PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI DAIRI,

Menimbang :
  1. bahwa sesuai Pasal 286 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah ditetapkan dengan undang-undang yang pelaksanaan di Daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah; 
  2. bahwa sesuai dengan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, dimana disebutkan bahwa dasar pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah; 
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengingat :
  1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 
  2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1964 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1964 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tk.II Dairi dengan mengubah Undang-Undang Nomor 7 Drt. Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom di Provinsi Sumatera Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 9) menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2689); 
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6801); 
  4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); 
  5. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601); 
  6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6757); 
  7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856); 
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 2010 tentang Tata Cara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5161); 
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6322); 
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6628); 
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6646); 
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pemungutan Pajak Barang dan Jasa Tertentu Atas Tenaga Listrik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6848); 
  13. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6881);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN DAIRI
dan
BUPATI DAIRI

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN DAERAH TENTANG PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
  1. Daerah adalah Kabupaten Dairi. 
  2. Pemerintah Daerah adalah Bupati sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonomi. 
  3. Bupati adalah Bupati Dairi. 
  4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. 
  5. Pejabat adalah pegawai yang diberi tugas tertentu di bidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
  6. Pajak Daerah yang selanjutnya disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 
  7. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. 
  8. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak. 
  9. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
  10. Subjek Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan barang, jasa dan/atau perizinan. 
  11. Wajib Retribusi adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut retribusi tertentu. 
  12. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha milik desa, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. 
  13. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya disingkat PBB-P2 adalah pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. 
  14. Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten. 
  15. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap di atas permukaan Tanah dan di bawah permukaan Tanah. 
  16. Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. 
  17. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. 
  18. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. 
  19. Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-undang di bidang pertanahan dan bangunan. 
  20. Pajak Barang dan Jasa Tertentu yang selanjutnya disingkat PBJT adalah pajak yang dibayarkan oleh konsumen akhir atas konsumsi barang dan/atau jasa tertentu. 
  21. Barang dan Jasa Tertentu adalah barang dan jasa tertentu yang dijual dan/atau diserahkan kepada konsumen akhir. 
  22. Makanan dan/atau Minuman adalah makanan dan /atau minuman yang disediakan, dijual dan/atau diserahkan, baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui pesanan, oleh Restoran. 
  23. Restoran adalah fasilitas penyediaan layanan makanan dan/atau minuman dengan dipungut bayaran. 
  24. Tenaga Listrik adalah tenaga atau energi yang dihasilkan oleh suatu pembangkit tenaga listrik yang didistribusikan untuk bermacam peralatan listrik. 
  25. Jasa Perhotelan adalah jasa penyediaan akomodasi yang dapat dilengkapi dengan jasa pelayanan makan dan minum, kegiatan hiburan, dan/atau fasilitas lainnya. 
  26. Jasa Parkir adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan dan/atau pelayanan memarkirkan kendaraan untuk ditempatkan di area parkir, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan Kendaraan Bermotor. 
  27. Jasa Kesenian dan Hiburan adalah jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. 
  28. Pajak Reklame adalah pajak atas penyelenggaraan Reklame. 
  29. Reklame adalah benda, alat, perbuatan, atau media yang bentuk dan corak ragamnya dirancang untuk tujuan komersial memperkenalkan, menganjurkan, mempromosikan, atau menarik perhatian umum terhadap sesuatu. 
  30. Pajak Air Tanah yang selanjutnya disingkat PAT adalah pajak atas pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah. 
  31. Air Tanah adalah air yang terdapat di dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. 
  32. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan adalah pajak atas kegiatan pengambilan mineral bukan logam dan batuan, baik dari sumber alam di dalam dan/atau permukaan bumi untuk dimanfaatkan. 
  33. Mineral Bukan Logam dan Batuan yang selanjutnya disingkat MBLB adalah mineral bukan logam dan batuan sebagaimana dimaksud di dalam peraturan perundang-undangan di bidang mineral dan batubara. 
  34. Pajak Sarang Burung Walet adalah Pajak atas kegiatan pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung wallet. 
  35. Burung Walet adalah satwa yang termasuk marga collocalta, yaitu collncalia fuchliap haga, collocalia maxina, collocalia esculanta, dan collocalia linchi. 
  36. Opsen adalah pungutan tambahan atas pajak dengan persentase tertentu yang dikenakan kepada Wajib Pajak. 
  37. Opsen Pajak Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen PKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok Pajak Kendaraan Bermotor sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
  38. Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor yang selanjutnya disebut Opsen BBNKB adalah Opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 
  39. Masa Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Bupati paling lama 3 (tiga) bulan kalender, yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang 
  40. Tahun Pajak adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. 
  41. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 
  42. Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada Wajib Pajak pengawasan penyetorannya. 
  43. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SPTPD, adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. 
  44. Surat Setoran Pajak Daerah, yang selanjutnya disingkat SSPD, adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Bupati. 
  45. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang selanjutnya disingkat NPOPTKP adalah besaran nilai yang merupakan batas tertinggi nilai/harga objek pajak yang tidak dikenakan pajak. 
  46. Nilai Pasar adalah harga rata-rata yang berlaku di lokasi setempat di wilayah Daerah yang bersangkutan.
  47. Transaksi adalah persetujuan jual beli dalam perdagangan antara pihak pembeli dan pihak penjual. 
  48. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut. 
  49. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan daerah adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan daerah yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 
  50. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan daerah dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah dan retribusi daerah. 
  51. Kas Umum Daerah adalah tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh Bupati untuk menampung seluruh penerimaan Daerah dan membayar seluruh pengeluaran Daerah. 
  52. Jasa Umum adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau Badan. 
  53. Jasa Usaha adalah jasa yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah yang dapat bersifat mencari keuntungan karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta. 
  54. Perizinan Tertentu adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan, pemanfaatan ruang, serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan. 
  55. Rumah Sakit Umum Daerah yang selanjutnya disingkat RSUD adalah Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang. 
  56. Badan Layanan Umum Daerah yang selanjutnya disingkat BLUD adalah sistem yang diterapkan oleh unit pelaksanaan teknis dinas/badan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan daerah pada umumnya. 
  57. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang merupakan sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang perlu diolah melalui instalasi pengolahan limbah cair karena diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan. 
  58. Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung selanjutnya disebut Retribusi PBG adalah pembayaran atas pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan. 
  59. Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. 
  60. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung. 
  61. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SLF adalah sertifikat yang diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatakan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebelum dapat dimanfaatkan. 
  62. Surat Bukti Kepemilikan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat SBKBG adalah surat tanda bukti hak atas status kepemilikan Bangunan Gedung. 
  63. Prasarana Bangunan Gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau didalam tanah dan/atau air, yang tidak digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal yang berfungsi sebagai pendukung sarana bangunan gedung. 
  64. Penilik Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut Penilik adalah orang perseorangan yang memiliki kompetensi dan diberi tugas oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya untuk melakukan inspeksi terhadap penyelenggaraan Bangunan Gedung.
  65. Rencana Teknis Pembongkaran yang selanjutnya disebut RTB adalah rencana teknis pembongkaran bangunan gedung dengan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi yang disetujui Pemerintah Daerah dan dilaksanakan secara tertib agar terjaga keamanan, keselamatan masyarakat dan lingkungannya.
  66. Pemohon adalah Pemilik Bangunan Gedung atau yang diberi kuasa untuk mengajukan permohonan penerbitan PBG, SLF, RTB, dan/atau SBKBG. 
  67. Prasarana dan Sarana Bangunan Gedung adalah fasilitas kelengkapan di dalam dan di luar Bangunan Gedung yang mendukung pemenuhan terselenggaranya fungsi Bangunan Gedung. 
  68. Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. 
  69. Pemberi Kerja TKA adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia atau badan lainnya yang mempekerjakan TKA dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 
  70. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disingkat RPTKA adalah rencana penggunaan TKA pada jabatan tertentu dan jangka waktu tertentu. 
  71. Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang selanjutnya disebut Pengesahan RPTKA Perpanjangan adalah persetujuan penggunaan TKA yang disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk.

