PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR,

 
Menimbang :
  1. bahwa Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan asli daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan otonomi daerah dan pencapaian kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dengan memperhatikan potensi Kabupaten Kotawaringin Timur; 
  2. bahwa dalam rangka meningkatkan kemandirian dan pelayanan kepada masyarakat Kabupaten Kotawaringin Timur serta menyesuaikan dengan hasil pemetaan potensi, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian materi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 
  3. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan untuk seluruh jenis Pajak dan Retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) Perda dan menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah; 
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat :
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
  2. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1959 tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Nomor 3 Tahun 1953 tentang Pembentukan Daerah Tingkat II di Kalimantan (Lembaran-Negara Tahun 1953 Nomor 9), sebagai Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1959 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1820); 
  3. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247); sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856); 
  4. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286); 
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355); 
  6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856); 
  7. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757); 
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161); 
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5888); sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 187, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6402); 
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322); 
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628); 
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646); 
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848); 
  14. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881); 
  15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 1781 Nomor 2020);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH
KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR
dan
BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah adalah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas Otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 
  3. Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  4. Bupati adalah Bupati Kotawaringin Timur. 
  5. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan raksyat Kabupaten Kotawaringin Timur sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  6. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang selanjutnya disingkat APBD Kabupaten adalah rencana keuangan tahunan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 
  7. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan dan/atau retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  8. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara (BUMN), atau badan usaha milik daerah (BUMD) dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 
  9. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya. 
  10. Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
  11. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenai Pajak. 
  12. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  13. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran Pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 
  14. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman. 
  15. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi. 
  16. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah Pajak atas Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/ atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan. 
  17. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 
  18. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan. 
  19. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta Bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan Bangunan. 
  20. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/ atau jasa tertentu. 
  21. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 
  22. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran. 
  23. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan Makanan dan/atau Minuman dengan dipungut bayaran. 
  24. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 
  25. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya. 
  26. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 
  27. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 
  28. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 
  29. Pajak Reklame adalah Pajak atas penyelenggaraan reklame. 
  30. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 
  31. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 
  32. Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batu bara. 
  33. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Pajak MBLB adalah Pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 
  34. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. 
  35. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. 
  36. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu. 
  37. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  38. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  39. Opsen Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disebut Opsen Pajak MBLB adalah Opsen yang dikenakan oleh provinsi atas pokok Pajak MBLB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  40. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya I (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 
  41. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan daerahnya. 
  42. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu. 
  43. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 
  44. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. 
  45. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang. 
  46. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. 
  47. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak. 
  48. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar. 
  49. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan. 
  50. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPDN adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. 
  51. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 
  52. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 
  53. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan. 
  54. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 
  55. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. 
  56. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian surat pemberitahuan atau dokumen lain yang dipersamakan dan lampiran-lampirannya termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya serta kesesuaian antara surat pemberitahuan dengan SSPD. 
  57. Penagihan adalah serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan Penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita. 
  58. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan Penagihan pajak yang dilaksanakan oleh jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang Pajak dari semua jenis Pajak, masa Pajak, dan tahun Pajak. 
  59. Utang Pajak adalah Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan Pajak atau surat sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 
  60. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi. 
  61. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak. 
  62. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan. 
  63. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
  64. Jasa adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelayanan yang menyebabkan barang, fasilitas, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 
  65. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 
  66. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 
  67. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 
  68. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. 
  69. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut Retribusi tertentu. 
  70. Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 
  71. Pelayanan Kesehatan adalah segala kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada seseorang dalam rangka observasi, diagnosis, pengobatan atau pelayanan kesehatan lainnya. 
  72. Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah pembayaran atas jasa pelayanan kesehatan di pusat kesehatan masyarakat, pusat kesehatan masyarakat keliling, pusat kesehatan masyarakat pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum Daerah dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan pendaftaran. 
  73. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat daerah atau unit satuan kerja perangkat daerah pada satuan kerja perangkat daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada umumnya. 
  74. Retribusi Pelayanan Kebersihan, yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas jasa Pelayanan Kebersihan. 
  75. Sampah adalah limbah yang berbentuk padat atau setengah padat yang berasal dari kegiatan manusia yang meliputi bahan organik dan anorganik logam atau non logam dapat terbakar tetapi tidak termasuk buangan biologis. 
  76. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum adalah pembayaran atas jasa pelayanan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  77. Parkir adalah keadaan tidak bergerak suatu kendaraan yang tidak bersifat sementara. 
  78. Retribusi Pelayanan Pasar adalah pembayaran atas jasa pelayanan penyediaan fasilitas pasar tradisional/ sederhana, berupa pelataran, los, kios yang dikelola Pemerintah Daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang.
  79. Pelayanan Pasar adalah fasilitas tradisional/sederhana yang berupa pelataran, los yang dikelola Pemerintah Daerah yang khusus disediakan untuk pedagang, tidak termasuk yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara/Daerah dan pihak swasta. 
  80. Pelataran adalah pelataran di lingkungan pasar yang dapat dimanfaatkan untuk berjualan dalam waktu tertentu setiap hari. 
  81. Los adalah bangunan tetap di lingkungan pasar yang sifatnya terbuka dan tanpa dinding keliling yang dipergunakan untuk berjualan. 
  82. Kios adalah bangunan tetap dalam bentuk petak berdinding keliling dan berpintu yang dipergunakan untuk berjualan. 
  83. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 
  84. Objek Retribusi Jasa Usaha adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
    1. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan Daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal; dan/atau 
    2. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh pihak swasta.
  85. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. 
  86. Ternak adalah Hewan Peliharaan yang produknya diperuntukan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. 
  87. Pelelangan adalah penjualan di hadapan umum dengan cara penawaran bertingkat. 
  88. Tempat Pelelangan yang selanjutnya disebut retribusi adalah tempat yang disediakan Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur untuk menyelenggarakan pelelangan. 
  89. Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan Adalah Pelayanan Tempat Parkir Yang Disediakan, dimiliki, dan atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. 
  90. Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak adalah adalah pembayaran atas pelayanan penyediaan fasilitas rumah pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. 
  91. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi. 
  92. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan Daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah. 
  93. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan yang selanjutnya disebut retribusi adalah pembayaran atas pelayanan jasa Kepelabuhanan, termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  94. Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, Dan Olahraga adalah pembayaran atas pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  95. Pariwisata alam adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata alam, termasuk pengusahaan obyek dan daya tarik serta usaha yang terkait dengan wisata alam. 
  96. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi atas penjualan produksi usaha Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  97. Aset Daerah adalah Aset yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang meliputi tanah, rumah dinas, gedung untuk pesta atau resepsi, fasilitas perlengkapan gedung, kendaraan alat-alat berat, kendaraan angkutan dan pemakaian laboratorium. 
  98. Pemanfaatan Aset Daerah yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan selanjutnya disebut Retribusi adalah pembayaran atas Pemanfaatan Aset Daerah yang Tidak Mengganggu Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah dan/atau Optimalisasi Aset Daerah Dengan Tidak Mengubah Status Kepemilikan Sesuai Dengan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. 
  99. Tanah adalah tanah yang dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  100. Gedung adalah keseluruhan bangunan termasuk halaman yang disediakan dan dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  101. Kendaraan Alat-alat berat adalah semua kendaraan alat-alat berat yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  102. Kendaraan Angkutan adalah kendaraan angkutan baik untuk penumpang maupun barang yang disediakan dan dikuasai oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur. 
  103. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 
  104. Objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh Pemerintah Daerah kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 
  105. Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung, selanjutnya disebut Retribusi PBG adalah pembayaran atas jasa pelayanan pemberian Persetujuan PBG. 
  106. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung; 
  107. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan. 
  108. Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung. 
  109. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 
  110. Bangunan Gedung Cagar Budaya yang selanjutnya disingkat BGCB adalah Bangunan Gedung yang sudah ditetapkan statusnya sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya. 
  111. Bangunan Gedung Fungsi Khusus yang selanjutnya disingkat BGFK adalah Bangunan Gedung yang karena fungsinya mempunyai tingkat kerahasiaan dan keamanan tinggi untuk kepentingan nasional atau yang karena penyelenggaraannya dapat membahayakan masyarakat di sekitarnya dan/atau mempunyai risiko bahaya tinggi. 
  112. Bangunan Gedung Hijau yang selanjutnya disingkat BGH adalah Bangunan Gedung yang memenuhi Standar Teknis bangunan Gedung dan memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam penghematan energi, air, dan sumber daya lainnya melalui penerapan prinsip BGH sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap tahapan penyelenggaraannya. 
  113. Bangunan Gedung Hunian Hijau Masyarakat yang selanjutnya disebut H2M adalah kelompok Bangunan Gedung dengan klasifikasi sederhana berupa rumah tinggal tunggal dalam satu kesatuan lingkungan administratif atau tematik yang memenuhi ketentuan rencana kerja bangunan H2M. 
  114. Bangunan Gedung Negara yang selanjutnya disingkat BGN adalah Bangunan Gedung untuk keperluan dinas yang menjadi barang milik negara atau daerah dan diadakan dengan sumber pendanaan yang berasal dari dana anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan/atau perolehan lainnya yang sah. 
  115. Rencana Teknis Pembongkaran Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat RTB adalah dokumen yang berisi hasil identifikasi kondisi terbangun Bangunan Gedung dan lingkungannya, metodologi pembongkaran, mitigasi risiko pembongkaran, gambar rencana teknis Pembongkaran, dan jadwal pelaksanaan pembongkaran. 
  116. Pemohon adalah Pemilik Bangunan Gedung atau yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan penerbitan PBG, SLF, RTB dan/atau SBKBG. 
  117. Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung. 
  118. Sistem Informasi Manajemen Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SIMBG adalah sistem elektronik berbasis web yang digunakan untuk melaksanakan proses penyelenggaraan PBG, SLF, SBKBG, RTB, dan Pendataan Bangunan Gedung disertai dengan informasi terkait Penyelenggaraan Bangunan Gedung. 
  119. Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat Retribusi Penggunaan TKA adalah dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing atas pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing. 
  120. Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
  121. Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 
  122. Tenaga Kerja Pendamping TKA adalah tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk oleh Pemberi Kerja TKA dan dipersiapkan sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan dalam rangka alih teknologi dan alih keahlian. 
  123. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu. 
  124. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. 
  125. Dana Kompensasi Penggunaan TKA yang selanjutnya disingkat DKPTKA adalah kompensasi yang harus dibayar oleh Pemberi Kerja TKA atas setiap TKA yang dipekerjakan sebagai penerimaan negara bukan pajak atau pendapatan daerah. 
  126. Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disingkat BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan Negara yang dipisahkan. 
  127. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Daerah. 
  128. Masa Retribusi adalah suatu jangka waktu tertentu yang merupakan batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan jasa dan perizinan tertentu dari Pemerintah Daerah yang bersangkutan. 
  129. Surat Setoran Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SSRD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran retribusi yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
  130. Surat Ketetapan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat SKRD, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok retribusi yang terutang.
  131. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar, yang selanjutnya disingkat SKRDLB, adalah surat ketetapan retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran retribusi karena jumlah kredit retribusi lebih besar dari pada retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang. 
  132. Surat Tagihan Retribusi Daerah, yang selanjutnya disingkat STRD, adalah surat untuk melakukan tagihan retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda. 
  133. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi daerah. 
  134. Penyidikan tindak pidana di bidang pajak daerah dan retribusi daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang retribusi daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Pasal 2

