Home
/
Data Center
/
Putusan
/
PUT-117215.19
Pokok Sengketa:
bahwa dalam pemeriksaan, terbukti yang menjadi pokok sengketa dalam sengketa banding ini adalah penolakan keberatan Pemohon Banding dalam Keputusan Terbanding Nomor: KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017 tentang Penetapan Atas Keberatan Terhadap Surat Penetapan Pabean Nomor: SPP-000148/WBC.09/PIB/2017 tanggal 20 April 2017 atas PIB Nomor aju 060100-000272- 20151126-000401 (PIB No. 050713 tanggal 10 Desember 2015), karena sampai dengan jatuh tempo waktu pelaporan Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban ekspor (BCL.KT-01) kepada Kepala Kantor Wilayah, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, pajak dalam rangka impor dan denda administrasi sebesar Rp37.481.000,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;
Menurut Terbanding:
A. Analisis

1. bahwa berdasarkan penelitian terhadap alasan pengajuan Banding, data, fakta dan ketentuan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dalam sengketa a quo, dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut :

a. bahwa ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Kepabeanan secara tegas menyatakan "Barang yang dimasukkan ke dalam daerah pabean diperlakukan sebagai barang impor dan terutang bea masuk" oleh karenanya sebagaimana penjelasan atas pasal tersebut maka hal tersebut menjadi dasar yuridis bagi pejabat bea dan cukai untuk melakukan pengawasan;
b. bahwa pembebasan bea masuk dalam sengketa a quo merupakan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf k Undang Undang Kepabeanan yang menyatakan "Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor :

k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor;

bahwa dengan ketentuan mengenai pembebasan yang diatur Iebih lanjut oleh peraturan menteri dan kewajiban serta sanksi administrasi yang harus dipenuhi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU Kepabeanan;
c. bahwa Pemohon Banding melakukan importasi barang dengan Fasilitas KITE Pembebasan yang diberitahukan melalui PIB aju 060100-000272-20151126- 000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015) dengan Bea Masuk dibebaskan Rp 5.015.000,00 dan PPN ditangguhkan Rp5.516.000,00;
d. bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) huruf a PMK 254/PMK.04/2011, bahwa Periode Pembebasan merupakan periode yang diberikan kepada Perusahaan untuk melaksanakan realisasi Ekspor Hasil Produksi dengan jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dengan memperhatikan masa produksi Perusahaan;
e. bahwa Pasal 17 ayat (1) PMK 254/PMK.04/2011, mewajibkan kepada Perusahaan untuk mempertanggung jawabkan Bahan Baku dengan menyerahkan laporan pertanggung jawaban kepada Kepaia Kantor Wilayah atau KPU dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya periode Pembebasan dalam bentuk berupa BCL.KTO1 sebagaimana dimaksud dalam PER-16/BC/2012;
f. bahwa atas PIB tersebut sampai dengan jangka waktu periode pembebasan Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban atas bahan baku eks impor fasilitas KITE pembebasan Aju 060100-000272-20151126- 000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015);
g. bahwa berdasarkan Pasal 26 Ayat (4) Undang Undang Kepabeanan, secara eksplisit menyatakan bahwa orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar;
h. bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (16) PMK 254/PMK.04/2011, bahwa dalam hal realisasi Ekspor Hasil Produksi tidak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dan dalam hal laporan pertanggungjawaban tidak diserahkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya periode pembebasan atau ditolak seluruhnya, maka importasi dalam sengketa a quo tidak diberikan Pembebasan dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundangundangan di bidang kepabeanan dan perpajakan;
i. bahwa sampai tanggal jatuh tempo (batas waktu periode) pelaporan, Pemohon Banding tidak melaporkan sisa bahan baku eks PIB Nomor Aju 060100- 000272-20151126-000401 (PIB no 050713 tanggal 10 Desember 2015) sehingga masih terdapat saldo bahan baku dengan nilai Bea Masuk dan PPN yang belum dan/atau tidak dipertanggungjawabkan;
j. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, telah terbukti bahwa Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban atas sisa bahan eks PIB Nomor Aju 060100-000272-20151126-000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015) sebagaimana diatur dalam Pasal 17 PMK 2541PMK.04/2011, sehingga sesuai ketentuan Pasal 26 ayat (4) UU Kepabeanan maka Pemohon Banding wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda;
k. bahwa atas sisa saldo bahan baku eks PIB Nomor Aju 060100-000272- 20151126-000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015) yang tidak dipertanggungjawabkan oleh Pemohon Banding sampai dengan batas waktu yang telah diatur dalam ketentuan dan/atau peraturan perundangundangan, maka untuk melaksanakan pemenuhan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Kepabeanan, Kepala Kantor Wilayah menerbitkan surat penetapan yang mewajibkan Pemohon Banding untuk membayar bea masuk dan pajak dalam rangka : impor yang terutang berikut sanksi administrasi berupa denda dan bunga atas PPN;
l. bahwa berdasarkan Surat Keputusan Terbanding Nomor : KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017 terdapat kekurangan pembayaran sebesar Rp 37.481.000,00 dengan rincian sebagai berikut :

Bea Masuk : Rp 5.015.000,00
PPN : Rp 5.516.000,00
Denda : Rp 25.075.000,00
Bunga PPN : Rp 1.875.000,00
Jumlah Tagihan : Rp 37.481.000,00
2. bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, terbukti bahwa Pemohon Banding tidak memenuhi ketentuan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) dan Pasal 17 ayat (1) jo. Ayat (16) Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 254/PMK.04/2011 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang den Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 176/PMK.04/2013, sehingga Pemohon Banding wajib melunasi bea masuk, pajak dalam rangka impor dan sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) Undang Undang Kepabeanan;
3. bahwa berdasarakan Surat Terbanding Nomor : S-109/PJ/2017 tanggal 06 April 2017 tentang Penegasan Penagihan Pajak Dalam Rangka impor (PDRI) Oleh DJBC Terhadap Wajib Pajak/Auditee Yang Mengajukan Pengampunan Pajak dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

a. bahwa pajak dalam rangka impor berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang terutang untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun PajakTerakhir, merupakan objek Pengampunan Pajak apabila Wajib Pajak menggunakan haknya untuk mengikuti program Pengampunan Pajak dengan cara mengungkapkan Harta, membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan berikut lampiran yang dipersyarakatkan secara lengkap;
b. bahwa dalam hal Wajib Pajak memiliki Tunggakan Pajak yang termuat dalam suatu tagihan/ketetapan/keputusan/putusan, Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi seluruh Tunggakan Pajak tersebut apabila Wajib Pajak berkehendak untuk menggunakan haknya mengikuti program Pengampunan Pajak;
c. bahwa Tidak termasuk dalam pengertian tagihan/ketetapan/keputusan/putusan yang memuat Tunggakan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b, yaitu surat penetapan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang dalam kaitannya dengan penetapan atau penetapan kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean;
d. bahwa sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Kepabeanan, apabila terdapat importir yang tidak melakukan pelunasan terhadap besarnya pajak dalam rangka impor berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan jasa, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sampai dengan batas waktu yang ditetapkan dan terhadap importir telah diterbitkan Surat Teguran, kepala kantor pabean menyampaikan Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka impor berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, dan/atau Pajak Penjualan Barang Mewah, kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak di wilayah orang yang berutang;
e. bahwa namun demikian, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang Pengampunan Pajak, apabila importir sebagaimana dimaksud pada huruf d menggunakan haknya mengikuti program Pengampunan Pajak, Direktur Jenderal Pajak tidak dapat menerbitkan suatu tagihan/ketetapan/keputusan yang dapat menjadi dasar untuk menagih jumlah pajak dalam rangka impor yang terutang berupa Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah;
4. bahwa berdasarkan hal-hal di atas, Terbanding menerbitkan Surat Keputusan Keberatan Nomor KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017;
5. bahwa penerbitan KEP-151 tersebut telah sesuai dengan ketentuan perundangundangan, khususnya di bidang kepabeanan;

Menurut Pemohon Banding:
1. bahwa karena Pemohon Banding diinformasikan secara tidak tepat mengenai fasilitas KITE oleh Terbanding saat presentasi di PT Jansen di tahun 2014, yaitu informasi mengenai konsekuensi pelaporan yang tidak tepat dan konsekuensi sisa material yang tidak dihabiskan. Juga perbedaan antara KITE Pengembalian dan KITE Pembebasan tidak dijelaskan dengan benar sehingga Pemohon Banding telah keliru memilih KITE Pembebasan;
2. bahwa Petugas bagian Fasilitas Bea dan Cukai Kantor Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY tidak melakukan monitoring dan evaluasi dengan baik, sesuai peraturan PMK 176/PMK.04/2013 Pasal 18 ayat 1 (satu) yang berbunyi Kepala Kantor Wilayah atau pejabat yang ditunjuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap penerbitan NIPER Pembebasan secara periodik paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun sejak tanggal surat keputusan penerbitan NIPER Pembebasan. Adapun NIPER Pembebasan Pemohon Banding diterbitkan pada tahun 2014 sedangkan monitoring dan evaluasi pertama kali dilakukan berdasar surat tugas di Pemohon Banding pada tanggal 4 Nopember 2016, berarti monitoring dan evaluasi yang dilakukan petugas Bea dan Cukai ditempat Pemohon Banding sudah lebih 1 (satu) tahun baru dilakukan. Sehingga kesalahan Pemohon Banding tentang pelaporan ekspor tidak termonitor oleh pemberi fasilitas;

bahwa apabila monitoring dan evaluasi dilakukan sesuai dengan Pasal 18 ayat 1 (satu) Peraturan Nomor 176/PMK.04/2013 tentu Pemohon Banding tidak akan terlambat dalam melakukan pelaporan BCLKT kepada pemberi fasilitas dan tidak perlu terbitnya SPP (Surat Penetapan Pabean);
3. bahwa setelah kedatangan petugas Bea Cukai Kanwil Jateng dan DIY dalam acara Monitoring dan Evaluasi (Monev) di PT Jansen Indonesia, oleh petugas dianjurkan untuk melaporkan segala ekspor dan diberikan waktu untuk menyiapkan data termasuk PIB yang ternyata sudah lama diluar masa pelaporannya sehingga terjadi bunga dan keterlambatan yang sebetulnya tidak perlu terjadi;
4. bahwa pada dasarnya Pemohon Banding tidak sengaja dalam keterlambatan pelaporan karena secara fakta sebagian besar material yang Pemohon Banding impor dengan menggunakan fasilitas KITE juga sudah diekspor kembali dengan bukti Laporan Pemeriksaan Ekspor (LPE) dan Nota Penerimaan Ekspor (NPE) yang diketahui oleh petugas Bea dan Cukai Tanjung Emas Semarang, namun karena kurangnya pemahaman akan pelaporan yang mengakibatkan terlambat melapor kepada pemberi fasilitas;

bahwa menurut Pasal 2 ayat (1) Peraturan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-04/BC/2014 Pasal 2 ayat (1) atas impor bahan baku untuk diolah, dirakit atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan pembebasan. Sedang pada peraturan yangsama pasal 3 ayat (1) Pembebasan sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (1) dapat diberikan kepada badan usaha yang telah memperoleh NIPER Pembebasan;
5. bahwa sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2008 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Berupa Denda Di Bidang Kepabeanan (selanjutnya disebut PP 28/2008) Pasal 7 ayat (1) menyatakan “Besarnya denda yang dinyatakan dalam persentase minimum sampai dengan maksimum dari bea masuk yang seharusnya dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) huruf e ditetapkan secara berjenjang berdasarkan perbandingan antara bea masuk atas fasilitas yang disalahgunakan dengan total bea masuk yang mendapat fasilitas dengan ketentuan apabila kekurangan pembayaran bea masuk:

a. Sampai dengan 20% (dua puluh persen) dikenai denda 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
b. di atas 20 % (dua puluh persen) sampai dengan 40% (empat puluh persen) dikenai denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
c. di atas 40% (emapt puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh persen) dikenai denda sebesar 300% (tiga ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.
d. di atas 60% (enam puluh persen) sampai dengan 80% (selapan puluh persen) dikenai denda sebesar 400% (empat ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar atau
e. di atas 80% (delapan puluh persen) sampai dengan 100% (seratus persen) dikenai denda sebesar 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar.

bahwa dalam hal ini Pemohon Banding tidak pernah menyalahgunakan fasilitas KITE baik dalam hal impor material maupun ekspor barang jadi yang berasal dari impor untuk tujuan ekspor. Hal ini dapat dibuktikan lewat Laporan Penerimaan Ekspor (LPE) dan Laporan Penerimaan Ekspor (NPE) yang diketahui oleh petugas Bea dan Cukai Pelabuhan Tanjung Emas Semarang.bahwa sebelum kurun waktu pembebasan 12 (dua belas bulan) sebagian besar material impor telah Pemohon Banding ekspor kembali.Untuk itu Pemohon Banding mohon kepada Yang Mulia Ketua Majelis Hakim Pengadilan Pajak bisa memberi putusan yang seringan ringannya terkait Denda, Bea Masuk dan Bunga PPN yang dibebankan kepada Pemohon Banding oleh Terbanding berupa: Penghapusan denda dan bunga PPN dari nilai yang telah ditetapkan;
6. bahwa sesuai dengan Bab III tentang subyek dan obyek pengampunan pajak pada UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang pengampunan pajak pasal 5 (lima) b yang menyebutkan bahwa Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, merupakan subyek dan obyek Pengampunan Pajak.Pemohon Banding telah mengikuti program pemerintah Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) sejak bulan Oktober 2016 dan sesuai PMK Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Pada Bab XIII mengenai fasilitas pengampunan pajak di Pasal 23 ayat 1 dikatakan:

“Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat keterangan memperoleh fasilitas pengampunan pajak berupa:

a. Penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana dibidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak, sampai dengan akhir tahun pajak terakhir.
b. Penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak, sampai dengan akhir tahun pajak terakhir”

bahwa fakta bahwa SPP (Surat Penetapan Pajak) terkait atas PIB yang bertanggal tahun 2015 diterbitkan setelah Pemohon Banding mendapatkan Tax Amnesty, sehingga seharusnya PPN dan bunga atas PPN tidak diterapkan pada SPP tersebut, dan perlu dilakukan koreksi. Pemohon Banding berpendapat bahwa PPN beserta bunganya pada SPP tersebut adalah produk hukum yang juga mendapatkan fasilitas Tax Amnesty;

bahwa Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-109/PJ/2017 tanggal 6 April 2017 tentang Penegasan Penagihan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) oleh DJBC. Pemohon Banding menganggap surat Dirjen Pajak tersebut tidak sesuai dengan maksud dan semangat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak karena SPP (Surat Penetapan Pabean) pada hakekatnya adalah bentuk ketetapan pajak dengan subyek/obyek PPN, PPH sesuai dengan yang diungkapkan dalam Bab III Undang-undang Pengampunan Pajak;

bahwa adapun hal yang Pemohon Banding mohon Banding adalahKeputusan Terbanding Nomor KEP-153/BC.06/2017 Tentang Penetapan Atas Keberatan Pemohon Banding Terhadap Penetapan Yang Dilakukan Oleh Pejabat Bea dan Cukai Dalam SPP Nomor SPP-000148/WBC.09/PIB/2017 tanggal 20 April 2017 mengenai BM, PPN, Denda dan Bunga PPN supaya dihapus;
Menurut Majelis:
bahwa yang menjadi pokok sengketa dalam banding ini adalah penolakan keberatan Pemohon Banding dalam Keputusan Terbanding Nomor: KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017 tentang Penetapan Atas Keberatan Terhadap Surat Penetapan Pabean Nomor: SPP-000148/WBC.09/PIB/2017 tanggal 20 April 2017 atas PIB Nomor aju 060100- 000272-20151126-000401 (PIB No. 050713 tanggal 10 Desember 2015), karena sampai dengan jatuh tempo waktu pelaporan Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban ekspor (BCL.KT-01) kepada Kepala Kantor Wilayah, sehingga mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, pajak dalam rangka impor dan denda administrasi sebesar Rp37.481.000,00, yang tidak disetujui oleh Pemohon Banding;

bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, menyatakan:


Pasal 26

(1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor:
a. barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri dalam rangka penanaman modal:
b. mesin untuk pembangunan dan pengembangan industri;
c. barang dan bahan dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri untuk jangka waktu tertentu;
d. peralatan dan bahan yang digunakan untuk mencegah pencemaran lingkungan;
e. bibit dan benih untuk pembangunan dan pengembangan industri pertanian,peternakan, atau perikanan;
f. hasil laut yang ditangkap dengan sarana penangkap yang telah mendapat izin;
g. barang yang mengalami kerusakan, penurunan mutu, kemusnahan, atau penyusutan volume atau berat karena alamiah antara saat diangkut ke dalam daerah pabean dan saat diberikan persetujuan impor untuk dipakai;
h. barang oleh pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum;
i. barang untuk keperluan olahraga yang diimpor oleh induk organisasi olahraga nasional;
j. barang untuk keperluan proyek pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman dan/atau hibah dari luar negeri;
k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor;

bahwa pembebasan bea masuk atas barang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, bukanlah pembebasan absolut atau pembebasan mutlak, melainkan merupakan pembebasan relatif atau pembebasan bersyarat, artinya pembebasan yang baru dapat diberikan atau diberlakukan apabila persyaratan yang telah ditentukan dipenuhi;

bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, menyatakan:


Pasal 26

(1) Pembebasan atau keringanan bea masuk dapat diberikan atas impor:
k. barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor;

bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 memberikan pembebasan bea masuk atas barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor, apabila persyaratan yang telah ditentukan telah dipenuhi; namun persyaratan dimaksud tidak diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006;

bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, menyatakan:
(3) Ketentuan mengenai pembebasan atau keringanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan peraturan menteri;
bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 telah memberikan wewenang atributif kepada Menteri untuk menerbitkan peraturan menteri yang mengatur ketentuan atau persyaratan pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor;

dengan demikian ketentuan atau persyaratan pemberian pembebasan bea masuk atas barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri;

bahwa Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 tanggal 06 Desember 2013, merupakan pelaksanaan Pasal 26 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 17 Tahun 2006;

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 tanggal 06 Desember 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, disebutkan:
Pasal 7

(1) Periode Pembebasan merupakan periode yang diberikan kepada Perusahaan untuk melaksanakan realisasi Ekspor Hasil Produksi.
(2) Periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu:
a. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dengan memperhatikan masa produksi Perusahaan; atau
b. melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam hal Perusahaan memiliki masa produksi lebih dari 12 (dua belas) bulan.
(3) Jangka waktu periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dengan jangka waktu tertentu berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau KPU, dalam hal:
a. terdapat penundaan ekspor dari pembeli di luar negeri;
b. terdapat pembatalan ekspor atau penggantian pembeli di luar negeri; dan/atau
c. terdapat kondisi force majeure, seperti:
1. peperangan, bencana alam, atau kebakaran;
2. bencana lainnya yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
(4) Permohonan perpanjangan periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat diajukan oleh Perusahaan kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU sebelum periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir;
Pasal 17

(1) Perusahaan wajib mempertanggungjawabkan Bahan Baku dengan menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) atau ayat (3).
(2) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. dokumen pemberitahuan pabean impor yang telah mendapatkan persetujuan keluar pejabat bea dan cukai;
b. dokumen pemberitahuan pabean ekspor yang telah mendapat persetujuan Ekspor
c. dokumen yang membuktikan adanya transaksi Ekspor; dan
d. laporan pemeriksaan Ekspor.
(3) Ketentuan penyerahan dokumen pemberitahuan pabean impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan dokumen pemberitahuan pabean ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak berlaku bagi Perusahaan yang melakukan Impor dan Ekspor barang melalui Kantor Pabean yang telah menerapkan ketentuan Pertukaran Data Elektronik (PDE).
(5) Atas penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap:
a. kelengkapan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (2);
b. pemenuhan periode Pembebasan, kebenaran Impor, kebenaran Ekspor dan kebenaran pengisian laporan pertanggungjawaban; dan
c. kesesuaian konversi dengan jumlah pemakaian Bahan Baku, jumlah Hasil Produksi yang dilaporkan, dan sisa proses produksi.
(9) Atas Bahan Baku dan Hasil Produksi yang tidak dilaporkan sampai dengan periode Pembebasan selesai, tidak diberikan Pembebasan dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan.
(14) Atas penyampaian laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Wilayah atau KPU atau pejabat yang ditunjuk menyetujui atau menolak dalam jangka waktu paling lama 45 (empat puluh lima) hari kerja sejak laporan pertanggungjawaban diterima.
(16) Dalam hal laporan pertanggungjawaban tidak diserahkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau ditolak seluruhnya, tidak diberikan Pembebasan dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan.
(17) Dalam hal laporan pertanggungjawaban ditolak sebagian, atas Bahan Baku yang ditolak tersebut tidak diberikan Pembebasan dan dikenakan sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan perpajakan.

bahwa berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: PER-04/BC/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: PER16/BC/2012 tentang Tata Laksana Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor, disebutkan:

Pasal 7

(1) Periode Pembebasan merupakan periode yang diberikan kepada Perusahaan untuk melaksanakan realisasi Ekspor Hasil Produksi.
(2) Periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam jangka waktu:
a. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dengan memperhatikan masa produksi Perusahaan; atau
b. melebihi jangka waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam hal Perusahaan memiliki masa produksi lebih dari 12 (dua belas) bulan.
(3) Jangka waktu periode Pembebasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan perpanjangan dengan jangka waktu tertentu berdasarkan persetujuan Kepala Kantor Wilayah atau KPU, dalam hal:
a. terdapat penundaan ekspor dari pembeli di luar negeri;
b. terdapat pembatalan ekspor atau penggantian pembeli di luar negeri; dan/atau
c. terdapat kondisi force majeure, seperti:
1. peperangan, bencana alam, atau kebakaran;
2. bencana lainnya yang dinyatakan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 16

(1) Perusahaan wajib mempertanggungjawabkan penggunaan Bahan Baku dengan menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU penerbit NIPER Pembebasan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya periode Pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7;
(2) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud ayat (1) diserahkan dalam bentuk laporan pertanggungjawaban Bahan Baku (BCL.KT 01).
(4) Laporan pertanggungjawaban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri dengan:
a. dokumen pemberitahuan pabean impor yang telah mendapatkan persetujuan keluar Pejabat Bea dan Cukai;
b. dokumen pemberitahuan pabean ekspor yang telah mendapat persetujuan Ekspor;
c. dokumen yang membuktikan adanya transaksi Ekspor atau Devisa Hasil Ekspor;
d. Surat Serah Terima Barang, dalam hal dilakukan Ekspor gabungan;
e. LPE;
f. dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan berita acara Pemusnahan, dalam hal terdapat Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang dimusnahkan; dan
g. dokumen pemberitahuan pabean BC 2.4 dan kelengkapannya serta faktur pajak, dalam hal terdapat hasil Perusakan Hasil Produksi Yang Rusak atau reject yang dijual.
Pasal 17

(4) Dalam hal laporan pertanggungjawaban ditolak sebagian, atas Bahan Baku yang ditolak tersebut berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas Bahan Baku yang tidak dapat dipertanggung jawabkan;
b. diterbitkan surat pencairan jaminan dan Surat Penetapan Pabean (SPP), dalam hal Perusahaan menggunakan corporate guarantee;
c. Perusahaan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan; dan
d. Sanksi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan sejak saat impor paling lama 24 (dua puluh empat) bulan; dan
e. Atas Bahan Baku yang masih dalam periode Pembebasan dapat diajukan kembali laporan pertanggungjawabannya.
(9) Atas Bahan Baku dan Hasil Produksi yang tidak dilaporkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud;
b. diterbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP), sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud, dalam hal Perusahaan menggunakan corporate guarantee;
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang dipungut berdasarkan nilai pada saat impor;
d. Perusahaan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan; dan
e. Sanksi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, berupa bunga sebesar 2% setiap bulan sejak saat impor paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
(13) Dalam hal laporan pertanggungjawaban tidak diserahkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) atau ditolak seluruhnya, atas Bahan Baku dan Hasil Produksi berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. jaminan dicairkan sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud;
b. diterbitkan Surat Penetapan Pabean (SPP), sebesar Bea Masuk atas Bahan Baku atau Bahan Baku yang terkandung dalam Hasil Produksi dimaksud, dalam hal Perusahaan menggunakan corporate guarantee;
c. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) yang terutang dipungut berdasarkan nilai pada saat Impor;
d. Perusahaan dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;
e. Sanksi atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku, berupa bunga sebesar 2% setiap bulan sejak saat impor paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
bahwa dalam persidangan, Terbanding memberikan penjelasan tertulis dengan surat tanpa nomor tanggal 16 Maret 2018, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. bahwa Pemohon Banding melakukan importasi barang dengan Fasilitas KITE Pembebasan yang diberitahukan dengan PIB Aju 060100-000272-20151126-000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015) dengan Bea Masuk dibebaskan Rp 5.015.000,00 dan PPN ditangguhkan Rp5.516.000,00;
2. bahwa berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) huruf a PMK 254/PMK.04/2011, Periode Pembebasan merupakan periode yang diberikan kepada Perusahaan untuk melaksanakan realisasi Ekspor Hasil Produksi dengan jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean impor dengan memperhatikan masa produksi Perusahaan;
3. bahwa Pasal 17 ayat (1) PMK 254/PMK.04/2011, mewajibkan kepada Perusahaan untuk mempertanggungjawabkan Bahan Baku dengan menyerahkan laporan pertanggungjawaban kepada Kepala Kantor Wilayah atau KPU dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak berakhirnya periode Pembebasan dalam bentuk BCLKT.01 sebagaimana dimaksud dalam PER-16/BC/2012;
4. bahwa atas PIB tersebut sampai dengan jangka waktu periode pembebasan Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban atas bahan baku eks impor Fasilitas KITE Pembebasan Aju 060100-000272-20151126-000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015);
5. bahwa berdasarkan data dan informasi yang diperoleh dari Bidang Fasilitas Kepabeanan dan Cukai Kanwil Jateng dan DIY, disampaikan sebagai berikut:

a. bahwa monitoring dan evaluasi terhadap Pemohon Banding, telah dilakukan dua kali, yaitu tahun 2015 dan 2016;
b. bahwa monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan pada tahun 2015, dilakukan berdasarkan Surat Tugas Nomor ST-122/WBC.09/BG.01/2015 tanggal 27 Oktober 2015. Hasil Monitoring dan evaluasi tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Lapangan Nomor BA-31/WBC.09/BD.03.03/2015 tanggal 03 November 2015 dan Laporan Hasil Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Nomor LHP23/WBC.09/MONEV/2015 tanggal 03 November 2015. Berita Acara Pemeriksaan Lapangan tersebut ditandatangani oleh Sdr. Richard den hertog dan Sdr. Sarosa, sebagai perwakilan dari Pemohon Banding;
c. bahwa monitoring dan evaluasi yang dilaksanakan pada tahun 2016, dilakukan berdasarkan Surat Tugas Nomor ST-1637/WBC.09/BG.01/2016 tanggal 4 November 2016. Hasil Monitoring dan evaluasi tersebut dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan Lapangan Nomor BA-46/WBC.09/BD.03.03/2016 tanggal 11 November 2016 dan Laporan Hasil Pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi Nomor LHP-37/WBC.09/MONEV/2016 tanggal 30 November 2016. Berita Acara Pemeriksaan Lapangan tersebut ditandatangani oleh Sdr. Richard Den Hertog dan Sdr. Sarosa, sebagai perwakilan dari Pemohon Banding;
6. bahwa berdasarkan Surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-109/PJ/2017 tanggal 06 April 2017 tentang Penegasan Penagihan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) oleh DJBC Terhadap Wajib Pajak/Auditee yang Mengajukan Pengampunan Pajak disampaikan hal-hal sebagai berikut:

a. bahwa PDRI berupa PPh, PPN Barang dan Jasa, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang terutang untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, merupakan objek Pengampunan Pajak apabila Wajib Pajak menggunakan haknya untuk mengikuti program Pengampunan Pajak dengan cara mengungkapkan Harta, membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan berikut lampiran yang dipersyarakatkan secara lengkap;
b. bahwa dalam hal Wajib Pajak memiliki Tunggakan Pajak yang termuat dalam suatu tagihan/ketetapan/keputusan/putusan, Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi seluruh Tunggakan Pajak tersebut apabila Wajib Pajak berkehendak untuk menggunakan haknya mengikuti program Pengampunan Pajak;
c. bahwa tidak termasuk dalam pengertian tagihan/ketetapan/keputusan/putusan yang memuat Tunggakan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b, yaitu surat penetapan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang dalam kaitannya dengan penetapan atau penetapan kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean;
7. bahwa Pelayanan dan Pengawasan Ekspor KITE hingga Penerbitan Laporan Pemeriksaan Ekspor (LPE) adalah sebagai berikut:

a. Eksportir menyampaikan PEB kepada Kantor Pabean Pemuatan;
b. Jika terdapat Pemberitahuan Pemeriksaan Barang (PPB) yakni pemberitahuan kepada Eksportir oleh Pejabat Pemeriksa Dokumen Ekspor atau Sistem Komputer Pelayanan di kantor pabean pemuatan untuk dilakukan pemeriksaan fisik terhadap Barang Ekspor;
c. Jika hasil pemeriksaan fisik kedapatan jumlah dan jenis sesuai (atau jika tidak terdapat PPB), KPPBC menerbitkan Nota Pelayanan Ekspor (NPE) atas PEB yang disampaikan untuk melindungi pemasukan barang yang akan diekspor ke Kawasan Pabean dan/atau pemuatannya ke sarana pengangkut;
d. Pemeriksa menyerahkan kepada Pejabat Pemeriksa Dokumen Ekspor PEB yang sudah dicantumkan hasil pemeriksaan fisik, PEB Pembetulan apabila dilakukan pembetulan PEB, PPB, PKB, fotokopi invoice dan fotokopi packinglist, dan fotokopi NPE;
e. Terhadap PEB yang telah disampaikan ke kantor pabean pemuatan dilakukan rekonsiliasi dengan outward manifest yang telah didaftarkan di kantor pabean pemuatan;
f. Terhadap PEB fasilitas KITE, rekonsiliasi dilakukan dengan mencocokkan beberapa elemen data, yaitu:
1) nomor dan tanggal PEB; dan
2) nomor dan jumlah peti kemas dalam hal menggunakan peti, dan
3) mencocokkan elemen data nama sarana pengangkut dan nomor voyage atau flight; dan identitas Eksportir/shipper.
g. bahwa setelah dilakukan rekonsiliasi, Kantor Pabean Pemuatan menerbitkan LPE sebagai laporan hasil pemeriksaan pabean barang ekspor dengan fasilitas KITE;

bahwa Terbanding menyatakan, Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban atas bahan baku eks impor Fasilitas KITE Pembebasan Aju 060100- 000272-20151126-000401 (PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015) kepada Kepala Kantor Wilayah sampai dengan jatuh tempo waktu pelaporan,

bahwa Pemohon Banding dalam Surat Banding dan Surat Bantahan serta penjelasan Pemohon Banding dalam persidangan, pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. bahwa Petugas bagian Fasilitas Bea dan Cukai Kantor Wilayah Propinsi Jawa Tengah dan DIY tidak melakukan monitoring dan evaluasi dengan baik sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) PMK 176/PMK.04/2013, monitoring dan evaluasi yang dilakukan petugas Bea dan Cukai di tempat Pemohon Banding sudah lebih 1 (satu) tahun baru dilakukan, sehingga kesalahan Pemohon Banding tentang pelaporan ekspor tidak termonitor oleh pemberi fasilitas;
2. bahwa apabila monitoring dan evaluasi dilakukan sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (1) PMK 176/PMK.04/2013, tentu Pemohon Banding tidak akan terlambat dalam melakukan pelaporan BCLKT.01 kepada pemberi fasilitas dan tidak perlu terbitnya SPP (Surat Penetapan Pabean);
3. bahwa dalam Surat Uraian Banding Nomor SR-422/BC.06/2017 pada poin 7 (a) Terbanding menyatakan bahwa Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta dalam hal ini Bidang Fasilitas Kepabeanan tidak dapat mencetak Surat Penetapan Pabean pada awal tahun 2016 sampai dengan bulan Juli 2016 karena ada perubahan sistem aplikasi yang digunakan dalam pelayanan fasilitas KITE, akibatnya Pemohon Banding sebagai pihak yang dirugikan karena menerima denda dan bunga PPN maksimal;
4. bahwa setelah kedatangan petugas Bea dan Cukai Kanwil Jateng dan DIY dalam acara Monitoring dan Evaluasi (Monev) pada tanggal 04 November 2016 di PT Jansen Indonesia, oleh petugas dianjurkan untuk melaporkan segala ekspor dan diberikan waktu untuk menyiapkan data termasuk PIB yang ternyata sudah lama diluar masa pelaporannya sehingga terjadi bunga dan keterlambatan yang sebetulnya tidak perlu terjadi;
5. bahwa Pemohon Banding tidak pernah menyalahgunakan fasilitas KITE baik dalam hal impor material maupun ekspor barang jadi yang berasal dari impor untuk tujuan ekspor, karena secara fakta sebagian besar material yang Pemohon Banding impor dengan menggunakan fasilitas KITE juga sudah diekspor kembali dengan bukti Laporan Pemeriksaan Ekspor (LPE) dan Nota Penerimaan Ekspor (NPE) yang diketahui oleh petugas Bea dan Cukai Tanjung Emas Semarang, namun karena kurangnya pemahaman akan pelaporan yang mengakibatkan terlambat melapor kepada pemberi fasilitas;
6. bahwa Pemohon Banding telah mengikuti program pemerintah Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) sejak bulan Oktober 2016 dan sesuai PMK No. 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pada Bab XIII Pasal 23 ayat 1 dikatakan:
“Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat keterangan memperoleh fasilitas pengampunan pajak berupa:

a. Penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana dibidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak, sampai dengan akhir tahun pajak terakhir.
b. Penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian tahun pajak, dan tahun pajak, sampai dengan akhir tahun pajak terakhir"
7. bahwa SPP (Surat Penetapan Pajak) terkait atas PIB yang bertanggal tahun 2015 diterbitkan setelah Pemohon Banding mendapatkan Tax Amnesty, sehingga seharusnya PPN dan bunga atas PPN tidak diterapkan pada SPP tersebut, dan perlu dilakukan koreksi. Pemohon Banding berpendapat bahwa PPN beserta bunganya pada SPP tersebut adalah produk hukum yang juga mendapatkan fasilitas Tax Amnesty;
8. bahwa surat Direktur Jenderal Pajak No. S-109/PJ/2017 tanggal April 2017 tentang Penegasan Penagihan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) oleh DJBC, Pemohon Banding menganggap surat Dirjen Pajak tersebut tidak sesuai dengan maksud dan semangat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, karena SPP (Surat Penetapan Pabean) pada hakekatnya adalah bentuk ketetapan pajak dengan subyek/obyek PPN, PPh sesuai dengan yang diungkapkan dalam Bab III Undang-Undang Pengampunan Pajak;
bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, menyatakan:


Pasal 11

(1) Terutangnya pajak terjadi pada saat:
a. penyerahan Barang Kena Pajak;
b. impor Barang Kena Pajak;
c. penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
e. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean;
f. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
g. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
h. ekspor Jasa Kena Pajak.

Penjelasan Pasal 11 ayat (1)


Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual, artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima atau pada saat impor Barang Kena Pajak. Saat terutangnya pajak untuk transaksi yang dilakukan melalui electronic commerce tunduk pada ketentuan ini.


Pasal 12

(3) Dalam hal impor, terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

bahwa berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf b dan Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, terutangnya pajak terjadi pada saat impor Barang Kena Pajak, dan terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan dan dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;


bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memungut Pajak Pertambahan Nilai atas Barang Kena Pajak yang berasal dari impor, berdasarkan ketentuan tatalaksana kepabeanan di bidang impor sesuai peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan;

bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, menyatakan:

Pasal 1 Angka 1

“Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini”.

Pasal 5 ayat (2)

“Dasar pengenaan Uang Tebusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan nilai Harta bersih yang belum atau belum seluruhnya dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir”.

Penjelasan Pasal 5 ayat (2)

“Pada prinsipnya Pengampunan Pajak diberikan atas kewajiban perpajakan yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak, yang terepresentasi dalam Harta yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir. Besarnya dasar pengenaan Uang Tebusan adalah Harta tambahan yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir dikurangi dengan Utang yang terkait dengan perolehan Harta tambahan tersebut”.

bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, menyatakan:

Pasal 1 Angka 2

“Pengampunan Pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya terutang, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan cara mengungkap Harta dan membayar Uang Tebusan sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pengampunan Pajak”.


Pasal 3

(1) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diberikan kepada Wajib Pajak melalui pengungkapan Harta yang dimilikinya dalam Surat Pernyataan.
(2) Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pengampunan atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh Wajib Pajak.
(3) Kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdiri atas kewajiban:
a. Pajak Penghasilan; dan
b. Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Pasal 23

(1) Wajib Pajak yang telah diterbitkan Surat Keterangan memperoleh fasilitas Pengampunan Pajak berupa:

a. penghapusan pajak terutang yang belum diterbitkan ketetapan pajak, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan, dan tidak dikenai sanksi pidana di bidang perpajakan, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak, sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir;
b. penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga, atau denda, untuk kewajiban perpajakan dalam masa pajak, bagian Tahun Pajak, dan Tahun Pajak,sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir,

yang berkaitan dengan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3).
bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pengampunan pajak adalah penghapusan pajak baik Pajak Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang seharusnya terutang atas harta yang diungkapkan yang belum pernah dilaporkan dalam SPT PPh Terakhir, tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan, dengan membayar Uang Tebusan atas harta yang diungkapkan sesuai ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pengampunan Pajak;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas surat Direktur Jenderal Pajak yang diserahkan oleh Terbanding dalam persidangan Nomor S-109/PJ/2017 tanggal 06 April 2017 tentang Penegasan Penagihan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) oleh DJBC Terhadap Wajib Pajak/Auditee yang Mengajukan Pengampunan Pajak, pada butir 3 antara lain dikemukakan sebagai berikut:

a. bahwa PDRI berupa PPh, PPN Barang dan Jasa, dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang terutang untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan akhir Tahun Pajak Terakhir, merupakan objek Pengampunan Pajak apabila Wajib Pajak menggunakan haknya untuk mengikuti program Pengampunan Pajak dengan cara mengungkapkan Harta, membayar Uang Tebusan dan menyampaikan Surat Pernyataan berikut lampiran yang dipersyarakatkan secara lengkap;
b. bahwa dalam hal Wajib Pajak memiliki Tunggakan Pajak yang termuat dalam suatu tagihan/ketetapan/keputusan/putusan, Wajib Pajak terlebih dahulu harus melunasi seluruh Tunggakan Pajak tersebut apabila Wajib Pajak berkehendak untuk menggunakan haknya mengikuti program Pengampunan Pajak;
c. bahwa tidak termasuk dalam pengertian tagihan/ketetapan/keputusan/putusan yang memuat Tunggakan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b, yaitu surat penetapan yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang dalam kaitannya dengan penetapan atau penetapan kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean;
bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis, Pemohon Banding merupakan perusahaan penerima fasilitas pembebasan bea masuk dalam rangka Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor: KM-000026/WBC.09/2015 tentang Penetapan Sebagai Perusahaan Penerima Fasilitas Pembebasan Bea Masuk dan/atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang tidak dipungut atas Impor Barang dan Bahan untuk Diolah, Dirakit, atau Dipasang pada Barang Lain Dengan Tujuan untuk Diekspor Kepada PT Jansen Indonesia;

bahwa Pemohon Banding dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015 telah mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan/atau pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah terutang tidak dipungut atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 juncto Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan Untuk Diolah, Dirakit, Atau Dipasang Pada Barang Lain Dengan Tujuan Untuk Diekspor sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 tanggal 06 Desember 2013;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015, Pemohon Banding telah mengimpor barang dengan Fasilitas KITE Pembebasan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015, dengan Bea Masuk dibebaskan sebesar Rp 5.015.000,00 dan PPN ditangguhkan Rp5.516.000,00, dengan demikian Majelis berpendapat bahwa bea masuk dan PPN yang terutang pada saat impor telah mendapat pembebasan dan penangguhan sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas SPP Nomor: SPP-000148/WBC.09/PIB/2017 tanggal 20 April 2017 diterbitkan atas PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015 berdasarkan Pasal 17 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 tanggal 06 Desember 2013, karena sampai dengan jatuh tempo waktu pelaporan Pemohon Banding tidak menyerahkan laporan pertanggungjawaban ekspor (BCL.KT-01) kepada Kepala Kantor Wilayah, sehingga atas impor Pemohon Banding tidak diberikan pembebasan bea masuk dan penangguhan pajak pertambahan nilai sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015;

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa barang impor dengan PIB Nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015 yang mendapat fasilitas KITE Pembebasan atau fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak pertambahan nilai terutang tidak dipungut atas impor barang dan bahan untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor, sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015 tidak termasuk pengampunan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis dalam persidangan, Pemohon Banding menyatakan telah mengekspor barang jadi berupa Wooden Furniture yang berasal dari bahan baku impor dengan mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, masih dalam jangka waktu 12 bulan dihitung dari tanggal pendaftaran PIB nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015, dengan 32 (tiga puluh dua) PEB;

bahwa berdasarkan pemeriksaan Majelis atas dokumen pendukung realisasi ekspor Pemohon Banding yang meliputi 32 (tiga puluh dua) PEB dengan dokumen pelengkap pabean, antara lain invoice, packing list, Bill of Lading, Nota Pelayanan Ekspor (NPE), Laporan Pemeriksan Ekspor (LPE) dan dokumen transaksi Pemohon Banding, Majelis berpendapat bahwa Pemohon Banding telah melakukan realisasi ekspor dengan 32 (tiga puluh dua) PEB atas barang jadi berupa Wooden Furniture yang berasal dari bahan baku impor dengan mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, masih dalam jangka waktu 12 bulan dihitung dari tanggal pendaftaran PIB nomor 050713 tanggal 10 Desember 2015;

bahwa berdasarkan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, menyatakan :

“Orang yang tidak memenuhi ketentuan pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan menurut Undang-Undang ini wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar”;

bahwa Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, menyatakan:

“Yang dimaksud dengan tidak memenuhi ketentuan antara lain digunakan tidak sesuai dengan tujuan dan persyaratan yang ditetapkan, seperti fasilitas keringanan bea masuk atas impor barang untuk keperluan olahraga tetapi pada kenyataannya diperjualbelikan”;

bahwa berdasarkan Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dapat diartikan bahwa Orang yang menyalahgunakan tujuan pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri, wajib membayar bea masuk yang terutang dan dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar paling sedikit 100% (seratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar dan paling banyak 500% (lima ratus persen) dari bea masuk yang seharusnya dibayar;

bahwa dengan demikian Majelis berpendapat bahwa Orang yang tidak menyalahgunakan tujuan pemberian pembebasan atau keringanan bea masuk yang ditetapkan berdasarkan peraturan Menteri, tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006;

bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas, Majelis berpendapat bahwa Pemohon Banding tidak menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Ekspor BCLKT-01 dalam jangka waktu periode pelaporan, sehingga tidak diberikan pembebasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (16) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/PMK.04/2013 tanggal 06 Desember 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.04/2011 tanggal 28 Desember 2011, dan Pemohon Banding telah melakukan realisasi ekspor dengan 13 (tiga belas) PEB atas barang Wooden Furniture yang berasal dari bahan baku impor dengan mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dengan PIB Nomor 051761 tanggal 15 Desember 2015 sesuai dengan tujuan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor KM-000060/WBC.09/2015 tanggal 13 November 2015, sehingga tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006;
Menimbang:
bahwa berdasarkan uraian di atas, penjelasan Pemohon Banding dan Terbanding dalam persidangan dan data yang ada dalam berkas banding, Majelis berkesimpulan untuk mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding, dengan menetapkan jumlah bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar sesuai Keputusan Terbanding Nomor: KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017 dan tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, sehingga bea masuk, pajak dalam rangka impor dan denda yang masih harus dibayar dihitung kembali menjadi sebesar Rp 12.406.000,00, dengan rincian sebagai berikut:
Uraian Menurut Terbanding Menurut Majelis
Bea Masuk Rp 5.015.000,00 Rp 5.015.000,00
PPN Rp 5.516.000,00 Rp 5.516.000,00
Denda Rp 25.075.000,00 Rp 0
Bunga PPN Rp 1.875.000,00 Rp 1.875.000,00
Jumlah Rp 37.481.000,00 Rp 12.406.000,00

Mengingat:
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan sengketa ini;

Memutuskan:
Mengabulkan sebagian banding Pemohon Banding terhadap Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017 tentang Penetapan atas Keberatan terhadap SPP Nomor: SPP-000148/WBC.09/PIB/2017 tanggal 20 April 2017, atas nama Pemohon Banding dengan menetapkan jumlah bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai yang masih harus dibayar sesuai Keputusan Terbanding Nomor: KEP-153/BC.06/2017 tanggal 10 Agustus 2017 dan tidak dikenai sanksi administrasi berupa denda sesuai Penjelasan Pasal 26 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006, sehingga jumlah bea masuk, pajak dalam rangka impor dan denda yang masih harus dibayar sebesar Rp 12.406.000,00 (dua belas juta empat ratus enam ribu rupiah);
Demikian diputus di Jakarta pada hari Senin, tanggal 09 April 2018, berdasarkan Musyawarah Hakim Majelis XIXA Pengadilan Pajak, dengan susunan Majelis dan Panitera Pengganti sebagai berikut:

UP, S.Sos., M.H. sebagai Hakim Ketua
Dr. BS, S.H., M.M. sebagai Hakim Anggota,
HF, S.H., LL.M. sebagai Hakim Anggota,

dengan dibantu oleh:

LI, S.E., M.M. sebagai Panitera Pengganti

Putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum oleh Hakim Ketua pada hari Senin tanggal 14 Mei 2018, dengan dihadiri oleh para Hakim Anggota, Panitera Pengganti, tidak dihadiri oleh Pemohon Banding dan Terbanding.

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA