Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Piutang adalah piutang dagang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak.
Persediaan Barang Kena Pajak adalah persediaan bahan baku, persediaan bahan pembantu, persediaan barang dalam proses, persediaan barang setengah jadi, dan atau persediaan barang jadi.
BAB II
PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK
(1) |
Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, adalah Pengusaha yang sejak semula bermaksud melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak dan atau ekspor Barang Kena Pajak. |
(2) | Dalam rangka pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak, termasuk dalam pengertian bentuk badan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13 Undang-undang PPN, adalah bentuk kerjasama operasi. |
(3) |
Saat pengukuhan Pengusaha sebagai Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 15 Undang-undang PPN, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000. |
BAB III
IMPOR BARANG KENA PAJAK
Atas impor Barang Kena Pajak yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan Pabean dibebaskan dari pungutan Bea Masuk, Pajak yang terutang tetap dipungut kecuali ditetapkan lain berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
BAB IV
DASAR PENGENAAN PAJAK
(1) |
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak yang terutang. |
(2) |
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut. |
(3) |
Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak selain pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, Dasar Pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasuk Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dikenakan atas perolehan atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut. |
BAB V
PENGHITUNGAN PAJAK
(1) | Dalam kontrak atau perjanjian tertulis mengenai penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, harus disebutkan dengan jelas nilainya, Dasar Pengenaan Pajak, dan besarnya Pajak yang terutang. |
(2) | Apabila dalam nilai kontrak atau perjanjian tertulis telah termasuk Pajak, maka wajib disebutkan dengan jelas bahwa dalam nilai tersebut telah termasuk Pajak. |
(3) | Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tidak dipenuhi, maka jumlah harga yang tercantum dalam kontrak atau perjanjian tertulis tersebut dianggap sebagai Dasar Pengenaan Pajak. |
(1) | Dalam hal Pajak Pertambahan Nilai telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak, maka Pajak Pertambahan Nilai yang terutang adalah 10/110 dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak. | ||||||
(2) | Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan telah menjadi bagian dari harga atau pembayaran atas penyerahan Barang Kena Pajak, maka cara penghitungan Pajaknya adalah sebagai berikut:
t = besarnya tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah
|
||||||
(3) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Pengusaha Kena Pajak tidak atau tidak sepenuhnya melaksanakan kewajiban pemungutan Pajak, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak ditetapkan sebesar Harga Jual, atau Penggantian, atau Nilai Lain sesuai hasil pemeriksaan, sehingga besarnya Pajak yang terutang dihitung berdasarkan tarif dikalikan Dasar Pengenaan Pajak menurut hasil pemeriksaan. | ||||||
(4) | Pengusaha yang seharusnya melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tetapi tidak melaksanakan kewajibannya tersebut, maka besarnya Pajak yang terutang dihitung sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3). |
(1) | Penghapusan piutang tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak penjual atau Pengusaha Kena Pajak pemberi jasa, dan tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya oleh Pengusaha Kena Pajak pembeli atau Pengusaha Kena Pajak penerima jasa. |
(2) | Atas Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak sehingga tidak dapat digunakan lagi baik karena bencana alam ataupun sebab lain di luar kekuasaan Pengusaha Kena Pajak, tidak mengakibatkan dilakukan penyesuaian Pajak yang telah dikreditkan atau yang telah dibebankan sebagai biaya untuk perolehan Barang Kena Pajak yang musnah atau rusak tersebut. |
(3) | Dalam hal terjadi kesalahan pemungutan yang mengakibatkan Pajak yang dipungut lebih besar dari yang seharusnya atau tidak seharusnya dipungut dan Pajak yang salah dipungut tersebut telah disetorkan dan dilaporkan, maka Pengusaha Kena Pajak yang memungut Pajak tersebut tidak dapat meminta kembali Pajak yang salah dipungut tersebut. |
(4) | Pajak yang salah dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapat diminta kembali oleh pihak yang terpungut, sepanjang belum dikreditkan atau belum dibebankan sebagai biaya. |
(5) | Pihak yang terpungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) adalah importir, pembeli barang, penerima jasa, atau pihak yang memanfaatkan barang tidak berwujud atau jasa dari luar Daerah Pabean. |
(1) | Atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Harga Jual. |
(2) | Atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, serta atas pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma, Dasar Pengenaan Pajak dihitung berdasarkan Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. |
(1) | Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran dalam menghitung Pajak yang terutang dapat memilih Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagai Dasar Pengenaan Pajak. |
(2) | Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, atas penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut tidak terutang Pajak Pertambahan Nilai. |
(3) | Pengusaha Kena Pajak Pedagang Eceran yang tidak memilih menggunakan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat penjualan, maka penyerahan Barang Kena Pajak antar tempat penjualan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai. |
Pajak yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai dipungut pada saat pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
(1) | Apabila pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian dilakukan dengan mempergunakan mata uang asing, maka penghitungan besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat pembuatan Faktur Pajak. |
(2) | Dalam hal pembayaran atau Harga Jual atau Penggantian yang dilakukan sehubungan dengan pelaksanaan Pasal 16A Undang-undang PPN mempergunakan mata uang asing, maka besarnya Pajak yang terutang harus dikonversi ke dalam mata uang rupiah dengan mempergunakan kurs yang berlaku menurut Keputusan Menteri Keuangan pada saat dilakukan pembayaran oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai. |
BAB VI
PENGKREDITAN PAJAK MASUKAN
(1) | Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. |
(2) | Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan. |
BAB VII
SAAT DAN TEMPAT PAJAK TERUTANG
(1) | Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat Barang Kena Pajak tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. |
(2) | Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak tersebut, baik secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli; |
(3) |
Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
|
(4) | Terutangnya Pajak atas penyerahan Jasa Kena Pajak, terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya. |
(5) | Terutangnya Pajak atas impor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean. |
(6) | Terutangnya Pajak atas ekspor Barang Kena Pajak, terjadi pada saat Barang Kena Pajak dikeluarkan dari Daerah Pabean. |
(7) | Terutangnya Pajak atas aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan dan atau persediaan Barang Kena Pajak yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat :
|
(8) | Terutangnya Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam rangka perubahan bentuk usaha atau penggabungan usaha atau pemekaran usaha atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut, terjadi pada saat ditandatanganinya akte yang berkenaan oleh Notaris. |
(1) | Tempat Pajak terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean adalah di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat kegiatan usaha dilakukan,yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. |
(2) | Tempat Pajak terutang atas :
|
(3) | Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebagai tempat Pajak terutang atas ekspor Barang Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan. |
(1) | Setiap Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak. |
(2) | Faktur Pajak dapat berupa Faktur Pajak Standar, Faktur Pajak Sederhana, dan dokumen-dokumen tertentu yang ditetapkan sebagai Faktur Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak. |
(3) | Dalam Faktur Pajak Standar harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasl 13 ayat (5) Undang-undang PPN, yaitu :
|
(4) | Faktur Penjualan yang memuat keterangan dan pengisiannya sesuai dengan ketentuan dalam ayat (2) dapat dipersamakan sebagai Faktur Pajak Standar. |
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berlaku sebelum dikeluarkan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Ketentuan mengenai :
1. Jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; dan
2. Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3581), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 113) dinyatakan tidak berlaku.
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2001.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 2000 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd ABDURRAHMAN WAHID |
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2000 NOMOR 259
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
TENTANG
PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PERTAMBAHAN NILAI BARANG DAN JASA DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH SEBAGAIMANA TELAH BEBERAPA KALI DIUBAH TERAKHIR DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2000
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, maka perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian atas peraturan pelaksanaan yang telah berlaku selama ini. Untuk mencapai maksud tersebut, perlu ditetapkan peraturan pelaksanaan yang baru sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 1999.
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Dalam hal Pengusaha Kena Pajak menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah menggunakan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah lainnya sebagai bagian dari Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dihasilkannya, dan atas perolehannya telah dibayar Pajak Penjualan atas Barang Mewah maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar tersebut merupakan bagian dari biaya produksi Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dihasilkannya. Dengan demikian, Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas perolehan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang menjadi bagian atau digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah termasuk dalam Dasar Pengenaan Pajak.
a. | Pajak Pertambahan Nilai |
= 10% X Rp 150.350.000,00
= Rp 15.035.000,00
|
|
b. | Pajak Penjualan atas Barang Mewah (tarif 20%) |
= 20% X Rp 150.350.000,00
= Rp 30.070.000,00
|
Ayat (3)
Pengusaha Kena Pajak A membeli Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dari Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut sebagai berikut :
Harga Beli (sebagai Dasar Pengenaan Pajak) | = | Rp 100.000.000,00 | |
Pajak Pertambahan Nilai | = | Rp 10.000.000,00 | |
Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20% | = |
Rp 20.000.000,00 | |
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak A | = | Rp 130.000.000,00 |
Harga Beli Pengusalia Kena Pajak A | = | Rp100.000.000,00 | |
Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang telah dibayar | = | Rp 20.000.000,00 | |
Keuntungan yang diharapkan | = | Rp 15.000.000,00 | |
----------------------- + | |||
Dasar Pengenaan Pajak | = | Rp 135.000.000,00 | |
Pajak Pertambahan Nilai | = | Rp 13.500.000,00 | |
----------------------- + | |||
Jumlah yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak B | = | Rp 148.500.000,00 |
Pasal 5
Ayat (1)
Contoh :
Nilai Kontrak (sebagai Dasar Pengenaan Pajak) | = | Rp 100.000.000,00 | |
Pajak Pertambahan Nilai | = | Rp 10.000.000,00 | |
Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20% | = | Rp 20.000.000,00 | |
----------------------- + | |||
Jumlah yang harus dibayar oleh pembeli | = | Rp 130.000.000,00 |
Ayat (2)
10 ----------- |
x Rp 130.000.000,00 = Rp 10.000.000,00 | |
110 + 20 |
20
-----------
|
x Rp 130.000.000,00 = Rp 20.000.000,00 | |
110 + 20 |
Ayat (3)
Sebagaimana contoh dalam penjelasan ayat (2), apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak dinyatakan dengan tegas bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah termasuk dalam nilai kontrak, maka besarnya Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai adalah sebesar Rp 130.000.000,00.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Harga Jual | Rp 10.000.000,00 | |
Dasar Pengenaan Pajak dalam contoh ini adalah | Rp 10.000.000,00 | |
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10 x Rp 10.000.000,00 | Rp 1.000.000,00 |
Apabila atas penyerahan tersebut juga terutang Pajak Penjualan atas Barang Mewah misalnya dengan tarif 20%, maka Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang adalah 20% x Rp 10.000.000,00 = Rp 2.000.000,00
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak. Dalam hal piutang yang timbul karena penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dihapuskan, penghapusan tersebut tidak mempunyai akibat atas konsumsi Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut. Oleh karena itu baik Pengusaha Kena Pajak penjual yang menghapuskan piutangnya maupun Pengusaha Kena Pajak Pembeli yang menikmati penghapusan piutangnya tidak harus melakukan penyesuaian atas Pajak yang telah dilaporkan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan penyerahan aktiva adalah penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16D Undang-undang PPN.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Ayat (1)
Tempat pengkreditan Pajak Masukan adalah di Tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan. Faktur Pajak yang menjadi dasar pengkreditan harus memenuhi ketentuan yang berlaku antara lain alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak harus sama dengan alamat Pengusaha Kena Pajak yang tercantum dalam Surat Keputusan Pengukuhan. Dalam hal pengusaha melakukan impor Barang Kena Pajak dan tempat melakukan impor berbeda dengan tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, maka tempat pengkreditan Pajak Masukan atas impor Barang Kena Pajak adalah di tempat pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian Pengusaha Kena Pajak yang melakukan impor Barang Kena Pajak tersebut tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak ditempat Barang Kena Pajak tersebut diimpor.
Ayat (2)
Contoh :
Pengusaha Kena Pajak "A" yang kantor pusatnya di Jakarta dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Gambir I memiliki pabrik yang terletak di kota Solo dan telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Solo. PIB dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan NPWP kantor pusat Jakarta. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Solo dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen impor tersebut.
Pasal 13
Ayat (1)
Saat penyerahan barang bergerak tidak selalu dikaitkan dengan berbagai syarat penyerahan yang lazim terjadi dalam dunia perdagangan. Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan Pengusaha Kena Pajak (Penjual) dengan maksud langsung atau tidak langsung untuk diserahkan pada pihak lain. Karena itu pajak terutang pada saat barang diserahkan kepada pihak kedua atau pembeli atau pada saat barang diserahkan melalui juru kirim, pengusaha angkutan, perusahaan angkutan atau pihak ketiga lainnya untuk atau atas nama pihak kedua atau pembeli.
Ayat (2)
Dalam penentuan atau penyerahan barang tidak bergerak, Pajak Pertambahan Nilai menganut pendirian bahwa penyerahan hanya dapat dilakukan bila barang tersebut secara fisik telah ada. Oleh karena itu pajak terutang pada saat penyerahan barang tidak bergerak itu dilakukan, yaitu pada saat surat atau akte perjanjian yang mengakibatkan perpindahan hak atas barang tersebut ditandatangani oleh para pihak yang bersangkutan.
Contoh 1 :
Perjanjian jual beli sebuah rumah ditandatangani tanggal 1 Mei 2001, Perjanjian penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai rumah tersebut dibuat atau ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat pajak terutang adalah tanggal 1 September 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
Contoh 2 :
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Saat Pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Bila sebelum surat atau akte tersebut dibuat atau ditandatangani, barang tidak bergerak telah diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerimanya, maka Pajak terutang pada saat barang tersebut secara nyata diserahkan atau berada dalam penguasaan pembeli atau penerima barang.
Contoh 3 :
Rumah siap pakai dijual dan diserahkan secara nyata tanggal 1 Agustus 2001. Perjanjian jual beli ditandatangani tanggal 1 September 2001. Saat Pajak terutang adalah tanggal 1 Agustus 2001. Penyerahan barang tidak bergerak yang dilakukan dengan suatu perjanjian akan menyerahkan barang tersebut dalam masa tertentu tidak dapat digunakan untuk menentukan saat Pajak terutang.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Contoh :
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.