(1) Maksud disusunnya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan pedoman terhadap pelaksanaan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
(2) Tujuan disusunnya Peraturan Daerah ini adalah:
a. agar terwujudnya keseimbangan antara obyek dan tarif dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; dan
b. agar terwujudnya peningkatan pendapatan asli daerah yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.


Pasal 3

Ruang lingkup materi muatan Peraturan Daerah ini, meliputi:
a. pajak daerah;
b. retribusi daerah;
c. tata cara pemungutan pajak dan retribusi;
d. insentif pemungutan pajak dan retribusi;
e. sanksi administrasi;
f. ketentuan penyidikan;
g. ketentuan pidana;
h. ketentuan lain-lain; dan
i. ketentuan peralihan.


BAB II
PAJAK DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis Pajak Daerah

Pasal 4

(1) Jenis Pajak Daerah terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT terdiri atas;
1. makanan dan/atau minuman;
2. tenaga listrik;
3. jasa perhotelan;
4. jasa parkir; dan
5. jasa kesenian dan hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kontribusi wajib dari orang pribadi atau badan kepada Daerah yang dipungut berdasarkan:
a. penetapan Bupati; atau
b. penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. Pajak Reklame;
c. PAT;
d. Opsen PKB; dan
e. Opsen BBNKB.
(4) Jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, terdiri atas:
a. BPHTB;
b. PBJT atas;
1. makanan dan/atau minuman;
2. tenaga listrik;
3. jasa perhotelan;
4. jasa parkir; dan
5. jasa kesenian dan hiburan;
c. Pajak MBLB; dan
d. Pajak Sarang Burung Walet;
(5) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
(6) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(7) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (6), wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturaan perundang-undangan.


Pasal 5

(1) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
(3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
(4) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Kedua
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 6

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 7

(1) Objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.  
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah Pusat, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggara negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan Negara;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (mass rapid transit), lintas raya terpadu (light rail transit), atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah Pusat
 

Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 8

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. 
(6) Besaran NJOP ditetapkan oleh Bupati.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
(8) Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(9) Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (8) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. kenaikan NJOP hasil penilaian;
b. bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten. 
(10) Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diatur dalam Peraturan Bupati.


Paragraf 4
Tarif Pajak

Pasal 9

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan sebesar :
a. 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah);
b. 0,125% (nol koma seratus dua puluh lima persen) untuk NJOP diatas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah);
c. 0,15% (nol koma lima belas persen) untuk NJOP diatas Rp1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah);
d. 0,175% (nol koma seratus tujuh puluh lima persen) untuk NJOP diatas Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.750.000.000,00 (satu miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah);
e. 0,2% (nol koma dua persen) untuk NJOP diatas Rp1.750.000.000,00 (satu miliar tujuh ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah);
f. 0,225% (nol koma dua ratus dua puluh lima persen) untuk NJOP diatas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah);
g. 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) untuk NJOP diatas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah);
h. 0,275% (nol koma dua ratus tujuh puluh lima persen) untuk NJOP diatas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,09% (nol koma nol sembilan persen).


Paragraf 5
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 10

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (8) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.


Paragraf 6
Saat Terutang Pajak

Pasal 11

(1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender.
(2) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
(3) Saat yang penentuan untuk menghitung PBB-P2 terutang berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.


Paragraf 7
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 12

(1) PBB-P2 terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
(2) Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah Daerah kabupaten tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada:
a. laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan di atasnya; dan
b. Bangunan yang berada di luar laut pedalaman dan perairan darat yang konstruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di daratan, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
   

Bagian Ketiga
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 13

(1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 14

(1) Objek BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. pemindahan hak karena: 
1. jual beli; 
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena: 
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna Bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang keuangan Negara;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati. 
(6) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
 

Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 15

(1) Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam perundang-undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi. 
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan yaitu NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan Hak Pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah. 
(5) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


Paragraf 4
Tarif Pajak

Pasal 16

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Paragraf 5
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 17

Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) atau ayat (5), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
 

Paragraf 6
Saat Terutang Pajak

Pasal 18

(1) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli; 
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(2) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.


Paragraf 7
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 19

BPHTB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.


Bagian Keempat
Pajak Barang dan Jasa Tertentu

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 20

(1) Subjek Pajak PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu.
(2) Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 21

Objek PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c adalah penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.


Paragraf 3
Rincian Objek Pajak Barang dan Jasa Tertentu

Pasal 22

(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan: 
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan 
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) per bulan;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.


Pasal 23

(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari objek konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: 
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.


Pasal 24

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan, seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping. 
(2) Yang dikecualikan dari objek Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: 
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 25

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf d, meliputi: 
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat Parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet
(2) Yang dikecualikan dari objek jasa penyediaan tempat Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan 
c. jasa tempat Parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.


Pasal 26

(1) Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf e, meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor; 
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.


Paragraf 4
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 27

(1) Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi: 
a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. nilai jual Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. jumlah pembayaran kepada penyedia Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. jumlah pembayaran kepada penyedia atau penyelenggara tempat parkir dan/atau penyedia layanan memarkirkan kendaraan untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
(3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.
(4) Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Pemerintah Daerah dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan.


Paragraf 5
Tarif Pajak

Pasal 28

(1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan 40 % (empat puluh persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk: 
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi, dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).
(4) Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:  
a. Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
b. Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri
(5) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, dihitung berdasarkan: 
a. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
b. jumlah pembelian Tenaga Listrik untuk prabayar.
(6) Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dihitung berdasarkan: 
a. kapasitas tersedia;
b. tingkat penggunaan listrik;
c. jangka waktu pemakaian listrik; dan
d. harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. 
(7) Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan.


Paragraf 6
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 29

Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).


Paragraf 7
Saat Terutang Pajak

Pasal 30

Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
a. pembayaran atau penyerahan atas Makanan dan/atau Minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman;
b. konsumsi atau pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik;
c. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan;
d. pembayaran atau penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan
e. pembayaran atau penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan.


Paragraf 8
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 31

PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan.


Bagian Kelima
Pajak Reklame

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 32

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 33

(1) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan/billboard/videotron/megatron; 
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/stiker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan dengan tujuan komersil;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/slide; dan
i. Reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame yaitu: 
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada Bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial; dan
f. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan Pendidikan Tinggi.


Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 34

(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame. 
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Paragraf 4
Tarif Pajak

Pasal 35

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).


Paragraf 5
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 36

Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1), dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35.


Paragraf 6
Saat Terutang Pajak

Pasal 37

Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame


Paragraf 7
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 38

(1) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
(2) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar.


Bagian Keenam
Pajak Air Tanah

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 39

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT yaitu orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 40

(1) Objek PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk: 
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat; 
c. perikanan rakyat; 
d. peternakan rakyat; dan 
e. keperluan keagamaan.


Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 41

(1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas factor-faktor sebagai berikut: 
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/ atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(5) Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah kabupaten ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.


Paragraf 4
Tarif Pajak

Pasal 42

Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).


Paragraf 5
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 43

Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.


Paragraf 6
Saat Terutang Pajak

Pasal 44

Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
 

Paragraf 7
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 45

PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Bagian Ketujuh
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 46

(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 47

(1) Objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf f adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit;
h. dolomit;
i. feldspar; 
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit; 
z. fosfat;
aa. talk; 
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatom;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan; dan 
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.


Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 48

(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
(2) Nilai jual hasil pengambilan MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dihitung berdasarkan perkalian volume atau tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap jenis MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.


Paragraf 4
Tarif Pajak

Pasal 49

Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 5% (lima persen)
 

Paragraf 5
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 50

Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.
 
 
Paragraf 6
Saat Terutang Pajak

Pasal 51

Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.


Paragraf 7
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 52
 
Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.


Bagian Kedelapan
Pajak Sarang Burung Walet

Paragraf 1
Subjek Pajak dan Wajib Pajak

Pasal 53

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet.


Paragraf 2
Objek Pajak

Pasal 54

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.


Paragraf 3
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 55

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume sarang Burung Walet.


Paragraf 4
Tarif Pajak

Pasal 56

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Paragraf 5
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 57

Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56.


