Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa menurut Terbanding, perlakuan perpajakan yang diterapkan oleh Terbanding telah sesuai dengan landasan filosofis yang dimaksud dalam penjelasan umum Undang-Undang PPN dan memori penjelasan Pasal 16B Undang-Undang PPN yang menghendaki keadilan pembebanan pajak dan diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama;
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi Terbanding yang dinyatakan melalui SKPKB PPN Nomor 00020/207/13/092/15 tanggal 27 Januari 2015 Masa Pajak Juni 2013 dan Keputusan Terbanding Nomor KEP-158/WPJ.19/2016 tanggal 18 Januari 2016, dan Pemohon Banding mempertahankan alasan dan dasar hukum yang di ajukan dalam keberatan, banding dan bantahannya dan menambahkan fakta hukum baru berupa;
bahwa berdasarkan Surat Banding, Surat Uraian Banding, dan Surat Bantahan, Fakta Persidangan serta data/informasi yang tersedia dan penjelasan atas dalil-dalil masing-masing pihak selama persidangan, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut :
- |
bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah koreksi Terbanding atas Pajak Masukan atas penyerahan yang oleh Terbanding dinyatakan barang tersebut termasuk barang yang tidak terutang atau dibebaskan dari pengenaan PPN sebesar Rp235.501.576,00 karenanya Pajak Masukan yang dipungut tidak dapat dikreditkan sebagai pengurang PPN terutang pada masa September tahun 2013 menurut ketentuan yang berlaku; |
- |
bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi pajak masukan tersebut dan mengajukan banding atas koreksi pajak masukan sebesar Rp235.501.576,00 yang berkaitan dengan penyerahan yang tidak terutang atau dibebaskan dari pengenaan PPN, dengan alasan :
- TBS yang dihasilkan oleh Unit Perkebunan Pemohon Banding yang selanjutnya dipergunakan/dipakai sebagai bahan baku di Unit Pengolahan Pemohon Banding pada dasarnya bukanlah merupakan penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis, karena TBS tersebut dipakai/dipergunakan dalam satu entitas perusahaan yang sama dalam rangka menghasilkan barang berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK) di PT. Perkebunan Milano;
- Pemakaian sendiri TBS ini nyata-nyata digunakan untuk kegiatan produksi selanjutnya dan mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha Pemohon Banding;
|
- |
bahwa alasan Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan tersebut adalah karena Pemohon Banding mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan digunakan untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN; |
- |
bahwa dasar hukum yang dipergunakan oleh Terbanding dalam melakukan koreksi tersebut adalah :
a. |
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Selanjutnya disebut UU PPN), antara lain diatur sebagai berikut:
Pasal 1 angka 24
Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak;
Pasal 9
ayat (2b)
Pajak Masukan yang dikreditkan harus menggunakan Faktur Pajak yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (9);
Ayat (5)
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sepanjang bagian penyerahan yang terutang pajak dapat diketahui dengan pasti dari pembukuannya, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan yang terutang pajak;
Ayat (6),
Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pengusaha Kena Pajak selain melakukan penyerahan yang terutang pajak juga melakukan penyerahan yang tidak terutang pajak, sedangkan Pajak Masukan untuk penyerahan yang terutang pajak tidak dapat diketahui dengan pasti, maka jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan untuk penyerahan yang terutang pajak dihitung dengan menggunakan pedoman yang diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan;
Ayat (8) huruf b,
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
- perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
Penjelasan:
Agar dapat dikreditkan, Pajak Masukan juga harus memenuhi syarat bahwa pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan Nilai. ;
Pasal 13 ayat (9)
Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material;
Pasal 16B:
Ayat (1) huruf b
Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya, baik untuk sementara waktu atau selamanya, atau dibebaskan dari pengenaan pajak, untuk:
- penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
diatur dengan Peraturan Pemerintah;
Ayat (3)
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
Penjelasan:
Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;
|
b. |
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 (selanjutnya disebut PP-31), antara lain diatur sebagai berikut::
1) |
Pasal 1 angka 1 huruf c
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
....
Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis adalah:
|
2) |
Pasal 1 angka 2 huruf a
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
- pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
yang dipetik Iangsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah ini;
bahwa dalam Lampiran, antara lain diatur bahwa jenis barang perkebunan kelapa sawit yang dibebaskan dari pengenaan PPN adalah TBS;
|
3) |
Pasal 2 ayat (2) huruf c
Atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa:
- barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1angka 1 huruf c; dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
|
4) |
Pasal 3
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan;
|
|
c. |
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak (selanjutnya disebut PMK-78) antara lain dapat disarikan bahwa:
a) |
PMK-78 mengatur tentang perusahaan terintegrasi dan mengatur unit/divisi; |
b) |
PMK-78 tidak memberi pedoman penghitungan Pajak Masukan apabila pada perusahaan terintegrasi melakukan penyerahan sebagian produksi di unit/ divisi yang menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN kepada pihak ketiga; |
c) |
Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 51/P.PTS/XII/2011/P/HUM/2010 mengenai Perkara Permohonan Uji Materi Terhadap Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak pada intinya memutuskan bahwa norma atau kaidah di dalam PMK-78/PMK.03/2010 tidak bertentangan dengan peraturan perundangan perpajakan yang lebih tinggi; |
|
|
- |
bahwa pada Masa September 2013, sebagian besar penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding adalah penyerahan Barang Kena Pajak (berupa : Crude Palm Oil, Palm Kernel dan Material/Sparepart) dan Jasa Kena Pajak (berupa : Jasa Olah, Ongkos Angkut dan kompensasi Pemakaian Fasilitas) yang Pemohon Banding lakukan adalah dengan terutang Pajak Pertambahan Nilai, yakni terutang PPN dengan tarif 10%; |
- |
bahwa hanya terdapat sebagian kecil penyerahan BKP/JKP (berupa cangkang, janjang dan bibit) yang dibebaskan dari pengenaan PPN yang dilakukan oleh Pemohon Banding, dimana atas kondisi ini telah dilakukan penghitungan kembali Pajak Masukan yang telah dikreditkan, dan hasil dari penghitungkan kembali Pajak Masukan tersebut, yang menghasilkan nilai Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan; |
bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas, Majelis menyimpulkan :
bahwa berdasarkan penjelasan Pemohon Banding diketahui bahwa perusahaan Pemohon Banding merupakan perusahaan yang terintegrasi, dimana Pemohon Banding tidak melakukan penyerahan TBS, tetapi TBS hasil unit perkebunan diolah lebih lanjut untuk menghasilkan CPO dan PK, yang kemudian dilakukan penyerahan kepada konsumen akhir;
bahwa berdasarkan fakta persidangan tersebut di atas berarti selama bulan September 2013, tidak terbukti adanya penyerahan Tandan Buah Segar hasil kebun sendiri yang termasuk sebagai Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN oleh Pemohon Banding;
bahwa berdasarkan uraian dan kesimpulan diatas, Majelis berpendapat :
bahwa Tandan Buah Segar adalah termasuk Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007;
bahwa dasar hukum yang dipergunakan oleh Terbanding untuk melakukan koreksi Pajak Masukan tersebut antara lain sebagai berikut :
- Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
- Klausul Penjelasan Pasal 16B ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000;
- Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor Dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
Bahwa sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia a quo, pasal-pasal yang menjadi objek dalam perkara hak uji materiil yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum;
Bahwa sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011, Pemerintah dalam 90 hari sejak salinan putusan tersebut dikirimkan harus menerbitkan PP untuk untuk merubah
PP Nomor 31 Tahun 2007, sebagai kewajiban pelaksanaan putusan MA. Apabila dalam 90 hari Pemerintah tidak menerbitkan PP perubahan, maka
PP Nomor 31 Tahun 2007 terkait hal-hal yang dibatalkan oleh MA tidak lagi mempunyai kekuatan hukum;
Bahwa Masa Pajak yang menjadi sengketa adalah Masa Pajak September 2013, sehingga tidak bisa diberlakukan Putusan Mahkamah Agung a quo;
bahwa Pemohon Banding melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya sebagian terutang PPN dan sebagian lainnya dibebaskan dari pengenaan PPN yaitu dalam bidang perkebunan Kelapa Sawit dan pengolahan Tandan Buah Segar (TBS). Hasil perkebunan Kelapa Sawit berupa Tandan Buah Segar (TBS) diolah di Pabrik Kelapa Sawit dengan hasil akhir berupa Crude Palm Oil (CPO) dan Palm Kernel (PK). Dengan demikian produk akhir yang dihasilkan merupakan Barang Kena Pajak yang pada saat penyerahan kepada pihak Pembeli dikenakan PPN sebesar 10%;
bahwa atas penyerahan Tandan Buah Segar (TBS) ke Unit Pengolahan adalah bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 1 angka 4
UU Nomor 18 Tahun 2000 karena antara kebun dan pabrik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan sebagai suatu entitas usaha yang mempunyai NPWP dan Nomor Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan merupakan mata rantai produksi yang tidak terputus;
bahwa menurut Majelis, penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding merupakan penyerahan Barang Kena Pajak yang terutang Pajak Pertambahan Nilai sebesar 10% dan bukan merupakan penyerahan barang strategis yang dibebaskan dari Pajak Pertambahan Nilai, sehingga Pajak Masukannya dapat dikreditkan;
bahwa Hakim Diding Djamaludin, Ak., M.M., mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion) dengan pendapat sebagai berikut:
bahwa berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mendasarinya, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut :
bahwa Pemohon Banding merupakan perusahaan dengan kegiatan usaha terpadu (integrated= kebun dan pabrik) yang terdiri dari 2 (dua) kegiatan usaha yang terpadu, yaitu:
- Perkebunan, menghasilkan TBS untuk diolah sendiri;
- Pengolahan, TBS diolah lebih lanjut menjadi CPO, PKO, dan hasil olahan lainnya;
bahwa dalam
PP No. 12 Tahun 2001 yang mengatur tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pada pasal 2 ayat (2) huruf (c) menyebutkan bahwa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah penyerahan di dalam daerah pabean barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani;
bahwa
Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 kemudian mengalami perubahan pada tahun 2003 dan kemudian diubah terakhir pada
PP No. 31 Tahun 2007 yang pada pasal 1 ayat (2) huruf (a) menyebutkan bahwa barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintahan;
bahwa kegiatan produksi TBS dapat dilakukan baik oleh petani maupun oleh pengusaha kelapa sawit. Petani tidak termasuk dalam sistem PPN di Indonesia, karena dengan tujuan untuk penyederhanaan administrasi, petani dianggap mempunyai penghasilan yang berada di bawah batas untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Produksi TBS kemudian dapat dilakukan juga oleh pengusaha kelapa sawit yang termasuk ke dalam kategori Pengusaha Kena Pajak;
bahwa Petani dan pengusaha kelapa sawit menghasilkan TBS walaupun petani adalah non-Pengusaha Kena Pajak dan pengusaha adalah Pengusaha Kena Pajak. Sehingga kemudian terdapat perbedaan perlakuan PPN antara petani dan pengusaha kelapa sawit. Petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk mendapatkan Nomor Pengusaha Kena Pajak (NPKP) dan tidak perlu melaksanakan kewajiban perpajakan tetapi pengusaha kelapa sawit harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku;
bahwa berdasarkan
PP No. 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Fasilitas yang diberikan berupa pembebasan TBS dari pungutan pajak mengakibatkan pajak masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan. Hal ini tidak mempunyai pengaruh apapun bagi petani karena bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak yang harus melakukan kewajiban perpajakan sehingga tidak memerlukan pajak masukan untuk dikreditkan dengan Pajak Keluarannya;
- bahwa dalam rangka mewujudkan tersedianya kebutuhan dasar masyarakat berupa rumah layak huni dengan harga yang terjangkau, Pemerintah telah mencanangkan program penyediaan/pembangunan rumah susun sederhana;
- bahwa untuk mendukung penyediaan/pembangunan rumah susun sederhana milik sebagaimana dimaksud pada huruf a di kawasan perkotaan, untuk mendorong pembangunan nasional, perlu diberikan perlakuan perpajakan yang bersifat khusus di bidang Pajak Pertambahan Nilai;
- bahwa untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua pengusaha, maka ketentuan mengenai kemudahan dalam kewajiban perpajakan bagi pengusaha yang meyerahkan barang kena pajak tertentu yang berupa listrik, air dan barang hasil pertanian tidak diperlukan lagi;
bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilihat bahwa pengusaha kelapa sawit terpadu juga mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak atas penyerahan TBS;
bahwa walaupun UU PPN telah menjelaskan barang apa saja yang tidak terutang pajak, tetapi kemudian diperjelas kembali melalui
Peraturan Pemerintah No.12 Tahun 2001 yang kemudian diubah terakhir menjadi
Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 bahwa barang yang diambil langsung dari alam dan belum diolah lebih lanjut dikategorikan sebagai barang yang bersifat strategis dan penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak. Sehingga perusahaan kelapa sawit baik yang tidak terpadu maupun terpadu akan ikut mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak dan tidak bisa mengkreditkan pajak masukan atas barang yang bersifat strategis;
bahwa dilihat dari historis kebijakan mengenai barang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha yang melakukan penyerahan barang yang terutang pajak dan yang tidak terutang pajak, terlihat bahwa kebijakan-kebijakan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha kelapa sawit terpadu dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) kepada petani yang melakukan penyerahan TBS yang berada di luar sistem PPN, dan Pemerintah berharap perlakuan yang sama ini akan menambah daya saing petani dalam dunia usaha;
bahwa secara umum, filosofi PPN sebagaimana tersirat dalam penjelasan umum
UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah antara lain menyatakan bahwa:
- PPN merupakan pajak tidak langsung,
- PPN dikenakan atas penyerahan dalam lingkungan kegiatan usaha,
- Jika atas suatu BKP yang atas penyerahannya terutang PPN, maka seluruh Pajak Masukan atas faktor-faktor produksi untuk menghasilkan BKP tersebut dapat dikreditkan.
bahwa dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dimunculkan BAB VA Ketentuan Khusus yang memuat Pasal 16A, 16B, 16C, dan 16D. Sebagai ketentuan khusus, Pasal-Pasal tentunya memiliki landasan filosofis yang berbeda dengan ketentuan umum. Secara sederhana landasan filosofis masing-masing pasal dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Pasal 16A dilandasi oleh tujuan mengamankan penerimaan negara untuk PPN yang dibiayai dari negara. Ketentuan khusus ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN sebagai pajak tidak langsung;
- Pasal 16C dilandasi oleh filosofi untuk memberikan perlakuan yang sama/keadilan antara Pengusaha real estate/pemborong dengan pihak yang membangun sendiri. Ketentuan khusus ini bertentangandengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN sebagai pajak tidak langsung dan PPN dikenakan atas kegiatan dalam lingkungan usaha;
- Pasal 16D dilandasi oleh filosofi untuk memberi perlakuan yang sama dalam penjualan aktiva oleh produsen aktiva dimaksud dan oleh konsumen aktiva. Ketentuan khusus ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN dikenakan atas kegiatan dalam lingkungan usaha;
bahwa sesuai dengan Penjelasan umum
UU Nomor 11 Tahun 1994 dan penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, Majelis sependapat dengan argumentasi Terbanding yang menyatakan bahwa Pasal 16B UU PPN dilandasi oleh filosofi yang menyatakan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
bahwa antara penyerahan TBS kepada pihak ketiga dengan penyerahan TBS untuk diolah pada unit pengolahan merupakan suatu kasus perpajakan yang hakikatnya sama, sehingga harus diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama pula;
bahwa ruang lingkup kasus perpajakan yang akan diatur di dalam Pasal 16B UU PPN (sebagai bagian dari ketentuan khusus) pada dasarnya memang ditujukan untuk kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama. Hal ini dapat diterima karena jika perlakuan yang sama diterapkan hanya untuk kasus yang sama, maka hal tersebut tidak perlu diatur dalam ketentuan khusus;
bahwa Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya, sebagai berikut:
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan tidak dapat dikreditkan;
bahwa dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut: "Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai."
bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN mengandung makna yang apabila diserahkan, dimana pilihan kata pada bagian penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN adalah "memproduksi" bukan "melakukan Penyerahan BKP”;
bahwa ketika PKP memproduksi BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berlaku tanpa menunggu kepastian adanya penyerahan BKP tersebut. itulah sebabnya frase yang digunakan dalam pasal 16B adalah "yang atas penyerahannya", bukan "Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan BKP";
bahwa berdasarkan
PP Nomor 31 tahun 2007, penyerahan TBS diberi fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN dengan salah satu tujuan fasilitas tersebut adalah untuk meningkatkan daya saing pengusaha yang melakukan penyerahan TBS tersebut;
bahwa praktik di dalam masyarakat, Pengusaha yang melakukan penyerahan TBS adalah para petani atau pengusaha lain yang secara umum memiliki kapasitas modal terbatas sehingga tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengolah TBS menjadi CPO. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN adalah untuk meningkatkan daya saing bagi para Pengusaha tersebut dan sebagai konsekuensinya, pengusaha tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya untuk memastikan bahwa tidak ada unsur nilai tambah dalam harga jualnya;
bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN menegaskan bahwa: Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di alas dan perlu dijaga agar didalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut;
bahwa jika bagi pengusaha yang melakukan usaha terpadu sebagaimana Pemohon Banding dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan TBS sementara bagi para petani dan pengusaha TBS tidak boleh mengkreditkan Pajak Masukannya, maka tujuan diberikannya kemudahan (fasilitas) berupa peningkatan daya saing tidak akan tercapai;
bahwa komoditas yang ingin ditingkatkan daya saingnya adaiah TBS, karet, batang tebu dan daun teh kering (bukan CPO, crumb rubber, gula dan teh);
bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis;
bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga prinsip netralitas, maka saya berpendapat Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
bahwa karakteristik lain dari PPN menyatakan bahwa PPN merupakan pajak objektif. Artinya, terutang atau tidak terutangnya PPN ditentukan oleh objeknya bukan oleh subjeknya (konsumennya);
bahwa sebagai ilustrasi, seorang Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan beras kepada orang lain di Pulau Batam, tidak akan memungut PPN Keluaran. Tidak adanya PPN Keluaran disebabkan karena objeknya yaitu penyerahan beras (non-BKP) bukan subjeknya (orang lain di Pulau Batam). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa seorang Pengusaha yang melakukan penyerahan non-BKP kepada siapapun dan dengan cara apapun, dia tidak akan memungut PPN Keluaran;
bahwa berkaitan dengan karakter PPN sebagai pajak objektif, sesuai ketentuan umum, memang masih terdapat keadaan saling terkait mengenai persyaratan kumulatif objek PPN sebagai berikut:
(a) |
Keadaan Pengusahanya (apakah Pengusaha Kena Pajak atau bukan), atau |
(b) |
Status Barangnya (apakah BKP, non BKP, atau BKP yang diberi fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN); atau |
(c) |
Sifat penyerahannya, (apakah penyerahannya termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP atau tidak); |
bahwa untuk mengatasi saling keterkaitan tersebut, Pasal 16B ayat (3) UU PPN memberi penjelasan sebagai berikut:
Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubunq diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;
bahwa keterkaitan karakter objektif pada ketentuan umum tersebut sudah dipecahkan oleh Pasal 16B ayat (3) UU PPN sebagai ketentuan khusus yang dapat mengesampingkan ketentuan umum;
bahwa Pasal 16B ayat (3) UU PPN dengan tegas menyatakan bahwa tidak adanya Pajak Keluaran disebabkan karena status barangnya yaitu BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sebagai konsekuensi tidak dapat dikreditkannya Pajak masukan atas perolehan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut telah sesuai dengan karakter objektif PPN dan kedudukan Pasal 16B UU PPN sebagai ketentuan khusus;
bahwa berdasarkan fakta-fakta dan pertimbangan hukum di atas, saya berpendapat:
bahwa tidak ada korelasi langsung antara saat pengkreditan Pajak Masukan dengan penyerahan BKP, akan tetapi berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual (apabila sudah berproduksi);
bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tesebut yaitu mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berupa Tandan Buah Segar Sawit;
bahwa atas sengketa a quo, Terbanding telah benar memberlakukan dan menerapkan perlakuan yang sama atas tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor dan sebagainya yang berkaitan dengan unit/divisi yang menghasilkan TBS (BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN) baik pada perusahaan yang hanya melakukan penyerahan TBS dan perusahaan yang menghasilkan TBS untuk diolah pada divisi pengolahan;
bahwa TBS yang dikonsumsi oleh Pemohon banding merupakan bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan menghasilkan CPO, maka pemakaian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;
bahwa berdasarkan
PP No. 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka konsumsi TBS oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PPN sehingga pajak masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan;
bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila berkaitan dengan kegiatan untuk memproduksi/menghasilkan barang tidak kena pajak atau Barang Kena Pajak yang memperoleh fasilas pembebasan;
bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendapat perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B UU PPN, maka harus tunduk dengan perlakuan khusus yang diterapkan dalam Pasal 16 B UU PPN tersebut;
bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu tidak dapat mengklaim pajak masukan untuk dikreditkan karena TBS termasuk ke dalam kategori barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut kemudian terbentuk pada biaya yang digunakan untuk proses pabrikasi;
bahwa perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yangterutang PPN, maka:
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian (mendapat fasilitas pembebasan), tidak dapat dikreditkan;
- Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;
bahwa mengingat Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh Penggugat berasal dari perolehan/pembelian pupuk dan bahan-bahan kimia pembasmi hama yang digunakan dalam rangka menghasilkan TBS Sawit, maka mekanisme pengkreditannya harus dihubungkan dengan barang yang di hasilkan;
bahwa TBS merupakan barang hasil pertanian yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sehingga Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS, tidak dapat dikreditkan;
bahwa berdasarkan Pertimbangan Hukum tersebut di atas, saya berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkanTBS Sawit (Barang Strategis), tidak dapat dikreditkan dengan demikian koreksi terbanding telah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku dan karenanya dipertahankan.
bahwa berdasarkan Pasal 79 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak diatur bahwa putusan diambil berdasarkan musyawarah yang dipimpin oleh Hakim Ketua dan apabila dalam musyawarah tidak dicapai kesepakatan, putusan diambil dengan suara terbanyak. Dengan demikian pendapat Majelis berdasarkan suara terbanyak Majelis adalah berkesimpulan terdapat cukup data/bukti-bukti dan dasar hukum yang dapat meyakinkan Majelis untuk mempertimbangkan banding Pemohon Banding sehingga koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp419.666.672,00 Tidak Dapat Dipertahankan
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Kompensasi Kerugian;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak;
bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi;
bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berkesimpulan
mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-00160/KEB/WPJ.19/2016 tanggal 13 April 2016 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00013/207/13/092/15 tanggal 26 Januari 2015 Masa Pajak September 2013, sehingga perhitungan PPN Masa Pajak September 2013 menjadi sebagai berikut :
Uraian |
Menurut |
Terbanding (Rp) |
Majelis (Rp) |
PPN Kurang/(Lebih) Bayar |
235.501.576,00 |
0,00 |
Sanksi Bunga |
74.104.588,00 |
0,00 |
Sanksi Kenaikan |
3.924.740,00 |
0,00 |
Jumlah yang masih harus/(Lebih) dibayar |
313.530.904,00 |
0,00 |
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan peraturan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
Mengabulkan seluruhnya permohonan banding Pemohon Banding atas sengketa pajak terhadap Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor: KEP-00160/KEB/WPJ.19/2016 tanggal 13 April 2016 tentang keberatan Wajib Pajak atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) Pajak Penghasilan Nilai Barang dan Jasa Nomor 00013/207/13/092/15 tanggal 26 Januari 2015 Masa Pajak September 2013, atas nama :
XXX, dengan perhitungan sebagai berikut :
Uraian |
Menurut |
Terbanding (Rp) |
Majelis (Rp) |
PPN Kurang/(Lebih) Bayar |
235.501.576,00 |
0,00 |
Sanksi Bunga |
74.104.588,00 |
0,00 |
Sanksi Kenaikan |
3.924.740,00 |
0,00 |
Jumlah yang masih harus/(Lebih) dibayar |
313.530.904,00 |
0,00 |
Demikian diputus di Jakarta pada hari
Kamis tanggal 19 Januari 2017 berdasarkan musyawarah Majelis XVIB Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan sebagai berikut :
Drs. DJH, M.Si. |
sebagai Hakim Ketua, |
Drs. FS, M.A. |
sebagai Hakim Anggota, |
DD, Ak., M.M. |
sebagai Hakim Anggota, |
dengan dibantu
M.R. AN, SH., M.M. |
sebagai Panitera Pengganti, |
Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Selasa tanggal 17 Oktober 2017 dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota dan Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Penggugat dan tidak dihadiri Tergugat;
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.