Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa dalam pemeriksaan, terbukti yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah penetapan Terbanding berupa tagihan atas temuan hasil audit sebesar Rp 240.966.000 sesuai SPKTNP Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 berdasarkan Laporan Hasil Audit Nomor: LHA-238/BC.092/IP/2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa dalam Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016, Terbanding pada pokoknya mengemukakan bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 pada Pasal 17 ayat (1), dan sesuai dengan LHA Nomor: LHA-238/BC.092/IP/2016 tanggal 12 Agustus 2016, ditetapkan kembali tarif dan/atau nilai pabean, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk dan pajak dalam rangka impor sebesar Rp 240.966.000;
bahwa Terbanding dalam persidangan menyerahkan Penjelasan Tertulis dengan Surat Nomor: SR-06/BC.062/2017 tanggal 30 Agustus 2017, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penjelasan terkait dalil Pemohon Banding bahwa SPKTNP harus didahului SPTNP
bahwa Pasal 6 ayat (1) UU Kepabeanan menyatakan:
"Ayat ini mengandung arti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan penyelesaian kewajiban impor dan ekspor harus didasarkan pada ketentuan Undang-Undang ini yang pelaksanaan penegakannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai"
bahwa dapat dikemukakan bahwa ketentuan dalam Undang-undang bersifat lex specialist;
bahwa memperhatikan Pasal 10C ayat (2) huruf c UU Kepabeanan menyatakan "Importir dapat mengajukan permohonan perubahan atas kesalahan yang terjadi karena kekhilafan yang nyata. ." dan ". .ditolak apabila telah mendapatkan penetapan pejabat bea dan cukai." Penjelasan umumnya menjelaskan ". .penetapan dapat juga dengan menggunakan sistem komputer pelayanan."
bahwa Penjelasan Pasal 10C ayat (2) huruf c UU Kepabeanan menyatakan "Penetapan bea dan cukai dapat juga merupakan penetapan dengan menggunakan sistem komputer pelayanan"
bahwa Pasal 44 ayat (2) UU No. 12 Tahun 2011 Republik Indonesia tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan ".. ketentuan penyusunan Naskah Akademik tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan sari UndangUndang ini."
bahwa Lampiran I pada butir 176, 177, 178, dan 186 menyatakan:
176. | Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh yang tidak boleh mengakibatkan ketidakjelasan norma dimaksud | ||||||||||
177. | Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan berisi norma | ||||||||||
178. | Penjelasan tidak menggunakan rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung | ||||||||||
179. | Rumusan penjelasan pasal demi pasal memerhatikan:
|
bahwa terdapat pembatasan penetapan pada batang tubuh Pasal 16 UU Kepabeanan, sedangkan pada Penjelasannya tidak ada;
bahwa Pasal 16 tidak menyebutkan secara tersurat bahwa penetapan pejabat bea cukai hanya dilakukan dalam hal tarif dan nilai pabean yang diberitahukan berbeda dengan yang sebenarnya sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 16, sehingga apabila penetapan pejabat bea dan cukai pada Pasal 16 dimaknai hanya dilakukan dalam hal sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 16 maka hal ini bertentangan dengan rumusan Pasal 16 ayat (3) dan Lampiran I UU Pembentukan Peraturan Perundangundangan;
bahwa berdasarkan uraian di atas Terbanding berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 16 Undang-Undang Kepabeanan telah mempersempit pengertian norma yang ada pada batang tubuh Pasal 16 sehingga tidak sesuai dengan butir 186 huruf b Lampiran I UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
bahwa berdasarkan Pasal 16 ayat (3) secara logis mempunyai arti bahwa penetapan pejabat bea cukai, selain penetapan yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk terdapat penetapan yang tidak menyebabkan kekurangan bea masuk yaitu:
a. | Penetapan yang mengakibatkan kelebihan bea masuk |
b. | Penetapan yang sama dengan pemberitahuan pabean |
bahwa berdasarkan Pasal 10C ayat (2) huruf c beserta penjelasannya dan Pasal 16 ayat (1), (2), dan (3) UU Kepabeanan dapat diartikan:
1. | Dalam hal penetapan pejabat bea cukai atas tarif dan nilai pabean sesuai atau tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran BM atau PDRI, maka penetapan dilakukan di dalam sistem komputer pelayanan |
2. | Dalam hal penetapan pejabat bea cukai atas tarif dan nilai pabean berbeda atau tidak sesuai atau mengakibatkan kekurangan pembayaran BM atau PDRI, maka Pejabat Bea Cukai menerbitkan penetapan tertulis yang berfungsi sebagai surat penagihan atau pengembalian kepada importir. |
bahwa berdasarkan Pasal 17 ayat (1) dan (2) beserta penjelasannya, dapat diartikan bahwa apabila hasil penelitian ulang atas PIB atau dalam hal dilakukan audit kepabeanan ditemukan adanya perbedaan tarif dan/atau nilai pabean yang telah ditetapkan baik tertulis maupun penetapan dalam sistem komputer pelayanan yang mengakibatkan kekurangan atau kelebihan pembayaran BM, Dirjen membuat penetapan kembali secara tertulis yang berfungsi sebagai pemberitahuan penagihan atau pengembalian kepada Importir;
bahwa Pasal 3 PMK No. 225/PMK.04/2015 tentang Pemeriksaan Pabean Impor menyatakan "Penelitian dokumen dilakukan oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen dan/atau sistem komputer pelayanan.." dan "Pejabat Pemeriksa Dokumen melakukan penetapan berdasarkan hasil penelitian sistem komputer pelayanan.."
bahwa dengan adanya sistem komputer pelayanan yaitu CEISA Impor, semua pemberitahuan pabean impor, mulai dari pengajuan pemberitahuan pabean sampai dengan adanya penetapan pejabat bea dan cukai yaitu apakah pemberitahuan diterima (penetapan pejabat bea cukai sama dengan pemberitahuan pabean) atau dikenakan nota pembetulan (penetapan pejabat bea dan cukai berbeda dengan pemberitahuan pabean) sampai dengan barang keluar dari Kawasan Berikat dilakukan dengan Customs-Excise Information System and Automation (CEISA) Impor;
bahwa berdasarkan uraian di atas, barang impor yang diberitahukan dalam PIB yang telah keluar dari Kawasan Pabean dengan menggunakan sistem komputer pelayanan telah dilakukan penetapan tarif dan nilai pabeannya oleh pejabat bea dan cukai, demikian juga dengan PIB yang ditetapkan kembali tarifnya oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Penelitian Ulang atau Audit, dan hasil penetapan kembali tarif dan Nilai Pabean yang disebabkan oleh kesalahan pemberitahuan tarif dan Nilai Pabean yang mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk tersebut, telah diberitahukan secara tertulis kepada importir untuk melunasi bea masuk yang kurang dibayar dengan SPKTNP berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU Kepabeanan, pada saat keluar dari Kawasan Pabean tarif dan nilai pabeannya telah ditetapkan pejabat bea dan cukai dengan menggunakan sistem komputer pelayanan berdasarkan Pasal 16 UU Kepabeanan;
bahwa SPKTNP sebagai penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Pasal 17 UU Kepabeanan merupakan keputusan tata usaha negara, atau keputusan administrasi negara. Begitu juga dengan SPTNP sebagai penetapan Pejabat BC berdasarkan Pasal 16 UU Kepabeanan. Penetapan, ketetapan, keputusan, dan beschikking merupakan beberapa istilah yang digunakan oleh para ahli untuk tindakan yang dilakukan oleh penguasa. Untuk itu perlu dikaji terlebih dahulu mengenai definisi, batasan, dan unsur-unsur beschikking dari sudut pandang hukum, terutama hukum administrasi negara;
bahwa secara konseptual penetapan kembali oleh Dirjen dalam SPKTNP dititikberatkan atas PIB-PIB yang dalam pemeriksaan tahap pertama tidak diterbitkan SPTNP, meskipun dalam hal telah diterbitkan SPTNP tetap dapat dilakukan penetapan kembali oleh Dirjen;
bahwa bentuk penetapan Pejabat BC berdasarkan Pasal 16 UU Kepabeanan baru diatur pada PMK 51/2008 dan perubahannya, yaitu SPTNP, tidak ada bentuk tertulis lain selain SPTNP;
bahwa dikaitkan dengan UU Adpem, penghapusan Penjelasan Pasal 16 dimaksud tepat dan sesuai dengan semangat UU Adpem yang mengusung azas fiktif positif. Dalam UU Adpem telah diakomodir dua bentuk beschikking, yaitu Keputusan dan Tindakan. Dalam hal Pejabat BC tidak menerbitkan penetapan tertulis (SPTNP) pada dasarnya tetap melakukan penetapan tarif dan/atau nilai pabean yang sama materinya dengan yang diberitahukan dalam PIB. Hal demikian termasuk dalam Tindakan sebagaimana dimaksud dalam UU Adpem;
bahwa karena Penetapan Dirjen hanya dituangkan dalam bentuk tertulis jika berbeda dan mengakibatkan kurang/lebih bayar, maka SPKTNP pasti berbeda dengan penetapan Pejabat BC berdasarkan Pasal 16;
bahwa secara substansi, PIB berisi pemberitahuan impor yang berfungsi sebagai permohonan persetujuan impor, karena berujung pada Surat Persetujuan Pengeluaran Barang sebagai output dari penetapan/persetujuan Pejabat BC;
bahwa dalam hal PIB mendapat persetujuan pengeluaran barang dari Pejabat BC dan tidak diterbitkan SPTNP, maka materi penetapan Pejabat BC yaitu tarif dan/atau NP yang tertuang dalam PIB atau dalam sistem CEISA;
bahwa UU Kepabeanan menganut azas fiktif positif, sehingga penjelasan Pasal 16 UU 10/1995 tentang Kepabeanan yg menyatakan "pemberitahuan diterima dan dianggap telah dilakukan penetapan oleh Pejabat BC" tidak diperlukan lagi;
bahwa berdasarkan PMK 51/2008 dan perubahannya, bentuk penetapan Pasal 16 berupa SPTNP dan ditegaskan hanya diterbitkan dalam hal penetapan mengakibatkan kekurangan/kelebihan pembayaran bea masuk, maka itu tidak tepat jika SPTNP digunakan sebagai bentuk penetapan Pasal 16 yang tidak mengakibatkan kekurangan kelebihan pembayaran (tagihan nihil/ tidak ada tagihan);
bahwa kesimpulannya adalah penetapan Pejabat BC berdasarkan Pasal 16 tidak harus dalam bentuk tertulis;
bahwa dalam perspektif Yuridis Sosiologis praktik pengawasan dan penetapan kepabeanan dalam bentuk SPKTNP tanpa didahului dengan SPTNP sudah berjalan bertahun-tahun. (dahulu menggunakan SPKPBM, kemudian berubah menjadi SPKTNP);
bahwa praktik tersebut tidak dipermasalahkan oleh Importir, bahkan sebagian besar importir merasakan manfaat dari pengawasan dan penetapan yang dibebankan di tingkat akhir (post clearance stage) tersebut (sekitar 84% importir ditetapkan dalam jalur prioritas, jalur hijau, dan jalur kuning);
bahwa terhadap praktik yang sudah berlangsung secara terus menerus tanpa dipermasalahkan oleh masyarakat pada dasarnya tidak layak untuk disengketakan di pengadilan, karena salah satu sumber hukum adalah kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus;
bahwa meskipun praktik SPKTNP tanpa SPTNP ini bukan merupakan sumber hukum, namun demikian kebiasaan tersebut menjustifikasi keabsahan process business yang dilakukan DJBC selama ini;
bahwa jika mengikuti alur proses kepabeanan berdasarkan dalil Pemohon Banding, maka terdapat beberapa dampak yang diantaranya:
i. | berkurangnya penerimaan negara dari sektor perpajakan khususnya bidang kepabeanan/cukai; |
ii. | terhambatnya arus pengeluaran barang impor dari kawasan pabean karena perlu dilakukan pemeriksaan fisik dan penetapan pada tingkat pertama (SPTNP); |
iii. | tidak dapat dijalankannya fasilitas-fasilitas di bidang Kepabeanan yang telah diatur di dalam Undang-Undang serta Peraturan terkait yang diberikan kepada importir manufaktur besar sehingga akan menghambat kelancaran proses produksi; |
2. | Penjelasan Terkait dalil Pemohon Banding bahwa Direktur Audit belum mendapat pelimpahan wewenang dari Direktur Jenderal untuk menandatangani SPKTNP |
bahwa penetapan yang menjadi sengketa adalah SPKTNP-385/BC.2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang diterbitkan oleh Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai pada tanggal 12 Agustus 2016;
bahwa berdasarkan asas hukum "Lex Posterior Derogat Legi Priori" yang bermakna Aturan hukum yang lebih baru mengesampingkan atau meniadakan aturan hukum yang lama dengan syarat/prinsip:
a. | Aturan hukum yang baru harus sederajat atau Iebih tinggi dari aturan hukum yang lama; |
b. | Aturan hukum baru dan lama mengatur aspek yang sama; |
bahwa Terbanding mendapati bahwa Pemohon Banding salah mencantumkan Peraturan yang menjadi dasar dalil bandingnya sehingga dalil tersebut keliru, sangat dipaksakan, dan mengada-ada, yakni:
a. | PMK-168/PMK.01/2012 tentang Organisasi Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan |
b. | KEP-43/BC/2010 tentang Pelimpahan Wewenang kepada Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah DJBC, Kepala KPU Bea dan Cukai untuk dan atas nama Direktur Jenderal menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean; |
bahwa penandatanganan SPKTNP-385/BC.2016 tanggal 12 Agustus 2016 a quo oleh Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai a.n. Direktur Jenderal telah sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku, yakni: PER-09 dan KEP-121/BC/2016 yang mengacu kepada PMK-234, sehingga tidak menyimpang dari ketentuan PerMenpan RI nomor 22 Tahun 2008 dan PMK No. 151/PMK.01/2010 Pedoman Tata Naskah Dinas Kementerian Keuangan;
bahwa Peraturan yang digunakan Pemohon Banding sebagai dasar Alasan Banding tidak relevan dengan tatacara penerbitan dan penandatanganan SPKTNP-385/BC.2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang menjadi sengketa a quo;
bahwa SPKTNP-385/BC.2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang diterbitkan oleh Terbanding kepada Pemohon Banding merupakan bentuk penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai berdasarkan Hasil Audit Kepabeanan sesuai Pasal 1 angka 7, Pasal 10 PMK122 dan Pasal 48 ayat (1) huruf a, ayat (4), ayat (6), dan Pasal 50 ayat (1) PER-09;
bahwa SPKTNP-385/BC.2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang diterbitkan oleh Terbanding kepada Pemohon Banding bukan penetapan Direktur Jenderal Bea dan Cukai melalui mekanisme Penelitian Ulang sesuai Pasal 1 angka 6, Pasal 10 A dan Pasal 10 B PMK-122, Pasal 48 ayat (1) huruf c dan ayat (2), Pasal 49, dan Pasal 50 ayat (2) PER-09;
bahwa SPKTNP tersebut telah benar ditandatangani oleh Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai sesuai dengan Peraturan sebagai berikut:
1) | Pasal 10 ayat (6) PMK-122; |
2) | PMK-234; |
3) | Pasal 50 ayat (1) huruf a PER-09; |
4) | Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-121/BC/2016 tentang Pelimpahan Wewenang kepada Pejabat di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Menandatangani Surat dan atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai; |
bahwa berdasarkan penjelasan tersebut di atas, alasan banding Pemohon Banding yang menyatakan SPKTNP-385 tidak sah atau batal demi hukum karena ditandatangani oleh Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai a.n. Direktur Jenderal Bea dan Cukai adalah sama sekali tidak benar.
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan penetapan kembali Terbanding dalam SPKTNP Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 dan pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa terhadap penerbitan SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016, batal demi hukum, terkait fakta-fakta hukum sebagai berikut:
a. | Berdasarkan UU nomor 17 tahun 2006 juncto UU nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan, tentang Penetapan Tarif dan Nilai Pabean, Pasal 16:
|
||||
b. | Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan bahwa: "Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean."
|
bahwa secara Yuridis Formal berdasarkan asas Hukum Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru melumpuhkan peraturan yang lama, terhadap Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-43/BC/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah DJBC, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Membuat dan Menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean secara otomatis sudah tidak berlaku sejak Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2012 diundangkan yaitu pada tanggal 6 November 2012;
bahwa terhadap Penetapan SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 adalah tidak sah atau batal demi hukum karena Direktur Jenderal belum mendelegasikan kembali sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2012 diundangkan yaitu pada tanggal 6 November 2012;
bahwa disini sudah jelas Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-43/BC/2010 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Direktur Teknis Kepabeanan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah DJBC, Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Membuat dan Menandatangani Surat Penetapan Kembali Tarif dan Nilai Pabean sudah tidak berlaku lagi karena Keputusan pelimpahan kewenangan itu berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2011 dan peraturan ini telah jelas-jelas dicabut oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.0112012 diundangkan yaitu pada tanggal 6 November 2012 yang seharusnya Direktur Jenderal Membuat Surat Keputusan Pelimpahan Wewenang Kembali berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 168/PMK.01/2012 dan apabila peraturan yang menjadi dasar pelimpahan wewenang tersebut dicabut maka Direktur Jenderal harus melakukan pelimpahan kewenangan kembali sebab jelas yang mempunyai kewenangan secara undang-undang adalah Direktur Jenderal berdasarkan Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan bahwa: "Direktur Jenderal dapat menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean". Dalam hal ini disebutkan bahwa yang berhak menetapkan kembali tarif dan nilai pabean untuk perhitungan bea masuk dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
bahwa secara kewenangan Direktur Jenderal harus melimpahkan kepada struktural di bawahnya dasarnya adalah tata organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang menggambarkan masing-masing fungsi Direktorat di dalamnya;
bahwa mengenai Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-121/BC/2016 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat Dilingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Menandatangani Surat dan atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tanggal, Pemohon Banding belum mendapatkan hardcopy atas keputusan tersebut, dan sebenarnya KEP-121/BC/2016 ini merupakan pentingnya Keputusan terhadap pelimpahan wewenang terhadap organ di bawah Direktur Jenderal, tetapi mengapa pada saat Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 74/PMK.01/2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Instansi Vertikal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2011 dan peraturan ini telah jelas-jelas dicabut oleh Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2012 diundangkan yaitu pada tanggal 6 November 2012 yang menjadi Dasar Hukum pelimpahan wewenang Direktur
Jenderal dan Direktur Jenderal Belum Melimpahkan kembali wewenangnya berdasar Dasar Hukum yang baru yaitu PMK Nomor 168/PMK.01/2012;
bahwa berdasarkan Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor PER-09/BC/2012 tentang tatalaksana audit:
a. | pasal 48 ayat 4 huruf b menyatakan "Penerbitan Surat Tindak Lanjut dilakukan dalam hal Nilai Pabean tidak dapat diterima berdasarkan Nilai Transaksi dan diajukan penelitian ulang untuk dilakukan penetapan kembali Nilai Pabean kepada Direktur Teknis untuk audit yang dilakukan oleh direktorat audit; |
b. | terhadap Nilai Pabean PIB Pemohon Banding belum dilakukan penelitian ulang dan penetapan kembali Nilai Pabean oleh Direktur Teknis Kepabeanan; |
c. | Bahwa pasal 48 ayat 6 menyatakan "Dalam hal penetapan kembali nilai pabean dan/atau tarif mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau PDRI, Direktorat Teknis menindak lanjuti dengan menerbitkan SPKTNP; |
d. | Bahwa terhadap Nilai Pabean PIB Pemohon Banding yang menjadi perbedaan penafsiran antara Auditee dan Tim Audit Direktorat Audit Kantor Pusat DJBC belum ditetapkan kembali oleh Direktorat Teknis Kepabeanan dan kemudian SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 terhadap Nilai Pabean yang berbeda penafsiran seharusnya diterbitkan oleh Direktur Teknis Kepabeanan tetapi terhadap SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 diterbitkan oleh Direktur Audit; |
e. | Bahwa terhadap Penetapan SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 adalah tidak sah atau batal demi hukum karena seharusnya secara legal formal yang berhak menandatangani SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang berbeda penafsiran Nilai Pabean antara auditee dan tim audit adalah Direktur Teknis Kepabeanan; |
f. | Disini yang menjadi penekanan Pemohon Banding adalah bahwa telah terjadi Dispute antara auditee dan Tim Audit DJBC dan yang mempunyai kewenangan dalam penetapan Tarif dan Nilai pabean adalah Direktorat Teknis Kepabeanan yang di dalamnya ada Sub Direkorat Klasikasi Barang dan Sub Direktorat Nilai Pabean, seharusnya Tim Audit meminta Penetapan Kembali terhadap Klasifikasi Barang dan Penetapan Terhadap Nilai Pabean kepada Direktorat Teknis Kepabeanan kemudian Direktorat Teknis Memberikan Penetapan terhadap Klasifikasi Barang dan Nilai Pabean. |
bahwa tentang Materi Banding atas diharuskan memiliki stempel Non Manipulative Certificate dari negara transit yang bukan anggota skema FTA adalah tidak tertuang dalam PMK-205/PMK.04/2015, sehingga secara hukum formal yang berlaku diindonesia ketentuan diharuskannya memiliki stempel non manipulative certificate tersebut tidak berlaku, yang mana penetapan tim auditor menyalahi asas hukum legalitas yang berlaku dinegara kita, peraturan stempel non manipulative certificate tidak ada dalam PMK-205/PMK.04/2015 dan yang diuraikan oleh tim audit adalah perjanjian internasional yang tidak diadopsi oleh peraturan perundang undangan yang berlaku sebagai payung hukumnya yaitu PMK-205/PMK.04/2015;
bahwa tentang Materi Banding atas Penetapan Tarif dan Klasifikasi oleh Terbanding, maka Pemohon Banding menguraikan sebagai berikut:
a. | Automatic Crimping Machine seharusnya diklasifikasikan sebagai robot industri pada HS 8479.50.00.00. Berdasarkan KUM HS 3 (a) dan konsep robot industri menurut robotic institute association dan beberapa organisasi di bidang robot membuat definisi tersendiri. Robot Institute of America memberikan definisi robot sebagai: “A reprogammable multifunctional manipulator designed to move materials, parts, tools or other specialized devices through variable programmed motions for the performance of a variety of tasks”. International Standard Organization (ISO 8373) mendefinisikan robot sebagai: “An automatically controlled, reprogrammable, multipurpose, manipulator programmable in three or more axes, which may be either fixed in place or mobile for use in industrial automation applications”. Dari beberapa definisi di atas, kata kunci yang ada yang dapat menerangkan pengertian robot adalah:
|
||||||||||||
b. | Band, cable tie dan clip, Cap atau tutup, Case, Plastic Case, Plastic products, Connect Sleeve, Connector sleeve, sleeve, Cover Diode, Electronics Parts, Fuse Box, Part Tube (Tube dan PVC tube) seharusnya diklasifikasikan ke HS 3926.90.59.00 kategori barang industri (Bahan Baku Industri) berdasarkan keterangan sebagai berikut: Pengertian Barang Industri adalah Produk (Bahan Baku atau Barang Jadi) atau jasa yang dibeli untuk digunakan dalam proses produksi barang atau jasa lainnya dalam operasi bisnis atau untuk dijual kembali kepada konsumen. Barang Industri dapat berupa mesin, bahan material, atau bagian komponen yang akan digunakan oleh industri. Perbedaan barang konsumsi dan barang industri terletak pada posisi akhir dan tujuan pembeliannya. Dalam hal ini Band, cable tie dan clip, Cap atau tutup, Case, Plastic Case, Plastic products, Connect Sleeve, Connector sleeve, sleeve, Cover Diode, Electronics Parts, Fuse Box, Part Tube (Tube dan PVC tube) adalah barang industri yang merupakan bahan baku yang digunakan untuk industri yang menghasilkan barang lain bukan untuk dikonsumsi jadi lebih tepat di klasifikasikan ke dalam HS 3926.90.59.00. | ||||||||||||
c. | Electric Wire, Shield Wire, wire, wire assh merupakan wire yang diisolasi dengan karet atau plastik untuk kendaraan dari pos 87.02 , 87.03, 87.04, 87.11 karena tidak mungkin wire untuk wiring harness kendaraan bermotor tidak dilapisi dengan plastik atau dengan karet karena bisa mengakibatkan konslet apabila bersinggungan dan bisa mengakibatkan kebakar atau konsleting, tentang masalah pembuktian bahwa wire ini diisolasi atau dilapisi sudah Pemohon Banding buktikan dengan cara dibakar bagian wire kalau ada lapisan plastik atau karet pasti akan kelihatan dan seharusnya diklasifikasikan ke dalam 8544.30.12.00. |
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, Pemohon Banding berpendapat sebagai berikut:
1. | Bahwa terhadap Penetapan SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 oleh Terbanding adalah tidak sah atau batal demi hukum karena Direktur Jenderal belum mendelegasikan kembali sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2012 diundangkan yaitu pada tanggal 6 November 2012; |
2. | Bahwa terhadap Penetapan SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 oleh Terbanding adalah tidak sah atau batal demi hukum karena seharusnya secara legal formal yang berhak menandatangani SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang berbeda penafsiran antara auditee dan TIM audit adalah Direktur Teknis kepabeanan, seharusnya Direktorat Audit Meminta Penetapan tentang Kalsifikasi Barang kepada Direktur Teknis Kepabeanan kemudian Direktur Teknis Kepabeanan menerbitkan Surat Penetapan Klasifikasi Barang yang menjadi dispute antara perusahaan dan Tim Audit; |
3. | Pemohon Banding telah mengklasifikasikan barang impor sesuai dengan ketentuan yang ada dan pengklasifikasian yang dilakukan oleh Terbanding adalah tidak tepat karena tidak mempunyai dasar yang kuat. |
4. | Pemohon Banding telah tepat melaksanakan ketentuan PMK-205/PMK.04/2015 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif dan Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Atau Kesepakatan International dengan tidak melakukan stempel non manipulative certificate karena tidak tertulis dalam PMK-205/PMK.04/2015. |
bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah penetapan kembali Terbanding berupa tagihan atas temuan hasil audit sebesar Rp 240.966.000 sesuai SPKTNP Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 berdasarkan Laporan Hasil Audit Nomor: LHA-238/BC.092/IP/2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa menurut Majelis tagihan atas temuan hasil audit sebesar Rp 240.966.000 timbul karena penetapan Terbanding atas 63 (enam puluh tiga) PIB sebagaimana tercantum dalam Kerta Kerja Audit atas Laporan Hasil Audit Nomor: LHA-238/BC.092/IP/2016 tanggal 12 Agustus 2016;
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan penetapan kembali Terbanding dalam SPKTNP Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 dan pada pokoknya mengemukakan alasan bahwa Pemohon Banding telah mengklasifikasikan barang impor sesuai dengan ketentuan yang ada dan pengklasifikasian yang dilakukan oleh Terbanding adalah tidak tepat karena tidak mempunyai dasar yang kuat dan Pemohon Banding telah tepat melaksanakan ketentuan PMK-205/PMK.04/2015 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif dan Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Atau Kesepakatan International dengan tidak melakukan stempel non manipulative certificate karena tidak tertulis dalam PMK-205/PMK.04/2015;
bahwa Pemohon Banding dalam surat bandingnya menyatakan bahwa SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 adalah tidak sah atau batal demi hukum karena Direktur Jenderal Bea dan Cukai belum mendelegasikan kembali sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.01/2012 diundangkan yaitu pada tanggal 6 November 2012;
bahwa pelimpahan wewenang kepada Pejabat di lingkungan Kantor Pusat Bea dan Cukai diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-121/BC/2016 tentang Pelimpahan Wewenang Kepada Pejabat di Lingkungan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Untuk dan Atas Nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai Menandatangani Surat dan/atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai;
bahwa berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-121/BC/2016, disebutkan sebagai berikut:
MEMUTUSKAN: | |
PERTAMA : | Memberikan pelimpahan wewenang kepada Pejabat di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk dan atas nama Direktur Jenderal Bea dan Cukai menandatangani surat dan/atau Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I sampai dengan Lampiran IX yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini. |
bahwa dalam Lampiran VII Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-121/BC/2016, antara lain disebutkan bahwa salah satu wewenang Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang dilimpahkan kepada Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai adalah wewenang penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean dan penetapan kembali perhitungan bea keluar dalam hal audit dilaksnakan oleh Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai;
bahwa Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-121/BC/2016 berlaku mulai tanggal 25 April 2016, sehingga menurut pendapat Majelis, SPKTNP Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 yang ditandatangani oleh Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai adalah sah;
bahwa menurut Majelis, atas barang impor dalam 60 (enam puluh) PIB yang menjadi sengketa masalah klasifikasi, dikelompokkan menjadi beberapa jenis barang dan diberitahukan oleh Pemohon Banding dengan klasifikasi sebagai berikut:
a. | Automatic Crimping Machine diklasifikasikan sebagai robot industri pada HS 8479.50.00.00 dengan alasan berdasarkan KUM HS 3 (a) dan konsep robot industri menurut robotic institute association dan beberapa organisasi di bidang robot membuat definisi tersendiri. Robot Institute of America memberikan definisi robot sebagai: “A reprogammable multifunctional manipulator designed to move materials, parts, tools or other specialized devices through variable programmed motions for the performance of a variety of tasks”. International Standard Organization (ISO 8373) mendefinisikan robot sebagai: “An automatically controlled, reprogrammable, multipurpose, manipulator programmable in three or more axes, which may be either fixed in place or mobile for use in industrial automation applications”. Dari beberapa definisi di atas, kata kunci yang ada yang dapat menerangkan pengertian robot adalah:
|
||||||||||||
b. | Band, cable tie dan clip, Cap atau tutup, Case, Plastic Case, Plastic products, Connect Sleeve, Connector sleeve, sleeve, Cover Diode, Electronics Parts, Fuse Box, Part Tube (Tube dan PVC tube) diklasifikasikan ke HS 3926.90.59.00 kategori barang industri (Bahan Baku Industri) dengan alasan sebagai berikut: Pengertian Barang Industri adalah Produk (Bahan Baku atau Barang Jadi) atau jasa yang dibeli untuk digunakan dalam proses produksi barang atau jasa lainnya dalam operasi bisnis atau untuk dijual kembali kepada konsumen. Barang Industri dapat berupa mesin, bahan material, atau bagian komponen yang akan digunakan oleh industri. Perbedaan barang konsumsi dan barang industri terletak pada posisi akhir dan tujuan pembeliannya. Dalam hal ini Band, cable tie dan clip, Cap atau tutup, Case, Plastic Case, Plastic products, Connect Sleeve, Connector sleeve, sleeve, Cover Diode, Electronics Parts, Fuse Box, Part Tube (Tube dan PVC tube) adalah barang industri yang merupakan bahan baku yang digunakan untuk industri yang menghasilkan barang lain bukan untuk dikonsumsi jadi lebih tepat di klasifikasikan ke dalam HS 3926.90.59.00. | ||||||||||||
c. | Electric Wire, Shield Wire, wire, wire assh merupakan wire yang diisolasi dengan karet atau plastik untuk kendaraan dari pos 87.02 , 87.03, 87.04, 87.11 dengan alasan tidak mungkin wire untuk wiring harness kendaraan bermotor tidak dilapisi dengan plastik atau dengan karet karena bisa mengakibatkan konslet apabila bersinggungan dan bisa mengakibatkan kebakar atau konsleting, tentang masalah pembuktian bahwa wire ini diisolasi atau dilapisi sudah Pemohon Banding buktikan dengan cara dibakar bagian wire kalau ada lapisan plastik atau karet pasti akan kelihatan dan seharusnya diklasifikasikan ke dalam 8544.30.12.00. |
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis terhadap contoh gambar/deskripsi barang serta data/dokumen dan keterangan dari Terbanding dan Pemohon Banding dalam persidangan, Majelis berpendapat sebagai berikut:
a. | Atas barang impor berupa Automatic Crimping Machine tidak dapat diklasifikasikan sebagai robot industri pada pos tarif 8479.50.00.00 karena pada explanatory notes pos 84.79 disebutkan bahwa: "Pos ini hanya meliputi robot industri yang dapat melakukan berbagai fungsi hanya dengan menggunakan perlatan yang berbeda. Akan tetapi pos ini tidak mencakup robot industri yang didesain untuk melakukan fungsi khusus; Robot semacam itu dikelompokkan dalam pos yang mencakup fungsi mereka (misalnya pos 84.24, 84.28, atau 85.15)." Bahwa Automatic Crimping Machine (cpr-zero) yang diimpor oleh Pemohon Banding memiliki fungsi khusus yaitu melakukan pemotongan kabel dan melakukan crimping kabel untuk disambungkan dengan terminal/konektor, sehingga barang dimaksud lebih tepat diklasifikasikan ke dalam pos tarif 8479.89.30.00. |
b. | Atas barang berupa Band, cable tie, dan clip yang diimpor Pemohon Banding merupakan barang yang sama yaitu pengikat kabel dari plastik. Barang ini bukan merupakan barang industri karena pengikat kabel dari plastik tidak hanya dikonsumsi oleh industri, tetapi juga dikonsumsi oleh konsumen akhir. Bahwa yang dimaksud barang industri pada pos tarif 3926.90.59.00 adalah alat/komponen yang digunakan dalam proses produksi, seperti contohnya ban/belting penggerak dari plastik, sehingga untuk band, cable tie, dan clip lebih tepat diklasifikasikan pada pos tarif 3926.90.99.00. |
c. | Atas barang berupa Cap diimpor secara terpisah/belum dalam bentuk wiring harness. Barang ini merupakan sumbat/tutup terbuat dari plastik yang berfungsi menutup konektor pada wiring harness dan akan dibuang saat wire harness akan dipasang oleh customer. Cap tidak dapat diklasifikasikan pada pos 39.26 karena pada explanatory notes pos 39.26 disebutkan bahwa pos ini meliputi barang-barang yang tidak termasuk atau tidak terklasifikasi pada pos plastik lain atau atas barang lain dari yang dicakup pada pos 39.01 hingga 39.14, sedangkan sumbat atau tutup dari plastik sudak memiliki pos tersendiri yaitu pada pos 39.23, sehingga Cap diklasifikasikan pada pos tarif 3923.50.00.00 yaitu sumbat, tutup, tudung, dan penutup lainnya. |
d. | Atas barang berupa Case, plastic case, plastic products adalah relay box yang diimpor terpisah dari relay (tidak jadi satu bagian), barang ini bukan merupakan barang industri karena yang dimaksud barang industri pada pos tarif 3926.90.59.00 adalah alat/komponen yang digunakan dalam proses produksi, seperti contohnya ban/belting penggerak dari plastik, sehingga untuk relay box lebih tepat diklasifikasikan pada pos tarif 3926.90.99.00. |
e. | Atas barang berupa Connect sleeve, connector sleeve, sleeve yang merupakan plastik untuk melinduki terminal/connector, barang tersebut bukan merupakan barang indudtri karena yang dimaksud barang industri pada pos tarif 3926.90.59.00 adalah alat/komponen yang digunakan dalam proses produksi, seperti contohnya ban/belting penggerak dari plastik, sehingga untuk Connect sleeve, connector sleeve, sleeve lebih tepat diklasifikasikan pada pos tarif 3926.90.99.00. |
f. | Atas barang berupa Cover diode merupakan wadah/kotak dioda terbuat dari plastik, barang ini bukan merupakan barang industri karena yang dimaksud barang industri pada pos tarif 3926.90.59.00 adalah alat/komponen yang digunakan dalam proses produksi, seperti contohnya ban/belting penggerak dari plastik, sehingga untuk Cover diode lebih tepat diklasifikasikan pada pos tarif 3926.90.99.00. |
g. | Atas barang berupa Electric wire, shield wire, wire, wire asssh, wire non bukan merupakan kawat gulung dari tembaga yang dienamel atau dilak dan dibungkus PVC. Kawat hanya terdiri dari satu helai (strand), sedangkan electric wire, shield wire, wire, wire asssh, wire non yang diimpor oleh Pemohon Banding memiliki banyak helai. Selain itu pada explanatory notes disebutkan bahwa kawat yang dilak (lacquered) atau dienamel biasanya sangat tipis dan terutama digunakan menggulung kumparan. Berdasarkan hal tersebut, electric wire, shield wire, wire, wire asssh, wire non seharusnya diklasifikasikan pada subpos 8544.49, yaitu konduktor listrik lainnya dengan voltase tidak melebihi 1000V. Sedangkan untuk pos tarif nasionalnya dibagi menjadi tiga pos tarif yaitu 8544.49.21.00, 8544.49.23.00, dan 8544.49.41.00 sesuai spesifikasi voltase masing-masing jenis kabelnya sesuai part number. |
h. | Atas barang berupa Electronic parts (dengan part no W868M001) merupakan tutup konektor USB dari plastik, barang ini tidak dapat diklasifikasikan pada pos 39.26 karena pada explanatory notes pos 39.26 disebutkan bahwa pos ini meliputi barang-barang yang tidak termasuk atau tidak terklasifikasi pada pos plastik lain atau atas barang lain dari yang dicakup pada pos 39.01 hingga 39.14, sedangkan tutup/tudung dari plastik sudah memiliki pos tersendiri yaitu pos 39.23. Selain itu, pada explanatory notes pos 39.23 disebutkan bahwa pos ini mencakup seluruh jenis barang plastikyang umumnya digunakan untuk pengemasan atau penyimpanan seluruh jenis produk. Cakupan artikel ini meliputi sumbat, tutup, cap dan penutup lainnya, sehingga barang ini diklasifikasikan pada pos tarif 3923.50.00.00 yatiu sumbat, tutup, tudung dan penutup lainnya. |
i. | Atas barang berupa Fuse box bukan merupakan barang industri karena yang dimaksud barang industri pada pos tarif 3926.90.59.00 adalah alat/komponen yang digunakan dalam proses produksi, seperti contohnya ban/belting penggerak dari plastik, sedangkan fuse box digunakan pada wiring harness kendaraan bermotor, sehingga fuse box lebih tepat diklasifikasikan pada pos tarif 8536.10.93.00. |
j. | Atas barang berupa Compound (PPH-T03) telah diambil sampel dan diajukan pemeriksaan identifikasi barang ke BPIB Jakarta. Hasil pengujian dan identifikasi barang tersebut telah dituangkan dalam surat Kepala BPIB Jakarta Nomor S-859/SHPIB/WBC.07/BPIB/2016 tanggal 24 Mei 2016 dengan kesimpulan PPH-T03 merupakan polimer sintetik jenis polypropylene homopolymer dalam bentuk butiran, sehingga PPH-T03 diklasifikasikan pada pos tarif 3902.10.90.20. |
k. | Atas barang berupa Part tube (tube & pvc tube) merupakan pipa fleksibel tanpa alat kelengkapan sehingga diklasifikasikan pada pos tarif 3917.32.90.00. |
bahwa atas PIB-PIB dengan rincian sebagai berikut:
No. | Nomor PIB | Tanggal PIB | Nomor SKA | Tanggal SKA |
1. | 150443 | 05 September 2014 | E143709007500024 | 02 September 2014 |
2. | 166993 | 02 Oktober 2014 | E143709007500028 | 29 September 2014 |
3. | 183193 | 29 Oktober 2014 | E143709007500030 | 23 Oktober 2014 |
barang impor dikirimkan dari negara China melalui Hongkong;
bahwa dalam persidangan Pemohon Banding tidak dapat membuktikan pemenuhan ketentuan direct Consignment, sehingga atas impor barang dengan PIB Nomor: 150443 tanggal 05 September 2014, Nomor: 166993 tanggal 02 Oktober 2014 dan Nomor: 183193 tanggal 29 Oktober 2014 dikenakan pembebanan tarif bea masuk yang berlaku umum (MFN);
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berkesimpulan menolak permohonan banding Pemohon Banding terhadap SPKTNP Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 sehingga bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang masih harus dibayar adalah sebesar Rp 240.966.000;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait;
Menolak banding Pemohon Banding terhadap Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) Nomor: SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016, atas nama Pemohon Banding dan menetapkan bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang masih harus dibayar sesuai SPKTNP-385/BC/2016 tanggal 12 Agustus 2016 sebesar Rp 240.966.000;
Demikian diputus di Jakarta berdasarkan Musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan dicukupkan pada hari Kamis tanggal 31 Agustus 2017 oleh Hakim Majelis IXB Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis sebagai berikut:
Drs. S, M.M., M.H. | sebagai Hakim Ketua, |
Drs. SS, M.M. | sebagai Hakim Anggota, |
Ir. HBS, M.Eng. | sebagai Hakim Anggota, |
dengan dibantu oleh AK, S.E. |
sebagai Panitera Pengganti. |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Jumat tanggal 31 Agustus 2018, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Terbanding maupun Pemohon Banding;
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.