Paragraf 6
Saat Terutang Pajak

Pasal 58

Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet


Paragraf 7
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 59

Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.


Bagian Kesembilan
Opsen Pajak Kendaraan Bermotor

Paragraf 1
Wajib Pajak

Pasal 60

Wajib Pajak untuk Opsen PKB merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak PKB.


Pasal 61

Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.


Pasal 62

Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.
 

Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 63

Dasar pengenaan Opsen PKB merupakan PKB terutang.


Paragraf 3
Tarif Pajak

Pasal 64

Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran PKB terutang.


Paragraf 4
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 65

Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64.


Paragraf 5
Saat Terutang Pajak

Pasal 66

Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.


Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 67

Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.


Bagian Kesepuluh
Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

Paragraf 1
Wajib Pajak

Pasal 68

Wajib Pajak untuk Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak atas jenis Pajak BBNKB


Pasal 69

Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.


Pasal 70

Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i dikenakan atas Pajak terutang dari Pajak BBNKB.


Paragraf 2
Dasar Pengenaan Pajak

Pasal 71

Dasar pengenaan Opsen BBNKB merupakan Pajak BBNKB terutang.


Paragraf 3
Tarif Pajak

Pasal 72

Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak Pajak BBNKB terutang.


Paragraf 4
Cara Perhitungan Pajak

Pasal 73

Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72.


Paragraf 5
Saat Terutang Pajak

Pasal 74

Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.


Paragraf 6
Wilayah Pemungutan Pajak

Pasal 75

Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar.


BAB III
RETRIBUSI DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis Retribusi

Pasal 76

Jenis Retribusi Daerah terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu.


Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum

Paragraf 1
Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi

Pasal 77

(1) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
(2) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
  

Paragraf 2
Objek Retribusi

Pasal 78

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf a, yaitu
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
d. pelayanan pasar.
(2) Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
(7) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, BUMD, dan pihak swasta.
    

Paragraf 3
Rincian Pelayanan

Pasal 79

Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di Pusat Kesehatan Masyarakat, Pusat Kesehatan Masyarakat keliling, Pusat Kesehatan Masyarakat pembantu, balai pengobatan, Rumah Sakit Umum Daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.


Pasal 80

(1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengambilan atau pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan atau pengolahan atau pemusnahan akhir sampah.
d. penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
e. pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
(2) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya
  

Pasal 81

Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 82

Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional atau sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi

Pasal 83

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan/atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 84

Tingkat penggunaan Jasa atas pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pelayanan.


Pasal 85

Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, volume dan/atau jenis sampah atau limbah kakus atau limbah cair.


Pasal 86

Tingkat penggunaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, jenis atau kawasan lokasi parkir, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir.


Pasal 87

Tingkat penggunaan jasa pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.


Paragraf 5
Tarif Retribusi

Pasal 88

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD.


Pasal 89

Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.
 

Pasal 90

(1) Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Tarif Retribusi Jasa Umum ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(3) Peninjauan tarif Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
(4) Tarif Retribusi Jasa Umum hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha

Paragraf 1
Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi

Pasal 91

(1) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan jasa usaha. 
(2) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha.


Pasal 92

Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
j. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Paragraf 2
Objek Retribusi

Pasal 93

(1) Penyediaan atau Pelayanan dalam Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (1) huruf b, disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(3) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(4) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; 
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan 
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi 
(5) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
(6) Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


Paragraf 3
Rincian Pelayanan

Pasal 94

Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas, pasar grosir, dan fasilitas pasar atau pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan atau diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 95

(1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan
(2) Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan.


Pasal 96

Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 97

Penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 98

Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, pelayanan pengangkutan daging hewan dan/atau daging unggas dari Rumah Pemotongan Hewan maupun Rumah Pemotongan Unggas ke pasar-pasar atau tempat penjualan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 99

Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 100

(1) Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sebagai berikut:
a. Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, Dan Olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Pusat, BUMN, BUMD, dan pihak swasta;
b. kegiatan lain yang direkomendasikan oleh Bupati atau instansi terkait;
c. pelayanan terhadap kegiatan bagi siswa sekolah dari tingkat sekolah dasar sampai dengan sekolah lanjutan tingkat atas, dengan melampirkan surat pengantar dari instansi terkait; dan
e. mahasiswa untuk kepentingan penelitian dan sosial, yang dibuktikan dengan surat pengantar dari pihak Perguruan Tinggi.


Pasal 101

Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 102

Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Daerah oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 103

(1) Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 huruf j termasuk pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dalam jangka waktu tertentu yang meliputi: 
a. pemakaian Bangunan dan/atau gedung; 
b. bangunan/rumah dinas Pemerintah Daerah; 
c. pemakaian kendaraan alat-alat berat;
d. pemakaian laboratorium; dan
e. pemakaian kendaraan angkutan.
(2) Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b yaitu: 
a. penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut; dan
b. pemakaian Bangunan dan/atau Gedung oleh instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah.


Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi

Pasal 104

Tingkat penggunaan jasa atas Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas pasar grosir, pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya.


Pasal 105

Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan Tempat Pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan.


Pasal 106

Tingkat penggunaan jasa atas Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan.


Pasal 107

Tingkat penggunaan jasa atas Penyediaan Tempat Penginapan/Pesanggarahan/Vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.


Pasal 108

Tingkat penggunaan jasa atas Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, jasa dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas rumah pemotongan hewan ternak.


Pasal 109

Tingkat penggunaan jasa atas Pelayanan Kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi pelayanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis pelayanan, dan/atau volume penggunaan pelayanan.


Pasal 110

Tingkat penggunaan jasa atas Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga.


Pasal 111

Tingkat penggunaan jasa atas Pelayanan Penyeberangan Orang atau Barang dengan menggunakan Kendaraan di Air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air.


Pasal 112

Tingkat penggunaan jasa atas Penjualan Produksi Usaha Daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah.


Pasal 113

Tingkat penggunaan jasa atas Pemanfaatan Aset Daerah diukur berdasarkan jenis pemanfaatan aset, jenis pelayanan, frekuensi pelayanan, dan/atau jangka waktu pemanfaatan aset Daerah.


Paragraf 5
Tarif Retribusi

Pasal 114

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditetapkan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 115

Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi.


Pasal 116

(1) Struktur dan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. 
(2) Khusus untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa: 
a. sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
b. kerja sama pemanfaatan;
c. bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
d. kerja sama penyediaan infrastruktur, tata cara penghitungan tarifnya diatur sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(3) Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(4) Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah.
(5) Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan: 
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah. 
(7) Tarif Retribusi Jasa Usaha ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(8) Peninjauan tarif Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
(9) Tarif Retribusi Jasa Usaha hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu

Paragraf 1
Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi

Pasal 117

(1) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
(2) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut    peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.


Paragraf 2
Objek Retribusi

Pasal 118

(1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 huruf c meliputi:
a. persetujuan bangunan gedung; dan
b. penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, BUMN, BUMD, dan pihak swasta.


Paragraf 3
Rincian Pelayanan

Pasal 119

(1) Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf a, meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
(2) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF. 
(3) Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. Pembangunan baru;
b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
c. PBG perubahan untuk: 
1. perubahan fungsi Bangunan Gedung; 
2. perubahan lapis Bangunan Gedung;
3. perubahan luas Bangunan Gedung;
4. perubahan tampak Bangunan Gedung; 
5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6. perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
7. perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
8. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya. 
(4) PBG perubahan tidak diperlukan untuk: 
a. pekerjaan pemeliharaan; dan
b. pekerjaan perawatan.
(5) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah Pusat dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.


Pasal 120

(1) Pelayanan penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf b merupakan pelayanan Pengesahan RPTKA Perpanjangan di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Dikecualikan dari pengenaan retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan Tenaga Kerja Asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.
(3) Jabatan tertentu di Lembaga Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), merupakan jabatan yang telah ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan


Paragraf 4
Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi

Pasal 121

(1) Besaran retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan retribusi PBG.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan. 
(3) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk: 
a. Bangunan Gedung, meliputi: 
1. Luas Total Lantai; 
2. Indeksi Lokalitas;
3. Indeks Terintegrasi; dan 
4. Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
b. Prasaranan Bangunan Gedung, meliputi:
1. Volume;
2. Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan 
3. Indeks Bangunan Gedung Terbangun 
(4) Harga satuan retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) untuk Bangunan Gedung; atau 
b. Harga satuan retribusi Prasarana Bangunan Gedung (HSBGN) untuk Prasarana Bangunan Gedung.


Pasal 122

(1) Besarnya Retribusi Penggunaan TKA yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas pemberian layanan dengan tarif Retribusi.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan


Paragraf 5
Tarif Retribusi

Pasal 123

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
(3) Khusus untuk pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf a, biaya penyelenggaraan layanan mengacu pada ketentuan peraturan perundang undangan mengenai Bangunan Gedung.
(4) Khusus untuk pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 ayat (1) huruf b, biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada ketentuan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.


