Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
bahwa dalam pemeriksaan, terbukti yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah mengenai tarif preferensi karena penyerahan lembar asli SKA (Form AANZ) telah melewati jangka waktu 3 hari sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), atas importasi Jenis barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018, yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018, dengan perincian sebagai berikut:
Pos | Jenis Barang | HS | Tarif Bea Masuk | |
PIB | Penetapan | |||
1 | Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru | 0405.10.00 | 0% (AANZFTA) | 5% MFN) |
dan terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp195.536.000,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
bahwa Terbanding berdasarkan KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 dan Surat Uraian Banding Nomor SR-2015/KPU.01/2018 tanggal 2 Oktober 2018, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa untuk importasi atas jenis barang berupa Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Pemohon Banding menyampaikan pemberitahuan impor yaitu PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dimana tercantum Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018;
bahwa jalur importasi atas pemberitahuan impor tersebut di atas adalah jalur hijau dan diterbitkan SPPB pada tanggal 3 Februari 2018;
bahwa berdasarkan Sistem Penerimaan Dokumen diketahui Pemohon Banding menyerahkan lembar asli SKA (Form AANZ) pada tanggal 7 Februari 2018;
bahwa berdasarkan hal tersebut di atas diketahui bahwa penyerahan lembar asli SKA (Form AANZ) telah melewati jangka waktu 3 hari sejak tanggal penerbitan SPPB; bahwa memenuhi permintaan Majelis, Terbanding dalam persidangan menyerahkan Surat Nomor SR-153/KPU.01/BD.1005/2019 tanggal 22 Februari 2019 perihal Penjelasan Tertulis atas Kewajiban Penyerahan Surat Keterangan Asal Pemenuhan Ketentuan Prosedural AANZFTA yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
bahwa sehubungan dengan proses sidang banding Pemohon Banding atas KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 04 Juni 2018 yang diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2019 dan permintaan Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Pajak terkait argumentasi yuridis pemenuhan ketentuan asal barang, khususnya penyerahan lembar asli Surat Keterangan Asal (SKA), sebagai syarat dalam pengajuan klaim atas tarif preferensi skema AANZFTA sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, bersama ini Terbanding sampaikan sebagai berikut:
bahwa norma terkait pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan), sebagai berikut:
• | Pasal 12 ayat (1) Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk. |
• | Pasal 13 ayat (1) Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap: a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional; |
• | Pasal 13 ayat (2) Tata cara pengenaan dan besamva tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
bahwa struktur Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut bertumpu pada frase "dapat", sehingga dalam melakukan analisis perlu dikaitkan peraturan perundang-undangan Iainnya yang secara lex specialis mengatur tentang hal dimaksud;
bahwa di dalam bidang hukum administrasi negara, secara normatif frase "dapat' dikenal dengan istilah "diskresi" sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014), sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
Pasal 23
Diskresi pejabat pemerintahan meliputi:
Pasal 23
Huruf aPilihan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan keputusan dan/atau tindakan adalah respon atau sikap pejabat pemerintahan dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan administrasi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. bahwa dari sudut pandang teoretis, pilihan kepada pejabat pemerintahan dalam pengambilan keputusan, yang dirumuskan melalui frase "dapat" dalam norma Pasal 23 UU 30/2014 tersebut, dikenal dengan istilah "diskresionare power" atau "freies ermessen"; bahwa oleh karena frase "dapat" yang terkandung di dalam Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut merupakan suatu kewenangan berupa "diskresi', "diskresionare power", atau "freies ermessen", maka Menteri Keuangan diberi kewenangan oleh undang-undang berupa suatu pilihan dalam menentukan respon/sikap ketika membuat sebuah keputusan terhadap suatu barang impor dapat dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional atau tidak; bahwa Sjachran Basah (1997:3) mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-tindakan administarsi negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum berdasarkan Pancasila; bahwa berdasarkan hal tersebut, dan agar Menteri Keuangan tidak sewenang-wenang dalam menggunakan kewenangannya tersebut, serta menjamin terciptanya kepastian hukum dan keadilan balk bagi seluruh pihak-pihak yang terkait, maka UU Kepabeanan telah mengantisipasinya dengan menyediakan 1 (satu) ayat yang lain, yaitu Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, yang berisi dasar norma pengaturan terkait tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk yang berisi prosedur, syarat-syarat dan akibat hukum apabila prosedur dan syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi; bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka tarif dapat dikenakan berdasarkan perjanjian internasional yang tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan; bahwa sebagai konsekuensi yuridis keberlakuan norma Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan dan skema AANZFTA, maka Menteri Keuangan menerbitkan secara terpisah antara ketentuan mengenai tata cara pengenaan dan ketentuan mengenai besarnya tarif bea masuk skema AANZFTA, yaitu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (PMK 229/2017) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Asean Trade In Goods Agrement (PMK 28/2017); Keberlakuan Dan Kekuatan Mengikat Peraturan Menteri Keuangan bahwa timbul pertanyaan sebagai berikut: bagaimana keberlakuan dan kekuatan mengikat Peraturan Menteri Keuangan khususnya PMK 229/2017 tersebut? bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diuraikan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), sebagai berikut:
bahwa oleh karena PMK 229/2017 merupakan suatu regulasi yang terbit karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (in casu UU Kepabeanan), maka berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011, PMK 229/2017 merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat; bahwa berdasarkan uraian tersebut, nyata-nyata telah terbukti bahwa Menteri Keuangan mempunyai dasar kewenangan yang sah untuk membuat suatu keputusan terhadap suatu barang impor dapat diberi pengenaan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional atau tidak; Tarif Bea Masuk Berdasarkan Perjanjian Internasional bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru), sebagai hasil pertemuan para Menteri Ekonomi ASEAN, Australia dan Selandia Baru pada tanggal 27 Februari 2009; bahwa pada tanggal 5 Januari 2010, perjanjian internasional (Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011; bahwa teknis penerbitan dan verifikasi Certificate of Origin (Form AANZ) atau yang dikenal dengan istilah Surat Keterangan Asal (SKA) diatur dalam Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area khususnya dalam bagian Operational Certification Procedure (OCP); bahwa sebagaimana yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo, yaitu terkait penyerahan Form AANZ atau SKA, maka Rule 12 OCP mengatur sebagai berikut: Presentation
For the purposes of claiming preferential tariff treatment, the importer shall submit to the customs authority at the time of import declaration the Certificate of Origin and other documents as required, in accordance with the procedures of the customs authority or domestic laws and regulations of the importing partyRule 12 bahwa merujuk ketentuan Rule 12 OCP tersebut yang pada intinya mengatur bahwa penyerahan SKA adalah pada saat importasi dan mengikuti aturan domestik negara pengimpor, dan sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, maka tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri, sebagai berikut:
|
bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, prosedur pemenuhan ketentuan asal barang, khususnya penyerahan lembar asli Surat Keterangan Asal (SKA), sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam rangka klaim atas tarif preferensi skema AANZFTA dapat diuraikan berikut:
Dasar Hukum Pengenaan Tarif Preferensi
bahwa pada prinsipnya berdasarkan Pasal 12 ayat (1) UU Kepabeanan, barang impor dipungut bea masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk;
bahwa namun demikian, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan, bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional;
Indonesia Menyepakati Perjanjian Internasional AANZFTA
bahwa pada tanggal 27 Februari 2009, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru), sebagai hasil pertemuan para Menteri Ekonomi ASEAN, Australia, dan Selandia Baru;
bahwa pada tanggal 6 Mei 2011, perjanjian internasional (Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011;
bahwa Agreement Establishing ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area mengatur kesepakan tarif bea masuk atas barang impor dari negara-negara anggota ASEAN, Australia dan Selandia Baru dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area yang Iebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, dengan prosedur sebagaimana yang tertuang dalam Operational Certification Procedure (OCP);
bahwa salah satu prosedur yang diatur dalam OCP adalah terkait penyerahan lembar asli SKA (Form AANZ) sebagaimana yang tercantum dalam Rule 12 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam rangka pengklaiman tariff preferensi, importir wajib menyerahkan SKA pada saat importasi disertai dengan dokumen pendukung sesuai peraturan perundang-undangan domestik negara impor;
Pengaturan Tarif Bea Masuk Dalam Skema AANZFTA di Indonesia bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, serta mengimplementasikan AANZFTA di Indonesia, maka diterbitkan PMK 28/2017;
bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a PMK 28/2017, pengenaan bea masuk berdasarkan penetapan tarif bea masuk atas barang impor dari negara-negara anggota ASEAN dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area yang Iebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, hanya diberlakukan terhadap barang impor yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal (Form AANZ) yang telah ditandatangani oleh pejabat berwenang di negara negara bersangkutan dan telah memenuhi ketentuan asal barang;
bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b PMK 28/2017, importir wajib mencantumkan nomor referensi dan tanggal Surat Keterangan Asal (Form AANZ) atau nomor dan tanggal otorisasi eksportir bersertifikat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan kode fasilitas 58 pada pemberitahuan pabean impor;
bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK 28/2017, lembar asli Surat Keterangan Asal (Form AANZ) dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area wajib disampaikan oleh importir pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor di kantor pabean pelabuhan pemasukan;
bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK 28/2017, tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk dalam rangka perjanjian atau kesepakatan internasional;
Ketentuan Penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor dan Akibat Hukumnya
bahwa mengingat surat keterangan asal merupakan dokumen pelengkap pemberitahuan pabean impor, maka perlu kiranya menguraikan prosedur pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan, sebagai berikut:
a. | bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU Kepabeanan, barang impor yang diangkut sarana pengangkut wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean. |
b. | bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (5) UU Kepabeanan, barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara. |
c. | bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (6) UU Kepabeanan, dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan sementara. |
d. | bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (7) huruf a UU Kepabeanan, barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk diimpor untuk dipakai. |
e. | bahwa berdasarkan Pasal 10B ayat (1) UU Kepabeanan, impor untuk dipakai adalah memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai. |
f. | bahwa berdasarkan Pasal 10B ayat (2) UU Kepabeanan, barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuknya. |
g. | bahwa untuk memahami apa yang dimaksud dengan pemberitahuan pabean, maka perlu kiranya dilakukan analisis terkait norma-norma yang mengatur tentang pemberitahuan pabean dalam UU Kepabeanan. |
h. | bahwa berdasarkan Pasal 28 UU Kepabeanan, Ketentuan dan Tata Cara tentang:
|
i. | bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 28 UU Kepabeanan, UU Kepabeanan memberi kewenangan kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkenaan dengan pemberitahuan pabean, buku cacatan pabean, dan dokumen pelengkap pabean, misalnya bentuk pemberitahuan pabean dan dokumen pelengkap pabean dapat ditetapkan baik berupa tulisan di atas formulir, disket, maupun hubungan langsung antar komputer tanpa menggunakan kertas. Contoh Pemberitahuan Pabean adalah:
|
j. | bahwa dalam rangka melaksanakan amanat ketentuan Pasal 10A ayat (9) dan Pasal 10B ayat (5) UU Kepabeanan, maka ditetapkan dan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai (PMK 228/2015). |
k. | bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PMK 228/2015, Pengeluaran Barang Impor dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Yang Diperlakukan Sama Dengan TPS dengan Tujuan Diimpor untuk Dipakai, diberitahukan dengan PIB. |
I. | bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PMK 228/2015, PIB dibuat oleh importir berdasarkan dokumen pelengkap pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor yang harus dibayar. |
m. | bahwa berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan, Terbanding berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan undang-undang ini (UU Kepabeanan). |
n. | bahwa berdasarkan substansi norma yang terkandung di dalam Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan, maka dapat diketahui pasal tersebut pada intinya secara khusus mengatur kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk menolak memberikan pelayanan dalam hal ada kewajiban kepabeanan yang belum dipenuhi. |
o. | bahwa terdapat 2 (dua) frasa yang perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum mengaitkannya dengan ketentuan penyampaian lembar asli SKA dalam rangka klaim atas tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional, sebagai berikut:
|
Ketentuan Penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean dan Akibat Hukumnya
bahwa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dokumen pelengkap pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan "manifest";
bahwa UU Kepabeanan hanya mengatur perihal penyerahan pemberitahuan pabean dan tidak termasuk penyampaian dokumen pelengkap pabean dan hanya merumuskan bagaimana penggunaan dokumen pelengkap pabean;
bahwa sesuai Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK 28/2017, penyampaian lembar asli Surat Keterangan Asal (Form AANZ) adalah pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor;
bahwa penyampaian dokumen pelengkap pabean sebagaimana diatur dalam PMK 228/2015 sebagai berikut:
a. | Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMK 228/2015, Pemohon Banding harus menyampaikan dokumen pelengkap pabean yang digunakan sebagai dasar pembuatan PIB kepada Terbanding di kantor pabean, dalam hal:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
b. | Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (6) PMK 228/2015, dalam hal dokumen pelengkap pabean berupa Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin), penyampaian bentuk cetakan (hard copy) tetap diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian atau kesepakatan internasional. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
c. | Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo ayat (6) PMK 228/2015, diketahui terdapat 2 (dua) jenis dokumen pelengkap pabean yaitu:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
d. | Bahwa oleh karena dokumen pelengkap pabean, baik yang berupa SKA maupun selain berupa SKA, merupakan dokumen dasar pembuatan PIB yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan dokumen tersebut harus disampaikan oleh Pemohon Banding kepada Terbanding dengan prosedur dan tata cara tertentu, maka perlu kiranya diuraikan hal-hal sebagaimana berikut: Penyampaian Dokumen Pelengkap Selain Berupa SKA dan Akibat Hukumnya
|
Ketentuan Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Internasional
bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, serta memberikan kepastian hukum dalam penerapan ketentuan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk berdasarkan seluruh perjanjian atau kesepakatan internasional yang diikuti oleh Indonesia, termasuk AANZFTA yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo, maka pembahasan yang lebih substantif adalah merujuk pada PMK 229/2017;
bahwa PMK 229/2017 ini mengatur mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional, sehingga memenuhi kriteria untuk menjadi dasar hukum tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka AANZFTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PMK 28/2017;
bahwa selain itu PMK 229/2017 juga memenuhi kriteria untuk menjadi dasar hukum prosedur penyampaian bentuk cetakan dokumen pelengkap pabean berupa SKA sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (6) PMK 228/2015;
bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMK 229/2017, ketentuan asal barang terdiri dari 3 kriteria yang bersifat kumulatif, yaitu kriteria asal barang, kriteria pengiriman, dan pemenuhan ketentuan prosedural;
bahwa sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, salah satu ketentuan prosedural yaitu menyangkut tata cara penyerahan lembar asli SKA, yang berdasarkan Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 10 ayat (3) PMK 229/2017, importir in casu wajib menyerahkan lembar asli SKA paling lambat 3 hari terhitung sejak PIB mendapatkan SPPB;
bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PMK 229/2017, dalam hal hasil penelitian pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria), pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria), pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions), menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 229/2017, SKA ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);
bahwa sesuai analisis di atas, maka telah terang adanya bahwa skema AANZFTA ini merupakan hasil dari kesepakatan antara negara-negara anggota dalam hubungan G-to-G sebagaimana tertuang dalam ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area;
bahwa kesepakatan atau perjanjian internasional tersebut juga disertai dengan amanat untuk menerbitkan ketentuan domestik negara pengimpor yang mengatur diantaranya mengenai prosedur penyampaian lembar asli SKA, yang telah dipenuhi dengan diterbitkannya PMK 229/2017;
bahwa frasa "for the purpose of claiming preferential tariff treatment" yang tertuang dalam Rule 13 OCP menunjukkan bahwa tarif preferensi disediakan untuk "diklaim" oleh importir, bukan tarif yang secara otomatis diberikan untuk semua importasi dari negara anggota AANZFTA;
bahwa proses "klaim" tarif preferensi tersebut sudah diatur tata cara dan prosedurnya di dalam PMK 229/2017, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai batas waktu penyampaian lembar asli SKA; bahwa proses "klaim" tarif preferensi ini diserahkan kepada masing-masing importir untuk mengklaim atau tidak, dengan cara mematuhi ketentuan klaim yang sudah ditetapkan, dan hal ini sudah terlepas dari ranah G-to-G sehingga peran negara adalah melakukan pengawasan pemenuhan ketentuan asal barang (kriteria asal barang, kriteria pengiriman, dan ketentuan prosedural);
bahwa importasi in casu diberitahukan dengan dokumen PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 mendapat jalur hijau, dan mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) pada tanggal 3 Februari 2018, sehingga batas waktu penyerahan lembar asli SKA beserta dokumen pelengkap pabean Penelitian SKA adalah paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan SPPB yaitu tanggal 5 Februari 2018;
bahwa faktanya, lembar asli SKA in casu disampaikan oleh Pemohon Banding pada tanggal 07 Februari 2018 yang merupakan hari ke-5 terhitung sejak tanggal SPPB, sehingga Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan prosedural sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) PMK 229/2017;
bahwa atas keterlambatan penyampaian lembar asli SKA tersebut, maka berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PMK 229/2017 SKA tersebut ditolak dan atas barang impor in casu dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (MFN);
bahwa dengan demikian, bahwa penetapan tarif oleh Terbanding dan penolakan pemberian tarif preferensi sesuai dengan Keputusan Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 04 Juni 2018 atas Pemohon Banding dengan PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 karena terlampauinya batas waktu penyerahan lembar asli SKA, telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon Banding telah terbukti tidak memenuhi ketentuan untuk mendapatkan Tarif Preferensi Bea Masuk Barang Impor dalam rangka Skema ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) dan penetapan Terbanding yang dituangkan dalam Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 04 Juni 2018 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Oleh karenanya Terbanding memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk menolak permohonan Pemohon Banding untuk seluruhnya dan mempertahankan Penetapan Terbanding in casu, namun apabila Majelis Hakim berpendapat lain Terbanding mohon keputusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);
bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor 042/MI/TAX/VII/2018 tanggal 12 Juli 2018 dan Surat Bantahan Nomor 108/MI/TAX/XI/2018 tanggal 28 November 2018, pada pokoknya menyatakan:
bahwa barang yang Pemohon Banding impor berasal dari New Zealand, begitu juga SKA AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 4 Januari 2018, adalah asli diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di New Zealand yaitu New Zealand Chambers of Commerce Inc, yang telah Pemohon Banding serahkan dan telah diterima pihak Terbanding;
bahwa berdasarkan pemeriksaan pabean sesuai sistem PDE Kepabeanan, tidak terdapat respon penolakan ataupun permintaan kelengkapan dokumen pabean apapun termasuk permintaan SKA, bahkan Pemohon Banding mendapatkan penyelesaian PIB Jalur Hijau;
bahwa tarif yang Pemohon Banding beritahukan di dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 sudah benar merupakan tarif preferensi dalam rangka AANZFTA sesuai dengan syarat Pasal 2 PMK RI Nomor 28/PMK.010/2017 tanggal 27 Februari 2017;
bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah penetapan pembebanan tarif bea masuk oleh Terbanding dengan pembebanan tarif bea masuk yang berlaku umum (5% MFN) sesuai Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 atas importasi Jenis Barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dengan klasifikasi pos tarif 0405.10.00 dan pembebanan tarif preferensi BM 0% (AANZFTA) sesuai Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018 dikarenakan penyerahan asli SKA melebihi waktu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 yang tidak dapat diterima oleh Pemohon Banding;
bahwa Terbanding menerbitkan SPTNP Nomor SPTNP-005449/NOTUL/KPU-T/KPU.01/2018 tanggal 25 Februari 2018 dan Pemohon Banding mengajukan keberatan dengan Surat Nomor 003/S.Per/MI/IV/2018 tanggal 12 April 2018 dan dengan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 permohonan Pemohon Banding tersebut ditolak sehingga terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp195.538.000,00 (seratus sembilan puluh lima juta lima ratus tiga puluh delapan ribu rupiah);
bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor 42/MI/TAX/VII/2018 tanggal 12 Juli 2018, pada pokoknya menyatakan:
bahwa barang yang Pemohon Banding impor berasal dari New Zealand, begitu juga SKA AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 4 Januari 2018, adalah asli diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di New Zealand yaitu New Zealand Chambers of Commerce Inc, yang telah Pemohon Banding serahkan dan telah diterima pihak Terbanding;
bahwa berdasarkan pemeriksaan pabean sesuai sistem PDE Kepabeanan, tidak terdapat respon penolakan ataupun permintaan kelengkapan dokumen pabean apapun termasuk permintaan SKA (COO), bahkan Pemohon Banding mendapatkan penyelesaian PIB Jalur Hijau; bahwa tarif yang Pemohon Banding beritahukan di dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 sudah benar merupakan tarif preferensi dalam rangka AANZFTA sesuai dengan syarat Pasal 2 PMK RI Nomor 28/PMK.010/2017 tanggal 27 Februari 2017;
bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, keterangan, dan pengakuan para pihak dalam proses persidangan, kedapatan hal-hal sebagai berikut;
bahwa Terbanding dalam Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 pada pokoknya menyatakan bahwa importasi barang dengan PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 tidak memenuhi ketentuan untuk mendapatkan Tarif Bea Masuk Barang Impor dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional karena lembar asli SKA diserahkan melewati jangka waktu 3 hari sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), sehingga tidak sesuai dengan norma waktu yang ditentukan;
bahwa berdasarkan pemeriksaan atas pokok sengketa, surat atau tulisan, keterangan, dan pengakuan para pihak dalam proses persidangan, Majelis berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok sengketa adalah sebagai berikut;
bahwa Penjelasan Umum angka 5 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan:
“Selain daripada itu untuk meningkatkan pelayanan kelancaran arus barang, orang, dan dokumen agar menjadi semakin baik, efektif, dan efisien, maka diatur pula antara lain:
a. | pelaksanaan pemeriksaan secara selektif; |
b. | penyerahan Pemberitahuan Pabean melalui media elektronik (hubungan antar komputer); |
c. | pengawasan dan pengamanan impor dan ekspor yang pelaksanaannya dititikberatkan pada audit di bidang Kepabeanan terhadap pembukuan perusahaan; |
d. | peran serta anggota masyarakat untuk bertanggung jawab atas Bea Masuk melalui sistem menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang (self-assessment), dengan tetap memperhatikan pelaksanaan ketentuan larangan atau pembatasan yang berkaitan dengan impor atau ekspor barang, seperti barang pornografi, narkotika, uang palsu, dan senjata api.” |
bahwa Penjelasan Umum UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan:
“Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.”
bahwa Pasal 13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyatakan:
(1) | Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap:
|
(2) | Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri. |
bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyatakan:
(1) | Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
(2) | Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean. |
bahwa Pasal 85 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyatakan:
(1) | Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean. |
(2) | Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan. |
(3) | Pejabat bea dan cukai berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan undang-undang ini. |
Penjelasan Pasal 85
Ayat (3) Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan.
|
bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut:
(1) | AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
|
bahwa Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut:
Syarat sahnya Keputusan meliputi:
a. | Ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang; |
b. | Dibuat sesuai prosedur; |
c. | Substansi yang sesuai dengan Objek keputusan; |
bahwa Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi:
“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.” |
bahwa telah disahkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea);
bahwa berdasarkan Article 5, Agreement on Trade in Goods Under The Framework Agreement On Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Member Countries of The Association of Southeast Asian Nations and The Republic of Korea, ketentuan asal barang (ROO) dan prosedur operasional sertifikasi (OCP) dijelaskan pada Annex 3, sebagaimana kutipan sebagai berikut:
ARTICLE 5
The Rules of Origin and the Operational Certification Procedures applicable to the goods covered under this agreement are set out in Annex 3 and its Appendices.Rules of Origin bahwa berdasarkan Rule 15, Rules of Origin disebutkan bahwa klaim atas tarif preferensi dalam rangka AKFTA hanya diberikan apabila importasi memenuhi ketentuan pada prosedur operasional sertifikasi (OCP), sebagaimana kutipan sebagai berikut: Rule 15
A claim that a good shall be accepted as eligible for preferential tariff treatment shall be supported by a Certificate of Origin issued by a competent authority designated by the exporting Party and notified to all the other Parties in accordance with the Operational Certification Procedures, as set out in Appendix 1.Certificate of Origin bahwa berdasarkan Rule 9 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin, perihal presentasi disebutkan sebagai berikut: Rule 9
For the purposes of claiming preferential tariff treatment, the importer shall submit to the customs authority of the importing Party at the time of import, a declaration, a Certificate of Origin including supporting documents (i.e. invoices and, when required, the through Bill of Lading issued in the territory of the exporting Party) and other documents as required in accordance with the domestic laws and regulations of the importing Party.
bahwa berdasarkan Rule 10 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin, perihal presentasi disebutkan sebagai berikut: Rule 10
Rule 14
bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.010/2017 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area menyatakan: Pasal 1
Pasal 2
bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional, diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut: Pasal 3
Pasal 10
Pasal 13
Pasal 14
bahwa dalam pembuktian dan pembuatan putusan, Majelis berdasarkan atas ketentuan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, sebagai berikut; bahwa Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan; Pasal 69
Pasal 76
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”.bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan; Pasal 78
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”.bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, keterangan, dan pengakuan para pihak dalam proses persidangan, kedapatan bukti-bukti sebagai berikut; bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 kedapatan dokumen pelengkap pabean sebagai berikut: Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018, B/L No. 574596029 tanggal 4 Januari 2018, dan Invoice Nomor 2234390744 tanggal 4 Januari 2018 dengan penerbit invoice Fonterra Ingredients Limited; bahwa berdasarkan pemeriksaan atas copy aplikasi CEISA, kedapatan SPPB terbit tanggal 3 Februari 2018, sedangkan berkas PIB dan Form D diterima Terbanding pada tanggal 7 Februari 2018; bahwa berdasarkan pemeriksaan atas Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018 dan PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018, penyerahan SKA masih dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sehingga telah memenuhi Rule 10 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin; bahwa berdasarkan pemeriksaan atas Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018 tidak dilakukan surat penolakan oleh Terbanding kepada issuing authority, sehingga tidak memenuhi prosedur sebagaimana yang diatur pada Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional serta Rule 14 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, pengakuan para pihak dalam proses persidangan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sengketa ini, Majelis berpendapat bahwa Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 telah sesuai dengan kewenangannya, namun tidak memenuhi prosedur serta substansi keputusannya tidak selaras dengan tujuan pembentukan UU Kepabeanan sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum; bahwa pengaturan jangka waktu penyerahan lembar asli SKA atau Invoice Declaration dan sanksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional, tidak memperhatikan dan mempertimbangkan Pasal 16 dan Pasal 85 UU Kepabeanan serta Rule 10 dan Rule 14 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin; |
bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, pengakuan para pihak dalam proses persidangan serta uraian di atas, Majelis berkesimpulan mengabulkan banding Pemohon Banding, dan menetapkan pembebanan tarif bea masuk atas importasi Jenis Barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dengan klasifikasi pos tarif 0405.10.00 dan pembebanan tarif preferensi BM 0% (AANZFTA) sesuai Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018;
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini;
Mengabulkan seluruhnya Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018, tentang Penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai dalam Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) Nomor SPTNP-005449/NOTUL/KPU-T/KPU.01/2018 tanggal 25 Februari 2018, atas nama: Pemohon Banding, dan menetapkan tarif bea masuk atas importasi Jenis Barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dengan klasifikasi pos tarif 0405.10.00 dan pembebanan tarif preferensi BM 0% (AANZFTA) sesuai Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018, sehingga bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang masih harus dibayar nihil;
KSL, S.Sos.,M.H. | sebagai Hakim Ketua, |
WH, S.E., M.E | sebagai Hakim Anggota, |
S, S.E. | sebagai Hakim Anggota, |
RA | sebagai Panitera Pengganti. |
dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Senin tanggal 15 April 2019, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Pemohon Banding maupun Terbanding.
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.