Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan. |
(2) | Setiap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, wajib menyelesaikan persyaratan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku. |
(2) | Jika penyelesaian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, Setiap Orang dikenai Sanksi Administratif. |
(3) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, dikenai Sanksi Administratif. |
(4) | Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berupa:
|
(1) | Kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan dan memiliki Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang diterbitkan oleh Pejabat yang berwenang pada saat usaha pertama kali dibangun dan/atau dioperasikan. |
(2) | Kegiatan usaha pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) meliputi bidang:
|
(1) | Inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Inventarisasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(1) | Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 11 memuat data dan informasi mengenai:
|
(2) | Hasil inventarisasi data dan informasi kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 disusun berdasarkan kriteria:
|
(1) | Pemberitahuan pemenuhan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan disampaikan kepada Setiap Orang yang memenuhi klasifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
(3) | Penyampaian pemberitahuan dari Menteri kepada Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Berdasarkan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Setiap Orang mengajukan permohonan Perizinan di bidang kehutanan kepada Menteri. |
(2) | Selain berdasarkan pemberitahuan, permohonan juga dapat dilakukan atas inisiatif sendiri oleh Setiap Orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). |
(3) | Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilengkapi dengan persyaratan:
|
(1) | Verifikasi permohonan dilakukan terhadap:
|
(2) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), selanjutnya dilakukan verifikasi fakta lapangan. |
(1) | Verifikasi persyaratan administratif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dilakukan oleh Menteri. |
(2) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap pemenuhan persyaratan berupa:
|
(3) | Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan dinyatakan:
|
(4) | Dalam hal permohonan dinyatakan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Menteri melakukan verifikasi kesesuaian antara data administratif dan teknis dengan fakta lapangan. |
(5) | Dalam hal permohonan dinyatakan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, Menteri dalam jangka waktu 3 (tiga) hari kerja mengembalikan persyaratan administratif dan teknis kepada Setiap Orang untuk dilengkapi. |
(6) | Setiap Orang dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari mengembalikan persyaratan administratif dan teknis yang sudah dilengkapi kepada Menteri. |
(7) | Apabila Setiap Orang tidak mengembalikan persyaratan yang lengkap dan benar melewati jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif dan/atau pencabutan Perizinan Berusaha. |
(1) | Verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2), dilakukan oleh Menteri terhadap kesesuaian antara persyaratan administratif dan teknis dengan fakta lapangan. |
(2) | Menteri dalam melakukan verifikasi fakta lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), membentuk tim terpadu. |
(3) | Tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertugas untuk melakukan validasi atas kesesuaian dokumen administratif dan teknis dengan fakta lapangan terhadap:
|
(4) | Validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) hari. |
(5) | Hasil validasi yang dilakukan oleh tim terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaporkan kepada Menteri. |
(6) | Dalam hal hasil validasi tim terpadu terdapat tumpang-tindih antara Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dengan Perizinan di bidang kehutanan, penyelesaiannya dilakukan dengan cara:
|
(7) | Terhadap perkebunan kelapa sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf c angka 1 dan angka 2, dikenai pembayaran PNBP di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(8) | Dalam hal Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan terbit terlebih dahulu daripada Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b berupa izin pinjam pakai Kawasan Hutan yang dimiliki oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau merupakan proyek strategis nasional, luasan areal permohonan Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan produksi atau permohonan Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha di dalam kawasan Hutan Lindung dan/atau kawasan Hutan Konservasi dikurangi dengan luasan areal izin pinjam pakai Kawasan Hutan. |
(1) | Berdasarkan hasil verifikasi administratif dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4), Menteri menerbitkan surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR. |
(2) | Surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
(1) | Setiap Orang yang telah menerima surat perintah pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), wajib melakukan pelunasan tagihan PSDH dan DR. |
(2) | Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diangsur. |
(3) | Pelunasan tagihan PSDH dan DR sebagaimana dimaksud pada ayai (1), disetorkan ke kas negara. |
(4) | Setiap Orang melaporkan pelunasan tagihan PSDH dan DR kepada Menteri disertai bukti pelunasan pembayaran. |
(5) | Dalam hal Setiap Orang telah melakukan pembayaran dan pelunasan PSDH dan DR sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, bukti pembayaran dapat digunakan sebagai bukti pengganti pelunasan PSDH dan DR. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit tumpang-tindih dengan Perizinan di bidang kehutanan di kawasan Hutan Produksi, dilakukan kerja sama pengelolaannya antara pemohon dengan pemegang Perizinan di bidang kehutanan. |
(2) | Jangka waktu kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan selama 1 (satu) daur paling lama 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam. |
(3) | Menteri memfasilitasi kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
|
(1) | Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, dilaksanakan dengan mekanisme kerja sama atau kemitraan dengan Menteri. |
(2) | Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b, berlaku 1 (satu) daur selama 15 (lima belas) tahun sejak masa tanam. |
(3) | Persetujuan Melanjutkan Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b memuat kewajiban kepada Setiap Orang untuk:
|
(1) | Sanksi Administratif dikenakan kepada Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. |
(2) | Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(3) | Besaran Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dihitung sebesar 10 (sepuluh) kali besaran PSDH dan DR. |
(1) | Setiap Orang yang tidak menyelesaikan persyaratan Perizinan di bidang kehutanan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku, dikenai Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif. |
(2) | Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri. |
(3) | Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib disetorkan ke kas negara dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya pengenaan Sanksi Administratif. |
(4) | Setiap Orang melaporkan bukti pelunasan Denda Administratif kepada Menteri. |
(5) | Berdasarkan bukti pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Menteri menerbitkan:
|
(1) | Setiap Orang yang tidak melakukan pelunasan Denda Administratif dikenai Sanksi Administratif berupa pencabutan Perizinan Berusaha. |
(2) | Pencabutan Perizinan Berusaha dilakukan oleh penerbit izin berdasarkan rekomendasi dari Menteri. |
(3) | Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rekomendasi dari Menteri diterima, penerbit izin wajib mencabut Perizinan Berusaha. |
(4) | Dalam hal penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perizinan Berusaha dinyatakan tidak berlaku demi hukum. |
(5) | Pernyataan tidak berlakunya Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ditetapkan oleh Menteri. |
(1) | Terhadap kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), dikenai Sanksi Administratif berupa:
|
(2) | Selain Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Setiap Orang wajib menyelesaikan pembayaran pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
(3) | Pengenaan Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan melalui tahapan:
|
(1) | Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) huruf a, dilakukan terhadap data dan informasi yang tertuang dalam penetapan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17. |
(2) | Verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri. |
(3) | Dalam melakukan verifikasi dan validasi data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
|
(1) | Berdasarkan hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan pelanggaran atau kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan. |
(2) | Dalam hal 1 (satu) lokasi Kawasan Hutan terdapat lebih dari 1 (satu) kegiatan usaha yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan, Menteri menerbitkan Sanksi Administratif kepada Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha yang lebih dahulu beroperasi dan selanjutnya dapat diproses Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. |
(3) | Sanksi Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(4) | Pelunasan Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3), disetorkan ke kas negara. |
(5) | Pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, dapat diangsur dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dalam tahun anggaran berjalan terhitung sejak surat persetujuan pengangsuran ditetapkan. |
(6) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) melewati tahun anggaran, surat persetujuan keringanan berupa pengangsuran harus terlebih dahulu mendapat pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan. |
(7) | Menteri melakukan pengawasan ketaatan pemenuhan Sanksi Administratif. |
(1) | Terhadap Setiap Orang yang telah melakukan pelunasan pembayaran Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (4), Menteri:
|
(2) | Dalam hal pengembalian areal kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak dilaksanakan oleh Setiap Orang, dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
(1) | Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib memiliki perizinan di bidangnya. |
(2) | Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a adalah selama 1 (satu) daur maksimal 25 (dua puluh lima) tahun sejak masa tanam untuk perkebunan kelapa sawit atau sesuai dengan perizinan di bidangnya untuk kegiatan usaha pertambangan, perkebunan, dan/atau kegiatan lain. |
(3) | Pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a wajib membayar PNBP di bidang kehutanan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan Hutan Lindung merupakan kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya, Menteri memberikan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan. |
(2) | Jangka waktu Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha yang berada di kawasan Hutan Konservasi merupakan kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya, Menteri:
|
(4) | Jangka waktu izin pemanfaatan jasa lingkungan atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), diberikan sesuai jangka waktu perizinan di bidangnya. |
(5) | Kegiatan strategis dan tidak terelakkan yang memiliki perizinan di bidangnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) meliputi:
|
(6) | Dalam hal masa berlaku Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan jangka waktu perizinan berusaha pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan Hutan Konservarsi atau kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) telah berakhir, Setiap Orang wajib mengembalikan areal kegiatan usahanya kepada negara. |
(1) | Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang berada di:
|
(2) | Sarana dan prasarana untuk kepentingan umum milik Pemerintah dan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenai kewajiban pembayaran Denda Administratif dan Menteri menerbitkan Surat Pemberitahuan untuk mengurus perizinan. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar, dikecualikan dari Sanksi Administratif dan diselesaikan melalui penataan Kawasan Hutan. |
(2) | Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
|
(3) | Orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan/atau di sekitar Kawasan Hutan paling singkat 5 (lima) tahun secara terus menerus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan memiliki tempat tinggal tetap dan surat keterangan yang diterbitkan oleh Kepala Desa atau Lurah setempat. |
(4) | Orang perseorangan yang menguasai Kawasan Hutan dengan luasan paling banyak 5 (lima) hektar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan:
|
(5) | Pembuktian terhadap orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dilakukan melalui verifikasi teknis. |
(1) | Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) meliputi:
|
(2) | Penataan Kawasan Hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan. |
(1) | Denda Administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b ditetapkan berdasarkan formula perhitungan sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Pemerintah dapat menggunakan jasa penaksir (appraisal) dalam menentukan besaran Denda Administratif. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha belum beroperasi dan tidak dapat ditentukan besaran keuntungan, perhitungan keuntungan per tahun per hektar disetarakan dengan sepuluh kali besaran Tarif PNBP Penggunaan Kawasan Hutan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari Penggunaan Kawasan Hutan. |
(4) | Setiap Orang yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Hutan tanpa memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang atas inisiatif sendiri melaporkan kegiatan usahanya kepada Menteri dan melunasi Denda Administratif dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak berlakunya Peraturan Pemerintah ini diberikan insentif berupa keringanan pengenaan denda dengan penetapan tarif Denda Administratif sebesar 20% (dua puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, dilakukan terhadap rekening bank, akta pendirian, dan/atau akta perubahan terakhir perusahaan. |
(2) | Pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh instansi yang berwenang atas permintaan Menteri. |
(1) | Pencegahan ke luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf b dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keimigrasian atas permintaan Menteri. |
(2) | Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(3) | Dalam hal keputusan pencegahan telah habis masa berlakunya, Menteri dapat mengajukan permohonan perpanjangan pencegahan ke luar negeri. |
(1) | Penyitaan aset sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf c, dilakukan oleh Menteri dengan menerbitkan surat perintah pelaksanaan penyitaan aset. |
(2) | Dalam melakukan penyitaan aset, Menteri membentuk tim yang terdiri atas:
|
(3) | Pelaksanaan penyitaan aset dilengkapi dengan berita acara pelaksanaan sita. |
(1) | Penyitaan aset dapat dilaksanakan terhadap barang milik Setiap Orang yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat kedudukan, atau di tempat lain termasuk di areal pelabuhan, baik yang penguasaannya berada di tangan pihak lain atau yang dibebani dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, berupa:
|
(2) | Penyitaan aset sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sampai dengan nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi Denda Administratif. |
(1) | Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dilarang:
|
(2) | Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Denda Administratif tidak dilunasi setelah dilakukan penyitaan aset, Menteri melakukan penjualan secara lelang terhadap barang yang disita melalui Kantor Lelang Negara. |
(2) | Dalam hal barang yang disita, berupa:
|
(3) | Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) digunakan untuk membayar Denda Administratif. |
(4) | Barang yang disita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan untuk membayar Denda Administratif dengan cara:
|
(1) | Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) dilaksanakan paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penyitaan aset dilakukan. |
(2) | Menteri yang bertindak sebagai penjual atas barang yang disita mengajukan permintaan lelang kepada Kantor Lelang. |
(1) | Hasil penjualan secara lelang digunakan untuk membayar Denda Administratif. |
(2) | Dalam hal hasil penjualan secara lelang sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif, pelaksanaan lelang dihentikan. |
(3) | Menteri segera mengembalikan sisa barang hasil penyitaan aset beserta kelebihan uang hasil penjualan secara lelang kepada Setiap Orang setelah pelaksanaan lelang. |
(1) | Dalam hal Setiap Orang:
|
