Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
a. | bahwa penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko perlu dilakukan reformasi kebijakan secara berkelanjutan dalam mewujudkan kemudahan dalam memulai dan menjalankan usaha guna mendukung cipta kerja; |
b. | bahwa penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja perlu disempurnakan untuk semakin memberikan kepastian hukum kepada pelaku usaha terutama mengenai proses bisnis dan jaminan kualitas layanan; |
c. | bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko perlu diganti; |
d. | bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; |
1. | Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; |
2. | Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856); |
1. | Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang selanjutnya disingkat PBBR adalah penzman berusaha yang menggunakan pendekatan berbasis risiko yang diperoleh dari hasil analisis risiko setiap kegiatan usaha. |
2. | Risiko adalah potensi terjadinya cedera atau kerugian dari suatu bahaya atau kombinasi kemungkinan dan akibat bahaya. |
3. | Perizinan Berusaha yang selanjutnya disingkat PB adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/ atau kegiatannya. |
4. | Perizinan Berusaha Untuk Menunjang Kegiatan Usaha yang selanjutnya disingkat PB UMKU adalah legalitas yang diberikan kepada Pelaku Usaha untuk menunjang kegiatan usaha. |
5. | Pemerintah Pusat adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. |
6. | Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang mem1mpm pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. |
7. | Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah Kawasan Ekonomi Khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus. |
8. | Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
9. | Administrator Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disebut Administrator KEK adalah Administrator KEK sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus. |
10. | Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan KPBPB adalah Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
11. | Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. |
12. | Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya. |
13. | Sertifikat Standar adalah pernyataan dan/ atau bukti pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha. |
14. | Izin adalah persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya. |
15. | Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat SPPL adalah Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup |
16. | Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disingkat UKL-UPL adalah Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup |
17. | Pengawasan adalah upaya untuk memastikan pelaksanaan kegiatan usaha sesuai dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha yang dilakukan melalui pendekatan berbasis Risiko dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha. |
18 | Usaha Mikro dan Kecil yang selanjutnya disingkat UMK adalah Usaha Mikro dan Usaha Kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
19. | Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang selanjutnya disingkat UMK-M adalah Usaha Mikro, Usaha Kecil, dan Usaha Menengah sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang mengenai Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. |
20. | Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang selanjutnya disingkat KBLI adalah kode klasifikasi yang diatur oleh lembaga pemerintah nonkementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang statistik. |
21. | Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh lembaga OSS untuk penyelenggaraan PBBR. |
22. | Lembaga Pengelola dan Penyelenggara OSS yang selanjutnya disebut Lembaga OSS adalah kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal. |
23. | Penanaman Modal adalah Penanaman Modal sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang penanaman modal. |
24. | Penanaman Modal Asing adalah Penanaman Modal Asing sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang penanaman modal. |
25. | Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya disingkat DPMPTSP adalah organisasi perangkat daerah pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota yang mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah di bidang Penanaman Modal. |
26. | Hari adalah hari kerja sesuai dengan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. |
27. | Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang yang selanjutnya disingkat KKPR adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang. |
28. | Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut yang selanjutnya disingkat KKPRL adalah kesesuaian antara rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang yang lokasi usahanya berada di laut. |
29. | Persetujuan Lingkungan yang selanjutnya disingkat PL adalah Persetujuan Lingkungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
30. | Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah Persetujuan Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang bangunan gedung |
31. | Bangunan Gedung adalah Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang bangunan gedung. |
32. | Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung yang selanjutnya disebut SLF adalah Sertifikat Laik Fungsi Bangunan Gedung sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang bangunan gedung |
33. | Rencana Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RTR adalah Rencana Tata Ruang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang. |
34. | Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah Rencana Detail Tata Ruang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang tata ruang. |
35. | Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
36. | Analisis Dampak Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut Andal adalah Analisis Dampak Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
37. | Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RKL adalah Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
38. | Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup yang selanjutnya disebut RPL adalah Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
39. | Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup adalah Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. |
40. | Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah Penerimaan Negara Bukan Pajak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak |
(1) | Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan penyelenggaraan PBBR. | ||||||||||||||||||||
(2) | Ruang lingkup penyelenggaraan PBBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
a. | pelaksanaan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU secara lebih efektif dan sederhana; dan |
b. | Pengawasan yang transparan, terstruktur, dan dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Untuk melakukan kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memiliki PB. |
(2) | PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh setelah Pelaku Usaha melakukan pemenuhan persyaratan dasar terlebih dahulu, kecuali diatur lain dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(3) | Apabila PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu dilengkapi dengan perizinan berusaha untuk menunjang kegiatan usaha, Pelaku Usaha wajib memiliki PB UMKU. |
(4) | Persyaratan dasar dan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diproses secara elektronik melalui Sistem OSS. |
(5) | Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terintegrasi secara elektronik dengan sistem di kementerian / lembaga. |
(1) | Penyelenggaraan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf b dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c meliputi sektor:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Selain sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggaraan PB dan/ atau PB UMKU meliputi pula sektor:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | PBBR pada masing-masing sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) meliputi pengaturan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Kode KBLI/KBLI terkait, judul KBLI, ruang lingkup kegiatan, skala usaha, tingkat Risiko, PB, persyaratan, jangka waktu penerbitan, kewajiban, PB UMKU, parameter, dan kewenangan bagi PB setiap sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Nomenklatur PB UMKU, persyaratan, jangka waktu penerbitan, kewajiban, masa berlaku, parameter, dan kewenangan bagi PB UMKU setiap sektor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Metode analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dan mekanisme penerbitannya diatur dengan peraturan menteri/ kepala lembaga. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Standar kegiatan usaha dan/ atau standar produk/ jasa serta mekanisme penerbitannya sebagaimana dimaksud pada ayat (7) menjadi pedoman bagi kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Peraturan menteri/kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) mengacu pada pedoman sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memiliki masa berlaku sepanJang Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha. | ||||||||||||||||||||||||||||||
(11) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (10) dikecualikan atas PB yang diberikan dalam rangka:
|
||||||||||||||||||||||||||||||
(12) | Peraturan menteri/kepala lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditetapkan setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. |
(1) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB dilarang menerbitkan persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU di luar yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU pada masing masing sektor dilakukan pembinaan dan Pengawasan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing |
a. | memulai usaha; dan |
b. | menjalankan usaha. |
(1) | Tahapan memulai usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a meliputi:
|
||||||
(2) | Subtahapan pemenuhan legalitas usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a bagi yang berbentuk badan usaha dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang badan usaha. | ||||||
(3) | Subtahapan pemenuhan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
|
||||||
(4) | Setelah melakukan subtahapan pemenuhan legalitas usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan subtahapan pemenuhan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Usaha menyampaikan permohonan perolehan atau pengajuan PB berdasarkan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c. |
(1) | Setelah memenuhi tahapan memulai usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a, Pelaku Usaha memenuhi tahapan menjalankan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b. | ||||
(2) | Tahapan menjalankan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Subtahapan persiapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a terdiri atas kegiatan:
|
||||||||||||||
(2) | Subtahapan operasional dan/ atau komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) huruf b terdiri atas kegiatan:
|
(1) | Kegiatan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a termasuk pembersihan atau pembukaan lahan. |
(2) | Kegiatan pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan pemenuhan PL bagi usaha dan kegiatan yang wajib Amdal atau UKL UPL dan PBG bagi Pelaku Usaha yang akan melakukan pembangunan Bangunan Gedung. |
(3) | Jika akan melakukan pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf c, Pelaku Usaha wajib memiliki persyaratan dasar dalam bentuk PL dan PBG sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Untuk kegiatan usaha yang mempunyai tingkat Risiko rendah atau menengah rendah, setelah memperoleh PB, Pelaku Usaha melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial. |
(5) | Untuk kegiatan usaha yang mempunyai tingkat Risiko menengah tinggi atau tinggi, setelah diterbitkan PB, Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan operasional dan/ atau komersial. |
(6) | Jika untuk melakukan kegiatan operasional dan/ atau komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dipersyaratkan PB UMKU, Pelaku Usaha wajib memiliki PB UMKU. |
(1) | Persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) meliputi:
|
||||||||
(2) | Penerbitan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan lokasi kegiatan usaha. | ||||||||
(3) | Pelaksanaan penerbitan persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
|
||||||||
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d untuk penerbitan persyaratan dasar:
|
||||||||
(5) | Penerbitan persyaratan dasar untuk proyek strategis nasional dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang proyek strategis nasional, penyelenggaraan penataan ruang, kelautan, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Bangunan Gedung, serta pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. |
a. | darat; dan/ atau |
b. | laut. |
(1) | Pelaksanaan pemeriksaan lokasi usaha di darat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dilakukan melalui KKPR. | ||||
(2) | KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Konfirmasi KKPR se bagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a diberikan berdasarkan kesesuaian |
(2) | Persetujuan terhadap permohonan konfirmasi KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan secara otomatis oleh kepala Lembaga OSS melalui Sistem OSS. |
(3) | Penolakan terhadap permohonan konfirmasi KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara otomatis. |
(1) | Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b diberikan dalam hal RDTR belum tersedia. | ||||||||
(2) | Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
(1) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha dengan melengkapi dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang yang terdiri atas:
|
||||||||||||||
(2) | Setelah dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap, Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP pertama sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak | ||||||||||||||
(3) | Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||||||
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui:
|
||||||||||||||
(5) | Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. | ||||||||||||||
(6) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui, surat perintah setor PNBP kedua menjadi tidak berlaku dan permohonan persetujuan KKPR dianggap ditarik kembali. | ||||||||||||||
(7) | Dalam hal permohonan persetujuan KKPR dianggap ditarik kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (6), Pelaku Usaha dapat mengajukan kembali permohonan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang. |
(2) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak pembayaran PNBP terpenuhi. |
(3) | Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c. |
(1) | Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c dilakukan melalui kajian atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:
|
||||||||||
(2) | Penilaian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk pertimbangan teknis pertanahan. | ||||||||||
(3) | Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar. |
(1) | Jika hasil penilaian serta dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), persetujuan KKPR diterbitkan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(2) | Jika hasil penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2), permohonan persetujuan KKPR ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(3) | Apabila pertimbangan teknis pertanahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (2) tidak tercakup dalam hasil penilaian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3), persetujuan KKPR diterbitkan tanpa pertimbangan teknis pertanahan. |
(1) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan tidak benar, dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS. |
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen usulan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS. |
(3) | Berdasarkan penyampaian perbaikan dokumen usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan pemeriksaan ulang atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 3 (tiga) Hari sejak perbaikan dokumen usulan diterima. |
(4) | Jika berdasarkan hasil pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan tidak benar, dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS. |
(5) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan kedua dokumen usulan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui Sistem OSS. |
(6) | Berdasarkan penyampaian perbaikan kedua dokumen usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan pemeriksaan ulang kedua atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang paling lama 2 (dua) Hari sejak perbaikan dokumen usulan diterima. |
(7) | Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (5) atau berdasarkan hasil pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen usulan dinyatakan tidak benar, permohonan persetujuan KKPR ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(8) | Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang. |
a. | penilaian dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; dan |
b. | penerbitan persetujuan KKPR' sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha yang seluruh lokasi usahanya berada di dalam delineasi RDTR yang belum terintegrasi dengan sistem OSS, penerbitan persetujuan KKPR dilakukan melalui kajian berdasarkan RTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1). | ||||||||
(2) | Penilaian dokumen untuk persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertim bangkan RDTR. | ||||||||
(3) | Penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa melalui pertimbangan teknis pertanahan. | ||||||||
(4) | Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
|
||||||||
(5) | Ketentuan mengenai:
|
||||||||
(6) | Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf c dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari. | ||||||||
(7) | Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang telah sesuai dengan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan KKPR diterbitkan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. | ||||||||
(8) | Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang tidak sesuai dengan RTR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), persetujuan KKPR dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(1) | Persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf b dapat diterbitkan tanpa dilakukan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang untuk kondisi tertentu. | ||||||||||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||
(3) | Persetujuan KKPR untuk kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
|
||||||||||||||
(4) | Sistem OSS mengalirkan permohonan persetujuan KKPR untuk kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerin tahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Ketentuan pendaftaran persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf a. |
(2) | Selain dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diperlukan juga kelengkapan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya untuk kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2). |
(1) | Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf b dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang. |
(2) | Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1). |
(3) | Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke tahapan penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) huruf c. |
(4) | Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dinyatakan tidak benar, permohonan persetujuan KKPR dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(5) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala Lembaga OSS. |
(1) | Apabila lokasi usaha dan/atau kegiatan berada di kawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) huruf a dan telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing masing, pengelola kawasan menyampaikan rencana induk kawasan kepada kepala Lembaga OSS. |
(2) | Kepala Lembaga OSS memasukkan rencana induk kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ke dalam Sistem OSS sebagai dasar penerbitan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1). |
(1) | Dalam hal pernyataan mandiri dari Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 telah diterbitkan, Sistem OSS mengalirkan data pernyataan mandiri kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan lokasi penerbitan KKPR. | ||||
(2) | Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melakukan penilaian kesesuaian pemanfaatan ruang dengan usaha dan/ atau kegiatan sebagaimana termuat dalam pernyataan mandiri dengan RTR dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari. | ||||
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditemukan ketidaksesuaian antara usaha dan/ atau kegiatan dengan RTR, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan, gubernur, bupati, atau wali kota:
|
(1) | Apabila telah tersedia RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan konfirmasi KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi). |
(2) | Apabila RTR selain RDTR telah tersedia dan telah memuat pengaturan zonasi terkait pemanfaatan ruang di pulau pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi), ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 sampai dengan Pasal 25 berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi). |
(3) | RTR yang telah memuat pengaturan zonasi terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi standar teknis pemanfaatan ruang yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemanfaatan ruang di pulau-pulau kecil dengan luas 0 (nol) sampai dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) oleh Penanaman Modal Asing dalam bentuk perseroan terbatas. |
(1) | Apabila:
|
||||||||
(2) | Rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan penilaian secara administrasi dan teknis paling lama 14 (empat belas) Hari sejak dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) diterima secara lengkap. | ||||||||
(3) | Apabila berdasarkan penilaian administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) permohonan yang diajukan oleh Pelaku Usaha tidak memenuhi persyaratan maka permohonan rekomendasi dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan. | ||||||||
(4) | Apabila permohonan rekomendasi dinyatakan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), permohonan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan. | ||||||||
(5) | Apabila berdasarkan penilaian administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) permohonan yang diajukan oleh Pelaku Usaha memenuhi persyaratan maka rekomendasi diterbitkan. | ||||||||
(6) | Apabila rekomendasi diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Sistem OSS menerbitkan:
|
||||||||
(7) | Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP. | ||||||||
(8) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terlampaui, surat perintah setor PNBP menjadi tidak berlaku serta:
|
||||||||
(9) | Pemeriksaan dan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dalam rangka penerbitan KKPR dilakukan setelah Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP. | ||||||||
(10) | Ketentuan pemeriksaan dan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang serta penerbitan persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 berlaku secara mutatis mutandis untuk penerbitan persetujuan KKPR di pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi). |
(1) | Apabila rekomendasi tidak diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2), proses persetujuan KKPR dilanjutkan tanpa rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi). |
(2) | Ketentuan mengenai persetujuan KKPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara mutatis mutandis terhadap pemanfaatan ruang di pulau-pulau kecil dengan luas 0 (nol) sampai dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) oleh Penanaman Modal Asing dalam bentuk perseroan terbatas. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha yang berlokasi di kawasan hutan, pelaksanaan pemeriksaan lokasi usaha di kawasan hutan dilakukan melalui:
|
||||||||
(2) | Kewenangan penerbitan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan. | ||||||||
(3) | Dalam hal kegiatan usaha dilakukan di wilayah KPBPB, kewenangan penerbitan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. |
(1) | Persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf a diberikan untuk kegiatan usaha yang:
|
||||||
(2) | Persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
a. | administrasi; dan |
b. | teknis. |
(1) | Jika persyaratan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 telah lengkap, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan. |
(2) | Dalam hal berdasarkan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan masih perlu diperbaiki, permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan disampaikan kembali kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan melalui Sistem OSS. |
(3) | Pelaku Usaha melakukan perbaikan permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya catatan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan penelaahan ulang kesesuaian dokumen dan persyaratan paling lama 3 (tiga) Hari sejak diterimanya perbaikan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(5) | Apabila berdasarkan hasil penelaahan ulang kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan masih perlu diperbaiki, dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS. |
(6) | Pelaku Usaha melakukan perbaikan kembali dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak diterimanya catatan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan penelaahan ulang kesesuaian dokumen dan persyaratan paling lama 2 (dua) Hari sejak diterimanya perbaikan kembali persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(8) | Dalam hal berdasarkan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), atau penelaahan ulang dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) atau ayat (7), dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan telah memenuhi kesesuaian dokumen dan persyaratan, permohonan dilanjutkan ke tahapan penelaahan dan penerbitan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c. |
(9) | Dalam hal berdasarkan penelaahan kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan tidak memenuhi kesesuaian dokumen dan persyaratan, permohonan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS dan diberitahukan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(1) | Penelaahan dan penerbitan persetujuan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) huruf c dilakukan paling lama 47 (empat puluh tujuh) Hari sejak dokumen permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan dinyatakan telah memenuhi kesesuaian dokumen dan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (8) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan. |
(2) | Dalam hal berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menyampaikan notifikasi penolakan permohonan persetujuan penggunaan kawasan hutan disertai alasan penolakan ke Sistem OSS. |
(3) | Dalam hal berdasarkan penelaahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menyampaikan notifikasi berupa keputusan persetujuan penggunaan kawasan hutan dan peta lampiran ke Sistem OSS. |
(1) | Persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf b diberikan untuk kegiatan usaha pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi. | ||||||||
(2) | Persetujuan komitmen pemanfaatan hutan diberikan pada areal kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang belum digunakan oleh Pelaku Usaha lain mengacu pada peta arahan pemanfaatan hutan yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. | ||||||||
(3) | Persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
||||||||
(1) | Pendaftaran permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan dokumen persyaratan permohonan yang meliputi:
|
||||||||||
(2) | Pernyataan komitmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
|
||||||||||
(3) | Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||
(4) | Dalam hal pertimbangan teknis atau rekomendasi teknis dari gubernur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e tidak diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak diterima permohonan, Lembaga OSS memproses permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan. | ||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan, pernyataan komitmen, dan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf b paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan melalui Sistem OSS. | ||||
(2) | Hasil verifikasi administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Apabila permohonan tidak memenuhi kelengkapan persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf a, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan. |
(2) | Apabila permohonan dinyatakan telah memenuhi kelengkapan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) huruf b, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan telaahan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c paling lama 25 (dua puluh lima) Hari. |
(3) | Berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan telah memenuhi persyaratan, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan dilanjutkan ke tahapan penerbitan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf d. |
(1) | Apabila berdasarkan telaahan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) dokumen permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan masih perlu diperbaiki, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan disampaikan kembali kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan melalui Sistem OSS. |
(2) | Perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling banyak 2 (dua) kali secara berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak permohonan disampaikan kembali kepada Pelaku Usaha. |
(3) | Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berdasarkan hasil telaahan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (2) permohonan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan, permohonan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS. |
(4) | Penolakan persetujuan komitmen pemanfaatan hutan diberitahukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 5 (lima) Hari sejak Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan atau dokumen dinyatakan tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(1) | Persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c diberikan untuk kegiatan pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(2) | Persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
(1) | Pendaftaran permohonan persetujuan prms1p pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan dokumen persyaratan permohonan yang meliputi:
|
||||||||
(2) | Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) permohonan Pelaku Usaha dilengkapi dengan:
|
||||||||
(3) | Untuk PB penyediaan jasa wisata alam, dokumen persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c tidak menjadi persyaratan. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi terhadap permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf b paling lama 15 (lima belas) Hari sejak diterimanya permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru di Sistem OSS. | ||||||
(2) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan hasil berupa:
|
||||||
(3) | Kriteria verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
|
||||||
(4) | Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, dalam hal:
|
||||||
(5) | Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, dalam hal:
|
||||||
(6) | Dalam hal:
|
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 52 permohonan dinyatakan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan, permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan. |
(2) | Penyampaian notifikasi penolakan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan paling lama 2 (dua) Hari sejak permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru dinyatakan ditolak melalui Sistem OSS. |
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi se bagaimana dimaksud dalam Pasal 52 permohonan dinyatakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, permohonan disetujui dan dilanjutkan dengan penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (2) huruf c. |
(2) | Penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 2 (dua) Hari sejak permohonan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru dinyatakan disetujui melalui Sistem OSS. |
(1) | Apabila diminta melakukan perbaikan, Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan permohonan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dokumen perbaikan dikembalikan kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (6). |
(2) | Perbaikan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 2 (dua) kali perbaikan. |
(3) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi paling lama 8 (delapan) Hari sejak penyampaian dokumen perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Ketentuan mengenai tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan verifikasi dokumen perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(5) | Ketentuan mengenai verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 sampai dengan Pasal 54 berlaku secara mutatis mutandis terhadap ketentuan penerbitan persetujuan prinsip pemanfaatan jasa lingkungan di kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru. |
(1) | Persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf d diberikan untuk kegiatan usaha yang:
|
||||||||||
(2) | Persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
|
(1) | Dalam hal permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan berupa proyek strategis nasional di kawasan hutan, Pelaku Usaha mengajukan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melalui Sistem OSS. |
(2) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menindaklanjuti permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penyelenggaraan kehutanan dan proyek strategis nasional. |
(3) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menyampaikan penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
a. | pernyataan komitmen; dan |
b. | persyaratan administrasi dan teknis. |
(1) | Jika dokumen pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 telah lengkap, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan melakukan verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf b. |
(2) | Verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melakukan identifikasi dan pemilahan data kelengkapan persyaratan permohonan dan melakukan penelaahan teknis. |
(3) | Verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 39 (tiga puluh sembilan) Hari. |
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan tidak memenuhi persyaratan, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan dinyatakan ditolak. |
(5) | Dalam hal berdasarkan hasil verifikasi pernyataan komitmen dan persyaratan administrasi dan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan memenuhi persyaratan, dilanjutkan ke tahapan pembentukan tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf c. |
(1) | Pembentukan tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf c dilakukan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak permohonan memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (5). |
(2) | Tim terpadu melaksanakan penelitian dan menyampaikan laporan hasil penelitian dan rekomendasi kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan paling lambat 60 (enam puluh) Hari sejak ditetapkannya surat perintah tugas dari pejabat pimpinan tinggi madya yang bertanggung jawab di bidang planologi kehutanan dan tata lingkungan. |
(1) | Laporan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) sebagai bahan pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan untuk menerbitkan keputusan persetujuan pelepasan kawasan hutan dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya laporan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu. | ||||
(2) | Keputusan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
(3) | Dalam hal keputusan berupa penolakan permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan dan disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. | ||||
(4) | Dalam hal keputusan berupa persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan dilanjutkan ke tahapan penerbitan persetujuan pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) huruf e. |
(1) | Pelaksanaan pemeriksaan lokasi usaha di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b dilakukan melalui KKPRL. |
(2) | KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui persetujuan KKPRL. |
(1) | Persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dilakukan dengan tahapan:
|
||||||||
(2) | Persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dilakukan untuk kegiatan secara menetap di sebagian ruang laut yang mencakup:
|
||||||||
(3) | Kegiatan secara menetap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi kriteria:
|
(1) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat ( 1) huruf a diajukan melalui Sistem OSS yang dilengkapi dengan:
|
||||||||||
(2) | Setelah pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima lengkap, dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b. |
(1) | Pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf b dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak dokumen diterima lengkap. |
(2) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dinyatakan benar, permohonan pemanfaatan ruang laut dilakukan ke tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c. |
(3) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dinyatakan tidak benar, permohonan pemanfaatan ruang laut dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan. |
(1) | Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dilakukan melalui kajian atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer berdasarkan:
|
||||||||||
(2) | Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 20 (dua puluh) Hari. | ||||||||||
(3) | Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut disetujui, Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak paling lama 2 (dua) Hari sejak disetujuinya dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut. | ||||||||||
(4) | Apabila berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut tidak disetujui, Sistem OSS menyampaikan persetujuan KKPRL dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan kepada Pelaku Usaha. |
(1) | Apabila berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut dinyatakan terdapat catatan perbaikan, Sistem OSS mengembalikan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. | ||||
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||
(3) | Penilaian kembali atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dinyatakan terdapat catatan perbaikan dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||
(4) | Jika berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) masih terdapat catatan perbaikan atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. | ||||
(5) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||
(6) | Penilaian kembali atas dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut yang dinyatakan terdapat catatan perbaikan dilakukan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||
(7) | Permohonan persetujuan KKPRL dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS, apabila:
|
||||
(8) | Apabila berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (6) dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut disetujui, Sistem OSS menerbitkan surat perintah setor PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak paling lama 2 (dua) Hari sejak dokumen kegiatan pemanfaatan ruang laut disetujui. |
(1) | Pembayaran PNBP dilakukan oleh Pelaku Usaha paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (3) atau Pasal 70 ayat (8). | ||||
(2) | Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui:
|
||||
(3) | Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b. | ||||
(4) | Apabilajangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terlampaui:
|
||||
(5) | Pelaku Usaha melakukan pembayaran PNBP dalamjangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kalender sejak diterbitkan surat perintah setor PNBP ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b. | ||||
(6) | Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kalender sebagaimana dimaksud pada ayat (5) terlampaui:
|
a. | pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68; dan |
b. | penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70. |
(1) | Apabila dalam tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 memerlukan rekomendasi atau pertimbangan kementerian/lembaga terkait berdasarkan peraturan perundang-undangan, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan menyampaikan permohonan rekomendasi atau pertimbangan kepada kementerian/lembaga terkait. |
(2) | Rekomendasi atau pertimbangan disampaikan oleh kementerian/lembaga terkait kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kelautan dan perikanan paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya penyampaian permintaan rekomendasi atau pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Apabila rekomendasi atau pertimbangan tidak diberikan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tahapan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 dan Pasal 70 dilakukan tanpa rekomendasi atau pertimbangan. |
(4) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku untuk rekomendasi di sektor pertahanan. |
(1) | Apabila kegiatan usaha berada di kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, pengelola kawasan menyampaikan rencana induk kawasan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. |
(2) | Berdasarkan rencana induk kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan mencatat data lokasi dan peruntukan ruang di kawasan sebagai dasar penerbitan persetujuan KKPRL di kawasan. |
(3) | Data lokasi dan peruntukan ruang di kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi dasar pemeriksaan kebenaran dokumen permohonan persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68. |
(1) | Apabila terdapat kegiatan usaha yang memanfaatkan ruang laut secara menetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (3) di kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam yang telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, penerbitan persetujuan KKPRL didahului rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam. | ||||||
(2) | Rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan. | ||||||
(3) | Selain kelengkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1), permohonan penerbitan persetujuan KKPRL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilengkapi dengan peta usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut. | ||||||
(4) | Pemberian rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan verifikasi persyaratan permohonan berdasarkan kesesuaian kaidah konservasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam paling lama 15 (lima belas) Hari sejak dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap. | ||||||
(5) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam tidak diterbitkan, permohonan dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut. | ||||||
(6) | Apabila berdasarkan verifikasi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan menolak permohonan rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan menyampaikan permohonan persetujuan KKPRL dinyatakan ditolak kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS. | ||||||
(7) | Apabila berdasarkan verifikasi persyaratan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kehutanan menyetujui permohonan rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, permohonan dilanjutkan ke tahapan pemeriksaan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 melalui Sistem OSS. | ||||||
(8) | Ketentuan mengenai:
|
(1) | PL se bagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf b wajib dimiliki oleh Pelaku Usaha untuk setiap usaha dan/ atau kegiatan yang memiliki dampak penting atau tidak penting terhadap lingkungan. | ||||||
(2) | PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan pemenuhan dokumen lingkungan hidup berupa:
|
||||||
(3) | PL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan dalam bentuk:
|
||||||
(4) | Permohonan PL diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. | ||||||
(5) | Penerbitan PL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. | ||||||
(6) | Bagi kegiatan usaha dengan lebih dari 1 (satu) KBLI yang merupakan kegiatan usaha terintegrasi yang berlokasi dalam satu kesatuan hamparan ekosistem kegiatan, pengajuan dan penerbitan PL mengacu pada persyaratan pemenuhan dokumen lingkungan yang paling tinggi. |
a. | penapisan jenis dokumen lingkungan hidup dan penapisan persetujuan teknis oleh Pelaku Usaha; |
b. | permohonan persetujuan teknis oleh Pelaku Usaha; |
c. | permohonan PL atau perubahan PL oleh Pelaku Usaha; |
d. | penilaian atau pemeriksaan dokumen lingkungan hidup; |
e. | pengambilan keputusan kelayakan lingkungan hidup; dan |
f. | penerbitan PL. |
(1) | Persetujuan teknis harus dipenuhi Pelaku Usaha sebagai persyaratan administrasi untuk permohonan PL dengan dokumen lingkungan Amdal atau UKL-UPL. | ||||||||
(2) | Persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(1) | Pelaku Usaha melakukan penapisan jenis persetujuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c secara mandiri melalui sistem informasi lingkungan hidup. | ||||
(2) | Pelaku Usaha melakukan penapisan jenis persetujuan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf d secara mandiri melalui sistem informasi lalu lintas. | ||||
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha tidak berdampak pada air, tanah, udara, dan/ atau bangkitan dan tarikan lalu lintas, Pelaku Usaha tidak memerlukan persetujuan teknis. | ||||
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil penapisan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) usaha dan/atau kegiatan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha berdampak pada air, tanah, udara, dan/ atau bangkitan dan tarikan lalu lintas, Pelaku Usaha menyampaikan permohonan persetujuan teknis kepada instansi yang berwenang. | ||||
(5) | Dalam hal tidak diperlukan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pelaku Usaha menyampaikan permohonan PL melalui Sistem OSS. | ||||
(6) | Permohonan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan dalam bentuk penyusunan:
|
(1) | Penerbitan persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (6) huruf b:
|
||||
sejak dinyatakan lengkap dan benar. | |||||
(2) | Penerbitan persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (2) huruf d:
|
||||
(3) | Dalam hal persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis untuk pemenuhan baku mutu air limbah dan pemenuhan baku mutu emisi belum dapat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis Pelaku Usaha yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari:
|
||||
(4) | Dalam hal persetujuan teknis dalam bentuk kajian teknis untuk pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun belum dapat diterbitkan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis Pelaku Usaha yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari:
|
||||
(5) | Dalam hal persetujuan teknis untuk persetujuan analisis mengenai dampak lalu lintas belum dapat diterbitkan dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat langsung mengajukan permohonan PL dengan melampirkan bukti permohonan persetujuan teknis Pelaku Usaha yang telah dinyatakan lengkap dan benar dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melalui sistem informasi lalu lintas | ||||
(6) | Persetujuan teknis yang belum dapat diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) sudah harus diterima pada saat pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup dimulai. | ||||
(7) | Dalam hal persetujuan teknis tidak diterbitkan pada saat dimulainya pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup, pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup tetap dapat dilakukan tanpa persetujuan teknis. |
(1) | Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan penerbitan persetujuan teknis bersamaan dengan permohonan PL, apabila:
|
||||
(2) | Dalam hal rencana usaha merupakan proyek strategis nasional, Pelaku Usaha dapat mengajukan permohonan penerbitan persetujuan teknis di bidang lingkungan hidup dan/ atau di bidang lalu lintas bersamaan dengan pengajuan PL. | ||||
(3) | Permohonan penerbitan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diajukan kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui sistem informasi lingkungan hidup dan/ atau sistem informasi lalu lintas. | ||||
(4) | Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup dan/ atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing menyampaikan kepada Pelaku Usaha mengenai persetujuan atau penolakan atas permohonan penerbitan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam jangka waktu 3 (tiga) Hari sejak permohonan diterima. |
(1) | Dalam hal permohonan penerbitan persetujuan teknis bersamaan dengan permohonan PL se bagaimana dimaksud dalam Pasal 84 disetujui, Pelaku Usaha mengajukan permohonan PL disertai dengan dokumen persetujuan teknis melalui Sistem OSS, untuk dilakukan penilaian atau pemeriksaan. |
(2) | Penerbitan persetujuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan penilaian atau pemeriksaan substansi dokumen lingkungan hidup. |
(1) | Permohonan PL untuk usaha wajib Amdal yang diajukan oleh Pelaku Usaha dilakukan melalui:
|
||||||||
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha wajib Amdal yang telah memiliki PL akan melakukan perubahan usaha, Pelaku Usaha harus melakukan perubahan PL. | ||||||||
(3) | Pengisian formulir kerangka acuan oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) huruf a dan pemeriksaan formulir kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. | ||||||||
(4) | Penyusunan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. | ||||||||
(5) | Permohonan PL melalui penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diajukan oleh Pelaku Usaha dengan melampirkan:
|
||||||||
(6) | Dalam hal permohonan PL sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan lengkap melalui Sistem OSS, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangannya melalui Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan penilaian terhadap permohonan PL dengan dokumen Amdal. | ||||||||
(7) | Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan melalui tahapan:
|
(1) | Penilaian administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf a dilakukan untuk menilai kebenaran dokumen yang meliputi:
|
||||||||||||
(2) | Penilaian kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak permohonan PL diterima Sistem OSS. | ||||||||||||
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf b. |
(1) | Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (2) dokumen dinyatakan tidak benar, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. | ||||
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 3 (tiga) Hari sejak pengembalian dokumen dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||
(3) | Penilaian kebenaran terhadap perbaikan dokumen dilakukan paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||
(4) | Dalam hal berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) perbaikan dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf b. | ||||
(5) | Permohonan PL dinyatakan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS, apabila:
|
(1) | Penilaian substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (7) huruf b dilakukan untuk penilaian secara keseluruhan dan komprehensif terhadap aspek konsistensi, keharusan, relevansi, dan kedalaman substansi, meliputi:
|
||||
(2) | Penilaian substansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui rapat Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung, ahli, dan/ atau kementerian/lembaga terkait. | ||||
(3) | Hasil penilaian substansi oleh Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup disusun dalam berita acara rapat yang memuat informasi:
|
||||
(4) | Apabila dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL tidak memerlukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan uji kelayakan. |
(1) | Apabila dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL memerlukan perbaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (3) huruf b, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melalui Sistem OSS mengembalikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. |
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pengembalian dokumen dinyatakan memerlukan perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Terhadap penyampaian dokumen yang telah diperbaiki oleh Pelaku Usaha, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan evaluasi atas perbaikan dokumen dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dokumen perbaikan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Berdasarkan hasil evaluasi atas perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen perbaikan masih dinyatakan tidak benar, dokumen dikembalikan kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan dan diberitahukan melalui Sistem OSS. |
(5) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pengembalian dokumen masih dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(6) | Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan evaluasi atas perbaikan dokumen dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak dokumen perbaikan diterima sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(7) | Apabila berdasarkan hasil evaluasi atas perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau ayat (6) dinyatakan benar, Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup melakukan uji kelayakan. |
(1) | Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) atau Pasal 90 ayat (5), Sistem OSS menyampaikan pemberitahuan penghentian proses penilaian substansi dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL kepada Pelaku Usaha. |
(2) | Penghentian proses penilaian substansi dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dapat diajukan permohonan kelanjutan penilaian oleh Pelaku Usaha dalam jangka waktu paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak penyampaian pemberitahuan penghentian proses penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Berdasarkan permohonan kelanjutan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), proses penilaian substansi dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL dilanjutkan kembali. |
(4) | Tata cara danjangka waktu penilaian dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 berlaku secara mutatis mutandis untuk penilaian lanjutan perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL. |
(5) | Apabila Pelaku Usaha tidak mengajukan permohonan kelanjutan penilaian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), permohonan PL ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS. |
(1) | Berdasarkan hasil uji kelayakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4), Pasal 90 ayat (7), atau Pasal 91 ayat (4), Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup menyampaikan rekomendasi kelayakan atau ketidaklayakan lingkungan hidup kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||
(2) | Rekomendasi hasil uji kelayakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi bahan pertimbangan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing dalam menetapkan:
|
(1) | Jangka waktu:
|
||||||
(2) | Jangka waktu:
|
||||||
(3) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak termasuk jangka waktu perbaikan dokumen Andal dan dokumen RKL-RPL oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (2) dan ayat (5) pada tahapan penilaian substansi. | ||||||
(4) | Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Surat Keputusan Ketidaklayakan Lingkungan Hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) Hari sejak rekomendasi hasil uji kelayakan diterima. |
(1) | Permohonan PL dengan formulir UKL-UPL diajukan oleh Pelaku Usaha dengan melampirkan persetujuan teknis apabila dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan/ atau lalu lintas. | ||||
(2) | Formulir UKL-UPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||
(3) | Dalam hal permohonan PL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap melalui Sistem OSS, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melakukan pemeriksaan terhadap PL dengan formulir UKL-UPL | ||||
(4) | Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan melalui tahapan:
|
(1) | Pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) huruf a dilakukan untuk memeriksa kebenaran dokumen yang meliputi:
|
||||||||
(2) | Pemeriksaan kebenaran dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) Hari sejak permohonan PL diterima Sistem OSS. | ||||||||
(3) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) huruf b. |
(1) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) dokumen dinyatakan tidak benar, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. |
(2) | Pelaku Usaba menyampaikan perbaikan dokumen yang dinyatakan tidak benar paling lama 1 (satu) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintaban di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan bidup dan tugas pemerintaban di bidang pengendalian lingkungan bidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melakukan pemeriksaan Perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya perbaikan dokumen. |
(4) | Apabila berdasarkan basil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen dinyatakan benar, permohonan PL dilakukan pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) buruf b. |
(5) | Apabila Pelaku Usaha tidak menyampaikan perbaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau berdasarkan basil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dokumen dinyatakan tidak benar, permohonan PL ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS. |
(1) | Menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintaban di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan bidup dan tugas pemerintaban di bidang pengendalian lingkungan bidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melakukan pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (4) buruf b atas formulir UKL-UPL standar spesifik atau formulir UKL-UPL standar. |
(2) | Pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik untuk usaba dengan tingkat Risiko menengab rendab dilakukan secara otomatis melalui Sistem OSS. |
(3) | Pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik untuk usaba dengan tingkat Risiko menengab tinggi dan tingkat Risiko tinggi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dinyatakan benar. |
(4) | Pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar untuk usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi dan tingkat Risiko tinggi dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari sejak pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dinyatakan benar. |
(5) | Apabila penerbitan persetujuan teknis dilaksanakan bersamaan dengan pemeriksaan substansi atas dokumen lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 85, pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL dilakukan paling lama 15 (lima belas) Hari sejak pemeriksaan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (1) dinyatakan benar. |
(1) | Berdasarkan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik untuk usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2), diterbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup secara otomatis melalui Sistem OSS. | ||||
(2) | Dalam hal hasil pemeriksaan substansi tidak terdapat perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalamjangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dinyatakan benar. | ||||
(3) | Dalam hal hasil pemeriksaan substansi memerlukan perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melalui Sistem OSS menyampaikan arahan perbaikan kepada Pelaku Usaha. | ||||
(4) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||
(5) | Berdasarkan perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak perbaikan dokumen diterima. | ||||
(6) | Apabila:
|
(1) | Berdasarkan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan substansi atas formulir UKL-UPL standar spesifik atau formulir UKL-UPL standar untuk usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi dan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) dan ayat (4), diterbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup melalui Sistem OSS. | ||||
(2) | Dalam hal hasil pemeriksaan substansi tidak terdapat perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalamjangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak pemeriksaan substansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dinyatakan benar. | ||||
(3) | Dalam hal hasil pemeriksaan substansi memerlukan perbaikan, menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing masing melalui Sistem OSS menyampaikan arahan perbaikan kepada Pelaku Usaha. | ||||
(4) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||
(5) | Berdasarkan perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4), menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui Sistem OSS menerbitkan persetujuan atau penolakan pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) Hari sejak perbaikan dokumen diterima. | ||||
(6) | Apabila:
|
(1) | Permohonan PL dengan formulir SPPL diajukan oleh Pelaku Usaha kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing melalui Sistem OSS. |
(2) | Penerbitan PL dengan formulir SPPL dilakukan melalui pernyataan mandiri oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS yang diterbitkan secara otomatis bersamaan dengan NIB. |
(1) | Pelaku Usaha yang berada dalam kawasan industri, KEK, atau KPBPB yang telah dilengkapi dengan Amdal kawasan dan PL kawasan, wajib menyusun RKL-RPL rinci berdasarkan dokumen lingkungan hidup kawasan. |
(2) | RKL-RPL rinci yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pengelola kawasan untuk diperiksa dan disahkan oleh pengelola kawasan. |
(3) | RKL-RPL rinci yang telah disahkan oleh pengelola kawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan bentuk pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan hidup dan menjadi persyaratan atas dasar PB Pelaku Usaha di dalam kawasan. |
a. | tidak melakukan pembuangan air limbah ke badan air; atau |
b. | melakukan pembuangan air limbah melalui instalasi pengolahan air limbah yang disediakan pengelola kawasan, |
(1) | Kegiatan pembangunan Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 meliputi perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, dan pengawasan konstruksi. |
(2) | Perencanaan teknis Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi standar teknis yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung. |
(1) | PBG harus dimiliki oleh Pelaku Usaha sebelum pelaksanaan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1). | ||||
(2) | PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha kepada Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||
(3) | PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diproses melalui:
|
(1) | Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a meliputi proses:
|
||||||
(2) | Konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan tanpa dipungut biaya. |
(1) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf a diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS dengan menyampaikan:
|
||||||
(2) | Data pemohon atau pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan data Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang bangunan gedung. | ||||||
(3) | Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disusun pada saat perencanaan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1). | ||||||
