Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
01 Tahun 2024
QANUN KABUPATEN BENER MERIAH
NOMOR 01 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK KABUPATEN DAN RETRIBUSI KABUPATEN

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

BUPATI BENER MERIAH,

Menimbang :
  1. 8 sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah;
  2. bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, seluruh ketentuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dalam satu Peraturan Daerah yang menjadi dasar pemungutan Pajak dan Retribusi di Daerah;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, perlu membentuk Qanun Kabupaten Bener Meriah tentang Pajak Kabupaten dan Retribusi Kabupaten.
Mengingat :
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4351);
  3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4633);
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4843);
  5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
  6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 117 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT KABUPATEN BENER MERIAH
dan
BUPATI BENER MERIAH MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
QANUN KABUPATEN BENER MERIAH TENTANG PAJAK KABUPATEN DAN RETRIBUSI KABUPATEN.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:
  1. Pajak Kabupaten yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Kabupaten yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Kabupaten bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
  2. Retribusi Kabupaten yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Kabupaten sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
  3. Kabupaten adalah Kabupaten Bener Meriah yang merupakan Kesatuan Masyarakat Hukum Yang Bersifat Istimewa dan diberi Kewenangan Khusus untuk Mengatur dan Mengurus sendiri Urusan Pemerintahan dan Kepentingan Masyarakat Setempat dengan Peraturan Perundang-undangan dalam sistem dan Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati.
  4. Pemerintahan Kabupaten adalah pemerintahan Kabupaten dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bener Meriah dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bener Meriah sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
  5. Pemerintah Kabupaten adalah Bupati beserta perangkat Kabupaten sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Kabupaten.
  6. Bupati adalah Bupati Bener Meriah.
  7. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bener Meriah disingkat DPRK adalah unsur penyelenggara Pemerintahan Kabupaten Bener Meriah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
  8. Satuan Kerja Perangkat Kabupaten pemungut pajak Kabupaten dan/atau retribusi Kabupaten adalah perangkat Pemerintah Kabupaten pemungut pajak Kabupaten dan/atau retribusi Kabupaten.
  9. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan Kabupaten dan/atau retribusi Kabupaten sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  10. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disingkat PAD adalah pendapatan daerah yang diperoleh dari pajak Kabupaten, retribusi Kabupaten, hasil pengelolaan kekayaan Kabupaten yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
  11. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak atau retribusi, penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atau retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
  12. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.
  13. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayaran pajak, pemotongan pajak, dan pemungutan pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  14. Penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termaksud wakil yang menjalankan hak dan memenuhi kewajiban wajib pajak menurut ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
  15. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan /menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
  16. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungutan retribusi tertentu.
  17. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, BUMD, dan badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, pesekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  18. Badan Usaha Milik Daerah yang selanjutnya disingkat BUMD adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh Kabupaten.
  19. Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan.
  20. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman.
  21. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Bumi dan di bawah permukaan Bumi.
  22. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan.
  23. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah Pajak yang dibayar oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu.
  24. Makanan dan/atau minuman adalah makanan dan/atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui pesanan oleh restoran.
  25. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik.
  26. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makanan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya.
  27. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor.
  28. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati.
  29. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaran reklame.
  30. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial, memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu.
  31. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah Pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah.
  32. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan dibawah permukaan tanah.
  33. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan dari sumber alam di dalam dan/atau di permukaan bumi untuk dimanfaatkan.
  34. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang- undangan di bidang mineral dan batu bara.
  35. Pajak Sarang Burung Walet adalah pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
  36. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalia, yaitu collocalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi.
  37. Opsen adalah pungutan tambahan Pajak menurut persentase tertentu.
  38. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  39. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok BBNKB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  40. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  41. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan.
  42. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten dengan menganut prinsip-prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
  43. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Kabupaten dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaansumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
  44. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang dikeluarkan dari pemerintah kepada pemilik sebuah bangunan gedung atau perwakilannya untuk membangun baru, mengubah, memperluas, dan/atau mengurangi bangunan gedung sesuai dengan standar teknis bangunan gedung.
  45. Sertifikat Laik Fungsi yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk menyatakan kelaikan fungsi bangunan gedung sebelum dapat dimanfaatkan.
  46. Surat Teguran adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak atau Wajib Retribusi untuk melunasi Utang Pajak atau utang Retribusi.
  47. Surat Paksa adalah surat perintah membayar Utang Pajak dan biaya Penagihan Pajak.
  48. Juru sita Pajak adalah pelaksana tindakan Penagihan Pajak yang meliputi Penagihan Seketika dan Sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan dan penyanderaan.
  49. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek Pajak atau Retribusi, penentuan besarnya Pajak atau Retribusi yang terutang sampai kegiatan Penagihan Pajak atau Retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
  50. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan retribusi Kabupaten.
  51. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali apabila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
  52. Nomor Pokok Wajib Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NPWPD adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan Daerah yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan Daerahnya.
  53. Nomor Objek Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat NOPD adalah nomor identitas objek Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan dengan ketentuan tertentu.
  54. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti.
  55. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SPTPD adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran Pajak, objek Pajak dan/atau bukan objek Pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  56. Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang selanjutnya disingkat SPOP adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah.
  57. Surat Ketetapan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SKPD adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak yang terutang.
  58. Surat Setoran Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat SSPD adalah bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Kabupaten melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati.
  59. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang yang selanjutnya disingkat SPPT adalah surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada Wajib Pajak.
  60. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDKB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok Pajak, jumlah kredit Pajak jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
  61. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang selanjutnya disingkat SKPDKBT adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah Pajak yang telah ditetapkan.
  62. Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil yang selanjutnya disingkat SKPD N adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok Pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
  63. Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKPDLB adalah surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  64. Surat Tagihan Pajak Daerah yang selanjutnya disingkat STPD adalah surat untuk melakukan tagihan Pajak dam/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
  65. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam SPPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan.
  66. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap SPPD, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, SKPDLB, atau terhadap pemotongan atau Pemungutan pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  67. Surat Ketetapan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat SKRD adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan besarnya jumlah pokok Retribusi yang terutang.
  68. Surat Ketetapan Retribusi Daerah Lebih Bayar yang selanjutnya disingkat SKRDLB adalah surat ketetapan Retribusi yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Retribusi karena jumlah kredit Retribusi lebih besar daripada Retribusi yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
  69. Surat Tagihan Retribusi Daerah yang selanjutnya disingkat STRD adalah surat untuk melakukan tagihan Retribusi dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/ atau denda.
  70. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh satuan kerja perangkat Kabupaten atau unit satuan kerja perangkat Kabupaten pada satuan kerja perangkat Kabupaten dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan Kabupaten pada umumnya.
  71. Kemiskinan ekstrem adalah kondisi ketidakmampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar, yaitu makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi terhadap pendapatan dan layanan sosial.

BAB II
PAJAK KABUPATEN

Bagian Kesatu
Jenis Pajak Kabupaten

Pasal 2

Jenis Pajak Kabupaten yang diatur dalam Qanun ini meliputi:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT atas:
1. makanan dan / atau minuman
2. tenaga listrik;
3. jasa perhotelan;
4. jasa parkir; dan
5. jasa kesenian dan hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.


Pasal 3

(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak daerah dan dituangkan kedalam surat ketetapan pajak daerah.
(5) Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Kabupaten Bener Meriah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Masa Pajak dan Tahun Pajak

Pasal 4

(1) Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai perpajakan daerah.
(2) Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Bupati untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
(3) Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender.
(4) Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai Masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.


Bagian Ketiga
PBB-P2

Pasal 5

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
  
  
Pasal 6

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan.
(3) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Kabupaten, dan kantor penyelenggaraan negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Kabupaten;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau sejenisnya;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh Badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), atau yang sejenisnya;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati; dan
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh Pemerintah.


Pasal 7

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP.
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di satu wilayah Kabupaten Bener Meriah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Kabupaten Bener Meriah.
(7) Besaran NJOP ditetapkan dengan Peraturan Bupati
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 8

(1) Tarif Pajak PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP di bawah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),
(2) Tarif Pajak PBB-P2 ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk NJOP di atas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah),
(3) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebesar 08% ( nol koma nol delapan persen).


Pasal 9

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (7) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1).


Pasal 10

(1) Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kelender.
(2) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.
(3) Tempat PBB-P2 yang terutang adalah wilayah Kabupaten Bener Meriah yang meliputi letak objek PBB-P2.
(4) Termasuk dalam wilayah Pemungutan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan wilayah Kabupaten tempat Bumi dan/atau Bangunan berikut berada: 
a. Laut pedalaman dan perairan darat serta Bangunan diatasnya; dan
b. Bangunan yang berada di luar pedalaman dan perairan darat yang kontruksi tekniknya terhubung dengan Bangunan yang berada di darat, kecuali pipa dan kabel bawah laut.
Bagian Keempat Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan
(BPHTB)

 
Pasal 11

(1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Pasal 12

(1) Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pemindahan hak karena :
1. jual beli;
2. tukar menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah.
b. pemberian hak baru karena:
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor Pemerintah, Pemerintah Kabupaten, penyelenggaraan negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik Kabupaten;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan Peraturan Menteri yang melaksanakan urusan di bidangan keuangan negara;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
(6) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekeijaan umum dan perumahan rakyat.


Pasal 13

(1) Dasar pengenaan BPHTB merupakan nilai perolehan objek pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan yang mengatur mengenai Pajak dan Retribusi.
(2) Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dan pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembelian dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan paling sedikit Rp. 80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama, Wajib Pajak di wilayah Kabupaten Bener Meriah tempat terutangnya BPHTB.
(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4, dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberian hibah wasiat atau waris termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


Pasal 14

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Pasal 15

(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) setelah dikurangi nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan/atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14.
(2) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerimaan waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya kekantor bidang pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat putusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru diluar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang;
(3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
(4) Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah Kabupaten tempat tanah dan/atau Bangunan berada.


Pasal 16

(1) Pembuat Akta Tanah/Notaris wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
b. melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. denda sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau
b. denda sebesar Rp 1.000.000,00(satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
b. melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(4) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.


Pasal 17

(1) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(2) Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Bagian Kelima
PBJT

Pasal 18

(1) Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.


Pasal 19

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/atau minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.


Pasal 20

(1) Jenis penjualan dan /atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
a. Restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian Makanan dan/atau Minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makanan dan minuman;
b. Peyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) perbulan;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual Makanan dan/atau Minuman;
c. dilakukan oleh pabrik Makanan dan/atau Minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.


Pasal 21

(1) Jenis Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. konsumsi Tenaga Listrik oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Kabupaten dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenisnya; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.


Pasal 22

(1) Jenis Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
a. hotel;
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma wisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping (kemah mewah).
(2) Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Kabupaten;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 23

(1) Jenis Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet).
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Kabupaten;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri; dan
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik.


Pasal 24

(1) Jenis Jasa Keseniaan dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran;
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. karoke dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran; dan
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.


Pasal 25

(1) Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.


Pasal 26

(1) Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
b. nilai jual tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
c. jumlah pembayaran kepada penyedia jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
d. jumlah pembayaran kepada penyelenggara tempat parkir untuk PBJT atas jasa parkir; dan
e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
(2) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Kabupaten Bener Meriah.


Pasal 27

(1) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
a. tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
b. tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
(2) Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
a. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pascabayar; dan
b. jumlah pembelian tenaga listrik untuk prabayar.


Pasal 28

(1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan karaoke dan mandi uap/spa ditetapkan 50% (lima puluh persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. Tarif PBJT Atas Tenaga Listrik, ditetapkan 9% (Sembilan persen);
b. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertarnbangan, minyak bumi dan gas alam, ditetapkan 3% (tiga persen); dan
c. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan 1,5% (satu koma lima persen).


Pasal 29

(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28.
(2) PBJT yang terutang dipungut di wilayah Kabupaten Bener Meriah pada tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.
(3) Saat terutangnya PBJT dihitung sejak saat pembayaran/penyerahan/konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.


Bagian Keenam
PAJAK REKLAME

Pasal 30

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Pasal 31

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Reklame papan /billboard/videotron/megatron;
b. Reklame kain;
c. Reklame melekat/striker;
d. Reklame selebaran;
e. Reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. Reklame udara;
g. Reklame apung;
h. Reklame film/slide; dan
i. Reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label /merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenisnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau didalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Kabupaten; dan
e. reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial.


Pasal 32

(1) Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah Nilai Sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Pasal 33

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).


Pasal 34

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33.
(2) Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Kabupaten Bener Meriah tempat Reklame tersebut diselenggarakan.
(3) Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Kabupaten Bener Meriah tempat usaha penyelenggaraan Reklame terdaftar.


Bagian Ketujuh
PAJAK PAT

Pasal 35

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Pasal 36

(1) Objek PAT adalah semua pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengembalian untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat;
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. kegiatan pemerintah dan pemerintah Kabupaten.


Pasal 37

(1) Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koofisien yang didasarkan atas faktor- faktor:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan;
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan.
(5) Besarnya nilai perolehan air tanah sebagaimana dimaksud Pada ayat (1) berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur.


Pasal 38

Tarif PAT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).


Pasal 39

(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38.
(2) PAT yang terutang dipungut di wilayah Kabupaten Bener Meriah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Saat terutangnya PAT dihitung sejak pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
 
  
Pasal 40

(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.


Bagian Kedelapan
PAJAK MBLB

Pasal 41

(1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis;
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;
g. bentonit
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. opsidien;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjual belikan/dipindah tangankan ;
b. untuk keperluan pemancangan tiang listrik/telpon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah; dan
c. keperluan pembangunan rumah ibadah yang dibiayai oleh masyarakat.


Pasal 42

(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/meter kubik pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap-tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Kabupaten Bener Meriah.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang pertambangan mineral dan batu bara.
(5) Saat terutang Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.


Pasal 43

Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).


Pasal 44

(1) Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
(2) Pajak MBLB yang terutang dipungut di wilayah Kabupaten Bener Meriah tempat pengambilan MBLB.


Bagian Kesembilan
PAJAK SARANG BURUNG WALET

Pasal 45

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.


Pasal 46

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. pengambilan sarang Burung Walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak; dan
b. kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang Burung Walet untuk kepentingan sosial.


Pasal 47

(1) Dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual sarang Burung Walet.
(2) Nilai jual sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum sarang Burung Walet yang berlaku di Kabupaten Bener Meriah dengan volume sarang Burung Walet.


Pasal 48

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).


Pasal 49

(1) Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
(2) Saat terutang Pajak Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.
(3) Wilayah pemungut Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Kabupaten tempat pengambillan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet.


Bagian Kesepuluh
Opsen PKB

Pasal 50

(1) Subjek Pajak Opsen PKB merupakan Subjek PKB.
(2) Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
(3) Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.


Pasal 51

Objek Opsen PKB adalah PKB terutang.


Pasal 52

Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.


Pasal 53

Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen), dihitung dari besaran pajak terutang.


Pasal 54

(1) Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53.
(2) Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB.


Bagian Kesebelas
Opsen BBNKB

Pasal 55

(1) Subjek Pajak Opsen BBNKB merupakan Subjek Pajak BBNKB.
(2) Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
(3) Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.


Pasal 56

Objek Opsen BBNKB adalah BBNKB terutang.


Pasal 57

Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.


Pasal 58

Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen), dihitung dari besaran pajak terutang


Pasal 59

(1) Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud pada Pasal 57 dengan tarif sebagaimana dimaksud pada Pasal 58.
(2) Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
(3) Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Kabupaten tempat kendaraan bermotor terdaftar.


Bagian Keduabelas
Penggunaan Hasil Penerimaan Pajak untuk Kegiatan yang Telah Ditentukan

Pasal 60

(1) Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf h dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
(2) Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum.
(3) Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum.
(4) Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf e, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Kabupaten yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi namun tidak terbatas pada:
a. penanaman pohon;
b. pembuatan lubang atau sumur resapan;
c. pelestarian hutan atau pepohonan; dan
d. pengelolaan limbah.


BAB III
RETRIBUSI KABUPATEN

Bagian Kesatu
JENIS RETRIBUSI KABUPATEN

Pasal 61

(1) Jenis Retribusi Kabupaten yang diatur dalam Qanun ini meliputi:
a. Retribusi jasa umum;
b. Retribusi jasa usaha; dan
c. Retribusi perizinan tertentu.
(2) Objek Retribusi adalah penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Kabupaten.
(3) Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan.
(4) Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati.
(5) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Aceh, Badan Usaha Milik Daerah, dan pihak swasta.


Bagian Kedua
RETRIBUSI JASA UMUM

Pasal 62

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum; dan
d. pelayanan pasar.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kabupaten berdasarkan kewenangan Kabupaten sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Kabupaten; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.
 

Pasal 63

Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten, kecuali pelayanan administrasi.


Pasal 64

(1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten, meliputi:
a. pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
d. penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
e. pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
(2) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial, dan tempat umum lainnya.


Pasal 65

Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Kabupaten sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Pasal 66

Pelayanan pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan fasilitas pasar tradisional/sederhana berupa pelataran, los, dan kios yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 67

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kabupaten untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
a. pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu layanan;
b. pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair;
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian tempat parkir; dan
d. pelayanan pasar diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas pasar dan/atau jenis pemakaian fasilitas pasar.


Pasal 68

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
(3) Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 69

(1) Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dengan tarif Retribusi.
(2) Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
(3) Tarif Retribusi dapat ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(4) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum.
(5) Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


Bagian Ketiga
RETRIBUSI JASA USAHA

Pasal 70

(1) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
(2) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.


Pasal 71

(1) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
h. pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Kabupaten; dan
j. pemanfaatan aset Kabupaten yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Kabupaten dan/atau optimalisasi asset Kabupaten dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kabupaten berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Kabupaten sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Detail rincian objek Retribusi yang diatur dengan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Kabupaten; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan Pemerintahan di bidang Keuangan Negara, Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRK paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak diundangkan.


Pasal 72

Penyediaan tempat kegiatan usaha berupa pasar grosir, pertokoan, dan tempat kegiatan usaha lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat kegiatan usaha berupa fasilitas pasar grosir, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, serta tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan/diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 73

(1) Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Kabupaten untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan.
(2) Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Kabupaten dari pihak lain untuk dijadikan sebagai pemungutan retribusi tempat pelelangan.


Pasal 74

(1) Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.
(2) Pemungutan retribusi tempat khusus parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipungut selama 1 (satu) Tahun atau sama dengan masa berlaku pajak kendaraan bermotor.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
  

Pasal 75

Penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf d merupakan penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/ villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 76

Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 77

Pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf f merupakan pelayanan kepelabuhanan pada pelabuhan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 78

Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf g merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 79

Pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf h merupakan pelayanan penyeberangan orang atau barang dengan menggunakan kendaraan di air yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 80

Penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf i merupakan penjualan hasil produksi usaha Kabupaten oleh Pemerintah Kabupaten.


Pasal 81

Pemanfaatan aset Kabupaten yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi Satuan Kerja Perangkat Kabupaten dan/atau optimalisasi aset Kabupaten dengan tidak mengubah status kepemilikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) huruf j termasuk pemanfaatan barang milik Kabupaten sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan barang milik Kabupaten.


Pasal 82

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kabupaten untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
a. penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan luas tempat usaha, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Pasar Grosir, Pertokoan, dan/atau tempat usaha lainnya;
b. penyediaan tempat pelelangan diukur berdasarkan luas tempat pelelangan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat pelelangan;
c. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat khusus parkir di luar badan jalan;
d. penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/villa diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/villa;
e. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak, jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas Rumah Potong Hewan;
f. pelayanan jasa kepelabuhanan diukur berdasarkan frekuensi layanan, jangka waktu pemakaian fasilitas kepelabuhan, jenis layanan, dan/atau volume penggunaan layanan;
g. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata, dan olah raga;
h. pelayanan penyeberangan di air diukur berdasarkan frekuensi layanan dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas penyeberangan di air;
i. penjualan hasil produksi usaha Kabupaten diukur berdasarkan jenis dan/atau volume hasil produksi usaha Kabupaten; dan
j. pemanfaatan aset Kabupaten diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Kabupaten.


Pasal 83

(1) Bentuk pemanfaatan barang milik Kabupaten dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Bupati untuk pemanfaatan barang milik Kabupaten berupa:
a. sewa yang masa sewanya lebih dari 1 (satu) tahun;
b. kerja sama pemanfaatan;
c. bangun guna serah atau bangun serah guna; atau
d. kerja sama penyediaan infrastruktur.
(2) Penetapan Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik Kabupaten.
(3) Bentuk pemanfaatan barang milik Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Kabupaten; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi
(4) Pelaksanaan pemanfaatan barang milik Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik Kabupaten.


Pasal 84

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
(3) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD.


Pasal 85

(1) Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tarif Retribusi.
(2) Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
(3) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(4) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha.
(5) Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Peraturan Bupati.


Bagian Keempat
RETRIBUSI PERIZINAN TERTENTU

Pasal 86

(1) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
(2) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.


Pasal 87

(1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c adalah:
a. Persetujuan bangunan gedung (PBG); dan
b. Penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 huruf c yang tidak dipungut adalah Pengelolaan Pertambangan Rakyat.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Kabupaten berdasarkan kewenangan Kabupaten sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 88

(1) Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Kabupaten sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG serta pencetakan plakat SLF.
(3) Penerbitan PBG dan SLF tersebut diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. pembangunan baru;
b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF;
c. PBG perubahan untuk:
1) perubahan fungsi Bangunan Gedung;
2) perubahan lapis Bangunan Gedung;
3) perubahan luas Bangunan Gedung;
4) perubahan tampak Bangunan Gedung;
5) perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6) perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
7) perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
8) perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
d. PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
(4) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Aceh, Pemerintah Kabupaten, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan/peribadatan.


Pasal 89

(1) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Kabupaten untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
a. pelayanan PBG diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan; dan
b. pelayanan pengelolaan pertambangan rakyat diukur berdasarkan frekuensi pelayanan pembinaan dan pengawasan.
(3) Besarnya retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan harga satuan retribusi PBG.
(4) Harga satuan retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a.  Indeks lokalitas dan standar harga satuan tertinggi untuk bangunan gedung; dan/atau
b.  Harga satuan retribusi prasarana bangunan gedung untuk prasarana bangunan gedung.
(5) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
a. formula untuk Bangunan Gedung, meliputi:
1) Luas Total Lantai;
2) Indeks Terintegrasi; dan
3) Indeks Bangunan Gedung Terbangun.
b. formula untuk Prasarana Bangunan Gedung, meliputi:
1) Volume;
2) Indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
3) Indeks Bangunan Gedung Terbangun.


Pasal 90

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
(2) Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut.
(3) Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1) , biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung.


Pasal 91

(1) Besaran Retribusi PBG yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dengan tarif Retribusi.
(2) Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang.
(3) Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan.
(4) Struktur dan besaran tarif Retribusi PBG tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
(5) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(6) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu.
(7) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel HSBGN/SHST dan Indeks Lokalitas.
(8) Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
    

Pasal 92

(1) Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Dikecualikan dari Retribusi atas pelayanan sebagai mana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi Pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.


BAB IV
TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 93

(1) Wajib pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh wajib pajak wajib mengisi SPTPD.
(2) Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak.
(3) Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda.
(4) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah setiap STPD.
(5) Besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan sebesar Rp. 100.000,- (seratus ribu rupiah).
(6) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
(7) Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi :
a. bencana alam;
b. Kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/ atau
e. dihapus.


Pasal 94

(1) Ketentuan mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Bupati.
(2) Tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang pajak dan retribusi oleh Bupati; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan pajak dan retribusi.
(3) Pembayaran dan penyetoran pajak Kabupaten dan retribusi Kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.


BAB V
PENGURANGAN, KERINGANAN, PEMBEBASAN,
PENGHAPUSAN ATAU PENUNDAAN ATAS POKOK PAJAK/RETRIBUSI

Pasal 95

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Kabupaten.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Kabupaten dalam mencapai program prioritas Kabupaten;
e. untuk mendukung kebijakan Pemerintah Aceh dalam mencapai program prioritas Provinsi;dan/atau
f. untuk mendukung kebijakan Pemerintah dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRK.
(5) Pemberitahuan kepada DPRK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 96

(1) Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(2) Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(3) Kondisi Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kemampuan membayar Wajib Pajak atau tingkat likuiditas Wajib Pajak.
(4) Kondisi objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan.


BAB VI
KEMUDAHAN PERPAJAKAN KABUPATEN

Pasal 97

(1) Bupati dapat memberikan kemudahan perpajakan Kabupaten kepada Wajib Pajak, berupa:
a. Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak; dan/atau
b. Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak.
(2) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya.
(3) Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Bupati secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
(4) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya.
(5) Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Bupati berdasarkan permohonan Wajib pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Bupati.
(6) Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bupati memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir.
(7) Keputusan Bupati atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
a. menyetujui jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak.
b. menyetujui sebagian jumlah angsuran Pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
c. menolak permohonan Wajib Pajak.
(8) Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan.
(9) Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(10) Kedadaan kahar sebagaimana pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
a. Bencana alam
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara;
d. wabah penyakit; dan/ atau
e. keadaan lain berdasarkan pertimbangan Bupati.
(11) Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Kabupaten diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

Pasal 98

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang perpajakan Kabupaten.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Kabupaten.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan Kabupaten.
(4) Untuk kepentingan Kabupaten, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.


BAB VIII
SANKSI

Bagian Kesatu
Sanksi Pidana

Pasal 99

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan dan pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 93 ayat (1), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan dan pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.


Pasal 100

Tindak pidana di bidang perpajakan Kabupaten tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 101

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 61 ayat (4), Pasal 70 ayat (2), dan Pasal 86 ayat (2) diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 183 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.


Pasal 102

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 103

Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99, Pasal 101, dan Pasal 102, merupakan pendapatan negara.


Bagian Kedua
Sanksi Administratif

Pasal 104

(1) Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
(2) Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(3) Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga per bulan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB IX
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 105

(1) Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBK.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bupati sesuai ketentuan perundang- undangan.


BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 106

Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 105, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.


Pasal 107

ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Kabupaten yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.


Pasal 108

(1) terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Qanun ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Qanun ini;
(2) Peraturan pelaksanaan mengenai Qanun Pajak dan Retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Kabupaten dan Retribusi Kabupaten masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkannya Qanun ini;
(3) Ketentuan peraturan pelaksana Qanun ini wajib ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Qanun ini; dan
(4) Ketentuan mengenai Pajak Opsen PKB, dan Opsen BBNKB, berlaku pada 5 Januari 2025.


Pasal 109

ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik Kabupaten yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.


BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 110

Pada saat Qanun ini mulai berlaku:
1. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembar Daerah Bener Meriah Tahun 2011 Nomor 73);
2. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotan (Lembar Daerah Bener Meriah Tahun 2011 Nomor 90); dan
3. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 8 Tahun 2018 Tentang Penyelenggaraan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta (Lembaran Daerah Bener Meriah Tahun 2018 Nomor 138).
4. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 04 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Bener Meriah Tahun 2021 Nomor 146).
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 111

Qanun ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bener Meriah.




Ditetapkan di Redelong,
pada tanggal, 07 Februari 2024
Pj. BUPATI BENER MERIAH,

ttd.

HAILI YOGA


Diundangkan di Redelong,
pada tanggal, 07 Februari 2024
Pj. SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN BENER MERIAH

ttd.

KHAIRMANSYAH



LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BENER MERIAH TAHUN 2024 NOMOR .158





PENJELASAN

ATAS

QANUN KABUPATEN BENER MERIAH
NOMOR TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK KABUPATEN DAN RETRIBUSI KABUPATEN

I. UMUM

Penyempurnaan regulasi dan kebijakan dibidang perpajakan Kabupaten dan retribusi Kabupaten yang landasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 menunjukkan adanya kewajiban setiap warga negara untuk berkontribusi dalam pembayaran pajak atau pungutan Kabupaten lainnya yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Salah satu pungutan yang diatur sebagai kewenangan Kabupaten yaitu berupa pajak Kabupaten dan retribusi Kabupaten yang selanjutnya diformulasikan menjadi komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dengan adanya PAD yang kewenangan Kabupaten diharapkan dapat membiayai penyelenggaraan Pemerintah dalam mendukung pembangunan Kabupatennya masing-masing. Dengan demikian urusan Pemerintah Kabupaten berhak mengatur dan mengurus urusan Pemerintahannya menurut asas otonomi dan tugas perbantuan.

Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perubahan ini dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya Pemerintahan Kabupaten yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kewenangan Kepala Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan daerah yang baru, penyederhanaan jenis retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Dalam mewujudkan tujuan tersebut HKPD Nomor 1 Tahun 2022 berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu:
1. Mengembangkan sistem pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien.
2. Mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah.
3. Harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Kabupaten untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal.

Menyikapi amanat Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten Bener Meriah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Bener Meriah secara bersama-sama bersinergi untuk menindaklanjuti pembentukan Qanun mengenai Pajak Kabupaten dan Retribusi Kabupaten sebagai pengganti dari:
1. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembar Daerah Bener Meriah Tahun 2011 Nomor );
2. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotan (Lembar Daerah Bener Meriah Tahun 2011 Nomor 90); dan
3. Qanun Kabupaten Bener Meriah Nomor 4 Tahun 2021 tentang Retribusi Daerah (Lembar Daerah Bener Meriah Tahun 2021 Nomor 146).

Dengan kebijakan yang diatur dalam Undang-Undang ini, diharapkan layanan publik kepada masyarakat Kabupaten Bener Meriah dapat makin merata dan dengan kualitas yang baik, tentunya dibutuhkan pemahaman dan kesungguhan dari semua pihak untuk dapat mengimplementasikan kebijakan yang dituangkan dalam qanun ini.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
  1. Pada prisipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek Pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada;
    1. suatu saat tertentu, misalnya untuk BPHTB;
    2. akhir masa Pajak, misalnya untuk PBJT; atau
    3. suatu Tahun Pajak, misalnya untuk PBB-P2.
  2. Yang dimaksud dengan “syarat subjektif’ adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
  3. Yang dimaksud dengan “syarat objektiF adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parker, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Ayat (7)
Cukup jelas.

Ayat (8)
Cukup jelas.

Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 9
Cukup jelas.

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 13
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Ayat (6)
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Cukup jelas.

Ayat (5)
Cukup jelas.

Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Huruf a
Contoh penjualan dan/atau peyerahan Makanan dan/atau Minuman:
  1. Toko Roti Amir melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti Amir untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti Amir tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti Amir tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai.
  2. Toko Roti denagn merek dagang Budi pada Mal X di kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti Budi untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti Budi menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pertambahan nilai.
  3. Toko Roti dengam merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yamg sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
Huruf b
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

Huruf k
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Yang dimaksud dengan “persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel” adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 24
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Yang dimaksud dengan “permainan ketangkasan” adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, painball, dan sebagainya.

Huruf i
Yang dimaksud denagan “olahraga permainan” adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran [fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaanya.

Huruf j
Cukup jelas

Huruf k
Cukup jelas

Huruf l
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 26
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Perhitungan nilai jual Tenaga Listrik untuk Tenaga listrik yang dihasilkan sendiri adalah berdasarkan realisasi penggunaan Tenaga Listrik Penggunaan variabel kapasitas tersedia dalam perhitungan nilai jual Tenaga Listrik adalah untuk menetapkan golongan tarif satuan listrik.

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalan kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 46
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 50
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 55
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum dalam ayat ini termasuk pembayaran ketersediaan layanan atas penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum yang disediakan melalui skema pembiayaan kerja sama antara pemerintah dan badan usaha.

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas
Pasal 61
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas
  
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 62
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Penyelesaian detail rincian objek dalam Peraturan Bupati dapat dilakukan sepanjang detail objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Qanun.
Contoh:
I.
Objek Retribusi: Retribusi pelayanan kesehatan
1.1 rincian objek Retribusi: pelayanan penyakit mulut
1.2 rincian objek Retribusi: pelayanan konservasi gigi
   
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Pasal 68
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 69
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 70
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 71
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 74
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten: tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimilki atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Kabupaten.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 75
Contoh tempat penginapan/pesanggrahan/villa yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Kabupaten, seperti asrama, hotel, atau aula/ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), yang difungsikan sebagai tempat penginapan/pesanggrahan/villa.

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Cukup jelas

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Cukup jelas

Pasal 83
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 85
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 86
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 87
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 88
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 89
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 92
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “jabatan tertentu” adalah jabatan tertentu di lembaga pendidikan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintah di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 93
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Pasal 94
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Huruf g
Cukup jelas

Huruf h
Cukup jelas

Huruf i
Cukup jelas

Huruf j
Cukup jelas

Huruf k
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 95
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Huruf f
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 96
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 97
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Ayat (8)
Cukup jelas

Ayat (9)
Cukup jelas

Ayat (10)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Huruf c
Cukup jelas

Huruf d
Cukup jelas

Huruf e
Cukup jelas

Ayat (11)
Cukup jelas

Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas

Huruf b
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Ayat (5)
Cukup jelas

Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 99
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 100
Cukup jelas

Pasal 101
Cukup jelas

Pasal 102
Cukup jelas

Pasal 103
Cukup jelas

Pasal 104
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 105
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 106
Cukup jelas

Pasal 107
Cukup jelas

Pasal 108
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Cukup jelas

Ayat (3)
Cukup jelas

Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 109
Cukup jelas

Pasal 110
Cukup jelas

 

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BENER MERIAH TAHUN 2024

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA