Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 154/PMK.011/2012
TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.011/2008 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG MODAL DALAM RANGKA PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
- bahwa ketentuan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum telah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan Dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2009;
- bahwa dalam rangka meningkatkan penyediaan tenaga listrik dan mendukung usaha industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum di daerah, perlu dilakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana tersebut dalam huruf a di atas, khususnya mengenai persyaratan permohonan pembebasan bea masuk bagi badan usaha yang memiliki Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum (IUKU);
- bahwa untuk meningkatkan pengawasan terhadap barang modal yang telah mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum, dan guna menghindari penyalahgunaan terhadap pemberian fasilitas tersebut, perlu diatur ketentuan mengenai pemindahtanganan atas barang modal pada ketentuan sebagaimana tersebut dalam huruf a di atas;
- bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan Dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum;
Mengingat :
- Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052);
- Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2012 tentang Kegiatan Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5281);
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan Dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2009;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
154/PMK.011/2008 TENTANG PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG MODAL DALAM RANGKA PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN INDUSTRI PEMBANGKIT TENAGA LISTRIK UNTUK KEPENTINGAN UMUM.
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan Dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
128/PMK.011/2009, diubah sebagai berikut:
1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. |
Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang dapat berbentuk Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi atau swasta, yang didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjalankan jenis usaha bersifat tetap dan terus menerus, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
2. |
Industri pembangkit tenaga listrik adalah kegiatan memproduksi dan menyediakan tenaga listrik untuk kepentingan umum oleh Badan Usaha, tidak termasuk transmisi, distribusi dan usaha penunjang tenaga listrik. |
3. |
Barang Modal adalah mesin, peralatan, dan peralatan pabrik baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang yang dipergunakan untuk pemeliharaan dalam kegiatan usaha penyediaan tenaga listrik oleh Badan Usaha untuk kepentingan umum. |
4. |
Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum yang selanjutnya disingkat IUKU adalah surat izin ketenagalistrikan yang diberikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan. |
5. |
Pemindahtanganan adalah pemindahan hak, alih aset, perubahan penggunaan Barang Modal untuk kegiatan lain di luar kegiatan usaha, diekspor, atau penghapusan dari aset Badan Usaha. |
6. |
Keadaan Darurat (force majeure) adalah keadaan seperti kebakaran, bencana alam, kerusuhan, peperangan atau hal-hal lain yang terjadi di luar kemampuan manusia. |
7. |
Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia. |
|
|
|
2. |
Ketentuan Pasal 3 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3
Pembebasan bea masuk untuk industri pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dapat diberikan kepada Badan Usaha sebagai berikut:
a. |
PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN (Persero)); |
b. |
pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha; |
c. |
pemegang IUKU untuk usaha pembangkit tenaga listrik yang mempunyai perjanjian jual beli tenaga listrik dengan PT. PLN (Persero) yang menyatakan seluruh listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh PT. PLN (Persero), atau perjanjian sewa guna usaha (Finance Lease Agreement (FLA)) dengan PT. PLN (Persero); atau |
d. |
pemegang IUKU untuk usaha pembangkit tenaga listrik yang mempunyai perjanjian jual beli tenaga listrik dengan pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha, yang menyatakan seluruh listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha. |
|
|
|
3. |
Ketentuan ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Pasal 4 diubah dan ditambahkan 2 (dua) ayat yakni ayat (5) dan ayat (6), sehingga Pasal 4 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) |
Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk atas impor Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(2) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang diajukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus dilampiri dengan:
a. |
Rencana Impor Barang (RIB) kebutuhan proyek paling sedikit memuat jumlah, jenis, dan spesifikasi teknis secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini; |
b. |
Akte Pendirian Badan Usaha; dan |
c. |
Nomor Identitas Kepabeanan (NIK). |
|
(3) |
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, huruf c, dan huruf d, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan harus dilampiri dengan IUKU. |
(4) |
Dihapus. |
(5) |
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan harus dilampiri dengan perjanjian jual beli tenaga listrik atau perjanjian sewa guna usaha (FLA) dengan PT. PLN (Persero). |
(6) |
Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d, selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan harus dilampiri dengan perjanjian jual beli tenaga listrik dengan pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha. |
|
|
|
4. |
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 5A diubah, sehingga Pasal 5A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5A
(1) |
Realisasi impor barang berdasarkan Rencana Impor Barang (RIB) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal keputusan pemberian pembebasan bea masuk. |
(2) |
Realisasi impor sebagaimana pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berakhirnya jangka waktu realisasi impor dengan mengajukan permohonan perpanjangan realisasi impor sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang diajukan oleh Badan Usaha, dilampiri dengan:
a. |
fotokopi Nomor Identitas Kepabeanan (NIK); |
b. |
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); |
c. |
fotokopi Angka Pengenal Importir (API/APIT/API-P); |
d. |
fotokopi Surat Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2); dan |
e. |
laporan realisasi impor berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
|
(4) |
Permohonan perpanjangan realisasi impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diajukan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum berakhirnya masa berlaku Surat Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
|
|
|
5. |
Ketentuan ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Pasal 5B diubah, sehingga Pasal 5B berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5B
(1) |
Badan Usaha dapat mengajukan permohonan perubahan Surat Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
(2) |
Badan Usaha mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(3) |
Permohonan yang diajukan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), harus dilampiri dengan:
a. |
fotokopi Nomor Identitas Kepabeanan (NIK); |
b. |
fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); |
c. |
fotokopi Angka Pengenal Importir (API/APIT/API-P); |
d. |
fotokopi Surat Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2); dan |
e. |
Rencana Impor Barang Perubahan (RIBP) paling sedikit memuat jumlah, jenis, dan spesifikasi teknis secara rinci per pelabuhan tempat pemasukan yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sesuai format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
|
(4) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), diajukan dalam rentang masa berlaku Surat Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). |
|
|
|
6. |
Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 6A dan Pasal 6B yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) |
Barang Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dapat dilakukan Pemindahtanganan setelah 2 (dua) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor. |
(2) |
Ketentuan jangka waktu Pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal:
a. |
terjadi Keadaan Darurat (force majeure); |
b. |
Barang Modal diekspor kembali; atau |
c. |
dilakukan Pemindahtanganan Barang Modal kepada Badan Usaha yang mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk untuk pembangunan atau pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum. |
|
(3) |
Pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan setelah mendapatkan izin dari Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri. |
(4) |
Terhadap Pemindahtanganan Barang Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilakukan dalam jangka waktu paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun, mengakibatkan batalnya fasilitas pembebasan bea masuk yang diberikan dan Badan Usaha wajib membayar bea masuk yang terutang. |
(5) |
Dibebaskan dari kewajiban membayar bea masuk yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dalam hal:
a. |
Pemindahtanganan Barang Modal dilakukan setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal pemberitahuan pabean impor; atau |
b. |
Pemindahtanganan Barang Modal dilakukan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
|
(6) |
Dalam hal Pemindahtanganan Barang Modal dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (3), Badan Usaha wajib membayar:
a. |
bea masuk yang terutang atas Barang Modal asal impor; dan |
b. |
sanksi administrasi berupa denda sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
|
(7) |
Ketentuan mengenai pembebasan bea masuk dari kewajiban membayar bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku terhadap Barang Modal dalam hal terjadi Keadaan Darurat (force majeure) namun Barang Modal tersebut masih mempunyai nilai ekonomis. |
(8) |
Pembayaran bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berdasarkan harga penyerahan dengan ketentuan sebagai berikut: a. jika pembebanan bea masuknya sebesar 5% (lima persen) atau lebih dikenakan pembebanan 5% (lima persen); atau b. jika pembebanan bea masuknya di bawah 5% (lima persen) dikenakan pembebanan sesuai jenis barang. |
Pasal 6B
Ketentuan mengenai tata cara Pemindahtanganan Barang Modal diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
|
|
|
7. |
Mengubah Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan Dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 128/PMK.011/2009, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, dan Lampiran V Peraturan Menteri ini yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
Pasal II
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 15 (lima belas) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Oktober 2012
MENTERI KEUANGAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AGUS D.W. MARTOWARDOJO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Oktober 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI
MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 1004
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.