(4) | Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dibuat oleh penyedia jasa perencanaan Bangunan Gedung atau pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. | ||||||
(5) | Dokumen rencana teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diperiksa dan disetujui dalam proses konsultasi perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) huruf a. |
(1) | Setelah dinyatakan lengkap oleh Sistem OSS, data dan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 110 ayat (1) dilakukan pemeriksaan kebenaran data dan dokumen. |
(2) | Pemeriksaan kebenaran data dan dokumen dilakukan untuk memeriksa kesesuaian data dan dokumen yang dilakukan paling lama 3 (tiga) Hari sejak data dan dokumen dinyatakan lengkap. |
(3) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dokumen dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke proses pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b. |
(1) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) dokumen dinyatakan tidak benar, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. | ||||
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen paling lama 5 (lima) Hari sejak pengembalian dokumen dinyatakan tidak benar sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||
(3) | Pemeriksaan atas perbaikan dokumen dilakukan paling lama 3 (tiga) Hari sejak diterimanya perbaikan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||
(4) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) perbaikan dokumen dinyatakan benar, permohonan dilanjutkan ke proses pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b. | ||||
(5) | Permohonan ditolak disertai dengan alasan penolakan melalui Sistem OSS, apabila:
|
(1) | Pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat (1) huruf b dilakukan paling banyak 5 (lima) kali dalam kurun waktu paling lama 26 (dua puluh enam) Hari sejak dokumen dinyatakan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (4). |
(2) | Pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pertama kali dalam waktu paling lama 3 (tiga) Hari sejak dokumen dinyatakan benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (3) dan Pasal 112 ayat (4). |
(3) | Hasil pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara yang dilengkapi dengan pertimbangan teknis. |
(1) | Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) dokumen rencana teknis dinyatakan perlu dilakukan perbaikan, Sistem OSS mengembalikan dokumen kepada Pelaku Usaha disertai dengan catatan perbaikan. | ||||
(2) | Serita acara pada pemeriksaan pemenuhan standar teknis yang terakhir harus dilengkapi dengan kesimpulan. | ||||
(3) | Kesimpulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berisi:
|
(1) | Berdasarkan rekomendasi penerbitan surat pernyataan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) huruf a, Sistem OSS menerbitkan surat pernyataan pemenuhan standar teknis paling lama 1 (satu) Hari sejak rekomendasi penerbitan surat pernyataan pemenuhan standar teknis diterima. |
(2) | Surat pernyataan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi perhitungan teknis untuk retribusi yang digunakan untuk memperoleh PBG. |
(1) | Berdasarkan rekomendasi pendaftaran ulang PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (3) huruf b:
|
||||
(2) | Berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memuat secara lengkap catatan perbaikan. | ||||
(3) | Apabila Pelaku Usaha melakukan pendaftaran ulang PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pelaku Usaha menyampaikan perbaikan dokumen rencana teknis. | ||||
(4) | Apabila Pelaku Usaha melakukan pendaftaran ulang PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (3), konsultasi dilanjutkan berdasarkan berita acara konsultasi sebelumnya. |
a. | penetapan nilai retribusi daerah; |
b. | pembayaran retribusi daerah; dan |
c. | penerbitan PBG. |
(1) | Penetapan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf a dilakukan oleh dinas teknis berdasarkan perhitungan teknis untuk retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Penetapan nilai retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS paling lama 1 (satu) Hari sejak diterimanya surat pernyataan pemenuhan standar teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1). |
(3) | Dalam hal nilai retribusi tidak dapat ditetapkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penetapan nilai retribusi dilakukan secara otomatis melalui Sistem OSS |
(1) | Pelaku Usaha melakukan pembayaran retribusi daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf b dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh masing-masing daerah sejak penetapan nilai retribusi daerah. |
(2) | Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terlampaui, penyampaian nilai retribusi daerah menjadi tidak berlaku dan permohonan PBG dinyatakan batal. |
(3) | Dalam menetapkan nilai retribusi daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing memperhatikan kemampuan Pelaku Usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah. |
(1) | Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 huruf c dilakukan setelah Pelaku Usaha menyampaikan bukti pembayaran retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 120 ayat (1) melalui Sistem OSS. | ||||
(2) | Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | SLF harus diperoleh oleh Pelaku Usaha sebelum Bangunan Gedung dapat dimanfaatkan. | ||||
(2) | SLF sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat terpenuhinya kelaikan fungsi Bangunan Gedung. | ||||
(3) | Pemenuhan SLF Bangunan Gedung yang sudah ada dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung yang dilaksanakan oleh:
|
||||
(4) | Atas pemeriksaan kelaikan fungsi Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (3), kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pekerjaan umum atau dinas teknis yang membidangi Bangunan Gedung di Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing menerbitkan SLF melalui Sistem OSS. | ||||
(5) | Untuk jasa yang diberikan oleh pengkaji teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum membuat standar biaya jasa yang dikenakan bagi Pelaku Usaha. |
(1) | Pelaku Usaha yang memiliki Bangunan Gedung yang telah berdiri namun belum memiliki izin mendirikan bangunan/PBG sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, tidak perlu memperoleh PBG dan dapat langsung menyampaikan permohonan SLF pada saat mengajukan atau memperpanjang permohonan PB dan/atau PBUMKU melalui Sistem OSS. |
(2) | Pelaku Usaha yang memiliki Bangunan Gedung yang telah berdiri dan telah memiliki izin mendirikan bangunan/PBG, dapat langsung menyampaikan permohonan SLF pada saat mengajukan atau memperpanjang permohonan PB dan/ atau PB UMKU melalui Sistem OSS. |
(3) | Ketentuan mengenai PBG dan SLF yang belum diatur dalam Pasal 106 sampai dengan Pasal 122 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Bangunan Gedung. |
(1) | PB dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. |
(2) | PB dilakukan berdasarkan penetapan tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha. |
(3) | Analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan secara transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip kehati-hatian berdasarkan data dan/ atau penilaian profesional. |
(4) | Tingkat Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan jenis PB. |
(1) | Analisis Risiko dilakukan dengan melibatkan:
|
||||||||||
(2) | Keterlibatan menteri dan/ atau kepala lembaga sektor terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan dalam rangka koordinasi dan sinkronisasi pengaturan kegiatan usaha yang bersifat lintas sektor dan/ atau beririsan antarkementerian/lembaga. | ||||||||||
(3) | Keterlibatan Pelaku Usaha dan/ atau masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dapat berupa:
|
(1) | Analisis Risiko sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (3) dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui tahapan:
|
||||||||
(2) | Hasil dari analisis Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa penetapan tingkat Risiko. |
(1) | Pengidentifikasian kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf a mengacu kepada pengaturan ruang lingkup kegiatan usaha pada KBLI. | ||||||||||
(2) | Pengidentifikasian skala usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf b dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M. | ||||||||||
(3) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf c dilakukan terhadap aspek:
|
||||||||||
(4) | Untuk kegiatan tertentu, penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mencakup aspek lainnya sesuai dengan sifat kegiatan usaha. | ||||||||||
(5) | Penilaian tingkat bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan dengan memperhitungkan:
|
||||||||||
(6) | Penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) huruf d terdiri atas:
|
(1) | Berdasarkan penilaian tingkat bahaya serta penilaian potensi terjadinya bahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) sampai dengan ayat (5), tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha, ditetapkan menjadi:
|
||||||
(2) | Kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbagi atas:
|
(1) | PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf a berupa:
|
||||
(2) | Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan legalitas untuk melaksanakan kegiatan usaha dalam bentuk pernyataan Pelaku Usaha untuk memenuhi standar usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha. | ||||
(3) | Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing yang diberikan melalui Sistem OSS. | ||||
(4) | PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan, operasional, dan/atau komersial kegiatan usaha. | ||||
(5) | Standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dipenuhi oleh Pelaku Usaha pada saat melaksanakan kegiatan usaha. | ||||
(6) | Pemenuhan atas standar usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diperiksa pada saat Pengawasan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) huruf b berupa:
|
||||
(2) | Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan Sertifikat Standar pelaksanaan kegiatan usaha yang diterbitkan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing berdasarkan hasil verifikasi pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha oleh Pelaku Usaha. | ||||
(3) | Setelah memperoleh NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Pelaku Usaha membuat pernyataan melalui Sistem OSS untuk memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha dalam rangka melakukan kegiatan usaha dan kesanggupan untuk dilakukan verifikasi. | ||||
(4) | Terhadap pernyataan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Lembaga OSS menerbitkan Sertifikat Standar yang belum terverifikasi. | ||||
(5) | Sertifikat Standar yang belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) menjadi dasar bagi Pelaku Usaha untuk melakukan persiapan kegiatan usaha. | ||||
(6) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Sertifikat Standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b yang telah terverifikasi merupakan PB bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/atau komersial kegiatan usaha. | ||||
(7) | Dalam hal Pelaku Usaha:
|
(1) | PB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) huruf c berupa:
|
||||
(2) | Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan persetujuan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB untuk pelaksanaan kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha sebelum melaksanakan kegiatan usahanya melalui Sistem OSS. | ||||
(3) | Sebelum memperoleh Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pelaku Usaha dapat menggunakan NIB untuk persiapan kegiatan usaha. | ||||
(4) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan PB bagi Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha. |
(1) | Verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan menugaskan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi. |
(1) | Dalam hal pada tahap operasional dan/atau komersial kegiatan usaha diperlukan PB UMKU, kementerian/lembaga mengidentifikasi PB UMKU dengan tetap mempertimbangkan tingkat Risiko kegiatan usaha dan/ atau produk pada saat pelaksanaan tahap operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha. | ||||||||
(2) | PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penzman dalam rangka penyelenggaraan kegiatan ekspor, impor, dan pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan barang ekspor dan impor serta neraca komoditas. | ||||||||
(3) | Pemberian perizinan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan ekspor, impor, dan pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan barang ekspor dan impor serta neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem Indonesia National Single Window sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang perdagangan dan neraca komoditas. | ||||||||
(4) | PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan permohonan PB UMKU kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing melalui Sistem OSS | ||||||||
(5) | Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meneruskan permohonan PB UMKU kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk dilakukan pemrosesan permohonan PB UMKU. | ||||||||
(6) | PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perizinan berusaha yang diperlukan dalam rangka:
|
(1) | Dalam melakukan pemrosesan permohonan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (4), kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Sadan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Apabila permohonan PB UMKU yang disampaikan oleh Pelaku Usaha disetujui, kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing masing menyampaikan persetujuan PB UMKU kepada Sistem OSS. |
(3) | Sistem OSS menerbitkan PB UMKU kepada Pelaku Usaha. |
(4) | Apabila permohonan PB UMKU yang diajukan oleh Pelaku Usaha ditolak atau diminta melengkapi pemenuhan persyaratan, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing menyampaikan kepada Pelaku Usaha melalui Sistem OSS disertai dengan penjelasan. |
(1) | Pemerintah Pusat menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria pada setiap sektor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2). |
(2) | Norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi acuan tunggal bagi pelaksanaan penyelenggaraan PBBR oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB. |
(3) | Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan peraturan pelaksanaan internal norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada kepala daerah yang ditetapkan dengan peraturan kepala daerah. |
(4) | Kepala daerah dalam menyusun peraturan pelaksanaan internal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengacu pada norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta tidak memperluas ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU diterbitkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. | ||||||||
(2) | Pelaksanaan penerbitan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
||||||||
(3) | Pelaksanaan penerbitan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
|
||||||||
(4) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan huruf d, kewenangan penerbitan PB dilakukan oleh Lembaga OSS atau Lembaga OSS atas nama menteri/kepala lembaga untuk penerbitan PB dalam hal kegiatan usaha terdapat:
|
||||||||
(5) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), kewenangan penerbitan PB di wilayah KPBPB dilakukan oleh kepala Sadan Pengusahaan KPBPB untuk penerbitan PB dalam hal kegiatan usaha terdapat:
|
||||||||
(6) | Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d serta ayat (3) huruf a, huruf b, dan huruf c:
|
(1) | Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing dalam:
|
||||
(2) | Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan PB sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini | ||||
(3) | Pelaku Usaha harus memenuhi ketentuan PB UMKU sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | PB sektor kelautan dan perikanan meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||||
(2) | PB UMKU sektor kelautan dan perikanan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
(1) | PB sektor pertanian meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||||
(2) | PB UMKU sektor pertanian meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
||||||||||
(3) | Perizinan terkait veteriner diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pertanian. |
a. | pemanfaatan hutan; |
b. | pemanfaatan jasa lingkungan pada kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam, dan taman buru; |
c. | pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar; dan |
d. | perbenihan tanaman hutan. |
(1) | PB sektor energi dan sumber daya mineral meliputi subsektor:
|
||||||||||
(2) | PB UMKU sektor energi dan sumber daya mineral meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas subsektor:
|
||||||||||
(3) | Kewajiban pemenuhan persyaratan dasar berupa KKPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a dikecualikan untuk PB dalam tahap survei dan tahap eksplorasi subsektor energi baru, terbarukan, dan konservasi energi, serta tahap kegiatan eksplorasi pada subsektor mineral dan batubara. |
(1) | Penerapan PB pada kegiatan usaha hulu pada subsektor minyak dan gas bumi yang dilaksanakan oleh badan usaha atau bentuk usaha tetap berdasarkan kontrak kerja sama berlaku ketentuan:
|
||||
(2) | Penerapan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghapus keberlakuan seluruh ketentuan dalam kontrak kerja sama. |
(1) | Kegiatan usaha hilir pada subsektor minyak dan gas bumi meliputi:
|
||||||||
(2) | Kegiatan usaha pengangkutan yang meliputi kegiatan pemindahan minyak bumi, gas bumi, bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau hasil olahan yang menggunakan alat transportasi darat, air, dan/atau udara dari suatu tempat ke tempat lain untuk tujuan komersial dilaksanakan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria pada sektor transportasi. |
(1) | Pelaku Usaha yang telah melakukan kegiatan:
|
||||
(2) | Penggunaan air tanah tanpa Izin pengusahaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan:
|
||||
(3) | Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan formula penghitungan denda administratif yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. | ||||
(4) | Permohonan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS sesuai Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | PB sektor ketenaganukliran meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||
(2) | PB UMKU sektor ketenaganukliran meliputi penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
||||||||
(3) | PB dan PB UMKU untuk kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, serta ayat (2) huruf a tertentu diterbitkan sesuai tahapan kegiatan yang meliputi:
|
(1) | PB sektor perindustrian meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||||||||||
(2) | PB UMKU sektor perindustrian meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
a. | tempat penyimpanan dimaksud terkait dengan kegiatan dan/atau kepentingan produksi Pelaku Usaha di sektor perindustrian bersangkutan yang tidak terpisahkan dari kegiatan industrinya dan berada dalam 1 (satu) lokasi usaha industri; dan |
b. | tempat penyimpanan dimaksud tidak disewakan atau dikomersialkan. |
(1) | Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf a wajib berlokasi di kawasan industri. | ||||||||||
(2) | Kegiatan usaha industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berlokasi di luar kawasan industri apabila:
|
||||||||||
(3) | Kegiatan usaha industri yang:
|
||||||||||
(4) | Industri menengah yang tidak berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan hidup yang berdampak luas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dan industri yang menggunakan bahan baku khusus dan/ atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
(1) | Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi usaha industri wajib memenuhi ketentuan lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151. |
(2) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan bagi Pelaku Usaha perseorangan dan Pelaku Usaha nonperseorangan di sektor perindustrian yang melakukan perubahan klasifikasi kegiatan usaha industri tanpa menambah lahan lokasi industri atau pindah lokasi industri. |
(1) | Dalam 1 (satu) PB hanya berlaku bagi 1 (satu) Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang:
|
||||||
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian memiliki usaha industri di luar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memiliki PB baru. |
(1) | PB untuk kegiatan usaha kawasan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) huruf b diberikan hanya kepada Pelaku Usaha yang berbentuk badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, koperasi, dan perseroan terbatas, yang berlokasi di dalam kawasan peruntukan industri sesuai dengan RTR. |
(2) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang telah memperoleh PB untuk kegiatan usaha kawasan industri merupakan perusahaan kawasan industri. |
(3) | PB kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan sesuai dengan KKPR kegiatan usaha kawasan industri. |
(1) | Setiap perusahaan kawasan industri yang melakukan perluasan kawasan wajib memiliki persyaratan dasar dan PB. |
(2) | Sebelum mengajukan permohonan persyaratan dasar dan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan kawasan industri harus telah menguasai dan selesai menyiapkan lahan kawasan industri sampai dapat digunakan, menyusun perubahan Andal, perencanaan, dan pembangunan infrastruktur kawasan industri, serta kesiapan lain dalam rangka perluasan kawasan. |
(3) | Perluasan kawasan industri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dalam satu hamparan dan berlokasi di kawasan peruntukan industri sesuai dengan RTR. |
(1) | PB sektor perdagangan dan metrologi legal meliputi kegiatan usaha:
|
||||||
(2) | PB UMKU sektor perdagangan dan metrologi legal meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
a. | permohonan dan penerbitan NIB kegiatan usaha dilakukan melalui Sistem OSS; |
b. | Sistem OSS mengalirkan permohonan PB kepada badan pengawas perdagangan berjangka komoditi pada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan; dan |
c. | penerbitan PB perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perdagangan berjangka komoditi, sistem resi gudang, dan pasar lelang komoditas. |
(1) | PB sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat meliputi kegiatan:
|
||||||||||
(2) | PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang telah melakukan kegiatan:
|
||||||
(2) | Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan formula penghitungan denda administratif yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. | ||||||
(3) | Permohonan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS dengan berpedoman pada Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | PB sektor transportasi meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||
(2) | PB UMKU sektor transportasi meliputi penunjang operasional dan/atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
(1) | Kegiatan usaha sektor transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b dan huruf c terdiri atas penyelenggaraan sarana dan prasarana transportasi serta penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi. |
(2) | Kegiatan usaha sektor transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (1) huruf a dan huruf d terdiri atas penyelenggaraan sarana dan prasarana transportasi. |
(3) | Kegiatan usaha sektor transportasi yang merupakan penyelenggaraan penunjang sarana dan prasarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) merupakanjasa terkait sarana dan prasarana transportasi yang dapat dilakukan secara langsung oleh UMK-M atau bekerja sama dengan badan usaha. |
a. | kesehatan; |
b. | obat dan makanan; dan |
c. | pangan segar. |
(1) | PB subsektor kesehatan meliputi kegiatan usaha:
|
||||||
(2) | PB UMKU subsektor kesehatan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
(1) | PB UMKU subsektor obat dan makanan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
||||||
(2) | PB UMKU subsektor obat dan makanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi usaha tertentu yang ditetapkan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan setelah berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerin tahan di bidang perekonomian dan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal. |
a. | sarana penanganan pangan segar; |
b. | peredaran pangan segar; dan |
c. | jaminan keamanan pangan segar produk ekspor. |
a. | pendidikan; dan |
b. | kebudayaan. |
(1) | Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan dapat dilakukan melalui PBBR sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. | ||||
(2) | PBBR untuk satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pendidikan. | ||||
(3) | Pelaksanaan perizinan pada subsektor pendidikan untuk lembaga pendidikan formal di KEK wajib dilakukan melalui PBBR sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah ini. | ||||
(4) | Ketentuan mengenai norma, standar, prosedur, dan kriteria PBBR untuk satuan lembaga pendidikan formal di KEK diatur dalam:
|
(1) | PB subsektor kebudayaan meliputi kegiatan usaha perfilman. | ||||||
(2) | PB UMKU subsektor kebudayaan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
a. | daya tarik wisata; |
b. | kawasan pariwisata; |
c. | jasa transportasi wisata; |
d. | jasa perjalanan wisata; |
e. | jasa makanan dan minuman; |
f. | penyediaan akomodasi; |
g. | penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi; |
h. | penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi, dan pameran; |
i. | jasa informasi wisata; |
j. | jasa konsultan pariwisata; |
k. | jasa pramuwisata; |
l. | wisata tirta; dan |
m. | spa. |
a. | penyelenggaraan ibadah haji khusus; dan |
b. | penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah. |
a. | pos; |
b. | telekomunikasi; dan |
c. | penyelenggaraan penyiaran. |
a. | penomoran telekomunikasi; |
b. | hak labuh sistem komunikasi kabel laut transmisi telekomunikasi internasional; |
c. | hak labuh satelit; |
d. | izin pita frekuensi radio; |
e. | izin stasiun radio bagi seluruh sektor usaha; dan |
f. | sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi bagi seluruh sektor usaha. |
a. | industri pertahanan; dan |
b. | keamanan. |
a. | penetapan sebagai industri pertahanan; |
b. | produksi alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
c. | kelaikan alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
d. | pemasaran alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
e. | penjualan, ekspor, dan transfer alat peralatan pertahanan dan keamanan; |
f. | pembelian dan impor alat peralatan pertahanan dan keamanan; dan/ atau |
g. | industri bahan peledak. |
(1) | PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 176 berkaitan dengan industri pertahanan yang menjalankan kegiatan usaha:
|
||||||||||
(2) | lndustri alat utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:
|
a. | rekomendasi penanaman modal asing berupa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan, dalam hal terdapat kepentingan strategis untuk pendirian badan hukum dengan modal asing melebihi 49% (empat puluh sembilan persen) yang bergerak di bidang industri alat utama; | ||||||
b. | rekomendasi pendirian pabrik senjata dan amunisi berupa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau pejabat yang ditunjuk untuk:
|
||||||
c. | rekomendasi pendirian pabrik bahan baku bahan peledak, bahan peledak, atau bahan peledak aksesoris berupa persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan atau pejabat yang ditunjuk dalam rangka pendirian badan hukum di bidang industri bahan peledak. |
a. | jasa konsultansi keamanan; |
b. | jasa penerapan peralatan keamanan; |
c. | jasa pelatihan keamanan; |
d. | jasa kawal angkut uang dan barang berharga; |
e. | jasa penyediaan tenaga pengamanan; dan |
f. | jasa penyediaan satwa keamanan (K9). |
a. | perencanaan dan pengawasan penyelenggaraan informasi geospasial; |
b. | pelaksanaan akuisisi data geospasial berbasis metode terestris, metode fotogrametri dan pengindraan jauh, atau hidrografi; dan |
c. | pengolahan dan pengelolaan data dan informasi geospasial. |
(1) | PB sektor ketenagakerjaan meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | PB UMKU sektor ketenagakerjaan meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
a. | simpan pinjam:
|
||||
b. | aktivitas pemeringkatan koperasi. |
(1) | PB sektor penanaman modal meliputi kegiatan usaha yang belum atau tidak memiliki kementerian/lembaga sebagai pengampu. | ||||||||||||||
(2) | PB sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan:
|
(1) | PB sektor penyelenggaraan sistern dan transaksi elektronik meliputi kegiatan usaha:
|
||||||||||||
(2) | PB UMKU sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik meliputi penunjang operasional dan/ atau komersial kegiatan usaha yang terdiri atas:
|
a. | pengelolaan sampah, limbah, dan bahan berbahaya dan beracun; dan |
b. | pengelolaan air limbah. |
(1) | Pelaksanaan PBBR dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui Sistem OSS. | ||||||||||||
(2) | Sistem OSS merupakan sistem elektronik yang terintegrasi dalam rangka pelaksanaan PBBR. | ||||||||||||
(3) | Sistem OSS terdiri atas:
|
||||||||||||
(4) | Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib digunakan oleh:
|
(1) | Pemohon PB terdiri atas Pelaku Usaha:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Orang perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan orang perseorangan warga negara Indonesia yang cakap untuk bertindak dan melakukan perbuatan hukum. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan badan usaha berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum yang didirikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. | ||||||||||||||||||||||
(4) | Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan:
|
||||||||||||||||||||||
(5) | Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan badan usaha asing yang didirikan di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu. | ||||||||||||||||||||||
(6) | Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||
(7) | Kantor perwakilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
||||||||||||||||||||||
(8) | Badan usaha luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (5) yang dapat melakukan kegiatan usaha di Indonesia dapat berupa:
|
(1) | Persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf b merupakan persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire uennootschap) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian, perubahan anggaran dasar, serta pembubaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan komanditer (commanditaire vennootschap) se bagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(1) | Persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf c merupakan persekutuan firma ( venootschap onder firma) yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian, perubahan anggaran dasar, serta pembubaran persekutuan firma (venootschap onder firma) oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan firma (venootschap onder firma) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(1) | Persekutuan perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf d merupakan persekutuan perdata yang telah didaftarkan kepada Pemerintah Pusat. |
(2) | Pendaftaran persekutuan perdata kepada Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pendaftaran akta pendirian, perubahan anggaran dasar, serta pembubaran persekutuan perdata oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pendaftaran persekutuan perdata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(1) | Koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 ayat (6) huruf e merupakan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang mengenai perkoperasian yang telah disahkan oleh Pemerintah Pusat. |
(2) | Pengesahan koperasi oleh Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengesahan akta pendirian koperasi, perubahan anggaran dasar koperasi, serta pembubaran koperasi oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengesahan koperasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum. |
(1) | Hak akses bagi kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e diberikan kepada pengelola hak akses yang ditetapkan oleh menteri/kepala lembaga, kepala DPMPTSP provinsi, kepala DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||
(2) | Pengelola hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan hak akses turunan sesuai kewenangan dan kebutuhan yang diperlukan. | ||||
(3) | Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf f yang diberikan hak akses meliputi:
|
(1) | Hak akses kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e paling sedikit diberikan untuk:
|
||||||||||||||
(2) | Hak akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf f digunakan untuk:
|
||||||||||||||
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha melakukan kegiatan usaha pembangunan kawasan industri, hak akses kepada Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (4) huruf f digunakan untuk melakukan notifikasi pemenuhan persyaratan dasar lingkungan kepada Pelaku Usaha di dalam kawasan industri. |
a. | orang perseorangan, dengan mengisi data nomor induk kependudukan; |
b. | badan usaha, dengan mengisi data nomor pengesahan atau nomor pendaftaran badan usaha; |
c. | perusahaan umum, perusahaan umum daerah, lembaga penyiaran, dan badan hukum lainnya yang dimiliki oleh negara, dengan mengisi data dasar hukum pembentukan; |
d. | persyarikatan atau persekutuan, dengan mengisi data dasar hukum pendirian; dan |
e. | kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri, dengan mengisi data nomor induk kependudukan kepala kantor perwakilan/ penanggung jawab yang berkewarganegaraan Indonesia atau nomor paspor kepala kantor perwakilan/ penanggung jawab yang berkewarganegaraan asing. |
(1) | Pelaku Usaha dapat melakukan perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (3) secara mandiri dalam Sistem OSS. | ||||||||||
(2) | Perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
||||||||||
(3) | Perubahan data hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan setelah diverifikasi Sistem OSS dengan mempertimbangkan keamanan data. |
(1) | NIB wajib dimiliki oleh setiap Pelaku Usaha. | ||||||||
(2) | Setiap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) NIB. | ||||||||
(3) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Lembaga OSS. | ||||||||
(4) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan identitas bagi Pelaku Usaha sebagai bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha. | ||||||||
(5) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga sebagai:
|
||||||||
(6) | Pelaku Usaha yang memerlukan angka pengenal importir sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a hanya dapat memilih:
|
||||||||
(7) | Hak akses kepabeanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b dapat digunakan oleh:
|
||||||||
(8) | NIB berbentuk angka acak yang diberi pengaman dan disertai dengan tanda tangan elektronik. | ||||||||
(9) | NIB berlaku selama Pelaku Usaha menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. |
(1) | NIB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 mencakup data paling sedikit:
|
||||||||||
(2) | Untuk mendapatkan NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha orang perseorangan mengisi data pada Sistem OSS. | ||||||||||
(3) | Data profil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, bagi Pelaku Usaha orang perseorangan merupakan nomor induk kependudukan yang terintegrasi dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang dalam negeri. | ||||||||||
(4) | Bagi Pelaku Usaha yang merupakan badan usaha, data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, sesuai dengan integrasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang hukum. | ||||||||||
(5) | Terhadap data nomor pokok wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, Sistem OSS melakukan validasi sesuai dengan integrasi dengan sistem di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. | ||||||||||
(6) | Bagi Pelaku Usaha orang perseorangan yang belum memiliki nomor pokok wajib pajak, dapat mengajukan permohonan nomor pokok wajib pajak melalui Sistem OSS. | ||||||||||
(7) | Data lokasi usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e sesuai dengan integrasi atau validasi antara Sistem OSS dengan sistem di kementerian/badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang serta tugas pemerintahan di bidang pertanahan. | ||||||||||
(8) | Dalam hal data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum tersedia secara daring, Pelaku Usaha melakukan pengisian pada Sistem OSS. | ||||||||||
(9) | Bagi Pelaku Usaha kantor perwakilan dan badan usaha luar negeri selain harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus mengisi data paling sedikit:
|
(1) | Terhadap data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1), Sistem OSS melakukan penapisan kesesuaian dengan ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya, termasuk:
|
||||||||||
(2) | Penapisan kesesuaian dengan ketentuan bidang usaha dan ketentuan Penanaman Modal lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menentukan insentif dan/atau fasilitas Penanaman Modal yang dapat diperoleh oleh Pelaku Usaha. | ||||||||||
(3) | Terhadap data yang telah dilakukan penapisan, Sistem OSS mengalirkan data kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138. |
(1) | Dalam hal menggunakan tenaga kerja asing, Pelaku Usaha menyampaikan rencana jumlah penggunaan tenaga kerja asing melalui sistem elektronik yang diselenggarakan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan. |
(2) | Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan meneruskan pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing kepada Lembaga OSS dan kementerian yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan imigrasi. |
(1) | Pelaku Usaha harus melakukan klarifikasi kegiatan usaha berupa:
|
||||||
(2) | Kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kegiatan usaha sebagaimana yang tercantum pada legalitas/ akta Pelaku Usaha dan merupakan sumber pendapatan bagi Pelaku Usaha. | ||||||
(3) | Kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri atas satu atau lebih kegiatan usaha yang:
|
||||||
(4) | Kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan unit atau bagian dari perusahaan induknya yang dapat berkedudukan di tempat berlainan dan bersifat kegiatan penunJang administratif. |
a. | jenis produk yang dihasilkan; |
b. | kapasitas produk; |
c. | jumlah tenaga kerja; dan |
d. | rencana nilai investasi. |
(1) | Untuk Penanaman Modal Asing, Sistem OSS melaksanakan pemeriksaan ketentuan atas data usaha berupa rencana nilai investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 huruf d yang diajukan oleh Pelaku Usaha meliputi:
|
||||||||
(2) | Ketentuan minimum investasi bagi Penanaman Modal Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a per bidang usaha KBLI 5 (lima) digit per lokasi usaha harus lebih besar dari Rpl0.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah), di luar tanah dan bangunan. | ||||||||
(3) | Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan untuk kegiatan usaha:
|
(1) | Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (3), Pelaku Usaha yang telah mengisi data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) wajib melanjutkan proses di Sistem OSS untuk mendapatkan PBBR dengan memasukkan data kegiatan usaha pendukung untuk masing-masing kode KBLI 5 (lima) digit dan lokasi usaha paling sedikit memuat:
|
||||||||
(2) | Terhadap kegiatan usaha pendukung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (3), Pelaku Usaha wajib memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, termasuk pengidentifikasian PBBR. | ||||||||
(3) | Untuk Penanaman Modal Asing, kegiatan usaha pendukung dikecualikan dari proses pemeriksaan ketentuan nilai permodalan dan minimum investasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2) serta kewajiban pencantuman KBLI dalam maksud dan tujuan pada legalitas Pelaku Usaha. |
(1) | Pelaku Usaha mendaftarkan kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (4) pada Sistem OSS dengan melengkapi data paling sedikit:
|
||||||
(2) | Dalam hal kantor cabang administrasi lebih dari 1 (satu) lokasi, Pelaku Usaha harus melengkapi data sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk setiap lokasi kantor cabang administrasi. | ||||||
(3) | Pendaftaran kantor cabang administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan melalui Sistem OSS sebagai lampiran NIB. |
(1) | Dalam hal 1 (satu) kegiatan usaha utama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (2) merupakan:
|
||||||||
(2) | Kelengkapan data yang dapat digabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(1) | Subsistem pelayanan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf a menyediakan informasi dan layanan pusat bantuan dalam memperoleh PBBR serta informasi lain. | ||||||||||||||||||||
(2) | Penyediaan informasi dan layanan pusat bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||||||||
(3) | Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diakses oleh masyarakat umum tanpa menggunakan hak akses. |
(1) | Subsistem persyaratan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf b dapat diakses dengan menggunakan hak akses. | ||||||
(2) | Subsistem persyaratan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(1) | Subsistem perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf c dapat diakses dengan menggunakan hak akses. | ||||||||||||||||||
(2) | Subsistem perizinan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:
|
||||||||||||||||||
(3) | Subsistem perizinan berusaha diakses menggunakan hak akses oleh:
|
||||||||||||||||||
(4) | Kepala Lembaga OSS dapat memberikan hak akses terbatas selain kepada pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (3). |
(1) | PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) dapat dilakukan perluasan dan/ atau perubahan dalam rangka pengembangan usaha. | ||||||
(2) | Perluasan dan/ atau perubahan dalam rangka pengembangan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penambahan:
|
||||||
(3) | PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (11) dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) dapat dilakukan perpanjangan masa berlakunya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(4) | Pelaku Usaha yang telah memiliki PB dan/atau PB UMKU dan telah melaksanakan kegiatan usaha, proses perpanjangan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak perlu didahului dengan pengajuan persyaratan dasar baru. | ||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan, penerbitan, perluasan, perubahan, dan/atau perpanjangan PB dan/atau PB UMKU diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko rendah, NIB secara otomatis terbit melalui Sistem OSS setelah Pelaku Usaha memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207. |
(2) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sebagai legalitas untuk melaksanakan kegiatan berusaha sekaligus menjadi SPPL. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah rendah, setelah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha melalui Sistem OSS. |
(2) | Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar. |
(4) | Dalam hal kegiatan usaha dengan tingkat Risiko menengah rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221 ayat (1) memerlukan pemenuhan standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/jasa, Pelaku Usaha mengajukan permohonan PB UMKU sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha termasuk ke dalam tingkat Risiko menengah tinggi, setelah memenuhi kelengkapan data sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207, Pelaku Usaha mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha melalui Sistem OSS. |
(2) | Dalam hal kegiatan usaha dikategorikan wajib memenuhi standar UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir UKL-UPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi. |
(3) | Dalam hal kegiatan usaha tidak wajib UKL-UPL, selain mengisi pernyataan kesanggupan memenuhi standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha mengisi formulir SPPL yang tersedia di Sistem OSS untuk memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi. |
(4) | Setelah memperoleh NIB dan Sertifikat Standar yang mencantumkan tanda belum terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (3), Pelaku Usaha melakukan pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha sesuai jangka waktu berdasarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria melalui Sistem OSS. |
(5) | Pemenuhan standar pelaksanaan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing untuk dilakukan verifikasi. |
(6) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan kementerian / lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria. |
(7) | Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi ke Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan. |
(8) | Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (7) dinyatakan memenuhi persyaratan, Sistem OSS mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah diverifikasi. |
(2) | Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah diverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Dalam hal berdasarkan notifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (7) dinyatakan Pelaku Usaha tidak memenuhi persyaratan, Sistem OSS menyampaikan kepada Pelaku Usaha untuk melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang telah ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria. |
(2) | Pelaku Usaha menyampaikan permohonan melalui Sistem OSS untuk dilakukan verifikasi kembali setelah melakukan pemenuhan persyaratan Sertifikat Standar. |
(3) | Ketentuan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 222 ayat (5), ayat (6), ayat (7), dan ayat (8), dan Pasal 223 berlaku secara mutatis mutandis dalam pelaksanaan verifikasi kembali. |
(4) | Dalam hal berdasarkan verifikasi kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Pelaku Usaha tetap tidak memenuhi persyaratan Sertifikat Standar dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria, Sistem OSS membatalkan Sertifikat Standar yang belum diverifikasi. |
(1) | Dalam hal kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provms1, orgamsas1 perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing tidak memberikan notifikasi hasil verifikasi kepada Sistem OSS, Sistem OSS secara otomatis mencantumkan keterangan bahwa Sertifikat Standar telah terverifikasi. |
(2) | Pelaku Usaha dapat mencetak Sertifikat Standar yang telah mencantumkan keterangan telah terverifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Sebelum melakukan kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi, Pelaku Usaha wajib memiliki NIB yang diterbitkan melalui Sistem OSS. |
(2) | Setelah memiliki NIB, Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan Izin sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebelum melaksanakan kegiatan operasional dan/ atau komersial. |
(3) | Persyaratan Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pula Amdal bagi kegiatan usaha yang wajib Amdal. |
(4) | Pemenuhan persyaratan lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. |
(5) | Pemenuhan persyaratan lzin sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diteruskan Sistem OSS kepada kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing untuk dilakukan verifikasi. |
(6) | Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilakukan oleh kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing dalam jangka waktu sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria. |
(7) | Berdasarkan hasil verifikasi, kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB menyampaikan notifikasi kepada Sistem OSS berupa memenuhi persyaratan atau tidak memenuhi persyaratan. |
(8) | Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama dengan kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah provinsi, organisasi perangkat daerah kabupaten/kota, dan/ atau lembaga atau profesi ahli yang bersertifikat atau terakreditasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Bagi kegiatan usaha yang termasuk ke dalam tingkat Risiko tinggi yang:
|
||||
(2) | Ketentuan pemenuhan persyaratan Izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 berlaku secara mutatis mutandis bagi kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kecuali yang termasuk dalam proyek strategis nasional. | ||||
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha tidak menyampaikan pemenuhan persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kementerian/lembaga, DPMPTSP provinsi, DPMPTSP kabupaten/kota, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing, membatalkan Izin yang telah diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melalui Sistem OSS. |
(1) | UMK diberikan kemudahan penzman berusaha melalui perizinan tunggal. |
(2) | Kriteria UMK mengikuti ketentuan peraturan perundang undangan mengenai kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMK-M. |
(1) | Dalam hal kegiatan usaha yang dilakukan oleh UMK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 233 memiliki Risiko rendah, pelaku UMK mendapatkan NIB melalui Sistem OSS, sebagai identitas dan legalitas usaha. | ||||
(2) | NIB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:
|
||||
(3) | Dalam hal kegiatan usaha memiliki Risiko menengah atau tinggi, selain NIB pelaku UMK wajib memiliki Sertifikat Standar dan/ atau Izin. | ||||
(4) | Pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) menyampaikan permohonan untuk memperoleh Sertifikat Standar dan/ atau Izin melalui Sistem OSS. | ||||
(5) | Sistem OSS meneruskan permohonan pelaku UMK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kepada kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||
(6) | Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 221, Pasal 222, dan Pasal 227 berlaku secara mutatis mutandis untuk pemberian Sertifikat Standar dan/ atau Izin bagi pelaku UMK. |
(1) | Subsistem fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf d dapat diakses dengan menggunakan hak akses. | ||||||||||||||||
(2) | Subsistem fasilitas Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(1) | Subsistem kemitraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf e dapat diakses dengan menggunakan hak akses. | ||||||||
(2) | Subsistem kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
(1) | Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (3) huruf f dapat diakses dengan menggunakan hak akses. | ||||||||||||||
(2) | Subsistem Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), paling sedikit memuat:
|
||||||||||||||
(3) | Perangkat kerja Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c terdiri atas:
|
(1) | Pengawasan PBBR dilaksanakan oleh:
|
||||||||
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
|
||||||||
(3) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
|
||||||||
(4) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan atas pelaksanaan PBBR. |
a. | pemeriksaan laporan Pelaku Usaha; dan/atau |
b. | inspeksi lapangan rutin. |
(1) | Pemeriksaan laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 huruf a dilakukan berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Pelaku Usaha kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||||||||
(2) | Laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
|
||||||||||
(3) | Kepatuhan pemenuhan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||||
(4) | Laporan kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a disampaikan sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh kementerian/lembaga sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||||||||
(5) | Perkembangan realisasi dan pemenuhan kewajiban Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b disampaikan dalam laporan kegiatan Penanaman Modal melalui Sistem OSS. | ||||||||||
(6) | Laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (5) memuat:
|
(1) | Atas penyampaian laporan Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (2), Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing mempunyai tugas:
|
||||||||
(2) | Hasil reviu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penginputan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB ke Sistem OSS dalam rangka pemutakhiran profil Pelaku Usaha. | ||||||||
(3) | Profil Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kategori:
|
(1) | Tindak lanjut hasil reviu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241, meliputi:
|
||||||
(2) | Pembinaan/pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka meningkatkan kualitas kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU. | ||||||
(3) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha dengan tingkat kepatuhan kurang baik dan tidak baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) huruf c dan huruf d. |
(1) | Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 huruf b dilakukan secara terintegrasi dan terkoordinasi. | ||||||||
(2) | Integrasi dan koordinasi inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Sistem OSS. | ||||||||
(3) | Inspeksi lapangan rutin secara terkoordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antar Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||||||
(4) | Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui tahap:
|
||||||||
(5) | Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam bentuk kunjungan fisik dan/ atau virtual. |
(1) | Inspeksi lapangan rutin dilakukan oleh koordinator dan pelaksana. | ||||||||||
(2) | Koordinator pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
||||||||||
(3) | Pelaksana inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu:
|
||||||||||
(4) | Tugas koordinator inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||
(5) | Pelaksana inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengampu PB memiliki tugas untuk:
|
||||||||||
(6) | Pelaksana inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengampu persyaratan dasar dan PB UMKU memiliki tugas untuk:
|
||||||||||
(7) | Pemerintah Pusat dapat mendelegasikan pelaksanaan inspeksi lapangan rutin kepada Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB. | ||||||||||
(8) | Dalam hal Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB tidak dapat melakukan inspeksi lapangan rutin, Pemerintah Pusat dapat mengambil alih inspeksi lapangan rutin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Perencanaan inspeksi lapangan rutin mencakup penyusunan:
|
||||||
(2) | Inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan:
|
||||||
(3) | Anggaran pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dibebankan pada masing-masing kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Kementerian/lembaga menyusun dan menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai pedoman pelaksanaan inspeksi lapangan rutin yang memuat bobot kualitatif dan penilaian kepatuhan Pelaku Usaha. | ||||
(2) | Pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi pemeriksaan:
|
||||
(3) | Pelaksanaan inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang memuat:
|
||||
(4) | Berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditandatangani bersama dengan Pelaku Usaha secara elektronik dalam Sistem OSS. | ||||
(5) | Dalam hal Pelaku Usaha menolak menandatangani berita acara pemeriksaan, berita acara mencantumkan alasan penolakan Pelaku Usaha. | ||||
(6) | Dalam hal berdasarkan hasil inspeksi lapangan rutin ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku Usaha, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah penandatanganan berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4). |
(1) | Dalam hal inspeksi lapangan rutin memerlukan kompetensi khusus tertentu, kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB dapat bekerja sama atau menugaskan lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagai pelaksana inspeksi lapangan rutin dan dicantumkan ke dalam daftar usulan personel pelaksana inspeksi lapangan rutin. | ||||
(2) | Pelaksanaan inspeksi lapangan rutin oleh lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dituangkan dalam berita acara pemeriksaan yang memuat:
|
||||
(3) | Berita acara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditandatangani bersama dengan Pelaku Usaha. | ||||
(4) | Dalam hal Pelaku Usaha menolak menandatangani berita acara pemeriksaan, berita acara mencantumkan alasan penolakan Pelaku Usaha. | ||||
(5) | Hasil inspeksi lapangan rutin oleh lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB yang menugaskan dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari sejak penandatanganan berita acara sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||
(6) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penginputan laporan hasil inspeksi lapangan rutin ke Sistem OSS paling lama 3 (tiga) Hari, sejak diterimanya laporan dari lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||
(7) | Kernen terian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB melakukan penghentian pelanggaran untuk mencegah dampak yang lebih besar dalamjangka waktu paling lambat 1 (satu) Hari setelah menerima laporan lembaga yang terakreditasi atau profesi ahli yang bersertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Berdasarkan hasil inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243, Sistem OSS melakukan pengolahan data penilaian kepatuhan Pelaku Usaha guna menentukan profil Pelaku Usaha dengan kategori:
|
||||||||
(2) | Profil Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diakses melalui Sistern OSS oleh Pelaku Usaha yang bersangkutan. |
(1) | Tindak lanjut hasil inspeksi lapangan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 ayat (3) huruf b, meliputi:
|
||||
(2) | Pembinaan/pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap Pelaku Usaha dalam rangka meningkatkan kualitas kepatuhan pemenuhan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU. | ||||
(3) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha dengan tingkat kepatuhan kurang baik dan tidak baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 249 ayat (1) huruf c dan huruf d. |
(1) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf b merupakan Pengawasan yang dilakukan pada waktu tertentu. | ||||||
(2) | Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan:
|
||||||
(3) | Pengawasan insidental dilakukan melalui inspeksi lapangan insidental. | ||||||
(4) | Inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dituangkan dalam berita acara pemeriksaan melalui Sistem OSS. |
(1) | Inspeksi lapangan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (3) dapat dilaksanakan secara terkoordinasi atau mandiri oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing. | ||||
(2) | Ketentuan mengenai:
|
(1) | Kementerian/lembaga dan Pemerintah Daerah memberikan kemudahan Pengawasan kegiatan usaha kepada pelaku UMK. | ||||||||||
(2) | Kemudahan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU dilakukan dalam hal terdapat:
|
||||||||||
(2) | Permohonan pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b diajukan oleh Pelaku Usaha melalui Sistem OSS. | ||||||||||
(3) | Pencabutan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dilakukan oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, atau Badan Pengusahaan KPBPB melalui Sistem OSS sebagai tindak lanjut hasil pengawasan. | ||||||||||
(4) | Pencabutan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dilakukan oleh Lembaga OSS berdasarkan surat, keterangan, atau informasi tertulis yang telah berkekuatan hukum tetap dari lembaga peradilan. | ||||||||||
(5) | Pencabutan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e dilakukan oleh Lembaga ass berdasarkan surat keputusan yang dikeluarkan oleh kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas | ||||||||||
(6) | Keputusan pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU diterbitkan oleh Lembaga OSS. | ||||||||||
(7) | Pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan kewenangan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU. | ||||||||||
(8) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pencabutan persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal. |
(1) | Pengawasan terhadap PBBR dapat dilakukan secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan penyelenggaraan jaminan produk halal. |
(2) | Integrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk integrasi antara sistem elektronik terintegrasi layanan penyelenggaraan jaminan produk halal dengan Sistem OSS. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Pengawasan terhadap PBBR secara terkoordinasi dan terintegrasi dengan penyelenggaraan jaminan produk halal diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal setelah berkoordinasi dengan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penyelenggaraan jaminan produk halal. |
(1) | Masyarakat dapat berperan serta dalam penyelenggaraan Pengawasan. | ||||
(2) | Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||
(3) | Penyampaian pengaduan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dilakukan secara:
|
||||
(4) | Lembaga OSS menyusun prosedur pengelolaan pengaduan masyarakat secara elektronik melalui Sistem OSS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b angka 2. | ||||
(5) | Kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/atau Sadan Pengusahaan KPBPB menindaklanjuti pengaduan masyarakat secara sendiri sendiri atau bersama-sama dengan kementerian/lembaga lainnya dan/atau Pemerintah Daerah. | ||||
(6) | Pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b harus disampaikan secara benar dan dapat dipertanggungjawabkan. |
(1) | Pengawasan terhadap KKPRL, rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi), PB, dan/atau PB UMKU pada sektor kelautan dan perikanan dilakukan oleh:
|
||||||||||
(2) | Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan ketentuan:
|
(1) | Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor pertanian dilakukan oleh:
|
||||||||||
(2) | Kewenangan Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh tenaga pengawas atau pejabat lainnya sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor energi dan sumber daya mineral dilakukan oleh:
|
||||||||||||
(2) | Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparatur sipil negara bidang energi dan sumber daya mineral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor ketenaganukliran dilakukan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara rutin atau insidental. |
a. | inspektur keselamatan nuklir; |
b. | asesor; |
c. | pejabat lain; dan/ atau |
d. | ahli, |
(1) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273 ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239. |
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan minimal 1 (satu) kali selama masa berlaku PB dan/atau PB UMKU. |
a. | keadaan darurat yang membahayakan pekerja, masyarakat, dan lingkungan; |
b. | pelaksanaan Pengawasan untuk garda-aman nuklir; dan |
c. | pengangkutan zat radioaktif. |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum; |
b. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman; |
c. | gubernur; |
d. | bupati/wali kota; |
e. | kepala Administrator KEK; atau |
f. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan rutin pada subsektor jasa konstruksi selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5), juga berdasarkan:
|
||||||||||
(2) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk usaha orang perseorangan dan badan usaha jasa konstruksi kualifikasi kecil paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
(3) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk badan usaha jasa konstruksi kualifikasi menengah atau besar, dan badan usaha jasa konstruksi spesialis paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
(4) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a untuk lembaga sertifikasi paling sedikit meliputi:
|
||||||||||
(5) | Laporan kegiatan usaha tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengikuti ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang jasa konstruksi. |
(1) | Pengawasan atas pelaksanaan PB dan/atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan dalam PB dan/ atau PB UMKU. | ||||||||||
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
|
||||||||||
(3) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh:
|
||||||||||
(4) | Hasil Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bahan atau masukan bagi perbaikan, penertiban, dan/ atau peningkatan penyelenggaraan PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor sumber daya air. |
(1) | Pelaksanaan pekerjaan konstruksi, penggalian, pemasangan, pengembalian konstruksi jalan dan pelaksanaan pekerjaan perbaikan alinyemen vertikal dan horizontal, pelebaran jalur lalu lintas, peninggian ruang bebas, peningkatan kemampuan struktur jalan, peningkatan kemampuan struktur jembatan, pengaturan lalu lintas, dan pelaksanaan penggunaan ruang milikjalan wajib diawasi oleh petugas yang ditunjuk oleh penyelenggara jalan. |
(2) | Hasil pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diperiksa oleh tim pemeriksa teknis yang dibentuk oleh penyelenggara jalan. |
(1) | Pengawasan atas pelaksanaan PB untuk pengembangan perumahan bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan peraturan perundang-undangan dalam pelaksanaan pengembangan perumahan setelah diterbitkannya PB. | ||||
(2) | Pelaku Usaha pada subsektor pengembangan perumahan selain menyampaikan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga menyampaikan laporan yang memuat:
|
a. | peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum; dan |
b. | peraturan menteri yang menyelenggarakan pemerintahan di bidang perumahan dan permukiman, |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan rutin terhadap kegiatan usaha di sektor transportasi selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 juga dilakukan dalam bentuk:
|
||||||||||||
(2) | Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan pemeriksaan yang terjadwal, sistematis, dan mendalam terhadap prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||
(3) | Inspeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pemeriksaan sederhana terhadap pemenuhan standar suatu produk akhir objek tertentu oleh penyedia Jasa. | ||||||||||||
(4) | Pengamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan kegiatan penelusuran yang mendalam atas bagian tertentu dari prosedur, fasilitas, personel, dan dokumentasi organisasi penyedia jasa transportasi dan pemangku kepentingan lainnya untuk melihat tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang undangan | ||||||||||||
(5) | Pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d merupakan kegiatan evaluasi terhadap data, laporan, dan informasi untuk mengetahui kecenderungan kinerja operasi/ pelayanan penyedia jasa transportasi. | ||||||||||||
(6) | Uji petik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya kesesuaian dengan simulasi percobaan. | ||||||||||||
(7) | Pengujian (test) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f merupakan uji coba secara tertutup atau terbuka terhadap upaya keamanan transportasi atau tindakan keamanan transportasi dengan simulasi percobaan untuk tindakan melawan hukum. |
a. | pada saat terjadinya kejadian atau kecelakaan; |
b. | adanya laporan petugas; |
c. | pada masa puncak angkutan; dan |
d. | adanya kejadian penting lainnya. |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
a. | untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah rendah dilakukan 2 (dua) tahun sekali; |
b. | untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko menengah tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali; dan |
c. | untuk kegiatan usaha sektor kesehatan dengan tingkat Risiko tinggi dilakukan 1 (satu) tahun sekali. |
a. | kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Sadan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dalam melaksanakan Pengawasan dapat mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan Pengawasan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) | Pengangkatan tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal Pengawasan obat dan makanan pada fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/atau penyerahan memerlukan klarifikasi dan konfirmasi lebih lanjut, tenaga pengawas berwenang melakukan tindakan pengamanan setempat. | ||||||||
(2) | Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||
(3) | Pemilik obat dan makanan bertanggung jawab atas obat dan makanan yang dilakukan tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||
(4) | Tindakan pengamanan setempat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan dalam berita acara pengamanan setempat. | ||||||||
(5) | Dalam hal hasil pemeriksaan fasilitas produksi, distribusi, pengangkutan, pelayanan, dan/ atau penyerahan obat dan makanan menunjukkan adanya dugaan tindak pidana di bidang obat dan makanan, penyidik pegawai negeri sipil melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan rutin pada subsektor pangan segar selain berdasarkan laporan kegiatan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 240 ayat (5) juga berdasarkan laporan Pelaku Usaha terkait pelaksanaan PB UMKU sarana penanganan pangan segar, peredaran pangan segar, dan jaminan keamanan pangan segar produk ekspor. |
(2) | Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Pelaku Usaha kepada kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(1) | Pengawasan rutin melalui inspeksi lapangan rutin selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 243 juga dilakukan melalui pemeriksaan terhadap kegiatan/proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan perdagangan pangan segar. | ||||
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan pemeriksaan administrasi dan pemeriksaan teknis atas pemenuhan standar yang dapat disertai dengan pengambilan contoh dan pengujian. | ||||
(3) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dalam melaksanakan pengawasan dapat mengangkat tenaga pengawas yang bertugas melakukan Pengawasan sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
(2) | Pengangkatan tenaga pengawas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan menengah; |
b. | menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; |
c. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan; |
d. | kepala Administrator KEK; dan/ atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
a. | peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan dasar dan menengah; |
b. | peraturan menteri yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pendidikan tinggi dan urusan pemerintahan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi; dan |
c. | peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kebudayaan, sesuai dengan kewenangan masing-masing. |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; dan/ atau |
e. | kepala Sadan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan terhadap PB pada sektor keagamaan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Kewenangan Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh aparatur sipil negara sesuai tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi selain melakukan Pengawasan rutin dan Pengawasan insidental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238, melakukan monitoring dan evaluasi terhadap kualitas layanan dan/atau produk layanan dari Pelaku Usaha yang mendapatkan PB dan/ atau PB UMKU untuk kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem monitoring pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. |
(3) | Pelaku Usaha yang melakukan kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran wajib membuka akses dan memberikan informasi yang diminta untuk kepentingan monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(4) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dapat mengumumkan hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2). |
(1) | UMK-M dapat memperoleh pendampingan untuk melakukan kegiatan usaha pada sektor pos, telekomunikasi, dan penyiaran dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi | ||||||
(2) | Pendampingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
(1) | Pengawasan terhadap hak labuh satelit dilakukan melalui evaluasi secara berkala daftar satelit asing yang beroperasi di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(1) | Pengawasan terhadap Izin pita frekuensi radio dan Izin stasiun radio dilakukan melalui:
|
||||||||
(2) | Pengawasan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan terhadap pemenuhan PB UMKU Izin pita frekuensi radio dan Izin stasiun radio sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini. | ||||||||
(3) | Pengawasan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan melalui kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio. | ||||||||
(4) | Kegiatan monitoring spektrum frekuensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
|
||||||||
(5) | Kegiatan monitoring spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan untuk memastikan:
|
a. | pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi; dan |
b. | pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi. |
(1) | Pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan /atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 huruf a yang dibuat, dirakit, dan/ atau dimasukkan, untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(2) | Pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi di dalam kawasan pabean, dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara. |
(3) | Dalam hal diperlukan, pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat melibatkan instansi terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Selain pemeriksaan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi, pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dilakukan terhadap pemenuhan kewajiban pemasangan label. |
(5) | Jenis alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilakukan pemeriksaan di dalam kawasan pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(1) | Pemeriksaan kesesuaian standar teknis alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan terhadap sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 320 huruf b dilaksanakan dengan pertimbangan:
|
||||||||
(2) | Pemeriksaan kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi di sisi pengguna menggunakan metode sampling melalui:
|
||||||||
(3) | Pemeriksaan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a berupa pemeriksaan terhadap dokumen spesifikasi teknis, kesesuaian merek dan tipe alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi, dan pemasangan label. | ||||||||
(4) | Pemeriksaan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b berupa pengujian sampel alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dilaksanakan oleh balai pengujian alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi. |
(1) | Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di subsektor industri pertahanan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pertahanan berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan. |
(2) | Kewenangan Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan berkoordinasi dengan menteri/kepala lembaga terkait. |
(3) | Pengawasan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan melalui satuan kerja yang mempunyai tugas dan fungsi terhadap PB dan/atau PB UMKU di subsektor industri pertahanan sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengawasan rutin untuk subsektor industri pertahanan mencakup Pengawasan kepatuhan Pelaku Usaha non perseorangan terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha yang meliputi:
|
||||||||
(2) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk subsektor industri pertahanan dilakukan melalui:
|
||||||||
(3) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setiap 6 (enam) bulan sekali. |
(1) | Pengawasan dilakukan oleh pelaksana Pengawasan yang berasal dari kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dan kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini dan ketentuan peraturan perundang undangan | ||||||||
(2) | Kewenangan pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kewenangan untuk mendapatkan hak akses terhadap:
|
||||||||
(3) | Kewajiban pelaksana Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
a. | Pengawasan tingkat daerah dilaksanakan oleh kepolisian daerah secara rutin di daerahnya; dan |
b. | Pengawasan tingkat pusat dilaksanakan oleh Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia secara insidental. |
(1) | Kepolisian daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 huruf a melaksanakan audit kelengkapan dan kecocokan, audit kesiapan untuk memberikan penilaian terhadap reliabilitas dan integritas operasional, serta kelayakan badan usaha jasa pengamanan dalam beroperasional. |
(2) | Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 329 huruf b melakukan audit Pengawasan kepada badan usaha jasa pengamanan yang sudah mendapatkan PB dan melakukan kegiatan usaha lebih dari 1 (satu) wilayah hukum kepolisian daerah apabila dipandang perlu. |
a. | menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; dan/ atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan terhadap PB dan/atau PB UMKU di sektor ketenagakerjaan dilakukan oleh:
|
||||||||||||
(2) | Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1):
|
||||||||||||
(3) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a untuk sektor ketenagakerjaan dilakukan 1 (satu) kali dalam jangka waktu 1 (satu) tahun. |
a. | peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; dan |
b. | peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia, |
a. | menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; dan/ atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
a. | menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal; |
b. | kepala Administrator KEK; dan/ atau |
c. | kepala Sadan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Pengawasan pada sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik dilakukan terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan penerbit gim. | ||||||
(2) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dilakukan dengan:
|
||||||
(3) | Pengawasan rutin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 238 ayat (3) huruf a terhadap penerbit gim dilakukan apabila telah melakukan klasifikasi secara mandiri dan telah diuji kesesuaian atas klasifikasi mandiri tersebut oleh lembaga klasifikasi. | ||||||
(4) | Pengawasan insidental terhadap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dan penerbit gim selain berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 ayat (2) juga dilaksanakan dalam rangka:
|
a. | menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup; |
b. | gubernur; |
c. | bupati/wali kota; |
d. | kepala Administrator KEK; dan/ atau |
e. | kepala Badan Pengusahaan KPBPB, |
(1) | Kementerian/lembaga melaksanakan evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR secara berkelanjutan, transparan, akuntabel, dan menerapkan prinsip kehati￾hatian. | ||||
(2) | Evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. | ||||
(3) | Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan Badan Pengusahaan KPBPB mendukung pelaksanaan evaluasi dan reformasi kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan:
|
(1) | Kementerian yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian melakukan koordinasi evaluasi dan reformasi kebijakan PBBR dalam rangka meningkatkan iklim berusaha. | ||||||||||||
(2) | Dalam rangka melakukan koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian menetapkan rencana aksi PBBR. | ||||||||||||
(3) | Rencana aksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:
|
(1) | Pendanaan pengembangan Sistem OSS bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara. |
(2) | Pendanaan penyelenggaraan PBBR pada kementerian/lembaga bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pendanaan penyelenggaraan PBBR pada pemerintah provinsi bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Pendanaan penyelenggaraan PBBR pada pemerintah kabupaten/kota bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota dan sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. |
(1) | Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB wajib menyelesaikan hambatan dan permasalahan di bidangnya dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur hal untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan, menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB berwenang untuk menetapkan keputusan dan/atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik. |
(3) | Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak mengatur hal untuk penyelesaian hambatan dan permasalahan, kepala Administrator KEK melaporkan kepada dewan nasional KEK untuk menetapkan keputusan dan/ atau melakukan tindakan yang diperlukan dalam rangka penyelesaian hambatan dan permasalahan dimaksud sepanjang sesuai dengan asas asas umum pemerintahan yang baik |
(1) | Dalam hal terdapat laporan dan/atau pengaduan dari masyarakat kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, Kejaksaan Republik Indonesia, atau Kepolisian Negara Republik Indonesia mengenai penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini, penyelesaian dilakukan dengan mendahulukan proses administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang administrasi pemerintahan. | ||||||
(2) | Dalam hal laporan dan/ atau pengaduan dari masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia meneruskan/ menyampaikan laporan masyarakat tersebut kepada menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota untuk dilakukan pemeriksaan. | ||||||
(3) | Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota memeriksa laporan dan/ atau pengaduan dari masyarakat, baik yang diterima oleh kementerian, lembaga, atau Pemerintah Daerah bersangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maupun yang diteruskan dari Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak laporan masyarakat diterima. | ||||||
(4) | Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditemukan indikasi penyalahgunaan wewenang, Menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota meminta aparat pengawasan intern pemerintah untuk melakukan pemeriksaan/audit lebih lanjut dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari. | ||||||
(5) | Hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat berupa:
|
||||||
(6) | Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang tidak menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan. | ||||||
(7) | Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian negara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, penyelesaian dilakukan melalui penyempurnaan administrasi dan pengembalian kerugian negara paling lambat 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan. | ||||||
(8) | Penyelesaian hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) disampaikan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan. | ||||||
(9) | Dalam hal hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah berupa tindak pidana yang bukan bersifat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf c, menteri/kepala lembaga, gubernur, atau bupati/wali kota dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) Hari terhitung sejak hasil pemeriksaan aparat pengawasan intern pemerintah disampaikan, menyampaikan kepada Kejaksaan Republik Indonesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB yang tidak menyelenggarakan PBBR melalui Sistem OSS dikenai sanksi administratif. | ||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa teguran tertulis yang disampaikan paling banyak 2 (dua) kali. | ||||||
(3) | Dalam hal sanksi administratif berupa teguran tertulis telah disampaikan 2 (dua) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara berturut-turut dan tetap tidak dilaksanakan:
|
(1) | Menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/ atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB mengenakan sanksi kepada pejabat yang tidak memberikan pelayanan dan melakukan Pengawasan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini. |
(2) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan. |
(1) | Pelaku Usaha yang melanggar persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU dikenai sanksi administratif. | ||||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
|
||||||||||||
(3) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan yang ditemukan pada kegiatan Pengawasan. | ||||||||||||
(4) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui Sistem OSS. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap ketentuan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing, KKPRL, PB, dan/ atau PB UMKU pada sektor kelautan dan perikanan, berupa:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara kumulatif atau bertahap, kecuali pelanggaran tertentu yang sanksi administratifnya ditentukan secara limitatif oleh peraturan perundang undangan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengedepankan upaya pembinaan kepatuhan Pelaku Usaha di sektor kelautan dan perikanan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak memiliki rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dengan luas di bawah 100 km2 (seratus kilometer persegi) dan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka Penanaman Modal Asing berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36. |
(1) | Sanksi administratif berupa peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf a dikenakan dengan ketentuan:
|
||||||
(2) | Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perintah untuk segera mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan. | ||||||
(3) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha. | ||||||
(4) | Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan paling banyak 2 (dua) kali. | ||||||
(5) | Peringatan/teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan bersamaan dengan paksaan pemerintah yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran. |
(1) | Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf b dikenakan apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
|
||||||||||||||||
(2) | Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||||||||||||
(3) | Jenis sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipilih berdasarkan pertimbangan tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/atau menghentikan dampak yang ditimbulkan. |
(1) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf c dikenakan terhadap Pelaku Usaha yang tidak melaksanakan teguran/peringatan tertulis kedua kali atau paksaan pemerintah. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tanpa didahului dengan sanksi administratif lainnya apabila:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Besaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
(1) | Sanksi administratif berupa pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf d dikenakan apabila Pelaku Usaha:
|
||||
(2) | Pembekuan KKPRL, PB, dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga dapat dikenai secara langsung apabila Pelaku Usaha tidak melaksanakan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf b. | ||||
(3) | Pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan perintah untuk segera mematuhi kewajiban KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU yang disyaratkan dan/atau melaksanakan perbaikan terhadap kerusakan dan/atau kerugian yang ditimbulkan. | ||||
(4) | Pembekuan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dikenakan dalam jangka waktu tertentu dengan mempertimbangkan kemampuan Pelaku Usaha untuk memenuhi kewajibannya dan untuk memberikan efek jera. |
(1) | Sanksi administratif berupa pencabutan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) huruf e dikenakan apabila:
|
||||||
(2) | Pencabutan KKPRL, PB, dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan tanpa terlebih dahulu dikenai sanksi administratif lain apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan dampak yang besar berupa:
|
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 356 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, dan/atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor pertanian, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||||||
(2) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada sektor pertanian, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||||||
(3) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan:
|
a. | teguran tertulis; |
b. | paksaan pemerintah; |
c. | penghentian layanan pemerintah; |
d. | denda administratif; |
e. | pembekuan PB; dan/atau |
f. | pencabutan PB. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor minyak dan gas bumi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
(2) | Kegiatan usaha minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||||||||
(3) | Penghentian usaha atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dikenakan bersamaan dengan pengenaan daya paksa polisional. | ||||||||||||
(4) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha hilir minyak dan gas bumi tanpa PB dan/atau PB UMKU, dikenai sanksi administratif dengan tahapan sebagai berikut:
|
||||||||
(2) | Penghentian usaha dan/ atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan bersamaan dengan paksaan Pemerintah Pusat. | ||||||||
(3) | Paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
|
||||||||
(4) | Dalam melakukan paksaan Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat melibatkan aparat penegak hukum. | ||||||||
(5) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal ketidaksesuaian atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 mengakibatkan timbulnya korban dan/ atau kerusakan terhadap:
|
||||||||||
(2) | Aspek lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan aspek keselamatan ketenagalistrikan. |
(1) | Denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 huruf c dilakukan melalui mekanisme PNBP atau penerimaan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(2) | Untuk kantor perwakilan asing yang tidak memenuhi kewajiban dan/atau standar, besaran nilai denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebagai berikut:
|
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada subsektor mineral dan batubara, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang PB yang melanggar kewajiban pembayaran pendapatan negara dan/ atau pendapatan daerah dikenai denda administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(1) | Sanksi administratif untuk kegiatan usaha panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 terdiri atas sanksi administratif untuk:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif untuk kegiatan usaha panas bumi untuk pemanfaatan tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang panas bumi. | ||||||
(3) | Sanksi administratif untuk kegiatan usaha panas bumi untuk pemanfaatan langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
|
(1) | Sanksi administratif untuk kegiatan usaha bioenergi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 terdiri atas sanksi administratif untuk:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
a. | peringatan tertulis; |
b. | penghentian sementara seluruh kegiatan pengusahaan air tanah; dan/ atau |
c. | pencabutan PB UMKU. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 369 ayat (1), Pasal 370, Pasal 371, Pasal 374 ayat (1), Pasal 376 ayat (3), Pasal 377 ayat (2), Pasal 378, dan Pasal 380 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral. |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB dan/atau PB UMKU apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/atau PB UMKU pemanfaatan sumber radiasi pengion. | ||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU yang melanggar ketentuan PB dan/atau PB UMKU pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, dikenai peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(7) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan radiasi dan/ atau keamanan zat radioaktif. |
(8) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB dan/atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion. |
(1) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 384 ayat (8). |
(2) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion. |
(3) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB dan/ atau PB UMKU. |
(4) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/atau PB UMKU. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak PB atau PB UMKU dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk fasilitas pemanfaatan sumber radiasi pengion diterbitkan, pemegang PB atau PB UMKU melaksanakan dekomisioning namun tidak sesuai program dekomisioning fasilitas radiasi pengion, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu atau peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan radiasi dan/ atau keamanan zat radioaktif. |
(6) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB atau PB UMKU dekomisioning fasilitas radiasi pengion. |
(1) | Pemegang PB atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB atau PB UMKU dekomisioning fasilitas radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 ayat (6). | ||||||
(2) | Selama penghentian sementara, pemegang PB atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas pengamanan zat radioaktif dan pengelolaan limbah radioaktif. | ||||||
(3) | Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB atau PB UMKU paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB atau PB UMKU dekomisioning fasilitas radiasi pengion. | ||||||
(4) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB atau PB UMKU. | ||||||
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB atau PB UMKU:
|
||||||
(6) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan dekomisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(1) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak PB atau PB UMKU dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk fasilitas pemanfaatan sumber radiasi pengion diterbitkan, pemegang PB atau PB UMKU tidak melaksanakan program dekomisioning fasilitas radiasi pengion, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) atau ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu atau peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pelllenuhan ketentuan keselamatan radiasi dan/ atau keamanan zat radioaktif. |
(6) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengambil alih dana Jamman finansial untuk melaksanakan kegiatan dekomisioning. |
(7) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan dekomisioning sebagaimana dimaksud pada ayat (6). |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB dan/atau PB UMKU apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/ atau PB UMKU instalasi nuklir dan bahan nuklir. | ||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU yang melanggar ketentuan PB dan/ atau PB UMKU instalasi nuklir dan bahan nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, dikenai peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/ atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan telah memenuhi ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir. |
(2) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran melakukan pembekuan PB dan/atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan. |
(3) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/ atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/ atau penelitian dan pengembangan. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB dan/ atau PB UMKU. |
(6) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/atau PB UMKU. |
(1) | Dalam hal pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/atau PB UMKU instalasi nuklir dan bahan nuklir berupa tidak menyampaikan laporan berkala sesuai dengan batas waktu, pemegang PB dan/atau PB UMKU yang tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 391 ayat (6), dikenai denda administratif sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan. |
(2) | Pemegang PB dan/ atau PB UMKU wajib menindaklanjuti pembayaran denda administratif paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pengenaan denda administratif oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran. |
