Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
a. | Pajak Daerah; |
b. | Retribusi Daerah; |
c. | Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi; |
d. | Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan atau Penundaan Atas Pokok Pajak/Retribusi; |
e. | Kerahasiaan Data Wajib Pajak; |
f. | Insentif Pemungutan Pajak; |
g. | Sinergitas Pengelolaan Pajak dan Retribusi; |
h. | Sistem Informasi Pajak dan Retribusi; |
i. | Pemeriksaan Pajak dan Retribusi; |
j. | Pembinaan dan Pengawasan; |
k. | Sanksi Administratif; |
l. | Ketentuan Penyidikan; |
m. | Ketentuan Pidana; |
n. | Ketentuan Peralihan; dan |
o. | Ketentuan Penutup. |
a. | PBB-P2; | ||||||||||
b. | BPHTB; | ||||||||||
c. | PBJT atas:
|
||||||||||
d. | Pajak Reklame; | ||||||||||
e. | PAT; | ||||||||||
f. | Pajak MBLB; | ||||||||||
g. | Pajak Sarang Burung Walet; | ||||||||||
h. | Opsen PKB; dan | ||||||||||
i. | Opsen BBNKB. |
(1) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
||||||||||||||||||
(2) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||||||||||
(3) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah SKPD dan SPPT. | ||||||||||||||||||
(4) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar Pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD. | ||||||||||||||||||
(5) | Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. | ||||||||||||||||||
(2) | Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. | ||||||||||||||||||
(3) | Dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
(1) | Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(3) | Dalam hal terdapat objek pajak yang belum diketahui Wajib Pajaknya, Wali Kota dapat menetapkan subjek pajak tertentu sebagai Wajib Pajak. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara penetapan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP. |
(2) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. |
(3) | NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOPTKP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek pajak PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak. |
(5) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah. |
(6) | Besaran NJOP ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan |
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOPTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3). | ||||||
(2) | Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan antara lain:
|
||||||
(3) | Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota. | ||||||
(4) | Besaran NJOP hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Wali Kota. |
(1) | Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(2) | Tarif PBB-P2 yang obyek pajaknya berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 0,08% (nol koma nol delapan persen) per tahun. |
(1) | Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. |
(2) | Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaaatan Bumi dan/atau bangunan. |
(3) | Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. |
(1) | Tempat PBB-P2 yang terutang di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. |
(2) | Wilayah pemungutan PBB-P2 yang terutang adalah wilayah Daerah tempat objek pajak berada. |
(1) | Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan BPHTB adalah NPOP. | ||||||
(2) | NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Dalam hal NPOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah dari NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan. | ||||||
(4) | Besarnya NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB. | ||||||
(5) | Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi dalam yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi wasiat atau waris, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). | ||||||
(6) | Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). | ||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(2) | Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. |
(1) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. | ||||
(2) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. | ||||
(3) | Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran Hak atas Tanah atau pendaftaran peralihan Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. | ||||
(4) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||
(5) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara melaporkan pembuatan akta atau risalah lelang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan kepada Wali Kota paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. | ||||
(6) | Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
a. | makanan dan/atau minuman; |
b. | tenaga Listrik; |
c. | jasa Perhotelan; |
d. | jasa Parkir; dan |
e. | jasa Kesenian dan Hiburan. |
(1) | Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
(1) | Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. | ||||||||
(2) | Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(1) | Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf d meliputi:
|
||||||
(2) | Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 huruf e meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
(1) | Subjek Pajak PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu. |
(2) | Wajib Pajak PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu. |
(1) | Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. | ||||||||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. | ||||||||||
(4) | Dalam hal Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, dasar pengenaan PBJT atas Jasa Parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d sebesar tarif Parkir sebelum dikenakan potongan. |
(1) | Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||
(2) | Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||
(3) | Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, tingkat penggunaan listrik, jangka waktu pemakaian listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah. | ||||
(4) | Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan. |
(1) | Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10 % (sepuluh persen). | ||||
(2) | Khusus tarif PBJT sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 ayat (2) jika dipungut bayaran ditetapkan dengan tarif sebesar 5% (lima persen). | ||||
(3) | Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40 % (empat puluh persen). | ||||
(4) | Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik ditetapkan sebesar:
|
a. | pembayaran/penyerahan atas makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas Makanan dan/atau Minuman; |
b. | konsumsi/pembayaran atas Tenaga Listrik untuk PBJT atas Tenaga Listrik; |
c. | pembayaran/penyerahan atas Jasa Perhotelan untuk PBJT atas Jasa Perhotelan; |
d. | pembayaran/penyerahan atas Jasa Penyediaan tempat Parkir untuk PBJT atas Jasa Parkir; dan |
e. | pembayaran/penyerahan atas Jasa Kesenian dan Hiburan untuk PBJT atas Jasa Kesenian dan Hiburan. |
(1) | Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. | ||||||||||||||||||
(2) | Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||
(3) | Dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. |
(2) | Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. |
(1) | Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame. |
(2) | Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor: jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. |
(4) | Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. |
(2) | Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) huruf e, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. |
(1) | Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. | ||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek PAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan untuk:
|
(1) | Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. | ||||||||||||
(3) | Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah. | ||||||||||||
(4) | Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan besaran nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh Gubernur. |
(1) | Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
(1) | Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. |
(2) | Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB. |
(2) | Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB. |
(3) | Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah. |
(4) | Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara. |
(1) | Objek Pajak sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet. |
(2) | Dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak. |
(1) | Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet. |
(2) | Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan sarang Burung Walet. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual Sarang Burung Walet. |
(2) | Nilai jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet. |
(1) | Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB. |
(2) | Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB. |
(1) | Opsen BBNKB dikenakan atas pajak terutang dari BBNKB. |
(2) | Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah. |
(1) | Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB. |
(2) | Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pajak terutang dari BBNKB. |
(1) | Saat terutangnya Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota, kecuali untuk BPHTB sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (2) huruf a. | ||||||||||
(3) | Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. | ||||||||||
(4) | Masa Pajak Reklame ditentukan sebagai berikut:
|
||||||||||
(5) | Masa Pajak Hiburan insidentil dan Parkir insidentil ditetapkan berdasarkan penyelenggaraan. | ||||||||||
(6) | Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. | ||||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak dan Tahun Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan Jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum. | ||||||||
(2) | Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b angka 2 dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan Jalan umum. | ||||||||
(3) | Kegiatan penyediaan penerangan Jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan Jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan Jalan umum. | ||||||||
(4) | Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulanagn, dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas Air Tanah, meliputi:
|
||||||||
(5) | Penggunaan hasil penerimaan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) menjadi dasar dalam penyusunan dokumen perencanaan dan penganggaran. |
a. | Retribusi Jasa Umum; |
b. | Retribusi Jasa Usaha; dan |
c. | Retribusi Perizinan Tertentu. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi:
|
||||||||
(2) | Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||
(4) | Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(5) | Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan :
|
||||||||
(6) | Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan. | ||||||||
(7) | Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan pihak swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. |
(1) | Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan kebersihan Jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial dan tempat umum lainnya. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(1) | Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 dengan tarif Retribusi. |
(2) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf b meliputi:
|
||||||||||||
(2) | Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan BLUD. | ||||||||||||
(4) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD dan pihak swasta. | ||||||||||||
(5) | Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||
(6) | Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||
(7) | Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Menteri, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Usaha orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha. |
(1) | Pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) huruf f termasuk pemanfaatan barang milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Daerah. | ||||||||
(2) | Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota untuk pemanfaatan barang milik Daerah berupa:
|
||||||||
(3) | Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. | ||||||||
(4) | Penetapan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah. | ||||||||
(5) | Bentuk pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(6) | Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Daerah. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(3) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 dengan tarif Retribusi. |
(2) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 huruf c meliputi:
|
||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atau disediakan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah, BUMN, BUMD, dan pihak swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu. |
(2) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu. |
(1) | Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan sertifikat laik fungsi oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Penerbitan PBG dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan sertifikat laik fungsi dan SBKBG, serta pencetakan sertifikat laik fungsi. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Penerbitan PBG dan sertifikat laik fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||||||||||||||||
(4) | Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. |
(1) | Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA. |
(2) | Dikecualikan dari pengenaan Retribusi pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||||||
(3) | Formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. |
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. |
(3) | Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1), biaya penyelenggaran pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai bangunan gedung. |
(4) | Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai ketenakerjaan. |
(1) | Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 dengan tarif Retribusi. | ||||
(2) | Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG. | ||||
(3) | Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||
(4) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang. | ||||
(5) | Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh Menteri. | ||||
(6) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(2) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek retribusi. |
(3) | Peninjauan tarif Retribusi PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel harga satuan bangunan gedung negara/SHST dan indeks lokalitas. |
(4) | Peninjauan tarif Retribusi penggunaan TKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
|
||||
(2) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk. | ||||
(3) | Atas pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk. | ||||
(4) | Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak. | ||||
(5) | NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan. | ||||
(6) | NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha. | ||||
(7) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk Wajib Pajak penyedia Tenaga Listrik yang berstatus BUMN atau BUMD. | ||||
(8) | Dalam hal Wajib Pajak tidak mendaftarkan diri, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah. |
(2) | Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak. | ||||
(2) | Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu paling lambat 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap atau setelah dilakukan pemeriksaan data wajib pajak. | ||||
(3) | Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui. | ||||
(4) | Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
|
(1) | NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan oleh Wali Kota. | ||||||
(2) | Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. | ||||||
(3) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. | ||||||
(4) | Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
||||||
(5) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan berdasarkan proses penilaian. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SPPT. | ||||
(2) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
|
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1), Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah. |
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Wali Kota atau pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(4) | Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak. |
(5) | Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif. |
(6) | Penetapan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor. |
(7) | Untuk Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
(1) | Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. | ||||
(2) | Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD. | ||||
(3) | Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. | ||||
(4) | Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai melalui Kas Daerah. | ||||
(5) | Wali Kota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota dan/atau penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 paling lama:
|
||||
(6) | Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD. | ||||
(7) | Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan ayat (3) berdasarkan nilai perolehan objek pajak. | ||||
(8) | Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
||||
(9) | Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli. |
(1) | Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
|
||||||||||||||||
(2) | Objek Pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat. | ||||||||||||||||
(3) | Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota. | ||||||||||||||||
(4) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||
(5) | Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat. | ||||||||||||||||
(6) | Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah Pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah Pajak terutang Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut. |
(1) | Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
||||
(2) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. | ||||
(3) | Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan. | ||||
(4) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang. | ||||
(5) | Buku, catatan dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan. |
(1) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) wajib mengisi SPTPD baik secara luring atau daring (online). |
(2) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. |
(3) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang per jenis Pajak dalam satu Masa Pajak. |
(4) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk setelah berakhirnya Masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak. |
(5) | Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD. |
(6) | SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran. |
(1) | Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1) dilakukan setiap Masa Pajak. |
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD. |
(3) | Wali Kota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa pajak. |
(4) | Ketentuan Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk BPHTB. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (1), penentuan Masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan. |
(3) | Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(5) | Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok pajak yang kurang dibayar. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan Penelitian dan verifikasi atas SPTPD yang disampaikan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) . | ||||||
(2) | Penelitian dan verifikasi atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||
(3) | Apabila berdasarkan hasil Penelitian dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD. | ||||||
(4) | STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian tahun Pajak atau tahun Pajak untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||
(5) | Dalam hal hasil Penelitian dan verifikasi SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(2) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||||||||
(3) | Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan, meliputi:
|
||||||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123, kewajiban Wajib Pajak yang diperiksa meliputi:
|
||||||
(2) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123, hak Wajib Pajak yang diperiksa paling sedikit:
|
||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak terutang ditetapkan secara jabatan. |
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB dan SKPDN untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2). | ||||||||
(2) | SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
|
||||||||
(3) | SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT. | ||||||||
(4) | SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. |
(1) | Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2) huruf a dan huruf b angka 1 dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||
(2) | Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (2) huruf b dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT. | ||||
(4) | SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD. | ||||||||
(2) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dalam hal:
|
||||||||
(3) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dalam hal:
|
||||||||
(4) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||
(5) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(1) | Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SPKDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak. |
(2) | Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan. |
(3) | Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129 ayat (3) Wali Kota berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3) diawali dengan penerbitan Surat Teguran. |
(2) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak. |
(3) | Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajaknya, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa. |
(4) | Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran. |
(5) | Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran. |
(6) | Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
(7) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat jam) sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. |
(8) | Apabila Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita. |
(9) | Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak pengumuman lelang. |
(10) | Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas hari) terhitung sejak dilakukan penyitaan. |
(11) | Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar. |
a. | penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama lamanya atau berniat untuk itu; |
b. | penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; |
c. | terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; |
d. | badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau |
e. | terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. |
(1) | Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan itikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran minimal tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan. |
(2) | Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak. |
(3) | Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Besaran Retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik. |
(2) | Dokumen lain yang dipersamakan dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, tagihan BLUD, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pemeriksaan Retribusi diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, kewajiban Wajib Retribusi yang diperiksa meliputi:
|
||||||
(2) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 hak Wajib Retribusi yang diperiksa antara lain:
