1. |
Ketentuan Pasal 1 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. |
Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
2. |
Ibu Kota Negara bernama Nusantara yang selanjutnya disebut Ibu Kota Nusantara adalah satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus setingkat provinsi yang wilayahnya menjadi tempat kedudukan Ibu Kota Negara. |
3. |
Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Kepala Otorita adalah kepala Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
4. |
Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut Otorita Ibu Kota Nusantara adalah pelaksana kegiatan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
5. |
Rencana Induk Ibu Kota Nusantara adalah dokumen perencanaan terpadu dalam melaksanakan persiapan, pembangunan, dan pemindahan Ibu Kota Negara, serta penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
6. |
Kawasan Strategis Nasional Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disebut KSN Ibu Kota Nusantara adalah kawasan khusus yang cakupan wilayah dan fungsinya ditetapkan dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Ibu Kota Negara. |
7. |
Daerah Mitra Ibu Kota Nusantara adalah kawasan tertentu yang dibentuk dalam rangka pembangunan dan pengembangan superhub ekonomi Ibu Kota Nusantara, yang bekerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara, dan ditetapkan melalui Keputusan Kepala Otorita. |
8. |
Aset Dalam Penguasaan Otorita Ibu Kota Nusantara yang selanjutnya disingkat ADP adalah tanah di wilayah Ibu Kota Nusantara yang tidak terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan. |
9. |
Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. |
10. |
Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya. |
11. |
Fasilitas Penanaman Modal adalah segala bentuk insentif fiskal dan non fiskal serta kemudahan pelayanan Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
12. |
Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. |
13. |
Hak Atas Tanah yang selanjutnya disingkat HAT adalah hak yang diperoleh dari hubungan hukum antara pihak yang berhak dengan tanah, termasuk ruang di atas tanah, dan/atau ruang di bawah tanah untuk menguasai, memiliki, menggunakan, dan memanfaatkan, serta memelihara tanah, ruang di atas tanah, dan/atau ruang di bawah tanah. |
14. |
Hak Guna Usaha yang selanjutnya disingkat HGU adalah hak untuk mengusahakan di atas tanah negara atau hak untuk menggunakan dan memanfaatkan di atas tanah Hak Pengelolaan guna pengusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan. |
15. |
Hak Guna Bangunan yang selanjutnya disingkat HGB adalah hak untuk mendirikan bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri. |
16. |
Hak Pengelolaan yang selanjutnya disebut HPL adalah hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang Hak Pengelolaan. |
17. |
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah pajak atas perolehan HAT dan/atau bangunan. |
18. |
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. |
19. |
Pusat Keuangan yang selanjutnya disebut Financial Center adalah area yang ditetapkan sebagai konsentrasi layanan jasa keuangan serta pusat pengembangan teknologi dan layanan pendukung bidang jasa keuangan. |
20. |
Fasilitas Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disebut Fasilitas PDRI adalah kemudahan pajak berupa pajak pertambahan nilai impor tidak dipungut dan pembebasan pemungutan Pajak Penghasilan dalam rangka impor. |
21. |
Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah Pajak Penghasilan yang dipotong berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. |
22. |
Barang Milik Negara yang selanjutnya disingkat BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. |
23. |
Tenaga Kerja Asing adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. |
24. |
Tenaga Kerja Pendamping Tenaga Kerja Asing adalah tenaga kerja Indonesia yang ditunjuk oleh Pelaku Usaha dan dipersiapkan sebagai pendamping Tenaga Kerja Asing yang dipekerjakan dalam rangka alih teknologi dan alih keahlian. |
|
|
|
2. |
Ketentuan ayat (6) Pasal 9 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9
(1) |
Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a merupakan kesesuaian rencana kegiatan usaha dengan rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi. |
(2) |
Kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara kepada Pelaku Usaha yang memiliki lokasi usaha sesuai dengan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara. |
(3) |
Dalam hal rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum ditetapkan oleh Kepala Otorita, pemberian kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang dilakukan berdasarkan rencana tata ruang KSN Ibu Kota Nusantara, rencana tata ruang Pulau Kalimantan, rencana zonasi kawasan antarwilayah Selat Makassar, atau rencana tata ruang wilayah nasional. |
(4) |
Otorita Ibu Kota Nusantara harus menyusun dan menyediakan rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam bentuk digital dan sesuai standar. |
(5) |
Dalam kondisi tertentu rencana detail tata ruang Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dilakukan peninjauan kembali dengan tetap memperhatikan rencana tata ruang KSN Ibu Kota Nusantara dan Rencana Induk Ibu Kota Nusantara. |
(6) |
Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) merupakan perubahan kebijakan nasional yang bersifat strategis sesuai dengan kondisi Ibu Kota Nusantara dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
3. |
Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 10
(1) |
Persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b diterbitkan berdasarkan:
a. |
keputusan kelayakan lingkungan hidup, untuk usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup; dan/atau |
b. |
pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup, untuk usaha dan/atau kegiatan yang wajib dilengkapi surat pernyataan kesanggupan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup. |
|
(2) |
Pemberian persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(3) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Otorita. |
|
|
|
4. |
Ketentuan ayat (3) Pasal 13 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 13
(1) |
Verifikasi dalam proses pemberian persetujuan persyaratan dasar Perizinan Berusaha dan/atau Perizinan Berusaha sektor untuk tingkatan risiko tertentu di Ibu Kota Nusantara dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(2) |
Otorita Ibu Kota Nusantara dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi. |
(3) |
Sumber pendanaan atas penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibebankan pada:
a. |
anggaran pendapatan dan belanja negara; |
b. |
anggaran pendapatan dan belanja Ibu Kota Nusantara; dan/atau |
c. |
sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
|
|
|
|
5. |
Ketentuan ayat (1), ayat (2), ayat (4), dan ayat (5) Pasal 16 diubah sehingga Pasal 16 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 16
(1) |
Tanah di Ibu Kota Nusantara ditetapkan sebagai:
|
(2) |
Tanah yang ditetapkan sebagai BMN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara atau kementerian/lembaga tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) |
Tanah yang ditetapkan sebagai ADP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan kepada Otorita Ibu Kota Nusantara dengan HPL. |
(4) |
Tanah yang diberikan HPL sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pelaksanaan pengelolaannya dilakukan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai dengan kewenangannya. |
(5) |
Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berwenang untuk melakukan:
a. |
perencanaan; |
b. |
pengalokasian; |
c. |
penggunaan; |
d. |
pemanfaatan; |
e. |
pengamanan dan pemeliharaan; |
f. |
penghapusan; |
g. |
penatausahaan; dan/atau |
h. |
pengawasan dan pengendalian. |
|
|
|
|
6. |
Ketentuan Pasal 18 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 18
(1) |
Otorita Ibu Kota Nusantara memberikan jaminan kepastian jangka waktu HAT melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali 1 (satu) siklus kedua kepada Pelaku Usaha, yang dimuat dalam perjanjian. |
(2) |
Siklus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. |
HGU untuk jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 95 (sembilan puluh lima) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi; |
b. |
HGB untuk jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali melalui 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi; dan |
c. |
hak pakai untuk jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun melalui 1 (satu) siklus pertama dan dapat dilakukan pemberian kembali melalui 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama 80 (delapan puluh) tahun berdasarkan kriteria dan tahapan evaluasi. |
|
(3) |
Pemberian HAT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan berdasarkan permohonan dari Otorita Ibu Kota Nusantara. |
(4) |
Otorita Ibu Kota Nusantara melakukan evaluasi 5 (lima) tahun setelah pemberian hak siklus pertama terhadap pemenuhan persyaratan sebagai berikut:
a. |
tanahnya masih diusahakan dan dimanfaatkan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak; |
b. |
pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak; |
c. |
syarat pemberian hak dipenuhi oleh pemegang hak; |
d. |
pemanfaatan tanahnya masih sesuai dengan rencana tata ruang; dan |
e. |
tanah tidak terindikasi telantar. |
|
(5) |
Dalam tenggang waktu 10 (sepuluh) tahun sebelum HGU/HGB/hak pakai siklus pertama berakhir, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan pemberian kembali HGU/HGB/hak pakai untuk 1 (satu) siklus kedua dengan jangka waktu paling lama sebagaimana dimaksud ayat (2) sesuai dengan perjanjian pemanfaatan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2). |
(6) |
Tahapan pelaksanaan pemberian perpanjangan dan pembaruan HAT ditetapkan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara. |
|
|
|
7. |
Pasal 19 dihapus. |
|
|
8. |
Pasal 20 dihapus. |
|
|
9. |
Di antara ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 disisipkan 2 (dua) ayat, yakni ayat (2a) dan ayat (2b) sehingga Pasal 22 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 22
(1) |
Pelaku Usaha yang melaksanakan kegiatan usaha di wilayah Ibu Kota Nusantara dapat mempekerjakan Tenaga Kerja Asing untuk jabatan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) |
Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan pengesahan rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang. |
(2a) |
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan di Ibu Kota Nusantara. |
(2b) |
Setiap Pelaku Usaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib:
a. |
menunjuk tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai Tenaga Kerja Pendamping Tenaga Kerja Asing; |
b. |
melaksanakan pendidikan dan pelatihan kerja bagi Tenaga Kerja Pendamping Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada huruf a sesuai dengan kualifikasi jabatan yang diduduki oleh Tenaga Kerja Asing; dan |
c. |
memulangkan Tenaga Kerja Asing ke negara asalnya setelah perjanjian kerjanya berakhir. |
|
(4) |
Pelaku Usaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk Pelaku Usaha yang melakukan pekerjaan proyek strategis milik pemerintah di Ibu Kota Nusantara dibebaskan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan Tenaga Kerja. Asing untuk jangka waktu tertentu. |
(4) |
Kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan Tenaga Kerja Asing bagi instansi pemerintah, perwakilan negara asing, badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, atau jabatan tertentu di lembaga pendidikan dibebaskan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(5) |
Jangka waktu tertentu untuk pembebasan dari kewajiban pembayaran dana kompensasi penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Kepala Otorita. |
|
|
|
10. |
Ketentuan Pasal 25 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 25
(1) |
Untuk percepatan pembangunan dan penyediaan perumahan dan kawasan permukiman bagi masyarakat di Ibu Kota Nusantara, Pelaku Usaha di bidang perumahan dan kawasan permukiman yang belum dapat memenuhi kewajiban hunian berimbang di wilayah lain, dapat dilaksanakan di wilayah Ibu Kota Nusantara dengan memperhatikan rencana detail dan tata ruang Ibu Kota Nusantara. |
(2) |
Pelaksanaan pemenuhan hunian berimbang oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui permohonan kepada Kepala Otorita dengan opsi:
a. |
melaksanakan pembangunan hunian berimbang di wilayah Ibu Kota Nusantara; atau |
b. |
membayar dana konversi pemenuhan hunian berimbang. |
|
(3) |
Permohonan kepada Kepala Otorita sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan dengan melampirkan pernyataan mandiri kewajiban hunian berimbang. |
(4) |
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditembuskan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(5) |
Kepala Otorita menetapkan pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang sesuai prioritas pembangunan perumahan dan kawasan permukiman di wilayah Ibu Kota Nusantara serta melaporkannya kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(6) |
Kepala Otorita menyampaikan hasil pelaksanaan pemenuhan kewajiban hunian berimbang paling sedikit 1 (satu) tahun sekali kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan rakyat dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri. |
(7) |
Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan insentif berupa:
a. |
bantuan program pembangunan perumahan; |
b. |
keringanan pajak untuk rumah sederhana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; |
c. |
bantuan prasarana, sarana, dan utilitas umum; |
d. |
pemberian kemudahan perolehan lahan untuk pembangunan perumahan dan pengembangannya; |
e. |
dukungan aksesibilitas ke lokasi perumahan hunian berimbang dalam kawasan Ibu Kota Nusantara; |
f. |
pembebasan BPHTB; |
g. |
keringanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan jangka waktu tertentu; dan/atau |
h. |
pemberian penghargaan bidang perumahan dalam hunian berimbang. |
|
(8) |
Pembebasan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf f dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf g berlaku juga bagi konsumen. |
(9) |
Pembebasan BPHTB dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan dengan jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) diajukan oleh Kepala Otorita untuk ditetapkan oleh Bupati Penajam Paser Utara atau Bupati Kutai Kartanegara sesuai dengan wilayahnya sampai dengan ditetapkannya penyelenggara Pemerintahan Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara. |
|
|
|
11. |
Ketentuan Pasal 26 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26
(1) |
Fasilitas Penanaman Modal meliputi segala bentuk insentif fiskal dan nonfiskal, baik yang menjadi:
a. |
kewenangan Pemerintah Pusat yang meliputi:
1. |
Pajak Penghasilan; |
2. |
Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan/atau |
3. |
kepabeanan. |
|
b. |
kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara yang meliputi:
a. |
fasilitas pajak daerah khusus Ibu Kota Nusantara, penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara, dan retribusi daerah khusus Ibu Kota Nusantara; dan |
b. |
fasilitasi, penyediaan lahan, dan sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara. |
|
|
(2) |
Fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(3) |
Pemberian fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan melalui Sistem OSS atau saluran elektronik yang tersedia di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(4) |
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan prosedur pemberian fasilitas yang menjadi kewenangan Otorita Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diatur dengan Peraturan Kepala Otorita. |
|
|
|
12. |
Judul Paragraf 1 Bagian Kelima BAB IV diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Paragraf 1 Fasilitas Pajak Daerah Khusus dan Penerimaan Khusus Ibu Kota Nusantara
|
|
|
13. |
Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) Pasal 67 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 67
(1) |
Fasilitas pajak daerah khusus dan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b angka 1 terdiri atas:
a. |
insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah khusus Ibu Kota Nusantara; dan |
b. |
insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara. |
|
(2) |
Insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3). |
(3) |
Insentif berbentuk pengurangan, keringanan, atau pembebasan penerimaan khusus Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diberikan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (3). |
(4) |
Pemberian fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita. |
|
|
|
14. |
Ketentuan Pasal 68 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 68
(1) |
Fasilitasi, penyediaan lahan, dan sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf b angka 2 terdiri atas:
a. |
penyediaan lahan atau lokasi bagi Pelaku Usaha; |
b. |
penyediaan sarana dan prasarana/infrastruktur; |
c. |
pemberian kenyamanan dan keamanan berinvestasi; dan/atau |
d. |
kemudahan akses tenaga kerja siap pakai dan terampil. |
|
(2) |
Fasilitasi, penyediaan lahan, dan sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal di Ibu Kota Nusantara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh Otorita Ibu Kota Nusantara sesuai kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (5). |
(3) |
Pemberian fasilitasi, penyediaan lahan, clan sarana prasarana bagi pelaksanaan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan prioritas yang ditetapkan oleh Kepala Otorita. |
|