Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa nilai sengketa terbukti dalam banding ini adalah koreksi DPP PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean sebesar Rp2.298.784.275,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPN, PPN dikenakan atas pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean. Selanjutnya jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dalam Pasal 4A UU PPN;
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, pokok sengketa merupakan transaksi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang terutang PPN sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN dan tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud Pasal 4A UU PPN;
bahwa pada Masa Pajak Juni 2014 terdapat koreksi positif DPP PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean sebesar Rp2.298.784.275,00 dengan rincian sebagai berikut:
NPWP |
Nama dan Alamat |
Nomor dan Tanggal Bukti Potong/Pungut |
DPP |
PPN JLN |
00.000.000. 0-091.000 |
Jebsen Trans-Pacific AS |
001131/PPh26/PTFI/14 14-06-2014 |
2.298.784.275,00 |
0,00 |
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, Objek PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam daerah pabean yang dikoreksi adalah pemanfaatan JKP atas jasa pelayaran yang dilakukan oleh pengusaha dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean;
bahwa dalam Laporan Hasil Pemeriksaan, diketahui koreksi sesuai dengan dasar hukum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 beserta aturan pelaksanaannya dengan argumentasi sebagai berikut:
bahwa penerapan dan penggunaan
Undang-Undang PPN Nomor 8 Tahun 1983 dan perubahannya, selaras, dengan sifat hukum yang menyesuaikan, mengikuti, dan memberi arah perubahan masyarakat. Hal ini selaras dengan asas dalam hukum
“Lex posterio derogate legi priori” adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang terbaru (posterior) mengesampingkan hukum yang lama
(prior). Begitu juga dengan penggunaan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009;
bahwa berdasarkan surat banding Pemohon Banding yang tidak jauh berbeda dengan surat keberatan, alasan Pemohon Banding pada intinya sebagai berikut:
∎ |
bahwa berdasarkan Kontrak Karya dan Surat Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 September 1988, kewajiban PPN bagi PTFI mengikuti ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN (“UU PPN 1984”) dan peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Kontrak; |
|
|
∎ |
bahwa berdasarkan PP Nomor 28/1988, semua jasa angkutan laut dikecualikan dari pengenaan PPN, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta dan tidak terbatas pada angkutan umum ataupun pribadi; |
|
|
∎ |
bahwa berdasarkan SE Direktur Jenderal Pajak nomor SE-17/PJ.51.1/1990, jasa angkutan laut dibebaskan dari pengenaan PPN; |
|
|
∎ |
bahwa berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-268/PJ.32/1989 menyebutkan bahwa jasa angkutan laut dikecualikan dari pengenaan PPN; |
bahwa untuk transaksi yang sama atas Pemanfaatan Jasa dari Luar Daerah Pabean (Jasa Pelayaran) yang dilakukan oleh Grieg Star Bulk AS dan JEBSEN TRANS-PACIFIC AS, Pemohon Banding sudah melaporkan Objek PPN atas pemanfaatan JKP di SPT Masa PPN di tahun 2014;
bahwa dengan demikian, Terbanding berkeyakinan bahwa Undang-Undang yang dipergunakan adalah
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana diubah terakhir dengan
UndangUndang Nomor 42 Tahun 2009;
bahwa Pemohon Banding juga menggunakan Undang-Undang tersebut beserta peraturan pelaksanaannya antara lain:
✓ |
SPT Masa yang dipergunakan Pemohon Banding; |
✓ |
Pelaporan di SPT Masa PPN Tahun 2014 atas Objek Jasa Pelayaran yang dilakukan Wajib Pajak Luar Negeri (Grieg Star Bulk AS dan JEBSEN TRANS-PACIFIC AS); |
✓ |
Bukti setoran PPN atas objek pemanfaatan Jasa Pelayaran dari Perusahaan Luar Negeri dalam rangka pengangkutan konsentrat Masa Februari 2015; |
✓ |
Pembuatan Faktur Pajak; |
bahwa berdasarkan penelitian terhadap data dan fakta tersebut di atas, ketentuan perpajakan yang terkait serta surat banding Pemohon Banding, Terbanding berpendapat sebagai berikut:
a. |
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPN, PPN dikenakan atas pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean. Selanjutnya jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dalam Pasal 4A UU PPN; |
|
|
b. |
bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan, pokok sengketa merupakan transaksi pemanfaatan jasa dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang terutang PPN sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e UU PPN dan tidak termasuk jasa yang tidak dikenakan PPN sebagaimana dimaksud Pasal 4A UU PPN; |
|
|
c. |
Ketentuan Pasal 13 ayat (6) Kontrak Karya hanya mengatur penunjukan Pemohon Banding sebagai Pemungut PPN sedangkan pelaksanaan kewajiban perpajakan termasuk kewajiban pemungutan PPN yang terutang mengacu pada ketentuan perpajakan yang berlaku dimana objek pajak terjadi. Hal tersebut juga dikuatkan dengan pelaksanaan pemungutan PPN atas objek pajak yang sama untuk masa pajak di tahun 2014; |
|
|
d. |
bahwa berdasarkan hal tersebut, Koreksi Positif DPP PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean sebesar Rp2.298.784.275,00 telah sesuai dengan fakta dan ketentuan yang berlaku; |
1. |
Terbanding Telah Keliru dalam Menerapkan Azas Hukum "Lex Posterior Derogat Legi Priori”;
bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa Terbanding keliru dalam menerapkan azas hukum "Lex Posterior Derogat Legi Priori” di dalam sengketa pajak ini. Prinsip hukum "Lex Posterior Derogat Legi Priori” merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa terhadap peraturan-peraturan yang sederajat, ketentuan yang ada dalam peraturan yang lebih baru mengalahkan keberlakuan ketentuan yang ada dalam peraturan yang lebih lama. Dengan kata lain, apabila suatu peraturan telah diganti dengan peraturan yang baru, maka secara otomatis peraturan yang lama tidak berlaku lagi;
bahwa Pemohon Banding berpendapat bahwa prinsip "Lex Posterior Derogat Legi Priori” hanya dapat diterapkan apabila ada peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan lagi dan diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru, maka peraturan perundang-undangan yang baru tersebut harus secara tegas mencabut peraturan perundang-undangan yang tidak diperlukan itu;
bahwa Pasal II huruf b UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 mengatur sebagai berikut:
"Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan Pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang Undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir”;
bahwa dalam hubungannya dengan sengketa ini, ketentuan Pasal II UU Nomor 11 Tahun 1994 merupakan ketentuan yang tidak pernah diubah oleh ketentuan UU Nomor 42 Tahun 2009 maupun oleh UU yang lainnya sehingga ketentuan tersebut masih berlaku hingga saat ini;
bahwa di dalam ketentuan Pasal II UU Nomor 11 Tahun 1994 dan Penjelasannya, diatur bahwa apabila terdapat suatu Kontrak Karya ("KK") yang masih berlaku pada saat diterbitkannya UU Nomor 11 Tahun 1994, maka ketentuan Kontrak Karya tersebut harus tetap berlaku sampai masa berakhirnya Kontrak Karya tersebut. Dalam hal ini, jelas Terbanding tidak dapat menerapkan prinsip hukum lex posterior derogat legi priori dan tidak dapat mengesampingkan keberlakuan Pasal II UU Nomor 11 Tahun 1994 tersebut;
bahwa lebih lanjut, dalam Pasal 13 ayat (6) KK disebutkan bahwa:
“… Berkenaan dengan kewajiban yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang-barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini ("Undangundang PPN") Perusahaan (untuk dirinya dan Subsidiari dan Afiliasinya sepanjang melaksanakan tugas-tugas di bawah ini) setuju, kecuali ditentukan lain dalam Persetujuan ini, …”;
bahwa mengacu kepada Pasal 13 ayat (6) KK di atas, PTFI wajib memenuhi ketentuan PPN berdasarkan UU PPN Tahun 1984 yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK;
bahwa hal ini merupakan penerapan prinsip lex specialis yang merupakan sifat khusus dari KK, hal ini ditegaskan dalam ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
• |
Surat Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 September 1988 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Kontrak Karya Pertambangan yang menyatakan :
“Kontrak Karya Pertambangan hendaknya diberlakukan/dipersamakan dengan Undangundang, oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialis). Dengan perkataan lain, Undang-undang Perpajakan berlaku secara umum kecuali diatur secara khusus dalam Kontrak Karya”; |
|
|
• |
Pasal II huruf b UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang menyatakan:
”Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha dibidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan Pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang Undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusahaan pertambangan berakhir”; |
bahwa dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang Pemohon Banding sampaikan di atas, jelas terlihat bahwa KK merupakan hukum yang bersifat lex specialis yang memiliki ketentuan atau pengaturan tersendiri sehingga berbeda dengan ketentuan secara umum. Dengan demikian, sesuai dengan prinsip lex specialis tersebut, PTFI wajib memenuhi ketentuan PPN berdasarkan UU PPN Tahun 1984 yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK; |
|
|
2. |
Pemohon Banding telah Menerapkan Ketentuan dalam KK beserta Peraturan Pelaksanaannya yang Berlaku dengan Benar
bahwa sebagaimana telah Pemohon Banding sampaikan, Pemohon Banding wajib memenuhi ketentuan PPN berdasarkan UU PPN Tahun 1984, yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK. Adapun peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku tersebut sesuai KK adalah sebagai berikut:
a. |
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988
bahwa peraturan pelaksanaan dari UU PPN 1984 yang berlaku pada saat KK ditandatangani adalah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar Dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Di samping Jasa Yang Dilakukan Oleh Pemborong (“PP 28/1988”), dalam Pasal 1 angka 2 huruf i mengatur bahwa jasa angkutan laut dan angkutan darat dikecualikan dari jasa kena pajak yang dikenakan PPN;
bahwa Pasal 1 PP 28/1988 menyebutkan bahwa PPN dikenakan atas:
“Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan di daerah pabean Republik Indonesia dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh Pengusaha Jasa Kena Pajak, kecuali:
…
i. jasa angkutan laut dan angkutan darat;”
…
bahwa dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 huruf i diatur lebih lanjut bahwa jasa jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN antara lain adalah:
…
“i. Jasa angkutan laut dan angkutan darat yang dilakukan oleh pihak Pemerintah maupun oleh pihak swasta. Jasa ini harus dibedakan dengan Jasa Ekspedisi Muatan Kapal Laut dan Expedisi Muatan Darat, Jasa Pengurusan Transportasi (Freight Forwarders), karena jasa pengusaha expedisi ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Tata cara penghitungan Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan”;
…
bahwa berdasarkan PP Nomor 28/1988, secara jelas diatur bahwa semua jasa angkutan laut dikecualikan dari pengenaan PPN, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, baik dari dalam negeri (dalam daerah pabean) maupun luar negeri (luar daerah pabean), dan tidak terbatas pada angkutan umum ataupun pribadi; |
|
|
b. |
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ.5.1/1990
bahwa Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor: SE-17/PJ.5.1/1990 tanggal 1 September 1990 tentang PPN atas Jasa Pelabuhan Dalam Jalur Pelayaran Internasional merupakan salah satu peraturan pelaksanaan dari PP Nomor 28 tahun 1988 yang berlaku pada saat KK ditandatangani. Dalam SE-17 tersebut, Direktur Jenderal Pajak mempertimbangkan beberapa hal terkait dengan Jasa Pelabuhan dalam Jalur Internasional antara lain seperti:
- |
Adanya hubungan integral antara jasa pelabuhan dengan jasa angkutan laut yang dibebaskan dari pengenaan PPN; |
|
|
- |
Adanya suatu kelaziman di dunia internasional bahwa jasa pelabuhan bagi pelayaran internasional dikecualikan dari pengenaan PPN;s |
bahwa dalam Surat Edaran DJP tersebut dapat disimpulkan bahwa jasa angkutan laut dibebaskan dari pengenaan PPN baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, baik dari dalam negeri (dalam daerah pabean) maupun luar negeri (luar daerah pabean); |
|
|
c. |
Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor: S-268/PJ.32/1989
bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor: S-268/PJ.32/1989 tentang PPN Yang Berkaitan Dengan Perusahaan Pelayaran/Agen, dalam Pasal 1 menyebutkan bahwa: “Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, jasa angkutan laut, yaitu jasa pengangkutan barang/penumpang di laut dengan menggunakan sarana angkutan laut untuk tujuan di dalam negeri dan dari dalam negeri keluar negeri, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)”; bahwa selanjutnya dalam beberapa surat penegasan lainnya yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan atau Direktur Jenderal Pajak, secara konsisten menyatakan bahwa jasa angkutan laut termasuk dalam jasa yang dikecualikan dari pengenaan PPN. Khusus mengenai pengecualian PPN terhadap jasa angkutan laut/pelayaran internasional, beberapa hal yang dijadikan pertimbangan dalam beberapa surat penegasan tersebut adalah;
- |
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 mengatur bahwa jasa angkutan laut dan angkutan darat dikecualikan dari Jasa Kena Pajak yang dikenakan PPN; |
|
|
- |
Suatu kelaziman di dunia internasional bahwa jasa pelayaran luar negeri/internasional dikecualikan dari pengenaan PPN; |
|
bahwa dari ketentuan-ketentuan perpajakan di atas yang merupakan dasar hukum Pemohon Banding dalam melaksanakan kewajiban pemungutan PPN, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
- |
Pemohon Banding wajib memenuhi ketentuan PPN berdasarkan UU PPN Tahun 1984 yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK. |
|
|
- |
Berdasarkan UU PPN Tahun 1984 dan peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK, jasa angkutan laut tidak termasuk jasa yang dikenakan PPN; |
bahwa dengan demikian, Pemohon Banding berpendapat bahwa jasa angkutan laut dikecualikan dari pengenaan PPN, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun oleh pihak swasta, baik dari dalam negeri (dalam daerah pabean) maupun luar negeri (luar daerah pabean), dan tidak terbatas pada angkutan umum ataupun pribadi. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban bagi Pemohon Banding untuk memungut dan menyetorkan PPN atas pemanfaatan jasa pelayaran luar negeri (luar daerah pabean) untuk pengangkutan konsentrat dengan tujuan ekspor tersebut; |
|
|
3. |
Pemungutan PPN pada Tahun Pajak 2014
bahwa atas pendapat Terbanding yang menyatakan bahwa atas obyek pajak yang sama untuk masa pajak di tahun 2014 Pemohon Banding sudah melakukan pemungutan PPN, dengan ini Pemohon Banding menyampaikan tanggapan sebagai berikut:
- |
Fakta bahwa Pemohon Banding telah melakukan pemungutan dan pembayaran PPN atas jasa pelayaran luar negeri tidak dapat diartikan bahwa Pemohon Banding telah menyetujui cara pandang Terbanding; |
|
|
- |
Pemungutan dan Pembayaran PPN atas jasa pelayaran luar negeri yang dilakukan Pemohon Banding pada tahun 2014 semata-mata dimaksudkan sebagai tindakan sukarela untuk menghindari sengketa dengan fiskus di kemudian hari; |
|
|
- |
Tindakan Pemohon Banding tersebut tidak menggugurkan hak-hak Pemohon Banding berdasarkan Kontrak Karya; |
bahwa oleh karena itu, Pemohon Banding berpendapat bahwa pemungutan dan pembayaran PPN atas jasa pelayaran luar negeri yang dilakukan oleh Pemohon Banding tidak dapat serta-merta dijadikan alasan oleh Terbanding untuk membenarkan pengenaan PPN tersebut; |
|
|
4. |
Putusan atas Sengketa serupa
bahwa tanpa mengurangi rasa hormat Pemohon Banding terhadap independensi Majelis Hakim yang Terhormat, Pemohon Banding ingin menyampaikan bahwa atas sengketa serupa terkait koreksi positif atas Objek PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean untuk Masa Mei s.d. Desember 2010, Januari s.d. Desember 2012, dan Januari s.d. Desember 2013, Pemohon Banding telah mengajukan Banding dan atas pengajuan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak telah memberikan putusan yang diucapkan pada tanggal 31 Mei 2017. Diantaranya Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put-84150/PP/M.VB/16/2017 untuk sengketa Masa Desember 2010 (Lampiran 5) dan Nomor : Put-84161/PP/M.VB/16/2017 untuk sengketa Masa November 2013 (Lampiran 6), berdasarkan putusan-putusan tersebut Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan Banding Pemohon Banding; |
bahwa dari alasan dan penjelasan di atas, Pemohon Banding mohon agar koreksi positif atas Objek PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean sebesar Rp2.298.784.275,00 dapat dibatalkan seluruhnya;
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas berkas banding serta penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa yang menjadi sengketa banding ini adalah terkait dengan koreksi Terbanding atas Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPN JLN. atas pembayaran jasa pelayaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada perusahaan pelayaran luar negeri di tahun 2014, sebesar Rp2.298.784.275,00;
bahwa menurut Terbanding, dalam Kontrak Karya Pemohon Banding tanggal 30 Desember 1991 (selanjutnya disebut Kontrak Karya) telah ditetapkan ketentuan mengenai pajak-pajak dan lain-lain kewajiban keuangan perusahaan;
bahwa Kontrak Karya Pemohon Banding terkait dengan PPN adalah mengikuti perundangundangan atau peraturan yang berlaku sewaktu-waktu
(prevailing). Kesimpulan ini diambil karena dalam kontrak karya dinyatakan bahwa Pemohon Banding setuju menjalankan ketentuan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya;
bahwa menurut Terbanding, penyebutan “Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaannya” dalam kontrak karya, menunjukkan bahwa ketentuan yang diatur dalam kontrak karya adalah sesuai dengan perundang-undangan atau peraturan yang berlaku sewaktu-waktu
(prevailing);
bahwa Kontrak Karya tidak dapat dibaca sendiri-sendiri tetapi harus dilanjutkan dengan Pasal 28 ayat (7) Kontrak Karya, hal ini sesuai dengan azas
Lex Posteriori Derogat Legi Priori yaitu undang-undang yang lebih baru mengesampingkan undang-undang yang lebih lama;
bahwa pendapat Terbanding mengenai kewajiban PPN JLN adalah
prevailing seperti penjelasan tersebut di atas juga diperkuat dengan kewajiban jenis pajak lain yang ada dalam kontrak karya dimana untuk PPh Badan berlaku
naildown karena PPh Badan merupakan pajak yang menjadi beban Pemohon Banding;
bahwa dalam Kontrak Karya Pemohon Banding contoh peraturan perpajakan yang berlaku
nailed down adalah tarif pajak penghasilan yang akan dikenakan selama jangka waktu persetujuan kontrak karya. Dalam Kontrak Karya Pemohon Banding tertuang tarif pajak penghasilan yang sama dengan tarif pajak penghasilan yang ada pada Undang-undang Pajak Penghasilan 1984,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, namun dalam kontrak karya tersebut tidak dituliskan bahwa tarif pajak penghasilan adalah sesuai dengan ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan 1984,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983, hal tersebut dimaksudkan agar tarif pajak penghasilan dikunci
(nailed down) sesuai dengan yang dituangkan dalam kontrak karya;
bahwa Kontrak Karya Pemohon Banding terkait dengan PPN adalah mengikuti perundangundangan atau peraturan yang berlaku sewaktu-waktu (prevailing), oleh karena itu penentuan suatu pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean tergolong sebagai Objek Pajak atau tidak tergolong sebagai Objek Pajak, ditetapkan oleh Undang-undang dan peraturan perpajakan yang berlaku saat terjadinya pemanfaatan jasa kena pajak tersebut;
bahwa sifat lex spesialis dari kontrak karya tidak tercermin pada Pasal 13 ayat (6) Kontrak Karya, namun tercermin pada Pasal 13 ayat (3) yang menyangkut PPh Badan, hal ini juga tercermin dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 maupun perubahannya, bahwa Terbanding berpendapat kata “pajaknya” dalam Pasal 33 ayat (4) Undang-Undang PPh adalah pajak yang menjadi beban Pemohon Banding yaitu PPh Badan;
bahwa selanjutnya oleh karena Pasal 13 ayat (6) Kontrak Karya mengenai PPN menunjuk kepada Undang-Undang, maka menurut Terbanding berlaku prevailing;
bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf e Undang-Undang PPN, PPN dikenakan atas pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean. Selanjutnya jenis jasa yang tidak dikenakan PPN ditetapkan dalam Pasal 4A UU PPN. Jasa Pelayaran tidak termasuk dalam kelompok jasa yang tidak dikenakan PPN;
bahwa sesuai karakteristik PPN di atas maka PPN JLN dalam sengketa a quo bukan merupakan Pajak nya Pemohon Banding, karena penanggung PPN sebenarnya adalah konsumen akhir dari produk Pemohon Banding. Oleh karena itu mengenai kewajiban PPN adalah terkait dengan pihak ketiga sehingga seharusnya tidak terikat dengan kontrak karya melainkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dari waktu ke waktu (prevailing);
bahwa berdasarkan data yang ada di DJP, untuk transaksi yang sama atas Pemanfaatan Jasa dari Luar Daerah Pabean (Jasa Pelayaran) yang dilakukan oleh Grieg Star Bulk AS dan JEBSEN TRANS-PACIFIC AS, Pemohon Banding sudah melaporkannya sebagai Objek PPN atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak di SPT Masa PPN di tahun 2014. Dengan demikian pada dasarnya penetapan Terbanding atas pemanfaatan jasa pelayaran dari luar pabean di tahun 2014 sebagai objek PPN sudah sejalan dengan pelaporan jasa pelayaran dari luar daerah pabean sebagai objek PPN pada SPT Masa PPN di tahun 2014 milik Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa koreksi yang dilakukan Terbanding atas Objek PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (PPN JLN) telah sesuai dengan data dan ketentuan Perundang-undangan Perpajakan yang berlaku;
bahwa menurut Pemohon Banding, berdasarkan Pasal II huruf b
UU Nomor 11 Tahun 1994, Pemohon Banding wajib memenuhi ketentuan PPN berdasarkan Kontrak Karya yaitu sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 13 ayat (6) Kontrak Karya antara Pemohon Banding dan Pemerintah Indonesia tanggal 30 Desember 1990 (“KK”);
bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat (6) KK, kewajiban PPN Pemohon Banding harus dilakukan berdasarkan UU PPN Tahun 1984, yaitu
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK (bersifat
nailed down);
bahwa Pemohon Banding berpandangan bahwa ketentuan Pasal 28 ayat (7) KK tidak dapat diterapkan dalam sengketa
a quo karena atas kewajiban PPN Pemohon Banding telah terdapat ketentuan khusus tersendiri yang eksplisit di dalam Pasal 13 ayat (6) KK, dimana terdapat frase “yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Kontrak Karya” terkait dengan kewajiban PPN Pemohon Banding. Hal ini berbeda dengan ketentuan-ketentuan lain dalam KK yang mengatur tentang kewajiban PPh 21, KUP, dan Bea Meterai Pemohon Banding, yang tidak memuat frase tersebut;
bahwa Pasal 13 ayat (6) KK tidak hanya mengatur tentang penunjukan Pemohon Banding sebagai Pemungut PPN. Pasal 13 ayat (6) KK juga mengatur mengenai kewajiban-kewajiban PPN yang harus dilaksanakan oleh Pemohon Banding secara lebih luas, termasuk mengatur kewajiban pemungutan PPN atas jasa sebagaimana sengketa
a quo;
bahwa sifat PPN sebagai pajak atas konsumsi tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk mengharuskan Pemohon Banding untuk menerapkan kewajiban PPN secara
prevailing. Sebagaimana diatur dalam KMK-
302/KMK.04/1989, kewajiban PPN atas JKP Luar Negeri berada pada penerima jasa (untuk sengketa
a quo, penerima jasa adalah Pemohon Banding) sehingga kewajiban PPN-nya mengacu pada ketentuan di dalam Kontrak Karya yang secara jelas mengatur kewajiban PPN secara
nailed down. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal II di dalam UU PPN;
bahwa Terbanding telah keliru menerapkan prinsip hukum lex posterior derogat legi priori atas Pemohon Banding mengingat Kontrak Karya secara eksplisit tetap diakui dan berlaku sebagaimana diatur di dalam Pasal II UU PPN;
bahwa pemungutan PPN pada Tahun Pajak 2014 tidak serta merta dapat dijadikan alasan oleh Terbanding untuk membenarkan pengenaan PPN tersebut karena tindakan itu semata-mata dilakukan Pemohon Banding dengan pertimbangan risiko dan potensi biaya yang timbul dari sengketa dengan pihak fiskus di kemudian hari (termasuk potensi risiko sanksi administrasi);
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas bukti-bukti dan penjelasan para pihak dalam persidangan, diketahui bahwa pada dasarnya yang menjadi sengketa dalam banding ini adalah terkait dengan pengenaan PPN JLN karena menurut Terbanding dalam Kontrak Karya Pemohon Banding terkait dengan PPN, adalah mengikuti perundang-undangan atau peraturan yang berlaku sewaktu-waktu
(prevailing), sedangkan menurut Pemohon Banding, kewajiban PPN Pemohon Banding harus dilakukan berdasarkan UU PPN Tahun 1984, yaitu
UndangUndang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK (bersifat
nailed down);
bahwa menurut Pasal II
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1994 Tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut
UU Nomor 11 Tahun 1994):
Dengan berlakunya Undang-undang ini:
a. |
... dst; |
b. |
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas usaha di bidang pertambangan minyak dan gas bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya berdasarkan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan yang masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan tersebut sampai dengan Kontrak Bagi Hasil, Kontrak Karya, atau perjanjian kerjasama pengusaha pertambangan berakhir; |
bahwa menurut Majelis, oleh karena Kontrak Karya Pemohon Banding masih berlaku pada saat berlakunya Undang-undang ini, maka PPN tetap dihitung berdasarkan ketentuan dalam Kontrak Karya; bahwa mengacu pada Surat Menteri Keuangan Nomor S-1032/MK.04/1988 tanggal 15 September 1988 tentang Ketentuan Perpajakan dalam Kontrak Karya Pertambangan: “Kontrak Karya Pertambangan hendaknya diberlakukan/dipersamakan dengan Undang-undang, oleh karena itu ketentuan perpajakan yang diatur dalam Kontrak Karya diberlakukan secara khusus (special treatment/lex specialis). Dengan perkataan lain, Undang-undang Perpajakan berlaku secara umum kecuali diatur secara khusus dalam Kontrak Karya”; bahwa di dalam Pasal 13 Ayat (6) Kontrak Karya dinyatakan: “… Berkenaan dengan kewajiban yang dimaksud dengan Pajak Pertambahan Nilai atas Barang-barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Persetujuan ini (“Undang-undang PPN”) Perusahaan (untuk dirinya dan Subsidiari dan Afiliasinya sepanjang melaksanakan tugas-tugas di bawah ini) setuju, kecuali ditentukan lain dalam Persetujuan ini, …”;
bahwa mengacu pada ketentuan
a quo, Majelis berpendapat bahwa pengenaan PPN.harus tunduk pada Undang-Undang PPN dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya Kontrak Karya
a quo, yang dalam hal ini adalah Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1983;
bahwa menurut
Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (selanjutnya disebut UU PPN)
Pasal 4
(1) |
Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. |
... dst; |
b. |
penyerahan Jasa Kena Pajak; |
|
(2) |
Dengan Peraturan Pemerintah:
a. |
... dst; |
b. |
diatur penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai; |
|
bahwa Pemerintah kemudian telah mengeluarkan peraturan- pelaksanaan UU PPN
a quo, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Kena Pajak Yang Dilakukan Oleh Pedagang Besar Dan Penyerahan Jasa Kena Pajak Di samping Jasa Yang Dilakukan Oleh Pemborong (selanjutnya disebut PP 28/1988);
bahwa dalam Pasal 1 angka 2 huruf i PP 28/1988
a quo dinyatakan bahwa
dengan Peraturan Pemerintah ini dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 atas: Penyerahan Jasa Kena Pajak yang dilakukan didaerah pabean Republik Indonesia dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya oleh Pengusaha Jasa Kena Pajak, kecuali:
a. |
... dst; |
i. |
jasa angkutan laut dan angkutan darat;” |
bahwa mengacu pada ketentuan
a quo Majelis berpendapat bahwa pemberian jasa angkutan laut merupakan pemberian jasa yang dikecualikan dari PPN, bahkan di dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 huruf i
a quo juga tidak membedakan perlakuan PPN bagi pemberian jasa angkutan laut oleh badan usaha luar negeri;
bahwa selanjutnya mengacu pada Pasal 1 Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S268/PJ.32/1989 Tentang PPN Yang Berkaitan Dengan Perusahaan Pelayaran/Agen (selanjutnya disebut S 268):
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1988, jasa angkutan laut, yaitu jasa pengangkutan barang/penumpang di laut dengan menggunakan sarana angkutan laut untuk tujuan di dalam negeri dan dari dalam negeri keluar negeri, dikecualikan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)”; bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Pemohon Banding wajib memenuhi ketentuan PPN berdasarkan UU PPN Tahun 1983 dan peraturan-peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK;
bahwa berdasarkan UU PPN Tahun 1983 dan peraturan pelaksanaan yang berlaku pada tanggal ditandatanganinya KK, jasa angkutan laut tidak termasuk jasa yang dikenakan PPN;
bahwa selanjutnya di dalam persidangan Terbanding juga menyatakan bahwa sesuai karakteristik PPN, maka PPN JLN dalam sengketa
a quo bukan merupakan Pajak nya Pemohon Banding, karena penanggung PPN sebenarnya adalah konsumen akhir dari produk Pemohon Banding;
bahwa mengacu pada
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 302 Tahun 1989, Tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Jasa Kena Pajak Selain Jasa Yang Dilakukan Oleh Pemborong, Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri Dan Jasa Telekomunikasi;
Pasal 5:
Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dipungut, disetorkan ke Kas Negara dan dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak oleh penerima jasa; bahwa selanjutnya mengacu pada Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-25/PJ.3/1989 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengenaan PPN Atas Jasa Selain Jasa Pemborongan, Jasa Angkutan Udara Dalam Negeri Dan Jasa Telekomunikasi (seri ppn -146), dalam butir 7 dinyatakan bahwa: Atas Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak Luar Negeri yang terutang dan dikenakan PPN di Indonesia seperti tersebut pada angka 5 menurut Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan tersebut di atas terutang PPN di tempat orang atau badan yang menerima Jasa Kena Pajak di Indonesia. PPN menjadi tanggung jawab dan harus disetorkan ke Kas Negara oleh penerima Jasa Kena Pajak tersebut. Pengusaha Wajib Pajak Luar Negeri tersebut tidak mungkin dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak karena tidak berada di Indonesia atau berada di Indonesia kurang dari 183 hari ... dst;
bahwa mengacu pada ketentuan-ketentuan a quo, Majelis berpendapat bahwa terkait dengan penyerahan Jasa Kena pajak oleh Wajib Pajak Luar Negeri (dalam Kontrak Karya ini), kewajiban untuk memungut dan menyetor PPN yang terutang berada pada penerima jasa (dalam hal ini Pemohon Banding), bukan tanggung jawab dari pihak ketiga;
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak:
Pasal 69 ayat (1) alat bukti dapat berupa:
a. |
... dst |
d. |
pengakuan para pihak; dan/atau |
e. |
pengetahuan Hakim, yang di Pasal 75 disebutkan adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya; |
Pasal 74: Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali, kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Majelis atau Hakim Tunggal;
Pasal 78: "Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim";
Memori penjelasan pasal 78: "Keyakinan Hakim didasarkan pada penilaian pembuktian dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan";
bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan, bukti-bukti dan keterangan para pihak serta fakta dalam persidangan sebagaimana tersebut di atas, Majelis meyakini bahwa dalil yang dikemukakan oleh Pemohon Banding sudah benar, oleh karena itu Majelis berpendapat bahwa koreksi Terbanding atas DPP PPN JLN atas pembayaran jasa pelayaran yang dilakukan oleh Pemohon Banding kepada perusahaan pelayaran luar negeri di tahun 2014, sebesar Rp2.298.784.275,00 tidak dapat dipertahankan;
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding, sehingga DPP PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean Masa Pajak Juni 2014 dihitung kembali sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak menurut Terbanding |
Rp 244.589.200.505,00 |
Koreksi dibatalkan Majelis |
Rp 2.298.784.275,00 |
Dasar Pengenaan Pajak menurut Majelis |
Rp 242.290.416.230,00 |
Mengabulkan seluruhnya banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-00038/KEB/WPJ.19/2017 tanggal 23 Januari 2017, tentang Keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Nomor 00013/277/14/091/16 tanggal 23 Maret 2016 Masa Pajak Juni 2014, atas nama Pemohon Banding, sehingga perhitungan menjadi sebagai berikut:
DPP PPN atas Pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean |
Rp 242.290.416.230,00 |
Pajak Keluaran yang harus dipungut/dibayar sendiri |
Rp 24.229.041.623,00 |
Jumlah Pajak yang dapat diperhitungkan |
Rp 24.229.041.623,00 |
Jumlah perhitungan PPN Kurang Bayar |
Rp 0,00 |
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Selasa tanggal 30 Januari 2018 oleh Hakim Majelis IIIB Pengadilan Pajak dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:
M.Z. A, S.H., M.Kn |
sebagai Hakim Ketua |
JEW, Ak., M.P.P |
sebagai Hakim Anggota, |
R, S.H., M.Kn |
sebagai Hakim Anggota, |
Dengan dibantu oleh |
|
AA, S.E., M.M. |
sebagai Panitera Pengganti |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 3 Juli 2018 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dengan dihadiri oleh Pemohon Banding dan tidak dihadiri oleh Terbanding .
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.