Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 291/KMK.05/1997
Kawasan Berikat
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 291/KMK.05/1997
TENTANG
KAWASAN BERIKAT
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
bahwa dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan jo. Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat, dipandang perlu untuk mengatur ketentuan tentang Tempat Penimbunan Berikat berupa Kawasan Berikat dengan Keputusan Menteri Keuangan.
- Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3566);
- Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3263) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3567);
- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 61, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3568); - Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3612);
- Undang-undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3613);
- Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3638);
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 25/KMK.05/1997 tentang Tatalaksana Kepabeanan Di Bidang Impor;
- Keputusan Menteri Keuangan Nomor 488/KMK.05/1996 tentang Tata Laksana Kepabeanan Di Bidang Ekspor.
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG KAWASAN BERIKAT.
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
- Kawasan Berikat (KB) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.
- Penyelenggara Kawasan berikat (PKB) adalah perseroan terbatas, koperasi yang berbentuk badan hukum atau yayasan yang memiliki, menguasai, mengelola dan menyediakan sarana dan prasarana guna keperluan pihak lain di KB yang diselenggarakannya berdasarkan persetujuan untuk menyelenggarakan KB.
- Pengusaha Di Kawasan Berikat (PDKB) adalah perseroan terbatas atau koperasi yang melakukan kegiatan usaha industri di KB.
- Barang Modal atau Peralatan adalah barang yang dipergunakan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat dalam rangka pembangunan/konstruksi KB dan peralatan atau perlengkapan yang diperlukan seperti generating set, air conditioner atau peralatan listrik lainnya.
- Peralatan Perkantoran adalah peralatan yang dibutuhkan untuk keperluan kantor Penyelenggara Kawasan Berikat yang tidak akan habis dipakai seperti komputer, mesin fotocopy, atau mesin fax.
- Menteri adalah Menteri Keuangan.
- Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
- Kepala Kantor adalah Kepala Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengawasi Kawasan Berikat yang bersangkutan.
- Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.
- Kantor adalah Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean.
Penetapan suatu kawasan atau tempat sebagai KB serta pemberian persetujuan PKB dilakukan dengan Keputusan Presiden.
(1) |
Perusahaan yang dapat diberikan persetujuan sebagai PKB adalah perusahaan: |
|
a. |
dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); |
|
b. |
dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau seluruh modal sahamnya dimiliki oleh peserta asing; |
|
c. |
Non PMA/PMDN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT); |
|
d. |
Koperasi yang berbentuk badan hukum; atau |
|
e. |
Yayasan. |
|
(2) |
Untuk mendapatkan persetujuan PKB, perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah mempunyai kawasan yang berlokasi di kawasan industri; |
|
(3) |
Dalam hal kawasan yang dimiliki perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di dalam daerah yang tidak mempunyai kawasan industri, maka kawasan tersebut harus termasuk di dalam kawasan peruntukan industri yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II; |
|
(4) |
Dalam hal suatu perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memiliki industri sebelum ditetapkannya Keputusan ini, perusahaan industri yang bersangkutan dapat ditetapkan menjadi PKB yang bertindak sebagai PDKB. |
(1) |
Permohonan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud pada Pasal 2, diajukan oleh pengusaha kepada Presiden RI melalui Menteri setelah fisik bangunan berdiri dengan menggunakan contoh dalam Lampiran I Keputusan ini, dengan melampirkan : |
|
a. |
fotocopy Surat Persetujuan Usaha, Analisa Mengenai Dampak Lingkungan dan Persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait; |
|
b. |
fotocopy Akta Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Yayasan yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang; |
|
c. |
fotocopy bukti kepemilikan atau penguasaan suatu bangunan, tempat, atau Kawasan yang mempunyai batas-batas yang jelas (pagar pemisah); |
|
d. |
fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi Perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT; |
|
e. |
peta lokasi/tempat yang akan dijadikan KB yang telah mendapat persetujuan dari Pemerintah Daerah setempat; |
|
f. | Berita Acara Pemeriksaan Lokasi KB yang dibuat oleh Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuknya; | |
g. |
pendapat dari Direktur Jenderal tentang dapat diberikannya persetujuan PKB. |
|
(2) |
Perusahaan yang akan menyelenggarakan KB dapat mengajukan permohonan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum fisik bangunan berdiri dengan menggunakan contoh pada Lampiran I Keputusan ini dengan melampirkan : |
|
a. |
fotocopy Surat Persetujuan Usaha Industri dan Persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait; |
|
b. |
fotocopy Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, atau Yayasan yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang; |
|
c. |
fotocopy bukti kepemilikan atau penguasaan suatu bangunan atau tempat yang mempunyai batas-batas yang jelas (pagar pemisah); |
|
d. |
fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi Perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT; |
|
e. |
rencana peta lokasi/tempat yang akan dijadikan KB; |
|
f. | keterangan tertulis dari pemilik kawasan industri bahwa perusahaan tersebut berlokasi di kawasan industri yang bersangkutan beserta peta lokasi dan peta letak bangunan; | |
g. |
pendapat dari Direktur Jenderal tentang dapat diberikannya persetujuan PKB. |
|
(3) |
KB yang penyelenggaraanya dilakukan oleh PKB dapat diperuntukkan bagi satu perusahaan atau lebih yang melakukan kegiatan industri pengolahan. |
(1) |
Pengusaha yang telah mendapatkan persetujuan PDKB atau persetujuan berusaha di KB dari PKB wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal melalui PKB dalam waktu 14 (empat belas) hari sebelum memulai kegiatannya, dan menggunakan Lampiran II Keputusan ini dengan melampirkan : |
|
a. |
bukti kepemilikan/penguasaan lokasi perusahaan industri di KB dilampiri surat rekomendasi PKB; |
|
b. |
fotocopy Surat Persetujuan Usaha Industri dan Persetujuan lainnya yang diperlukan dari Instansi teknis terkait; |
|
c. |
fotocopy Akte Pendirian Perseroan Terbatas (PT) atau Koperasi yang telah disahkan oleh Pejabat yang berwenang; |
|
d. |
fotocopy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), penetapan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan tahun terakhir bagi Perusahaan yang sudah wajib menyerahkan SPT; |
|
e. |
peta lokasi/tempat yang akan dijadikan PDKB; |
|
f. |
saldo awal bahan baku, bahan dalam proses, barang jadi, barang modal dan peralatan pabrik. |
|
(2) |
Direktur Jenderal memberitahukan kepada Kepala Kantor tentang PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan contoh pada Lampiran III Keputusan ini. |
(1) |
PKB berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan sebagai berikut : |
|
|
(2) |
PKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan asal impor yang dipergunakan untuk membangun konstruksi serta peralatan perkantoran tanpa persetujuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) |
PDKB berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan sebagai berikut : |
|
|
(2) |
PDKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan pabrik asal impor yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB tanpa persetujuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) |
PKB dan PDKB bertanggung jawab terhadap Bea Masuk (BM), Cukai, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor yang terutang atas barang yang dimasukkan atau dikeluarkan dari KB. |
(2) |
PKB dan PDKB dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal barang yang ada di KB : |
|
(1) |
Pemasukan barang impor berupa barang modal atau peralatan yang dipergunakan untuk pembangunan/konstruksi, perluasan, penyelenggaraan kantor KB diberlakukan tatalaksana kepabeanan di bidang impor. |
(2) |
Pemasukan barang modal atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi, barang dan/atau bahan ke KB dapat dilakukan dari : |
|
|
(3) |
Barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang terkena peraturan larangan impor tidak diperbolehkan dimasukkan ke KB. |
(4) |
Pemasukan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, b, c, d dan f tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. |
(5) |
Pemasukan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberlakukan ketentuan tataniaga di bidang impor. |
(6) |
Pemasukan barang impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), huruf a, b, c, dan d mempergunakan dokumen BC 2.3 yang dilampiri dengan B/L atau AWB, Invoice, Packing List dan dokumen pendukung lainnya. |
(7) |
Pemasukan barang atau bahan dari Daerah Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan f, menggunakan Formulir BC 4.0 yang dilampiri faktur pajak dan dokumen pendukung lainnya. |
(1) |
Pengeluaran barang hasil olahan PDKB dapat dilakukan dengan tujuan: |
a. ekspor; |
|
(2) |
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)/Pemberitahuan Ekspor Barang Tertentu (PEBT) (BC 3.0/BC 3.1) dan formulir BC 2.3 dan diberlakukan ketentuan pabean di bidang ekspor. |
(3) |
Pengeluaran barang asal impor yang tidak diolah di KB dan akan diekspor kembali dilakukan dengan menggunakan PEBT dan formulir BC 2.3. |
(4) |
Pengeluaran barang hasil pengolahan dari KB ke KB lainnya untuk diolah lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3. dilampiri kontrak pembelian. |
(5) |
Pengeluaran barang hasil pengolahan dari PDKB ke PDKB lainnya dalam satu KB untuk diolah lebih lanjut atau untuk pengepakan hasil produksi, dilakukan dengan menggunakan formulir B 2.3. dilampiri kontrak pembelian. |
(6) |
Pengeluaran barang hasil olahan dari PDKB ke ETP, dilakukan dengan menggunakan BC 2.3. |
(7) |
Pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB dengan tujuan ke DPIL, dapat dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB/BC 2.0) sesuai tatalaksana kepabeanan di bidang impor, setelah ada realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya dalam jumlah sebanyak-banyaknya 25% (dua puluh lima persen) dari nilai realisasi ekspor dan/atau pengeluaran ke PDKB lainnya. |
(8) |
Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), (3), (4), (5) dan (6) tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. |
(1) |
Pengeluaran barang dan/atau bahan dari KB, yang berkaitan dengan sebagian kegiatan pengolahan, kecuali pekerjaan pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, sortasi dan pengepakan, yang disubkontrakkan kepada perusahaan industri yang berada di KB lainnya atau DPIL, dapat dilakukan oleh PDKB. |
(2) |
Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dengan melampirkan perjanjian subkontrak yang bersangkutan. |
(3) |
Untuk subkontrak yang berkaitan dengan perusahaan di DPIL, pengeluaran barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pemeriksaan fisik dan dapat dilaksanakan setelah dipertaruhkan jaminan yang dapat berupa jaminan tunai, jaminan bank, customs, bond, dan Surat Sanggup Bayar (SSB) bagi perusahaan yang tergolong dalam Daftar Putih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18. |
(4) |
Pekerjaan yang disubkontrakkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak pengeluaran barang dan/atau bahan dari KB. |
(1) |
Mesin dan/atau peralatan pabrik yang akan dipergunakan untuk mengerjakan pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dapat dipinjamkan oleh PDKB kepada PDKB lainnya atau Subkontraktor di DPIL untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 2 (dua) kali 12 (dua belas) bulan. |
(2) |
Atas pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dipinjamkan kepada subkontraktor di DPIL dilakukan pemeriksaan fisik dan PDKB wajib mempertaruhkan jaminan sebagaimana dimaksud pada Pasal 11 ayat (3). |
(1) |
Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari KB dengan tujuan untuk direparasi di luar negeri dapat dilaksanakan dengan menggunakan PEBT dan formulir BC 2.3. |
(2) |
Dalam hal reparasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di DPIL dapat dilaksanakan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dan mempertaruhkan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) dan dilakukan pemeriksaan fisik. |
(3) |
Mesin dan/atau peralatan yang direparasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimasukkan kembali ke dalam KB selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak bulan pengeluaran mesin dan/atau peralatan dari KB. |
Terhadap impor barang, pemasukan Barang Kena Pajak (BKP), pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan/atau dari KB diberikan fasilitas sebagai berikut :
- atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan perkantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;
- atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;
- atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor;
- atas pemasukan BKP dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
- atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
- atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontraktor, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
- atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh PKP di DPIL atau PDKB lainnya kepada PKP PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
- atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM;
- atas pemasukan BKC dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan pembebasan Cukai;
- penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor;
- pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai dan Pajak dalam rangka impor, diberikan pembebasan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor.
Mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan dalam kegiatan produksi di PDKB dapat diganti dengan ketentuan bahwa mesin dan/atau peralatan yang diganti tersebut :
- diekspor kembali; dan/atau
- dipindahtangankan kepada PDKB lain; dan/atau
- dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan di bidang impor, dan/atau
- dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Barang-barang asal impor berupa makanan dan/atau minuman yang dimaksudkan untuk dikonsumsi di dalam KB atau barang impor lainnya selain dimaksud dalam Pasal 14 wajib dilunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sesuai tatalaksana kepabeanan di bidang impor dan cukai di Kantor Pabean sebelum dimasukkan ke dalam KB.
(1) | Atas pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB ke DPIL dikenakan BM, Cukai, PPN, PPn BM ,dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang terhadap pengeluaran tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk, cukai, dan pajak dalam rangka impor. | |
(2) |
Dasar penghitungan pungutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut : |
|
a. |
BM berdasarkan tarif bahan baku dengan pembebasan yang berlaku pada saat impor untuk dipakai dan nilai pabean yang terjadi pada saat barang dimasukkan ke KB; |
|
b. |
Cukai berdasarkan ketentuan perundang-undangan cukai yang berlaku; |
|
c. |
PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan harga penyerahan. |
|
(3) |
Pemeriksaan Pabean di KB dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. |
(1) |
PDKB dapat dimasukkan di dalam Daftar Putih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) apabila telah memenuhi persyaratan : |
|
a. |
selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut tidak pernah melakukan pelanggaran; |
|
b. |
selalu memenuhi kewajiban pabean dan perpajakan dengan baik dan tepat waktu; |
|
c. |
hasil post audit menunjukkan profil perusahaan baik. |
|
(2) |
Daftar Putih dapat diberikan kepada perusahaan yang baru berdiri berdasarkan permohonan PDKB yang bersangkutan. |
|
(3) |
PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikeluarkan dari Daftar Putih apabila di kemudian hari ternyata telah melakukan pelanggaran salah satu dari persyaratan yang ditetapkan. |
(1) |
Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai yang berlaku, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit atas pembukuan, catatan, dan dokumen KB yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KB dan pemindahan barang di dalam KB, serta pencacahan sediaan barang. |
(2) |
Berdasarkan hasil audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kedapatan selisih kurang jumlah dan/atau jenis barang atau ditemui adanya penggunaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, PKB dan/atau PDKB bertanggung jawab atas pelunasan BM, Cukai, PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 Impor yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari pungutan negara yang terutang. |
(3) |
Apabila hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kedapatan selisih lebih jumlah dan/atau jenis barang maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. |
(1) |
Dalam hal hasil audit kepabeanan yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal menunjukkan adanya pelanggaran atas ketentuan Kepabeanan yang mengakibatkan kerugian hak keuangan negara, Menteri dapat membekukan persetujuan PKB atas saran Direktur Jenderal. |
|
(2) |
Pembekuan persetujuan PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan juga dalam hal PKB tersebut : |
|
a. |
berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya; atau |
|
b. |
menunjukkan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan KB. |
|
(3) |
Pembekuan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi pencabutan bilamana PKB : |
|
a. |
tidak dapat melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan; atau |
|
b. |
tidak mampu lagi mengusahakan KB. |
|
(4) |
Persetujuan PKB yang dibekukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberlakukan kembali bilamana PKB : |
|
a. |
telah melunasi utangnya; atau |
|
b. |
telah mampu kembali mengusahakan KB. |
|
(5) |
Persetujuan PKB dicabut dalam hal : |
|
a. |
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, sama sekali tidak melakukan kegiatan; |
|
b. |
Persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi; |
|
c. |
dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; |
|
d. |
bertindak tidak jujur dalam usahanya; |
|
e. |
setelah proses pembekuan, tidak melaksanakan kewajiban yang diharuskan; |
|
f. |
atas permohonan sendiri. |
|
(6) |
Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Presiden RI. |
|
(7) |
Barang modal atau peralatan dan/atau peralatan perkantoran yang menjadi milik PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dalam waktu 30 hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus: |
|
a. |
diekspor kembali; |
|
b. |
dipindahtangankan kepada PKB lain; |
|
c. |
dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tatalaksana kepabeanan di bidang impor dan cukai; atau |
|
d. |
dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; |
|
(8) |
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak dipenuhi oleh PKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. |
(1) |
Persetujuan PDKB dapat dicabut apabila : |
|
|
(2) |
Pencabutan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan PKB atas perintah Direktur jenderal atas nama Menteri. |
(3) |
Barang modal atau peralatan dan/atau barang dan/atau bahan milik PDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam waktu 30 hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus : |
|
|
(4) |
Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dipenuhi oleh PDKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. |
Atas barang dan/atau bahan yang berada di PDKB yang rusak atau busuk, PDKB wajib :
- mengekspor kembali; dan/atau
- memusnahkan dibawah pengawasan Kepala Kantor; dan/atau
- dimasukkan untuk dipakai berdasarkan harga penyerahan.
Barang sisa dan/atau potongan dari PDKB dapat :
- dikeluarkan ke DPIL dengan melunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan tatalaksana kepabeanan di bidang impor dan cukai dengan menggunakan pemberitahuan pabean; dan/atau
- dimusnahkan dibawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi KB yang bersangkutan.
Ketentuan teknis lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan ketentuan dalam Keputusan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
(1) |
Dengan berlakunya Keputusan ini, semua Keputusan Menteri dan Peraturan Pelaksanaannya yang berkaitan dengan KB dan Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) yang bertentangan dengan Keputusan ini dinyatakan tidak berlaku lagi. |
(2) |
Semua urusan kepabeanan di KB dan EPTE yang belum dapat diselesaikan, untuk penyelesaiannya tetap berlaku aturan yang lama sampai dengan 1 April 1997. |
(1) |
Perusahaan yang mempunyai kegiatan usaha pergudangan di KB sebelum berlakunya Keputusan ini, dapat melaksanakan usahanya sebagai gudang berikat sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 399/KMK.01/1996 dalam jangka waktu yang akan ditetapkan oleh Direktur Jenderal. |
(2) |
Permohonan untuk mendapatkan persetujuan EPTE yang telah diajukan sebelum berlakunya Keputusan ini kepada Menteri Keuangan c.q. Direktur Jenderal Bea dan Cukai, diselesaikan berdasarkan ketentuan yang lama dan persetujuan EPTE yang akan ditetapkan menjadi penetapan PKB merangkap PDKB sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan ini. |
Ketentuan dalam Keputusan ini tidak berlaku untuk Kawasan Berikat Batam.
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal 1 April 1997.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 26 Juni 1997
MENTERI KEUANGAN,
ttd.
MAR'IE MUHAMMAD
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.