05 Juni 2010 | 14 years ago

Penyidikan kasus pajak Grup Bakrie berlanjut

Harian Bisnis Indonesia

216 Views

JAKARTA: Direktorat Jenderal Pajak menegaskan proses penyidikan kasus pajak tiga anak perusahaan tambang milik Grup Bakrie tetap berlanjut meskipun ketiganya sudah membayar tunggakan pajaknya sebesar Rp2,17 triliun tanpa memperhitungkan dendanya.

Seperti diketahui, Ditjen Pajak tengah menyidik tiga anak perusahaan tambang batu bara milik Grup Bakrie yaitu PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Bumi Resource Tbk, dan PT Arutmin Indonesia. Jumlah sementara kerugian negara yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut sekitar Rp2,1 triliun.

Pontas Pane, Direktur Intelijen dan Penyidikan Direktorat Jenderal Pajak, menuturkan tiga perusahaan batu bara Bakrie sudah bersikap kooperatif dengan membayar sebagian total tunggakan pajak dan denda dari surat pemberitahuan tagihan (SPT) pajak 2008.

Kendati demikian, hal itu tidak akan menghentikan proses penyidikan yang tengah dilakukan oleh direktoratnya mengingat masih ada sisa tagihan yang belum dilunasi.

"Jadi totalnya sekitar Rp2 triliun sekian yang sudah dibayar. Artinya dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan yang bermasalah lainnya, [tiga anak perusahaan tambang] Bakrie itu sudah cukup kooperatif ya. Tapi penyidikan tetap jalan," jelasnya kemarin.

Pontas merinci total tagihan yang sudah dibayar adalah dari Bumi Resources sebesar Rp948 miliar, KPC Rp828 miliar, dan Arutmin Rp400 miliar. Namun, itu belum memperhitungkan denda 400% dari total tunggakannya.

Dalam Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) 2007 dan 2009 diatur bahwa penghentian penyidikan bisa dilakukan sepanjang wajib pajak mau melunasi utangnya, ditambah sanksi berupa denda empat kali dari jumlah pajak yang kurang atau tidak dibayar.

Kekurangan PNBP

Dalam perkembangan lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan kekurangan bagian pemerintah atas penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar US$714,82 juta dari kegiatan usaha hulu migas periode 2008-2009, akibat koreksi cost recovery.

Temuan tersebut merupakan hasil audit BPK terhadap PT Pertamina yang terangkum dalam dokumen Ringkasan Eksekutif Hasil Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2009.

BPK mengungkapkan total temuan tersebut merupakan akumulasi dari pendapatan sumber daya alam (SDA) migas yang belum dibagihasilkan dari kegiatan usaha hulu migas dengan perincian Rp1,9 triliun (ekuivalen US$183,81 juta) pada 2009 dan US$530,97 juta pada 2008.

"Atas kekurangan tersebut, Pertamina menyelesaikan kewajibannya kepada pemerintah melalui mekanisme offsetting dengan kewajiban pemerintah sebesar US$530,97 juta pada 2008 dan sebesar Rp1,9 triliun atau ekuivalen US$183,81 juta pada 2009," tulis BPK dalam dokumen yang diserahkan ke DPR, Rabu lalu.

Namun, BPK menyebutkan penyelesaian secara offsetting tersebut tidak dicatat sebagai pendapatan migas oleh pemerintah, tetapi sebagai pendapatan lainnya dari kegiatan usaha hulu migas.