Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-005778.45
Pokok Sengketa:

bahwa dalam pemeriksaan, terbukti yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah mengenai tarif preferensi karena penyerahan lembar asli SKA (Form AANZ) telah melewati jangka waktu 3 hari sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), atas importasi Jenis barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018, yang ditetapkan dalam Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018, dengan perincian sebagai berikut:

Pos Jenis Barang HS Tarif Bea Masuk
PIB Penetapan
1 Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru 0405.10.00 0% (AANZFTA) 5% MFN)


dan terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp195.536.000,00 yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;

Menurut Terbanding:

bahwa Terbanding berdasarkan KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 dan Surat Uraian Banding Nomor SR-2015/KPU.01/2018 tanggal 2 Oktober 2018, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

bahwa untuk importasi atas jenis barang berupa Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Pemohon Banding menyampaikan pemberitahuan impor yaitu PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dimana tercantum Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018;

bahwa jalur importasi atas pemberitahuan impor tersebut di atas adalah jalur hijau dan diterbitkan SPPB pada tanggal 3 Februari 2018;

bahwa berdasarkan Sistem Penerimaan Dokumen diketahui Pemohon Banding menyerahkan lembar asli SKA (Form AANZ) pada tanggal 7 Februari 2018;

bahwa berdasarkan hal tersebut di atas diketahui bahwa penyerahan lembar asli SKA (Form AANZ) telah melewati jangka waktu 3 hari sejak tanggal penerbitan SPPB; bahwa memenuhi permintaan Majelis, Terbanding dalam persidangan menyerahkan Surat Nomor SR-153/KPU.01/BD.1005/2019 tanggal 22 Februari 2019 perihal Penjelasan Tertulis atas Kewajiban Penyerahan Surat Keterangan Asal Pemenuhan Ketentuan Prosedural AANZFTA yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

bahwa sehubungan dengan proses sidang banding Pemohon Banding atas KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 04 Juni 2018 yang diselenggarakan pada tanggal 4 Februari 2019 dan permintaan Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Pajak terkait argumentasi yuridis pemenuhan ketentuan asal barang, khususnya penyerahan lembar asli Surat Keterangan Asal (SKA), sebagai syarat dalam pengajuan klaim atas tarif preferensi skema AANZFTA sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan, bersama ini Terbanding sampaikan sebagai berikut:

bahwa norma terkait pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan), sebagai berikut:

Pasal 12 ayat (1) Barang impor dipungut Bea Masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan Bea Masuk.
Pasal 13 ayat (1) Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap: a. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional;
Pasal 13 ayat (2) Tata cara pengenaan dan besamva tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.


bahwa struktur Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut bertumpu pada frase "dapat", sehingga dalam melakukan analisis perlu dikaitkan peraturan perundang-undangan Iainnya yang secara lex specialis mengatur tentang hal dimaksud;

bahwa di dalam bidang hukum administrasi negara, secara normatif frase "dapat' dikenal dengan istilah "diskresi" sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014), sebagai berikut:

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
  1. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. bahwa norma tersebut diatur Iebih mendetil di dalam Pasal 23 UU 30/2014 sebagai berikut:
Pasal 23
Diskresi pejabat pemerintahan meliputi:
  1. pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan;
bahwa norma dimaksud dipertegas dalam Penjelasan UU 30/2014 sebagai berikut:

Pasal 23
Huruf a
Pilihan keputusan dan/atau tindakan pejabat pemerintahan dicirikan dengan kata dapat, boleh, atau diberikan kewenangan, berhak, seharusnya, diharapkan, dan kata-kata lain yang sejenis dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud pilihan keputusan dan/atau tindakan adalah respon atau sikap pejabat pemerintahan dalam melaksanakan atau tidak melaksanakan administrasi pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

bahwa dari sudut pandang teoretis, pilihan kepada pejabat pemerintahan dalam pengambilan keputusan, yang dirumuskan melalui frase "dapat" dalam norma Pasal 23 UU 30/2014 tersebut, dikenal dengan istilah "diskresionare power" atau "freies ermessen";

bahwa oleh karena frase "dapat" yang terkandung di dalam Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan tersebut merupakan suatu kewenangan berupa "diskresi', "diskresionare power", atau "freies ermessen", maka Menteri Keuangan diberi kewenangan oleh undang-undang berupa suatu pilihan dalam menentukan respon/sikap ketika membuat sebuah keputusan terhadap suatu barang impor dapat dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional atau tidak;

bahwa Sjachran Basah (1997:3) mengatakan bahwa freies ermessen adalah kebebasan untuk bertindak atas inisiatif sendiri, akan tetapi dalam pelaksanaannya haruslah tindakan-tindakan administarsi negara itu sesuai dengan hukum, sebagaimana telah ditetapkan dalam negara hukum berdasarkan Pancasila;

bahwa berdasarkan hal tersebut, dan agar Menteri Keuangan tidak sewenang-wenang dalam menggunakan kewenangannya tersebut, serta menjamin terciptanya kepastian hukum dan keadilan balk bagi seluruh pihak-pihak yang terkait, maka UU Kepabeanan telah mengantisipasinya dengan menyediakan 1 (satu) ayat yang lain, yaitu Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, yang berisi dasar norma pengaturan terkait tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk yang berisi prosedur, syarat-syarat dan akibat hukum apabila prosedur dan syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi;

bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka tarif dapat dikenakan berdasarkan perjanjian internasional yang tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk diamanatkan untuk diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri keuangan;

bahwa sebagai konsekuensi yuridis keberlakuan norma Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan dan skema AANZFTA, maka Menteri Keuangan menerbitkan secara terpisah antara ketentuan mengenai tata cara pengenaan dan ketentuan mengenai besarnya tarif bea masuk skema AANZFTA, yaitu dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (PMK 229/2017) dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 25/PMK.010/2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Asean Trade In Goods Agrement (PMK 28/2017);

Keberlakuan Dan Kekuatan Mengikat Peraturan Menteri Keuangan

bahwa timbul pertanyaan sebagai berikut: bagaimana keberlakuan dan kekuatan mengikat Peraturan Menteri Keuangan khususnya PMK 229/2017 tersebut?

bahwa untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diuraikan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 12/2011), sebagai berikut:
  1. Pasal 7 ayat (1)
    Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
    3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
    4. Peraturan Pemerintah;
    5. Peraturan Presiden;
    6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
    7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
  2. Pasal 7 ayat (2)
    Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
  3. Pasal 8 ayat (1)
    Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung,Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.
  4. Pasal 8 ayat (2)
    Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannva dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
  5. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam UU 12/2011 tersebut, dapat disampaikan:
    • Bahwa undang-undang merupakan salah satu peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam tata hukum Indonesia.
    • Bahwa selain undang-undang, tata hukum di Indonesia juga mengakui keberadaan Peraturan Menteri sebagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang Iebih tinggi (in casu Undang-Undang).
bahwa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, konsekuensi yuridis keberlakuan norma Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan adalah diterbitkanlah salah satunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (PMK 229/2017);

bahwa oleh karena PMK 229/2017 merupakan suatu regulasi yang terbit karena diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (in casu UU Kepabeanan), maka berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011, PMK 229/2017 merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat;

bahwa berdasarkan uraian tersebut, nyata-nyata telah terbukti bahwa Menteri Keuangan mempunyai dasar kewenangan yang sah untuk membuat suatu keputusan terhadap suatu barang impor dapat diberi pengenaan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional atau tidak;

Tarif Bea Masuk Berdasarkan Perjanjian Internasional

bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru), sebagai hasil pertemuan para Menteri Ekonomi ASEAN, Australia dan Selandia Baru pada tanggal 27 Februari 2009;

bahwa pada tanggal 5 Januari 2010, perjanjian internasional (Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011;

bahwa teknis penerbitan dan verifikasi Certificate of Origin (Form AANZ) atau yang dikenal dengan istilah Surat Keterangan Asal (SKA) diatur dalam Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area khususnya dalam bagian Operational Certification Procedure (OCP);

bahwa sebagaimana yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo, yaitu terkait penyerahan Form AANZ atau SKA, maka Rule 12 OCP mengatur sebagai berikut:

Presentation
Rule 12
For the purposes of claiming preferential tariff treatment, the importer shall submit to the customs authority at the time of import declaration the Certificate of Origin and other documents as required, in accordance with the procedures of the customs authority or domestic laws and regulations of the importing party

bahwa merujuk ketentuan Rule 12 OCP tersebut yang pada intinya mengatur bahwa penyerahan SKA adalah pada saat importasi dan mengikuti aturan domestik negara pengimpor, dan sesuai ketentuan Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, maka tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional diatur lebih lanjut melalui peraturan menteri, sebagai berikut:
a. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.010/2017 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (PMK 28/2017)
1) Pasal 1 ayat (1)
Menetapkan tarif bea masuk atas barang impor dari negara-negara anggota ASEAN, Australia dan Selandia Baru dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
2) Pasal 2 ayat (1)
Pengenaan bea masuk berdasarkan penetapan tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada Pasal 1, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area yang Iebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, hanya diberlakukan terhadap barang impor yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal (Form AANZ) yang telah ditandatangani oleh pejabat berwenang di negara negara bersangkutan atau invoice declarationyang ditandatangani dan dikeluarkan oleh eksportir bersertifikat dan memenuhi ketentuan asal barang dalam rangka perjanjian ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area;
  2. importir, pengusaha tempat penimbunan berikat, dan pengusaha pusat logistik berikat wajib mencantumkan nomor referensi dan tanggal Surat Keterangan Asal (Form AANZ) atau nomor dan tanggal otorisasi eksportir bersertifikat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan kode fasilitas 06 pada pemberitahuan pabean impor;
  3. lembar asli Surat Keterangan Asal (Form AANZ) dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area sebagaimana dimaksud pada huruf a, wajib disampaikan oleh:
    1. importir, pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada huruf b di kantor pabean pelabuhan pemasukan;
3) Pasal 2 ayat (2)
Tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk dalam rangka perjanjian atau kesepakatan internasional.
b. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 228/PMK.04/2015 tentang Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai (PMK 228/2015):
1) Pasal 2 ayat (1) Pengeluaran barang impor dari kawasan pabean atau tempat lain yang diperlakukan sama dengan TPS dengan tujuan diimpor untuk dipakai, diberitahukan dengan PIB.
2) Pasal 2 ayat (3) PIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibuat oleh importir berdasarkan dokumen pelengkap pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor yang harus dibayar.
3) Pasal 4 ayat (1) importir harus menyampaikan dokumen pelengkap pabean yang digunakan sebagai dasar pembuatan PIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) kepada Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean, dalam hal:
  1. diperlukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko; atau
  2. PIB disampaikan dalam bentuk data elektronik menggunakan media penyimpan data elektronik atau dalam bentuk tulisan di atas formulir.
4) Pasal 4 ayat (3) Dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat berupa cetakan (hard copy) atau data elektronik dari hasil pemindaian.
5) Pasal 4 ayat (6) Dalam hal dokumen pelengkap pabean berupa Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin), penyampaian bentuk cetakan (hard copy) tetap diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian atau kesepakatan internasional.
6) Pasal 5 Penyampaian dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), dilakukan paling lambat pukul 12.00 pada;
  1. hari berikutnya, untuk kantor pabean yang telah ditetapkan untuk memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu; atau
  2. hari kerja berikutnya, untuk kantor pabean yang belum ditetapkan untuk memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu,
terhitung sejak PIB mendapatkan nomor pendaftaran.
c. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional (PMK 229/2017):
1) Pasal 2 ayat (1)
Barang impor dapat dikenakan tarif preferensi yang besarnya dapat berbeda dari tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN).
2) Pasal 2 ayat (2)
Pengenaan tarif preferensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam skema:
  1. ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA);
3) Pasal 2 ayat (3)
Besaran tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai penetapan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional.
4) Pasal 3 ayat (1)
Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, barang yang diimpor harus memenuhi Ketentuan Asal Barang.
5) Pasal 3 ayat (2)
Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi:
  1. kriteria asal barang (origin criteria);
  2. kriteria pengiriman (consignment criteria); dan
  3. ketentuan prosedural (procedural provisions).
6) Pasal 10 ayat (1)
Untuk dapat menggunakan tarif preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, importir wajib:
  1. menyerahkan lembar asli SKA atau Invoice Declaration;
  2. mencantumkan kode fasilitas secara benar, sesuai dengan skema perjanjian atau kesepakatan internasional yang digunakan; dan
  3. mencantumkan nomor dan tanggal SKA atau invoice declaration pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan benar.
7) Pasal 10 ayat (3)
Untuk importir yang termasuk dalam kategori jalur hijau, penyerahan SKA atau invoice declaration beserta dokumen pelengkap pabean. Penelitian SKA ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk kantor pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, penyerahan SKA atau invoice declaration beserta dokumen pelengkap pabean penelitian SKA ke Kantor Pabean dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari; atau
  2. untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, penyerahan SKA atau invoice declaration beserta dokumen pelengkap pabean penelitian SKA ke Kantor Pabean dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari kerja;
terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB).
8) Pasal 12 ayat (1)
Pejabat Bea dan Cukai di Kantor Pabean melakukan penelitian terhadap SKA, Invoice Declaration, atau e-Form AANZ dalam rangka pengenaan Tarif Preferensi atas barang yang diimpor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.
9) Pasal 13 ayat (1)
Penelitian terhadap SKA, invoice declaration, atau e-Form AANZ untuk pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi:
  1. pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
  2. pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6;
  3. pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11;
10) Pasal 13 ayat (2)
Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), SKA ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);


bahwa berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana tersebut di atas, prosedur pemenuhan ketentuan asal barang, khususnya penyerahan lembar asli Surat Keterangan Asal (SKA), sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam rangka klaim atas tarif preferensi skema AANZFTA dapat diuraikan berikut:

Dasar Hukum Pengenaan Tarif Preferensi

bahwa pada prinsipnya berdasarkan Pasal 12 ayat (1) UU Kepabeanan, barang impor dipungut bea masuk berdasarkan tarif setinggi-tingginya empat puluh persen dari nilai pabean untuk perhitungan bea masuk;

bahwa namun demikian, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) UU Kepabeanan, bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional;

Indonesia Menyepakati Perjanjian Internasional AANZFTA

bahwa pada tanggal 27 Februari 2009, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (Persetujuan Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-Australia-Selandia Baru), sebagai hasil pertemuan para Menteri Ekonomi ASEAN, Australia, dan Selandia Baru;

bahwa pada tanggal 6 Mei 2011, perjanjian internasional (Agreement Establishing the ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area) tersebut telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2011;

bahwa Agreement Establishing ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area mengatur kesepakan tarif bea masuk atas barang impor dari negara-negara anggota ASEAN, Australia dan Selandia Baru dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area yang Iebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, dengan prosedur sebagaimana yang tertuang dalam Operational Certification Procedure (OCP);

bahwa salah satu prosedur yang diatur dalam OCP adalah terkait penyerahan lembar asli SKA (Form AANZ) sebagaimana yang tercantum dalam Rule 12 yang pada intinya menyatakan bahwa dalam rangka pengklaiman tariff preferensi, importir wajib menyerahkan SKA pada saat importasi disertai dengan dokumen pendukung sesuai peraturan perundang-undangan domestik negara impor;

Pengaturan Tarif Bea Masuk Dalam Skema AANZFTA di Indonesia bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, serta mengimplementasikan AANZFTA di Indonesia, maka diterbitkan PMK 28/2017;

bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf a PMK 28/2017, pengenaan bea masuk berdasarkan penetapan tarif bea masuk atas barang impor dari negara-negara anggota ASEAN dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area yang Iebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, hanya diberlakukan terhadap barang impor yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal (Form AANZ) yang telah ditandatangani oleh pejabat berwenang di negara negara bersangkutan dan telah memenuhi ketentuan asal barang;

bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf b PMK 28/2017, importir wajib mencantumkan nomor referensi dan tanggal Surat Keterangan Asal (Form AANZ) atau nomor dan tanggal otorisasi eksportir bersertifikat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan kode fasilitas 58 pada pemberitahuan pabean impor;

bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK 28/2017, lembar asli Surat Keterangan Asal (Form AANZ) dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area wajib disampaikan oleh importir pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor di kantor pabean pelabuhan pemasukan;

bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK 28/2017, tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk dalam rangka perjanjian atau kesepakatan internasional;

Ketentuan Penyampaian Pemberitahuan Pabean Impor dan Akibat Hukumnya

bahwa mengingat surat keterangan asal merupakan dokumen pelengkap pemberitahuan pabean impor, maka perlu kiranya menguraikan prosedur pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan, sebagai berikut:

a. bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU Kepabeanan, barang impor yang diangkut sarana pengangkut wajib dibongkar di kawasan pabean atau dapat dibongkar di tempat lain setelah mendapat izin kepala kantor pabean.
b. bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (5) UU Kepabeanan, barang impor, sementara menunggu pengeluarannya dari kawasan pabean, dapat ditimbun di tempat penimbunan sementara.
c. bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (6) UU Kepabeanan, dalam hal tertentu, barang impor dapat ditimbun di tempat lain yang diperlakukan sama dengan tempat penimbunan sementara.
d. bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (7) huruf a UU Kepabeanan, barang impor dapat dikeluarkan dari kawasan pabean atau tempat lain sebagaimana dimaksud pada ayat (6) setelah dipenuhinya kewajiban pabean untuk diimpor untuk dipakai.
e. bahwa berdasarkan Pasal 10B ayat (1) UU Kepabeanan, impor untuk dipakai adalah memasukkan barang ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai.
f. bahwa berdasarkan Pasal 10B ayat (2) UU Kepabeanan, barang impor dapat dikeluarkan sebagai barang impor untuk dipakai setelah diserahkan pemberitahuan pabean dan dilunasi bea masuknya.
g. bahwa untuk memahami apa yang dimaksud dengan pemberitahuan pabean, maka perlu kiranya dilakukan analisis terkait norma-norma yang mengatur tentang pemberitahuan pabean dalam UU Kepabeanan.
h. bahwa berdasarkan Pasal 28 UU Kepabeanan, Ketentuan dan Tata Cara tentang:
  1. bentuk, isi, dan keabsahan pemberitahuan pabean dan buku catatan pabean;
  2. penyerahan dan pendaftaran pemberitahuan pabean;
  3. penelitian, perubahan, penambahan, dan pembatalan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
  4. pendistribusian dan penatausahaan Pemberitahuan Pabean dan buku catatan pabean;
  5. penggunaan dokumen pelengkap pabean;
diatur oleh Menteri.
i. bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 28 UU Kepabeanan, UU Kepabeanan memberi kewenangan kepada Menteri untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang berkenaan dengan pemberitahuan pabean, buku cacatan pabean, dan dokumen pelengkap pabean, misalnya bentuk pemberitahuan pabean dan dokumen pelengkap pabean dapat ditetapkan baik berupa tulisan di atas formulir, disket, maupun hubungan langsung antar komputer tanpa menggunakan kertas. Contoh Pemberitahuan Pabean adalah:
  1. pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut;
  2. pemberitahuan impor untuk dipakai;
  3. pemberitahuan impor sementara;
  4. pemberitahuan pemindahan barang dari Kawasan Pabean ke Tempat Penimbunan Berikat;
  5. pemberitahuan pemindahan barang dari suatu Kantor Pabean ke Kantor Pabean lain dalam Daerah Pabean;
  6. pemberitahuan ekspor barang.
Yang dimaksud dengan "buku catatan pabean" adalah buku daftar atau formulir yang digunakan untuk mencatat pemberitahuan pabean dan kegiatan kepabeanan berdasarkan undang-undang ini. Buku catatan pabean, antara lain adalah daftar untuk mencatat:
  1. pemberitahuan kedatangan sarana pengangkut;
  2. pemberitahuan impor untuk dipakai;
  3. pemberitahuan ekspor barang;
  4. barang yang dianggap tidak dikuasai;
  5. barang yang akan dilelang.
Yang dimaksud dengan "dokumen pelengkap pabean" adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan "manifest"
j. bahwa dalam rangka melaksanakan amanat ketentuan Pasal 10A ayat (9) dan Pasal 10B ayat (5) UU Kepabeanan, maka ditetapkan dan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Pengeluaran Barang Impor Untuk Dipakai (PMK 228/2015).
k. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PMK 228/2015, Pengeluaran Barang Impor dari Kawasan Pabean atau Tempat Lain Yang Diperlakukan Sama Dengan TPS dengan Tujuan Diimpor untuk Dipakai, diberitahukan dengan PIB.
I. bahwa berdasarkan Pasal 2 ayat (3) PMK 228/2015, PIB dibuat oleh importir berdasarkan dokumen pelengkap pabean dengan menghitung sendiri bea masuk, cukai, dan/atau pajak dalam rangka impor yang harus dibayar.
m. bahwa berdasarkan Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan, Terbanding berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan undang-undang ini (UU Kepabeanan).
n. bahwa berdasarkan substansi norma yang terkandung di dalam Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan, maka dapat diketahui pasal tersebut pada intinya secara khusus mengatur kewenangan Pejabat Bea dan Cukai untuk menolak memberikan pelayanan dalam hal ada kewajiban kepabeanan yang belum dipenuhi.
o. bahwa terdapat 2 (dua) frasa yang perlu dianalisis terlebih dahulu sebelum mengaitkannya dengan ketentuan penyampaian lembar asli SKA dalam rangka klaim atas tarif bea masuk berdasarkan perjanjian internasional, sebagai berikut:
  1. Frase Pertama adalah terkait frasa "kewajiban kepabeanan" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan.
  2. Pasal 1 angka 6 UU Kepabeanan menyatakan bahwa kewajiban pabean adalah semua kegiatan di bidang kepabeanan yang walib dilakukan untuk memenuhi ketentuan dalam undang-undang ini.
  3. Pasal 5 ayat (1) UU Kepabeanan menyatakan bahwa pemenuhan kewajiban pabean dilakukan di kantor pabean atau tempat lain yang disamakan dengan kantor pabean dengan menggunakan pemberitahuan pabean.
  4. Bahwa paragraf kedua Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU Kepabeanan menyatakan frasa "...memenuhi kewajiban pabean seperti penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk..", yang mana frasa ini menunjukkan contoh kewajiban pabean yang diatur dalam UU Kepabeanan.
  5. Bahwa yang menjadi pertanyaan adalah: apakah penyampaian lembar asli SKA termasuk dalam kewajiban pabean?
  6. Berdasarkan hasil identifikasi kewajiban pabean sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 1 angka 6, Pasal 5 ayat (1), Penjelasan Pasal 5 ayat (1), Pasal 10 ayat (5), Pasal 10 ayat (6), Pasal 10 ayat (7) huruf a UU Kepabeanan, diperoleh kesimpulan bahwa yang termasuk ke dalam kewajiban pabean adalah berupa penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk.
  7. Bahwa tidak satu pasal pun dalam UU Kepabeanan yang mengatur norma kewajiban bagi importir untuk menyerahkan dokumen pelengkap pabean, baik yang berupa non SKA misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan "manifest", maupun yang berupa SKA.
  8. Dengan demikian yang termasuk ke dalam kewajiban pabean adalah terbatas pada penyerahan pemberitahuan pabean atau pelunasan bea masuk, namun tidak termasuk penyerahan dokumen pelengkap pabean.
  9. Frase Kedua adalah terkait frasa "berwenang menolak" sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan. Bahwa frasa "berwenang" di dalam UU Kepabeanan menunjukkan pemberian kewenangan secara atributif kepada pejabat bea dan cukai. Namun demikian, pemberian kewenangan tersebut bukan berarti pejabat bea dan cukai harus selalu menggunakan kewenangannya, atau dengan kata lain dalam hal orang belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan undang-undang ini akan selalu tidak diberikan pelayananan.
  1. Bahwa seperti halnya pemberian kewenangan untuk meminta importir menyerahkan buku, catatan, surat menyurat yang bertalian dengan impor atau ekspor, dan mengambil contoh barang (Pasal 84), kewenangan untuk melakukan audit kepabeanan (Pasal 86), kewenangan untuk melakukan pemeriksaan atas bangunan dan tempat lain (Pasal 87), kewenangan untuk menghentikan dan memeriksa sarana pengangkut serta barang di atasnya (Pasal 90 ayat (1)), atau wewenang kepabeanan lain yang diberikan berdasarkan UU Kepabeanan.
  2. Penggunaan kewenangan tersebut tentunya haruslah berdasar hukum secara prudent dan due diligence, sehingga pelaksanaan pengawasan kepabeanan berjalan dengan baik tanpa mengesampingkan pelayanan dan hak pengguna jasa.
  3. Kembali pada konteks kewenangan untuk menolak memberikan pelayanan kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85 ayat (3) UU Kepabeanan, maka kewenangan ini adalah penolakan atas tidak terpenuhinya kewajiban kepabeanan yang bersifat umum. Artinya, atas semua kondisi belum terpenuhinya kewajiban kepabeanan "dapat" ditindaklanjuti dengan penolakan pemberian pelayanan kepabeanan, karena memang Terbanding diberikan kewenangan untuk itu.

Ketentuan Penyampaian Dokumen Pelengkap Pabean dan Akibat Hukumnya

bahwa sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, dokumen pelengkap pabean adalah semua dokumen yang digunakan sebagai pelengkap pemberitahuan pabean, misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan "manifest";

bahwa UU Kepabeanan hanya mengatur perihal penyerahan pemberitahuan pabean dan tidak termasuk penyampaian dokumen pelengkap pabean dan hanya merumuskan bagaimana penggunaan dokumen pelengkap pabean;

bahwa sesuai Pasal 2 ayat (1) huruf c PMK 28/2017, penyampaian lembar asli Surat Keterangan Asal (Form AANZ) adalah pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor;

bahwa penyampaian dokumen pelengkap pabean sebagaimana diatur dalam PMK 228/2015 sebagai berikut:

a. Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMK 228/2015, Pemohon Banding harus menyampaikan dokumen pelengkap pabean yang digunakan sebagai dasar pembuatan PIB kepada Terbanding di kantor pabean, dalam hal:
a) diperlukan pemeriksaan pabean berdasarkan manajemen risiko; atau
b) PIB disampaikan dalam bentuk data elektronik menggunakan media penyimpan data elektronik atau dalam bentuk tulisan di atas formulir.
b. Bahwa berdasarkan Pasal 4 ayat (6) PMK 228/2015, dalam hal dokumen pelengkap pabean berupa Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin), penyampaian bentuk cetakan (hard copy) tetap diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian atau kesepakatan internasional.
c. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) jo ayat (6) PMK 228/2015, diketahui terdapat 2 (dua) jenis dokumen pelengkap pabean yaitu:
a) Dokumen pelengkap pabean berupa SKA; dan
b) Dokumen pelengkap pabean selain berupa SKA.
d. Bahwa oleh karena dokumen pelengkap pabean, baik yang berupa SKA maupun selain berupa SKA, merupakan dokumen dasar pembuatan PIB yang memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan dokumen tersebut harus disampaikan oleh Pemohon Banding kepada Terbanding dengan prosedur dan tata cara tertentu, maka perlu kiranya diuraikan hal-hal sebagaimana berikut:

Penyampaian Dokumen Pelengkap Selain Berupa SKA dan Akibat Hukumnya
a) bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a PMK 228/2015, penyampaian dokumen pelengkap pabean (selain berupa SKA) misalnya "invoice", "bill of lading", "packing list", dan "manifest" sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) juncto Pasal 4 ayat (1), dilakukan paling lambat pukul 12.00 pada hari berikutnya, untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan untuk memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu terhitung sejak PIB mendapatkan nomor pendaftaran;
b) bahwa berdasarkan Pasal 5 ayat (2) PMK 228/2015, apabila batas waktu penyampaian dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipenuhi, penyampaian pemberitahuan PIB berikutnya oleh importir, atau importir dan PPJK, dalam hal importir menguasakan kepada PPJK, tidak dilayani sampai dokumen pelengkap pabean disampaikan;
c) bahwa dengan demikian menjadi jelas bahwa batas waktu penyampaian dokumen pelengkap pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) PMK 228/2015 dan akibat hukumnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) PMK 228/2015 tersebut tidak berlaku untuk dokumen pelengkap pabean berupa SKA karena berlaku ketentuan pengecualian pada Pasal 4 ayat (6) PMK 228/2015;

Penyampaian Dokumen Pelengkap Berupa SKA dan Akibat Hukumnya

d) bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan Pasal 4 ayat (6) PMK 228/2015, dalam hal dokumen pelengkap pabean berupa Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin), penyampaian bentuk cetakan (hard copy) tetap diberlakukan sesuai peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian atau kesepakatan internasional;
e) bahwa dengan demikian tata cara penyampaian dokumen pelengkap pabean berupa Surat Keterangan Asal (Certificate of Origin) beserta akibat hukumnya tidak tunduk pada PMK 228/2015, tetapi peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian internasional yaitu PMK 229/2017;
f) bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (1) PMK 229/2017, untuk dapat menggunakan tarif preferensi, barang yang diimpor harus memenuhi ketentuan asal barang;
g) bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMK 229/2017, ketentuan asal barang meliputi 3 kriteria yang bersifat kumulatif yaitu: kriteria asal barang (origin criteria), kriteria pengiriman langsung (consignment criteria), dan ketentuan procedural (procedural provisions);
h) bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (1) PMK 229/2017, untuk dapat menggunakan tarif preferensi, Pemohon Banding wajib menyerahkan lembar asli SKA atau invoice declaration, mencantumkan kode fasilitas secara benar, sesuai dengan skema perjanjian atau kesepakatan internasional yang digunakan, dan mencantumkan nomor dan tanggal SKA atau invoice declaration pada Pemberitahuan Impor Barang dengan benar;
i) bahwa berdasarkan Pasal 10 ayat (3) PMK 229/2017, untuk importir yang termasuk dalam kategori jalur hijau, penyerahan SKA atau Invoice;

Declaration beserta dokumen pelengkap pabean penelitian SKA ke kantor pabean dilaksanakan dengan ketentuan untuk kantor pabean yang telah ditetapkan sebagai kantor pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, penyerahan SKA atau invoice declaration beserta dokumen pelengkap pabean penelitian SKA ke kantor pabean dilakukan paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB);

j) bahwa berdasarkan Pasal 12 ayat (1) PMK 229/2017, Terbanding di kantor pabean melakukan penelitian terhadap SKA, invoice declaration, atau e-Form AANZ dalam rangka pengenaan tarif preferensi atas barang yang diimpor;
k) bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (1) PMK 229/2017, penelitian terhadap SKA, invoice declaration, atau e-Form AANZ untuk pengenaan tarif preferensi dimaksud meliputi pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria), pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria), pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions);
I) bahwa perlu dilihat kembali ketentuan dalam Rule 13 OCP AANZFTA terutama sepanjang frasa "For the purpose of claiming preferential tariff treatment', bahwa ketentuan dan keharusan penyerahan SKA ini bukan lah kewajiban dalam rangka impor, melainkan norma imperatif dalam rangka klaim atas tarif preferensi;
m) bahwa dengan demikian, logika hukum atas tidak terpenuhinya ketentuan penyerahan lembar asli SKA adalah tidak diklaimnya tarif preferensi skema AANZFTA;
n) bahwa selanjutnya, jika tarif preferensi tidak diklaim, maka impor tetap dilayani dengan menggunaan tarif MFN;
o) bahwa dari perspektif sosiologi hukum, tentu akan sangat memberatkan dan tidak fair bagi importir jika atas tidak dipenuhinya ketentuan penyerahan lembar asli SKA ditindaklanjuti dengan pemblokiran (tidak diberikan pelayanan kepabeanan);
p) bahwa sesuai dasar-dasar di atas, maka konsekuensi logis tidak terpenuhinya ketentuan penyampaian lembar asli SKA adalah tidak digunakannya tarif preferensi dalam importasi in casu;
q) bahwa konsekuensi logis tersebut telah secara tepat dituangkan dalam Pasal 13 ayat (2) PMK 229/2017 yang menyatakan bahwa dalam hal hasil penelitian pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria), pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria), pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions), menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam ketentuan asal barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 229/2017, SKA ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);


Ketentuan Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka Perjanjian Internasional

bahwa dalam rangka melaksanakan Pasal 13 ayat (2) UU Kepabeanan, serta memberikan kepastian hukum dalam penerapan ketentuan mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk berdasarkan seluruh perjanjian atau kesepakatan internasional yang diikuti oleh Indonesia, termasuk AANZFTA yang menjadi pokok sengketa dalam perkara a quo, maka pembahasan yang lebih substantif adalah merujuk pada PMK 229/2017;

bahwa PMK 229/2017 ini mengatur mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor berdasarkan perjanjian atau kesepakatan internasional, sehingga memenuhi kriteria untuk menjadi dasar hukum tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka AANZFTA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) PMK 28/2017;

bahwa selain itu PMK 229/2017 juga memenuhi kriteria untuk menjadi dasar hukum prosedur penyampaian bentuk cetakan dokumen pelengkap pabean berupa SKA sebagaimana dimaksud pada Pasal 4 ayat (6) PMK 228/2015;

bahwa berdasarkan Pasal 3 ayat (2) PMK 229/2017, ketentuan asal barang terdiri dari 3 kriteria yang bersifat kumulatif, yaitu kriteria asal barang, kriteria pengiriman, dan pemenuhan ketentuan prosedural;

bahwa sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, salah satu ketentuan prosedural yaitu menyangkut tata cara penyerahan lembar asli SKA, yang berdasarkan Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 10 ayat (3) PMK 229/2017, importir in casu wajib menyerahkan lembar asli SKA paling lambat 3 hari terhitung sejak PIB mendapatkan SPPB;

bahwa berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PMK 229/2017, dalam hal hasil penelitian pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria), pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria), pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions), menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) PMK 229/2017, SKA ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);

bahwa sesuai analisis di atas, maka telah terang adanya bahwa skema AANZFTA ini merupakan hasil dari kesepakatan antara negara-negara anggota dalam hubungan G-to-G sebagaimana tertuang dalam ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area;

bahwa kesepakatan atau perjanjian internasional tersebut juga disertai dengan amanat untuk menerbitkan ketentuan domestik negara pengimpor yang mengatur diantaranya mengenai prosedur penyampaian lembar asli SKA, yang telah dipenuhi dengan diterbitkannya PMK 229/2017;

bahwa frasa "for the purpose of claiming preferential tariff treatment" yang tertuang dalam Rule 13 OCP menunjukkan bahwa tarif preferensi disediakan untuk "diklaim" oleh importir, bukan tarif yang secara otomatis diberikan untuk semua importasi dari negara anggota AANZFTA;

bahwa proses "klaim" tarif preferensi tersebut sudah diatur tata cara dan prosedurnya di dalam PMK 229/2017, termasuk di dalamnya ketentuan mengenai batas waktu penyampaian lembar asli SKA; bahwa proses "klaim" tarif preferensi ini diserahkan kepada masing-masing importir untuk mengklaim atau tidak, dengan cara mematuhi ketentuan klaim yang sudah ditetapkan, dan hal ini sudah terlepas dari ranah G-to-G sehingga peran negara adalah melakukan pengawasan pemenuhan ketentuan asal barang (kriteria asal barang, kriteria pengiriman, dan ketentuan prosedural);

bahwa importasi in casu diberitahukan dengan dokumen PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 mendapat jalur hijau, dan mendapatkan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB) pada tanggal 3 Februari 2018, sehingga batas waktu penyerahan lembar asli SKA beserta dokumen pelengkap pabean Penelitian SKA adalah paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mendapatkan SPPB yaitu tanggal 5 Februari 2018;

bahwa faktanya, lembar asli SKA in casu disampaikan oleh Pemohon Banding pada tanggal 07 Februari 2018 yang merupakan hari ke-5 terhitung sejak tanggal SPPB, sehingga Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan prosedural sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c juncto Pasal 10 ayat (1) dan ayat (3) PMK 229/2017;

bahwa atas keterlambatan penyampaian lembar asli SKA tersebut, maka berdasarkan Pasal 13 ayat (2) PMK 229/2017 SKA tersebut ditolak dan atas barang impor in casu dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (MFN);

bahwa dengan demikian, bahwa penetapan tarif oleh Terbanding dan penolakan pemberian tarif preferensi sesuai dengan Keputusan Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 04 Juni 2018 atas Pemohon Banding dengan PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 karena terlampauinya batas waktu penyerahan lembar asli SKA, telah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan;

bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon Banding telah terbukti tidak memenuhi ketentuan untuk mendapatkan Tarif Preferensi Bea Masuk Barang Impor dalam rangka Skema ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) dan penetapan Terbanding yang dituangkan dalam Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 04 Juni 2018 telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Oleh karenanya Terbanding memohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Pengadilan Pajak untuk menolak permohonan Pemohon Banding untuk seluruhnya dan mempertahankan Penetapan Terbanding in casu, namun apabila Majelis Hakim berpendapat lain Terbanding mohon keputusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono);

Menurut Pemohon Banding:

bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor 042/MI/TAX/VII/2018 tanggal 12 Juli 2018 dan Surat Bantahan Nomor 108/MI/TAX/XI/2018 tanggal 28 November 2018, pada pokoknya menyatakan:

bahwa barang yang Pemohon Banding impor berasal dari New Zealand, begitu juga SKA AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 4 Januari 2018, adalah asli diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di New Zealand yaitu New Zealand Chambers of Commerce Inc, yang telah Pemohon Banding serahkan dan telah diterima pihak Terbanding;

bahwa berdasarkan pemeriksaan pabean sesuai sistem PDE Kepabeanan, tidak terdapat respon penolakan ataupun permintaan kelengkapan dokumen pabean apapun termasuk permintaan SKA, bahkan Pemohon Banding mendapatkan penyelesaian PIB Jalur Hijau;

bahwa tarif yang Pemohon Banding beritahukan di dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 sudah benar merupakan tarif preferensi dalam rangka AANZFTA sesuai dengan syarat Pasal 2 PMK RI Nomor 28/PMK.010/2017 tanggal 27 Februari 2017;

Menurut Majelis:

bahwa yang menjadi pokok sengketa adalah penetapan pembebanan tarif bea masuk oleh Terbanding dengan pembebanan tarif bea masuk yang berlaku umum (5% MFN) sesuai Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 atas importasi Jenis Barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dengan klasifikasi pos tarif 0405.10.00 dan pembebanan tarif preferensi BM 0% (AANZFTA) sesuai Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018 dikarenakan penyerahan asli SKA melebihi waktu yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 yang tidak dapat diterima oleh Pemohon Banding;

bahwa Terbanding menerbitkan SPTNP Nomor SPTNP-005449/NOTUL/KPU-T/KPU.01/2018 tanggal 25 Februari 2018 dan Pemohon Banding mengajukan keberatan dengan Surat Nomor 003/S.Per/MI/IV/2018 tanggal 12 April 2018 dan dengan Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 permohonan Pemohon Banding tersebut ditolak sehingga terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp195.538.000,00 (seratus sembilan puluh lima juta lima ratus tiga puluh delapan ribu rupiah);

bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding Nomor 42/MI/TAX/VII/2018 tanggal 12 Juli 2018, pada pokoknya menyatakan:

bahwa barang yang Pemohon Banding impor berasal dari New Zealand, begitu juga SKA AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 4 Januari 2018, adalah asli diterbitkan oleh pejabat yang berwenang di New Zealand yaitu New Zealand Chambers of Commerce Inc, yang telah Pemohon Banding serahkan dan telah diterima pihak Terbanding;

bahwa berdasarkan pemeriksaan pabean sesuai sistem PDE Kepabeanan, tidak terdapat respon penolakan ataupun permintaan kelengkapan dokumen pabean apapun termasuk permintaan SKA (COO), bahkan Pemohon Banding mendapatkan penyelesaian PIB Jalur Hijau; bahwa tarif yang Pemohon Banding beritahukan di dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 sudah benar merupakan tarif preferensi dalam rangka AANZFTA sesuai dengan syarat Pasal 2 PMK RI Nomor 28/PMK.010/2017 tanggal 27 Februari 2017;

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, keterangan, dan pengakuan para pihak dalam proses persidangan, kedapatan hal-hal sebagai berikut;

bahwa Terbanding dalam Surat Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 pada pokoknya menyatakan bahwa importasi barang dengan PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 tidak memenuhi ketentuan untuk mendapatkan Tarif Bea Masuk Barang Impor dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area (AANZFTA) sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional karena lembar asli SKA diserahkan melewati jangka waktu 3 hari sejak tanggal penerbitan Surat Persetujuan Pengeluaran Barang (SPPB), sehingga tidak sesuai dengan norma waktu yang ditentukan;

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas pokok sengketa, surat atau tulisan, keterangan, dan pengakuan para pihak dalam proses persidangan, Majelis berpendapat bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pokok sengketa adalah sebagai berikut;

bahwa Penjelasan Umum angka 5 UU Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan:
“Selain daripada itu untuk meningkatkan pelayanan kelancaran arus barang, orang, dan dokumen agar menjadi semakin baik, efektif, dan efisien, maka diatur pula antara lain:

a. pelaksanaan pemeriksaan secara selektif;
b. penyerahan Pemberitahuan Pabean melalui media elektronik (hubungan antar komputer);
c. pengawasan dan pengamanan impor dan ekspor yang pelaksanaannya dititikberatkan pada audit di bidang Kepabeanan terhadap pembukuan perusahaan;
d. peran serta anggota masyarakat untuk bertanggung jawab atas Bea Masuk melalui sistem menghitung dan membayar sendiri Bea Masuk yang terutang (self-assessment), dengan tetap memperhatikan pelaksanaan ketentuan larangan atau pembatasan yang berkaitan dengan impor atau ekspor barang, seperti barang pornografi, narkotika, uang palsu, dan senjata api.”


bahwa Penjelasan Umum UU Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan menyatakan:
“Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfungsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.”

bahwa Pasal 13 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyatakan:

(1) Bea masuk dapat dikenakan berdasarkan tarif yang besarnya berbeda dengan yang dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) terhadap:
  1. barang impor yang dikenakan tarif bea masuk berdasarkan perjanjian atau
    kesepakatan internasional; atau
  2. ... dst. ...
(2) Tata cara pengenaan dan besarnya tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri.


bahwa Pasal 16 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyatakan:

(1) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan tarif terhadap barang impor sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean.
(2) Pejabat bea dan cukai dapat menetapkan nilai pabean barang impor untuk penghitungan bea masuk sebelum penyerahan pemberitahuan pabean atau dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pemberitahuan pabean.


bahwa Pasal 85 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan, menyatakan:

(1) Pejabat bea dan cukai memberikan persetujuan impor atau ekspor setelah pemberitahuan pabean yang telah memenuhi persyaratan diterima dan hasil pemeriksaan barang tersebut sesuai dengan pemberitahuan pabean.
(2) Pejabat bea dan cukai berwenang menunda pemberian persetujuan impor atau ekspor dalam hal pemberitahuan pabean tidak memenuhi persyaratan.
(3) Pejabat bea dan cukai berwenang menolak memberikan pelayanan kepabeanan dalam hal orang yang bersangkutan belum memenuhi kewajiban kepabeanan berdasarkan undang-undang ini.


Penjelasan Pasal 85

Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa dalam hal orang yang bersangkutan telah memenuhi kewajibannya, pejabat bea dan cukai segera memberikan pelayanan kepabeanan.


bahwa Pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut:

(1) AUPB yang dimaksud dalam Undang-Undang ini meliputi asas:
  1. kepastian hukum;
  2. kemanfaatan;
  3. ketidakberpihakan;
  4. kecermatan;
  5. tidak menyalahgunakan kewenangan;
  6. keterbukaan;
  7. kepentingan umum; dan
  8. pelayanan yang baik.

bahwa Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi sebagai berikut:

Syarat sahnya Keputusan meliputi:

a. Ditetapkan oleh Pejabat yang berwenang;
b. Dibuat sesuai prosedur;
c. Substansi yang sesuai dengan Objek keputusan;


bahwa Pasal 56 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi:

“Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan.”


bahwa telah disahkan Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2007 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Among the Governments of the Member Countries of the Association of Southeast Asian Nations and the Republic of Korea (Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerjasama Ekonomi Menyeluruh Antar Pemerintah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara dan Republik Korea);

bahwa berdasarkan Article 5, Agreement on Trade in Goods Under The Framework Agreement On Comprehensive Economic Cooperation Among The Government of The Member Countries of The Association of Southeast Asian Nations and The Republic of Korea, ketentuan asal barang (ROO) dan prosedur operasional sertifikasi (OCP) dijelaskan pada Annex 3, sebagaimana kutipan sebagai berikut:

ARTICLE 5
Rules of Origin
The Rules of Origin and the Operational Certification Procedures applicable to the goods covered under this agreement are set out in Annex 3 and its Appendices.

bahwa berdasarkan Rule 15, Rules of Origin disebutkan bahwa klaim atas tarif preferensi dalam rangka AKFTA hanya diberikan apabila importasi memenuhi ketentuan pada prosedur operasional sertifikasi (OCP), sebagaimana kutipan sebagai berikut:

Rule 15
Certificate of Origin
A claim that a good shall be accepted as eligible for preferential tariff treatment shall be supported by a Certificate of Origin issued by a competent authority designated by the exporting Party and notified to all the other Parties in accordance with the Operational Certification Procedures, as set out in Appendix 1.

bahwa berdasarkan Rule 9 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin, perihal presentasi disebutkan sebagai berikut:

Rule 9
For the purposes of claiming preferential tariff treatment, the importer shall submit to the customs authority of the importing Party at the time of import, a declaration, a Certificate of Origin including supporting documents (i.e. invoices and, when required, the through Bill of Lading issued in the territory of the exporting Party) and other documents as required in accordance with the domestic laws and regulations of the importing Party.

bahwa berdasarkan Rule 10 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin, perihal presentasi disebutkan sebagai berikut:

Rule 10
  1. The Certificate of Origin shall, in accordance with domestic laws and regulations, be submitted to the customs authority of the importing Party within twelve (12) months from the date of issuance or from the date of issuance of the originally issued Certificate of Origin in case of a reissuance in accordance with Rule 6 by the issuing authority of the exporting Party or the intermediate exporting Party in the case of back-to-back Certificate of Origin.
  2. Where the Certificate of Origin is submitted to the customs authority of the importing Party after the expiration of the time-limit as stated in paragraph 1 for its submission, such Certificate of Origin shall be accepted when the failure to observe such time-limit results from force majeure or other valid causes beyond the control of the producer and/or exporter.
  3. In all cases, the customs authority of the importing Party may accept such Certificate of Origin, provided that the good has been imported before the expiration of the time-limit of the said Certificate of Origin. bahwa berdasarkan Rule 14 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin, perihal presentasi disebutkan sebagai berikut:
Rule 14
1. The importing Party may request the issuing authority of the exporting Party to conduct a retroactive check at random and/or when the importing Party has reasonable doubt as to the authenticity of the document or as to the accuracy of the information regarding the true origin of the good in question or of certain parts thereof. Upon such request, the issuing authority2 of the exporting Party shall conduct a retroactive check on a producer’s and/or exporter’s cost statement based on the current cost and prices within a six-month timeframe of the specified date of exportation3, subject to the following procedures:
(a) the request of the importing Party for a retroactive check shall be accompanied with the Certificate of Origin concerned and shall specify the reasons and any additional information suggesting that the particulars given on the said Certificate of Origin may be inaccurate, unless the retroactive check is requested on a random basis
(b) the issuing authority of the exporting Party receiving a request for retroactive check shall respond to the request promptly and reply within two (2) months after receipt of the request;
(c) the customs authority of the importing Party may suspend provision of preferential tariff treatment while awaiting the result of verification. However, it may release the good to the importer subject to any administrative measures deemed necessary, provided that they are not held to be subject to import prohibition or restriction and there is no suspicion of fraud; and
(d) the issuing authority shall promptly transmit the results of the verification process to the importing Party which shall then determine whether or not the subject good is originating. The entire process for retroactive check, including the process of notifying the issuing authority of the exporting Party the result of determination on whether or not the good is originating, shall be completed within six (6) months. While the process of the retroactive check is being undertaken, sub-paragraph (c) shall be applied.
2. The customs authority of the importing Party may request an importer for information or documents relating to the origin of imported good in accordance with its domestic laws and regulations before requesting the retroactive check pursuant to paragraph 1.

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.010/2017 Tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam Rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area menyatakan:

Pasal 1
(1) Menetapkan tarif bea masuk atas barang impor dari negara-negara anggota ASEAN, Australia dan Selandia Baru dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area, sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 2
(1) Pengenaan bea masuk berdasarkan penetapan tarif bea masuk sebagaimana dimaksud pada Pasal 1, dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. tarif bea masuk dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area yang Iebih rendah dari tarif bea masuk yang berlaku secara umum, hanya diberlakukan terhadap barang impor yang dilengkapi dengan Surat Keterangan Asal (Form AANZ) yang telah ditandatangani oleh pejabat berwenang di negara negara bersangkutan atau invoice declarationyang ditandatangani dan dikeluarkan oleh eksportir bersertifikat dan memenuhi ketentuan asal barang dalam rangka perjanjian ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area;
  2. importir, pengusaha tempat penimbunan berikat, dan pengusaha pusat logistik berikat wajib mencantumkan nomor referensi dan tanggal Surat Keterangan Asal (Form AANZ) atau nomor dan tanggal otorisasi eksportir bersertifikat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan kode fasilitas 06 pada pemberitahuan pabean impor;
  3. lembar asli Surat Keterangan Asal (Form AANZ) dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area sebagaimana dimaksud pada huruf a, wajib disampaikan oleh: i. importir, pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada huruf b di kantor pabean pelabuhan pemasukan;
(2) Tata cara pengenaan tarif bea masuk atas barang impor dalam rangka ASEAN-Australia-New Zealand Free Trade Area dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pengenaan tarif bea masuk dalam rangka perjanjian atau kesepakatan internasional.

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional, diatur ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

Pasal 3
(1) Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, barang yang diimpor harus memenuhi Ketentuan Asal Barang.
(2) Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi:
  1. kriteria asal barang (origin criteria);
  2. kriteria pengiriman langsung (consignment criteria); dan
  3. ketentuan prosedural (procedural provisions).
Pasal 10
(1) Untuk dapat menggunakan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Importir wajib:
  1. menyerahkan lembar asli SKA atau Invoice Declaration;
  2. mencantumkan kode fasilitas secara benar, sesuai dengan skema perjanjian atau kesepakatan internasional yang digunakan; dan
  3. mencantumkan Nomor dan tanggal SKA atau Invoice Declaration pada Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dengan benar.
(2) Untuk Importir yang termasuk dalam kategori jalur kuning atau jalur merah, penyerahan SKA atau Invoice Declaration beserta Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA ke Kantor Pabean dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. untuk Kantor Pabean yang telah ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, penyerahan SKA atau Invoice Declaration beserta Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA ke Kantor Pabean dilakukan paling lambat pada pukul 12.00 pada hari berikutnya; atau
  2. untuk Kantor Pabean yang belum ditetapkan sebagai Kantor Pabean yang memberikan pelayanan kepabeanan selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu, penyerahan SKA atau Invoice Declaration beserta Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA ke Kantor Pabean dilakukan paling lambat pada pukul 12.00 pada hari kerja berikutnya;
(9) SKA sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (7) harus masih berlaku pada saat:
  1. Pemberitahuan Impor Barang (PIB);
  2. pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di TPB;
  3. pemberitahuan pabean impor untuk ditimbun di PLB; atau
  4. PPFTZ-01 pemasukan barang ke Kawasan Bebas dari luar Daerah Pabean;
mendapat nomor pendaftaran dari Kantor Pabean.

Pasal 13
(1) Penelitian terhadap SKA, Invoice Declaration atau e-Form D untuk pengenaan Tarif Preferensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, meliputi:
  1. pemenuhan kriteria asal barang (origin criteria} sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4;
  2. pemenuhan kriteria pengiriman (consignment criteria) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6;
  3. pemenuhan ketentuan prosedural (procedural provisions) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 11;
  4. jenis, jumlah, dan klasifikasi barang yang mendapatkan Tarif Preferensi;
  5. besaran tarif bea masuk yang diberitahukan berdasarkan Tarif Preferensi;
  6. kesesuaian antara data pada pemberitahuan pabean impor dan Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA dengan data pada SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D; dan
  7. kesesuaian antara fisik barang dengan uraian barang yang diberitahukan pada pemberitahuan pabean ilnpor, SKA, Invoice Declaration, atau e-Form D, dan Dokumen Pelengkap Pabean Penelitian SKA, dalam hal barang impor dilakukan pemeriksaan fisik.
(2) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c menunjukkan bahwa barang impor tidak memenuhi 1 (satu) atau lebih ketentuan dalam Ketentuan Asal Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), SKA ditolak dan atas barang impor dimaksud dikenakan tarif bea masuk yang berlaku umum (Most Favoured Nation/MFN);

Pasal 14
(1) Dalam hal SKA ditolak dan Tarif Preferensi tidak diberikan:
  1. Direktur pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang melaksanakan tugas dan fungsi di bidang audit kepabeanan clan penelitian ulang;
  2. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  3. Kepala Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai;
  4. Kepala Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; atau
  5. Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk;
menyampaikan pemberitahuan penolakan SKA kepada Instansi Penerbit SKA di negara pengekspor atau instansi lain yang ditunjuk sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian atau kesepakatan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).
(2) Pemberitahuan penolakan SKA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan secara tertulis disertai dengan copy atau pindaian SKA yang memuat pernyataan bahwa Tarif Preferensi tidak dapat diberikan serta alasan penolakan, paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal penolakan.

bahwa dalam pembuktian dan pembuatan putusan, Majelis berdasarkan atas ketentuan pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, sebagai berikut;

bahwa Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan;

Pasal 69
(1) Alat bukti dapat berupa:
  1. surat atau tulisan;
  2. keterangan ahli;
  3. keterangan para saksi;
  4. pengakuan para pihak; dan/atau
  5. pengetahuan Hakim
bahwa Pasal 76 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan;

Pasal 76
“Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya pembuktian diperlukan paling sedikit 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)”.

bahwa Pasal 78 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan;

Pasal 78
“Putusan Pengadilan Pajak diambil berdasarkan hasil penilaian pembuktian, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan, serta berdasarkan keyakinan Hakim”.

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, keterangan, dan pengakuan para pihak dalam proses persidangan, kedapatan bukti-bukti sebagai berikut;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 kedapatan dokumen pelengkap pabean sebagai berikut: Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018, B/L No. 574596029 tanggal 4 Januari 2018, dan Invoice Nomor 2234390744 tanggal 4 Januari 2018 dengan penerbit invoice Fonterra Ingredients Limited;

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas copy aplikasi CEISA, kedapatan SPPB terbit tanggal 3 Februari 2018, sedangkan berkas PIB dan Form D diterima Terbanding pada tanggal 7 Februari 2018;

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018 dan PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018, penyerahan SKA masih dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sehingga telah memenuhi Rule 10 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin;

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018 tidak dilakukan surat penolakan oleh Terbanding kepada issuing authority, sehingga tidak memenuhi prosedur sebagaimana yang diatur pada Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional serta Rule 14 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, pengakuan para pihak dalam proses persidangan dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan sengketa ini, Majelis berpendapat bahwa Keputusan Terbanding Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018 telah sesuai dengan kewenangannya, namun tidak memenuhi prosedur serta substansi keputusannya tidak selaras dengan tujuan pembentukan UU Kepabeanan sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan umum;

bahwa pengaturan jangka waktu penyerahan lembar asli SKA atau Invoice Declaration dan sanksinya sebagaimana diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 13 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.04/2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor Berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional, tidak memperhatikan dan mempertimbangkan Pasal 16 dan Pasal 85 UU Kepabeanan serta Rule 10 dan Rule 14 Operational Certification Procedures for the Rules of Origin;

Menimbang:

bahwa berdasarkan pemeriksaan atas surat atau tulisan, pengakuan para pihak dalam proses persidangan serta uraian di atas, Majelis berkesimpulan mengabulkan banding Pemohon Banding, dan menetapkan pembebanan tarif bea masuk atas importasi Jenis Barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dengan klasifikasi pos tarif 0405.10.00 dan pembebanan tarif preferensi BM 0% (AANZFTA) sesuai Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018;

Mengingat:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:

Mengabulkan seluruhnya Banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor KEP-4819/KPU.01/2018 tanggal 4 Juni 2018, tentang Penetapan yang dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai dalam Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP) Nomor SPTNP-005449/NOTUL/KPU-T/KPU.01/2018 tanggal 25 Februari 2018, atas nama: Pemohon Banding, dan menetapkan tarif bea masuk atas importasi Jenis Barang: Unsalted Creamery Butter Each 25 KG Net Keadaan Baru, Negara Asal: New Zealand, Supplier: Fonterra Ingredients Limited, diberitahukan dalam PIB Nomor 063554 tanggal 3 Februari 2018 dengan klasifikasi pos tarif 0405.10.00 dan pembebanan tarif preferensi BM 0% (AANZFTA) sesuai Form AANZ Nomor 21.2018.00409 tanggal 04 Januari 2018, sehingga bea masuk dan pajak dalam rangka impor yang masih harus dibayar nihil;

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan musyawarah setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Senin, tanggal 25 Februari 2019 oleh Majelis XVIIB Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

KSL, S.Sos.,M.H. sebagai Hakim Ketua,
WH, S.E., M.E sebagai Hakim Anggota,
S, S.E. sebagai Hakim Anggota,
RA sebagai Panitera Pengganti.


dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Senin tanggal 15 April 2019, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, serta tidak dihadiri oleh Pemohon Banding maupun Terbanding.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA