Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
a. | PBB-P2; | ||||||||||
b. | BPHTB; | ||||||||||
c. | PBJT atas:
|
||||||||||
d. | Pajak Reklame; | ||||||||||
e. | PAT; | ||||||||||
f. | Pajak MBLB; | ||||||||||
g. | Pajak Sarang Burung Walet; | ||||||||||
h. | Opsen PKB; dan | ||||||||||
i. | Opsen BBNKB. |
(1) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf h, dan huruf i merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Bupati. |
(2) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b, huruf c, huruf f, dan huruf g merupakan jenis Pajak yang dipungut berdasarkan perhitungan sendiri oleh Wajib Pajak. |
(3) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah surat ketetapan pajak daerah dan surat pemberitahuan pajak terutang. |
(4) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah surat pemberitahuan pajak daerah. |
(5) | Dokumen surat pemberitahuan Pajak Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan dan pertambangan. | ||||||||||||||||||
(2) | Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengerukan. | ||||||||||||||||||
(3) | Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah :
|
||||||||||||||||||
(4) | Yang dikecualikan dari objek PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
(1) | Subjek Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 merupakan NJOP. | ||||||
(2) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2. | ||||||
(3) | NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. | ||||||
(4) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di wilayah Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak. | ||||||
(5) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayah Daerah. | ||||||
(6) | Besaran NJOP ditetapkan dengan Peraturan Bupati. | ||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2. | ||||||
(8) | Dasar pengenaan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak. | ||||||
(9) | Besaran persentase NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas kelompok objek PBB-P2 ditentukan dengan mempertimbangkan, meliputi:
|
||||||
(10) | Ketentuan mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Tarif PBB-P2 ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(2) | Tarif PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Lahan produksi pangan dan ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati setelah dilakukan pendataan oleh Perangkat Daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian. |
(1) | Saat terutang PBB-P2 ditetapkan pada saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. |
(2) | PBB-P2 terutang dipungut di wilayah Daerah yang meliputi letak objek PBB-P2. |
(3) | Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. |
(1) | Objek BPHTB adalah perolehan hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Hak atas tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Yang dikecualikan dari objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf h yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Bupati. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. |
(1) | Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(1) | Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. | ||||||
(2) | Nilai perolehan objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan. | ||||||
(4) | Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan NPOPTKP sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||
(5) | Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB. | ||||||
(6) | Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, NPOPTKP ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). |
(1) | Besaran pokok BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) setelah dikurangi NPOTKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4), ayat (5) atau ayat (6), dengan tarif BPHTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13. | ||||||||||||||
(2) | Saat terutangnya BPHTB ditetapkan pada saat terjadinya perolehan tanah dan/atau Bangunan dengan ketentuan:
|
||||||||||||||
(3) | Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, maka saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. | ||||||||||||||
(4) | Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||||||
(5) | Wilayah pemungutan BPHTB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat tanah dan/atau Bangunan berada. |
(1) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(2) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara hanya dapat menandatangani risalah lelang perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(3) | Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(4) | Dalam hal perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan bukan merupakan objek BPHTB, Bupati dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB. |
(1) | Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris sebagaimana dimaksud pada Pasal 15 ayat (1) wajib:
|
||||
(2) | Dalam hal Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
||||
(4) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(5) | Tata cara pelaporan bagi pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Kepala kantor yang membidangi pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(2) | Kepala kantor yang membidangi pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | Makanan dan/atau Minuman; |
b. | Tenaga Listrik; |
c. | Jasa Perhotelan; |
d. | Jasa Parkir; dan |
e. | Jasa Kesenian dan Hiburan. |
(1) | Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a meliputi makanan dan/atau minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu penyerahan makanan dan/atau minuman:
|
(1) | Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. | ||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa Perhotelan seperti:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari jasa perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d meliputi:
|
||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf e meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jasa kesenian dan hiburan yang semata-mata untuk:
|
(1) | Subjek PBJT adalah konsumen barang dan jasa tertentu. |
(2) | Wajib PBJT adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu. |
(1) | Dasar pengenaan PBJT adalah jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menggunakan voucer atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. | ||||||||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dasar pengenaan PBJT dihitung berdasarkan harga jual barang dan jasa sejenis yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan. |
(1) | Nilai jual tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||||||
(2) | Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||||||
(3) | Nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||||||
(4) | Berdasarkan nilai jual tenaga listrik yang ditetapkan untuk tenaga listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, penyedia tenaga listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan Pemungutan PBJT atas tenaga listrik untuk penggunaan tenaga listrik yang dijual atau diserahkan. |
(1) | Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). | ||||
(2) | Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen). | ||||
(3) | Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
(1) | Besaran pokok PBJT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dengan tarif PBJT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27. | ||||||||||
(2) | Saat terutang PBJT ditetapkan pada saat:
|
||||||||||
(3) | Wilayah pemungutan PBJT yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. |
(1) | Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. | ||||||||||||||||||
(2) | Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||
(3) | Yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||
(4) | Penyelenggaraan Reklame diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. |
(2) | Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame. |
(2) | Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh Pihak Ketiga, Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. |
(4) | Dalam hal Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, Nilai Sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Perhitungan Nilai Sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. |
(1) | Besaran pokok Pajak Reklame yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dengan tarif Pajak Reklame sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32. |
(2) | Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan Reklame. |
(3) | Wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat penyelenggaraan Reklame. |
(4) | Khusus untuk Pajak Reklame berjalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) huruf e, wilayah pemungutan Pajak Reklame yang terutang adalah wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara reklame terdaftar. |
(1) | Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah | ||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PAT yaitu pengambilan untuk:
|
(1) | Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Dasar pengenaan PAT adalah Nilai Perolehan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. | ||||||||||||
(3) | Harga air baku ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah. | ||||||||||||
(4) | Bobot Air Tanah dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||||||||||
(5) | Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan. |
(1) | Besaran pokok PAT yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) dengan tarif PAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37. |
(2) | Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(3) | Wilayah pemungutan PAT yang terutang adalah wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Objek Pajak MBLB adalah kegiatan pengambilan MBLB yang meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek Pajak MBLB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pengambilan MBLB:
|
(1) | Subjek Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. |
(2) | Wajib Pajak MBLB adalah orang pribadi atau Badan yang mengambil MBLB. |
(1) | Dasar pengenaan Pajak MBLB adalah nilai jual hasil pengambilan MBLB. |
(2) | Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian volume/tonase pengambilan MBLB dengan harga patokan tiap-tiap jenis MBLB. |
(3) | Harga patokan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan harga jual rata-rata tiap jenis MBLB pada mulut tambang yang berlaku di wilayah Daerah. |
(4) | Harga patokan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara. |
(1) | Besaran pokok Pajak MBLB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) dengan tarif Pajak MBLB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42. |
(2) | Saat terutangnya Pajak MBLB ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan MBLB di mulut tambang. |
(3) | Wilayah pemungutan Pajak MBLB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan MBLB. |
(1) | Objek Pajak Sarang Burung Walet adalah pengambilan dan/atau pengusahaan Sarang Burung Walet. |
(2) | Yang dikecualikan dari objek Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pengambilan sarang burung walet yang telah dikenakan penerimaan negara bukan pajak. |
(1) | Subjek Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet |
(2) | Wajib Pajak Sarang Burung Walet adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau mengusahakan Sarang Burung Walet. |
(1) | Dasar pengenaan pajak Sarang Burung Walet adalah nilai jual Sarang Burung Walet. |
(2) | Nilai Jual Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan perkalian antara harga pasaran umum Sarang Burung Walet yang berlaku di Daerah dengan volume Sarang Burung Walet. |
(1) | Besaran pokok Pajak Sarang Burung Walet yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) dengan tarif Pajak Sarang Burung Walet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47. |
(2) | Saat terutang Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. |
(3) | Wilayah pemungutan Pajak Sarang Burung Walet yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pengusahaan sarang burung walet. |
(1) | Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB. |
(2) | Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB. |
(1) | Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52. (2) |
(2) | Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutang nya PKB. |
(3) | Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang adalah wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(1) | Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib Pajak BBNKB. |
(2) | Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB. |
(1) | Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 dengan tarif Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57. |
(2) | Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. |
(3) | Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
a. | Retribusi Jasa Umum; |
b. | Retribusi Jasa Usaha; dan |
c. | Retribusi Perizinan Tertentu. |
(1) | Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. |
(2) | Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a meliputi:
|
||||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||
(4) | Detail rincian objek pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. | ||||||
(5) | Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||
(6) | Subjek Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Umum. | ||||||
(7) | Wajib Retribusi Jasa Umum merupakan orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. | ||||||
(8) | Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Bupati ditetapkan. | ||||||
(9) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Kesehatan adalah untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pelayanan kesehatan dan kegiatan lainnya yang menunjang pelayanan kesehatan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan kesehatan. |
(2) | Biaya yang dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya investasi peralatan, biaya operasional dan biaya pemeliharaan. |
(1) | Pelayanan kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari pelayanan kebersihan adalah pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, sarana sosial, sarana pemerintah dan tempat umum lainnya. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Kebersihan yang diberikan Pemerintah Daerah adalah untuk menutup sebagian biaya penyediaan jasa pelayanan kebersihan dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan kebersihan. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pengumpulan sampah, biaya pengangkutan sampah, biaya pemusnahan, pengolahan sampah, biaya penyediaan lokasi tempat pemprosesan sampah, biaya penyediaan fasilitas persampahan/kebersihan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum untuk menutup sebagian biaya penyediaan jasa pelayanan parkir di tepi jalan umum dengan mempertimbangkan kemampuan masyarakat, keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan parkir di tepi jalan umum. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya pembuatan marka, rambu parkir, biaya operasional dan pemeliharaan. |
(1) | Jenis penyediaan/pelayanan barang dan/atau jasa yang merupakan objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b meliputi:
|
||||||||||
(2) | Penyediaan atau pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan jasa atau pelayanan yang diberikan dan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||
(3) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||||||
(4) | Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati. | ||||||||||
(5) | Detail rincian objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||||
(6) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. | ||||||||||
(7) | Subjek Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati pelayanan Jasa Usaha. | ||||||||||
(8) | Wajib Retribusi Jasa Usaha merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas jenis pelayanan Jasa Usaha. | ||||||||||
(9) | Peraturan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkan. | ||||||||||
(10) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan jasa yang dilakukan oleh pemerintah pusat, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan besarnya tarif Retribusi Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Besarnya tarif Retribusi Tempat Khusus Parkir di Luar Badan Jalan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Besarnya tarif Retribusi Rumah Pemotongan Hewan Ternak ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga adalah untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Besarnya tarif Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah didasarkan atas tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang layak. |
(2) | Besarnya tarif Retribusi Penjualan Hasil Produksi Usaha Pemerintah Daerah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud pada Pasal 74 ayat (1) huruf e adalah pemanfaatan aset Daerah yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. | ||||
(2) | Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
|
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Besarnya tarif Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Jenis pelayanan pemberian izin yang merupakan objek Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c meliputi :
|
||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Dikecualikan dari objek jenis Retribusi Perizinan Tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan perizinan yang dilakukan oleh pemerintah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan pihak swasta. | ||||
(4) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang Pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pemberian Perizinan Tertentu. | ||||
(5) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan Orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu. |
(1) | Objek Retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) huruf a adalah penerbitan PBG dan SLF. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan layanan konsultasi pemenuhan standar teknis, penerbitan PBG, inspeksi bangunan gedung, penerbitan SLF dan SBKBG, serta pencetakan plakat SLF. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan. | ||||||||||||||||||||||
(5) | Tidak termasuk objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pemberian izin persetujuan Bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Bangunan yang memiliki fungsi keagamaan atau peribadatan. |
(1) | Besarnya Retribusi PBG yang terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan dan harga satuan Retribusi PBG. | ||||||
(2) | Tingkat penggunaan jasa atas penyediaan layanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur berdasarkan formula yang mencerminkan biaya penyelenggaraan penyediaan layanan. | ||||||
(3) | Harga satuan Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||
(4) | Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas formula untuk:
|
||||||
(5) | Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a terdiri atas:
|
||||||
(6) | Formula sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b terdiri atas:
|
(1) | Prinsip dan sasaran penetapan besaran tarif Retribusi PBG didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF. | ||||||||||
(2) | Biaya penyelenggaraan penerbitan PBG dan SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Objek Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada Pasal 90 ayat (1) huruf b merupakan pelayanan pengesahan RPTKA perpanjangan bagi TKA yang bekerja di Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari pengenaan Retribusi atas pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tenaga kerja asing oleh instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan jabatan tertentu di lembaga pendidikan. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi penggunaan tenaga kerja asing ditetapkan berdasarkan pada tujuan untuk menutup seluruh biaya penyelenggaraan pengesahan RPTKA perpanjangan. | ||||||||||||
(2) | Biaya penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Besarnya tarif Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(2) | Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibayarkan ke Kas Daerah dalam rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat pembayaran Retribusi. |
(1) | Tarif Retribusi ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. |
(2) | Peninjauan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan indeks harga dan perkembangan perekonomian, tanpa melakukan penambahan objek Retribusi. |
(3) | Penetapan tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Pemungutan Pajak dan Retribusi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan umum dan tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Ketentuan Umum dan Tata Cara Pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengaturan mengenai :
|
||||||||||||||||||||||
(3) | Pembayaran dan Penyetoran Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai. | ||||||||||||||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. | ||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SPTPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD. | ||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan jika Wajib Pajak mengalami keadaan kahar (force majeure). | ||||||||
(4) | Besaran sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). | ||||||||
(5) | Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
(1) | Bupati dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi Pajak dan Retribusi. |
(2) | Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Bupati dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan atau penghapusan atas pokok Pajak, pokok Retribusi, dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Bupati berdasarkan pertimbangan, meliputi:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati dan diberitahukan kepada DPRD. | ||||||||||
(5) | Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disertai dengan pertimbangan Bupati dalam memberikan insentif fiskal. | ||||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Bupati untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(3) | Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Bupati berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Bupati dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Perangkat Daerah yang melaksanakan pemungutan Pajak dan Retribusi dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu. |
(2) | Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui APBD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Bupati berpedoman pada peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak atau Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajibannya, dikenakan sanksi administratif berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan Pajak atau Retribusi. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. |
(1) | Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Wewenang Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui Penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak 2 (dua) kali jumlah Pajak Terutang yang tidak atau kurang dibayar. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SSPD BPHTB dan/atau SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan, sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak 4 (empat) kali jumlah Pajak Terutang yang tidak atau kurang dibayar. |
(1) | Ketentuan mengenai Opsen PKB dan Opsen BBNKB mulai berlaku sejak tanggal 5 Januari 2025. |
(2) | Ketentuan mengenai insentif pemungutan Pajak dan Retribusi sebagaimana diatur dalam Pasal 105, hanya dapat dilaksanakan sampai dengan diberlakukannya pengaturan mengenai penghasilan aparatur sipil negara yang telah mempertimbangkan kelas jabatan untuk tugas dan fungsi pemungutan Pajak dan Retribusi. |
(3) | Ketentuan mengenai pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah yang telah dilaksanakan berdasarkan perjanjian masih tetap berlaku sampai berakhirnya masa perjanjian. |
(4) | Terhadap hak dan kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang belum diselesaikan sebelum Peraturan Daerah ini diundangkan, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah di bidang Pajak dan Retribusi yang ditetapkan sebelum berlakunya Peraturan Daerah ini. |
(5) | Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksana di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini dan belum diatur dengan peraturan pelaksana yang baru berdasarkan Peraturan Daerah ini. |
a. | Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2011 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 155); |
b. | Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2011 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 157), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 6 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2014 Nomor 2, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 165); |
c. | Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 158), sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 1 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 7 Tahun 2011 tentang Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2020 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 1); |
d. | Pasal 1 angka 21, angka 24 sampai dengan angka 29, Pasal 4 huruf e, Pasal 25 sampai dengan Pasal 39 Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Retribusi Penyelenggaraan Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2019 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 204); |
e. | Peraturan Daerah Kabupaten Dairi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Tahun 2023 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kabupaten Dairi Nomor 225), |
I. | UMUM Diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, salah satunya mengubah ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Di mana, ada beberapa perubahan terkait dengan pengaturan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, mulai dari restrukturisasi jenis Pajak, pemberian sumber-sumber perpajakan Daerah yang baru, penyederhanaan jenis Retribusi, dan harmonisasi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Restrukturisasi Pajak dilakukan melalui reklasifikasi 5 (lima) jenis Pajak yang berbasis konsumsi menjadi satu jenis Pajak, yaitu PBJT. Hal ini memiliki tujuan untuk:
Penyederhanaan Retribusi dilakukan melalui rasionalisasi jumlah Retribusi. Retribusi diklasifikasikan dalam 3 (tiga) jenis, yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Lebih lanjut, jumlah atas jenis Objek Retribusi disederhanakan dari 32 (tiga puluh dua) jenis menjadi 18 (delapan belas) jenis pelayanan. Rasionalisasi tersebut memiliki tujuan agar Retribusi yang akan dipungut Pemerintah Daerah adalah Retribusi yang dapat dipungut dengan efektif, serta dengan biaya pemungutan dan biaya kepatuhan yang rendah.
Pengaturan yang lebih lanjut terkait dengan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah harus diatur dalam 1 (satu) Peraturan Daerah.
|
||||||||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atau yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 5Cukup jelas.
Pasal 6 Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Karena tahun pajak dimulai pada tanggal 1 Januari, maka keadaan objek pajak pada tanggal tersebut merupakan saat yang menentukan pajak yang terutang.
Contoh :
Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah/notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Bupati atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Cukup jelas.
Pasal 19 Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman :
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 20Cukup jelas.
Pasal 20 Cukup jelas.
Pasal 21 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Glampling atau glamorous camping merujuk pada suatu bentuk perkemahan modern dengan menggabungkan esensi alam dan dengan adanya fasilitas yang memadai.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 22Cukup jelas.
Pasal 23 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" adalah bentuk permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" adalah bentuk persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud, yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 25 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "bentuk lain" dari voucer antara lain berupa kupon, tiket, atau kartu hadiah (gift card), termasuk yang dalam bentuk elektronik.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tidak terdapat pembayaran” termasuk voucer atau bentuk lain sejenis yang tidak memuat nilai rupiah atau mata uang lain.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pemanfaatan adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Pasal 36 Cukup jelas.
Pasal 37 Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62Termasuk pelayanan administrasi antara lain pelayanan pendaftaran, medical record, penerbitan surat-menyurat, dan pelayanan lainnya yang secara umum bersifat penatausahaan pelayanan kesehatan.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68Cukup jelas.
Pasal 69Cukup jelas.
Pasal 70Cukup jelas.
Pasal 71Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73Cukup jelas.
Pasal 74Cukup jelas.
Pasal 75Yang dimaksud dengan “tempat khusus parkir di luar badan jalan” adalah tempat khusus parkir di luar ruang milik jalan.
Pasal 76Contoh tempat khusus parkir di luar badan jalan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah adalah tempat parkir yang disediakan di gedung atau bangunan yang dimiliki atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti pada rumah sakit, pasar, sarana rekreasi dan/atau sarana umum lainnya milik Pemerintah Daerah. Cukup jelas.
Pasal 77Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila penyediaan tempat khusus parkir di luar badan jalan dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79Cukup jelas.
Pasal 80Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan rumah pemotongan hewan ternak dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila penjualan hasil produksi usaha Pemerintah Daerah dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 88Cukup jelas.
Pasal 89Ayat (1)
Keuntungan yang layak merupakan keuntungan yang diperoleh apabila pemanfaatan aset Daerah dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 90 Cukup jelas.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92Cukup jelas.
Pasal 93Cukup jelas.
Pasal 94Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99Cukup jelas.
Pasal 100Cukup jelas.
Pasal 101Cukup jelas.
Pasal 102Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi antara lain adalah kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. Kondisi objek Pajak antara lain adalah lahan pertanian yang sangat terbatas, tanah dan bangunan yang ditempati Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dari golongan tertentu, dan nilai objek Pajak sampai dengan batas tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103 Cukup jelas.
Pasal 104Cukup jelas.
Pasal 105 Cukup jelas.
Pasal 106Cukup jelas.
Pasal 107Cukup jelas.
Pasal 108
Cukup jelas.
Pasal 109 Cukup jelas.
Pasal 110 Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112 Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas.
Pasal 116 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.