Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 34/PMK.04/2021
Pemasukan Dan Pengeluaran Barang Ke Dan Dari Kawasan Yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 34/PMK.04/2021
TENTANG
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANGKE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKANSEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;
Mengingat :
1. | Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
2. | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999); |
3. | Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893); |
4. | Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan. Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069); |
5. | Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); |
6. | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755); |
7. | Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053); |
8. | Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 252, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4054); |
9. | Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); |
10. | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573); |
11. | Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nornor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6653); |
12. | Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98); |
13. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 1862) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.01/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1745); |
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN YANG TELAH DITETAPKAN SEBAGAI KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS.
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. | Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan |
2. | Kawasan yang Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan cukai. |
3. | Kawasan Pabean adalah kawasan dengan batas-batas tertentu di pelabuhan laut, bandar udara, atau tempat lain yang ditetapkan untuk lalu lintas barang yang sepenuhnya berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
4. | Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai. |
5. | Pajak Pertambahan Nilai yang selanjutnya disingkat PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. |
6. | Tempat Penimbunan Sementara yang selanjutnya disingkat TPS adalah bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. |
7. | Tempat Lain yang Diperlakukan Sama Dengan TPS adalah bangunan dan/ atau lapangan atau ternpat lain yang disamakan dengan itu di luar Kawasan Pabean untuk menimbun barang sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya. |
8. | Tempat Lain adalah tempat di Kawasan Bebas selain pelabuhan laut dan bandar udara yang ditunjuk, yang dipergunakan untuk kegiatan bongkar barang dari luar daerah pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, dan/atau kegiatan muat barang yang akan dikeluarkan ke luar Daerah Pabean, tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus. |
9. | Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya Kewajiban Pabean sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan. |
10. | Kewajiban Pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang wajib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang Kepabeanan. |
11. | Orang adalah orang perseorangan atau badan usaha atau badan hukum. |
12. | Pemberitahuan Pabean adalah pernyataan yang dibuat oleh Orang dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan dalam Undang-Undang Kepabeanan. |
13. | Formulir Free Trade Zone yang selanjutnya disebut Formulir FTZ adalah formulir yang berbentuk surat keterangan pengeluaran kendaraan bermotor dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dengan melunasi bea masuk, PPN, dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 22. |
14. | Dokumen Pengiriman Barang atau Consignment Note yang selanjutnya disebut Consignment Note adalah dokumen dengan kode CN-22/CN-23 atau dokumen sejenis yang merupakan dokumen perjanjian pengiriman barang antara pengirim barang dengan Penyelenggara Pos untuk mengirimkan barang kiriman kepada penerima barang. |
15. | Manifes adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh sarana pengangkut melalui laut, udara, dan darat. |
16. | Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut atau Inward Manifest yang selanjutnya disebut Inward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat memasuki Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut. |
17. | Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut atau Outward Manifest yang selanjutnya disebut Outward Manifest adalah daftar barang niaga yang diangkut oleh Sarana Pengangkut melalui laut, udara, dan darat pada saat meninggalkan Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah mendapat izin Kepala Kantor Pabean yang mengawasi tempat tersebut. |
18. | Rencana Kedatangan Sarana Pengangkut yang selanjutya disingkat RKSP adalah pemberitahuan tentang rencana kedatangan Sarana Pengangkut yang disampaikan oleh Pengangkut ke Kantor Pabean. |
19. | Dokumen Pelengkap Pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya invoice, packing list, bill of lading/airway bill, manifes, Consignment Note, dokumen pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan, dan/atau dokumen lainnya yang dipersyaratkan. |
20. | Pertukaran Data Elektronik yang selanjutnya disingkat PDE adalah alir informasi bisnis antar aplikasi dan organisasi secara elektronik, yang terintegrasi dengan menggunakan standar yang disepakati bersama, termasuk komunikasi atau penyampaian informasi melalui media berbasis laman internet (web-based). |
21. | Sistem Komputer Pelayanan yang selanjutnya disingkat SKP adalah sistem komputer yang digunakan oleh Kantor Pabean dalam rangka pengawasan dan pelayanan kepabeanan. |
22. | Akses Kepabeanan adalah akses yang diberikan kepada pengguna Jasa untuk berhubungan dengan sistem pelayanan kepabeanan baik yang menggunakan teknologi informasi maupun manual. |
23. | Pengolahan adalah kegiatan mengolah barang dan/atau bahan baku dengan atau tanpa bahan penolong menjadi barang baru yaitu barang hasil produksi dengan nilai tambah yang lebih tinggi, termasuk perubahan sifat dan fungsinya. |
24. | Barang Kiriman adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pos. |
25. | Sarana Pengangkut adalah kendaraan/angkutan melalui laut, udara, atau darat yang dipakai untuk mengangkut barang, kendaraan yang mengangkut barang, dan/ atau orang. |
26. | Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
27. | Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan adalah dewan yang dibentuk untuk menetapkan kebijakan umum, membina, mengawasi, dan mengoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. |
28. | Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan Kawasan adalah Badan yang dibentuk untuk melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. |
29. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan. |
30. | Penyelenggara Pos adalah badan usaha yang menyelenggarakan pos. |
31. | Penyelenggara Pos yang Ditunjuk adalah penyelenggara pos yang ditugaskan oleh pemerintah untuk memberikan layanan internasional sebagaimana diatur dalam Perhimpunan Pos Dunia (Universal Postal Union). |
32. | Perusahaan Jasa Titipan yang selanjutnya disingkat PJT adalah Penyelenggara Pos yang memperoleh ijin usaha dari instansi terkait untuk melaksanakan layanan surat, dokumen, dan paket sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pos. |
33. | Penumpang adalah setiap orang yang melintasi perbatasan wilayah negara atau Kawasan Bebas dengan menggunakan Sarana Pengangkut tetapi bukan awak Sarana Pengangkut dan bukan pelintas batas. |
34. | Awak Sarana Pengangkut adalah setiap orang yang karena pekerjaannya harus berada dalam Sarana Pengangkut dan datang dan/atau berangkat bersama Sarana Pengangkut. |
35. | Pengusaha Pengurusan Jasa Kepabeanaan yang selanjutnya disingkat PPJK adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengurusan pemenuhan kewajiban pabean untuk dan atas kuasa pengusaha di Kawasan Bebas. |
36. | Pengangkut Kontraktual (Non-Vessel Operator Common Carrier) yang selanjutnya disebut Pengangkut Kontraktual adalah badan usaha jasa pengurusan transportasi yang melakukan negosiasi kontrak dan kegiatan lain yang diperlukan untuk terlaksananya pengiriman dan penerimaan barang melalui transportasi darat, laut, dan udara, dan mengkonsolidasikan muatan. |
(1) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk | ||||||||
(2) | Pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean. | ||||||||
(3) | Dalam hal pelabuhan atau bandar udara belum mendapatkan izin dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pelabuhan atau bandar udara yang telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai atas nama Menteri. | ||||||||
(4) | Penetapan Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilakukan berdasarkan:
|
||||||||
(5) | Tata cara penetapan pelabuhan dan bandar udara sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan pabean. |
(1) | Barang yang telah dimasukkan atau akan dikeluarkan ke dan dari pelabuhan laut atau bandar udara yang ditunjuk dan telah mendapatkan penetapan sebagai Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) atau ayat (3), berada di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | ||||||
(2) | Barang selain barang yang akan dimasukkan ke atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas dilarang dimasukkan dan/atau ditimbun di Kawasan Pabean, kecuali untuk:
|
||||||
(3) | Termasuk dalam barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Sarana Pengangkut untuk kepentingan perbaikan Kawasan Bebas. | ||||||
(4) | Tata cara kegiatan operasional dalam Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan pabean. |
BAB II
KEDATANGAN DAN KEBERANGKATAN SARANA PENGANGKUT
(1) | Pengangkut merupakan Orang atau kuasanya di Kawasan Bebas yang:
|
||||||
(2) | Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||
(3) | Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas pemberitahuan pabean yang diajukannya. | ||||||
(4) | Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terhubung dengan ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/ NLE) yang diwajibkan pemerintah untuk percepatan logistik nasional. | ||||||
(5) | Ekosistem logistik sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan manifes keberangkatan Sarana Pengangkut. |
(1) | Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya akan datang melalui laut dan udara dari:
wajib menyerahkan pemberitahuan berupa RKSP kepada Pejabat Bea dan Cukai di setiap Kantor Pabean yang akan disinggahi. |
||||||
(2) | Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diterima di Kantor Pabean diberikan nomor pendaftaran. | ||||||
(3) | Penyerahan RKSP untuk Sarana Pengangkut yang datang melalui laut dan udara dari Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai penyerahan RKSP untuk Sarana Pengangkut yang datang melalui laut dan udara dari luar Daerah Pabean. | ||||||
(4) | Tata cara penyerahan pemberitahuan berupa RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan manifes keberangkatan Sarana Pengangkut. |
(1) | Pemberitahuan RKSP yang telah mendapatkan nomor pendaftaran di Kantor Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) merupakan pendahuluan Inward Manifest yang diajukan oleh Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a. | ||||||||||
(2) | Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya melalui darat dan Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b dan huruf c yang Sarana Pengangkutnya datang dari:
wajib menyerahkan pemberitahuan Inward Manifest dalam Bahasa Indonesia atau Bahasa lnggris ke Kantor Pabean kedatangan. |
||||||||||
(3) | Pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pengangkut sesuai dengan dokumen pengangkutan yang diterbitkannya. | ||||||||||
(4) | Pengangkut yang telah menyampaikan pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan:
|
||||||||||
(5) | Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan dengan menambahkan waktu kedatangan Sarana Pengangkut pada pemberitahuan RKSP yang merupakan pendahuluan pemberitahuan Inward Manifest. | ||||||||||
(6) | Pendahuluan pemberitahuan Inward Manifest yang telah mendapatkan data waktu kedatangan Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (5), merupakan Inward Manifest akhir dan diberikan nomor pendaftaran Inward Manifest. | ||||||||||
(7) | Inward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah diterima dan mendapat nomor dan tanggal pendaftaran di Kantor Pabean kedatangan merupakan persetujuan pembongkaran barang. | ||||||||||
(8) | Penyerahan pemberitahuan Inward Manifest untuk Sarana Pengangkut yang datang dari:
dilakukan sesuai dengan ketentuan mengenai penyerahan pemberitahuan Inward Manifest yang datang dari luar Daerah Pabean. |
||||||||||
(9) | Tata cara penyerahan pemberitahuan Inward Manifest dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, manifes kedatangan Sarana Pengangkut, dan manifes keberangkatan Sarana Pengangkut. |
(1) | Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) yang Sarana Pengangkutnya akan berangkat menuju:
wajib menyerahkan pemberitahuan Outward Manifest dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris ke Kantor Pabean keberangkatan. |
||||||
(2) | Kewajiban menyerahkan pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lambat sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut. | ||||||
(3) | Penyerahan pemberitahuan Outward Manifest untuk Sarana Pengangkut yang akan berangkat menuju Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau menuju tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan sebagaimana penyerahan pemberitahuan Outward Manifest yang akan berangkat menuju luar Daerah Pabean. | ||||||
(4) | Tata cara penyerahan pemberitahuan Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut. |
(1) | Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya datang dari atau akan berangkat ke luar Daerah Pabean, wajib menyerahkan pemberitahuan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut. | ||||||||||||||
(2) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||
(3) |
Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a yang Sarana Pengangkutnya datang dari atau akan berangkat ke tempat lain dalam Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, wajib menyerahkan pemberitahuan dalam Bahasa Indonesia kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean paling lambat pada saat kedatangan Sarana Pengangkut. |
||||||||||||||
(4) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||||||
(5) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diajukan dalam bentuk:
|
||||||||||||||
(6) | Tata cara penyerahan daftar penumpang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a untuk Sarana Pengangkut melalui udara, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyampaian data penumpang atas kedatangan atau keberangkatan Sarana Pengangkut udara ke atau dari Daerah Pabean. |
(1) | Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), disampaikan ke Kantor Pabean dalam bentuk:
|
||||||||
(2) | Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud daiam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dapat dilakukan perbaikan atau pembatalan. | ||||||||
(3) | Pengangkut dapat dikenakan sanksi atas penyampaian Pemberitahuan RKSP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), Inward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), dan Outward Manifest sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), yang tidak sesuai ketentuan. | ||||||||
(4) | Tata cara perbaikan atau pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyerahan pemberitahuan rencana kedatangan Sarana Pengangkut, Manifes Kedatangan Sarana Pengangkut, dan Manifes Keberangkatan Sarana Pengangkut. |
BAB III
PEMBONGKARAN, PENIMBUNAN, DAN PEMUATAN BARANG
Bagian Kesatu
Pembongkaran
(1) | Barang yang diangkut oleh Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1), wajib dibongkar di:
|
||||||||
(2) | Pembongkaran barang di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (l) huruf b dapat diberikan dengan ketentuan:
|
||||||||
(3) | Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud ayat (1), dapat dilakukan langsung ke Sarana Pengangkut lainnya tanpa dilakukan penimbunan, dalam hal:
|
||||||||
(4) | Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa barang cair, gas, atau barang curah lainnya, dapat dilakukan melalui:
yang dihubungkan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut darat dan/atau ternpat penimbunan. |
||||||||
(5) | Pembongkaran barang di Tempat Lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dilakukan di luar pelabuhan dari Sarana Pengangkut laut ke Sarana Pengangkut laut lainnya, dalam hal:
|
||||||||
(6) | Izin pembongkaran di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||||||
(7) | Rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak diperlukan dalam hal Sarana Pengangkut dalam keadaan darurat. | ||||||||
(8) | Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a menyerahkan Inward Manifest dan telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (7). | ||||||||
(9) | Tata cara pembongkaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan penim bun an barang impor. |
(1) | Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap pembongkaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) secara selektif berdasarkan manajemen risiko. |
(2) | Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh SKP atau Pejabat Bea dan Cukai. |
(3) | Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan terhadap pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan pembongkaran. |
(4) | Tata cara pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan pengawasan pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor. |
Bagian Kedua
Penimbunan
(1) | Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang belum diselesaikan kewajiban pabeannya dapat ditimbun di:
|
||||||||||
(2) | Barang yang telah diberitahukan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sementara menunggu pemuatannya, dapat ditimbun di:
|
||||||||||
(3) | Penimbunan di Tempat Lain yang Diperlakukan Sama dengan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dapat diberikan dalam hal:
|
(1) | Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat ditimbun di Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan, dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Untuk kepentingan pengawasan kepabeanan, Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditetapkan sebagai TPS. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Jangka waktu penimbunan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan permohonan pengusaha dan berdasarkan manajemen risiko. | ||||||||||||||||||||||||
(4) | Penetapan Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan permohonan dari pengusaha tempat penimbunan atau pengusaha Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan dengan dilampiri:
|
||||||||||||||||||||||||
(5) | Dalam hal Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dikarenakan:
akan melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi Sarana Pengangkut, wajib mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari pengusaha TPS. |
||||||||||||||||||||||||
(6) | Dalam hal keadaan darurat, Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi terlebih dahulu dan disertai kewajiban untuk:
|
||||||||||||||||||||||||
(7) | Dalam hal Sarana Pengangkut laut di luar pelabuhan yang telah ditetapkan sebagai TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan pergerakan atau perpindahan yang mengakibatkan perubahan lokasi atau posisi tanpa persetujuan dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Saran.a Pengangkut laut dikenakan sanksi berupa pemblokiran Akses Kepabeanan pengusaha di Kawasan Bebas atas kegiatan pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Luar Daerah Pabean. | ||||||||||||||||||||||||
(8) | Berdasarkan pemblokiran Akses Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Kepala Kantor Pabean dapat mengusulkan pembekuan penzman berusaha kepada Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||||||||||||||||||||||
(9) | Tata cara penetapan TPS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Pabean dan TPS. |
(1) | Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan pengawasan terhadap penimbunan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 13 ayat (1) secara selektif berdasarkan manajemen risiko. |
(2) | Manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh SKP atau Pejabat Bea dan Cukai. |
(3) | Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pengawasan terhadap penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat laporan pengawasan penimbunan. |
(4) | Tata cara pengawasan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelaporan pengawasan penimbunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pembongkaran dan penimbunan barang impor. |
Bagian Ketiga
Pemuatan
(1) | Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas wajib dilakukan di Kawasan Pabean atau dalam hal tertentu dapat dimuat di Tempat Lain dengan izin Kepala Kantor Pabean. |
(2) | Izin pemuatan di Tempat Lain oleh Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah mendapatkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan. |
(3) | Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke dalam Sarana Pengangkut dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai dan/atau SKP. |
(4) | Tata cara pemuatan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(1) | Pengusaha menyampaikan permohonan perizinan untuk:
|
||||||||
(2) | Permohonan perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir atau dalam bentuk data elektronik melalui media penyimpanan data elektronik atau surat elektronik, dalam hal:
|
||||||||
(3) | Persetujuan atas permohonan penzman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan secara periodik untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. |
BAB IV
KETENTUAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG
KE DAN DARI KAWASAN BEBAS
(1) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||
(2) | Perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
(3) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sesuai dengan perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. | ||||
(4) | Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapatkan perizinan berusaha dari Badan Pengusahaan Kawasan, dalam jumlah dan jenis yang ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||
(5) | Perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dimiliki oleh 1 (satu) pengusaha untuk 1 (satu) perizinan. |
(1) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) terhadap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan dokumen pendukung yang menjelaskan peruntukkan barang dimaksud. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, huruf j, dan huruf q. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Tata cara pemberian pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atas barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemasukan dan pengeluaran Barang Kiriman ke dan dari Kawasan Bebas. |
(1) | Pemasukan barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (4) sepanjang yang telah ditetapkan jumlah dan jenisnya oleh Badan Pengusahaan Kawasan, pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Badan Pengusahaan Kawasan. |
(2) | Pemasukan barang dari tempat lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, sepanjang menyangkut pemberian fasilitas PPN tidak dipungut, pengawasan dan pengadministrasiannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
BAB V
PENGELUARAN BARANG DARI KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN ATAS BARANG YANG TELAH SELESAI DIBONGKAR DARI SARANA PENGANGKUT
Bagian Kesatu
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain
Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau yang ditimbun di tempat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b, dapat dikeluarkan dari Kawasan Pabean setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean untuk:
a. | dimasukkan ke Kawasan Bebas; |
b. | diangkut lanjut; |
c. | diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lain; atau |
d. | dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean. |
Bagian Kedua
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dimasukkan Ke Kawasan Bebas
(1) | Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, dapat berupa barang yang diperuntukkan untuk:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Terhadap barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dimiliki oleh:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Tata cara pemasukan sementara dengan dokumen carnet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g angka 7 dan huruf j, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara dengan menggunakan dokumen carnet atau ekspor yang dimaksudkan untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan dokumen carnet. |
(1) | Terhadap pengeluaran barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a, wajib disampaikan dengan Pemberitahuan Pabean ke Kantor Pabean. | ||||||||||||||
(2) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||||||||||
(3) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana. dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran dari Kantor Pabean asal. | ||||||||||||||
(4) | Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari tempat penimbunan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 2 atau kawasan ekonomi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 3, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus. | ||||||||||||||
(5) | Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk:
|
||||||||||||||
(6) | Penentuan batas nilai pabean dan/ atau jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-uridangan di bidang kepabeanan. | ||||||||||||||
(7) |
Tata cara sebagaimana penyampaian Pemberitahuan Pabean dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a, disampaikan oleh pengusaha atau PPJK yang akan mengeluarkan barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau dari Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas, dengan mendasarkan pada:
a. | Dokumen Pelengkap Pabean, dengan menghitung sendiri bea masuk, bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan, cukai, dan/ atau pajak yang dibebaskan, untuk Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a; atau |
b. | invoice/faktur penjualan, packing list, kontrak jual beli, faktur pajak dan dokumen pelengkap lainnya, untuk Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2. |
(1) | Dalam hal pengeluaran atas barang dari Kawasan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b dengan tujuan untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas terdapat selisih kurang (eksep) dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), penyelesaian barang yang kurang tersebut clilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean semula dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). | ||||
(2) | Dalam hal barang yang terdapat selisih kurang (eksep) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didatangkan lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha harus mengajukan:
|
||||
(3) | Tata cara pemasukan barang yang terdapat selisih kurang (eksep) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
Bagian Ketiga
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Angkut Lanjut
(1) | Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain se bagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (l) dapat dikeluarkan untuk diangkut lanjut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b, ke:
|
||||||||||
(2) | Untuk pemasukan barang ke Kawasan Pabean untuk diangkut lanjut, wajib diberitahukan dengan Inward Manifest. | ||||||||||
(3) | Untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean untuk diangkut lanjut, wajib disampaikan dengan Outward Manifest. | ||||||||||
(4) | Atas kegiatan angkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) menyampaikan pemberitahuan ke Kantor Pabean. | ||||||||||
(5) | Outward Manifest sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan ke Kantor Pabean sebelum keberangkatan Sarana Pengangkut. | ||||||||||
(6) | Tata cara angkut lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
Bagian Keempat
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Diangkut Ke TPS Di Kawasan Pabean Lainnya
(1) | Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan untuk diangkut ke:
|
||||||||||||
(2) | Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib menyampaikan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya. | ||||||||||||
(3) | Terhadap pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean yang akan diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk, Cukai, PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22, kepada Kantor Pabean yang mengawasi Kawasan Pabean tempat pembongkaran barang. | ||||||||||||
(4) | Pengeluaran barang untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan dalam hal:
|
||||||||||||
(5) | Pengeluaran barang untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di Kawasan Bebas lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b atau ke TPS di Kawasan Pabean lainnya di tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dilakukan dalam hal pemilik barang (consignee) dalam dokumen pengangkutan barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud clalam Pasal 10 ayat (1) merupakan pengusaha yang berada di Kawasan Bebas lain atau di tempat lain dalam Daerah Pabean. | ||||||||||||
(6) | Tata cara penyampaian Pemberitahua:n Pabean untuk pengeluaran barang dari Kawasan Pabean di Kawasan Bebas untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. | ||||||||||||
(7) | Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk diangkut ke TPS di Kawasan Pabean lainnya sebagaiman dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
Bagian Kelima
Pengeluaran Barang Dari Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Kembali Ke Luar Daerah Pabean
(1) | Barang yang dibongkar di Kawasan Pabean atau Tempat Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) dapat dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean. | ||||||
(2) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal:
|
||||||
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dikecualikan terhadap barang yang berasal dari luar Daerah Pabean yang merupakan barang:
|
||||||
(4) | Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan |
BAB VI
PEMASUKAN BARANG KE KAWASAN PABEAN ATAU TEMPAT LAIN UNTUK DIKELUARKAN DARI KAWASAN BEBAS
Bagian Kesatu
Pemasukan Barang Ke Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Dari Kawasan Bebas
(1) | Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain, setelah dipenuhinya Kewajiban Pabean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Barang yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud ayat (1), dapat berupa barang untuk:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Tata cara pengeluaran sementara dalam jangka waktu tertentu ke luar Daerah Pabean dengan dokumen camet sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara dengan menggunakan dokumen carnet atau ekspor yang dimaksudkan untuk diimpor kembali dalam jangka waktu tertentu dengan menggunakan dokumen carnet. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Terhadap barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas yang berasal dari luar Daerah Pabean dan mendapatkan penetapan jumlah dan jenis oleh Badan Pengusahaan Kawasan, tidak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas. | ||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), atas pengeluaran barang konsumsi berupa barang kiriman, barang penumpang, atau barang awak Sarana Pengangkut dalam jumlah dan/atau nilai tertentu berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai. |
(1) | Atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) huruf 1, dapat dilakukan untuk Sarana Pengangkut yang:
|
||||||
(2) | Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa bekal Sarana Pengangkut untuk Sarana Pengangkut yang lego jangkar di luar perairan koordinat Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dapat diberikan dalam hal:
|
||||||
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud· pada ayat (2) huruf a, memuat paling sedikit informasi mengenai jumlah, jenis dan/atau nilai barang berupa bekal Sarana Pengangkut, identitas Sarana Pengangkut yang akan mengangkut bekal Sarana Pengangkut, identitas Sarana Pengangkut tujuan, dan bukti pendukung. | ||||||
(4) | Jumlah dan/atau nilai barang berupa bekal Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala Kantor Pabean dengan mempertimbangkan manajemen risiko |
(1) | Pemasukan barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), wajib disampaikan dengan Pemberitahuan Pabean ke Kantor Pabean | ||||||
(2) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke:
|
||||||
(3) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh pengusaha atau PPJK yang akan memasukkan barang ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(4) | Kewajiban untuk memberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku juga atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean berupa:
|
||||||
(5) | Ketentuan mengenai kewajiban untuk menyampaikan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk:
|
||||||
(6) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah diberikan nomor dan tanggal oleh Pejabat Bea dan Cukai, merupakan persetujuan untuk pemasukan barang ke Kawasan Pabean | ||||||
(7) | Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas |
(1) | Penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2), dilampiri dengan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). | ||||
(2) | Dalam hal penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) tidak dilampiri dengan:
|
||||
(3) | Dikecualikan dari diperlakukan sebagai barang yang berasal dari luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan fisik kedapatan bahwa barang sepenuhnya berasal dari Kawasan Bebas atau berasal dari tempat lain dalam Daerah Pabean. | ||||
(4) | Dalam hal barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e berupa barang hasil produksi di Kawasan Bebas, penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) dapat dilampiri dengan:
|
(1) | Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e, dapat dilakukan pengeluaran sebagian (parsial). | ||||
(2) | Pengeluaran sebagian (parsian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||
(3) | Penyelesaian barang yang telah dikeluarkan sebagian (parsial) dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c semula dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). | ||||
(4) | Dalam hal sisa barang yang dilakukan pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan dalam jangka waktu lebih dari 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengusaha harus mengajukan:
|
||||
(5) | Tata cara pengeluaran sebagian (parsial) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) | Barang yang dimasukkan ke Kawasan Pabean atau Tempat Lain dengan tujuan untuk dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf a yang merupakan:
|
||||
(2) | Pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pelabuhan muat ekspor di Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, Kawasan ekonomi khusus, atau tempat lain dalam daerah pabean:
|
||||
(3) | Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perunclang-undangan mengenai ekspor. |
(1) | Barang yang telah mendapatkan persetujuan pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain untuk dikeluarkan ke:
|
||||||||||||||||
(2) | Dalam hal pengangkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui darat, berlaku ketentuan sebagai berikut:
|
Bagian Kedua
Pemasukan Barang Ke Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Dari Kawasan Bebas Untuk Tujuan Tertentu Dalam Jangka Waktu Tertentu Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
(1) | Barang asal luar Daerah Pabean dapat. dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan dari pengusaha. | ||||||||||||||||||
(2) | Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan terhadap barang yang berhubungan dengan:
|
||||||||||||||||||
(3) | Terhadap pengeluaran barang yang berhubungan dengan kegiatan usahanya berupa mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 1, pengusaha wajib:
|
||||||||||||||||||
(4) | Terhadap pengeluaran barang berupa mesin atau peralatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a angka 2 dan angka 3, atau barang untuk kegiatan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, pengusaha wajib menyerahkan jaminan sebesar bea masuk yang seharusnya dibayar, ditambah dengan PPN, dan Pajak Penghasilan Pasal 22. | ||||||||||||||||||
(5) | Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dan ayat (4), wajib diserahkan sebelum mendapat nomor Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e. |
||||||||||||||||||
(6) | Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berdasarkan manajemen risiko. | ||||||||||||||||||
(7) | Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sehingga menjadi paling lama 3 (tiga) tahun, dimulai sejak tanggal Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e. | ||||||||||||||||||
(8) | Pejabat Bea dan Cukai memberikan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dengan mempertimbangkan bukti pendukung yang menyebutkan tentang jangka waktu pengeluaran barang untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean. | ||||||||||||||||||
(9) | Tata cara penyerahan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (4) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan. | ||||||||||||||||||
(10) | Tata cara pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan sementara. |
(1) | Terhadap barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), pengusaha harus menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 dan/atau surat pemberitahuan atas pemasukan barang kembali ke Kawasan Bebas, atas barang yang akan dimasukan kembali sebelum berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7). |
(2) | Realisasi pemasukan kembali atas barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7). |
(3) | Terhadap pemasukan kembali barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan fisik. |
(4) | Tata cara pemasukan kembali barang yang telah dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean untuk tujuan tertentu dalam jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara. |
(1) | Pengusaha yang terlambat memasukkan kembali barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1), dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar berdasarkan penetapan Kepala Kantor Pabean. | ||||
(2) | Terlambat memasukkan kembali barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
(3) | Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) tidak akan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas, pengusaha mengajukan permohonan untuk tidak memasukkan kembali barang yang telah dikeluarkan dari Kawasan Bebas kepada Kepala Kantor Pabean tempat pengeluaran barang. | ||||
(4) | Dalam hal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) merupakan barang yang terkena ketentuan pembatasan, perizinan impor wajib dipenuhi sebelum pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan. | ||||
(5) | Terhadap barang sebagaimana dimaksud clalam Pasal 35 ayat (1) yang telah mendapat keputusan mengenai tidak memasukkan kembali barang, pengusaha wajib membayar bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor yang terutang serta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dengan menggunakan Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (7), semula. | ||||
(6) | Tata cara penyampaian permohonan keterlambatan pemasukan kembali ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau tidak dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai impor sementara. |
Bagian Ketiga
Pemasukan Barang Yang Mendapat Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi Yang Termasuk Dalam Barang Yang Mendapatkan Cost Recovery Dan Gross Split Ke Kawasan Pabean Atau Tempat Lain Untuk Dikeluarkan Dari Kawasan Bebas Ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean
(1) | Barang asal luar Daerah Pa bean dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalarri Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi. | ||||||
(2) | Barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan barang yang:
|
||||||
(3) | Terhadap pengeluaran barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha wajib melampirkan Keputusan Menteri mengenai pemberian pembebasan bea masuk dan tidak dipungut pajak dalam rangka impor atas impor barang untuk kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi pada saat penyampaian Pemberitahuan Pabean pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf c. | ||||||
(4) | Terhadap barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat diselesaikan kewajiban untuk dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean dengan dimasukkan kembali ke Kawasan Bebas dengan menyampaikan Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2. |
Bagian Keempat
Konsolidasi
(1) | Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke luar Daerah Pabean, Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, atau tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat dilakukan konsolidasi di TPS atau Tempat Lain yang diperlakukan sama dengan TPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2). | ||||
(2) | Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan konsolidasi dalam hal barang tersebut telah:
|
||||
(3) | Pihak yang melakukan konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yakni konsolidator yang merupakan pengusaha yang telah mendapat persetujuan sebagai pihak yang melakukan konsolidasi barang dari Kepala Kantor Pabean. | ||||
(4) | Konsolidator sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memberitahukan konsolidasi barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas dalam pemberitahuan konsolidasi barang dan menyampaikannya ke Kantor Pabean pemuatan. | ||||
(5) | Pemberitahuan konsolidasi barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pemberitahuan yang dibuat oleh pihak yang melakukan konsolidasi yang berisi daftar seluruh Pemberitahuan Pabean dan Nota Persetujuan Pengeluaran Barang yang ada dalam 1 (satu) peti kemas. | ||||
(6) | Tata cara konsolidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
BAB VII
PERLAKUAN TERTENTU DI BIDANG KEPABEANAN ATAS PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG KE DAN DARI KAWASAN BEBAS
(1) | Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dapat diberikan perlakuan tertentu di bidang kepabeanan dalam melakukan pemasukan clan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas. | ||||
(2) | Pengusaha yang dapat cliberikan perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengusaha yang telah:
|
||||
(3) | Pengusaha sebagaimana dimaksucl pada ayat (2), termasuk pengusaha perusahaan di Kawasan Bebas yang merupakan cabang dari perusahaan di luar Kawasan Bebas yang mendapat pengakuan sebagai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) atau ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan) | ||||
(4) | Perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan permohonan pengusaha sesuai dengan manajemen risiko. | ||||
(5) | Tata cara pemberian perlakuan tertentu di bidang kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) serta penetapan (authorized economic operator) dan Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai operator ekonomi bersertifikat (authorized economic operator) dan Mitra Utama Kepabeanan (MITA Kepabeanan). |
BAB VIII
PENYAMPAIAN PEMBERITAHUAN PABEAN DAN DOKUMEN PELENGKAP PABEAN
(1) | Dokumen berupa:
|
||||
(2) | Pemberitahuan Pabean dan Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan. | ||||
(3) | Penyampaian Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan dalam bentuk tulisan di atas formulir, dalam hal telah ditetapkan waktu pelayanan keadaan kahar:
|
||||
(4) | Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat disampaikan dalam bentuk hardcopy dalam hal Kepala Kantor menetapkan lain dengan mempertimbangkan keterbatasan sistem PDE kepabeanan. | ||||
(5) | Selain dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengusaha wajib menyampaikan dokumen bukti pembayaran bea masuk, Cukai, dan/ atau pajak dalam rangka impor atau bukti pembayaran bea keluar, atas pengeluaran barang dari Kawasan Bebas. | ||||
(6) | Penyampaian bukti pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak diperlukan dalam hal pembayaran bea masuk, cukai, pajak, dan/atau bea keluar dilakukan melalui sistem pembayaran yang terintegrasi dengan sistem PDE kepabeanan di Kantor Pabean. | ||||
(7) | Sistem PDE kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat terhubung dengan sistem Indonesia National Single Window (INSW) dan/atau ekosistem logistik Kawasan Bebas sebagai bagian dari ekosistem logistik nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4). | ||||
(8) | Tata cara penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa surat keterangan asal (certificate of origin) untuk kepentingan pemberian tarif preferensi, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. |
(1) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a dapat dilakukan perubahan atau pembatalan. |
(2) | Tata cara perubahan atau pembatalan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemberitahuan pabean dalam rangka pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
(1) | Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) ayat huruf a dapat disampaikan ke Kantor Pabean secara berkala setelah mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean atas pemasukan atau pengeluaran barang yang dilakukan oleh:
|
||||||||||||||
(2) | Untuk penyampaian Pemberitahuan Pabean secara berkala atas pengeluaran barang asal luar Daerah Pabean ke tempat lain dalam Daerah Pabean, selain harus mendapat persetujuan Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pengusaha harus menyerahkan jaminan. | ||||||||||||||
(3) | Kepala Kantor Pabean menetapkan bentuk jaminan yang harus diserahkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan manajemen risiko. | ||||||||||||||
(4) | Bentuk jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai jaminan dalam rangka kepabeanan. | ||||||||||||||
(5) | Tata cara penyampaian Pemberitahuan Pabean secara berkala dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(1) | Dalam rangka pengawasan terhadap pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, dapat dilakukan pemeriksaan pabean dengan tetap menjamin kelancaran arus barang. |
(2) | Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik |
Bagian Kesatu
Penelitian Dokumen
(1) | Terhadap barang yang akan:
|
||||||||||||
(2) | Penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko. | ||||||||||||
(3) | Dikecualikan dari penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terhadap pemasukan barang ke Kawasan Bebas yang dilakukan dari:
|
Bagian Kedua
Pemeriksaan Fisik
(1) | Terhadap barang yang akan:
|
||||
(2) | Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko atau nota hasil intelijen. | ||||
(3) | Dalam hal informasi intelijen diperoleh setelah dilakukan manajemen risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2), unit pengawasan dapat menerbitkan nota hasil intelijen. | ||||
(4) | Terhadap barang yang diterbitkan nota hasil intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan pemeriksaan fisik. | ||||
(5) | Pemeriksaan fisik atas pemasukan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas berupa barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a hanya dilakukan berdasarkan nota hasil intelijen. | ||||
(6) | Pejabat Bea dan Cukai membubuhkan paraf pada kemasan barang yang telah diperiksa dan bertanggung jawab terhadap jumlah dan jenis barang yang dilakukan pemeriksaan fisik dan tidak bertanggung jawab terhadap barang yang tidak dilakukan pemeriksaan fisik. | ||||
(7) | Terhadap barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas yang pemeriksaan fisiknya dilakukan di luar Kawasan Pabean, harus dilakukan pengawasan stuffing dan penyegelan pada peti kemas atau kemasan barang. | ||||
(8) | Tata cara pemeriksaan fisik dan penyelesaian atas hasil pemeriksaan fisik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
Bagian Ketiga
Penelitian Tarif Dan Nilai Pabean
(1) | Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian dan penetapan terhadap tarif dan nilai pabean yang diberitahukan atas:
|
||||||||||||||
(2) | Penelitian tarif dan nilai pabean atas Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pendaftaran Pemberitahuan Pabean. | ||||||||||||||
(3) | Penelitian tarif dan penetapan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan terhadap pemasukan barang ke dan/ atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas yang dilakukan oleh:
|
||||||||||||||
(4) | Penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean oleh Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan terhadap Pemberitahuan Pabean atau pemberitahuan yang diajukan pengusaha, instansi pemerintah pusat, atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), apabila terdapat informasi atau petunjuk yang dapat dipertanggungjawabkan dari unit pada Direktorat Jenderal Bea dan. Cukai dan/ atau instansi di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | ||||||||||||||
(5) | Atas penelitian dan penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dilakukan penetapan kembali yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai: penelitian ulang;
|
||||||||||||||
(6) | Tata cara penelitian dokumen dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
Bagian Keempat
Manajemen Risiko Dalam Pemeriksaan Pabean
Pasal 48
Manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) dan Pasal 46 ayat (2) dilakukan dalam bentuk penjaluran dengan mempertimbangkan:
a. | profil operator ekonomi; |
b. | profil komoditi; |
c. | data informasi dari SKP dan/ atau pertukaran data dengan instansi lain; dan/ atau |
d. | informasi intelijen, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Direktorat Jenderal Pajak, atau instansi/lembaga teknis lain. |
BAB X
PEMERIKSAAN FISIK ATAS PEMASUKAN BARANG ASAL TEMPAT LAIN DALAM DAERAH PABEAN KE KAWASAN BEBAS DALAM RANGKA PEMBERIAN FASILITAS PERPAJAKAN BERUPA PPN TIDAK DIPUNGUT
(1) | Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalam Daerah Pabean, pengajuan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 dilampiri dengan faktur pajak yang digunakan pada penyerahan barang kena pajak yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut. |
(2) | Faktur pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat digunakan untuk 1 (satu) Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2. |
(1) | Dalam rangka pemberian fasilitas perpajakan berupa PPN tidak dipungut atas barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari tempat lain dalani Daerah Pabean, dapat dilakukan pemeriksaan fisik. | ||||||
(2) | Pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan: manajemen risiko;
|
(1) | Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dilakukan secara bersama-sama oleh Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) | Hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan dalam laporan hasil pemeriksaan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) huruf a angka 2 oleh pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak dan ditandatangani secara bersama oleh pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
Pemeriksaan fisik berdasarkan nota intelijen di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
(1) | Pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(2) | Hasil pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan cukai sebagairnana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Direktorat Jenderal Pajak untuk mendapat penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perpajakan |
(3) | Tata cara pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kepabeanan. |
(1) | Pemeriksaan fisik berdasarkan manajemen risiko dan nota intelijen perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dan huruf b dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha. |
(2) | Pemeriksaan fisik berdasarkan nota hasil intelijen (NHI) di bidang kepabeanan dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c dilakukan di tempat penyimpanan barang milik pengusaha atau di Kawasan Pabean. |
(1) | Terhadap barang asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dimasukan ke Kawasan Bebas yang akan dilakukan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai melekatkan tanda pengaman saat pengeluaran barang dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain setelah barang mendapat Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB). |
(2) | Tanda pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(1) | Penerapan manajemen risiko dalam rangka melaksanakan pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan profil risiko yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak. |
(2) | Profil risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea clan Cukai dalam rangka pemutakhiran data. |
Tata cara:
a. | penyusunan laporan hasil pemeriksaan dan penyelesaian hasil pemeriksaan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2); |
b. | pemeriksaan fisik berdasarkan Nota Hasil Intelijen (NHI) di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52; |
c. | pelaksanaan pemeriksaan fisik di tempat penyimpanan barang milik pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1); dan |
d. | pelekatan tanda pengaman sebagairnana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (2), |
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan di Kawasan Bebas.
BAB XI
PENGHITUNGAN BEA MASUK, CUKAI, DAN PAJAK
Bagian Kesatu
Nilai Pabean
(1) | Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yakni nilai transaksi dari barang yang bersangkutan. | ||||||||||||||
(2) | Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak dalam rangka pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus, yakni nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada saat barang asal luar Daerah Pabean dimasukkan ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus. | ||||||||||||||
(3) | Nilai pabean untuk penghitungan bea masuk dan pajak penghasilan Pasal 22 dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas berupa:
|
||||||||||||||
(4) | Dalam hal nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat ditentukan berdasarkan nilai transaksi, nilai pabean ditentukan secara hierarki berdasarkan nilai transaksi barang identik, nilai transaksi barang serupa, metode deduksi, metode komputasi, atau tata cara yang wajar dan konsisten. | ||||||||||||||
(5) | Tata cara penentuan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (4), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
(1) | Nilai transaksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) merupakan harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh pembeli kepada penjual atas barang yang dijual untuk dimasukkan ke Kawasan Bebas ditambah dengan biaya biaya dan/ atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sepanjang biaya-biaya dan/ atau nilai-nilai tersebut belum termasuk dalam harga yang sebenarnya dibayar atau yang seharusnya dibayar. |
(2) | Dalam hal harga yang seharusnya dibayar dan/atau biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dapat ditentukan nilainya pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, pengusaha dapat melakukan deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan /atau pembayaran inisiatif (voluntary payment). |
(3) | Tata cara penentuan nilai transaksi atau biaya-biaya dan/atau nilai-nilai yang harus ditambahkan pada nilai transaksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan/atau pembayaran inisiatif (voluntary payment) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai deklarasi inisiatif (voluntary declaration) dan pembayaran inisiatif (voluntary payment). |
Bagian Kedua
Klasifikasi Dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Barang Dalam Rangka Pemasukan Dan Pengeluaran Ke Dan Dari Kawasan Bebas
(1) | Klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk untuk penghitungan bea masuk, bea keluar dan pajak dalam rangka pemasukan dan pengeluaran ke dan dari Kawasan Bebas berpedoman pada Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI). |
(2) | Dalam hal terjadi perubahan ketentuap yang mengatur mengenai sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk yang berbeda dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia (BTKI), berlaku ketentuan mengenai perubahan sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk dimaksud. |
(3) | Ketentuan mengenai sistem klasifikasi dan pembebanan tarif bea masuk berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean mendapat nomor dan tanggal pendaftaran di Kantor Pabean. |
(1) | Tarif preferensi dapat diberikan kepada pengusaha atas pengeluaran barang hasil produksi di Kawasan Bebas yang menggunakan bahan baku dan/ atau bahan penolong asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean. |
(2) | Tata cara pengenaan tarif preferensi di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional. |
Bagian Ketiga
Dasar Penghitungan Pungutan Negara
(1) | Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas, dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(2) | Dasar penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(3) | Bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan ayat (2) huruf d, termasuk bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan. | ||||||||||||
(4) | Dalam hal pada saat pemasukan barang dan/atau bahan baku asal luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas dibebaskan dari pengenaan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/ atau bea masuk pembalasan, saat pengeluaran barang dan/ atau bahan baku asal luar Daerah Pabean yang tanpa dilakukan Pengolahan di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipungut bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan. | ||||||||||||
(5) | Pemungutan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilakukan berdasarkan tarif yang berlaku pada saat pengeluaran barang dan/ atau bahan baku dari Kawasan Bebas. | ||||||||||||
(6) | Dikecualikan dari pemungutan bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan/atau bea masuk pembalasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), jika bahan baku asal luar Daerah Pabean:
|
(1) | Penghitungan pungutan negara atas barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(2) | Atas barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dikecualikan dari ketentuan penghitungan pungutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(3) | Penghitungan pungutan negara atas barang hasil produksi Kawasan Bebas yang dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(4) | Dalam hal pembebanan tarif bea masuk untuk bahan baku lebih tinggi dari pembebanan tarif bea masuk untuk barang hasil produksi Kawasan Bebas, dasar yang digunakan untuk menghitung besarnya pengenaan bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu pembebanan tarif bea masuk barang hasil produksi Kawasan Bebas yang berlaku pada saat dikeluarkan dari Kawasan Bebas. | ||||||||||||||
(5) | Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran bahan baku asal luar Daerah Pabean yang dipergunakan untuk keperluan memperbaiki barang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (6) huruf b dilaksanakan sesuai dengan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||||||||
(6) | Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang hasil produksi di Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain, tempat penimbunan berikat, atau kawasan ekonomi khusus dilaksanakan sesuai dengan penghitungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ayat (3). |
(1) | Terhadap:
|
||||||
(2) | Untuk kepentingan pengawasan dan pengamanan penerimaan negara, pengujian terhadap konversi penggunaan barang atau bahan baku dan transaksi jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersama dengan Direktorat Jenderal Pajak. | ||||||
(3) | Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) ditemukan pelanggaran yang bersifat administratif, pelanggaran dimaksud ditindaklanjuti dengan pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(4) | Dalam hal hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) terdapat kesengajaan serta terdapat dugaan adanya tindak pidana kepabeanan, dilakukan penanganan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepebeanan. |
Bagian Keempat
Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM)
(1) | Untuk penghitungan bea masuk, Cukai untuk pemasukan barang kena cukai dari luar Daerah Pabean yang pelunasan cukainya dengan pembayaran, dan Pajak Penghasilan Pasal 22, dipergunakan Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) yang berlaku pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan ke Kantor Pabean. |
(2) | Pemberitahuan Pabean yang didaftarkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pemberitahuan Pabean yang telah diisi secara lengkap dan benar, dan telah diterima oleh Pejabat Bea dan Cukai atau SKP di Kantor Pabean. |
(3) | Tata cara penghitungan Nilai Dasar Penghitungan Bea Masuk (NDPBM) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai nilai tukar mata uang yang digunakan untuk perhitungan dan pembayaran bea masuk. |
Bagian Kelima
Pembayaran Bea Masuk, Bea Keluar, Cukai, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau Sanksi Administrasi Berupa Denda
(1) | Pengusaha melakukan pembayaran bea masuk, bea keluar, PPN, Pajak Penghasilan Pasal 22, Cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda berdasarkan:
|
||||||
(2) | Untuk melakukan pembayaran bea masuk, bea keluar, PPN, Pajak Penghasilan Pasal 22, Cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda, SKP atau Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan kode billing. |
(1) | Pembayaran bea masuk dan Pajak Penghasilan Pasal 22 sebagaimana dimaksud clalam Pasal 66 ayat (1) dapat dilakukan dengan cara pembayaran tunai atau berkala. | ||||||||||
(2) | Pembayaran bea keluar, Cukai, dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) dilakukan dengan cara pembayaran tunai. | ||||||||||
(3) | Pembayaran bea masuk dan Pajak Penghasilan Pasal 22 secara berkala hanya dapat dilakukan clengan persetujuan Kepala Kantor Pabean berdasarkan permohonan pengusaha untuk:
|
||||||||||
(4) | Pembayaran tunai sebagaimana dimaksucl pada ayat (1) wajib dilakukan paling lambat pada saat Pemberitahuan Pabean didaftarkan. | ||||||||||
(5) | Tata cara pembayaran bea masuk, bea keluar, Cukai, Pajak Penghasilan Pasal 22, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai. |
Bagian Keenam
Keberatan
(1) | Orang atau pengusaha dapat mengajukan keberatan secara tertulis atas penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai mengenai:
|
||||||||
(2) | Tata cara pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberatan di bidang kepabeanan dan Cukai. |
BAB XII
AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI
(1) | Audit kepabeanan dan/atau audit Cukai dilakukan terhadap Orang yang bertindak sebagai:
|
||||
(2) | Audit kepabeanan dan/atau audit Cukai bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/ atau Cukai. | ||||
(3) | Audit kepabeanan dan/atau audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat melibatkan instansi teknis atau Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||
(4) | Tata cara pelaksanaan audit kepabeanan dan/atau audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai audit kepabeanan dan audit Cukai. |
BAB XIII
KETENTUAN LARANGAN DAN PEMBATASAN
(1) | Ketentuan mengenai larangan diberlakukan terhadap:
|
||||||||
(2) | Atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean belum diberlakukan ketentuan pembatasan, kecuali atas pemasukan barang untuk kepentingan perlindungan konsumen atas barang yang diedarkan di Kawasan Bebas, kesehatan, keamanan, dan lingkungan hidup. | ||||||||
(3) | Ketentuan pembatasan diberlakukan atas pengeluaran barang:
|
||||||||
(4) | Terhadap ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikecualikan berdasarkan penetapan Dewan Kawasan. | ||||||||
(5) | Ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dikecualikan atas:
|
||||||||
(6) | Tata cara pemasukan barang ke Kawasan Bebas Sabang dari luar Daerah Pabean yang terkena ketentuan pembatasan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. |
(1) | Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dan ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dan ayat (3) ditetapkan oleh instansi teknis. |
(2) | Menteri teknis/pimpinan lembaga pemerintah non kementerian harus menyampaikan ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (1) dan ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dan (3) kepada Menteri. |
(3) | Pengecualian ketentuan pembatasan yang ditetapkan oleh Dewan Kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (4) harus disampaikan oleh Ketua Dewan Kawasan kepada Menteri. |
(4) | Tata cara pengawasan pemenuhan ketentuan larangan dan pembatasan yang telah disampaikan kepada Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. |
(1) | Pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan atas pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (2) dan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 ayat (3) dapat dilakukan oleh:
|
||||
(2) | Pengusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas perizinan ketentuan pembatasan yang disampaikan dalam Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) atau pemberitahuan lainnya. | ||||
(3) | Pengawasan terhadap pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70 dilakukan berdasarkan pemberitahuan yang disampaikan oleh pengusaha dengan manajemen risiko sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kepabeanan |
(1) | Kendaraan bermotor dapat dimasukkan ke Kawasan Bebas dari:
|
||||||||||
(2) | Jumlah dan jenis kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean ditetapkan oleh Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||||||||
(3) | Kendaraan bermotor dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
||||||||||
(4) | Pengeluaran kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dilakukan terhadap kendaraan bermotor asal tempat penimbunan berikat, kawasan ekonomi khusus, tempat lain dalam Daerah Pabean, atau hasil produksi Kawasan Bebas. | ||||||||||
(5) | Kendaraan bermotor asal luar Daerah Pabean tidak dapat dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean. | ||||||||||
(6) | Pemasukan kendaraan bermotor dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 wajib dikeluarkan kembali ke luar Daerah Pabean. | ||||||||||
(7) | Tata cara pemberian layanan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengeluaran kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) | Terhadap kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) diterbitkan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor. | ||||||||
(2) | Penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan atas:
|
||||||||
(3) | Terhadap pengeluaran kendaraan bermotor dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean diterbitkan Formulir FTZ. | ||||||||
(4) | Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diterbitkan untuk kendaraan bermotor hasil produksi Kawasan Bebas. | ||||||||
(5) | Surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan untuk setiap unit kendaraan bermotor yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dan Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan untuk setiap unit kendaraan bermotor produksi Kawasan Bebas yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas. | ||||||||
(6) | Penyampaian permohonan dan penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan dalam bentuk data elektronik atau tulisan di atas formulir. | ||||||||
(7) | Tata cara penerbitan surat keterangan pemasukan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Formulir FTZ sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) | Terhadap kendaraan bermotor sebagai Sarana Pengangkut berupa angkutan darat asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang:
|
||||
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam hal kendaraan bermotor sebagai Sarana Pengangkut berupa angkutan darat telah memiliki registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor dari Kepolisian Negara Republik Indonesia di tempat lain dalam Daerah Pabean. |
BAB XV
BARANG YANG DIBAWA OLEH PENUMPANG DAN AWAK SARANA PENGANGKUT
(1) | Barang yang dibawa oleh penumpang atau awak Sarana Pengangkut terdiri atas:
|
||||||||
(2) | Barang pribadi penumpang atau barang pribadi awak Saran.a Pengangkut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas barang yang diperoleh dari:
|
(1) | Terhadap pemasukan barang bawaan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, diberikan pembebasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
(2) | Terhadap pemasukan barang bawaan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a berupa barang kena cukai ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean, diberikan pembebasan sampai dengan jumlah tertentu. |
(3) | Terhadap barang bawaan pribadi berupa barang kena cukai dari luar Daerah Pabean yang melebihi jumlah tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas kelebihan jumlah tersebut langsung dimusnahkan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan atau tanpa disaksikan penumpang atau awak Sarana Pengangkut yang bersangkutan. |
(1) | Terhadap pengeluaran barang bawaan pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf a dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, diberikan pembebasan sampai dengan nilai tertentu. | ||||||
(2) | Terhadap pengeluaran barang bawaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) huruf b dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, berlaku ketentuan pengeluaran barang dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) huruf e. | ||||||
(3) | Terhadap barang bawaan Penumpang atau Awak Sarana Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) asal tempat lain dalam Daerah Pabean yang dibawa oleh penumpang atau awak Sarana Pengangkut yang akan melanjutkan kembali perjalanan melalui Kawasan Bebas ke Kawasan Bebas lain atau tempat lain dalam Daerah Pabean, tidak dipungut bea masuk dan pajak dalam rangka pengeluaran barang dari Kawasan Bebas. | ||||||
(4) | Terhadap pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penumpang atau awak Sarana Pengangkut memberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai disertai dengan bukti-bukti. | ||||||
(5) | Terhadap barang bawaan penumpang atau awak Sarana Pengangkut berupa barang konsumsi dalam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai. | ||||||
(6) | Untuk kepentingan pengawasan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas pengeluaran barang konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||||
(7) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan berdasarkan:
|
||||||
(8) | Terhadap barang penumpang, atau barang awak Sarana Pengangkut yang:
|
(1) | Barang bawaan penumpang atau awak Sarana Pengangkut yang akan meninggalkan Kawasan Bebas menuju luar Daerah Pabean berupa:
|
||||||||
(2) | Atas barang bawaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, wajib diberitahukan dengan menyampaikan Pemberitahuan Pabean dan meng1s1 formulir pembawaan uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain. |
(1) | Tata cara:
|
||||||
(2) | Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang penumpang atau awak Sarana Pengangkut ke dan dari Kawasan Bebas, dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) | Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dapat dilakukan melalui Barang Kiriman. | ||||||||
(2) | Pemasukan dan pengeluaran barang melalui Barang Kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Penyelenggara Pos. | ||||||||
(3) | Penyelenggara Pos sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||||||
(4) | Barang Kiriman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimasukkan ke Kawasan Bebas dari atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke:
|
||||||||
(5) | Pemasukan Barang Kiriman ke atau pengeluaran Barang Kiriman dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diberitahukan dengan:
|
||||||||
(6) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2). | ||||||||
(7) | Orang atau pengusaha yang memasukkan atau mengeluarkan barang melalui Barang Kiriman bertanggung jawab atas pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), pemenuhan kewajiban pabean serta pemenuhan ketentuan pembatasan. |
(1) | Pemasukan Barang Kiriman ke Kawasan Bebas dari:
|
||||||||
(2) | Pemasukan Barang Kiriman berupa barang kena cukai dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas, diberikan pembebasan bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan cukai untuk setiap alamat penerima kiriman sampai dengan jumlah tertentu. | ||||||||
(3) | Pengeluaran Barang Kiriman asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, dapat diberikan pembebasan bea masuk sampai dengan nilai tertentu. | ||||||||
(4) | Pengeluaran Barang Kiriman asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus, diberikan perlakuan kepabeanan sesuai ketentuan perat(iran perundang undangan mengenai tempat penimbunan berikat atau kawasan ekonomi khusus. | ||||||||
(5) | Pengeluaran Barang Kiriman yang:
|
||||||||
(6) | Terhadap barang kiriman berupa barang konsumsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5), diberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai. | ||||||||
(7) | Untuk kepentingan pengawasan, Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan pemeriksaan atas pengeluaran barang konsumsi sebagaimana dimaksud pada ayat (6). | ||||||||
(8) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan:
|
||||||||
(9) | Terhadap kiriman yang:
|
(1) | Dalam hal Barang Kiriman sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 81 ayat (4) wajib memenuhi ketentuan pembatasan di bidang impor, Pejabat Bea dan Cukai yang menangani Barang Kiriman dan/ atau SKP memberitahukan kepada Pengusaha dan/ atau Penyelenggara Pos agar menyampaikan Dokumen Pelengkap Pabean pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan dalam bentuk data elektronik melalui sistem PDE kepabeanan. |
(2) | Penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean, penyelesaian atas tagihan surat penetapan pembayaran bea masuk, cukai, pendapatan pajak (SPPBMCP), dan/ atau pemenuhan kewajiban ketentuan pembatasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan sebelum pengeluaran barang. |
(1) | Terhadap pengeluaran Barang Kiriman asal luar Daerah Pabean dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilakukan penelitian dan dite.tapkan tarif dan nilai pabeannya. | ||||||||||||
(2) | Terhadap pengeluaran Barang Kiriman dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dapat dilakukan pemeriksaan fisik secara selektif berclasarkan manajemen risiko. | ||||||||||||
(3) | Penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menangani Barang Kiriman dan/ atau SKP dengan menerbitkan Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/ atau Pajak (SPPBMCP). | ||||||||||||
(4) | Terhadap penetapan tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pejabat yang menangani pelayanan Barang Kiriman menerbitkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) setelah pengirim Barang Kiriman melunasi bea masuk dan pajak dalam rangka pengeluaran barang ke tempat lain dalam Daerah Pabean. | ||||||||||||
(5) | Penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang kiriman dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(6) | Penyelenggara Pos dapat mengajukan permohonan pembatalan pemasukan dan/ atau pengeluaran barang kiriman serta pembatalan Consignmet Note sepanjang belum dilakukan penetapan tarif dan nilai pabean. | ||||||||||||
(7) | Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai dapat melakukan penetapan kembali tarif dan nilai pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas penetapan Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/ atau Pajak (SPPBMCP) sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||||||
(8) | Penetapan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai:
|
(1) | Dalam rangka percepatan serta peningkatan pelayanan dan pengawasan kepabeanan atas pemasukan barang ke atau pengeluaran barang dari Kawasan Bebas melalui barang kiriman, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dapat melakukan kemitraan dengan pihak lain. | ||||||
(2) | Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai:
|
||||||||||||||||||
(2) | Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang melalui Barang Kiriman, dilaksanakan dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
BAB XVII
NOMOR INDUK BERUSAHA DAN AKSES KEPABEANAN
(1) | Pengangkut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dan pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) wajib memiliki nomor induk berusaha yang juga berlaku sebagai akses kepabeanan. |
(2) | Tata cara untuk memperoleh nomor induk berusaha dan akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan. |
BAB XVIII
KEMASAN YANG DIPAKAI BERULANG-ULANG
(RETURNABLE PACKAGE)
(1) | Pemasukan dan/atau pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) ke atau dari Kawasan Bebas dapat dilakukan oleh pengusaha setelah mendapat izin dari Kepala Kantor Pabean. | ||||||||
(2) | Kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kemasan yang berasal dari luar Daerah Pabean atau dari tempat lain dalam Daerah Pabean, yang digunakan atau akan digunakan dalam rangka pengangkutan dan/atau pengemasan barang ke dan/atau dari Kawasan Bebas secara berulang-ulang. | ||||||||
(3) | Izin dari Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan sepanjang memenuhi persyaratan:
|
||||||||
(4) | Terhadap pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (returnable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikecualikan dari ketentuan menyerahkan Pemberitahuan Pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2). | ||||||||
(5) | Penyampaian permohonan, pemberian izin, dan pelayanan pemasukan dan pengeluaran kemasan yang dipakai berulang-ulang (retuniable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam bentuk data elektronik atau tulisan di atas formulir. | ||||||||
(6) | Tata cara pemasukan dan/atau pengeluaran penggunaan kemasan yang dipakai berulang-ulang (retuniable package) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
BAB XIX
TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK PENGELOLAAN PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BARANG
(IT INVENTORY)
(1) | Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) harus dimiliki dan didayagunakan oleh:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa subsistem dari sistem informasi akuntansi yang akan menghasilkan informasi laporan terkait pemasukan dan pengeluaran barang. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Teknologi informasi untuk pengelolaan· pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memenuhi kriteria:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pegeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dimiliki dan didayagunakan oleh pengusaha sebelum melakukan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas, atau paling lambat 6 (enam) bulan sejak Peraturan Menteri ini mulai berlaku. |
(1) | Barang yang dimasukkan ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan sanksi berupa:
|
||||||||
(2) | Terhadap pengusaha yang melakukan pemasukan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi berupa:
|
||||||||
(3) | Sanksi berupa pemblokiran sebaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dilakukan berdasarkan:
|
||||||||
(4) | Atas pemblokiran Akses Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat dilakukan pembukaan pemblokiran berdasarkan rekomendasi unit internal yang merekomendasikan pemblokiran setelah terpenuhinya sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||
(5) | Atas pemblokiran akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana huruf b yang dilakukan berdasarkan rekomendasi dari Badan Pengusahaan Kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, dapat dilakukan pembukaan pemblokiran berdasarkan rekomendasi Badan Pengusahaan Kawasan. | ||||||||
(6) | Pengeluaran kembali atau pemusnahan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c dilakukan dan dibiayai oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang memasukkan barang ke Kawasan Bebas dengan di bawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. | ||||||||
(7) | Hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan dengan pernyataan hibah dari pengusaha kepada negara melalui Kepala Kantor Pabean. | ||||||||
(8) | Kepala Kantor Pabean berdasarakan surat pernyataan hibah sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menetapkan barang tersebut menjadi barang yang menjadi milik negara. | ||||||||
(9) | Tata cara mengenai:
|
||||||||
(10) | Tata cara pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan pemblokiran berdasarkan tindakan mandiri Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyederhanaan registrasi kepabeanan. | ||||||||
(11) | Penyelesaian barang milik negara sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penyelesaian terhadap barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara. |
(1) | Barang yang dilarang atau dibatasi untuk dimasukkan dari luar Daerah Pabean ke Kawasan Bebas atau dikeluarkan dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean, yang telah diberitahukan dengan Pemberitahuan Pabean atau telah diajukan pemberitahuan/ dokumen penyelesaian kewajiban pabean, atas permintaan pengusaha yang telah mendapatkan 1zm usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan:
|
||||||
(2) | Barang yang dilarang atau dibatasi untuk:
yang tidak diberitahukan atau diberitahukan secara tidak benar ditetapkan sebagai barang yang dikuasai negara, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
||||||
(3) | Pengawasan dan penatausahaan barang yang dilarang atau dibatasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan. |
(1) | Pembongkaran barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) yang dilakukan di:
|
||||
(2) | Pemuatan barang yang akan dikeluarkan dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) yang dilakukan di:
|
(1) | Tata cara pengenaan sanksi administrasi berupa denda dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. | ||||
(2) | Dikecualikan dari pengenaan sanksi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas:
|
(1) | Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) yang belum memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran barangnya ke dan dari Kawasan Bebas tidak dilayani. |
(2) | Terhadap pengusahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (1) yang telah memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (2) namun saat pengeluaran barang dari Kawasan Bebas tidak melampirkan dan/atau tidak dapat membuktikan dokumen Pemberitahuan Pabean pemasukan barang ke Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (2), atas kegiatan pengeluaran barangnya dari Kawasan Bebas tersebut tidak dilayani. |
(3) | Terhadap pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1) yang telah memiliki dan mendayagunakan teknologi informasi untuk pengelolaan pemasukan dan pengeluaran barang (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) namun terbukti melakukan kegiatan pengeluaran barang konsumsi untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4), atas pengusaha dimaksud dilakukan dikenakan sanksi pembekuan perizinan berusaha oleh Badan Pengusahaan Kawasan dan/atau pemblokiran akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) atas kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas. |
Tata cara yang berkaitan dengan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas mengenai:
a. | bea masuk anti dumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan; |
b. | tidak dipungut bea masuk, pembebasan bea masuk, keringanan bea masuk, dan pengembalian bea masuk; |
c. | tanggung jawab bea masuk; |
d. | pembayaran, penagihan utang, dan jaminan; |
e. | pembukuan; |
f. | penangguhan impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual, dan penindakan atas barang yang terkait terorisme dan/ atau kejahatan lintas negara; |
g. | barang yang dinyatakan tidak dikuasai, barang yang dikuasai negara, dan barang yang menjadi milik negara; |
h. | ketentuan pidana; dan |
i. | penyidikan, |
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan Cukai.
Tata cara pemasukan dan pengeluaran barang kena cukai ke dan dari Kawasan Bebas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Tata cara angkut terus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai angkut terus atau angkut lanjut barang impor atau barang ekspor.
(1) | Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang menerima pelimpahan wewenang yang dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3):
|
||||||
(2) | Dalam hal Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud ayat (1) berhalangan sementara atau tetap, wewenang yang diterima dapat dilakukan oleh pejabat pelaksana harian (Plh) atau pejabat pelaksanan tugas (Plt) yang ditunjuk. | ||||||
(3) | Pejabat pelaksanan harian (Plh) atau pejabat pelaksana tugas (Plt) yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bertanggung jawab secara substansi atas pelimpahan wewenang yang diberikan kepada yang bersangkutan. |
(1) | Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pengusaha yang melakukan kegiatan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas. | ||||
(2) | Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan terhadap:
|
||||
(3) | Kegiatan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditemukan adanya indikasi pelanggaran atau penyalahgunaan terhadap ketentuan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak dapat merekomendasikan untuk dilakukan audit dan/atau penelitian lebih lanjut oleh unit pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/ atau Direktorat Jenderal Pajak yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang pengawasan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, perpajakan, dan/atau Cukai. |
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. | terhadap kendaraan bermotor asal luar Daerah Pabean yang telah dimasukkan ke Kawasan Bebas sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (5); |
2. | pelayanan dan pengawasan atas pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Bebas dapat dilakukan dengan sistem layanan elektronik yang terhubung dengan ekosistem logistik kawasan bebas sebagai bagian dari Ekosistem Logistik Nasional (National Logistic Ecosystem/NLE) melalui Indonesia National Single Window (INSW) yang diwajibkan pemerintah untuk percepatan logistik nasional, dalam hal telah tersedia; |
3. | keputusan atau penetapan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47 /PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, dinyatakan masih tetap berlaku; |
4. | keputusan sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang terkait dengan pengeluaran sementara barang dalam jangka waktu tertentu dan untuk tujuan tertentu dari Kawasan Bebas ke tempat lain dalam Daerah Pabean yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47 /PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, sepanjang belum jatuh tempo pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, jangka waktunya dapat dilakukan perpanjangan berdasarkan Peraturan Menteri ini; dan |
5. | seluruh permohonan atau penelitian yang telah diajukan atau dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang Ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan Dari Kawasan yang Telah Ditetapkan Sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai, namun belum mendapatkan penetapan atau keputusan pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, pemrosesan, penetapan, atau keputusannya dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini. |
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 331) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.04/2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 47/PMK.04/2012 tentang Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang Telah Ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dan Pembebasan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 613), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 1 April 2021 MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
|
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 1 April 2021
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2021 NOMOR 314
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.