(3) | Pembayaran atas sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menggugurkan kewajiban pemegang PB dan/atau PB UMKU untuk menyampaikan laporan berkala sesuai dengan batas waktu. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 394 ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti denda administratif, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran melakukan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan. |
(2) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PBUMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/ atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti pembekuan izin paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan. |
(4) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB dan/atau PB UMKU telah menindaklanjuti pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB dan/ atau PB UMKU. |
(5) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB dan/ atau PB UMKU tidak menindaklanjuti pembekuan PB dan/ atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/atau PB UMKU. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak PB dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk reaktor daya besar diterbitkan, pemegang PB melaksanakan dekomisioning namun tidak sesuai program dekomisioning, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(7) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerin tahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 396 ayat (6) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menghentikan sementara kegiatan dekomisioning. |
(2) | Selama penghentian sementara, pemegang PB tetap bertanggungjawab atas pengelolaan reaktor nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif. |
(3) | Dalam hal selama penghentian sementara pemegang PB tidak memenuhi tanggung jawab atas pengelolaan reaktor nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, pemegang PB dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan finansial dekomisioning. |
(1) | Apabila dalam waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak PB dekomisioning sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (3) huruf c untuk reaktor daya besar diterbitkan, pemegang PB tidak melaksanakan program dekomisioning, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(7) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir. |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB dan/ atau PB UMKU apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB dan/atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir. | ||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU yang melanggar ketentuan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf c dan ayat (2) huruf c dikenai peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU harus menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU harus menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Pemegang PB dan/ atau PB UMKU harus menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (6) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan denda administratif sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) per bulan. |
(2) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU wajib menindaklanjuti pembayaran denda administratif paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pemberian denda administratif. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga dan membayar denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 402 ayat (2) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti denda administratif, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir. |
(2) | Pemegang PB dan/ atau PB UMKU harus menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Selama penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB dan/ atau PB UMKU tetap bertanggungjawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan/ atau limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan |
(4) | Pemegang PB dan/atau PB UMKU harus menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB dan/ atau PB UMKU. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/ atau PB UMKU telah menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB dan/atau PB UMKU. |
(6) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB dan/atau PB UMKU tidak menindaklanjuti rekomendasi pembekuan PB dan/atau PB UMKU, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB dan/ atau PB UMKU. |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Pembekuan PB operasi reaktor nuklir atau instalasi nuklir nonreaktor dan penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c berlaku hingga kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan PB dekomisioning reaktor nuklir daya besar atau persetujuan dekomisioning. |
(1) | Dalam hal pencabutan PB dan/atau PB UMKU konstruksi fasilitas radiasi pengion, operasi fasilitas radiasi pengion, atau kegiatan pemanfaatan sumber radiasi pengion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 385 ayat (4), Pasal 386, dan Pasal 405 ayat (1) huruf b telah ditetapkan, eks pemegang PB dan/ atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas pengamanan fasilitas radiasi, pengamanan zat radioaktif, dan pengelolaan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran. |
(2) | Dalam hal pencabutan PB dan/ atau PB UMKU konstruksi instalasi nuklir, operasi instalasi nuklir, ekspor, impor, pengalihan, dan/atau penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 392 ayat (6), Pasal 393 dan Pasal 395 ayat (5) telah ditetapkan, eks pemegang PB dan/atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas pengelolaan instalasi nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran. |
(3) | Dalam hal pembekuan PB operasi reaktor nuklir atau instalasi nuklir nonreaktor dan penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf c telah ditetapkan, pemegang PB tetap bertanggung jawab atas pengelolaan instalasi nuklir, bahan nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenaganukliran. |
(4) | Dalam hal pencabutan PB dan/ atau PB UMKU pertambangan bahan galian nuklir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403 ayat (6), Pasal 404 dan Pasal 405 ayat (1) huruf d telah ditetapkan, eks pemegang PB dan/ atau PB UMKU tetap bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan/atau limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 403 ayat (6), Pasal 404 dan Pasal 405 ayat (1) huruf d telah ditetapkan, eks pemegang PB wajib melaksanakan dekomisioning pertambangan setelah memperoleh persetujuan dekomisioning pertambangan. | ||||
(2) | Eks pemegang PB yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai dana jaminan pelaksanaan dekomisioning pertambangan. | ||||
(3) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diambil dari dana jaminan pelaksanaan dekomisioning pertam bangan. | ||||
(4) | Jika eks pemegang PB tidak melaksanakan dekomisioning pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat menunjuk pihak ketiga untuk melaksanakan dekomisioning pertambangan dengan menggunakan dana jaminan dekomisioning pertambangan. | ||||
(5) | Dalam hal dana jaminan dekomisioning pertambangan untuk menyelesaikan dekomisioning pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak mencukupi, kekurangan biaya un tuk penyelesaian dekomisioning pertambangan menjadi tanggungjawab eks pemegang PB. | ||||
(6) | Eks pemegang PB pada kegiatan penambangan mineral radioaktif dapat dikecualikan dari kewajiban pelaksanaan dekomisioning pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal berdasarkan hasil evaluasi terdapat pertimbangan sebagai berikut:
|
||||
(7) | Dalam hal eks pemegang PB pada kegiatan penambangan mineral radioaktif tidak melaksanakan dekomisioning pertambangan karena pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang energi dan sumber daya mineral dapat menyerahkan wilayah penugasan penambangan mineral radioaktif kepada badan usaha berbadan hukum lainnya. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) bulan sejak persetujuan dekomisioning pertambangan diterbitkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1), eks pemegang PB melaksanakan dekomisioning namun tidak sesuai program dekomisioning, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Eks pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) eks pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Eks pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) eks pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Eks pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(7) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) eks pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan keselamatan, keamanan, dan garda-aman nuklir. |
(8) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (6) eks pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menghentikan sementara kegiatan dekomisioning. |
(9) | Selama penghentian sementara, eks pemegang PB tetap bertanggung jawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan limbah radioaktif. |
(10) | Dalam hal selama penghentian sementara eks pemegang PB tidak memenuhi tanggungjawab atas keselamatan dan keamanan pertambangan, bahan galian nuklir, dan limbah radioaktif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, eks pemegang PB dikenai denda administratif paling tinggi 50% (lima puluh persen) dari nilai jaminan finansial dekomisioning pertambangan. |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mengenakan sanksi administratif kepada pemegang PB apabila ditemukan pelanggaran terhadap ketentuan PB pendukung sektor ketenagan ukliran. | ||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
(1) | Pemegang PB yang melanggar ketentuan PB pendukung sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 ayat (1) huruf d, dikenai peringatan tertulis kesatu. |
(2) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kesatu. |
(3) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis kedua. |
(4) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis kedua. |
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran memberikan peringatan tertulis ketiga. |
(6) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 10 (sepuluh) Hari terhitung sejak tanggal dikeluarkannya peringatan tertulis ketiga. |
(7) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (4), atau ayat (6) pemegang PB telah menindaklanjuti peringatan tertulis kesatu, peringatan tertulis kedua, atau peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan pernyataan pemenuhan ketentuan kegiatan usaha pendukung sektor ketenagan ukliran. |
(1) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 410 ayat (6) pemegang PB tidak menindaklanjuti peringatan tertulis ketiga, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran membekukan PB pendukung sektor ketenaganukliran. |
(2) | Pemegang PB wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(3) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti pembekuan PB paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB. |
(4) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB telah menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB. |
(5) | Apabila dalamjangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB tidak menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB. |
(1) | Kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran dapat langsung menjatuhkan sanksi administratif berupa pembekuan PB pendukung sektor ketenaganukliran dalam hal:
|
||||||||
(2) | Pemegang PB wajib menghentikan sementara kegiatannya terhitung sejak ditetapkannya keputusan pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||||
(3) | Pemegang PB wajib menindaklanjuti pembekuan PB paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal ditetapkannya keputusan pembekuan PB. | ||||||||
(4) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB telah menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran menerbitkan keputusan pemberlakuan kembali PB. | ||||||||
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) pemegang PB tidak menindaklanjuti pembekuan PB, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran mencabut PB. | ||||||||
(6) | Dalam hal pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah ditetapkan dan pemegang PB tetap melaksanakan kegiatannya, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran langsung mencabut PB. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sektor ketenaganukliran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 383 sampai dengan Pasal 413 dilakukan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan ketenaganukliran. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang telah memiliki PB namun tidak melakukan kegiatan usaha industri selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
(2) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing-masing 30 (tiga puluh) Hari. | ||||
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha yang telah dikenai peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak melakukan kegiatan usaha industri, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB dan PB UMKU. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak memiliki PB dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Setiap Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(3) | Peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, diberikan paling banyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan jangka waktu masing masing 30 (tiga puluh) Hari | ||||||||||
(4) | Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dapat langsung dikenai sepanjang diatur peraturan perundang undangan |
(1) | Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan tidak melakukan perbaikan berupa memiliki PB atau berlokasi di kawasan industri/kawasan peruntukan industri dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa denda administratif. |
(2) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai paling banyak 1% (satu persen) dari nilai investasi. |
(3) | Nilai investasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk kawasan industri ditetapkan berdasarkan hasil audit lembaga independen. |
(4) | Pembayaran denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak surat pengenaan denda administratif diterima oleh Pelaku Usaha. |
(1) | Pelaku Usaha di sektor perindustrian yang tidak membayar denda administratif dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 ayat (4) dan tidak melakukan perbaikan berupa memiliki PB atau berlokasi di kawasan industri/kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara. | ||||
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha di sektor perindustrian telah membayar denda administratif tetapi dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) Hari sejak tanggal batas waktu pembayaran denda administratif tidak melakukan perbaikan berupa memiliki PB atau berlokasi di kawasan industri/kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa penutupan sementara. | ||||
(3) | Sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) bagi:
|
(1) | Dalam hal sejak tanggal berakhirnya sanksi administratif berupa penutupan sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 ayat (3) huruf b Pelaku Usaha di sektor perindustrian tidak membayar denda administratif dan/ atau tidak berlokasi di kawasan industri atau kawasan peruntukan industri dikenai sanksi administratif berupa pembekuan PB. |
(2) | Pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterbitkan surat penetapan pembekuan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sektor perindustrian dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian, kepala Lembaga OSS, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang tidak memenuhi ketentuan PB UMKU sektor Perindustrian dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. | ||||||||||
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi administratif PB UMKU sektor Perindustrian diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan tidak memiliki PB dan/atau PB UMKU pada sektor perdagangan dan metrologi legal, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai secara:
|
(1) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf a berisi perintah untuk segera memiliki PB dan/atau PB UMKU, dan melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan. |
(2) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha. |
(1) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf b dikenai dalamjangka waktu tertentu yang ditetapkan paling lama 6 (enam) bulan. |
(2) | Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan dengan mempertimbangkan kewajaran dan kemampuan Pelaku Usaha untuk mengajukan permohonan PB dan/ atau PB UMKU, dan menyesuaikan dengan standar pelaksanaan kegiatan usaha pada sektor perdagangan. |
(1) | Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) huruf c berupa:
|
||||||||||||
(2) | Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan pertimbangan bidang usaha serta tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/ atau menghentikan dampak yang ditimbulkan. | ||||||||||||
(3) | Dalam melakukan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melibatkan aparat penegak hukum. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 424 ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada sektor perdagangan dan metrologi legal, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai secara:
|
(1) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf a dikenakan dengan ketentuan:
|
||||||
(2) | Teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi perintah untuk mematuhi kewajiban berusaha atau melaksanakan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan. |
(1) | Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf b, berupa:
|
||||||||||
(2) | Paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan berdasarkan pertimbangan bidang usaha serta tindakan yang paling tepat untuk mencegah dan/ atau menghentikan dampak yang ditimbulkan. | ||||||||||
(3) | Dalam melakukan paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat melibatkan aparat penegak hukum. | ||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf c diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan | ||||||||||
(5) | Sanksi administratif berupa pembekuan PB dan PB UMKU dan/ atau pencabutan PB dan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) huruf d dan huruf e diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 431 ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang perdagangan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha di subsektor jasa konstruksi dikenai sanksi administratif atas pelanggaran:
|
||||||||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||||||||||||
(3) | Jenis sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan secara kumulatif atau bertahap. | ||||||||||||||||
(4) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui mekanisme PNBP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 435 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf e diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum. |
(2) | Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan kepada pejabat yang memangku jabatan struktural di bawah kewenangannya. |
(1) | Pemegang PB sektor pekerjaan umum subsektor sumber daya air dilarang menghalangi dan harus membuka akses bagi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melaksanakan tugas pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan pada sumber air. | ||||||||||
(2) | Pemegang PB sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air yang melanggar ketentuan PB dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa:
|
(1) | Pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air dilarang:
|
||||||||||
(2) | Selain larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air dilarang menghalangi dan harus membuka akses bagi kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya dalam melakukan tugas pengelolaan sumber daya air, termasuk pemantauan, evaluasi, pengawasan, dan pemeriksaan pada sumber air. | ||||||||||
(3) | Pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor sumber daya air yang melanggar ketentuan PB dan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa:
|
(1) | Pemegang PB dan PB UMKU sektor pekerjaan umurn dan perumahan rakyat subsektor bina marga jalan tol yang melanggar ketentuan PB dan PB UMKU dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB dan PB UMKU sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemegang PB UMKU sektor pekerjaan umurn dan perumahan rakyat subsektor bina marga jalan non-tol yang melanggar ketentuan PB UMKU dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB UMKU sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemegang PB untuk penyelenggaraan sistem penyediaan air minum yang melanggar ketentuan PB dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pemegang PB sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat subsektor pengembangan perumahan yang melanggar ketentuan PB dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh pemberi PB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum; dan |
b. | peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman, |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap persetujuan teknis analisis mengenai dampak lalu lintas, PB, dan/atau PB UMKU pada sektor transportasi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada kegiatan Pengawasan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 dapat dilakukan secara tidak bertahap atau secara bertahap. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila pelanggaran tersebut dapat secara langsung membahayakan keselamatan dan keamanan transportasi. |
(3) | Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupa pembekuan sertifikat, PB, dan/atau PB UMKU dan/atau pencabutan PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf b dan huruf f. |
(1) | Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf a terdiri dari peringatan pertama sampai dengan peringatan ketiga dengan jangka waktu peringatan masing-masing paling lama 30 (tiga puluh) Hari. |
(2) | Dalam hal Pelaku Usaha belum menindaklanjuti peringatan sampai berakhir jangka waktu peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pembekuan sertifikat, PB, dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf b dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari. |
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha belum menindaklanjuti pembekuan sertifikat, PB, dan/atau PB UMKU sampai berakhirnya jangka waktu pembekuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, atau bupati/wali kota memberikan sanksi administratif berupa pencabutan PB dan/ atau PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf f. |
(1) | Sanksi denda administratif dapat dikenakan berdiri sendiri atau bersamaan dengan sanksi peringatan pertama, peringatan kedua, peringatan ketiga, pembekuan sertifikat, PB, dan/atau PB UMKU, danpencabutan PB dan/atau PB UMKU. |
(2) | Denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan jumlah poin pelanggaran dikalikan dengan besaran tarif denda administratif. |
(3) | Besaran tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Sanksi administratif berupa pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) huruf d dikenakan apabila pelanggaran yang dilakukan berpotensi atau menimbulkan:
|
||||||||||||||
(2) | Jenis sanksi administratif berupa pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
|
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446 ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/ atau PB UMKU pada subsektor kesehatan, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terhadap kegiatan usaha subsektor kesehatan untuk kefarmasian, alat kesehatan, dan perbekalan kesehatan rumah tangga dikenai sanksi administratif berupa daya paksa polisional meliputi:
|
||||||||||
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenakan tidak secara berjenjang. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif harus berdasarkan laporan hasil Pengawasan yang menunjukkan adanya pelanggaran terhadap standar pelaksanaan kegiatan usaha. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang kesehatan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus disampaikan kepada pihak yang dikenai sanksi administratif paling lambat 5 (lima) Hari sejak ditetapkan. |
(4) | Dalam pemberian sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB dapat membentuk tim ad hoc untuk membantu dalam melakukan verifikasi, klarifikasi, dan kajian terhadap pelanggaran standar pelaksanaan kegiatan usaha berdasarkan laporan hasil Pengawasan. |
(1) | Pelaku Usaha yang mendapat sanksi administratif berhak mengajukan keberatan kepada pejabat yang bersangku tan. |
(2) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan atas alasan yang jelas dan disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. |
(3) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama 20 (dua puluh) Hari sejak diterimanya penetapan sanksi administratif oleh yang bersangku tan. |
(4) | Terhadap keberatan yang diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pejabat yang mengenakan sanksi administratif harus melakukan pemeriksaan ulang. |
(5) | Dalam hal berdasarkan pemeriksaan ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terbukti pemohon tidak bersalah, maka terhadap dirinya dilakukan pemulihan nama baik. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada subsektor obat dan makanan, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
(2) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dapat memberikan rekomendasi kepada kementerian/lembaga penerbit PB untuk melakukan:
|
||||||||||||
(3) | Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d terdiri atas:
|
||||||||||||
(4) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif atau bertahap berdasarkan tingkat Risiko pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||
(5) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pelaku Usaha dapat mengajukan aktivasi kembali PB UMKU atas tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Atas pengajuan yang dilakukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan memberikan persetujuan atau penolakan yang disampaikan melalui Sistem OSS. |
(3) | Dalam hal Pelaku Usaha mengabaikan tindakan pembekuan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (1) huruf b, kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan melakukan pencabutan PB UMKU melalui Sistem OSS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 458 ayat (1) dilaksanakan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha, yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB UMKU pada subsektor pangan segar, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 dikenai secara kumulatif atau bertahap berdasarkan tingkat Risiko pelanggaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. |
(1) | Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha paling banyak 2 (dua) kali. | ||||||||||
(2) | Jangka waktu antara peringatan kesatu dan peringatan kedua dilakukan dalam jangka waktu maksimal 30 (tiga puluh) hari kalender. | ||||||||||
(3) | Pengenaan sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kalender, Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2). | ||||||||||
(4) | Penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa penghentian sementara kegiatan produksi, peredaran, dan/ atau PB UMKU lainnya. | ||||||||||
(5) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf c dikenakan kepada Pelaku Usaha apabila:
|
||||||||||
(6) | Sanksi administratif berupa pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf d terdiri atas:
|
||||||||||
(7) | Penarikan produk dari peredaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) huruf a dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
|
||||||||||
(8) | Sanksi administratif berupa pencabutan PB UMKU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 ayat (1) huruf e dilakukan apabila setelah 30 (tiga puluh) hari kalender Pelaku Usaha tidak menindaklanjuti penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||||||||
(9) | Sanksi administratif pencabutan PB UMKU sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dapat dikenakan sendiri atau bersama-sama dengan sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5). |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 461 dilakukan oleh:
|
||||||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria, tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pangan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada subsektor pendidikan untuk kegiatan usaha penerbitan buku, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB dan/atau PB UMKU pada subsektor kebudayaan, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(3) | Pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diberikan dalam bentuk:
|
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 464 diberikan oleh:
|
||||||
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam:
|
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor pariwisata, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha berupa teguran tertulis paling banyak 3 (tiga) kali. | ||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||
(5) | Sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||||||
(6) | Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||||||
(7) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan atas hasil Pengawasan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 466 dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pariwisata, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pariwisata. |
(1) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf a, dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf b, dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf c dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf d dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(5) | Sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf e dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||
(6) | Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf f dikenakan kepada penyelenggara ibadah haji khusus yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
(1) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf a dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf b dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf c dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa paksaan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf d dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(5) | Sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf e dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
||||||||||||||||||||||||
(6) | Sanksi administratif pencabutan PB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 468 huruf f dikenakan kepada penyelenggara perjalanan ibadah umrah yang melakukan tindakan sebagai berikut:
|
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, besaran denda, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama. |
(1) | Setiap lembaga peny1aran atau penyelenggara multipleksing penyiaran yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada subsektor penyelenggaraan penyiaran, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
(2) | Setiap lembaga penyiaran yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB yang terkait dengan isi siaran, dikenai sanksi administratif oleh Komisi Penyiaran Indonesia berupa:
|
||||||||||||
(3) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2), lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran atas PB yang terkait dengan pelanggaran isi siaran dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan rekomendasi Komisi Penyiaran Indonesia setelah adanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap. | ||||||||||||
(4) | Pengenaan sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dipatuhi oleh lembaga penyiaran. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 475 dilakukan apabila pelanggaran tersebut membahayakan keamanan negara dan/atau berpotensi merugikan negara. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif secara tidak bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pencabutan PB dan/atau PB UMKU. |
