Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
PER - 23 /BC/2018
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR
PER - 23 /BC/2018

TENTANG

PEDOMAN PENATAUSAHAAN PIUTANG DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang :   
  1. bahwa ketentuan mengenai pedoman penatausahaan Piutang di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor P-47/BC/2010 tentang Pedoman Penatausahaan Piutang di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-31/BC/2013 tentang Perubahan Kedua Atas P-47/BC/2010 tentang Pedoman Penatausahaan Piutang di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  2. bahwa telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 tentang perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.04/2016 tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman tentang Ketentuan Impor Barang Kiriman yang mengatur tentang dokumen dasar pembayaran berupa SPPBMCP;
  3. bahwa telah diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.04/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/ atau Cukai yang menghapus ketentuan terkait STCK-3 dan menambahkan ketentuan terkait Putusan Banding dan Peninjauan Kembali;
  4. bahwa untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam rangka melaksanakan penatausahaan Piutang di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta dalam  rangka  mewujudkan  simplifikasi  peraturan, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai pedoman penatausahaan Piutang di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Tentang Pedoman Penatausahaan Piutang Di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai;

Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan  atas  Undang-Undang  Nomor 10  Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);
  3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3686) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk dan/ atau Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.04/2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.04/2013 tentang Tata Cara Penagihan Bea Masuk Dan/ Atau Cukai;
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.05/2013 tentang Sistem Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.05/2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.05/2013 tentang Sistem Akuntansi Dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang Dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih Pada Kementerian Negara/Lembaga Dan Bendahara Umum Negara;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PEDOMAN PENATAUSAHAAN PIUTANG DI LINGKUNGAN DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
  1. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  2. Pejabat Bea dan Cukai adalah Pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
  3. Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah Kantor di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, yang terdiri atas:
    1. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; atau
    2. Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya.
  4. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  5. Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  6. Piutang Pajak yang selanjutnya disebut Piutang adalah Piutang yang timbul atas pendapatan pajak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perpajakan, yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode laporan.
  7. Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
  8. Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
  9. Arsip Data Elektronik yang selanjutnya disingkat ADE adalah Arsip dalam bentuk Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya.
  10. Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
  11. Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang adalah dokumen sumber atau bukti awal yang diakui sehingga timbul kewajiban membayar sebagai akibat suatu penetapan, mendapat kemudahan penundaan pembayaran atau mendapat kemudahan pembayaran secara berkala.
  12. Dokumen Sumber Mutasi Piutang adalah dokumen sumber atau bukti yang dapat mengakibatkan penambahan atau pengurangan atas Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang.
  13. Basis Akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.
  14. Kualitas Piutang adalah hampiran atas ketertagihan Piutang yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh debitur.
  15. Debitur adalah badan atau orang yang berutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun.
  16. Penatausahaan Piutang adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan dalam rangka pengelolaan Piutang di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  17. Validasi Piutang yang selanjutnya disebut dengan Validasi adalah serangkaian kegiatan memastikan kesesuaian pencatatan saldo awal Piutang tahun berjalan dengan saldo akhir Piutang tahun sebelumnya, koreksi Piutang, Piutang terbit, mutasi Piutang, dan salqo akhir Piutang tahun berjalan.
  18. Satuan Kerja adalah Kuasa Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang yang merupakan bagian dari suatu unit organisasi pada Kementerian Negara/Lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.

BAB II
RUANO LINGKUP DAN METODE PENCATATAN PENGAKUAN PIUTANG

Pasal 2

(1) Penatausahaan Piutang meliputi kegiatan:
  1. pengadministrasian Dokumen Sumber;
  2. penyisihan dan pelimpahan Piutang;
  3. validasi;
  4. pelaporan Piutang; dan
  5. proses akuntansi,
di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Penatausahaan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang atas:
  1. Bea Masuk;
  2. Bea Keluar;
  3. Cukai;
  4. Denda Administrasi;
  5. Bunga;
  6. Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
  7. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM); dan
  8. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22).


Pasal 3

(1) Basis akuntansi yang digunakan untuk pengakuan aset berupa Piutang menggunakan basis akrual.
(2) Piutang diakui saat diterbitkan Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang.


BAB III
DOKUMEN SUMBER PENATAUSAHAAN PIUTANG

Pasal 4

(1) Piutang sebagaimana dimaksud  pada pasal 2 ayat (2) harus didukung oleh Dokumen Sumber.
(2) Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Dokumen Sumber Awai Terbit Piutang dan Dokumen Sumber Mutasi Piutang.
(3) Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
  1. dokumen impor, yaitu:
    1. pemberitahuan pabean impor dengan penundaan pembayaran pungutan negara berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan fasilitas pembayaran berkala;
    2. dokumen pelengkap pabean dengan penundaan pembayaran pungutan Negara, antara lain terdiri dari:
      a) dokumen pelengkap pabeanuntukpengeluaran barang impor untuk dipakai dengan menggunakan jaminan (vooruitslag); dan/atau 
      b) dokumen pelengkap pabean untuk pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan pelayanan segera (rush handling).
    3. Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai dan/atau Pajak (SPPBMCP);
    4. Surat Penetapan Tarif dan  Nilai Pabean (SPTNP);
    5. Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean (SPKTNP);
    6. Surat Penetapan Pabean (SPP);
    7. Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA);
    8. surat keputusan Direktur Jenderal atas keberatan;
    9. putusan banding Pengadilan Pajak; dan/atau
    10.  putusan peninjauan kembali,
  2. dokumen ekspor, yaitu:
    1. pemberitahuan pabean ekspor dengan mendapatkan penundaan pembayaran pungutan negara;
    2. Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK);
    3. Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK);
    4. surat keputusan Direktur Jenderal atas keberatan;
    5. putusan banding Pengadilan Pajak; dan/atau
    6. putusan peninjauan kembali. 
  3. dokumen atas kegiatan di bidang cukai, yaitu:
    1. dokumen pemesanan pita cukai hasil tembakau (CK-1) dengan fasilitas penundaan pembayaran;
    2. dokumen pemesanan pita cukai MMEA impor (CK-lA) dengan fasilitas pembayaran berkala;
    3. pemberitahuan mutasi barang kena cukai (CK-5) dengan fasilitas pembayaran berkala;
    4. surat tagihan cukai (STCK-1);
    5. Surat Pemberitahuan Pengenaan Biaya Pengganti (SPPBP);
    6. surat keputusan Direktur Jenderal atas keberatan;
    7. putusan banding Pengadilan Pajak; dan/ atau
    8. putusan peninjauan kembali.
(4) Dokumen Sumber Mutasi Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
  1. Bukti Penerimaan Negara (BPN);
  2. Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI);
  3. penagihan cukai/denda administrasi (STCK-1);
  4. surat teguran cukai (STCK-2);
  5. Surat Penetapan Kelebihan Pembayaran Cukai (SPKPC)
  6. tanda bukti perusakan pita cukai (CK-2);
  7. tanda bukti penerimaan pengembalian pita cukai (CK-3);
  8. surat keputusan Direktur Jenderal atas keberatan;
  9. surat keputusan Direktur Jenderal atas penundaan pelunasan kekurangan pembayaran bea masuk dan/ atau sanksi administrasi berupa denda;
  10. surat keputusan Direktur Jenderal atas pengangsuran pembayaran tagihan utang cukai yang tidak dibayar pada waktunya, kekurangan cukai, dan/atau sanksi administrasi berupa denda di bidang cukai;
  11. putusan Pengadilan Pajak;
  12. surat persetujuan Direktur Jenderal untuk membatalkan surat penetapan;
  13. surat teguran;
  14. surat peringatan;
  15. surat paksa;
  16. surat keputusan tentang pembebasan atau keringanan bea masuk;
  17. putusan peninjauan kembali; dan/ atau
  18. tanda terima pengembalian barang kiriman un tuk 1mpor barang melalui penyelenggara pos yang ditunjuk.
 

