Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 300/KMK.01/2002

Kategori : Lainnya

Pengurusan Piutang Negara


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 300/KMK.01/2002

TENTANG

PENGURUSAN PIUTANG NEGARA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :


  1. bahwa dalam upaya untuk lebih meningkatkan pengurusan Piutang Negara yang berhasil guna dan berdaya guna, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 503/KMK.01/2000, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334/KMK.01/2000 tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksaan di Bidang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.01/2000, dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK.01/2000 tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 506/KMK.01/2000, perlu ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan keadaan;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu menetapkan Keputusan Menteri Keuangan tentang Pengurusan Piutang Negara;

Mengingat :


  1. Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2104);
  2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);
  3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3437);
  4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3687);
  5. Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 1976 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Badan Urusan Piutang Negara;
  6. Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Departemen;
  7. Keputusan Presiden Nomor 84 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Instansi Vertikal di Lingkungan Departemen Keuangan;
  8. Keputusan Presiden Nomor 228/M Tahun 2001;
  9. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 2/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 64/KMK.01/2002;
  10. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 445/KMK.01/2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara;
  11. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 61/KMK.08/2002 tentang Panitia Urusan Piutang Negara;


MEMUTUSKAN :


Menetapkan :


KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PENGURUSAN PIUTANG NEGARA.



BAB I
KETENTUAN UMUM


Pasal 1


Dalam Keputusan Menteri Keuangan ini yang dimaksud dengan:

  1. Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada negara atau badan-badan yang baik secara langsung maupun tidak langsung dikuasai oleh negara, berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

  2. Direktorat Jenderal adalah Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara.

  3. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara.

  4. Panitia adalah Panitia Urusan Piutang Negara, baik tingkat pusat maupun cabang.

  5. Kanwil adalah Kantor Wilayah, Direktorat Jenderal.

  6. Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara pada Direktorat Jenderal.

  7. Penyerah Piutang adalah instansi pemerintah, lembaga negara, atau badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang menyerahkan pengurusan Piutang Negara.

  8. Penanggung Hutang adalah badan atau orang yang berhutang menurut peraturan, perjanjian atau sebab apapun, termasuk badan atau orang yang menjamin penyelesaian seluruh hutang Penanggung Hutang.

  9. Penjamin Hutang adalah badan atau orang yang menjamin penyelesaian sebagian atau seluruh hutang Penanggung Hutang.

  10. Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara yang untuk selanjutnya disebut SP3N adalah surat yang menyatakan penerimaan penyerahan pengurusan Piutang Negara dari Penyerah Piutang.

  11. Pernyataan Bersama adalah kesepakatan antara Ketua Panitia Cabang dengan Penanggung Hutang tentang jumlah hutang yang wajib dilunasi, cara-cara penyelesaiannya, dan sanksi.

  12. Penetapan Jumlah Piutang Negara adalah surat penetapan yang memuat jumlah hutang yang wajib dilunasi oleh Penanggung Hutang.

  13. Pencegahan adalah larangan keluar dari wilayah Republik Indonesia yang bersifat sementara.

  14. Surat Paksa adalah surat perintah yang diterbitkan oleh Ketua Panitia Cabang kepada Penanggung Hutang untuk membayar sekaligus seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal diberitahukan.

  15. Jurusita Piutang Negara adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab kejurusitaan.

  16. Barang jaminan adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang yang dijadikan jaminan penyelesaian hutang.

  17. Harta Kekayaan Lain adalah harta kekayaan milik Penanggung Hutang yang tidak dijaminkan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjadi jaminan penyelesaian hutang.

  18. Penilai Internal adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan penilaian.

  19. Nilai Pasar adalah perkiraan jumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat diperoleh transaksi jual atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat membeli dan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang penawarannya dilakukan secara layak, dimana kedua pihak masing-masing mengetahui kegunaan properti tersebut, bertindak hati-hati, dan tanpa paksaan.

  20. Nilai Likuidasi adalah nilai properti yang dijual melalui lelang setelah memperhitungkan risiko penjualannya.

  21. Nilai Limit adalah nilai pelepasan barang terendah dalam Lelang.

  22. Nilai Pengikatan adalah nilai yang tercantum dalam akta hipotik/crediet verband/hak tanggungan/fidusia.

  23. Pencairan adalah tindakan penjualan melalui Lelang, Penjualan Tidak melalui Lelang maupun Penebusan Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain yang dilakukan dalam rangka penyelesaian hutang.

  24. Lelang adalah penjualan barang di muka umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

  25. Penjualan Tidak Melalui Lelang adalah pencairan barang yang dilakukan oleh Penanggung Hutang dalam rangka penyelesaian hutang.

  26. Penebusan adalah pencairan Barang Jaminan yang dilakukan oleh Penjamin Hutang dalam rangka penyelesaian hutang.

  27. Pemeriksaan adalah serangkaian upaya penelitian yang dilakukan Pemeriksa guna memperoleh informasi dan atau bukti-bukti dalam rangka penyelesaian Piutang Negara.

  28. Pemeriksa adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal yang diangkat oleh atau atas kuasa Menteri Keuangan yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan Pemeriksaan.

  29. Paksa Badan adalah penyanderaan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960, yaitu pengekangan kebebasan untuk sementara waktu terhadap diri pribadi Penanggung Hutang atau pihak lain yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku harus bertanggung jawab.

  30. Tempat Paksa Badan adalah tempat tertentu yang tertutup, mempunyai fasilitas terbatas, dan mempunyai sistem pengamanan serta pengawasan memadai, yang digunakan untuk pelaksanaan Paksa Badan.



BAB II
PENYERAHAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA


Bagian Pertama
Syarat Penyerahan


Pasal 2


(1) Piutang Negara pada tingkat pertama diselesaikan sendiri oleh instansi pemerintah, lembaga negara, atau badan usaha yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki oleh negara atau dimiliki Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal penyelesaian Piutang Negara tidak berhasil, instansi pemerintah, lembaga negara, atau badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) wajib menyerahkan pengurusan Piutang Negara kepada Panitia Cabang.


Pasal 3


(1) Penyerahan pengurusan Piutang Negara disampaikan secara tertulis kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan disertai resume dan dokumen.
(2) Resume berkas kasus Piutang Negara yang diserahkan memuat informasi:
a. identitas Penyerah Piutang;
b. identitas Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang;
c. bidang usaha Penanggung Hutang, antara lain industri manufaktur, perdagangan, pertanian, perkebunan, atau bidang usaha lainnya;
d. keadaan usaha Penanggung Hutang pada saat diserahkan;
e. dasar hukum terjadinya hutang, antara lain perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, peraturan, atau dasar hukum lainnya;
f. jenis Piutang Negara, antara lain kredit investasi, kredit modal kerja, kredit umum, dana reboisasi, jasa pelabuhan, atau jenis Piutang Negara lainnya;
g. penjamin kredit oleh pihak ketiga, antara lain PT askrindo, PT ASEI, Perum PKK, atau lembaga penjamin lainnya;
h. sebab-sebab kredit/piutang dinyatakan macet seperti kesalahan manajemen, Penanggung Hutang nakal, bencana alam, kerusuhan sosial, atau sebab-sebab lainnya;
i. tanggal realisasi kredit dan tanggal-tanggal Penyerah Piutang mengkategorikan kredit sesuai peraturan yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam hal Piutang Negara berasal dariperbankan, atau tanggal Penanggung Hutang dinyatakan wanprestasi sesuai dengan perjanjian, peraturan, surat keputusan pejabat berwenang atau sebab apapun dalam hal Piutang Negara berasal dari non perbankan;
j. rincian hutang yang terdiri dari saldo hutang pokok, bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya;
k. daftar Barang Jaminan, yang memuat uraian barang, pengikatan, kondisi dan nilai Barang Jaminan pada saat penyerahan, dalam hal penyerahan didukung oleh Barang Jaminan;
l. daftar Harta Kekayaan Lain;
m. penjelasan singkat upaya-upaya penyelesaian piutang yang telah dilakukan oleh Penyerah Piutang; dan
n. informasi lainnya yang dianggap perlu disampaikan oleh Penyerah Piutang antara lain Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang sudah tidak diketahui tempat tinggal, ada kasus gugatan di pengadilan, atau Barang Jaminan telah disita Pengadilan Negeri untuk kepentingan pihak lain.
(3) Dokumen-dokumen yang dilampirkan dalam penyerahan pengurusan Piutang Negara sebagai berikut:
a. perjanjian kredit, akta pengakuan hutang, perjanjian, perubahan perjanjian, keputusan yang diterbitkan pejabat yang berwenang, peraturan, kontrak, surat perintah kerja, dan atau dokumen lain yang sejenis yang membuktikan adanya piutang;
b. rekening koran, prima nota, mutasi piutang, faktur, rekening, bukti tagihan, dan atau dokumen lain yang sejenis yang dapat membuktikan besarnya piutang;
c. dokumen Barang Jaminan serta pengikatannya dan Surat Pernyataan Kesanggupan Penyerah Piutang untuk mengajukan permohonan roya dalam hal piutang yang diserahkan didukung dengan Barang Jaminan; dan
d. surat menyurat antara Penyerah Piutang dengan Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang yang berkaitan dengan upaya-upaya yang telah dilaksanakan dalam rangka penyelesaian hutang.
(4) Ketentuan mengenai dokumen-dokumen yang dilampirkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.


Pasal 4


(1) Batas paling sedikit besarnya piutang Negara yang diserahkan pengurusannya kepada Panitia Cabang adalah Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) untuk setiap kasus.
(2) Batas paling sedikit sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) tidak berlaku bagi piutang instansi pemerintah dan lembaga negara baik tingkat pusat maupun daerah.


Pasal 5


Dalam hal pada waktu yang bersamaan Penyerah Piutang menyerahkan pengurusan Piutang Negara lebih dari 1 (satu) berkas kasus, setiap berkas kasus dilengkapi surat penyerahan dengan nomor surat tersendiri.



Bagian Kedua
Permintaan Kelengkapan Data dan Ekspose


Pasal 6


Kantor Pelayanan dapat meminta kelengkapan data kepada Penyerah Piutang dalam hal:

  1. berkas kasus yang diserahkan belum lengkap; atau
  2. Kantor Pelayanan membutuhkan informasi lebih lanjut sebagai bahan pengurusan.


Pasal 7


Dalam kasus-kasus tertentu, Kantor Pelayanan secara selektif dapat:

  1. meminta bantuan Penyerah Piutang untuk memberikan penjelasan (ekspose) atas kasus yang diserahkan; dan atau
  2. melakukan penelitian lapangan.


Bagian Ketiga
Kredit Sindikasi


Pasal 8


(1) Dalam hal piutang berasal dari kredit sindikasi/konsorsium, sepanjang terdapat Piutang Negarayang harus diselesaikan, pengurusannya dapat diserahkan kepada Panitia Cabang.
(2) Penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilakukan oleh anggota sindikasi yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara.


BAB III
PENERIMAAN DAN PENOLAKAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA


Bagian Pertama
Penelitian Adanya dan Besarnya Piutang Negara


Pasal 9


(1) Kantor Pelayanan meneliti surat penyerahan pengurusan Piutang Negara berikut lampirannya.
(2) Hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), dituangkan dalam Resume Hasil Penelitian Kasus.


Pasal 10


Berdasarkan resume dan dokumen penyerahan, Kantor Pelayanan menghitung besar Piutang Negara.



Pasal 11


(1) Piutang Negara perbankan terdiri atas hutang pokok, bunga, denda dan ongkos-ongkos.
(2) Besarnya bunga, denda dan ongkos-ongkos sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah kredit dikategorikan macet berdasarkan peraturan tentang kategori kredit perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.


Pasal 12


(1) Besarnya Piutang Negara non perbankan dihitung berdasarkan perhitungan pada saat piutang jatuh tempo.
(2) Dalam hal terdapat pembebanan bunga, denda dan atau beban lainnya, besarnya bunga, denda dan atau beban lainnya ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan setelah jatuh tempo, kecuali ditetapkan tersendiri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 13


Dalam menghitung besarnya Piutang Negara:

  1. pembayaran angsuran yang dilakukan oleh atau untuk kepentingan Penanggung Hutang setelah piutang dinyatakan macet, diperhitungkan sebagai pengurangan; dan
  2. polis asuransi, biaya pemasangan hak tanggungan/fidusia, biaya perpanjangan hak atas tanah, biaya pengukuhan hak atas tanah, dan biaya-biaya lainnya sesuai yang diperjanjikan,diperhitungkan sebagai penambahan.


Pasal 14


(1) dalam hal Penyerah Piutang tidak dapat menyampaikan rekening koran, prima nota, atau data mutasi keuangan, Kantor Pelayanan dapat menghitung sendiri besarnya Piutang Negara berdasarkan syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian kredit.
(2) Kantor Pelayanan mengkonfirmasikan hasil perhitungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Penyerah Piutang.


Bagian Kedua
Penerimaan


Pasal 15


(1) Dalam hal berkas penyerahan telah memenuhi persyaratan dan dari hasil penelitian berkas dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang menerima penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan SP3N.
(2) SP3N memuat sekurang-kurangnya:
  1. nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
  2. indentitas Penyerah Piutang dan Penanggung Hutang;
  3. pernyataan menerima pengurusan Piutang Negara;
  4. rincian dan jumlah Piutang Negara yang telah diperhitungkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 14; dan
  5. tanda tangan Panitia Cabang.


Pasal 16


(1) Dalam hal Penanggung Hutang merupakan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, instansi pemerintah, atau lembaga negara, SP3N tidak diterbitkan tetapi dibuat Surat Tanda Terima Penyerahan yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan.
(2) Dalam pengurusan piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kantor Pelayanan bertindak sebagai mediator.
(3) Pengurusan piutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak dikenakan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.


Pasal 17


(1) Sejak SP3N diterbitkan, pengurusan Piutang Negara beralih kepada Panitia Cabang dan penyelenggaraannya dilakukan oleh Kantor Pelayanan.
(2) Dengan beralihnya pengurusan Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penyerah Piutang wajib menyerahkan semua dokumen asli Barang Jaminan.


Bagian Ketiga
Penolakan


Pasal 18


Dalam hal kelengkapan syarat-syarat penyerahan pengurusan Piutang Negara tidak dapat dipenuhi oleh Penyerah Piutang, sehingga tidak dapat dibuktikan adanya dan besarnya Piutang Negara, Panitia Cabang menolak penyerahan pengurusan Piutang Negara dengan menerbitkan Surat Penolakan Pengurusan Piutang Negara.



Bagian Keempat
Permintaan Dokumen Asli


Pasal 19


Dalam hal setelah diterbitkan SP3N, Penyerah Piutang belum menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan dan pengikatannya serta Surat Kesanggupan mengajukan permohonan roya, Kantor Pelayanan menerbitkan surat permintaan kepada Penyerah Piutang.



BAB IV
KOREKSI DAN PERUBAHAN BESARAN PIUTANG NEGARA


Bagian Pertama
Koreksi Besaran Piutang Negara


Pasal 20


(1) Dalam SP3N telah diterbitkan:
a. koreksi besaran Piutang Negara hanya dapat dilakukan jika terdapat:
1. pembayaran yang tidak tercatat; dan atau
2. kesalahan perhitungan oleh Penyerah Piutang; dan
b. koreksi besaran Piutang Negara tidak dapat dilakukan terhadap perhitungan pembebanan bunga, denda dan atau ongkos/beban lainnya yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) dan Pasal 12 ayat (2)
(2) Ketentuan mengenai koreksi besaran Piutang Negara diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.


Pasal 21


Koreksi besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan maksud memberikan keringanan hutang.



Pasal 22


Koreksi besaran Piutang Negara diperhitungkan pada saat menetapkan besarnya Piutang Negara dalam Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara.



Bagian Kedua
Perubahan Besaran Piutang Negara


Pasal 23


Perubahan besaran Piutang Negara terhadap kasus yang telah diterbitkan SP3N hanya dapat dilakukan, jika terdapat:

  1. pembebanan biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b; dan atau
  2. persetujuan keringanan jumlah hutang.


Pasal 24


Dalam hal kasus Piutang Negara telah diterbitkan SP3N, perubahan besaran Piutang Negara tidak boleh dilakukan dengan cara menetapkan kembali besarnya Piutang Negara.



Bagian Ketiga
Penelitian Bukti-bukti


Pasal 25


Koreksi besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf a atau perubahan besaran Piutang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a harus didasarkan pada penelitian atas bukti-bukti, baik yang bersumber dari Penyerah Piutang maupun dari Penanggung Hutang.



BAB V
PENGEMBALIAN PENGURUSAN PIUTANG NEGARA


Pasal 26


Pengembalian pengurusan Piutang Negara dilakukan oleh Panitia Cabang dalam hal:

  1. terdapat kekeliruan Penyerah Piutang karena Penanggung Hutang tidak mempunyai kewajiban yang harus diselesaikan;
  2. piutang terkait dengan perkara pidana; atau
  3. Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif.


Pasal 27


Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena kekeliruan Penyerah Piutang harus berdasarkan surat pemberitahuan dari Penyerah Piutang kepada Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan dengan dilengkapi bukti-bukti yang menunjukkan telah terjadi kekeliruan.



Pasal 28


Pengembalian pengurusan Piutang Negara karena piutang terkait dengan perkara pidana dapat dilakukanpada tahap penyidikan.



Pasal 29


Ketentuan mengenai pengembalian pengurusan Piutang Negara karena terkait perkara pidana tidak berlaku untuk Piutang Negara non perbankan berupa Tuntutan Ganti Rugi.



Pasal 30


(1) Pengembalian pengurusan Piutang Negara dapat dilakukan karena Penyerah Piutang bersikap tidak kooperatif
(2) Sikap tidak kooperatif ditunjukkan dengan:
a. Penyerah Piutang tidak bersedia menyerahkan dokumen asli Barang Jaminan berikut pengikatannya kepada Kantor Pelayanan, setelah diminta secara tertulis; atau
b. Penyerah Piutang tidak menanggapi surat dari Kantor Pelayanan.
(3) Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didahului dengan peringatan secara tertulis kepada Penyerah Piutang.


Pasal 31


(1) Pengembalian pengurusan Piutang Negara dituangkan dalam Surat Pengembalian Pengurusan Piutang Negara yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Pengembalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Penyerah Piutang dengan disertai semua dokumen yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan.


Pasal 32


Pengembalian pengurusan Piutang Negara tidak dikenakan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.



BAB VI
PANGGILAN


Bagian Pertama
Surat Panggilan dan Panggilan Terakhir


Pasal 33


Kantor Pelayanan melakukan panggilan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dalam rangka penyelesaian hutang.



Pasal 34


Dalam hal Penanggung Hutang adalah:

  1. perorangan, panggilan ditujukan kepada diri pribadi Penanggung Hutang;
  2. badan hukum berbentuk perseroan terbatas, panggilan ditujukan kepada direksi dan atau komisaris yang melakukan kegiatan pengurusan perusahaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga badan hukum;
  3. badan hukum koperasi dan atau yayasan, panggilan ditujukan kepada pengurus koperasi dan atau yayasan;
  4. firma, panggilan ditujukan kepada salah seorang firman; atau
  5. commanditer vennootschap, panggilan ditujukan kepada persero pengurus.


Pasal 35


Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia, panggilan ditujukan kepada ahli waris Penanggung Hutang.



Pasal 36


Tenggang waktu antara tanggal surat panggilan dengan tanggal menghadap disesuaikan dengan perkiraan lamanya surat sampai di alamat Penanggung Hutang ditambah waktu yang diperlukan untuk datang menghadap ke Kantor Pelayanan.



Pasal 37


Dalam hal Penanggung Hutang berdomisili jauh dari Kantor Pelayanan, yang bersangkutan dapat dipanggil menghadap petugas Kantor Pelayanan di Kantor Penyerah Piutang.



Pasal 38


Dalam hal Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan, Kantor Pelayanan melakukan panggilan terakhir secara tertulis paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal menghadap yang ditetapkan dalam surat panggilan.



Pasal 39


Surat panggilan dan surat panggilan terakhir disampaikan oleh kurir atau menggunakan jasa pos.



Bagian Kedua
Pengumuman Panggilan


Pasal 40


Dalam hal Penanggung Hutang menghilang atau tidak mempunyai tempat tinggal atau tidak mempunyai tempat kediaman yang dikenal di Indonesia, Kantor Pelayanan melakukan pengumuman panggilan melalui:
  1. surat kabar harian;
  2. media elektronik;
  3. papan pengumuman di Kantor Pelayanan; dan atau
  4. media massa lainnya.


Pasal 41


Pengumuman panggilan memuat identitas Penanggung Hutang dan keharusan Penanggung Hutang untuk mempertanggungjawabkan penyelesaian hutangnya kepada Negara.



Bagian Ketiga
Surat Kuasa Khusus


Pasal 42


(1) Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh pihak ketiga, pihak yang mewakili harus dilengkapi dengan surat kuasa khusus yang dibuat dengan akta notaris atau dilegalisir oleh notaris.
(2) Dalam hal di wilayah Penanggung Hutang belum ada notaris, surat kuasa khusus dibuat di atas kertas bermeterai cukup yang diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat.


BAB VII
PERNYATAAN BERSAMA


Bagian Pertama
Wawancara


Pasal 43


Dalam hal Penanggung Hutang datang memenuhi panggilan atau datang atas kemauan sendiri, Kantor Pelayanan melakukan wawancara dengan Penanggung Hutang tentang kebenaran adanya dan besarnya Piutang Negara serta cara-cara penyelesaiannya.



Pasal 44


Hasil wawancara dituangkan dalam Berita Acara Tanya Jawab, yang ditandatangani oleh:
  1. Penanggung Hutang;
  2. Kepala Kantor Pelayanan atau pejabat yang ditunjuk; dan
  3. sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah.


Bagian Kedua
Pembuatan Pernyataan Bersama


Pasal 45


Berdasarkan Berita Acara Tanya Jawab dibuat Pernyataan Bersama, yang ditandatangani oleh:

  1. Ketua Panitia Cabang;
  2. Penanggung Hutang; dan
  3. sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telahmenikah.


Pasal 46


Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang dan sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan dibuat Pernyataan Bersama yang memuat sekurang-kurangnya:

  1. irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
  2. identitas Penanggung Hutang;
  3. identitas Penyerah Piutang;
  4. besarnya Piutang Negara dengan rincian terdiri dari hutang pokok, bunga, denda dan atau ongkos/beban lain;
  5. besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
  6. pengakuan hutang oleh Penanggung Hutang;
  7. kesanggupan Penanggung Hutang untuk menyelesaikan hutang dan cara penyelesaiannya;
  8. sanksi jika tidak memenuhi cara penyelesaian hutang;
  9. tanggal penandatanganan Pernyataan Bersama;
  10. tanda tangan Ketua Panitia Cabang;
  11. tanda tangan Penanggung Hutang di atas meterai cukup; dan
  12. tanda tangan para saksi.


Pasal 47


(1) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pernyataan Bersama dibuat dengan ahli waris Penanggung Hutang.
(2) Ahli waris sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuktikan dengan fatwa waris atau penetapan dari pengadilan.


Pasal 48


Dalam hal Penanggung Hutang diwakili oleh kuasanya, Pernyataan Bersama dibuat dengan kuasa Penanggung Hutang.



Pasal 49


(1) Jangka waktu penyelesaian hutang yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama paling lama 12 (dua belas) bulan sejak Pernyataan Bersama ditandatangani.
(2) Pengecualian atas jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan jika Penanggung Hutang mendapat persetujuan keringanan hutang.


Pasal 50


(1) Pembayaran Piutang Negara yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama dapat dilakukan secara tunai atau angsuran.
(2) Dalam hal pembayaran ditetapkan secara angsuran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), jangka waktu angsuran tidak boleh melebihi triwulanan.


Pasal 51


(1) Dalam hal Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang namun tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1), Pernyataan Bersama tetap dibuat.
(2) Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat:
  1. Pengakuan hutang; dan
  2. Pernyataan Penanggung Hutang tidak sanggup menyelesaikan hutang dalam jangka waktu yang ditetapkan.


Bagian Ketiga
Peringatan Pernyataan Bersama


Pasal 52


(1) Dalam hal Penanggung Hutang tidak membayar angsuran sesuai ketentuan dalam Pernyataan Bersama, paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penanggung Hutang untuk memenuhi kewajibannya.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban sesuai dengan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jadwal angsuran yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama tetap berlaku.


Pasal 53


Surat peringatan Pernyataan Bersama dapat diterbitkan lebih dari 1 (satu) kali, dalam hal Penanggung Hutang memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam surat peringatan Pernyataan Bersama, namun pada jadwal angsuran berikutnya Penanggung Hutang melakukan tunggakan.



Bagian Keempat
Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara


Pasal 54


(1) Dalam hal setelah Pernyataan Bersama dibuat terdapat koreksi/perubahan besaran Piutang Negara, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.
(2) Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pernyataan Bersama.


Bagian Kelima
Kekuatan Hukum


Pasal 55


Pernyataan Bersama mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap.



BAB VIII
PENETAPAN JUMLAH PIUTANG NEGARA


Bagian Pertama
Penerbitan Penetapan Jumlah Piutang Negara


Pasal 56


Panitia Cabang menerbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara, dalam hal Pernyataan Bersama tidak dapat dibuat karena:

  1. Penanggung Hutang tidak memenuhi panggilan dan atau pengumuman panggilan;
  2. Penanggung Hutang tidak mengakui jumlah hutang, tetapi tidak dapat memberikan bukti-bukti pendukung yang sah; atau
  3. Penanggung Hutang mengakui jumlah hutang, tetapi menolak menandatangani Pernyataan Bersama.


Pasal 57


Penetapan Jumlah Piutang Negara memuat sekurang-kurangnya:

  1. berkepala "Keputusan Panitia Urusan Piutang Negara" tentang Penetapan Jumlah Piutang Negara;
  2. pertimbangan diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara;
  3. dasar hukum diterbitkannya Penetapan Jumlah Piutang Negara;
  4. besarnya Piutang Negara dengan rincian hutang pokok, bunga, denda, ongkos/beban lainnya dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang wajib dilunasi Penanggung Hutang;
  5. tanggal penerbitan Penetapan Jumlah Piutang Negara; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.


Bagian Kedua
Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara


Pasal 58


(1) Dalam hal setelah diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara terdapat perubahan besaran Piutang Negara, tidak perlu dibuat surat Penetapan Jumlah Piutang Negara yang baru, tetapi cukup diterbitkan Surat Pemberitahuan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Pemberitahuan Koreksi/Perubahan Besaran Piutang Negara merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Penetapan Jumlah Piutang Negara.


BAB IX
KERINGANAN HUTANG


Bagian Pertama
Kewenangan


Pasal 59


Kepala Kantor Pelayanan dan Kepala Kanwil diberi kewenangan untuk memberikan keringanan hutang kepada Penanggung Hutang dalam bentuk:

  1. keringanan jumlah hutang yang menyangkut bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya; dan atau
  2. keringanan jangka waktu penyelesaian hutang.


Pasal 60


Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Kepala Kantor Pelayanan berwenang untuk:

  1. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), berupa keringanan hutang:
    1. bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen);
    2. jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun; atau
    3. bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus jangka waktu paling lama 3 (tiga) tahun;
  2. menolak permohonan keringanan hutang; atau
  3. memberikan pertimbangan agar permohonan keringanan hutang dapat disetujui.


Pasal 61


Berdasarkan kewenangan yang diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Kepala Kanwil berwenang untuk:

  1. menyetujui permohonan keringanan hutang, dalam hal pokok kredit lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah), atau pokok kredit dalam satuan mata uang asing berupa keringanan hutang:

    1. bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen);
    2. jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
    3. jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
    4. bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun untuk pokok kredit paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); atau
    5. bunga, denda, dan atau ongkos/beban lainnya sampai dengan 100% (seratus persen) sekaligus jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun untuk pokok kredit lebih dari Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); atau
  2. menolak permohonan keringanan hutang.

Bagian Kedua
Permohonan



Pasal 62


(1) Permohonan keringanan hutang diajukan oleh Penanggung Hutang kepada Kepala Kantor Pelayanan disertai proposal/alasan-alasannya.
(2) Permohonan keringanan hutang dapat juga diajukan Penanggung Hutang melalui Penyerah Piutang.


Pasal 63


(1) Permohonan Keringanan hutang diajukan selambat-lambatnya sebelum Pengumuman Lelang.
(2) Dalam hal Lelang pernah dilaksanakan, permohonan keringanan hutang dapat diajukan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Pasal 64


Ketentuan mengenai permohonan keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Ketiga
Analisis


Pasal 65


Persetujuan, penolakan dan pemberian pertimbangan atas permohonan keringanan hutang harus berdasarkan hasil analisis.



Pasal 66


Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang masih berjalan, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya:

  1. latar belakang permohonan keringanan hutang;
  2. itikad baik Penanggung Hutang;
  3. kemampuan/usaha Penanggung Hutang;
  4. nilai dan daya laku; dan
  5. rencana pelunasan hutang.


Pasal 67


Dalam hal kegiatan usaha Penanggung Hutang tidak berjalan atau Penanggung Hutang sama sekali tidak mempunyai usaha, analisis permohonan keringanan hutang meliputi sekurang-kurangnya:

  1. latar belakang permohonan keringanan hutang;
  2. itikad baik Penanggung Hutang;
  3. nilai dan daya laku; dan
  4. rencana dan sumber pelunasan hutang.


Pasal 68


Pembayaran hutang yang diterima sejak SP3N diterbitkan, diperhitungkan sebagai pembayaran hutang pokok.



Pasal 69


Besar keringanan jumlah hutang dihitung dari sisa hutang bunga, denda, dan ongkos/beban lainnya pada saat keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan.



Pasal 70


Ketentuan mengenai analisis keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Keempat
Keputusan


Pasal 71


Keputusan keringanan hutang dapat berupa menyetujui seluruhnya, menyetujui sebagian, atau menolak permohonan keringanan yang diajukan.



Pasal 72


Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jangka waktu atau keringanan jumlah hutang sekaligus jangka waktu, pembayaran secara angsuran tidak boleh ditetapkan melebihi triwulanan.



Pasal 73


Dalam hal permohonan keringanan hutang dapat disetujui dalam bentuk keringanan jumlah hutang, pelunasan hutang harus dilakukan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal surat pemberitahuan persetujuan permohonan keringanan hutang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan.



Pasal 74


(1) Persetujuan permohonan keringanan hutang dalam satuan mata uang asing, dapat ditetapkan dalam satuan mata uang rupiah dalam hal:
a. sumber utama penghasilan Penanggung Hutang dalam satuan mata uang rupiah;
b. tempat usaha Penanggung Hutang terkena bencana alam seperti banjir, kebakaran, gempa bumi, atau menjadi korban kerusuhan sosial; atau
c. terdapat peningkatan kurs valuta asing lebih dari 100% (seratus persen) dibandingkan nilai kurs pada saat kredit direalisir.
(2) Konversi satuan mata uang asing ke dalam satuan mata uang rupiah dihitung berdasarkan kurs yang digunakan sebagai asumsi dalam perhitungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang berlaku.


Pasal 75


(1) Dalam hal keringanan hutang disetujui sebelum Pernyataan Bersama ditandatangani, keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat persetujuan permohonan keringanan hutang dan Pernyataan Bersama.
(2) Dalam hal Pernyataan Bersama atau Penetapan Jumlah Piutang Negara telah diterbitkan, keputusan persetujuan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat persetujuan permohonan keringanan hutang.


Pasal 76


Dalam hal permohonan keringanan hutang tidak dapat disetujui, keputusan penolakan permohonan keringanan hutang dituangkan dalam surat penolakan permohonan keringanan hutang.



Pasal 77


Keputusan persetujuan atau penolakan permohonan keringanan hutang oleh Kepala Kanwil atau Kepala Kantor Pelayanan diberitahukan secara tertulis oleh Kantor Pelayanan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.



Pasal 78


Keputusan persetujuan atau penolakan permohonan keringanan hutang yang dilakukan oleh Kepala Kantor Pelayanan atau Kepala Kanwil ditetapkan dalam waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak surat/berkas permohonan keringanan hutang diterima secara lengkap.



Pasal 79


Sejak permohonan keringanan hutang diterima Kantor Pelayanan secara lengkap sampai terbitnya keputusan permohonan keringanan hutang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.



Pasal 80


Kepala Kepala Pelayanan dan Kepala Kanwil harus melaporkan keputusan permohonan keringanan hutang dan perkembangan persetujuan permohonan keringanan hutang, kepada atasan langsungnya.



Pasal 81


Ketentuan mengenai keputusan permohonan keringanan hutang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



BAB X
PENGELOLAAN BARANG JAMINAN DAN ATAU HARTA KEKAYAAN


Bagian Pertama
Ruang Lingkup Pengelolaan


Pasal 82


Ruang lingkup pengelolaan Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain meliputi kegiatan:

  1. penatausahaan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain;
  2. pengamanan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain; dan
  3. pendayagunaan Barang Jaminan.


Pasal 83


Kantor Pelayanan melakukan pengelolaan Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.



Bagian Kedua
Penatausahaan


Pasal 84


Dalam rangka penatausahaan dilakukan tindakan meliputi penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain.



Pasal 85


Kepala Kantor Pelayanan menunjuk petugas khusus di unit kerjanya yang bertanggungjawab dalam kegiatan penatausahaan dokumen dan fisik barang.



Pasal 86


Ketentuan mengenai penerimaan, pencatatan, penyimpanan, pemeliharaan, dan pengeluaran/penyerahan dokumen dan fisik Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Ketiga
Pengamanan


Pasal 87


Dalam rangka pengamanan dapat dilakukan kegiatan:

  1. penelitian terhadap keaslian, kebenaran atau jangka waktu berlakunya hak atas dokumen Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain beserta pengikatannya;
  2. penelitian lapangan; dan atau
  3. pemblokiran Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain.


Pasal 88


Dalam hal jangka waktu berlakunya dokumen Barang Jaminan akan segera berakhir atau dokumen asli Barang Jaminan rusak/hilang, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan Penyerah Piutang untuk mengurus kepada instansi yang berwenang.



Pasal 89


Dalam hal letak barang berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, penelitian lapangan dilakukan dengan meminta bantuan kepada Kantor Pelayanan yang membawahi wilayah kerja letak barang tersebut berada.



Pasal 90


(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, penelitian lapangan terhadap barang yang berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan jika dipandang lebih efisien dan efektif.
(2) Penelitian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat barang tersebut berada.


Pasal 91


(1) Pemblokiran terhadap Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Pemblokiran yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Pelayanan dan ditujukan kepada instansi yang berwenang.
(2) Pemblokiran terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari pimpinan Bank Indonesia.
(3) Pemblokiran terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan setelah memperoleh izin tertulis dari Ketua Badan Pengawasan Pasar Modal.


Pasal 92


(1) Kantor Pelayanan mencabut pemblokiran dalam hal:
a. Piutang Negara dinyatakan lunas;
b. pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai;
c. Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain tidak atau tidak lagi merupakan jaminan penyelesaian hutang;
d. Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain telah disita lebih dahulu oleh instansi lain yang berwenang; atau
e. Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain diketahui mengandung cacat hukum berdasarkan keputusan instansi yang berwenang.
(2) Surat pencabutan pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan oleh Kantor Pelayanan kepada instansi yang berwenang melalui kurir atau menggunakan jasa pos.


Pasal 93


Ketentuan mengenai penelitian lapangan dan pemblokiran Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Keempat
Pendayagunaan


Pasal 94


Dalam rangka pendayagunaan Barang Jaminan, dapat dilakukan sewa menyewa yang hasilnya digunakan untuk pembayaran hutang.



Pasal 95


Pendayagunaan Barang Jaminan dapat dilakukan dengan cara membuat perjanjian dalam bentuk sewa-menyewa Barang Jaminan dengan ketentuan:

  1. sewa-menyewa disepakati oleh Kantor Pelayanan, Penyerah Piutang, Penanggung Hutang, dan pemilik Barang Jaminan;
  2. jangka waktu sewa-menyewa ditetapkan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. tidak menghalangi proses pengurusan Piutang Negara terhadap Barang Jaminan lainnya dan atau Harta Kekayaan Lain; dan
  4. perjanjian sewa-menyewa antara pemilik Barang Jaminan dengan penyewa dibuat dengan akta notaris.


Pasal 96


Perjanjian sewa-menyewa dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dengan ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 94 dan Pasal 95.



BAB XI
PEMERIKSAAN


Bagian Pertama

Objek Pemeriksaan


Pasal 97


(1) Objek Pemeriksaan adalah:
a. Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, atau pemegang saham;
b. kemampuan Penanggung Hutang;
c. Harta Kekayaan Lain; dan atau
d. fisik Barang Jaminan.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia, Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap diri, Harta Kekayaan Lain, dan atau kemampuan ahli waris.


Pasal 98


(1) Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a yaitu:
a. orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang atau orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
b. badan hukum, yang diwakili oleh:
1. direksi/anggota pengurus perusahaan; dan atau
2. anggota dewan komisaris/dewan pengawas perusahaan; atau
c. salah seorang pesero dan atau pesero pengurus dari badan usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata.
(2) Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a yaitu:
a. penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarantee);
b. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau
c. pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee).
(3) Pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf a yaitu pemegang saham yang sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas dapat diminta pertanggungjawaban pribadi.


Pasal 99


Kemampuan Penanggung Hutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf b meliputi:

  1. penghasilan Penanggung Hutang; dan atau
  2. hasil usaha dari Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain.


Pasal 100


Harta Kekayaan Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf c meliputi:

  1. barang tidak bergerak, antara lain tanah, tanah berikut bangunan, kapal dengan isi kotor lebih dari 20 m3;
  2. barang bergerak, antara lain kendaraan bermotor, perhiasan, furniture, peralatan elektronik;
  3. surat berharga, antara lain saham, obligasi, bukti piutang, penyertaan modal;
  4. barang tidak berwujud, antara lain hak cipta, hak paten, hak merek; dan atau
  5. uang atau harta kekayaan yang tersimpan di bank.


Pasal 101


Fisik Barang Jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) huruf d meliputi Barang Jaminan yang:

  1. belum ditemukan; dan atau
  2. terdapat permasalahan hukum.


Bagian Kedua
Pemeriksa


Pasal 102


(1) Pemeriksaan dilakukan oleh Pemeriksa dari Kantor Pelayanan.
(2) Pemeriksaan dilakukan oleh tim yang beranggotakan paling sedikit 2 (dua) orang dan sekurang-kurangnya 1 (satu) anggota berkualifikasi sebagai Pemeriksa.


Pasal 103


Ketentuan mengenai Pemeriksa diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Ketiga
Tugas dan Wewenang


Pasal 104


Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa bertugas:

  1. mencari, meneliti, dan mengumpulkan keterangan atau bukti-bukti yang berhubungan dengan objek pemeriksaan; dan atau
  2. melakukan wawancara atau meminta penjelasan dari berbagai pihak yang berkaitan dengan Objek Pemeriksaan.


Pasal 105


Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa berwenang meminta keterangan kepada Penanggung Hutang dan atau pihak lain, yang berkaitan dengan:

  1. tempat kediaman/rumah, kantor, tempat usaha/tempat kegiatan milik atau diduga milik Penanggung Hutang;
  2. usaha dan atau Harta Kekayaan Lain; dan atau
  3. catatan dan pembukuan dari usaha milik atau diduga milik Penanggung Hutang.


Bagian Keempat
Pelaksanaan Pemeriksaan


Pasal 106


Pemeriksaan hanya dapat dilaksanakan setelah SP3N diterbitkan.



Pasal 107


Pemeriksaan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.



Pasal 108


Dalam melaksanakan Pemeriksaan, Pemeriksa:

  1. wajib didampingi sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi;
  2. dapat meminta bantuan dan bekerja sama dengan aparat kepolisian, aparat pemerintah daerah, Penyerah Piutang, instansi lain yang terkait, dan atau masyarakat sekitar; dan
  3. harus memberitahukan maksud Pemeriksaan kepada Penanggung Hutang, Penjamin Hutang, dan atau aparat Pemerintah desa/kelurahan setempat.


Pasal 109


(1) Dalam hal Pemeriksa memasuki rumah, kantor, dan atau tempat usaha/kegiatan yang diduga milik Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang, Pemeriksaan harus diketahui oleh Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang tidak berada di tempat, Pemeriksaan harus diketahui oleh:
  1. anggota keluarga Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang yang telah dewasa;
  2. pegawai senior pada kantor dan atau tempat usaha/kegiatan; dan atau
  3. aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.


Pasal 110


(1) Dalam hal objek Pemeriksaan berupa tanah dan bangunan dalam keadaan kosong atau terkunci,Pemeriksaan harus didampingi oleh aparat pemerintah desa/kelurahan dan atau aparat kepolisian setempat.
(2) Dalam hal objek Pemeriksaan berupa tanah kosong, Pemeriksaan dilaksanakan dengan diketahui oleh aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.


Pasal 111


(1) Pelaksanaan Pemeriksaan dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan.
(2) Berita Acara Pemeriksaan ditandatangani oleh:
  1. Pemeriksa;
  2. saksi-saksi; dan
  3. Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang, ahli warisnya, penghuni, atau penanggung jawab objek Pemeriksaan.


Pasal 112


Dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang menolak atau keberatan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan, Pemeriksa mencatat dalam Berita Acara Pemeriksaan.



Pasal 113


(1) Berita Acara Pemeriksaan tetap sah meskipun Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang:
a. menolak atau keberatan menandatangani Berita Acara Pemeriksaan; atau
b. tidak berada di tempat objek Pemeriksaan.
(2) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diketahui oleh aparat pemerintah desa/kelurahan setempat.


Pasal 114


(1) Dalam hal objek Pemeriksaan berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Kantor Pelayanan meminta bantuan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi objek Pemeriksaan berada.
(2) Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan:
a. resume pengurusan Piutang Negara; dan
b. fotokopi dokumen yang berkaitan.
(3) Kantor Pelayanan yang menerima permintaan bantuan Pemeriksaan wajib membantu dan memberitahukan hasil pelaksanaan Pemeriksaan dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja kepada Kantor Pelayanan yang meminta bantuan.


Pasal 115


(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114, Pemeriksaan terhadap objek Pemeriksaan yang berada diluar wilayah kerja Kantor Pelayanan dapat dilakukan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan jika dipandang lebih efisien dan efektif.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan Kantor Pelayanan dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi objek Pemeriksaan berada.


Pasal 116


Ketentuan mengenai pelaksanaan Pemeriksaan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



BAB XII
PENCEGAHAN


Bagian Pertama
Objek Pencegahan


Pasal 117


Objek Pencegahan adalah:

  1. Penanggung Hutang, yaitu:

    1. pihak-pihak yang menandatangani perikatan hutang atau orang-orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
    2. direksi/anggota pengurus perusahaan/yayasan/koperasi;
    3. anggota dewan komisaris/dewan pengawas yang berdasarkan Anggaran Dasar atau keputusan Rapat Umum Pemegang Saham melakukan tindakan kepengurusan; atau
    4. salah seorang pesero dan atau pesero pengurus dari Badan Usaha dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennootschap, atau persekutuan perdata.
  2. Penjamin Hutang, yaitu: penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarantee);
    1. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau
    2. pengurus dari badan usaha atau badan hukum yang mengikatkan diri sebagai penjamin (corporate guarantee).
    3. Bagian Kedua Penetapan Pencegahan


Pasal 118


Objek Pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 dapat dicegah sesuai ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku.



Pasal 119


Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, dan pencabutan Pencegahan ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan.



Bagian Ketiga
Syarat Pencegahan


Pasal 120


(1) Pencegahan hanya dapat dilakukan setelah SP3N diterbitkan.
(2) Pencegahan dilaksanakan dengan memperhatikan efektivitas dan efisiensi.


Pasal 121


Pencegahan dapat dilakukan dalam hal:

  1. sisa hutang:
    1. lebih dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah); atau
    2. kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) tetapi objek Pencegahan sering bepergian keluar wilayah Republik Indonesia;
  2. objek Pencegahan beritikad tidak baik; dan
  3. nilai Barang Jaminan diperkirakan tidak menutup sisa hutang


Pasal 122


(1) Objek Pencegahan dapat dikategorikan sering keluar wilayah Republik Indonesia jika selama kurun waktu 12 (dua belas) bulan objek Pencegahan paling sedikit 2 (dua) kali keluar wilayah Republik Indonesia.
(2) Kesimpulan bahwa objek Pencegahan sering bepergian keluar wilayah Republik Indonesia dapat diperoleh Kantor Pelayanan dari paspor objek Pencegahan, pengakuan objek Pencegahan,informasi dari instansi berwenang, Penyerah Piutang dan atau dari sumber lainnya.


Pasal 123


(1) Objek Pencegahan dapat dikategorikan beritikad tidak baik dalam hal:
a. tidak pernah atau jarang memenuhi panggilan Kantor Pelayanan;
b. belum pernah membayar atau pernah membayar dalam jumlah relatif kecil dibanding sisa hutangnya;
c. menunda-nunda pembayaran tanpa alasan yang sah; dan atau
d. bergaya hidup mewah.
(2) Kesimpulan objek Pencegahan bergaya hidup mewah dapat diperoleh dari hasil penelitian lapangan, informasi dari Penyerah Piutang, dan atau informasi dari pihak lain.


Bagian Keempat
Kasus Piutang Negara Lebih Dari Satu


Pasal 124


Dalam hal objek Pencegahan mempunyai kewajiban menyelesaikan hutang lebih dari satu kasus Piutang Negara dan telah dicegah pada salah satu kasus, tidak dilakukan Pencegahan kembali untuk kasus yang lain sepanjang jangka waktu Pencegahan dan atau perpanjangan Pencegahan masih berlaku.



Pasal 125


Dalam hal jangka waktu Pencegahan dan atau perpanjangan Pencegahan telah berakhir, objek Pencegahan dapat dicegah untuk kasus yang lain.



Bagian Kelima
Jangka Waktu


Pasal 126


(1) Jangka waktu Pencegahan berlaku paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing selama 6 (enam) bulan.
(2) Keputusan perpanjangan:
  1. Pencegahan pertama, ditetapkan sebelum jangka waktu Pencegahan berakhir; dan
  2. Pencegahan kedua, ditetapkan sebelum jangka waktu perpanjangan Pencegahan Pertama berakhir.


Pasal 127


Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan berakhir demi hukum dalam hal:

  1. jangka waktu Pencegahan berakhir dan tidak ada perpanjangan;
  2. jangka waktu perpanjangan Pencegahan pertama berakhir dan tidak ada perpanjangan; atau
  3. jangka waktu perpanjangan Pencegahan kedua berakhir.


Bagian Keenam
Izin Keluar Wilayah Republik Indonesia


Pasal 128


(1) Izin Keluar wilayah Republik Indonesia dalam jangka waktu Pencegahan atau perpanjangan Pencegahan dapat diberikan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri Keuangan.
(2) Permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh objek Pencegahan dengan dilengkapi bukti-bukti yang mendukung alasan keluar wilayah Republik Indonesia.


Pasal 129


(1) Izin keluar wilayah Republik Indonesia diberikan berdasarkan pertimbangan bahwa objek Pencegahan:
a. menjalankan tugas negara atau mewakili kepentingan negara di forum internasional;
b. menjalankan ibadah haji;
c. memerlukan perawatan atau pengobatan kesehatan keluar wilayah Republik Indonesia yang didukung oleh rekomendasi dokter ahli di Indonesia;
d. melakukan kerjasama dengan mitra luar negeri untuk kegiatan usaha dalam rangka menyelesaikan hutangnya; atau
e. memerlukan pergi keluar wilayah Republik Indonesia karena alasan kemanusiaan.
(2) Alasan kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e antara lain objek pencegahan membesuk atau mendampingi orang tua/suami/istri/anak yang memerlukan pengobatan/perawatan.


Bagian Ketujuh
Pencabutan


Pasal 130


Pencabutan Pencegahan terhadap objek Pencegahan dapat dilakukan dalam hal:

  1. Piutang Negara dinyatakan lunas;
  2. pengurusan Piutang Negara ditarik oleh atau dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
  3. objek Pencegahan telah menunjukkan itikad baik dengan:
    1. melakukan pembayaran ke arah pelunasan; dan
    2. mengajukan rencana penyelesaian hutangnya secara jelas;
  4. objek Pencegahan telah meninggal dunia; atau  
  5. terdapat perubahan susunan kepengurusan yang dibuktikan dengan surat persetujuan dari Rapat Umum Pemegang Saham dan Penyerah Piutang.


Bagian Kedelapan
Pengajuan Usul


Pasal 131


Usul penetapan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan pemberian izin keluar wilayah Republik Indonesia diajukan oleh Kepala Kantor Pelayanan kepada Direktur Jenderal.



Pasal 132


Ketentuan mengenai usul Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan pemberian izin keluar wilayah Republik Indonesia diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Kesembilan
Keputusan


Pasal 133


(1) Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, dan pencabutan Pencegahan ditetapkan secara tertulis.
(2) Keputusan Pencegahan dan perpanjangan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas objek Pencegahan;
b. alasan Pencegahan; dan
c. jangka waktu Pencegahan.
(3) Keputusan pencabutan Pencegahan memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas objek Pencegahan; dan
b. alasan pencabutan Pencegahan.
(4) Izin keluar wilayah Republik Indonesia diberikan secara tertulis yang memuat sekurang-kurangnya:
a. identitas objek Pencegahan;
b. pertimbangan pemberian izin; dan
c. jangka waktu izin keluar wilayah Republik Indonesia.


Pasal 134


(1) Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, pencabutan Pencegahan, dan izin keluar wilayah Republik Indonesia disampaikan dengan surat tercatat kepada objek Pencegahanselambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal penetapan.
(2) Salinan Keputusan Pencegahan, perpanjangan Pencegahan, Pencabutan Pencegahan, dan izin keluar wilayah Republik Indonesia disampaikan kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.


BAB XIII
SURAT PAKSA


Bagian Pertama
Penerbitan Surat Paksa


Pasal 135


Penagihan sekaligus dengan Surat Paksa dilakukan dalam hal:

  1. Penanggung Hutang tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam Pernyataan Bersama, setelah terlebih dahulu diberi peringatan tertulis;
  2. Penanggung Hutang menandatangani Pernyataan Bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dan tidak melunasinya; atau
  3. telah diterbitkan Penetapan Jumlah Piutang Negara.


Pasal 136


(1) Panitia Cabang menerbitkan Surat Paksa yang ditandatangani oleh Ketua Panitia Cabang.
(2) Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:
  1. irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa";
  2. identitas Penyerah Piutang serta nomor dan tanggal surat penyerahan pengurusan Piutang Negara;
  3. identitas Penanggung Hutang;
  4. sisa hutang yang harus diselesaikan termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara;
  5. alasan yang menjadi dasar penagihan;
  6. dasar hukum penerbitan Surat Paksa;
  7. perintah kepada Penanggung Hutang untuk melunasi seluruh hutangnya dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa;
  8. tempat dan tanggal penetapan; dan
  9. tanda tangan Ketua Panitia Cabang.


Pasal 137


(1) Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia lewat waktu 6 (enam) bulan, Surat Paksa dibuat atas nama para ahli warisnya tiap orang secara pro rata parte sebagai Penanggung Hutang kepada negara.
(2) Dalam Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) juga dicantumkan nama Penanggung Hutang yang telah meninggal dunia.
(3) Dalam hal ahli waris Penanggung Hutang belum diketahui atau belum ditetapkan, Surat Paksa diterbitkan atas nama "Ahli waris Almarhum Penanggung Hutang."


Bagian Kedua
Pemberitahuan Surat Paksa


Pasal 138


(1) Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Piutang Negara dengan membacakan dan menyerahkan salinan Surat Paksa.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.


Pasal 139


(1) Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa memuat sekurang kurangnya:
a. hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Paksa;
b. identitas Jurusita Piutang Negara, penerima Surat Paksa, dan saksi-saksi; dan
c. tempat pemberitahuan Surat Paksa.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh:
a. Jurusita Piutang Negara;
b. saksi-saksi; dan
c. Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa.


Pasal 140


(1) Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan kepada Penanggung Hutang di tempat tinggal, kantor/tempat usahanya, atau di tempat lain yang memungkinkan.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang tidak dijumpai, Surat Paksa diberitahukan kepada orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di kantor/tempat usaha Penanggung Hutang untuk disampaikan kepada Penanggung Hutang.


Pasal 141


(1) Dalam hal Penanggung Hutang meninggal dunia dan harta warisan belum dibagi, Surat Paksa diberitahukan kepada salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat atau yang mengurus harta peninggalannya.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia dan harta warisan telah dibagi, Surat Paksa diberitahukan kepada para ahli waris.


Pasal 142


(1) Surat Paksa terhadap:
a. badan hukum berbentuk perseroan terbatas diberitahukan kepada salah seorang direksi atau salah seorang komisaris di tempat kedudukan perseroan terbatas yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan;
b. badan hukum berbentuk koperasi yayasan diberitahukan kepada salah seorang pengurus di tempat kedudukan koperasi atau yayasan yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau ditempat lain yang memungkinkan;
c. badan usaha berbentuk firma diberitahukan kepada salah seorang firman ditempat kedudukan firma yang bersangkutan, di tempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan; atau
d. badan usaha berbentuk commanditer venootschap diberitahukan kepada salah seorang persero pengurus di tempat kedudukan commanditer venootschap yang bersangkutan, ditempat tinggalnya, atau di tempat lain yang memungkinkan.
(2) Dalam hal Jurusita Piutang Negara tidak dapat menjumpai salah seorang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, Surat Paksa diberitahukan kepada salah seorang karyawan di tempat kedudukan atau tempat usaha badan hukum/badan usaha untuk disampaikan kepada penanggungjawab badan hukum/badan usaha yang bersangkutan.


Pasal 143


(1) Surat Paksa diberitahukan melalui aparat pemerintah desa/kelurahan setempat, dalam hal pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140, Pasal 141, atau Pasal 142:
a. tidak dapat dilaksanakan; atau
b. di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain yang memungkinkan tidak ditemui seseorang.
(2) dalam melaksanakan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Jurusita Piutang Negara melakukan hal sebagai berikut:
a. menyerahkan salinan Surat Paksa;
b. meminta kesediaan untuk menyampaikan Surat Paksa kepada Penanggung Hutang;
c. mencatat hal-hal yang dilakukan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa; dan
d. meminta menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa sebagai tanda mengetahui.


Pasal 144


Dalam hal Penanggung Hutang dinyatakan pailit, Surat Paksa diberitahukan kepada Kurator/Balai Harta Peninggalan atau Hakim Pengawas.



Pasal 145


Dalam hal hukum/badan usaha dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, Surat Paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani untuk melakukan pemberesan, atau likuidator.



Pasal 146


Dalam hal Penanggung Hutang menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus yang diketahui atau dituangkan dalam akta notaris, Surat Paksa dapat diberitahukan kepada penerima kuasa.



Pasal 147


(1) Pemberitahuan Surat Paksa tetap dilaksanakan dalam hal Penanggung Hutang tidak mempunyai tempat tinggal/kediaman yang dikenal di Indonesia atau menghilang.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan:
a. menempelkan salinan Surat Paksa di papan pengumuman yang ada di Kantor Pelayanan yang menerbitkannya;
dan atau
b. dimuat dalam surat kabar harian.


Pasal 148


(1) Dalam hal Penanggung Hutang menolak untuk menerima Surat Paksa, Jurusita Piutang Negara meninggalkan salinan Surat Paksa dan mencatat dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.
(2) Pemberitahuan Surat Paksa tetap sah meskipun Penanggung Hutang atau penerima Surat Paksa menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Paksa.


Pasal 149


Dalam hal Penanggung Hutang bertempat tinggal di daerah sangat terpencil yang sulit dijangkau oleh alat transportasi, pemberitahuan Surat Paksa dilaksanakan dengan mempertimbangkan efisiensi biaya dan waktu.



Pasal 150


Surat Paksa tidak boleh diberitahukan kepada Penanggung Hutang di:

  1. tempat ibadah selama ibadah itu dilakukan;
  2. tempat sidang resmi selama sidang itu diadakan;
  3. bursa selama waktu bursa; atau
  4. tempat pemilihan umum selama waktu pemilihan umum.


Bagian Ketiga
Pemberitahuan Surat Paksa di Luar Wilayah Kerja


Pasal 151


Dalam hal tempat penyampaian Surat Paksa berada di luar wilayah kerja Panitia Cabang atau di dalam wilayah kerja Panitia Cabang tetapi di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan meminta bantuan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat penyampaian Surat Paksa.



Pasal 152


Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dilengkapi dengan:

  1. salinan Surat Paksa; dan
  2. resume pengurusan Piutang Negara.


Pasal 153


Kantor Pelayanan yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 wajib membantu dan dalam waktu paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakan kepada Kantor Pelayanan yang meminta bantuan.



Bagian Keempat
Kekuatan Hukum


Pasal 154


Surat Paksa mempunyai kekuatan yang sama seperti putusan hakim dalam perkara perdata yang mempunyai kekuatan hukum tetap.



BAB XIV
KEPAILITAN


Pasal 155


Dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang sedang dalam proses kepailitan dan atau dinyatakan pailit, pengurusan Piutang Negara tetap dilaksanakan.



Pasal 156


Ketentuan mengenai tata cara pengurusan Piutang Negara atas Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang sedang dalam proses kepailitan atau dinyatakan pailit diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



BAB XV
PERNYATAAN


Bagian Pertama
Surat Pemerintah Penyitaan


Pasal 157


Dalam hal setelah lewat waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa diberitahukan,Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya, Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penyitaan.



Pasal 158


Surat Perintah Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Penyitaan;
  2. dasar hukum diterbitkannya Surat Perintah Penyitaan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Jurusita Piutang Negara melakukan penyitaan;
  4. uraian barang yang disita;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penyitaan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.


Bagian Kedua
Pelaksanaan Penyitaan


Pasal 159


(1) Penyitaan dilakukan terhadap barang milik Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.
(2) Dalam hal Barang Jaminan tidak ada atau diperkirakan nilainya tidak dapat menutup sisa hutang,penyitaan dapat dilakukan terhadap Harta Kekayaan Lain.


Pasal 160


Penyitaan dapat dilaksanakan terhadap barang bergerak dan atau barang tidak bergerak milik Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan atau ditempat lain, termasuk:

  1. barang dalam penguasaan pihak lain;
  2. barang yang dibebani dengan hak tanggungan/fidusia;
  3. uang dan atau harta kekayaan yang tersimpan di bank; dan atau
  4. surat-surat berharga.


Pasal 161


Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain tidak boleh dilaksanakan terhadap barang-barang sebagai berikut:

  1. tempat tidur beserta perlengkapannya dari Penanggung Hutang dan anak-anaknya, demikian pula pakaian-pakaian mereka;
  2. perlengkapan Penanggung Hutang yang bersifat dinas pada anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Pegawai Negeri Sipil menurut dinas dan pangkatnya;
  3. alat-alat pertukangan yang termasuk usaha Penanggung Hutang;
  4. persediaan makanan dan minuman untuk satu bulan yang berada di rumah Penanggung Hutang;
  5. buku-buku yang bertalian dengan jabatan/pekerjaan Penanggung Hutang atas pilihannya, demikianpula perkakas-perkakas dan alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, maupun untuk kebudayaan dan keilmuan; dan atau
  6. ternak yang semata-mata dipergunakan untuk menjalankan usaha Penanggung Hutang.


Pasal 162


(1) Penyitaan terhadap Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain dilakukan oleh Jurusita Piutang Negara berdasarkan Surat Perintah Penyitaan.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 (dua) orang saksi yang telah berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau telah menikah, dikenal, dan tidak ada hubungan keluarga dengan Jurusita Piutang Negara.


Pasal 163


(1) Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Piutang Negara memberitahukan maksud penyitaan kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang disita.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berada di tempat, tempat tinggal tidak diketahui, atau lokasi objek penyitaan berbeda dengan tempat tinggal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang, penyitaan diberitahukan kepada aparat pemerintah desa/kelurahan setempat dan atau:
  1. anggota keluarga/orang yang dipercaya Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang yang telah dewasa dan:
    1. bertempat tinggal sama dengan Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang; atau
    2. berada di lokasi objek penyitaan;
  2. pegawai senior yang berada di kantor/tempat usaha Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang; atau
  3. penyewa, penggarap, atau pihak yang menguasai secara fisik objek penyitaan.


Pasal 164


(1) Pelaksanaan penyitaan dituangkan dalam Berita Acara Penyitaan.
(2) Berita Acara Penyitaan ditandatangani oleh:
a. Jurusita Piutang Negara;
b. saksi-saksi; dan
c. Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.
(3) Berita Acara Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:
a. nomor Berita Acara Penyitaan;
b. hari, tanggal dan jam pelaksanaan penyitaan;
c. identitas Jurusita Piutang Negara dan saksi-saksi;
d. nomor dan tanggal Surat Perintah Penyitaan; dan
e. uraian barang yang disita.
(4) Selembar salinan Berita Acara Penyitaan disampaikan kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.


Pasal 165


Dalam hal barang yang disita berupa tanah atau tanah beserta bangunannya, dalam Berita Acara Penyitaan dicantumkan batas-batas tanah yang disita.



Pasal 166


Penyitaan tetap dapat dilaksanakan dan Berita Acara Penyitaan mempunyai kekuatan mengikat, meskipun Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang:

  1. menolak menandatangani Berita Acara Penyitaan; atau
  2. tidak berada di tempat objek penyitaan.


Pasal 167


Dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang tidak berada di tempat objek penyitaan, penyitaan dilaksanakan dengan ketentuan:

  1. salah seorang saksi berasal dari aparat pemerintah desa/kelurahan setempat;
  2. dalam Berita Acara Penyitaan dicantumkan alasan ketidakhadiran Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang; dan
  3. Berita Acara Penyitaan ditandatangani Jurusita Piutang Negara dan saksi-saksi.


Pasal 168


Jurusita Piutang Negara meminta bantuan kepada aparat kepolisian dan atau aparat pemerintah desa/kelurahan setempat dalam hal:

  1. tidak diperbolehkan memasuki tempat barang yang akan disita;
  2. barang yang akan disita berada di dalam ruangan/tempat yang terkunci;
  3. barang yang akan disita dalam keadaan kosong atau tidak berpenghuni; atau
  4. penghuni barang yang akan disita sedang tidak berada di tempat.


Pasal 169


(1) Barang yang telah disita dititipkan kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang, aparat pemerintah desa/kelurahan setempat, atau pengelola tempat titipan yang baik.
(2) Penerima titipan barang sitaan menandatangani Berita Acara Penyitaan.
(3) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), barang sitaan disimpan oleh Kantor Pelayanan dalam hal barang sitaan tidak dapat dititipkan.


Pasal 170


Penyitaan terhadap perhiasan emas, permata dan sejenisnya dilaksanakan Jurusita Piutang Negara dengan:

  1. meminta bantuan tenaga ahli untuk melakukan penaksiran;
  2. membuat rincian tentang jenis, jumlah, dan berat perhiasan yang disita; dan
  3. menitipkan barang sitaan ke tempat titipan yang baik.


Pasal 171


(1) Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek hanya dapat dilaksanakan setelah pemblokiran.
(2) Salinan Berita Acara Penyitaan terhadap surat berharga yang diperdagangkan di bursa efek juga disampaikan kepada Ketua Badan Pengawas Pasar Modal dan Kustodian.
(3) Penyitaan terhadap surat berharga yang tidak diperdagangkan di bursa efek dilaksanakan dengan terlebih dahulu meneliti keaslian, menghitung jumlah surat berharga dan nilai surat berharga yang disita.


Pasal 172


Penyitaan terhadap piutang dilaksanakan dengan:

  1. Membuat rincian tentang jenis dan jumlah piutang yang disita dalam Berita Acara Penyitaan; dan
  2. Membuat Berita Acara Persetujuan Pengalihan Hak Menagih dari Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang kepada Panitia Cabang, dan menyampaikan salinannya kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang dan pihak yang berkewajiban membayar hutang.


Pasal 173


Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain berupa uang tunai dilaksanakan dengan:

  1. meneliti keaslian uang;
  2. menghitung uang yang disita sesuai dengan sisa hutang; dan
  3. menyetorkan uang hasil penyitaan ke rekening Bendaharawan Penerima Kantor Pelayanan.


Pasal 174


(1) Penyitaan terhadap Harta Kekayaan Lain yang tersimpan pada bank hanya dapat dilaksanakan setelah dilakukan pemblokiran.
(2) Penyitaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan:
  1. mencantumkan jumlah uang yang disita sesuai dengan sisa hutang dalam Berita Acara Penyitaan; dan
  2. mentransfer uang hasil penyitaan ke rekening Bendaharawan Penerima Kantor Pelayanan.


Pasal 175


Penyitaan yang dilaksanakan oleh Jurusita Piutang Negara merupakan sita eksekusi.



Bagian Ketiga
Penyitaan di Luar Wilayah Kerja


Pasal 176


Dalam hal tempat barang yang akan disita berada di luar wilayah kerja Panitia Cabang atau di dalam wilayah kerja Panitia Cabang tetapi di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan meminta bantuan penyitaan kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat barang yang akan disita berada.



Pasal 177


Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 dilengkapi dengan:

  1. salinan Surat Perintah Penyitaan;
  2. fotokopi tanda bukti pemilikan;
  3. fotokopi tanda bukti pengikatan; dan
  4. resume pengurusan Piutang Negara.


Pasal 178


Kantor Pelayanan yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 wajib membantu dan dalam waktu paling lambat 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam memberitahukan tindakan yang telah dilaksanakan kepada Kantor Pelayanan yang meminta bantuan.



Bagian Keempat
Sita Persamaan


Pasal 179


Pelaksanaan penyitaan tidak dapat dilakukan terhadap barang yang telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi lain yang berwenang.



Pasal 180


Terhadap barang yang telah disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179, Jurusita Piutang Negara menyampaikan salinan Surat Paksa kepada instansi yang lebih dahulu melakukan penyitaan disertai surat permintaan agar penyitaan yang telah dilakukan oleh instansi tersebut diberlakukan juga untuk pemenuhan Surat Paksa.



Bagian Kelima
Pengumuman


Pasal 181


(1) Salinan Berita Acara Penyitaan ditempelkan pada barang yang disita, di tempat barang yang disita berada, tempat-tempat umum, dan atau tempat pengumuman di Kantor Pelayanan.
(2) Pada barang yang disita dapat ditempel atau dipasang tanda penyitaan yang memuat sekurang-kurangnya:
a. kata-kata "DALAM PENYITAAN PUPN/DJPLN";
b. nomor dan tanggal Berita Acara Penyitaan;
c. larangan untuk memindahtangankan, memindahkan hak, meminjamkan, merusak barang sitaan; dan
d. larangan untuk merusak tanda penyitaan.
(3) Penempelan atau pemasangan Salinan Berita Acara Penyitaan dan tanda penyitaan dimaksudkan sebagai pengumuman penyitaan agar penyitaan diketahui masyarakat.


Bagian Keenam
Pendaftaran


Pasal 182


Penyitaan yang telah dilaksanakan didaftarkan kepada instansi yang berwenang, sepanjang barang yang disita sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku wajib didaftarkan.



Bagian Ketujuh
Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan


Pasal 183


Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan dalam hal:

  1. Piutang Negara dinyatakan lunas;
  2. pengurusan Piutang Negara dinyatakan selesai;
  3. pengurusan Piutang Negara dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
  4. Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain tidak atau tidak lagi menjadi jaminan hutang;
  5. barang yang disita telah disita lebih dahulu oleh Pengadilan Negeri, Instansi Pajak, atau instansi lain yang berwenang; atau
  6. pelaksanaan penyitaan mengandung cacat hukum.


Pasal 184


Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan pengangkatan sita;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk mengangkat penyitaan;
  4. uraian barang yang akan diangkat sitanya;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.


Pasal 185


Berdasarkan Surat Perintah Pengangkatan Penyitaan Kantor Pelayanan membuat Surat Pemberitahuan Pengangkatan Sita yang ditujukan kepada instansi yang menerima salinan Berita Acara Penyitaan dan atau instansi menerima pendaftaran penyitaan.



BAB XVI
PAKSA BADAN


Bagian Pertama
Objek Paksa Badan


Pasal 186


Objek Paksa Badan adalah:


a. Penanggung Hutang yang terdiri dari:
1. orang yang berkedudukan sebagai pihak yang berhutang dalam perikatan hutang, atau orang yang berdasarkan undang-undang atau sebab apapun mempunyai hutang kepada negara;
2. pengurus badan hukum termasuk yayasan yang sesuai dengan akte pendirian badan hukum, diwakili oleh:
a) direksi atau pengurus perusahaan/yayasan/koperasi; dan atau
b) anggota dewan komisaris/dewan pengawas;
3. salah seorang pesero dan atau pesero pengurus dari badan hukum dalam hal Penanggung Hutang adalah firma, commanditer vennotschap, atau persekutuan perdata;
b. Penjamin Hutang, terdiri dari:
  1. penjamin hutang pribadi (borgtocht atau personal guarentee);
  2. penjamin atas pembayaran wesel (avalist); atau
  3. pengurus badan usaha atau badan hukum yang mengikat diri sebagai penjamin (corporate guarantee);
c. pemegang saham, dalam hal:
  1. secara langsung atau tidak langsung memanfaatkan perseroan untuk kepentingan pribadi;
  2. terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan dalam perseroan; atau
  3. secara melawan hukum menggunakan kekayaan perseroan yang mengakibatkan kekayaan perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi hutang perseroan; dan atau
d. ahli waris yang telah menerima warisan dari Penanggung Hutang.


Bagian Kedua
Surat Perintah Paksa Badan


Pasal 187


(1) Surat Perintah Paksa Badan diterbitkan dalam hal:
a. Penanggung Hutang tidak memenuhi Surat Paksa;
b. sisa hutang Penanggung Hutang paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah);
c. Barang Jaminan tidak ada atau tidak menutup sisa hutang;
d. Penanggung Hutang mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutang tetapi tidak menunjukkan itikad baik untuk menyelesaikan; dan
e. objek Paksa Badan yang belum berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
(2) Dalam hal informasi mengenai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan atau huruf e tidak ada atau tidak mencukupi, dapat dilakukan Pemeriksaan.


Pasal 188


Surat Perintah Paksa Badan dapat diterbitkan terhadap objek Paksa Badan:

  1. yang telah atau sedang dilakukan pencegahan; dan atau
  2. yang telah dipaksa badan untuk hutang yang lain.


Pasal 189


(1) Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Paksa Badan setelah memperoleh izin dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat.
(2) Permohonan izin Paksa Badan diajukan oleh Panitia Cabang kepada Kepala Kejaksaan Tinggi setempat setelah rencana Paksa Badan disetujui oleh Ketua Panitia Pusat.


Pasal 190


Surat Perintah Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Paksa Badan;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Paksa Badan;
  3. nomor dan tanggal:
    1. surat izin Kepala Kejaksaan Tinggi setempat; dan
    2. surat persetujuan Ketua Panitia Pusat;
  4. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Jurusita Piutang Negara melaksanakan Paksa Badan;
  5. identitas objek Paksa Badan;
  6. jangka waktu Paksa Badan;
  7. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Paksa Badan; dan
  8. tanda tangan Panitia Cabang.


Bagian Ketiga
Penangguhan


Pasal 191


Surat Perintah Paksa Badan dapat ditangguhkan pelaksanaannya dalam hal terdapat:

  1. penetapan penangguhan Paksa Badan dari pengadilan; atau
  2. pembayaran hutang lebih dari 50% (lima puluh persen) dari sisa hutang.


Pasal 192


Penangguhan pelaksanaan Surat Perintah Paksa Badan diberikan secara tertulis oleh Panitia Cabang berlaku untuk jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan.



Bagian Keempat
Jangka Waktu


Pasal 193


Jangka waktu Paksa Badan paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak objek Paksa Badan ditempatkan dalam tempat Paksa Badan.



Pasal 194


Jangka waktu Paksa Badan dapat diperpanjang oleh Panitia Cabang sebanyak 1 (satu) kali paling lama 6 (enam) bulan.



Bagian Kelima
Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan


Pasal 195


(1) Surat Perintah Paksa Badan diberitahukan oleh Jurusita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan sesuai ketentuan mengenai pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138, Pasal 140, Pasal 141, Pasal 142, Pasal 143, Pasal 144, Pasal 145, Pasal 146, Pasal 148, Pasal 150, Pasal 151, dan Pasal 153.
(2) Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.


Pasal 196


(1) Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
a. hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan;
b. identitas Jurusita Piutang Negara, penerima Surat Perintah Paksa Badan, dan saksi-saksi; dan
c. tempat pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh:
a. Jurusita Piutang Negara;
b. saksi-saksi; dan
c. objek Paksa Badan atau penerima Surat Perintah Paksa Badan.


Pasal 197


Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan atau penerima Surat Perintah Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan.



Bagian Keenam
Pelaksanaan Paksa Badan


Pasal 198


(1) Paksa Badan dilaksanakan setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan dalam hal:
a. Penanggung Hutang tidak melunasi hutangnya; dan
b. objek Paksa Badan belum berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Paksa Badan dapat dilaksanakan sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari namun telah lewat waktu 24 (dua puluh empat) jam sejak pemberitahuan Surat Perintah Paksa Badan, dalam hal terdapat izin tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi setempat dengan alasan untuk kepentingan umum.


Pasal 199


(1) Paksa Badan dilaksanakan oleh Jurusita Piutang Negara dibantu oleh dua orang saksi penduduk Indonesia yang telah mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan dikenal oleh Jurusita Piutang Negara sebagai orang yang dipercaya.
(2) Dalam melaksanakan Paksa Badan, Kepala Kantor Pelayanan dan atau Jurusita Piutang Negara dapat meminta bantuan aparat kepolisian dan atau kejaksaan setempat.


Pasal 200


(1) Jurusita Piutang Negara membuat Berita Acara Paksa Badan pada saat objek Paksa Badan ditempatkan di Tempat Paksa Badan.
(2) Berita Acara Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
a. nomor Berita Acara Paksa Badan;
b. hari, tanggal dan jam pelaksanaan Paksa Badan;
c. identitas Jurusita Piutang Negara dan saksi-saksi;
d. nomor dan tanggal Surat Perintah Paksa Badan; dan
e. hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan Paksa Badan.
(3) Berita Acara Paksa Badan ditandatangani oleh:
a. Jurusita Piutang Negara;
b. saksi-saksi; dan
c. objek Paksa Badan.
(4) Salinan Surat Perintah Paksa Badan dan salinan Berita Acara Paksa Badan disampaikan oleh Jurusita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.


Pasal 201


Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Paksa Badan.



Pasal 202


Paksa Badan yang telah dilaksanakan tidak menghilangkan atau mengurangi:

  1. kewajiban Penanggung Hutang untuk melunasi hutang; dan
  2. status Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain sebagai tanggungan atas hutang Penanggung Hutang.


Bagian Ketujuh
Tempat Paksa Badan


Pasal 203


(1) Paksa Badan dilaksanakan di rumah Paksa Badan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal.
(2) Dalam hal rumah Paksa Badan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum dapat diadakan, Paksa Badan dilaksanakan di lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara.


Pasal 204


Dalam hal Tempat Paksa Badan yang akan digunakan adalah rumah Paksa Badan yang diadakan oleh Direktorat Jenderal, Kantor Pelayanan membentuk satuan tugas Paksa Badan yang bertugas untuk mengawasi objek Paksa Badan selama dalam pelaksanaan Paksa Badan.



Pasal 205


Dalam hal Tempat Paksa Badan yang akan digunakan lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan negara, Kantor Pelayanan melakukan koordinasi dengan instansi yang terkait.



Bagian Kedelapan
Biaya


Pasal 206


(1) Biaya pelaksanaan Paksa Badan termasuk biaya keperluan hidup objek Paksa Badan di tempat Paksa Badan ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung oleh Direktorat Jenderal.


Bagian Kesembilan
Hak Objek Paksa Badan


Pasal 207


(1) Selama pelaksanaan Paksa Badan di Tempat Paksa Badan, objek Paksa Badan berhak:
a. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya;
b. memperoleh pelayanan kesehatan;
c. mendapatkan makan;
d. memperoleh bahan bacaan atas biaya sendiri; dan
e. menerima kunjungan pada waktu tertentu dari:
1. keluarga dan sahabat;
2. dokter pribadi atas biaya sendiri; dan atau
3. rohaniwan.
(2) Dalam hal hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b dan huruf c diperoleh atas biaya sendiri dan hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d dan huruf e, dapat dilakukan setelah memperoleh izin dari pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.


Bagian Kesepuluh
Izin Keluar dari Tempat Paksa Badan


Pasal 208


(1) Objek Paksa Badan yang sedang menjalankan Paksa Badan dapat diizinkan keluar dari Tempat Paksa Badan dalam hal objek Paksa Badan akan:
a. melaksanakan ibadah di tempat ibadah;
b. menghadiri sidang di pengadilan;
c. mengikuti pemilihan umum di tempat pemilihan umum;
d. menjalani pemeriksaan kesehatan atau pengobatan di rumah sakit; atau
e. menghadiri pemakaman orangtua, suami/isteri, dan atau anak.
(2) Izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan atas permohonan objek Paksa Badan.


Pasal 209


Dalam hal dari hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208 ayat (1) huruf d objek Paksa Badan harus menjalani pengobatan secara rawat inap, masa perawatan tidak mengurangi jangka waktu Paksa Badan.



Pasal 210


(1) Persetujuan atau penolakan izin keluar dari Tempat Paksa Badan diterbitkan oleh Panitia Cabang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak permohonan izin diterima dan disampaikan kepada objek Paksa Badan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(2) Dalam hal Tempat Paksa Badan yang digunakan adalah lembaga pemasyarakatan atau rumah tahanan, persetujuan atau penolakan izin keluar dari Tempat Paksa Badan disampaikan kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.


Pasal 211


Jangka waktu izin keluar dari Tempat Paksa Badan ditetapkan paling lama 6 (enam) jam.



Bagian Kesebelas
Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan


Pasal 212


Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan diterbitkan oleh panitia Cabang dalam jangka waktu 1 (satu) hari sampai dengan 30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu Paksa Badan berakhir.



Pasal 213


Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:

  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Jurusita Piutang Negara untuk melaksanakan perpanjangan Paksa Badan;
  4. identitas objek Paksa Badan;
  5. jangka waktu perpanjangan Paksa Badan;
  6. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan; dan
  7. tanda tangan Panitia Cabang.


Bagian Kedua Belas
Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan


Pasal 214


(1) Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan diberitahukan oleh Jurusita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2) Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.


Pasal 215


(1) Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
a. hari, tanggal, dan jam pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan;
b. dentitas Jurusita Piutang Negara, objek Paksa Badan, dan saksi-saksi; dan
c. tempat pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh:
a. Jurusita Piutang Negara
b. saksi-saksi; dan
c. objek Paksa Badan.
(3) Salinan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan dan salinan Berita Acara Pemberitahuan Perpanjangan Paksa Badan disampaikan oleh Jurusita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.


Pasal 216


Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan tetap sah meskipun objek Paksa Badan menolak menandatangani Berita Acara Pemberitahuan Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan.



Bagian Ketiga Belas
Objek Paksa Badan Melarikan Diri


Pasal 217


(1) Objek Paksa Badan yang melarikan diri dari tempat Paksa Badan, dapat segera dilaksanakan Paksa Badan kembali berdasarkan Surat Perintah Paksa Badan atau Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan yang telah diterbitkan.
(2) Pelaksanaan Paksa Badan kembali sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jangka waktunya sama dengan masa pelaksanaan Paksa Badan menurut Surat Perintah Paksa Badan atau Surat Perintah Perpanjangan Paksa Badan yang telah diterbitkan, tanpa memperhitungkan jangka waktu pelaksanaan Paksa Badan yang telah dijalani sebelum objek Paksa Badan melarikan diri.


Pasal 218


(1) Objek Paksa Badan berkewajiban membayar ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian.
(2) Ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian meliputi biaya:
a. pelaksanaan Paksa Badan sebelum objek Paksa Badan melarikan diri; dan
b. untuk mencari objek Paksa Badan.
(3) Ganti kerugian dan biaya yang timbul karena pelarian ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal.


Bagian Keempat Belas
Pembatalan Paksa Badan


Pasal 219


Pelaksanaan Paksa Badan terhadap objek Paksa Badan yang dibatalkan oleh pengadilan, hanya dapat dipaksa badan lagi untuk hutang yang sama setelah lampau waktu 8 (delapan) hari sejak dibebaskan.



Pasal 220


Paksa Badan yang telah dijalankan sebelum dibatalkan oleh Pengadilan, diperhitungkan dengan pelaksanaan Paksa Badan berikutnya.



Bagian Kelima belas
Pembebasan Objek Paksa Badan


Pasal 221


(1) Objek Paksa Badan harus dibebaskan dalam hal:
a. Piutang Negara dinyatakan lunas;
b. pengurusan Piutang Negara ditarik oleh atau dikembalikan kepada Penyerah Piutang;
c. objek Paksa Badan telah berumur 75 (tujuh puluh lima) tahun;
d. objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum; atau
e. jangka waktu Paksa Badan berakhir.
(2) Objek Paksa Badan dapat dibebaskan dalam hal:
a. terdapat pembayaran hutang paling sedikit 70%(tujuh puluh persen) dari sisa hutang; atau
b. terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi demi kepentingan umum.


Pasal 222


Keterangan bahwa objek Paksa Badan mengalami gangguan kejiwaan berat sehingga menjadi tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum, dibuktikan dengan surat keterangan dari dokter yang ditunjuk oleh Panitia Cabang.



Pasal 223


Dalam hal terdapat permintaan tertulis dari Kepala Kejaksaan Tinggi untuk membebaskan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan demi kepentingan umum, Panitia Cabang terlebih dahulu secara tertulis meminta persetujuan dari Ketua Panitia Pusat.



Pasal 224


(1) Pembebasan Paksa Badan dilaksanakan dengan menerbitkan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan yang ditandatangani oleh Panitia Cabang.
(2) Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
  1. pertimbangan diterbitkannya Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan;
  2. dasar hukum penerbitan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan;
  3. perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk menugaskan Jurusita Piutang Negara membebaskan objek Paksa Badan;
  4. identitas objek Paksa Badan;
  5. tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan; dan
  6. tanda tangan Panitia Cabang.


Bagian Keenam belas
Pelaksanaan Pembebasan Objek Paksa Badan


Pasal 225


Dalam hal objek Paksa Badan akan dibebaskan dari Tempat Paksa Badan, Panitia Cabang memberitahukan secara tertulis kepada pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.



Pasal 226


(1) Pembebasan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan dilaksanakan oleh Jurusita Piutang Negara dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(2) Pembebasan objek Paksa Badan dari Tempat Paksa Badan dituangkan dalam Berita Acara Pembebasan Paksa Badan.


Pasal 227


(1) Berita Acara Pembebasan Paksa Badan memuat sekurang-kurangnya:
a. hari, tanggal, dan jam pembebasan objek Paksa Badan; dan
b. identitas Jurusita Piutang Negara, objek Paksa Badan, dan saksi-saksi.
(2) Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditandatangani oleh:
a. Jurusita Piutang Negara;
b. saksi-saksi; dan
c. objek Paksa Badan.
(3) Salinan Surat Perintah Pembebasan Paksa Badan dan salinan Berita Acara Pembebasan Paksa Badan disampaikan oleh Jurusita Piutang Negara kepada objek Paksa Badan dan pimpinan atau penanggung jawab Tempat Paksa Badan.


Bagian Ketujuh belas
Kerjasama


Pasal 228


Dalam rangka kelancaran pelaksanaan Paksa Badan, Direktur Jenderal/Ketua Panitia Pusat dapat melakukan kerjasama dengan Kejaksaan Agung, Kepolisian Republik Indonesia, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Penyerah Piutang, dan atau instansi lain yang terkait.



BAB XVII
PENILAIAN


Bagian Pertama
Objek Penilaian dan Penilai


Pasal 229


(1) Objek penilaian adalah Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain.
(2) Barang yang akan dicairkan harus dilakukan penilaian.


Pasal 230


(1) Penilaian terhadap objek penilaian dilakukan oleh Tim Penilai Internal.
(2) Dalam hal objek penilaian bersifat khusus dan atau barang tidak berwujud, penilaian dilakukan oleh Penilai Eksternal.
(3) Penilaian terhadap objek penilaian yang bersifat tidak khusus dan atau bukan barang tidak berwujud dapat dilakukan oleh Penilai Eksternal dalam hal terdapat usul dan pembiayaan dari Penyerah Piutang.


Pasal 231


(1) Objek penilaian bersifat khusus yaitu jika objek penilaian:
a. diwujudkan atau dirancang secara khusus;
b. memiliki manfaat terbatas pada penggunaan tertentu; dan atau
c. jarang dijual di pasar terbuka.
(2) Objek penilaian bersifat khusus antara lain kilang minyak, pembangkit tenaga listrik, instalasi dermaga, sekolah/kampus, rumah sakit/tempat pelayanan kesehatan, tempat rekreasi, tempat ibadah, atau objek dengan konstruksi, tata letak, ukuran, dan atau spesifikasi khusus.


Pasal 232


(1) Tidak termasuk dalam kategori objek penilaian bersifat khusus antara lain bangunan rumah, toko, kantor, pabrik dan mesin-mesin, gudang, atau pompa bensin.
(2) Dalam hal objek penilaian tidak bersifat khusus namun Tim Penilai Internal pada Kantor Pelayanan yang bersangkutan tidak memiliki keahlian untuk melakukan penilaian, penilaian dapat dilakukan oleh Penilai Eksternal.


Pasal 233


Ketentuan mengenai Tim Penilai Internal diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Kedua
Pelaksanaan Penilaian


Pasal 234


Data barang yang akan dinilai diinventarisir sebagai bahan penilaian.



Pasal 235


(1) Survei lapangan dilakukan untuk mengumpulkan data/informasi yang berkaitan dengan objek penilaian.
(2) Untuk kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan pemeriksaan fisik.


Pasal 236


(1) Survei lapangan dapat dilaksanakan oleh 1 (satu) orang anggota Tim Penilai Internal.
(2) Hasil survei lapangan dievaluasi dan dianalisis oleh Tim Penilai Internal sebagai dasar menetapkan nilai objek penilaian.


Pasal 237


Ketentuan mengenai tata cara penilaian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Ketiga
Laporan Penilaian


Pasal 238


(1) Hasil Penilaian dituangkan dalam Laporan Penilaian yang ditandatangani oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) anggota Tim Penilai Internal.
(2) Laporan Penilaian memuat sekurang-kurangnya:
  1. uraian objek penilaian;
  2. tujuan penilaian;
  3. tanggal survei lapangan;
  4. tanggal penilaian
  5. metode penilaian; dan
  6. Nilai Pasar dan Nilai Likuidasi.


Pasal 239


(1) Nilai Likuidasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (2) huruf f adalah Nilai Pasar dikurangi dengan risiko-risiko lelang.
(2) Risiko-risiko lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan paling tinggi 30% (tiga puluhpersen) dari Nilai Pasar.


Pasal 240


(1) Laporan Penilaian berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung mulai tanggal penilaian.
(2) Setelah dilakukan survei lapangan, Kepala Kantor Pelayanan dapat:
  1. memperpanjang masa berlaku Laporan Penilaian paling lama 6 (enam) bulan, dalam hal belum terdapat perkembangan yang berarti terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai; atau
  2. memperpendek masa berlaku Laporan Penilaian kurang dari 6 (enam) bulan, dalam hal terdapat perubahan yang bersifat signifikan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi nilai.


Pasal 241


(1) Laporan Penilaian yang disampaikan Penyerahan Piutang dapat digunakan sebagai pedoman dalam menetapkan nilai Pencairan, dengan ketentuan:
a. penilai yang ditunjuk Penyerah Piutang adalah penilai atau perusahaan penilai yang independen;
b. penilai atau perusahaan penilai memiliki izin resmi dari lembaga yang berwenang untuk melakukan kegiatan penilaian (appraisal) di Indonesia;
c. Laporan Penilaian harus ditandatangani oleh penilai yang mempunyai sertifikat praktek penilaian;
d. Laporan Penilaian masih sesuai dengan kondisi barang atau kondisi pasar yang ada; dan
e. Laporan Penilaian masih berlaku.
(2) Independen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yaitu penilai atau perusahaan penilai tidak mempunyai hubungan kepemilikan/afiliasi dengan Penyerah Piutang atau tidak mempunyaikepentingan dengan objek penilaian.


Bagian Keempat
Penilaian di Luar Wilayah Kerja


Pasal 242


(1) Dalam hal objek penilaian berada di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Kantor Pelayanan meminta bantuan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek penilaian berada.
(2) Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi sekurang-kurangnya dengan:
a. fotokopi tanda bukti pemilikan; dan
b. resume pengurusan Piutang Negara.
(3) Kantor Pelayanan yang menerima permintaan bantuan penilaian wajib membantu dan memberitahukan hasil pelaksanaan penilaian kepada Kantor Pelayanan yang meminta bantuan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permintaan bantuan diterima.


Pasal 243


(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242, penilaian terhadap objek penilaian di luar wilayah kerja Kantor Pelayanan dapat dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan yang bersangkutan jika dipandang lebih efisien dan efektif.
(2) Penilaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan dengan terlebih dahulu memberitahukan secara tertulis kepada Kantor pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek penilaian berada.


BAB XVIII
LELANG


Bagian Pertama
Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan


Pasal 244


Panitia Cabang menerbitkan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan dalam hal setelah dilakukan penyitaan, Penanggung Hutang tidak menyelesaikan hutangnya.



Pasal 245


(1) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan sekurang-kurangnya memuat hal-hal sebagai berikut:
  pertimbangan hukum diterbitkannya Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
  dasar hukum penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan;
  perintah kepada Kepala Kantor Pelayanan untuk melaksanakan Lelang;
  uraian barang sitaan yang akan dilelang;
  tempat dan tanggal penerbitan Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan; dan
  tanda tangan Panitia Cabang.
(2) Surat Perintah Penjualan Barang Sitaan diberitahukan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.


Bagian Kedua
Pengumuman Lelang


Pasal 246


Pengumuman Lelang dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Bagian Ketiga
Nilai Limit


Pasal 247


Nilai Limit barang yang akan dilelang ditetapkan:

  1. oleh Panitia Cabang; dan
  2. berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku.


Pasal 248


Nilai Limit ditetapkan paling rendah sama dengan Nilai Likuidasi.



Pasal 249


(1) Nilai Limit untuk Lelang kedua dan selanjutnya ditetapkan:
a. paling rendah sama dengan Nilai Likuidasi dan nilai penawaran tertinggi pada pelaksanaan lelang sebelumnya;
b. sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 248, dalam hal dan pelaksanaan lelang sebelumnya tidak terdapat penawaran.
(2) Penawaran tertinggi yang terjadi pada lelang sebelumnya tidak dipergunakan sebagai dasar dalam penetapan Nilai Limit dalam hal penawaran dilakukan oleh pemenang lelang yang wanprestasi.


Pasal 250


(1) Nilai Limit dapat diberitahukan kepada masyarakat umum:
a. melalui pengumuman lelang;
b. pada saat penjelasan (aanwijzing); dan atau
c. pada saat lelang berlangsung.
(2) Pemberitahuan Nilai Limit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan untuk memperoleh harga penjualan lelang yang optimal.


Pasal 251


(1) Nilai Limit disampaikan oleh Kepala Kantor Pelayanan kepada Pejabat Penjual.
(2) Dalam hal objek lelang tidak terjual, Nilai Limit dikembalikan oleh Pejabat Penjual kepada Kepala Kantor Pelayanan.


Bagian Keempat
Persiapan Lelang


Pasal 252


Kantor Pelayanan melakukan:

  1. persiapan dokumen persyaratan lelang; dan
  2. pemberitahuan rencana lelang kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang.


Pasal 253


Pemberitahuan rencana lelang dilakukan secara tertulis kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang melalui kurir atau jasa pos paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum lelang dilaksanakan.



Bagian Kelima
Layanan Kepada Calon Peserta Lelang


Pasal 254


(1) Kantor Pelayanan memberikan penjelasan kepada calon peserta lelang yang meminta penjelasan mengenai barang-barang yang akan dilelang.
(2) Kantor Pelayanan dapat mengundang calon peserta lelang dan memberikan penjelasan (aanwijzing) mengenai barang-barang yang akan dilelang.


Pasal 255


Dengan mempertimbangkan faktor efisiensi, Kantor Pelayanan dapat memberikan layanan kepada calon peserta lelang untuk melihat barang yang akan dilelang.



Bagian Keenam
Penentuan Urutan Barang yang Dilelang


Pasal 256


Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang selaku pemilik barang yang dilelang dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan guna menentukan urutan barang yang akan dilelang.



Pasal 257


Kepala Kantor Pelayanan menentukan urutan barang yang akan dilelang dalam hal:

  1. Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang tidak mengajukan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 256; atau
  2. barang maupun pemilik barang yang akan dilelang lebih dari 1 (satu) dan masing-masing pemilik mengajukan permohonan urutan barang yang akan dilelang.


Bagian Ketujuh
Uang Jaminan Lelang


Pasal 258


Kepala Kantor Pelayanan menetapkan besarnya uang jaminan Lelang untuk setiap barang yang akan dilelang.



Pasal 259


Besarnya uang jaminan Lelang ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor efektivitas dan tidak/diperkirakan tidak melampaui Nilai Limit.



Bagian Kedelapan
Pelaksanaan Lelang


Pasal 260


Lelang dilaksanakan melalui Kantor Pelayanan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Bagian Kesembilan
Lelang Terhadap Barang yang Berada di Luar Wilayah Kerja


Pasal 261


Dalam hal tempat barang yang akan dilelang berada di luar wilayah kerja Panitia Cabang atau di dalam wilayah kerja Panitia Cabang tetapi diluar wilayah kerja Kantor Pelayanan, Panitia Cabang melalui Kantor Pelayanan meminta bantuan secara tertulis kepada Kantor Pelayanan yang wilayah kerjanya meliputi tempat barang yang akan dilelang berada.



Pasal 262


Permintaan bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 dilengkapi dengan:

  1. dokumen-dokumen persyaratan lelang; dan
  2. resume pengurusan Piutang Negara;


Pasal 263


Kantor Pelayanan yang diminta bantuan untuk pelaksanaan lelang memberitahukan rencana pelaksanaan lelang kepada Kantor Pelayanan yang meminta bantuan sekaligus meminta penetapan Nilai Limit.



Pasal 264


Kantor Pelayanan yang diminta bantuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 wajib membantu dan memberitahukan hasil pelaksanaan lelang kepada Kantor Pelayanan yang meminta bantuan.



Bagian Kesepuluh
Pejabat Penjual


Pasal 265


(1) Pejabat Penjual adalah pegawai Kantor Pelayanan yang diangkat dan ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan.
(2) Kepala Kantor Pelayanan dan anggota Tim Penilai Internal tidak diperbolehkan bertindak sebagai Pejabat Penjual.


Pasal 266


Pejabat Penjual melaporkan pelaksanaan lelang kepada Kepala Kantor Pelayanan.



Bagian Kesebelas
Penundaan dan Pembatalan Rencana Lelang


Pasal 267


(1) Lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak dapat ditunda kecuali:
a. adanya putusan atau penetapan Pengadilan;
b. persyaratan lelang tidak dipenuhi; atau
c. adanya pembayaran hutang.
(2) Ketentuan mengenai penundaan lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.


Pasal 268


(1) Lelang yang akan dilaksanakan pada prinsipnya tidak dapat dibatalkan kecuali:
a. Penanggung Hutang melunasi hutang;
b. barang dan atau dokumen barang yang akan dilelang disita dalam perkara pidana;
c. barang dan atau dokumen barang yang akan dilelang telah musnah;
d. barang yang akan dilelang telah dijual tidak melalui lelang; atau
e. barang yang akan dilelang telah ditebus.
(2) Dalam hal atas 1 (satu) berkas kasus Piutang Negara terdapat beberapa barang yang akan dilelang, pembatalan rencana Lelang hanya berlaku atas objek Lelang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e, sedangkan terhadap barang lainnya Lelang tetap dilaksanakan.


Pasal 269


Penundaan atau pembatalan rencana Lelang diumumkan oleh:

  1. Kantor Pelayanan melalui:
    1. surat kabar harian;
    2. selebaran;
    3. tempelan yang mudah dibaca oleh umum di tempat Lelang dilaksanakan; dan atau
    4. media massa lainnya; dan
  2. Pejabat Penjual pada saat lelang.


Bagian Kedua belas
Pengembalian Kelebihan Hasil Lelang


Pasal 270


Dalam hal terdapat kelebihan hasil lelang setelah diperhitungkan dengan pelunasan hutang Penanggung Hutang, kelebihan hasil Lelang diserahkan kepada:

  1. Penanggung Hutang;
  2. Penjamin Hutang, dalam hal barang yang dilelang adalah milik pihak ketiga;
  3. ahli waris, dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia;
  4. Balai Harta Peninggalan, dalam hal Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang telah meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris;
  5. likuidator, dalam hal Penanggung Hutang adalah badan hukum yang telah dibubarkan; atau
  6. Pengadilan Niaga atau Kurator, dalam Penanggung Hutang dinyatakan pailit.


Pasal 271


Dalam hal hasil Lelang barang milik pihak ketiga melebihi Nilai Pengikatan, hasil Lelang yang digunakan untuk pembayaran hutang sebesar Nilai Pengikatan ditambah Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.



Pasal 272


Ketentuan mengenai kelebihan hasil Lelang diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



BAB XIX
PENJUALAN TIDAK MELALUI LELANG


Bagian Pertama
Permohonan Penjualan


Pasal 273


(1) Penanggung Hutang selaku pemilik Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain dapat mengajukan permohonan Penjualan Tidak Melalui Lelang untuk penyelesaian hutang.
(2) Permohonan Penjualan Tidak Melalui Lelang diajukan oleh Penanggung Hutang secara tertulis.
(3) Surat Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memuat sekurang-kurangnya:
  1. uraian barang yang akan dijual;
  2. nilai penjualan;
  3. identitas calon pembeli; dan
  4. cara pembayaran.


Pasal 274


Dalam hal Penanggung Hutang telah meninggal dunia, permohonan Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat diajukan oleh ahli warisnya.



Pasal 275


(1) Permohonan Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
(2) Dalam hal Barang Jaminan dan atau Harta Kekayaan Lain telah dilelang tetapi belum laku, permohonan Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat diajukan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).


Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan


Pasal 276


Persetujuan Penjualan Tidak Melalui Lelang ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan:

  1. berpedoman pada Laporan Penilaian yang masih berlaku;
  2. nilai persetujuan paling sedikit sama dengan Nilai Pasar; dan
  3. Nilai Pasar paling sedikit sama dengan Nilai Pengikatan.


Pasal 277


(1) Dalam hal Nilai Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf c di bawah Nilai Pengikatan, Kantor Pelayanan menyampaikan surat permintaan persetujuan kepada Penyerah Piutang.
(2) Penjualan Tidak Melalu Lelang dengan Nilai Pasar di bawah Nilai Pengikatan dapat dilaksanakan setelah Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penjualan kepada Panitia Cabang/Kantor Pelayanan.


Pasal 278


(1) Tanggapan atas surat permintaan persetujuan wajib disampaikan oleh Penyerah Piutang paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima oleh Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal Penyerah Piutang keberatan atas rencana penjualan dengan Nilai Pasar di bawah Nilai Pengikatan, Penyerah Piutang wajib menyampaikan secara tertulis alasan keberatan disertai Laporan Penilaian yang masih berlaku.
(3) Dalam hal Penyerah Piutang tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penjualan Tidak Melalui Lelang tetap dapat dilaksanakan.


Pasal 279


(1) Persetujuan/penolakan Penjualan Tidak Melalui Lelang ditetapkan dalam waktu paling lama 1(satu) bulan sejak surat permohonan penjualan diterima.
(2) Dalam hal Nilai Pasar di bawah Nilai Pengikatan, persetujuan/penolakan Penjualan Tidak Melalui Lelang sudah harus ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan sejak permohonan penjualan diterima.


Pasal 280


Nilai persetujuan Penjualan Tidak Melalui Lelang yang ditetapkan, termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.



Bagian Ketiga
Cara Pembayaran dan Wanprestasi


Pasal 281


Pembayaran Penjualan Tidak Melalui Lelang dapat dilakukan secara tunai maupun angsuran.



Pasal 282


(1) Dalam hal pembeli wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis.
(2) Dalam hal pembeli tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), persetujuan penjualan menjadi batal dan pembayaran yang telah dilakukan diperhitungkan sebagai pengurang jumlah hutang.


Pasal 283


Ketentuan mengenai cara pembayaran dan wanprestasi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Keempat
Moratorium Tindakan Hukum



Pasal 284


Sejak permohonan penjualan diterima Kantor Pelayanan sampai terbitnya Keputusan Panitia Cabang tentang Penjualan Tidak Melalui Lelang, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.



Pasal 285


Tindak hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk dijual.



BAB XX
PENEBUSAN


Bagian Pertama
Permohonan Penebusan


Pasal 286


(1) Penjamin Hutang dapat mengajukan permohonan untuk menebus Barang Jaminan miliknya paling sedikit sama dengan Nilai Pengikatan.
(2) Permohonan Penebusan diajukan oleh Penjamin Hutang secara tertulis.
(3) Surat permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) memuat sekurang-kurangnya:
  1. uraian barang yang akan ditebus;
  2. nilai penebusan; dan
  3. cara pembayaran.


Pasal 287


Dalam hal Penjamin Hutang telah meninggal dunia, permohonan Penebusan dapat diajukan oleh ahli warisnya.



Pasal 288


(1) Permohonan Penebusan sebesar Nilai Pengikatan dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan.
(2) Permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pengikatan dapat diajukan pada semua tingkat pengurusan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
(3) Dalam hal Barang Jaminan telah dilelang tetapi belum laku, pengajuan permohonan Penebusan dengan nilai di bawah Nilai Pengikatan tetap dapat dilakukan dengan ketentuan permohonan diterima Kantor Pelayanan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pelaksanaan Lelang berikutnya.


Pasal 289


Penebusan tidak boleh diajukan oleh Penanggung Hutang atau Penjamin Hutang yang menjamin seluruh hutang Penanggung Hutang.



Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan


Pasal 290


Persetujuan Penebusan ditetapkan oleh Panitia Cabang dengan ketentuan paling sedikit sama dengan Nilai Pengikatan.



Pasal 291


Dalam hal nilai Penebusan di bawah Nilai Pengikatan, permohonan dapat disetujui dengan ketentuan:

  1. Nilai Pasar barang yang akan ditebus berdasarkan Laporan Penilaian yang masih berlaku di bawah Nilai Pengikatan;
  2. Penyerah Piutang menyetujui, menyatakan tidak keberatan, atau menyerahkan keputusan penebusan kepada Panitia Cabang/kantor Pelayanan; dan
  3. mendapat persetujuan Penanggung Hutang.


Pasal 292


(1) Permintaan persetujuan dari Kantor Pelayanan atas rencana Penebusan dengan nilai dibawah Nilai Pengikatan harus mendapat tanggapan dari Penyerah Piutang paling lama 15 (lima belas) hari kerja sejak surat permintaan persetujuan diterima oleh Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal Penyerahan Piutang keberatan atas rencana Penebusan dengan nilai dibawah Nilai Pengikatan, Penyerah Piutang wajib menyampaikan secara tertulis alasan keberatan disertai Laporan Penilaian yang masih berlaku.
(3) Dalam hal Penyerah Piutang tidak menyampaikan tanggapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Penebusan dengan nilai bawah Nilai Pengikatan tetap dapat dilaksanakan.


Pasal 293


Nilai Penebusan yang ditetapkan ditambah Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.



Pasal 294


(1) Persetujuan Penebusan sebesar Nilai Pengikatan ditetapkan dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak surat permohonan Penebusan diterima.
(2) Dalam hal nilai Penebusan di bawah Nilai Pengikatan, persetujuan/penolakan ditetapkan paling lama 2 (dua) bulan sejak surat permohonan Penebusan diterima.


Bagian Ketiga
Cara Pembayaran dan Wanprestasi


Pasal 295


Pembayaran Penebusan dapat dilakukan secara tunai maupun angsuran.



Pasal 296


(1) Dalam hal Penjamin Hutang wanprestasi terhadap syarat pembayaran, Kantor Pelayanan memberikan peringatan secara tertulis.
(2) Dalam hal pembeli tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), persetujuan Penebusan menjadi batal dan pembayaran yang telah dilakukan diperhitungkan sebagai pengurang jumlah hutang.


Pasal 297


Ketentuan mengenai cara pembayaran dan wanprestasi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Bagian Keempat
Moratorium Tindakan Hukum


Pasal 298


Sejak permohonan Penebusan diterima Kantor Pelayanan sampai terbitnya Keputusan Panitia Cabang tentang Penebusan, Kantor Pelayanan tidak melakukan tindakan hukum pengurusan Piutang Negara lebih lanjut.



Pasal 299


Tindakan hukum pengurusan Piutang Negara dapat dilaksanakan terhadap barang lain yang tidak diajukan permohonan untuk ditebus.



BAB XXI
PIUTANG NEGARA SEMENTARA BELUM DAPAT DITAGIH


Bagian Pertama
Penetapan


Pasal 300


(1)

Piutang Negara ditetapkan sebagai Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih, dalam hal masih terdapat sisa Piutang Negara, namun:

a. Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan; dan
b. Barang Jaminan tidak ada, telah dicairkan, tidak lagi mempunyai nilai ekonomis, atau bermasalah yang sulit diselesaikan

(2) Nilai ekonomis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan Laporan Penilaian bahwa barang jaminan mempunyai nilai jual yang rendah atau sama sekali tidak mempunyai nilai jual.
(3) Barang Jaminan bermasalah yang sulit diselesaikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b ditentukan berdasarkan laporan hasil Pemeriksaan.


Pasal 301


(1) Panitia Cabang menetapkan dan memberitahukan secara tertulis Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih kepada Penyerah Piutang.
(2) Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dipergunakan sebagai dasar Penyerah Piutang untuk mengusulkan penghapusbukuan piutang dari pembukuan, sesuai prosedur yang berlaku bagi Penyerah Piutang yang bersangkutan.


Pasal 302


Penetapan Piutang negara Sementara Belum Dapat Ditagih harus dilakukan Pemeriksaan terlebih dahulu,dalam hal sisa hutang paling sedikit:

  1. Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) untuk Piutang Negara perbankan; atau
  2. Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk Piutang Negara non perbankan.


Pasal 303


Pengurusan Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih dilanjutkan dalam hal pada perkembangan selanjutnya Penanggung Hutang memiliki kemampuan untuk menyelesaikan hutang.



Bagian Kedua
Piutang Negara Berasal dari Instansi Pemerintah


Pasal 304


(1) Piutang Negara Sementara Belum Dapat Ditagih terhadap Piutang Negara yang berasal dari instansi pemerintah dapat diterbitkan dalam hal Penanggung Hutang:
a. tidak mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan hutang;
b. telah meninggal dunia dan ahli waris tidak mampu menyelesaikan hutang;
c. diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil dan atau telah dikenakan hukuman pidana; atau
d. menghilangkan atau tidak diketahui tempat tinggalnya.
(2) Dalam hal Penanggung Hutang tidak mempunyai kemampuan, telah meninggal dunia, diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil, atau menghilang, dibuktikan dengan surat keterangan kepala desa/lurah setempat dan atau instansi terkait.


BAB XXII
BIAYA ADMINISTRASI PENGURUSAN PIUTANG NEGARA


Bagian Pertama
Pemungutan dan Pembebanan


Pasal 305


(1) Setiap pengurusan Piutang Negara dipungut Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.
(2) Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dibebankan kepada Penanggung Hutang dan atau Penjamin Hutang dan dikenakan terhitung mulai tanggal diterbitkannya SP3N


Pasal 306


(1) Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dikenakan dari jumlah hutang yang wajib dilunasi/diselesaikan oleh Penanggung Hutan.
(2) Biaya-biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b yang timbul setelah SP3N diterbitkan, tidak dikenakan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara.


Pasal 307


Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dipungut secara proporsional dari setiap pembayaran hutang yang diterima.



Bagian Kedua
Penerimaan Negara Bukan Pajak


Pasal 308


Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak dan wajib disetorkan ke Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Bagian Ketiga
Besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara


Pasal 309


Besarnya Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara ditetapkan sebagai berikut:

  1. tidak dikenakan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara, untuk:
    1. pelunasan hutang yang dilakukan sebelum SP3N diterbitkan; atau
    2. pengembalian pengurusan Piutang Negara.
  2. 1% (satu perseratus) dari jumlah hutang yang wajib dilunasi, untuk pelunasan hutang yang dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan SP3N;
  3. 2 ½ (dua setengah per seratus) dari sisa hutang yang wajib diselesaikan, untuk penarikan pengurusan Piutang Negara;
  4. 10% (sepuluh per seratus) dari jumlah hutang yang wajib dilunasi, untuk pelunasan hutang yang dilakukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan SP3N.


BAB XXIII
PEMBAYARAN HUTANG


Pasal 310


(1) Pelaksanaan pembayaran hutang termasuk Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara dilakukan melalui Rekening Bendaharawan Penerima Kantor Pelayanan atau Penyerah Piutang.
(2) Dalam hal pembayaran hutang berasal dari hasil Lelang, penerimaan pembayaran dilakukan melalui Rekening Bendaharawan Penerima Kantor Pelayanan.


Pasal 311


Kantor Pelayanan menatausahakan penerimaan pembayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



BAB XXIV
USUL PENGHAPUSAN


Pasal 312


Ketentuan mengenai pemberian pertimbangan atas usul penghapusan Piutang Negara yang berasal dari instansi pemerintah dan lembaga negara ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.



BAB XXV
KERJASAMA


Pasal 313


(1) Direktorat Jenderal dapat melakukan kerjasama dengan:
(1) Penyerah Piutang;
(2) Badan Usaha Milik Negara Penjamin kredit;
(3) pihak-pihak yang mempunyai keahlian di bidang pengelolaan asset, restrukturisasi hutang, peningkatan kualitas sumber daya manusia; dan atau
(4) instansi lain yang berkaitan dengan pengurusan Piutang Negara.
(2) Kerjasama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 314


Dalam rangka pelaksanaan kerjasama, biaya-biaya yang timbul dapat dibebankan kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 313 ayat (1), Direktorat Jenderal, dan atau Penanggung Hutang.



Pasal 315


Ketentuan mengenai kerjasama diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal.



BAB XXVI
PENARIKAN


Bagian Pertama
Usul Penarikan


Pasal 316


(1) Penyerah Piutang dapat mengajukan usul penarikan pengurusan Piutang Negara untuk keperluan restrukturisasi hutang;
(2) Usul penarikan disampaikan secara tertulis dengan dilengkapi rencana pelaksanaan restrukturisasi hutang.


Pasal 317


(1) Usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat diajukan sewaktu-waktu dengan ketentuan palinglambat 6 (enam) hari sebelum pelaksanaan Lelang.
(2) Dalam hal pernah dilaksanakan Lelang, penarikan dapat dilakukan dengan ketentuan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1).


Bagian Kedua
Persetujuan dan Penolakan


Pasal 318


Kantor Pelayanan segera meneliti rencana pelaksanaan restrukturisasi hutang yang disampaikan oleh Penyerah Piutang.



Pasal 319


Dalam hal usul penarikan pengurusan Piutang Negara dapat disetujui, Panitia Cabang menerbitkan Surat Persetujuan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.



Pasal 320


Dalam hal usul penarikan pengurusan Piutang Negara tidak dapat disetujui, Panitia Cabang menerbitkan Surat Penolakan Penarikan Pengurusan Piutang Negara.



Pasal 321


(1) Penarikan pengurusan Piutang Negara hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali untuk setiap kasus Piutang Negara.
(2) Pengurusan Piutang Negara terhadap kasus yang pernah ditarik, tahap pengurusan dimulai dengan menerbitkan SP3N dan tahap selanjutnya dilaksanakan sesuai ketentuan Keputusan Menteri Keuangan ini.


Bagian Ketiga
Piutang Negara Selesai


Pasal 322


(1) Dalam hal usul penarikan disetujui dan Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara atas penarikan pengurusan Piutang Negara telah diselesaikan, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai.
(2) Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi dan bukti pembayaran Biaya Administrasi Pengurusan Piutang Negara yang menunjukkan Piutang Negara telah selesai.


Pasal 323


Kantor Pelayanan menyampaikan Surat Pernyataan Pengurusan Piutang Negara Selesai kepada Penyerah Piutang disertai semua dokumen asli yang telah diterima oleh Kantor Pelayanan.



BAB XXVII
PELUNASAN


Pasal 324


(1) Dalam hal hutang Penanggung Hutang telah lunas, Panitia Cabang menerbitkan Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas.
(2) Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas diterbitkan berdasarkan hasil verifikasi dan bukti pembayaran.


Pasal 325


Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas disampaikan kepada Penanggung Hutang dan Penyerah Piutang.



BAB XXVIII
ROYA


Pasal 326


Penyerah Piutang wajib mengajukan permohonan roya, dalam hal:

  1. Barang Jaminan telah dicairkan; atau
  2. Piutang Negara dinyatakan lunas.


BAB XXIX
KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 327


Kasus Piutang Negara yang belum lunas/selesai, tahap pengurusan Piutang Negara selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan dalam Keputusan Menteri Keuangan ini.



BAB XXX
KETENTUAN PENUTUP


Pasal 328


Pada saat Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku:

  1. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 333/KMK.01/2000 tentang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 503/KMK.01/2000;
  2. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 334/KMK.01/2000 tentang Pemeriksaan di Bidang Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/KMK.01/2000; dan
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 336/KMK.01/2000 tentang Paksa Badan Dalam Rangka Pengurusan Piutang Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 506/KMK.01/2000
dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 329


Ketentuan mengenai prosedur kerja dan bentuk surat yang diperlukan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal.



Pasal 330


Keputusan Menteri Keuangan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan Menteri Keuangan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.





Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 13 Juni 2002
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

ttd


BOEDIONO