PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALI KOTA TANJUNGPINANG,

Menimbang :
  1. bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber pendapatan asli daerah yang mendukung penyelenggaraan pemerintahan daerah dan peningkatan pelayanan publik bagi masyarakat;
  2. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Perda; 
  3. bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan terhadap pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam satu peraturan daerah yang menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat :
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tanjungpinang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 4112);
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6841);
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5161);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2022 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak dan Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);
  14. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 1781);
  15. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 301);
  16. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1264), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penatausahaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Bersumber dari Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1148);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
dan
WALI KOTA TANJUNGPINANG

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah adalah Kota Tanjungpinang.
  2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kota Tanjungpinang.
  3. Gubernur adalah Gubernur Kepulauan Riau.
  4. Wali Kota adalah Wali Kota Tanjungpinang.
  5. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  6. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Tanjungpinang.
  7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  8. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  9. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
  10. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak.
  11. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  12. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
  13. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
  14. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu.
  15. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi, perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  16. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan.
  17. Bumi adalah permukaan Bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman.
  18. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
  19. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BHPTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  20. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
  21. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
  22. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
  23. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir.
  24. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
  25. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran.
  26. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
  27. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
  28. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor.
  29. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat atau kendaraan yang dioperasikan di air yang digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi tertentu menjadi tenaga gerak kendaraan bermotor yang bersangkutan.
  30. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
  31. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame.
  32. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
  33. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
  34. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
  35. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara.
  36. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau dipermukaan Bumi untuk dimanfaatkan.
  37. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
  38. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collocalia juchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
  39. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
  40. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  41. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  42. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya.
  43. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
  44. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  45. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
  46. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  47. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  48. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  49. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
  50. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
  51. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
  52. Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif di wilayah kerjanya.
  53. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya.
  54. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
  55. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
  56. Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung.

BAB II
PAJAK Bagian Kesatu Jenis Pajak

Pasal 2

Jenis Pajak terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT atas;
1. makanan dan/atau minuman;
2. tenaga listrik;
3. jasa perhotelan;
4. jasa parkir; dan
5. jasa kesenian dan hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.


Pasal 3

(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. Pajak Reklame;
c. PAT;
d. Opsen PKB; dan
e. Opsen BBNKB.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
a. BPHTB;
b. PBJT atas:
1. Makanan dan/atau Minuman;
2. Tenaga Listrik;
3. Jasa Perhotelan;
4. Jasa Parkir; dan
5. Jasa Kesenian dan Hiburan.
c. Pajak MBLB; dan
d. Pajak Sarang Burung Walet.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(5) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pasal 4

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintah Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenisnya;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (mass rapid transit), lintas raya terpadu (light rail transit), atau yang sejenisnya;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak Bumi dan Bangunan oleh Pemerintah.


Pasal 5

(1) Subjek pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(2) Wajib pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


Pasal 6

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek Pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
(6) Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai NJOP PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.


Pasal 7

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
(2) Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
a. kenaikan NJOP hasil penilaian;
b. bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Daerah.
(3) Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota.


Pasal 8

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan dengan ketentuan:
a. Untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen);
b. untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen); dan
c. untuk NJOP di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen).
(2) Tarif PBB-P2 atas objek berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,08% (nol koma nol delapan persen).


Pasal 9

(1) Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) atau ayat (2).
(2) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
(3) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(4) Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
(5) Termasuk dalam wilayah pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Daerah tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
a. laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
b. Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.


Bagian Ketiga
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan

Pasal 10

(1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Daerah, penyelenggara Negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota.
(6) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.


Pasal 11

(1) Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Pasal 12

(1) Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat kebawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan paling sedikit Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


Pasal 13

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Pasal 14

(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; dan
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
(4) Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.


Pasal 15

(1) Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
b. melaporkan pembuatan perjanjian pengikatan jual beli dan/atau akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
b. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
b. melaporkan risalah lelang kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(4) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota.