BAB IV
PENGADMINISTRASIAN DOKUMEN SUMBER

Pasal 5

(1) Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) diadministrasikan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menangani perbendaharaan di Kantor Pelayanan.
(2) Proses administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mencatat Dokumen Sum ber ke dalam daftar Piutang, melakukan Validasi dan mengarsipkannya.


Pasal 6

(1) Piutang dicatat sebesar nilai yang tercantum pada Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang.
(2) Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertambah atau berkurang dalam hal terdapat:
  1. pembayaran/ pelunasan;
  2. penundaan pelunasan Piutang;
  3. pengangsuran pembayaran tagihan utang cukai;
  4. pengalihan Piutang pajak ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
  5. penggunaan kompensasi cukai;
  6. penggunaan kompensasi PPN;
  7. keputusan Direktur Jenderal atas keberatan;
  8. putusan banding Pengadilan Pajak;
  9. pembatalan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk menambah, mengurangi dan menghapus tagihan dalam surat penetapan;
  10. pembatalan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk mengurangi atau menghapus sanksi administrasi berupa denda;
  11. keputusan tentang pembebasan atau keringanan bea masuk;
  12. putusan Peninjauan Kembali; dan/atau
  13. pengembalian barang kiriman untuk impor barang melalui Penyelenggara Pas Yang Ditunjuk.
(3) Dalam hal terdapat penambahan atau pengurangan Piutang, pencatatan dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi jumlah akun Piutang sebesar selisihnya.
(4) Penambahan atau pengurangan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didukung oleh Dokumen Sumber Mutasi Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(5) Dokumen Sumber Mutasi Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf e, huruf f, dan huruf g diperhitungkan bila digunakan untuk mengurangi Piutang dari:
  1. Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau (CK-1) dengan fasilitas penundaan pembayaran;
  2. Pemesanan Pita Cukai MMEA Impor (CK-lA) dengan fasilitas pembayaran berkala; dan
  3. Pemberitahuan Mutasi Barang Kena Cukai (CK-5) dengan fasilitas pembayaran berkala.


Pasal 7

(1) Pencatatan Dokumen Sumber ke dalam daftar Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dilaksanakan dengan menggunakan Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP).
(2) Pencatatan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penetapan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah diterbitkan Dokumen Sumber.
(3) Dalam hal terjadi gangguan jaringan pada Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP), pencatatan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP) berfungsi kembali.
(4) Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
  1. pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya yaitu Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi:
    1) penindakan dan penyidikan;
    2) pelayanan kepabeanan dan cukai; dan/ atau
    3) perbendaharaan.
  2. pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yaitu Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi:
    1) penindakan dan penyidikan;
    2) pelayanan kepabeanan dan cukai;
    3) fasilitas kepabeanan;
    4) bimbingan kepatuhan dan layanan informasi;
    5) pelayanan perbendaharan; dan/ atau
    6) pelayanan keberatan.
  3. pada Kantor Wilayah yaitu Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi:
    1) penindakan dan penyidikan;
    2) fasilitas kepabeanan;
    3) kepabeanan dan cukai; dan/ atau
    d) keberatan.
  4. pada Kantor Pusat yaitu Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi:
    1) audit; dan/ atau
    2) keberatan.
(5) Hasil dari pencatatan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) direkapitulasi dan dimonitor setiap bulan oleh :
  1. Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi perbendaharaan pada Kantor Pelayanan; dan
  2. Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi di bidang kepabeanan dan cukai pada Kantor Wilayah.
(6) Dalam hal proses pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dilakukan secara otomatis dengan dukungan aplikasi kepabeanan dan cukai atau aplikasi lainnya, Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) tidak melakukan pencatatan Dokumen Sumber ke dalam Sistem Aplikasi Piutang dan Pen.gembalian (SAPP).
(7) Dalam hal menu dalam Sistem  Aplikasi  Piutang  dan Pengembalian (SAPP) belum tersedia, pencatatan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan mencatat secara manual kedalam daftar Piutang.