BAB II
PAJAK DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis Pajak

Pasal 2

Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah terdiri atas:
a. PBB-P2;
b. BPHTB;
c. PBJT atas:
1. makanan dan/atau minuman;
2. tenaga listrik;
3. jasa perhotelan;
4. jasa parkir; dan
5. jasa kesenian dan hiburan;
d. Pajak Reklame;
e. PAT;
f. Pajak MBLB;
g. Pajak Sarang Burung Walet;
h. Opsen PKB; dan
i. Opsen BBNKB.


Pasal 3

(1) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati.
(2) Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak.
(3) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang.
(4) Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah.
(5) Dokumen surat pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Bagian Kedua
Rincian Pajak

Paragraf 1
PBB-P2

Pasal 4

(1) Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan.
(2) Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan.
(3) Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
a. jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
b. kolam renang;
c. pagar mewah;
d. tempat olah raga;
e. dermaga;
f. taman mewah;
g. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
h. menara dan sutet.
(4) Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
a. Bumi dan/atau Bangunan kantor Pemerintah, kantor Pemerintahan Daerah, dan kantor penyelenggaraan negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
b. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang keagamaan, panti sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
c. Bumi dan/atau Bangunan yang semata-mata digunakan untuk tempat makam (kuburan), peninggalan purbakala, atau yang sejenis;
d. Bumi yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
f. Bumi dan/atau Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
g. Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis;
h. Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Bupati;
i. Bumi dan/atau Bangunan yang dipungut pajak bumi dan bangunan oleh pemerintah pusat.


Pasal 5

(1) Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
(2) Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.


Pasal 6

(1) Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP. 
(2) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2.
(3) NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.
(4) Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak.
(5) NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah.
(6) Besaran NJOP ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2.
(8) Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
(9) Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
a. kenaikan NJOP hasil penilaian;
b. bentuk pemanfaatan objek Pajak; dan/atau
c. klasterisasi NJOP dalam satu wilayah Kabupaten.
(10) Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati.
  

Pasal 7

(1) Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
a. NJOP sampai dengan nilai Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,1% (nol koma satu persen) per tahun;
b. NJOP dengan nilai di atas Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,2% (nol koma dua persen) per tahun;
c. NJOP dengan nilai di atas Rp2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah) ditetapkan sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) per tahun.
(2) Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
a. NJOP sampai dengan nilai Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen) per tahun;
b. NJOP dengan nilai di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) ditetapkan sebesar 0,08% (nol koma nol delapan persen) per tahun.
(3) Lahan produksi pangan dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati setelah dilakukan pendataan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.


Pasal 8

Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dengan tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) atau ayat (2).


Pasal 9

(1) Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan.
(2) PBB-P2 terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2.
(3) Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari.


Paragraf 2
BPHTB

Pasal 10

(1) Objek BPHTB adalah perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan. 
(2) Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. pemindahan hak karena:
1. jual beli;
2. jukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha; 
11. peleburan usaha; 
12. pemekaran usaha; atau
13. hadiah; dan 
b. pemberian hak baru karena: 
1. kelanjutan pelepasan hak; atau
2. di luar pelepasan hak.
(3) Hak atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun; dan
f. hak pengelolaan.
(4) Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan:
a. untuk kantor pemerintah, pemerintahan daerah, penyelenggara negara dan lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik daerah;
b. oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
c. untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan lembaga tersebut yang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara;
d. untuk perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
e. oleh orang pribadi atau Badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
f. oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf;
g. oleh orang pribadi atau Badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah; dan
h. untuk masyarakat berpenghasilan rendah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati.
(6) Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat.


Pasal 11

(1) Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan.
(2) Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan.


Pasal 12

(1) Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak.
(2) Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. harga transaksi untuk jual beli;
b. nilai pasar untuk tukar menukar, hibah, hibah wasiat, waris, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan hadiah; dan
c. harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam lelang.
(3) Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
(4) Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan NPOPTKP sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(5) Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
(6) Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).


Pasal 13

Tarif BPHTB ditetapkan sebesar 5% (lima persen).


Pasal 14

(1) Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi NPOTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13.
(2) Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
a. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya perjanjian pengikatan jual beli untuk jual beli;
b. pada tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta untuk tukar-menukar, hibah, hibah wasiat, pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, dan/atau hadiah;
c. pada tanggal penerima waris atau yang diberi kuasa oleh penerima waris mendaftarkan peralihan haknya ke kantor yang membidangi pertanahan untuk waris;
d. pada tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap untuk putusan hakim;
e. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak;
f. pada tanggal diterbitkannya surat keputusan pemberian hak untuk pemberian hak baru di luar pelepasan hak; atau
g. pada tanggal penunjukan pemenang lelang untuk lelang.
(3) Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli.
(4) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(5) Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada.


Pasal 15

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(2) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(3) Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(4) Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB.


Pasal 16

(1) Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan; dan
b. melaporkan pembuatan akta atas tanah dan/atau Bangunan kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(2) Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
a. denda sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a; dan/atau
b. denda sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk setiap laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(3) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
a. meminta bukti pembayaran BPHTB kepada Wajib Pajak, sebelum menandatangani risalah lelang; dan
b. melaporkan risalah lelang kepada Bupati paling lambat pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya.
(4) Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
(5) Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati.


Pasal 17

(1) Kepala kantor yang membidangi pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB.
(2) Kepala kantor yang membidangi pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
PBJT

Pasal 18

Objek PBJT merupakan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu yang meliputi:
a. Makanan dan/atau Minuman;
b. Tenaga Listrik;
c. Jasa Perhotelan;
d. Jasa Parkir; dan
e. Jasa Kesenian dan Hiburan.


Pasal 19

(1) Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
a. restoran yang paling sedikit menyediakan layanan penyajian makanan dan/atau minuman berupa meja, kursi, dan/atau peralatan makan dan minum;
b. penyedia jasa boga atau katering yang melakukan:
1. proses penyediaan bahan baku dan bahan setengah jadi, pembuatan, penyimpanan, serta penyajian berdasarkan pesanan;
2. penyajian di lokasi yang diinginkan oleh pemesan dan berbeda dengan lokasi dimana proses pembuatan dan penyimpanan dilakukan; dan
3. penyajian dilakukan dengan atau tanpa peralatan dan petugasnya.
(2) Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan makanan dan/atau minuman:
a. dengan peredaran usaha tidak melebihi Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah) setiap bulan;
b. dilakukan oleh toko swalayan dan sejenisnya yang tidak semata-mata menjual makanan dan/atau minuman;
c. dilakukan oleh pabrik makanan dan/atau minuman; atau
d. disediakan oleh penyedia fasilitas yang kegiatan usaha utamanya menyediakan pelayanan jasa menunggu pesawat (lounge) pada bandar udara.


Pasal 20

(1) Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir.
(2) Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. konsumsi tenaga listrik oleh instansi pemerintah pusat, Pemerintah Daerah dan penyelenggara negara lainnya;
b. konsumsi Tenaga Listrik pada tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing berdasarkan asas timbal balik;
c. konsumsi Tenaga Listrik pada rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
d. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait.

 
Pasal 21

(1) Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa Perhotelan seperti:  
a. hotel; 
b. hostel;
c. vila;
d. pondok wisata;
e. motel;
f. losmen;
g. wisma pariwisata;
h. pesanggrahan;
i. rumah penginapan/guesthouse/bungalo/resort/cottage;
j. tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel; dan
k. glamping.
(2) Yang dikecualikan dari jasa perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah;
b. jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis;
c. jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
d. jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata; dan
e. jasa persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel.


Pasal 22

(1) Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
a. penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir; dan/atau
b. pelayanan memarkirkan kendaraan (parkir valet);
(2) Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah;
b. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh perkantoran yang hanya digunakan untuk karyawannya sendiri;
c. jasa tempat parkir yang diselenggarakan oleh kedutaan, konsulat, dan perwakilan negara asing dengan asas timbal balik; dan
d. jasa tempat parkir pada penyelenggaraan peribadatan, pendidikan, dan makam.


Pasal 23

(1)  Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
a. tontonan film atau bentuk tontonan audio visual lainnya yang dipertontonkan secara langsung di suatu lokasi tertentu;
b. pergelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana;
c. kontes kecantikan;
d. kontes binaraga;
e. pameran;
f. pertunjukan sirkus, akrobat, dan sulap;
g. pacuan kuda dan perlombaan kendaraan bermotor;
h. permainan ketangkasan;
i. olahraga permainan dengan menggunakan tempat/ruang dan/atau peralatan dan perlengkapan untuk olahraga dan kebugaran; 
j. rekreasi wahana air, wahana ekologi, wahana pendidikan, wahana budaya, wahana salju, wahana permainan, pemancingan, agrowisata, dan kebun binatang;
k. panti pijat dan pijat refleksi; dan
l. diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.
(2) Yang dikecualikan dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jasa kesenian dan hiburan yang semata-mata untuk:
a. promosi budaya tradisional dengan tidak dipungut bayaran;
b. kegiatan layanan masyarakat dengan tidak dipungut bayaran.
c. pergelaran kesenian, musik dan atau tari untuk kegiatan sosial dan/atau keagamaan dengan tidak dipungut bayaran; dan/atau
d. bentuk kesenian dan hiburan lainnya yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah yang tidak dipungut bayaran.


Pasal 24

(1) Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu.
(2) Wajib PBJT adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu.


Pasal 25

(1) Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
a. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyedia makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
b. nilai jual tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
c. jumlah pembayaran kepada penyedia jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
d. jumlah pembayaran kepada penyelenggara tempat parkir untuk PBJT atas jasa parkir; dan
e. jumlah pembayaran yang diterima oleh penyelenggara jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
(2) Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut.
(3) Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan.


Pasal 26

(1) Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
a. tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran; dan
b. tenaga listrik yang dihasilkan sendiri.
(2) Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
a. jumlah tagihan biaya/beban tetap ditambah dengan biaya pemakaian kWh/variabel yang ditagihkan dalam rekening listrik, untuk pasca bayar; dan
b. jumlah pembelian tenaga listrik, untuk prabayar.
(3) Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
a. kapasitas tersedia;
b. tingkat penggunaan listrik;
c. jangka waktu pemakaian listrik;
d. harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah.
(4) Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan.


Pasal 27

(1) Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).
(2) Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen).
(3) Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
a. konsumsi Tenaga Listrik dari sumber lain oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, ditetapkan sebesar 3% (tiga persen); dan
b. konsumsi Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri, ditetapkan sebesar 1,5% (satu koma lima persen).


Pasal 28

(1) Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. 
(2) Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat: 
a. pembayaran/penyerahan atas makanan dan/atau minuman untuk PBJT atas makanan dan/atau minuman;
b. konsumsi/pembayaran atas tenaga listrik untuk PBJT atas tenaga listrik;
c. pembayaran/penyerahan atas jasa perhotelan untuk PBJT atas jasa perhotelan;
d. pembayaran/penyerahan atas jasa penyediaan tempat parkir untuk PBJT atas jasa parkir; dan
e. pembayaran/penyerahan atas jasa kesenian dan hiburan untuk PBJT atas jasa kesenian dan hiburan.
(3) Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan.


Paragraf 4
Pajak Reklame

Pasal 29

(1) Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame.
(2) Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. reklame papan/billboard/videotron/megatron;
b. reklame kain;
c. reklame melekat/stiker;
d. reklame selebaran;
e. reklame berjalan, termasuk pada kendaraan;
f. reklame udara;
g. reklame apung;
h. reklame film/slide; dan
i. reklame peragaan.
(3) Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. penyelenggaraan Reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya;
b. label/merek produk yang melekat pada barang yang diperdagangkan, yang berfungsi untuk membedakan dari produk sejenis lainnya;
c. nama pengenal usaha atau profesi yang dipasang melekat pada bangunan dan/atau di dalam area tempat usaha atau profesi yang jenis, ukuran, bentuk, dan bahan Reklamenya diatur dalam Peraturan Bupati dengan berpedoman pada ketentuan yang mengatur tentang nama pengenal usaha atau profesi tersebut;
d. Reklame yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
e. Reklame yang diselenggarakan dalam rangka kegiatan politik, sosial, dan keagamaan yang tidak disertai dengan iklan komersial dengan batas waktu tertentu;
f. pengumuman, tulisan dan/atau benda-benda yang dipasang untuk memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Penyelenggaraan Reklame diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 30

(1) Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame.
(2) Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame.


Pasal 31

(1) Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame.
(2) Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh Pihak Ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame.
(3) Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame.
(4) Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
  

Pasal 32

Tarif Pajak Reklame ditetapkan sebesar 25% (dua puluh lima persen).


Pasal 33

(1) Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
(2) Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame.
(3) Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. 
(4) Khusus untuk Pajak Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar.


Paragraf 5
PAT

Pasal 34

(1) Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah
(2) Yang dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
a. keperluan dasar rumah tangga;
b. pengairan pertanian rakyat;
c. perikanan rakyat; 
d. peternakan rakyat;
e. keperluan keagamaan; dan
f. kegiatan sosial.


Pasal 35

(1) Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(2) Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Pasal 36

(1) Dasar pengenaan PAT adalah Nilai Perolehan Air Tanah.
(2) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah.
(3) Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah.
(4) Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
a. jenis sumber air;
b. lokasi sumber air;
c. tujuan pengambilan dan/atau pemanfaatan air;
d. volume air yang diambil dan/atau dimanfaatkan; 
e. kualitas air; dan
f. tingkat kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh pengambilan dan/atau pemanfaatan air.
(5) Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan.
    

Pasal 37

Tarif PAT ditetapkan sebesar 20% (dua puluh persen).

 
Pasal 38

(1) Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37.
(2) Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.
(3) Wilayah pemungutan PAT yang terutang adalah wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah.


Paragraf 6
Pajak MBLB

Pasal 39

(1) Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
a. asbes;
b. batu tulis
c. batu setengah permata;
d. batu kapur;
e. batu apung;
f. batu permata;  
g. bentonit
h. dolomit;
i. feldspar;
j. garam batu (halite);
k. grafit;
l. granit/andesit;
m. gipsum;
n. kalsit;
o. kaolin;
p. leusit;
q. magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u. obsidian;
v. oker;
w. pasir dan kerikil;
x. pasir kuarsa;
y. perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosit;
hh. zeolit;
ii. basalt;
jj. trakhit;
kk. belerang;
ll. MBLB ikutan dalam suatu pertambangan mineral; dan
mm. MBLB lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
a. untuk keperluan rumah tangga dan tidak diperjualbelikan/dipindahtangankan;
b. untuk keperluan pamancangan tiang listrik/telepon, penanaman kabel, penanaman pipa, dan sejenisnya yang tidak mengubah fungsi permukaan tanah.


Pasal 40

(1) Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.
(2) Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB.

 
Pasal 41

(1) Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB.
(3) Harga patokan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah.
(4) Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara.


Pasal 42

Tarif Pajak MBLB ditetapkan sebesar 16% (enam belas persen).


Pasal 43

(1)  Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42.
(2) Saat terutangnya Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang.
(3) Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB.
  

Paragraf 7
Pajak Sarang Burung Walet

Pasal 44

(1) Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. 
(2) Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak.


Pasal 45

(1) Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet 
(2) Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet.


Pasal 46

(1) Dasar pengenaan pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual Sarang Burung Walet.
(2) Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet.
   

Pasal 47

Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen).


Pasal 48

(1) Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.
(2) Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.
(3) Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet.


Paragraf 8
Opsen PKB

Pasal 49

Opsen PKB dikenakan atas Pajak terutang dari PKB.


Pasal 50

(1) Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB.
(2) Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB.
 

Pasal 51

Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang.


Pasal 52

Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak yang terutang.


Pasal 53

(1) Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. (2)
(2) Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutang nya PKB.
(3) Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.


Paragraf 9
Opsen BBNKB

Pasal 54

Opsen BBKNB dikenakan atas Pajak terutang dari BBNKB.


Pasal 55

(1) Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB.
(2) Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB.
  

Pasal 56

Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang.


Pasal 57

Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen) dihitung dari besaran Pajak yang terutang


Pasal 58

(1) Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57.
(2) Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB.
(3) Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar.
 
 
BAB III
RETRIBUSI DAERAH

Bagian Kesatu
Jenis Retribusi

Pasal 59

Jenis Retribusi terdiri atas:
a. Retribusi Jasa Umum;
b. Retribusi Jasa Usaha; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu.
 

Pasal 60

(1) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum.
(2) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
  

Bagian Kedua
Retribusi Jasa Umum

Pasal 61

(1) Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a meliputi:
a. pelayanan kesehatan;
b. pelayanan kebersihan; dan
c. pelayanan parkir di tepi jalan umum.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Detail rincian objek pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
(5) Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum.
(7) Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum.
(8) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan.
(9) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.


Paragraf 1
Pelayanan Kesehatan

Pasal 62

Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf a merupakan pelayanan kesehatan di puskesmas, puskesmas keliling, puskesmas pembantu, balai pengobatan, rumah sakit umum daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, kecuali pelayanan administrasi.


Pasal 63

Tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan diukur berdasarkan jenis layanan, dan/atau jarak tempuh layanan pelayanan kesehatan yang diberikan Pemerintah Daerah.


Pasal 64

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan kegiatan lainnya yang menunjang pelayanan kesehatan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan kesehatan.
(2) Biaya yang dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya investasi peralatan, biaya operasional dan biaya pemeliharaan.
  

Pasal 65

Besarnya Tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Paragraf 2
Pelayanan Kebersihan

Pasal 66

(1) Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
a. pengambilan/pengumpulan sampah dari sumbernya ke lokasi pembuangan sementara;
b. pengangkutan sampah dari sumbernya dan/atau lokasi pembuangan sementara ke lokasi pembuangan akhir sampah/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
c. penyediaan lokasi pembuangan/pengolahan atau pemusnahan akhir sampah;
d. penyediaan dan/atau penyedotan kakus; dan
e. pengolahan limbah cair rumah tangga, perkantoran, dan industri.
(2) Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sarana sosial, sarana pemerintah dan tempat umum lainnya.


Pasal 67

Tingkat penggunaan jasa pelayanan kebersihan diukur berdasarkan jenis klasifikasi/golongan pengguna jasa, volume dan/atau jenis sampah/limbah kakus/limbah cair, dan jangka waktu pelayanan kebersihan.


Pasal 68

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan yang diberikan Pemerintah Daerah adalah untuk menutup sebagian biaya penyediaan jasa pelayanan kebersihan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan kebersihan.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pengumpulan sampah, biaya pengangkutan sampah, biaya pemusnahan, pengolahan sampah, biaya penyediaan lokasi tempat pemprosesan sampah, biaya penyediaan fasilitas persampahan/kebersihan.

 
Pasal 69

Besarnya Tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Paragraf 3
Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum

Pasal 70

Pelayanan parkir di tepi jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c merupakan penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang ditentukan oleh Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 71

Tingkat penggunaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum diukur berdasarkan klasifikasi jalan, jenis kendaraan dan waktu penggunaan.


Pasal 72

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum untuk menutup sebagian biaya penyediaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan parkir di tepi jalan umum.
(2) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pembuatan marka, rambu parkir, biaya operasional dan pemeliharaan.


Pasal 73

Besarnya tarif Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

 
Bagian Ketiga
Retribusi Jasa Usaha

Pasal 74

(1) Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b meliputi:
a. penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan;
b. pelayanan rumah pemotongan hewan ternak;
c. pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga;
d. penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah; dan
e. pemanfaatan aset Daerah yang tidak mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah dan/atau optimalisasi aset Daerah dengan tidak mengubah status kepemilikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD.
(4) Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.
(5) Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan: 
a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
b. tidak menghambat iklim investasi di Daerah; dan
c. tidak menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
(6) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
(7) Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha.
(8) Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha.
(9) Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan.
(10) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.


Paragraf 1
Penyediaan Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan

Pasal 75

Penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf a merupakan penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 76

Tingkat penggunaan jasa penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan diukur berdasarkan lokasi parkir, jenis kendaraan dan frekuensi parkir.
 

Pasal 77

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Besarnya tarif Retribusi Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
   

Paragraf 2
Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak

Pasal 78

Pelayanan rumah pemotongan hewan ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf b, adalah pelayanan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak, termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 79

Tingkat penggunaan jasa pelayanan rumah pemotongan hewan ternak diukur berdasarkan jenis hewan ternak dan jenis layanan.


Pasal 80

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Besarnya tarif Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
    
 
Paragraf 3
Pelayanan Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga

Pasal 81

Pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) huruf c adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 82

Tingkat penggunaan jasa pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga diukur berdasarkan jenis fasilitas, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian fasilitas tempat rekreasi, pariwisata dan olah raga.


Pasal 83

(1) Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga adalah untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Besarnya tarif Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Paragraf 4
Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah

Pasal 84

Objek Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah adalah penjualan hasil produksi usaha daerah oleh Pemerintah Daerah.


Pasal 85

Tingkat penggunaan jasa penjualan hasil produksi usaha daerah oleh pemerintah daerah diukur berdasarkan jenis dan/atau volume produksi usaha Daerah.

 
Pasal 86

(1) Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah didasarkan atas tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang layak.
(2) Besarnya tarif Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
   

Paragraf 5
Pemanfaatan Aset Daerah

Pasal 87

(1) Objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 74 ayat (1) huruf e adalah pemanfaatan aset Daerah yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah.
(2) Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a. pemanfaatan aset Daerah yang mengganggu penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi perangkat Daerah; dan
b. optimalisasi aset Daerah yang mengubah status kepemilikan aset tersebut.
   

Pasal 88

Tingkat penggunaan jasa pemanfaatan aset Daerah diukur berdasarkan jenis layanan, frekuensi layanan, dan/atau jangka waktu pemakaian kekayaan Daerah.


Pasal 89

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak.
(2) Besarnya tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.

   
Bagian Keempat
Retribusi Perizinan Tertentu

Pasal 90

(1) Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c meliputi :
a. PBG; dan
b. penggunaan tenaga kerja asing.
(2) Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta.
(4) Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu.
(5) Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu.

 
Paragraf 1
PBG

Pasal 91

(1) Objek Retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a adalah penerbitan PBG dan SLF.
(2) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF.
(3) Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
a. Pembangunan baru;
b. Bangunan Gedung yang sudah terbangun dan belum memiliki PBG dan/atau SLF; 
c. PBG perubahan untuk:
1. perubahan fungsi Bangunan Gedung;
2. perubahan lapis Bangunan Gedung;
3. perubahan luas Bangunan Gedung;
4. perubahan tampak Bangunan Gedung;
5. perubahan spesifikasi dan dimensi komponen pada Bangunan Gedung yang mempengaruhi aspek keselamatan dan/atau kesehatan;
6. perkuatan Bangunan Gedung terhadap tingkat kerusakan sedang atau berat;
7. perlindungan dan/atau pengembangan Bangunan Gedung cagar budaya; atau
8. perbaikan Bangunan Gedung yang terletak di kawasan cagar budaya.
(4) PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan.
(5) Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan.
 

Pasal 92

(1) Besarnya Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi PBG.
(2) Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan.
(3) Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. indeks lokalitas dan Standar Harga Satuan Tertinggi untuk Bangunan Gedung; atau
b. harga satuan Retribusi Prasarana Bangunan Gedung untuk Prasarana Bangunan Gedung.
(4) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
a. Bangunan Gedung; dan
b. Prasarana Bangunan Gedung.
(5) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas: 
a. luas total Lantai;
b. indeks terintegrasi; dan
c. indeks Bangunan Gedung Terbangun.
(6) Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
a. volume;
b. indeks Prasarana Bangunan Gedung; dan
c. indeks Bangunan Gedung terbangun.


Pasal 93

(1) Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif Retribusi PBG didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF.
(2) Biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penerbitan dokumen PBG dan SLF;
b. inspeksi Penilik bangunan;
c. penegakan hukum;
d. penatausahaan; dan
e. biaya dampak negatif dari penerbitan PBG dan SLF.


Pasal 94

Rincian perhitungan struktur dan besaran tarif PBG tercantum dalam Lampiran IX yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.


Paragraf 2
Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pasal 95

(1) Objek Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada Pasal 90 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan bagi TKA yang bekerja di Daerah.
(2) Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan.


Pasal 96

Tingkat penggunaan jasa penggunaan tenaga kerja asing diukur berdasarkan frekuensi penyediaan layanan (jumlah pengesahan RPTKA Perpanjangan yang diterbitkan) dan/atau jangka waktu layanan.
 

Pasal 97

(1) Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi penggunaan tenaga kerja asing ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pengesahan RPTKA perpanjangan.
(2) Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penerbitan dokumen pengesahan RPTKA Perpanjangan;
b. pengawasan di lapangan;
c. penegakan hukum;
d. penatausahaan;
e. biaya dampak negatif dari Pengesahan RPTKA Perpanjangan; dan
f. kegiatan pengembangan keahlian dan keterampilan tenaga kerja lokal.


Pasal 98

(1) Besarnya tarif Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini.
(2) Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan ke Kas Daerah dalam rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran Retribusi.


BAB IV
PENINJAUAN TARIF RETRIBUSI

Pasal 99

(1) Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali.
(2) Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi.
(3) Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati.


BAB V
PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Bagian Kesatu
Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi

Pasal 100

(1) Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(2) Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai :
a. pendaftaran dan pendataan;
b. penetapan besaran Pajak dan Retribusi terutang;
c. pembayaran dan penyetoran;
d. pelaporan;
e. pengurangan, pembetulan, dan pembatalan ketetapan;
f. pemeriksaan Pajak;
g. penagihan Pajak dan Retribusi;
h. keberatan;
i. gugatan;
j. penghapusan piutang Pajak dan Retribusi oleh Bupati; dan
k. pengaturan lain yang berkaitan dengan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi.
(3) Pembayaran dan Penyetoran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik.
(4) Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.


Pasal 101

(1) Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda.
(2) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SPTPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD.
(3) Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure).
(4) Besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
(5) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. bencana alam;
b. kebakaran;
c. kerusuhan massal atau huru-hara; dan
d. wabah penyakit.
 

Bagian Kedua
Pemberian Keringanan, Pengurangan, Pembebasan dan Penundaan Pembayaran

Pasal 102

(1) Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi.
(2) Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB VI
PEMBERIAN FASILITAS PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 103

(1) Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah.
(2) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya.
(3) Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
a. kemampuan membayar Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi;
b. kondisi tertentu objek Pajak, seperti objek Pajak terkena bencana alam, kebakaran, dan/atau penyebab lainnya yang terjadi bukan karena adanya unsur kesengajaan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dan/atau pihak lain yang bertujuan untuk menghindari pembayaran Pajak;
c. untuk mendukung dan melindungi pelaku usaha mikro dan ultra mikro;
d. untuk mendukung kebijakan Daerah dalam mencapai program prioritas Daerah; dan/atau
e. untuk mendukung kebijakan pemerintah pusat dalam mencapai program prioritas nasional.
(4) Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD.
(5) Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB VII
KERAHASIAAN DATA WAJIB PAJAK

Pasal 104

(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah.
(3) Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau ahli dalam sidang pengadilan; dan
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh Bupati untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang Keuangan Daerah.
(4) Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk.
(5) Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya.
(6) Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta.
 

BAB VIII
INSENTIF PEMUNGUTAN PAJAK DAN RETRIBUSI

Pasal 105

(1) Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
   

BAB IX
SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 106

(1) Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati.


BAB X
KETENTUAN PENYIDIKAN

Pasal 107

(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah: 
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau Badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau Badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa; 
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana perpajakan Daerah dan Retribusi;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
 

BAB XI
KETENTUAN PIDANA

Pasal 108

(1) Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak Terutang yang tidak atau kurang dibayar.
(2) Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak Terutang yang tidak atau kurang dibayar.
 

Pasal 109

Tindak Pidana di bidang perpajakan Daerah tidak dapat dituntut apabila telah melampaui jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak saat Pajak terutang atau masa Pajak berakhir atau bagian Tahun Pajak berakhir atau Tahun Pajak yang bersangkutan berakhir.


Pasal 110

Wajib Retribusi yang tidak melaksanakan kewajiban membayar atas layanan yang digunakan/dinikmati, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau pidana denda paling banyak 3 (tiga) kali dari jumlah Retribusi Piutang yang tidak atau kurang dibayar.


Pasal 111

Pejabat atau tenaga ahli yang melanggar larangan kerahasiaan data Wajib Pajak, diancam dengan pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Pasal 112

Sanksi pidana berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, Pasal 110, dan Pasal 111 merupakan pendapatan negara.


BAB XII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 113

(1) Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku sejak tanggal 5 Januari 2025.
(2) Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 105, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi.
(3) Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian.
(4) Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini.
(5) Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksana di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini.
  

Pasal 114

Peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan sejak Peraturan Daerah ini mulai berlaku.


BAB XIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 115

Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 155);
b. Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 157), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 165);
c. Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 158), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 1);
d. Pasal 1 angka 21, angka 24 sampai dengan angka 29, Pasal 4 huruf e, Pasal 25 sampai dengan Pasal 39 Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Retribusi Penyelenggaraan Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2019 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 204);
e. Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 225),
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

 
Pasal 116

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Dairi.




Ditetapkan di Sidikalang
Pada tanggal 4 Januari 2024
BUPATI DAIRI,

ttd.

EDDY KELENG ATE BERUTU


Diundangkan di Sidikalang
pada tanggal 4 Januari 2024
SEKRETARIS DAERAH KABUPATEN DAIRI,

ttd.

SURUNG CHARLES LAMHOT BANTJIN





LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAIRI TAHUN 2024 NOMOR 1
NOREG PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI, PROVINSI SUMATERA UTARA: (1-7/2024)
 





PENJELASAN
ATAS
PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAIRI
NOMOR 1 TAHUN 2024

TENTANG

PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

I. UMUM

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, salah satunya mengubah ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di mana, ada beberapa perubahan terkait dengan pengaturan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai dari restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk:
1. menyelaraskan Objek Pajak antara pajak pusat dan pajak daerah sehingga menghindari adanya duplikasi pemungutan pajak;
2. menyederhanakan administrasi perpajakan sehingga manfaat yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya pemungutan;
3. memudahkan pemantauan pemungutan Pajak terintegrasi oleh Daerah; dan
4. mempermudah masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, sekaligus mendukung kemudahan berusaha dengan adanya simplifikasi administrasi perpajakan.
 
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah.

Pengaturan yang lebih lanjut terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah harus diatur dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)

Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Pasal 5
Cukup jelas.

Pasal 6
Cukup jelas.

Pasal 7
Cukup jelas.

Pasal 8
Cukup jelas.

Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang.
Contoh :
  1. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2013 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 20 Januari 2013 bangunannya terbakar, maka pajak terhutang tetap berdasarkan keadaan objek pada tanggal 1 Januari 2013 yaitu keadaan sebelum bangunan tersebut terbakar. 
  2. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 2013 berupa sebidang tanah tanpa bangunan diatasnya. Pada tanggal 10 Juli 2013 dilakukan pendataan, ternyata diatas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terutang untuk tahun 2013 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 2013, sedangkan bangunan baru dikenakan pada tahun 2014.
Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Ayat (4)
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.

Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman :
  1. Toko Roti A melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti A untuk dijual kepada konsumen. Toko Roti A tidak menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti A tidak memenuhi kriteria Restoran, sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. 
  2. Toko Roti dengan merek dagang B pada Mal X di Kota Z melakukan penjualan roti dan minuman kepada konsumen. Roti diproduksi dari tempat lain (pabrik roti), kemudian didistribusikan melalui Toko Roti B untuk dijual kepada konsumen. Untuk meningkatkan pelayanannya kepada konsumen, Toko Roti B menyediakan meja dan kursi kepada konsumen untuk menyantap di tempat. Oleh karena itu, toko roti dimaksud merupakan Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan terutang PBJT bukan objek pajak pertambahan nilai. 
  3. Toko Roti dengan merek dagang B pada Pusat Pertokoan Y di Kota Z melakukan produksi (proses pembuatan dan pengolahan bahan menjadi roti) sekaligus penjualan roti kepada konsumen. Toko dimaksud hanya melakukan pembuatan dan penjualan langsung kepada konsumen tanpa menyediakan meja, kursi, dan/atau peralatan makan di lokasi penjualan. Oleh karena itu, Toko Roti dimaksud tidak memenuhi kriteria Restoran sehingga atas penjualan roti dan minuman yang dilakukan tidak terutang PBJT, melainkan merupakan objek pajak pertambahan nilai. Dengan demikian, meskipun atas toko roti yang memiliki merek dagang yang sama, dapat terjadi perbedaan perlakuan perpajakan, bergantung pada pelayanan riil toko roti apakah hanya menjual (distribusi) atau memberikan pelayanan selayaknya Restoran.
Huruf b
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Cukup jelas.

Huruf i
Cukup jelas.

Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).

Huruf k
Glampling atau glamorous camping merujuk pada suatu bentuk perkemahan modern dengan menggabungkan esensi alam dan dengan adanya fasilitas yang memadai.

Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.

Pasal 22
Cukup jelas.

Pasal 23
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.

Huruf b
Cukup jelas.

Huruf c
Cukup jelas.

Huruf d
Cukup jelas.

Huruf e
Cukup jelas.

Huruf f
Cukup jelas.

Huruf g
Cukup jelas.

Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.

Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.

Huruf j
Cukup jelas.

Huruf k
Cukup jelas.

Huruf l
Cukup jelas.

Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Pasal 24
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.

Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucer antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.

Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucer atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas.

Pasal 28
Cukup jelas.

Pasal 29
Cukup jelas.

Pasal 30
Cukup jelas.

Pasal 31
Cukup jelas.

Pasal 32
Cukup jelas.

Pasal 33
Cukup jelas.

Pasal 34
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas.

Pasal 37
Cukup jelas.

Pasal 38
Cukup jelas.

Pasal 39
Cukup jelas.

Pasal 40
Cukup jelas.

Pasal 41
Cukup jelas.

Pasal 42
Cukup jelas.

Pasal 43
Cukup jelas.

Pasal 44
Cukup jelas.

Pasal 45
Cukup jelas.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 48
Cukup jelas.

Pasal 49
Cukup jelas.

Pasal 50
Cukup jelas.

Pasal 51
Cukup jelas.

Pasal 52
Cukup jelas.

Pasal 53
Cukup jelas.

Pasal 54
Cukup jelas.

Pasal 55
Cukup jelas.

Pasal 56
Cukup jelas.

Pasal 57
Cukup jelas.

Pasal 58
Cukup jelas.

Pasal 59
Cukup jelas.

Pasal 60
Cukup jelas.

Pasal 61
Cukup jelas.

Pasal 62
Termasuk pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas.

Pasal 65
Cukup jelas.

Pasal 66
Cukup jelas.

Pasal 67
Cukup jelas.

Pasal 68
Cukup jelas.

Pasal 69
Cukup jelas.

Pasal 70
Cukup jelas.

Pasal 71
Cukup jelas.

Pasal 72
Cukup jelas.

Pasal 73
Cukup jelas.

Pasal 74
Cukup jelas.

Pasal 75
Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.

Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah.

Pasal 76
Cukup jelas.

Pasal 77
Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 78
Cukup jelas.

Pasal 79
Cukup jelas.

Pasal 80
Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan rumah pemotongan hewan ternak dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Pasal 81
Cukup jelas.

Pasal 82
Cukup jelas.

Pasal 83
Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 84
Cukup jelas.

Pasal 85
Cukup jelas.

Pasal 86
Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.

Ayat (2)
Cukup jelas.
 
Pasal 87
Cukup jelas.

Pasal 88
Cukup jelas.

Pasal 89
Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pemanfaatan aset Daerah dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar

Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 90
Cukup jelas.

Pasal 91
Cukup jelas.

Pasal 92
Cukup jelas.

Pasal 93
Cukup jelas.

Pasal 94
Cukup jelas.

Pasal 95
Cukup jelas.

Pasal 96
Cukup jelas.

Pasal 97
Cukup jelas.

Pasal 98
Cukup jelas.

Pasal 99
Cukup jelas.

Pasal 100
Cukup jelas.

Pasal 101
Cukup jelas.

Pasal 102
Ayat (1)
Cukup jelas.

Ayat (2)
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.

Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 103
Cukup jelas.

Pasal 104
Cukup jelas.

Pasal 105
Cukup jelas.

Pasal 106
Cukup jelas.

Pasal 107
Cukup jelas.

Pasal 108
Cukup jelas.

Pasal 109
Cukup jelas.

Pasal 110
Cukup jelas.

Pasal 111
Cukup jelas.

Pasal 112
Cukup jelas.

Pasal 113
Cukup jelas.

Pasal 114
Cukup jelas.

Pasal 115
Cukup jelas.

Pasal 116
Cukup jelas.



TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH KABUPATEN DAIRI NOMOR 228

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA