusi Jasa Umum; |
b. | Retribusi Jasa Usaha; dan |
c. | Retribusi Perizinan Tertentu. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a meliputi :
|
||||||||
(2) | Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||
(4) | Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(5) | Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(6) | Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan. | ||||||||
(7) | Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah dan pihak swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan. | ||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
(1) | Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(1) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(3) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum. |
(4) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b meliputi:
|
||||||||||||||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||||||||||
(4) | Dalam hal terdapat pelayanan perlu penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||
(5) | Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||
(6) | Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di Bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan. | ||||||||||||||||
(7) | Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Usaha yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Usaha yaitu Orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
(1) | Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. |
(2) | Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(3) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD. |
(1) | Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 dengan tarif Retribusi. | ||||||||
(2) | Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagaian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. | ||||||||
(3) | Khusus untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
||||||||
(4) | Peraturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan perhitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. | ||||||||
(5) | Peraturan Bupati sebagaiaman dimaksud pada ayat (4) dapat ditetapkan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah. | ||||||||
(6) | Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(7) | Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perudang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah. | ||||||||
(8) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. | ||||||||
(9) | Peninjauan tarif Retibusi sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha. | ||||||||
(10) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Tata cara perhitungan besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang atas pelayanan pemanfaatan barang milik daerah ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perhitungan besaran Retribusi Jasa Usaha atas pemanfaatan asset daerah dan penetapan tarifnya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah. |
(1) | Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c meliputi:
|
||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan. | ||||
(3) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, badan usaha milik negara, badan usaha milik Daerah, dan pihak swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. |
(2) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu yaitu Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||||
(3) | Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. |
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. |
(3) | Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung. |
(4) | Pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA. |
(1) | Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan Jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) dengan tarif Retribusi. | ||||
(2) | Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG. | ||||
(3) | Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
(1) | Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang. |
(2) | Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan. |
(3) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(4) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(5) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu. |
(6) | Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap SHST dan Indeks Lokalitas. |
(7) | Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(8) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Penerbitan PBG tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan. | ||||||||||||||||||||||
(5) | Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik pemerintah pusat, Pemerintah Daerah dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. |
(1) | Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan di Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. | ||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh:
|
(1) | Objek dan rincian objek retribusi Pelayanan Kesehatan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang menerapkan pola pengelolaan keuangan BLUD sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD untuk pelayanan Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (4) dan pelayanan Retribusi Jasa Usaha sebagaiaman dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Pembayaran retribusi yang dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah. |
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati. |
(3) | Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. |
(4) | Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Ketentuan mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati; | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Pembayaran dan penyetoran pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronifikasi belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. | ||||||||||
(5) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
||||||||||
(6) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. | ||||||||||
(7) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. | ||||||||||
(8) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis narional. |
(1) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD. |
(2) | Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal. |
(3) | Ketentuan lebih mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain. |
(2) | Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (3) dan ayat (5). |
(1) | Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(2) | Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemaampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. |
(3) | Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
||||||||
(2) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya. | ||||||||
(3) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati. | ||||||||
(4) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya. | ||||||||
(5) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya. | ||||||||
(6) | Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir. | ||||||||
(7) | Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||||||
(8) | Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. (9) | ||||||||
(9) | Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||
(10) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||||||
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum. | ||||||
(2) | Pemanfaatan penerimaan Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan jenis pelayanan Objek Retribusi. | ||||||
(3) | Pemanfaatan penerimaan tiap jenis pelayanan Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dialokasikan untuk :
|
||||||
(4) | Perincian dan tata cara pemanfaatan penerimaan tiap jenis pelayanan objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yakni:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). |
(3) | Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Bupati. | ||||||
(2) | Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
||||||
(3) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan keuangan sub urusan pengelolaan pendapatan daerah. | ||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
||||
(2) | Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah. | ||||
(3) | Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian. |
(1) | Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi. |
(2) | Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya. |
(3) | Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak Dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi. | ||||||
(2) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib etribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan perturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi. |
(1) | Wajib pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak, Wajib mengisi SPTPD. | ||||||||||
(2) | Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak. | ||||||||||
(3) | Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. | ||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah setiap STPD. | ||||||||||
(5) | Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure). | ||||||||||
(6) | Kriteria keadaan kahar (force majeur) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) meliputi :
|
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan, tidak memenuhi dokumen surat pemberitahuan pajak daerah secara benar dan lengkap serta tidak disampaikan kepada Pemerintah Daerah sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan, tidak memenuhi dokumen surat pemberitahuan pajak daerah secara benar dan lengkap serta tidak disampaikan kepada Pemerintah Daerah sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. |
(1) | Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini. |
(2) | Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025. |
(3) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa perjanjian. |
(4) | Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 103, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi. |
1. | Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah sebagaimana telah beberapa diubah terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 22 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah; |
2. | Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 19 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Banyumas sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 19 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum di Kabupaten Banyumas; |
3. | Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 20 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Banyumas sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2020 tentang Retribusi Jasa Usaha di Kabupaten Banyumas; |
4. | Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu di Kabupaten Banyumas sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 11 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 21 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu di Kabupaten Banyumas; dan |
5. | Peraturan Daerah Kabupaten Banyumas Nomor 4 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung dan Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing. |
I. | UMUM Peningkatan kesejahteran rakyat dimulai adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah yang menjadi simpul rerata peningkatan kesejahteraan secara nasional. Sejalan dengan hal itu maka peran daerah-daerah amat penting untuk menopang keberlangsungan peningkatan kesejahteraan rakyat secara nasional. Daerah-daerah diberikan peran yang proporsional berdasarkan asas desentralisasi dalam rangka semangat otonomi daerah.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2022 Tentang Cipta Kerja, memerintahkan adanya otonomi daerah kabupaten/kota dan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya, disertai hak dan kewajiban kepada para penyelenggara pemerintahan daerah. Penerapan otonomi daerah yang dititikberatkan pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tersebut dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewewenangan (urusan) pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah.
Kebijakan desentralisasi tersebut ditetapkan dalam rangka mempercepat terwujudnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat di masing-masing daerah. Keberhasilan kebijakan desentralisasi malalui pelaksanaan otonomi daerah tersebut tentu saja memerlukan banyak faktor pendukung, salah satunya adalah kemampuan daerah untuk membiayai pelaksanaan kekuasaan/kewenangan yang dimilikinya, dalam rangka menggerakkan roda pembangunan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat daerah yang bersangkutan. Salah satu sumber pendapatan daerah yang sangat signifikan menopang pembiayaan penyelenggaraan pemerintah daerah adalah pajak daerah dan retribusi daerah.
Ditetapkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diharapkan terdapat penyempurnaan implementasi hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan keuangan pusat dan daerah sebelumnya diatur dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumberdaya nasional yang akuntable, efisien, transparan dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan pelayanan publik dan 8 peningkatan kesejahteraan di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam mencapai tujuan tersebut hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terdiri dari 4 (empat) unsur utama yaitu mengembangkan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional, harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan peningkatan kualitas belanja daerah.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Bab II telah merubah pengaturan terkait pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Pemerintah memberikan kewenangan bagi pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, penyederhanaan jenis retribusi, dan harmonisasi dengan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa pajak yang dipungut oleh pemerintah kabupaten dan kota terdiri atas:
Pasal 4 ayat (2) tersebut di atas merubah struktur pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Perbedaan Struktur Pajak Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah antara lain: PBJT, Opsen PKB dan Opsen BBNKB merupakan nomenklatur dan sumber Pajak daerah baru bagi Pemerintah Kabupaten.
Pasal 87 Udang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa jenis layanan retribusi terdiri terdiri atas:
Pasal 87 tersebut di atas merubah struktur retribusi dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Lebih lanjut dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyatakan bahwa jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak dan tingkat pengenaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak serta tarif pajak dan retribusi, untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah. Pasal tersebut merupakan amanat baru untuk menyatukan atau menyederhanakan peraturan terkait dengan pajak derah dan retribusi daerah agar ditetapkan dalam 1 (satu) peraturan daerah karena pada umumnya pemerintah daerah selama ini menetapkan peraturan daerah per jenis pajak daerah maupun retribusi daerah.
Pasal 188 huruf b Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menyeebutkan bahwa peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5049) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Perpu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 238, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841) dinyatakan tetap berlaku. Hal tersebut merupakan amanat agar Pemerintah Daerah segera menyusun Peraturan Daerah agar kebijakan pemerintah dalam penyempurnaan struktur pajak dan retribusi daerah yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dapat segera dilaksanakan.
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1)
Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan dipungut oleh Pemerintah Pusat.
Pasal 6Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Misalnya terdapat ruas jalan tol yang melintas di suatu Kabupaten. Pemungutan PBB-P2 atas jalan tol yang membentang dalam wilayah Kota X dan Kabupaten Y wilayah pemungutannya akan dibagi dua sesuai batas administratif kota dan kabupaten dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undanganan.
Pasal 12 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan Hak Pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 17Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32Cukup jelas.
Pasal 33Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68Cukup jelas.
Pasal 69Cukup jelas.
Pasal 70Cukup jelas.
Pasal 71Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73Cukup jelas.
Pasal 74Cukup jelas.
Pasal 75Cukup jelas.
Pasal 76Cukup jelas.
Pasal 77Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79Cukup jelas.
Pasal 80Cukup jelas.
Pasal 81Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86Cukup jelas.
Pasal 87Cukup jelas.
Pasal 88Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92Cukup jelas.
Pasal 93Cukup jelas.
Pasal 94Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99Cukup jelas.
Pasal 100Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Cukup jelas.
Pasal 103
Cukup jelas.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105 Cukup jelas.
Pasal 106 Cukup jelas.
Pasal 107
Cukup jelas.
Pasal 108 Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111Cukup jelas.
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113 Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118Cukup jelas.
Pasal 119Cukup jelas.
Pasal 120 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.