Pasal 8

(1) Dokumen Sumber dan ADE diarsipkan/disimpan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menangani perbendaharaan dalam tempat penyimpanan khusus.
(2) Pengarsipan  dilakukan  dengan  mengelompokkan  Arsip sesuai dengan jenis dokumen sumber, dan tanggal penerbitan dokumen sumber.
(3) Dokumen hasil cetak ADE merupakan dokumen yang sah sebagai Dokumen Sumber.


BAB V
PENYISIHAN DAN PELIMPAHAN PIUTANG

Pasal 9

(1) Untuk menjaga nilai Piutang di neraca agar sama dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan, maka harus dilakukan penyisihan Piutang tidak tertagih.
(2) Penyisihan Piutang tidak tertagih di Kantor Pelayanan harus dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan melakukan:
  1. penilaian Kualitas Piutang; dan
  2. pemantauan dan pengambilan langkah-langkah yang diperlukan agar hasil penagihan Piutang yang telah disisihkan senantiasa dapat direalisasikan.
(3) Penilaian Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan mempertimbangkan:
  1. jatuh tempo Piutang; dan
  2. upaya penagihan.
(4) Penilaian Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengelompokkan Piutang berdasarkan:
  1. umur Piutang;
  2. status Debitur; dan
  3. status pelimpahan proses penagihan Piutang,
sejak timbulnya Piutang sampai dengan akhir periode pelaporan.
(5) Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan dalam 4 (empat) golongan, yaitu:
  1. lancar;
  2. kurang lancar;
  3. diragukan; dan
  4. macet.


Pasal 10

(1) Kualitas Piutang lancar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf a ditetapkan apabila umur Piutang kurang dari atau sama dengan 1 (satu) tahun.
(2) Kualitas Piutang kurang lancar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf b ditetapkan apabila umur Piutang lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun.
(3) Kualitas Piutang diragukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf c ditetapkan apabila umur Piutang lebih dari 2 (dua) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun.
(4) Kualitas Piutang macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (5) huruf d ditetapkan apabila:
  1. umur Piutang lebih dari 3 (tiga) tahun;
  2. proses penagihan telah dilimpahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL); dan/atau
  3. debitur:
    1) meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan, dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak ditemukan, dalam hal debitur merupakan perseorangan;
    2) bubar, likuidasi, atau pailit, dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, atau pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan; dan/ atau
    3) tidak memiliki harta kekayaan lagi


Pasal 11

(1) Penyisihan Piutang tidak tertagih sebesar:
  1. 5‰ (lima permil) dari Piutang dengan kualitas lancar;
  2. 10% (sepuluh perseratus) dari Piutang dengan kualitas kurang lancar setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan;
  3. 50% (lima puluh perseratus) dari Piutang dengan kualitas diragukan setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan; dan
  4. 100% (seratus perseratus) dari Piutang dengan kualitas macet setelah dikurangi dengan nilai agunan atau nilai barang sitaan.
(2) Tata cara penyisihan Piutang tidak tertagih sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Kualitas Piutang kementerian negara/lembaga dan pembentukan penyisihan Piutang tidak tertagih.


Pasal 12

(1) Penyisihan Piutang tidak tertagih bukan merupakan penghapusan Piutang, tetapi merupakan koreksi agar nilai Piutang dapat disajikan di neraca sesuai dengan nilai yang diharapkan dapat ditagih.
(2) Penyajian penyisihan Piutang tidak tertagih di neraca merupakan unsur pengurang dari Piutang yang bersangkutan.
(3) Informasi mengenai akun penyisihan Piutang tidak tertagih harus diungkapkan dalam catatan atas laporan keuangan.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud  pada ayat (3) berupa rincian saldo penyisihan Piutang yang terdiri dari:
  1. jumlah Piutang awal;
  2. jumlah penyisihan;
  3. dasar penyisihan; dan
  4. informasi lainnya.


Pasal 13

(1) Piutang yang tidak dapat ditagih oleh Kantor Pelayanan, proses penagihannya dapat dilirnpahkan ke:
  1. Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL); a tau
  2. Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
(2) Piutang yang proses penagihannya dilirnpahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagairnana dirnaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas Piutang bea keluar dan Surat Pernberitahuan Pengenaan Biaya Pengganti (SPPBP).
(3) Piutang yang proses penagihannya dilirnpahkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagairnana dirnaksud pada ayat
(1) huruf b terdiri atas Piutang PPN, PPnBM dan PPH Pasal 22 beserta bunganya.


Pasal 14


(1) Piutang yang proses penagihannya dilirnpahkan ke Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) sebagairnana dimaksud pada Pasal 13 ayat (1) huruf a dicatat dalarn neraca laporan keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagai Piutang dalarn aset lancar.
(2) Piutang yang proses penagihannya dilirnpahkan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b tidak dicatat dalam neraca laporan keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.


BAB VI
VALIDASI

Pasal 15

(1) Validasi dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menangani perbendaharaan di Kantor Pelayanan dengan menggunakan Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP) sebagai sumber data.
(2) Proses Validasi dilakukan dengan tujuan untuk meyakinkan bahwa data Piutang yang dicatat telah sesuai.
(3) Proses Validasi dilakukan dengan cara meneliti data secara detail dari daftar Piutang dan membandingkan dengan Dokumen Sumber dan/ atau data lainnya.
(4) Dalam hal Validasi data yang telah dicatat mendapatkan hasil yang meragukan, maka Pejabat Bea dan Cukai yang menangani perbendaharaan di Kantor Pelayanan melakukan konfirmasi kepada Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penetapan/menerbitkan Dokumen Sumber dan/atau konfirmasi kepada Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan pencatatan Dokumen Sumber.


Pasal 16

(1) Untuk menjaga kualitas validitas laporan Piutang, maka dilakukan Validasi data Piutang paling sedikit setiap 6 (enam) bulan.
(2) Validasi data Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. validasi internal, yaitu Validasi data Piutang yang dilakukan dengan unit-unit dalam Satuan Kerja; dan
  2. validasi eksternal, yaitu Validasi data Piutang yang dilakukan dengan Satuan Kerja lainnya.
(3) Validasi data Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat( 1) dilakukan dengan mencocokkan data Piutang yang tersaji dalam laporan Piutang, daftar outstanding Piutang serta dokumen pendukungnya berupa Dokumen Sumber, ADE dan data lainnya yang mendukung.
(4) Dalam hal diperlukan untuk melaksanakan proses Validasi data Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta menghitung dan menguji penghitungan saldo akhir Piutang, dapat digunakan suatu kertas kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Hasil validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penerimaan dan penagihan dalam bentuk Laporan Hasil Validasi Data Piutang.
(6) Bentuk dan isi Laporan Hasil Validasi Data Piutang sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

 
Pasal 17

Validasi data Piutang dilakukan sesuai prosedur sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
 

BAB VII
PELAPORAN PIUTANG

Pasal 18

(1) Pelaporan Piutang dilakukan untuk tujuan:
  1. monitoring proses penagihan; dan
  2. penyusunan laporan keuangan.
(2) Pelaporan Piutang untuk kepentingan monitoring proses penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dilakukan oleh:
  1. Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi perbendaharaan pada Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya;
  2. Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi perbendaharaan pada Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai; dan
  3. Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi di bidang kepabeanan dan cukai pada Kantor Wilayah.
(3) Pelaporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat paling lambat tanggal 10 setiap bulan dengan menyampaikan laporan Piutang, daftar outstanding Piutang bulan sebelumnya beserta ADE kepada Kantor Wilayah.
(4) Pelaporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf c dibuat paling lambat dalam 5 (lima) hari kerja terhitung setelah dilakukan Validasi data Piutang periode triwulanan dengan menyampaikan laporan Piutang, daftar outstanding Piutang beserta ADE kepada Direktur yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang penerimaan dan penagihan.
(5) Penyampaian laporan Piutang dan daftar outstanding Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan melalui:
  1. surat elektronik (email); dan / atau
  2. Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP).
(6) Pelaporan Piutang untuk kepentingan penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi perbendaharaan pada Kantor Pelayanan.
(7) Pelaporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat paling lambat tanggal 10 setiap bulan dengan mengirim laporan Piutang dan daftar outstanding Piutang bulan sebelumnya beserta ADE kepada Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi keuangan pada Kantor Pelayanan.
(8) Dalam hal menu dalam Sistem Aplikasi Piutang dan Pengembalian (SAPP) belum tersedia, pelaporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membuat laporan Piutang dan daftar outstanding sesuai bentuk, isi dan petunjuk pengisian sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


BAB VIII
PROSES AKUNTANSI

Pasal 19

(1) Pelaksanaan kegiatan penatausahaan Piutang di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus berdasarkan pada Sistem Akuntansi Keuangan (SAK).
(2) Pejabat Bea dan Cukai yang melaksanakan fungsi keuangan bertanggung jawab atas kegiatan akuntansi Piutang yang merupakan salah satu bagian dari Sistem Akuntansi Keuangan (SAK).
(3) Kegiatan akuntansi Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dimulai dari pembuatan kertas kerja bantu Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA), melakukan perekaman data, melakukan posting, membuat penjelasan atas akun Piutang dalam catatan atas laporan keuangan, serta melaporkan kepada unit akuntansi yang lebih tinggi.
(4) Kertas kerja bantu Unit Akuntansi Kuasa Pengguna Anggaran (UAKPA) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat berdasarkan Laporan Piutang sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1).
(5) Perekaman data saldo Piutang ke dalam Sistem Akuntansi Keuangan (SAK) dilakukan untuk memastikan data yang yang tersaji dalam neraca sesuai dengan saldo akhir Laporan Piutang periode bersangkutan.
(6) Catatan atas Laporan Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun untuk Laporan Keuangan periode semesteran dan tahunan.


Pasal 20

(1) Piutang disajikan di neraca sebagai aset lancar serta dilakukan pengungkapan secara memadai dalam catatan atas laporan keuangan.
(2) Pengungkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
  1. Kebijakan akuntansi yang digunakan dalam penilaian, pengakuan dan pengukuran Piutang yaitu dasar pengakuan timbulnya masing-masing Piutang, dasar yang dijadikan nilai Piutang, penyisihan, pelimpahan Piutang, pelimpahan penagihan dan penghapusan;
  2. Rincian saldo Piutang berdasarkan jenis pajak, status penagihan, jenis dokumen sumber Piutang, umur Piutang dan kualitas Piutang untuk mengetahui tingkat kolektibilitasnya;
  3. Penjelasan atas penyelesaian Piutang (tindakan penagihan) atau penyerahan penagihan Piutang kepada Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL);
  4. Jenis jaminan atau sita jaminan jika ada; dan
  5. Informasi tentang terjadinya perselisihan (sengketa) Piutang yang masih dalam proses sampai dengan periode pelaporan.


Pasal 21

Penatausahaan Piutang di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai  dilakukan sesuai prosedur sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 22

(1) Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai dan/atau Pajak (SPPBMCP) yang terbit sejak 1 Juli 2018, diakui sebagai aset berupa Piutang; dan
(2) Dalam hal terdapat data Piutang hasil Penatausahaan Piutang yang digunakan sebelum berlakunya Peraturan Direktorat Jenderal ini, terhadap data Piutang tersebut tetap disimpan dan dimonitor proses penagihannya.

 
Pasal 23

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal atau Kepala KPUBC dapat menetapkan lebih lanjut petunjuk teknis tentang penatausahaan Piutang sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Direktur Jenderal ini.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 24

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Nomor P-47/BC/2010 tentang Pedoman Penatausahaan Piutang Di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah diubah terakhir dengan PER-31/BC/2013 tentang Perubahan Kedua Atas P-47/BC/2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 25

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.



Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Desember 2018
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

ttd
 
HERU PAMBUDI

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA