Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
1. | Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); |
2. | Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736); |
3. | Peraturan Menteri Keuangan Nomor 114 Tahun 2024 tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1088); |
1. | Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. |
2. | Audit Cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai. |
3. | Audit adalah Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai. |
4. | Audit Umum adalah Audit yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai. |
5. | Audit Investigasi adalah Audit dalam rangka membantu proses penelitian dalam hal terdapat dugaan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai. |
6. | Audit Khusus adalah Audit yang memiliki ruang lingkup dan kriteria pemeriksaan tujuan tertentu terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai. |
7. | Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. |
8. | Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai. |
9. | Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan Audit berdasarkan surat tugas atau surat perintah. |
10. | Auditee adalah Orang yang diaudit oleh Tim Audit. |
11. | Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai. |
12. | Direktur Audit adalah Direktur Audit Kepabeanan dan Cukai. |
13. | Laporan Analisis Objek Audit yang selanjutnya disingkat LAOA adalah laporan yang disusun berdasarkan data dan informasi, berisi analisis risiko yang menghasilkan simpulan dan rekomendasi untuk menentukan objek Audit. |
14. | Laporan Analisis Tujuan Lain yang selanjutnya disingkat LATL adalah laporan yang disusun berdasarkan data dan informasi, berisi analisis risiko yang menghasilkan simpulan dan rekomendasi untuk tujuan lain. |
15. | Nomor Penugasan Audit yang selanjutnya disingkat NPA adalah nomor yang diterbitkan oleh Direktur Audit dan berfungsi sebagai sarana pengawasan pelaksanaan Audit serta menjadi dasar penerbitan surat tugas atau surat perintah. |
16. | Data Audit adalah laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, dan/atau catatan sediaan barang serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai. |
17. | Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis. |
18. | Pekerjaan Kantor adalah pekerjaan dalam rangka Audit yang dilakukan di kantor Pejabat Bea dan Cukai atau di tempat lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan. |
19. | Pekerjaan Lapangan adalah pekerjaan dalam rangka Audit yang dilakukan di tempat Auditee yang dapat meliputi kantor, pabrik, tempat usaha, atau tempat lain, yang diketahui ada kaitannya dengan kegiatan usaha Auditee. |
20. | Sediaan Barang adalah semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai. |
21. | Tindakan Pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen, yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah tempat atau ruangan sampai pemeriksaan dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai dengan tetap mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha. |
22. | Daftar Kuesioner Audit yang selanjutnya disingkat DKA adalah daftar kuesioner yang disampaikan kepada Auditee dalam pelaksanaan Audit Umum untuk menilai kinerja Tim Audit dan tata laksana Audit. |
23. | Teknik Audit Sampling Berdasarkan Risiko Stratejik adalah teknik pengujian substantif berdasarkan manajemen risiko yang dilakukan terhadap kurang dari 100% (seratus persen) unsur dalam populasi Data Audit dan Sediaan Barang. |
24. | Kertas Kerja Audit yang selanjutnya disingkat KKA adalah catatan yang dibuat oleh Tim Audit mengenai prosedur yang digunakan, pengujian yang dilakukan, informasi yang diperoleh, dan kesimpulan yang didapatkan selama penugasan. |
25. | Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan Audit. |
26. | Pembahasan Akhir adalah kegiatan pembahasan yang dilakukan antara Tim Audit dan Auditee atas DTS yang tidak disetujui oleh Auditee. |
27. | Berita Acara Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat BAPA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit tentang penghentian pelaksanaan Audit. |
28 | Berita Acara Hasil Audit yang selanjutnya disingkat BAHA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit atas DTS atau hasil Pembahasan Akhir. |
29. | Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan Audit yang disusun oleh Tim Audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Audit. |
30. | Laporan Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat LPA adalah laporan pelaksanaan Audit yang disusun oleh Tim Audit dalam hal Audit dihentikan. |
31. | Executive Summary adalah uraian singkat yang berisi materi temuan dan penjelasan atas KKA yang menjadi temuan. |
32. | Monitoring adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan untuk mengetahui tingkat penyelesaian atas penetapan kurang bayar dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit. |
33. | Evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai pelaksanaan Audit termasuk berkas hasil Audit atau pelaksanaan audit yang dihentikan dengan sasaran penilaian terkait pemenuhan prosedur dan/atau kesesuaian dengan kriteria yang menjadi dasar pelaksanaan Audit. |
34. | Berkas Hasil Audit adalah LHA, KKA, data pendukung KKA, dan lampirannya sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan. |
35. | Lembar Evaluasi Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LEHA adalah lembar penilaian atas kegiatan Evaluasi Pelaksanaan Audit. |
36. | Lembar Evaluasi Penghentian Audit yang selanjutnya disingkat LEPA adalah lembar penilaian atas kegiatan Evaluasi dalam hal pelaksanaan Audit dihentikan. |
37. | Penjaminan Kualitas adalah rangkaian kegiatan pengendalian atas kualitas pada seluruh proses bisnis kegiatan Audit untuk memberikan keyakinan yang memadai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
38. | Laporan Penjaminan Kualitas Audit yang selanjutnya disingkat LPK Audit adalah laporan atas kegiatan Penjaminan Kualitas yang terkait dengan proses bisnis kegiatan Audit. |
39. | Laporan Hasil Evaluasi Penjaminan Kualitas Audit yang selanjutnya disingkat LHEPK Audit adalah laporan hasil evaluasi atas kegiatan Penjaminan Kualitas yang sudah dilakukan oleh masing-masing unit yang terkait dengan proses bisnis kegiatan Audit. |
40. | Eksaminasi Hasil Audit adalah kegiatan evaluasi pada tahap laporan yang meliputi pemeriksaan atau pengujian atas hasil penugasan Audit yang telah diselesaikan oleh Tim Audit. |
41. | Laporan Eksaminasi Hasil Audit adalah laporan hasil pemeriksaan atau pengujian atas hasil penugasan Audit yang telah diselesaikan oleh Tim Audit. |
42. | Direktorat Audit adalah Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
43. | Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah instansi vertikal yang terdiri dari kantor wilayah dan kantor wilayah khusus yang berada dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal. |
44. | Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan Utama adalah instansi vertikal yang berada dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal. |
45. | Kantor Pengawasan dan Pelayanan adalah Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai. |
a. | Audit Umum; |
b. | Audit Investigasi; dan |
c. | Audit Khusus. |
(1) | Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilaksanakan berdasarkan permintaan Direktur Penindakan dan Penyidikan, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. |
(2) | Direktur Audit dapat meminta penjelasan atas permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum menyetujui dilakukan Audit Investigasi. |
(3) | Pelaksanaan Audit Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didahulukan dari Audit Umum dan Audit Khusus guna penyelesaian secepatnya. |
(1) | Audit Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c, dapat berupa:
|
||||
(2) | Audit Khusus dalam rangka keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan permintaan Pejabat Bea dan Cukai yang mempuyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang keberatan kepabeanan dan cukai. | ||||
(3) | Direktur Audit dapat meminta penjelasan atas permintaan Audit Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebelum menyetujui dilakukan Audit Khusus. |
(1) | Periode Audit Umum ditetapkan selama 21 (dua puluh satu) bulan sampai dengan akhir bulan sebelum bulan penerbitan surat tugas. |
(2) | Periode Audit Investigasi dan Audit Khusus ditetapkan sesuai kebutuhan. |
(3) | Dalam hal periode Audit Umum kurang dari 21 (dua puluh satu) bulan, periode Audit Umum dimulai sejak akhir periode Audit Umum sebelumnya atau sejak Auditee melakukan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai, sampai dengan akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas. |
a. | Direktur Audit melalui Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang perencanaan Audit; atau |
b. | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama melalui Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk untuk menyelenggarakan fungsi di bidang perencanaan Audit. |
a. | melakukan akses data kepabeanan dan cukai secara elektronik; |
b. | meminta data dan/atau informasi kepada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/ atau |
c. | meminta data dan/atau informasi kepada instansi di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) | Proses penentuan objek Audit dilakukan melalui:
|
||||||
(2) | Proses penentuan objek analisis tujuan lain dilakukan melalui:
|
(1) | Penentuan objek analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a dan Pasal 9 ayat (2) huruf a dilakukan berdasarkan manajemen risiko. | ||||||||||
(2) | Penentuan objek analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||||||||
(3) | Penentuan tema atau isu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dilakukan bersama unit satuan kerja lainnya. | ||||||||||
(4) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi rekomendasi dari:
|
||||||||||
(5) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a sampai dengan huruf d minimal memuat informasi mengenai:
|
||||||||||
(6) | Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e minimal memuat informasi mengenai:
|
(1) | Penentuan objek analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
|
||||||
(2) | Dalam proses penetapan objek analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dilakukan rapat pembahasan oleh:
|
||||||
(3) | Hasil rapat pembahasan penetapan objek analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam daftar nominasi objek analisis yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Kegiatan analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b dan Pasal 9 ayat (2) huruf b dilakukan terhadap daftar nominasi objek analisis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3). | ||||||||
(2) | Tahapan kegiatan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan data, proses penelitian, quality assurance perencanaan, dan penyusunan laporan analisis. | ||||||||
(3) | Kegiatan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh tim analis pada Direktorat Audit, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama. | ||||||||
(4) | Tim analis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan tim yang ditetapkan oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama untuk melakukan analisis dalam rangka perencanaan Audit dan analisis tujuan lain. | ||||||||
(5) | Susunan tim analis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) terdiri dari:
|
(1) | Penyediaan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan oleh:
|
||||
(2) | Penyedia data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk pada Direktorat Audit, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama untuk melakukan kegiatan penentuan kebutuhan data, identifikasi sumber data, dan pengumpulan data dalam rangka kegiatan analisis Audit dan analisis tujuan lain. | ||||
(3) | Penyaji data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk pada Direktorat Audit, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama untuk melakukan kegiatan penyajian, pelaporan, evaluasi, dan pengelolaan data dalam rangka kegiatan analisis Audit dan analisis tujuan lain. |
(1) | Quality assurance perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan terhadap hasil penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15. |
(2) | Kegiatan quality assurance perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk memastikan kesesuaian hasil penelitian dengan kriteria dan parameter. |
(3) | Kegiatan quality assurance perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk pada Direktorat Audit, Kantor Wilayah, atau Kantor Pelayanan Utama. |
(4) | Hasil quality assurance perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan ke dalam berita acara quality assurance perencanaan. |
(5) | Tindak lanjut dari kegiatan quality assurance perencanaan dapat berupa LAOA dan/atau LATL. |
(6) | Berita acara quality assurance perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(7) | LAOA dan/atau LATL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Usulan penerbitan NPA pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dilakukan melalui rapat pembahasan. |
(2) | Rapat pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk untuk menyelenggarakan fungsi perencanaan Audit. |
(3) | Dalam rapat pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemilihan LAOA untuk diusulkan penerbitan NPA yang dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko. |
(4) | Hasil rapat pembahasan sebagaimana pada ayat (1) dituangkan ke dalam berita acara rapat pembahasan usulan NPA. |
(5) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menyampaikan usulan penerbitan NPA kepada Direktur Audit yang dilampiri dengan LAOA. |
(6) | Dalam hal analisis tujuan lain, dilakukan penyampaian LATL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. |
(7) | Berita acara rapat pembahasan usulan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(8) | Usulan penerbitan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Usulan penerbitan NPA pada Direktorat Audit dilakukan melalui rapat pembahasan. | ||||
(2) | Rapat pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai pada Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang perencanaan Audit. | ||||
(3) | Dalam rapat pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemilihan LAOA untuk diusulkan penerbitan NPA yang dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko. | ||||
(4) | Rapat pembahasan penerbitan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan:
|
||||
(5) | Hasil rapat pembahasan sebagaimana pada ayat (2) dituangkan ke dalam berita acara pembahasan penerbitan NPA. | ||||
(6) | Berdasarkan berita acara pembahasan penerbitan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Audit memberikan persetujuan pelaksanaan Audit dengan menerbitkan NPA. | ||||
(7) | NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada:
|
||||
(8) | Dalam hal analisis tujuan lain, dilakukan penyampaian LATL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf c kepada Direktur Audit. | ||||
(9) | Berita acara pembahasan penerbitan NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(10) | NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(11) | Penyampaian NPA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim analis bertanggung jawab terhadap kesimpulan hasil analisis berdasarkan data dan informasi yang diperoleh selama menjalankan kegiatan analisis. |
(2) | Tim analis harus merahasiakan segala informasi yang telah diperoleh pada kegiatan analisis kepada pihak lain yang tidak berhak. |
(1) | Kegiatan pelaksanaan Audit dilakukan oleh Tim Audit berdasarkan:
|
||||
(2) | Penerbitan surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh:
|
||||
(3) | Penerbitan surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan oleh:
|
||||
(4) | Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya NPA. | ||||
(5) | Dalam hal surat tugas atau surat perintah tidak diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Subdirektorat yang melaksanakan tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang pelaksanaan Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Audit paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya. | ||||
(6) | Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditembuskan kepada:
|
||||
(7) | Surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada:
|
||||
(8) | Audit Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilaksanakan berdasarkan NPA umum. | ||||
(9) | Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilaksanakan berdasarkan NPA investigasi. | ||||
(10) | Audit Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf c dilaksanakan berdasarkan NPA khusus. | ||||
(11) | Surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(12) | Surat perintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Dalam hal terdapat perubahan susunan keanggotaan Tim Audit pada Audit Umum atau Audit Khusus, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) menerbitkan surat tugas penggantian. |
(2) | Dalam hal terdapat perubahan susunan keanggotaan Tim Audit pada Audit Investigasi, Direktur Jenderal, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) menerbitkan surat perintah penggantian. |
(3) | Berdasarkan surat tugas atau surat perintah penggantian keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), anggota Tim Audit yang ditugaskan dan anggota Tim Audit yang digantikan membuat berita acara serah terima pekerjaan. |
(4) | Surat tugas penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat perintah penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(5) | Berita acara serah terima pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Surat tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) dilaksanakan untuk jangka waktu selama 3 (tiga) bulan. |
(2) | Jangka waktu surat tugas sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat diperpanjang untuk paling lama 3 (tiga) bulan untuk setiap perpanjangan sampai dengan diterbitkannya LHA. |
a. | Tim Audit dengan dilampiri LAOA; dan |
b. | Auditee. |
(1) | Tim Audit dapat mengajukan permohonan perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi paling lama 10 (sepuluh) tahun, dalam hal:
|
||||||||
(2) | Perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi seluruh atau sebagian dari objek Audit. | ||||||||
(3) | Permohonan perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan. | ||||||||
(4) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menyetujui atau menolak permohonan perpanjangan periode Audit yang diajukan oleh Tim Audit. | ||||||||
(5) | Permohonan perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||||
(6) | Persetujuan atau penolakan permohonan perpanjangan periode Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Penyampaian surat tugas kepada Auditee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf b untuk jenis Audit Umum dilengkapi dengan DKA. |
(2) | DKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Auditee untuk diisi dan disampaikan kembali kepada Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan surat tugas. |
(3) | DKA yang telah diisi oleh Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat rahasia dan digunakan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan surat tugas untuk menilai kinerja Tim Audit dan tata laksana Audit. |
(4) | DKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Sebelum pelaksanaan Audit untuk jenis Audit Umum dan/atau Audit Khusus, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan penjelasan tentang pelaksanaan Audit kepada Auditee. |
(2) | Undangan untuk melaksanakan kegiatan pemberian penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Setelah menerima surat tugas atau surat perintah yang dilengkapi LAOA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 huruf a, Tim Audit harus menyusun rencana kerja Audit dan program Audit, paling lambat sebelum tanggal dimulainya Pekerjaan Lapangan. |
(2) | Penyusunan rencana kerja Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(3) | Penyusunan program Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai sesuai ruang lingkup Audit berdasarkan pertimbangan Tim Audit. |
(4) | Rencana kerja Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau program Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan perubahan dalam hal Tim Audit menemukan kondisi yang berbeda saat melakukan Audit dengan kondisi awal yang dijadikan pertimbangan saat membuat rencana kerja Audit dan/atau program Audit. |
(1) | Pelaksanaan Audit meliputi:
|
||||
(2) | Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan berdasarkan surat tugas Pekerjaan Lapangan. | ||||
(3) | Surat tugas Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mencantumkan tanggal dimulai dan berakhirnya Pekerjaan Lapangan. | ||||
(4) | Jangka waktu Pekerjaan Lapangan ditetapkan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja. | ||||
(5) | Surat tugas Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dimulainya penugasan Pekerjaan Lapangan sebagaimana tercantum dalam surat tugas Pekerjaan Lapangan. |
(2) | Dalam hal pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebelum jangka waktu penyelesaian Audit berakhir. |
(3) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit menjadi paling lama 12 (dua belas) bulan dengan jangka waktu perpanjangan paling lama 3 (tiga) bulan untuk setiap permohonan. |
(4) | Dalam hal pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 9 (sembilan) bulan terhitung sejak tanggal dimulainya Pekerjaan Lapangan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus melakukan tindakan yang dianggap perlu untuk meyakinkan kepastian penyelesaian Audit. |
(5) | Dalam hal berdasarkan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperkirakan pelaksanaan Audit tidak dapat diselesaikan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama harus mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit kepada Direktur Jenderal sebelum jangka waktu 12 (dua belas) bulan berakhir. |
(6) | Direktur Jenderal dapat memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Persetujuan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) ditindaklanjuti dengan penerbitan perpanjangan surat tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2). |
(8) | Permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(9) | Permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit kepada Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(10) | Persetujuan atas permohonan perpanjangan jangka waktu penyelesaian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(11) | Perpanjangan surat tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf N yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan |
(1) | Pekerjaan Lapangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a meliputi kegiatan :
|
||||||||||||
(2) | Dalam tahap penyampaian surat tugas atau surat perintah dan pelaksanaan observasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Tim Audit melaksanakan kegiatan sebagai berikut:
|
||||||||||||
(3) | Dalam tahap pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Tim Audit:
|
||||||||||||
(4) | Pakta integritas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf O yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||||||||
(5) | Permintaan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya sesuai secara tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf P yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim Audit menyampaikan laporan perkembangan pelaksanaan Audit kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama paling lambat tanggal 10 (sepuluh) setiap bulan sampai dengan diterbitkan LHA. |
(2) | Dalam hal batas waktu penyampaian laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. |
(3) | Laporan perkembangan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf Q yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim Audit dapat melakukan pemeriksaan dan/atau pencacahan Sediaan Barang dalam pelaksanaan Pekerjaan Lapangan sesuai rencana kerja Audit dan program Audit yang telah disusun. |
(2) | Dalam hal diperlukan, Tim Audit dapat meminta bantuan Pejabat Bea dan Cukai lainnya dan/atau tenaga ahli untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pencacahan Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Sebelum pelaksanaan pemeriksaan dan/atau pencacahan Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit harus memberitahukan secara tertulis mengenai rencana pelaksanaan pemeriksaan dan/atau pencacahan kepada Auditee. |
(4) | Pemberitahuan secara tertulis mengenai rencana pelaksanaan pemeriksaan dan/atau pencacahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dilakukan untuk Audit Investigasi. |
(5) | Pemeriksaan dan/atau pencacahan Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan Teknik Audit Sampling Berdasarkan Risiko Stratejik atau teknik Audit lainnya. |
(6) | Hasil dari pemeriksaan dan/atau pencacahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan dan/atau pencacahan Sediaan Barang. |
(7) | Pemberitahuan rencana pemeriksaan dan/atau pencacahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf R yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(8) | Berita acara pemeriksaan dan/atau pencacahan Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf S yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(1) | Dalam hal Auditee menolak untuk dilakukan Audit, Tim Audit membuat surat pernyataan menolak membantu kelancaraan Audit yang ditandatangani Auditee. |
(2) | Dalam hal Auditee menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit membuat berita acara menolak membantu kelancaran Audit. |
(3) | Surat pernyataan menolak membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(4) | Berita acara menolak membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) huruf a, Auditee menyerahkan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(2) | Dalam hal Auditee mengajukan permohonan perpanjangan jangka waktu penyerahan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Tim Audit dapat memberikan persetujuan perpanjangan jangka waktu penyerahan paling lama 3 (tiga) hari kerja. | ||||
(3) | Penyerahan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan ke dalam formulir bukti penyerahan dan pengembalian data audit yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(4) | Persetujuan perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf W yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim Audit menerbitkan surat peringatan I, dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya untuk kepentingan Audit secara lengkap dalam jangka waktu penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a dan/atau perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2). |
(2) | Tim Audit menerbitkan surat peringatan II, dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya untuk kepentingan Audit secara lengkap dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal surat peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima oleh Auditee. |
(3) | Auditee dianggap menolak membantu kelancaran Audit, dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya untuk kepentingan Audit secara lengkap dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak tanggal surat peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima oleh Auditee. |
(4) | Tim Audit membuat surat pernyataan menolak membantu kelancaran Audit yang ditandatangani Auditee, dalam hal Auditee dianggap menolak membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Tim Audit membuat berita acara menolak membantu kelancaran Audit, dalam hal Auditee menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(6) | Surat peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(7) | Surat peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf Y yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. |
(8) | Surat pernyataan menolak membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf T yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(9) | Berita acara menolak membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf U yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim Audit dapat mengajukan rekomendasi pemblokiran akses kepabeanan dan/atau rekomendasi pembekuan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai, dalam hal:
|
||||
(2) | Dalam hal kondisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah dipenuhi oleh Auditee, Tim Audit dapat mengajukan rekomendasi pembukaan blokir akses kepabeanan dan/atau rekomendasi pencabutan pembekuan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. | ||||
(3) | Pemblokiran akses kepabeanan dan/atau pembekuan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pembukaan blokir akses kepabeanan dan/atau pencabutan pembekuan Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai registrasi kepabeanan dan/atau peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai. |
a. | Auditee tidak memberi kesempatan kepada Tim Audit untuk memasuki bangunan kegiatan usaha, ruangan tempat untuk menyimpan Data Audit termasuk sarana/media penyimpan Data Elektronik, pita cukai atau tanda pelunasan cukai lainnya, Sediaan Barang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan kegiatan usaha dan/atau tempat lain yang dianggap penting; |
b. | diperlukan upaya untuk melakukan pengamanan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya oleh Tim Audit; dan/atau |
c. | Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya untuk kepentingan Audit Investigasi secara lengkap dalam jangka waktu penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b. |
(1) | Direktur Jenderal, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menghentikan pelaksanaan Audit, dalam hal:
|
||||||||||||
(2) | Kondisi kahar yang merupakan keadaan bencana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f berupa bencana alam, bencana non alam, dan/atau bencana sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanggulangan bencana. | ||||||||||||
(3) | Dalam hal pelaksanaan Audit dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit membuat BAPA. | ||||||||||||
(4) | BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3), digunakan untuk menyusun LPA. | ||||||||||||
(5) | Berdasarkan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menerbitkan :
|
||||||||||||
(6) | Terhadap Auditee yang pelaksanaan Auditnya dihentikan, Tim Audit dapat:
|
||||||||||||
(7) | Tim Audit menyampaikan LPA beserta lampirannya dalam bentuk salinan cetak dan salinan digital kepada:
|
||||||||||||
(8) | BAPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf Z yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||||||||
(9) | LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf AA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||||||||
(10) | Nota dinas pemberitahuan penghentian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf BB yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||||||||
(11) | Surat pemberitahuan penghentian Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf CC yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini . |
(1) | Tim Audit melakukan pengujian terhadap Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya untuk kepentingan Audit yang diterima dari Auditee dan/atau yang dimiliki oleh Tim Audit berdasarkan program Audit yang disusun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3). |
(2) | Dalam hal Auditee menolak membantu kelancaran Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) atau Pasal 36 ayat (3), Tim Audit tetap melakukan pengujian dengan data yang dimiliki oleh Tim Audit. |
(3) | Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Audit Sampling Berdasarkan Risiko Stratejik. |
(1) | Dalam hal pada saat pengujian terhadap Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 terdapat potensi temuan yang peka waktu atas:
|
||||
(2) | Penyampaian permohonan usulan penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(3) | Tata cara permohonan penelitian ulang dari Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan yang mengatur mengenai penelitian ulang. | ||||
(4) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan. | ||||
(5) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diberikan:
|
||||
(6) | Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan persetujuan, penelitian ulang dapat dilaksanakan oleh Tim Audit. | ||||
(7) | Hasil pelaksanaan penelitian ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dituangkan ke dalam LHA. | ||||
(8) | Permohonan usulan penelitian ulang kepada Direktur Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf DD yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(9) | Permohonan usulan penelitian ulang kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf EE yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(10) | Persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf FF yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Terhadap proses dan hasil dari pengujian Data Audit, contoh Sediaan Barang, dan informasi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, dituangkan ke dalam KKA. |
(2) | KKA disusun oleh Tim Audit dengan dilampiri data pendukung KKA dalam bentuk elektronik. |
(1) | Tim Audit menyusun DTS berdasarkan hasil pengujian yang tertuang dalam KKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43. |
(2) | Penyusunan DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dilakukan untuk jenis Audit Umum atau Audit Khusus yang menimbulkan penetapan. |
(3) | DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf GG yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Sebelum Tim Audit menyusun DTS, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta quality assurance pelaksanaan. |
(2) | Quality assurance pelaksanaan merupakan kegiatan penelaahan terhadap proses pelaksanaan Audit yang dilaksanakan guna mendapatkan keyakinan yang memadai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(3) | Quality assurance pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh tim quality assurance pelaksanaan yang ditunjuk oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. |
(4) | Tim quality assurance pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyajikan hasil quality assurance pelaksanaan pada risalah quality assurance. |
(5) | Dalam melakukan quality assurance pelaksanaan, tim quality assurance pelaksanaan melalui Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta bantuan kepada unit lain di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau instansi lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(6) | Dalam hal diperlukan, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta dilaksanakan quality assurance pelaksanaan sebelum LHA diterbitkan. |
(7) | Risalah Quality Assurance dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf HH yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim Audit menyampaikan DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) kepada Auditee untuk diberikan tanggapan. | ||||||
(2) | Penyampaian DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat pengantar yang ditandatangani oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | ||||||
(3) | Sebelum surat pengantar DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta Tim Audit untuk melakukan pemaparan atas temuan Audit secara langsung. | ||||||
(4) | Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||
(5) | Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal DTS diterima oleh Auditee dan dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan perpanjangan jangka waktu. | ||||||
(6) | Berdasarkan permohonan Auditee sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat memberikan perpanjangan waktu penyampaian tanggapan paling lama 7 (tujuh) hari kerja. | ||||||
(7) | Dalam hal Auditee tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan/atau ayat (6), Auditee dianggap menerima seluruh temuan hasil Audit dalam DTS. | ||||||
(8) | Surat pengantar penyampaian DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||
(9) | Perpanjangan jangka waktu penyampaian tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf JJ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Dalam hal Auditee memberikan tanggapan terhadap DTS berupa menerima seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4) huruf a, Tim Audit membuat Lembar Persetujuan DTS untuk ditandatangani oleh Auditee. | ||||
(2) | Dalam hal:
|
||||
(3) | Lembar Persetujuan DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf KK yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(4) | BAHA tanpa Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf LL yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Dalam hal Auditee memberikan tanggapan terhadap DTS berupa menolak sebagian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4) huruf b atau menolak seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (4) huruf c, Tim Audit dan Auditee melakukan Pembahasan Akhir. | ||||||
(2) | Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Surat undangan Pembahasan Akhir diterbitkan oleh:
|
||||||
(4) | Tanggal pelaksanaan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan 1 (satu) kali perubahan menjadi paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal berakhirnya jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berdasarkan permohonan Auditee. | ||||||
(5) | Surat undangan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf MM yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||
(6) | Persetujuan perubahan tanggal pelaksanaan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf NN yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Proses Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dituangkan dalam risalah Pembahasan Akhir. | ||||||
(2) | Berdasarkan risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit menyusun hasil Pembahasan Akhir. | ||||||
(3) | Tim Audit membuat BAHA dengan Pembahasan Akhir berdasarkan hasil Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||
(4) | Auditee dianggap menerima seluruh temuan hasil Audit dalam DTS, dalam hal:
|
||||||
(5) | Tim Audit membuat BAHA tanpa Pembahasan Akhir dalam hal Auditee dianggap menerima seluruh temuan hasil Audit dalam DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||||
(6) | Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf OO yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||
(7) | Hasil Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf PP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||
(8) | BAHA dengan Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf QQ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||
(9) | BAHA tanpa Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf LL yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | BAHA tanpa Pembahasan Akhir yang dibuat berdasarkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a dilampiri dengan lembar persetujuan DTS yang telah ditandatangani oleh Auditee. | ||||||||||
(2) | BAHA tanpa Pembahasan Akhir yang dibuat berdasarkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf b dilampiri dengan DTS yang tidak ditanggapi oleh Auditee. | ||||||||||
(3) | BAHA tanpa Pembahasan Akhir yang dibuat berdasarkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) huruf a dilampiri dengan:
|
||||||||||
(4) | BAHA tanpa pembahasan akhir yang dibuat berdasarkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) huruf b dilampiri dengan:
|
||||||||||
(5) | BAHA tanpa pembahasan akhir yang dibuat berdasarkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (4) huruf c dilampiri dengan:
|
||||||||||
(6) | BAHA dengan Pembahasan Akhir yang dibuat berdasarkan kondisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3) dilampiri dengan:
|
||||||||||
(7) | BAHA dengan Pembahasan Akhir beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (6) ditandatangani oleh Tim Audit dan Auditee. |
a. | temuan Audit yang disetujui oleh Auditee; |
b. | temuan Audit yang dibatalkan oleh Tim Audit; dan/atau |
c. | temuan Audit yang dipertahankan oleh Tim Audit. |
(1) | Tim Audit menuangkan hasil pelaksanaan:
|
||||
(2) | Dalam hal terdapat penetapan, LHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:
|
||||
(3) | Tim Audit menuangkan hasil pelaksanaan:
|
||||
(4) | LHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) ditandatangani oleh Tim Audit sesuai kewenangannya. | ||||
(5) | LHA yang disusun berdasarkan BAHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf RR yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(6) | LHA yang disusun berdasarkan KKA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf SS yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Tim Audit menyampaikan Berkas Hasil Audit dalam bentuk salinan cetak dan salinan digital kepada:
|
||||||
(2) | Berkas Hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diterima oleh Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal penerbitan LHA. | ||||||
(3) | Executive Summary sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf TT yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||
(4) | Penyampaian Berkas Hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan surat pengantar yang dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf UU yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) digunakan sebagai dasar:
|
||||||||
(2) | Penetapan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dituangkan dalam:
|
||||||||
(3) | Penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dituangkan dalam:
|
||||||||
(4) | Penerbitan surat tindak lanjut hasil Audit Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan dalam hal:
|
||||||||
(5) | Pihak-pihak terkait harus menindaklanjuti rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b dan menyampaikan hasil tindak lanjutnya kepada Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama. | ||||||||
(6) | Dalam hal rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dapat dilakukan, pihak-pihak yang terkait harus memberikan penjelasan tertulis. | ||||||||
(7) | Penerbitan surat tindak lanjut hasil Audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam hal pelaksanaan Audit Cukai. | ||||||||
(8) | Surat tindak lanjut hasil Audit Kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf VV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||||||
(9) | Surat tindak lanjut hasil Audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf WW yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (3) digunakan sebagai dasar penerbitan surat tindak lanjut hasil Audit. |
(2) | Surat tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk ditindaklanjuti sesuai ketentuan dan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai. |
(1) | Surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean dan surat penetapan kembali perhitungan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) ditandatangani oleh:
|
||||||
(2) | Surat penetapan pabean dan surat penetapan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3), surat tindak lanjut hasil Audit Kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4), dan surat tindak lanjut hasil Audit Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (7) ditandatangani oleh:
|
||||||
(3) | Surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai, surat penetapan kembali perhitungan bea keluar, surat penetapan pabean, dan surat penetapan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam peraturan yang mengatur mengenai bentuk dan isi surat penetapan, surat keputusan, surat teguran, dan surat paksa. |
(1) | Surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf a, surat penetapan kembali perhitungan bea keluar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) huruf b, surat penetapan pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf a, surat penetapan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (3) huruf b, dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (7):
|
||||
(2) | Surat tindak lanjut hasil Audit Kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (4) disampaikan kepada setiap pihak terkait. | ||||
(3) | Surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai, surat penetapan kembali perhitungan bea keluar, surat penetapan pabean, dan surat penetapan sanksi administrasi disampaikan kepada pihak-pihak terkait dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||
(4) | Dalam hal Audit dilaksanakan oleh Tim Audit pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama, penyampaian surat penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kantor Pengawasan dan Pelayanan yang berada diluar wilayah kerjanya, harus ditembuskan juga kepada Kepala Kantor Wilayah tempat pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai. | ||||
(5) | Pejabat Bea dan Cukai yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b harus melakukan pemantauan atas pelaksanaan penagihan. | ||||
(6) | Surat dan nota dinas penyampaian surat penetapan atas hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(7) | Penjelasan temuan hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf YY yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Direktur Jenderal dapat menerbitkan kembali surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean atas objek yang telah dilakukan Audit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean impor, dalam hal ditemukan bukti baru yang mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk dan/atau pajak dalam rangka impor setelah dilakukan Audit. | ||||
(2) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Direktur Jenderal dapat menerbitkan kembali surat penetapan kembali perhitungan bea keluar atas objek yang telah dilakukan Audit dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean ekspor, dalam hal ditemukan bukti baru yang mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea keluar setelah dilakukan Audit. | ||||
(3) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat menerbitkan kembali surat penetapan pabean dan/atau surat penetapan sanksi administrasi atas objek yang telah dilakukan Audit dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan pabean, dalam hal ditemukan bukti baru yang mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk, cukai, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda setelah dilakukan Audit. | ||||
(4) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Direktur Jenderal dapat menerbitkan kembali surat tindak lanjut hasil Audit Cukai atas objek yang telah dilakukan Audit dalam jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pemberitahuan dokumen cukai, dalam hal terdapat bukti baru yang mengakibatkan kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran cukai setelah dilakukan Audit. | ||||
(5) | Bukti baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) merupakan:
|
(1) | Pejabat Bea dan Cukai yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang monitoring dan evaluasi pada Direktorat Audit, Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk di Kantor Wilayah, dan Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk di Kantor Pelayanan Utama harus menatausahakan hasil Audit. |
(2) | Tata cara penatausahaan hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf ZZ yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Untuk setiap Audit yang dilaksanakan di Direktorat Audit, Kantor Wilayah, dan Kantor Pelayanan Utama harus dibuat laporan pelaksanaan Audit. | ||||
(2) | Laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh:
|
||||
(3) | Laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan kepada Direktur Audit dan ditembuskan kepada Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan Audit. | ||||
(4) | Laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan kepada Direktur Audit. | ||||
(5) | Laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disampaikan dalam bentuk salinan digital paling lambat tanggal 5 (lima) setiap bulan, untuk pelaksanaan Audit bulan sebelumnya. | ||||
(6) | Dalam hal batas waktu penyampaian laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. | ||||
(7) | Laporan pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II huruf AAA yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) berisi:
|
||||||||||
(2) | Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, dan Kepala Kantor Pelayanan Utama:
|
||||||||||
(3) | Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
|
||||||||||
(4) | Dalam hal tertentu, Monitoring atas penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat dilakukan oleh Direktur Audit. | ||||||||||
(5) | Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dalam bentuk kegiatan:
|
||||||||||
(6) | Kegiatan Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan sumber data dari:
|
(1) | Kegiatan pengumpulan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) huruf a dilakukan dengan cara mengumpulkan seluruh penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit untuk mendapatkan objek data yang digunakan untuk kegiatan Monitoring. |
(2) | Pengumpulan penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Kegiatan tabulasi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) huruf b dilakukan dengan cara menyusun dan memasukkan data yang dikumpulkan dari Berkas Hasil Audit, penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit ke dalam lembar tabulasi penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit. |
(2) | Lembar tabulasi penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Kegiatan pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 ayat (5) huruf c dilakukan dengan menyampaikan seluruh hasil pemanfaatan data selama proses kegiatan Monitoring kepada Direktur Audit menggunakan laporan Monitoring penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit. | ||||
(2) | Laporan Monitoring penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh:
|
||||
(3) | Laporan Monitoring penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk salinan digital paling lambat tanggal 7 (tujuh) setiap bulan. | ||||
(4) | Dalam hal batas waktu penyampaian laporan Monitoring penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. | ||||
(5) | Laporan Monitoring penetapan dan/atau surat tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Evaluasi atas Berkas Hasil Audit dan LPA beserta lampirannya yang diterima dilakukan oleh:
|
||||
(2) | Dalam hal tertentu, Berkas Hasil Audit dan/atau LPA beserta lampirannya pada Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama dapat dilakukan Evaluasi oleh Direktur Audit. | ||||
(3) | Evaluasi atas Berkas Hasil Audit dan LPA beserta lampirannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(4) | Dalam hal Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk jenis:
|
(1) | Dalam melaksanakan kegiatan Evaluasi, Direktur Audit, Kepala Kantor Wilayah, Kepala Kantor Pelayanan Utama, atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dapat melakukan konfirmasi kepada Tim Audit. |
(2) | Tim Audit harus memenuhi permintaan konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Hasil dari kegiatan Evaluasi Berkas Hasil Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dituangkan ke dalam:
|
||||
(2) | Hasil dari kegiatan Evaluasi LPA beserta lampirannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 dituangkan ke dalam LEPA untuk hasil Evaluasi terkait pemenuhan prosedur pelaksanaan Audit yang dihentikan. | ||||
(3) | LEHA I, LEHA II, dan LEPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dapat dikirimkan kepada Tim Audit. | ||||
(4) | Direktorat Audit, Kantor Wilayah, dan Kantor Pelayanan Utama melakukan penatausahaan atas hasil Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). | ||||
(5) | LEHA I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(6) | LEHA II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. | ||||
(7) | LEPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf G yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Hasil Evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan kepada:
|
||||
(2) | Dalam hal batas waktu pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jatuh pada hari libur, penyampaian laporan hasil Evaluasi dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. | ||||
(3) | Laporan hasil Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf H yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
a. | profiling para pihak yang terlibat dalam kegiatan Audit; |
b. | Eksaminasi Hasil Audit; |
c. | rekomendasi kepada unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan unit lain di luar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; |
d. | rekomendasi penyempurnaan peraturan perundang-undangan; dan/atau |
e. | bimbingan kepatuhan para pihak yang terlibat dalam kegiatan Audit. |
a. | perencanaan Audit; |
b. | pelaksanaan Audit; dan |
c. | Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA. |
(1) | Kegiatan Penjaminan Kualitas pada tahap perencanaan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf a dilakukan oleh:
|
||||
(2) | Penjaminan Kualitas pada tahap perencanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal dilakukan terhadap kegiatan:
|
||||
(3) | Hasil Penjaminan Kualitas pada tahap perencanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam LPK Audit Tahap Perencanaan. | ||||
(4) | LPK Audit Tahap Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan NPA yang terbit. | ||||
(5) | LPK Audit Tahap Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada:
|
||||
(6) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama meneruskan LPK Audit Tahap Perencanaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b kepada Direktur Audit. | ||||
(7) | LPK Audit Tahap Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun tiap semester dengan ketentuan:
|
||||
(8) | Dalam hal batas waktu penyampaian LPK Audit Tahap Perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) jatuh pada hari libur, penyampaian LPK Audit Tahap Perencanaan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. | ||||
(9) | LPK Tahap Perencanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Kegiatan Penjaminan Kualitas pada tahap pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf b dilakukan oleh:
|
||||||||||||||
(2) | Penjaminan Kualitas pada tahap pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) minimal dilakukan terhadap kegiatan:
|
||||||||||||||
(3) | Hasil Penjaminan Kualitas pada tahap pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam LPK Audit Tahap Pelaksanaan. | ||||||||||||||
(4) | LPK Audit Tahap Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan surat tugas yang terbit. | ||||||||||||||
(5) | LPK Audit Tahap Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada:
|
||||||||||||||
(6) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama meneruskan LPK Audit Tahap Pelaksanaan yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b kepada Direktur Audit. | ||||||||||||||
(7) | LPK Audit Tahap Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun tiap semester dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(8) | Dalam hal batas waktu penyampaian LPK Audit Tahap Pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) jatuh pada hari libur, penyampaian LPK Audit Tahap Pelaksanaan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. | ||||||||||||||
(9) | LPK tahap Pelaksanaan Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf J yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Kegiatan Penjaminan Kualitas pada tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 huruf c dilakukan oleh:
|
||||||
(2) | Penjaminan kualitas pada tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kegiatan:
|
||||||
(3) | Hasil Penjaminan Kualitas pada tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam LPK Audit Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA. | ||||||
(4) | LPK Audit Tahap Monitoring dan Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun berdasarkan:
|
||||||
(5) | LPK Audit Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada:
|
||||||
(6) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama meneruskan LPK Audit Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA yang diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b kepada Direktur Audit. | ||||||
(7) | LPK Audit Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun tiap semester dengan ketentuan:
|
||||||
(8) | Dalam hal batas waktu penyampaian LPK Audit Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana dimaksud pada ayat (7) jatuh pada hari libur, penyampaian LPK Audit Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. | ||||||
(9) | LPK Tahap Monitoring dan Evaluasi Berkas Hasil Audit dan LPA sebagaimana pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf K yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang evaluasi hasil pelaksanaan Penjaminan Kualitas Audit melakukan evaluasi atas pelaksanaan Penjaminan Kualitas. | ||||||
(2) | Kegiatan evaluasi Penjaminan Kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk memenuhi standar kualitas dengan melakukan evaluasi terhadap:
|
||||||
(3) | Dalam melaksanakan kegiatan evaluasi Penjaminan Kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang evaluasi hasil pelaksanaan Penjaminan Kualitas Audit dapat:
|
||||||
(4) | Kepala Subdirektorat atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk yang melakukan Penjaminan Kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1), Pasal 75 ayat (1), dan Pasal 76 ayat (1) harus memberikan data dan/atau menjawab konfirmasi berdasarkan permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||
(5) | Hasil kegiatan evaluasi Penjaminan Kualitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan ke dalam LHEPK Audit. | ||||||
(6) | LHEPK Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan kepada Direktur Audit paling lambat pada:
|
||||||
(7) | LHEPK Audit sebagaimana dimaksud ayat (6) digunakan sebagai rekomendasi bagi para Pejabat Bea dan Cukai yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang Audit. | ||||||
(8) | LHEPK Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf L yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Direktur Audit dapat meminta LPK Audit sewaktu-waktu kepada Kepala Subdirektorat atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk yang melakukan Penjaminan Kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a, Pasal 75 ayat (1) huruf a, dan Pasal 76 ayat (1) huruf a. |
(2) | Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama dapat meminta LPK Audit sewaktu-waktu kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk yang melakukan Penjaminan Kualitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b, Pasal 75 ayat (1) huruf b, dan Pasal 76 ayat (1) huruf b. |
(3) | LPK Audit sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam bentuk salinan cetak dan/atau salinan digital kepada Direktur Audit paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah tanggal permintaan diterima. |
(4) | LPK Audit sewaktu-waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dalam bentuk salinan cetak dan/atau salinan digital kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung setelah tanggal permintaan diterima. |
(5) | Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang evaluasi hasil pelaksanaan Penjaminan Kualitas Audit melakukan evaluasi atas LPK Audit sewaktu-waktu. |
(6) | Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dituangkan ke dalam LHEPK Audit. |
(7) | LHEPK Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disampaikan kepada Direktur Audit paling lama 20 (dua puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal LPK Audit sewaktu-waktu diterima. |
(1) | Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang evaluasi hasil pelaksanaan Penjaminan Kualitas Audit atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat melakukan Eksaminasi Hasil Audit terhadap hasil pelaksanaan Audit. | ||||||
(2) | Eksaminasi Hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dalam hal:
|
||||||
(3) | Kepala Subdirektorat yang mempunyai tugas dan menyelenggarakan fungsi di bidang evaluasi hasil pelaksanaan Penjaminan Kualitas Audit atau Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan Eksaminasi Hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyusun dan menyampaikan rekomendasi dan Laporan Eksaminasi Hasil Audit kepada Direktur Audit. | ||||||
(4) | Laporan Eksaminasi Hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran III huruf M yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini. |
(1) | Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan instansi lain. |
(2) | Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | kegiatan perencanaan Audit yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 23/BC/2019 tentang Tatalaksana Perencanaan Audit Kepabeanan dan Cukai, Penelitian Ulang, dan Analisis Tujuan Tertentu; |
b. | kegiatan pelaksanaan Audit yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 35/BC/2017 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-24/BC/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-35/BC/2017 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai; |
c. | kegiatan Monitoring dan Evaluasi hasil Audit yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 26/BC/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Monitoring Tindak Lanjut dan Evaluasi Hasil Audit Kepabeanan, Audit Cukai, dan Penelitian Ulang; dan |
d. | kegiatan Penjaminan Kualitas yang telah dimulai sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, proses penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 27/BC/2019 tentang Penjaminan Kualitas Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring, dan Evaluasi Hasil Audit Kepabeanan dan Audit Cukai. |
a. | Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 35/BC/2017 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai; |
b. | Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 23/BC/2019 tentang Tatalaksana Perencanaan Audit Kepabeanan dan Cukai, Penelitian Ulang, dan Analisis Tujuan Tertentu; |
c. | Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 24/BC/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-35/BC/2017 tentang Tatalaksana Audit Kepabeanan dan Audit Cukai; |
d. | Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 26/BC/2019 tentang Petunjuk Pelaksanaan Monitoring Tindak Lanjut dan Evaluasi Hasil Audit Kepabeanan, Audit Cukai, dan Penelitian Ulang; dan |
e. | Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER- 27/BC/2019 tentang Penjaminan Kualitas Perencanaan, Pelaksanaan, Monitoring, dan Evaluasi Hasil Audit Kepabeanan dan Audit Cukai, |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.