Pasal 16

(1) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(2) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 17

Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Wali Kota dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.


Bagian Keempat
Pajak Barang dan Jasa Tertentu

Pasal 18

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.


Pasal 19

(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp7.000.000,00 (tujuh juta rupiah) perbulan;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak hanya menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.


Pasal 20

(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan penyelenggara Negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.


Pasal 21

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 22

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk
karyawannya sendiri; dan
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.


Pasal 23

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
 

Pasal 24

(1) Subjek pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.


Pasal 25

(1) Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Kesenian dan Hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
(3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan/atau jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.


Pasal 26

(1) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
a. Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
b. Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri.
(2) Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
a. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
b. jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.
(3) Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
(4) Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.


Pasal 27

(1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik yang bersumber dari PT. PLN, tarif ditetapkan sebesar 7% (tujuh persen);
b. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak Bumi dan gas alam, tarif ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
c. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, tarif ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, tarif PBJT ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).


Pasal 28

(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27.
(2) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
a. pembayaran/penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
(3) Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.

 
Bagian Kelima
Pajak Reklame

Pasal 29

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/slide; dan
i. Reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah; dan
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.


Pasal 30

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.
 

Pasal 31

(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.


Pasal 32

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).


Pasal 33

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
(3) Wilayah pemungutan Pajak Reklame terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame.
(4) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.
 

Bagian Keenam
Pajak Air Tanah

Pasal 34

(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. perternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. pemanfaatan Air Tanah yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

  
Pasal 35

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Pasal 36

(1) Dasar Pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(5) Besaran nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota berpedoman pada Peraturan Gubernur sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.


Pasal 37

Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).


Pasal 38

(1) Besaran pokok PAT terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
(2) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Wilayah pemungutan PAT terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.


Bagian Ketujuh
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pasal 39

(1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
o. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. fosfat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik atau telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.


Pasal 40

(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau badan yang mengambil MBLB.


Pasal 41

(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.


Pasal 42

Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).
 

Pasal 43

(1) Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(2) Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
(3) Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang dipungut merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.


Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 44

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaaan negara bukan pajak.
 

Pasal 45

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.


Pasal 46

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.
(3) Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan harga jual rata-rata sarang Burung Walet di Daerah.


Pasal 47

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).


Pasal 48

(1) Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47
(2) Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet dihitung saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
(3) Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.


Bagian Kesembilan
Opsen PKB

Pasal 49

Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.


Pasal 50

Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan Wajib PKB.


Pasal 51

Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.


Pasal 52

Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.


Pasal 53
 
(1) Besaran pokok Opsen PKB terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52
(2) Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.
(3) Wilayah pemungutan Opsen PKB terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.


Bagian Kesepuluh
Opsen BBNKB

Pasal 54

Opsen BBNKB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.


Pasal 55

Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak Opsen BBNKB.


Pasal 56

Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.


Pasal 57

Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran pajak terutang.


Pasal 58

(1) Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
(2) Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
(3) Wilayah pemungutan Opsen BBNKB terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.


Bagian Kesebelas
Masa Pajak dan Tahun Pajak

Pasal 59

(1) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam tahun Pajak, atau dalam bagian tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota.
(3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender.
(4) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota.


Bagian Kedua Belas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak Untuk Kegiatan Yang Telah Ditentukan
 
Pasal 60

(1) Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(2) Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum, termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerjasama antara pemerintah dan badan usaha.
(3) Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
(4) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
a. penanaman pohon;
b. pembuatan lubang atau sumur resapan;
c. pelestarian hutan atau pepohonan; dan
d. pengelolaan limbah.


BAB III
RETRIBUSI

Bagian Kesatu 
Jenis Retribusi

Pasal 61

(1) Jenis Retribusi terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu.
(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
(5) Dikecualikan dari objek dari setiap Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa dan/atau perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.


Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum

Pasal 62

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf a meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan; dan
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(3) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3)  dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(5) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
(6) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
(7) Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.


Pasal 63

Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di Puskesmas, Puskesmas keliling, Puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.


Pasal 64

(1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah; dan
d. penyediaan dan/atau penyedotan kakus, dan
e. pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran dan industri.
(2) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.


Pasal 65

Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 66

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
a. pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
b. pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair; dan
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.


Pasal 67

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya.
(4) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.


Pasal 68

(1) Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (2) dengan tarif Retribusi.
(2) Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha
 
Pasal 69

(1) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
c. pelayanan jasa kepelabuhanan;
d. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
e. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
f. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Detail Rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
(7) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
(8) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.

 
Pasal 70

Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 71

Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah


Pasal 72

Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 73

Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 74

Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf e merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 75

Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf f termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik daerah.


Pasal 76

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
b. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
c. pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
d. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
e. penjualan produksi usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah; dan
f. pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.
   

Pasal 77

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.


Pasal 78

(1) Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dengan tarif Retribusi.
(2) Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
a. sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
b. kerja sama pemanfaatan;
c. bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
d. kerja sama penyediaan infrastruktur.
(3) Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah
(4) Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(5) Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah.
(6) Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu

Pasal 79

(1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu di Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung; dan
b. penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah.
(3) Retribusi penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing.
(4) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
(5) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.


Pasal 80

(1) Pelayanan pemberian izin persetujuan bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF dan Prasarana Bangunan Gedung oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerbitan PBG dan SLF dan Prasarana Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
(3) Penerbitan PBG, SLF dan Prasarana Bangunan Gedung tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. pembangunan baru;
b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
c. PBG perubahan untuk:
1. perubahan fungsi Bangunan Gedung;
2. perubahan lapis Bangunan Gedung;
3. perubahan luas Bangunan Gedung;
4. perubahan tampak Bangunan Gedung;
5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6. perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
7. perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
8. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
(4) PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
(5) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.


Pasal 81

(1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja dalam wilayah Daerah.
(2) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.


Pasal 82

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
a. pelayanan persetujuan bangunan gedung diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan;
b. pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan jumlah tenaga kerja asing, frekuensi penyediaan layanan dan/atau jangka waktu layanan; dan
(3) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
1. luas total lantai;
2. indeks terintegrasi; dan
3. indeks Bangunan Gedung Terbangun.
b. formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
1. volume;
2. indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
3. indeks Bangunan Gedung Terbangun.


Pasal 83

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
(3) Khusus untuk pelayanan persetujuan Bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan gedung.
(4) Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.


Pasal 84

(1) Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif retribusi PBG didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan penerbitan PBG, SLF dan Prasarana Bangunan Gedung.
(2) Biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF dan Prasarana Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen PBG, SLF, dan Prasarana Bangunan Gedung, inspeksi Penilik bangunan, penegakan hukum, penatausahaan dan biaya dampak negatif dari penerbitan PBG, SLF dan Prasarana Bangunan Gedung tersebut.


Pasal 85

(1) Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) dengan tarif Retribusi.
(2) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah untuk jenis pelayanan pemberian izin persetujuan bangunan gedung dan nilai dolar Amerika Serikat untuk jenis pelayanan pemberian izin penggunaan tenaga kerja asing yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi terutang.
(3) Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
(4) Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Bagian Kelima
Peninjauan Tarif Retribusi

Pasal 86

(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
(3) Peninjauan tarif retribusi khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel harga satuan bangunan gedung negara/standar harga satuan tertinggi, indeks lokalitas dan indeks integritas.
(4) Peninjauan tarif retribusi khusus layanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing dilaksanakan berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(5) Penetapan tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota.


Bagian Keenam
Pemanfaatan Penerimaan Retribusi

Pasal 87

(1) Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
(2) Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota.


BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 88

(1) Tata cara pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.
(2) Tata cara pemungutan pajak dan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Wali Kota; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(3) Pembayaran dan penyetoran pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.


Bagian Kesatu
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga

Pasal 89

(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
(2) Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
(3) Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
(4) Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto.
(5) Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi, dan/atau Sanksinya
 
Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak dan Retribusi bagi Pelaku Usaha

Pasal 90

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah.
(5) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
a. kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
c. kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
d. faktor lain yang ditentukan oleh Wali Kota.
(6) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
(7) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
(8) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional.
 

Pasal 91

(1) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD.
(2) Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Wali Kota.


Pasal 92

(1) Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain.
(2) Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (3) dan ayat (5).


Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan

Pasal 93

(1) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
(3) Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota.


Paragraf 3
Kemudahan Perpajakan Daerah

Pasal 94

(1) Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
a. perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
b. pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
(2) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
(3) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
(4) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
(5) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Wali Kota.
(6) Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
(7) Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
a. menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
c. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(10) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
d. wabah penyakit.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota.


Bagian Ketiga
Opsen

Paragraf 1
Pemungutan

Pasal 95

(1) Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari Pajak MBLB.
(2) Besaran pokok Opsen Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 25% (dua puluh lima persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1).
(3) Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari Pajak MBLB.


Paragraf 2
Sinergi Pemungutan Opsen

Pasal 96

(1) Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya.


Pasal 97

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen Pajak MBLB dan bentuk sinergi antara Daerah dan Provinsi dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, diatur dalam Peraturan Wali Kota.
 

Bagian Keempat
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data

Paragraf l
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak

Pasal 98

(1) Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
a. Pemerintah;
b. pemerintah daerah lain; dan/atau
c. pihak ketiga.
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (l) meliputi:
a. pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
d. pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan;
e. peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
f. penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
g. kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
(3) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g.
(4) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.


Pasal 99

(1) Pemerintah Daerah dapat:
a. mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1); dan
b. menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1).
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak.
(3) Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Wali Kota bersama mitra kerja sama.
(4) Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. subjek kerja sama;
b. maksud dan tujuan;
c. ruang lingkup;
d. hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
e. jangka waktu perjanjian;
f. sumber pembiayaan;
g. penyelesaian perselisihan;
h. sanksi;
i. korespondensi; dan
j. perubahan.


Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak

Pasal 100

(1) Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.


BAB V
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

Pasal 101

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Wali Kota untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.


BAB VI
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 102

(1) Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota berpedoman pada Peraturan Perundang-undangan.
 

BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 103

(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.


BAB VIII
KETENTUAN SANKSI

Bagian Kesatu
Sanksi Pidana

Pasal 104

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana denda atau pidana kurungan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana denda atau pidana kurungan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.


Pasal 105

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 106

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (4), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana denda atau pidana kurungan sesuai ketentuan Peraturan Perundang-undangan.


Pasal 107

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 108

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104, Pasal 106, dan Pasal 107 merupakan pendapatan negara.


Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 109

(1) Wajib Pajak atau Wajib Retribusi yang tidak memenuhi kewajibannya di bidang perpajakan daerah dan/atau retribusi daerah dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan pajak atau retribusi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.


Pasal 110

(1) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Surat Tagihan Pajak Daerah sebesar Rp50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
(4) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara; dan/atau
d. wabah penyakit.


BAB IX
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 111

Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
 

Pasal 112

Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 102, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.


Pasal 113

Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB, Opsen BBNKB, mulai berlaku pada Tanggal 5 Januari 2025.


Pasal 114

Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.


Pasal 115

Peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 116

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2010 Nomor 2);
b. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2011  Nomor 2) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2020 Nomor 39);
c. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 Nomor 13) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2017 Nomor 28);
d. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 Nomor 14) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2018 Nomor 18);
e. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 Nomor 7) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2018 Nomor 29);
f. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Perparkiran (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2016 Nomor 4).
g. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2023 Nomor 63).
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 

Pasal 117

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan setelah Peraturan Daerah ini diundangkan.


Pasal 118

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang.




Ditetapkan di Tanjungpinang
pada tanggal 5 Januari 2024
Pj. WALI KOTA TANJUNGPINANG,

ttd.

HASAN


Diundangkan di Tanjungpinang
pada tanggal 5 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH,

ttd.

ZULHIDAYAT
 


LEMBARAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG TAHUN 2024 NOMOR 67
NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG PROVINSI KEPULAUAN RIAU : 1,2/2024





PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

I.  UMUM

Indonesia meletakkan otonomi daerah sebagai salah satu sendi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, bukan hanya untuk sekedar menjamin efisiensi penyelenggaraan pemerintahan tapi juga untuk memperlancar pelaksanaan demokrasi serta untuk mewujudkan kesejahteraan umum, disamping untuk menjaga keutuhan negara kesatuan. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan upaya pemberdayaan daerah dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya, oleh karena itu diharapkan kreativitas, inovasi dan kemandirian dapat dimiliki oleh setiap daerah. Salah satu bentuk otonomi daerah yaitu pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola keuangan daerahnya masing-masing. Pada sisi penerimaan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengurus pajak, retribusi, dana perimbangan (dana transfer dari Pemerintah pusat untuk daerah) dan pendapatan daerah lainnya yang diakui sebagai bentuk dari pendapatan pemerintah yang digunakan untuk melakukan pelayanan kepada masyarakat dan pembangunan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pada sisi belanja, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengalokasikan sumber daya yang ada di masing-masing daerah dengan lebih efektif dan efisien karena pemerintah daerah dianggap lebih memahami kebutuhan masyarakatnya.

Khusus untuk pengelolaan pajak dan retribusi daerah terjadi perubahan mendasar setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut antara lain adalah diamanatkannya pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah dalam satu peraturan daerah. Selain itu terdapat pengaturan mengenai restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru dan penyederhanaan jenis retribusi. Restrukturisasi pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini bertujuan untuk menghindari duplikasi pemungutan antara pajak pusat dan pajak daerah, menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan, dan mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selanjutnya juga terdapat jenis pajak bagi Daerah yakni adanya Opsen Pajak atas PKB dan BBNKB yang sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi.

Di bidang retribusi terdapat penyederhanaan retribusi yang dilakukan melalui rasionalisasi jumlah retribusi. Retribusi diklasifikasaikan dalam 3 (tiga) jenis yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu. Dari ketiga jenis retribusi tersebut terdapat penyederhanaan objek retribusi yang semula berjumlah 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Penyederhanaan tersebut dilakukan bertujuan untuk mengefektifkan pemungutan dengan mempertimbangkan biaya pemungutan yang rendah.

Sebelumnya pengaturan mengenai pajak daerah dan retribusi daerah di Kota Tanjungpinang diatur dalam peraturan daerah yang berbeda yakni:
  1. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 2 Tahun 2010 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2010 Nomor 2);
  2. Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2011 Nomor 2) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 Tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2020 Nomor 39);
  3. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 Nomor 5) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2017 Nomor 28);
  4. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 Nomor 14) yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2017 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2018 Nomor 18);
  5. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2012 Nomor 7) yang telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2018 Nomor 29);
  6. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan dan Retribusi Perparkiran (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2016 Nomor 4);
  7. Peraturan Daerah Kota Tanjungpinang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kota Tanjungpinang Tahun 2023 Nomor 63).
Namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 dan perkembangan masyarakat Peraturan Daerah diatas sudah tidak sesuai lagi sehingga perlu dicabut dan diganti dengan Peraturan Daerah baru yang melaksanakan amanat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, lebih aspiratif yang mengakomodir kondisi dan kebutuhan Daerah.

Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ini diharapkan mampu meningkatkan pendapatan daerah guna meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan meningkatkan pertumbuhan perekonomian Daerah guna penyelenggaraan pembangunan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.

Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.

Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kota misal, Kota A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
  1. NJOP < Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
  2. NJOP Rp X juta - Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
  3. NJOP > Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Contoh pemungutan PBB-P2 atas Tol A yang membentang dari daratan yang berada di Kota X hingga daratan yang berada di
 
Kabupaten Y dan melintasi wilayah perairan laut diantara dua kota/kabupaten tersebut, atas Bumi dan/atau bangunan Tol A dapat dipungut PBB-P2 oleh Kota X dan Kabupaten Y.

Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Tol A dibagi dua sesuai batas administratif Kota X dan Kabupaten Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah atau notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
  1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
  2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
  3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
Huruf b
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

Huruf k
Cukup jelas.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.

Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.

Huruf  j
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.

Huruf l
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucer antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan tidak terdapat pembayaran termasuk voucer atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.

Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Penghitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah disumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Ayat (1)
Contoh Penghitungan:
1. Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kota X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
a. PKB terutang = 1% x Rp 300 juta = Rp 3 juta
b. Opsen PKB terutang = 66% x Rp 3 juta = Rp 2 juta
Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp 5 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor.
Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Ayat (1)
Contoh Penghitungan:
1. Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kota X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp 300 juta sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah pajak terutang sebagai berikut:
a. BBNKB terutang = 8% x Rp 300 juta = Rp 24 juta
b. Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp 24 juta = 16 juta
Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp 40 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kota X.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 59
Ayat (1)
  1. Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek Pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
    1. suatu saat tertentu, misalnya untuk BPHTB;
    2. akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
    3. suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2.
  2. Yang dimaksud dengan “syarat subjektif’ adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  3. Yang dimaksud dengan “syarat objektif’ adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara Pemerintah dan badan usaha.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Cukup jelas.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.
 
Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Cukup jelas.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Cukup jelas.

Pasal 81
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu" adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Cukup jelas.
 
Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Cukup jelas.

Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi" adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.
 
Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2025, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni 2025 yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli 2025 untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September 2025 untuk pembayaran dan tanggal 15 September 2025 untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di Daerah tersebut.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.
 
Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)
Contoh: Wajib Pajak memiliki Pajak terutang sebesar Rp 100.000.000,00. untuk masa Pajak April 2025 yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 2025 untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 2025 dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
a. pembayaran angsuran pertama tanggal l Juni 2025
= Rp 25.000.000,00
Sanksi Administratif : Rp 600.000,00
(Rp 100.000.00,00 x 0,6%)
b. pembayaran angsuran kedua tanggal I Juli 2025
= Rp 25.000.000,00
Sanksi Administratif Rp 450.000,00 (Rp 75.000.000,00 x 0,6%)
c. pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2025
= Rp 25.000.000,00
Sanksi Administratif: Rp 300.000,00
(Rp 50.000.000,00 x 0,6%)
d. pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2025
= Rp 25.000.000,00
Sanksi Administratif Rp 150.000,00
(Rp 25.000.000,00 x 0,6%)

Ayat (10)
Cukup jelas.
 
Ayat (11)
Cukup jelas.

Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Contoh: Contoh: Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kota X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp500.000.000,00. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kota X sebesar 20% (dua puluh persen), sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25% (dua puluh lima persen). Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kota X sebagai berikut:
a. Pajak MBLB terutang = 20% x Rp500.000.000,00 = Rp 100.000.000,00
b. Opsen Pajak MBLB terutang = 25% x  Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00.
Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp125.000.000,00 Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Kota X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan Pemerintah Daerah Provinsi S.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi Pemungutan Pajak.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Yang dimaksud dengan "pengawasan Wajib Pajak bersama" merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Contoh: Fiskus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.
 
Huruf f
Contoh penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE).

Huruf g
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Contoh kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak yang dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama misal, kerja sama antara Pemerintah (kementerian) dan Pemerintah Daerah dalam rangka optimalisasi Pemungutan pajak pusat dan Pajak.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.
 
Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Cukup jelas.

Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112
Cukup jelas.

Pasal 113
Cukup jelas.

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.

Pasal 117
Cukup jelas.

Pasal 118
Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KOTA TANJUNGPINANG NOMOR 31

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA