Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
(1) | Maksud ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk memberikan dasar hukum pemungutan Pajak dan Retribusi bagi Pemerintah Daerah Kota, serta memberikan kepastian hukum atas pemungutan Pajak dan Retribusi bagi masyarakat. |
(2) | Tujuan ditetapkannya Peraturan Daerah ini adalah untuk optimalisasi tata kelola pemungutan Pajak dan Retribusi. |
a. | Pajak; |
b. | Retribusi; |
c. | Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi; |
d. | Pengurangan, Keringanan, Pembebasan, Penghapusan, atau Penundaan Pembayaran Atas Pokok Pajak, Pokok Retribusi dan/atau sanksinya; |
e. | Kerahasiaan Data Wajib Pajak; |
f. | Insentif Pemungutan Pajak dan Retribusi; |
g. | Penyidikan; dan |
h. | Sanksi. |
(1) | Jenis Pajak yang dipungut terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Jenis Pajak yang tidak dipungut terdiri atas:
|
(1) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota terdiri atas:
|
||||||||||||||
(2) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||||||
(3) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang. | ||||||||||||||
(4) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah. | ||||||||||||||
(5) | Dokumen surat pemberitahuan pajak daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. | ||||||||||||||||||
(2) | Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. | ||||||||||||||||||
(3) | Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
(1) | Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP. |
(2) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. |
(3) | NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. |
(4) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah Kota, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak. |
(5) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan Daerah Kota. |
(6) | Besaran NJOP ditetapkan oleh Wali Kota. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota yang berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3). | ||||||
(2) | Penentuan besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||||
(3) | Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
||||
(2) | Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berupa lahan produksi pangan dan/atau ternak ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen). |
(1) | Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1). |
(2) | Besaran pokok PBB-P2 terutang berupa lahan produksi pangan atau ternak dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2). |
(3) | Tahun pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. |
(4) | Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. |
(5) | Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. |
(6) | Wilayah Pemungutan PBB-P2 yang terutang merupakan wilayah Daerah Kota yang meliputi letak objek PBB-P2. |
(1) | Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Wali Kota. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
(1) | Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan BPHTB merupakan Nilai Perolehan Objek Pajak. | ||||||
(2) | Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan. | ||||||
(4) | Dalam menentukan besaran BPHTB terutang ditetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||
(5) | Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah daerah tempat terutangnya BPHTB. | ||||||
(6) | Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
(1) | Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) setelah dikurangi Nilai Perolehan Objek Pajak tidak kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. | ||||||||||||||
(2) | Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(3) | Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. | ||||||||||||||
(4) | Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
||||||||||||||
(5) | BPHTB yang terutang atas pemindahan hak karena jual beli paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli. | ||||||||||||||
(6) | Wilayah Pemungutan BPHTB yang terutang merupakan wilayah daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada. |
(1) | Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
||||
(2) | Dalam hal pejabat pembuat akta tanah/notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
||||
(4) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(2) | Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | Makanan dan/atau Minuman; |
b. | Tenaga Listrik; |
c. | Jasa Perhotelan; |
d. | Jasa Parkir; dan |
e. | Jasa Kesenian dan Hiburan. |
(1) | Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
(1) | Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. | ||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(1) | Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia Jasa Perhotelan seperti:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf d meliputi:
|
||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf e meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
(1) | Subjek PBJT adalah konsumen Barang dan Jasa Tertentu. |
(2) | Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu. |
(1) | Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen Barang atau Jasa Tertentu, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. | ||||||||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual Barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah Kota. | ||||||||||
(4) | Dalam hal Pemerintah Daerah Kota menetapkan kebijakan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan tingkat kemacetan, khusus untuk PBJT atas jasa parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d Pemerintah Daerah Kota dapat menetapkan dasar pengenaan sebesar tarif parkir sebelum dikenakan potongan. |
(1) | Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||||||
(2) | Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||||||
(3) | Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||||||
(4) | Berdasarkan nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. |
(1) | Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). | ||||||||||
(2) | Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen). | ||||||||||
(3) | Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
(1) | Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (i). | ||||||||||
(2) | Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||||||||
(3) | Wilayah Pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah Kota tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi Barang dan Jasa Tertentu dilakukan. |
(1) | Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. | ||||||||||||||||||
(2) | Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||
(3) | Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
(1) | Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. |
(2) | Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. |
(1) | Dasar Pengenaan Pajak Reklame merupakan nilai sewa reklame. |
(2) | Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. |
(4) | Dalam hal nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Perhitungan nilai sewa reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34. |
(2) | Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame. |
(3) | Wilayah Pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah Kota tempat penyelenggaraan Reklame. |
(4) | Khusus untuk Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah Kota tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. |
(1) | Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
(1) | Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Dasar pengenaan PAT merupakan Nilai Perolehan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Nilai Perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara Harga Air Baku dengan bobot Air Tanah. | ||||||||||||
(3) | Harga Air Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah. | ||||||||||||
(4) | Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor sebagai berikut:
|
||||||||||||
(5) | Besarnya nilai perolehan Air Tanah di Daerah Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur. |
(1) | Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39. |
(2) | Saat terutang PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(3) | Wilayah Pemungutan PAT yang terutang merupakan wilayah Daerah Kota tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Wajib Pajak Opsen PKB merupakan wajib PKB. |
(2) | Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB. |
(1) | Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44. |
(2) | Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. |
(3) | Wilayah Pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah Kota tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(1) | Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB. |
(2) | Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari BBNKB. |
(1) | Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49. |
(2) | Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. |
(3) | Wilayah Pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah Kota tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(1) | Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan daerah. |
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Wali Kota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Wali Kota. |
(3) | Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain paling lama 3 (tiga) bulan kalender. |
(4) | Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Hasil penerimaan atas jenis Pajak berikut:
|
||||||||
(2) | Besaran persentase tertentu dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan dalam APBD dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Hasil penerimaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf a dialokasikan paling sedikit:
|
||||||||
(2) | Hasil penerimaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b, dialokasikan 1,5% (satu koma lima persen) dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pemungutan BBNKB. | ||||||||
(3) | Penggunaan hasil penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB untuk mendukung kegiatan pemungutan sebagaimana kegiatan pada ayat (1) huruf b dan ayat (2) digunakan antara lain untuk:
|
||||||||
(4) | Hasil penerimaan PBJT atas Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf c, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk penyediaan penerangan jalan umum. | ||||||||
(5) | Kegiatan penyediaan penerangan jalan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi penyediaan dan pemeliharaan infrastruktur penerangan jalan umum serta pembayaran biaya atas konsumsi Tenaga Listrik untuk penerangan jalan umum. | ||||||||
(6) | Hasil penerimaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf d, dialokasikan paling sedikit 10% (sepuluh persen) untuk pencegahan, penanggulangan dan pemulihan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dalam Daerah Kota yang berdampak terhadap kualitas dan kuantitas air tanah, meliputi:
|
(1) | Jenis Retribusi terdiri atas:
|
||||||
(2) | Objek Retribusi adalah penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa dan pemberian izin tertentu kepada orang pribadi atau Badan oleh Pemerintah Daerah Kota. | ||||||
(3) | Wajib Retribusi meliputi orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan barang, jasa, dan/atau perizinan. | ||||||
(4) | Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib membayar atas layanan yang digunakan atau dinikmati. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf a dan termasuk jenis pelayanan Retribusi Jasa Umum yang tidak dan/atau belum dipungut oleh Pemerintah Daerah Kota, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||||
(4) | Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(5) | Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||
(6) | Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan. | ||||||||||
(7) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pendapatan Retribusi. | ||||||||||
(8) | Dikecualikan dari objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) yaitu pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan pihak swasta. | ||||||||||
(9) | Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. | ||||||||||
(10) | Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Umum ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||||||
(3) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan kesehatan bagi penjamin BPJS Kesehatan atau BPJS Ketenagakerjaan dihitung berdasarkan nilai kapitasi dan atau klaim paket pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif hanya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(1) | Besaran Retribusi Jasa Umum yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. |
(2) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(3) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Umum. |
(4) | Struktur dan besaran Tarif Retribusi Jasa Umum yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota atau besaran penyesuaian tarif berdasarkan hasil peninjauan ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(5) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Umum tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah Kota, meliputi:
|
||||||||
(2) | Objek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokan berdasarkan pada tiap kawasan yang terdiri atas:
|
||||||||
(3) | Pengguna jasa di Kawasan Berpengelola sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b terdiri atas:
|
||||||||
(4) | Dikecualikan dari pelayanan kebersihan yaitu pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sosial dan tempat umum lainnya. |
(1) | Pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) huruf e merupakan pengendalian atas penggunaan ruas jalan tertentu, koridor tertentu, atau kawasan tertentu pada waktu tertentu oleh pengguna kendaraan bermotor. |
(2) | Sistem jalan berbayar yang diterapkan secara elektronik pengendalian lalu lintas masuk ke dalam kategori Retribusi Jasa Umum. |
(3) | Pemberlakuan sistem jalan berbayar yang diterapkan secara elektronik untuk pengendalian lalu lintas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian lalu lintas diatur dalam Peraturan Wali Kota berdasarkan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perhubungan. |
(1) | Jenis penyediaan atau pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||||||
(2) | Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah Kota masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||||||||
(4) | Dalam hal terdapat penyesuaian detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penyesuaian detail rincian objek diatur dalam Peraturan Wali Kota sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||
(5) | Bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dengan Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dilaksanakan untuk pemanfaatan Barang Milik Daerah yang berupa:
|
||||||||||||||
(6) | Penetapan Peraturan Wali Kota untuk pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan untuk setiap proses pelaksanaan pemanfaatan Barang Milik Daerah. | ||||||||||||||
(7) | Bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah dan penambahan detail rincian objek retribusi atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (4), diatur dan dilaksanakan dalam Peraturan Wali Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(8) | Peraturan Wali Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan. | ||||||||||||||
(9) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) termasuk pendapatan Retribusi. | ||||||||||||||
(10) | Yang dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (7) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan pihak swasta. | ||||||||||||||
(11) | Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Usaha. | ||||||||||||||
(12) | Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Usaha. |
(1) | Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota. |
(2) | Tempat Khusus Parkir Di Luar Badan Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi parkir di gedung dan/atau pelataran yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota. |
(1) | Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf e merupakan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah Kota. | ||||||
(2) | Ketentuan pemakaian dan penggunaan tempat rekreasi dan olahraga sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Struktur dan besaran tarif retribusi jasa usaha dan tata cara penghitungan besaran tarif pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Jasa Usaha ditujukan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan Jasa Usaha tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(3) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Usaha yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BLUD. |
(1) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Jasa Usaha dan tata cara penghitungan besaran tarif pelayanan pemanfaatan aset daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Besaran Retribusi Jasa Usaha yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dengan tarif Retribusi. |
(3) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(4) | Pengaturan lebih lanjut mengenai bentuk pemanfaatan Barang Milik Daerah dan penghitungan besaran tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(5) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Jasa Usaha. |
(6) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (1) huruf c meliputi:
|
||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah Kota berdasarkan kewenangan Daerah Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Jenis pelayanan pemberian izin yang tidak dipungut sebagai objek Retribusi Perizinan Tertentu adalah Pengelolaan Pertambangan Rakyat (PPR). | ||||
(4) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pelayanan perizinan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah dan pihak swasta. | ||||
(5) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. | ||||
(6) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu. |
(1) | Pelayanan pemberian izin PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a meliputi penerbitan PBG dan SLF oleh Pemerintah Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||||
(2) | Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF. | ||||||||||||||||||||||||
(3) | Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||||||||||||||||
(4) | Yang dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu pemberian izin persetujuan bangunan milik Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Kota, dan bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. |
(1) | Pelayanan penggunaan TKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan di Daerah Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA. |
(2) | Yang dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penggunaan TKA oleh instansi Pemerintah Pusat, instansi Pemerintah Daerah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah Kota untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas pelayanan Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan ketentuan:
|
||||||
(3) | Besarnya Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi PBG. | ||||||
(4) | Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||
(5) | Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas formula untuk:
|
||||||
(6) | Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
||||||
(7) | Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terdiri atas:
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. | ||||||||||
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
(3) | Biaya penyelenggaraan pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi penerbitan dokumen izin, pengawasan, penegakan hukum, penatausahaan, dan/atau biaya dampak negatif dari pemberian izin tersebut. | ||||||||||
(4) | Pelayanan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1), biaya penyelenggaraan pelayanan memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai Bangunan Gedung. | ||||||||||
(5) | Pelayanan pengesahan rencana penggunaan TKA perpanjangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1), biaya penyelenggaraan pemberian izin memperhatikan pada rincian layanan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai penggunaan TKA. |
(1) | Besaran Retribusi Perizinan Tertentu yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. | ||||
(2) | Khusus untuk Retribusi Perizinan Tertentu atas pelayanan PBG, besaran Retribusi yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan pelayanan PBG dengan harga satuan Retribusi PBG. | ||||
(3) | Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||
(4) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besaran Retribusi yang terutang. | ||||
(5) | Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan untuk kepentingan perpajakan. | ||||
(6) | Struktur dan besaran tarif Retribusi Perizinan Tertentu tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. | ||||
(7) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. | ||||
(8) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi Perizinan Tertentu. | ||||
(9) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PBG hanya terhadap besaran harga/indeks dalam tabel harga satuan Bangunan Gedung negara (HSBGN)/standar harga satuan tertinggi (SHST) dan indeks lokalitas. | ||||
(10) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) khusus layanan PTKA berdasarkan tarif yang ditetapkan dalam peraturan pemerintah mengenai jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. | ||||
(11) | Tarif Retribusi hasil peninjauan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi. | ||||||||||||||||||||
(2) | Ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai:
|
||||||||||||||||||||
(3) | Pembayaran dan penyetoran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. | ||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai. | ||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Wali Kota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah Kota. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Wali Kota berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Wali Kota sesuai dengan kebijakan Daerah Kota dalam pengelolaan keuangan daerah. | ||||||||||
(5) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
||||||||||
(6) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi. | ||||||||||
(7) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah Kota yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. | ||||||||||
(8) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis Nasional. |
(1) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota dan diberitahukan kepada DPRD. |
(2) | Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Wali Kota dalam memberikan insentif fiskal. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal ditetapkan dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain. |
(2) | Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (3) dan ayat (5). |
(1) | Wali Kota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi wajib Pajak atau wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. | ||||||||||||
(2) | Kondisi Wajib Pajak atau wajib retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memperhatikan kemampuan membayar Wajib Pajak atau wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau wajib Retribusi. | ||||||||||||
(3) | Kondisi Objek Pajak atau Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan Bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu, dan objek Pajak yang terdampak bencana alam, kebakaran, huru-hara, dan/atau kerusuhan. | ||||||||||||
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya diatur dengan Peraturan Wali Kota. | ||||||||||||
(5) | Pembebasan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan fungsi objek Retribusi PBG. | ||||||||||||
(6) | Bangunan gedung tertentu dapat memperoleh insentif berupa keringanan retribusi PBG, yaitu:
|
||||||||||||
(7) | Ketentuan mengenai insentif keringanan retribusi PBG untuk BGCB sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) huruf a diatas meliputi:
|
(1) | Wali Kota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
||||||||||
(2) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya. | ||||||||||
(3) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Wali Kota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota. | ||||||||||
(4) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya. | ||||||||||
(5) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Wali Kota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Wali Kota. | ||||||||||
(6) | Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Wali Kota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir. | ||||||||||
(7) | Keputusan Wali Kota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||||||||
(8) | Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. | ||||||||||
(9) | Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||||
(10) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||||||||
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Setiap Pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah Kota. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Wali Kota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah Kota. | ||||
(3) | Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah Kota, Wali Kota berwenang memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan Pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Wali Kota dapat memberikan izin tertulis kepada Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Instansi yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Wali Kota. |
(1) | Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah Kota yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi. | ||||||||||
(2) | Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dikenakan sanksi administratif berupa denda. | ||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan STPD sebesar Rp50.000 (lima puluh ribu rupiah) untuk setiap SPTPD. | ||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure). | ||||||||||
(5) | Kriteria kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yaitu:
|
||||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Wali Kota. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak memenuhi kewajiban perpajakan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban perpajakan, diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan Perundang-undangan. |
(3) | Tindak pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir. |
(4) | Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas pelayanan yang digunakan atau dinikmati, sehingga merugikan keuangan daerah diancam dengan pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) | Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) dan ayat (2), diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB berlaku paling lama mulai tanggal 5 Januari 2025. |
(2) | Ketentuan detail rincian pelayanan kesehatan pada BLUD diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota. |
(3) | Uraian objek pemanfaatan aset daerah sebagaimana dimaksud Pasal 70 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Wali Kota. |
(4) | Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 88, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan Aparatur Sipil Negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi. |
(5) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian. |
(1) | Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. |
A. | UMUM 1. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, negara dibentuk dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selanjutnya berdasarkan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas Daerah provinsi, dan Daerah provinsi dibagi atas Daerah kabupaten dan kota. Tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota mempunyai pemerintahan sendiri. Pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota berhak mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Urusan Pemerintahan yang menjadi tanggung jawab daerah dilaksanakan berdasarkan asas otonomi, sedangkan Urusan Pemerintahan yang bukan merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dilaksanakan berdasarkan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Pelaksanaan Urusan Pemerintahan dari tingkat pusat hingga daerah merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan yang berada di tangan Presiden sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga tidak dapat berjalan sendiri-sendiri. Hal ini menuntut adanya sinergisme pendanaan atas urusan tersebut dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. Pembagian Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi provinsi, kabupaten, dan kota, dan pembagian Urusan Pemerintahan antar pemerintahan tersebut menimbulkan adanya hubungan wewenang dan hubungan keuangan. Sesuai dengan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Untuk melaksanakan amanat Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut disusunlah Peraturan Daerah Kota Bandung tentang Pajak dan Retribusi Daerah, Penyusunan Peraturan Daerah ini didasarkan pada pemikiran perlunya menyempurnakan pelaksanaan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang selama ini dilakukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Penyempurnaan implementasi Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan alokasi sumber daya nasional yang efisien melalui Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan, guna mewujudkan pemerataan layanan publik dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam mewujudkan tujuan tersebut, Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah berlandaskan pada 4 (empat) pilar utama, yaitu: mengembangkan sistem Pajak yang mendukung alokasi sumber daya nasional yang efisien, mengembangkan Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dalam meminimalkan ketimpangan vertikal dan horizontal melalui kebijakan TKD dan Pembiayaan Utang Daerah, mendorong peningkatan kualitas Belanja Daerah, serta harmonisasi kebijakan fiskal antara Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan layanan publik yang optimal dan menjaga kesinambungan fiskal. 2. Sistem Pajak dan Retribusi Dalam rangka mengalokasikan sumber daya nasional secara lebih efisien, Pemerintah memberikan kewenangan kepada Daerah untuk memungut Pajak dan Retribusi dengan penguatan melalui restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan Undang-Undang tentang Cipta Kerja. Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk (i) menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak; (ii) menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan; (iii) memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan (iv) mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan. Selain integrasi pajak-pajak Daerah berbasis konsumsi, PBJT mengatur perluasan Objek Pajak seperti atas parkir valet, objek rekreasi, dan persewaan sarana dan prasarana olahraga (objek olahraga permainan). Pemerintah juga memberikan kewenangan pemungutan Opsen Pajak antara level pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota, yaitu PKB dan BBNKB. Opsen atas PKB dan BBNKB sejatinya merupakan pengalihan dari bagi hasil pajak provinsi. Hal tersebut dapat meningkatkan kemandirian Daerah tanpa menambah beban Wajib Pajak, karena penerimaan perpajakan akan dicatat sebagai PAD, serta memberikan kepastian atas penerimaan Pajak dan memberikan keleluasan belanja atas penerimaan tersebut pada tiap-tiap level pemerintahan dibandingkan dengan skema bagi hasil. Hal ini akan mendukung pengelolaan Keuangan Daerah yang lebih berkualitas karena perencanaan, penganggaran, dan realisasi APBD akan lebih baik. Opsen Pajak juga mendorong peran Daerah untuk melakukan ekstensifikasi perpajakan Daerah baik itu bagi pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, menurut amanat UU HKPD jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan sehingga berimplikasi pada pemungutan Retribusi di Kota Bandung yang berubah menjadi 7 Retribusi. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah. Selain itu, rasionalisasi dimaksudkan untuk mengurangi beban masyarakat dalam mengakses layanan dasar publik yang menjadi kewajiban Pemerintah Daerah. Rasionalisasi juga sejalan dengan implementasi Undang-Undang tentang Cipta Kerja dalam rangka mendorong kemudahan berusaha, iklim investasi yang kondusif, daya saing Daerah, dan penciptaan lapangan kerja yang lebih luas. Penyelarasan dengan Undang-Undang tentang Cipta Kerja dilakukan melalui pemberian kewenangan kepada Pemerintah untuk meninjau kembali tarif Pajak Daerah dalam rangka pemberian insentif fiskal untuk mendorong perkembangan investasi di Daerah. Pemerintah dapat menyesuaikan tarif Pajak dan Retribusi dengan penetapan tarif yang berlaku secara nasional, serta melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap Peraturan Daerah mengenai Pajak dan Retribusi agar tidak menghambat ekosistem investasi dan kemudahan dalam berusaha. |
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis” adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, Gedung parker, lounge, fasilitas makan/minum, fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 7 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 11 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 12 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 13 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 14 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh penyedia jasa boga/katering termasuk makanan dan/atau minuman yang disediakan dalam bentuk kerja sama dengan persewaan ruangan.
Contohnya antara lain paket persewaan ruangan dan katering oleh wedding organizer. Ayat (2)
Huruf a
Batasan peredaran usaha tidak berlaku untuk penjualan dan/atau penyerahan makanan dan/atau minuman yang dilakukan secara insidental.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud Lounge pada bandar udara merupakan ruangan yang dipergunakan oleh penumpang maskapai penerbangan ketika menunggu pesawat di bandar udara.
Pasal 22 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 23 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan “tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel” adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jang panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 24 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Sepanjang memungut bayaran baik harian maupun bulanan/langganan kepada karyawan, tidak termasuk yang dikecualikan dari objek pajak ini. Huruf c
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 26 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 27 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 28 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 29 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan golongan S adalah golongan tarif untuk pelayanan sosial yang terbagi dalam kategori golongan SI, S2 dan S3. Golongan SI adalah golongan tarif untuk sosial pada tegangan rendah dengan daya 220 VA. Golongan S2 adalah golongan tarif untuk sosial pada tegangan rendah daya 450 VA sampai dengan 200 kVA. Golongan S3 adalah golongan tarif untuk sosial pada tegangan rendah dengan daya 200 kVA ke atas.
Huruf b
Golongan RIM adalah tarif golongan untuk keperluan rumah tangga kecil pada tegangan rendah dengan daya 900 VA.
Golongan R2 adalah golongan tarif untuk keperluan rumah tangga menengah pada tegangan rendah dengan daya 3.500 sampai dengan 5.500 VA. Golongan R3 adalah golongan tarif untuk keperluan rumah tangga besar pada tegangan rendah dengan daya 6.600 VA ke atas. Golongan B1 adalah golongan tarif untuk keperluan bisnis berskala kecil pada tegangan rendah dengan daya 450 sampai dengan 550 VA. Golongan B3 adalah golongan tarif untuk keperluan bisnis berskala besar pada tegangan rendah dengan daya lebih dari 200 kVA. Golongan P adalah golongan tarif untuk publik yang dibagi menjadi golongan Pl, P2 dan P3. Golongan P1 adalah tarif untuk publik dengan daya 459 VA sampai dengan 200kVA. Golongan P2 adalah golongan tarif untuk publik dengan daya di atas 200 kVA. Golongan T adalah golongan tarif traksi untuk perusahaan yang bergerak dibidang transportasi umum yang dioperasikan oleh PT Kereta Api Indonesia dengan daya lebih dari 200 kVA. Golongan C adalah badan usaha Koperasi Unit Desa (KUD) dengan daya lebih dari 200kVA yang memenuhi ketentuan antara lain bergerak di bidang khusus tenaga listrik, mengoperasikan sendiri jaringan tegangan menengah dan tegangan rendah yang memenuhi standar PLN setempat, memegang izin susah ketenagalistrikan untuk kepentingan umum (IUKU) yang sah dengan exclusive right, dan bersedia disamakan dengan pelanggan tidak menuntuk hak ekslusif tertentu. Huruf c
Yang dimaksud dengan Golongan I adalah golongan tarif untuk industri yang dibagi menjadi Golongan 11, 12 dan 13. Golongan 1.1 adalah golongan tarif untuk industri pada tegangan rendah dengan daya 450 VA sampai dengan 14 kVA. Golongan 1.2 adalah golongan tarif untuk industri pada tegangan rendah dengan daya 14kVA sampai dengan 200 kVA. Golongan 1.3 adalah golongan tarif untuk industri pada tegangan rendah dengan daya di atas 200 kVA. Golongan 1.4 adalah golongan tarif untuk industri pada tegangan rendah dengan daya 300 kVA ke atas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 30 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 31 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 32 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 33 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 36 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan air tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 37 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (5) Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 52 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 53 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 54 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 58 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 59 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Angka 4 yang dimaksud catin adalah calon pengantin.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Huruf m
Cukup jelas.
Huruf n
Cukup jelas.
Huruf o
Cukup jelas.
Huruf p
Cukup jelas.
Huruf q
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 60 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 61 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 62 Cukup jelas.
Pasal 63 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 64 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 69 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 72 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 73 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 74 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 75 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 76 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 77 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 78 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 79 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 80 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 81 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 82 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 83 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 84 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 85 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 86 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Pasal 87 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 88 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 91 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 92 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 93 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 94 Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.