Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 58 Tahun 2023

Kategori : Lainnya

Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 Tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak


PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 58 TAHUN 2023

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR
155/PMK.02/2021 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

  1. bahwa untuk memperkuat pengaturan pengelolaan penerimaan negara bukan pajak agar lebih efektif dan optimal terutama terkait dengan perencanaan penerimaan negara bukan pajak, penggunaan dana penerimaan negara bukan pajak, optimalisasi penyelesaian piutang penerimaan negara bukan pajak, dan pengawasan penerimaan negara bukan pajak, serta penilaian kinerja pengelolaan penerimaan negara bukan pajak pada kementerian/lembaga, perlu dilakukan penyesuaian ketentuan pengaturan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak;

Mengingat :

  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  3. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6245);
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6563); 
  5. Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2020 tentang Kementerian Keuangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 98);
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1235);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1031) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.01/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.01/2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Keuangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 954);

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 155/PMK.02/2021 TENTANG TATA CARA PENGELOLAAN PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK.


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 1235), diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang dibayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
  2. Wajib Bayar adalah orang pribadi atau badan dari dalam negeri atau luar negeri, yang mempunyai kewajiban membayar PNBP, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Instansi Pengelola PNBP adalah instansi yang menyelenggarakan pengelolaan PNBP.
  5. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut dengan Kementerian adalah perangkat Pemerintah yang membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
  6. Lembaga adalah organisasi non-Kementerian dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 atau peraturan perundang-undangan lain.
  7. Pimpinan Instansi Pengelola PNBP adalah Bendahara Umum Negara atau Pimpinan Kementerian/Lembaga yang memegang kewenangan sebagai Pengguna Anggaran.
  8. Pejabat Kuasa Pengelola PNBP adalah pejabat yang diberi kuasa untuk melaksanakan sebagian tugas dan fungsi Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam Pengelolaan PNBP yang menjadi tanggungjawabnya dan tugas lain terkait PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  9. Menteri/Pimpinan Lembaga adalah pejabat yang bertanggung jawab atas pengelolaan keuangan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.
  10. Mitra Instansi Pengelola PNBP adalah badan yang membantu Instansi Pengelola PNBP melaksanakan sebagian kegiatan pengelolaan PNBP yang menjadi tugas Instansi Pengelola PNBP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  11. Instansi Pemeriksa adalah badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan keuangan negara dan pembangunan nasional.
  12. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
  13. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, yang selanjutnya disingkat APBN, adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
  14. Rencana PNBP adalah hasil penghitungan dan/atau penetapan target PNBP dan pagu penggunaan dana PNBP yang diperkirakan dalam 1 (satu) tahun anggaran.
  15. Target PNBP adalah perkiraan PNBP yang akan diterima dalam 1 (satu) tahun anggaran untuk tahun yang direncanakan.
  16. Pagu Penggunaan Dana PNBP adalah batas tertinggi anggaran yang bersumber dari PNBP yang akan dialokasikan kepada Kementerian/Lembaga untuk tahun yang direncanakan.
  17. Bagian Anggaran adalah kelompok anggaran menurut nomenklatur Kementerian/Lembaga dan menurut fungsi Bendahara Umum Negara.
  18. Tahun Anggaran adalah periode dari 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
  19. Collecting Agent adalah agen penerimaan meliputi bank persepsi, pos persepsi, bank persepsi valas, lembaga persepsi lainnya, atau lembaga persepsi lainnya valas yang ditunjuk oleh Kuasa Bendahara Umum Negara Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara.
  20. Pengelolaan PNBP adalah pemanfaatan sumber daya dalam rangka tata kelola yang meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, dan pengawasan untuk meningkatkan pelayanan, akuntabilitas, dan optimalisasi penerimaan negara yang berasal dari PNBP.
  21. Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.
  22. PNBP Terutang adalah kewajiban PNBP dari Wajib Bayar kepada Pemerintah yang wajib dibayar pada waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
  23. Piutang PNBP adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah dan/atau hak Pemerintah yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun dari pemanfaatan sumber daya alam, pelayanan, pengelolaan kekayaan negara dipisahkan, pengelolaan barang milik negara, pengelolaan dana, dan hak negara lainnya.
  24. Surat Tagihan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang digunakan untuk melakukan tagihan PNBP Terutang, baik berupa pokok maupun sanksi administratif berupa denda.
  25. Surat Ketetapan PNBP adalah surat dan/atau dokumen yang menetapkan jumlah PNBP Terutang yang meliputi Surat Ketetapan PNBP Kurang Bayar, Surat Ketetapan PNBP Nihil, dan Surat Ketetapan PNBP Lebih Bayar.
  26. Nomor Transaksi Penerimaan Negara yang selanjutnya disingkat NTPN adalah nomor tanda bukti pembayaran atau penyetoran ke Kas Negara yang tertera pada Bukti Penerimaan Negara dan diterbitkan oleh sistem settlement yang dikelola Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan.
  27. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga adalah instansi Pemerintah yang dibentuk dengan tugas melaksanakan pengawasan intern di lingkungan Kementerian/Lembaga meliputi inspektorat jenderal/inspektorat utama/inspektorat/unit lain yang menjalankan peran pengawasan internal Kementerian/Lembaga.
  28. Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.
  29. Pengawasan PNBP adalah proses kegiatan untuk menguji tingkat pemenuhan kewajiban PNBP dan/atau memperoleh keyakinan atas kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP, yang dilaksanakan dalam bentuk penilaian, verifikasi, dan/atau evaluasi.
  30. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan adalah unit yang menyelenggarakan pengawasan intern pemerintah di lingkungan Kementerian Keuangan dan menyelenggarakan fungsi pengawasan Menteri Keuangan sebagai Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam Kepemilikan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
  31. Direktorat Jenderal Anggaran adalah unit eselon I pada Kementerian Keuangan yang menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penganggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
2. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 8 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) dan ketentuan ayat (2) Pasal 8 diubah, sehingga Pasal 8 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8


