Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
28 Tahun 2025
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2025

TENTANG

PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

a. bahwa penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko perlu dilakukan reformasi kebijakan secara berkelanjutan dalam mewujudkan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha guna mendukung cipta kerja;
b. bahwa penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perlu disempurnakan untuk semakin memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha terutama mengenai proses bisnis dan jaminan kualitas layanan;
c. bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko perlu diganti;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;

Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang­ Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);


MEMUTUSKAN:
Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat PBBR adalah penzman berusaha yang menggunakan pendekatan berbasis risiko yang diperoleh dari hasil analisis risiko setiap kegiatan usaha.
2. Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya.
3. Perizinan Berusaha yang selanjutnya disingkat PB adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/ atau kegiatannya.
4. Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha yang selanjutnya disingkat PB UMKU adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha.
5. Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang mem1mpm pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.
7. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.
8. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
9. Administrator Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut Administrator KEK adalah Administrator KEK sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus.
10. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan KPBPB adalah Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
11. Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
12. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
13. Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/ atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha.
14. Izin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya.
15. Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang­ undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
16. Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang­ undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
17. Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha.
18 Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
19. Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang­ Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.
20. Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang statistik.
21. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik  terintegrasi  yang dikelola dan diselenggarakan oleh lembaga OSS untuk penyelenggaraan PBBR.
22. Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
23. Penanaman Modal adalah Penanaman Modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang penanaman modal.
24. Penanaman Modal Asing adalah Penanaman Modal Asing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang penanaman modal.
25. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang Penanaman Modal.
26. Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
27. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang.
28. Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang selanjutnya disingkat KKPRL adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang lokasi usahanya berada di laut.
29. Persetujuan Lingkungan yang selanjutnya disingkat PL adalah Persetujuan Lingkungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
30. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang bangunan gedung
31. Bangunan Gedung adalah Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang bangunan gedung.
32. Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut SLF adalah Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang bangunan gedung
33. Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah Rencana Tata Ruang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.
34. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah Rencana Detail Tata Ruang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang.
35. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
36. Analisis Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Andal adalah Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
37. Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RKL adalah Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
38. Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPL adalah Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
39. Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup adalah Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
40. Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak


Pasal 2

(1) Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan PBBR.
(2) Ruang lingkup penyelenggaraan PBBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. persyaratan dasar;
b. PB;
c. PB UMKU;
d. norma, standar, prosedur, dan kriteria;
e. layanan Sistem OSS;
f. Pengawasan;
g. evaluasi dan reformasi kebijakan;
h. pendanaan;
i. penyelesaian permasalahan dan hambatan; dan
j. sanksi.


Pasal 3

Penyelenggaraan PBBR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 bertujuan untuk meningkatkan ekosistem investasi dan kegiatan usaha, melalui:
a. pelaksanaan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU secara lebih efektif dan sederhana; dan
b. Pengawasan yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 4

(1) Untuk melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memiliki PB.
(2) PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah Pelaku Usaha melakukan pemenuhan persyaratan dasar terlebih dahulu, kecuali diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini.
(3) Apabila PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu dilengkapi dengan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memiliki PB UMKU.
(4) Persyaratan dasar dan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diproses secara elektronik melalui Sistem OSS.
(5) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terintegrasi secara elektronik dengan sistem di kementerian / lembaga.


Pasal 5

(1) Penyelenggaraan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi sektor:
a. kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d. energi dan sumber daya mineral;
e. ketenagan ukliran;
f. perindustrian;
g. perdagangan dan metrologi legal;
h. pekerjaan umum dan perumahan rakyat;
i. transportasi;
j. kesehatan, obat, dan makanan;
k. pendidikan dan kebudayaan;
l. pariwisata;
m. keagamaan;
n. pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan
o. pertahanan dan keamanan.
(2) Selain sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan PB dan/ atau PB UMKU meliputi pula sektor:
a. ekonomi kreatif;
b. informasi geospasial;
c. ketenagakerjaan;
d. perkoperasian;
e. penanaman modal;
f. penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik; dan
g. lingkungan hidup.
(3) PBBR pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan:
a. kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, skala usaha, tingkat Risiko, PB, persyaratan, jangka waktu penerbitan, kewajiban, PB UMKU, parameter, dan kewenangan bagi PB setiap sektor;
b. nomenklatur PB UMKU, persyaratan, jangka waktu penerbitan, kewajiban, masa berlaku, parameter, dan kewenangan bagi PB UMKU setiap sektor;
c. metode analisis Risiko; dan
d. standar kegiatan  usaha dan/atau standar produk/ jasa.
(4) Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, skala usaha, tingkat Risiko, PB, persyaratan, jangka waktu penerbitan, kewajiban, PB UMKU, parameter, dan kewenangan bagi PB setiap sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(5) Nomenklatur PB UMKU, persyaratan, jangka waktu penerbitan, kewajiban, masa berlaku, parameter, dan kewenangan bagi PB UMKU setiap sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(6) Metode analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(7) Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan mekanisme penerbitannya diatur dengan peraturan menteri/ kepala lembaga.
(8) Standar kegiatan usaha dan/ atau standar produk/ jasa serta mekanisme penerbitannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB.
(9)  Peraturan menteri/kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mengacu pada pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(10) PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memiliki masa berlaku sepanJang Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha.
(11) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dikecualikan atas PB yang diberikan dalam rangka:
a. pelaksanaan ketentuan/perjanjian internasional;
b. pemanfaatan sumber daya alam;
c. perdagangan bahan berbahaya dan/atau beracun; dan/atau
d. perdagangan barang atau bahan yang dibatasi peredarannya,
yang masa berlakunya diatur dalam Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan/ atau Peraturan Presiden.
(12) Peraturan menteri/kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.


Pasal 6

(1) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB dilarang menerbitkan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU di luar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU pada masing­ masing sektor dilakukan pembinaan dan Pengawasan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­-masing


Pasal 7

Untuk melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dilaksanakan melalui tahapan:
a. memulai usaha; dan
b. menjalankan usaha.


Pasal 8

(1) Tahapan memulai usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
a. subtahapan pemenuhan legalitas usaha;
b. subtahapan pemenuhan persyaratan dasar berupa KKPR, dan PL untuk usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib Amdal atau UKL-UPL; dan
c. subtahapan perolehan PB atau pengajuan PB berdasarkan kegiatan usaha.
(2) Subtahapan pemenuhan legalitas usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi yang berbentuk badan usaha dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang badan usaha.
(3) Subtahapan pemenuhan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. KKPR berupa KKPR di darat atau KKPRL untuk lokasi usaha yang berada di laut; dan
b. PL berupa SPPL bagi usaha dan/ atau kegiatan yang tidak wajib Amdal atau UKL-UPL.
(4) Setelah melakukan subtahapan pemenuhan legalitas usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan subtahapan pemenuhan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Usaha menyampaikan permohonan perolehan atau pengajuan PB berdasarkan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c.


Pasal 9

(1) Setelah memenuhi tahapan memulai usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, Pelaku Usaha memenuhi tahapan menjalankan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b.
(2) Tahapan menjalankan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. subtahapan persiapan; dan
b. subtahapan operasional dan/ atau komersial.


Pasal 10

(1) Subtahapan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a terdiri atas kegiatan:
a. pengadaan tanah;
b. pemenuhan persyaratan dasar berupa PL bagi usaha dan kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dan PBG bagi Pelaku Usaha yang akan melakukan pembangunan Bangunan Gedung;
c. pembangunan Bangunan Gedung;
d. pengadaan peralatan atau sarana;
e. pengadaan sumber daya manusia;
f. pemenuhan standar usaha; dan/ atau
g. pemenuhan persyaratan PB.
(2) Subtahapan operasional dan/ atau komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b terdiri atas kegiatan:
a. produksi barang dan/ atau jasa;
b. logistik dan distribusi barang dan/ atau jasa;
c. pemasaran barang dan/ atau jasa; dan/ atau
d. kegiatan lain dalam rangka operasional dan/ atau komersial.


Pasal 11

(1) Kegiatan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a termasuk pembersihan atau pembukaan lahan.
(2) Kegiatan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan pemenuhan PL bagi usaha dan kegiatan yang wajib Amdal atau UKL­ UPL dan PBG bagi Pelaku Usaha yang akan melakukan pembangunan Bangunan Gedung.
(3) Jika akan melakukan pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pelaku Usaha wajib memiliki persyaratan dasar dalam bentuk PL dan PBG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Untuk kegiatan usaha yang mempunyai tingkat Risiko rendah atau menengah rendah, setelah memperoleh PB, Pelaku Usaha melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial.
(5) Untuk kegiatan usaha yang mempunyai tingkat Risiko menengah tinggi atau tinggi, setelah diterbitkan PB, Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan operasional dan/ atau komersial.
(6) Jika untuk melakukan kegiatan operasional dan/ atau komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dipersyaratkan PB UMKU, Pelaku Usaha wajib memiliki PB UMKU.


BAB II
PERSYARATAN DASAR

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 12

(1) Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
a. KKPR;
b. PL;dan
c. PBG dan SLF.
(2) Penerbitan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan lokasi kegiatan usaha.
(3) Pelaksanaan penerbitan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. Lembaga OSS;
b. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga;
c. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur; dan
d. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota,
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d untuk penerbitan persyaratan dasar:
a. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KEK, kewenangan penerbitan persyaratan dasar dilakukan oleh Administrator KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus; atau
b. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KPBPB, kewenangan penerbitan persyaratan dasar dilakukan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
(5) Penerbitan persyaratan dasar untuk proyek strategis nasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang proyek strategis nasional, penyelenggaraan penataan ruang, kelautan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Bangunan Gedung, serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup.


Pasal 13

Dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada suatu Bangunan Gedung atau komplek perdagangan/ jasa yang dipakai bersama dan pengelolanya telah memiliki KKPR, PL, PBG, dan/atau 8LF, Pelaku Usaha perdagangan/jasa tidak perlu memenuhi persyaratan dasar dan dapat langsung melanjutkan ke tahap permohonan PB dan/ atau PB UMKU melalui Sistem OSS.


Pasal 14

Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan lokasi usaha yang diajukan oleh Pelaku Usaha terdiri atas:
a. darat; dan/ atau
b. laut.


Bagian Kedua
Pemeriksaan Lokasi Usaha di Darat

Pasal 15

(1) Pelaksanaan pemeriksaan lokasi usaha di darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan melalui KKPR.
(2) KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. konfirmasi KKPR; atau
b. persetujuan  KKPR.


Pasal 16

KKPR untuk kegiatan usaha yang bersifat strategis nasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang tata ruang.
 

Pasal 17

(1) Konfirmasi KKPR se bagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a diberikan berdasarkan kesesuaian
(2) Persetujuan terhadap permohonan konfirmasi KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara otomatis oleh kepala Lembaga OSS melalui Sistem OSS.
(3) Penolakan terhadap permohonan konfirmasi KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara otomatis.


Pasal 18

(1) Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b diberikan dalam hal RDTR belum tersedia.
(2) Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. pendaftaran;
b. pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang;
c. penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang;dan
d. penerbitan persetujuan KKPR.


Pasal 19

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha dengan melengkapi dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang yang terdiri atas:
a. koordinat lokasi;
b. kebutuhan luas lahan kegiatan pemanfaatan ruang;
c. informasi penguasaan tanah;
d. informasi jenis kegiatan;
e. rencana jumlah lantai bangunan;
f. rencana luas lantai bangunan; dan
g. rencana teknis bangunan dan/ atau rencana induk kawasan.
(2) Setelah dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap, Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP pertama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak
(3) Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui:
a. surat perintah setor PNBP pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi tidak berlaku; dan
b. Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP kedua.
(5) Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b.
(6) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui, surat perintah setor PNBP kedua menjadi tidak berlaku dan permohonan persetujuan KKPR dianggap ditarik kembali.
(7) Dalam hal permohonan persetujuan KKPR dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 20

(1) Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang.
(2) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak pembayaran PNBP terpenuhi.
(3) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c.


Pasal 21

(1) Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dilakukan melalui kajian atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:
a. RTR wilayah kabupaten/kota;
b. RTR wilayah provinsi;
c. RTR kawasan strategis nasional;
d. RTR pulau/kepulauan; dan/atau
e. RTR wilayah nasional.
(2) Penilaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pertimbangan teknis pertanahan.
(3) Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar.


Pasal 22

(1) Jika hasil penilaian serta dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), persetujuan KKPR diterbitkan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(2) Jika hasil penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), permohonan persetujuan KKPR ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(3) Apabila pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) tidak tercakup dalam hasil penilaian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), persetujuan KKPR diterbitkan tanpa pertimbangan teknis pertanahan.


Pasal 23

(1) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan tidak benar, dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen usulan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS.
(3) Berdasarkan penyampaian perbaikan dokumen usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan pemeriksaan ulang atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 3 (tiga) Hari sejak perbaikan dokumen usulan diterima.
(4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan tidak benar, dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS.
(5) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan kedua dokumen usulan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui Sistem OSS.
(6) Berdasarkan penyampaian perbaikan kedua dokumen usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan pemeriksaan ulang kedua atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 2 (dua) Hari sejak perbaikan dokumen usulan diterima.
(7) Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) atau berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen usulan dinyatakan tidak benar, permohonan persetujuan KKPR ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(8) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang.


Pasal 24

Ketentuan mengenai:
a. penilaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan
b. penerbitan persetujuan KKPR' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22,
berlaku secara mutatis mutandis terhadap penilaian dokumen dan penerbitan persetujuan KKPR hasil perbaikan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang.


Pasal 25

(1) Dalam hal kegiatan usaha yang seluruh lokasi usahanya berada di dalam delineasi RDTR yang belum terintegrasi dengan sistem OSS, penerbitan persetujuan KKPR dilakukan melalui kajian berdasarkan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(2) Penilaian dokumen untuk persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertim bangkan RDTR.
(3) Penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa melalui pertimbangan teknis pertanahan.
(4) Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. pendaftaran;
b. pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang;
c. penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang;dan
d. penerbitan persetujuan KKPR.
(5) Ketentuan mengenai:
a. pendaftaran persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19; dan
b. pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 23,
berlaku secara mutatis mutandis terhadap pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a dan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b.
(6) Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari.
(7) Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang telah sesuai dengan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan KKPR diterbitkan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(8) Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan KKPR dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


Pasal 26

Menteri/ kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, dan bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan Pasal 23 ayat (3) atau ayat (6) serta Pasal 25 ayat (5) huruf b, penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 24 huruf a serta Pasal 25 ayat (6), dan pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2).


Pasal 27

(1) Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dapat diterbitkan tanpa dilakukan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang untuk kondisi tertentu.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. lokasi usaha dan/ atau kegiatan terletak di lokasi KEK atau kawasan industri yang poligon koordinat lokasinya telah terdaftar dalam Sistem OSS dan terdapat bukti bahwa Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan usaha di KEK atau kawasan industri;
b. lokasi usaha dan/ atau kegiatan terletak di kawasan yang dikelola oleh otorita atau badan penyelenggara pengembangan suatu kawasan yang poligon koordinat lokasinya telah terdaftar dalam Sistem OSS dan terdapat bukti bahwa Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan usaha di kawasan tersebut;
c. lokasi usaha dan/ atau kegiatan berada pada tanah yang sudah dikuasai oleh Pelaku Usaha lain yang telah mendapatkan KKPR dan dialihkan kepada Pelaku Usaha yang baru dengan KBLI dan jenis kegiatan usaha yang sama, serta luasan yang sama;
d. lokasi usaha dan/atau kegiatan berada pada tanah yang sudah dikuasai seluruhnya oleh Pelaku Usaha lain yang telah mendapatkan KKPR dan disewakan atau pinjam pakai kepada Pelaku Usaha dengan KBLI dan jenis kegiatan usaha yang sama, serta luasan yang sama;
e. lokasi usaha dan/ atau kegiatan terkait hulu minyak dan gas bumi yang sudah ditetapkan oleh pemerintah;
f. lokasi usaha dan/ atau kegiatan diperlukan untuk perluasan usaha yang sudah berjalan dan terintegrasi, dengan luasan yang lebih kecil dari luasan eksisting, letak tanahnya berbatasan dengan lokasi usaha eksisting, dan pada pola ruang yang sama; dan/ atau
g. lokasi usaha dan/ atau kegiatan diperlukan untuk pembangunan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah dengan luasan tidak lebih dari 5 (lima) hektare dan sesuai dengan RTR.
(3) Persetujuan KKPR untuk kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. pendaftaran;
b. pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang;dan
c. penerbitan persetujuan KKPR.
(4) Sistem OSS mengalirkan permohonan persetujuan KKPR untuk kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerin tahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.


Pasal 28

(1) Ketentuan pendaftaran persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a.
(2) Selain dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diperlukan juga kelengkapan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya untuk kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2).


Pasal 29

(1) Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang.
(2) Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1).
(3) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke tahapan penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c.
(4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan tidak benar, permohonan persetujuan KKPR dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(5) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala Lembaga OSS.


Pasal 30

(1) Apabila lokasi usaha dan/atau kegiatan berada di kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a dan telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing­ masing, pengelola kawasan menyampaikan rencana induk kawasan kepada kepala Lembaga OSS.
(2) Kepala Lembaga OSS memasukkan rencana induk kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam Sistem OSS sebagai dasar penerbitan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1).


Pasal 31

Penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c dilakukan oleh kepala Lembaga OSS melalui Sistem OSS.


Pasal 32

Jika Pelaku Usaha merupakan usaha mikro dan Risiko usaha rendah, KKPR atas lokasi usaha diterbitkan melalui Sistem OSS berupa pernyataan mandiri dari Pelaku Usaha.


Pasal 33

(1) Dalam hal pernyataan mandiri dari Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 telah diterbitkan, Sistem OSS mengalirkan data pernyataan mandiri kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan lokasi penerbitan KKPR.
(2) Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan penilaian kesesuaian pemanfaatan ruang dengan usaha dan/ atau kegiatan sebagaimana termuat dalam pernyataan mandiri dengan RTR dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan ketidaksesuaian antara usaha dan/ atau kegiatan dengan RTR, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota:
a. menyampaikan surat keterangan ketidaksesuaian RTR melalui Sistem OSS; dan
b. melakukan pembinaan kepada Pelaku Usaha.


Bagian Ketiga
Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang di Pulau-Pulau Kecil
dengan Luas di Bawah Seratus Kilometer Persegi

Pasal 34

(1) Apabila telah tersedia RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan konfirmasi KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi).
(2) Apabila RTR selain RDTR telah tersedia dan telah memuat pengaturan zonasi terkait pemanfaatan ruang di pulau­ pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 25 berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi).
(3) RTR yang telah memuat pengaturan zonasi terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar teknis pemanfaatan ruang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemanfaatan ruang di pulau-pulau kecil dengan luas 0 (nol) sampai dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) oleh Penanaman Modal Asing dalam bentuk perseroan terbatas.


Pasal 35

(1) Apabila:
a. belum tersedia RDTR;
b. telah tersedia RDTR namun belum terintegrasi dengan Sistem OSS;
c. RTR belum memuat pengaturan zonasi terkait pemanfaatan ruang di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi); atau
d. tidak termasuk dalam kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27,
penerbitan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) wajib terlebih dahulu memperoleh rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(2) Rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan penilaian secara administrasi dan teknis paling lama 14 (empat belas) Hari sejak dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterima secara lengkap.
(3) Apabila berdasarkan penilaian administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) permohonan yang diajukan oleh Pelaku Usaha tidak memenuhi persyaratan maka permohonan rekomendasi dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan.
(4) Apabila permohonan rekomendasi dinyatakan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan.
(5) Apabila berdasarkan penilaian administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) permohonan yang diajukan oleh Pelaku Usaha memenuhi persyaratan maka rekomendasi diterbitkan.
(6) Apabila rekomendasi diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS menerbitkan:
a. surat perintah setor PNBP secara otomatis untuk pembayaran pelayanan penerbitan rekomendasi; dan
b. surat perintah setor PNBP secara otomatis untuk pembayaran pelayanan permohonan persetujuan KKPR,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
(7) Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP.
(8) Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui, surat perintah setor PNBP menjadi tidak berlaku serta:
a. rekomendasi dinyatakan tidak berlaku; dan
b. permohonan persetujuan KKPR dinyatakan ditarik kembali.
(9) Pemeriksaan dan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dalam rangka penerbitan KKPR dilakukan setelah Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP.
(10) Ketentuan pemeriksaan dan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang serta penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi).


Pasal 36

(1) Apabila rekomendasi tidak diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2), proses persetujuan KKPR dilanjutkan tanpa rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi).
(2) Ketentuan mengenai persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemanfaatan ruang di pulau-pulau kecil dengan luas 0 (nol) sampai dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) oleh Penanaman Modal Asing dalam bentuk perseroan terbatas.


Bagian Keempat
Persetujuan Kawasan Hutan

Paragraf 1
Umum

Pasal 37

(1) Dalam hal kegiatan usaha yang berlokasi di kawasan hutan, pelaksanaan pemeriksaan lokasi usaha di kawasan hutan dilakukan melalui:
a. persetujuan penggunaan kawasan hutan;
b. persetujuan komitmen pemanfaatan hutan;
c. persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru; dan
d. persetujuan pelepasan kawasan hutan.
(2) Kewenangan penerbitan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan.
(3) Dalam hal kegiatan usaha dilakukan di wilayah KPBPB, kewenangan penerbitan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.


Paragraf 2
Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan

Pasal 38

(1) Persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a diberikan untuk kegiatan usaha yang:
a. dilaksanakan dalam rangka kegiatan usaha di luar sektor kehutanan; dan
b. berada di dalam kawasan hutan produksi atau kawasan hutan lindung.
(2) Persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. pendaftaran;
b. penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan; dan
c. penelaahan dan penerbitan persetujuan penggunaan kawasan hutan.


Pasal 39

Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS dengan melengkapi persyaratan:
a. administrasi; dan
b. teknis.


Pasal 40

(1) Jika persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 telah lengkap, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan.
(2) Dalam hal berdasarkan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan masih perlu diperbaiki, permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan disampaikan kembali kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan melalui Sistem OSS.
(3) Pelaku Usaha melakukan perbaikan permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya catatan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan penelaahan ulang kesesuaian dokumen dan persyaratan paling lama 3 (tiga) Hari sejak diterimanya perbaikan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Apabila berdasarkan hasil penelaahan ulang kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan masih perlu diperbaiki, dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS.
(6) Pelaku Usaha melakukan perbaikan kembali dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak diterimanya catatan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan penelaahan ulang kesesuaian dokumen dan persyaratan paling lama 2 (dua) Hari sejak diterimanya perbaikan kembali persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(8) Dalam hal berdasarkan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau penelaahan ulang dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (7), dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan telah memenuhi kesesuaian dokumen dan persyaratan, permohonan dilanjutkan ke tahapan penelaahan dan penerbitan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c.
(9) Dalam hal berdasarkan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan tidak memenuhi kesesuaian dokumen dan persyaratan, permohonan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


Pasal 41

(1) Penelaahan dan penerbitan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c dilakukan paling lama 47 (empat puluh tujuh) Hari sejak dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan telah memenuhi kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (8) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan.
(2) Dalam hal berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menyampaikan notifikasi penolakan permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan disertai alasan penolakan ke Sistem OSS.
(3) Dalam hal berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menyampaikan notifikasi berupa keputusan persetujuan penggunaan kawasan hutan dan peta lampiran ke Sistem OSS.
 

Pasal 42

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan penggunaan kawasan hutan diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan.


Paragraf 3
Persetujuan Komitmen Pemanfaatan Hutan

Pasal 43

(1) Persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b diberikan untuk kegiatan usaha pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi.
(2) Persetujuan komitmen pemanfaatan hutan diberikan pada areal kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang belum digunakan oleh Pelaku Usaha lain mengacu pada peta arahan pemanfaatan hutan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
(3) Persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. pendaftaran;
b. verifikasi administrasi;
c. telaahan teknis; dan
d. penerbitan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan.
   


Pasal 44

(1) Pendaftaran permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan dokumen persyaratan permohonan yang meliputi:
a. pernyataan komitmen; dan
b. persyaratan teknis.
(2) Pernyataan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. pembuatan berita acara hasil pembuatan koordinat geografis batas areal yang dimohon;
b. penyusunan dokumen lingkungan; dan
c. pelunasan iuran PB pemanfaatan hutan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. surat permohonan;
b. peta permohonan dan disertai dengan berkas digital dalam format shape file (shp);
c. proposal teknis;
d. pakta integritas; dan
e. pertimbangan teknis atau rekomendasi teknis dan peta pertimbangan teknis dari gubernur kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
(4) Dalam hal pertimbangan teknis atau rekomendasi teknis dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e tidak diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterima permohonan, Lembaga OSS memproses permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan, pernyataan komitmen, dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.


Pasal 45

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf b paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan melalui Sistem OSS.
(2) Hasil verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
b. permohonan telah memenuhi kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 46
 
(1) Apabila permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan.
(2) Apabila permohonan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan telaahan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c paling lama 25 (dua puluh lima) Hari.
(3) Berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan telah memenuhi persyaratan, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan dilanjutkan ke tahapan penerbitan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf d.


Pasal 47

(1) Apabila berdasarkan telaahan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dokumen permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan masih perlu diperbaiki, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan disampaikan kembali kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan melalui Sistem OSS.
(2) Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 2 (dua) kali secara berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan disampaikan kembali kepada Pelaku Usaha.
(3) Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) permohonan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS.
(4) Penolakan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan diberitahukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 5 (lima) Hari sejak Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan atau dokumen dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Pasal 48

Penerbitan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 5 (lima) Hari sejak dokumen dinyatakan telah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2).


Pasal 49

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran, verifikasi administrasi, dan penerbitan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan diatur dalam peraturan perundang­ undangan di bidang kehutanan.


Paragraf 4
Persetujuan Prinsip Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Kawasan Suaka Alam,
Kawasan Pelestarian Alam, dan Taman Buru

Pasal 50

(1) Persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c diberikan untuk kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. pendaftaran;
b. verifikasi; dan
c. penerbitan persetujuan prms1p pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru.


Pasal 51

(1) Pendaftaran permohonan persetujuan prms1p pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan dokumen persyaratan permohonan yang meliputi:
a. rencana kegiatan usaha;
b. pertimbangan teknis dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing;
c. peta usulan areal usaha; dan
d. pakta integritas.
(2) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan Pelaku Usaha dilengkapi dengan:
a. pertimbangan teknis dari kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan yang membidangi sumber daya air, dalam hal PB yang dimohonkan merupakan PB pemanfaatan jasa lingkungan air;
b. pertimbangan teknis dari kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan yang membidangi ketenagalistrikan, dalam hal PB yang dimohonkan merupakan PB pemanfaatan jasa lingkungan energi air;
c. pertimbangan teknis dari kepala dinas provinsi atau kepala dinas kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan yang membidangi kepariwisataan, dalam hal PB yang dimohonkan merupakan PB pengusahaan sarana jasa lingkungan wisata alam dan PB pengusahaan taman buru; dan/ atau
d. surat keterangan keahlian/ pernah mengikuti pelatihan pemandu wisata alam bagi pemohon PB penyediaan jasa wisata alam pemandu wisata alam.
(3) Untuk PB penyediaan jasa wisata alam, dokumen persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak menjadi persyaratan.


Pasal 52

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi terhadap permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diterimanya permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru di Sistem OSS.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan hasil berupa:
a. penolakan;
b. perbaikan; dan
c. persetujuan.
(3) Kriteria verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1); dan
b. pemenuhan ketentuan teknis.
(4) Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dalam hal:
a. permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan tidak memenuhi ketentuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b; atau
b. permohonan memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan tidak memenuhi ketentuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(5) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dalam hal:
a. permohonan memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1); dan
b. permohonan memenuhi ketentuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.
(6) Dalam hal:
a. permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1); dan
b. permohonan memenuhi ketentuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b,
permohonan dikembalikan kepada Pelaku Usaha untuk diperbaiki.


Pasal 53

(1) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 52 permohonan dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan, permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan.
(2) Penyampaian notifikasi penolakan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan paling lama 2 (dua) Hari sejak permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru dinyatakan ditolak melalui Sistem OSS.


Pasal 54

(1) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 52 permohonan dinyatakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, permohonan disetujui dan dilanjutkan dengan penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c.
(2) Penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 2 (dua) Hari sejak permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru dinyatakan disetujui melalui Sistem OSS.


Pasal 55

(1) Apabila diminta melakukan perbaikan, Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan permohonan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dokumen perbaikan dikembalikan kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6).
(2) Perbaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 2 (dua) kali perbaikan.
(3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang  kehutanan  melakukan  verifikasi  paling  lama 8 (delapan) Hari sejak penyampaian dokumen perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Ketentuan mengenai tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan verifikasi dokumen perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(5) Ketentuan mengenai verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru.


Pasal 56

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran, verifikasi, dan penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
 

Paragraf 5
Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan

Pasal 57

(1) Persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf d diberikan untuk kegiatan usaha yang:
a. dilaksanakan dalam rangka kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan; dan
b. berada di dalam kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi.
(2) Persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. pendaftaran;
b. verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis;
c. pembentukan tim terpadu;
d. pertimbangan laporan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu; dan
e. penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan.


Pasal 58

(1) Dalam hal permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan berupa proyek strategis nasional di kawasan hutan, Pelaku Usaha mengajukan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melalui Sistem OSS.
(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menindaklanjuti permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan kehutanan dan proyek strategis nasional.
(3) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menyampaikan penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


Pasal 59

Pendaftaran persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan dokumen:
a. pernyataan komitmen; dan
b. persyaratan administrasi dan teknis.


Pasal 60

(1) Jika dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 telah lengkap, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b.
(2) Verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melakukan identifikasi dan pemilahan data kelengkapan persyaratan permohonan dan melakukan penelaahan teknis.
(3) Verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 39 (tiga puluh sembilan) Hari.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan tidak memenuhi persyaratan, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan dinyatakan ditolak.
(5) Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan memenuhi persyaratan, dilanjutkan ke tahapan pembentukan tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf c.
 

Pasal 61

(1) Pembentukan tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf c dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5).
(2) Tim terpadu melaksanakan penelitian dan menyampaikan laporan hasil penelitian dan rekomendasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lambat 60 (enam puluh) Hari sejak ditetapkannya surat perintah tugas dari pejabat pimpinan tinggi madya yang bertanggung jawab di bidang planologi kehutanan dan tata lingkungan.


Pasal 62

(1) Laporan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) sebagai bahan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan untuk menerbitkan keputusan persetujuan pelepasan kawasan hutan dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya laporan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu.
(2) Keputusan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. penolakan permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan; dan/ atau
b. persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagian atau seluruhnya.
(3) Dalam hal keputusan berupa penolakan permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan dan disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(4) Dalam hal keputusan berupa persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan dilanjutkan ke tahapan penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf e.


Pasal 63

Penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf e dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (4).


Pasal 64

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persetujuan pelepasan kawasan hutan diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.


Bagian Kelima
Pemeriksaan Lokasi Usaha di Laut

Pasal 65

(1) Pelaksanaan pemeriksaan lokasi usaha di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dilakukan melalui KKPRL.
(2) KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui persetujuan KKPRL.


Pasal 66

(1) Persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dilakukan dengan tahapan:
a. pendaftaran;
b. pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut;
c. penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut; dan
d. penerbitan persetujuan KKPRL.
(2) Persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dilakukan untuk kegiatan secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup:
a. permukaan laut;
b. permukaan laut;
c. permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kelautan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
(3) Kegiatan secara menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria:
a. dilakukan secara terus menerus; dan
b. dilakukan selama paling singkat 30 (tiga puluh) hari kalender,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kelautan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.


Pasal 67

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat ( 1) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan:
a. koordinat lokasi;
b. rencana kegiatan, bangunan, dan/ atau instalasi di laut;
c. kebutuhan luas kegiatan pemanfaatan ruang di laut;
d. informasi pemanfaatan ruang di sekitarnya; dan
e. kedalaman lokasi.
(2) Setelah pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap, dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b.


Pasal 68

(1) Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak dokumen diterima lengkap.
(2) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dinyatakan benar, permohonan pemanfaatan ruang laut dilakukan ke tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dinyatakan tidak benar, permohonan pemanfaatan ruang laut dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan.


Pasal 69

(1) Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dilakukan melalui kajian atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:
a. RTR wilayah provinsi;
b. RTR kawasan strategis nasional;
c. rencana zonasi kawasan strategis nasional tertentu;
d. rencana zonasi kawasan antarwilayah; dan/atau
e. rencana zonasi kawasan antarwilayah; dan/atau
(2) Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari.
(3) Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut disetujui, Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak paling lama 2 (dua) Hari sejak disetujuinya dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut.
(4) Apabila berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut tidak disetujui, Sistem OSS menyampaikan persetujuan KKPRL dinyatakan  ditolak disertai dengan alasan penolakan kepada Pelaku Usaha.


Pasal 70

(1) Apabila berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dinyatakan terdapat catatan perbaikan, Sistem OSS mengembalikan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penilaian kembali atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dinyatakan terdapat catatan perbaikan dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih terdapat catatan perbaikan atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(5) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Penilaian kembali atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dinyatakan terdapat catatan perbaikan dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Permohonan persetujuan KKPRL dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS, apabila:
a. Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5); atau
b. berdasarkan hasil penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (6) dokumen usulan tidak disetujui.
(8) Apabila berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut disetujui, Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak paling lama 2 (dua) Hari sejak dokumen kegiatan pemanfaatan ruang laut disetujui.


Pasal 71

(1) Pembayaran PNBP dilakukan oleh Pelaku Usaha paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) atau Pasal 70 ayat (8).
(2) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui:
a. surat perintah setor PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi tidak berlaku; dan
b. Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP kedua.
(3) Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(4) Apabilajangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui:
a. surat perintah setor PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menjadi tidak berlaku; dan
b. Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP ketiga.
(5) Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b.
(6) Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui:
a. surat perintah setor PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (5) menjadi tidak berlaku; dan
b. permohonan persetujuan KKPRL dianggap ditarik kembali oleh Pelaku Usaha.
 

Pasal 72

Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan melakukan:
a. pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68; dan
b. penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70.


Pasal 73

Penerbitan persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf d dilakukan melalui Sistem OSS paling lama 6 (enam) Hari sejak diterimanya bukti pembayaran PNBP.


Pasal 74

(1) Apabila dalam tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 memerlukan rekomendasi atau pertimbangan kementerian/lembaga terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan menyampaikan permohonan rekomendasi atau pertimbangan kepada kementerian/lembaga terkait.
(2) Rekomendasi atau pertimbangan disampaikan oleh kementerian/lembaga terkait kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kelautan dan perikanan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya penyampaian permintaan rekomendasi atau pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Apabila rekomendasi atau pertimbangan tidak diberikan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 dilakukan tanpa rekomendasi atau pertimbangan.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan  ayat (2) tidak berlaku untuk rekomendasi di sektor pertahanan.


Pasal 75

Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 terlampaui, persetujuan KKPRL diterbitkan secara otomatis oleh Sistem OSS.
 

Pasal 76

(1) Apabila kegiatan usaha berada di kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengelola kawasan menyampaikan rencana induk kawasan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(2) Berdasarkan rencana induk kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan mencatat data lokasi dan peruntukan ruang di kawasan sebagai dasar penerbitan persetujuan KKPRL di kawasan.
(3) Data lokasi dan peruntukan ruang di kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar pemeriksaan kebenaran dokumen permohonan persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68.


Bagian Keenam
Pemberian Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut
di Kawasan Suaka Alam dan/ atau Kawasan Pelestarian Alam

Pasal 77

(1) Apabila terdapat kegiatan usaha yang memanfaatkan ruang laut secara menetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) di kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam yang telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, penerbitan persetujuan KKPRL didahului rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam.
(2) Rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.
(3) Selain kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), permohonan penerbitan persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilengkapi dengan peta usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut.
(4) Pemberian rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan verifikasi persyaratan permohonan berdasarkan kesesuaian kaidah konservasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam paling lama 15 (lima belas) Hari sejak dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap.
(5) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam tidak diterbitkan, permohonan dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut.
(6) Apabila berdasarkan verifikasi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan menolak permohonan rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan menyampaikan permohonan persetujuan KKPRL dinyatakan ditolak kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS.
(7) Apabila berdasarkan verifikasi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan menyetujui permohonan rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, permohonan dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 melalui Sistem OSS.
(8) Ketentuan mengenai:
a. pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68;
b. penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70; dan
c. penerbitan persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 sampai dengan Pasal 75,
berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan persetujuan KKPRL di kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam.

 
Bagian Ketujuh
Persetujuan Lingkungan

Paragraf 1
Umum

Pasal 78

(1) PL se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha untuk setiap usaha dan/ atau kegiatan yang memiliki dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan.
(2) PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pemenuhan dokumen lingkungan hidup berupa:
a. Amdal;
b. UKL-UPL; atau
c. SPPL,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) PL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:
a. Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup untuk usaha dan/ atau kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup dan termasuk dalam kriteria wajib Amdal;
b. Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk usaha dan/atau kegiatan yang tidak memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup dan termasuk dalam kriteria wajib UKL-UPL; atau
c. SPPL untuk usaha dan/ atau kegiatan yang tidak memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup dan tidak termasuk dalam kriteria wajib Amdal atau UKL-UPL.
(4) Permohonan PL diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(5) Penerbitan PL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(6) Bagi kegiatan usaha dengan lebih dari 1 (satu) KBLI yang merupakan kegiatan usaha terintegrasi yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem kegiatan, pengajuan dan penerbitan PL mengacu pada persyaratan pemenuhan dokumen lingkungan yang paling tinggi.


Pasal 79

PL dilakukan melalui tahapan:
a. penapisan jenis dokumen lingkungan hidup dan penapisan persetujuan teknis oleh Pelaku Usaha;
b. permohonan persetujuan teknis oleh Pelaku Usaha;
c. permohonan PL atau perubahan PL oleh Pelaku Usaha;
d. penilaian atau pemeriksaan dokumen lingkungan hidup;
e. pengambilan keputusan kelayakan lingkungan hidup; dan
f. penerbitan PL.


Paragraf 2
Persetujuan Teknis

Pasal 80

(1) Persetujuan teknis harus dipenuhi Pelaku Usaha sebagai persyaratan administrasi untuk permohonan PL dengan dokumen lingkungan Amdal atau UKL-UPL.
(2) Persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemenuhan baku mutu air limbah;
b. pemenuhan baku mutu emisi;
c. pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan/atau
d. analisis mengenai dampak lalu lintas.


Pasal 81

(1) Pelaku Usaha melakukan penapisan jenis persetujuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c secara mandiri melalui sistem informasi lingkungan hidup.
(2) Pelaku Usaha melakukan penapisan jenis persetujuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf d secara mandiri melalui sistem informasi lalu lintas.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha tidak berdampak pada air, tanah, udara, dan/ atau bangkitan dan tarikan lalu lintas, Pelaku Usaha tidak memerlukan persetujuan teknis.
(4) Dalam hal berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha berdampak pada air, tanah, udara, dan/ atau bangkitan dan tarikan lalu lintas, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan persetujuan teknis kepada instansi yang berwenang.
(5) Dalam hal tidak diperlukan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Usaha menyampaikan permohonan PL melalui Sistem OSS.
(6) Permohonan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan dalam bentuk penyusunan:
a. standar teknis yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat; atau
b. kajian teknis.


Pasal 82

Dalam hal persetujuan teknis telah memiliki standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) huruf a, penerbitan persetujuan teknis dilakukan otomatis melalui sistem informasi lingkungan hidup dan/atau sistem informasi lalu lintas sesuai dengan kewenangan dari instansi yang berwenang.


Pasal 83

(1) Penerbitan persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) huruf b:
a. untuk pemenuhan baku mutu air limbah dan pemenuhan baku mutu emisi, dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari; dan
b. untuk pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun, dilakukan paling lama 16 (enam belas) Hari,
  sejak dinyatakan lengkap dan benar.
(2) Penerbitan persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf d:
a. untuk kegiatan dengan bangkitan lalu lintas tinggi dan sedang, dilakukan paling lama 23 (dua puluh tiga)
Hari; dan
b. untuk kegiatan dengan bangkitan lalu lintas rendah dilakukan paling lama 3 (tiga) Hari,
sejak dinyatakan lengkap dan benar.
(3) Dalam hal persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis untuk pemenuhan baku mutu air limbah dan pemenuhan baku mutu emisi belum dapat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis Pelaku Usaha yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari:
a. pejabat yang membidangi pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan untuk penerbitan persetujuan teknis yang menjadi kewenangan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup; atau
b. pejabat yang membidangi lingkungan hidup untuk penerbitan persetujuan teknis yang menjadi kewenangan gubernur atau bupati/wali kota,
melalui sistem informasi lingkungan hidup.
(4) Dalam hal persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis untuk pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun belum dapat diterbitkan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis Pelaku Usaha yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari:
a. pejabat yang membidangi pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun untuk penerbitan persetujuan teknis yang menjadi kewenangan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup; atau
b. pejabat yang membidangi lingkungan hidup untuk penerbitan persetujuan teknis yang menjadi kewenangan gubernur atau bupati/wali kota,
melalui sistem informasi lingkungan hidup.
(5) Dalam hal persetujuan teknis untuk persetujuan analisis mengenai dampak lalu lintas belum dapat diterbitkan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis Pelaku Usaha yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melalui sistem informasi lalu lintas
(6) Persetujuan teknis yang belum dapat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sudah harus diterima pada saat pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup dimulai.
(7) Dalam hal persetujuan teknis tidak diterbitkan pada saat dimulainya pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup, pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup tetap dapat dilakukan tanpa persetujuan teknis.


Pasal 84

(1) Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan penerbitan persetujuan teknis bersamaan dengan permohonan PL, apabila:
a. telah terdapat perhitungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di lokasi rencana usaha yang menunjukkan masih mampu mendukung pelaksanaan usaha; dan
b. pengelolaan air limbah dan limbah bahan berbahaya dan beracun dihasilkan dari kegiatan sendiri.
(2) Dalam hal rencana usaha merupakan proyek strategis nasional, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan penerbitan persetujuan teknis di bidang lingkungan hidup dan/ atau di bidang lalu lintas bersamaan dengan pengajuan PL.
(3) Permohonan penerbitan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui sistem informasi lingkungan hidup dan/ atau sistem informasi lalu lintas.
(4) Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup dan/ atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing menyampaikan kepada Pelaku Usaha mengenai persetujuan atau penolakan atas permohonan penerbitan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) Hari sejak permohonan diterima.


Pasal 85

(1) Dalam hal permohonan penerbitan persetujuan teknis bersamaan dengan permohonan PL se bagaimana dimaksud dalam Pasal 84 disetujui, Pelaku Usaha mengajukan permohonan PL disertai dengan dokumen persetujuan teknis melalui Sistem OSS, untuk dilakukan penilaian atau pemeriksaan.
(2) Penerbitan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penilaian atau pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup.


Paragraf 3
Persetujuan Lingkungan dengan Dokumen Amdal

Pasal 86

(1) Permohonan PL untuk usaha wajib Amdal yang diajukan oleh Pelaku Usaha dilakukan melalui:
a. pengisian formulir kerangka acuan oleh Pelaku Usaha;
b. pemeriksaan formulir kerangka acuan;
c. penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL oleh Pelaku Usaha; dan
d. penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha wajib Amdal yang telah memiliki PL akan melakukan perubahan usaha, Pelaku Usaha harus melakukan perubahan PL.
(3) Pengisian formulir kerangka acuan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf a dan pemeriksaan formulir kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(4) Penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(5) Permohonan PL melalui penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diajukan oleh Pelaku Usaha dengan melampirkan:
a. dokumen Andal;
b. dokumen RKL-RPL; dan
c. persetujuan teknis dalam hal dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/ atau lalu lintas.
(6) Dalam hal permohonan PL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan lengkap melalui Sistem OSS, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya melalui Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan penilaian terhadap permohonan PL dengan dokumen Amdal.
(7) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan melalui tahapan:
a. penilaian administrasi; dan
b. penilaian substansi.
 

Pasal 87

(1) Penilaian administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf a dilakukan untuk menilai kebenaran dokumen yang meliputi:
a. kesesuaian lokasi rencana usaha dan/ atau kegiatan dengan RTR;
b. persetujuan awal terkait rencana usaha dan/ atau kegiatan;
c. persetujuan teknis dalam hal dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/ atau lalu lintas;
d. keabsahan tanda bukti registrasi lembaga penyedia jasa penyusunan Amdal, apabila penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dilakukan oleh lembaga penyedia jasa penyusunan Amdal;
e. keabsahan tanda bukti sertifikasi kompetensi penyusun Amdal; dan
f. kesesuaian sistematika Andal dan dokumen RKL-RPL dengan pedoman penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL.
(2) Penilaian kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak permohonan PL diterima Sistem OSS.
(3) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf b.


Pasal 88

(1) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dokumen dinyatakan tidak benar, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 3 (tiga) Hari sejak pengembalian dokumen dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Penilaian kebenaran terhadap perbaikan dokumen dilakukan paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) perbaikan dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf b.
(5) Permohonan PL dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS, apabila:
a. Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
b berdasarkan hasil penilaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan tidak benar.


Pasal 89

(1) Penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf b dilakukan untuk penilaian secara keseluruhan dan komprehensif terhadap aspek konsistensi, keharusan, relevansi, dan kedalaman substansi, meliputi:
a. uji tahap proyek; dan
b. uji  kualitas  kajian  dokumen  Andal  dan  dokumen RKL-RPL.
(2) Penilaian substansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rapat Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung, ahli, dan/ atau kementerian/lembaga terkait.
(3) Hasil penilaian substansi oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup disusun dalam berita acara rapat yang memuat informasi:
a. dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL tidak memerlukan perbaikan; atau
b. dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL memerlukan perbaikan.
(4) Apabila dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL tidak memerlukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan uji kelayakan.


Pasal 90

(1) Apabila dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL memerlukan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf b, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melalui Sistem OSS mengembalikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pengembalian dokumen dinyatakan memerlukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Terhadap penyampaian dokumen yang telah diperbaiki oleh Pelaku Usaha, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan evaluasi atas perbaikan dokumen dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dokumen perbaikan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Berdasarkan hasil evaluasi atas perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen perbaikan masih dinyatakan tidak benar, dokumen dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS.
(5) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pengembalian dokumen masih dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan evaluasi atas perbaikan dokumen dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dokumen perbaikan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Apabila berdasarkan hasil evaluasi atas perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat
(6) dinyatakan benar, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan uji kelayakan.


Pasal 91

(1) Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) atau Pasal 90 ayat (5), Sistem OSS menyampaikan pemberitahuan penghentian proses penilaian substansi dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL kepada Pelaku Usaha.
(2) Penghentian proses penilaian substansi dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dapat diajukan permohonan kelanjutan penilaian oleh Pelaku Usaha dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak penyampaian pemberitahuan penghentian proses penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Berdasarkan permohonan kelanjutan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses penilaian substansi dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dilanjutkan kembali.
(4) Tata cara danjangka waktu penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 berlaku secara mutatis mutandis untuk penilaian lanjutan perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL.
(5) Apabila Pelaku Usaha tidak mengajukan permohonan kelanjutan penilaian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan PL ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS.


Pasal 92

(1) Berdasarkan hasil uji kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4), Pasal 90 ayat (7), atau Pasal 91 ayat (4), Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup menyampaikan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Rekomendasi hasil uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan pertimbangan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing dalam menetapkan:
a. Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup, jika rencana usaha dinyatakan layak lingkungan hidup; atau
b. Surat Keputusan Ketidaklayakan Lingkungan Hidup, jika rencana usaha dinyatakan tidak layak lingkungan hidup.


Pasal 93

(1) Jangka waktu:
a. penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2);
b. uji kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) atau Pasal 90 ayat (7); dan
c. penyampaian rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (l),
dilakukan paling lama 5O (lima puluh) Hari sejak dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dinyatakan lengkap dan benar dalam penilaian administrasi.
(2) Jangka waktu:
a. penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (3);
b. uji kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (4); dan
c. penyampaian ketidaklayakan Pasal 92 ayat (1),
dilakukan paling lama 50 (lima puluh) Hari sejak permohonan kelanjutan penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL diterima melalui Sistem OSS.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk jangka waktu perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) dan ayat (5) pada tahapan penilaian substansi.
(4) Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Surat Keputusan Ketidaklayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak rekomendasi hasil uji kelayakan diterima.


Pasal 94

Ketentuan mengenai tata cara penilaian Andal dan/ atau RKL­ RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 sampai dengan Pasal 93 berlaku secara mutatis mutandis untuk penilaian addendum Andal dan/atau RKL-RPL.


Paragraf 4
Persetujuan Lingkungan dengan Formulir Upaya Pengelolaan Lingkungan
Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup

Pasal 95

(1) Permohonan PL dengan formulir UKL-UPL diajukan oleh Pelaku Usaha dengan melampirkan persetujuan teknis apabila dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan/ atau lalu lintas.
(2) Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. formulir UKL-UPL standar spesifik yang telah disediakan dalam sistem informasi lingkungan hidup; atau
b. formulir UKL-UPL standar yang disusun Pelaku Usaha dengan mengacu pada format sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(3) Dalam hal permohonan PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap melalui Sistem OSS, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melakukan pemeriksaan terhadap PL dengan formulir UKL-UPL
(4) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui tahapan:
a. pemeriksaan administrasi; dan
b. pemeriksaan substansi.


Pasal 96

(1) Pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) huruf a dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen yang meliputi:
a. kesesuaian lokasi rencana usaha dan/ atau kegiatan dengan RTR;
b. persetujuan awal terkait rencana usaha dan/ atau kegiatan;
c. persetujuan teknis dalam hal dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan/ atau lalu lintas; dan
d. kesesuaian isi formulir UKL-UPL standar spesifik atau formulir UKL-UPL standar dengan pedoman pengisian.
(2) Pemeriksaan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari sejak permohonan PL diterima Sistem OSS.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) huruf b.


Pasal 97

(1) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dokumen dinyatakan tidak benar, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(2) Pelaku Usaba menyampaikan perbaikan dokumen yang dinyatakan tidak benar paling lama 1 (satu) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintaban di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan bidup dan tugas pemerintaban di bidang pengendalian lingkungan bidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melakukan pemeriksaan Perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya perbaikan dokumen.
(4) Apabila berdasarkan basil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) buruf b.
(5) Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berdasarkan basil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen dinyatakan tidak benar, permohonan PL ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS.


Pasal 98

(1) Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintaban di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan bidup dan tugas pemerintaban di bidang pengendalian lingkungan bidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melakukan pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) buruf b atas formulir UKL-UPL standar spesifik atau formulir UKL-UPL standar.
(2)  Pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik untuk usaba dengan tingkat Risiko menengab rendab dilakukan secara otomatis melalui Sistem OSS.
(3) Pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik untuk usaba dengan tingkat Risiko menengab tinggi dan tingkat Risiko tinggi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dinyatakan benar.
(4) Pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar untuk usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi dan tingkat Risiko tinggi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dinyatakan benar.
(5) Apabila penerbitan persetujuan teknis dilaksanakan bersamaan dengan pemeriksaan substansi atas dokumen lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL dilakukan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dinyatakan benar.


Pasal 99

(1) Berdasarkan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik untuk usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), diterbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan  pengelolaan  lingkungan  hidup  secara otomatis melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan substansi tidak terdapat perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalamjangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dinyatakan benar.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan substansi memerlukan perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melalui Sistem OSS menyampaikan  arahan perbaikan kepada Pelaku Usaha.
(4) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Berdasarkan perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak perbaikan dokumen diterima.
(6) Apabila:
a. perbaikan formulir UKL-UPL standar spesifik yang disampaikan oleh Pelaku Usaha telah melebihi batas waktu; atau
b. perbaikan tidak sesua1 dengan standar yang dipersyaratkan,
permohonan persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup ditolak disertai dengan alasan penolakan dan disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


Pasal 100

(1) Berdasarkan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik atau formulir UKL-UPL standar untuk usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi dan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) dan ayat (4), diterbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal hasil pemeriksaan substansi tidak terdapat perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalamjangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dinyatakan benar.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan substansi memerlukan perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing­ masing melalui Sistem OSS menyampaikan arahan perbaikan kepada Pelaku Usaha.
(4) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Berdasarkan perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak perbaikan dokumen diterima.
(6) Apabila:
a. perbaikan formulir UKL-UPL standar spesifik atau formulir UKL-UPL standar yang disampaikan oleh Pelaku Usaha telah melebihi batas waktu; atau
b. perbaikan tidak sesua1 dengan standar yang dipersyaratkan,
permohonan persetujuan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup ditolak disertai dengan alasan penolakan dan disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.


Paragraf 5

Persetujuan Lingkungan dengan Formulir Surat Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup

Pasal 101

(1) Permohonan PL dengan formulir SPPL diajukan oleh Pelaku Usaha kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui Sistem OSS.
(2) Penerbitan PL dengan formulir SPPL dilakukan melalui pernyataan mandiri oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS yang diterbitkan secara otomatis bersamaan dengan NIB.


Paragraf 6
Persetujuan Lingkungan Kawasan

Pasal 102

(1) Pelaku Usaha yang berada dalam kawasan industri, KEK, atau KPBPB yang telah dilengkapi dengan Amdal kawasan dan PL kawasan, wajib menyusun RKL-RPL rinci berdasarkan dokumen lingkungan hidup kawasan.
(2) RKL-RPL rinci yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengelola kawasan untuk diperiksa dan disahkan oleh pengelola kawasan.
(3) RKL-RPL rinci yang telah disahkan oleh pengelola kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dan menjadi persyaratan atas dasar PB Pelaku Usaha di dalam kawasan.


Pasal 103

Pelaku Usaha dalam kawasan industri, KEK, atau KPBPB yang:
a. tidak melakukan pembuangan air limbah ke badan air; atau
b. melakukan pembuangan air limbah melalui instalasi pengolahan air limbah yang disediakan pengelola kawasan,
tidak memerlukan persetujuan teknis.


Paragraf 7
Pendelegasian Kewenangan Persetujuan Lingkungan dan
Persetujuan Teknis

Pasal 104

Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup dapat mendelegasikan kewenangan pemberian PL dan persetujuan teknis kepada gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan kepala Badan Pengusahaan KPBPB.


Pasal 105

Ketentuan mengenai PL yang tidak diatur dalam Pasal 78 sampai dengan Pasal 104 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.


Bagian Kedelapan
Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi

Paragraf 1
Umum

Pasal 106

PBG dan SLF sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c dipersyaratkan bagi Pelaku Usaha yang memerlukan pembangunan Bangunan Gedung sebagai fasilitas tempat usaha.


Pasal 107

(1) Kegiatan pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 meliputi perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi.
(2) Perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar teknis yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.


Paragraf 2
Persetujuan Bangunan Gedung

Pasal 108

(1) PBG harus dimiliki oleh Pelaku Usaha sebelum pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1).
(2) PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diproses melalui:
a. konsultasi perencanaan; dan
b. penerbitan.


Pasal 109

(1) Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a meliputi proses:
a. pendaftaran;
b. pemeriksaan pemenuhan standar teknis; dan
c. pernyataan pemenuhan standar teknis.
(2) Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan tanpa dipungut biaya.


Pasal 110

(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS dengan menyampaikan:
a. data pemohon atau pemilik;
b. data Bangunan Gedung; dan
c. dokumen rencana teknis
(2) Data pemohon atau pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan data Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung.
(3) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun pada saat perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1).
(4) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat oleh penyedia jasa perencanaan Bangunan Gedung atau pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(5) Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperiksa dan disetujui dalam proses konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a.
 

Pasal 111

(1) Setelah dinyatakan lengkap oleh Sistem OSS, data dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dilakukan pemeriksaan kebenaran data dan dokumen.
(2) Pemeriksaan kebenaran data dan dokumen dilakukan untuk memeriksa kesesuaian data dan dokumen yang dilakukan paling lama 3 (tiga) Hari sejak data dan dokumen dinyatakan lengkap.
(3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke proses pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b.


Pasal 112

(1) Apabila berdasarkan hasil  pemeriksaan  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) dokumen dinyatakan tidak benar, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemeriksaan atas perbaikan dokumen dilakukan paling lama 3 (tiga) Hari sejak diterimanya perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) perbaikan dokumen dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke proses pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b.
(5) Permohonan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS, apabila:
a. Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); a tau
b. berdasarkan hasil pemeriksaan atas perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) perbaikan dokumen dinyatakan tidak benar.


Pasal 113

(1) Pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 26 (dua puluh enam) Hari sejak dokumen dinyatakan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (4).
(2) Pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pertama kali dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak dokumen dinyatakan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (4).
(3) Hasil pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis.


Pasal 114

(1) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dokumen rencana teknis dinyatakan perlu dilakukan perbaikan, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan.
(2) Serita acara pada pemeriksaan pemenuhan standar teknis yang terakhir harus dilengkapi dengan kesimpulan.
(3) Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi:
a. rekomendasi penerbitan surat pernyataan pemenuhan standar teknis; atau
b. rekomendasi pendaftaran ulang PBG.


Pasal 115

Serita acara pada pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (3) dan Pasal 114 ayat (2) diunggah ke dalam Sistem OSS.


Pasal 116

(1) Berdasarkan rekomendasi penerbitan surat pernyataan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) huruf a, Sistem OSS menerbitkan surat pernyataan pemenuhan standar teknis paling lama 1 (satu) Hari sejak rekomendasi penerbitan surat pernyataan pemenuhan standar teknis diterima.
(2) Surat pernyataan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi perhitungan teknis untuk retribusi yang digunakan untuk memperoleh PBG.


Pasal 117

(1) Berdasarkan rekomendasi pendaftaran ulang PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) huruf b:
a. surat pernyataan pemenuhan standar teknis tidak diterbitkan; dan
b. Sistem OSS menyampaikan berita acara yang memuat kesimpulan yang berisi rekomendasi pendaftaran ulang PBG kepada Pelaku Usaha,
paling lama 1 (satu) Hari sejak rekomendasi pendaftaran ulang PBG diterima.
(2) Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memuat secara lengkap catatan perbaikan.
(3) Apabila Pelaku Usaha melakukan pendaftaran ulang PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen rencana teknis.
(4) Apabila Pelaku Usaha melakukan pendaftaran ulang PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (3), konsultasi dilanjutkan berdasarkan berita acara konsultasi sebelumnya.


Pasal 118

Penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf b meliputi:
a. penetapan nilai retribusi daerah;
b. pembayaran retribusi daerah; dan
c. penerbitan PBG.


Pasal 119

(1) Penetapan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf a dilakukan oleh dinas teknis berdasarkan perhitungan teknis untuk retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Penetapan nilai retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya surat pernyataan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1).
(3) Dalam hal nilai retribusi tidak dapat ditetapkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penetapan nilai retribusi dilakukan secara otomatis melalui Sistem OSS


Pasal 120

(1) Pelaku Usaha melakukan pembayaran retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf b dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh masing-masing daerah sejak penetapan nilai retribusi daerah.
(2) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, penyampaian nilai retribusi daerah menjadi tidak berlaku dan permohonan PBG dinyatakan batal.
(3) Dalam menetapkan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing memperhatikan kemampuan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.


Pasal 121

(1) Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf c dilakukan setelah Pelaku Usaha menyampaikan bukti pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) melalui Sistem OSS.
(2) Penerbitan  PBG sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) berupa:
a. dokumen PBG; dan
b. lampiran dokumen PBG.


Paragraf 3
Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung

Pasal 122

(1) SLF harus diperoleh oleh Pelaku Usaha sebelum Bangunan Gedung dapat dimanfaatkan.
(2) SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat terpenuhinya kelaikan fungsi Bangunan Gedung.
(3) Pemenuhan SLF Bangunan Gedung yang sudah ada dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang dilaksanakan oleh:
a. pengkaji teknis; atau
b. tim penilai teknis yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah yang terdiri atas instansi terkait penyelenggara Bangunan Gedung.
(4) Atas pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pekerjaan umum atau dinas teknis yang membidangi Bangunan Gedung di Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing menerbitkan SLF melalui Sistem OSS.
(5) Untuk jasa yang diberikan oleh pengkaji teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum membuat standar biaya jasa yang dikenakan bagi Pelaku Usaha.


Pasal 123

(1) Pelaku Usaha yang memiliki Bangunan Gedung yang telah berdiri namun belum memiliki izin mendirikan bangunan/PBG sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tidak perlu memperoleh PBG dan dapat langsung menyampaikan permohonan SLF pada saat mengajukan atau memperpanjang permohonan PB dan/atau PBUMKU melalui Sistem OSS.
(2) Pelaku Usaha yang memiliki Bangunan Gedung yang telah berdiri dan telah memiliki izin mendirikan bangunan/PBG, dapat langsung menyampaikan permohonan  SLF pada saat mengajukan atau memperpanjang  permohonan  PB dan/ atau PB UMKU melalui Sistem OSS.
(3) Ketentuan mengenai PBG dan SLF yang belum diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 122 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bangunan Gedung.


BAB III
PERIZINAN BERUSAHA

Pasal 124

(1) PB dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
(2) PB dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha.
(3) Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehati-hatian berdasarkan data dan/ atau penilaian profesional.
(4) Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan jenis PB.


Pasal 125

(1) Analisis Risiko dilakukan dengan melibatkan:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
c. menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup;
d. menteri dan/ atau kepala lembaga sektor terkait; dan
e. Pelaku Usaha dan/atau masyarakat.
(2) Keterlibatan menteri dan/ atau kepala lembaga sektor terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pengaturan kegiatan usaha yang bersifat lintas sektor dan/ atau beririsan antarkementerian/lembaga.
(3) Keterlibatan Pelaku Usaha dan/ atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat berupa:
a. memberikan masukan terhadap tingkat Risiko kegiatan usaha;
b. memberikan data dan informasi terkait kegiatan usaha dalam penetapan tingkat Risiko; dan
c. meningkatkan pemahaman kegiatan usaha untuk melakukan manajemen Risiko.


Pasal 126

(1) Analisis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui tahapan:
a. pengidentifikasian kegiatan usaha;
b. pengidentifikasian skala usaha;
c. penilaian tingkat bahaya; dan
d. penilaian tingkat bahaya; dan
(2) Hasil dari analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan tingkat Risiko.


Pasal 127

(1) Pengidentifikasian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf a mengacu kepada pengaturan ruang lingkup kegiatan usaha pada KBLI.
(2) Pengidentifikasian skala usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M.
(3) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf c dilakukan terhadap aspek:
a. kesehatan;
b. keselamatan;
c. lingkungan; dan/atau
d. pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya.
(4) Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha.
(5) Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
a. jenis kegiatan usaha;
b. kriteria kegiatan usaha;
c. lokasi kegiatan usaha;
d. keterbatasan sumber daya; dan/ atau
e. Risiko volatilitas.
(6) Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf d terdiri atas:
a. hampir tidak mungkin terjadi;
b. kemungkinan kecil terjadi;
c. kemungkinan terjadi; atau
d. hampir pasti terjadi.


Pasal 128

(1) Berdasarkan penilaian tingkat bahaya serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) sampai dengan ayat (5), tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, ditetapkan menjadi:
a. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah;
b. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah; dan
c. kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi.
(2) Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbagi atas:
a. tingkat Risiko menengah rendah; dan
b. tingkat Risiko menengah tinggi.


Pasal 129

Mekanisme pelaksanaan analisis Risiko kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 130

PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf a berupa NIB yang merupakan identitas Pelaku Usaha sekaligus legalitas pelaksanaan kegiatan usaha.


Pasal 131

(1) PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf a berupa:
a. NIB; dan
b. Sertifikat Standar.
(2) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha.
(3) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing yang diberikan melalui Sistem OSS.
(4) PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan, operasional, dan/atau komersial kegiatan usaha.
(5) Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha pada saat melaksanakan kegiatan usaha.
(6) Pemenuhan atas standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diperiksa pada saat Pengawasan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 132

(1) PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf b berupa:
a. NIB; dan
b. Sertifikat Standar.
(2) Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Sertifikat Standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha.
(3) Setelah memperoleh NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha membuat pernyataan melalui Sistem OSS untuk memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha dan kesanggupan untuk dilakukan verifikasi.
(4) Terhadap  pernyataan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3), Lembaga OSS menerbitkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi.
(5) Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha.
(6) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang telah terverifikasi merupakan PB bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha.
(7) Dalam hal Pelaku Usaha:
a. tidak memenuhi standar sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria; dan
b. berdasarkan hasil Pengawasan, tidak melakukan persiapan kegiatan usaha dalamjangka waktu 1 (satu) tahun sejak NIB terbit,
Lembaga OSS melakukan pencabutan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Pasal 133

(1) PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf c berupa:
a. NIB; dan
b. Izin.
(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya melalui Sistem OSS.
(3) Sebelum memperoleh Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha.
(4) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan PB bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha.


Pasal 134

(1) Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi.


BAB IV
PERIZINAN BERUSAHA UNTUK MENUNJANG KEGIATAN USAHA

Pasal 135

(1) Dalam hal pada tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha diperlukan PB UMKU, kementerian/lembaga mengidentifikasi PB UMKU dengan tetap mempertimbangkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan/ atau produk pada saat pelaksanaan tahap operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha.
(2) PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penzman dalam rangka penyelenggaraan kegiatan ekspor, impor, dan pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan barang ekspor dan impor serta neraca komoditas.
(3) Pemberian perizinan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan ekspor, impor, dan pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan barang ekspor dan impor serta neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem Indonesia National Single Window sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang perdagangan dan neraca komoditas.
(4) PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan permohonan PB UMKU kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing melalui Sistem OSS
(5) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meneruskan permohonan PB UMKU kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk dilakukan pemrosesan permohonan PB UMKU.
(6) PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perizinan berusaha yang diperlukan dalam rangka:
a. peredaran produk;
b. kelayakan operasi;
c. standardisasi produk/jasa; dan/ atau
d. kelancaran kegiatan usaha selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c.


Pasal 136

(1) Dalam melakukan pemrosesan permohonan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (4), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Sadan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Apabila permohonan PB UMKU yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing­ masing menyampaikan persetujuan PB UMKU kepada Sistem OSS.
(3) Sistem OSS menerbitkan PB UMKU kepada Pelaku Usaha.
(4) Apabila permohonan PB UMKU yang diajukan oleh Pelaku Usaha ditolak atau diminta melengkapi pemenuhan persyaratan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing menyampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS disertai dengan penjelasan.


BAB V
NORMA, STANDAR, PROSEDUR, DAN KRITERIA

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 137

(1) Pemerintah Pusat menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pada setiap sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2).
(2) Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan penyelenggaraan PBBR oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB.
(3) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan internal norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
(4) Kepala daerah dalam menyusun peraturan pelaksanaan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tidak memperluas ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 138

(1) Persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pelaksanaan penerbitan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Lembaga OSS;
b. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga;
c. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur; dan
d. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota,
sesuai dengan kewenangan masing-masing yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pelaksanaan penerbitan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga;
b. kepala DPMPTSP provinsi atas nama gubernur;
c. kepala DPMPTSP kabupaten/kota atas nama bupati/wali kota; dan
d. menteri/kepala lembaga melalui Sistem OSS sepanjang ditentukan dalam ketentuan internasional,
sesuai dengan kewenangan masing-masing yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, kewenangan penerbitan PB dilakukan oleh Lembaga OSS atau Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga untuk penerbitan PB dalam hal kegiatan usaha terdapat:
a. Penanaman Modal Asing; dan/atau
b. Penanaman Modal yang menggunakan modal asing berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain.
(5) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kewenangan penerbitan PB di wilayah KPBPB dilakukan oleh kepala Sadan Pengusahaan KPBPB untuk penerbitan PB dalam hal kegiatan usaha terdapat:
a. Penanaman Modal Asing; dan/ atau
b. Penanaman Modal yang menggunakan modal asing berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Pusat dan pemerintah negara lain,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.
(6) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d serta ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c:
a. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KEK, kewenangan penerbitan PB dan PB UMKU dilakukan oleh Administrator KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus; atau
b. dalam hal kegiatan usaha dilakukan pada wilayah KPBPB, kewenangan penerbitan PB dan PB UMKU dilakukan oleh kepala Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.


Pasal 139

(1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing dalam:
a. melakukan pemeriksaan PB dan/atau PB UMKU harus sesuai dengan jangka waktu; dan
b. melakukan pemeriksaan PB dan/atau PB UMKU harus sesuai dengan jangka waktu; dan
(2) Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan PB sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini
(3) Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan PB UMKU sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.


