24 Januari 2022 | 2 years ago

Relaksasi PBB DKI Mulai 2023

Harian Bisnis Indonesia

0 Views

Bisnis, JAKARTA — Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menargetkan sudah bisa menerapkan tarif baru Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan Undang-Undang No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) pada tahun depan.

Plt. Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) DKI Jakarta Lusiana Herawati mengatakan pemerintah akan mengambil langkah akseleratif dengan memaksimalkan waktu yang dimiliki untuk melakukan kajian mengenai relaksasi tersebut.

“Kami berupaya 2023 relaksasi pajak tersebut sudah diterapkan. Kami mengebut proses kajian terkait dengan kebijakan dan dampak dari kebijakan,” ujarnya kepada Bisnis, Sabtu (22/1).

Tarif PBB sebelumnya adalah 0,1%—0,3% dikalikan dengan nilai jual objek pajak (NJOP). Dalam UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD) diatur bahwa tarif paling tinggi yang digunakan adalah 0,5%.

Dasar pengenaan PBB adalah nilai jual objek pajak (NJOP). NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB ditetapkan paling rendah 20% dan paling tinggi 100% dari NJOP sehingga tarifnya masih fleksibel.

Menurut Lusi, dengan adanya kebijakan tersebut, Pemprov DKI Jakarta mendapatkan ruang untuk membuat kebijakan terkait dengan investasi. Saat ini, dia mengaku Pemprov belum luwes terlibat dalam hal penanaman modal ke daerah.

Di sisi lain, kata dia, beberapa tujuan utama dalam relaksasi tersebut adalah dapat mendorong meningkatnya penerimaan pajak daerah dan menciptakan kemandirian fiskal daerah sehingga tidak mengganggu sistem desentralisasi yang berjalan serta tidak dianggap sebagai langkah intervensi pemerintah pusat.

Sedangkan terkait potensinya, Pemprov DKI Jakarta masih menghitung lebih detail karena untuk saat ini masih menggunakan skema perhitungan yang lama. “Potensi penerimaannya kami akan hitung dulu. Tahun ini kita masih menggunakan kebijakan yang lama,” jelasnya.

Terkait dengan penerimaan PBB DKI Jakarta, sebelumnya menjadi sorotan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta karena menjadi salah satu unsur yang tidak mencapai target realisasi pada 2021.

Penerimaan daerah Provinsi DKI Jakarta sepanjang 2021 meleset dari target yakni Rp34,55 triliun dari target penerimaan Rp37,21 triliun atau 92,84%.

Wakil Ketua Komisi C DRPD DKI Rasyidi HY mengatakan ada sejumlah faktor yang menyebabkan lesunya realisasi target penerimaan daerah di Jakarta, seperti rendahnya penerimaan pajak dari sektor Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Pajak Bumi Bangunan Pedesaan Kota (PBB-P2), dan beberapa sektor lain.

Sejumlah sektor yang tidak mencapai target yakni Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang hanya Rp8,63 triliun dari target Rp8,8 triliun (98,12%), Pajak Bumi Bangunan Pedesaan Kota (PBB-P2) Rp8,48 triliun dari Rp10,25 triliun (82,79%), dan Bea Perolehan Hak Tanah atas Bangunan (BPHTB) Rp5,45 triliun dari target Rp6,92 triliun (78,84%).

“Itu yang menyebabkan ketidaktercapaian ada 3 dari 13 unsur pajak. Padahal sasaran kita itu Rp37,21 triliun tapi hanya tercapai Rp34,5 triliun,” kata Rasyidi di Gedung DPRD DKI dalam keterangannya, Kamis (13/1).

Komisi C mendorong Bapenda DKI agar menjadikan penurunan ketiga sektor penerimaan daerah di sepanjang 2021 catatan penting dalam pengambilan kebijakan optimalisasi potensi penerimaan daerah di tahun ini.

Lusiana menyikapi hal tersebut menyatakan bakal akan memberlakukan upaya penagihan penerimaan daerah dengan sistem Open Payment. Salah satunya, terhadap mekanisme pembayaran PBB-P2 yang dapat diatur secara fleksibel oleh Wajib Pajak (WP).

“Jadi, mereka [WP] bisa mengisi kesanggupannya atau komitmennya melakukan cicilan, sehingga kita bisa memprediksi bulan Maret akan terima uang berapa, April berapa dengan jatuh tempo. Itu bisa kita lebih mudah lagi dalam menghitung cashflow kita,” kata Lusiana.

MENGHAPUS DATA WP

Dalam perkembangan lain, Badan Pengelolaan Keuangan Daerah (BPKD) Kabupaten Rejang Lebong Provinsi Bengkulu akan menghapus data wajib pajak (WP) tidak aktif yang ditemukan dalam 156 desa dan kelurahan di wilayah itu.

Kepala Bidang Pendaftaran dan Pendataan BPKD Rejang Lebong Linsa Mardalena mengatakan data wajib pajak tidak aktif tersebut diketahui saat dilakukan penagihan PBB di masing-masing desa dan kelurahan pada 2021.

“Saat kita lakukan penagihan nama-nama yang dimaksud tidak ditemukan, kemudian bangunan dan tanahnya juga tidak ada,” katanya dilansir dari Antara.

Jika data tersebut tidak dihapus, menurut Linsa, maka penarikan PBB tidak akan pernah terealisasi 100%. Jumlah wajib pajak di Rejang Lebong pada 2021 mencapai 82.000 orang dengan target penerimaan Rp2,4 miliar.

“Realisasi penagihan PBB pada tahun 2021 kemarin sampai tutup tahun sebesar Rp2.027.276.905, atau 81% dari target Rp2.433.000.000,” terangnya.

Realisasi PBB tersebut meningkat dibandingkan dengan pada 2020 senilai Rp1,8 triliun atau hanya 75% dari target yang sudah ditetapkan. Dia berharap penagihan PBB pada tahun ini yang ditargetkan Rp2 miliar bisa terealisasi.