(1) | Sanksi teguran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf a, Pasal 473 huruf a, dan Pasal 474 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a terdiri dari teguran tertulis pertama sampai dengan teguran tertulis ketiga. |
(2) | Jangka waktu antar teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling singkat 7 (tujuh) Hari dan paling lama 30 (tiga puluh) Hari dengan mempertimbangkan upaya Pelaku Usaha untuk memenuhi PB dan/ atau PB UMKU. |
(1) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf b, Pasal 473 huruf b, dan Pasal 474 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b dilakukan berdasarkan tingkat kesalahan yang ditemukan pada Pengawasan. |
(2) | Besaran denda administratif dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
(1) | Direksi, pengurus, perorangan, dan/atau badan hukum Pelaku Usaha dapat ditetapkan dalam daftar hitam dalam hal Pelaku Usaha dikenai sanksi administratif berupa pencabutan layanan dan/ atau pencabutan PB. | ||||
(2) | Pihak yang ditetapkan dalam daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilarang terlibat dalam kegiatan usaha yang bersangkutan. | ||||
(3) | Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dikeluarkan dari daftar hitam setelah:
|
(1) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 sampai dengan Pasal 481 dan ketentuan lebih lanjut mengenai daftar hitam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 482 diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 474 ayat (2) ditetapkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia. |
(1) | Pemegang hak labuh satelit yang menyampaikan data yang tidak benar dan/ atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan PB UMKU persyaratan hak labuh satelit dikenai sanksi administratif berupa pencabutan hak labuh satelit yang diikuti dengan pencabutan izin stasiun radio. |
(2) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang hak labuh satelit yang menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menggunakan spektrum frekuensi radio tanpa Izin pita frekuensi radio, Izin stasiun radio, dan/ atau persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif pengenaan daya paksa polisional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan dalam bentuk:
|
||||||
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai secara kumulatif. | ||||||
(4) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pelanggaran penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa Izin pita frekuensi radio, Izin stasiun radio, dan/ atau persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang komunikasi dan informasi dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan |
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan untuk pelanggaran atas kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, kecuali untuk kewajiban yang telah diatur jenis sanksi administratif berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari. | ||||||
(4) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang Izin pita frekuensi radio belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi, dikenai sanksi denda administratif. | ||||||
(5) | Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender, pemegang Izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan dalam dokumen seleksi dan/ atau belum memenuhi kewajiban pembayaran denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa diumumkan melalui:
|
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio, yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan tidak menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio secara berkala, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari. | ||||||
(3) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang Izin pita frekuensi radio belum menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(4) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dicabut dalam hal pemegang Izin pita frekuensi radio telah menyampaikan laporan penggunaan pita frekuensi radio. |
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin pita frekuensi radio sampai dengan tanggal jatuh tempo, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari. | ||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan | ||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa penghentian layanan penzman penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenakan bersamaan dengan teguran tertulis pertama. | ||||||||||
(5) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua, pemegang Izin pita frekuensi radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin pita frekuensi radio dan/ atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang pengenaannya bersamaan dengan teguran tertulis ketiga. | ||||||||||
(6) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga, pemegang Izin pita frekuensi radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin pita frekuensi radio dan/ atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. |
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menggunakan pita frekuensi radio yang tidak sesuai dengan peruntukannya, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif. | ||||||
(3) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dicabut jika pemegang Izin pita frekuensi radio telah menyesuaikan penggunaan pita frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya. |
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menimbulkan gangguan yang merugikan (hannful interference) dalam penggunaan pita frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif. | ||||
(3) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dicabut jika pemegang Izin pita frekuensi radio dalam penggunaan pita frekuensi radionya tidak lagi menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference). | ||||
(4) | Dalam hal penggunaan pita frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference) berpotensi menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan/atau keselamatan jiwa manusia, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan melakukan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenakan secara kumulatif. | ||||||||
(3) | Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender pemegang Izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c belum mengajukan permohonan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, melunasi denda administratif, dan/ atau menghentikan kerja sama penggunaan spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. |
(1) | Setiap pemegang Izin pita frekuensi radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan melakukan pengalihan hak penggunaan spektrum frekuensi radio tanpa persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d dikenakan secara kumulatif. | ||||||||||
(3) | Dalam hal setelah 30 (tiga puluh) hari kalender pemegang Izin pita frekuensi radio yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d belum mengajukan permohonan persetujuan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi, melunasi denda administratif, dan/ atau menghentikan sementara operasional penggunaan pita frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin pita frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. |
(1) | Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menyampaikan data yang tidak benar dan / atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan Izin stasiun radio, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dikenakan secara kumulatif. | ||||||||
(3) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, pemegang Izin stasiun radio tidak memberikan bukti mengenai kebenaran data dan/ atau validitas dokumen, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional pemancaran spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c selama 1 (satu) bulan. | ||||||||
(4) | Dalam hal sampai dengan batas waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemegang Izin stasiun radio tidak memberikan bukti mengenai kebenaran data dan/ atau validitas dokumen, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. | ||||||||
(5) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemegang Izin stasiun radio yang menyampaikan data yang tidak benar dan/ atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk izin stasiun radio sampai dengan tanggal jatuh tempo, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) Hari. | ||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan | ||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa penghentian layanan penzman penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dikenakan bersamaan dengan teguran tertulis kesatu. | ||||||||||
(5) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis kedua pemegang Izin stasiun radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin stasiun radio dan/ atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d yang pengenaannya bersamaan dengan teguran tertulis ketiga. | ||||||||||
(6) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran tertulis ketiga pemegang Izin stasiun radio belum melunasi biaya hak penggunaan spektrum frekuensi radio untuk Izin stasiun radio dan/atau denda administratif, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e. |
(1) | Setiap pemegang lzin stasiun radio untuk dinas radio komunikasi tertentu yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender. | ||||||
(3) | Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelah teguran tertulis diberikan, pemegang izin stasiun radio tetap tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b selama 30 (tiga puluh) hari kalender. | ||||||
(4) | Jika dalam waktu setelah penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berakhir, pemegang Izin stasiun radio tetap tidak menggunakan sinyal identifikasi atau identitas stasiun radio pada setiap pemancaran spektrum frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio. |
(1) | Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menggunakan frekuensi radio yang tidak sesuai dengan peruntukannya dan/ atau mengoperasikan stasiun radio tidak sesuai dengan parameter teknis yang ditetapkan dalam Izin stasiun radio, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif. | ||||||
(3) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dicabut jika pemegang Izin stasiun radio telah menyesuaikan penggunaan frekuensi radio sesuai dengan peruntukannya dan/ atau sesuai parameter teknisnya. |
(1) | Setiap pemegang Izin stasiun radio yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference) dalam penggunaan frekuensi radio, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif. | ||||
(3) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara operasional stasiun radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat dicabut jika pemegang Izin stasiun radio dalam penggunaan frekuensi radionya tidak lagi menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference). | ||||
(4) | Dalam hal penggunaan frekuensi radio yang menimbulkan gangguan yang merugikan (harmful interference), berpotensi menimbulkan bahaya bagi keamanan negara dan/atau keselamatan jiwa manusia, selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap pemegang Izin stasiun radio angkasa yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak mendaftarkan stasiun bumi secara berkala setiap tahun, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender. | ||||||||
(3) | Dalam hal sampai dengan batas waktu teguran kesatu, pemegang Izin stasiun radio angkasa belum mendaftarkan stasiun bumi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(4) | Dalam hal sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, pemegang Izin stasiun radio angkasa belum mendaftarkan stasiun bumi, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Izin stasiun radio angkasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan membuat, merakit, dan/ atau memasukkan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan sebanyak 1 (satu) kali. | ||||||||
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c dikenakan secara kumulatif atau alternatif. | ||||||||
(4) | Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak melakukan penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang ditentukan, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d. | ||||||||
(5) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dimiliki, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 1 (satu) kali. | ||||||||||
(3) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diberikan secara kumulatif. | ||||||||||
(4) | Dalam hal Pelaku Usaha yang dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak melakukan penarikan kembali seluruh alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang telah diperdagangkan dan/atau digunakan oleh masyarakat dalam jangka waktu yang ditentukan, dikenai sanksi administratif berupa denda administratif dan penghentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 1 (satu) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan huruf e. | ||||||||||
(5) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang membuat, merakit, dan/atau memasukkan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi untuk diperdagangkan dan/atau digunakan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang dimiliki dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan memperdagangkan dan/atau menggunakan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan sebanyak 1 (satu) kali. | ||||||||
(3) | Dalam hal setiap Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih memperdagangkan dan/atau menggunakan alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis setelah 7 (tujuh) hari kalender sejak teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d secara kumulatif. | ||||||||
(4) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Pelaku Usaha yang memperdagangkan dan/atau menggunakan alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang tidak memiliki sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi dan/atau tidak memenuhi standar teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan |
(1) | Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan menyampaikan data yang tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dalam pemenuhan persyaratan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan secara kumulatif. | ||||||
(3) | Selain sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pelaku Usaha yang menyampaikan data tidak benar dan/atau dokumen yang tidak valid dapat dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan tidak melaporkan bukti pemasangan label alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif berupa peringatan tertulis. | ||||
(2) | Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan basil Pengawasan ditemukan tidak memasang label pada alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/ atau dipergunakan, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) buruf a dikenakan sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender. | ||||
(4) | Jika dalam waktu 14 (empat belas) hari kalender setelab teguran tertulis ketiga dikenakan, pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi tetap tidak memasang label pada alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan dan/atau dipergunakan, dikenai sanksi administratif berupa pengbentian layanan sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi selama 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) buruf b. |
(1) | Setiap pemegang sertifikat alat telekomunikasi dan/atau perangkat telekomunikasi yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan tidak mengajukan perubahan data administrasi sertifikat alat telekomunikasi dan/ atau perangkat telekomunikasi sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||
(2) | Sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu 14 (empat belas) hari kalender. |
(1) | Dalam kondisi tertentu, alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, dan/atau perangkat pendukung lainnya yang merupakan hasil pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 500, Pasal 501, dan/atau Pasal 502 dapat dilakukan pemusnahan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang komunikasi dan informasi. | ||||||
(2) | Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu alat telekomunikasi, perangkat telekomunikasi, dan/ atau perangkat pendukung lainnya:
|
||||||
(3) | Ketentuan mengenai tata cara pemusnahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(1) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472 huruf b, Pasal 473 huruf b, Pasal 474 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 486 ayat (1) huruf b, Pasal 487 ayat (1) huruf b, Pasal 490 ayat (1) huruf b, Pasal 492 ayat (1) huruf b, Pasal 493 ayat (1) huruf b, Pasal 497 ayat (1) huruf b, Pasal 499 ayat (1) huruf b, Pasal 500 ayat (1) huruf d, Pasal 501 ayat (1) huruf d, dan Pasal 502 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
(2) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan satuan poin pelanggaran dikalikan dengan tarif denda administratif. |
(3) | Tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp l00.000,00 (seratus ribu rupiah) per pom. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 472, Pasal 473, Pasal 474 ayat (1) huruf b dan ayat (2) huruf b, Pasal 482 ayat (1), Pasal 484 ayat (1), Pasal 486 ayat (1), Pasal 487 ayat (1), Pasal 488 ayat (1), Pasal 489 ayat (1), Pasal 490 ayat (1), Pasal 491 ayat (1), Pasal 492 ayat (1), Pasal 493 ayat (1), Pasal 494 ayat (1), Pasal 495 ayat (1), Pasal 496 ayat (1), Pasal 497 ayat (1), Pasal 498 ayat (1), Pasal 499 ayat (1), Pasal 500 ayat (1), Pasal 501 ayat (1), Pasal 502 ayat (1), Pasal 503 ayat (1), Pasal 504, Pasal 505 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 506 ayat (1) diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dengan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(1) | Pelaku Usaha pada subsektor industri pertahanan yang memperoleh:
|
||||||||||||
(2) | Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
|
||||||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa peringatan tertulis pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha sejak diketahuinya pelanggaran. | ||||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa peringatan tertulis kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis pertama tidak diindahkan. | ||||||||||||
(5) | Sanksi administratif pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan kepada Pelaku Usaha setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis kedua tidak diindahkan. | ||||||||||||
(6) | Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat ditindaklanjuti dengan proses hukum perdata dan/ atau hukum pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan dapat memberikan sanksi selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 511 ayat (2) dengan memasukkan Pelaku Usaha ke dalam daftar hitam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan kepada Pelaku Usaha setelah tenggang waktu 3 (tiga) bulan sejak peringatan tertulis kedua tidak diindahkan. |
(3) | Pelaku Usaha yang dikenai daftar hitam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diperbolehkan berusaha di bidang industri pertahanan dan badan usaha di bidang industri bahan peledak selama 2 (dua) tahun sejak daftar hitam dikeluarkan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 511 ayat (2) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertahanan. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi melalui laman Sistem OSS. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang pertahanan. |
(1) | Bad an usaha jasa pengamanan yang tidak melaksanakan ketentuan PB subsektor keamanan dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||
(2) | Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan apabila badan usaha jasa pengamanan tidak membuat laporan setiap semester selama 2 (dua) kali berturut-turut. | ||||||
(3) | Sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan apabila badan usaha jasa pengamanan tidak memperpanjang PB dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya masa berlaku PB. | ||||||
(4) | Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah penetapan sanksi administratif berupa pembekuan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (3) badan usaha jasa pengamanan tidak mengajukan perpanjangan PB. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 514 ayat (1) diberikan oleh kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinotifikasi melalui laman Sistem OSS. |
(3) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB di sektor ekonomi kreatif, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:
|
||||||||
(3) | Sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikenakan kepada Pelaku Usaha berupa teguran tertulis paling banyak 3 (tiga) kali. | ||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||||
(5) | Sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak mematuhi penghentian sementara kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4). | ||||||||
(6) | Sanksi administratif berupa pencabutan PB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dikenakan kepada Pelaku Usaha yang tidak membayar denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (5). | ||||||||
(7) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan tingkat kepatuhan atas hasil Pengawasan. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 516 ayat (1) diberikan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Badan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan ekonomi kreatif dan tugas pemerintahan di bidang ekonomi kreatif. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 518 diberikan oleh kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan kepala badan yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang informasi geospasial. |
a. | peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan; dan |
b. | peraturan menteri/kepala badan yang menyelenggarakan suburusan pemerintahan pelindungan pekerja migran Indonesia dan tugas pemerintahan di bidang pelindungan pekerja migran Indonesia, |
(1) | Setiap Pelaku Usaha yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap PB pada sektor perkoperasian, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Penghentian sementara kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat disertai dengan usulan pemberhentian sementara terhadap pengurus dan/ atau pengawas. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 524 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi, gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif PB, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koperasi. |
(1) | Setiap Pelaku Usaha sektor penanaman modal yang melanggar ketentuan PB, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
(2) | Pengenaan sanksi administratif berupa pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diberikan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerin tahan di bidang investasi dan tugas pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal. | ||||||||||||
(3) | Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan:
|
(1) | Pelaku Usaha aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things yang tidak melakukan kegiatan konsultasi, perancangan, dan pembuatan solusi sistem terintegrasi internet of things sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu. |
(2) | Pelaku Usaha aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. |
(3) | Pelaku Usaha aktivitas konsultasi dan perancangan internet of things yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selamajangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB. |
(1) | Setiap penyelenggara berdasarkan hasil ketidaksesuaian atau sertifikasi elektronik yang Pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap penyelenggaraan sertifikasi elektronik, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a melalui surat peringatan pertama apabila penyelenggara sertifikasi elektronik Indonesia tidak memenuhi kewajiban:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis melalui surat peringatan kedua dalam hal surat peringatan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi oleh penyelenggara sertifikasi elektronik dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan pertama diterima oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(5) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis melalui surat peringatan ketiga dalam hal surat peringatan kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi oleh penyelenggara sertifikasi elektronik dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan kedua diterima oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(6) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai evaluasi menyeluruh, baik dari sisi kelembagaan, manajemen, maupun operasional dalam hal surat peringatan ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi oleh penyelenggara sertifikasi elektronik dalam jangka waktu 10 (sepuluh) Hari sejak tanggal surat peringatan ketiga diterima oleh penyelenggara sertifikasi elektronik tersebut. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(7) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara penyelenggaraan pendaftaran pemilik sertifikat elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a apabila penyelenggara sertifikasi elektronik tidak melakukan kewajiban:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(8) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan penyelenggara sertifikasi elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b apabila tidak melakukan kewajiban:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(9) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa pemutusan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila tidak melakukan kewajiban memperoleh pengakuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dengan berinduk kepada penyelenggara sertifikasi elektronik induk yang diselenggarakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
(10) | Penyelenggara sertifikasi elektronik dikenai sanksi administratif berupa dikeluarkan dari daftar penyelenggara sertifikasi elektronik yang diakui sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila:
|
(1) | Setiap penyelenggara sistem elektronik lingkup privat yang berdasarkan hasil Pengawasan ditemukan ketidaksesuaian atau pelanggaran terhadap penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat, dikenai sanksi administratif berupa:
|
||||||||||
(2) | Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a apabila:
|
||||||||||
(3) | Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
|
||||||||||
(4) | Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikenai sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d apabila:
|
||||||||||
(5) | Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat user generated content dikenai sanksi administratif berupa denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila tidak melakukan pemutusan akses (take down) berupa penutupan akun dan/ atau penghapusan konten terhadap informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang dilarang. | ||||||||||
(6) | Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi dapat mengenakan sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan/atau memerintahkan internet service provider untuk melakukan pemutusan akses terhadap sistem elektronik kepada:
|
||||||||||
(7) | Sanksi administratif berupa pemutusan akses melalui pemblokiran akses (access blocking) terhadap sistem elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dikenakan setelah mempertimbangkan alasan yang diajukan oleh penyelenggara sistem elektronik lingkup privat atau penyelenggara sistem elektronik lingkup privat user generated content. | ||||||||||
(8) | Penyelenggara sistem elektronik lingkup privat dikeluarkan dari daftar penyelenggara sitem elektroniknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e apabila:
|
(1) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 532 ayat (1) huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penerimaan negara bukan pajak. |
(2) | Pengenaan denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan satuan poin pelanggaran dikalikan dengan tarif denda administratif. |
(3) | Tarif denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp l00.000,00 (seratus ribu rupiah) per pom. |
(1) | Pelaku Usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial yang tidak melakukan kegiatan konsultasi yang dilanjutkan analisis dan pemrograman berbasis kecerdasan artifisial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu. |
(2) | Pelaku Usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. |
(3) | Pelaku Usaha aktivitas pemrograman berbasis kecerdasan artifisial yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB. |
(1) | Pelaku Usaha aktivitas pengembangan teknologi blockchain yang tidak melakukan kegiatan pengembangan teknologi blockchain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu. |
(2) | Pelaku Usaha aktivitas pengembangan teknologi blockchain yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. |
(3) | Pelaku Usaha aktivitas pengembangan teknologi blockchain yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenakannya teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB. |
(1) | Pelaku Usahayang melakukan aktivitas penerbitan piranti lunak (software) dengan kriteria UMK-M yang tidak melakukan kegiatan penerbitan piranti lunak (software) terkait dengan sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik khusus gim selama jangka waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kesatu. |
(2) | Pelaku Usaha yang melakukan aktivitas penerbitan piranti lunak (software) dengan kriteria UMK-M yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenai teguran tertulis kesatu, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis kedua. |
(3) | Pelaku Usaha yang melakukan aktivitas penerbitan piranti lunak (software) dengan kriteria UMK-M yang tidak melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selama jangka waktu 1 (satu) tahun berturut-turut sejak tanggal dikenai teguran tertulis kedua, dikenai sanksi administratif berupa pencabutan PB. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 529, 531 ayat (1), Pasal 532 ayat (1), Pasal 534, Pasal 536, dan Pasal 538 diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi berdasarkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif, mekanisme, jangka waktu, upaya administratif, dan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi. |
(1) | Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 541 oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan tugas pemerintahan di bidang pengendalian lingkungan hidup, gubernur, bupati/wali kota, kepala Administrator KEK, atau kepala Sadan Pengusahaan KPBPB sesuai dengan kewenangan masing-masing berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendelegasikan kewenangannya kepada pejabat yang membidangi penegakan hukum atau organisasi perangkat daerah yang membidangi lingkungan hidup. |
(1) | Pemerintah Pusat melakukan evaluasi atas pelaksanaan Peraturan Pemerintah ini dengan memperhatikan perkembangan dan peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan usaha dalam rangka percepatan cipta kerja. |
(2) | Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan sinkronisasi dan koordinasi serta pengendalian pelaksanaan urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang perekonomian. |
a. | persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU yang dalam proses permohonan sampai dengan Sistem OSS yang telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah ini beroperasi, tetap diproses berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko; | ||||
b. | kegiatan usaha dengan Risiko menengah tinggi yang telah memperoleh:
|
||||
c. | kegiatan usaha dengan Risiko tinggi yang telah memperoleh:
|
||||
d. | lembaga pemerintah yang bertanggung jawab melakukan pembinaan, pengaturan pengembangan, dan pengawasan perdagangan berjangka tetap melaksanakan tugas terkait PB terhadap kegiatan aset keuangan digital termasuk aset kripto serta derivatif keuangan sampai dengan waktu beralihnya tugas pengaturan dan pengawasan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan mengena1 peralihan tugas pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital termasuk aset kripto dan derivatif keuangan. |
a. | Pelaku Usaha yang telah memperoleh hak akses sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah ini melakukan pembaruan data hak akses pada Sistem OSS; dan |
b. | atas pembaruan data hak akses sebagaimana dimaksud dalam huruf a, Sistem OSS memberikan notifikasi kepada Pelaku Usaha melalui surat elektronik yang didaftarkan. |
a. | ketentuan pelaksanaan PBBR yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini dikecualikan bagi Pelaku Usaha yang persyaratan dasar, PB, dan PB UMKU nya telah terbit, telah terverifikasi, atau telah disetujui dan masih berlaku sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku, kecuali ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini lebih menguntungkan bagi Pelaku Usaha; | ||||
b. | persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU yang memiliki nomenklatur berbeda sebelum Peraturan Pemerintah ini berlaku harus dibaca dan dimaknai sesuai dengan nomenklatur yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini; | ||||
c. | usaha pariwisata dengan kategori menengah tinggi dan tinggi yang telah memiliki Sertifikat Standar usaha pariwisata, sertifikatnya tetap berlaku selama menjalankan kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan ketentuan harus:
|
a. | semua ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai persyaratan dasar, PB, dan/atau PB UMKU dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini; dan |
b. | Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6617), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. |
a. | peraturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah ini wajib ditetapkan paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; |
b. | Sistem OSS dan Sistem Indonesia National Single Window wajib disesuaikan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah ini paling lama 4 (empat) bulan sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan; dan |
c. | terhadap pemberian penzman dalam rangka penyelenggaraan kegiatan ekspor, impor, dan pemenuhan ketentuan larangan atau pembatasan barang ekspor dan impor serta neraca komoditas yang belum dapat dilakukan melalui Sistem Indonesia National Single Window maka proses pemberian perizinan dilakukan melalui sistem elektronik pada kementerian/lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juni 2025 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd. PRABOWO SUBIANTO |
I. | UMUM Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang yang selanjutnya disebut Undang-Undang Cipta Kerja merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pengaturan dalam undang-undang dimaksud melingkupi juga mengenai penyederhanaan Perizinan Berusaha melalui penerapan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang merupakan metode standar berdasarkan tingkat Risiko suatu kegiatan usaha dalam menentukan jenis Perizinan Berusaha dan kualitas atau frekuensi Pengawasan. Sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah ini berusaha mengakomodir beberapa sektor perizinan berusaha berbasis risiko lainnya, yaitu sektor ekonomi kreatif, sektor informasi geospasial, sektor ketenagakerjaan, sektor perkoperasian, sektor penanaman modal, sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik, dan sektor lingkungan hidup. Peraturan Pemerintah ini sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko berupaya memberikan kepastian hukum kepada Pelaku Usaha terutama mengenai proses bisnis dan jaminan kualitas layanan (service level agreement) dalam pengurusan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko. Oleh karena itu, dalam proses penyusunan Peraturan Pemerintah ini melibatkan banyak pemangku kepentingan seperti kementerian/lembaga terkait, Pelaku Usaha, dan masyarakat. Hal ini juga sebagai upaya menghasilkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk berdasarkan partisipasi yang bermakna (meaningful participation). Bentuk perubahan besar yang dilakukan dalam proses bisnis adalah integrasi sistem yang semuanya menjadi terpusat di Sistem OSS sebagai antarmuka pengguna (front-end system), sehingga Pelaku Usaha tidak akan kebingungan lagi untuk mengurus ke sistem yang mana, karena semua proses yang melibatkan Pelaku Usaha dilakukan melalui Sistem OSS. Dalam hal ini Sistem OSS akan meneruskan data kepada sistem yang ada di kementerian/lembaga, namun hasil akhirnya tetap dikeluarkan di Sistem OSS. Sementara itu perubahan besar yang dilakukan menyangkutjaminan kualitas layanan (service level agreement) adalah kepastian hukum terkait jangka waktu dalam setiap proses Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, terutama pada Bab Persyaratan Dasar, baik pada KKPR, PL, PBG, dan SLF. Peraturan Pemerintah ini memberikan jangka waktu yang tepat dan jelas agar tidak membingungkan dan merugikan Pelaku Usaha. Bahkan di beberapa ketentuan jaminan kualitas layanan (service level agreement) diberlakukan pengaturan fiktif positif, seperti dalam ketentuan penerbitan pertimbangan teknis pertanahan. Perizinan Berusaha dan Pengawasan merupakan instrumen Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam mengendalikan suatu kegiatan usaha. Penerapan pendekatan berbasis Risiko memerlukan perubahan pola pikir (change management) dan penyesuaian tata kerja penyelenggaraan layanan Perizinan Berusaha (business process re engineering) serta memerlukan pengaturan (re-design) proses bisnis Perizinan Berusaha di dalam Perizinan Berusaha secara elektronik. Melalui penerapan konsep ini, pelaksanan penerbitan Perizinan Berusaha dapat lebih efektif dan sederhana karena tidak seluruh kegiatan usaha wajib memiliki Izin, di samping itu melalui penerapan konsep ini kegiatan Pengawasan menjadi lebih terstruktur baik dari periode maupun substansi yang harus dilakukan Pengawasan. Selanjutnya sebagaimana pengaturan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, tingkat Risiko dan peringkat skala usaha kegiatan usaha ditetapkan menjadi Risiko rendah, menengah rendah, menengah tinggi, dan tinggi. Untuk kegiatan usaha Risiko rendah, Pelaku Usaha hanya dipersyaratkan memiliki NIB. Untuk kegiatan usaha Risiko menengah rendah, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki NIB dan pernyataan pemenuhan Sertifikat Standar. Untuk kegiatan usaha Risiko menengah tinggi, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki NIB dan Sertifikat Standar yang telah diverifikasi. Sedangkan untuk kegiatan usaha Risiko tinggi, Pelaku Usaha dipersyaratkan memiliki NIB dan Izin. Penyelenggaraan PBBR dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi:
|
II. | PASAL DEMI PASAL
Pasal 1 Cukup jelas. Pasal 2 Cukup jelas. Pasal 3 Cukup jelas. Pasal 4 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5)
Terintegrasi secara elektronik dimaksud mencakup pula pemrosesan dan penerbitan persyaratan dasar, PB, dan/ atau PB UMKU yang dilakukan di Sistem OSS oleh kementerian/lembaga, Pemerintah Daerah, Administrator KEK, dan/ atau Badan Pengusahaan KPBPB dengan menggunakan hak akses. Pasal 5 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "jangka waktu penerbitan" adalah waktu yang dibutuhkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk menerbitkan PB berdasarkan analisis Risiko, terhitung sejak dokumen lengkap dan benar. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "jangka waktu penerbitan" adalah waktu yang dibutuhkan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah untuk menerbitkan PB-UMKU dengan mempertimbangkan tingkat Risiko, terhitung sejak dokumen lengkap dan benar. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Standar kegiatan usaha dan/atau standar produk/ jasa serta mekanisme penerbitan yang menjadi pedoman bagi Administrator KEK dan Badan Pengusahaan KPBPB memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan ekonomi khusus dan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Ayat (9) Cukup jelas. Ayat (10) Cukup jelas. Ayat (11) Cukup jelas. Ayat (12) Cukup jelas. Pasal 6 Cukup jelas. Pasal 7 Cukup jelas. Pasal 8 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Yang dimaksud dengan "perolehan PB" adalah perolehan PB secara otomatis yang berlaku bagi kategori tingkat Risiko usaha rendah dan menengah rendah. Yang dimaksud dengan "pengajuan PB" adalah perolehan PB melalui proses tahapan verifikasi yang berlaku bagi kategori tingkat Risiko usaha menengah tinggi dan tinggi. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 9 Cukup jelas. Pasal 10 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Subtahapan persiapan dalam pemenuhan Amdal atau UKL UPL merupakan tahapan perencanaan usaha terkait PL sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 11 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pembersihan atau pembukaan lahan" dapat berupa kegiatan:
Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 12 Cukup jelas. Pasal 13 Yang dimaksud dengan "Bangunan Gedung atau komplek perdagangan / jasa yang dipakai bersama" an tara lain Bangunan Gedung berupa komplek pertokoan, perkantoran, tempat peristirahatan ( rest area), dan pasar. Pasal 14 Cukup jelas. Pasal 15 Cukup jelas. Pasal 16 Cukup jelas. Pasal 17 Cukup jelas. Pasal 18 Cukup jelas. Pasal 19 Cukup jelas. Pasal 20 Cukup jelas. Pasal 21 Cukup jelas. Pasal 22 Cukup jelas. Pasal 23 Cukup jelas. Pasal 24 Cukup jelas. Pasal 25 Cukup jelas. Pasal 26 Cukup jelas. Pasal 27 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Bukti bahwa Pelaku Usaha dapat melakukan kegiatan usaha di KEK atau kawasan industri dapat berupa rekomendasi/surat keterangan atau perjanjian/kontrak kerja sama dari pengelola KEK atau kawasan industri. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Pengalihan KKPR kepada Pelaku Usaha yang baru dibuktikan dengan dokumen tertulis hubungan hukum yang menyatakan pengalihan penguasaan tanah. Huruf d Penerbitan KKPR kepada Pelaku Usaha dari Pelaku Usaha lain dibuktikan dengan dokumen perjanjian sewa menyewa atau pinjam pakai yang masih berlaku, yang paling sedikit memuat kesediaan pemegang KKPR sebelumnya mengalihkan kepada Pelaku Usaha. Huruf e Dalam hal bentuk usaha tetap sudah memiliki kontrak kerja sama dengan pemerintah, poligon/koordinat wilayah kerja minyak dan gas bumi harus sudah ditanamkan dalam Sistem OSS. Huruf f Yang dimaksud dengan "terintegrasi" adalah sistem yang menghubungkan fungsi dan/atau proses dalam sebuah entitas usaha yang saling terhubung dan bekerja sama untuk mencapai tujuan. Huruf g Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 28 Cukup jelas. Pasal 29 Cukup jelas. Pasal 30 Cukup jelas. Pasal 31 Cukup jelas. Pasal 32 Cukup jelas. Pasal 33 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "pembinaan" antara lain Pelaku Usaha agar menyesuaikan bangunan sesuai dengan RTR atau Pelaku Usaha tidak dapat melakukan kegiatan usaha di lokasi yang diusulkan dan diarahkan melakukan kegiatan usaha di lokasi yang sesuai dengan RTR. Pasal 34 Cukup jelas. Pasal 35 Cukup jelas. Pasal 36 Cukup jelas. Pasal 37 Cukup jelas. Pasal 38 Ayat (1) Cukup Jelas Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tahapan pendaftaran" dalam ketentuan ini dimaknai sama dengan tahapan permohonan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur penggunaan kawasan hutan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Pasal 39 Cukup jelas. Pasal 40 Cukup jelas. Pasal 41 Cukup jelas. Pasal 42 Cukup jelas. Pasal 43 Cukup jelas. Pasal 44 Cukup jelas. Pasal 46 Cukup jelas. Pasal 47 Cukup jelas. Pasal 48 Cukup jelas. Pasal 49 Cukup jelas. Pasal 50 Cukup jelas. Pasal 51 Cukup jelas. Pasal 52 Cukup jelas. Pasal 53 Cukup jelas. Pasal 54 Cukup jelas. Pasal 55 Cukup jelas. Pasal 56 Cukup Jelas Pasal 57 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Yang dimaksud dengan "tahapan pendaftaran" dalam ketentuan ini dimaknai sama dengan tahapan permohonan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur pelepasan kawasan hutan. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Pasal 58 Cukup jelas. Pasal 59 Cukup jelas. Pasal 60 Cukup jelas. Pasal 61 Cukup jelas. Pasal 63 Cukup jelas. Pasal 64 Cukup jelas. Pasal 65 Cukup jelas. Pasal 66 Cukup jelas. Pasal 67 Cukup jelas. Pasal 68 Cukup jelas. Pasal 69 Cukup jelas. Pasal 70 Cukup jelas. Pasal 71 Cukup jelas. Pasal 72 Cukup jelas. Pasal 74 Cukup jelas. Pasal 75 Cukup jelas. Pasal 76 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kawasan yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat" antara lain kawasan industri, KEK, atau KPBPB. Yang dimaksud dengan "pengelola kawasan" adalah pengelola kawasan industri administrator KEK atau Badan Pengusahaan KPBPB. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 77 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "tidak diterbitkan" adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan tidak menerima tanggapan (berupa menyetujui atau menolak) dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan dalam batas waktu 15 (lima belas) Hari. Ayat (6) Sesuai dengan asas umum pemerintahan yang baik, apabila menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan menolak rekomendasi pemanfaatan kawasan suaka alam atau kawasan pelestarian alam, disertai dengan alasan penolakan. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 78 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Dalam rangka memberikan kemudahan bagi Pelaku Usaha, penerbitan SPPL dilakukan bersamaan dengan penerbitan NIB melalui Sistem OSS. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 79 Cukup jelas. Pasal 80 Cukup jelas. Pasal 81 Cukup jelas. Pasal 82 Cukup jelas. Pasal 83 Cukup jelas. Pasal 84 Cukup jelas Pasal 85 Cukup jelas Pasal 86 Cukup jelas. Pasal 87 Cukup jelas. Pasal 88 Cukup jelas. Pasal 89 Cukup jelas. Pasal 90 Cukup jelas. Pasal 91 Cukup jelas. Pasal 92 Cukup jelas. Pasal 93 Cukup jelas. Pasal 94 Cukup jelas. Pasal 95 Cukup jelas. Pasal 96 Cukup jelas. Pasal 97 Cukup jelas. Pasal 98 Cukup jelas. Pasal 99 Cukup jelas. Pasal 100 Cukup jelas. Pasal 101 Cukup jelas. Pasal 102 Cukup jelas. Pasal 103 Cukup jelas. Pasal 104 Cukup jelas. Pasal 105 Cukup jelas. Pasal 106 Cukup jelas. Pasal 107 Cukup jelas. Pasal 108 Cukup jelas. Pasal 109 Cukup jelas. Pasal 110 Cukup jelas. Pasal 111 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "pemeriksaan kebenaran data dan dokumen" sama dengan pemeriksaan kesesuaian data dan dokumen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan di bidang bangunan gedung. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 112 Cukup jelas. Pasal 113 Cukup jelas. Pasal 114 Cukup jelas. Pasal 115 Cukup jelas. Pasal 116 Cukup jelas. Pasal 117 Cukup jelas. Pasal 118 Cukup jelas. Pasal 119 Cukup jelas. Pasal 120 Cukup jelas. Pasal 121 Cukup jelas. Pasal 122 Cukup jelas. Pasal 123 Cukup jelas. Pasal 124 Cukup jelas. Pasal 125 Cukup jelas. Pasal 126 Cukup jelas. Pasal 127 Cukup jelas. Pasal 128 Cukup jelas. Pasal 129 Cukup jelas. Pasal 130 Cukup jelas. Pasal 131 Cukup jelas. Pasal 132 Cukup jelas. Pasal 133 Cukup jelas. Pasal 134 Cukup jelas. Pasal 135 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a PB UMKU dalam rangka peredaran produk antara lain untuk kegiatan usaha di bidang makanan minuman, farmasi obat obatan, alat kesehatan, kosmetik, uji tipe untuk kendaraan, dan pertahanan. Huruf b PB UMKU dalam rangka kelayakan operasi antara lain untuk kegiatan usaha di bidang transportasi, ketenagalistrikan, komunikasi dan informatika, pekerjaan umum, serta ketenaganukliran. Huruf c PB UMKU dalam rangka standardisasi produk/jasa antara lain untuk kegiatan usaha yang memerlukan standar nasional, sertifikasi untuk jasa pariwisata, sertifikasi sanitasi, dan sertifikasi perangkat telekomunikasi. Huruf d PB UMKU dalam rangka kelancaran kegiatan usaha antara lain untuk kegiatan usaha pengambilan air tanah, penyelenggaraan terminal khusus, dan pergudangan. Pasal 136 Cukup jelas. Pasal 137 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Peraturan kepala daerah antara lain mengatur peran, tugas, dan tata kelola DPMPTSP serta organisasi perangkat daerah teknis dalam pemrosesan PBBR di daerah. Ayat (4) Cukup jelas. Pasal 138 Cukup jelas. Pasal 139 Cukup jelas. Pasal 140 Cukup jelas. Pasal 141 Cukup jelas. Pasal 142 Cukup jelas. Pasal 143 Cukup jelas. Pasal 144 Cukup jelas. Pasal 145 Cukup jelas. Pasal 146 Cukup jelas. Pasal 147 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "Lampiran II" adalah Lampiran II PB UMKU sektor energi dan sumber daya mineral yang mengatur mengenai Izin pengusahaan air tanah. Pasal 148 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Kegiatan usaha PB tertentu yang memerlukan perizinan bertahap pada pemanfaatan sumber radiasi pengion meliputi:
Kegiatan usaha PB tertentu yang memerlukan perizinan bertahap pada instalasi nuklir dan bahan nuklir meliputi:
Kegiatan usaha PB UMKU tertentu yang memerlukan perizinan bertahap pada pemanfaatan sumber radiasi pengion meliputi:
Pasal 149 Cukup jelas. Pasal 150 Cukup jelas. Pasal 151 Cukup jelas. Pasal 152 Cukup jelas. Pasal 153 Cukup jelas. Pasal 154 Cukup jelas. Pasal 155 Cukup jelas. Pasal 156 Cukup jelas. Pasal 157 Cukup jelas. Pasal 158 Cukup jelas. Pasal 159 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "Lampiran II" adalah Lampiran II PB UMKU sektor pekerjaan umum dan perumahan rakyat yang mengatur mengenai subsektor sumber daya air Pasal 160 Cukup jelas. Pasal 161 Cukup jelas. Pasal 162 Cukup jelas. Pasal 163 Cukup jelas. Pasal 164 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Yang dimaksud dengan "usaha tertentu" antara lain:
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 165 Cukup jelas. Pasal 166 Cukup jelas. Pasal 167 Cukup jelas. Pasal 168 Yang dimaksud dengan "penerbitan buku" adalah seluruh proses kegiatan yang dimulai dari pengeditan, pengilustrasian, dan pendesainan buku. Pasal 169 Cukup jelas. Pasal 170 Cukup jelas. Pasal 171 Cukup jelas. Pasal 172 Cukup jelas. Pasal 173 Cukup jelas. Pasal 174 Cukup jelas. Pasal 175 Cukup jelas. Pasal 176 Cukup jelas. Pasal 177 Cukup jelas. Pasal 178 Cukup jelas. Pasal 179 Yang dimaksud dengan "berkoordinasi dengan kementerian terkait" yaitu penyusunan peraturan menteri paling sedikit berkoordinasi dengan kementerian/lembaga yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara atau kepabeanan dan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. Pasal 180 Cukup jelas. Pasal 181 Cukup jelas. Pasal 182 Cukup jelas. Pasal 183 Cukup jelas. Pasal 184 Cukup jelas. Pasal 185 Ayat (1) Yang dimaksud dengan "kementerian/lembaga sebagai pengampu" adalah kementerian/lembaga yang menjalankan fungsi penerbitan PB, pembinaan, dan pengawasan suatu kegiatan usaha. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 186 ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Aktivitas penerbitan piranti lunak (software) terkait dengan sektor penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik khusus gim. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 187 Cukup jelas. Pasal 188 Cukup jelas. Pasal 189 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Huruf h Cukup jelas. Huruf i Cukup jelas. Huruf j Cukup jelas. Huruf k Contoh badan hukum lainnya antara lain yayasan, persyarikatan, atau perkumpulan. Persyarikatan atau perkumpulan dimaksudkan dalam rangka mengakomodasi persyarikatan atau perkumpulan yang telah melakukan kegiatan usaha sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Pasal 190 Cukup jelas. Pasal 191 Cukup jelas. Pasal 192 Cukup jelas. Pasal 193 Cukup jelas. Pasal 194 Cukup jelas. Pasal 195 Cukup jelas. Pasal 196 Cukup jelas. Pasal 197 Cukup jelas. Pasal 198 Cukup jelas. Pasal 199 Cukup jelas. Pasal 200 Cukup jelas. Pasal 201 Cukup jelas. Pasal 202 Cukup jelas. Pasal 203 Cukup jelas. Pasal 204 Cukup jelas. Pasal 205 Cukup jelas. Pasal 206 Cukup jelas. Pasal 207 Cukup jelas. Pasal 208 Cukup jelas. Pasal 209 Cukup jelas. Pasal 210 Cukup jelas Pasal 211 Cukup jelas. Pasal 212 Cukup jelas. Pasal 213 Cukup jelas. Pasal 214 Cukup jelas. Pasal 215 Cukup jelas. Pasal 216 Cukup jelas. Pasal 217 Cukup jelas. Pasal 218 Cukup jelas. Pasal 219 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (4) Yang dimaksud dengan "tidak perlu didahului dengan pengajuan persyaratan dasar baru" adalah 1zm lokasi/KKPR, 1zm lingkungan/PL, dan/atau izin mendirikan bangunan/PBG/SLF yang dimiliki dan masih berlaku, tetap bisa digunakan. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 220 Cukup jelas. Pasal 221 Cukup jelas. Pasal 222 Cukup jelas. Pasal 223 Cukup jelas. Pasal 224 Cukup jelas. Pasal 225 Cukup jelas. Pasal 226 Cukup jelas. Pasal 227 Cukup jelas. Pasal 228 Cukup jelas. Pasal 229 Cukup jelas. Pasal 230 Cukup jelas. Pasal 231 Cukup jelas. Pasal 232 Cukup jelas. Pasal 233 Cukup jelas. Pasal 234 Cukup jelas. Pasal 235 Cukup jelas. Pasal 236 Cukup jelas. Pasal 237 Cukup jelas. Pasal 238 Cukup jelas. Pasal 239 Cukup jelas. Pasal 240 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Yang dimaksud dengan "laporan kegiatan Penanaman Modal" adalah laporan tentang kegiatan Penanaman Modal sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal. Ayat (6) Cukup jelas. Pasal 241 Cukup jelas. Pasal 242 Cukup jelas. Pasal 243 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Inspeksi lapangan rutin secara terkoordinasi dimaksudkan agar masing-masing kementerian/lembaga, organisasi perangkat daerah, Administrator KEK, dan KPBPB melakukan inspeksi lapangan secara terkoordinasi sehingga tidak menyulitkan Pelaku Usaha. Hal ini mengingat jika dilakukan secara sendiri-sendiri, Pelaku Usaha akan kesulitan menyiapkan data dan informasi bagi pejabat yang melakukan inspeksi lapangan. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 244 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang undangan" antara lain peraturan perundang-undangan di bidang pemerintah daerah, kawasan ekonomi khusus, dan kawasan perdagangan dan pelabuhan bebas. Pasal 245 Cukup jelas. Pasal 246 Cukup jelas. Pasal 247 Cukup jelas. Pasal 248 Cukup jelas. Pasal 249 Cukup jelas. Pasal 250 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Pembinaan/ pendampingan yang dilakukan dapat berupa penyuluhan, pemberian penjelasan, dan/ atau bimbingan teknis. Ayat (3) Pengenaan sanksi administratif dilaksanakan sesuai dengan pengaturan mengenai sanksi administratif dalam Peraturan Pemerintah ini. Pasal 251 Cukup jelas. Pasal 252 Cukup jelas. Pasal 253 Cukup Jelas Pasal 254 Cukup jelas. Pasal 255 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Untuk pembinaan dilakukan termasuk untuk pemenuhan perizinan tunggal. Huruf c Cukup jelas. Pasal 256 Cukup jelas. Pasal 257 Cukup jelas. Pasal 258 Cukup jelas. Pasal 259 Cukup jelas. Pasal 260 Cukup jelas. Pasal 261 Cukup jelas. Pasal 262 Cukup jelas. Pasal 263 Cukup jelas. Pasal 264 Cukup jelas. Pasal 265 Cukup jelas. Pasal 266 Cukup jelas. Pasal 267 Cukup jelas. Pasal 268 Cukup jelas. Pasal 269 Cukup jelas. Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 270 Cukup jelas. Pasal 271 Cukup jelas. Pasal 272 Cukup jelas. Pasal 273 Cukup jelas. Pasal 274 Cukup jelas. Pasal 275 Cukup jelas. Pasal 276 Cukup jelas. Pasal 277 Cukup jelas. Pasal 278 Cukup jelas. Pasal 279 Cukup jelas. Pasal 280 Cukup jelas. Pasal 281 Cukup jelas. Pasal 282 Cukup jelas. Pasal 283 Cukup jelas. Pasal 284 Cukup jelas. Pasal 285 Cukup jelas. Pasal 286 Cukup jelas. Pasal 287 Cukup jelas. Pasal 288 Cukup jelas. Pasal 289 Cukup jelas. Pasal 290 Cukup jelas. Pasal 291 Cukup jelas. Pasal 292 Cukup jelas. Pasal 293 Cukup jelas. Pasal 294 Cukup jelas. Pasal 295 Cukup jelas. Pasal 296 Cukup jelas. Pasal 297 Cukup jelas. Pasal 298 Cukup jelas. Pasal 299 Cukup jelas. Pasal 300 Cukup jelas. Pasal 301 Cukup jelas. Pasal 302 Cukup jelas. Pasal 303 Cukup jelas. Pasal 304 Cukup jelas. Pasal 305 Cukup jelas. Pasal 306 Cukup jelas. Pasal 307 Cukup jelas. Pasal 308 Cukup jelas. Pasal 309 Cukup jelas. Pasal 310 Cukup jelas. Pasal 311 Cukup jelas. Pasal 312 Cukup jelas. Pasal 313 Cukup jelas. Pasal 314 Cukup jelas. Pasal 315 Cukup jelas. Pasal 316 Cukup jelas. Pasal 317 Cukup jelas. Pasal 318 Cukup jelas. Pasal 319 Cukup jelas. Pasal 320 Cukup jelas. Pasal 321 Cukup jelas. Pasal 322 Cukup jelas. Pasal 323 Cukup jelas. Pasal 324 Cukup jelas. Pasal 325 Cukup jelas. Pasal 326 Cukup jelas. Pasal 327 Cukup jelas. Pasal 328 Cukup jelas. Pasal 329 Cukup jelas. Pasal 330 Cukup jelas. Pasal 331 Cukup jelas. Pasal 332 Cukup jelas. Pasal 333 Cukup jelas. Pasal 334 Cukup jelas. Pasal 335 Cukup jelas. Pasal 336 Cukup jelas. Pasal 337 Cukup jelas. Pasal 338 Cukup jelas. Pasal 339 Cukup jelas. Pasal 340 Cukup jelas. Pasal 341 Cukup jelas. Pasal 342 Cukup jelas. Pasal 343 Cukup jelas. Pasal 344 Cukup jelas. Pasal 345 Cukup jelas. Pasal 346 Cukup jelas. Pasal 347 Cukup jelas. Pasal 348 Cukup Jelas Pasal 349 Cukup jelas. Pasal 350 Cukup jelas. Pasal 351 Cukup jelas. Pasal 352 Cukup jelas. Pasal 353 Cukup jelas. Pasal 354 Cukup jelas. Pasal 355 Cukup jelas. Pasal 356 Cukup jelas. Pasal 357 Cukup jelas. Pasal 358 Cukup jelas. Pasal 359 Cukup jelas. Pasal 360 Cukup jelas. Pasal 361 Cukup jelas. Pasal 362 Cukup jelas. Pasal 363 Cukup jelas. Pasal 364 Cukup jelas. Pasal 365 Cukup jelas. Pasal 366 Cukup jelas. Pasal 367 Cukup jelas. Pasal 368 Cukup jelas. Pasal 369 Cukup jelas. Pasal 370 Cukup jelas. Pasal 371 Cukup jelas. Pasal 372 Cukup jelas. Pasal 373 Cukup jelas. Pasal 374 Cukup jelas. Pasal 375 Cukup jelas. Pasal 376 Cukup jelas. Pasal 377 Cukup jelas. Pasal 378 Cukup jelas. Pasal 379 Cukup jelas. Pasal 380 Cukup jelas. Pasal 381 Cukup jelas. Pasal 382 Cukup jelas. Pasal 383 Cukup jelas. Pasal 384 Cukup jelas. Pasal 385 Cukup jelas. Pasal 386 Cukup jelas. Pasal 387 Cukup jelas. Pasal 388 Cukup jelas. Pasal 389 Cukup jelas. Pasal 390 Cukup jelas. Pasal 391 Cukup jelas. Pasal 392 Cukup jelas. Pasal 393 Cukup jelas. Pasal 394 Cukup jelas. Pasal 395 Cukup jelas. Pasal 396 Cukup jelas. Pasal 397 Cukup jelas. Pasal 398 Cukup jelas. Pasal 399 Cukup jelas. Pasal 400 Cukup jelas. Pasal 401 Cukup jelas. Pasal 402 Cukup jelas. Pasal 403 Cukup jelas. Pasal 404 Cukup jelas. Pasal 405 Cukup jelas. Pasal 406 Cukup jelas. Pasal 407 Cukup jelas. Pasal 408 Cukup jelas. Pasal 409 Cukup jelas. Pasal 410 Cukup jelas. Pasal 411 Cukup jelas. Pasal 412 Cukup jelas. Pasal 413 Cukup jelas. Pasal 414 Cukup jelas. Pasal 415 Cukup jelas. Pasal 416 Cukup jelas. Pasal 417 Cukup jelas. Pasal 418 Cukup jelas. Pasal 419 Cukup jelas. Pasal 420 Cukup jelas. Pasal 421 Cukup jelas. Pasal 422 Cukup jelas. Pasal 423 Ayat (1) huruf a Cukup jelas. huruf b Cukup jelas. huruf c Cukup jelas. huruf d Pengenaan daya paksa polisional dapat berupa penolakan penerbitan PB UMKU dalam jangka waktu tertentu kepada Pelaku Usaha apabila melakukan pelanggaran atas PB UMKU yang telah diterbitkan. huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 424 Cukup jelas. Pasal 425 Cukup jelas. Pasal 426 Cukup jelas. Pasal 427 Cukup jelas. Pasal 428 Cukup jelas. Pasal 429 Cukup jelas. Pasal 430 Cukup jelas. Pasal 431 Cukup jelas. Pasal 432 Cukup jelas. Pasal 433 Cukup jelas. Pasal 434 Cukup jelas. Pasal 435 Cukup jelas. Pasal 436 Cukup jelas. Pasal 437 Cukup jelas. Pasal 438 Cukup jelas. Pasal 439 Cukup jelas. Pasal 440 Cukup jelas. Pasal 441 Cukup jelas. Pasal 442 Cukup jelas. Pasal 443 Cukup jelas. Pasal 444 Cukup jelas. Pasal 445 Cukup jelas. Pasal 446 Cukup jelas. Pasal 447 Cukup jelas. Pasal 448 Cukup jelas. Pasal 449 Cukup jelas. Pasal 450 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Yang dimaksud dengan "penghentian sementara pelayanan umum" antara lain terkait dengan analisis mengenai dampak lalu lintas, Pelaku Usaha tidak memenuhi rekomendasi dari pengawas maka Pelaku Usaha tidak diperkenankan untuk melanjutkan pembangunan/ pengembangan sarana kegiatan berusaha. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Huruf f Cukup jelas. Huruf g Cukup jelas. Pasal 451 Cukup jelas. Pasal 452 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan dalam mengenakan sanksi administratif berupa daya paksa polisional melalui penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya dilakukan dengan menerbitkan surat/ rekomendasi kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk selanjutnya dilakukan penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Pasal 453 Cukup jelas. Pasal 454 Cukup jelas. Pasal 455 Cukup jelas. Pasal 456 Cukup jelas. Pasal 457 Cukup jelas. Pasal 458 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan dalam mengenakan sanksi administratif berupa daya paksa polisional melalui penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/atau media elektronik lainnya dilakukan dengan menerbitkan surat/rekomendasi kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk selanjutnya dilakukan penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Pasal 459 Cukup jelas. Pasal 460 Cukup jelas. Pasal 461 Ayat (1) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Untuk subsektor pangan segar, penghentian sementara kegiatan berusaha dapat berupa penghentian sementara kegiatan produksi, peredaran, dan/ atau PB UMKU lainnya. Huruf c Cukup jelas. Huruf d Untuk subsektor pangan segar, pengenaan daya paksa polisional dapat berupa penarikan produk dari peredaran dan tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan/ atau tindakan pemulihan. Huruf e Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Pasal 462 Ayat (1) Cukup jelas. Ayat (2) Cukup jelas. Ayat (3) Cukup jelas. Ayat (4) Cukup jelas. Ayat (5) Cukup jelas. Ayat (6) Huruf a Cukup jelas. Huruf b Cukup jelas. Huruf c Lembaga pemerintah yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pangan dalam mengenakan sanksi administratif berupa daya paksa polisional melalui penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya dilakukan dengan menerbitkan surat/ rekomendasi kepada kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informasi untuk selanjutnya dilakukan penutupan atau pemblokiran sistem elektronik dan/ atau media elektronik lainnya, sesuai dengan kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Huruf d Cukup jelas. Huruf e Cukup jelas. Ayat (7) Cukup jelas. Ayat (8) Cukup jelas. Ayat (9) Cukup jelas. Pasal 463 Cukup jelas. Pasal 464 Cukup jelas. Pasal 465 Cukup jelas. Pasal 466 Cukup jelas. Pasal 467 Cukup jelas. Pasal 468 Cukup jelas. Pasal 469 Cukup jelas. Pasal 470 Cukup jelas. Pasal 471 Cukup jelas. Pasal 472 Cukup jelas. Pasal 473 Cukup jelas. Pasal 474 Cukup jelas. Pasal 475 Cukup jelas. Pasal 476 Cukup jelas. Pasal 477 Cukup jelas. Pasal 478 Cukup jelas. Pasal 479 Cukup jelas. Pasal 480 Cukup jelas. Pasal 481 Cukup jelas. Pasal 482 Cukup jelas. Pasal 483 Cukup jelas. Pasal 484 Cukup jelas. Pasal 485 Cukup jelas. Pasal 486 Cukup jelas. Pasal 487 Cukup jelas. Pasal 488 Cukup jelas. Pasal 489 Cukup jelas. Pasal 490 Cukup jelas. Pasal 491 Cukup jelas. Pasal 492 Cukup jelas. Pasal 493 Cukup jelas. Pasal 494 Cukup jelas. Pasal 495 Cukup jelas. Pasal 496 Cukup jelas. Pasal 497 Cukup jelas. Pasal 498 Cukup jelas. Pasal 499 Cukup jelas. Pasal 500 Cukup jelas. Pasal 501 Cukup jelas. Pasal 502 Cukup jelas. Pasal 503 Cukup jelas. Pasal 504 Cukup jelas. Pasal 505 Cukup jelas. Pasal 506 Cukup jelas. Pasal 507 Cukup jelas. Pasal 508 Cukup jelas. Pasal 509 Cukup jelas. Pasal 510 Cukup jelas. Pasal 511 Cukup jelas. Pasal 512 Cukup jelas. Pasal 513 Cukup jelas. Pasal 514 Cukup jelas. Pasal 515 Cukup jelas. Pasal 516 Cukup jelas. Pasal 517 Cukup jelas. Pasal 518 Cukup jelas. Pasal 519 Cukup jelas. Pasal 520 Cukup jelas. Pasal 521 Cukup jelas. Pasal 522 Cukup jelas. Pasal 523 Cukup jelas. Pasal 524 Cukup jelas. Pasal 525 Cukup jelas. Pasal 526 Cukup jelas. Pasal 527 Cukup jelas. Pasal 528 Cukup jelas. Pasal 529 Cukup jelas. Pasal 530 Cukup jelas. Pasal 531 Cukup jelas. Pasal 532 Cukup jelas. Pasal 533 Cukup jelas. Pasal 534 Cukup jelas. Pasal 535 Cukup jelas. Pasal 536 Cukup jelas. Pasal 537 Cukup jelas. Pasal 538 Cukup jelas. Pasal 539 Cukup jelas. Pasal 540 Cukup jelas. Pasal 541 Cukup jelas. Pasal 542 Cukup jelas. Pasal 543 Cukup jelas. Pasal 544 Cukup jelas. Pasal 545 Cukup jelas. Pasal 546 Cukup jelas. Pasal 547 Cukup jelas. Pasal 548 Cukup jelas. Pasal 549 Cukup jelas. Pasal 550 Cukup jelas. Pasal 551 Cukup jelas. Pasal 552 Cukup jelas. |
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.