Pasal 124

(1) Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang. 
(2) Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan.
(3) Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(4) Tarif Retribusi Perizinan Tertentu ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(5) Peninjauan tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu. 
(6) Peninjauan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PBG hanya dilakukan terhadap besaran harga atau indeks dalam tabel Harga Satuan Prasarana Bangunan Gedung atau Standar Harga Satuan Tertinggi dan Indeks Lokalitas.
(7) Peninjauan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan Penggunaan Tenaga Kerja Asing berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(8) Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Pasal 125

(1) Struktur dan besaran khusus tarif Retribusi PBG ditetapkan berdasarkan kegiatan pemeriksaan pemenuhan standar teknis dan layanan konsultasi untuk:  
a. Bangunan Gedung
Tarif retribusi PBG untuk Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Luas Total Lantai (LLt) dikalikan Indeks Lokalitas (Ilo) dikalikan Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) dikalikan Indeks Terintegrasi (It) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) atau dengan rumus:
LLt x (Ilo x SHST) x It x Ibg
b. Prasarana Bangunan Gedung
Tarif retribusi PBG untuk Prasarana Bangunan Gedung dihitung berdasarkan Volume (V) dikalikan Indeks Prasarana Bangunan Gedung (I) dikalikan Indeks Bangunan Gedung Terbangun (Ibg) dikalikan harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung (HSpbg) atau dengan rumus:
V x I x Ibg x HSpbg
(2) Indeks terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan indeks fungsi (If) dikalikan penjumlahan dari bobot parameter (bp) dikalikan indeks parameter (Ip) dikalikan faktor kepemilikan (Fm) atau dengan rumus:
If x Σ (bp x Ip) x Fm


BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Pendaftaran dan Pendataan Pajak

Pasal 126

(1) Wajib Pajak untuk PBB-P2, Pajak Reklame, PAT, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati, wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
a. Surat pendaftaran objek Pajak untuk Pajak Reklame, PAT, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB; dan
b. SPOP untuk PBB-P2.
(2) Wajib Pajak untuk BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
(3) Berdasarkan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan 1 (satu) NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk.
(4) Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak. 
(5) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan. 
(6) NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha.
(7) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus BUMN atau BUMD. 
(8) Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.


Pasal 127

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan daerah.
(2) Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Kabupaten untuk PBB-P2.


Pasal 128

(1) Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak.
(2) Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
(3) Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui.
(4) Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak: 
a. tidak memiliki tunggakan Pajak; dan
b. tidak sedang mengajukan upaya hukum berupa keberatan, banding, gugatan, atau peninjauan kembali.


Pasal 129

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126, Pasal 127, dan Pasal 128 diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Kedua
Penilaian PBB-P2

Pasal 130

(1) NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) ditetapkan oleh Bupati.
(2) Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
(3) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
(4) Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
a. perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis;
b. nilai perolehan baru; atau
c. nilai jual pengganti.
(5) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan berdasarkan proses penilaian.


Bagian Ketiga
Penetapan Besaran Pajak Dan Retribusi Terutang

Pasal 131

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(4) Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak.
(5) Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif.
(6) Penetapan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor.
(7) Untuk PKB, Opsen PKB, dan PAB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui.


Pasal 132

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
a. SPOP tidak disampaikan oleh Wajib Pajak dan setelah Wajib Pajak ditegur secara tertulis oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
b. berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah PBB-P2 yang terutang lebih besar dari jumlah PBB-P2 yang dihitung berdasarkan SPOP yang disampaikan oleh Wajib Pajak.


Bagian Keempat
Pembayaran dan Penyetoran

Pasal 133

(1) Pemungutan Pajak dilarang diborongkan.
(2) Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD.
(3) Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
(5) Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak PBB-P2, Pajak Reklame, PAT, Opsen PKB, dan Opsen BBNKB yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati, paling lama: 
a. 1 (satu) bulan sejak tanggal pengiriman SKPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1); dan
b. 6 (enam) bulan sejak tanggal pengiriman SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1). 
(6) Bupati menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD. 
(8) Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli berdasarkan nilai perolehan objek pajak. 
(9) Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan: 
a. jumlah BPHTB lebih dibayar atau tidak terutang, Wajib Pajak mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran BPHTB; atau 
b. jumlah BPHTB kurang dibayar, Wajib Pajak melakukan pembayaran kekurangan dimaksud. 
(10) Pembayaran atau penyetoran BPHTB paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli.


Pasal 134

(1) Pejabat pembuat akta tanah/notaris wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
b. melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal Pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau 
b. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(3) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan 
b. melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(4) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 135

(1) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(2) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 136

Dalam hal perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.


Bagian Kelima
Penelitian SSPD BPHTB

Pasal 137

(1) Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
a. kesesuaian NOPD yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NOPD yang tercantum:
1. dalam SPPT atau bukti pembayaran PBB-P2 lainnya; dan
2. pada basis data PBB-P2; 
b. kesesuaian NJOP Bumi per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bumi per meter persegi pada basis data PBB-P2;
c. kesesuaian NJOP Bangunan per meter persegi yang dicantumkan dalam SSPD BPHTB dengan NJOP Bangunan per meter persegi pada basis data PBB-P2;
d. kebenaran penghitungan BPHTB yang meliputi nilai perolehan objek pajak, NJOP, NJOP tidak kena pajak, tarif, pengenaan atas objek pajak tertentu, BPHTB terutang atau yang harus dibayar;
e. kebenaran penghitungan BPHTB yang disetor, termasuk besarnya pengurangan yang dihitung sendiri; dan
f. kesesuaian kriteria objek pajak tertentu yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB, termasuk kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
(2) Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat.
(3) Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati. 
(4) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.
(5) Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut.


Bagian Keenam
Pemungutan Retribusi

Pasal 138

(1) Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut.
(2) Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan.
(5) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(6) Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran. 
(7) Tata cara pelaksanaan Pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Bagian Ketujuh
Pemungutan Retribusi oleh Pihak Ketiga

Pasal 139

(1) Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi.
(2) Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan Pemeriksaan.
(3) Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi.
(4) Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto. 
(5) Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedelapan
Pembukuan

Pasal 140

(1) Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan: 
a. bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha paling sedikit Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun wajib menyelenggarakan pembukuan; dan 
b. bagi Wajib Pajak yang melakukan usaha dengan peredaran usaha kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) per tahun dapat memilih menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan.
(2) Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
(3) Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan.
(4) Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang.
(5) Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi on-line sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan.


Bagian Kesembilan
Pelaporan

Paragraf 1
Kewajiban Pengisian dan Penyampaian SPTPD

Pasal 141

(1) Wajib Pajak untuk BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak, wajib mengisi SPTPD.
(2) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup Pajak BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak.
(3) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak.
(4) SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Bupati setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak.
(5) Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD.
(6) SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran.


Pasal 142

(1) Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD.
(3) Berdasarkan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Bupati menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 15 (lima belas) hari kerja setelah berakhirnya Masa Pajak.
(4) Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 ayat (1), penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 143

(1) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
(3) Sanksi administratif berupa dengan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp150.000,00 (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
(4) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
(5) Kriteria keadaan keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yaitu:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati


Pasal 144

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan. 
(2) Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan.
(3) Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga.
(4) Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar. 


Paragraf 2
Penelitian SPTPD

Pasal 145

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 142 ayat (1).
(2) Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. kesesuaian batas akhir pembayaran dan/atau penyetoran dengan tanggal pelunasan dalam SSPD;
b. kesesuaian antara SSPD dengan SPTPD; dan
c. kebenaran penulisan, penghitungan, dan/atau administrasi lainnya.
(3) Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD.
(4) STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Dalam hal hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.


Bagian Kesepuluh
Pemeriksaan Pajak Dan Retribusi

Pasal 146

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi.
(2) Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal: 
a. Wajib Pajak mengajukan pengembalian atau kompensasi kelebihan pembayaran Pajak;
b. terdapat keterangan lain berupa data konkret yang menunjukkan bahwa Pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar; atau
c. Wajib Pajak yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan analisis risiko.
(3) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
a. pemberian NPWPD secara jabatan;
b. penghapusan NPWPD;
c. penyelesaian permohonan keberatan Wajib Pajak;
d. pencocokan data dan/atau alat keterangan; dan/atau
e. pemeriksaan dalam rangka Penagihan Pajak.
(4) Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.


Pasal 147

(1) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan objek Pajak dan objek Retribusi yang terutang;
b. memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruangan yang dianggap perlu dan memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan; dan/atau
c. memberikan keterangan yang diperlukan.
(2) Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, hak Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
a. meminta identitas dan bukti penugasan Pemeriksaan kepada pemeriksa;
b. meminta kepada pemeriksa untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan; dan
c. menerima dokumen hasil Pemeriksaan serta memberikan tanggapan atau penjelasan atas hasil Pemeriksaan.
(3) Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan.


Bagian Kesebelas
Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak

Paragraf 1
Surat Ketetapan Pajak

Pasal 148

(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN untuk jenis Pajak BPHTB, PBJT, Pajak MBLB, dan Pajak Sarang Burung Walet yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(2) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
a. hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146; 
b. penghitungan secara jabatan karena: 
1. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPTPD dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 ayat (3) dan telah ditegur secara tertulis namun tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; atau 
2. Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 ayat (1) atau Pasal 147 ayat (1). 
(3) SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT.
(4) SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.


Pasal 149

Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 terdapat kelebihan pembayaran Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB.


Pasal 150

(1) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
a. kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak PBJT; atau
b. kenaikan sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pokok Pajak yang kurang dibayar untuk jenis Pajak selain yang dimaksud pada huruf a.
(3) Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT. 
(4) SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.


Paragraf 2
Surat Tagihan Pajak

Pasal 151

(1) Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dalam hal:
a. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran;
b. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
c. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dalam hal: 
a. Pajak terutang tidak atau kurang dibayar;
b. hasil Penelitian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 terdapat kekurangan pembayaran sebagai akibat salah tulis, salah hitung, atau kesalahan administratif lainnya oleh Wajib Pajak;
c. SKPDKB, SKPDKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran; atau
d. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
(4) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5) Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.


Bagian Kedua Belas
Penagihan Pajak

Pasal 152

(1) Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak.
(2) Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan.
(3) Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan.


Pasal 153

(1) Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (3) Bupati berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan.
(2) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak; dan
b. menerbitkan:
1. Surat Teguran; 
2. surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
3. Surat Paksa;
4. surat perintah melaksanakan penyitaan;
5. surat perintah penyanderaan;
6. surat pencabutan sita;
7. pengumuman lelang;
8. surat penentuan harga limit;
9. pembatalan lelang; dan
10. surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Penagihan Pajak.
(3) Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 154

(1) Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran.
(2) Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak.
(3) Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa. 
(4) Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran.
(5) Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran.
(6) Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak.
(7) Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan.
(8) Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita.
(9) Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak pengumuman lelang.
(10) Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak dilakukan penyitaan.
(11) Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar.


Pasal 155

Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Seketika dan Sekaligus berdasarkan surat perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;  
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau 
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.


Pasal 156

(1) Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan.
(2) Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak.
(3) Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 157

Ketentuan lebih lanjut mengenai Penagihan senagaimana dimaksud dalam Pasal 152, Pasal 153, Pasal 154, Pasal 155, dan Pasal 156 diatur dalam Peraturan Bupati.
 

Bagian Ketiga Belas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan

Pasal 158

(1) Hasil Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(2) Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c angka 2, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
(3) Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
(4) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
a. penanaman pohon;
b. pembuatan lubang atau sumur resapan;
c. pelestarian hutan atau pepohonan; dan
d. pengelolaan limbah.


Bagian Keempat Belas
Kedaluwarsa

Paragraf 1
Kedaluwarsa Penagihan Pajak Dan Retribusi

Pasal 159

(1) Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah.
(2) Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT, jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT.
(3) Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2): 
a. diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa; atau
b. ada pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak, baik langsung maupun tidak langsung.
(4) Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa.
(5) Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah.
(6) Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak.
(7) Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan.


Bagian Kelima Belas
Penghapusan Piutang Pajak Dan Retribusi

Pasal 160

(1) Bupati melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (3).
(3) Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(4) Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
(5) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
a. pelaksanaan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 153 ayat (3) sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 159 ayat (1); dan
b. hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal daerah.
(6) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Bupati.


Pasal 161

(1) Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan.
(2) Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Keenam Belas
Keberatan dan Banding

Paragraf 1
Keberatan Pajak

Pasal 162

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
(2) Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas.
(3) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: 
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati. 
(5) Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak.
(6) Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan. 
(7) Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan.
(8) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. 
(9) Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak.


Pasal 163

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (1). 
(2) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
(3) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 ayat (7). 
(4) Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa: 
a. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
b. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
c. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
d. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 164

(1) Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan.
(3) Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.


Paragraf 2
Keberatan Retribusi

Pasal 165

(1) Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan.
(2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas.
(3) Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
(4) Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi: 
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
(5) Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi.


Pasal 166

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi dengan menerbitkan surat keputusan keberatan.
(2) Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
(3) Keputusan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya


Pasal 167

(1) Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Bupati.


Paragraf 3
Banding

Pasal 168

(1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Bupati atau Pejabat yang ditunjuk paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
(2) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas.
(3) Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
(4) Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  

Pasal 169

(1) Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2) Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
(3) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (3) tidak dikenakan.
(4) Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan


Bagian Ketujuh Belas
Gugatan Pajak

Pasal 170

Gugatan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, atau pengumuman lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka Penagihan Pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 162 ayat (1) dan Pasal 163; dan
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan,
hanya dapat diajukan ke badan peradilan pajak.


Pasal 171

Pengajuan gugatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedelapan Belas
Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Pembayaran atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau Sanksinya

Paragraf 1
Insentif Fiskal Pajak Dan Retribusi Bagi Pelaku Usaha

Pasal 172

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di daerahnya.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya. 
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan: 
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Bupati sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. 
(5) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor-faktor meliputi:
a. kepatuhan pembayaran dan pelaporan Pajak oleh Wajib Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir;
b. kesinambungan usaha Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
c. kontribusi usaha dan penanaman modal Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi terhadap perekonomian daerah dan lapangan kerja di daerah yang bersangkutan; dan/atau
d. faktor lain yang ditentukan oleh Bupati.
(6) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. 
(7) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah.
(8) Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional


Pasal 173

(1) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
(2) Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 174

(1) Dalam hal pemberian insentif fiskal merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1).
(2) Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor-sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (3) dan ayat (5).


Paragraf 2
Pemberian Keringanan, Pengurangan, dan Pembebasan

Pasal 175

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(2) Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi.
(3) Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Bupati.


Paragraf 3
Kemudahan Perpajakan Daerah

Pasal 176

(1) Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
a. perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
b. pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang.
(2) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
(3) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati.
(4) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
(5) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
(6) Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
(7) Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa: 
a. menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak; 
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau 
c. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pokok Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. (10) 
(10) Keadaan di luar kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi: 
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati. 
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Kesembilan Belas
Pembetulan dan Pembatalan Ketetapan

Pasal 177

(1) Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
(2) Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan.
(3) Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan Penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak.
(4) Dalam rangka Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan.
(5) Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima.
(6) Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
a. mengabulkan permohonan Wajib Pajak dengan membetulkan kesalahan atau kekeliruan yang dapat berupa menambahkan, mengurangkan, atau menghapuskan jumlah Pajak yang terutang, maupun sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan Pajak; atau 
b. membatalkan STPD atau membatalkan hasil Pemeriksaan maupun ketetapan Pajak yang dilaksanakan atau diterbitkan tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan; dan
c. menolak permohonan Wajib Pajak. 
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Kedua Puluh
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak atau Retribusi

Pasal 178

(1) Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Bupati atau Pejabat yang ditunjuk.
(2) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(3) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan.
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Bupati atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDLB atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
(5) Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya.
(6) Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB.
(7) Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Kedua Puluh Satu
Opsen

Paragraf 1
Pemungutan

Pasal 179

(1) Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari:
a. PKB; dan
b. BBNKB.
(2) Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah.
(3) Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 dan Pasal 71.
(4) Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB dan BBNKB.


Paragraf 2
Penetapan, Pembayaran, dan Penyetoran Opsen PKB dan Opsen BBNKB

Pasal 180

(1) Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB terutang didasarkan pada penetapan Gubernur dan dicantumkan di dalam SKPD.
(2) Wajib Pajak Opsen PKB dan Opsen BBNKB membayar Pajak terutang menggunakan SSPD berdasarkan SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan SSPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa dokumen penetapan dan pembayaran sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai sistem administrasi manunggal satu atap kendaraan bermotor.
(4) Pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ke kas Daerah dilakukan bersamaan dengan pembayaran PKB dan BBNKB ke kas Daerah Provinsi.
(5) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, gubernur melakukan Penagihan. 
(6) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) termasuk penagihan sanksi administratif atas Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
(7) Dalam hal Gubernur telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bagian Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB disetorkan ke kas Daerah paling lama 3 (tiga) hari kerja.


Paragraf 3
Penghitungan, Pembayaran, dan Pelaporan Opsen Pajak MBLB

Pasal 181

(1) Penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Opsen Pajak MBLB terutang dilakukan bersamaan dengan penghitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak MBLB.
(2) Pembayaran Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke kas Daerah provinsi dilakukan bersamaan dengan pembayaran Pajak MBLB ke kas Daerah kabupaten dalam SSPD Pajak MBLB.
(3) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dilakukan oleh Wajib Pajak, Bupati melakukan Penagihan.
(4) Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), termasuk Penagihan sanksi administratif atas Opsen Pajak MBLB.
(5) Dalam hal Bupati telah menerima pembayaran atas Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bupati menyetorkan bagian Opsen Pajak MBLB ke kas Daerah provinsi paling lama 3 (tiga) hari kerja.
(6) Pelaporan Opsen Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam SPTPD Pajak MBLB.


Paragraf 4
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen PKB dan Opsen BBNKB

Pasal 182

(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran PKB yang disebabkan oleh keadaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (7), dan/atau kelebihan pembayaran BBNKB kepada Gubernur, pengembalian kelebihan pembayaran PKB dan/atau BBNKB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen PKB dan/atau Opsen BBNKB.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, gubernur menerbitkan SKPDLB PKB dan/atau SKPDLB BBNKB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 178.
(3) Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Bupati pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan.
(4) Berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2), gubernur mengembalikan kelebihan pembayaran PKB dan Opsen PKB, atau BBNKB dan Opsen BBNKB kepada Wajib Pajak paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.

Paragraf 5
Pengembalian Kelebihan Pembayaran Opsen Pajak MBLB

Pasal 183

(1) Dalam hal Wajib Pajak mengajukan kelebihan pembayaran Pajak MBLB kepada Bupati, pengembalian kelebihan pembayaran Pajak MBLB termasuk memperhitungkan pengembalian kelebihan pembayaran Opsen Pajak MBLB.
(2) Dalam hal permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Bupati menerbitkan SKPDLB Pajak MBLB dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 181.
(3) Salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan. 
(4) Gubernur menerbitkan SKPDLB Opsen Pajak MBLB berdasarkan SKPDLB Pajak MBLB, pada hari penerbitan atau paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak salinan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima.
(5) Berdasarkan SKPDLB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4), gubernur dan Bupati mengembalikan kelebihan pembayaran Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB kepada Wajib Pajak paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.


Paragraf 6
Sinergi Pemungutan Opsen

Pasal 184

(1) Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
a. Opsen PKB; dan
b. Opsen BBNKB, Pemerintah Daerah bersinergi dengan Pemerintah Daerah Provinsi.
(2) Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah Kabupaten bersinergi dengan Pemerintah Daerah Provinsi.
(3) Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan Opsen PKB, Opsen BBNKB, dan Pajak MBLB atau bentuk sinergi lainnya


Pasal 185

Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen Pajak MBLB dan bentuk sinergi antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, diatur dalam Peraturan Bupati.
 

Bagian Kedua Puluh Dua
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak dan Pemanfaatan Data

Paragraf 1
Kerja Sama Optimalisasi Pemungutan Pajak

Pasal 186

(1) Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah lain; dan/atau
c. pihak ketiga. 
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pertukaran dan/atau pemanfaatan data dan/atau informasi perpajakan, perizinan, serta data dan/atau informasi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. pengawasan Wajib Pajak bersama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; 
c. pemanfaatan program atau kegiatan peningkatan pelayanan kepada masyarakat, khususnya di bidang perpajakan;
d. pendampingan dan dukungan kapasitas di bidang perpajakan; 
e. peningkatan pengetahuan dan kemampuan aparatur atau sumber daya manusia di bidang perpajakan;
f. penggunaan jasa layanan pembayaran oleh pihak ketiga; dan
g. kegiatan lainnya yang dipandang perlu untuk dilaksanakan dengan didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik serta saling menguntungkan.
(3) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf e dan/atau huruf g. 
(4) Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c sampai dengan huruf g.


Pasal 187

(1) Pemerintah Daerah dapat:
a. mengajukan penawaran kerja sama kepada pihak yang dituju sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (1); dan
b. menerima penawaran kerja sama dari pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (1). 
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak. 
(3) Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Bupati bersama mitra kerja sama.
(4) Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
a. subjek kerja sama;
b. maksud dan tujuan;
c. ruang lingkup;
d. hak dan kewajiban para pihak yang terlibat;
e. jangka waktu perjanjian;
f. sumber pembiayaan;
g. penyelesaian perselisihan;
h. sanksi;
i. korespondensi; dan
j. perubahan


Paragraf 2
Penghimpunan Data dan/atau Informasi Elektronik dalam Pemungutan Pajak

Pasal 188

(1) Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
(2) Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha.
  

Bagian Kedua Puluh Tiga
Optimalisasi Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Secara Internal

Pasal 189

Optimalisasi pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dilakukan melalui:
a. penyesuaian tugas pokok dan fungsi Perangkat Daerah yang melakukan pemugutan;
b. peningkatan koordinasi dengan sesama Perangkat Daerah; dan
c. pembentukan Tim Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
  

Pasal 190

(1) Optimalisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198 dilakukan pula bersama-sama dengan Perangkat Daerah melalui pemetaan dan proyeksi terhadap Pajak Daerah dan Retribusi Daerah setiap Tahun Anggaran berjalan
(2) Pemetaan dan proyeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), digunakan sebagai salah satu dasar untuk melakukan:
a. perubahan obyek;
b. penyesuaian tarif; dan
c. penentuan besaran target Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada Tahun Anggaran selanjutnya.
(3) Pemetaan dan proyeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilakukan oleh masing-masing Perangkat Daerah pemungut paling lambat pada minggu keempat bulan Agustus
(4) Pemetaan dan proyeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dikoordinasikan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan di bidang pendapatan daerah.


Bagian Kedua Puluh Empat
Kerahasiaan Data Wajib Pajak

Pasal 191

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan 
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. 
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.


BAB V
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 192

(1) Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB VI
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 193

(1) Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau atau kurang bayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD.
(2) Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan Surat Teguran.
(3) Selain sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), khusus terhadap pelanggaran administrasi berkenaan PBG dapat diberikan sanksi dalam bentuk:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pekerjaan pelaksanaan pembangunan; 
d. penghentian sementara atau tetap pada Pemanfaatan Bangunan Gedung;
e. pembekuan PBG;
f. pencabutan PBG;
g. pembekuan SLF Bangunan Gedung;
h. pencabutan SLF Bangunan Gedung; dan/atau 
i. perintah Pembongkaran Bangunan Gedung. 
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB VII
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 194

(1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai Penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana Pajak dan Retribusi ;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang Pajak dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


BAB VIII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 195

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (7), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana sesuai peraturan perundang-undangan.


Pasal 196

Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 197

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2), Pasal 91 ayat (2), dan/atau Pasal 117 ayat (2), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar.


Pasal 198

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 199

Denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195, Pasal 196 dan Pasa1 197 merupakan pendapatan negara.


BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 200

(1) Masyarakat berpenghasilan rendah dapat diberikan keringanan terhadap tarif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diberikan juga kepada wajib Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan kriteria dan ukuran tertentu.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 201

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.


Pasal 202

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, khusus ketentuan mengenai Pajak MBLB dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 251), masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025.


Pasal 203

Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 192, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.


Pasal 204

Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.


Pasal 205

Pada saat Peraturan Daerah mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang sudah ada sebelum Peraturan Daerah ini berlaku, dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 206

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2018 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 251);
b. Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 5 Tahun 2018 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Dearah Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2018 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 250);
c. Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 8 Tahun 2017 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhan dan Penyeberangan di Air (Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2017 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 245); dan
d. Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 1 Tahun 2022 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur Nomor 274);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 207

Ketentuan mengenai Pajak MBLB, Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025.


Pasal 208

(1) Peraturan Bupati berkenaan Pajak Daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini, disusun oleh Perangkat Daerah yang membidangi Pajak Daerah. 
(2) Peraturan Bupati berkenaan Retribusi Daerah dan pelayanan yang diselenggarakannya sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini, disusun oleh masing-masing Perangkat Daerah Pemungut.
(3) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Peraturan Daerah ini diundangkan
     
 
Pasal 209

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur.




Ditetapkan di Sampit
Pada tanggal 2 Januari 2024
BUPATI KOTAWARINGIN TIMUR,

TTD

HALIKINNOR


Diundangkan di Sampit
pada tanggal 2 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR,

TTD

FAJRUR RAHMAN



LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR TAHUN 2024 NOMOR 1
NOMOR REGISTER PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR PROVINSI KALIMANTAN TENGAH : 8,115/2023

 



PENJELASAN

ATAS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR

NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

I. UMUM

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, maka seluruh jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam 1 (satu) Peraturan Daerah. Peraturan Daerah ini yang kemudian akan menjadi landasan hukum bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur melakukan pungutan guna mendorong peningkatan pendapatan asli daerah yang digunakan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah dan kesejahteraan masyarakat. Sekaligus juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berkontribusi bagi pembangunan daerah berdasarkan keseimbangan antara obyek dan tarif dari Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Materi dalam Peraturan Daerah ini mengatur 9 (sembilan) Jenis Pajak Daerah yang terdiri dari PBB-P2, BPHTB, PBJT, Pajak Reklame, PAT, Pajak MBLB, Pajak Sarang Burung Walet, serta pemungutan Opsen Pajak yaitu Opsen PKB dan Opsen BBNKB. Sedangkan khusus berkenaan Retribusi Daerah, klasifikasinya meliputi Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu yang rinciannya kemudian disusun dengan menyesuaikan hasil pemetaan potensi yang terdapat di Kabupaten Kotawaringin Timur.
 
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Pajak merupakan kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa. Pungutan atas nama Pajak yang menjadi wewenang Kabupaten dilakukan berdasarkan penetapan Bupati atau perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak. Dengan demikian, jika suatu kegiatan usaha telah dijalankan atau dilaksanakan, maka atas kegiatan usaha tersebut dapat dipungut Pajak yang menjadi wewenang Kabupaten berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan. Walaupun kegiatan usaha tersebut belum atau tidak memiliki izin. Disamping itu, dalam rangka tertib izin berusaha, orang pribadi atau badan yang menjadi Pelaku Usaha dimaksud, tetap diwajibkan sesuai Peraturan Perundang-Undangan untuk secepatnya melakukan pengurusan izin usaha.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
  1. Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
    1. suatu saat tertentu, misalnya untuk BPHTB;
    2. akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
    3. suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2.
  2. Yang dimaksud dengan “syarat subjektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 
  3. Yang dimaksud dengan “syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Ayat (9)
  1. kenaikan NJOP hasil penilaian;
    Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misalnya, dalam hal Pemerintah Daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap 
  2. bentuk pemanfaatan objek Pajak;
    Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial. 
  3. Klasterisasi NJOP.
    Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu wilayah kabupaten/kota misalnya, Kabupaten A dapat menyusun klasterisasi sebagai berikut:
    1. NJOP < Rp X juta maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 60%;
    2. NJOP Rp X juta – Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 80%;
    3. NJOP > Rp Y miliar maka persentase dasar pengenaan PBB-P2 sebesar 100%.
Ayat (10)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.
 
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Contoh: Contoh pemungutan PBB-P2 atas Jembatan A yang membentang dari daratan yang berada di Kabupaten/Kota X hingga daratan yang berada di Kabupaten/Kota Y dan melintasi wilayah perairan darat diantara dua Kabuapaten/Kota tersebut, atas bumi dan/atau bangunan Jembatan A dapat dipungut PBBP2 oleh Kabupaten/Kota X dan Kabupaten/Kota Y. Wilayah pemungutan PBB-P2 atas Jembatan A akan dibagi dua sesuai batas administratif Kabupaten/Kota X dan Kabupaten/Kota Y dimaksud sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Yang dimaksud dengan “surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak” adalah surat keputusan (akta) pemberian hak baru yang menyebabkan terjadinya perubahan nama.
Contoh: Tuan A memiliki hak milik atas tanah seluas 5000 m2, kemudian Tuan A memberikan hak guna bangunan di atas tanah tersebut kepada PT XYZ, maka saat terutangnya BPHTB untuk transaksi tersebut adalah pada saat ditandatanganinya surat keputusan (akta) pemberian hak guna bangunan tersebut atas nama PT XYZ.

Huruf g
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
 

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Yang termasuk dalam pengertian restoran disini juga adalah fasilitas penyedia makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran, yang mencakup juga bar, rumah makan, warung/kios, kafetaria, kantin, dan sejenisnya termasuk jasa boga/catering. Selanjutnya contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
  1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nila
  2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai.
  3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
Huruf b
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.
 
Huruf i
Cukup jelas.
 
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

Huruf k
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
 
Huruf b
Cukup jelas.
 
Huruf c
Cukup jelas.
 
Huruf d
Cukup jelas.
 
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.


Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya
 
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran lfitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
 
Huruf j
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.
 
Huruf l
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucher antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
 
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucer atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 

Pasal 28

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Ayat (6)
Huruf a
Penghitungan nilai jual tenaga listrik untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan tenaga listrik. Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam penghitungan nilai jual tenaga listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.
 
Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.


Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.


Pasal 32

Cukup jelas.


Pasal 33

Cukup jelas.


Pasal 34

Cukup jelas.


Pasal 35

Cukup jelas.


Pasal 36

Cukup jelas.


Pasal 37

Cukup jelas.


Pasal 38

Cukup jelas.


Pasal 39

Cukup jelas.


Pasal 40

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 41

Cukup jelas.


Pasal 42

Cukup jelas.


Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.


Pasal 45

Cukup jelas.


Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.


Pasal 48

Cukup jelas.


Pasal 49

Cukup jelas.


Pasal 50

Cukup jelas.


Pasal 51

Cukup jelas.


Pasal 52

Cukup jelas.


Pasal 53

Cukup jelas.


Pasal 54

Cukup jelas.


Pasal 55

Cukup jelas.


Pasal 56

Cukup jelas.


Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.


Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.


Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.


Pasal 63

Cukup jelas.


Pasal 64

Cukup jelas.


Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.


Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.


Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 73

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Cukup jelas.

Pasal 77

Cukup jelas.


Pasal 78

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.


Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas.


Pasal 85

Cukup jelas.

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.


Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.


Pasal 95

Cukup jelas.


Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.


Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.


Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.


Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.


Pasal 109

Cukup jelas.


Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Cukup jelas.


Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.


Pasal 115

Cukup jelas.


Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.


Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.


Pasal 122

Cukup jelas.


Pasal 123

Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.


Pasal 125

Cukup jelas.


Pasal 126

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
 
Ayat (4)
Contoh: Orang pribadi “A” memiliki sebuah rumah (tanah dan bangunan), mengusahakan sebuah restoran, serta dan membuka usaha rekreasi wahana air (waterboom). Ketiga objek dimaksud berada di kabupaten “M”.
Atas objek-objek dimaksud, orang pribadi “A” hanya memiliki 1 (satu) Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah (NPWPD), namun dapat memiliki beberapa nomor objek Pajak/nomor registrasi/jenis penomoran lain yang dipersamakan sesuai dengan kebutuhan profiling dan pendataan perpajakan daerah di pemerintah daerah kabupaten “M”:
  1. Nomor Objek Pajak (NOP) untuk tanah dan bangunan rumah yang dimilikinya; 
  2. Nomor Objek Pajak untuk usaha restoran; dan 
  3. Nomor Objek Pajak untuk usaha waterboom.

 

Ayat (5)
Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan dihubungkan dengan nomor induk kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Kabupaten.
 
Ayat (6)
Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 nomor Pokok Wajib Pajak Daerah dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Kabupaten
 
Ayat (7)
Cukup jelas.
 
Ayat (8)
Cukup jelas.


Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Cukup jelas.

Pasal 129

Cukup jelas.


Pasal 130

Cukup jelas.


Pasal 131

Cukup jelas.

Pasal 132

Ayat (1)
Yang dimaksud “SPPT” adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk membayar PBB-P2 terutang dan bukan merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu objek PBB-P2.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.


Pasal 133

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “dilarang diborongkan” adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data Objek dan Subjek Pajak.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SKPD” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
 
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SPPT” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.

Ayat (6)
Cukup jelas.
 
Ayat (7)
Cukup jelas.
 
Ayat (8)
Cukup jelas.
 
Ayat (9)
Cukup jelas.
 
Ayat (10)
Cukup jelas.


Pasal 134

Cukup jelas.

Pasal 135

Cukup jelas.

Pasal 136

Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.


Pasal 137

Cukup jelas.


Pasal 138

Cukup jelas.

Pasal 139

Ayat (1)
Cukup jelas.

 

Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan ‘pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi’ adalah pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Kabupaten, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Ayat (6)
Cukup jelas.


Pasal 140

Cukup jelas.


Pasal 141

Cukup jelas.


Pasal 142

Cukup jelas.


Pasal 143

Cukup jelas.


Pasal 144

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.


Pasal 145

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Contoh: Pemerintah Kabupaten menerbitkan STPD pada bulan Oktober untuk menagih kekurangan pembayaran PBJT atas restoran untuk masa pajak bulan Februari. Dalam STPD tersebut, pengenaan sanksi adminstratif berupa bunga dikenakan sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk periode bulan Oktober
 
Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 146

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
 
Huruf b
Cukup jelas.
 
Huruf c
Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
  1. kepatuhan penyampaian surat pemberitahuan; dan
  2. kepatuhan dalam melunasi Pajak terutang.

 

Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.


Pasal 147

Cukup jelas.
 

Pasal 148

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
 
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghitungan secara jabatan” adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah.
Contoh: Dalam hal Wajib Pajak tidak melaporkan SPTPD, tidak menyelenggarakan pembukuan, atau tidak kooperatif dalam mengungkapkan data, keterangan, dan/atau informasi saat pemeriksaan, maka Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat menghitung dan menetapkan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data, keterangan, dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah, yang dapat diperoleh dari hasil penelitian, pendataan, konfirmasi pihak ketiga, uji petik lapangan, maupun cara lainnya untuk memperoleh data, keterangan, dan/atau informasi
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.


Pasal 149

Cukup jelas.


Pasal 150

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Huruf a
Contoh: Wajib Pajak Restoran A terdaftar di Kabupaten melaporkan SPTPD PBJT masa Pajak Januari 2022 dengan Pajak terutang yang telah dibayar dan dilaporkan sebesar Rp100 juta. Pembayaran dan pelaporan Pajak dilakukan pada hari yang sama pada tanggal 11 Februari 2022, sementara batas waktu pembayaran dan pelaporan PBJT dalam Perda Kabupaten adalah tanggal 15 dan tanggal 20 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa Pajak. Namun demikian, berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh fiskus daerah terdapat indikasi ketidakbenaran penghitungan Pajak terutang dalam SPTPD yang dilaporkan, sehingga terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan Pajak dalam rangka menguji kepatuhan perpajakan pada bulan Maret 2022.
Dalam proses pemeriksaan, Wajib Pajak tidak kooperatif, tidak bersedia memperlihatkan pembukuan, dan tidak mengizinkan pemeriksa Pajak memasuki ruangan tempat penyimpanan pembukuan Wajib Pajak. Hal tersebut menyebabkan Pemeriksa Pajak tidak dapat menghitung besaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman terutang yang sebenarnya. Oleh karena itu, Pemeriksa Pajak melakukan penghitungan Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh melalui konfirmasi data pihak ketiga dan informasi yang dikumpulkan melalui uji petik. Besaran Pajak terutang yang seharusnya menurut Kepala Daerah adalah sebesar Rp250 juta.
Pemeriksaan selesai pada bulan April 2022 dan pada tanggal 21 April 2022 terbit SKPDKB untuk menagih kekurangan pembayaran PBJT atas Makanan dan/atau Minuman sesuai penghitungan secara jabatan oleh Pemeriksa Pajak sebesar Rp150 juta (Rp250 juta -Rp100 juta).
Maka isi SKPDKB PBJT dimaksud adalah sebagai berikut:
  1. Pokok Pajak Kurang Bayar = Rp150.000.000
  2. Sanksi bunga = Rp9.000.000
Misal dalam Keputusan Menteri ditetapkan bunga untuk sanksi atas terbitnya SKPDKB tersebut sebesar 2%, maka sanksi bunga sebesar = (3 x 2% x Rp 150.000.000) Dihitung dari batas waktu pembayaran (15 Februari 2022) sampai dengan terbitnya SKPDKB (21 April 2022)
  1. Sanksi kenaikan (50%) = Rp75.000.000
  2. Jumlah Kekurangan Pajak yang harus dibayar dalam SKPDKB = Rp234.000.000
 
Huruf b
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.


Pasal 151

Cukup jelas.
 

Pasal 152

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “imbauan” adalah pemberian informasi kepada penanggung Pajak sebagai pengingat agar penanggung Pajak dapat melunasi utang Pajaknya sebelum diterbitkannya surat teguran. Imbauan dapat diberikan melalui surat imbauan atau melalui media lainnya.
 
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan” adalah Undang-Undang mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.


Pasal 153

Cukup jelas.


Pasal 154

Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Surat Teguran” adalah surat peringatan atau bentuk lain yang fungsinya untuk menegur dan mengingatkan Penanggung Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya dalam upaya Penagihan Pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Ayat (6)
Cukup jelas.
 
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “surat perintah melaksanakan penyitaan” merupakan surat perintah yang diterbitkan untuk melaksanakan penyitaan.
 
Ayat (8)
Yang dimaksud dengan “biaya Penagihan Pajak” merupakan biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Pajak.
 
Ayat (9)
Cukup jelas.
 
Ayat (10)
Cukup jelas.
 
Ayat (11)
Cukup jelas.


Pasal 155

Cukup jelas.


Pasal 156

Cukup jelas.


Pasal 157

Cukup jelas.


Pasal 158

Cukup jelas.


Pasal 159

Cukup jelas.


Pasal 160

Cukup jelas.

Pasal 161

Cukup jelas.


Pasal 162

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
 
Huruf b
Cukup jelas.
 
Huruf c
Cukup jelas.
 
Huruf d
Cukup jelas.
 
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keadaan lain berdasarkan pertimbangan Kepala Daerah” merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Kepala Daerah baik Gubernur atau Bupati yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.

 

Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Contoh: Pada 2021, Wajib Pajak X melaporkan Pajak terutang sebesar Rp10.000.000.000. Kemudian, Pemerintah Daerah Y melaksanakan pemeriksaan atas Pajak terutang yang dilaporkan oleh Wajib Pajak X. Atas hasil pemeriksaan tersebut, Pemerintah Daerah Y menerbitkan SKPDKB dengan jumlah Pajak yang masih harus dibayar Wajib Pajak X senilai Rp1.500.000.000. Dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, Wajib Pajak X menyetujui Pajak yang masih harus dibayar senilai Rp500.000.000. Wajib Pajak X dapat mengajukan keberatan apabila telah melunasi sebagian SKPDKB yang telah disetujui dalam pembahasan akhir pemeriksaan tersebut senilai Rp500.000.000
 
Ayat (6)
Cukup jelas.
 
Ayat (7)
Cukup jelas.
 
Ayat (8)
Cukup jelas.
 
Ayat (9)
Cukup jelas.


Pasal 163

Cukup jelas.


Pasal 164

Cukup jelas.


Pasal 165

Cukup jelas.


Pasal 166

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.


Pasal 168

Cukup jelas.


Pasal 169

Cukup jelas.


Pasal 170

Cukup jelas.


Pasal 171

Cukup jelas.


Pasal 172

Cukup jelas.


Pasal 173

Cukup jelas.


Pasal 174

Cukup jelas.

Pasal 175

Cukup jelas.


Pasal 176

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Contoh: Pada masa puncak penyebaran wabah penyakit di suatu daerah pada bulan Juni 2020, batas waktu pembayaran dan pelaporan Pajak Reklame masa Pajak Juni yang seharusnya jatuh tempo tanggal 10 Juli untuk pembayaran dan tanggal 15 Juli untuk pelaporan, diperpanjang menjadi tanggal 10 September untuk pembayaran dan tanggal 15 September untuk pelaporan bagi seluruh Wajib Pajak Reklame di daerah tersebut.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Ayat (6)
Cukup jelas.
 
Ayat (7)
Cukup jelas.
 
Ayat (8)
Cukup jelas.
 
Ayat (9)
Contoh:
  1. Wajib Pajak memiliki Utang Pajak sebesar Rp 100 juta untuk masa Pajak April 202X yang disetujui oleh Kepala Daerah pada tanggal 5 Mei 202X untuk diangsur selama 4 (empat) bulan mulai tanggal 1 Juni 202X dengan pembayaran pro-rata pokok Pajak setiap bulan. Maka pembayaran angsuran Pajak adalah sebagai berikut:
    1. Pembayaran angsuran pertama tanggal 1 Juni 202X = Rp 25 juta + (1% x Rp 100 juta) = Rp 26 juta Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada Juni 202X sebesar 1%
    2. Pembayaran angsuran kedua tanggal 1 Juli 2020 = Rp 25 juta + (0,8% x Rp 75 juta) = Rp 25,6 juta Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada Juli 202X sebesar 0,8%
    3. Pembayaran angsuran ketiga tanggal 1 Agustus 2020 = Rp 25 juta + (1% x Rp 50 juta) = Rp 25,5 juta Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada Agustus 202X sebesar 1%
    4. Pembayaran angsuran terakhir tanggal 1 September 2020 = Rp 25 juta + (0,8% x Rp 25 juta) = Rp 25,2 juta Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada September 202X sebesar 0,6%
  2. Wajib Pajak memiliki Utang Pajak sebesar Rp 100 juta untuk masa Pajak April 202X yang seharusnya jatuh tempo pada tanggal 10 Mei 202X, disetujui oleh Bupati pada tanggal 5 Mei 202X untuk ditunda pembayarannya selama 6 (enam) bulan. Maka pembayaran Pajak setelah 6 bulan adalah sebagai berikut: Pembayaran pada tanggal 10 November 202X = Rp 100 juta + (1% x Rp 100 juta x 6 bulan) = Rp 106 juta. Misal suku bunga acuan untuk angsuran Pajak pada November 202X sebesar 1%.
 
Ayat (10)
Cukup jelas.
 
Ayat (11)
Cukup jelas.


Pasal 177

Cukup jelas.


Pasal 178

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “Utang Pajak atau Utang Retribusi lainnya” merupakan Utang Pajak atau Utang Retribusi lain yang masih belum dibayar oleh Wajib pajak atau Wajib Retribusi selain jenis Pajak atau Retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
 
Ayat (6)
Cukup jelas.
 
Ayat (7)
Cukup jelas.
 
Ayat (8)
Cukup jelas.


Pasal 179

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Contoh:
  1. Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pembelian kendaraan bermotor baru melalui dealer dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (setelah memperhitungkan bobot) sebesar Rp 300 juta sebagaimana diatur dalam lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri yang mengatur mengenai Dasar Pengenaan PKB dan BBNKB Tahun 2025. Tarif BBNKB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 8%, sedangkan tarif Opsen BBNKB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 66%. Maka dalam SKPD BBNKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
    1. BBNKB terutang = 8% x Rp 300 juta = Rp 24 juta 
    2. Opsen BBNKB terutang = 66% x Rp 24 juta = 16 juta
    Total BBNKB dan Opsen BBNKB terutang = Rp 40 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan BBNKB saat perolehan kepemilikan. BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S, sedangkan opsen BBNKB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X
  2. Pada saat yang bersamaan dengan perolehan kepemilikan sebagaimana contoh 1, kendaraan dimaksud juga diregistrasi atas nama pemilik (Wajib Pajak A), sehingga terutang PKB. Kendaraan bermotor tersebut merupakan kendaraan pertama bagi Wajib Pajak A. Tarif PKB kepemilikan pertama dalam Perda PDRD Provinsi S adalah sebesar 1%, dan tarif opsen PKB dalam Perda PDRD Kabupaten X adalah sebesar 66%. Maka dalam SKPD PKB yang diterbitkan pemerintah daerah Provinsi S, ditagihkan jumlah Pajak terutang sebagai berikut:
    1. PKB terutang = 1% x Rp 300 juta = Rp 3 juta 
    2. Opsen PKB terutang = 66% x Rp 3 juta = Rp 2 juta
    Total PKB dan Opsen PKB terutang = Rp 5 juta, ditagihkan bersamaan dengan pemungutan PKB saat pendaftaran (regident) kendaraan bermotor.
    Selanjutnya setiap tahun Wajib Pajak A melakukan pembayaran PKB dan Opsen PKB sesuai contoh nomor 2 sesuai dengan tarif dalam Perda dan Nilai Jual Kendaraan Bermotor yang ditetapkan setiap tahun.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.


Pasal 180

Ayat (1)
Yang dicantumkan dalam SKPD merupakan besaran pokok PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB dalam satu ketetapan.
 
Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bersamaan” merupakan pembayaran Opsen PKB atau Opsen BBNKB dilakukan sekaligus dengan pembayaran PKB atau BBNKB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Ayat (6)
Cukup jelas.
 
Ayat (7)
Cukup jelas.


Pasal 181

Ayat (1)
Cukup jelas.
 
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “bersamaan” adalah pembayaran Opsen Pajak MBLB dilakukan sekaligus dengan pembayaran Pajak MBLB melalui mekanisme setoran yang dipisahkan (split payment) secara langsung atau otomatis.
 
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pembayaran” adalah pembayaran atas Opsen Pajak MBLB saja, atau pembayaran atas Opsen Pajak MBLB dan Pajak MBLB.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.
 
Ayat (5)
Cukup jelas.
 
Ayat (6)
Cukup jelas.


Pasal 182

Cukup jelas.


Pasal 183

Cukup jelas.

Pasal 184

Cukup jelas.

Pasal 185

Cukup jelas.


Pasal 186

Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
 
Huruf b
Cukup jelas.
 
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi pemungutan Pajak
 
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
 
Huruf b
Yang dimaksud “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak. Contoh: Fiscus melakukan permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan, pemanggilan/kunjungan (visit) kepada Wajib Pajak
 
Huruf c
Cukup jelas.
 
Huruf d
Cukup jelas.
 
Huruf e
Cukup jelas.
 
Huruf f
Contoh Penggunaan jasa layanan pembayaran yang disediakan oleh pihak ketiga, seperti Pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik/PPMSE.
 
Huruf g
Cukup jelas.
 
Ayat (3)
Cukup jelas.
 
Ayat (4)
Cukup jelas.


Pasal 187

Cukup jelas.


Pasal 188

Cukup jelas.


Pasal 189

Huruf a
Penyesuaian ini dimaksudkan agar menghindari tumpang tindih pelaksanaan pungutan dengan obyek yang sama
 
Huruf b
Peningkatan koordinasi salah satunya dilakukan dengan cara menjadikan syarat perpanjangan perizinan usaha baru. Contoh yang lainnya adalah apabila ada suatu event musik di stadion olahraga, maka dilakukan koordinasi antara Perangkat Daerah terkait untuk melakukan pemugutan terhadap Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dengan Perangkat Daerah lainnya yang juga melakukan pemungutan Retribusi yang menjadi wewenangnya.
 
Huruf c
Tim Optimalisasi Perangkat Daerah ini berisikan Perangkat Daerah terkait dan pihak-pihak lainnya sesuai ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.


Pasal 190

Cukup jelas.

Pasal 191

Cukup jelas.


Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Cukup jelas.

Pasal 194

Cukup jelas.

Pasal 195

Cukup jelas.


Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197

Cukup jelas.

Pasal 198

Cukup jelas.

Pasal 199

Cukup jelas.

Pasal 200

Cukup jelas.

Pasal 190

Cukup jelas.

Pasal 191

Cukup jelas.


Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Cukup jelas.

Pasal 194

Cukup jelas.

Pasal 195

Cukup jelas.


Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197

Cukup jelas.

Pasal 198

Cukup jelas.

Pasal 199

Cukup jelas.

Pasal 200

Cukup jelas.

Pasal 201

Cukup jelas.

Pasal 202

Cukup jelas.


Pasal 203

Cukup jelas.

Pasal 204

Cukup jelas.

Pasal 205

Cukup jelas.

Pasal 206

Cukup jelas.


Pasal 207

Cukup jelas.

Pasal 208

Cukup jelas.

Pasal 209

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN TIMUR NOMOR 295

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA