Putusan Nomor : Put-68281/PP/M.XVB/16/2016

Jenis Pajak : PPN
Tahun Pajak : 2012
Pokok Sengketa : bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah koreksi positif Terbanding atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp2.329.915.186,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Menurut Terbanding : bahwa alasan-alasan atas koreksi positif Pajak Masukan PPN atas perolehan Barang Kena Pajak yang bersifat strategis yang nyata-nyata digunakan untuk unit kegiatan yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) yang penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN pada perusahaan yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) dapat dibenarkan, karena dalam perkara a quo pengkreditan atas Pajak Masukan haruslah dikaitkan dengan bidang usaha dan penyerahan yang dilakukan oleh Pemohon Banding sebagai PKP sesuai dengan norma atau kaidah serta kebijakan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (5) dan ayat (6) serta Pasal 16 B ayat (3) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai;
Menurut Pemohon Banding : bahwa Pemohon Banding berpendapat Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP untuk kegiatan unit kebun sebagai bahan baku untuk sekaligus diproses menghasilkan BKP (CPO, PKO dan hasil olahan lainnya) dapat dikreditkan;
Menurut Majelis bahwa berdasarkan hasil penilaian pembuktian dan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang mendasarinya, diperoleh fakta-fakta sebagai berikut:

bahwa Pemohon Banding merupakan perusahaan dengan kegiatan usaha terpadu (integrated= kebun dan pabrik) yang terdiri dari 2 (dua) kegiatan usaha yang terpadu, yaitu:
  1. Perkebunan, menghasilkan TBS untuk diolah sendiri;
  2. Pengolahan, TBS diolah lebih lanjut menjadi CPO, PKO, dan hasil olahan lainnya;

bahwa Pemohon Banding menjual hasil olahannya yaitu CPO, PKO, dan hasil olahan lainnya yang merupakan BKP (Barang Kena Pajak), sehingga penyerahannya terutang PPN;

bahwa atas penyerahan TBS, karet, batang tebu dan daun teh kering yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang perkebunan TBS, karet, batang tebu dan daun teh kering, dibebaskan dari pengenaan PPN sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 16B ayat (1) huruf b UU PPN jo. Pasal 2 ayat (2) huruf c dan Pasal 1 angka 2 huruf a PP-31;

bahwa Terbanding melakukan koreksi PPN Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang menghasilkan barang kena pajak berupa hasil perkebunan yang merupakan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN;

bahwa sesuai Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Terbanding berpendapat bahwa seluruh Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor, sepatu boot dan sebagainya yang berkaitan dengan unit/divisi yang menghasilkan TBS, karet, batang tebu dan daun teh kering (BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN), tidak dapat dikreditkan tanpa memperhatikan adanya penyerahan BKP tersebut kepada pihak ketiga;

bahwa Pemohon Banding tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan oleh Terbanding dengan alasan perpindahan bahan baku (TBS) dari kebun Pemohon Banding kepada pabrik CPO Pemohon Banding belum/bukan merupakan penyerahan. Penyerahan terjadi pada saat Pemohon Banding menjual CPO dan produk turunannya kepada pihak lain. CPO dan produk turunannya merupakan Barang Kena Pajakyang penyerahannya terutang PPN, sehingga Pajak Masukan untuk perolehan BKP/JKP kebun dapat dikreditkan seluruhnya;

bahwa berdasarkan uraian di atas, permasalahan pokok sengketa a quo adalah sengketa yuridis yaitu: Apakah pengkreditan Pajak Masukan sengketa a quo harus memperhatikan adanya penyerahan BKP?

Pembahasan:

  1. Latar Belakang Kebijakan Pengkreditan Pajak Masukan Pada Perusahaan Kelapa Sawit Terpadu,
bahwa bagi Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan yang terutang pajak dan penyerahanyang tidak terutang pajak, maka hanya dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang berkaitan dengan penyerahan terutang pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai. PajakPertambahan Nilai di Indonesia menganut negative list, yaitu dimana hanya mengatur apa saja yang tidak dikenakan pajak dan selebihnya berarti dikenakan pajak;

bahwa berdasarkan Pasal 4A Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai Pasal 4A ayat (2) poin (a), jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;

bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 yang mengatur tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, pada Pasal 2 ayat (2) huruf (c) menyebutkan bahwa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah penyerahan di dalam daerah pabean barang hasil pertanian yang dilakukan oleh petani atau kelompok tani;

bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 kemudian mengalami perubahan pada tahun 2003 dan kemudian diubah terakhir pada Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang pada Pasal 1 ayat (2) huruf (a) menyebutkan bahwa barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintahan;

bahwa kegiatan produksi TBS dapat dilakukan baik oleh petani maupun oleh pengusaha kelapa sawit, dimana petani tidak termasuk dalam sistem PPN di Indonesia, karena dengan tujuan untuk penyederhanaan administrasi, petani dianggap mempunyai penghasilan yang berada di bawah batas untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak, dan produksi TBS kemudian dapat dilakukan juga oleh pengusaha kelapa sawit yang termasuk ke dalam kategori Pengusaha Kena Pajak;

bahwa petani dan pengusaha kelapa sawit menghasilkan TBS walaupun petani adalah non-Pengusaha Kena Pajak dan pengusaha adalah Pengusaha Kena Pajak, sehingga kemudian terdapat perbedaan perlakuan PPN antara petani dan pengusaha kelapa sawit, dimana Petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak untuk mendapatkan Nomor Pengusaha Kena Pajak (NPKP) dan tidak perlu melaksanakan kewajiban perpajakan tetapi pengusaha kelapa sawit harus mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan undang-undang yang berlaku;

bahwa perusahan kelapa sawit terbagi menjadi beberapa jenis yaitu perusahaan kelapa sawit tidak terpadu (non-integrated) dan perusahaan kelapa sawit terpadu (integrated). Perusahaan kelapa sawit tidak terpadu hanya melakukan kegiatan penyerahan baik itu hanya TBS atau CPO saja, sedangkan perusahaan kelapa sawit terpadu sendiri terbagi menjadi dua jenisnya, yaitu perusahaan yang melakukan kegiatan penyerahan berupa TBS dan CPO kemudian ada juga jenis yang hanya melakukanpenyerahan CPO;

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Fasilitas yang diberikan berupa pembebasan TBS dari pungutan pajak mengakibatkan Pajak Masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan. Hal ini tidak mempunyai pengaruh apapun bagi petani karena bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak yang harus melakukan kewajiban perpajakan sehingga tidak memerlukan Pajak Masukan untuk dikreditkan dengan Pajak Keluarannya;

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Pasal (2) ayat (2) huruf (c) yang berisikan “atas penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal (1) angka (1) huruf c oleh petani dan kelompok petani”, penyerahan TBS yang dilakukan oleh petani kelapa sawit termasuk ke dalam penyerahan barang yang bersifat strategis dan dibebaskan dari pengenaan pajak. Karena di dalam peraturan tersebut hanya menyebutkan kata petani membuat perusahaan kelapa sawit yang melakukan penyerahan TBS terhitung tidak mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak dan atas Pajak Masukan yang telah dibayar sebelumnya dalam rangka pembelian input untuk menghasilkan TBS dapat dikreditkan;

bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007, dimana perubahan peraturan ini mempunyai dampak yang besar bagi pengusaha kelapa sawit, khususnya pengusaha kelapa sawit terpadu. Pada Pasal 2 ayat (2) huruf c hanya menyebutkan bahwa “atas penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang hasil pertanian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka (1) huruf (c) dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai) yang berarti baik petani maupun pengusaha yang melakukan penyerahan barang strategis yang dalam hal ini adalah TBS akan dibebaskan dari pengenaan pajak. Permasalahan timbul ketika Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007:

“... frase petani hilang sehingga secara tidak langsung berefek ke pengusaha”;

bahwa kata petani yang kemudian pada Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 tidak digunakan lagi menimbulkan arti yang berbeda dari peraturan sebelumnya, dan mempunyai arti bahwa siapa saja yang melakukan penyerahan TBS maka Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan;

bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu menghasilkan TBS yang kemudian langsung digunakan sebagai bahan baku pembuatan CPO. Terdapat pemisahan Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan TBS dan Pajak Masukan yang digunakan untuk menghasilkan CPO;
  1. Historis Peraturan Perlakuan PPN Pengusaha Kelapa Sawit Terpadu
    Peraturan Mengenai Barang Strategis Dan
    Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
    Pertimbangan Dibuatnya Peraturan Yang
    Bersangkutan
    Pertimbangan Dibuatnya Peraturan Yang Bersangkutan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan Atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Bahwa sebagai pelaksanaan Pasal 16B Undang-undang No.8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang No.18Tahun 2000, dan dalam rangka mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang-barang yang bersifat startegis, serta setelah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
    Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2007 Tentang perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Bahwa dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, khususnya di bidang pertanian, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
    Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
    1. bahwa dalam rangka mewujudkan tersedianya kebutuhan dasar masyarakat berupa rumah layak huni dengan harga yang terjangkau, Pemerintah telah mencanangkan program penyediaan/ pembangunan rumah susun sederhana milik;
    2. bahwa untuk mendukung penyediaan/ pembangunan rumah susun sederhana milik sebagaimana dimaksud pada huruf a di kawasan perkotaan, untuk mendorong pembangunan nasional, perlu diberikan perlakuan perpajakan yang bersifat khusus di bidang Pajak Pertambahan Nilai;
    3. bahwa untuk memberikan perlakuan yang sama kepada semua pengusaha, maka ketentuan mengenai kemudahandalam kewajiban perpajakan bagi pengusaha yang meyerahkan barang kena pajak tertentu yang berupa listrik, air dan barang hasil pertanian tidak diperlukan lagi;
    4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 16B Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan NilaiBarang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang PerubahanKeempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

bahwa berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pengusaha kelapa sawit terpadu juga mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak atas penyerahan TBS. Walaupun UU PPN telah menjelaskan barang apa saja yang tidak terutang pajak, tetapi kemudian diperjelas kembali melalui Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 yang kemudian diubah terakhir menjadi Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 bahwa barang yang diambil langsung dari alam dan belum diolah lebih lanjut dikategorikan sebagai barang yang bersifat strategis dan penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak. Sehingga perusahaan kelapa sawit baik yang tidak terpadu maupun terpadu akan ikut mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak dan tidak bisa mengkreditkan Pajak Masukan atas barang yang bersifat strategis;

bahwa dilihat dari historis kebijakan mengenai barang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN dan pengkreditan Pajak Masukan bagi pengusaha yang melakukan penyerahan barang yang terutang pajak dan yang tidak terutang pajak, kaitkan dengan konsep PPN seperti exemption goods. Terlihat bahwa kebijakan-kebijakan yang diberikan pemerintah kepada pengusaha kelapa sawit terpadu dilatarbelakangi oleh adanya keinginan untuk memberikan perlakuan yang sama (equal treatment) kepada petani yang melakukan penyerahan TBS yang berada di luar sistem PPN. Pemerintah berharap perlakuan yang sama ini akan menambah daya saing petani dalam dunia usaha;

bahwa penyerahan TBS yang bersifat strategis dan atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan pajak dapat dilakukan oleh petani maupun perusahaan kelapa sawit. Dari konsep exempt goods yang dikemukakan oleh Tait, semua Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak bisa saja dikenakan pajak bisa dibebaskan dari pengenaan pajak. Pengusaha yang hanya melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak (Tait, 1988:50);

bahwa petani kelapa sawit yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak tidak perlu melakukan kewajiban perpajakan sehingga tidak diperlukan adanya penyediaan pelayanan perpajakan untuk petani. Dapat terlihat secara jelas bahwa pembebasan pajak membantu menyederhanakan administrasi pajak (Tait, 1988:50). Jika penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut dilakukan oleh petani kelapa sawit, maka fasilitas tersebut memang membantu menyederhanakan administrasi pajak karena mereka bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak;

bahwa Tandan Buah Segar merupakan produk akhir sektor pertanian kelapa sawit. Tandan Buah Segar dihasilkan dari kegiatan pertanian tanpa melalui proses lebih lanjut oleh petani kelapa sawit. Barang hasil dari kegiatan pertanian tersebut yang langsung dijual oleh petani kelapa sawit tidak dikenakan PPN sehingga petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak dan administrasi pajak menjadi sederhana;

bahwa bilamana pengusaha kelapa sawit boleh mengkreditkan Pajak Masukannya yang telah dibayar untuk menghasilkan TBS maka pengusaha tidak menanggung Pajak Masukan di dalam perhitungan biaya. Di sisi lain, petani yang tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya menanggung Pajak Masukan yang terdapat di biaya;

bahwa Crude Palm Oil (CPO) merupakan barang kena pajak yang atas penyerahannya dikenakan PPN. Penghitungan besarnya PPN yang terutang dapat dilakukan dengan metode PK-PM. Bagi perusahaan kelapa sawit terpadu yang menghasilkan inputnya sendiri berupa TBS sebelumnya harus menghitung besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;

bahwa besarnya jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu, jika seluruhnya dapat dikreditkan maka mengakibatkan muculnya disparitas dengan petani kelapa sawit. Melihat adanya disparitas yang timbul akibat pengusaha yang dapat mengkreditkan seluruh Pajak Masukannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa untuk menghilangkan disparitas tersebut perusahaan kelapa sawit terpadu hanya boleh mengkreditkan Pajak Masukannya sebagian, yaitu Pajak Masukan yang telah dibayar untuk proses menghasilkan CPO, sedangkan Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan;
  1. Kebijakan Pengkreditan Pajak Masukan Pada Pengusaha Kelapa Sawit Terpadu Ditinjau Dari Konsepsi Exemption Goods
bahwa kebijakan pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan kelapa sawit terpadu jika ditinjau dari konsep exemption akan menimbulkan isu yang tidak senada dengan prinsip pengkreditan Pajak Masukan pada sistem PPN. Pajak Masukan yang telah dibayar untuk hal yang berkaitan dengan kegiatan usaha seharusnya dapat dikreditkan, tetapi karena terdapat penyerahan TBS yang dibebaskan dari pengenaan kena pajak pada proses menghasilkan CPO yang merupakan barang kena pajak maka terdapat sejumlah Pajak Masukan yang tidak bisa dikreditkan oleh pengusaha kelapa sawit terpadu. Dampak yang muncul dari penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang mendapat fasilitas yaitu dibebaskan dari PPN adalah sebagai berikut:

1) Tidak bisa mengenakan Pajak Keluaran pada penyerahan yang dibebaskan;
2) Pengusaha yang hanya melakukan penyerahan yang dibebaskan PPN tidak bisa mendaftarkan diri untuk PPN, tidak bisa memungut Pajak Keluaran, bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak, dan yang paling penting adalah tidak dapat mengklaim Pajak Masukannya;
3) Pengusaha Kena Pajak yang hanya melakukan penyerahan yang dibebaskan dari PPN berada dalam posisi yang sama dengan konsumen akhir pada ujung mata rantai distribusi;

bahwa berdasarkan dampak tersebut di atas, menunjukkan bahwa jika petani yang hanya melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak maka petani tidak perlu mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak. Dengan demikian petani tidak perlu memungut Pajak Keluaran atas penyerahan TBS. Sehingga petani tidak dapat mengklaim Pajak Masukan untuk mengkreditkannya;

bahwa Crude Palm Oil (CPO) merupakan final product dari perusahaan kelapa sawit terpadu, dimana proses penghasilan CPO pada perusahaan kelapa sawit terpadu dimulai dari pembudidayaan TBS dan mengeluarkan biaya-biaya seperti biaya pembukaan lahan, pemupukan dan biaya lainnya. Tandan Buah Segar yang telah dihasilkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu tersebut digunakan sebagai input untuk menghasilkan CPO yang merupakan Barang Kena pajak;

bahwa pelimpahan TBS dari kebun ke pabrik kelapa sawit tersebut yang dianggap sebagai penyerahan oleh pemerintah dan mempunyai dampak tidak bisa dikreditkan Pajak Masukan atas perolehan TBS. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu masuk ke dalam komponen biaya-biaya yang digunakan oleh perusahaan kelapa sawit terpadu untuk memproses TBS menjadi CPO. Pada akhirnya ketika CPO telah menjadi barang akhir perusahaan kelapa sawit terpadu dan kemudian dijual ke konsumen, atas penyerahan Barang Kena Pajak (CPO) tersebut dikenakan Pajak Keluaran;

bahwa berdasarkan proses yang telah dijelaskan di atas, maka jika pedagang barang yang dibebaskan dari PPN menjual barang yang bukan produk akhir, tetapi digunakan sebagai input di produksi selanjutnya maka Pajak Masukannya terbentuk di dalam harga dan bagian dari biaya yang dilakukan dalam hal pembelian barang-barang untuk produksi selanjutnya. Jika ada barang yang termasuk dalam sistem PPN dan diproduksi dengan menggunakan barang yang bersifat dibebaskan dari PPN sebagai input, pengusaha tidak bisa mengklaim Pajak Masukan atas perolehan barang yang dibebaskan dari pengenaan pajak tersebut untuk dikreditkan;

bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu yang melakukan penyerahan barang yang dibebaskan dari pengenaan PPN berupa TBS telah membayar PPN pada beberapa tahap dari pembuatan barang tersebut. Pajak Pertambahan Nilai tersebut bisa dikreditkan jika penyerahan barang tersebut merupakan objek yang dapat dikenakan pajak tetapi karena penyerahan tersebut dibebaskan dari pengenaan pajak maka tidak dapat dikreditkan;

bahwa berdasarkan uraian di atas Majelis Hakim berpendapat bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu tidak dapat mengklaim Pajak Masukan unuk dikreditkan karena TBS termasuk ke dalam kategori barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut kemudian terbentuk pada biaya yang digunakan untuk proses pabrikasi;

  1. Legal Character Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri
bahwa Legal character PPN sebagai Pajak atas Konsumsi Dalam Negeri mengandung makna bahwa PPN hanya dikenakan atas barang atau jasa yang dikonsumsi di dalam daerah pabean Republik Indonesia.;

bahwa konsumsi adalah setiap kegiatan memakai, menggunakan, atau menikmati barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan.” Pengertian konsumsi dapat digolongkan dalam dua bagian, yaitu konsumsi langsung dan konsumsi tak langsung. Konsumsi langsung merupakan pengkonsumsian barang yang langsung dilakukan oleh penggguna barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya, makanan, minuman, dan pakaian yang langsung dipakai oleh pengguna sementara itu, konsumsi tak langsung merupakan pemakaian benda konsumsi berupa barang dan jasa yang tidak secara langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna barang contohnya, pembelian bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan penciptaan barang. Pembelian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;

bahwa TBS yang dikonsumsi oleh Pemohon Banding merupakan bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan menghasilkan CPO, maka pemakaian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka konsumsi TBS oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PPN, sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan (Lihat Pertimbangan PPN sebagai pajak objektif);

  1. Landasan Filosofis Ketentuan Khusus UU PPN
bahwa secara umum, filosofi PPN sebagaimana tersirat dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah antara lain menyatakan bahwa:

1) PPN merupakan pajak tidak langsung,
2) PPN dikenakan atas penyerahan dalam lingkungan kegiatan usaha,
3) Jika atas suatu BKP yang atas penyerahannya terutang PPN, maka seluruh Pajak Masukan atas faktor-faktor produksi untuk menghasilkan BKP tersebut dapat dikreditkan.

bahwa dengan berlakunya UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, dimunculkan BAB VA Ketentuan Khusus yang memuat Pasal 16A, 16B, 16C, dan 16D. Sebagai ketentuan khusus, Pasal-Pasal tentunya memiliki landasan filosofis yang berbeda dengan ketentuan umum. Secara sederhana landasan filosofis masing-masing Pasal dapat dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 16A dilandasi oleh tujuan mengamankan penerimaan negara untuk PPN yang dibiayai dari negara. Ketentuan khusus ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN sebagai pajak tidak langsung.

Pasal 16C dilandasi oleh filosofi untuk memberikan perlakuan yang sama/keadilan antara Pengusaha real estate/pemborong dengan pihak yang membangun sendiri. Ketentuan khusus ini bertentangandengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN sebagai pajak tidak langsung dan PPN dikenakan atas kegiatan dalam lingkungan usaha.

Pasal 16D dilandasi oleh filosofi untuk memberi perlakuan yang sama dalam penjualan aktiva oleh produsen aktiva dimaksud dan oleh konsumen aktiva. Ketentuan khusus ini bertentangan dengan filosofi yang dianut oleh ketentuan umum, yaitu PPN dikenakan atas kegiatan dalam lingkungan usaha.

bahwa sesuai dengan Penjelasan Umum UU Nomor 11 Tahun 1994 dan penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN, Majelis sependapat dengan argumentasi Terbanding yang menyatakan bahwa Pasal 16B UU PPN dilandasi oleh filosofi yang menyatakan bahwa salah satu prinsip yang harus dipegang teguh di dalam Undang-undang Perpajakan adalah diberlakukan dan diterapkannya perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak atau terhadap kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama dengan berpegang teguh pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di atas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

bahwa antara penyerahan TBS kepada pihak ketiga dengan penyerahan TBS untuk diolah pada unit pengolahan merupakan suatu kasus perpajakan yang hakikatnya sama, sehingga harus diberlakukan dan diterapkan perlakuan yang sama pula;

bahwa ruang lingkup kasus perpajakan yang akan diatur di dalam Pasal 16B UU PPN (sebagai bagian dari ketentuan khusus) pada dasarnya memang ditujukan untuk kasus-kasus dalam bidang perpajakan yang pada hakekatnya sama. Hal ini dapat diterima karena jika perlakuan yang sama diterapkan hanya untuk kasus yang sama, maka hal tersebut tidak perlu diatur dalam ketentuan khusus;

  1. Penafsiran Gramatikal Pasal 16B ayat (3) UU PPN
bahwa gramatikal (tata bahasa) yang digunakan dalam Pasal 16B ayat (3) UU PPN berbeda dengan Pasal 9 ayat (5) dan 9 ayat (6) UU PPN;

bahwa Pasal 16B ayat (3) menggunakan frase yang atas penyerahannya, sebagai berikut: Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan tidak dapat dikreditkan.

bahwa dalam memori penjelasannya ditegaskan sebagai berikut:

"Pengusaha Kena Pajak "B" memproduksi Barang Kena Pajak yang mendapat fasilitas dari Negara, yaitu atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai."

bahwa frase yang atas penyerahannya pada Pasal 16B ayat (3) UU PPN mengandung makna yang apabila diserahkan. ltulah sebabnya, pilihan kata pada bagian penjelasan Pasal 16B ayat (3) UU PPN adalah "memproduksi" bukan "melakukan Penyerahan BKP”

bahwa ketika PKP memproduksi BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, ketika itu pulalah ketentuan yang menyatakan bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan berlaku tanpa menunggu kepastian adanya penyerahan BKP tersebut. itulah sebabnya frase yang digunakan dalam Pasal 16B adalah "yang atas penyerahannya", bukan "Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Penyerahan BKP".

bahwa berkaitan dengan sengketa a quo, Pemohon Banding adalah Pengusaha Kena Pajak yang memproduksi BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, oleh karena itu, sesuai ketentuan Pasal 16B ayat (3) UU PPN, Pajak Masukan atas perolehan BKP tersebut tidak dapat dikreditkan;
  1. Penafsiran Teleologis Pasal 16B UU PPN: Penafsiran dengan memperhatikan maksud dan tujuan kemasyarakatan (sosiologis)
bahwa maksud dan tujuan pengaturan dalam Pasal 16B ayat (1) UU PPN adalah memberikan fasilitas dengan Tujuan dan maksud diberikannya kemudahan pada hakikatnya untuk memberikan fasilitas perpajakan yang benar-benar diperlukan terutama untuk berhasilnya sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.

bahwa berdasarkan PP-31, penyerahan TBS diberi fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN. Salah satu tujuan fasilitas tersebut adalah meningkatkan daya saing pengusaha yang melakukan penyerahan TBS tersebut.

bahwa praktik di dalam masyarakat, Pengusaha yang melakukan penyerahan TBS adalah para petani atau pengusaha lain yang secara umum memiliki kapasitas modal terbatas sehingga tidak mempunyai modal yang cukup untuk mengolah TBS menjadi CPO. Tujuan yang ingin dicapai dari pemberian fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN adalah untuk meningkatkan daya saing bagi para Pengusaha tersebut dan sebagai konsekuensinya, pengusaha tersebut tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukannya untuk memastikan bahwa tidak ada unsur nilai tambah dalam harga jualnya;

bahwa penjelasan Pasal 16B ayat (1) UU PPN menegaskan bahwa:

Karena itu setiap kemudahan dalam bidang perpajakan jika benar-benar diperlukan harus mengacu pada kaidah di alas dan perlu dijaga agar di dalam penerapannya tidak menyimpang dari maksud dan tujuan diberikannya kemudahan tersebut.

bahwa jika bagi pengusaha yang melakukan usaha terpadu sebagaimana Pemohon Banding dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan TBS sementara bagi para petani dan pengusaha TBS tidak boleh mengkreditkan Pajak Masukannya, maka tujuan diberikannya kemudahan (fasilitas) berupa peningkatan daya saing tidak akan tercapai;

bahwa komoditas yang ingin ditingkatkan daya saingnya adaiah TBS, karet, batang tebu dan daun teh kering (bukan CPO, crumb rubber, gula dan teh);
  1. Netralitas PPN
bahwa prinsip netralitas dalam Pajak Pertambahan Nilai perlu dikedepankan dan tidak boleh ditinggalkan karena PPN tidak menghendaki adanya kondisi yang mempengaruhi kompetisi dalam dunia bisnis. Jika Pajak Masukan untuk menghasilkan TBS pada usaha terintegrasi dapat dikreditkan, Pengusaha yang memiliki modal kecil yang tidak mampu memiliki unit pengolahan (di dalamnya termasuk petani), akan kesulitan berkompetisi harga dengan pengusaha besar (karena Pajak Masukan akan menjadi unsur Harga Pokok Penjualan). Hal tersebut bertentangan dengan prinsip netralitas PPN yang menghendaki PPN tidak mempengaruhi kompetisi dalam bisnis.

bahwa mengingat TBS merupakan Barang Kena pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan untuk menjaga prinsip netralitas, maka Majelis berpendapat Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan TBS tidak dapat dikreditkan.
  1. PPN sebagai Pajak Objektif
bahwa karakteristik lain dari PPN menyatakan bahwa PPN merupakan pajak objektif, artinya, terutang atau tidak terutangnya PPN ditentukan oleh objeknya bukan oleh subjeknya (konsumennya);

bahwa sebagai ilustrasi, seorang Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan beras kepada orang lain di Pulau Batam, tidak akan memungut PPN Keluaran. Tidak adanya PPN Keluaran disebabkan karena objeknya yaitu penyerahan beras (non-BKP) bukan subjeknya (orang lain di Pulau Batam). Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa seorang Pengusaha yang melakukan penyerahan non-BKP kepada siapapun dan dengan cara apapun, dia tidak akan memungut PPN Keluaran;

bahwa berkaitan dengan karakter PPN sebagai pajak objektif, sesuai ketentuan umum, memang masih terdapat keadaan saling terkait mengenai persyaratan kumulatif objek PPN sebagai berikut:

1) Keadaan Pengusahanya (apakah Pengusaha Kena Pajak atau bukan), atau
2) Status Barangnya (apakah BKP, non BKP, atau BKP yang diberi fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN); atau
3) Sifat penyerahannya, (apakah penyerahannya termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP atau tidak);

bahwa untuk mengatasi saling keterkaitan tersebut, Pasal 16B ayat (3) UU PPN memberi penjelasan sebagai berikut:

Meskipun Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak "B" kepada Pengusaha Kena Pajak pemasok tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, akan tetapi karena tidak ada Pajak Keluaran berhubunq diberikannya fasilitas dibebaskan dari pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka Pajak Masukan tersebut menjadi tidak dapat dikreditkan;

bahwa keterkaitan karakter objektif pada ketentuan umum tersebut sudah dipecahkan oleh Pasal 16B ayat (3) UU PPN sebagai ketentuan khusus yang dapat mengesampingkan ketentuan umum;

bahwa Pasal 16B ayat (3) UU PPN dengan tegas menyatakan bahwa tidak adanya Pajak Keluaran disebabkan karena status barangnya yaitu BKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN sebagai konsekuensi tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas perolehan BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN tersebut telah sesuai dengan karakter objektif PPN dan kedudukan Pasal 16B UU PPN sebagai ketentuan khusus;

bahwa berdasarkan fakta-fakta di atas, Majelis berpendapat bahwa tidak ada korelasi langsung antara saat pengkreditan Pajak Masukan dengan penyerahan BKP, akan tetapi berkaitan langsung dengan saat tersedianya BKP untuk dijual (apabila sudah berproduksi);

bahwa perlakuan yang sama terhadap semua Wajib Pajak harus dikaitkan dengan tujuan dan maksud diberikannya kemudahan tersebut yaitu mendorong pembangunan nasional dengan membantu tersedianya barang yang bersifat strategis dalam sengketa a quo berupa Tandan Buah Segar Sawit;

bahwa atas sengketa a quo, Terbanding telah benar memberlakukan dan menerapkan perlakuan yang sama atas tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan atas pupuk, pestisida, traktor, sepatu boot dan sebagainya yang berkaitan dengan unit/divisi yang menghasilkan TBS (BKP yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN) baik pada perusahaan yang hanya melakukan penyerahan TBS dan perusahaan yang menghasilkan TBS untuk diolah pada divisi pengolahan;

bahwa TBS yang dikonsumsi oleh Pemohon Banding merupakan bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan menghasilkan CPO, maka pemakaian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung;

bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001, TBS termasuk ke dalam kriteria barang strategis yang mendapatkan fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN, maka konsumsi TBS oleh Pemohon Banding tidak dikenakan PPN sehingga Pajak Masukan yang telah dibayar dalam rangka menghasilkan TBS tidak dapat dikreditkan;

bahwa Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila berkaitan dengan kegiatan untuk memproduksi/menghasilkan barang tidak kena pajak atau Barang Kena Pajak yang memperoleh fasilitas pembebasan;

bahwa Pemohon Banding terbukti melakukan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar sehingga termasuk dalam kegiatan usaha yang mendapat perlakuan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16B UU PPN, maka harus tunduk dengan perlakuan khusus yang diterapkan dalam Pasal 16 B UU PPN;

bahwa perusahaan kelapa sawit terpadu tidak dapat mengklaim Pajak Masukan untuk dikreditkan karena TBS termasuk ke dalam kategori barang strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut kemudian terbentuk pada biaya yang digunakan untuk proses pabrikasi.

bahwa perusahaan kelapa sawit yang terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang menghasilkan barang tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang terutang PPN, maka:
  1. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak (CPO/PKO), dapat dikreditkan;
  2. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan barang hasil pertanian (mendapat fasilitas pembebasan), tidak dapat dikreditkan;
  3. Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk kegiatan menghasilkan Barang Kena Pajak sekaligus untuk kegiatan menghasilkan BKP Strategis, dapat dikreditkan sebanding dengan jumlah peredaran BKP terhadap peredaran seluruhnya;
bahwa mengingat Pajak Masukan yang telah dikreditkan oleh Pemohon Banding berasal dari perolehan/pembelian pupuk dan bahan-bahan kimia pembasmi hama yang digunakan dalam rangka menghasilkan TBS Sawit, maka mekanisme pengkreditannya harus dihubungkan dengan barang yang di hasilkan;

bahwa TBS merupakan barang hasil pertanian yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, sehingga Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS, tidak dapat dikreditkan;
Menimbang : bahwa berdasarkan Pertimbangan Hukum tersebut di atas, Majelis berkesimpulan bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan untuk kegiatan menghasilkan TBS Sawit (Barang Strategis), tidak dapat dikreditkan dengan demikian koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp4.184.262.655,00 tetap dipertahankan karena telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
Menimbang : bahwa Hakim ABC, S.H., M.Hum., memberikan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) atas sengketa ini, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
  1. Dasar Hukum
    1. Pasal 13 ayat (3) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009;
    2. Pasal 1 angka 15, Pasal 1A ayat (1) huruf a, Pasal 4, Pasal 9 ayat (8), Pasal 16 B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009;
    3. Pasal 3 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atu Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
  2. bahwa berdasarkan Risalah Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan tanggal 7 bulan April 2014, kegiatan Pemohon Banding di bidang perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak kelapa sawit (CPO dan PK), dimana Pemohon Banding telah memproduksi CPO dan PK. Menurut Hakim ABC, S.H., M.Hum., kegiatan Pemohon Banding merupakan perusahaan yang sudah terintegrasi (integrated);
  3. bahwa unit kebun dan unit pengolahan (pabrik) menurut Hakim ABC, S.H., M.Hum., bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undangundang Pajak Pertambahan Nilai;
  4. bahwa beralihnya TBS dari unit kebun ke unit pengolahan (pabrik) menurut Hakim ABC, S.H., M.Hum., merupakan peralihan dalam rangka proses produksi yang dilakukan dalam satu entitas, sehingga bukan merupakan penyerahan sebagaimana dimaksud Pasal 1A ayat (1) Undangundang Pajak Pertambahan Nilai;
bahwa berdasarkan fakta hukum di atas, peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keyakinan hakim, Hakim ABC, S.H., M.Hum., berpendapat koreksi Terbanding atas Pajak Masukan sebesar Rp2.329.915.186,00 tidak dapat dipertahankan;
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Tarif Pajak;
Menimbang : bahwa dalam sengketa banding ini tidak terdapat sengketa mengenai Sanksi Administrasi;
Menimbang : bahwa atas hasil pemeriksaan dalam persidangan, Majelis berketetapan untuk menggunakan kuasa Pasal 80 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak untuk menolak banding Pemohon Banding;
Memperhatikan : Surat Banding Pemohon Banding, Surat Uraian Banding Terbanding, Surat Bantahan Pemohon Banding, hasil pemeriksaan dan pembuktian dalam persidangan;
Mengingat : Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, dan ketentuan perundang-undangan lainnya serta peraturan hukum yang berlaku dan yang berkaitan dengan perkara ini;
Memutuskan : Menolak banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Terbanding Nomor: KEP-2282/WPJ.19/2014 tanggal 6 November 2014 tentang Keberatan Wajib Pajak Atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Masa Pajak April 2012 Nomor: 00093/207/12/092/14 tanggal 11 April 2014, atas nama Pemohon Banding;

Demikian diputus di Jakarta berdasarkan suara terbanyak setelah pemeriksaan dalam persidangan yang dicukupkan pada hari Rabu tanggal 20 Januari 2016, oleh Hakim Majelis XV B Pengadilan Pajak yang ditunjuk dengan Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: Pen.00380/PP/PM/VI/2015 tanggal 3 Juli 2015 juncto Penetapan Ketua Pengadilan Pajak Nomor: Pen.36/PP/PM/VIII/PrbSM/2015 tanggal 20 Agustus 2015 dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

Drs. BCD, Ak. Sebagai Hakim Ketua,
ABC, S.H., M.Hum. Sebagai Hakim Anggota,
Dr. CDE, Ak., M.M., M.Hum. Sebagai Hakim Anggota,
DEF Sebagai Panitera Pengganti,

dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada hari Rabu tanggal 10 Februari 2016 dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh Pemohon Banding serta tidak dihadiri oleh Terbanding.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA