Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Jenis Pajak yang dipungut terdiri atas:
|
||||||||||||||
(2) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur terdiri atas:
|
||||||||||||||
(3) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
(1) | Objek PKB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas Kendaraan Bermotor. | ||||||||
(2) | Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Yang dikecualikan dari Objek PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
(1) | Subjek PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. |
(2) | Wajib PKB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki Kendaraan Bermotor. |
(1) | Dasar Pengenaan PKB adalah hasil perkalian antara 2 (dua) unsur pokok, yaitu:
|
||||||||||||||
(2) | Dasar pengenaan PKB, khusus untuk Kendaraan Bermotor di air, ditetapkan hanya berdasarkan nilai jual Kendaraan Bermotor. | ||||||||||||||
(3) | Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) ditentukan berdasarkan harga pasaran umum atas suatu Kendaraan Bermotor. | ||||||||||||||
(4) | Nilai jual Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan berdasarkan harga pasaran umum pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya. | ||||||||||||||
(5) | Harga pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat. | ||||||||||||||
(6) | Dalam hal harga pasaran umum suatu Kendaraan Bermotor tidak diketahui, nilai jual Kendaraan Bermotor dapat ditentukan berdasarkan sebagian atau seluruh faktor-faktor:
|
||||||||||||||
(7) | Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dinyatakan dalam koefisien, dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(8) | Bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dihitung berdasarkan faktor-faktor:
|
||||||||||||||
(9) | Dasar pengenaan PKB untuk kendaraan bermotor baru berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PKB. | ||||||||||||||
(10) | Dasar pengenaan PKB untuk selain Kendaraan Bermotor baru ditetapkan dengan Peraturan Gubernur dengan berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dengan memperhatikan nilai penyusutan, nilai jual kendaraan bermotor dan bobot sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. | ||||||||||||||
(11) | Dasar pengenaan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dan ayat (10) ditinjau kembali paling lama setiap 3 (tiga) tahun dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian. |
(1) | Tarif PKB ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(2) | Kepemilikan Kendaraan Bermotor didasarkan atas nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat yang sama. |
(1) | Besaran pokok PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan pengenaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (9) dan ayat (10) dengan tarif PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1); |
(2) | Saat terutang PKB ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor. |
(3) | PKB yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. |
(1) | PKB terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Kendaraan Bermotor. |
(2) | PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung sejak tanggal pendaftaran Kendaraan Bermotor. |
(3) | PKB sebagaimana dimaksud ayat (1) dibayar sekaligus di muka. |
(4) | Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaan Kendaraan Bermotor tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pengembalian Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Objek BBNKB adalah penyerahan pertama atas Kendaraan Bermotor. | ||||||||
(2) | Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Kendaraan Bermotor yang wajib didaftarkan di wilayah provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||
(3) | Yang dikecualikan dari objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan atas:
|
||||||||
(4) | Termasuk penyerahan Kendaraan Bermotor sebagai Objek BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemasukan Kendaraan Bermotor dari luar negeri untuk dipakai secara tetap di Indonesia, kecuali:
|
||||||||
(5) | Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan huruf c tidak berlaku apabila selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut Kendaraan Bermotor tidak dikeluarkan kembali dari wilayah kepabeanan Indonesia. |
(1) | Subjek Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. |
(2) | Wajib Pajak BBNKB adalah orang pribadi atau Badan yang menerima penyerahan Kendaraan Bermotor. |
(1) | Wilayah pemungutan BBNKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat Kendaraan Bermotor terdaftar. |
(2) | Pembayaran BBNKB dilakukan sebelum pendaftaran Kendaraan Bermotor. |
(1) | Objek PAB adalah kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat. (2) | ||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan dan/atau penguasaan atas:
|
(1) | Subjek PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat. |
(2) | Wajib PAB adalah orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai Alat Berat. |
(1) | Dasar pengenaan PAB adalah nilai jual Alat Berat. |
(2) | Nilai jual Alat Berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan harga rata-rata pasaran umum Alat Berat yang bersangkutan. |
(3) | Harga rata-rata pasaran umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari berbagai sumber data yang akurat pada minggu pertama bulan Desember Tahun Pajak sebelumnya. |
(4) | Dasar pengenaan PAB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri mengenai dasar pengenaan PAB. |
(1) | PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat terutang terhitung sejak Wajib Pajak diakui secara sah memiliki dan/atau menguasai Alat Berat. |
(2) | PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dikenakan untuk setiap jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut. |
(3) | PAB untuk kepemilikan dan/atau penguasaan Alat Berat dibayar sekaligus di muka. |
(4) | Dalam hal teijadi keadaan kahar yang mengakibatkan penggunaan Alat Berat belum sampai 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Wajib Pajak dapat mengajukan restitusi atas PAB yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Subjek Pajak PBBKB adalah konsumen bahan bakar Kendaraan Bermotor. |
(2) | Wajib Pajak PBBKB adalah orang pribadi atau Badan penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor yang menyerahkan bahan bakar Kendaraan Bermotor. |
(3) | Pemungutan PBBKB dilakukan oleh penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor. |
(4) | Penyedia bahan bakar Kendaraan Bermotor sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) adalah produsen dan/atau importir bahan bakar Kendaraan Bermotor, baik untuk dijual maupun untuk digunakan sendiri. |
(1) | Objek PAP adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. | ||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PAP adalah pengambilan dan/ atau pemanfaatan untuk:
|
(1) | Subjek PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. |
(2) | Wajib PAP adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Permukaan. |
(1) | Dasar Pengenaan PAP adalah nilai perolehan Air Permukaan. | ||||||
(2) | Nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga dasar Air Permukaan dengan bobot Air Permukaan. | ||||||
(3) | Harga dasar Air Permukaan ditetapkan dalam Rupiah berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Permukaan. | ||||||
(4) | Bobot Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan paling sedikit atas faktor-faktor:
|
||||||
(5) | Volume air sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (4) huruf b dihitung menggunakan alat ukur volume air (Watter meter) atau sejenisnya. | ||||||
(6) | Besaran nilai perolehan Air Permukaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur, dengan berpedoman pada ketentuan mengenai harga dasar Air Permukaan dan bobot Air Permukaan yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
(1) | Objek Pajak Rokok adalah konsumsi rokok. |
(2) | Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, dan bentuk rokok lainnya yang dikenai cukai rokok. |
(3) | Yang dikecualikan dari objek Pajak Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah rokok yang tidak dikenai cukai rokok berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. |
(1) | Subjek Pajak Rokok adalah konsumen rokok. |
(2) | Wajib Pajak Rokok adalah pengusaha pabrik rokok atau produsen dan importir rokok yang memiliki izin berupa nomor pokok pengusaha barang kena cukai. |
(3) | Pajak Rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok. |
(4) | Pajak Rokok yang dipungut oleh instansi pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetor ke rekening kas umum daerah provinsi secara proporsional berdasarkan jumlah penduduk, sesuai peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan. |
(1) | Wajib Pajak untuk Opsen Pajak MBLB adalah Wajib Pajak MBLB. |
(2) | Pemungutan Opsen Pajak MBLB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak MBLB terutang. |
(1) | Dalam rangka optimalisasi penerimaan:
|
||||
(2) | Dalam rangka optimalisasi penerimaan Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB, Pemerintah Daerah kabupaten/kota bersinergi dengan Pemerintah Daerah provinsi. | ||||
(3) | Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, Opsen BBNKB, Pajak MBLB, dan Opsen Pajak MBLB, atau bentuk sinergi lainnya. | ||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan PKB, Opsen PKB, BBNKB, dan Opsen BBNKB, diatur dalam Peraturan Gubernur. |
(1) | Hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diperuntukkan bagi kabupaten/kota dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||
(2) | Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota. | ||||||||||
(3) | Besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirinci dalam besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota di wilayah provinsi yang bersangkutan, dengan ketentuan:
|
||||||||||
(4) | Penggunaan variabel lainnya selain variabel sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf c dalam menghitung besaran bagi hasil Pajak per kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Gubernur. | ||||||||||
(5) | Alokasi bagi hasil Pajak per kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(1) | Penyaluran bagi hasil Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) dilakukan melalui pemindahbukuan dari kas Daerah provinsi ke kas Daerah kabupaten/kota. |
(2) | Penyaluran bagi hasil PAP dan PBBKB dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah berakhirnya jangka waktu yang menj adi dasar penghitungan bagi hasil Pajak. |
(3) | Penyaluran bagi hasil Pajak Rokok dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai tata cara Pemungutan dan peyetoran Pajak Rokok. |
(1) | Hasil penerimaan Opsen PKB yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan, peningkatan moda dan sarana transportasi umum serta optimalisasi pengelolaan PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3). |
(2) | Hasil penerimaan Pajak Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf f, baik bagian provinsi maupun bagian kabupaten/kota, dialokasikan paling sedikit 50% (lima puluh persen) untuk mendanai pelayanan kesehatan untuk masyarakat dan penegakan hukum. |
(3) | Dalam rangka penyelarasan kebijakan fiskal dan pemantauan atas pemenuhan kewajiban Pemerintah Daerah dalam pengalokasian hasil penerimaan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Pemerintah menyusun bagan akun standar dan/atau melakukan penandaan atas belanja yang didanai dari hasil penerimaan Pajak tersebut. |
a. | Retribusi Jasa Umum; |
b. | Retribusi Jasa Usaha; dan |
c. | Retribusi Perizinan Tertentu. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 huruf a yang dipungut retribusi meliputi:
|
||||||
(2) | Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||
(4) | Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. | ||||||
(5) | Detail Rincian Pelayanan Retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||
(6) | Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelengarakan urusan pemerintah di bidang keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Gubernur ditetapkan. | ||||||
(7) | Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan jasa umum yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, BUMN, BUMD dan Pihak Swasta. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. |
(1) | Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1) huruf b merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Gubernur berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan. | ||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan :
|
(1) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(3) | Peninjauan Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi jasa Umum. |
(4) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha meliputi:
|
||||||||||||||
(2) | Penyediaan/pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa/pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||||||||
(4) | Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Gubernur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(5) | Detail rincian objek retribusi yang diatur dalam Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(6) | Peraturan Gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan dibidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. | ||||||||||||||
(7) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat BUMN, BUMD dan pihak swasta. |
(1) | Penyediaan tempat pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk fasilitas lainnya dalam lingkungan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) huruf a adalah penyediaan tempat pelelangan yang secara khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat pelelangan. |
(2) | Termasuk penyediaan tempat pelelangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah tempat yang disewa oleh Pemerintah Daerah dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
(1) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. | ||||||||
(2) | Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Gubernur untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
||||||||
(3) | Penetapan Peraturan Gubernur dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah. | ||||||||
(4) | Bentuk pemanfaatan barang milik daerah dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(5) | Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah. | ||||||||
(6) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. | ||||||||
(7) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha. | ||||||||
(8) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(3) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD. |
(1) | Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu meliputi penggunaan tenaga kerja asing |
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu. |
(4) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu adalah Orang Pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu. |
(5) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, BUMN, BUMD dan pihak swasta. |
(1) | Pelayanan penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sesuai wilayah kerja tenaga kerja asing sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. |
(2) | Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah pusat, instansi pemerintah daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. |
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. |
(3) | Khusus untuk pelayanan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 78 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin mengacu pada peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan tenaga kerja asing. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk menyelenggarakan jasa yang bersangkutan. |
(2) | Tingkat penggunaan jasa pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan pelayanan penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan pelayanan dan/atau jangka waktu pelayanan. |
(1) | Tarif Retribusi merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang. |
(2) | Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan. |
(3) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(4) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(5) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu. |
(6) | Peninjauan besaran tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus pelayanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(7) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditetapkan dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur. |
(1) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Gubernur antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemebritahuan pajak terutang. |
(2) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis pajak berdasarkan perhitungan sendiri wajib pajak antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah. |
(3) | Dokumen pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh wajib pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. |
(4) | Besaran retribusi terutang ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik. |
(5) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik. |
(1) | Wajib pajak untuk jenis pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh wajib pajak wajib mengisi SPTPD. | ||||||||||
(2) | Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap masa pajak. | ||||||||||
(3) | Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dikenakan sanksi administrasi berupa denda. | ||||||||||
(4) | Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah setiap STPD. | ||||||||||
(5) | Besaran sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sebesar Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) | ||||||||||
(6) | Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure). | ||||||||||
(7) | Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) meliputi :
|
(1) | Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||||||||||||||
(3) | Pembayaran dan penyetoran pajak daerah dan retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronifikasi. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal system pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalu pembayaran tunai. | ||||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi diatur dengan Peraturan Gubernur berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya yaitu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang bayar, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi. |
(2) | Besaran sanksi administratif Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD. |
(3) | Besaran sanksi administratif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar tarif bunga 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Gubernur. |
(1) | Gubernur atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(2) | Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Keputusan Gubernur. |
(1) | Gubernur dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa :
|
||||||||
(2) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya. | ||||||||
(3) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Gubernur secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Gubernur. | ||||||||
(4) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang atau utang pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan pajak pada waktunya. | ||||||||
(5) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaaan pembayaran pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Gubernur berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam keputusan Gubernur. | ||||||||
(6) | Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Gubernur memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir. | ||||||||
(7) | Keputusan Gubernur atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana diamksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||||||
(8) | Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana diamksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. | ||||||||
(9) | Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah pajak yang masih harus bayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||
(10) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi;
|
||||||||
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan daerah diatur dengan Keputusan Gubernur. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Gubernur dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Gubernur berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan kepada DPRD dengan melampirkan pertimbangan Gubernur dalam memberikan insentif fiskal tersebut. | ||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(3) | Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Gubernur berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Gubernur dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran, tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada peraturan perundang-undangan. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai dengan ketentuan Pasal 181 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan, menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan atau pidana denda sesuai ketentuan Pasal 181 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. |
a. | khusus ketentuan mengenai Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, bagi hasil Pajak Kendaraan Bermotor, dan bagi hasil Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dalam Perda Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 4 Januari 2025. |
b. | Ketentuan mengenai opsen PKB, Opsen BBNKB dan Opsen MBLB sebagaimana yang diatur dalam peraturan daerah ini, mulai berlaku pada tanggal 5 Januari 2025. |
c. | Ketentuan mengenai insentif pungutan Pajak dan Retribusi Daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 92, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pungutan Pajak dan Retribusi. |
d. | Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah yang ditetapkan sebelumnya. |
a. | Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 2 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2011 Nomor 349, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2011 Nomor 349) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 31 Tahun 2014 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung tahun 2014 Nomor 31, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2014 Nomor 429); |
b. | Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2011 Nomor 350) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 32 Tahun 2014 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung Tahun 2014 Nomor 32) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Lampung Nomor 14 Tahun 2019 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Provinsi Lampung tahun 2019 Nomor 14). |
LEMBARAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG TAHUN 2024 NOMOR 4 NOREG PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG: (4-35/2024)
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH PROVINSI LAMPUNG
NOMOR 4 TAHUN 2024
TENTANG
PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH
I. | UMUM Provinsi memiliki kewenangan pengalokasian/pemungutan Opsen Pajak yaitu PKB, BBNKB, dan Pajak MBLB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasaan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Sementara itu, penambahan Opsen Pajak MBLB untuk provinsi sebagai sumber penerimaan baru diharapkan dapat memperkuat fungsi penerbitan izin dan pengawasan kegiatan pertambangan di Daerah. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota.
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas.
|
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Cukup jelas.
Pasal 5Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Pajak progresif untuk kepemilikan kedua dan seterusnya dibedakan sesuai dengan jenis kendaraan berdasarkan kategori jumlah roda kendaraan.
Contoh: Orang pribadi atau Badan yang memiliki satu Kendaraan Bermotor roda 2 (dua), satu Kendaraan Bermotor roda 3 (tiga), dan satu Kendaraan Bermotor roda 4 (empat) masing-masing diperlakukan sebagai kepemilikan pertama sehingga tidak dikenakan pajak progresif. Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2) Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan Kendaraan Bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah .
Contoh: Tuan X membeli sebuah mobil Y pada 1 November 2021. Atas pembelian mobil tersebut, diterbitkan dokumen pengesahan kepemilikan mobil Y pada tanggal 5 November 2021 dan tercantum bahwa Tuan X adalah pemilik mobil Y. Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik Kendaraan Bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan. Contoh: Tuan X pemilik mobil Y sejak tanggal 5 November 2021 (dibuktikan dengan dokumen pengesahan kepemilikan) menyewakan mobil Y tersebut kepada PT Z. Atas sewa mobil tersebut, Tuan X dan PT Z menandatangani kontrak perjanjian peminjaman mobil pada tanggal 5 Januari 2022 untuk masa sewa selama 3 tahun, di mana dalam perjanjian kontrak tersebut menyatakan bahwa PT Z menanggung beban Pajak yang terutang atas mobil yang disewa tersebut. Dengan demikian, saat terutang PKB tetap pada tanggal 5 November setiap tahunnya mengingat PKB dikenakan untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut. PT Z baru akan membayarkan PKB untuk pertama kalinya atas hasil perjanjian sewa tersebut pada 5 November 2022. Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Penyerahan kedua dan seterusnya atas Kendaraan Bermotor (kendaraan bekas) bukan merupakan objek BBNKB, sehingga tidak terutang BBNKB.
Contoh: Tuan X membeli mobil baru untuk pertama kalinya pada tahun 2023 dan terdaftar atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil baru tersebut, terutang BBNKB. Kemudian, pada tahun 2024, Tuan X membeli mobil bekas dan didaftarkan atas nama Tuan X. Atas pembelian mobil bekas yang dilakukan Tuan X tersebut, tidak terutang BBNKB. Lalu, Tuan X kembali membeli mobil baru pada tahun 2025. Atas pembelian mobil baru pada tahun 2025 tersebut, terutang BBNKB.. Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Yang dimaksud dengan “kepemilikan” adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan dengan alat berat yang namanya tercantum di dalam bukti kepemilikan atau dokumen yang sah meliputi invoice/ faktur penjualan/bukti jual beli kepemilikan.
Yang dimaksud dengan “penguasaan” adalah penggunaan dan/atau penguasaan fisik alat berat oleh orang pribadi atau Badan dengan bukti penguasaan yang sah menurut ketentuan perundang-undangan meliputi bukti kontrak sewa, perjanjian sewa-beli, dan sebagainya. Pasal 22 Cukup jelas.
Pasal 23 Cukup jelas.
Pasal 24Cukup jelas.
Pasal 25 Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32Cukup jelas.
Pasal 33Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “volume air” adalah jumlah air secara keseluruhan yang dihitung saat pengambilan air permukaan pada sumber air.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (5) Yang dimaksud dengan “watter meter” adalah alat ukur untuk menentukan banyaknya aliran air yang mengalir pada suatu pipa.
Ayat (6) Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36Cukup jelas.
Pasal 37 Yang dimaksud dengan “wilayah daerah tempat air permukaan berada” adalah wilayah dimana air permukaan diambil dan/atau dimanfaatkan.
Contoh: Sebuah perusahaan, yang tempat kegiatan usahanya berada di wilayah provinsi B, melakukan pengambilan dan pemanfaatan air permukaan dari hulu sungai X. Hulu sungai X sendiri berada di wilayah provinsi A dan hilirnya berada di wilayah provinsi B. Atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air permukaan dari sungai X, maka yang berhak melakukan pemungutan PAP adalah provinsi B. Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48Contoh Penghitungan:
Pada tanggal 13 Desember 2025, Wajib Pajak A di Kabupaten X di wilayah Provinsi S melakukan pengambilan MBLB dengan nilai jual hasil pengambilan MBLB tersebut sebesar Rp 500 juta. Tarif Pajak MBLB dalam Perda PDRD Kabupaten X sebesar 20%, sedangkan tarif Opsen Pajak MBLB dalam Perda PDRD Provinsi S sebesar 25%. Maka dalam SPTPD Pajak MBLB yang dilaporkan oleh Wajib Pajak A di Kabupaten X sebagai berikut:
Total Pajak MBLB dan Opsen Pajak MBLB terutang = Rp 125 juta. Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Kabupaten X, sedangkan Opsen Pajak MBLB menjadi penerimaan pemerintah daerah Provinsi S.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60Ayat (1)
Yang dimaksud “kendaraan bermotor” merupakan kendaraan bermotor angkutan penumpang dan kendaraan bermotor angkutan barang. Kendaraan bermotor angkutan penumpang meliputi:
Kendaraan bermotor angkutan barang meliputi semua kendaraan umum angkutan barang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Ayat (1) huruf a
Cukup jelas.
Ayat (1) huruf b
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan
Ayat (1) huruf c
Cukup jelas.
Ayat (1) huruf d
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan
Ayat (1) huruf e
Cukup jelas.
Ayat (1) huruf f
Cukup jelas.
Ayat (1) huruf g
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 66Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68Cukup jelas.
Pasal 69Cukup jelas.
Pasal 70Cukup jelas.
Pasal 71Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73Cukup jelas.
Pasal 74Cukup jelas.
Pasal 75Cukup jelas.
Pasal 76Cukup jelas.
Pasal 77Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79Cukup jelas.
Pasal 80Cukup jelas.
Pasal 81Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86Cukup jelas.
Pasal 87Cukup jelas.
Pasal 88Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92Cukup jelas.
Pasal 93Cukup jelas.
Pasal 94Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99Cukup jelas.
Pasal 100Cukup jelas.
Pasal 101Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.