(2) | Peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan untuk jangka waktu 14 (empat belas) hari. |
(3) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir, Setiap Orang tidak melunasi Denda Administratif, Menteri menerbitkan surat perintah paksa badan untuk pengenaan paksa badan (gijzeling) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf d. |
(4) | Surat perintah paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), paling sedikit memuat:
|
(5) | Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Polisi Kehutanan dan/atau Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup. |
(6) | Pelaksanaan paksa badan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat dilakukan dengan meminta bantuan kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia. |
(7) | Jangka waktu pelaksanaan paksa badan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang paling lama 6 (enam) bulan. |
(1) | Setiap Orang yang dikenai sanksi paksa badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 ayat (3) dilepas:
|
(2) | Pertimbangan tertentu dari Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan apabila:
|
(3) | Menteri memberitahukan pelepasan serta alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara tertulis kepada pimpinan tempat paksa badan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 2 Februari 2021 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. JOKO WIDODO |
I. | UMUM Kebijakan pembangunan di bidang kehutanan mengamanatkan bahwa dalam rangka mengoptimalkan peran dan fungsi Hutan dalam mendukung keberlanjutan pembangunan dan menjaga fungsi ekologis Hutan sebagai penyangga kehidupan, seluruh kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan wajib memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan, persetujuan Menteri, kerja sama, atau kemitraan di bidang kehutanan dengan ancaman sanksi pidana bagi siapapun yang melakukan pelanggaran. Dalam kenyataannya, tidak jarang ditemukan adanya kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki perizinan dimaksud. Berdasarkan hasil identifikasi, terdapat perkebunan kelapa sawit dalam Kawasan Hutan seluas + 3,3 juta hektar yang belum mendapat kepastian hukum. Perkebunan kelapa sawit tersebut dimiliki oleh badan usaha maupun masyarakat yang memerlukan kepastian pengaturan hukum yang adil, bermartabat, dan tuntas. Hal itu untuk menjamin kepastian hukum terhadap keberadaan aktivitas kegiatan nonkehutanan di dalam Kawasan Hutan. Selain perkebunan kelapa sawit, kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan juga meliputi kegiatan pertambangan, perkebunan, dan kegiatan lain seperti minyak dan gas bumi, panas bumi, tambak, pertanian, permukiman, wisata alam, industri, dan/atau sarana dan prasarana. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja memuat terobosan kebijakan baru dengan menerapkan prinsip ultimum remedium yaitu mengedepankan pengenaan Sanksi Administratif sebelum dikenai sanksi pidana terhadap pelanggaran yang bersifat administratif dan tidak menimbulkan dampak kesehatan, keselamatan, dan/atau lingkungan (K2L). Pengaturan prinsip ultimum remidium tersebut tercermin dalam pengaturan norma Pasal 110A dan Pasal 110B Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan sebagaimana telah diubah dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja khususnya:
Peraturan Pemerintah ini mengatur lebih lanjut pengenaan Sanksi Administratif dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berasal dari denda administratif di bidang kehutanan. Adapun substansi norma pengaturan tersebut terdiri atas:
Peraturan Pemerintah ini disusun dalam rangka menyelesaikan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dengan tujuan untuk:
Secara umum, Peraturan Pemerintah ini mengatur secara tuntas, transparan, dan berkeadilan mekanisme penyelesaian kegiatan usaha di Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja berlaku sebagai berikut:
Diharapkan mekanisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dengan memberikan Perizinan di bidang kehutanan setelah pelaku usaha melakukan perintah pembayaran PSDH dan DR atau Sanksi Administratif berupa Denda Administratif dapat menjadi model penyelesaian kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan yang saat ini menjadi salah satu persoalan utama dalam tata kelola Kawasan Hutan. Untuk mendukung efek eksekutorial dari pengenaan Sanksi Administratif berupa pembayaran Denda Administratif maka Peraturan Pemerintah ini mengatur tata cara dan mekanisme paksaan pemerintah berupa pemblokiran, pencegahan ke luar negeri, penyitaan aset, dan paksa badan (gijzelling) bagi Setiap Orang yang tidak melaksanakan Sanksi Administratif. |
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Data dan informasi perkebunan kelapa sawit di dalam Kawasan Hutan baik yang memiliki maupun tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan dapat merujuk antara lain pada hasil evaluasi tindak lanjut Instruksi Presiden mengenai Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "inventarisasi terestris dan nonterestris" yang dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah bersama Pemerintah Daerah merupakan hasil kegiatan penelitian atau pendataan kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak mempunyai Perizinan di bidang kehutanan yang berasal dari data internal kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, data interpretasi citra satelit yang dikonfirmasikan dengan pemeriksaan lapangan (aktual/sampel) dan lain-lain.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Yang dimaksud dengan "izin usaha di bidang perkebunan" terdiri atas:
yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya pada saat dimulainya kegiatan perkebunan.
Dalam hal terdapat perbedaan luasan antara Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan dengan Hak Guna Usaha, yang digunakan sebagai dasar pengajuan permohonan adalah Izin Lokasi dan/atau izin usaha di bidang perkebunan. Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24 Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "jangka benah" adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai struktur Huran dan fungsi ekosistem yang diinginkan sesuai tujuan pengelolaan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "Pernyataan tidak berlakunya Perizinan Berusaha" adalah keputusan yang diterbitkan oleh Menteri yang menegaskan bahwa Perizinan Berusaha dinyatakan tidak berlaku karena dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak diterbitkannya rekomendasi Menteri, penerbit izin tidak mencabut Perizinan Berusaha yang diterbitkannya.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha di dalam Kawasan Hutan yang tidak memiliki Perizinan di bidang kehutanan" meliputi kegiatan menduduki, merambah, mengerjakan, dan/atau mengusahakan Kawasan Hutan tanpa izin atau dilakukan secara tidak sah untuk kegiatan pertambangan, perkebunan dan/atau kegiatan lain.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perizinan di bidangnya" antara lain: Izin Usaha Pertambangan untuk kegiatan usaha pertambangan, Izin Usaha Perkebunan untuk kegiatan usaha perkebunan, atau Perizinan Berusaha lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "sarana dan prasarana untuk kepentingan umum dan/atau strategis" meliputi:
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "bukti penguasaan tanah" adalah surat hak atas tanah antara lain sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Girik, Letter C, Verklaring, Eingendom, atau Surat Keterangan Tanah.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5)
Verifikasi teknis dilakukan melalui verifikasi data administratif dan lapangan dengan menggunakan metode sosiometri.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran" adalah pembekuan sementara atas harta kekayaan Setiap Orang yang tersimpan di Bank berupa deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dan pelaksanaannya mengacu pada ketentuan mengenai kerahasiaan bank sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penyitaan aset" adalah tindakan untuk menguasai barang Setiap Orang, guna dijadikan jaminan untuk melunasi Denda Administratif menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "paksa badan" adalah pengekangan sementara waktu kebebasan Setiap Orang yang tidak membayar Denda Administratif dengan menempatkannya di tempat tertentu. Paksa badan berupa penyanderaan atau pengekangan sementara waktu kebebasan Setiap Orang dengan tujuan untuk mendorong agar Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif membayar atau melunasi Denda Administratif. Penyanderaan dilakukan dengan dititipkan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) dan terpisah dari tahanan lain. Apabila Setiap Orang yang akan disandera tidak dapat ditemukan, bersembunyi, atau melarikan diri, maka dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menghadirkan Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi Denda Administratif, Menteri dapat melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Setiap Orang yang belum disita. Dengan demikian, penyitaan aset dapat dilaksanakan lebih dari satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi Denda Administratif.
Pasal 51 Meskipun barang yang telah disita penguasaannya beralih dari Setiap Orang kepada Menteri, penyimpanannya dititipkan kepada Setiap Orang, misalnya tanah dan/atau bangunan. Namun, ada barang yang karena sifatnya atau karena pertimbangan tertentu dari Menteri, penyimpanannya dapat dititipkan pada Bank atau disimpan di kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, seperti perhiasan atau peralatan elektronik.
Pasal 52 Ayat (1)
Huruf a
Karena penguasaan barang yang disita telah beralih dari Setiap Orang kepada Menteri, maka Setiap Orang dilarang untuk memindahtangankan atau memindahkan hak atas barang yang disita, misalnya, dengan cara menjual, menghibahkan, mewariskan, mewakafkan, atau menyumbangkan kepada pihak lain. Selain itu, Setiap Orang juga dilarang untuk membebani barang yang telah disita dengan hak jaminan untuk pelunasan utang tertentu atau menyewakan. Larangan dimaksud berlaku untuk seluruh maupun sebagian barang yang disita.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Dalam memperkirakan nilai barang yang disita, Menteri memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar. Dalam hal tertentu, Menteri dapat meminta bantuan jasa penaksir (appraisal).
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tidak mempunyai itikad baik" adalah Setiap Orang yang dikenai Denda Administratif apabila:
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.