Bagian Kedua
Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria Sektor

Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan

Pasal 140

(1) PB sektor kelautan dan perikanan meliputi kegiatan usaha:
a. pengelolaan ruang laut;
b. perikanan tangkap;
c. pembudidayaan ikan;
d. pengolahan hasil kelautan dan perikanan; dan
e. pemasaran hasil kelautan dan perikanan.
(2) PB UMKU sektor kelautan dan perikanan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. pengelolaan ruang laut;
b. perikanan tangkap;
c. pembudidayaan ikan;
d. pengolahan hasil kelautan dan perikanan; dan
e. pemasaran hasil kelautan dan perikanan.


Paragraf 2
Sektor Pertanian

Pasal 141

(1) PB sektor pertanian meliputi kegiatan usaha:
a. perkebunan;
b. tanaman pangan;
c. tanaman pangan;
d. peternakan dan kesehatan hewan.
(2) PB UMKU sektor pertanian meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. perkebunan;
b. tanaman pangan;
c. hortikultura;
d. peternakan dan kesehatan hewan; dan
e. sarana pertanian.
(3) Perizinan terkait veteriner diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pertanian.


Paragraf 3
Sektor Kehutanan

Pasal 142

PB sektor kehutanan meliputi kegiatan usaha:
a. pemanfaatan hutan;
b. pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru;
c. pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar; dan
d. perbenihan tanaman hutan.


Paragraf 4
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral

Pasal 143

(1) PB sektor energi dan sumber daya mineral meliputi subsektor:
a. minyak dan gas bumi;
b. ketenagalistrikan;
c. mineral dan batubara; dan
d. energi baru, terbarukan, dan konservasi energi.
(2) PB UMKU sektor energi dan sumber daya mineral meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas subsektor:
a. minyak dan gas bumi;
b. ketenagalistrikan;
c. mineral dan batubara;
d. energi baru, terbarukan, dan konservasi energi; dan
e. geologi.
(3) Kewajiban pemenuhan persyaratan dasar berupa KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dikecualikan untuk PB dalam tahap survei dan tahap eksplorasi subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi, serta tahap kegiatan eksplorasi pada subsektor mineral dan batubara.


Pasal 144

(1) Penerapan PB pada kegiatan usaha hulu pada subsektor minyak dan gas bumi yang dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama berlaku ketentuan:
a. kontrak kerja sama diperlakukan sebagai Izin dalam kegiatan usaha hulu; dan
b. badan usaha atau bentuk usaha tetap yang menandatangani kontrak kerja sama wajib memiliki NIB.
(2) Penerapan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapus keberlakuan seluruh ketentuan dalam kontrak kerja sama.


Pasal 145

(1) Kegiatan usaha hilir pada subsektor minyak dan gas bumi meliputi:
a. kegiatan usaha pengolahan yang meliputi kegiatan memurnikan, memperoleh bagian-bagian, mempertinggi mutu, dan mempertinggi nilai tambah minyak dan gas bumi yang menghasilkan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, hasil olahan, liquified petroleum gas, dan/ atau liquified natural gas tetapi tidak termasuk pengolahan lapangan;
b. kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan melalui pipa dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial;
c. kegiatan usaha penyimpanan yang meliputi kegiatan penerimaan, pengumpulan, penampungan, dan pengeluaran minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan pada lokasi di atas dan/ atau di bawah permukaan tanah dan/ atau permukaan air untuk tujuan komersial; dan
d.  kegiatan usaha niaga yang meliputi kegiatan pembelian, penjualan, ekspor, dan impor minyak bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/ atau hasil olahan, termasuk gas bumi melalui pipa.
(2) Kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan yang menggunakan alat transportasi darat, air, dan/atau udara dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria pada sektor transportasi.


Pasal 146

PB UMKU pada subsektor geologi berupa pengusahaan air tanah diterbitkan berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat pada kondisi air tanah yang tercan tum dalam zona konservasi air tanah dan/ atau data hidrogeologi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 147

(1) Pelaku Usaha yang telah melakukan kegiatan:
a. konstruksi berupa sumur bor/ gali air tanah tanpa Izin pengusahaan air tanah; dan/ atau
b. penggunaan air tanah tanpa Izin pengusahaan air tanah,
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif dan wajib mengajukan permohonan PB UMKU Izin pengusahaan air tanah, paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
(2) Penggunaan air tanah tanpa Izin pengusahaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
a. penggunaan air tanah yang pernah memiliki Izin pengusahaan air tanah, namun telah habis masa berlakunya; atau
b. penggunaan air tanah yang belum pernah memiliki Izin pengusahaan air tanah.
(3) Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan formula penghitungan denda administratif yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
(4) Permohonan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS sesuai Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 5
Sektor Ketenaganukliran

Pasal 148

(1) PB sektor ketenaganukliran meliputi kegiatan usaha:
a. pemanfaatan sumber radiasi pengion;
b. instalasi nuklir dan bahan nuklir;
c. pertambangan bahan galian nuklir; dan
d. pendukung sektor ketenaganukliran.
(2) PB UMKU sektor ketenaganukliran meliputi penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. pemanfaatan sumber radiasi pengion;
b. instalasi nuklir dan bahan nuklir; dan
c. pertambangan bahan galian nuklir.
(3) PB dan PB UMKU untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, serta ayat (2) huruf a tertentu diterbitkan sesuai tahapan kegiatan yang meliputi:
a. konstruksi;
b. operasi;
c. dekomisioning; dan/atau
d. pernyataan pembebasan.


Paragraf 6
Sektor Perindustrian

Pasal 149

(1) PB sektor perindustrian meliputi kegiatan usaha:
a. penyelenggaraan industri yang mengolah bahan baku dan/ atau memanfaatkan sumber daya industri, termasuk jasa industri; dan
b. kawasan industri.
(2) PB UMKU sektor perindustrian meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. rekomendasi;
b. pertimbangan teknis;
c. surat persetujuan;
d. surat penetapan;
e. tanda pendaftaran;
f. tanda daftar;
g. tanda sah; dan/ atau
h surat keterangan dalam kegiatan penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha industri tertentu.


Pasal 150

PB untuk kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a berlakujuga sebagai PB untuk tempat penyimpanan mesin/peralatan, bahan baku, bahan penolong, dan/atau hasil produksi dengan ketentuan:
a. tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Pelaku Usaha di sektor perindustrian bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan industrinya dan berada dalam 1 (satu) lokasi usaha industri; dan
b. tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan.


Pasal 151

(1) Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a wajib berlokasi di kawasan industri.
(2) Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di luar kawasan industri apabila:
a. berlokasi di daerah kabupaten/kota yang belum memiliki kawasan industri atau telah memiliki kawasan industri tetapi seluruh kaveling industri dalam kawasan industrinya telah habis;
b. berlokasi di zona industri dalam KEK;
c. termasuk klasifikasi industri kecil;
d. termasuk klasifikasi industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas; atau
e. industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/ atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.
(3) Kegiatan usaha industri yang:
a. berlokasi di daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a; dan/ atau
b. termasuk klasifikasi industri menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d,
wajib berlokasi di kawasan peruntukan industri sesuai dengan RTR.
(4) Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/ atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
 

Pasal 152

(1) Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi kegiatan usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri atau pindah lokasi industri.


Pasal 153

(1) Dalam 1 (satu) PB hanya berlaku bagi 1 (satu) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang:
a. memiliki usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit dan berada dalam 1 (satu) lokasi industri;
b. memiliki beberapa usaha industri yang merupakan 1 (satu) unit produksi terpadu dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) kawasan industri; atau
c. memiliki beberapa usaha industri dengan 1 (satu) kelompok usaha sesuai dengan KBLI 5 (lima) digit yang sama dan berada di beberapa lokasi dalam 1 (satu) kawasan industri.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian memiliki usaha industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki PB baru.


Pasal 154

(1) PB untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b diberikan hanya kepada Pelaku Usaha yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan perseroan terbatas, yang berlokasi di dalam kawasan peruntukan industri sesuai dengan RTR.
(2) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh PB untuk kegiatan usaha kawasan industri merupakan perusahaan kawasan industri.
(3) PB kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan KKPR kegiatan usaha kawasan industri.


Pasal 155

(1) Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki persyaratan dasar dan PB.
(2) Sebelum mengajukan permohonan persyaratan dasar dan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan kawasan industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan kawasan industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan Andal, perencanaan, dan pembangunan infrastruktur kawasan industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan.
(3) Perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam satu hamparan dan berlokasi di kawasan peruntukan industri sesuai dengan RTR.


Paragraf 7
Sektor Perdagangan dan Metrologi Legal

Pasal 156

(1) PB sektor perdagangan dan metrologi legal meliputi kegiatan usaha:
a. perdagangan dalam negeri;
b. pengembangan ekspor nasional; dan
c. perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas.
(2) PB UMKU sektor perdagangan dan metrologi legal meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. perdagangan dalam negeri; dan
b. perlindungan konsumen dan tertib niaga.


Pasal 157

PB perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar  lelang  komoditas  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 156 ayat (1) huruf c berlaku ketentuan:
a. permohonan dan penerbitan NIB kegiatan usaha dilakukan melalui Sistem OSS;
b. Sistem OSS mengalirkan permohonan PB kepada badan pengawas perdagangan berjangka komoditi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan; dan
c.  penerbitan PB perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas.


Paragraf 8
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Pasal 158

(1) PB sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat meliputi kegiatan:
a. jasa konstruksi;
b. sumber daya air;
c. bina marga;
d. cipta karya; dan
e. pengembangan perumahan.
(2) PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. sumber daya air; dan
b. bina marga.


Pasal 159

(1) Setiap Pelaku Usaha yang telah melakukan kegiatan:
a. penggunaan sumber daya air tanpa PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air;
b. pelaksanaan konstruksi sumber daya air dan pelaksanaan nonkonstruksi tanpa PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air; dan/ atau
c. pelaksanaan konstruksi sumber air yang berupa kegiatan pengalihan alur sungai tanpa PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air,
sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 6 tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif dan wajib mengajukan permohonan PB-UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air paling lama 3 (tiga) tahun sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
(2) Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan formula penghitungan denda administratif yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
(3) Permohonan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS dengan berpedoman pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 9
Sektor Transportasi

Pasal 160

(1) PB sektor transportasi meliputi kegiatan usaha:
a. transportasi darat;
b. transportasi laut;
c. transportasi udara; dan
d. transportasi perkeretaapian.
(2) PB UMKU sektor transportasi meliputi penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. transportasi darat;
b. transportasi laut;
c. transportasi udara; dan
d. transportasi perkeretaapian.


Pasal 161

(1) Kegiatan usaha sektor transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b dan huruf c terdiri atas penyelenggaraan sarana dan prasarana transportasi serta penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi.
(2) Kegiatan usaha sektor transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a dan huruf d terdiri atas penyelenggaraan sarana dan prasarana transportasi.
(3) Kegiatan usaha sektor transportasi yang merupakan penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) merupakanjasa terkait sarana dan prasarana transportasi yang dapat dilakukan secara langsung oleh UMK-M atau bekerja sama dengan badan usaha.


Paragraf 10
Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan

Pasal 162

PB dan PB UMKU sektor kesehatan, obat, dan makanan terdiri atas subsektor:
a. kesehatan;
b. obat dan makanan; dan
c. pangan segar.


Pasal 163

(1) PB subsektor kesehatan meliputi kegiatan usaha:
a. pelayanan kesehatan;
b. kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan
c. pengendalian vektor dan binatang pembawa penyakit.
(2) PB UMKU subsektor kesehatan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. pelayanan kesehatan;
b. kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga; dan
c. kesehatan lingkungan.


Pasal 164

(1) PB UMKU subsektor obat dan makanan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. obat dan bahan obat;
b. obat bahan alam, suplemen kesehatan, obat kuasi, dan kosmetik; dan
c. pangan olahan.
(2) PB UMKU subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi usaha tertentu yang ditetapkan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerin tahan di bidang perekonomian dan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal.


Pasal 165

PB UMKU subsektor pangan segar meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. sarana penanganan pangan segar;
b. peredaran pangan segar; dan
c. jaminan keamanan pangan segar produk ekspor.


Paragraf 11
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 166

PB dan PB UMKU sektor pendidikan dan kebudayaan terdiri atas subsektor:
a. pendidikan; dan
b. kebudayaan.


Pasal 167

(1) Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan dapat dilakukan melalui PBBR sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) PBBR untuk satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan.
(3) Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan untuk lembaga pendidikan formal di KEK wajib dilakukan melalui PBBR sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini.
(4) Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria PBBR untuk satuan lembaga pendidikan formal di KEK diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan pendidikan menengah; atau
b. peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan rekomendasi dari kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.


Pasal 168

PB subsektor pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 huruf a meliputi pula PB atas kegiatan usaha penerbitan buku.


Pasal 169

(1) PB subsektor kebudayaan meliputi kegiatan usaha perfilman.
(2) PB UMKU subsektor kebudayaan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. pemberitahuan pembuatan film;
b. rekomendasi impor film; dan
c. tanda lulus sensor.


Paragraf 12
Sektor Pariwisata

Pasal 170

PB sektor pariwisata meliputi kegiatan usaha:
a. daya tarik wisata;
b. kawasan pariwisata;
c. jasa transportasi wisata;
d. jasa perjalanan wisata;
e. jasa makanan dan minuman;
f. penyediaan akomodasi;
g. penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi;
h. penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran;
i. jasa informasi wisata;
j. jasa konsultan pariwisata;
k. jasa pramuwisata;
l. wisata tirta; dan
m. spa.


Paragraf 13
Sektor Keagamaan

Pasal 171

PB sektor keagamaan meliputi kegiatan usaha:
a. penyelenggaraan ibadah haji khusus; dan
b. penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.


Paragraf 14
Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

Pasal 172

PB sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran terdiri atas subsektor:
a. pos;
b. telekomunikasi; dan
c. penyelenggaraan penyiaran.


Pasal 173

PB UMKU sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. penomoran telekomunikasi;
b. hak labuh sistem komunikasi kabel laut transmisi telekomunikasi internasional;
c. hak labuh satelit;
d. izin pita frekuensi radio;
e. izin stasiun radio bagi seluruh sektor usaha; dan
f. sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi bagi seluruh sektor usaha.


Paragraf  15
Sektor Pertahanan dan Keamanan

Pasal 174

PB dan PB UMKU pada sektor pertahanan dan keamanan terdiri atas subsektor:
a. industri pertahanan; dan
b. keamanan.


Pasal 175

PB subsektor industri pertahanan berupa kegiatan usaha aktivitas telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan dan keamanan.


Pasal 176
 
PB UMKU subsektor industri pertahanan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. penetapan sebagai industri pertahanan;
b. produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan;
c. kelaikan alat peralatan pertahanan dan keamanan;
d. pemasaran alat peralatan pertahanan dan keamanan;
e. penjualan, ekspor, dan transfer alat peralatan pertahanan dan keamanan;
f. pembelian dan impor alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan/ atau
g. industri bahan peledak.


Pasal 177

(1) PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berkaitan dengan industri pertahanan yang menjalankan kegiatan usaha:
a. industri alat utama;
b. industri komponen utama dan/ atau penunjang;
c. industri komponen dan/atau pendukung (perbekalan); dan
d. industri bahan baku,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang industri pertahanan.
(2) lndustri alat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
a. industri senjata dan amunisi;
b. industri pesawat terbang;
c. industri kendaraan perang;
d. industri kapal perang; dan
e. industri radar pertahanan.


Pasal 178

Dalam rangka pendirian badan usaha di bidang industri bahan peledak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 huruf g dan badan usaha di bidang industri alat utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf a diperlukan:
a. rekomendasi penanaman modal asing berupa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, dalam hal terdapat kepentingan strategis untuk pendirian badan hukum dengan modal asing melebihi 49% (empat puluh sembilan persen) yang bergerak di bidang industri alat utama;
b. rekomendasi pendirian pabrik senjata dan amunisi berupa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau pejabat yang ditunjuk untuk:
1. pendirian badan hukum dengan kepemilikan modal asing maksimal 49% (empat puluh sembilan persen);
2. pendirian badan hukum dengan kepemilikan dalam negeri; atau
3. perubahan kepemilikan saham dalam badan hukum dengan kepemilikan dalam negeri,
yang bergerak di bidang industri alat utama; dan/ atau
c. rekomendasi pendirian pabrik bahan baku bahan peledak, bahan peledak, atau bahan peledak aksesoris berupa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau pejabat yang ditunjuk dalam rangka pendirian badan hukum di bidang industri bahan peledak.


Pasal 179

Ketentuan mengenai pemberian penzman dan/ atau rekomendasi kegiatan ekspor dan impor alat peralatan pertahanan dan keamanan dan bahan baku bahan peledak serta bahan peledak aksesoris diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan setelah berkoordinasi dengan kementerian terkait.


Pasal 180

PB subsektor keamanan meliputi kegiatan usaha:
a. jasa konsultansi keamanan;
b. jasa penerapan peralatan keamanan;
c. jasa pelatihan keamanan;
d. jasa kawal angkut uang dan barang berharga;
e. jasa penyediaan tenaga pengamanan; dan
f. jasa penyediaan satwa keamanan (K9).


Paragraf 16
Sektor Ekonomi Kreatif

Pasal 181

PB sektor ekonomi kreatif meliputi kegiatan usaha ekonomi kreatif.


Paragraf 17
Sektor Informasi Geospasial

Pasal 182

PB sektor informasi geospasial meliputi kegiatan usaha:
a. perencanaan dan pengawasan penyelenggaraan informasi geospasial;
b. pelaksanaan akuisisi data geospasial berbasis metode terestris, metode fotogrametri dan pengindraan jauh, atau hidrografi; dan
c. pengolahan dan pengelolaan data dan informasi geospasial.


Paragraf 18
Sektor Ketenagakerjaan

Pasal 183

(1) PB sektor ketenagakerjaan meliputi kegiatan usaha:
a. pelatihan kerja;
b. alih daya;
c. penyeleksian dan penempatan tenaga kerja dalam negeri;
d. penempatan pekerja rumah tangga;
e. penempatan tenaga kerja daring (job portal);
f. penyeleksian dan penempatan pekerja m1gran Indonesia;
g. jasa fabrikasi, pemeliharaan, reparasi, dan instalasi teknik keselamatan dan kesehatan kerja;
h. jasa sertifikasi dengan lingkup kegiatan usaha lembaga audit sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja;
i. jasa pengujian laboratorium dengan lingkup kegiatan usaha pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja;
j. jasa inspeksi periodik dengan lingkup kegiatan usaha pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja;
k. jasa pembinaan dan konsultasi keselamatan dan kesehatan kerja; dan
l. sertifikasi profesi pihak ketiga.
(2)  PB UMKU sektor ketenagakerjaan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. pemeriksaan/pengujian kesehatan tenaga kerja dan/ atau pelayanan kesehatan kerja;
b. sertifikat layak keselamatan dan kesehatan kerja; dan
c. penyelenggaraan pemagangan di luar negeri.
 

Paragraf 19
Sektor Perkoperasian

Pasal 184

PB sektor perkoperasian meliputi kegiatan usaha:
a. simpan pinjam:
1. dari dan kepada anggota koperasi; dan/ atau
2. dari dan kepada koperasi lain, dan
b. aktivitas pemeringkatan koperasi.


Paragraf 20
Sektor Penanaman Modal

Pasal 185

(1) PB sektor penanaman modal meliputi kegiatan usaha yang belum atau tidak memiliki kementerian/lembaga sebagai pengampu.
(2) PB sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
a. kantor advokat;
b. kantor konsultan kekayaan intelektual;
c. kantor penerjemah atau interpreter;
d. perpustakaan dan arsip swasta;
e. aktivitas perusahaan holding;
f. pemakaman dan kegiatan yang berkaitan dengan itu; dan
g. aktivitas konsultasi manajemen lainnya.


Paragraf 21
Sektor Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

Pasal 186

(1) PB sektor  penyelenggaraan sistern dan transaksi elektronik meliputi kegiatan usaha:
a. aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things;
b. aktivitas penyediaan identitas digital;
c. aktivitas penyediaan sertifikat elektronik dan layanan yang menggunakan sertifikat elektronik;
d. aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial;
e. aktivitas pengembangan teknologi blockchain; dan
f. aktivitas penerbitan piranti lunak (software).
(2) PB UMKU sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
a. pendaftaran penyelenggara sistem elektronik lingkup privat, bagi seluruh sektor usaha; dan
b. klasifikasi produk gim.


Paragraf 22
Sektor Lingkungan Hidup

Pasal 187

PB sektor lingkungan hidup meliputi kegiatan usaha:
a. pengelolaan sampah, limbah, dan bahan berbahaya dan beracun; dan
b. pengelolaan air limbah.


BAB VI
LAYANAN SISTEM PERIZINAN BERUSAHA TERINTEGRASI SECARA ELEKTRONIK (ONLINE SINGLE SUBMISSION)

Bagian Kesatu
Umum

Paragraf 1
Umum

Pasal 188

(1) Pelaksanaan PBBR dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui Sistem OSS.
(2) Sistem OSS merupakan sistem elektronik yang terintegrasi dalam rangka pelaksanaan PBBR.
(3) Sistem OSS terdiri atas:
a. subsistem pelayanan informasi;
b. subsistem persyaratan dasar;
c. subsistem perizinan berusaha;
d. subsistem fasilitas Penanaman Modal;
e. subsistem kemitraan; dan
f. subsistem Pengawasan.
(4) Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan oleh:
a. kementerian/lembaga;
b. pemerintah provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota;
d. Administrator KEK;
e. Badan Pengusahaan KPBPB; dan
f. Badan Pengusahaan KPBPB; dan


Paragraf 2
Jenis Pelaku Usaha

Pasal 189

(1) Pemohon PB terdiri atas Pelaku Usaha:
a. orang perseorangan;
b. badan usaha;
c. kantor perwakilan; dan
d. badan usaha luar negeri.
(2) Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum.
(3) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
(4) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
a. orang perseorangan warga negara Indonesia;
b. orang perseorangan warga negara asing; atau
c. badan usaha yang merupakan perwakilan Pelaku Usaha dari luar negeri,
dengan persetujuan pendirian kantor di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(5) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan badan usaha asing yang didirikan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu.
(6) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. perseroan terbatas;
b. persekutuan komanditer (commanditaire vennotschap);
c. persekutuan firma (venootschap onder firma);
d. persekutuan perdata;
e. persekutuan perdata;
f. perusahaan umum;
g. perusahaan umum daerah;
h. badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama;
i. lembaga penyiaran;
j. badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara; dan
k. badan hukum lainnya.
(7) Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. kantor perwakilan perusahaan perdagangan asing;
b. kantor perwakilan perusahaan asing; atau
c. kantor perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing.
(8) Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dapat melakukan kegiatan usaha di Indonesia dapat berupa:
a. pemberi waralaba berasal dari luar negeri;
b. pedagang berjangka asing;
c. penyelenggara sistem elektronik lingkup privat asing; dan
d. bentuk usaha tetap.


Pasal 190

Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf a merupakan perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perseroan terbatas.


Pasal 191

(1) Persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf b merupakan persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire uennootschap) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian, perubahan anggaran dasar, serta pembubaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


Pasal 192

(1) Persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf c merupakan persekutuan firma ( venootschap onder firma) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian, perubahan anggaran dasar, serta pembubaran persekutuan firma (venootschap onder firma) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
 

Pasal 193

(1) Persekutuan perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf d merupakan persekutuan perdata yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat.
(2) Pendaftaran persekutuan perdata kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian, perubahan anggaran dasar, serta pembubaran persekutuan perdata oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


Pasal 194

(1) Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf e merupakan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perkoperasian yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat.
(2) Pengesahan koperasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengesahan akta pendirian koperasi, perubahan anggaran dasar koperasi, serta pembubaran koperasi oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.


Pasal 195

Perusahaan umurn sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf f merupakan perusahaan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai badan usaha milik negara.


Pasal 196

Perusahaan umum daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf g merupakan perusahaan umum milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai pemerintahan daerah.


Pasal 197

Sadan usaha milik desa/ badan usaha milik desa bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf h merupakan badan usaha milik desa/badan usaha milik desa bersama sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai desa.


Pasal 198

Lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf i merupakan lembaga penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai penyiaran.


Pasal 199

Badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf j merupakan badan hukum yang didirikan oleh negara dengan undang-undang.


Pasal 200

Badan hukum lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf k merupakan badan hukum yang diperbolehkan untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 3
Hak Akses

Pasal 201

(1) Hak akses bagi kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e diberikan kepada pengelola hak akses yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB.
(2) Pengelola hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan hak akses turunan sesuai kewenangan dan kebutuhan yang diperlukan.
(3) Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf f yang diberikan hak akses meliputi:
a. orang perseorangan; dan
b. direksi/pengurus/penanggung jawab atau sebutan lain pada badan usaha.


Pasal 202

Lembaga OSS melakukan evaluasi terhadap pemberian hak akses dan hak akses turunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201.


Pasal 203

(1) Hak akses kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e paling sedikit diberikan untuk:
a. melakukan verifikasi teknis dan notifikasi pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU;
b.  melakukan verifikasi perubahan atau pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU;
c. pelaksanaan Pengawasan;
d. tindak lanjut hasil Pengawasan PB;
e. penilaian kepatuhan pelaksanaan PB;
f. tindak lanjut pengaduan Pelaku Usaha;
g. tindakan administratif atas dasar permohonan Pelaku Usaha.
(2) Hak akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf f digunakan untuk:
a. mengajukan permohonan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU termasuk perubahan dan pencabutan;
b. menyampaikan laporan berkala dari Pelaku Usaha;
c. menyampaikan pengaduan;
d. mengajukan permohonan fasilitas Penanaman Modal;
e. tindak lanjut hasil pelaksanaan Pengawasan;
f. mengakses profil Pelaku Usaha; dan/atau
(3) Dalam hal Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha pembangunan kawasan industri, hak akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf f digunakan untuk melakukan notifikasi pemenuhan persyaratan dasar lingkungan kepada Pelaku Usaha di dalam kawasan industri.


Pasal 204

Permohonan hak akses melalui Sistem OSS dilakukan oleh Pelaku Usaha yang berbentuk:
a. orang perseorangan, dengan mengisi data nomor induk kependudukan;
b. badan usaha, dengan mengisi data nomor pengesahan atau nomor pendaftaran badan usaha;
c. perusahaan umum, perusahaan umum daerah, lembaga penyiaran, dan badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, dengan mengisi data dasar hukum pembentukan;
d. persyarikatan atau persekutuan, dengan mengisi data dasar hukum pendirian; dan
e. kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri, dengan mengisi data nomor induk kependudukan kepala kantor perwakilan/ penanggung jawab yang berkewarganegaraan Indonesia atau nomor paspor kepala kantor perwakilan/ penanggung jawab yang berkewarganegaraan asing.


Pasal 205

(1)  Pelaku Usaha dapat melakukan perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (3) secara mandiri dalam Sistem OSS.
(2) Perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. nama penanggung jawab;
b. nomor induk kependudukan atau nomor paspor penanggung jawab;
c. nomor telepon penanggung jawab;
d. surat elektronik penanggung jawab; dan/ atau
e. kata sandi.
(3) Perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah diverifikasi Sistem OSS dengan mempertimbangkan keamanan data.


Paragraf 4
Nomor Induk Berusaha

Pasal 206

(1) NIB wajib dimiliki oleh setiap Pelaku Usaha.
(2) Setiap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) NIB.
(3) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS.
(4) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan identitas bagi Pelaku Usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha.
(5) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai:
a. angka pengenal importir sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kebijakan dan pengaturan impor;
b. hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
c. pendaftaran kepesertaan Pelaku Usaha untukjaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan; dan
d. wajib lapor ketenagakerjaan untuk periode pertama Pelaku Usaha.
(6) Pelaku Usaha yang memerlukan angka pengenal importir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a hanya dapat memilih:
a. angka pengenal importir umum untuk kegiatan impor barang yang diperdagangkan; atau
b. angka pengenal importir produsen untuk kegiatan impor barang yang dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/ atau bahan untuk mendukung proses produksi.
(7) Hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dapat digunakan oleh:
a. Pelaku Usaha yang merupakan badan usaha, untuk melakukan kegiatan impor dan/ atau ekspor; atau
b. Pelaku Usaha yang merupakan orang perseorangan, hanya dapat melakukan kegiatan ekspor.
(8) NIB berbentuk angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan tanda tangan elektronik.
(9) NIB berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 207

(1) NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 mencakup data paling sedikit:
a. profil;
b. permodalan usaha;
c. nomor pokok wajib pajak;
d. KBLI; dan
e. lokasi usaha.
(2) Untuk mendapatkan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha orang perseorangan mengisi data pada Sistem OSS.
(3) Data profil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, bagi Pelaku Usaha orang perseorangan merupakan nomor induk kependudukan yang terintegrasi dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri.
(4) Bagi Pelaku Usaha yang merupakan badan usaha, data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, sesuai dengan integrasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang hukum.
(5) Terhadap data nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Sistem OSS melakukan validasi  sesuai  dengan  integrasi  dengan  sistem  di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(6) Bagi Pelaku Usaha orang perseorangan yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak, dapat mengajukan permohonan nomor pokok wajib pajak melalui Sistem OSS.
(7) Data lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sesuai dengan integrasi atau validasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan.
(8) Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia secara daring, Pelaku Usaha melakukan pengisian pada Sistem OSS.
(9) Bagi Pelaku Usaha kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengisi data paling sedikit:
a. nama perusahaan di luar negeri yang menunjuk;
b. alamat perusahaan di luar negeri yang menunjuk; dan
c. data kantor perwakilan di Indonesia.


Pasal 208

(1) Terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1), Sistem OSS melakukan penapisan kesesuaian dengan ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya, termasuk:
a. bidang usaha yang diklasifikasikan sebagai bidang usaha prioritas;
b. alokasi bidang usaha untuk UMK-M dan koperasi;
c. kewajiban kemitraan dengan UMK dan  koperasi;
d. ketentuan bidang usaha dengan persyaratan tertentu; dan
e. ketentuan bidang usaha yang tertutup untuk Penanaman Modal.
(2) Penapisan kesesuaian dengan ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menentukan insentif dan/atau fasilitas Penanaman Modal yang dapat diperoleh oleh Pelaku Usaha.
(3) Terhadap data yang telah dilakukan penapisan, Sistem OSS mengalirkan data kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.


Paragraf 5
Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pasal 209

(1) Dalam hal menggunakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha menyampaikan rencana jumlah penggunaan tenaga kerja asing melalui sistem elektronik yang diselenggarakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan.
(2) Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan meneruskan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing kepada Lembaga OSS dan kementerian yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan imigrasi.


Paragraf 6
Data Pelaku Usaha dan Data Usaha

Pasal 210

(1) Pelaku Usaha harus melakukan klarifikasi kegiatan usaha berupa:
a. kegiatan usaha utama;
b. kegiatan usaha pendukung; dan/ atau
c. kantor cabang administrasi.
(2) Kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan usaha sebagaimana yang tercantum pada legalitas/ akta Pelaku Usaha dan merupakan sumber pendapatan bagi Pelaku Usaha.
(3) Kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas satu atau lebih kegiatan usaha yang:
a. tergolong sebagai pendukung dari kegiatan usaha utama; 
b. dapat merupakan sumber pendapatan bagi Pelaku Usaha;dan
c. dapat dilakukan dan diselesaikan terlebih dahulu sebelum pelaksanaan kegiatan usaha utama.
(4) Kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat berlainan dan bersifat kegiatan penunJang administratif.


Pasal 211

Pelaku Usaha yang telah mengisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) wajib melanjutkan proses di Sistem OSS untuk mendapatkan PBBR dengan memasukkan data kegiatan usaha utama untuk masing-masing kode KBLI 5 (lima) digit dan lokasi usaha paling sedikit memuat:
a. jenis produk yang dihasilkan;
b. kapasitas produk;
c. jumlah tenaga kerja; dan
d. rencana nilai investasi.


Pasal 212

(1) Untuk Penanaman Modal Asing, Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan ketentuan atas data usaha berupa rencana nilai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 huruf d yang diajukan oleh Pelaku Usaha meliputi:
a. minimum investasi; dan
b. ketentuan permodalan.
(2) Ketentuan minimum investasi bagi Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi usaha harus lebih besar dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk kegiatan usaha:
a. perdagangan besar per 4 (empat) digit awal KBLI, total investasinya lebih besar dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan;
b. jasa makanan dan minuman sepanjang terbuka untuk Penanaman Modal Asing per 2 (dua) digit awal KBLI per 1 (satu) titik lokasi usaha, total investasinya lebih besar dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan;
c. konstruksi sepanjang terbuka untuk Penanaman Modal Asing per 4 (empat) digit awal KBLI, total investasinya lebih besar dari Rp l0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan dalam satu kegiatan; atau
d. industri yang menghasilkan jenis produk dengan KBLI 5 (lima) digit yang berbeda dalam 1 (satu) lini produksi, total investasinya lebih besar dari Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) di luar tanah dan bangunan.


Pasal 213

(1) Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (3), Pelaku Usaha yang telah mengisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) wajib melanjutkan proses di Sistem OSS untuk mendapatkan PBBR dengan memasukkan data kegiatan usaha pendukung untuk masing-masing kode KBLI 5 (lima) digit dan lokasi usaha paling sedikit memuat:
a. jenis produk yang dihasilkan;
b. kapasitas produk;
c. jumlah tenaga kerja; dan
d. rencana nilai investasi.
(2) Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (3), Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pengidentifikasian PBBR.
(3) Untuk Penanaman Modal Asing, kegiatan usaha pendukung dikecualikan dari proses pemeriksaan ketentuan nilai permodalan dan minimum investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2) serta kewajiban pencantuman KBLI dalam maksud dan tujuan pada legalitas Pelaku Usaha.


Pasal 214

(1) Pelaku Usaha mendaftarkan kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (4) pada Sistem OSS dengan melengkapi data paling sedikit:
a. alamat kantor cabang administrasi;
b. nomor pokok wajib pajak kantor cabang administrasi atau nomor identitas tempat kegiatan usaha; dan
c. penanggung jawab kantor cabang administrasi.
(2) Dalam hal kantor cabang administrasi lebih dari 1 (satu) lokasi, Pelaku Usaha harus melengkapi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap lokasi kantor cabang administrasi.
(3) Pendaftaran kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui Sistem OSS sebagai lampiran NIB.


Pasal 215

(1) Dalam hal 1 (satu) kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2) merupakan:
a. kegiatan dalam 1 (satu) lini produksi yang menghasilkan lebih dari 1 (satu) produk dengan kode KBLI 5 (lima) digit yang berbeda di lokasi yang sama; atau
b. kegiatan yang menghasilkan lebih dari 1 (satu) jasa dengan kode KBLI 5 (lima) digit yang berbeda di lokasi yang sama,
kelengkapan data dapat digabung menjadi satu.
(2) Kelengkapan data yang dapat digabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. kebutuhan luasan lahan;
b. kebutuhan bangunan gedung;
c. mesin dan peralatan; dan
d. nilai investasi.


Bagian Kedua
Subsistem Pelayanan Informasi

Pasal 216

(1) Subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf a menyediakan informasi dan layanan pusat bantuan dalam memperoleh PBBR serta informasi lain.
(2) Penyediaan informasi dan layanan pusat bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. KBLI berdasarkan tingkat Risiko;
b. RTR;
c. ketentuan persyaratan Penanaman Modal;
d. persyaratan dan/atau kewajiban PB, jangka waktu penerbitan, standar pelaksanaan kegiatan usaha dan penunjang kegiatan usaha, dan ketentuan lain di dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria seluruh sektor bidang usaha, pedoman dan tata cara pengajuan NIB, Sertifikat Standar, dan Izin;
e. persyaratan dasar;
f. ketentuan insentif dan fasilitas Penanaman Modal;
g. Pengawasan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU serta kewajiban pelaporan;
h. panduan pengguna Sistem OSS, kanal kontak, dan hal-hal yang sermg ditanya (frequently asked questions);
i. data statistik realisasi investasi; dan
j. informasi lain yang ditetapkan dengan keputusan Lembaga OSS.
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses oleh masyarakat umum tanpa menggunakan hak akses.


Bagian Ketiga
Subsistem Persyaratan Dasar

Pasal 217

(1) Subsistem persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf b dapat diakses dengan menggunakan hak akses.
(2) Subsistem persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. KKPR;
b. PL; dan/atau
c. PBG serta SLF.


Bagian Keempat
Subsistem Perizinan Berusaha

Paragraf 1
Umum

Pasal 218

(1) Subsistem perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf c dapat diakses dengan menggunakan hak akses.
(2) Subsistem perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
a. PB:
1. Risiko rendah berupa NIB;
2. Risiko menengah terdiri atas:
a) NIB; dan
b) Sertifikat Standar.
3. Risiko tinggi terdiri atas:
a) NIB; dan
b) Izin.
b. PB UMKU.
(3) Subsistem perizinan berusaha diakses menggunakan hak akses oleh:
a. Pelaku Usaha;
b. Lembaga OSS;
c. kementerian/lembaga;
d. DPMPTSP provinsi;
e.  DPMPTSP kabupaten/kota;
f. Administrator KEK; dan
g. Badan Pengusahaan KPBPB.
(4) Kepala Lembaga OSS dapat memberikan hak akses terbatas selain kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3).


Paragraf 2
Jenis Perizinan Berusaha dan Perizinan Berusaha
Untuk Menunjang Kegiatan Usaha

Pasal 219

(1) PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) dapat dilakukan perluasan dan/ atau perubahan dalam rangka pengembangan usaha.
(2) Perluasan dan/ atau perubahan dalam rangka pengembangan  usaha  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) meliputi penambahan:
a. kapasitas produksi/ jasa;
b. lokasi usaha; dan/ atau
c. kegiatan usaha.
(3) PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (11) dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) dapat dilakukan perpanjangan masa berlakunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pelaku Usaha yang telah memiliki PB dan/atau PB UMKU dan telah melaksanakan kegiatan usaha, proses perpanjangan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak perlu didahului dengan pengajuan persyaratan dasar baru.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan, penerbitan, perluasan, perubahan, dan/atau perpanjangan PB dan/atau PB UMKU diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.


Paragraf 3
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Rendah

Pasal 220

(1) Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko rendah, NIB secara otomatis terbit melalui Sistem OSS setelah Pelaku Usaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207.
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai legalitas untuk melaksanakan kegiatan berusaha sekaligus menjadi SPPL.
 

Paragraf 4
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Rendah

Pasal 221

(1) Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah rendah, setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1),  Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar.
(3) Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di  Sistem  OSS untuk  memperoleh NIB dan Sertifikat Standar.
(4) Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (1) memerlukan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/jasa, Pelaku Usaha mengajukan permohonan PB UMKU sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 5
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Menengah Tinggi

Pasal 222

(1) Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah tinggi, setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha melalui Sistem OSS.
(2) Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi.
(3) Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat   Standar  yang  mencantumkan  tanda  belum terverifikasi.
(4) Setelah memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Pelaku Usaha melakukan  pemenuhan  standar  pelaksanaan  kegiatan usaha sesuai jangka waktu berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria melalui Sistem OSS.
(5) Pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi.
(6) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan kementerian / lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(7) Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi ke Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan.
(8) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 223

(1) Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (7) dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah diverifikasi.
(2) Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 224

(1) Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (7) dinyatakan Pelaku Usaha tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(2) Pelaku Usaha menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS untuk dilakukan verifikasi kembali setelah melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar.
(3) Ketentuan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), dan Pasal 223 berlaku secara mutatis mutandis dalam pelaksanaan verifikasi kembali.
(4) Dalam hal berdasarkan verifikasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pelaku Usaha tetap tidak memenuhi persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria, Sistem OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi.


Pasal 225

(1) Dalam hal kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provms1, orgamsas1 perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS secara otomatis mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah terverifikasi.
(2) Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1).


Pasal 226

Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (1) memerlukan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/ atau standar produk/ jasa, Pelaku Usaha mengajukan permohonan PB UMKU sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 6
Penerbitan Perizinan Berusaha Risiko Tinggi

Pasal 227

(1) Sebelum melakukan kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi, Pelaku Usaha wajib memiliki NIB yang diterbitkan melalui Sistem OSS.
(2) Setelah memiliki NIB, Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Izin sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebelum melaksanakan kegiatan operasional dan/ atau komersial.
(3) Persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pula Amdal bagi kegiatan usaha yang wajib Amdal.
(4) Pemenuhan persyaratan lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(5) Pemenuhan persyaratan lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing untuk dilakukan verifikasi.
(6) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan oleh kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria.
(7) Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi kepada Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan.
(8) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, dan/ atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 228

Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (7) Pelaku Usaha dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS menerbitkan lzin kepada Pelaku Usaha.


Pasal 229

Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 ayat (7) Pelaku Usaha dinyatakan tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk memenuhi kelengkapan pemenuhan persyaratan lzin melalui Sistem OSS.


Pasal 230

Dalam hal kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/ kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS menerbitkan Izin.


Pasal 231

Dalam hal kegiatan usaha tingkat Risiko tinggi memerlukan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/ atau standar produk/jasa, Pelaku Usaha mengajukan permohonan PB UMKU sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


Paragraf 7
Percepatan Penerbitan Izin

Pasal 232

(1) Bagi kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi yang:
a. berlokasi di KEK, KPBPB, atau kawasan industri; dan/atau
b. termasuk dalam proyek strategis nasional,
kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing langsung menerbitkan PB dan PB UMKU tertentu tanpa terlebih dahulu dilakukan pemenuhan persyaratan oleh Pelaku Usaha.
(2) Ketentuan pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 berlaku secara mutatis mutandis bagi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali yang termasuk dalam proyek strategis nasional.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing, membatalkan Izin yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS.


Paragraf 8
Penerbitan dan Kemudahan Perizinan Berusaha dan/ atau Perizinan Berusaha
untuk Menunjang Kegiatan Usaha bagi Usaha Mikro Kecil

Pasal 233

(1) UMK diberikan kemudahan penzman berusaha melalui perizinan tunggal.
(2) Kriteria UMK mengikuti ketentuan peraturan perundang­ undangan mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M.
 

Pasal 234

(1) Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh UMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 memiliki Risiko rendah, pelaku UMK mendapatkan NIB melalui Sistem OSS, sebagai identitas dan legalitas usaha.
(2) NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:
a. standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; dan/ atau
b. pernyataan jaminan halal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal.
(3) Dalam hal kegiatan usaha memiliki Risiko menengah atau tinggi, selain NIB pelaku UMK wajib memiliki Sertifikat Standar dan/ atau Izin.
(4) Pelaku  UMK  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3) menyampaikan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Standar dan/ atau Izin melalui Sistem OSS.
(5) Sistem OSS meneruskan permohonan pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB.
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221, Pasal 222, dan Pasal 227 berlaku secara mutatis mutandis untuk pemberian Sertifikat Standar dan/ atau Izin bagi pelaku UMK.


Bagian Kelima
Subsistem Fasilitas Penanaman Modal

Pasal 235

(1) Subsistem fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf d dapat diakses dengan menggunakan hak akses.
(2) Subsistem fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. pengajuan pembebasan bea masuk atas impor mesin serta barang dan bahan untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka Penanaman Modal;
b. pengajuan pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka pembangunan atau pengembangan industri pembangkitan listrik untuk kepentingan umum;
c. pengajuan pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang dalam rangka kontrak karya atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara;
d. pengajuan fasilitas pengurangan pajak penghasilan badan;
e. pengajuan fasilitas pajak penghasilan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/ atau di daerah-daerah tertentu;
f. pengajuan pengurangan penghasilan bruto atas penyelenggaraan kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran dalam rangka pembinaan dan pengembangan sumber daya manus1a berbasis kompetensi tertentu;
g. pengajuan pengurangan penghasilan bruto atas kegiatan penelitian dan pengembangan tertentu di Indonesia; dan/ atau
h. fasilitas pengurangan penghasilan neto atas Penanaman Modal baru atau perluasan usaha pada bidang usaha tertentu yang merupakan industri padat karya.


Bagian Keenam
Subsistem Kemitraan

Pasal 236

(1) Subsistem kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf e dapat diakses dengan menggunakan hak akses.
(2) Subsistem kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. kemitraan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha Penanaman Modal;
b. kemitraan lain yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. kemitraan yang bersifat sukarela yang dilakukan oleh Pelaku Usaha; dan
d. monitoring dan evaluasi atas implementasi komitmen kemitraan.


Bagian Ketujuh
Subsistem Pengawasan

Pasal 237

(1) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf f dapat diakses dengan menggunakan hak akses.
(2) Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
a. laporan berkala dari Pelaku Usaha;
b. perencanaan inspeksi lapangan tahunan;
c. perangkat kerja Pengawasan;
d. penilaian kepatuhan pelaksanaan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU;
e. pengaduan terhadap Pelaku Usaha dan pelaksana Pengawasan serta tindak lanjutnya;
f. tindakan administratif berupa pencabutan atas sebagian atau seluruh persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU; dan
g. pembinaan dan sanksi administratif.
(3) Perangkat kerja Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
a. data, profil, dan informasi Pelaku Usaha yang terdapat pada Sistem OSS;
b. surat tugas pelaksana inspeksi lapangan;
c. surat pemberitahuan kunjungan;
d. berita acara pemeriksaan; dan
e. perangkat kerja lainnya yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan Pengawasan.


BAB VII
PENGAWASAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 238

(1) Pengawasan PBBR dilaksanakan oleh:
a. Pemerintah Pusat;
b. Pemerintah Daerah;
c. Administrator KEK; dan/atau
d. Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
a. memastikan kepatuhan pemenuhan ketentuan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU;
b. mengumpulkan data, bukti, dan/ atau laporan terjadinya bahaya terhadap keselamatan, kesehatan, lingkungan hidup, dan/ atau bahaya lainnya yang dapat ditimbulkan dari pelaksanaan kegiatan usaha; dan
c. memastikan perkembangan realisasi dan pemenuhan kewajiban Penanaman Modal.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. Pengawasan rutin; dan
b. Pengawasan insidental.
(4) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan atas pelaksanaan PBBR.


Bagian Kedua
Pengawasan Rutin

Paragraf 1
Umum

Pasal 239

Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a dilakukan melalui:
a. pemeriksaan laporan Pelaku Usaha; dan/atau
b. inspeksi lapangan rutin.


Paragraf 2
Pemeriksaan Laporan Pelaku Usaha

Pasal 240

(1) Pemeriksaan laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 huruf a dilakukan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU; dan
b. perkembangan realisasi dan pemenuhan kewajiban Penanaman Modal.
(3) Kepatuhan pemenuhan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(4) Laporan kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing­-masing.
(5) Perkembangan realisasi dan pemenuhan kewajiban Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan dalam laporan kegiatan Penanaman Modal melalui Sistem OSS.
(6) Laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat:
a. realisasi Penanaman Modal;
b. realisasi tenaga kerja;
c. realisasi produksi;
d. kewajiban Penanaman Modal; dan
e. kendala yang dihadapi penanam modal.


Pasal 241

(1) Atas penyampaian laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing mempunyai tugas:
a. melakukan reviu; dan
b. menyusun laporan hasil reviu.
(2) Hasil reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penginputan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB ke Sistem OSS dalam rangka pemutakhiran profil Pelaku Usaha.
(3) Profil Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kategori:
a. sangat baik;
b. baik;
c. kurang baik; atau
d. tidak baik.
 

Pasal 242

(1) Tindak lanjut hasil reviu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, meliputi:
a. pembinaan/pendampingan;
b. pengenaan sanksi administratif; dan/atau
c. inspeksi lapangan.
(2) Pembinaan/pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka meningkatkan kualitas kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha dengan tingkat kepatuhan kurang baik dan tidak baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) huruf c dan huruf d.


Paragraf 3
Inspeksi Lapangan Rutin

Pasal 243

(1) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 huruf b dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi.
(2) Integrasi dan koordinasi inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem OSS.
(3) Inspeksi lapangan rutin secara terkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB.
(4) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahap:
a. perencanaan inspeksi lapangan rutin;
b. pelaksanaan inspeksi lapangan rutin;
c. penilaian kepatuhan; dan
d. penetapan tindak lanjut hasil inspeksi lapangan rutin.
(5) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk kunjungan fisik dan/ atau virtual.


Pasal 244

(1) Inspeksi lapangan rutin dilakukan oleh koordinator dan pelaksana.
(2) Koordinator pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal, atas pelaksanaan penerbitan PB yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat;
b. DPMPTSP provinsi, atas pelaksanaan penerbitan PB yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi;
c. DPMPTSP kabupaten/kota, atas pelaksanaan penerbitan PB yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota;
d. Administrator KEK, atas pelaksanaan penerbitan PB yang menjadi kewenangan Administrator KEK; dan
e. Sadan Pengusahaan KPBPB, atas pelaksanaan penerbitan PB yang menjadi kewenangan Badan Pengusahaan KPBPB.
(3) Pelaksana inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
a. kementerian/lembaga pengampu untuk persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan lintas provinsi;
b. organisasi perangkat daerah teknis pengampu untuk persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU yang menjadi kewenangan pemerintah provms1 dan lintas kabupaten/kota;
c. organisasi perangkat daerah teknis pengampu untuk persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU yang menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota;
d. Administrator KEK pengampu untuk persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU yang menjadi kewenangan Administrator KEK; dan
e. Badan Pengusahaan KPBPB pengampu untuk persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU yang menjadi kewenangan Badan Pengusahaan KPBPB.
(4) Tugas koordinator inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menetapkan daftar kegiatan usaha yang akan dilakukan inspeksi lapangan rutin dalam periode 1 (satu) tahun;
b. menetapkan jadwal pelaksanaan inspeksi lapangan rutin;
c. mengoordinasikan pelaksanaan inspeksi lapangan rutin;
d. melakukan penilaian kepatuhan inspeksi lapangan rutin; dan
e. menindaklanjuti hasil inspeksi lapangan rutin.
(5) Pelaksana inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengampu PB memiliki tugas untuk:
a. mengusulkan kegiatan usaha yang akan dilakukan inspeksi lapangan rutin untuk 1 (satu) tahun;
b. mengusulkan jadwal pelaksanaan yang akan dilakukan inspeksi lapangan rutin ke dalam Sistem OSS;
c. mengusulkan personel sebagai pelaksana inspeksi lapangan rutin ke dalam Sistem OSS;
d. melakukan penilaian kepatuhan; dan
e. menindaklanjuti hasil inspeksi lapangan rutin.
(6) Pelaksana inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengampu persyaratan dasar dan PB UMKU memiliki tugas untuk:
a. mengusulkan kegiatan usaha yang akan dilakukan inspeksi lapangan rutin kepada kementerian/lembaga pengampu PB;
b. mengusulkan personel sebagai pelaksana inspeksi lapangan rutin;
c. melakukan penilaian kepatuhan; dan
d. menindaklanjuti hasil inspeksi lapangan rutin.
(7) Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan inspeksi lapangan rutin kepada Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB.
(8) Dalam hal Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB tidak dapat melakukan inspeksi lapangan rutin, Pemerintah Pusat dapat mengambil alih inspeksi lapangan rutin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 4
Perencanaan Inspeksi Lapangan Rutin

Pasal 245

(1) Perencanaan inspeksi lapangan rutin mencakup penyusunan:
a. jadwal pelaksanaan inspeksi lapangan rutin;
b. sumber daya manusia pelaksana inspeksi lapangan rutin; dan
c. anggaran pelaksanaan inspeksi lapangan rutin.
(2) Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
a. hasil reviu atas laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241; dan/ atau
b. data dan informasi kegiatan usaha.
(3) Anggaran pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibebankan pada masing-masing kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­-masing.


Paragraf 5
Pelaksanaan Inspeksi Lapangan Rutin

Pasal 246

(1) Kementerian/lembaga menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai pedoman pelaksanaan inspeksi lapangan rutin yang memuat bobot kualitatif dan penilaian kepatuhan Pelaku Usaha.
(2) Pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pemeriksaan:
a. pemenuhan kepatuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU; dan
b. perkembangan realisasi dan pemenuhan kewajiban Penanaman Modal.
(3) Pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang memuat:
a. hasil penilaian kepatuhan Pelaku Usaha; dan
b. tindak lanjut hasil inspeksi lapangan rutin.
(4) Berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani bersama dengan Pelaku Usaha secara elektronik dalam Sistem OSS.
(5) Dalam hal Pelaku Usaha menolak menandatangani berita acara pemeriksaan, berita acara mencantumkan alasan penolakan Pelaku Usaha.
(6) Dalam hal berdasarkan hasil inspeksi lapangan rutin ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah penandatanganan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Pasal 247

(1) Dalam hal inspeksi lapangan rutin memerlukan kompetensi khusus tertentu, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama atau menugaskan lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagai pelaksana inspeksi lapangan rutin dan dicantumkan ke dalam daftar usulan personel pelaksana inspeksi lapangan rutin.
(2) Pelaksanaan inspeksi lapangan rutin oleh lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang memuat:
a. hasil penilaian kepatuhan Pelaku Usaha; dan
b. tindak lanjut hasil inspeksi lapangan rutin.
(3) Berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani bersama dengan Pelaku Usaha.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha menolak menandatangani berita acara pemeriksaan, berita acara mencantumkan alasan penolakan Pelaku Usaha.
(5) Hasil inspeksi lapangan rutin oleh lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB yang menugaskan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari sejak penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(6) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penginputan laporan hasil inspeksi lapangan rutin ke Sistem OSS paling lama 3 (tiga) Hari, sejak diterimanya laporan dari lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Kernen terian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalamjangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah menerima laporan lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 248

Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB dilarang melakukan inspeksi lapangan rutin dalam rangka pengawasan rutin di luar perencanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 ayat (1).


Paragraf 6
Penilaian Kepatuhan Inspeksi Lapangan Rutin

Pasal 249

(1) Berdasarkan hasil inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243, Sistem OSS melakukan pengolahan data penilaian kepatuhan Pelaku Usaha guna menentukan profil Pelaku Usaha dengan kategori:
a. sangat baik;
b. baik;
c. kurang baik; atau
d. tidak baik.
(2) Profil Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses melalui Sistern OSS oleh Pelaku Usaha yang bersangkutan.


Paragraf 7
Tindak Lanjut Inspeksi Lapangan Rutin

Pasal 250

(1) Tindak lanjut hasil inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (3) huruf b, meliputi:
a. pembinaan/pendampingan; dan/ atau
b. pengenaan sanksi administratif.
(2) Pembinaan/pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka meningkatkan kualitas kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha dengan tingkat kepatuhan kurang baik dan tidak baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) huruf c dan huruf d.
 

Bagian Ketiga
Pengawasan Insidental

Paragraf 1
Umum

Pasal 251

(1) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf b merupakan Pengawasan yang dilakukan pada waktu tertentu.
(2) Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan:
a. adanya pengaduan masyarakat;
b. adanya pengaduan dan/atau kebutuhan dari Pelaku Usaha; dan/atau
c. adanya indikasi Pelaku Usaha melakukan kegiatan tidak sesuai dengan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU.
(3) Pengawasan insidental dilakukan melalui inspeksi lapangan insidental.
(4) Inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan melalui Sistem OSS.


Paragraf 2
Pelaksanaan Inspeksi Lapangan Insidental

Pasal 252

(1) Inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dapat dilaksanakan secara terkoordinasi atau mandiri oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­-masing.
(2) Ketentuan mengenai:
a. pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); dan
b. lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 247, berlaku secara mutatis mutandis terhadap pelaksanaan inspeksi lapangan insidental.


Paragraf 3
Penilaian Kepatuhan Inspeksi Lapangan Insidental

Pasal 253

Ketentuan mengenai penilaian kepatuhan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 berlaku secara mutatis mutandis terhadap penilaian kepatuhan inspeksi lapangan insidental.


Paragraf 4
Tindak lanjut Inspeksi Lapangan Insidental

Pasal 254

Ketentuan mengenai tindak lanjut inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250 berlaku secara mutatis mutandis terhadap tindak lanjut inspeksi lapangan insidental.


Bagian Keempat
Kemudahan Pengawasan Perizinan Berusaha Untuk Usaha Mikro dan Kecil

Pasal 255

(1) Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan Pengawasan kegiatan usaha kepada pelaku UMK.
(2) Kemudahan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. laporan kegiatan Penanaman Modal disampaikan dengan ketentuan:
1. tidak diwajibkan bagi Pelaku Usaha mikro; dan
2. dilakukan setiap 6 (enam) bulan dalam 1 (satu) tahun laporan bagi Pelaku Usaha kecil.
b. Pengawasan rutin PBBR untuk pelaku UMK dilakukan melalui pembinaan, pendampingan, atau penyuluhan terkait kegiatan usaha; dan
c. dalam hal berdasarkan hasil penilaian atas Pengawasan rutin yang dilakukan sebelumnya terhadap standar dan kewajiban, pelaku UMK dinilai patuh, tidak perlu dilakukan inspeksi lapangan.


Bagian Kelima
Pencabutan Persyaratan Dasar, PB, dan  PB UMKU

Pasal 256

(1) Pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU dilakukan dalam hal terdapat:
a. permohonan Pelaku Usaha;
b. permohonan pembubaran badan usaha;
c. Pelaku Usaha melakukan pelanggaran ketentuan peraturan perundang-undangan terkait PBBR;
d. putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap; dan/ atau
e. berakhirnya hak atas tanah atau alokasi tanah di atas Hak Pengelolaan.
(2) Permohonan pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS.
(3) Pencabutan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB melalui Sistem OSS sebagai tindak lanjut hasil pengawasan.
(4) Pencabutan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh Lembaga OSS berdasarkan surat, keterangan, atau informasi tertulis yang telah berkekuatan hukum tetap dari lembaga peradilan.
(5) Pencabutan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan oleh Lembaga ass berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas
(6) Keputusan  pencabutan  persyaratan  dasar,  PB, dan/ atau PB UMKU diterbitkan oleh Lembaga OSS.
(7) Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kewenangan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.


Bagian Keenam
Integrasi Mekanisme Pengawasan antara Jaminan Produk Halal dengan
Perizinan Berusaha Berbasis Risiko

Pasal 257

(1) Pengawasan terhadap PBBR dapat dilakukan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan penyelenggaraan jaminan produk halal.
(2) Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk integrasi antara sistem elektronik terintegrasi layanan penyelenggaraan jaminan  produk halal dengan Sistem OSS.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengawasan terhadap PBBR secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan penyelenggaraan jaminan produk halal diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal setelah berkoordinasi dengan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal.
 

Bagian Ketujuh
Partisipasi Masyarakat dan Pelaku Usaha

Pasal 258

(1) Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pengawasan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. melakukan pemantauan terkait penyelenggaraan kegiatan usaha; dan
b. menyampaikan pengaduan masyarakat atas penyelenggaraan kegiatan usaha.
(3) Penyampaian pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan secara:
a. langsung kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan/ atau
b. tidak langsung yang disampaikan secara:
(4) Lembaga OSS menyusun prosedur pengelolaan pengaduan masyarakat secara elektronik melalui Sistem OSS sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3)  huruf  b angka 2.
(5) Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Sadan Pengusahaan KPBPB menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara sendiri­ sendiri atau bersama-sama dengan kementerian/lembaga lainnya dan/atau Pemerintah Daerah.
(6) Pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus disampaikan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan.


Pasal 259

Pelaku Usaha dapat melakukan pengaduan terhadap pelaksana Pengawasan yang tidak menjalankan Pengawasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 260

Pelaksana Pengawasan yang tidak menjalankan Pengawasan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 261

Setiap orang yang menghalangi kegiatan Pengawasan dikenai sanksi administratif dan/ atau pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 262

Ketentuan lebih lanjut mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria terkait pelaksanaan Pengawasan diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerin tahan di bidang koordinasi penanaman modal.


Bagian Kedelapan
Pengawasan Sektor

Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan

Pasal 263

(1) Pengawasan terhadap KKPRL, rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi), PB, dan/atau PB UMKU pada sektor kelautan dan perikanan dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
a. Pengawasan bersifat teknis oleh pejabat bidang kelautan dan perikanan;
b. Pengawasan penegakan hukum oleh:
1. polisi khusus pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; dan
2. pengawas perikanan,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 264

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap KKPRL, rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi), PB, dan/atau PB UMKU di sektor kelautan dan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor kelautan dan perikanan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.

 
Paragraf 2
Sektor Pertanian

Pasal 265

(1) Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor pertanian dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Sadan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh tenaga pengawas atau pejabat lainnya sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.


Pasal 266

Pengawasan rutin pada sektor pertanian selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5), juga berdasarkan laporan Pelaku Usaha sektor pertanian.


Pasal 267

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 265, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pertanian diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.


Paragraf 3
Sektor Kehutanan

Pasal 268

Pengawasan terhadap persetujuan kawasan hutan, rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, dan PB di sektor kehutanan dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 269

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap persetujuan kawasan hutan, rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, dan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 268, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor kehutanan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.


Paragraf 4
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral

Pasal 270

(1) Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor energi dan sumber daya mineral dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK;
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB; dan/ atau
f. kepala badan/lembaga lain,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan/atau kontrak kerja sama.
(2) Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparatur sipil negara bidang energi dan sumber daya mineral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 271

Dalam melaksanakan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat mendelegasikan dan/ atau melimpahkan kepada Pemerintah Daerah untuk melaksanakan Pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 272

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 270, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor energi dan sumber daya mineral diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.


Paragraf 5
Sektor Ketenaganukliran

Pasal 273

(1) Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor ketenaganukliran dilakukan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara rutin atau insidental.


Pasal 274

Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (2) dilakukan oleh:
a. inspektur keselamatan nuklir;
b. asesor;
c. pejabat lain; dan/ atau
d. ahli,
yang ditugaskan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 275

(1) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan minimal 1 (satu) kali selama masa berlaku PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 276

Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (2), selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2) juga dilaksanakan pada:
a. keadaan darurat yang membahayakan pekerja, masyarakat, dan lingkungan;
b. pelaksanaan Pengawasan untuk garda-aman nuklir; dan
c. pengangkutan zat radioaktif.


Pasal 277

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor ketenaganukliran diatur dalam peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran


Paragraf 6
Sektor Perindustrian

Pasal 278

Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor perindustrian dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 279

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada sektor perindustrian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor perindustrian diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.


Paragraf 7
Sektor Perdagangan dan Metrologi Legal

Pasal 280

Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor perdagangan dan metrologi legal dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 281

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor perdagangan dan metrologi legal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor perdagangan dan metrologi legal diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.


Paragraf 8
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Pasal 282

Pengawasan terhadap Bangunan Gedung, PB, dan/atau PB UMKU di sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
c. gubernur;
d. bupati/wali kota;
e. kepala Administrator KEK; atau
f. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 283

(1) Pengawasan rutin pada subsektor jasa konstruksi selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5), juga berdasarkan:
a. laporan kegiatan usaha tahunan; dan
b. pengawasan pelaksanaan proyek jasa konstruksi.
(2) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk usaha orang perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi kualifikasi kecil paling sedikit meliputi:
a. laporan keuangan; dan
b. data kepatuhan pelaksanaan PB.
(3) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk badan usaha jasa konstruksi kualifikasi menengah atau besar, dan badan usaha jasa konstruksi spesialis paling sedikit meliputi:
a. data kepatuhan pelaksanaan PB;
b. data kinerja manajemen perusahaan;
c. data kinerja proyek;
d. laporan keuangan; dan
e. data keikutsertaan dalam kegiatan pengembangan usaha berkelanjutan.
(4) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk lembaga sertifikasi paling sedikit meliputi:
a. data profil lembaga sertifikasi;
b. data kepatuhan pelaksanaan PB;
c. data kinerja;
d. laporan keuangan; dan
e. data operasional.
(5) Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang jasa konstruksi.


Pasal 284

(1) Pengawasan atas pelaksanaan PB dan/atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan dalam PB dan/ atau PB UMKU.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. kesesuaian identitas antara pemegang PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air;
b. kesesuaian antara pelaksanaan dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria dalam PBdan/atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air;
c. kesesuaian antara prasarana dan sarana yang tercantum dalam PB dan/atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air dengan prasarana dan sarana yang dibangun;
d. dampak negatif yang ditimbulkan; dan/ atau
e. penggunaan sum ber daya air lain yang belum memperoleh PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
a. balai besar wilayah sungai/balai wilayah sungai;
b. instansi yang membidangi sumber daya air sesuai dengan kewenangannya;
c. badan usaha milik negara/ daerah di bidang pengelolaan sumber daya air,
dan dapat melibatkan peran masyarakat.
(4) Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bahan atau masukan bagi perbaikan, penertiban, dan/ atau peningkatan penyelenggaraan PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air.


Pasal 285

(1) Pelaksanaan pekerjaan konstruksi, penggalian, pemasangan, pengembalian konstruksi jalan dan pelaksanaan pekerjaan perbaikan alinyemen vertikal dan horizontal, pelebaran jalur lalu lintas, peninggian ruang bebas, peningkatan kemampuan struktur jalan, peningkatan kemampuan struktur jembatan, pengaturan lalu lintas, dan pelaksanaan penggunaan ruang milikjalan wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan.
(2) Hasil pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperiksa oleh tim pemeriksa teknis yang dibentuk oleh penyelenggara jalan.


Pasal 286

(1) Pengawasan atas pelaksanaan PB untuk pengembangan perumahan bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan pengembangan perumahan setelah diterbitkannya PB.
(2) Pelaku Usaha pada subsektor pengembangan perumahan selain menyampaikan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga menyampaikan laporan yang memuat:
a. pelaksanaan sistem perjanjian pengikatan jual beli untuk rumah tapak dan rumah susun; dan
b. pembentukan perhimpunan pemilik dan penghuni satuan rumah susun untuk rumah susun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 287

Pengawasan atas pelaksanaan PB untuk menyelenggarakan sistem penyediaan air minum bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan dalam PB.


Pasal 288

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap Bangunan Gedung, PB, dan/atau PB UMKU pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum; dan
b. peraturan menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perumahan dan permukiman,
sesuai dengan kewenangan masing-masing.


Paragraf 9
Sektor Transportasi

Pasal 289

Pengawasan terhadap persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas, PB, dan/ atau PB UMKU pada sektor transportasi dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 290

(1) Pengawasan rutin terhadap kegiatan usaha di sektor transportasi selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 juga dilakukan dalam bentuk:
a. audit;
b. inspeksi;
c. pengamatan;
d. pemantauan;
e. uji petik; dan/atau
f. pengujian (test).
(2) Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pemeriksaan yang terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pemeriksaan sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir objek tertentu oleh penyedia Jasa.
(4) Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi dan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang­ undangan
(5) Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kegiatan evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk mengetahui kecenderungan kinerja operasi/ pelayanan penyedia jasa transportasi.
(6) Uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya kesesuaian dengan simulasi percobaan.
(7) Pengujian (test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya keamanan transportasi atau tindakan keamanan transportasi dengan simulasi percobaan untuk tindakan melawan hukum.
 

Pasal 291

Pengawasan insidental selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2) juga dilakukan:
a. pada saat terjadinya kejadian atau kecelakaan;
b. adanya laporan petugas;
c. pada masa puncak angkutan; dan
d. adanya kejadian penting lainnya.


Pasal 292

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas, PB, dan/ atau PB UMKU pada sektor transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 289, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor transportasi diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.


Paragraf 10
Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan

Pasal 293

Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor kesehatan dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 294

Pengawasan rutin berupa inspeksi lapangan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah rendah dilakukan 2 (dua) tahun sekali;
b. untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali; dan
c. untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan    tingkat Risiko tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali.


Pasal 295

Dalam melakukan Pengawasan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, gubernur, dan/atau bupati/wali kota dapat menugaskan tenaga pengawas kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 296

Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada subsektor kesehatan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.


Pasal 297

Pengawasan terhadap PB UMKU pada subsektor obat dan makanan dilakukan oleh:
a. kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Sadan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 298

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dalam melaksanakan Pengawasan dapat mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan Pengawasan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengangkatan tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 299

(1) Dalam hal Pengawasan obat dan makanan pada fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan memerlukan klarifikasi dan konfirmasi lebih lanjut, tenaga pengawas berwenang melakukan tindakan pengamanan setempat.
(2) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. tindakan inventarisasi;
b. tindakan pengamanan terhadap bahan, produk, sarana, dan/ atau alat dengan membuat gans pengaman;
c. larangan mengedarkan untuk sementara waktu; dan/atau
d. sampling untuk uji laboratorium dan/ atau penilaian penandaan.
(3) Pemilik obat dan makanan bertanggung jawab atas obat dan makanan yang dilakukan tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat.
(5) Dalam hal hasil pemeriksaan fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/ atau penyerahan obat dan makanan menunjukkan adanya dugaan tindak pidana di bidang obat dan makanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 300

Ketentuan mengenai Pengawasan terhadap PB UMKU di subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 297, kompetensi, dan peningkatan kapasitas tenaga pengawas pada subsektor obat dan makanan diatur dalam peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.


Pasal 301

Pengawasan terhadap PB UMKU pada subsektor pangan segar dilakukan oleh:
a. kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 302

(1) Pengawasan rutin pada subsektor pangan segar selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga berdasarkan laporan Pelaku Usaha terkait pelaksanaan PB UMKU sarana penanganan pangan segar, peredaran pangan segar, dan jaminan keamanan pangan segar produk ekspor.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Pelaku Usaha kepada kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­-masing.


Pasal 303

(1) Pengawasan rutin melalui inspeksi lapangan rutin selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 juga dilakukan melalui pemeriksaan terhadap kegiatan/proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan segar.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan teknis atas pemenuhan standar yang dapat disertai dengan pengambilan contoh dan pengujian.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. mempertimbangkan kepatuhan Pelaku Usaha dan analisis Risiko keamanan pangan segar; atau
b. 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.


Pasal 304

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dalam melaksanakan pengawasan dapat mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan Pengawasan sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(2) Pengangkatan tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 305

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB UMKU di subsektor pangan segar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 301, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada subsektor pangan segar diatur dalam peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.


Paragraf 11
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 306

Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada sektor pendidikan dan kebudayaan dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan menengah;
b. menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 307

Pengawasan rutin pada sektor pendidikan dan kebudayaan selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga dilakukan berdasarkan laporan Pelaku Usaha sektor pendidikan dan kebudayaan.


Pasal 308

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor pendidikan dan kebudayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 306, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pendidikan dan kebudayaan diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan menengah;
b. peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; dan
c. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan,
sesuai dengan kewenangan masing-masing.


Paragraf 12
Sektor Pariwisata

Pasal 309

Pengawasan terhadap PB pada sektor pariwisata dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Sadan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 310

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB pada sektor pariwisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 309, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pariwisata diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata.


Paragraf 13
Sektor Keagamaan

Pasal 311

(1) Pengawasan terhadap PB pada sektor keagamaan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kewenangan Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparatur sipil negara sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing.


Pasal 312

Pengawasan rutin pada sektor keagamaan selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga dilakukan berdasarkan laporan Pelaku Usaha terkait penyelenggaraan ibadah haji khusus dan/atau penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah.


Pasal 313

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB di sektor keagamaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 311, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor keagamaan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


Paragraf 14
Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

Pasal 314

Pengawasan terhadap PB dan/ atau PBUMKU pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 315

Pengawasan atas isi siaran dalam kegiatan usaha pada subsektor penyelenggaraan penyiaran dilaksanakan oleh Komisi Penyiaran Indonesia sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 316

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi selain melakukan Pengawasan rutin dan Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kualitas layanan dan/atau produk layanan dari Pelaku Usaha yang mendapatkan PB dan/ atau PB UMKU untuk kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem monitoring pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
(3) Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran wajib membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dapat mengumumkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

 
Pasal 317

(1) UMK-M dapat memperoleh pendampingan untuk melakukan kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi
(2) Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. konsultasi teknis dan bisnis untuk kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran;
b. peningkatan kompetensi berusaha untuk kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran; dan/ atau
c. fasilitasi kolaborasi dengan Pelaku Usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran serta pihak terkait.
 

Pasal 318

(1) Pengawasan terhadap hak labuh satelit dilakukan melalui evaluasi secara berkala daftar satelit asing yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Pasal 319

(1) Pengawasan terhadap Izin pita frekuensi radio dan Izin stasiun radio dilakukan melalui:
a. Pengawasan administrasi; dan/ atau
b. Pengawasan teknis.
(2) Pengawasan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemenuhan PB UMKU Izin pita frekuensi radio dan Izin stasiun radio sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.
(3) Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio.
(4) Kegiatan monitoring spektrum frekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
a. observasi penggunaan spektrum frekuensi radio;
b. identifikasi dan deteksi penggunaan spektrum frekuensi radio;
c. pengukuran parameter teknis stasiun radio; dan
d. inspeksi stasiun radio.
(5) Kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk memastikan:
a. penggunaan spektrum frekuensi radio sesuai dengan PB UMKU yang diberikan;
b. penggunaan spektrum frekuensi radio tidak menimbulkan gangguan yang merugikan pada pengguna spektrum frekuensi radio lain; dan/ atau
c. penggunaan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio untuk dinas radio komunikasi tertentu.


Pasal 320

Pengawasan terhadap alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi dilaksanakan melalui:
a. pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi; dan
b. pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi.


Pasal 321

(1) Pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan /atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 huruf a yang dibuat, dirakit, dan/ atau dimasukkan, untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.
(2) Pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi di dalam kawasan pabean, dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara.
(3) Dalam hal diperlukan, pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Selain pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban pemasangan label.
(5) Jenis alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilakukan pemeriksaan di dalam kawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Pasal 322

(1) Pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 huruf b dilaksanakan dengan pertimbangan:
a. alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi menimbulkan gangguan baik terhadap jaringan telekomunikasi maupun terhadap keamanan, keselamatan, dan kesehatan manusia;
b. adanya laporan pengaduan;
c. riwayat  ketidaksesuaian  alat  telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi; dan/ atau
d. adanya perbedaan harga yang signifikan dengan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi produk sejenis.
(2) Pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi di sisi pengguna menggunakan metode sampling melalui:
a. pemeriksaan administrasi; dan
b. pemeriksaan teknis.
(3) Pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa pemeriksaan terhadap dokumen spesifikasi teknis, kesesuaian merek dan tipe alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi, dan pemasangan label.
(4) Pemeriksaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa pengujian sampel alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilaksanakan oleh balai pengujian alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi.


Pasal 323

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Paragraf 15
Sektor Pertahanan dan Keamanan

Pasal 324

(1) Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di subsektor industri pertahanan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pertahanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
(2) Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga terkait.
(3) Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui satuan kerja yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap PB dan/atau PB UMKU di subsektor industri pertahanan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 325

(1) Pengawasan rutin untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha non perseorangan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha yang meliputi:
a. pelaksanaan produksi;
b. sumber daya manusia;
c. fasilitas produksi dan/ atau fasilitas pemeliharaan; dan
d. teknologi yang telah dikuasai.
(2) Pengawasan  rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk subsektor industri pertahanan dilakukan melalui:
a. survei;
b. monitoring; dan/atau
c. laporan.
(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali.


Pasal 326

Pengawasan insidental untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha dan/atau industri pertahanan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha.


Pasal 327

(1) Pengawasan dilakukan oleh pelaksana Pengawasan yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(2) Kewenangan pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewenangan untuk mendapatkan hak akses terhadap:
a. data, dokumen administrasi, dan legalitas perusahaan;
b. fasilitas dan sarana industri pertahanan;
c. kegiatan produksi industri pertahanan; dan 
d. data produksi dan distribusi produk alat peralatan pertahanan dan keamanan yang dihasilkan.
(3) Kewajiban pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. menjaga kerahasiaan data dan dokumen/informasi;
b. menjaga independensi; dan
c. tidak terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam melaksanakan tugas Pengawasan.


Pasal 328

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor industri pertahanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 324, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada subsektor industri pertahanan diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.


Pasal 329

Pengawasan terhadap PB pada subsektor keamanan meliputi:
a. Pengawasan tingkat daerah dilaksanakan oleh kepolisian daerah secara rutin di daerahnya; dan
b. Pengawasan tingkat pusat dilaksanakan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia secara insidental.


Pasal 330

(1) Kepolisian daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 huruf a melaksanakan audit kelengkapan dan kecocokan, audit kesiapan untuk memberikan penilaian terhadap reliabilitas dan integritas operasional, serta kelayakan badan usaha jasa pengamanan dalam beroperasional.
(2) Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 huruf b melakukan audit Pengawasan kepada badan usaha jasa pengamanan yang sudah mendapatkan PB dan melakukan kegiatan usaha lebih dari 1 (satu) wilayah hukum kepolisian daerah apabila dipandang perlu.


Pasal 331

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB di subsektor keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada subsektor keamanan diatur dalam peraturan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Paragraf 16
Sektor Ekonomi Kreatif

Pasal 332

Pengawasan terhadap PB pada sektor ekonomi kreatif dilakukan oleh:
a. menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 333

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB pada sektor ekonomi kreatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 332, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor ekonomi kreatif diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif.


Paragraf 17
Sektor Informasi Geospasial

Pasal 334

Pengawasan terhadap PB pada sektor informasi geospasial dilakukan oleh badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 335

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB di sektor informasi geospasial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor informasi geospasial diatur dalam peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial.


Paragraf 18
Sektor Ketenagakerjaan

Pasal 336

(1) Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor ketenagakerjaan dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;
b. menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia;
c. gubernur;
d. bupati/wali kota;
e. kepala Administrator KEK; dan/atau
f. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
a. untuk urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, dilaksanakan oleh tim pengawas perizinan sektor ketenagakerjaan dengan melibatkan pengawas ketenagakerjaan; atau
b. untuk suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia, dilaksanakan oleh tim pengawas perizinan sektor ketenagakerjaan, dan dapat berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.
(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a untuk sektor ketenagakerjaan dilakukan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.


Pasal 337

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada sektor ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 336, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor ketenagakerjaan diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; dan
b. peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 19
Sektor Perkoperasian

Pasal 338

Pengawasan terhadap PB pada sektor perkoperasian dilakukan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 339

Pengawasan rutin pada sektor perkoperasian selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga dilakukan berdasarkan laporan Pelaku Usaha terkait penyelenggaraan usaha sektor perkoperasian.


Pasal 340

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB pada sektor perkoperasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor perkoperasian diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi.


Paragraf 20
Sektor Penanaman Modal

Pasal 341

Pengawasan terhadap PB pada sektor Penanaman Modal dilakukan oleh:
a. menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal;
b. kepala Administrator KEK; dan/ atau
c. kepala Sadan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 342

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan Pengawasan terhadap PB sektor Penanaman Modal se bagaimana dimaksud dalam Pasal 341, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor Penanaman Modal diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.


Paragraf 21
Sektor Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

Pasal 343

Pengawasan terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 344

(1) Pengawasan pada sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik dilakukan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan penerbit gim.
(2) Pengawasan  rutin  sebagaimana  dimaksud  dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dilakukan dengan:
a. memilih penyelenggara sistem elektronik lingkup privat sebagai sampel Pengawasan;
b. melakukan evaluasi terhadap sampel Pengawasan; dan/atau
c. melakukan tindak lanjut atas evaluasi Pengawasan.
(3) Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a terhadap penerbit gim dilakukan apabila telah melakukan klasifikasi secara mandiri dan telah diuji kesesuaian atas klasifikasi mandiri tersebut oleh lembaga klasifikasi.
(4) Pengawasan insidental terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan penerbit gim selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2) juga dilaksanakan dalam rangka:
a. menindaklanjuti laporan dari kementerian/lembaga, aparat penegak hukum, dan/ atau lembaga peradilan; dan/atau
b. menindaklanjuti temuan insiden dan/ atau temuan insiden yang dihasilkan dari kegiatan Pengawasan.


Pasal 345

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PB dan/ atau PBUMKU pada sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 343, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Paragraf 22
Sektor Lingkungan Hidup

Pasal 346

Pengawasan terhadap PL dan PB pada sektor lingkungan hidup dilakukan oleh:
a. menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; dan/ atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 347

Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pengawasan terhadap PL dan PB pada sektor lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 346, kompetensi, dan peningkatan kapasitas pengawas pada sektor lingkungan hidup diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup.


BAB VIII
EVALUASI DAN REFORMASI KEBIJAKAN

Pasal 348
 
(1) Kementerian/lembaga melaksanakan evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR secara berkelanjutan, transparan, akuntabel, dan menerapkan prinsip kehati￾hatian.
(2) Evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.
(3) Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB mendukung pelaksanaan evaluasi dan reformasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan:
a. memberikan masukan terkait penyelenggaraan PBBR;dan/atau
b. menyediakan data dan/atau informasi penyelenggaraan PBBR,
sesuai dengan kewenangan masing-masing.


Pasal 349

(1) Kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melakukan koordinasi evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR dalam rangka meningkatkan iklim berusaha.
(2) Dalam rangka melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian menetapkan rencana aksi PBBR.
(3) Rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
a. penyusunan kebijakan PBBR;
b. implementasi penyelenggaraan PBBR;
c. penerapan reformasi PBBR ke dalam Sistem OSS;
d. peningkatan pemahaman dan kapasitas mengenai PBBR untuk kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB;
e. pelaksanaan sosialisasi kebijakan PBBR kepada masyarakat; dan
f. evaluasi PBBR yang berkelanjutan.


BAB IX
PENDANAAN

Pasal 350
 
(1) Pendanaan pengembangan Sistem OSS bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
(2) Pendanaan penyelenggaraan PBBR pada kementerian/lembaga bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pendanaan penyelenggaraan PBBR pada pemerintah provinsi bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pendanaan penyelenggaraan PBBR pada pemerintah kabupaten/kota bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


BAB X
PENYELESAIAN PERMASALAHAN DAN HAMBATAN

Pasal 351

(1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan di bidangnya dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur hal untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan, menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB berwenang untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur hal untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan, kepala Administrator KEK melaporkan kepada dewan nasional KEK untuk menetapkan keputusan dan/ atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan asas­ asas umum pemerintahan yang baik


Pasal 352

(1) Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Kejaksaan Republik Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. 
(2) Dalam hal laporan dan/ atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara  Republik Indonesia meneruskan/ menyampaikan  laporan  masyarakat tersebut kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan.
(3) Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/ atau pengaduan dari masyarakat, baik yang diterima oleh kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maupun yang diteruskan dari Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak laporan masyarakat diterima.
(4) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(5) Hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
a. kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara;
b. kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara; atau
c. tindak pidana yang bukan bersifat administratif.
(6) Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan.
(7) Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan.
(8) Penyelesaian hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan.
(9) Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan, menyampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


BAB XI
SANKSI

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 353

(1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB yang tidak menyelenggarakan PBBR melalui Sistem OSS dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis yang disampaikan paling banyak 2 (dua) kali.
(3) Dalam hal sanksi administratif berupa teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan:
a. Lembaga OSS mengambil alih pemberian persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU yang menjadi kewenangan kementerian/lembaga,  kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB;
b. menteri atau kepala lembaga yang membina dan mengawasi persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU sektor mengambil alih pemberian persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU yang menjadi kewenangan gubernur; atau
c. gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat mengambil alih pemberian persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU yang menjadi kewenangan bupati/wali kota.


Pasal 354

(1) Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB mengenakan sanksi kepada pejabat yang tidak memberikan pelayanan dan melakukan Pengawasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
(2) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 355

(1) Pelaku Usaha yang melanggar persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pengenaan denda administratif;
d. pengenaan daya paksa polisional;
e. pencabutan lisensi/ sertifikasi/ persetujuan; dan/ atau
f. pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan yang ditemukan pada kegiatan Pengawasan.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui Sistem OSS.


Bagian Kedua
Sanksi bagi Pelaku Usaha

Paragraf 1
Sektor Kelautan dan Perikanan

Pasal 356

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap ketentuan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing, KKPRL, PB, dan/ atau PB UMKU pada sektor kelautan dan perikanan, berupa:
a. pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi atau tidak memiliki PB dan/atau PB UMKU;
b. pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing yang tidak memiliki rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing;
c. pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) yang tidak memiliki rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi);
d. pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki KKPRL yang tidak mengakibatkan perubahan fungsi ruang laut;
e. pemanfaatan ruang laut yang tidak memenuhi KKPRL;
f. pemanfaatan kawasan konservasi yang tidak memenuhi PB dan/atau PB UMKU;
g. usaha pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan;
h. usaha pengadaan, sortasi, grading, penyimpanan, pemasaran, dan/ atau pengangkutan hasil perikanan yang tidak memiliki PB UMKU;
i. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/ atau laut lepas yang tidak memenuhi PB dan/atau PB UMKU;
j. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/ atau laut lepas yang tidak membawa dokumen PB dan/atau PBUMKU;
k. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia tidak memenuhi PB dan/atau PB UMKU dari Pemerintah Pusat;
l. memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia tidak membawa dokumen PB dan/atau PBUMKU;
m. membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan;
n. memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia yang tidak menggunakan nakhoda, perwira, dan anak buah kapal berkewarganegaraan Indonesia;
o. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal perikanan milik orang Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/ atau laut lepas yang tidak terdaftar sebagai kapal perikanan Indonesia;
p. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan yang tidak melakukan bongkar muat ikan tangkapan di pelabuhan perikanan yang ditetapkan atau pelabuhan lainnya yang ditunjuk;
q. mengimpor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, volume, waktu pemasukan, standar mutu wajib, dan/ atau peruntukan impor yang ditetapkan;
r. pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi dan/atau jenis ikan yang tercantum dalam daftar Appendix Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) selain Appendix yang tidak memenuhi PB;
s. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/ atau kapal pengangkut ikan yang melakukan alih muatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
t. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas dengan PB dan/atau PBUMKU yang sudah tidak berlaku;
u. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/ atau laut lepas yang tidak membawa PB dan/atau PB UMKU;
v. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia yang tidak membawa PB dan/atau PBUMKU;
w. melakukan aktivitas pelabuhan perikanan yang tidak memenuhi atau tidak memiliki PB dan/ atau PBUMKU;
x. melakukan usaha pembenihan, pembesaran ikan, dan/ atau jasa subsektor pembudidayaan ikan yang tidak memiliki PB dan/atau PB UMKU;
y. melakukan usaha pembenihan dan/atau pembesaran jenis ikan yang dilarang, merugikan, membahayakan tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
z. melakukan pembuatan pakan ikan, pemasukan bahan baku dan/atau pakan ikan, dan peredaran pakan ikan yang tidak memenuhi PB UMKU; dan
aa. melakukan pembuatan obat ikan, pemasukan bahan baku obat ikan, obat ikan, dan/atau sampel obat ikan, dan peredaran obat ikan yang tidak memenuhi standar PB UMKU,
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. peringatan/teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. denda administratif;
d. pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU; dan/atau
e. pencabutan KKPRL, PB, dan/ atau PBUMKU.
(3) Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara kumulatif atau bertahap, kecuali pelanggaran tertentu yang sanksi administratifnya ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang­ undangan.
(4) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan upaya pembinaan kepatuhan Pelaku Usaha di sektor kelautan dan perikanan.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak memiliki rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36.


Pasal 357

(1) Sanksi administratif berupa peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf a dikenakan dengan ketentuan:
a. baru pertama kali melakukan pelanggaran;
b. belum menimbulkan dampak berupa kerusakan dan/ atau kerugian sumber daya kelautan dan perikanan, dan/ atau keselamatan dan/ atau kesehatan manusia; dan/ atau
c. sudah ada dampak yang ditimbulkan namun dapat diperbaiki dengan mudah.
(2) Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perintah untuk segera mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan.
(3) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha.
(4) Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan paling banyak 2 (dua) kali.
(5) Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan paksaan pemerintah yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran.


Pasal 358

(1) Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf b dikenakan apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a. ancaman serius bagi kesehatan dan/atau keselamatan manusia dan lingkungan;
b. dampak yang lebih besar dan lebih luas baik dari aspek ekonomi, sosial, dan budaya jika kegiatan usaha tidak segera dihentikan; dan/atau
c. kerugian yang lebih besar bagi kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya jika tidak segera dihentikan.
(2) Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. penyegelan;
c. penutupan lokasi;
d. pembongkaran bangunan;
e. pengurangan atau pencabutan sementara kuota dan lokasi penangkapan;
f. penghentian layanan pemerintah;
g. pemulihan fungsi ruang laut; dan/atau
h. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan kelestarian sumber daya.
(3) Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih berdasarkan pertimbangan tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/atau menghentikan dampak yang ditimbulkan.


Pasal 359

(1) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf c dikenakan terhadap Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan teguran/peringatan tertulis kedua kali atau paksaan pemerintah.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tanpa didahului dengan sanksi administratif lainnya apabila:
a. ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa Pelaku Usaha dengan sengaja mengabaikan ketentuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU; dan/atau
b. pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak kerusakan dan/atau kerugian sumber daya kelautan dan/atau perikanan dan/atau keselamatan dan/atau kesehatan manusia.
(3) Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. pemanfaatan sumber daya perairan pesisir dan perairan pulau-pulau kecil yang tidak memenuhi atau tidak memiliki PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan;
b. pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing yang tidak memiliki rekomendasi yang merupakan persyaratan persetujuan KKPR dikenai denda administratif sebesar 250% (dua ratus lima puluh persen) dikali luasan pelanggaran (hektare) dikali tarif rekomendasi;
c. pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) yang tidak memiliki rekomendasi yang merupakan persyaratan persetujuan KKPR dikenai denda administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dikali luasan pelanggaran (hektare) dikali tarif rekomendasi;
d. pemanfaatan ruang laut yang tidak memiliki KKPRL yang tidak mengakibatkan perubahan fungsi ruang laut dikenai denda administratif sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dikali total nilai investasi;
e. pemanfaatan ruang laut yang tidak memenuhi KKPRL dikenai denda administratif sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dikali total nilai investasi;
f. usaha pengolahan ikan yang tidak memenuhi dan tidak menerapkan persyaratan kelayakan pengolahan ikan, sistem jaminan mutu, dan keamanan hasil perikanan dikenai denda administratif sebesar 200% (dua ratus persen) dikali nilai jual produk/hasil perikanan yang ditangani/diolah/disimpan saat terjadi pelanggaran;
g. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas yang tidak memenuhi dokumen PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebesar:
1. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rp l00.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp150.000.000,00 (seratus lima puluhjuta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
h. mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/ atau laut lepas yang tidak membawa dokumen PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebesar:
1. Rp l0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rpl5.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
i. memiliki dan/ atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia yang tidak memenuhi dokumen PB dan/ atau PB UMKU dikenai denda administratif sebesar:
1. Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
j. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia tidak membawa dokumen PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebesar:
1. Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnagegross tonnage; dan
5. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
k. membangun, mengimpor, atau memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan dikenai denda administratif sebesar 10% (sepuluh persen) dari:
1. nilai kapal yang sedang atau telah dibangun;
2. nilai kapal yang diimpor; atau
3. biaya modifikasi kapal.
l. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal perikanan milik orang Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas yang tidak terdaftar sebagai kapal perikanan Indonesia dikenai denda administratif sebesar 5% (lima persen) dari harga pembangunan atau pembelian kapal;
m. mengimpor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman yang tidak sesuai dengan tempat pemasukan, jenis, volume, waktu pemasukan, standar mutu wajib, dan/ atau peruntukan yang ditetapkan dikenai denda administratif sebesar 50% (lima puluh persen) dikali harga pembelian yang tertera dalam tanda bukti pembelian dikali jumlah komoditas yang diimpor yang melanggar;
n. pemanfaatan jenis ikan yang dilindungi dan/atau jenis ikan yang tercantum dalam daftar Appendix Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) selain Appendix I yang tidak memenuhi PB dikenai denda administratif sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan;
o. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan dan/ atau kapal pengangkut ikan yang melakukan alih muatan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dikenai denda administratif sebesar:
1. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rpl00.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) untuk kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
p. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia yang melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/ atau laut lepas dengan PB dan/atau PB UMKU yang sudah tidak berlaku dikenai denda administratif sebesar:
1. Rpl0.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
q. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas yang tidak membawa PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebesar:
1. Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
r. memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asmg di wilayah pengelolaan perikanan negara Republik Indonesia yang tidak membawa PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebesar:
1. Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 10 (sepuluh) gross tonnage sampai dengan 30 (tiga puluh) gross tonnage;
2. Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 30 (tiga puluh) gross tonnage sampai dengan 60 (enam puluh) gross tonnage;
3. Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 60 (enam puluh) gross tonnage sampai dengan 100 (seratus) gross tonnage;
4. Rp25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 100 (seratus) gross tonnage sampai dengan 150 (seratus lima puluh) gross tonnage; dan
5. Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah) untuk kapal pengangkut ikan berukuran lebih dari 150 (seratus lima puluh) gross tonnage.
s. melakukan usaha pembenihan, pembesaran ikan dan/atau jasa subsektor pembudidayaan ikan yang tidak memenuhi PB dan/atau PB UMKU dikenai denda administratif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan; dan
t. melakukan usaha pembenihan dan/atau pembesaran jenis ikan yang dilarang, merugikan, dan/ atau membahayakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dikenai denda administratif sebagaimana diatur dalam peraturan pemerintah yang mengatur mengenai jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berlaku pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.


Pasal 360

(1) Sanksi administratif berupa pembekuan KKPRL, PB, dan/atau  PB  UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf d dikenakan apabila Pelaku Usaha:
a. tidak melaksanakan kewajibannya sampai dengan berakhirnya jangka waktu teguran/ peringatan tertulis kedua kali; dan/ atau
b. tidak membayar denda administratif yang dikenai.
(2) Pembekuan KKPRL, PB, dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenai secara langsung apabila Pelaku Usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf b.
(3) Pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan perintah untuk segera mematuhi kewajiban KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU yang disyaratkan dan/atau melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan dan/atau kerugian yang ditimbulkan.
(4) Pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan Pelaku Usaha untuk memenuhi kewajibannya dan untuk memberikan efek jera.


Pasal 361

(1) Sanksi administratif berupa pencabutan KKPRL, PB, dan/atau  PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf e dikenakan apabila:
a. setelah pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU dijatuhkan, Pelaku Usaha tetap tidak memenuhi persyaratan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU; dan/atau
b. tidak melaksanakan kewajiban untuk melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan dan/atau kerugian yang ditimbulkan.
(2) Pencabutan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu dikenai sanksi administratif lain apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak yang besar berupa:
a. gangguan kesehatan dan/ atau keselamatan manusia dan lingkungan;
b. efek luas terhadap aspek ekonomi, sosial, dan budaya; dan/atau
c. kerugian yang signifikan bagi kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.


Pasal 362

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.


Paragraf 2
Sektor Pertanian

Pasal 363

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor pertanian, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. penarikan produk dari peredaran;
e. pencabutan PB;
f. penutupan kegiatan usaha; dan/atau
g. pengenaan daya paksa polisional.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada sektor pertanian, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan;
d. pencabutan PB UMKU;
e. penarikan produk dari peredaran;
f. penutupan kegiatan usaha;
g. pemusnahan; dan/atau
h. pengenaan daya paksa polisional.
(3) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan:
a. secara bertahap; dan
b. secara tidak bertahap.


Pasal 364

Pengenaan sanksi administratif sektor pertanian diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 365

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian.


Paragraf 3
Sektor Kehutanan

Pasal 366

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor kehutanan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. penghentian layanan pemerintah;
d. denda administratif;
e. pembekuan PB; dan/atau
f. pencabutan PB.


Pasal 367

Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 366 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 368

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan.


Paragraf 4
Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral

Pasal 369

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor minyak dan gas bumi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. penghentian usaha atau kegiatan;
d. denda administratif;
e. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
f. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU.
(2) Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. kegiatan survei umum;
b. kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi;
c. kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon; dan
d. kegiatan penunjang usaha minyak dan gas bumi;
(3) Penghentian usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikenakan bersamaan dengan pengenaan daya paksa polisional.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 370

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi tanpa PB dan/atau PB UMKU, dikenai sanksi administratif dengan tahapan sebagai berikut:
a. penghentian usaha dan/ atau kegiatan; dan
b. denda administratif.
(2) Penghentian usaha dan/ atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan bersamaan dengan paksaan Pemerintah Pusat.
(3) Paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. pembongkaran sarana dan fasilitas;
b. penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
c. paksaan badan; dan/ atau
d. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.
(4) Dalam melakukan paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan aparat penegak hukum.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 371

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor ketenagalistrikan, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. pembekuan kegiatan sementara;
  3. denda administratif; dan/ atau
  4. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU.

Pasal 372

(1) Dalam hal ketidaksesuaian atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 mengakibatkan timbulnya korban dan/ atau kerusakan terhadap:
a. keselamatan;
b. kesehatan;
c. lingkungan;
d. pemanfaatan sumber daya; dan/ atau
e. aspek lainnya,
menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral atau gubernur sesuai dengan wilayah kerjanya mengenakan sanksi administratif berupa pembekuan kegiatan sementara atau pencabutan PB dan/ atau PBUMKU.
(2) Aspek lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan aspek keselamatan ketenagalistrikan.

  
Pasal 373

(1) Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 huruf c dilakukan melalui mekanisme PNBP atau penerimaan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Untuk kantor perwakilan asing yang tidak memenuhi kewajiban dan/atau standar, besaran nilai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
a. sebesar 20% (dua puluh persen) dari semua nilai kontrak jika tidak membentuk kerja sama operasi dengan badan usaha jasa penunjang tenaga listrik dalam negeri berkualifikasi besar yang memiliki PB dalam setiap kegiatan usaha jasa penunjang tenaga listrik di Indonesia;
b. sebesar 10% (sepuluh persen) dari semua nilai kontrak jika tidak mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja Indonesia daripada tenaga kerja asing; dan
c. sebesar 10% (sepuluh persen) dari semua nilai kontrak jika tidak menempatkan warga negara Indonesia sebagai penanggung jawab badan usaha kantor perwakilan.
 

Pasal 374

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada subsektor mineral dan batubara, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan PB dan/atau PB UMKU; dan/atau
c. pencabutan PB dan/atau PB UMKU.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang PB yang melanggar kewajiban pembayaran pendapatan negara dan/ atau pendapatan daerah dikenai denda administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Pasal 375

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi untuk kegiatan usaha panas bumi, bioenergi, dan konservasi energi, dikenai sanksi administratif.
 

Pasal 376

(1) Sanksi administratif untuk kegiatan usaha panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 terdiri atas sanksi administratif untuk:
a. kegiatan usaha panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung; dan
b. kegiatan usaha panas bumi untuk pemanfaatan langsung.
(2) Sanksi administratif untuk kegiatan usaha panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang panas bumi.
(3) Sanksi administratif untuk kegiatan usaha panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara seluruh kegiatan usaha pengusahaan panas bumi untuk pemanfaatan langsung; dan/atau
c. pencabutan PB UMKU.


Pasal 377

(1) Sanksi administratif untuk kegiatan usaha bioenergi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 terdiri atas sanksi administratif untuk:
a. kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel); dan
b. kegiatan usaha bahan bakar biogas sebagai bahan bakar lain.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara terhadap kegiatan usaha niaga bahan bakar nabati (biofuel) dan/ atau kegiatan usaha bahan bakar biogas sebagai bahan bakar lain;
c. denda administratif; dan/ atau
d. pencabutan PB.


Pasal 378

Sanksi administratif untuk kegiatan usaha konservasi energi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara seluruh kegiatan usaha; dan/ atau
  3. pencabutan PB.

Pasal 379

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada subsektor geologi, dikenai sanksi administratif.


Pasal 380

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 379 berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan air tanah; dan/ atau
c. pencabutan PB UMKU.


Pasal 381

Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 369 ayat (1) huruf d, Pasal 370 ayat (1) hurufb, Pasal 371 huruf c, Pasal 374 ayat (2), Pasal 377 ayat (2) huruf c dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 382

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 369 ayat (1), Pasal 370, Pasal 371, Pasal 374 ayat (1), Pasal 376 ayat (3), Pasal 377 ayat (2), Pasal 378, dan Pasal 380 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral.
 
Paragraf 5
Sektor Ketenaganukliran

Pasal 383

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB dan/atau PB UMKU apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/atau PB UMKU pemanfaatan sumber radiasi pengion.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan PB dan/atau PB UMKU; atau
c. pencabutan PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 384
 
(1) Pemegang PB dan/atau PB UMKU yang melanggar ketentuan PB dan/atau PB UMKU pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, dikenai peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.
(7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan radiasi dan/ atau keamanan zat radioaktif.
(8) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB dan/atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion.


Pasal 385

(1) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (8).
(2) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion.
(3) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan  keputusan  pemberlakuan  kembali  PB dan/ atau PB UMKU.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 386

Dalam hal pembekuan PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (8) telah ditetapkan dan pemegang PB dan/atau PB UMKU tetap melaksanakan kegiatannya, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran langsung mencabut PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 387

(1) Apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak PB atau PB UMKU dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk fasilitas pemanfaatan sumber radiasi pengion diterbitkan, pemegang PB atau PB UMKU melaksanakan dekomisioning namun tidak sesuai program dekomisioning fasilitas radiasi pengion, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu atau peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan radiasi dan/ atau keamanan zat radioaktif.
(6) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB atau PB UMKU dekomisioning fasilitas radiasi pengion.


Pasal 388

(1) Pemegang PB atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB atau PB UMKU dekomisioning fasilitas radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 ayat (6).
(2) Selama penghentian sementara, pemegang PB atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas pengamanan zat radioaktif dan pengelolaan limbah radioaktif.
(3) Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB atau PB UMKU paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB atau PB UMKU dekomisioning fasilitas radiasi pengion.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB atau PB UMKU.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB atau PB UMKU:
a. tidak menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB atau PB UMKU;
b. tetap melaksanakan kegiatan dekomisioning selama pembekuan PB atau PB UMKU; atau
c. tidak memenuhi tanggung jawab atas pengelolaan zat radioaktif dan/ atau limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama pembekuan PB atau PB UMKU,
kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengambil alih dana jaminan finansial untuk melanjutkan kegiatan dekomisioning.
(6) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan dekomisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


Pasal 389

(1) Apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak PB atau PB UMKU dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk fasilitas pemanfaatan sumber radiasi pengion diterbitkan, pemegang PB atau PB UMKU tidak melaksanakan program dekomisioning fasilitas radiasi pengion, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu atau peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pelllenuhan ketentuan keselamatan radiasi dan/ atau keamanan zat radioaktif.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengambil alih dana Jamman finansial untuk melaksanakan kegiatan dekomisioning.
(7) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan dekomisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
 

Pasal 390

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB dan/atau PB UMKU apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/ atau PB UMKU instalasi nuklir dan bahan nuklir.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan PB dan/atau PB UMKU;
d. penghentian sementara kegiatan usaha; atau
e. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU.


Pasal 391

(1) Pemegang PB dan/atau PB UMKU yang melanggar ketentuan PB dan/ atau PB UMKU instalasi nuklir dan bahan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, dikenai peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/ atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.


Pasal 392  
 
(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan telah memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir.
(2) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran melakukan pembekuan PB dan/atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan.
(3) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/ atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/ atau penelitian dan pengembangan.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan  keputusan  pemberlakuan  kembali  PB dan/ atau PB UMKU.
(6) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 393

Dalam hal pembekuan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (2) telah ditetapkan dan pemegang PB dan/atau PB UMKU tetap melaksanakan kegiatannya, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran langsung mencabut PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 394

(1) Dalam hal pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/atau PB UMKU instalasi nuklir dan bahan nuklir berupa tidak menyampaikan laporan berkala sesuai dengan batas waktu, pemegang PB dan/atau PB UMKU yang tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (6), dikenai denda administratif sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan.
(2) Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti pembayaran denda administratif paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pengenaan denda administratif oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran.
(3) Pembayaran atas sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggugurkan kewajiban pemegang PB dan/atau PB UMKU untuk menyampaikan laporan berkala sesuai dengan batas waktu.
 

Pasal 395

(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394 ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti denda administratif, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran melakukan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan.
(2) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PBUMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/ atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti pembekuan izin paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB dan/atau PB UMKU telah menindaklanjuti pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB dan/ atau PB UMKU.
(5) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB dan/ atau PB UMKU tidak menindaklanjuti pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan  ketenaganukliran mencabut PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 396

(1) Apabila dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak PB dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk reaktor daya besar diterbitkan, pemegang PB melaksanakan dekomisioning namun tidak sesuai program dekomisioning, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.
(7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir.


Pasal 397

(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (6) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menghentikan sementara kegiatan dekomisioning.
(2) Selama penghentian sementara, pemegang PB tetap bertanggungjawab atas pengelolaan reaktor nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif.
(3) Dalam hal selama penghentian sementara pemegang PB tidak memenuhi tanggung jawab atas pengelolaan reaktor nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemegang PB dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan finansial dekomisioning.


Pasal 398

(1) Apabila dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak PB dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk reaktor daya besar diterbitkan, pemegang PB tidak melaksanakan program dekomisioning, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.
(7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir.


Pasal 399

Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 398 ayat (6) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, pemegang PB dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari dana jaminan finansial dekomisioning.


Pasal 400

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB dan/ atau PB UMKU apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. pembekuan PB dan/ atau PB UMKU; atau
d. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU.


Pasal 401

(1) Pemegang PB dan/atau PB UMKU yang melanggar ketentuan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dikenai peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB dan/atau PB UMKU harus menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB dan/atau PB UMKU harus menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Pemegang PB dan/ atau PB UMKU harus menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.


Pasal 402

(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan denda administratif sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan.
(2) Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti pembayaran denda administratif paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pemberian denda administratif.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga dan membayar denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir.
 

Pasal 403

(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 402 ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti denda administratif, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir.
(2) Pemegang PB dan/ atau PB UMKU harus menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Selama penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/ atau PB UMKU tetap bertanggungjawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan/ atau limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(4) Pemegang PB dan/atau PB UMKU harus menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB dan/atau PB UMKU.
(6) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/ atau PB UMKU.


Pasal 404

Dalam hal pembekuan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403 ayat (1) telah ditetapkan dan pemegang PB dan/atau PB UMKU tetap melaksanakan kegiatannya, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran langsung mencabut PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 405

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif berupa:
a. pembekuan PB dan/ atau PB UMKU pemanfaatan sumber radiasi pengion apabila terdapat kondisi yang berpotensi menyebabkan terjadinya kecelakaan;
b. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU pemanfaatan sumber radiasi pengion secara langsung apabila terjadi kecelakaan yang membahayakan kesehatan dan keselamatan pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup;
c. pembekuan PB operasi reaktor nuklir atau instalasi nuklir nonreaktor dan menjatuhkan sanksi penghentian sementara kegiatan usaha apabila terjadi kecelakaan nuklir pada reaktor nuklir atau instalasi nuklir nonreaktor yang memiliki konsekuensi dekomisioning; dan
d. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir apabila terjadi kecelakaan selama kegiatan pertambangan bahan galian nuklir.
(2) Pembekuan PB operasi reaktor nuklir atau instalasi nuklir nonreaktor dan penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku hingga kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan PB dekomisioning reaktor nuklir daya besar atau persetujuan dekomisioning.


Pasal 406

(1) Dalam hal pencabutan PB dan/atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (4), Pasal 386, dan Pasal 405 ayat (1) huruf b telah ditetapkan, eks pemegang PB dan/ atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas pengamanan fasilitas radiasi, pengamanan zat radioaktif, dan pengelolaan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.
(2) Dalam hal pencabutan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (6), Pasal 393 dan Pasal 395 ayat (5) telah ditetapkan, eks pemegang PB dan/atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas pengelolaan instalasi nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.
(3) Dalam hal pembekuan PB operasi reaktor nuklir atau instalasi nuklir nonreaktor dan penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf c telah ditetapkan, pemegang PB tetap bertanggung jawab atas pengelolaan instalasi nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran.
(4) Dalam hal pencabutan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403 ayat (6), Pasal 404 dan Pasal 405 ayat (1) huruf d telah ditetapkan, eks pemegang PB dan/ atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan/atau limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 407

(1) Dalam hal pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403 ayat (6), Pasal 404 dan Pasal 405 ayat (1) huruf d telah ditetapkan, eks pemegang PB wajib melaksanakan dekomisioning pertambangan setelah memperoleh persetujuan dekomisioning pertambangan.
(2) Eks pemegang PB yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai dana jaminan pelaksanaan dekomisioning pertambangan.
(3) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diambil dari dana jaminan pelaksanaan dekomisioning pertam bangan.
(4) Jika eks pemegang PB tidak melaksanakan dekomisioning pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan dekomisioning pertambangan dengan menggunakan dana jaminan dekomisioning pertambangan.
(5) Dalam hal dana jaminan dekomisioning pertambangan untuk menyelesaikan dekomisioning pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencukupi, kekurangan biaya un tuk penyelesaian dekomisioning pertambangan menjadi tanggungjawab eks pemegang PB.
(6) Eks pemegang PB pada kegiatan penambangan mineral radioaktif dapat dikecualikan dari kewajiban pelaksanaan dekomisioning pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal berdasarkan hasil evaluasi terdapat pertimbangan sebagai berikut:
a. cadangan deposit bahan galian nuklir masih dapat dieksploitasi; atau
b. aspek keekonomian atau strategis.
(7) Dalam hal eks pemegang PB pada kegiatan penambangan mineral radioaktif tidak melaksanakan dekomisioning pertambangan karena pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menyerahkan wilayah penugasan penambangan mineral radioaktif kepada badan usaha berbadan hukum lainnya.


Pasal 408

(1) Apabila dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak persetujuan dekomisioning pertambangan diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1), eks pemegang PB melaksanakan dekomisioning namun tidak sesuai program dekomisioning, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu.
(2) Eks pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) eks pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Eks pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) eks pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Eks pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.
(7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) eks pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir.
(8) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) eks pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menghentikan sementara kegiatan dekomisioning.
(9) Selama penghentian sementara, eks pemegang PB tetap bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan limbah radioaktif.
(10) Dalam hal selama penghentian sementara eks pemegang PB tidak memenuhi tanggungjawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, eks pemegang PB dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan finansial dekomisioning pertambangan.


Pasal 409

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB pendukung sektor ketenagan ukliran.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan PB; atau
c. pencabutan PB.


Pasal 410

(1) Pemegang PB yang melanggar ketentuan PB pendukung sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf d, dikenai peringatan tertulis kesatu.
(2) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu.
(3) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua.
(4) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga.
(6) Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga.
(7) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan kegiatan usaha pendukung sektor ketenagan ukliran.


Pasal 411

(1) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 410 ayat (6) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB pendukung sektor ketenaganukliran.
(2) Pemegang PB wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemegang PB wajib menindaklanjuti pembekuan PB paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB telah menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB.
(5) Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB tidak menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB.


Pasal 412

Dalam hal pembekuan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 411 ayat (1) telah ditetapkan dan pemegang PB tetap melaksanakan kegiatannya, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran langsung mencabut PB.


Pasal 413

(1) Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat langsung menjatuhkan sanksi administratif berupa pembekuan PB pendukung sektor ketenaganukliran dalam hal:
a. pemegang PB menyampaikan data yang tidak benar dalam proses permohonan PB berupa data persyaratan PB;
b. pemegang PB lembaga uji ketenaganukliran menyampaikan data hasil pengujian yang tidak sesuai;
c. pemegang PB lembaga pelatihan ketenaganukliran menyampaikan data hasil kelulusan yang tidak sesuai; dan/atau
d. tidak terpenuhinya lagi syarat PB.
(2) Pemegang PB wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemegang PB wajib menindaklanjuti pembekuan PB paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB.
(4) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB telah menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB.
(5) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB tidak menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB.
(6) Dalam hal pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan dan pemegang PB tetap melaksanakan kegiatannya, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran langsung mencabut PB.


Pasal 414

(1) Pengenaan sanksi administratif sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 sampai dengan Pasal 413 dilakukan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran.


Paragraf 6
Sektor Perindustrian

Pasal 415

(1) Setiap Pelaku Usaha yang telah memiliki PB namun tidak melakukan kegiatan usaha industri selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis; dan
b. pencabutan PB dan  PB UMKU.
(2) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) Hari.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha yang telah dikenai peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan kegiatan usaha industri, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB dan PB UMKU.


Pasal 416

(1) Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memiliki PB dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif; dan
c. penutupan sementara
(2) Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pembekuan PB; dan/atau
e. pencabutan PB.
(3) Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing­ masing 30 (tiga puluh) Hari
(4) Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat langsung dikenai sepanjang diatur peraturan perundang­ undangan


Pasal 417

(1) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan berupa memiliki PB atau berlokasi di kawasan industri/kawasan peruntukan industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa denda administratif.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi.
(3) Nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kawasan industri ditetapkan berdasarkan hasil audit lembaga independen.
(4) Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima oleh Pelaku Usaha.

    
Pasal 418

(1) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 ayat (4) dan tidak melakukan perbaikan berupa memiliki PB atau berlokasi di kawasan industri/kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak melakukan perbaikan berupa memiliki PB atau berlokasi di kawasan industri/kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara.
(3) Sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi:
a. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memiliki PB dikenakan sampai dengan perusahaan yang bersangkutan memperoleh PB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri dikenakan untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal surat penutupan sementara diterima.


Pasal 419

(1) Dalam hal sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 ayat (3) huruf b Pelaku Usaha di sektor perindustrian tidak membayar denda administratif dan/ atau tidak berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa pembekuan PB.
(2) Pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan surat penetapan pembekuan.


Pasal 420

Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah membayar denda administratif dan berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 ayat (2) dapat mengajukan permohonan pemulihan status pembekuan PB.


Pasal 421

Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419 ayat (2) tidak membayar denda administratif dan/atau tidak berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB.


Pasal 422

(1) Pengenaan sanksi administratif sektor perindustrian dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kepala Lembaga OSS, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.


Pasal 423

(1) Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan PB UMKU sektor Perindustrian dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pengenaan denda administratif;
d. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
e. pencabutan PB UMKU.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif PB UMKU sektor Perindustrian diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian.


Paragraf 7
Sektor Perdagangan dan Metrologi Legal

Pasal 424

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan tidak memiliki PB dan/atau PB UMKU pada sektor perdagangan dan metrologi legal, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. paksaan pemerintah; dan/atau
d. denda administratif.
(2) Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai secara:
a. kumulatif atau bertahap; dan
b. tidak bertahap.


Pasal 425

(1) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf a berisi perintah untuk segera memiliki PB dan/atau PB UMKU, dan melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha.


Pasal 426

(1) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf b dikenai dalamjangka waktu tertentu yang ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan.
(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha untuk mengajukan permohonan PB dan/ atau PB UMKU, dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada sektor perdagangan.
  

Pasal 427

Dalam hal Pelaku Usaha tetap tidak dapat menyelesaikan permohonan PB dan/ atau PB UMKU dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha, dikenai sanksi berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf c untuk memiliki PB dan/atau PB UMKU sesua1 dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 428

(1) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf c berupa:
a. pengamanan barang;
b. penarikan barang dari distribusi;
c. penutupan lokasi usaha;
d. penutupan gudang;
e. penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/atau media internet lain yang dipergunakan untuk kegiatan perdagangan secara daring; dan/ atau
f. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran.
(2) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan pertimbangan bidang usaha serta tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/ atau menghentikan dampak yang ditimbulkan.
(3) Dalam melakukan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melibatkan aparat penegak hukum.


Pasal 429

Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf d diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 430

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan.


Pasal 431

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor perdagangan dan metrologi legal, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. paksaan pemerintah;
c. denda administratif;
d. pembekuan PB dan/atau PB UMKU; dan/atau
e. pencabutan  PB dan/atau PB UMKU.
(2) Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai secara:
a. kumulatif atau bertahap; dan
b. tidak bertahap.
 

Pasal 432

(1) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf a dikenakan dengan ketentuan:
a. baru pertama kali melakukan pelanggaran;
b. belum menimbulkan dampak berupa kerugian konsumen; dan/ atau
c. sudah ada dampak yang ditimbulkan namun dapat diperbaiki dengan mudah.
(2) Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perintah untuk mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan.


Pasal 433

(1) Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf b, berupa:
a. penarikan barang dari distribusi;
b. penutupan lokasi usaha;
c. penutupan gudang;
d. penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media internet lain yang dipergunakan untuk kegiatan perdagangan secara daring; dan/ atau
e. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran.
(2) Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan pertimbangan bidang usaha serta tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/ atau menghentikan dampak yang ditimbulkan.
(3) Dalam melakukan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melibatkan aparat penegak hukum.
(4) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf c diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(5) Sanksi administratif berupa pembekuan PB dan PB UMKU dan/ atau pencabutan PB dan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf d dan huruf e diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan


Pasal 434

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan.


Paragraf 8
Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Pasal 435

(1) Setiap Pelaku Usaha di subsektor jasa konstruksi dikenai sanksi administratif atas pelanggaran:
a. pemenuhan persyaratan PB meliputi:
1. kemampuan badan usaha Jasa konstruksi/ sertifikat badan usaha bagi badan usaha jasa konstruksi;
2. kompetensi tenaga kerja konstruksi/sertifikat kompetensi kerja konstruksi bagi usaha orang perseorangan;
3. kemampuan sertifikasi badan usaha jasa konstruksi/lisensi lembaga sertifikasi badan usaha jasa konstruksi bagi lembaga sertifikasi badan usaha; atau
4. kemampuan sertifikasi profesi jasa konstruksi/lisensi lembaga sertifikasi profesi jasa konstruksi bagi lembaga sertifikasi profesi,
dikarenakan tidak lagi memenuhi syarat dan/ atau habis masa berlaku.
b. pemenuhan kewajiban laporan kegiatan usaha tahunan jasa konstruksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jasa konstruksi;
c. pemenuhan persyaratan dan kewajiban khusus bagi badan usaha jasa konstruksi Penanaman Modal Asing atau kantor perwakilan badan usaha jasa konstruksi asing; dan
d. ketentuan dalam peraturan perundang-undangan di bidang jasa konstruksi.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pengenaan denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan usaha;
d. pencabutan PB; dan/atau
e. pencantuman daftar hitam.
(3) Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara kumulatif atau bertahap.
(4) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui mekanisme PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 436

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum.
(2) Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural di bawah kewenangannya.


Pasal 437

(1) Pemegang PB sektor pekerjaan umum subsektor sumber daya air dilarang menghalangi dan harus membuka akses bagi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melaksanakan tugas pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan pada sumber air.
(2) Pemegang PB sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air yang melanggar ketentuan PB dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pembekuan PB;
d. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
e. pencabutan PB.


Pasal 438

(1) Pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air dilarang:
a. menyewakan dan/atau memindahtangankan sebagian atau seluruh PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air kepada pihak lain;
b. melakukan pelanggaran terhadap ketentuan dan kewajiban yang tercantum dalam PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air;
c. melakukan penyalahgunaan PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air.
d. menguasai sumber air; dan/ atau
e. menutup akses masyarakat terhadap sumber air yang digunakan.
(2) Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air dilarang menghalangi dan harus membuka akses bagi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan tugas pengelolaan sumber daya air, termasuk pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan pada sumber air.
(3) Pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air yang melanggar ketentuan PB dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pembekuan PB UMKU;
d. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
e. pencabutan PB UMKU.


Pasal 439

Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 437 dan Pasal 438 diberikan oleh pemberi PB dan PB UMKU sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 440

PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air dapat langsung dilakukan pencabutan dalam hal:
  1. pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air mengajukan permohonan pencabutan PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air;
  2. pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air menyampaikan dokumen atau kelengkapan persyaratan yang tidak benar atau tidak sah;
  3. pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air tidak melaksanakan konstruksi paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak ditetapkannya PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air dan tidak dilakukan perubahan jadwal pelaksanaan konstruksi; atau
  4. pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air telah melakukan kegiatan konstruksi tetapi bangunan tidak difungsikan selama 2 (dua) tahun setelah selesai dibangun.

Pasal 441

(1) Pemegang PB dan PB UMKU sektor pekerjaan umurn dan perumahan rakyat subsektor bina marga jalan tol yang melanggar ketentuan PB dan PB UMKU dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha; dan/ atau
c. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB dan PB UMKU sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 442

(1) Pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umurn dan perumahan rakyat subsektor bina marga jalan non-tol yang melanggar ketentuan PB UMKU dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. denda administratif; dan/ atau
d. pencabutan PB UMKU.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB UMKU sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 443

(1) Pemegang PB untuk penyelenggaraan sistem penyediaan air minum yang melanggar ketentuan PB dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pembekuan PB; dan/ atau
d. pencabutan PB.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 444

(1) Pemegang PB sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor pengembangan perumahan yang melanggar ketentuan PB dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pembekuan PB; dan/ atau
d. pencabutan PB.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 445

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435 ayat (2), Pasal 437 ayat (2), Pasal 438 ayat (3), Pasal 441 ayat (1), Pasal 442 ayat (1) , Pasal 443 ayat (1), dan  Pasal 444 ayat (1) diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum; dan
b. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 9
Sektor Transportasi

Pasal 446

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas, PB, dan/atau PB UMKU pada sektor transportasi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan sertifikat, PB, dan/ atau PB UMKU;
c. denda administratif;
d. pengenaan daya paksa polisional;
e. pencabutan sertifikat; dan/ atau
f. pencabutan  PB dan/atau PB UMKU.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada kegiatan Pengawasan.


Pasal 447

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 dapat dilakukan secara tidak bertahap atau secara bertahap.
(2) Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila pelanggaran tersebut dapat secara langsung membahayakan keselamatan dan keamanan transportasi.
(3) Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pembekuan sertifikat, PB, dan/atau PB UMKU dan/atau pencabutan PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf b dan huruf f.


Pasal 448

(1) Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf a terdiri dari peringatan pertama sampai dengan peringatan ketiga dengan jangka waktu peringatan masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(2) Dalam hal Pelaku Usaha belum menindaklanjuti peringatan sampai berakhir jangka waktu peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pembekuan sertifikat, PB, dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf b dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha belum menindaklanjuti pembekuan sertifikat, PB, dan/atau PB UMKU sampai berakhirnya jangka waktu pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pencabutan PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf f.


Pasal 449

(1) Sanksi denda administratif dapat dikenakan berdiri sendiri atau bersamaan dengan sanksi peringatan pertama, peringatan kedua, peringatan ketiga, pembekuan sertifikat, PB, dan/atau PB UMKU, danpencabutan PB dan/atau PB UMKU.
(2) Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah poin pelanggaran dikalikan dengan besaran tarif denda administratif.
(3) Besaran tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 450

(1) Sanksi administratif berupa pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf d dikenakan apabila pelanggaran yang dilakukan berpotensi atau menimbulkan:
a. kerusakan terhadap kesehatan, keselamatan, dan/ atau lingkungan;
b. korban manusia atau kerugian harta benda; dan/ atau
c. menimbulkan kecelakaan.
(2) Jenis sanksi administratif berupa pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. penghentian sementara kegiatan;
b. penghentian sementara pelayanan umum;
c. penyegelan;
d. larangan beroperasi;
e. penutupan lokasi;
f. pembongkaran bangunan; dan/ atau
g. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan kerusakan terhadap keselamatan dan keamanan transportasi dan/atau lingkungan.
  

Pasal 451

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan  ketentuan  peraturan  perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.


Paragraf 10
Sektor Kesehatan, Obat, dan Makanan

Pasal 452

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor kesehatan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pengenaan denda administratif; dan/ atau
d. pencabutan  PB dan/atau PB UMKU.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap kegiatan usaha subsektor kesehatan untuk kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga dikenai sanksi administratif berupa daya paksa polisional meliputi:
a. penarikan dari peredaran;
b. pemusnahan produk;
c. penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya;
d. penutupan akses permohonan PB dan/ atau PB UMKU; dan/atau
e. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan/ atau untuk pengamanan.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tidak secara berjenjang.
 

Pasal 453

Pengenaan sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 452 ayat (1) huruf a dikenai paling banyak 3 (tiga) kali untukjangka waktu masing­ masing 14 (empat belas) Hari.


Pasal 454

Dalam hal Pelaku Usaha melakukan pelanggaran yang membahayakan jiwa, penghentian sementara kegiatan usaha atau pencabutan PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 452 ayat (1) huruf b dan huruf d dilakukan tanpa peringatan terlebih dahulu.
 

Pasal 455

(1) Pengenaan sanksi administratif harus berdasarkan laporan hasil Pengawasan yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kesehatan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada pihak yang dikenai sanksi administratif paling lambat 5 (lima) Hari sejak ditetapkan.
(4) Dalam pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dapat membentuk tim ad hoc untuk membantu dalam melakukan verifikasi, klarifikasi, dan kajian terhadap pelanggaran standar pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan laporan hasil Pengawasan.


Pasal 456

(1) Pelaku Usaha yang mendapat sanksi administratif berhak mengajukan keberatan kepada pejabat yang bersangku tan.
(2) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas alasan yang jelas dan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung.
(3) Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak diterimanya penetapan sanksi administratif oleh yang bersangku tan.
(4) Terhadap keberatan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pejabat yang mengenakan sanksi administratif harus melakukan pemeriksaan ulang.
(5) Dalam hal berdasarkan pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terbukti pemohon tidak bersalah, maka terhadap dirinya dilakukan pemulihan nama baik.


Pasal 457

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.


Pasal 458

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada subsektor obat dan makanan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan usaha melalui pembekuan PB UMKU;
c. pengenaan denda administratif;
d. pengenaan daya paksa polisional;
e. pembatalan PB UMKU; dan/ atau
f. pencabutan PB UMKU.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dapat memberikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga penerbit PB untuk melakukan:
a. penghentian sementara kegiatan usaha melalui pembekuan PB; dan/atau
b. pencabutan PB.
(3) Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
a. penarikan dari peredaran;
b. pemusnahan;
c. penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/atau media elektronik lain yang dipergunakan untuk kegiatan perdagangan obat dan makanan secara daring;
d. penutupan akses permohonan PB UMKU; dan/ atau
e. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan/ atau tindakan pemulihan.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif atau bertahap berdasarkan tingkat Risiko pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 459

(1) Pelaku Usaha dapat mengajukan aktivasi kembali PB UMKU atas tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Atas pengajuan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan memberikan persetujuan atau penolakan yang disampaikan melalui Sistem OSS.
(3) Dalam hal Pelaku Usaha mengabaikan tindakan pembekuan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (1) huruf b, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan melakukan pencabutan PB UMKU melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 460

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (1) dilaksanakan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan.


Pasal 461

(1) Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada subsektor pangan segar, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pengenaan denda administratif;
d. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
e. pencabutan PB UMKU.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 dikenai secara kumulatif atau bertahap berdasarkan tingkat Risiko pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Pasal 462

(1) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha paling banyak 2 (dua) kali.
(2) Jangka waktu antara peringatan kesatu dan peringatan kedua dilakukan dalam jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kalender.
(3) Pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penghentian sementara kegiatan produksi, peredaran, dan/ atau PB UMKU lainnya.
(5) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf c dikenakan kepada Pelaku Usaha apabila:
a. tidak melaksanakan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4);
b. menyebabkan Iuka berat; atau
c. membahayakan nyawa orang.
(6) Sanksi administratif berupa pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf d terdiri atas:
a. penarikan produk dari peredaran;
b. pemusnahan;
c. penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lain yang dipergunakan untuk kegiatan perdagangan pangan secara daring:
d. penutupan akses permohonan PB UMKU; dan/atau
e. tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan/ atau tindakan pemulihan.
(7) Penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. dapat disertai penghentian sementara dari kegiatan usaha berupa penghentian sementara kegiatan produksi, peredaran, dan/ atau PB UMKU lainnya, atau pencabutan PB UMKU;
b. dapat dilakukan tanpa didahului peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan usaha berupa penghentian sementara kegiatan produksi, peredaran, dan/ atau PB UMKU lainnya, maupun pencabutan PB UMKU; dan/atau
c. penarikan produk dari peredaran dilakukan oleh Pelaku Usaha.
(8) Sanksi administratif berupa pencabutan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf e dilakukan apabila setelah 30 (tiga puluh) hari kalender Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(9) Sanksi administratif pencabutan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dikenakan sendiri atau bersama-sama dengan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5).


Pasal 463

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 dilakukan oleh:
a. kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan;
b. gubernur;
c. bupati/wali kota;
d. kepala Administrator KEK; atau
e. kepala Badan Pengusahaan KPBPB,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan.


Paragraf 11
Sektor Pendidikan dan Kebudayaan

Pasal 464

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada subsektor pendidikan untuk kegiatan usaha penerbitan buku, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penarikan produk dari peredaran;
c. pembekuan PB; dan/ atau
d. pencabutan PB.
(2) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada subsektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penutupan sementara;
d. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
e. pencabutan PB dan/atau PB UMKU.
(3) Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan dalam bentuk:
a. penghentian pembuatan film;
b. penghentian pengedaran film;
c. penghentian pertunjukan film;
d. penghentian penjualan film; dan/ atau
e. penghentian penyewaan film.


Pasal 465

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 464 diberikan oleh:
a. menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan menengah;
b. menteri  yang  menyelenggarakan  suburusan pemerin tahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan menengah;
b. peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 12
Sektor Pariwisata

Pasal 466

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor pariwisata, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan usaha;
c. pengenaan denda administratif; dan/atau
d. pencabutan PB.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. secara bertahap; dan
b. secara tidak bertahap.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha berupa teguran tertulis paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi  peringatan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3).
(5) Sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan atas hasil Pengawasan.
   

Pasal 467

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 466 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pariwisata, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata.


Paragraf 13
Sektor Keagamaan

Pasal 468

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor keagamaan, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan;
  4. paksaan pemerintah;
  5. pembekuan PB; dan/atau
  6. pencabutan PB.
 
Pasal 469

(1) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf a, dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. tidak memfasilitasi pengurusan dokumen perjalanan ibadah haji khusus;
b. tidak memberikan bimbingan dan pembinaan ibadah haji khusus;
c. tidak memberikan pelayanan kesehatan, transportasi, akomodasi, konsumsi, dan pelindungan sesuai dengan perjanjian tertulis;
d. tidak memberangkatkan penanggung jawab penyelenggara ibadah haji khusus, petugas kesehatan, dan pembimbing ibadah haji khusus sesuai dengan ketentuan pelayanan haji khusus;
e. tidak memfasilitasi pemindahan calon jemaah haji khusus kepada penyelenggara ibadah haji khusus lain atas permohonan jemaah;
f. tidak melaporkan jumlah jemaah haji khusus yang akan dibadalhajikan sebelum pelaksanaan wukuf kepada petugas penyelenggara ibadah haji Arab Saudi;
g. tidak melaporkan keberangkatan warga negara Indonesia yang mendapatkan undangan visa haji mujamalah;
h. tidak melakukan pembaharuan perubahan pemegang saham, komisaris, direksi, alamat perubahan penyelenggara ibadah haji khusus, dan pembukaan kantor cabang pada Sistem OSS; dan/ atau
i. tidak melaporkan pelaksanaan penyelenggaraan ibadah haji khusus kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.
(2) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf b, dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pelanggaran kedua kali atas sanksi teguran tertulis;
b. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus;
c. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus; dan/ atau
d. gagal memulangkan jemaah haji khusus.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf c dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam;
b. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam; dan/atau
c. gagal memulangkan jemaah haji khusus melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam.
(4) Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf d dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus;
b. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepadajemaah haji khusus; dan/atau
c. gagal memulangkan jemaah haji khusus.
(5) Sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf e dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pengulangan ketiga kali atas sanksi teguran tertulis;
b. melakukan pengulangan kedua kali atas sanksi denda administratif;
c. tidak memberangkatkan, melayani, dan memulangkan jemaah haji khusus sesuai dengan perjanjian;
d. gagal memberangkatkan jemaah haji khusus melewati batas waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam;
e. tidak mampu menyediakan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah haji khusus melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam;
f. gagal memulangkan jemaah haji khusus melewati batas waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam; dan/atau
g. gagal memberangkatkan dan memulangkan jemaah haji visa mujamalah.
(6) Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf f dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pengulangan keempat kali atas sanksi teguran tertulis;
b. melakukan pengulangan ketiga kali atas sanksi denda administratif;
c. melakukan pengulangan kedua kali atas sanksi pembekuan PB; dan/atau
d. jika penyelenggara ibadah haji khusus melakukan pengulangan pelanggaran berupa gagal memberangkatkan, menelantarkan, dan gagal memulangkan jemaah haji khusus.


Pasal 470

(1) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf a dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. tidak menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang pembimbing ibadah setiap 45 (empat puluh lima) orang jemaah umrah;
b. tidak memberikan pelayanan dokumen perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan transportasi kepada jemaah sesuai dengan perjanjian tertulis yang disepakati antara penyelenggara perjalanan ibadah umrah dan jemaah umrah;
c. tidak menyampaikan rencana perjalanan umrah kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama secara tertulis sebelum keberangkatan;
d. tidak melapor kepada perwakilan Republik Indonesia di Arab Saudi pada saat datang di Arab Saudi dan pada saat akan kembali ke Indonesia;
e. tidak membuat laporan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama paling lambat 10 (sepuluh) Hari setelah tiba kembali di tanah air;
f. tidak mengikuti standar pelayanan minimal dan harga referensi;
g. tidak mengikuti prinsip syariat;
h. tidak melaporkan pembukaan rekening penampungan bagi dana jemaah untuk kegiatan umrah;
i. tidak melaporkan jemaah umrah yang telah menyetorkan biaya penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah ke rekening penampungan biaya penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah pada bank penerima setoran;
j. tidak melaporkan jemaah umrah yang telah didaftarkan asuransi;
k. tidak melaporkan paket di bawah harga referensi; dan/atau
l. tidak melakukan pembaharuan perubahan pemegang saham, komisaris, direksi, alamat perubahan penyelenggara perjalanan ibadah umrah, dan pembukaan kantor cabang pada Sistem OSS.
(2) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf b dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pengulangan pelanggaran kedua kali atas sanksi teguran tertulis;
b. tidak memiliki perjanjian kerja sama dengan fasilitas pelayanan kesehatan di Arab Saudi;
c. tidak memberangkatkan jemaah umrah yang terdaftar pada tahun hijriah berjalan;
d. meminjamkan legalitas PB kepada biro perjalanan yang tidak memiliki PB se bagai penyelenggara perjalanan ibadah umrah;
e. gagal memberangkatkan jemaah umrah;
f. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah; dan/ atau
g. gagal memulangkan jemaah umrah.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf c dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. gagal memberangkatkan jemaah umrah melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam;
b. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam; dan/ atau
c. gagal memulangkan jemaah umrah melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam.
(4) Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf d dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. gagal memberangkatkan jemaah umrah;
b. tidak menyediakan layanan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepadajemaah umrah; dan/atau
c. gagal memulangkan jemaah umrah.
(5) Sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf e dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pengulangan pelanggaran ketiga kali atas sanksi teguran tertulis;
b. melakukan pengulangan pelanggaran kedua kali atas sanksi denda administratif;
c. tidak memberangkatkan dan memulangkan jemaah umrah sesuai dengan masa berlaku visa umrah di Arab Saudi;
d. tidak membuka rekening penampungan yang digunakan untuk menampung dana jemaah umrah untuk kegiatan umrah;
e. gagal memberangkatkan dan memulangkan jemaah sesuai perjanjian tertulis;
f. gagal memberangkatkanjemaah melewati batas waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam;
g. tidak mampu menyediakan akomodasi, transportasi, dan konsumsi kepada jemaah umrah melewati batas waktu lx24 (satu kali dua puluh empat) jam; dan/ atau
h. gagal memulangkan jemaah umrah melewati batas waktu 3x24 (tiga kali dua puluh empat) jam.
(6) Sanksi administratif pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf f dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
a. melakukan pengulangan pelanggaran keempat kali atas sanksi teguran tertulis;
b. melakukan pengulangan pelanggaran ketiga kali atas sanksi denda administratif;
c. melakukan pengulangan pelanggaran kedua kali atas sanksi pembekuan PB; dan/atau
d. melakukan pengulangan pelanggaran berupa gagal memberangkatkan, menelantarkan, dan gagal memulangkan jemaah umrah.
  

Pasal 471

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, besaran denda, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama.


Paragraf 14
Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran

Pasal 472

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada subsektor pos, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. pengenaan denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan usaha;
  4. pengenaan daya paksa polisional;
  5. pencabutan layanan; dan/ atau
  6. pencabutan PB.

Pasal 473

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor telekomunikasi, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. pengenaan denda administratif;
  3. penghentian sementara kegiatan usaha;
  4. pemutusan akses;
  5. pencabutan penetapan penomoran;
  6. pengenaan daya paksa polisional;
  7. pencabutan layanan; dan/ atau
  8. pencabutan PB dan/ atau PB UMKU.

Pasal 474

(1) Setiap lembaga peny1aran atau penyelenggara multipleksing penyiaran yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada subsektor penyelenggaraan penyiaran, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pengenaan denda administratif;
c. penghentian sementara kegiatan usaha;
d. pengenaan daya paksa polisional;
e. pencabutan layanan; dan/ atau
f. pencabutan PB.
(2) Setiap lembaga penyiaran yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB yang terkait dengan isi siaran, dikenai sanksi administratif oleh Komisi Penyiaran Indonesia berupa:
a. teguran tertulis;
b. pengenaan denda administratif;
c. penghentian sementara mata acara yang bermasalah setelah melalui tahap tertentu;
d. pembatasan durasi dan waktu siaran; dan/atau
e. pembekuan kegiatan siaran untuk waktu tertentu.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran atas PB yang terkait dengan pelanggaran isi siaran dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(4) Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipatuhi oleh lembaga penyiaran.


Pasal 475

Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472, Pasal 473, dan Pasal 474 ayat (1) dan ayat (3) dilakukan secara tidak bertahap atau secara bertahap.


Pasal 476

(1) Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 475 dilakukan apabila pelanggaran tersebut membahayakan keamanan negara dan/atau berpotensi merugikan negara.
(2) Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pencabutan PB dan/atau PB UMKU.


Pasal 477

(1) Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf a, Pasal 473 huruf a, dan Pasal 474 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a terdiri dari teguran tertulis pertama sampai dengan teguran tertulis ketiga.
(2) Jangka waktu antar teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling singkat 7 (tujuh) Hari dan paling lama 30 (tiga puluh) Hari dengan mempertimbangkan upaya Pelaku Usaha untuk memenuhi PB dan/ atau PB UMKU.


Pasal 478

(1) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf b, Pasal 473 huruf b, dan Pasal 474 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada Pengawasan.
(2) Besaran denda administratif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.


Pasal 479

Penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf c, Pasal 473 huruf c, dan Pasal 474 ayat (1) huruf c dikenakan selama jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.


Pasal 480

Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf d, Pasal 473 huruff, dan Pasal 474 ayat (1) huruf d dapat diberikan dalam bentuk:
  1. meminta  identitas pelaku pelanggaran dan mendokumentasikan dalam bentuk digital;
  2. memasuki dan memeriksa lokasi kegiatan usaha;
  3. meminta keterangan Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran;
  4. memanggil Pelaku Usaha yang melakukan pelanggaran; dan/atau
  5. penyegelan sementara alat dan/ atau perangkat penunjang yang digunakan untuk kegiatan usaha.

Pasal 481

Pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf f, Pasal 473 huruf h, dan Pasal 474 ayat (1) huruf f diberikan sebagai tahap paling akhir dalam tahapan pengenaan sanksi administratif.


Pasal 482

(1) Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha dapat ditetapkan dalam daftar hitam dalam hal Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan layanan dan/ atau pencabutan PB.
(2) Pihak yang ditetapkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang terlibat dalam kegiatan usaha yang bersangkutan.
(3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikeluarkan dari daftar hitam setelah:
a. 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkan dalam daftar hitam; dan/ atau
b. kewajiban yang menjadi piutang negara dipenuhi.


Pasal 483

(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 sampai dengan Pasal 481 dan ketentuan lebih lanjut mengenai daftar hitam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 482 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 474 ayat (2) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia.


Pasal 484

(1) Pemegang hak labuh satelit yang menyampaikan data yang tidak benar dan/ atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan PB UMKU persyaratan hak labuh satelit dikenai sanksi administratif berupa pencabutan hak labuh satelit yang diikuti dengan pencabutan izin stasiun radio.
(2) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak labuh satelit yang menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 485

Hak labuh satelit dapat dicabut dalam hal:
  1. satelit asing yang digunakan dinyatakan tidak dapat beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi;
  2. tidak memiliki izin stasiun radio dalam jangka waktu paling singkat 1 (satu) tahun dalam periode masa berlaku hak labuh satelit; dan/ atau
  3. dalam hal terdapat kepentingan pertahanan dan/ atau keamanan negara, keselamatan dan penanggulangan keadaan marabahaya (safety and distress), pencarian dan pertolongan (search and rescue/SAR), kesejahteraan masyarakat, dan/ atau kepentingan umum.

Pasal 486

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menggunakan spektrum frekuensi radio tanpa Izin pita frekuensi radio, Izin stasiun radio, dan/ atau persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif; dan
c. pengenaan daya paksa polisional.
(2) Sanksi administratif pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan dalam bentuk:
a. penghentian operasional pemancaran spektrum frekuensi radio; dan/ atau
b. penyegelan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang digunakan untuk pemancaran spektrum frekuensi radio.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif.
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelanggaran penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa Izin pita frekuensi radio, Izin stasiun radio, dan/ atau persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang komunikasi dan informasi dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan

 
Pasal 487

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif; dan/ atau
c. diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk pelanggaran atas kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, kecuali untuk kewajiban yang telah diatur jenis sanksi administratif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari.
(4) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang Izin pita frekuensi radio belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, dikenai sanksi denda administratif.
(5) Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender, pemegang Izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi dan/ atau belum memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa diumumkan melalui:
a. media cetak; dan/ atau
b. media elektronik.
 

Pasal 488

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio, yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan tidak menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio secara berkala, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/ atau
c. diumumkan melalui media cetak dan/ atau media elektronik.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari.
(3) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Izin pita frekuensi radio belum menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa:
a. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio; dan
b. diumumkan melalui media cetak dan/atau media elektronik.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut dalam hal pemegang Izin pita frekuensi radio telah menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio.


Pasal 489

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin pita frekuensi radio sampai dengan tanggal jatuh tempo, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif keterlambatan pembayaran PNBP yang terutang;
c. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;
d. penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio; dan/ atau
e. pencabutan izin pita frekuensi radio.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari.
(3) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(4) Sanksi administratif berupa penghentian layanan penzman penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenakan bersamaan dengan teguran tertulis pertama.
(5) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua, pemegang Izin pita frekuensi radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin pita frekuensi radio dan/ atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang pengenaannya bersamaan dengan teguran tertulis ketiga.
(6) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga, pemegang Izin pita frekuensi radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin pita frekuensi radio dan/ atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.


Pasal 490

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menggunakan pita frekuensi radio yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif; dan
c. penghentian sementara operasional stasiun radio yang tidak sesuai dengan peruntukan.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dicabut jika pemegang Izin pita frekuensi radio telah menyesuaikan penggunaan pita frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya.


Pasal 491

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menimbulkan gangguan yang merugikan (hannful interference) dalam penggunaan pita frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. penghentian sementara operasional stasiun radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interjerence).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dicabut jika pemegang Izin pita frekuensi radio dalam penggunaan pita frekuensi radionya tidak lagi menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference).
(4) Dalam hal penggunaan pita frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference) berpotensi menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan/atau keselamatan jiwa manusia, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 492

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio; dan/ atau
d. pencabutan Izin pita frekuensi radio.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenakan secara kumulatif.
(3) Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender pemegang Izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c belum mengajukan permohonan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, melunasi denda administratif, dan/ atau menghentikan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.


Pasal 493

(1) Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan melakukan pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;
d. penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio; dan/ atau
e. pencabutan Izin pita frekuensi radio.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dikenakan secara kumulatif.
(3) Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender pemegang Izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d belum mengajukan permohonan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, melunasi denda administratif, dan/ atau menghentikan sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.
 

Pasal 494

(1) Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menyampaikan data yang tidak benar dan / atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan Izin stasiun radio, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;
c. penghentian sementara operasional pemancaran spektrum frekuensi radio; dan/ atau
d. pencabutan izin stasiun radio.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenakan secara kumulatif.
(3) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pemegang Izin stasiun radio tidak memberikan bukti mengenai kebenaran data dan/ atau validitas dokumen, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional pemancaran spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c selama 1 (satu) bulan.
(4) Dalam hal sampai dengan batas waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang Izin stasiun radio tidak memberikan bukti mengenai kebenaran data dan/ atau validitas dokumen, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang Izin stasiun radio yang menyampaikan data yang tidak benar dan/ atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 495

(1) Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin stasiun radio sampai dengan tanggal jatuh tempo, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif keterlambatan pembayaran PNBP yang terutang;
c. penghentian layanan perizinan penggunaan spektrum frekuensi radio;
d. penghentian sementara operasional stasiun radio; dan/atau
e. pencabutan Izin stasiun radio.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari.
(3) Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan
(4) Sanksi administratif berupa penghentian layanan penzman penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenakan bersamaan dengan teguran tertulis kesatu.
(5) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua pemegang Izin stasiun radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin stasiun radio dan/ atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang pengenaannya bersamaan dengan teguran tertulis ketiga.
(6) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga pemegang Izin stasiun radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin stasiun radio dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e.
 

Pasal 496

(1) Setiap pemegang lzin stasiun radio untuk dinas radio komunikasi tertentu yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara operasional stasiun radio; dan/atau
c. pencabutan Izin stasiun radio.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah teguran tertulis diberikan, pemegang izin stasiun radio tetap tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b selama 30 (tiga puluh) hari kalender.
(4) Jika dalam waktu setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, pemegang Izin stasiun radio tetap tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio.


Pasal 497

(1) Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menggunakan frekuensi radio yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan/ atau mengoperasikan stasiun radio tidak sesuai dengan parameter teknis yang ditetapkan dalam Izin stasiun radio, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif; dan
c. penghentian sementara operasional stasiun radio yang tidak sesuai dengan peruntukan dan/ atau tidak sesuai dengan parameter teknis.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dicabut jika pemegang Izin stasiun radio telah menyesuaikan penggunaan frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya dan/ atau sesuai parameter teknisnya.
 

Pasal 498

(1) Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference) dalam penggunaan frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan
b. penghentian sementara operasional stasiun radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference).
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif.
(3) Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dicabut jika pemegang Izin stasiun radio dalam penggunaan frekuensi radionya tidak lagi menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference).
(4) Dalam hal penggunaan frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference), berpotensi menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan/atau keselamatan jiwa manusia, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 499

(1) Setiap pemegang Izin stasiun radio angkasa yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak mendaftarkan stasiun bumi secara berkala setiap tahun, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara operasional stasiun bumi yang tidak terdaftar; dan/ atau
d. pencabutan Izin stasiun radio angkasa.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.
(3) Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran kesatu, pemegang Izin stasiun radio angkasa belum mendaftarkan stasiun bumi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b; dan
b. penghentian sementara operasional stasiun bumi yang tidak terdaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c selama 30 (tiga puluh) hari kalender.
(4) Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, pemegang Izin stasiun radio angkasa belum mendaftarkan stasiun bumi, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio angkasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.


Pasal 500

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan membuat, merakit, dan/ atau memasukkan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. pengenaan daya paksa polisional berupa  penyegelan alat telekomunikasi dan/ atau  perangkat  telekomunikasi;
c. penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/ atau digunakan oleh masyarakat; dan/ atau
d. denda administratif.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 1 (satu) kali.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenakan secara kumulatif atau alternatif.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak melakukan penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang ditentukan, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d.
(5) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan


Pasal 501

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dimiliki, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/ atau digunakan oleh masyarakat;
c. pencabutan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi;
d. denda administratif; dan/ atau
e. penghentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 1 (satu) kali.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberikan secara kumulatif.
(4) Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak melakukan penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang ditentukan, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif dan penghentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e.
(5) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dimiliki dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 502

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan memperdagangkan dan/atau menggunakan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. pengenaan daya paksa polisional berupa penyegelan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi; dan/atau
d. penarikan kembali  seluruh alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 1 (satu) kali.
(3) Dalam hal setiap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih memperdagangkan dan/atau menggunakan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis setelah 7 (tujuh) hari kalender sejak teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d secara kumulatif.
(4) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan dan/atau menggunakan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan


Pasal 503

(1) Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi, dikenai sanksi administratif berupa:
a. pencabutan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi;
b. penghentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 2 (dua) tahun; dan
c. penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif.
(3) Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang menyampaikan data tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 504

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan basil Pengawasan tidak melakukan pembayaran setelah terbitnya surat pemberitahuan pembayaran sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi sebanyak 2 (dua) kali dalam periode 1 (satu) tabun, dikenai sanksi administratif berupa pengbentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 6 (enam) bulan.


Pasal 505

(1) Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan tidak melaporkan bukti pemasangan label alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis.
(2) Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan tidak memasang label pada alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/ atau dipergunakan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/ atau
b. penghentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 6 (enam) bulan.
(3) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) buruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.
(4) Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelab teguran tertulis ketiga dikenakan, pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi tetap tidak memasang label pada alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan, dikenai sanksi administratif berupa pengbentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) buruf b.
 

Pasal 506

(1) Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak mengajukan perubahan data administrasi sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis; dan/ atau
b. penghentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun.
(2) Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender.


Pasal 507

Pelaku Usaha yang sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasinya dicabut, diumumkan melalui:
  1. media cetak; dan/atau
  2. media elektronik.


Pasal 508

(1) Dalam kondisi tertentu, alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, dan/atau perangkat pendukung lainnya yang merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 500, Pasal 501, dan/atau Pasal 502 dapat dilakukan pemusnahan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang komunikasi dan informasi.
(2) Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, dan/ atau perangkat pendukung lainnya:
a. membahayakan keselamatan jiwa manusia;
b. tidak diketahui kepemilikannya; dan/ atau
c. telah diserahkan oleh pemilik kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk dimusnahkan.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Pasal 509

(1) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf b, Pasal 473 huruf b, Pasal 474 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 486 ayat (1) huruf b, Pasal 487 ayat (1) huruf b, Pasal 490 ayat (1) huruf b, Pasal 492 ayat (1) huruf b, Pasal 493 ayat (1) huruf b, Pasal 497 ayat (1) huruf b, Pasal 499 ayat (1) huruf b, Pasal 500 ayat (1) huruf d, Pasal 501 ayat (1) huruf d, dan Pasal 502 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
(2) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan satuan poin pelanggaran dikalikan dengan tarif denda administratif.
(3) Tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp l00.000,00 (seratus ribu rupiah) per pom.


Pasal 510

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472, Pasal 473, Pasal 474 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 482 ayat (1), Pasal 484 ayat (1), Pasal 486 ayat (1), Pasal 487 ayat (1), Pasal 488 ayat (1), Pasal 489 ayat (1), Pasal 490 ayat (1), Pasal 491 ayat (1), Pasal 492 ayat (1), Pasal 493 ayat (1), Pasal 494 ayat (1), Pasal 495 ayat (1), Pasal 496 ayat (1), Pasal 497 ayat (1), Pasal 498 ayat (1), Pasal 499 ayat (1), Pasal 500 ayat (1), Pasal 501 ayat (1), Pasal 502 ayat (1), Pasal 503 ayat (1), Pasal 504, Pasal 505 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 506 ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Paragraf 15
Sektor Pertahanan dan Keamanan

Pasal 511

(1) Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan yang memperoleh:
a. penetapan industri pertahanan;
b. sertifikasi kelaikan fasilitas produksi atau fasilitas pemeliharaan pertahanan;
c. Izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan;
d. Izin ekspor alat peralatan pertahanan dan keamanan serta bahan baku bahan peledak dan bahan peledak aksesoris;
e. Izin impor alat peralatan pertahanan dan keamanan serta bahan baku bahan peledak dan bahan peledak aksesoris; dan/ atau
f. penetapan badan usaha di bidang industri bahan peledak,
yang tidak memenuhi dan/atau melanggar PB pada subsektor industri pertahanan dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. peringatan tertulis pertama;
b. peringatan tertulis kedua;
c. pencabutan penetapan sebagai industri pertahanan;
d. pencabutan sertifikat kelaikan fasilitas produksi atau fasilitas pemeliharaan pertahanan;
e. pencabutan Izin produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan/ atau
f. pencabutan penetapan badan usaha di bidang industri bahan peledak.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha sejak diketahuinya pelanggaran.
(4) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis pertama tidak diindahkan.
(5) Sanksi administratif pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan kepada Pelaku Usaha setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis kedua tidak diindahkan.
(6) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditindaklanjuti dengan proses hukum perdata dan/ atau hukum pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
Pasal 512

(1) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dapat memberikan sanksi selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 511 ayat (2) dengan memasukkan Pelaku Usaha ke dalam daftar hitam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Pelaku Usaha setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis kedua tidak diindahkan.
(3) Pelaku Usaha yang dikenai daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperbolehkan berusaha di bidang industri pertahanan dan badan usaha di bidang industri bahan peledak selama 2 (dua) tahun sejak daftar hitam dikeluarkan.


Pasal 513

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 511 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi melalui laman Sistem OSS.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pertahanan.


Pasal 514

(1) Bad an usaha jasa pengamanan yang tidak melaksanakan ketentuan PB subsektor keamanan dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembekuan PB; dan/atau
c. pencabutan PB.
(2) Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan apabila badan usaha jasa pengamanan tidak membuat laporan setiap semester selama 2 (dua) kali berturut-turut.
(3) Sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan apabila badan usaha jasa pengamanan tidak memperpanjang PB dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa berlaku PB.
(4) Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah penetapan sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) badan usaha jasa pengamanan tidak mengajukan perpanjangan PB.


Pasal 515

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 514 ayat (1) diberikan oleh kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi melalui laman Sistem OSS.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.


Paragraf 16
Sektor Ekonomi Kreatif

Pasal 516

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB di sektor ekonomi kreatif, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penghentian sementara kegiatan berusaha;
c. pengenaan denda administratif; dan/atau
d. pencabutan PB.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
a. secara bertahap; dan
b. secara tidak bertahap.
(3) Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha berupa teguran tertulis paling banyak 3 (tiga) kali.
(4) Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi  peringatan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (3).
(5) Sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(6) Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak membayar denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan atas hasil Pengawasan.


Pasal 517

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 516 ayat (1) diberikan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif.


Paragraf 17
Sektor Informasi Geospasial

Pasal 518

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor informasi geospasial, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan;
  2. penghentian sementara;
  3. pengenaan denda administratif; dan/ atau
  4. pencabutan PB.

Pasal 519

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 518 diberikan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial.


Paragraf 18
Sektor Ketenagakerjaan

Pasal 520

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor ketenagakerjaan, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. pembatasan kegiatan usaha;
  3. penghentian sementara kegiatan usaha;
  4. pencabutan PB; dan/ atau
  5. pengenaan denda administratif.

Pasal 521

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada sektor ketenagakerjaan, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. peringatan tertulis;
  2. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
  3. pencabutan PB UMKU.

Pasal 522

Pengenaan sanksi administratif PB dan/atau PB UMKU sektor ketenagakerjaan diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing­ masmg berdasarkan ketentuan peraturan perundang­ undangan.


Pasal 523

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif PB dan/ atau PB UMKU, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam:
a. peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; dan
b. peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia,
sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Paragraf 19
Sektor Perkoperasian

Pasal 524

(1) Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor perkoperasian, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. penurunan penilaian kesehatan;
c. penghentian sementara kegiatan usaha;
d pengenaan denda administratif; dan/ atau
e. pencabutan PB.
(2) Penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat disertai dengan usulan pemberhentian sementara terhadap pengurus dan/ atau pengawas.

  
Pasal 525

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 524 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif PB, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi.

  
Paragraf 20
Sektor Penanaman Modal

Pasal 526

(1) Setiap Pelaku Usaha sektor penanaman modal yang melanggar ketentuan PB, dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. pembekuan kegiatan usaha;
d. denda administratif;
e. pengenaan daya paksa polisional; dan/ atau
f. pencabutan PB.
(2) Pengenaan sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.
(3) Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan:
a. secara bertahap; dan
b. secara tidak bertahap.


Pasal 527

Pengenaan sanksi administratif sektor Penanaman Modal diberikan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 528

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal.


Paragraf 21
Sektor Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik

Pasal 529

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan PB oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pada subsektor aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis; dan/ atau
  2. pencabutan PB.

Pasal 530

(1) Pelaku Usaha aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things yang tidak melakukan kegiatan konsultasi, perancangan, dan pembuatan solusi sistem terintegrasi internet of things sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu.
(2) Pelaku Usaha aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Pelaku Usaha aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selamajangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB.

 
Pasal 531

(1) Setiap penyelenggara berdasarkan hasil ketidaksesuaian atau sertifikasi elektronik yang Pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap penyelenggaraan sertifikasi elektronik, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. penghentian sementara;
c. pemutusan akses; dan/ atau
d. dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik yang mendapat pengakuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.
(2) Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
a. penghentian sementara penyelenggaraan pendaftaran pemilik sertifikat elektronik; dan/ atau
b. penghentian sementara kegiatan penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia.
(3) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui surat peringatan pertama apabila penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia tidak memenuhi kewajiban:
a. memperoleh pengakuan dari menteri menyelenggarakan urusan pemerintahan di komunikasi dan informasi dengan berinduk penyelenggara sertifikasi elektronik induk; 
b. berbadan hukum Indonesia dan berdomisili di Indonesia dalam hal menyelenggarakan sertifikasi elektronik dan menyediakan layanan yang menggunakan sertifikat elektronik di Indonesia;
c. memeriksa kebenaran identitas calon pemilik dan/ atau pemilik sertifikat elektronik;
d. melakukan validasi sertifikat elektronik;
e. membuat daftar sertifikat elektronik yang aktif dan yang dicabut dengan mengelola sistem verifikasi sertifikat elektronik pemilik sertifikat elektronik (validation authority);
f. memperbarui tanda lulus penyelenggara sertifikasi elektronik yang habis masa berlakunya;
g. mengelola dan mengamankan sistem yang menyimpan identitas pemilik sertifikat elektronik;
h. memberitahukan pernyataan penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification practice statement) penyelenggaraan sertifikasi elektroniknya kepada pihak lain yang menggunakan jasa penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia;
i. mempublikasikan pernyataan penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification practice statement) penyelenggaraan sertifikasi elektroniknya di situs resmi layanannya;
j. memberitahukan kontrak berlangganan (subscriber agreement) dan kebijakan privasi penyelenggaraan sertifikasi  elektroniknya  kepada  calon  pemilik dan/ atau pemilik sertifikat elektronik;
k. memberikan edukasi kepada calon pemilik dan/atau pemilik sertifikat elektronik mengenai penggunaan dan pengamanan sertifikat elektronik;
l. menjamin kerugian akibat kegagalan layanan penyelenggaraan sertifikasi elektronik, kesengajaan, dan/ atau kelalaian kepada orang, badan usaha, atau instansi karena kegagalannya dalam mematuhi kewajiban sebagai penyelenggara sertifikasi elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan
m. meminta persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dalam hal terjadi perubahan layanan penyelenggara sertifikasi elektronik yang berbeda dengan ketentuan dalam kebijakan sertifikat elektronik (certificate policy) penyelenggara sertifikasi elektronik induk Indonesia;
n. melaksanakan audit terhadap otoritas pendaftarannya (registration authority);
o. memelihara dokumen arsip secara sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan baik dalam bentuk tertulis (paper-based) dan /atau elektronik (electronic­ based)
p. menyampaikan laporan kegiatan penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia secara berkala paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun berjalan atau sewaktu-waktu kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi;
q. menerbitkan sertifikat elektronik dalam hal permohonan untuk memiliki sertifikat elektronik memenuhi standar verifikasi identitas yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi;
r. mengawasi, mengembangkan, mengimplementasikan, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan preservasi tanda tangan elektronik dan/atau segel elektronik dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik menyelenggarakan layanan preservas1 tanda tangan elektronik dan/ atau segel elektronik;
s. mengembangkan, mengimplementasikan, mengawasi, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan penanda waktu elektronik dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik menyelenggarakan penanda waktu elektronik;
t. mengarsipkan informasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik menyelenggarakan layanan pengiriman elektronik tersertifikasi;
u. menjamin kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan dari log operasional layanan pengiriman elektronik tercatat, log verifikasi identitas dari pengirim dan penerima, dan log komunikasi dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik menyelenggarakan layanan pengiriman elektronik tersertifikasi;
v. mengembangkan, mengimplementasikan, mengawasi, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan pengiriman elektronik tercatat dalam hal menyelenggarakan layanan pengiriman elektronik tercatat; dan/ atau
w. menyetorkan setiap pendapatan yang diperolehnya dari biaya layanan penggunaan sertifikat elektronik yang dihitung dari persentase pendapatan kepada negara.
(4) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis melalui surat peringatan kedua dalam hal surat peringatan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi oleh penyelenggara sertifikasi elektronik dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan pertama diterima oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut.
(5) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis melalui surat peringatan ketiga dalam hal surat peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi oleh penyelenggara sertifikasi elektronik dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan kedua diterima oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut.
(6) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai evaluasi menyeluruh, baik dari sisi kelembagaan, manajemen, maupun operasional dalam hal surat peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi oleh penyelenggara sertifikasi elektronik dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan ketiga diterima oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut.
(7) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara penyelenggaraan pendaftaran pemilik sertifikat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a apabila penyelenggara sertifikasi elektronik tidak melakukan kewajiban:
a. melakukan pemeriksaan terhadap permohonan penerbitan sertifikat elektronik;
b. melakukan pemeriksaan ulang dalam hal terdapat permohonan perpanjangan, pemblokiran, dan/ atau pencabutan sertifikat elektronik oleh pemohon, serta permohonan penerbitan sertifikat elektronik oleh pemohon sedangkan pada saat permohonan diajukan sertifikat elektronik sebelumnya sudah pernah dicabut atau masa berlakunya sudah berakhir;
c. mengawasi, mengembangkan, mengimplementasikan, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan preservasi tanda tangan elektronik dan/atau segel elektronik jika menyelenggarakan layanan preservasi tanda tangan elektronik dan/ atau segel elektronik; dan/ atau
d. mengetahui orang perseorangan sebagai penanggung jawab dari segel elektronik jika menyelenggarakan layanan segel elektronik.
(8) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila tidak melakukan kewajiban:
a. dalam menyelenggarakan layanan penanda waktu elektronik tersertifikasi, penyelenggara sertifikasi elektronik menggunakan perangkat penanda waktu yang memenuhi ketentuan:
1. memelihara perangkat penanda waktu;
2. melindungi waktu perangkat penanda waktu dari segala ancaman yang menyebabkan perubahan waktu; dan
3. mendeteksi jika waktu yang terindikasi pada perangkat penanda waktu bergeser atau tidak sinkron lebih dari 1 (satu) detik dengan tanda waktu nasional.
b. menghentikan proses pemberian layanan penanda waktu elektronik tersertifikasi melalui perangkat penanda waktu, dalam hal waktu yang terindikasi pada perangkat penanda waktu elektronik bergeser atau tidak sinkron sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 3;
c. mengembangkan, mengimplementasikan, mengawasi, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan penanda waktu elektronik;
d. mengembangkan, mengimplementasikan, mengawasi, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan penanda waktu elektronik dalam hal penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia menyelenggarakan layanan penanda waktu elektronik;
e. dalam menyelenggarakan layanan peng1nman elektronik tercatat tersertifikasi mulai dari pengiriman sampai dengan penerimaan, penyelenggara sertifikasi elektronik menjamin ketersediaan, integritas, dan kerahasiaan dari:
1. informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang ditransmisikan;
2. identitas pengirim dan penerima mulai dari pengiriman sampai dengan penerimaan; dan
3. menjamin akurasi tanggal dan waktu pengiriman dan penerimaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mulai dari pengiriman sampai dengan penerimaan;
f. dalam menyelenggarakan layanan peng1nman elektronik tercatat tersertifikasi, penyelenggara sertifikasi elektronik mengarsipkan paling sedikit:
1. data identifikasi pengirim dan penerima;
2. data autentikasi pengirim dan penerima;
3. bukti bahwa identitas pengirim telah diverifikasi;
4. log operasional layanan pengiriman elektronik tercatat, log verifikasi identitas dari pengirim dan penerima, dan log komunikasi;
5. bukti verifikasi identitas penerima sebelum peng1nman informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik;
6. bukti bahwa informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang dikirimkan tidak berubah selama proses pengiriman;
7. nilai hash dari informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang dikirim; dan
8. token penanda waktu yang terkait dengan tanggal dan waktu peng1nman, penenmaan, dan perubahan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik;
g. menjamin kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan dari log operasional layanan pengiriman elektronik tercatat, log verifikasi identitas dari pengirim dan penenma, dan log komunikasi dalam menyelenggarakan layanan peng1nman elektronik tercatat tersertifikasi; dan/ atau
h. mengembangkan, mengimplementasikan, mengawasi, dan memperbarui dokumentasi terkait penyelenggaraan pengiriman elektronik tercatat.
(9) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila tidak melakukan kewajiban memperoleh pengakuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dengan berinduk kepada penyelenggara sertifikasi elektronik induk yang diselenggarakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.
(10) Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik yang diakui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila:
a. tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dan ayat (8) paling lambat 7 (tujuh) Hari;
b. tidak memenuhi kewajiban dalam surat peringatan ketiga dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan ketiga diterima;
c. atas permintaan penyelenggara sertifikasi elektronik sendiri; dan/ atau
d. adanya putusan pengadilan terkait pelanggaran peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia.


Pasal 532

(1) Setiap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat, dikenai sanksi administratif berupa:
a. teguran tertulis;
b. denda administratif;
c. penghentian sementara;
d. pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking); dan/atau
e. dikeluarkan dari daftar.
(2) Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila:
a. telah mempunyai tanda daftar tetapi tidak melaporkan perubahan terhadap informasi pendaftaran;
b. tidak memberikan informasi pendaftaran dengan benar;
c. tidak melakukan pemutusan akses (take down) terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/ atau
d. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka Pengawasan dan penegakan hukum.
(3) Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. tidak mengindahkan teguran tertulis yang dikenai karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b; dan/ atau
b. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka Pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(4) Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikenai sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila:
a. tidak melakukan pendaftaran;
b. tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan/atau
c. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka Pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d.
(5) Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat user generated content dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila tidak melakukan pemutusan akses (take down) berupa penutupan akun dan/ atau penghapusan konten terhadap informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang dilarang.
(6) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dapat mengenakan sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau memerintahkan internet service provider untuk melakukan pemutusan akses terhadap sistem elektronik kepada:
a. penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang tidak melakukan pemutusan akses (take down) terhadap informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang dilarang; dan
b. penyelenggara sistem elektronik lingkup privat user generated content yang tidak melakukan pemutusan akses (take down) terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilarang dan/ atau tidak membayar denda administratif.
(7) Sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) terhadap sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenakan setelah mempertimbangkan alasan yang diajukan oleh penyelenggara sistem elektronik lingkup privat atau penyelenggara sistem elektronik lingkup privat user generated content.
(8) Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikeluarkan dari daftar penyelenggara sitem elektroniknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e apabila:
a. tidak memberikan konfirmasi dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a; dan/atau
b. tidak memberikan akses terhadap data elektronik dan sistem elektronik dalam rangka Pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b.


Pasal 533

(1) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 532 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak.
(2) Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan satuan poin pelanggaran dikalikan dengan tarif denda administratif.
(3) Tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp l00.000,00 (seratus ribu rupiah) per pom.


Pasal 534

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan PB oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pada subsektor aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis; dan/ atau
  2. pencabutan PB.

Pasal 535

(1) Pelaku Usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial yang tidak melakukan kegiatan konsultasi yang dilanjutkan analisis dan pemrograman berbasis kecerdasan artifisial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu.
(2) Pelaku Usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Pelaku Usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB.


Pasal 536

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan PB oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pada subsektor aktivitas pengembangan teknologi blockchain, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis; dan/ atau
  2. pencabutan PB.

Pasal 537

(1) Pelaku Usaha aktivitas pengembangan teknologi blockchain yang tidak melakukan kegiatan pengembangan teknologi blockchain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu.
(2) Pelaku Usaha aktivitas pengembangan teknologi blockchain yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Pelaku Usaha aktivitas pengembangan teknologi blockchain yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB.


Pasal 538

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran atas pemenuhan PB oleh Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pada subsektor aktivitas penerbitan piranti lunak (software), dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis; dan/ atau
  2. pencabutan PB.

Pasal 539

(1) Pelaku Usahayang melakukan aktivitas penerbitan piranti lunak (software) dengan kriteria UMK-M yang tidak melakukan kegiatan penerbitan piranti lunak (software) terkait dengan sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik khusus gim selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu.
(2) Pelaku Usaha yang melakukan aktivitas penerbitan piranti lunak (software) dengan kriteria UMK-M yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenai teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua.
(3) Pelaku Usaha yang melakukan aktivitas penerbitan piranti lunak (software) dengan kriteria UMK-M yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenai teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB.


Pasal 540

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 529, 531 ayat (1), Pasal 532 ayat (1), Pasal 534, Pasal 536, dan Pasal 538 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi.


Paragraf 22
Sektor Lingkungan Hidup

Pasal 541

Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor lingkungan hidup, dikenai sanksi administratif berupa:
  1. teguran tertulis;
  2. paksaan pemerintah;
  3. denda administratif;
  4. pembekuan PB; dan/ atau
  5. pencabutan PB.

Pasal 542

(1) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 541 oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang membidangi penegakan hukum atau organisasi perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup.


Pasal 543

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup.


BAB XII
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 544

(1) Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan usaha dalam rangka percepatan cipta kerja.
(2) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian.


Pasal 545

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan tidak mengatur, tidak lengkap, tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan, menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dapat melakukan diskresi untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan terkait dengan PBBR.


Pasal 546

Dalam hal subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf f belum tersedia, pelaksanaan Pengawasan tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan kewenangan masing­ masing kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB.


BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 547

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU yang dalam proses permohonan sampai dengan Sistem OSS yang telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini beroperasi, tetap diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
b. kegiatan usaha dengan Risiko menengah tinggi yang telah memperoleh:
1. sertifikat standar namun belum terverifikasi; dan/ atau
2. PB UMKU namun belum berlaku efektif,
sampai dengan Sistem ass yang telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini beroperasi, sertifikat standar dan/ atau PB UMKU tersebut tetap diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
c. kegiatan usaha dengan Risiko tinggi yang telah memperoleh:
1. Izin dalam rangka percepatan namun belum memenuhi persyaratan; dan/ atau
2. PBUMKU namun belum berlaku efektif,
sampai dengan Sistem ass yang telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini beroperasi, tetap diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko;
d. lembaga pemerintah yang bertanggung jawab melakukan pembinaan, pengaturan pengembangan, dan pengawasan perdagangan berjangka tetap melaksanakan tugas terkait PB terhadap kegiatan aset keuangan digital termasuk aset kripto serta derivatif keuangan sampai dengan waktu beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengena1 peralihan tugas pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital termasuk aset kripto dan derivatif keuangan.


Pasal 548

 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Pelaku Usaha yang telah memperoleh hak akses sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini melakukan pembaruan data hak akses pada Sistem OSS; dan
b. atas pembaruan data hak akses sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Sistem OSS memberikan notifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik yang didaftarkan.


BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 549

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. ketentuan pelaksanaan PBBR yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan bagi Pelaku Usaha yang persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU nya telah terbit, telah terverifikasi, atau telah disetujui dan masih berlaku sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, kecuali ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini lebih menguntungkan bagi Pelaku Usaha;
b. persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU yang memiliki nomenklatur berbeda sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan nomenklatur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini;
c. usaha pariwisata dengan kategori menengah tinggi dan tinggi yang telah memiliki Sertifikat Standar usaha pariwisata, sertifikatnya tetap berlaku selama menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan ketentuan harus:
1. melaksanakan pemutakhiran administrasi Sertifikat Standar usaha pariwisata melalui lembaga sertifikasi usaha pariwisata yang menerbitkan sertifikatnya dan mekanisme transfer surveilans sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
2. mengunggah Sertifikat Standar usaha yang berlaku dalam Sistem OSS.
 

Pasal 550

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; dan
b. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 551

Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini wajib ditetapkan paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan;
b. Sistem OSS dan Sistem Indonesia National Single Window wajib disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; dan
c. terhadap pemberian penzman dalam rangka penyelenggaraan kegiatan ekspor, impor, dan pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan barang ekspor dan impor serta neraca komoditas yang belum dapat dilakukan melalui Sistem Indonesia National Single Window maka proses pemberian perizinan dilakukan melalui sistem elektronik pada kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.


Pasal 552

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan  Pemerintah ini penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 



  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juni 2025
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRABOWO SUBIANTO


Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 5 Juni 2025
MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRASETYO HADI




LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 98


 


PENJELASAN
ATAS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2025

TENTANG

PENYELENGGARAAN PERIZINAN BERUSAHA BERBASIS RISIKO

I. UMUM

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang selanjutnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengaturan dalam undang-undang dimaksud melingkupi juga mengenai penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan metode standar berdasarkan tingkat Risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas atau frekuensi Pengawasan. Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah ini berusaha mengakomodir beberapa sektor perizinan berusaha berbasis risiko lainnya, yaitu sektor ekonomi kreatif, sektor informasi geospasial, sektor ketenagakerjaan, sektor perkoperasian, sektor penanaman modal, sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, dan sektor lingkungan hidup.

Peraturan Pemerintah ini sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berupaya memberikan kepastian hukum kepada Pelaku Usaha terutama mengenai proses bisnis dan jaminan kualitas layanan (service level agreement) dalam pengurusan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah ini melibatkan banyak pemangku kepentingan seperti kementerian/lembaga terkait, Pelaku Usaha, dan masyarakat. Hal ini juga sebagai upaya menghasilkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation).

Bentuk perubahan besar yang dilakukan dalam proses bisnis adalah integrasi sistem yang semuanya menjadi terpusat di Sistem OSS sebagai antarmuka pengguna (front-end system), sehingga Pelaku Usaha tidak akan kebingungan lagi untuk mengurus ke sistem yang mana, karena semua proses yang melibatkan Pelaku Usaha dilakukan melalui Sistem OSS. Dalam hal ini Sistem OSS akan meneruskan data kepada sistem yang ada di kementerian/lembaga, namun hasil akhirnya tetap dikeluarkan di Sistem OSS.

Sementara itu perubahan besar yang dilakukan menyangkutjaminan kualitas layanan (service level agreement) adalah kepastian hukum terkait jangka waktu dalam setiap proses Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, terutama pada Bab Persyaratan Dasar, baik pada KKPR, PL, PBG, dan SLF. Peraturan Pemerintah ini memberikan jangka waktu yang tepat dan jelas agar tidak membingungkan dan merugikan Pelaku Usaha. Bahkan di beberapa ketentuan jaminan kualitas layanan (service level agreement) diberlakukan pengaturan fiktif positif, seperti dalam ketentuan penerbitan pertimbangan teknis pertanahan.

Perizinan Berusaha dan Pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan pendekatan berbasis Risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business process re­ engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki Izin, di samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan Pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan Pengawasan.

Selanjutnya sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi Risiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi. Untuk kegiatan usaha Risiko rendah, Pelaku Usaha hanya dipersyaratkan memiliki NIB. Untuk kegiatan usaha Risiko menengah rendah, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki NIB dan pernyataan pemenuhan Sertifikat Standar. Untuk kegiatan usaha Risiko menengah tinggi, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki NIB dan Sertifikat Standar yang telah diverifikasi. Sedangkan untuk kegiatan usaha Risiko tinggi, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki NIB dan Izin.

Penyelenggaraan PBBR dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
  1. pengaturan PBBR;
  2. norma, standar, prosedur, dan kriteria PBBR;
  3. PBBR melalui layanan Sistem OSS;
  4. tata cara Pengawasan PBBR;
  5. evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR;
  6. pendanaan PBBR;
  7. penyelesaian permasalahan dan hambatan PBBR; dan
  8. sanksi.
Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu  ditetapkan  Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
 
II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Cukup jelas.

Pasal 3

Cukup jelas.

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "terintegrasi secara elektronik dengan sistem di kementerian/lembaga" adalah:

    1. Setiap permohonan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU hanya diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistern OSS dan kemudian permohonan tersebut dialirkan kepada sistem elektronik yang dimiliki oleh kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing-masing.
    2. Setiap penerbitan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU harus disampaikan kepada Pelaku Usaha hanya melalui Sistem OSS setelah  melalui proses tahapan verifikasi oleh kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing­ masmg.

Terintegrasi  secara  elektronik  dimaksud  mencakup  pula pemrosesan dan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU yang dilakukan di Sistem OSS oleh kementerian/lembaga, Pemerintah  Daerah,  Administrator  KEK,  dan/ atau  Badan Pengusahaan KPBPB dengan menggunakan hak akses.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "jangka waktu penerbitan" adalah waktu yang dibutuhkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk menerbitkan PB berdasarkan analisis Risiko, terhitung sejak dokumen lengkap dan benar.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "jangka waktu penerbitan" adalah waktu yang dibutuhkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk menerbitkan PB-UMKU dengan mempertimbangkan tingkat Risiko, terhitung sejak dokumen lengkap dan benar.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/ jasa serta mekanisme penerbitan yang menjadi pedoman bagi Administrator KEK dan Badan Pengusahaan KPBPB memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus dan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Ayat (10)

Cukup jelas.

Ayat (11)

Cukup jelas.

Ayat (12)

Cukup jelas.

Pasal 6

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Yang dimaksud dengan "perolehan PB" adalah perolehan PB secara otomatis yang berlaku bagi kategori tingkat Risiko usaha rendah dan menengah rendah.

Yang dimaksud dengan "pengajuan PB" adalah perolehan PB melalui proses tahapan verifikasi yang berlaku bagi kategori tingkat Risiko usaha menengah tinggi dan tinggi.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 9

Cukup jelas.

Pasal 10

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Subtahapan persiapan dalam pemenuhan Amdal atau UKL­ UPL merupakan tahapan perencanaan usaha terkait PL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 11

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pembersihan atau pembukaan lahan" dapat berupa kegiatan:

        1. penebangan;
        2. pemadatan; dan/ atau
        3. pengurukan tanah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13

Yang dimaksud dengan "Bangunan Gedung atau komplek perdagangan / jasa yang dipakai bersama" an tara lain Bangunan Gedung berupa komplek pertokoan, perkantoran, tempat peristirahatan ( rest area), dan pasar.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Cukup jelas.

Pasal 16

Cukup jelas.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Cukup jelas.

Pasal 20

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Cukup jelas.

Pasal 24

Cukup jelas.

Pasal 25

Cukup jelas.

Pasal 26

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Bukti bahwa Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan usaha di KEK atau kawasan industri dapat berupa rekomendasi/surat keterangan atau perjanjian/kontrak kerja sama dari pengelola KEK atau kawasan industri.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Pengalihan KKPR kepada Pelaku Usaha yang baru dibuktikan dengan dokumen tertulis hubungan hukum yang menyatakan pengalihan penguasaan tanah.

Huruf d

Penerbitan KKPR kepada Pelaku Usaha dari Pelaku Usaha lain dibuktikan dengan dokumen perjanjian sewa menyewa atau pinjam pakai yang masih berlaku, yang paling sedikit memuat kesediaan pemegang KKPR sebelumnya mengalihkan kepada Pelaku Usaha.

Huruf e

Dalam hal bentuk usaha tetap sudah memiliki kontrak kerja sama dengan pemerintah, poligon/koordinat wilayah kerja minyak dan gas bumi harus sudah ditanamkan dalam Sistem OSS.

Huruf f

Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah sistem yang menghubungkan fungsi dan/atau proses dalam sebuah entitas usaha yang saling terhubung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan.

Huruf g

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 28

Cukup jelas.

Pasal 29

Cukup jelas.

Pasal 30

Cukup jelas.

Pasal 31

Cukup jelas.

Pasal 32

Cukup jelas.

Pasal 33

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "pembinaan" antara lain Pelaku Usaha agar menyesuaikan bangunan sesuai dengan RTR atau Pelaku Usaha tidak dapat melakukan kegiatan usaha di lokasi yang diusulkan dan diarahkan melakukan kegiatan usaha di lokasi yang sesuai dengan RTR.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Cukup jelas.

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Cukup Jelas

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "tahapan pendaftaran" dalam ketentuan ini dimaknai sama dengan tahapan permohonan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur penggunaan kawasan hutan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 39

Cukup jelas.

Pasal 40

Cukup jelas.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Cukup jelas.

Pasal 43

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Cukup jelas.

Pasal 51

Cukup jelas.

Pasal 52

Cukup jelas.

Pasal 53

Cukup jelas.

Pasal 54

Cukup jelas.

Pasal 55

Cukup jelas.

Pasal 56

Cukup Jelas

Pasal 57

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "tahapan pendaftaran" dalam ketentuan ini dimaknai sama dengan tahapan permohonan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pelepasan kawasan hutan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

Pasal 71

Cukup jelas.

Pasal 72

Cukup jelas.

Pasal 74

Cukup jelas.

Pasal 75

Cukup jelas.

Pasal 76

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat" antara lain kawasan industri, KEK, atau KPBPB.

Yang dimaksud dengan "pengelola kawasan" adalah pengelola kawasan industri administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 77

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "tidak diterbitkan" adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan tidak menerima tanggapan (berupa menyetujui atau menolak) dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dalam batas waktu 15 (lima belas) Hari.

Ayat (6)

Sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, apabila menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menolak rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, disertai dengan alasan penolakan.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 78

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha, penerbitan SPPL dilakukan bersamaan dengan penerbitan NIB melalui Sistem OSS.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 79

Cukup jelas.

Pasal 80

Cukup jelas.

Pasal 81

Cukup jelas.

Pasal 82

Cukup jelas.

Pasal 83

Cukup jelas.

Pasal 84

Cukup jelas

Pasal 85

Cukup jelas

Pasal 86

Cukup jelas.

Pasal 87

Cukup jelas.

Pasal 88

Cukup jelas.

Pasal 89

Cukup jelas.

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

Pasal 92

Cukup jelas.

Pasal 93

Cukup jelas.

Pasal 94

Cukup jelas.

Pasal 95

Cukup jelas.

Pasal 96

Cukup jelas.

Pasal 97

Cukup jelas.

Pasal 98

Cukup jelas.

Pasal 99

Cukup jelas.

Pasal 100

Cukup jelas.

Pasal 101

Cukup jelas.

Pasal 102

Cukup jelas.

Pasal 103

Cukup jelas.

Pasal 104

Cukup jelas.

Pasal 105

Cukup jelas.

Pasal 106

Cukup jelas.

Pasal 107

Cukup jelas.

Pasal 108

Cukup jelas.

Pasal 109

Cukup jelas.

Pasal 110

Cukup jelas.

Pasal 111

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "pemeriksaan kebenaran data dan dokumen" sama dengan pemeriksaan kesesuaian data dan dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang­ undangan di bidang bangunan gedung.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 112

Cukup jelas.

Pasal 113

Cukup jelas.

Pasal 114

Cukup jelas.

Pasal 115

Cukup jelas.

Pasal 116

Cukup jelas.

Pasal 117

Cukup jelas.

Pasal 118

Cukup jelas.

Pasal 119

Cukup jelas.

Pasal 120

Cukup jelas.

Pasal 121

Cukup jelas.

Pasal 122

Cukup jelas.

Pasal 123

Cukup jelas.

Pasal 124

Cukup jelas.

Pasal 125

Cukup jelas.

Pasal 126

Cukup jelas.

Pasal 127

Cukup jelas.

Pasal 128

Cukup jelas.

Pasal 129

Cukup jelas.

Pasal 130

Cukup jelas.

Pasal 131

Cukup jelas.

Pasal 132

Cukup jelas.

Pasal 133

Cukup jelas.

Pasal 134

Cukup jelas.

Pasal 135

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Huruf a

PB UMKU dalam rangka peredaran produk antara lain untuk kegiatan usaha di bidang makanan minuman, farmasi obat­ obatan, alat kesehatan, kosmetik, uji tipe untuk kendaraan, dan pertahanan.

Huruf b

PB UMKU dalam rangka kelayakan operasi antara lain untuk kegiatan usaha di bidang transportasi, ketenagalistrikan, komunikasi dan informatika, pekerjaan umum, serta ketenaganukliran.

Huruf c

PB UMKU dalam rangka standardisasi produk/jasa antara lain untuk kegiatan usaha yang memerlukan standar nasional, sertifikasi untuk jasa pariwisata, sertifikasi sanitasi, dan sertifikasi perangkat telekomunikasi.

Huruf d

PB UMKU dalam rangka kelancaran kegiatan usaha antara lain untuk kegiatan usaha pengambilan air tanah, penyelenggaraan terminal khusus, dan pergudangan.

Pasal 136

Cukup jelas.

Pasal 137

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Peraturan kepala daerah antara lain mengatur peran, tugas, dan tata kelola DPMPTSP serta organisasi perangkat daerah teknis dalam pemrosesan PBBR di daerah.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 138

Cukup jelas.

Pasal 139

Cukup jelas.

Pasal 140

Cukup jelas.

Pasal 141

Cukup jelas.

Pasal 142

Cukup jelas.

Pasal 143

Cukup jelas.

Pasal 144

Cukup jelas.

Pasal 145

Cukup jelas.

Pasal 146

Cukup jelas.

Pasal 147

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "Lampiran II" adalah Lampiran II PB UMKU sektor energi dan sumber daya mineral yang mengatur mengenai Izin pengusahaan air tanah.

Pasal 148

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Kegiatan usaha PB tertentu yang memerlukan perizinan bertahap pada pemanfaatan sumber radiasi pengion meliputi:

      1. fasilitas produksi radioisotop, radiofarmaka, dan radioisotop dan radiofarmaka;
      2. fasilitas produksi peralatan yang menggunakan zat radioaktif;
      3. fasilitas iradiator kategori II, kategori III, dan kategori IV menggunakan sumber radioaktif; dan
      4. fasilitas iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion.

Kegiatan usaha PB tertentu yang memerlukan perizinan bertahap pada instalasi nuklir dan bahan nuklir meliputi:

      1. reaktor nuklir; dan
      2. instalasi nuklir nonreaktor.

Kegiatan usaha PB UMKU tertentu yang memerlukan perizinan bertahap pada pemanfaatan sumber radiasi pengion meliputi:

      1. fasilitas produksi radioisotop dan radiofarmaka yang menunjang layanan kedokteran nuklir;
      2. fasilitas produksi radiofarmaka yang menunjang layanan kedokteran nuklir;
      3. fasilitas pengelolaan limbah radioaktif;
      4. fasilitas produksi barang konsumen yang mengandung zat radioaktif;
      5. fasilitas kalibrasi yang menggunakan sumber radiasi pengion;
      6. fasilitas kedokteran nuklir terapi;
      7. fasilitas kedokteran nuklir diagnostik in vivo;
      8. fasilitas radioterapi;
      9. fasilitas iradiator kategori II dan kategori III menggunakan sumber radioaktif sebagai penunjang kegiatan utama;
      10. fasilitas iradiator kategori II menggunakan pembangkit radiasi pengion sebagai penunjang kegiatan utama; dan
      11. fasilitas pemeriksaan peti kemas menggunakan sumber radiasi pengion.

Pasal 149

Cukup jelas.

Pasal 150

Cukup jelas.

Pasal 151

Cukup jelas.

Pasal 152

Cukup jelas.

Pasal 153

Cukup jelas.

Pasal 154

Cukup jelas.

Pasal 155

Cukup jelas.

Pasal 156

Cukup jelas.

Pasal 157

Cukup jelas.

Pasal 158

Cukup jelas.

Pasal 159

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "Lampiran II" adalah Lampiran II PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang mengatur mengenai subsektor sumber daya air

Pasal 160

Cukup jelas.

Pasal 161

Cukup jelas.

Pasal 162

Cukup jelas.

Pasal 163

Cukup jelas.

Pasal 164

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "usaha tertentu" antara lain:

      1. sebagian usaha (seperti parfum isi ulang) yang dilakukan oleh Pelaku Usaha mikro;
      2. usaha yang dilakukan di tempat penimbunan berikat;
      3. usaha kemasan dan aktivitas pengepakan yang ditujukan untuk diekspor kembali pada KEK atau KPBPB; atau
      4. fasilitas produksi obat penggunaan khusus,

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 165

Cukup jelas.

Pasal 166

Cukup jelas.

Pasal 167

Cukup jelas.

Pasal 168

Yang dimaksud dengan "penerbitan buku" adalah seluruh proses kegiatan yang dimulai dari pengeditan, pengilustrasian, dan pendesainan buku.

Pasal 169

Cukup jelas.

Pasal 170

Cukup jelas.

Pasal 171

Cukup jelas.

Pasal 172

Cukup jelas.

Pasal 173

Cukup jelas.

Pasal 174

Cukup jelas.

Pasal 175

Cukup jelas.

Pasal 176

Cukup jelas.

Pasal 177

Cukup jelas.

Pasal 178

Cukup jelas.

Pasal 179

Yang dimaksud dengan "berkoordinasi dengan kementerian terkait" yaitu penyusunan peraturan menteri paling sedikit berkoordinasi dengan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara atau kepabeanan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

Pasal 180

Cukup jelas.

Pasal 181

Cukup jelas.

Pasal 182

Cukup jelas.

Pasal 183

Cukup jelas.

Pasal 184

Cukup jelas.

Pasal 185

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan "kementerian/lembaga sebagai pengampu" adalah kementerian/lembaga yang menjalankan fungsi penerbitan PB, pembinaan, dan pengawasan suatu kegiatan usaha.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 186

ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Aktivitas penerbitan piranti lunak (software) terkait dengan sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik khusus gim.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 187

Cukup jelas.

Pasal 188

Cukup jelas.

Pasal 189

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Contoh badan hukum lainnya antara lain yayasan, persyarikatan, atau perkumpulan.

Persyarikatan atau perkumpulan dimaksudkan dalam rangka mengakomodasi persyarikatan atau perkumpulan yang telah melakukan kegiatan usaha sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Pasal 190

Cukup jelas.

Pasal 191

Cukup jelas.

Pasal 192

Cukup jelas.

Pasal 193

Cukup jelas.

Pasal 194

Cukup jelas.

Pasal 195

Cukup jelas.

Pasal 196

Cukup jelas.

Pasal 197

Cukup jelas.

Pasal 198

Cukup jelas.

Pasal 199

Cukup jelas.

Pasal 200

Cukup jelas.

Pasal 201

Cukup jelas.

Pasal 202

Cukup jelas.

Pasal 203

Cukup jelas.

Pasal 204

Cukup jelas.

Pasal 205

Cukup jelas.

Pasal 206

Cukup jelas.

Pasal 207

Cukup jelas.

Pasal 208

Cukup jelas.

Pasal 209

Cukup jelas.

Pasal 210

Cukup jelas

Pasal 211

Cukup jelas.

Pasal 212

Cukup jelas.

Pasal 213

Cukup jelas.

Pasal 214

Cukup jelas.

Pasal 215

Cukup jelas.

Pasal 216

Cukup jelas.

Pasal 217

Cukup jelas.

Pasal 218

Cukup jelas.

Pasal 219

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "tidak perlu didahului dengan pengajuan persyaratan dasar baru" adalah 1zm lokasi/KKPR, 1zm lingkungan/PL, dan/atau izin mendirikan bangunan/PBG/SLF yang dimiliki dan masih berlaku, tetap bisa digunakan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 220

Cukup jelas.

Pasal 221

Cukup jelas.

Pasal 222

Cukup jelas.

Pasal 223

Cukup jelas.

Pasal 224

Cukup jelas.

Pasal 225

Cukup jelas.

Pasal 226

Cukup jelas.

Pasal 227

Cukup jelas.

Pasal 228

Cukup jelas.

Pasal 229

Cukup jelas.

Pasal 230

Cukup jelas.

Pasal 231

Cukup jelas.

Pasal 232

Cukup jelas.

Pasal 233

Cukup jelas.

Pasal 234

Cukup jelas.

Pasal 235

Cukup jelas.

Pasal 236

Cukup jelas.

Pasal 237

Cukup jelas.

Pasal 238

Cukup jelas.

Pasal 239

Cukup jelas.

Pasal 240

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "laporan kegiatan Penanaman Modal" adalah laporan tentang kegiatan Penanaman Modal sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 241

Cukup jelas.

Pasal 242

Cukup jelas.

Pasal 243

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Inspeksi lapangan rutin secara terkoordinasi dimaksudkan agar masing-masing kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah, Administrator KEK, dan KPBPB melakukan inspeksi lapangan secara terkoordinasi sehingga tidak menyulitkan Pelaku Usaha. Hal ini mengingat jika dilakukan secara sendiri-sendiri, Pelaku Usaha akan kesulitan menyiapkan data dan informasi bagi pejabat yang melakukan inspeksi lapangan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 244

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang­ undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang pemerintah daerah, kawasan ekonomi khusus, dan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas.

Pasal 245

Cukup jelas.

Pasal 246

Cukup jelas.

Pasal 247

Cukup jelas.

Pasal 248

Cukup jelas.

Pasal 249

Cukup jelas.

Pasal 250

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pembinaan/ pendampingan yang dilakukan dapat berupa penyuluhan, pemberian penjelasan, dan/ atau bimbingan teknis.

Ayat (3)

Pengenaan sanksi administratif dilaksanakan sesuai dengan pengaturan mengenai sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 251

Cukup jelas.

Pasal 252

Cukup jelas.

Pasal 253

Cukup Jelas

Pasal 254

Cukup jelas.

Pasal 255

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Untuk pembinaan dilakukan termasuk untuk pemenuhan perizinan tunggal.

Huruf c

Cukup jelas.

Pasal 256

Cukup jelas.

Pasal 257

Cukup jelas.

Pasal 258

Cukup jelas.

Pasal 259

Cukup jelas.

Pasal 260

Cukup jelas.

Pasal 261

Cukup jelas.

Pasal 262

Cukup jelas.

Pasal 263

Cukup jelas.

Pasal 264

Cukup jelas.

Pasal 265

Cukup jelas.

Pasal 266

Cukup jelas.

Pasal 267

Cukup jelas.

Pasal 268

Cukup jelas.

Pasal 269

Cukup jelas.

Pasal 270

Cukup jelas.

Pasal 270

Cukup jelas.

Pasal 271

Cukup jelas.

Pasal 272

Cukup jelas.

Pasal 273

Cukup jelas.

Pasal 274

Cukup jelas.

Pasal 275

Cukup jelas.

Pasal 276

Cukup jelas.

Pasal 277

Cukup jelas.

Pasal 278

Cukup jelas.

Pasal 279

Cukup jelas.

Pasal 280

Cukup jelas.

Pasal 281

Cukup jelas.

Pasal 282

Cukup jelas.

Pasal 283

Cukup jelas.

Pasal 284

Cukup jelas.

Pasal 285

Cukup jelas.

Pasal 286

Cukup jelas.

Pasal 287

Cukup jelas.

Pasal 288

Cukup jelas.

Pasal 289

Cukup jelas.

Pasal 290

Cukup jelas.

Pasal 291

Cukup jelas.

Pasal 292

Cukup jelas.

Pasal 293

Cukup jelas.

Pasal 294

Cukup jelas.

Pasal 295

Cukup jelas.

Pasal 296

Cukup jelas.

Pasal 297

Cukup jelas.

Pasal 298

Cukup jelas.

Pasal 299

Cukup jelas.

Pasal 300

Cukup jelas.

Pasal 301

Cukup jelas.

Pasal 302

Cukup jelas.

Pasal 303

Cukup jelas.

Pasal 304

Cukup jelas.

Pasal 305

Cukup jelas.

Pasal 306

Cukup jelas.

Pasal 307

Cukup jelas.

Pasal 308

Cukup jelas.

Pasal 309

Cukup jelas.

Pasal 310

Cukup jelas.

Pasal 311

Cukup jelas.

Pasal 312

Cukup jelas.

Pasal 313

Cukup jelas.

Pasal 314

Cukup jelas.

Pasal 315

Cukup jelas.

Pasal 316

Cukup jelas.

Pasal 317

Cukup jelas.

Pasal 318

Cukup jelas.

Pasal 319

Cukup jelas.

Pasal 320

Cukup jelas.

Pasal 321

Cukup jelas.

Pasal 322

Cukup jelas.

Pasal 323

Cukup jelas.

Pasal 324

Cukup jelas.

Pasal 325

Cukup jelas.

Pasal 326

Cukup jelas.

Pasal 327

Cukup jelas.

Pasal 328

Cukup jelas.

Pasal 329

Cukup jelas.

Pasal 330

Cukup jelas.

Pasal 331

Cukup jelas.

Pasal 332

Cukup jelas.

Pasal 333

Cukup jelas.

Pasal 334

Cukup jelas.

Pasal 335

Cukup jelas.

Pasal 336

Cukup jelas.

Pasal 337

Cukup jelas.

Pasal 338

Cukup jelas.

Pasal 339

Cukup jelas.

Pasal 340

Cukup jelas.

Pasal 341

Cukup jelas.

Pasal 342

Cukup jelas.

Pasal 343

Cukup jelas.

Pasal 344

Cukup jelas.

Pasal 345

Cukup jelas.

Pasal 346

Cukup jelas.

Pasal 347

Cukup jelas.

Pasal 348

Cukup Jelas

Pasal 349

Cukup jelas.

Pasal 350

Cukup jelas.

Pasal 351

Cukup jelas.

Pasal 352

Cukup jelas.

Pasal 353

Cukup jelas.

Pasal 354

Cukup jelas.

Pasal 355

Cukup jelas.

Pasal 356

Cukup jelas.

Pasal 357

Cukup jelas.

Pasal 358

Cukup jelas.

Pasal 359

Cukup jelas.

Pasal 360

Cukup jelas.

Pasal 361

Cukup jelas.

Pasal 362

Cukup jelas.

Pasal 363

Cukup jelas.

Pasal 364

Cukup jelas.

Pasal 365

Cukup jelas.

Pasal 366

Cukup jelas.

Pasal 367

Cukup jelas.

Pasal 368

Cukup jelas.

Pasal 369

Cukup jelas.

Pasal 370

Cukup jelas.

Pasal 371

Cukup jelas.

Pasal 372

Cukup jelas.

Pasal 373

Cukup jelas.

Pasal 374

Cukup jelas.

Pasal 375

Cukup jelas.

Pasal 376

Cukup jelas.

Pasal 377

Cukup jelas.

Pasal 378

Cukup jelas.

Pasal 379

Cukup jelas.

Pasal 380

Cukup jelas.

Pasal 381

Cukup jelas.

Pasal 382

Cukup jelas.

Pasal 383

Cukup jelas.

Pasal 384

Cukup jelas.

Pasal 385

Cukup jelas.

Pasal 386

Cukup jelas.

Pasal 387

Cukup jelas.

Pasal 388

Cukup jelas.

Pasal 389

Cukup jelas.

Pasal 390

Cukup jelas.

Pasal 391

Cukup jelas.

Pasal 392

Cukup jelas.

Pasal 393

Cukup jelas.

Pasal 394

Cukup jelas.

Pasal 395

Cukup jelas.

Pasal 396

Cukup jelas.

Pasal 397

Cukup jelas.

Pasal 398

Cukup jelas.

Pasal 399

Cukup jelas.

Pasal 400

Cukup jelas.

Pasal 401

Cukup jelas.

Pasal 402

Cukup jelas.

Pasal 403

Cukup jelas.

Pasal 404

Cukup jelas.

Pasal 405

Cukup jelas.

Pasal 406

Cukup jelas.

Pasal 407

Cukup jelas.

Pasal 408

Cukup jelas.

Pasal 409

Cukup jelas.

Pasal 410

Cukup jelas.

Pasal 411

Cukup jelas.

Pasal 412

Cukup jelas.

Pasal 413

Cukup jelas.

Pasal 414

Cukup jelas.

Pasal 415

Cukup jelas.

Pasal 416

Cukup jelas.

Pasal 417

Cukup jelas.

Pasal 418

Cukup jelas.

Pasal 419

Cukup jelas.

Pasal 420

Cukup jelas.

Pasal 421

Cukup jelas.

Pasal 422

Cukup jelas.

Pasal 423

Ayat (1)

huruf a

Cukup jelas.

huruf b

Cukup jelas.

huruf c

Cukup jelas.

huruf d

Pengenaan daya paksa polisional dapat berupa penolakan penerbitan PB UMKU dalam jangka waktu tertentu kepada Pelaku Usaha apabila melakukan pelanggaran atas PB UMKU yang telah diterbitkan.

huruf e

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 424

Cukup jelas.

Pasal 425

Cukup jelas.

Pasal 426

Cukup jelas.

Pasal 427

Cukup jelas.

Pasal 428

Cukup jelas.

Pasal 429

Cukup jelas.

Pasal 430

Cukup jelas.

Pasal 431

Cukup jelas.

Pasal 432

Cukup jelas.

Pasal 433

Cukup jelas.

Pasal 434

Cukup jelas.

Pasal 435

Cukup jelas.

Pasal 436

Cukup jelas.

Pasal 437

Cukup jelas.

Pasal 438

Cukup jelas.

Pasal 439

Cukup jelas.

Pasal 440

Cukup jelas.

Pasal 441

Cukup jelas.

Pasal 442

Cukup jelas.

Pasal 443

Cukup jelas.

Pasal 444

Cukup jelas.

Pasal 445

Cukup jelas.

Pasal 446

Cukup jelas.

Pasal 447

Cukup jelas.

Pasal 448

Cukup jelas.

Pasal 449

Cukup jelas.

Pasal 450

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan "penghentian sementara pelayanan umum" antara lain terkait dengan analisis mengenai dampak lalu lintas, Pelaku Usaha tidak memenuhi rekomendasi dari pengawas maka Pelaku Usaha tidak diperkenankan untuk melanjutkan pembangunan/ pengembangan sarana kegiatan berusaha.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Pasal 451

Cukup jelas.

Pasal 452

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dalam mengenakan sanksi administratif berupa daya paksa polisional melalui penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya dilakukan dengan menerbitkan surat/ rekomendasi kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk selanjutnya dilakukan penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 453

Cukup jelas.

Pasal 454

Cukup jelas.

Pasal 455

Cukup jelas.

Pasal 456

Cukup jelas.

Pasal 457

Cukup jelas.

Pasal 458

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dalam mengenakan sanksi administratif berupa daya paksa polisional melalui penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/atau media elektronik lainnya dilakukan dengan menerbitkan surat/rekomendasi kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk selanjutnya dilakukan penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 459

Cukup jelas.

Pasal 460

Cukup jelas.

Pasal 461

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Untuk subsektor pangan segar, penghentian sementara kegiatan berusaha dapat berupa penghentian sementara kegiatan produksi, peredaran, dan/ atau PB UMKU lainnya.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Untuk subsektor pangan segar, pengenaan daya paksa polisional dapat berupa penarikan produk dari peredaran dan tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan/ atau tindakan pemulihan.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 462

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan dalam mengenakan sanksi administratif berupa daya paksa polisional melalui penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya dilakukan dengan menerbitkan surat/ rekomendasi kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk selanjutnya dilakukan penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 463

Cukup jelas.

Pasal 464

Cukup jelas.

Pasal 465

Cukup jelas.

Pasal 466

Cukup jelas.

Pasal 467

Cukup jelas.

Pasal 468

Cukup jelas.

Pasal 469

Cukup jelas.

Pasal 470

Cukup jelas.

Pasal 471

Cukup jelas.

Pasal 472

Cukup jelas.

Pasal 473

Cukup jelas.

Pasal 474

Cukup jelas.

Pasal 475

Cukup jelas.

Pasal 476

Cukup jelas.

Pasal 477

Cukup jelas.

Pasal 478

Cukup jelas.

Pasal 479

Cukup jelas.

Pasal 480

Cukup jelas.

Pasal 481

Cukup jelas.

Pasal 482

Cukup jelas.

Pasal 483

Cukup jelas.

Pasal 484

Cukup jelas.

Pasal 485

Cukup jelas.

Pasal 486

Cukup jelas.

Pasal 487

Cukup jelas.

Pasal 488

Cukup jelas.

Pasal 489

Cukup jelas.

Pasal 490

Cukup jelas.

Pasal 491

Cukup jelas.

Pasal 492

Cukup jelas.

Pasal 493

Cukup jelas.

Pasal 494

Cukup jelas.

Pasal 495

Cukup jelas.

Pasal 496

Cukup jelas.

Pasal 497

Cukup jelas.

Pasal 498

Cukup jelas.

Pasal 499

Cukup jelas.

Pasal 500

Cukup jelas.

Pasal 501

Cukup jelas.

Pasal 502

Cukup jelas.

Pasal 503

Cukup jelas.

Pasal 504

Cukup jelas.

Pasal 505

Cukup jelas.

Pasal 506

Cukup jelas.

Pasal 507

Cukup jelas.

Pasal 508

Cukup jelas.

Pasal 509

Cukup jelas.

Pasal 510

Cukup jelas.

Pasal 511

Cukup jelas.

Pasal 512

Cukup jelas.

Pasal 513

Cukup jelas.

Pasal 514

Cukup jelas.

Pasal 515

Cukup jelas.

Pasal 516

Cukup jelas.

Pasal 517

Cukup jelas.

Pasal 518

Cukup jelas.

Pasal 519

Cukup jelas.

Pasal 520

Cukup jelas.

Pasal 521

Cukup jelas.

Pasal 522

Cukup jelas.

Pasal 523

Cukup jelas.

Pasal 524

Cukup jelas.

Pasal 525

Cukup jelas.

Pasal 526

Cukup jelas.

Pasal 527

Cukup jelas.

Pasal 528

Cukup jelas.

Pasal 529

Cukup jelas.

Pasal 530

Cukup jelas.

Pasal 531

Cukup jelas.

Pasal 532

Cukup jelas.

Pasal 533

Cukup jelas.

Pasal 534

Cukup jelas.

Pasal 535

Cukup jelas.

Pasal 536

Cukup jelas.

Pasal 537

Cukup jelas.

Pasal 538

Cukup jelas.

Pasal 539

Cukup jelas.

Pasal 540

Cukup jelas.

Pasal 541

Cukup jelas.

Pasal 542

Cukup jelas.

Pasal 543

Cukup jelas.

Pasal 544

Cukup jelas.

Pasal 545

Cukup jelas.

Pasal 546

Cukup jelas.

Pasal 547

Cukup jelas.

Pasal 548

Cukup jelas.

Pasal 549

Cukup jelas.

Pasal 550

Cukup jelas.

Pasal 551

Cukup jelas.

Pasal 552

Cukup jelas.




TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7115

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA