Peraturan Dirjen Bea dan Cukai Nomor : PER - 04/BC/2014

Kategori : PPN, Lainnya

Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012 Tentang Tata Laksana Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor


PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER - 04/BC/2014

TENTANG

PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER-16/BC/2012 TENTANG TATA LAKSANA PEMBEBASAN BEA
MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU

DIPASANG PADA BARANG LAIN DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang :

  1. bahwa dengan diterbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor, perlu dilakukan perubahan pada Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012 tentang Tata Laksana Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012 tentang Tata Laksana Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor;

Mengingat : 

  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda di Bidang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4838);
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 259/PMK.04/2010 tentang Jaminan Dalam Rangka Kepabeanan;
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013;

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-16/BC/2012 TENTANG TATA LAKSANA PEMBEBASAN BEA MASUK ATAS IMPOR BARANG DAN BAHAN UNTUK DIOLAH, DIRAKIT, ATAU DIPASANG PADA BARANG LAIN DENGAN TUJUAN UNTUK DIEKSPOR.


Pasal I


Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012 Tentang Tata Laksana Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 1


Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
  1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.
  2. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean.
  3. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dari daerah pabean.
  4. Bea Masuk adalah bea masuk, bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan.
  5. Pembebasan adalah pembebasan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas Impor Bahan Baku untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor.
  6. Perusahaan adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan Bahan Baku yang mendapatkan Pembebasan.
  7. Nomor Induk Perusahaan Pembebasan yang selanjutnya disingkat NIPER Pembebasan adalah nomor identitas yang diberikan kepada Perusahaan.
  8. Bahan Baku adalah barang dan/atau bahan termasuk bahan penolong, yang diimpor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain untuk menjadi barang hasil produksi yang mempunyai nilai tambah dengan mendapatkan Pembebasan.
  9. Bahan Baku Yang Rusak adalah bahan baku yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan mutu dan tidak dapat diproses atau apabila diproses akan menghasilkan Hasil Produksi yang tidak memenuhi kualitas/standar.
  10. Hasil Produksi adalah hasil pengolahan, perakitan, atau pemasangan Bahan Baku pada barang lain dan wajib diekspor.
  11. Hasil Produksi Yang Rusak adalah hasil produksi yang mengalami kerusakan dan/atau penurunan kualitas/standar mutu yang secara teknis tidak dapat diperbaiki menyamai kualitas/standar Hasil Produksi.
  12. Konversi adalah suatu pernyataan tertulis dari Perusahaan mengenai komposisi pemakaian Bahan Baku untuk setiap satuan Hasil Produksi.
  13. Diolah adalah serangkaian kegiatan yang terdiri lebih dari satu tahapan kegiatan yang bertujuan untuk mengubah sifat dan/atau fungsi awal suatu Bahan Baku, sehingga menjadi barang Hasil Produksi yang mempunyai nilai tambah.
  14. Dirakit adalah kegiatan berupa merangkai dan/atau menyatukan beberapa barang dan/atau bahan sehingga menghasilkan Hasil Produksi atau alat/barang yang memiliki fungsi yang berbeda dengan Bahan Baku dan/atau barang komponen awal.
  15. Dipasang adalah kegiatan untuk menyatukan beberapa komponen barang dan/atau bahan pada bagian utama barang jadi yang tanpa ada penyatuan komponen barang dan/atau bahan tersebut, Hasil Produksi tersebut tidak dapat berfungsi.
  16. Kegiatan subkontrak adalah kegiatan pengalihan sebagian atau seluruh proses pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan yang dilakukan perusahaan kepada badan usaha lain.
  17. Laporan Pemeriksaan Ekspor yang selanjutnya disingkat LPE adalah laporan hasil pemeriksaan pabean barang Ekspor dengan fasilitas Pembebasan, yang diterbitkan oleh Kantor Pabean tempat pemuatan setelah dilakukan rekonsiliasi.
  18. Pemusnahan adalah kegiatan menghilangkan wujud dan bentuk asal suatu barang menjadi suatu unsur atau senyawa yang tidak dapat dibentuk menjadi barang asal.
  19. Perusakan adalah kegiatan mengubah bentuk dan spesifikasi suatu barang yang sifat dan bentuknya tidak dapat dimusnahkan, menjadi barang yang tidak dapat dipakai sesuai tujuan pemberian fasilitas Pembebasan.
  20. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.
  21. Kantor Wilayah atau KPU adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  22. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Kepabeanan.
  23. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan.
   
2. Ketentuan Pasal 2 ayat (1) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan satu ayat yaitu ayat (1a), dan ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) dihapus, sehingga Pasal 2 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 2


(1) Atas Impor Bahan Baku untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan Pembebasan.
(1a) Atas pengeluaran Bahan Baku dalam rangka subkontrak oleh Perusahaan kepada badan usaha penerima subkontrak dan pemasukan kembali hasil pekerjaan subkontrak ke Perusahaan, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
(6) Dihapus.
   
3. Ketentuan Pasal 3 ayat (2), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diubah, ayat (3) dihapus, di antara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (4a), dan ditambahkan 2 (dua) ayat yaitu ayat (7) dan ayat (8), sehingga Pasal 3 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 3

(1) Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang telah memperoleh NIPER Pembebasan.
(2) Untuk memperoleh NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) badan usaha harus mengajukan surat permohonan NIPER Pembebasan dan mengisi daftar isian permohonan serta memenuhi kriteria dan persyaratan sebagai berikut:
  1. mempunyai sistem pengendalian intern yang baik, yang dibuktikan dengan:
    1. laporan hasil audit dari auditor independen yang terbit paling lama 2 (dua) tahun terakhir dari tanggal permohonan NIPER Pembebasan, dengan opini tidak disclaimer atau adverse; atau
    2. paparan sistem pengendalian intern (SPI) dalam hal badan usaha baru berdiri atau belum memiliki laporan hasil audit dari auditor independen.
  2. memiliki sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) untuk pengelolaan barang yang dibuktikan dengan adanya paparan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) dalam bentuk print screen dan buku manual atas sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory), yang memiliki kriteria sebagai berikut:
    1. adanya keterkaitan pemasukan Bahan Baku dengan dokumen kepabeanan impor yang berasal dari:
      a) luar daerah pabean;
      b) Kawasan berikat;
      c) Gudang Berikat;
      d) Kawasan Bebas yang dilakukan oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Bebas; dan/atau
      e) Kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah;
    2. adanya keterkaitan pengeluaran Hasil Produksi dengan dokumen kepabeanan ekspor;
    3. dapat digunakan untuk mengetahui mutasi Bahan Baku dan Hasil Produksi secara berkelanjutan dan real time;
    4. adanya pemisahan dengan penggunaan kode yang berbeda atas barang dan/atau bahan yang mendapatkan fasilitas Pembebasan, barang dan/atau bahan yang mendapatkan fasilitas Pengembalian, barang dan/atau bahan yang tidak mendapatkan fasilitas Pembebasan dan fasilitas Pengembalian, dan waste/scrap;
    5. dapat menghasilkan laporan sebagai berikut:
      a) laporan pemasukan Bahan Baku;
      b) laporan pemakaian Bahan Baku;
      c) laporan pemakaian barang dalam proses dalam rangka kegiatan subkontrak;
      d) laporan pemasukan Hasil Produksi;
      e) laporan pengeluaran Hasil Produksi;
      f) laporan mutasi Bahan Baku;
      g) laporan mutasi Hasil Produksi; dan
      h) laporan penyelesaian waste/scrap;
    6. laporan-laporan sebagaimana dimaksud pada angka 5 dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan digunakan sebagai dasar pembuatan laporan pertanggungjawaban pemakaian Bahan Baku (BCL.KT 01).
  3. memiliki nature of business atau bidang usaha berupa badan usaha industri manufaktur, yang dibuktikan dengan izin usaha industri beserta perubahannya;
  4. memiliki atau menguasai lokasi untuk kegiatan produksi, yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atau penguasaan lokasi paling singkat 3 (tiga) tahun sejak permohonan NIPER Pembebasan diajukan, disertai dengan denah dan peta lokasi;
  5. memiliki atau menguasai tempat penimbunan Bahan Baku, dan tempat penimbunan Hasil Produksi, yang dibuktikan dengan bukti kepemilikan atau penguasaan lokasi paling singkat 6 (enam) bulan sejak permohonan NIPER Pembebasan diajukan, disertai dengan denah dan peta lokasi, dalam hal tempat tersebut terpisah dari lokasi untuk kegiatan produksi;
  6. memiliki nomor identitas kepabeanan (NIK); dan
  7. memiliki rencana produksi, yang dibuktikan dengan adanya:
    1. bagan alur proses produksi dan masa produksi;
    2. rencana Impor, rencana Ekspor, daftar Bahan Baku, daftar Hasil Produksi; dan
    3. izin usaha badan usaha penerima subkontrak, denah serta peta lokasi, dan surat perjanjian/kontrak kerja, dalam hal terdapat proses produksi yang akan disubkontrakkan.
(3) Dihapus.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU yang memiliki wilayah kerja yang mengawasi lokasi pabrik badan usaha yang bersangkutan, dengan melampirkan pembuktian kriteria dan persyaratan dalam bentuk soft copy berupa hasil scan dari dokumen asli dalam media penyimpan data elektronik.
(4a) Kepala Kantor Wilayah atau KPU dapat meminta hard copy dokumen pembuktian kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam hal terdapat dokumen dalam bentuk soft copy yang kurang jelas dan/atau memerlukan penjelasan lebih lanjut.
(5) Dalam hal badan usaha mempunyai lebih dari 1 (satu) lokasi pabrik, surat permohonan NIPER Pembebasan ditujukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU yang mengawasi lokasi pabrik yang mempunyai frekuensi atau jumlah dokumen pemberitahuan pabean Impor Bahan Baku terbanyak.
(6) Surat permohonan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Daftar isian permohonan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(8) Laporan-laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b angka 5 paling sedikit memuat elemen data sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
4. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 4

(1) Terhadap permohonan badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk:
  1. menerima berkas permohonan NIPER Pembebasan dan lampiran kelengkapan data badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen;
  2. memberikan tanda terima berkas permohonan NIPER Pembebasan dalam hal berkas permohonan dan lampiran kelengkapan data sebagaimana dimaksud pada huruf a dinyatakan lengkap, atau memberikan surat penolakan berkas permohonan NIPER Pembebasan dalam hal dokumen yang diserahkan tidak lengkap disertai dengan alasan;
  3. melakukan penelitian administrasi terhadap kesesuaian daftar isian permohonan NIPER Pembebasan dengan data lampiran kelengkapan, sebagai berikut:
    1. nature of bussiness atau bidang usaha sesuai dengan data yang tercantum dalam izin usaha industri beserta perubahannya;
    2. bukti kepemilikan atau penguasaan lokasi untuk kegiatan produksi paling singkat 3 (tiga) tahun sejak permohonan NIPER Pembebasan diajukan;
    3. bukti kepemilikan atau penguasaan lokasi tempat penimbunan Bahan Baku, dan tempat penimbunan Hasil Produksi paling singkat 6 (enam) bulan sejak permohonan NIPER Pembebasan diajukan, dalam hal tempat tersebut terpisah dari lokasi untuk kegiatan produksi;
    4. nama badan usaha, alamat kantor, nomor telepon, faximile, email, nama dan identitas penanggungjawab badan usaha, serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sesuai dengan data dalam nomor identitas kepabeanan (NIK);
    5. masa produksi sesuai dengan bagan alur proses produksi;
    6. izin usaha industri sesuai dengan jenis Bahan Baku dan Hasil Produksi dalam daftar Bahan Baku dan daftar Hasil Produksi; dan
    7. izin usaha badan usaha yang terdaftar dalam daftar isian NIPER Pembebasan tentang badan usaha penerima subkontrak dan surat perjanjian/kontrak kerja, dalam hal terdapat proses produksi yang akan disubkontrakkan;
  4. menerbitkan surat penolakan berkas permohonan NIPER Pembebasan disertai dengan alasan, dalam hal hasil penelitian administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf c terdapat ketidaksesuaian;
  5. melakukan analisis dan penilaian atas Sistem Pengendalian Intern sesuai kriteria dan persyaratan dalam penerbitan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (2) huruf a;
  6. melakukan analisis dan penilaian atas sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sesuai kriteria dan persyaratan penerbitan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (2) huruf b;
  7. menerbitkan surat penolakan berkas permohonan NIPER Pembebasan disertai dengan alasan, dalam hal hasil analisis dan penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f tidak memenuhi kriteria dan persyaratan;
  8. menerbitkan surat tugas pemeriksaan lapangan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan lapangan dalam hal hasil analisis dan penilaian sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f dinyatakan memenuhi kriteria dan persyaratan penerbitan NIPER Pembebasan;
  9. pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf h dilakukan paling sedikit terhadap obyek sebagai berikut:
    1. lokasi kegiatan produksi sesuai dengan denah dan peta lokasi;
    2. kesesuaian kegiatan proses produksi dengan alur produksi;
    3. tempat penimbunan Bahan Baku, dan tempat penimbunan Hasil Produksi dalam hal tempat tersebut terpisah dari lokasi untuk kegiatan produksi;
    4. lokasi badan usaha penerima subkontrak, dalam hal badan usaha melakukan kegiatan subkontrak; dan
    5. Sistem Pengendalian Intern dan sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) untuk pengelolaan barang;
  10. membuat Berita Acara Pemeriksaan atas kegiatan:
    1. penelitian kelengkapan dokumen dan administrasi sebagaimana dimaksud pada huruf c;
    2. analisis atas kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada huruf e dan huruf f; dan
    3. pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf i;
  11. membuat surat penolakan permohonan NIPER Pembebasan disertai dengan alasan, dalam hal hasil pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada huruf i terdapat ketidaksesuaian; dan
  12. melakukan loading daftar isian permohonan NIPER Pembebasan ke dalam Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(2) Kepala Kantor Wilayah atau KPU dapat melakukan koordinasi dengan bidang pengawasan dan unit yang menangani audit dalam melakukan kegiatan analisis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dan huruf f, serta kegiatan pemeriksaan lapangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i.
(3) Kepala Kantor Wilayah atau KPU dapat melakukan koordinasi dengan Kepala Kantor Wilayah atau KPU lain, atau dengan Kepala Kantor Pabean terdekat dalam melakukan pemeriksaan lapangan dalam hal tempat penimbunan dan/atau pembongkaran Bahan Baku dan tempat penimbunan Hasil Produksi berada di luar wilayah pengawasan Kantor Wilayah atau KPU.
(4) Kepala Kantor Wilayah atau KPU atas nama Menteri menerbitkan keputusan NIPER Pembebasan dalam hal permohonan NIPER Pembebasan disetujui.
(5) Penerbitan keputusan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau surat penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf g, dan huruf k, dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(6) Dalam hal permohonan NIPER Pembebasan ditolak badan usaha dapat mengajukan permohonan pemrosesan kembali setelah memenuhi alasan penolakan dan proses penerbitan NIPER Pembebasan dapat dilanjutkan tanpa mengulang tahapan pemeriksaan yang dinyatakan telah sesuai.
(7) Tanda terima berkas permohonan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(8) Berita Acara Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf j, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(9) Keputusan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(10) Surat penolakan permohonan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf d, huruf g, dan huruf k, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
5. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) Dalam hal terdapat perubahan data terkait data entitas, data eksistensi dan data kegiatan produksi yang ada dalam data lampiran NIPER Pembebasan, Perusahaan harus segera mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan untuk dilakukan perubahan data.
(2) Permohonan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan dokumen data yang mengalami perubahan.
(3) Terhadap permohonan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai:
  1. menerima berkas permohonan beserta lampirannya;
  2. meneliti kelengkapan dan kesesuaian permohonan beserta lampirannya; dan
  3. melakukan pemeriksaan lapangan dalam hal diperlukan adanya pemeriksaan lapangan.
(4) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan sesuai, Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. melakukan pemutakhiran data lampiran NIPER Pembebasan terkait data yang dimohonkan perubahan; dan
  2. menerbitkan surat keputusan perubahan data NIPER Pembebasan disertai dengan data lampiran NIPER Pembebasan.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak sesuai Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk memberikan surat pemberitahuan penolakan beserta alasannya.
(6) Persetujuan atau penolakan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
(7) Perusahaan dapat mengajukan permohonan pemrosesan kembali perubahan data NIPER Pembebasan dalam hal hasil penelitian dinyatakan tidak sesuai sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dengan melampirkan bukti pendukung lain.
(8) Keputusan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
6. Ketentuan Pasal 6 dihapus.
   
7. Ketentuan Pasal 7 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 7


(1) Periode Pembebasan merupakan periode yang diberikan kepada Perusahaan untuk melaksanakan Ekspor Hasil Produksi.
(2) Periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu:
  1. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dengan memperhatikan masa produksi Perusahaan; atau
  2. melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam hal Perusahaan memiliki masa produksi lebih dari 12 (dua belas) bulan.
(3) Jangka waktu periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dengan jangka waktu tertentu berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau KPU, dalam hal:
  1. terdapat penundaan ekspor dari pembeli di luar negeri;
  2. terdapat pembatalan ekspor atau penggantian pembeli di luar negeri; dan/atau
  3. terdapat kondisi force majeure, seperti:
    1. peperangan, bencana alam, atau kebakaran; atau
    2. bencana lainnya yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
(4) Perpanjangan periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. permohonan perpanjangan periode Pembebasan telah diserahkan sebelum periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir; dan
  2. diberikan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir.
(5) Untuk memperoleh persetujuan perpanjangan periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Perusahaan mengajukan surat permohonan perpanjangan periode Pembebasan dilampiri dengan:
  1. dokumen pabean Impor yang dimohonkan perpanjangan; dan
  2. bukti pendukung permohonan perpanjangan periode Pembebasan:
    1. bukti penundaan ekspor dari pembeli di luar negeri;
    2. bukti pembatalan ekspor atau penggantian pembeli di luar negeri; dan/atau
    3. bukti adanya force majeure seperti surat keterangan kepolisian atau surat keterangan perusahaan perasuransian.
(6) Atas permohonan perpanjangan periode pembebasan, Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menerima berkas permohonan beserta lampirannya;
  2. melakukan penelitian terhadap:
    1. periode Pembebasan atas dokumen pabean Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a;
    2. alasan permohonan perpanjangan periode Pembebasan; dan
    3. dokumen pendukung atau bukti terkait alasan permohonan perpanjangan periode Pembebasan.
(7) Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Kepala Kantor Wilayah atau KPU memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau KPU:
  1. menerbitkan surat persetujuan perpanjangan periode Pembebasan dan pemberitahuan penggantian jaminan; dan
  2. menerbitkan Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) setelah Perusahaan melakukan penggantian jaminan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau KPU menyampaikan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.
(10) Surat Permohonan Perpanjangan Periode Pembebasan sebagaimana disebut pada ayat (5), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(11) Surat persetujuan perpanjangan periode Pembebasan dan pemberitahuan penggantian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(12) Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
8. Ketentuan Pasal 8 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Perusahaan dapat melakukan Impor Bahan Baku yang berasal dari:
  1. luar daerah pabean;
  2. Gudang Berikat;
  3. Kawasan Berikat;
  4. Kawasan Bebas yang dilakukan oleh pengusaha di Kawasan Bebas yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan Kawasan Bebas; dan/atau
  5. kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Atas Impor Bahan Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberlakukan ketentuan umum di bidang impor, termasuk ketentuan perundang-undangan yang mengatur mengenai larangan dan/atau pembatasan Impor.
(3) Perusahaan yang telah memiliki NIPER Pembebasan dapat melakukan Impor Bahan Baku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
  1. pelaksanaan Impor Bahan Baku menggunakan dokumen pemberitahuan pabean impor sesuai dengan asal Bahan Baku;
  2. jenis Bahan Baku harus sesuai dengan jenis yang tercantum dalam lampiran NIPER Pembebasan tentang data kegiatan produksi Perusahaan; dan
  3. menyerahkan jaminan sebesar nilai Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang tidak dipungut atas Bahan Baku sebagaimana diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor ke Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan.
(4) Dalam rangka pelaksanaan Impor Bahan Baku dari Gudang Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ke Perusahaan, Pengusaha Gudang Berikat atau PDGB dan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. mengisi dokumen pemberitahuan impor barang dari Tempat Penimbunan Berikat (BC 2.5) sesuai dengan tatacara pengisian sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan yang mengatur tentang pemberitahuan pabean impor;
  2. mengisi isian NIPER Pembebasan penerima barang pada kolom penerima barang;
  3. mengisi nilai Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah pada kolom Data Penerimaan Negara dalam kolom Dibebaskan;
  4. mengisi jumlah Pajak Penghasilan pada kolom Data Penerimaan Negara dalam kolom Dibayar; dan
  5. menyerahkan dokumen pemberitahuan impor barang dari Tempat Penimbunan Berikat (BC 2.5) kepada Perusahaan untuk proses penerbitan Surat Tanda Terima Jaminan.
(5) Dalam rangka Impor Bahan Baku berasal dari Gudang Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan/atau Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Perusahaan melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menyerahkan dokumen pemberitahuan impor barang dari Tempat Penimbunan Berikat (BC 2.5) disertai dengan jaminan kepada Kantor Wilayah atau KPU Penerbit NIPER Pembebasan; dan
  2. mengirimkan kembali dokumen pemberitahuan impor barang dari Tempat Penimbunan Berikat (BC 2.5) disertai Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) dan copy jaminan kepada Pengusaha Gudang Berikat atau PDGB dan Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB untuk proses pengeluaran barang.
(6) Pelaksanaan impor Bahan Baku dari Gudang Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata laksana pengeluaran barang impor dari Tempat Penimbunan Berikat dalam rangka Impor untuk dipakai.
(7) Pelaksanaan Impor Bahan Baku dari Kawasan Bebas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e ke Perusahaan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
9. Ketentuan Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 9

(1) Atas Impor Bahan Baku sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat (1) Perusahaan harus mengajukan dokumen pemberitahuan pabean Impor sebagaimana dimaksud pada pasal 8 ayat (3) huruf a dengan mencantumkan NIPER Pembebasan pada kolom pemenuhan persyaratan/fasilitas Impor.
(2) Dalam hal dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mencantumkan NIPER Pembebasan pada kolom pemenuhan persyaratan/fasilitas Impor, atas Impor barang dan/atau bahan yang terdapat pada pemberitahuan pabean Impor dimaksud tidak mendapat Pembebasan.
(3) Dalam hal dokumen pemberitahuan impor barang dari Tempat Penimbunan Berikat (BC 2.5) tidak mencantumkan NIPER Pembebasan pada kolom penerima barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (4) huruf b, atas Impor barang dan/atau bahan yang terdapat pada pemberitahuan Impor barang dari Tempat Penimbunan Berikat (BC 2.5) dimaksud tidak mendapat Pembebasan.
   
10. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 10

(1) Perusahaan wajib menyerahkan jaminan atas Impor Bahan Baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf c di Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan pada saat pengajuan dokumen pemberitahuan pabean Impor, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. jangka waktu berlakunya jaminan paling singkat selama periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan ditambah 3 (tiga) bulan; dan
  2. nilai jaminan yang diserahkan paling sedikit sebesar Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas Bahan Baku sebagaimana diberitahukan dalam pemberitahuan pabean Impor.
(2) Perusahaan dapat menyerahkan jaminan dalam bentuk corporate guarantee dengan ketentuan:
  1. Perusahaan termasuk Authorized Economic Operator;
  2. Perusahaan berstatus sebagai importir Mitra Utama (MITA) Prioritas atau importir Mitra Utama (MITA) Non Prioritas; atau
  3. Perusahaan dengan kategori risiko rendah dan memiliki kondisi keuangan yang baik, yang dibuktikan dengan:
    1. Likuiditas Perusahaan yang merupakan perbandingan antara aktiva lancar dengan hutang lancarnya lebih besar dari 1 (satu) dalam 2 (dua) tahun terakhir;
    2. Solvabilitas Perusahaan yang merupakan nilai perbandingan antara total aktiva dengan total hutang dalam laporan keuangan 1 (satu) tahun terakhir di atas 110% (seratus sepuluh persen); dan
    3. Rentabilitas Perusahaan yang merupakan perbandingan antara laba bersih dengan total modal bernilai positif dalam 2 (dua) tahun terakhir.
(3) Dalam hal Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan menggunakan corporate guarantee, Perusahaan harus menyerahkan surat keputusan izin penggunaan jaminan perusahaan atau corporate guarantee kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU Penerbit NIPER Pembebasan, untuk diterbitkan Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) dalam bentuk corporate guarantee.
(4) Untuk mendapatkan surat keputusan izin penggunaan jaminan dalam bentuk corporate guarantee sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Perusahaan mengajukan permohonan kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan, dilampiri dengan:
  1. Surat Jaminan Perusahaan (corporate guarantee);
  2. laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen 2 (dua) tahun terakhir; dan
  3. fotokopi keputusan fasilitas pelayanan khusus di bidang kepabeanan, dalam hal Perusahaan termasuk Authorized Economic Operator atau Perusahaan berstatus sebagai importir Mitra Utama (MITA) Prioritas atau importir Mitra Utama (MITA) Non Prioritas.
(5) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur Fasilitas Kepabeanan atas nama Menteri memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(6) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, Direktur Fasilitas Kepabeanan atas nama Menteri menerbitkan keputusan izin penggunaan Jaminan perusahaan atau corporate guarantee.
(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditolak, Direktur Fasilitas Kepabeanan membuat surat pemberitahuan penolakan permohonan dengan menyebutkan alasan.
(8) Dalam hal Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lagi memenuhi kriteria untuk dapat menggunakan jaminan berupa corporate guarantee, Perusahaan tidak dapat menggunakan jaminan berupa corporate guarantee.
(9) Terhadap jaminan yang diserahkan oleh Perusahaan, selain jaminan dalam bentuk corporate guarantee Pejabat Bea dan Cukai:
  1. melakukan penelitian terhadap jumlah dan jangka waktu jaminan; dan
  2. dapat melakukan konfirmasi penerbitan jaminan kepada penjamin atau surety dengan mempertimbangkan tingkat risiko Perusahaan dan penjamin.
(10) Dalam hal hasil penelitian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdapat ketidaksesuaian jaminan, Pejabat Bea dan Cukai menolak jaminan dengan menerbitkan surat penolakan jaminan.
(11) Dalam hal hasil penelitian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) terdapat kesesuaian jaminan, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ).
(12) Bentuk, waktu, dan tata cara penyerahan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan yang mengatur tentang Jaminan dalam rangka kepabeanan.
(13) Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) sebagaimana dimaksud pada ayat (11), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(14) Surat Tanda Terima Jaminan (STTJ) dalam bentuk corporate guarantee sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
11. Ketentuan Pasal 11 ayat (3) diubah, ayat (4) dan ayat (5) dihapus, di antara ayat (2) dan ayat (3) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (2a), dan ditambahkan 4 (empat) ayat yaitu ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan ayat (9), sehingga Pasal 11 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 11


(1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan pemeriksaan pabean atas pemberitahuan pabean impor yang diajukan oleh Perusahaan.
(2) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko.
(2a) Pemeriksaan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik barang.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan fisik barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) ditemukan adanya ketidaksesuaian jumlah dan/atau jenis barang antara yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dengan hasil pemeriksaan fisik barang, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. terhadap kelebihan jumlah dan/atau ketidaksesuaian jenis barang Impor yang diberitahukan dalam satu pemberitahuan pabean impor dimaksud tidak dapat diberikan Pembebasan; dan
  2. dilakukan penelitian atau penyelidikan lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
(6) Dalam hal hasil penelitian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2a) kedapatan bahwa jumlah dan/atau jenis barang yang diimpor sesuai dengan jumlah dan/atau jenis barang yang tercantum dalam NIPER Pembebasan, namun ditemukan adanya:
  1. ketidaksesuaian tarif antara yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dengan hasil penelitian dokumen dan/atau barang impor dikenai bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, atau bea masuk pembalasan, Perusahaan harus melakukan penyesuaian nilai jaminan; dan/atau
  2. ketidaksesuaian nilai pabean antara yang diberitahukan dalam pemberitahuan pabean impor dengan hasil penelitian dokumen, Perusahaan harus melakukan penyesuaian nilai jaminan dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
(7) Untuk melakukan penyesuaian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Kepala kantor Pabean atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk menyampaikan Nota Pembetulan Jaminan kepada Perusahaan dan Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan.
(8) Berdasarkan Nota Pembetulan Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) Perusahaan menyerahkan jaminan pengganti.
(9) Atas jaminan pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (8) Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menerbitkan Surat Tanda Terima Penggantian Jaminan.
   
12. Ketentuan Pasal 12 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8) diubah, ayat (3) dihapus, di antara ayat (5) dan ayat (6) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (5a), dan ditambahkan 2 (dua) ayat yaitu ayat (9) dan ayat (10), sehingga Pasal 12 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 12

(1) Perusahaan wajib membongkar dan/atau menimbun Bahan Baku dari kawasan pabean ke lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan dengan menggunakan dokumen pemberitahuan pabean Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) huruf a.
(2) Perusahaan dapat melakukan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi selain lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan ketentuan:
  1. mengajukan permohonan dan mendapatkan persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah atau KPU; atau
  2. menyampaikan pemberitahuan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU sebelum kegiatan pembongkaran dan/atau penimbunan, dalam hal Perusahaan termasuk Authorized Economic Operator, berstatus sebagai importir Mitra Utama (MITA) Prioritas atau importir Mitra Utama (MITA) Non Prioritas.
(3) Dihapus.
(4) Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan membuat surat persetujuan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi selain lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan dan mengirimkan salinan surat persetujuan kepada Kantor Pabean yang mengawasi lokasi dan/atau tempat kegiatan proses produksi, dalam hal permohonan disetujui.
(5) Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan membuat surat pemberitahuan penolakan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi selain lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan dengan disertai alasan, dalam hal permohonan tidak disetujui.
(5a) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (5) diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
(6) Persetujuan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a atau pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pembongkaran dan penimbunan.
(7) Dalam hal pembongkaran dan/atau penimbunan pada lokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan dilakukan secara tetap dan/atau berulang-ulang, Perusahaan wajib mengajukan perubahan data dalam data lampiran NIPER Pembebasan.
(8) Surat permohonan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi selain lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(9) Surat pemberitahuan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi selain lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(10) Surat persetujuan pembongkaran dan/atau penimbunan di lokasi selain lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
13. Ketentuan Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 13

(1) Perusahaan dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan Bahan Baku kepada badan usaha yang tercantum dalam data NIPER Pembebasan.
(2) Dalam hal Perusahaan mensubkontrakkan kegiatan awal dari kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan Bahan Baku, Perusahaan dapat mengirimkan langsung Bahan Baku dari kawasan pabean kepada badan usaha penerima subkontrak kegiatan awal tersebut tanpa dibongkar dan/atau ditimbun terlebih dahulu dalam gudang atau tempat penimbunan milik Perusahaan.
(3) Dalam hal Perusahaan mensubkontrakkan kegiatan akhir dari kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan Bahan Baku, Perusahaan dapat melakukan Ekspor Hasil Produksi dari badan usaha penerima subkontrak kegiatan akhir.
(4) Pengiriman Bahan Baku kepada badan usaha penerima subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau Ekspor Hasil Produksi dari badan usaha penerima subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. kategori Perusahaan:
    1. berstatus perusahaan terbuka yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat;
    2. termasuk dalam Authorized Economic Operator; dan/atau
    3. berstatus Mitra utama (MITA) Prioritas dan Mitra Utama (MITA) non prioritas;
  2. memiliki profil fasilitas risiko rendah atau risiko menengah; dan
  3. pemasukan dan pengeluaran atas Bahan Baku dan Hasil Produksi harus terlebih dahulu dicatat dalam sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) Perusahaan.
(5) Perusahaan dapat mensubkontrakkan seluruh kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelebihan kontrak yang tidak dapat dikerjakan karena seluruh kapasitas produksi telah terpakai, dengan ketentuan:
  1. Perusahaan berstatus perusahaan terbuka yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat, yang memiliki profil fasilitas risiko rendah atau risiko menengah;
  2. Perusahaan termasuk dalam Authorized Economic Operator; atau
  3. Perusahaan berstatus sebagai importir Mitra Utama (MITA) Prioritas dan importir Mitra Utama (MITA) Non Prioritas.
(6) Perusahaan yang akan melakukan subkontrak seluruh kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU dengan dilampiri perjanjian kontrak ekspor/agreement atau dokumen lain sejenisnya.
(7) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Kepala Kantor Wilayah atau KPU melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menerima surat permohonan dan lampirannya; dan
  2. membandingkan volume Hasil Produksi dalam kontrak ekspor dengan volume kapasitas produksi dalam data lampiran NIPER Pembebasan.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau KPU menerbitkan surat persetujuan subkontrak seluruh kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan.
(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) tidak disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau KPU menerbitkan surat penolakan disertai alasan.
(10) Dalam hal subkontrak dilakukan oleh badan usaha yang tidak tercantum dalam NIPER Pembebasan, Perusahaan harus terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU untuk mendapatkan izin, dengan dilampiri izin usaha badan usaha penerima subkontrak dan surat perjanjian/kontrak kerja dengan badan usaha penerima subkontrak.
(11) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), Kepala Kantor Wilayah atau KPU melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menerima surat permohonan penambahan badan usaha penerima subkontrak;
  2. meneliti kesesuaian kegiatan badan usaha penerima subkontrak dengan kegiatan produksi Perusahaan; dan
  3. meneliti kesesuaian surat perjanjian/kontrak kerja dengan kegiatan produksi Perusahaan.
(12) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dinyatakan sesuai, Kepala Kantor Wilayah atau KPU memberikan persetujuan dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menerbitkan surat persetujuan penambahan badan usaha penerima subkontrak;
  2. melakukan pemutakhiran data Lampiran NIPER Pembebasan terkait data badan usaha penerima subkontrak; dan
  3. menyerahkan surat persetujuan penambahan badan usaha penerima subkontrak dan surat keputusan perubahan data NIPER Pembebasan disertai lampiran data NIPER Pembebasan terkait kegiatan produksi yang telah dilakukan pemutakhiran kepada Perusahaan.
(13) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dinyatakan tidak sesuai, Kepala Kantor Wilayah atau KPU menerbitkan surat penolakan disertai alasan.
(14) Persetujuan atau penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dan ayat (13) diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
(15) Surat permohonan subkontrak seluruh kegiatan kegiatan pengolahan, perakitan, dan/atau pemasangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(16) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(17) Surat permohonan melakukan subkontrak pada badan usaha penerima subkontrak yang tidak tercantum dalam data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (10), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(18) Surat persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (12), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
14. Ketentuan Pasal 14 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Dalam hal Perusahaan akan memulai produksi, Perusahaan harus menyerahkan Konversi kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU sebelum proses produksi dimulai.
(2) Dalam hal terdapat perubahan Konversi atas Konversi yang telah ada dalam database Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan, Perusahaan harus mengajukan permohonan perubahan Konversi.
(3) Perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan menyerahkan Konversi baru.
(4) Perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU paling lambat sebelum perusahaan melakukan Ekspor.
(5) Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk menghitung jumlah pemakaian Bahan Baku pada Laporan Pertanggungjawaban pemakaian Bahan Baku (BCL.KT 01).
(6) Perubahan Konversi setelah Perusahaan menyampaikan laporan pertanggungjawaban pemakaian Bahan Baku (BCL.KT 01) dapat dilakukan dalam hal:
  1. kesalahan penulisan kode satuan;
  2. kesalahan penulisan karakter pada kode Bahan Baku dan/atau kode Hasil Produksi, seperti karakter “1”, tertulis “I”; dan/atau
  3. kesalahan penulisan koefisien karena ekuivalensi, seperti “100 cm”, tertulis “1 m”.
(7) Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diserahkan dengan surat permohonan loading Konversi dengan mengirimkan data Konversi kepada Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan secara online atau dengan loading Konversi pada Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(8) Perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan dengan menambahkan kode Hasil Produksi dan/atau kode Bahan Baku yang diubah setelah seri terakhir kode Hasil Produksi dan/atau kode Bahan Baku pada nomor Konversi yang telah ada dalam database Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(9) Dalam hal Perusahaan tidak menyerahkan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atas Bahan Baku dalam laporan pertanggungjawaban tidak dapat diberikan Pembebasan.
(10) Dalam hal Perusahaan tidak menyerahkan perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), atas Bahan Baku dalam laporan pertanggungjawaban dihitung berdasarkan Konversi yang telah ada dalam database Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(11) Terhadap Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan perubahan Konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Bea dan Cukai:
  1. menerima surat permohonan loading Konversi dan bukti data Konversi telah terkirim;
  2. memastikan data Konversi yang dikirim secara online atau yang dilakukan loading telah masuk atau tersimpan dalam Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan;
  3. membandingkan data Konversi yang telah dikirim atau telah dilakukan loading dengan data dalam surat permohonan loading Konversi terkait jumlah seri Hasil Produksi dan jumlah seri Bahan Baku yang ada dalam data Konversi;
  4. melakukan loading Konversi dalam database Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan; dan
  5. menyampaikan hasil cetak resume data Konversi yang telah ditandatangani oleh Pejabat Bea dan Cukai kepada Perusahaan.
(12) Dalam hal hasil cetak resume data Konversi tidak sesuai dengan permohonan loading Konversi karena gagal kirim, dapat dilakukan pengiriman atau loading kembali atas Konversi dimaksud.
(13) Konversi sebagaimana disebut pada ayat (1), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XX yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
15. Ketentuan Pasal 15 ayat (2) dihapus, dan ditambahkan 2 (dua) ayat yaitu ayat (3) dan ayat (4) sehingga Pasal 15 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15

(1) Semua Hasil Produksi wajib diekspor oleh Perusahaan dalam periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 sesuai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata laksana kepabeanan di bidang ekspor.
(2) Dihapus.
(3) Hasil Produksi dapat diserahkan kepada perusahaan lain dalam rangka ekspor barang gabungan dan dapat dijadikan sebagai penyelesaian atas Bahan Baku, dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Perusahaan lain yang menerima Hasil Produksi merupakan perusahaan yang mendapat fasilitas Pembebasan dan/atau fasilitas Pengembalian;
  2. Hasil Produksi yang diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a, hanya untuk digabungkan dengan Hasil Produksi Perusahaan lain tersebut serta wajib diekspor dalam satu kesatuan unit;
  3. realisasi Ekspor atas Hasil Produksi yang diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada huruf b dilakukan sebelum periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berakhir; dan
  4. pelaksanaan Ekspor gabungan mengacu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tata laksana kepabeanan di bidang Ekspor.
(4) Diekspor dalam satu kesatuan unit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b adalah Hasil Produksi Perusahaan digabungkan menjadi satu kesatuan yang utuh dengan hasil produksi perusahaan lain namun masing-masing barang masih dapat dipisahkan seperti akumulator yang dipasangkan pada kendaraan bermotor.
   
16. Di antara Pasal 15 dan Pasal 16 disisipkan 2 (dua) Pasal, yaitu Pasal 15A dan Pasal 15B, yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 15A

(1) Perusahaan dibebaskan dari kewajiban pembayaran Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sanksi administrasi atas Bahan Baku, Bahan Baku yang dipergunakan dalam barang dalam proses, dan Bahan Baku yang dipergunakan dalam Hasil Produksi yang belum dipertanggungjawabkan, dalam hal terjadi keadaan force majeure, seperti:
  1. peperangan, bencana alam, atau kebakaran; atau
  2. bencana lainnya yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
(2) Pembebasan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan dengan ketentuan:
  1. secara fisik barang dan/atau bahan nyata-nyata telah musnah karena keadaan force majeure; dan
  2. periode Pembebasan atas pemberitahuan pabean impor belum berakhir saat keadaan force majeure terjadi.
(3) Dalam hal keadaan force majeure mengakibatkan fisik barang dan/atau bahan rusak sehingga tidak akan memenuhi kualitas sebagai Hasil produksi, atas barang dan/atau bahan dimaksud diperlakukan sebagai Bahan Baku Yang Rusak atau reject dan/atau Hasil Produksi Yang Rusak atau reject.
(4) Untuk dapat dibebaskan dari kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Perusahaan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU dilampiri dengan:
  1. bukti adanya force majeure seperti surat keterangan kepolisian atau surat keterangan perusahaan perasuransian; dan
  2. pernyataan jenis, jumlah, dan uraian barang dan/atau bahan yang musnah berdasarkan dokumen pemberitahuan pabean impor.
(5) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menerima berkas permohonan dan bukti-bukti terjadinya force majeure;
  2. meneliti jangka waktu periode Pembebasan atas pemberitahuan pabean impor yang dinyatakan oleh Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berdasarkan data dari Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan; dan
  3. meneliti jumlah barang dan/atau bahan yang musnah akibat keadaan force majeure berdasarkan data dari Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(6) Dalam hal diperlukan, Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat melakukan pemeriksaan fisik, meminta untuk dilakukan audit kepabeanan dan/atau meminta pertimbangan pihak ketiga yang berkompeten untuk membuktikan barang dan/atau bahan nyata-nyata telah musnah karena keadaan force majeure.
(7) Terhadap Hasil Produksi yang telah diekspor namun belum dibuatkan laporan pertanggungjawaban karena dokumen lampiran musnah akibat force majeure, tetap dapat dibuatkan laporan pertanggungjawaban berdasarkan data pendukung terkait.
(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau KPU atas nama Menteri melakukan hal-hal sebagai berikut:
  1. menerbitkan surat keputusan pembebasan dari kewajiban Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sanksi administrasi atas Bahan Baku, Bahan Baku yang dipergunakan dalam barang dalam proses, dan Bahan Baku yang dipergunakan dalam Hasil Produksi yang musnah karena force majeure; dan
  2. mengembalikan jaminan sebesar Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Bahan Baku, Bahan Baku yang dipergunakan dalam barang dalam proses, dan Bahan Baku yang dipergunakan dalam Hasil Produksi yang musnah kepada Perusahaan.
(9) Pengembalian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf b dilakukan berdasarkan surat keputusan pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf a dalam Sistem Komputer Pelayanan fasilitas Pembebasan pada menu Laporan Hasil Audit.
(10) Surat keputusan pembebasan dari kewajiban Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan sanksi administrasi atas Bahan Baku, Bahan Baku yang dipergunakan dalam barang dalam proses, dan Bahan Baku yang dipergunakan dalam Hasil Produksi yang belum dipertanggungjawabkan karena alasan force majeure sebagaimana dimaksud pada ayat (8), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 15B


(1) Hasil Produksi Yang Rusak atau reject harus dimusnahkan.
(2) Barang dalam proses (work in process) rusak atau reject sehingga tidak dapat diolah, dirakit, dipasang, harus dimusnahkan.
(3) Bahan Baku Yang Rusak atau reject sehingga tidak dapat diolah, dirakit, dipasang, harus dimusnahkan atau diekspor kembali.
(4) Perusakan atas Hasil Produksi Yang Rusak atau reject, barang dalam proses rusak atau Bahan Baku Yang Rusak atau reject hanya dapat dilakukan karena sifat barang tersebut tidak dapat dimusnahkan.
(5) Pelaksanaan Pemusnahan atau Perusakan atas Hasil Produksi Yang Rusak atau reject atau barang dalam proses (work in process) rusak atau reject dan pelaksanaan Pemusnahan atau Perusakan atau ekspor kembali atas Bahan Baku Yang Rusak atau reject dilakukan sebelum periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 berakhir.
(6) Perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi tempat pengolahan/pabrik untuk melakukan Perusakan atas Hasil Poduksi Yang Rusak atau reject, barang dalam proses rusak atau reject atau Bahan Baku Yang Rusak atau reject dengan dilampiri:
  1. daftar barang yang akan dirusak memuat rincian berupa uraian barang, kode barang dan jumlah barang, dalam hal Perusakan dilakukan terhadap Hasil Produksi Yang Rusak atau reject atau barang dalam proses (work in process) rusak atau reject; dan
  2. copy dokumen pemberitahuan pabean impor dan rekapitulasi jenis dan jumlah barang yang akan dirusak, dalam hal Perusakan dilakukan terhadap Bahan Baku Yang Rusak atau reject.
(7) Atas permohonan Perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Pejabat Bea dan Cukai melakukan:
  1. penelitian kelengkapan pengisian daftar barang yang akan dirusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dan penelitian periode Pembebasan berdasarkan copy dokumen pemberitahuan impor barang yang akan dirusak; atau
  2. penelitian kesesuaian jenis dan jumlah barang yang akan dirusak berdasarkan copy dokumen pemberitahuan pabean impor dengan rekapitulasi jenis dan jumlah barang yang akan dirusak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf b dan penelitian periode Pembebasan berdasarkan copy dokumen pemberitahuan impor barang yang akan dirusak.
(8) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dinyatakan sesuai, Pejabat Bea dan Cukai:
  1. melakukan pencacahan;
  2. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perusakan; dan
  3. membuat berita acara Perusakan.
(9) Hasil Perusakan yang dinyatakan dalam berita acara Perusakan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) huruf c diperlakukan sebagai waste/scrap dengan ketentuan:
  1. diberitahukan dengan menggunakan dokumen Pemberitahuan Penyelesaian Barang Asal Impor Yang Mendapat Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (BC 2.4);
  2. dikenakan bea masuk sebesar:
    1. 5% (lima persen) dikalikan harga jual, apabila tarif bea masuk umum (Most Favoured Nation) Bahan Bakunya 5% (lima persen) atau lebih; atau
    2. tarif yang berlaku dikalikan harga jual, apabila tarif bea masuk umum (Most Favoured Nation) Bahan Bakunya kurang dari 5% (lima persen);
  3. dikenakan Pajak Dalam Rangka Impor yang dihitung berdasarkan harga jual, dalam hal belum dipungut; dan
  4. wajib membuat faktur pajak dan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(10) Perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi tempat pengolahan/pabrik untuk melakukan Pemusnahan atas Hasil Poduksi Yang Rusak atau reject atau barang dalam proses (work in process) rusak atau reject dengan dilampiri:
  1. dokumen kepabeanan BC.2.4; dan
  2. daftar barang yang akan dimusnahkan memuat rincian berupa uraian jenis, jumlah dan kode barang.
(11) Perusahaan harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor Pabean yang mengawasi lokasi tempat pengolahan/pabrik Untuk melakukan Pemusnahan atas Bahan Baku Yang Rusak atau reject, dengan dilampiri:
  1. dokumen kepabeanan BC.2.4;
  2. copy dokumen pemberitahuan pabean dan dokumen pelengkap pabean; dan
  3. rekapitulasi jenis, jumlah dan kode barang yang akan dimusnahkan.
(12) Atas permohonan Pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dan ayat (11), Pejabat Bea dan Cukai melakukan penelitian:
  1. kelengkapan dan kebenaran pengisian dokumen BC.2.4;
  2. kelengkapan pengisian daftar rincian barang;
  3. kesesuaian jenis bahan dan/atau barang yang akan dimusnahkan dengan jenis barang dalam dokumen pemberitahuan pabean impor;
  4. kesesuaian jenis, jumlah dan kode barang yang akan dimusnahkan dengan dokumen kepabeanan BC 2.4; dan
  5. periode Pembebasan bahan dan/atau barang yang akan dimusnahkan berdasarkan copy dokumen pemberitahuan pabean impor.
(13) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dinyatakan sesuai, Pejabat Bea dan Cukai:
  1. melakukan pencacahan;
  2. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Pemusnahan; dan
  3.  membuat berita acara Pemusnahan.
(14) Dalam hal hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dinyatakan tidak sesuai, permohonan Pemusnahan ditolak.
(15) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (13) atau ayat (14) dilakukan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.
(16) Penyelesaian atas Hasil Produksi Yang Rusak atau reject atau barang dalam proses (work in process) rusak atau reject atau Bahan Baku Yang Rusak atau reject dapat digunakan sebagai bentuk pertanggungjawaban atas Bahan Baku.
   
17. Ketentuan Pasal 16 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 16

(1) Perusahaan wajib mempertanggungjawabkan penggunaan Bahan Baku dengan menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
(2) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud ayat (1) diserahkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban Bahan Baku (BCL.KT 01).
(3) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud ayat (1) disampaikan dalam bentuk softcopy terkait pertanggungjawaban pemakaian Bahan Baku untuk kegiatan:
  1. Ekspor Hasil Produksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;
  2. Pemusnahan atau Perusakan Hasil Produksi Yang Rusak atau reject sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15B ayat (1) atau ayat (4);
  3. Pemusnahan atau Perusakan barang dalam proses rusak atau reject sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15B ayat (2) dan ayat (4);
  4. Pemusnahan, Perusakan atau ekspor kembali Bahan Baku Yang Rusak atau reject, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15B ayat (3) dan ayat (4); atau
  5. penyelesaian sisa proses produksi (waste/scrap).
(4) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
  1. dokumen pemberitahuan pabean impor yang telah mendapatkan persetujuan keluar Pejabat Bea dan Cukai;
  2. dokumen pemberitahuan pabean ekspor yang telah mendapat persetujuan Ekspor;
  3. dokumen yang membuktikan adanya transaksi Ekspor atau Devisa Hasil Ekspor;
  4. Surat Serah Terima Barang, dalam hal dilakukan Ekspor gabungan;
  5. LPE;
  6. dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan berita acara Pemusnahan, dalam hal terdapat Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang dimusnahkan; dan
  7. dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan kelengkapannya serta faktur pajak, dalam hal terdapat hasil Perusakan Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang dijual.
(5) Ketentuan penyerahan dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan dokumen pemberitahuan pabean ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b tidak diperlukan bagi Perusahaan yang melakukan Impor dan Ekspor barang melalui Kantor Pabean yang telah menerapkan ketentuan Pertukaran Data Elektronik (PDE).
(6) Ketentuan penyerahan LPE sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf e tidak diperlukan bagi:
  1. Perusahaan berstatus perusahaan terbuka yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat, yang memiliki profil fasilitas risiko rendah atau risiko menengah;
  2. Perusahaan yang termasuk Authorized Economic Operator; dan/atau
  3. Perusahaan berstatus sebagai importir Mitra Utama (MITA) Prioritas dan importir Mitra Utama (MITA) Non Prioritas.
(7) Terhadap Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), realisasi Ekspor dibuktikan dengan telah terbitnya LPE dalam Sistem Komputer Pelayanan Ekspor (CEISA-Ekspor).
(8) Dalam hal Perusahaan melakukan Impor dan Ekspor melalui Kantor Pabean yang belum menerapkan ketentuan Pertukaran Data Elektronik (PDE), dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diserahkan pada saat laporan pertanggungjawaban pertama atas dokumen pemberitahuan pabean impor tersebut.
(9) Atas penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai:
  1. menerima laporan pertanggungjawaban;
  2. melakukan penelitian kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4); dan
  3. memberikan tanda terima dalam hal berkas laporan pertanggungjawaban dinyatakan lengkap, atau mengembalikan berkas laporan pertanggungjawaban kepada Perusahaan disertai dengan alasan, dalam hal laporan pertanggungjawaban tidak diterima dengan lengkap.
(10) Laporan pertanggungjawaban Bahan Baku (BCL.KT 01) sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
18. Ketentuan Pasal 17 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 17

(1) Terhadap laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai:
  1. meneliti kesesuaian dan kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (4);
  2. meneliti pemenuhan persyaratan pencantuman NIPER Pembebasan pada kolom pemenuhan persyaratan/fasilitas Impor pada dokumen pemberitahuan pabean impor;
  3. meneliti pemenuhan persyaratan jangka waktu penyerahan Konversi;
  4. meneliti pemenuhan periode Pembebasan dengan membandingkan:
    1. jangka waktu tanggal pendaftaran dokumen pemberitahuan pabean impor dengan tanggal dokumen pemberitahuan pabean ekspor, termasuk dalam hal terdapat Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang diekspor kembali;
    2. jangka waktu tanggal pendaftaran dokumen pemberitahuan pabean impor dengan tanggal dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan berita acara Pemusnahan, dalam hal terdapat Bahan Baku Yang Rusak atau reject, barang dalam proses (work in process) rusak atau reject, atau Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang dimusnahkan; dan
    3. jangka waktu tanggal pendaftaran dokumen pemberitahuan pabean impor dengan tanggal dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan kelengkapannya serta berita acara Perusakan, dalam hal terdapat Bahan Baku Yang Rusak atau reject, barang dalam proses (work in process) rusak atau reject, atau Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang dirusakkan.
  5. menguji kebenaran Ekspor Hasil Produksi sesuai bukti transaksi ekspor atau Devisa Hasil Ekspor berdasarkan manajemen risiko; dan
  6. meneliti pemakaian Bahan Baku pada laporan pertanggungjawaban Bahan Baku dengan:
    1. membandingkan jenis Bahan Baku yang dilaporkan dalam BCL.KT 01 dengan jenis Bahan Baku yang diimpor dalam data Sistem Komputer Pelayanan Impor (CEISA-Impor);
    2. membandingkan jumlah dan jenis Hasil Produksi dalam BCL.KT 01 dengan jumlah dan jenis Hasil Produksi dalam dokumen pemberitahuan pabean ekspor dalam data Sistem Komputer Pelayanan Ekspor (CEISA-Ekspor);
    3. menghitung jumlah pemakaian Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi berdasarkan Konversi;
    4. membandingkan jumlah pemakaian Bahan Baku yang dilaporkan dalam BCL.KT 01 dengan jumlah pemakaian Bahan Baku berdasarkan Konversi sebagaimana dimaksud pada angka 3;
    5. membandingkan jumlah dan jenis Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dilaporkan dalam dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan berita acara Pemusnahan dengan jumlah dan jenis Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dilaporkan dalam BCL.KT 01, dalam hal terdapat Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dimusnahkan;
    6. membandingkan jumlah dan jenis Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dilaporkan dalam dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan kelengkapannya serta berita acara Perusakan dengan jumlah dan jenis Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dilaporkan dalam BCL.KT 01, dalam hal terdapat Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dirusakkan;
    7. menghitung jumlah sisa proses produksi (waste/scrap) berdasarkan Konversi; dan
    8. membandingkan jumlah pemakaian Bahan Baku yang dilaporkan dalam BCL.KT 01 dengan jumlah pemakaian Bahan Baku berdasarkan penghitungan sebagaimana dimaksud pada angka 3, jumlah dan jenis Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang dilaporkan dalam dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4, dan jumlah sisa proses produksi (waste/scrap) berdasarkan Konversi.
(2) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf f dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(3) Dalam hal laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Pejabat Bea dan Cukai melakukan penyesuaian saldo sebesar Bahan Baku yang dilaporkan dalam BCL.KT 01 dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penyesuaian Jaminan (SPPJ).
(4) Dalam hal laporan pertanggungjawaban ditolak sebagian, atas Bahan Baku yang ditolak tersebut berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas Bahan Baku yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
  2. diterbitkan surat pencairan jaminan dan Surat Penetapan Pabean (SPP), dalam hal Perusahaan menggunakan corporate guarantee;
  3. Perusahaan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan; dan
  4. Sanksi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan sejak saat impor paling lama 24 (dua puluh empat) bulan; dan
  5. Atas Bahan Baku yang masih dalam periode Pembebasan dapat diajukan kembali laporan pertanggungjawabannya.
(5) Atas laporan pertanggungjawaban yang ditolak sebagian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Pejabat Bea dan Cukai:
  1. menerbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP) dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) terhadap Bahan Baku yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; dan
  2. melakukan penyesuaian saldo sebesar Bahan Baku yang diterima laporan pertanggungjawabannya dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Penyesuaian Jaminan (SPPJ), dalam hal Perusahaan menggunakan jaminan selain corporate guarantee.
(6) Atas Surat Penetapan Pabean (SPP) dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) terhadap Bahan Baku yang tidak dapat dipertanggungjawabkan oleh Perusahaan yang menggunakan jaminan dalam bentuk corporate guarantee, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. harus dilunasi dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) hari kerja sejak tanggal penerbitan Surat Penetapan Pabean (SPP) dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA); dan
  2. dalam hal pelunasan tidak dilakukan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a, Perusahaan tidak dapat menggunakan jaminan dalam bentuk corporate guarantee selama jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berakhirnya jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada huruf a.
(7) Terhadap Perusahaan yang menggunakan jaminan selain corporate guarantee, jaminan dikembalikan dalam hal seluruh Bahan Baku telah selesai dipertanggungjawabkan.
(8) Sisa proses produksi (waste/scrap) yang dijual, diberitahukan dengan menggunakan dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. dikenakan bea masuk sebesar:
    1. 5% (lima persen) dikalikan harga jual, apabila tarif bea masuk umum (Most Favoured Nation) Bahan Bakunya 5% (lima persen) atau lebih; atau
    2. tarif yang berlaku dikalikan harga jual, apabila tarif bea masuk umum (Most Favoured Nation) Bahan Bakunya kurang dari 5% (lima persen);
  2. dikenakan Pajak Dalam Rangka Impor yang dihitung berdasarkan harga jual, dalam hal belum dipungut; dan
  3. wajib membuat faktur pajak dan memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(9) Atas Bahan Baku dan Hasil Produksi yang tidak dilaporkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud;
  2. diterbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP), sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud, dalam hal Perusahaan menggunakan corporate guarantee;
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang dipungut berdasarkan nilai pada saat impor;
  4. Perusahaan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan; dan
  5. Sanksi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, berupa bunga sebesar 2% setiap bulan sejak saat impor paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(10) Surat Pemberitahuan Penyesuaian Jaminan (SPPJ), Surat Penetapan Pabean (SPP), dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.
(11) Dalam hal jaminan dicairkan, Pejabat Bea dan Cukai menerbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP) dan dikirimkan ke:
  1. Perusahaan (lembar pertama);
  2. Kantor Pabean tempat pemasukan Bahan Baku (lembar kedua); dan
  3. Penjamin/surety (lembar ketiga) dilampiri klaim jaminan.
(12) Atas penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk menyetujui atau menolak dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak laporan pertanggungjawaban diterima dalam Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan.
(13) Dalam hal laporan pertanggungjawaban tidak diserahkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ditolak seluruhnya, atas Bahan Baku dan Hasil Produksi berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud;
  2. diterbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP), sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud, dalam hal Perusahaan menggunakan corporate guarantee;
  3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang dipungut berdasarkan nilai pada saat Impor;
  4. Perusahaan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan; dan
  5. Sanksi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, berupa bunga sebesar 2% setiap bulan sejak saat impor paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(14) Cara penghitungan atas bea masuk antidumping, bea masuk imbalan, bea masuk tindakan pengamanan, dan bea masuk pembalasan untuk penyesuaian jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), ayat (9), dan ayat (13) dilakukan secara proporsional sesuai contoh sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(15) Tata cara penagihan dan pembayaran Surat Penetapan Pabean (SPP) dan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA) mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan.
   
19. Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18

(1) Dalam hal penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a terdapat:
  1. kesalahan pengisian kode penyelesaian, tanggal dan/atau nomor aju dokumen pemberitahuan pabean impor, tanggal dan/atau nomor pendaftaran dokumen pemberitahuan pabean impor, nomor seri barang, nomor dan tanggal dokumen pemberitahuan pabean ekspor, klasifikasi HS, satuan, kode Bahan Baku, kode Hasil Produksi, jumlah Bahan Baku, jumlah Hasil Produksi, dan kode kantor; dan/atau
  2. nomor Konversi yang dilampirkan tidak sesuai dengan laporan pertanggungjawaban,
    1. Pejabat Bea dan Cukai melakukan konfirmasi kepada Perusahaan dengan mengirimkan surat pemberitahuan melalui media elektronik atau surat elektronik.
(2) Dalam hal hasil konfirmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuktikan adanya kesalahan yang tidak signifikan, seperti kesalahan pengetikan atau sejenisnya, Perusahaan dapat melakukan pengajuan ulang (loading ulang).
(3) Pengajuan ulang (loading ulang) laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus diajukan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal surat pemberitahuan.
(4) Dalam hal pengajuan ulang (loading ulang) laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tetapi belum melewati periode Pembebasan, laporan pertanggungjawaban yang telah diajukan ditolak.
(5) Atas Bahan Baku yang masih dalam periode Pembebasan dapat diajukan kembali laporan pertanggungjawabannya.
   
20. Ketentuan Pasal 19 dihapus.
   
21. Ketentuan Pasal 20 diubah, sehingga Pasal 20 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 20

(1) Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penerbitan NIPER Pembebasan secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sejak tanggal keputusan NIPER Pembebasan.
(2) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap:
  1. Perusahaan berstatus perusahaan terbuka yang sebagian atau seluruh sahamnya dimiliki oleh masyarakat;
  2. Perusahaan yang termasuk Authorized Economic Operator; atau
  3. Perusahaan yang berstatus sebagai importir Mitra Utama (MITA) Prioritas dan importir Mitra Utama (MITA) Non Prioritas,
    1. dilakukan secara selektif berdasarkan manajemen risiko paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) tahun.
(3) Berdasarkan manajemen risiko, pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sewaktu-waktu dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. perbandingan nilai Ekspor dengan nilai Impor;
  2. keterkaitan jenis Bahan Baku dengan jenis Hasil Produksi;
  3. negara asal Bahan Baku dan negara tujuan Ekspor Hasil Produksi;
  4. frekuensi perubahan Konversi yang tidak wajar;
  5. pengguna fasilitas Pembebasan merupakan Perusahaan yang baru berdiri;
  6. Perusahaan melakukan subkontrak untuk kegiatan awal produksi dan/atau kegiatan akhir produksi;
  7. terdapat peningkatan kegiatan Pemusnahan, Perusakan dan/atau waste/scrap secara signifikan; dan/atau
  8. terdapat kondisi lain berdasarkan pertimbangan Kepala Kantor Wilayah atau KPU.
(4) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat dilakukan dengan menggunakan data yang ada di Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan dan/atau data dari sumber lain.
(5) Dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Perusahaan harus:
  1. menyerahkan data dan/atau dokumen terkait fasilitas Pembebasan yang diminta oleh Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk; dan
  2. memberikan akses terhadap laporan yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory) terkait barang dan/atau bahan yang diberikan fasilitas Pembebasan.
(6) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dilakukan antara lain dengan:
  1. pengujian eksistensi tempat pembongkaran, tempat penimbunan Bahan Baku, tempat penimbunan barang dalam proses produksi, tempat penimbunan Hasil Produksi, tempat penimbunan sisa proses produksi dan pabrik tempat proses produksi;
  2. pemeriksaan fisik (stock opname) Bahan Baku, Hasil Produksi dan sisa proses produksi (waste/scrap);
  3. membandingkan saldo hasil pemeriksaan fisik (stock opname) sebagaimana dimaksud pada huruf b dengan saldo berdasarkan pencatatan Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory);
  4. pengujian terhadap Sistem Pengendalian Intern Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a, dapat dilakukan dengan memperhatikan opini laporan hasil audit dari auditor independen yang terbit tahun terakhir;
  5. pengujian terhadap Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b;
  6. analisis terhadap data laporan yang dapat diakses yang dihasilkan oleh Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory); dan/atau
  7. pengujian terhadap pemenuhan kriteria penggunaan jaminan perusahaan atau corporate guarantee, bagi Perusahaan yang menggunakan jaminan dalam bentuk corporate guarantee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(7) Pelaksanaan monitoring dan evaluasi dapat dilakukan bersama dengan unit audit dan/atau unit pengawasan, dengan diterbitkan surat tugas monitoring dan evaluasi.
(8) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) disampaikan kepada Direktorat Fasilitas Kepabeanan, Direktorat Penindakan dan Penyidikan, Direktorat Teknis Kepabeanan, Direktorat Audit, dan Kantor Pabean terkait, sebagai bahan informasi awal untuk dapat ditindaklanjuti sesuai dengan kewenangan masing-masing unit.
   
22. Ketentuan Pasal 21 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 21

(1) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (8) dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan evaluasi atas fasilitas Pembebasan yang telah diberikan dan pertanggungjawaban penyelesaian Bahan Baku.
(2) Dalam hal pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (6) huruf b ditemukan selisih fisik Bahan Baku dari saldo bahan baku yang belum dilaporkan sesuai Sistem Informasi Persediaan Berbasis Komputer (IT Inventory), yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, Perusahaan wajib membayar Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), dan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan sebesar selisih tersebut.
(3) Laporan hasil audit kepabeanan dapat digunakan sebagai pertanggungjawaban penyelesaian atas:
  1. Bahan Baku yang telah ada realisasi Ekspor;
  2. Bahan Baku Yang Rusak atau reject dan Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang telah dilakukan Pemusnahan, atau Perusakan; dan/atau
  3. keadaan force majeure sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15A.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil audit ditemukan selisih fisik Bahan Baku yang melebihi jumlah bahan baku sebagaimana tercantum dalam laporan Bahan Baku yang sudah dipertanggungjawabkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Perusahaan wajib membayar Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), dan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan sebesar selisih tersebut.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil audit ditemukan adanya barang dan/atau bahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, Perusahaan wajib membayar Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM), dan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan.
(6) Laporan hasil audit kepabeanan dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan evaluasi atas fasilitas Pembebasan yang telah diberikan.
(7) Dalam hal laporan hasil audit kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) digunakan sebagai pertanggungjawaban penyelesaian Bahan Baku, laporan hasil audit kepabeanan harus memuat rincian:
  1. Bahan Baku yang telah diaudit menunjuk dokumen pemberitahuan pabean impor asal Bahan Baku; dan
  2. saldo akhir Bahan Baku dan Hasil Produksi menunjuk dokumen pemberitahuan pabean impor asal Bahan Baku.
(8) Pelaksanaan audit dalam periode tertentu tidak menghilangkan:
  1. kewajiban Perusahaan untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban pada periode audit dimaksud; dan
  2. proses pencairan jaminan atas pemberitahuan pabean impor di luar periode audit dimaksud.
(9) Dalam hal terjadi pencairan jaminan atas Bahan Baku yang pemberitahuan pabean impornya dalam periode audit, Pejabat Bea dan Cukai membuat surat pemberitahuan telah dilakukan pencairan jaminan kepada unit audit dan Perusahaan.
(10) Surat tugas pelaksanaan audit kepabeanan dalam rangka fasilitas Pembebasan ditembuskan kepada Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan.
   
23. Ketentuan Pasal 22 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 22

(1) NIPER Pembebasan dibekukan dalam hal Perusahaan:
  1. tidak mengajukan permohonan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
  2. tidak melunasi utang Bea Masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sampai dengan jatuh tempo;
  3. tidak menyampaikan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
  4. tidak menyerahkan dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20;
  5. diduga melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai dengan bukti permulaan yang cukup;
  6. tidak memasang papan nama yang paling sedikit berisi data nama perusahaan dan nomor NIPER Pembebasan pada lokasi penimbunan dan lokasi pabrik;
  7. tidak memenuhi ketentuan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13;
  8. tidak melakukan Impor atau Ekspor dengan fasilitas Pembebasan secara berturut-turut dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a dan Pasal 7 ayat (2) huruf b; dan/atau
  9. mengajukan permohonan pembekuan dalam rangka Perusahaan akan beralih menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau Pengusaha di Kawasan Berikat.
(2) Pembekuan karena tidak memenuhi ketentuan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g, berlaku selama 3 (tiga) bulan.
(3) Pembekuan karena tidak melakukan Impor atau Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf h, berlaku selama 12 (dua belas) bulan.
(4) Dalam hal Perusahaan memenuhi kriteria pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menerbitkan surat pembekuan NIPER Pembebasan.
(5) Dalam hal NIPER Pembebasan dibekukan:
  1. Perusahaan tidak dapat memperoleh fasilitas Pembebasan atas Impor Bahan Baku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1); dan
  2. ketentuan mengenai kewajiban Perusahaan untuk melakukan Ekspor Hasil Produksi dan menyerahkan laporan pertanggungjawaban tetap berlaku.
(6) Surat pembekuan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXIV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
24. Ketentuan Pasal 23 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 23

(1) NIPER Pembebasan yang dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dapat diberlakukan kembali, dalam hal Perusahaan:
  1. telah mengajukan permohonan perubahan pada data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan telah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Wilayah atau KPU;
  2. telah melunasi seluruh utang bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda;
  3. telah menyampaikan laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16;
  4. telah menyerahkan dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan monitoring dan evaluasi;
  5. tidak terbukti melakukan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai;
  6. telah memasang papan nama yang paling sedikit berisi data nama perusahaan dan nomor NIPER Pembebasan pada lokasi penimbunan dan lokasi pabrik;
  7. telah berakhir masa pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); dan
  8. telah mengajukan permohonan Impor atau Ekspor dengan fasilitas Pembebasan dalam masa pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(2) Untuk dapat diberlakukan kembali NIPER Pembebasan yang dibekukan, Perusahaan mengajukan permohonan pemberlakuan kembali NIPER Pembebasan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan.
(3) Dalam hal permohonan pemberlakuan kembali NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menerbitkan surat pemberlakuan kembali NIPER Pembebasan.
(4) Surat pemberlakuan kembali NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
25. Ketentuan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 24 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 24


(1) NIPER Pembebasan dicabut dalam hal Perusahaan:
  1. tidak mengajukan permohonan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pembekuan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf a;
  2. tidak melunasi seluruh utang Bea Masuk, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) huruf b sampai dengan diterbitkannya surat paksa;
  3. melakukan pembongkaran dan/atau penimbunan Bahan Baku di luar lokasi yang tercantum dalam NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) atau melakukan pembongkaran dan/atau penimbunan Bahan Baku di lokasi yang tidak diberikan persetujuan oleh Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau tidak diberitahukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2);
  4. terbukti telah melakukan tindak pidana di bidang kepabeanan dan/atau cukai berdasarkan putusan pengadilan;
  5. berubah status menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau Pengusaha di Kawasan Berikat pada lokasi yang sama;
  6. dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
  7. tidak menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan selama 10 (sepuluh) tahun;
  8. tidak menyerahkan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan berdasarkan Laporan Hasil Audit Kepabeanan dan/atau Cukai;
  9. tidak lagi memenuhi persyaratan untuk memperoleh NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
  10. mengajukan permohonan untuk dilakukan pencabutan NIPER Pembebasan; dan/atau 
  11. tidak melakukan Impor atau Ekspor selama masa pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3).
(2) Dalam hal Perusahaan memenuhi kriteria pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atas nama Menteri menerbitkan keputusan pencabutan NIPER Pembebasan.
(3) Dalam hal NIPER Pembebasan dicabut, jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas Bahan Baku yang belum dipertanggungjawabkan dan dikenai sanksi administrasi berupa denda.
(4) Terhadap pencairan jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menerbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP).
(5) Terhadap pengenaan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menerbitkan Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA).
(6) Pencabutan NIPER Pembebasan dapat terlebih dahulu dilakukan audit kepabeanan.
(7) Keputusan Pencabutan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XXVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
26. Ketentuan Pasal 25 diubah, sehingga Pasal 25 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 25


(1) Dalam hal Perusahaan berubah status menjadi pengusaha kawasan berikat atau pengusaha di kawasan berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) huruf e, terhadap Bahan Baku, barang dalam proses produksi (work in process), dan Hasil Produksi berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. atas persediaan Bahan Baku, barang dalam proses produksi (work in process), Hasil Produksi dan waste/scrap yang masih berada di Perusahaan, sepanjang masih dalam periode Pembebasan, dapat dijadikan saldo awal kawasan berikat dan diperlakukan sebagai barang impor dengan mendapat penangguhan Bea Masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM);
  2. atas Hasil Produksi yang telah direalisasikan ekspornya tetapi belum diserahkan laporan pertanggungjawaban harus diselesaikan dengan laporan pertanggungjawaban; dan
  3. atas Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang telah diselesaikan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15B, Bahan Baku Yang Rusak atau reject yang telah diselesaikan sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15B, dan sisa proses produksi (waste/scrap) yang telah dijual, tetapi belum diserahkan laporan pertanggungjawaban harus diselesaikan dengan laporan pertanggungjawaban.
(2) Dalam hal Perusahaan akan berubah status menjadi Pengusaha Kawasan Berikat atau Pengusaha di Kawasan Berikat, Perusahaan mengajukan permohonan pembekuan NIPER Pembebasan ke Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan.
(3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menerbitkan surat pembekuan NIPER Pembebasan yang ditujukan kepada Perusahaan dengan tembusan kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan.
(4) Perusahaan dapat mengajukan pembukaan atas pembekuan NIPER Pembebasan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan, dalam hal permohonan izin kawasan berikat ditolak.
(5) Untuk dapat ditetapkan menjadi saldo awal persediaan kawasan berikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Perusahaan telah mendapatkan izin kawasan berikat;
  2. Perusahaan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan sebelum diberikan izin dimulainya kegiatan kawasan berikat oleh Kepala Kantor Pabean yang mengawasi kawasan berikat;
  3. Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan penetapan saldo awal persediaan kawasan berikat dengan melakukan pencacahan;
  4. Pencacahan sebagaimana dimaksud pada huruf c dapat dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk berkoordinasi dengan Kepala Kantor Pabean yang mengawasi kawasan berikat atau Pejabat yang ditunjuk dan hasil pencacahan dituangkan dalam berita acara pencacahan, dengan menyebutkan dokumen pemberitahuan pabean impor asal Bahan Baku; dan
  5. Berdasarkan berita acara pencacahan, Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan menetapkan barang dan/atau bahan yang berasal dari fasilitas Pembebasan yang belum dipertanggungjawabkan dan masih berada di Perusahaan menjadi saldo awal persediaan kawasan berikat.
(6) Berdasarkan berita acara pencacahan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf d, Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan:
  1. melakukan penagihan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan sanksi administrasi berupa denda, dalam hal terdapat kekurangan jumlah dan/atau jenis Bahan Baku, barang dalam proses produksi (work in process) dan Hasil Produksi; dan/atau
  2. mengembalikan jaminan dalam hal hasil pencacahan kedapatan sesuai.
(7) Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan mencabut NIPER Pembebasan dalam hal izin kawasan berikat telah diterbitkan dan Perusahaan telah mendapat keputusan persetujuan atau penolakan laporan pertanggungjawaban (BCL.KT 01).
   
27. Ketentuan Pasal 26 dihapus.
   
28. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) dihapus, ayat (2) dan ayat (3) diubah, sehingga Pasal 27 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27

(1) Dihapus.
(2) Atas Impor Bahan Baku yang dikenakan cukai, diberlakukan ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
(3) Atas Ekspor Hasil Produksi yang dikenakan Bea Keluar, diberlakukan ketentuan sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
   
29. Di antara Pasal 27 dan Pasal 28 disisipkan 1 (satu) Pasal yaitu Pasal 27A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 27A


Sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b dapat diakses oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu berkoordinasi dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
   
30. Ketentuan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (3) diubah, di antara ayat (1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yaitu ayat (1a), dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 28 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 28

(1) Perusahaan yang telah menerima fasilitas Pembebasan, dapat memanfaatkan fasilitas kepabeanan untuk kawasan berikat, sepanjang lokasinya berbeda.
(1a) Lokasi yang berbeda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya dipisahkan oleh batas yang permanen.
(2) Dihapus.
(3) Dalam hal Perusahaan beralih menjadi perusahaan penerima fasilitas kepabeanan untuk Kawasan Berikat, terhadap Ekspor Hasil Produksi yang telah dilakukan oleh Perusahaan dalam waktu 1 (satu) tahun terakhir dapat diperhitungkan dalam penentuan batas penjualan hasil produksi dari kawasan berikat ke tempat lain dalam daerah pabean.
   
31. Ketentuan Pasal 29 ayat (3) diubah, sehingga Pasal 29 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29

(1) Pengawasan terhadap Perusahaan dapat dilakukan oleh Kantor Pabean yang mengawasi wilayah lokasi Perusahaan.
(2) Dalam rangka pengawasan dan pelayanan fasilitas Pembebasan, Direktur Jenderal Bea dan Cukai dapat menentukan Kantor Wilayah atau KPU tempat pengawasan dan pelayanan fasilitas Pembebasan.
(3) Perusahaan yang berlokasi di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Cikarang, Karawang, Purwakarta dan Sukabumi dapat dilayani penerbitan NIPER Pembebasan dan pelayanan fasilitas Pembebasan di Kantor Wilayah DJBC Jakarta.
(4) Dalam hal terdapat Kantor Wilayah atau KPU belum memiliki aplikasi Sistem Komputer Pelayanan (SKP) KITE dan/atau Sistem Komputer Pelayanan (SKP) Pembebasan, pelayanan dan pengawasan fasilitas Pembebasan dilakukan oleh Kantor Wilayah penerbit NIPER/NIPER Pembebasan sebelumnya.
   
32. Di antara Pasal 29 dan Pasal 30 disisipkan 2 (dua) Pasal yaitu Pasal 29A dan Pasal 29 B yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 29A


Perusahaan yang telah mendapatkan NIPER Pembebasan wajib:
  1. menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak tanggal penerbitan NIPER Pembebasan, untuk badan usaha yang baru berdiri atau belum memiliki laporan hasil audit dari auditor independen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2);
  2. menyerahkan laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen periode tahun sebelumnya paling lambat 1 (satu) bulan setelah diterbitkannya laporan keuangan yang telah diaudit oleh auditor independen, bagi Perusahaan yang menggunakan jaminan dalam bentuk corporate guarantee sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
  3. memasang papan nama yang paling sedikit berisi data nama perusahaan dan nomor NIPER Pembebasan pada setiap lokasi penimbunan dan setiap lokasi pabrik; dan
  4. mengajukan permohonan NIPER Pembebasan baru dalam hal terjadi perubahan pada 9 (sembilan) digit pertama Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebagai akibat perubahan entitas.

Pasal 29B


Penyampaian penolakan, persetujuan, atau permintaan dokumen tambahan dapat disampaikan melalui surat elektronik yang dikirimkan ke alamat email sebagaimana tercantum dalam data lampiran NIPER Pembebasan.
   
33. Di antara Pasal 31 dan Pasal 32 disisipkan 1 (satu) Pasal, yaitu Pasal 31A yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 31A


Dalam hal Sistem Komputer Pelayanan Fasilitas Pembebasan mengalami gangguan atau tidak berfungsi, seluruh pelayanan terhadap fasilitas Pembebasan tetap dilaksanakan secara manual.
   
34. Menghapus Lampiran I, Lampiran II, Lampiran III, Lampiran IV, Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VII, Lampiran VIII, Lampiran IX, Lampiran X, Lampiran XI, Lampiran XII, Lampiran XIII, Lampiran XIV, Lampiran XV, Lampiran XVI, Lampiran XVII, Lampiran XVIII, Lampiran XIX, dan Lampiran XX Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012 tentang Tata Laksana Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor.
 

Pasal II


1. Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:
a. Perusahaan yang telah memiliki NIPER Pembebasan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, harus melakukan:
  1. perubahan data NIPER Pembebasan dengan menyerahkan daftar isian NIPER Pembebasan berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
  2. penyesuaian terhadap sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sesuai kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf b, dalam hal Perusahaan belum memiliki sistem informasi persediaan berbasis komputer (IT Inventory) sesuai kriteria dimaksud.
b. Dalam hal Perusahaan belum mengajukan perubahan data NIPER Pembebasan dan penyesuaian persyaratan NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam jangka waktu paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2013 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, NIPER Pembebasan dibekukan.
c. Dalam hal Perusahaan belum menyerahkan perubahan data NIPER Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a angka 1, Perusahaan dapat melakukan Impor berdasarkan Surat Keputusan Pembebasan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2013 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, dengan mendapatkan fasilitas Pembebasan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tidak dipungut.
d. Dalam hal Perusahaan akan melakukan Impor Bahan Baku yang tidak tercantum dalam Surat Keputusan Pembebasan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2013 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, Perusahaan harus mengajukan perubahan data NIPER Pembebasan sebelum melakukan Impor Bahan Baku dimaksud.
e. Dalam hal Surat Keputusan Pembebasan yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2013 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor telah habis masa berlakunya, Perusahaan harus mengajukan perubahan data NIPER Pembebasan sebelum melakukan Impor Bahan Baku dengan mendapatkan fasilitas Pembebasan.
f. Laporan pertanggungjawaban atas impor yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012;
g. Terhadap ekspor Hasil Produksi yang berasal dari Bahan Baku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, dan dari Bahan Baku berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2013 Tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, laporan pertanggungjawaban diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 dan Peraturan Direktur Jenderal ini;
h. Terhadap laporan pertanggungjawaban yang masih dalam proses pemeriksaan pada saat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 diberlakukan, diselesaikan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor dan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-16/BC/2012;
i. Pelaksanaan Impor Bahan Baku dari Gudang Berikat dan Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat dilakukan setelah Sistem Komputer Pelayanan Pemberitahuan Impor Barang dari Tempat Penimbunan Berikat telah diterapkan.
j. Pelaksanaan Impor Bahan Baku dari Kawasan Bebas dan kawasan ekonomi lainnya yang ditetapkan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dapat dilakukan setelah Sistem Komputer Pelayanan Pemberitahuan Pabean terkait diterapkan.
k. Perusahaan yang telah mendapatkan keputusan izin penggunaan jaminan perusahaan atau corporate guarantee sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini tetap berlaku sampai dengan 2 (dua) bulan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini.
l. Perusahaan yang belum memenuhi tatacara pencantuman NIPER Pembebasan pada kolom pemenuhan persyaratan/fasilitas Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), tetap dapat diberikan fasilitas Pembebasan sampai dengan 2 (dua) bulan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini.
   
2. Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal 4 Februari 2014.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 03 Februari 2014
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

ttd.

AGUNG KUSWANDONO