10 Oktober 2012 | 11 years ago

Susahnya Mengais Penerimaan Pajak Di Tengah Badai Krisis

Harian Kontan

305 Views

Kantor pajak mulai ngos-ngosan untuk memenuhi target penerimaan pajak tahun ini yang tinggal tiga bulan lagi. Tapi sejatinya, masih ada celah yang belum optimal untuk di gali sebagai sumber penerimaan.

BADAI krisis keuangan global yang berpusat di Eropa dan Amerika Serikat belum berlalu. Bahkan, pusaran krisis kian membesar dan menghantam negara lain termasuk Indonesia.

Permintaan global anjlok akibat krisis, baik terhadap komoditas energi maupun sumber daya alam lain. Negara pemasok mulai kelimpungan menghadapi penurunan ini. Alhasil, seluruh lembaga keuangan internasional melakukan revisi terhadap perekonomian global. Terakhir adalah Dana Moneter Internasional (IMF) yang memangkas pertumbuhan ekonomi global tahun ini dari 3,5% menjadi 3,4%.

Krisis juga sudah terasa di Indonesia. Beberapa perusahaan telah mengajukan pengurangan setoran pajak penghasilan (PPh) yang mereka bayar setiap bulan. Terutama pembayar pajak dengan basis usaha pertambangan berorientasi ekspor.

Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak bulan lalu mengumumkan, setoran pajak dari 11 wajib pajak terbesar anjlok hingga 69,3% "Kelihatannya ini menjadi satu gambaran yang sangat suram dari penerimaan pajak 2012," kata Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany.

Tapi, DPR berkata lain. Meskipun susah, kantor pajak tak boleh menyerah. Badan Anggaran DPR menetapkan rasio penerimaan pajak tahun depan sebesar 12,75%. Itu berarti, ada kenaikan sebesar Rp 14 triliun dari target awal di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 yang sebesar Rp 1.178,9 triliun.

Tekanan DPR agar kantor pajak meningkatkan kinerja dalam memenuhi setoran pajak itu bukan tanpa alasan. Saat ini, ada potensi pembayar pajak yang sejatinya mencapai 60 juta wajib pajak. Padahal, sekarang baru ada sekitar 22 juta pembayar pajak atau pemilik nomor pokok wajib pajak (NPWP). Perinciannya terdiri dari wajib pajak badan sebanyak 1,5 juta dan orang pribadi sekitar 20,5 juta NPWP.

Organization for Economic Coorperation and Development (OECD) juga menyoroti hal yang sama. Mereka menilai Indonesia perlu melakukan perluasan basis pembayar pajak. Mereka juga melihat di Indonesia ada pertumbuhan usaha kecil yang cukup besar dan selama ini mereka belum terjaring dalam sistem perpajakan sebagai pembayar pajak.

Tak hanya itu, OECD juga menyarankan Indonesia tidak perlu menjadi malaikat bagi calon investor yang masuk dengan mengobral pelbagai insentif perpajakan. Misalnya, seperti yang saat ini diumbar oleh pemerintah yakni menawarkan tax holiday dan tax allowance.

Apalagi, Indonesia memiliki potensi pasar yang cukup besar dan daya beli masyarakat yang terus meningkat. Jadi, sudah seharusnya investor yang membutuhkan Indonesia untuk berinvestasi dan pemerintah tak perlu mengemis kepada investor untuk datang berinvestasi.

Kini, sebagian besar rekomendasi OECD ini memang telah dijalankan oleh Ditjen Pajak. Contoh, ekstensifikasi dengan cara menggelar sensus pajak. Rekomendasi yang belum dilakukan oleh kantor pajak adalah mengejar wajib pajak usaha kecil. Lalu, menghentikan fasilitas keringanan pajak pada industri besar guna memancing investasi.