(1) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) dapat berbentuk:
  1. badan usaha milik negara;
  2. badan usaha milik daerah;
  3. badan usaha milik swasta; atau
  4. badan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(1a) Dalam melaksanakan sebagian tugas pengelolaan PNBP, Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas:
  1. melakukan pemungutan PNBP;
  2. melakukan penyetoran PNBP; dan/atau
  3. melakukan penagihan PNBP terutang, 

berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1a), Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat diberikan tugas:
  1. melakukan penentuan PNBP Terutang;
  2. melakukan monitoring atau verifikasi atas PNBP Terutang;
  3. melakukan pencatatan Piutang PNBP;
  4. menyelesaikan koreksi atas Surat Tagihan PNBP;
  5. melaksanakan pelaporan dan pertanggungjawaban PNBP;
  6. melaksanakan administrasi penerimaan atas permohonan pengembalian PNBP; dan/atau
  7. melaksanakan tugas lain di bidang PNBP sesuai penugasan dalam perjanjian/kontrak atau perikatan dalam bentuk lain.
(3) Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditunjuk berdasarkan:
  1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden; dan/atau
  2. penugasan dari Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dalam melaksanakan Pengelolaan PNBP dengan tetap memperhatikan tanggung jawab Instansi Pengelola PNBP.
(4) Penugasan dari Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa perjanjian/kontrak atau perikatan dalam bentuk lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, setelah mendapat persetujuan Menteri.
(5) Materi perjanjian/kontrak atau perikatan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling sedikit memuat materi berupa:
  1. hak dan kewajiban berkenaan dengan pelaksanaan tugas sebagian pengelolaan PNBP;
  2. jangka waktu perjanjian;
  3. bentuk dan tata cara pengenaan sanksi;
  4. keadaan kahar; dan
  5. tata cara penyelesaian perselisihan.
(6) Penjelasan mengenai materi perjanjian/kontrak atau perikatan dalam bentuk lain sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tercantum dalam Lampiran Huruf C angka 3 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
3. Di antara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 9 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat (3b) sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9


(1) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilaksanakan dengan memperhatikan:
  1. kesesuaian dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  2. pertimbangan biaya-manfaat berupa analisis besaran tambahan beban terhadap APBN dan peningkatan layanan/manfaat yang didapatkan melalui penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP dibandingkan dengan beban APBN untuk pengelolaan sendiri oleh Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  3. kesiapan tata kelola dan persyaratan badan yang akan ditunjuk sebagai Mitra Instansi Pengelola PNBP berupa rencana strategis atau proposal badan berkenaan.
(2) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP berdasarkan Undang-Undang/Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a dilaksanakan oleh Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP berdasarkan penugasan Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf b dilaksanakan secara efisien, efektif, terbuka dan bersaing, transparan, adil atau tidak diskriminatif, dan akuntabel.
(3a) Jangka waktu penugasan Mitra Instansi Pengelola PNBP yang ditunjuk Pimpinan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku lebih dari 1 (satu) tahun anggaran.
(3b) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat melakukan peninjauan kembali terhadap penugasan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) minimal 1 (satu) kali dalam jangka waktu masa penugasan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(4) Penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat didelegasikan kepada Pejabat Eselon I atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP.
(5) Penjelasan lebih lanjut penunjukan Mitra Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf C angka 1 yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
4. Ketentuan ayat (1) Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 menyampaikan rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Anggaran paling lambat minggu kedua bulan Januari tahun anggaran berjalan.
(2) Direktorat Jenderal Anggaran melakukan penelaahan atas Rencana PNBP tingkat Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Hasil penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam lembar rekomendasi hasil penelaahan.
   
5. Ketentuan ayat (4) Pasal 27 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

 

(1) Instansi Pengelola PNBP dapat mengusulkan revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP dalam dokumen penganggaran tahun berjalan sesuai kewenangan.
(2) Revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menjadi dasar perubahan pagu penggunaan PNBP dalam dokumen penganggaran.
(3) Dalam hal revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Instansi Pengelola PNBP harus melakukan pemutakhiran perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP per satker dalam dokumen penganggaran.
(4) Revisi perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pemutakhiran perkiraan penerimaan yang bersumber dari PNBP per satker dalam dokumen penganggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan melalui mekanisme revisi anggaran sesuai Peraturan Menteri yang mengatur mengenai revisi anggaran.
   
6. Ketentuan ayat (2) Pasal 45 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 45

 

(1) Dalam hal tertentu, Wajib Bayar dapat melakukan pembayaran PNBP Terutang melalui Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Mekanisme pembayaran PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan Direktorat Jenderal Perbendaharan.
(3) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan kondisi termasuk namun tidak terbatas pada:
  1. kondisi geografis yang tidak memungkinkan dilakukannya pembayaran langsung oleh Wajib Bayar ke Kas Negara;
  2. jumlah nominal PNBP yang dibayarkan tidak signifikan sehingga biaya yang dikeluarkan untuk menyetorkan ke Kas Negara lebih tinggi daripada jumlah nominal PNBP;
  3. kurangnya sarana dan prasarana; dan/atau
  4. pertimbangan efektivitas atas karakteristik jenis PNBP.
(4) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat menunjuk Bendahara Penerimaan untuk menerima pembayaran PNBP dari Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
7. Ketentuan Pasal 47 ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (6) sehingga Pasal 47 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 47


(1) Pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang ke Kas Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) menggunakan sarana lain berupa sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan dan/atau sistem informasi yang dikembangkan Instansi Pengelola PNBP yang terintegrasi atau terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.
(2) Dalam hal terjadi gangguan pada sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kementerian Keuangan menerbitkan surat pernyataan gangguan pada sistem informasi.
(3) Wajib Bayar, Instansi Pengelola PNBP, atau Mitra Instansi Pengelola PNBP yang tidak dapat melakukan pembayaran atau penyetoran pada saat jatuh tempo akibat gangguan sistem yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus melakukan pembayaran atau penyetoran pada hari kerja berikutnya.
(4) Wajib Bayar yang melakukan pembayaran pada hari kerja berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan tambahan sanksi keterlambatan berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1).
(5) Penyelesaian mekanisme pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang ke Kas Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengikuti ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik.
(6) Pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang ke Kas Negara yang menggunakan sarana lain berupa sistem informasi yang dikelola Instansi Pengelola PNBP yang terintegrasi atau terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus dapat dilakukan melalui beberapa collecting agent sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43.
   
8. Di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal 53 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (1a) dan ayat (1b), sehingga Pasal 53 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 53

 

(1) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP wajib melakukan verifikasi atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(1a) Dalam hal tertentu Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dapat mengikutsertakan dan/atau menugaskan pihak lain dalam melakukan verifikasi atas pembayaran dan penyetoran PNBP Terutang yang dihitung oleh Wajib Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.
(1b) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dapat berupa:
  1. terbatasnya jumlah sumber daya manusia;
  2. adanya kebutuhan keterlibatan pihak yang memiliki kompetensi khusus antara lain di bidang aktuaria, penilaian, dan menganalisis laporan keuangan; dan/atau
  3. adanya pihak lain yang memiliki keterkaitan secara langsung terhadap kewajiban PNBP yang diverifikasi.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk menguji pemenuhan kewajiban pembayaran PNBP Terutang berdasarkan data yang dimiliki Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP, laporan dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan oleh Wajib Bayar.
(3) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan terhadap:
  1. kesesuaian variabel pembentuk kewajiban PNBP;
  2. ketepatan waktu pembayaran;
  3. ketepatan nominal PNBP yang dibayarkan; dan/atau
  4. kebenaran data dukung.
(4) Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP dalam melaksanakan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berwenang meminta laporan dan/atau dokumen pendukung kepada Wajib Bayar dalam hal:
  1. Wajib Bayar tidak menyampaikan laporan dan/atau dokumen pendukung; atau
  2. laporan dan/atau dokumen pendukung yang disampaikan Wajib Bayar tidak lengkap dan/atau tidak benar.
(5) Wajib Bayar harus menyampaikan laporan dan/atau dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP paling lambat sesuai waktu yang ditetapkan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP.
   
9. Di antara Pasal 55 dan Pasal 56 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 55A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 55A


Dalam hal pada saat pelaksanaan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 55 ditemukan adanya potensi kurang bayar PNBP, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP perlu terlebih dahulu melakukan tahapan optimalisasi penyelesaian piutang PNBP sebelum diterbitkannya hasil verifikasi.
   
10. Di antara ayat (4) dan ayat (5) Pasal 108 disisipkan 3 (tiga) ayat yakni ayat (4a), ayat (4b), dan dan ayat (4c), sehingga Pasal 108 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 108

 

(1) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP menyusun usulan penggunaan dana PNBP dengan dasar pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 sampai dengan Pasal 107.
(2) Penyusunan usulan penggunaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka:
  1. persetujuan penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP yang belum memiliki dasar hukum penggunaan dana PNBP; atau
  2. perubahan persetujuan penggunaan dana PNBP bagi Instansi Pengelola PNBP yang telah memiliki dasar hukum penggunaan dana PNBP.
(3) Usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui surat Pimpinan Instansi Pengelola PNBP kepada Menteri dengan melampirkan dokumen pendukung berupa:
  1. kerangka acuan kerja; dan
  2. rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya atau dokumen lain yang menunjukkan kebutuhan pendanaan kegiatan selama 3 (tiga) tahun ke depan.
(4) Kerangka acuan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a paling sedikit memuat materi berupa:
  1. latar belakang;
  2. tujuan penggunaan dana PNBP;
  3. jenis PNBP yang diusulkan penggunaan dana PNBP;
  4. usulan besaran penggunaan dana PNBP; dan
  5. pola penggunaan dana PNBP.
(4a) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP dengan pola penggunaan dana PNBP oleh satuan kerja penghasil PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf a, rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan rata-rata dari akumulasi rincian anggaran biaya seluruh satuan kerja penghasil PNBP per unit eselon I pada Instansi Pengelola PNBP.
(4b) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP dengan pola penggunaan dana PNBP oleh unit eselon I penghasil PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf b atau oleh lintas unit eselon I pada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) huruf c, rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun per unit eselon I yang menggunakan dana PNBP.
(4c) Rincian kegiatan yang akan didanai dan rincian anggaran biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan perkiraan indikasi kebutuhan belanja yang bersumber dari penggunaan dana PNBP.
(5) Dokumen lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat berupa nilai estimasi penggantian dari penanggung asuransi.
(6) Surat usulan beserta kelengkapan dokumen pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat disampaikan dalam bentuk dokumen cetak dan/atau dokumen digital.
   
11. Ketentuan ayat (4) Pasal 110 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 110

 

(1) Dalam hal hasil penelitian dokumen atas usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP, Direktorat Jenderal Anggaran melaksanakan penelaahan dengan dasar pertimbangan:
  1. kondisi keuangan negara;
  2. kebijakan fiskal; dan/atau
  3. kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP.
(2) Penelaahan dengan dasar pertimbangan kondisi keuangan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. usulan besaran penggunaan dana; dan
  2. rincian kegiatan yang akan dibiayai.
(3) Penelaahan dengan dasar pertimbangan kebijakan fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. tujuan penggunaan dana PNBP; dan
  2. prioritas pengalokasian belanja pada bidang tertentu atau sektor tertentu.
(4) Penelaahan dengan dasar pertimbangan kebutuhan pendanaan Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c paling sedikit dilakukan terhadap:
  1. latar belakang disampaikannya usulan penggunaan dana PNBP;
  2. jenis PNBP yang diusulkan untuk digunakan; dan
  3. pola penggunaan dana PNBP.
   
12. Ketentuan Pasal 111 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 111

 

(1) Berdasarkan hasil penelitian dokumen atas usulan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110, Menteri berwenang memberikan persetujuan atau penolakan penggunaan dana PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP.
(2) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Menteri menerbitkan surat persetujuan penggunaan dana PNBP yang paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. jenis PNBP yang dapat digunakan;
  2. besaran penggunaan dana PNBP; dan
  3. tujuan penggunaan dana PNBP.
(3) Informasi besaran penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan batas tertinggi yang selanjutnya menjadi salah satu dasar penyusunan kapasitas fiskal dan pagu belanja sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penganggaran.
(4) Informasi tujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c merupakan indikasi peruntukan penggunaan dana PNBP yang selanjutnya dijabarkan lebih lanjut dalam dokumen penganggaran sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penganggaran.
(5) Dalam hal persetujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berasal dari jenis PNBP selain:
  1. PNBP yang dibagihasilkan kepada Pemerintah Daerah; atau
  2. PNBP yang tarifnya ditetapkan dalam Undang-Undang,
    1. penerbitan surat persetujuan Menteri dilimpahkan dalam bentuk mandat kepada Direktur Jenderal Anggaran.
(6) Dalam hal usulan penggunaan dana PNBP pada Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Menteri menerbitkan surat penolakan penggunaan dana PNBP yang disertai dengan dasar atau alasan penolakan penggunaan dana PNBP.
(7) Penerbitan surat penolakan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (6), dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Anggaran.
   
13. Di antara Pasal 115 dan Pasal 116 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 115A yang sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 115A

 

(1) Dalam hal terdapat perubahan:
  1. dasar hukum yang mengatur jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  2. organisasi Instansi Pengelola PNBP,
    1. Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pimpinan Instansi Pengelola PNBP atau Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I setingkat atas nama Pimpinan Instansi Pengelola PNBP mengajukan usulan perubahan surat persetujuan penggunaan dana PNBP kepada Direktur Jenderal Anggaran.
(2) Pengajuan usulan perubahan surat persetujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 6 (enam) bulan setelah penetapan dasar hukum yang mengatur jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Instansi Pengelola PNBP dan/atau penetapan perubahan organisasi Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 
(3) Perubahan surat persetujuan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi perubahan dasar hukum dan/atau perubahan organisasi.
   
14. Ketentuan ayat (6) Pasal 124 diubah, dan ditambahkan 1 (satu) ayat yakni ayat (7) sehingga Pasal 124 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 124

 

(1) Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN, Sekretaris Jenderal/Sekretaris Utama/Sekretaris/Pejabat Eselon I yang setingkat wajib menyusun laporan pelaksanaan PNBP berupa:
  1. laporan realisasi PNBP;
  2. laporan penggunaan dana PNBP; dan
  3. laporan piutang PNBP.
(2) Penyusunan laporan pelaksanaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berjenjang dari tingkat satuan kerja sampai dengan tingkat Instansi Pengelola PNBP.
(3) Laporan realisasi PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. jenis PNBP; dan
  3. jumlah realisasi PNBP.
(4) Jumlah realisasi PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c termasuk realisasi jenis PNBP yang dikenakan tarif Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen) dalam hal terdapat kebijakan pemberian tarif Rp0,00 (nol rupiah) atau 0% (nol persen) pada Instansi Pengelola PNBP.
(5) Laporan penggunaan dana PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. pagu penggunaan dana PNBP; dan
  3. jumlah realisasi penggunaan dana PNBP.
(6) Laporan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat informasi berupa:
  1. periode laporan;
  2. nomor surat tagihan;
  3. nama Wajib Bayar;
  4. Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) Wajib bayar;
  5. saldo awal piutang PNBP;
  6. umur piutang;
  7. mutasi piutang PNBP;
  8. tahap penagihan;
  9. saldo akhir piutang PNBP; dan
  10. langkah optimalisasi penagihan piutang PNBP.
(7) Dalam hal piutang PNBP telah diserahkan kepada instansi yang mengelola piutang negara, selain informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), laporan piutang PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c memuat informasi tambahan berupa:
  1. nomor registrasi piutang;
  2. nomor penyerahan piutang kepada instansi yang mengelola piutang negara; dan
  3. nomor Surat Penerimaan Pengurusan Piutang Negara (SP3N).
   
15. Ketentuan ayat (3) Pasal 130 diubah sehingga sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 130

 

(1) Dalam rangka pertanggungjawaban PNBP, Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang dan memiliki transaksi terkait PNBP, menyusun dan menyampaikan laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang kepada Pejabat Kuasa Pengelola PNBP setiap semester.
(2) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan laporan realisasi atas penyetoran PNBP dan jumlah PNBP Terutang dari Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang pada periode laporan.
(3) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat informasi berupa:
  1. identitas Wajib Bayar antara lain berupa nama Wajib Bayar dan/atau nama penanggung dalam hal Wajib Bayar berbentuk badan, alamat, dan nomor pokok wajib pajak;
  2. periode laporan;
  3. jenis PNBP;
  4. jumlah yang telah disetor dan masih terutang pada periode laporan; dan
  5. pernyataan bahwa informasi yang disampaikan adalah benar, lengkap, dan jelas.
(4) Pimpinan Instansi Pengelola PNBP dapat mengatur lebih lanjut mengenai mekanisme dan bentuk laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disampaikan paling lama 20 (dua puluh) hari setelah periode laporan berakhir.
(6) Dalam hal hari terakhir periode penyampaian laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bertepatan dengan hari libur, penyampaian laporan realisasi PNBP dan PNBP Terutang dilakukan paling lambat pada hari kerja sebelumnya.
(7) Dalam rangka mendukung efektivitas penyusunan dan pelaporan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pengelola PNBP dapat mengembangkan sistem informasi pelaporan PNBP oleh Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.
   
16. Ketentuan ayat (2) Pasal 134 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 134

 

(1) Monitoring PNBP yang dilakukan oleh Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (2) dan Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) huruf a terdiri atas:
  1. monitoring realisasi atas target yang ditetapkan dalam APBN/Perubahan APBN;
  2. monitoring penggunaan dana PNBP;
  3. monitoring pengelolaan piutang PNBP;
  4. monitoring perkembangan penyelesaian keberatan, keringanan, dan pengembalian PNBP;
  5. monitoring perkembangan tindak lanjut/penyelesaian hasil pemeriksaan PNBP dan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan serta hasil pengawasan PNBP;
  6. monitoring proyeksi dan perkembangan realisasi PNBP; dan/atau
  7. monitoring atas terpenuhinya pelayanan oleh Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP.
(2) Monitoring PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pelaporan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1), Pasal 125 ayat (1), dan Pasal 127 ayat (1), dan/atau sumber lainnya.
(3) Sumber lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berasal dari Kementerian Keuangan, Instansi Pengelola PNBP dan/atau pihak lainnya.
(4) Selain monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Instansi Pengelola PNBP dan Direktorat Jenderal Anggaran dapat melakukan monitoring atas pengelolaan PNBP sesuai kebutuhan.
   
17. Di antara Pasal 139 dan Pasal 140 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 139A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 139A


Dalam hal pada saat pelaksanaan monitoring Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) huruf a, ditemukan adanya potensi kurang bayar PNBP, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP atau pimpinan Mitra Instansi Pengelola PNBP perlu terlebih dahulu melakukan tahapan optimalisasi penagihan piutang PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 sebelum diterbitkannya hasil monitoring.
   
18. Ketentuan Pasal 150 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 150

 

(1) Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b melakukan pengawasan terhadap Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
(2) Unit yang melaksanakan pengawasan PNBP terhadap Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
  1. Direktorat Jenderal Anggaran; dan
  2. Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan.
(3) Pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan melalui koordinasi dengan:
  1. Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga terkait;
  2. unit eselon I Kementerian Keuangan; dan/atau
  3. unit/instansi lain yang memiliki kewenangan pengawasan/pemeriksaan/penegakan hukum.
(4) Pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilaksanakan dengan ketentuan:
  1. sinergi pengawasan dengan Direktorat Jenderal Anggaran; dan
  2. berdasarkan risiko (risk based).
(5) Sinergi pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, dapat berupa:
  1. penyelarasan rencana pengawasan;
  2. permintaan pengawasan;
  3. pengawasan bersama; dan/atau
  4. pertukaran informasi hasil pengawasan.
(6) Tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilaksanakan mengacu pada Peraturan Menteri mengenai Pelaksanaan Fungsi Pengawasan Menteri Keuangan Sebagai Pengelola Fiskal dan Wakil Pemerintah Dalam Kepemilikan Kekayaan Negara yang Dipisahkan.
   
19. Di antara Pasal 150 dan Pasal 151 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 150A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 150A

 

(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk penilaian, verifikasi, dan/atau evaluasi.
(2) Pengawasan dalam bentuk penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam rangka menilai dan mempersiapkan profil risiko dari Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP atau Wajib Bayar untuk mendukung pengawasan dalam bentuk verfikasi atau evaluasi.
(3) Pengawasan dalam bentuk verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Instansi Pengelola PNBP dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban PNBP oleh Wajib Bayar.
(4) Pengawasan dalam bentuk evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Instansi Pengelola PNBP dalam rangka memberikan keyakinan atas kepatuhan Instansi Pengelola PNBP atau Mitra Instansi Pengelola PNBP terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP.
(5) Pengawasan dalam bentuk verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan dengan meminta data, informasi, atau keterangan lain kepada Wajib Bayar.
(6) Direktorat Jenderal Anggaran atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dapat menyusun pedoman pengawasan PNBP, baik sendiri-sendiri atau bersama.
   
20. Pasal 151 dihapus.
   
21. Ketentuan Pasal 152 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 152

 

(1) Pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) dilakukan berdasarkan:
  1. hasil monitoring Instansi Pengelola PNBP dan/atau Direktorat Jenderal Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan hasil monitoring Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137;
  2. laporan hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147;
  3. analisis, kajian, dan data potensi PNBP;
  4. evaluasi atas jenis dan tarif PNBP;
  5. indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban PNBP;
  6. indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  7. arahan Menteri Keuangan;
  8. arahan Direktur Jenderal Anggaran;
  9. arahan Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan; dan/atau
  10. sumber data/informasi lainnya.
(2) Sumber data/informasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j termasuk berasal dari data internal Kementerian Keuangan, Instansi Pengelola PNBP, dan/atau pihak lain.
(3) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pihak yang terkait dengan pengelolaan PNBP oleh Instansi Pengelola PNBP.
   
22. Di antara Pasal 152 dan Pasal 153 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 152A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 152A


(1) Data/informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 152 ayat (2) huruf j dapat diperoleh melalui sinergi data dalam bentuk pertukaran, kolaborasi, sinkronisasi data/informasi, dan/atau pusat data.
(2) Sinergi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk kerja sama data antar unit/instansi/pihak terkait.
(3) Sinergi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam rangka mendukung dan meningkatkan efektivitas pengawasan PNBP.
   
23. Pasal 153 dihapus.
   
24. Pasal 154 dihapus.
   
25. Ketentuan Pasal 155 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 155

 

(1) Pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150 ayat (2) dilakukan dengan:
  1. mengidentifikasi data/informasi;
  2. menganalisis data/informasi; dan
  3. membahas hasil analisis.
(2) Kegiatan identifikasi data/informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan untuk mengumpulkan dan meneliti data/informasi.
(3) Kegiatan analisis data/informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dengan cara mengolah data/informasi untuk memastikan kebenaran pemenuhan kewajiban PNBP atau ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kegiatan pembahasan atas hasil analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dilakukan bersama pihak terkait untuk mendapatkan kesimpulan yang memadai atas analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
   
26. Ketentuan ayat (1) Pasal 156 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 156

 

(1) Dalam melaksanakan pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, Direktorat Jenderal Anggaran dan/atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dapat:
  1. meminta dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain kepada Instansi Pengelola PNBP;
  2. meminta dokumen, keterangan, dan/atau bukti lain kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP, Wajib Bayar, dan/atau pihak lain melalui Instansi Pengelola PNBP;
  3. melakukan observasi kepada Instansi Pengelola PNBP;
  4. melakukan observasi kepada Mitra Instansi Pengelola PNBP, Wajib Bayar, dan/atau pihak lain dengan melibatkan Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  5. melibatkan tenaga ahli.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan pihak yang terkait langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan pemenuhan kewajiban PNBP.
   
27. Ketentuan ayat (1) Pasal 157 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 157

 

(1) Berdasarkan hasil pengawasan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155, Direktorat Jenderal Anggaran dan/atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan menyusun laporan hasil pengawasan.
(2) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat kesimpulan dan/atau rekomendasi.
(3) Penyusunan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui sistem informasi.
   
28. Pasal 158 dihapus.
   
29. Ketentuan ayat (1) Pasal 159 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 159

 

(1) Laporan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) disampaikan kepada Instansi Pengelola PNBP.
(2) Rekomendasi hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:
  1. Menteri dalam hal rekomendasi bersifat strategis dan nasional;
  2. Direktur Jenderal Anggaran dalam hal adanya rekomendasi antara lain berupa:
    1. perbaikan regulasi PNBP;
    2. perbaikan proses bisnis PNBP;
    3. perbaikan sistem pengelolaan PNBP;
    4. permintaan penagihan PNBP;
    5. usulan pemeriksaan PNBP;
    6. usulan penghentian layanan terhadap Wajib Bayar;
    7. usulan penghentian kerjasama dengan Mitra Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
    8. data indikasi/data pemicu pemeriksaan perpajakan;
  3. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Kementerian/Lembaga dalam hal penyampaian rekomendasi tidak termasuk dalam rekomendasi sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b; dan/atau
  4. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak Sumber Daya Alam dan Kekayaan Negara Dipisahkan dalam hal penyampaian rekomendasi tidak termasuk dalam rekomendasi sebagaimana dimaksud huruf a dan huruf b.
   
30. Di antara Pasal 162 dan Pasal 163 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 162A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 162A

(1) Direktorat Jenderal Anggaran dan/atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan dapat melaksanakan Pengawasan PNBP untuk hal tertentu, berdasarkan:
  1. arahan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (1) huruf g; atau
  2. usulan Direktorat Jenderal Anggaran dan/atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang telah mendapatkan persetujuan Menteri.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
  1. adanya temuan tindak kecurangan/fraud atas pengelolaan PNBP;
  2. adanya kebutuhan pengawasan PNBP di luar rencana pengawasan dan berdampak strategis terhadap keuangan negara;
  3. adanya permasalahan lain terkait pengelolaan PNBP yang menjadi fokus perhatian Menteri; dan/atau
  4. hasil evaluasi kinerja pengelolaan PNBP pada Instansi Pengelola PNBP yang perlu ditindaklanjuti dengan pengawasan PNBP.

   
31. Ketentuan ayat (4) Pasal 176 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 176


(1) Menteri dapat meminta Instansi Pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan PNBP terhadap Instansi Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 ayat (2) huruf b.
(2) Permintaan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
  1. adanya indikasi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP;
  2. adanya indikasi kerugian negara dan/atau indikasi unsur tindak pidana;
  3. hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga; dan/atau
  4. hasil pengawasan Menteri.
(3) Hasil pengawasan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c yang dapat ditindaklanjuti dengan permintaan pemeriksaan, antara lain berupa temuan yang mengindikasikan Instansi Pengelola PNBP tidak melakukan perbaikan tata kelola PNBP:
  1. setelah berulang kali direkomendasikan oleh Aparat Pengawasan Intern Pemerintah Kementerian/Lembaga; dan/atau
  2. setelah berulang kali diberikan bimbingan teknis oleh Menteri.
(4) Hasil pengawasan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d, dapat berupa:
  1. hasil pengawasan Direktorat Jenderal Anggaran dan/atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan yang berdasarkan arahan Menteri perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan; dan/atau
  2. hasil pengawasan Direktorat Jenderal dan/atau Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan Anggaran yang menemukan adanya:
    1. indikasi ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang PNBP:
    2. indikasi kerugian negara; dan/atau
    3. unsur tindak pidana.

   
32. Ketentuan ayat (2) Pasal 182 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 182

 

(1) Dalam hal tertentu, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat melakukan penghentian layanan pada Instansi Pengelola PNBP kepada Wajib Bayar.
(2) Hal tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
  1. tidak dilaksanakannya kewajiban Wajib Bayar atas:
    1. pembayaran PNBP Terutang;
    2. pemenuhan dokumen yang diperlukan dalam rangka monitoring atau verifikasi pembayaran; atau
    3. pertanggungjawaban PNBP oleh Wajib Bayar; dan/atau
  2. adanya usulan penghentian layanan kepada Wajib Bayar berdasarkan hasil pengawasan PNBP.
(3) Dalam hal Instansi Pengelola PNBP telah memiliki sistem informasi PNBP yang terkoneksi dengan sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan, penghentian layanan kepada Wajib Bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui sistem informasi PNBP.
(4) Selain penghentian layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP dapat menindaklanjuti dengan permintaan penghentian akses layanan kode billing pada sistem informasi yang dikembangkan Kementerian Keuangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran.

   
33. Di antara Pasal 182 dan Pasal 183 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 182A sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 182A


Dalam rangka optimalisasi penagihan piutang PNBP, unit eselon I yang mengelola penyelesaian piutang negara atau Panitia Urusan Piutang Negara dapat meminta penghentian akses layanan kode billing pada sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran.
   
34. Ketentuan Pasal 183 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 183

 

(1) Berdasarkan permintaan penghentian akses layanan kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (4) dan Pasal 182A, Direktorat Jenderal Anggaran menghentikan akses layanan penerbitan kode billing pada sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan.
(1a) Penghentian akses layanan penerbitan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap layanan dari Instansi Pengelola PNBP yang menyampaikan usulan, Instansi Pengelola PNBP yang menyerahkan pengurusan piutang PNBP kepada Panitia Urusan Piutang Negara, dan/atau layanan dari Instansi Pengelola PNBP lainnya.
(1b) Layanan dari Instansi Pengelola PNBP lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) dengan kriteria:
  1. bukan layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan; dan
  2. kewajiban PNBP yang dimintakan berhubungan dengan Wajib Bayar yang dimintakan blokir.
(2) Penghentian akses layanan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan:
  1. Wajib Bayar sedang dalam proses pengajuan koreksi atas Surat Tagihan PNBP;
  2. Wajib Bayar sedang dalam proses pengajuan keringanan PNBP;
  3. Wajib Bayar sedang dalam proses pengajuan keberatan PNBP; dan/atau
  4. Wajib Bayar sedang dalam proses peradilan terkait kewajiban PNBP.
(3) Selain penghentian akses layanan penerbitan kode billing sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktorat Jenderal Anggaran dapat menyampaikan permintaan penghentian layanan-layanan pada instansi lain berkenaan kepada Wajib Bayar.
(4) Layanan-layanan pada instansi lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa layanan perpajakan, layanan kepabeanan dan cukai, layanan jasa keuangan, layanan imigrasi, dan layanan administrasi hukum umum.

   
35. Ketentuan Pasal 184 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 184


Permintaan penghentian akses layanan kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (4), Pasal 182A, dan permintaan penghentian layanan pada instansi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dapat disampaikan melalui sistem informasi.
   
36. Di antara Pasal 184 dan Pasal 185 disisipkan 5 (lima) pasal yakni Pasal 184A, Pasal 184B, Pasal 184C, Pasal 184D, dan Pasal 184E sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 184A


Dalam hal Wajib Bayar telah memenuhi kewajiban pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat 2 huruf a, Pejabat Kuasa Pengelola PNBP melakukan pembukaan atas penghentian layanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (1) dan pembukaan atas penghentian akses layanan penerbitan kode billing pada sistem informasi yang dikelola Kementerian Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 ayat (4).


Pasal 184B


(1) Permintaan penghentian akses layanan kode billing dan permintaan penghentian layanan pada instansi lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 dapat dilakukan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182, pejabat setingkat eselon II yang ditunjuk, pejabat yang berwenang pada unit eselon I yang mengelola piutang negara, atau Panitia Urusan Piutang Negara.
(2) Permintaan pembukaan atas penghentian layanan dan pembukaan atas penghentian akses layanan penerbitan kode billing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 185 dapat dilakukan oleh Pejabat Kuasa Pengelola PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182, pejabat setingkat eselon II yang ditunjuk, pejabat yang berwenang pada unit eselon I yang mengelola piutang negara, atau Panitia Urusan Piutang Negara.


Pasal 184C


(1) Pembukaan atas penghentian layanan dan pembukaan atas penghentian akses layanan penerbitan kode billing sebagaimana dimaksud pada Pasal 184B ayat (2) harus dilaksanakan paling lambat 24 (dua puluh empat) jam setelah surat permintaan diterima.
(2) Pembukaan atas penghentian layanan dan pembukaan atas penghentian akses layanan penerbitan kode billing sebagaimana dimaksud pada Pasal 184B ayat (2) dapat dilakukan sebelum surat permintaan, dalam hal ditemukan bukti/dokumen pelunasan atas kewajiban PNBP.


Pasal 184D


Sistem Informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 dan Pasal 184A merupakan automatic blocking system yang dikelola oleh Kementerian Keuangan.


Pasal 184E

(1) Automatic blocking system sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184D dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian piutang negara lainnya selain piutang PNBP.
(2) Upaya penyelesaian piutang negara lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan berdasarkan usulan dari unit eselon I di lingkungan Kementerian Keuangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan kepada Direktorat Jenderal Anggaran.
(3) Usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem informasi yang dikelola oleh unit eselon I yang terintegrasi dengan automatic blocking system.
(4) Automatic blocking system sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk memblokir layanan tertentu dan/atau pembukaan blokir atas layanan tertentu.

   
37. Di antara BAB X dan BAB XI disisipkan 1 (satu) bab yakni BAB XA sehingga berbunyi sebagai berikut:

BAB XA


PENILAIAN KINERJA PENGELOLAAN PENERIMAAN
NEGARA BUKAN PAJAK

   
38. Ketentuan Pasal 185 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 185

 

(1) Dalam rangka meningkatkan kinerja pengelolaan PNBP pada Instansi Pengelola PNBP, Kementerian Keuangan melakukan penilaian kinerja pengelolaan PNBP.
(2) Penilaian kinerja pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan bagian dari evaluasi kinerja anggaran kementerian/lembaga.
(3) Penilaian kinerja pengelolaan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menilai variabel kinerja pengelolaan PNBP paling sedikit sebagai berikut:
  1. capaian target PNBP;
  2. akurasi perencanaan PNBP; dan
  3. kepatuhan penyampaian laporan pelaksanaan PNBP.
(4) Tata cara penghitungan penilaian kinerja pengelolaan PNBP diatur lebih lanjut dalam Peraturan Direktur Jenderal Anggaran yang mengatur tata cara penghitungan penilaian kinerja anggaran Kementerian/Lembaga.
   
39. Ketentuan ayat (1) Pasal 186 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 186


(1) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 60 ayat (2), Pasal 61 ayat (2), Pasal 62 ayat (3), Pasal 66 ayat (2), dan Pasal 86 ayat (2) berupa denda sebesar 2% (dua persen) per bulan dari jumlah pokok PNBP Terutang dan bagian dari bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.
(2) Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan untuk waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(3) Contoh perhitungan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran Huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
   
40. Ketentuan ayat (1) Pasal 191 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 191

 

(1) Dalam hal Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang tidak melakukan pembayaran sanksi administratif sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (4), Pejabat Kuasa Pengelola PNBP menerbitkan Surat Tagihan PNBP sanksi administratif kepada Wajib Bayar yang menghitung sendiri PNBP Terutang.
(2) Mekanisme penerbitan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengikuti mekanisme penerbitan Surat Tagihan PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76.
   
41. Di antara Pasal 193 dan Pasal 194 disisipkan 1 (satu) pasal yakni Pasal 193A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 193A


Dalam hal terdapat perubahan:
  1. dasar hukum yang mengatur jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada Instansi Pengelola PNBP; dan/atau
  2. organisasi Instansi Pengelola PNBP,
    1. sebagaimana dimaksud pada Pasal 115A ayat (1), surat persetujuan penggunaan dana PNBP yang telah disetujui dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak terdapat perubahan jenis PNBP.
   
42. Ketentuan dalam Lampiran Huruf R dan Huruf T Peraturan Menteri Keuangan Nomor 155/PMK.02/2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak diubah, sehingga menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran Huruf R dan Huruf T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

  

Pasal II


Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Mei 2023
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

SRI MULYANI INDRAWATI



Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 29 Mei 2023
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

ASEP N. MULYANA



BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2023 NOMOR 415