|
||||||
(3) | Dalam hal Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan. |
(1) | Hak untuk melakukan Penagihan Pajak menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan daerah. | ||||
(2) | Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) dan Pasal 115 ayat (1) jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT. | ||||
(3) | Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||||
(4) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa tersebut. | ||||
(5) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. | ||||
(6) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. | ||||
(7) | Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan tersebut. |
(1) | Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi. | ||||
(2) | Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
||||
(3) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran tersebut. | ||||
(4) | Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b yaitu Wajib Retribusi dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. | ||||
(5) | Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi. |
(1) | Wali Kota melakukan pengelolaan piutang pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak. |
(2) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan Pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. |
(4) | Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota. |
(5) | Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan setelah Penagihan telah dilakukan sampai dengan batas waktu kedaluwarsa Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (1), dibuktikan dengan dokumen-dokumen pelaksanaan Penagihan. |
(6) | Penetapan Keputusan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan mempertimbangkan hasil koordinasi dengan aparat pengawas internal Pemerintah Daerah. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. |
(2) | Wali Kota menetapkan keputusan penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD. | ||||||||||
(5) | Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal. | ||||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok pajak/retribusi dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(2) | Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(3) | Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak. |
(4) | Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru hara, dan/atau kerusuhan. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(3) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dapat diberi insentif atas pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi. |
(1) | Dalam rangka optimalisasi pengelolaan Pajak dan Retribusi, Pemerintah Daerah membangun dan mengembangkan sinergitas pengelolaan Pajak dan Retribusi. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama Daerah antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah, Pemerintah Provinsi, masyarakat, dunia usaha, dunia pendidikan dan pihak lainnya | ||||||||||||||||||||||
(3) | Sinergitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diarahkan untuk:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Pelaksanaan sinergitas koordinasi, jejaring kerja, kemitraan dan kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan |
(1) | Pemerintah Daerah dan Pemerintah Provinsi melaksanakan sinergi dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak dan Opsen Pajak atas:
|
||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Penganggaran Pajak dan Retribusi dalam APBD mempertimbangkan paling sedikit:
|
||||
(2) | Kebijakan makro ekonomi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi struktur ekonomi Daerah, proyeksi pertumbuhan ekonomi Daerah, ketimpangan pendapatan, indeks pembangunan manusia, kemandirian fiskal, tingkat pengangguran, tingkat kemiskinan, dan daya saing Daerah. | ||||
(3) | Potensi Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan data awal objek pajak dan retribusi yang diperoleh melalui proses pendataan dan penilaian. |
(1) | Potensi Pajak dan Retribusi hasil pendataan dan penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) menjadi basis data Pajak dan Retribusi. |
(2) | Basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai data utama yang dipergunakan untuk menentukan target penerimaan Pajak dan Retribusi dalam APBD dan kebijakan dibidang keuangan Daerah lainnya. |
(3) | Pengelolaan basis data Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Sistem Informasi Pajak dan Retribusi Terintegrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi. | ||||||
(2) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota. | ||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Pembinaan dan Pengawasan terhadap pengelolaan Pajak dan Retribusi dilakukan oleh Wali Kota. | ||||||
(2) | Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Perangkat Daerah meliputi:
|
||||||
(3) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Aparat Pengawasan Internal Pemerintah dan Perangkat Daerah yang membidangi urusan pendapatan daerah. | ||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang Perpajakan Daerah dan Retribusi Daerah dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. | ||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) untuk setiap SPTPD. | ||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan jika wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure). | ||||||||||
(4) | Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), meliputi:
|
||||||||||
(5) | Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian. |
(2) | Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini. |
(3) | Khusus ketentuan mengenai Pajak MBLB, bagi hasil PKB, dan bagi hasil BBNKB dalam peraturan Daerah yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku sampai dengan 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Peraturan Daerah ini. |
1. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 2), sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Air Tanah (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2021 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 6); |
2. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2011 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 5), sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2019 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 1); |
3. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2011 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 6), sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Umum (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 1); |
4. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2011 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 7), sebagaimana diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2019 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 2); |
5. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2011 Nomor 14, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 8), sebagaimana diubah, terakhir dengan Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2021 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 12); |
6. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2013 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 2); |
7. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2021 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 4); dan |
8. | Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 7 Tahun 2021 tentang Retribusi Pelayanan Tera (Lembaran Daerah Kota Salatiga Tahun 2021 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Salatiga Nomor 7), |
I. | UMUM Pembangunan Daerah, baik kabupaten atau kota maupun propinsi merupakan sub sistem dari pembangunan nasional, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan publik, dan pembinaan kemasyarakatan di daerah, dibutuhkan ketersediaan beberapa sumber daya, salah satunya sumber daya keuangan. Sumber daya keuangan yang cukup vital bagi daerah yaitu dengan melakukan pungutan kepada orang atau badan hukum, baik berupa pajak daerah atau retribusi daerah.
Dalam Pasal 286 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang, ditegaskan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dengan undang-undang, yang dalam pelaksanaannya di daerah diatur dengan peraturan daerah.
Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, diatur bahwa pengaturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam satu peraturan daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Bahkan ditegaskan pula bahwa materi muatan tentang pajak daerah dan retribusi daerah berupa: jenis pajak dan retribusi, subjek pajak dan wajib pajak, subjek retribusi dan wajib retribusi, objek pajak dan retribusi, dasar pengenaan pajak, tingkat penggunaan jasa retribusi, saat terutang pajak, wilayah pemungutan pajak, serta tarif pajak dan retribusi, untuk seluruh jenis pajak dan retribusi ditetapkan dalam 1 (satu) perda dan menjadi dasar pemungutan pajak dan retribusi di daerah.
Berdasarkan latar belakang pemikiran di atas, Pemerintah Kota Salatiga membentuk Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai dasar dalam melakukan tindakan pemungutan pajak dan retribusi, sekaligus untuk menggantikan beberapa Peraturan Daerah yang selama ini mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
|
||||||||||||||||||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Contoh pertimbangan berdasarkan kenaikan NJOP hasil penilaian misal, dalam hal pemerintah daerah melakukan pemuktahiran NJOP dan menyebabkan kenaikan NJOP yang sangat signifikan, maka dapat diberikan persentase dasar pengenaan PBB-P2 yang dapat disesuaikan secara bertahap.
Huruf b
Contoh pertimbangan berdasarkan bentuk pemanfaatan objek pajak misal, objek pajak yang digunakan semata-mata untuk tempat tinggal, persentase dasar pengenaan PBB-P2-nya akan lebih rendah dibandingkan dengan objek pajak yang digunakan untuk keperluan komersial.
Huruf c
Contoh pertimbangan berdasarkan klasterisasi NJOP dalam satu daerah, Kota A menyusun klasterisasi sebagai berikut:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu antara lain waris atau hibah wasiat yang berlaku pada kebudayaan dan adat istiadat, di mana tanah/bangunan yang diperoleh tidak dapat dijual atau harus diwariskan kembali.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi atau bangunan khusus yang difungsikan sebagai penginapan/hunian" adalah rumah/rumah pribadi/kos, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel kelas terendah atau dengan fasilitas sarana prasarana standart tempat untuk menginap, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka Panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun diluar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran fitness center, lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, bowling, biliar dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan bentuk lain dari voucer antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 30 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “sumber lain” adalah listrik yang dihasilkan bukan dari PT. PLN (Persero) (genset atau generator, diesel, mikrohidro, batubara dan lain-lain).
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud “Peternakan Rakyat” adalah usaha peternakan yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang jumlah maksimum kegiatannya untuk tiap jenis ternak ditetapkan oleh Menteri.
Huruf e
Yang dimaksud “keperluan keagamaan” adalah Tempat ibadah.
Huruf f
Yang dimaksud dengan untuk “keperluan sosial tertentu” adalah untuk keperluan panti asuhan, untuk keperluan panti werdha dan lembaga pendidikan.
Huruf g
Yang dimaksud “kantor Pemerintah dan kantor Pemerintah Daerah” tidak termasuk kantor pemerintah yang memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan memungut biaya.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Nilai Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur berpedoman pada ketentuan yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58 Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62 Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas.
Pasal 67 Contoh Penghitungan:
Cukup jelas.
Pasal 69 Cukup jelas.
Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Cukup jelas.
Pasal 75 Cukup jelas.
Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77 Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79 Cukup jelas.
Pasal 80 Cukup jelas.
Pasal 81 Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86 Cukup jelas.
Pasal 87 Cukup jelas.
Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90 Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92 Yang dimaksud dengan “Tempat Khusus Parkir di luar badan Jalan” adalah Tempat Khusus Parkir di luar ruang milik Jalan.
Contoh Tempat Khusus Parkir di luar badan Jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat Parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah. Pasal 93 Cukup jelas.
Pasal 94 Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan aset daerah” adalah pendayagunaan barang milik daerah yang tidak digunakan untuk penyelenggaraan tugas dan fungsi Perangkat Daerah dan/atau optimalisasi barang milik daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99 Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101 Cukup jelas.
Pasal 102 Cukup jelas.
Pasal 103 Cukup jelas.
Pasal 104 Cukup jelas.
Pasal 105 Cukup jelas.
Pasal 106 Cukup jelas.
Pasal 107 Cukup jelas.
Pasal 108 Cukup jelas.
Pasal 109 Cukup jelas.
Pasal 110 Cukup jelas.
Pasal 111 Cukup jelas.
Pasal 112 Cukup jelas.
Pasal 113 Cukup jelas.
Pasal 114 Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas.
Pasal 116 Cukup jelas.
Pasal 117 Cukup jelas.
Pasal 118 Cukup jelas.
Pasal 119 Cukup jelas.
Pasal 120 Cukup jelas.
Pasal 121 Cukup jelas.
Pasal 122 Cukup jelas.
Pasal 123 Cukup jelas.
Pasal 124 Cukup jelas.
Pasal 125 Cukup jelas.
Pasal 126 Cukup jelas.
Pasal 127 Cukup jelas.
Pasal 128 Cukup jelas.
Pasal 129 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “imbauan” adalah pemberian informasi kepada penanggung Pajak sebagai pengingat agar penanggung Pajak dapat melunasi utang Pajaknya sebelum diterbitkannya surat teguran. Imbauan dapat diberikan melalui surat imbauan atau melalui media lainnya.
Pasal 130 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
angka 1
Yang dimaksud dengan “Surat Teguran” adalah surat peringatan atau bentuk lain yang fungsinya untuk menegur dan mengingatkan Penanggung Pajak untuk melunasi Utang Pajaknya dalam upaya Penagihan Pajak sebelum Surat Paksa diterbitkan.
angka 2
Cukup jelas.
angka 3
Cukup jelas.
angka 4
Yang dimaksud dengan “surat perintah melaksanakan penyitaan” merupakan surat perintah yang diterbitkan untuk melaksanakan penyitaan.
angka 5
Cukup jelas.
angka 6
Cukup jelas.
angka 7
Cukup jelas.
angka 8
Cukup jelas.
angka 9
Cukup jelas.
angka 10
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 131 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Yang dimaksud dengan “biaya Penagihan Pajak” merupakan biaya pelaksanaan Surat Paksa, surat perintah melaksanakan penyitaan, pengumuman lelang, pembatalan lelang, dan biaya lainnya sehubungan dengan Penagihan Pajak.
Pasal 132 Cukup jelas.
Pasal 133 Cukup jelas.
Pasal 134 Cukup jelas.
Pasal 135 Cukup jelas.
Pasal 136 Cukup jelas.
Pasal 137 Cukup jelas.
Pasal 138 Cukup jelas.
Pasal 139 Cukup jelas.
Pasal 140 Cukup jelas.
Pasal 141 Cukup jelas.
Pasal 142 Cukup jelas.
Pasal 143 Cukup jelas.
Pasal 144 Cukup jelas.
Pasal 145 Cukup jelas.
Pasal 146 Cukup jelas.
Pasal 147 Cukup jelas.
Pasal 148 Cukup jelas.
Pasal 149 Cukup jelas.
Pasal 150 Cukup jelas.
Pasal 151 Cukup jelas.
Pasal 152 Cukup jelas.
Pasal 153 Cukup jelas.
Pasal 154 Cukup jelas.
Pasal 155 Cukup jelas.
Pasal 156 Cukup jelas.
Pasal 157 Cukup jelas.
Pasal 158 Cukup jelas.
Pasal 159 Cukup jelas.
Pasal 160 Cukup jelas.
Pasal 161 Cukup jelas.
Pasal 162 Cukup jelas.
Pasal 163 Cukup jelas.
Pasal 164 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.