Peraturan Menteri Perdagangan Nomor : 26 Tahun 2024

Kategori : Lainnya

Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit


PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2024

TENTANG

KETENTUAN EKSPOR PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
  1. bahwa untuk efektivitas ketersediaan minyak goreng rakyat agar mudah diperoleh masyarakat sebagai salah satu barang kebutuhan pokok untuk seluruh masyarakat Indonesia, mendorong pertumbuhan ekonomi nasional khususnya sektor perkebunan dan perindustrian, dan optimalisasi kebijakan ekspor produk turunan kelapa sawit, perlu mengatur kembali ekspor produk turunan kelapa sawit berupa crude palm oil, refined, bleached, and deodorized palm oil, refined, bleached, and deodorized palm olein, dan used cooking oil;
  2. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, selain mengatur kembali ekspor produk turunan kelapa sawit berupa crude palm oil, refined, bleached, and deodorized palm oil, refined, bleached, and deodorized palm olein, dan used cooking oil, perlu juga diatur ekspor produk turunan kelapa sawit lainnya;
  3. bahwa Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebijakan dan kebutuhan hukum, sehingga perlu diganti;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit;

Mengingat :
  1. Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan  Dunia)  (Lembaran  Negara  Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);
  3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);
  5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512);
  6. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856);
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2008 tentang Pengenaan Bea Keluar Terhadap Barang Ekspor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4886);
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4998) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 279, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5768);
  9. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5697);
  10. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6641);
  11. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6652);
  12. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6653);
  13. Peraturan Presiden Nomor 11 Tahun 2022 tentang Kementerian Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 19);
  14. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 29 Tahun 2022 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 492);

MEMUTUSKAN:


Menetapkan :    

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN EKSPOR PRODUK TURUNAN KELAPA SAWIT.


Pasal 1


Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
  1. Barang adalah setiap benda, baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, baik dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, dan dapat diperdagangkan, dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha.
  2. Produk Turunan Kelapa Sawit adalah produk hasil pengolahan buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis).
  3. Crude Palm Oil yang selanjutnya disingkat CPO adalah kelompok produk turunan kelapa sawit dengan pos tarif 1511.10.00 yang terdiri dari produk minyak sawit mentah/crude palm oil, minyak daging buah kelapa sawit/palm mesocarp oil, minyak sawit merah/red palm oil, degummed palm mesocarp oil, dan minyak sawit rendah asam lemak bebas/low free fatty acid crude palm oil.
  4. Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil yang selanjutnya disingkat RBDPO adalah kelompok produk turunan kelapa sawit dengan pos tarif ex 1511.90.20 yang terdiri dari produk refined, bleached, and deodorized palm oil, dan inedible refined bleached deodorized palm oil.
  5. Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein yang selanjutnya disingkat RBDPL adalah kelompok produk turunan kelapa sawit dengan pos tarif ex 1511.90.36, ex 1511.90.37, dan ex 1511.90.39, yang terdiri dari produk refined, bleached, and deodorized palm olein, super olein, dan minyak goreng kemasan.
  6. Used Cooking Oil yang selanjutnya disingkat UCO adalah kelompok produk turunan kelapa sawit dengan pos tarif ex  1518.00.14,  ex  1518.00.19,  ex  1518.00.32,  ex 1518.00.38, ex 1518.00.60, dan ex 1518.00.90, yang terdiri dari produk minyak jelantah/used cooking oil.
  7. Residu produk turunan kelapa sawit yang selanjutnya disebut Residu adalah kelompok produk turunan kelapa sawit dengan pos tarif ex 2306.60.90 dan ex 2306.90.90, yang terdiri dari produk palm oil mill effluent oil, high acid palm oil residue, dan minyak tandan kosong kelapa sawit/empty fruit bunch oil.
  8. Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan Barang dari daerah pabean.
  9. Eksportir adalah orang perseorangan, lembaga atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum, yang melakukan Ekspor.
  10. Perizinan Berusaha adalah legalitas yang diberikan kepada pelaku usaha untuk memulai dan menjalankan usaha dan/atau kegiatannya.
  11. Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi pelaku usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
  12. Persetujuan Ekspor adalah Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa persetujuan dari Menteri untuk melakukan Ekspor.
  13. Pemberitahuan Pabean Ekspor adalah pernyataan yang dibuat oleh pelaku usaha dalam rangka melaksanakan kewajiban pabean Ekspor dalam bentuk dan syarat yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.
  14. Minyak Goreng Rakyat yang selanjutnya disingkat MGR adalah minyak goreng yang digunakan dalam Program MGR yang dijual dengan harga di bawah atau sama dengan harga eceran tertinggi yang ditetapkan.
  15. Program Minyak Goreng Rakyat yang selanjutnya disebut Program MGR adalah program pemerintah dalam rangka penyediaan minyak goreng kepada masyarakat, yang diperoleh dari program pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) minyak goreng.
  16. MINYAKITA adalah merek dagang untuk minyak goreng yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan yang telah terdaftar di kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.
  17. Produsen Minyak Goreng adalah perusahaan industri yang memproduksi minyak goreng, dengan proses fraksinasi, dengan atau tanpa pencampuran vitamin A dan/atau provitamin A.
  18. SIMIRAH adalah tatanan prosedur dan mekanisme kerja yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Industri Nasional yang digunakan untuk penyampaian dan penyajian data dan/atau informasi MGR.
  19. Badan Usaha Milik Negara di Bidang Pangan yang selanjutnya disebut BUMN Pangan adalah Badan Usaha Milik Negara yang bergerak atau berusaha di bidang pangan baik produksi, distribusi, pemasaran, atau lainnya yang memperoleh MGR dari Produsen Minyak Goreng dan terdaftar pada SIMIRAH.
  20. Hak Ekspor adalah hak yang dimiliki pelaku usaha yang menjadi dasar permohonan Persetujuan Ekspor.
  21. Program Percepatan Penyaluran CPO, RBDPO, RBDPL, UCO, dan Residu melalui Ekspor yang selanjutnya disebut Program Percepatan adalah program yang diselenggarakan oleh Pemerintah dalam rangka menjaga stabilitas produksi dan harga tandan buah segar kelapa sawit tingkat pekebun dan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional khususnya sektor perkebunan dan industri.
  22. Sistem Indonesia National Single Window yang selanjutnya disingkat SINSW adalah sistem elektronik yang mengintegrasikan sistem dan/atau informasi berkaitan dengan proses penanganan dokumen kepabeanan, dokumen kekarantinaan, dokumen perizinan, dokumen kepelabuhanan/kebandarudaraan, dan dokumen lain, yang terkait dengan Ekspor dan/atau impor, yang menjamin keamanan data dan informasi serta memadukan alur dan proses informasi antar sistem internal secara otomatis.
  23. Sistem INATRADE adalah sistem pelayanan terpadu perdagangan pada Kementerian Perdagangan yang dilakukan secara daring melalui portal http://inatrade.kemendag.go.id.
  24. Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik (Online Single Submission) yang selanjutnya disebut Sistem OSS adalah sistem elektronik terintegrasi yang dikelola dan diselenggarakan oleh Lembaga OSS untuk penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko.
  25. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang Kepabeanan.
  26. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disingkat KPBPB adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai.
  27. Kawasan Ekonomi Khusus yang selanjutnya disingkat KEK adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.
  28. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan bea masuk.
  29. Kementerian Perdagangan yang selanjutnya disebut Kementerian adalah Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
  30. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.
  31. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.

Pasal 2


(1) Produk Turunan Kelapa Sawit yang diatur dalam Peraturan Menteri ini berupa CPO, RBDPO, RBDPL, UCO, dan Residu.
(2) Spesifikasi teknis Produk Turunan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perindustrian.
(3) Produk Turunan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 3


Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit diberlakukan terhadap:
  1. pengeluaran Produk Turunan Kelapa Sawit dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean;
  2. pengeluaran Produk Turunan Kelapa Sawit dari KPBPB untuk tujuan ke luar Daerah Pabean;
  3. pengeluaran Produk Turunan Kelapa Sawit dari KEK untuk tujuan ke luar Daerah Pabean; dan
  4. pengeluaran Produk Turunan Kelapa Sawit dari Tempat Penimbunan Berikat ke luar Daerah Pabean.

Pasal 4


(1) Eksportir wajib memiliki NIB.
(2) Terhadap kegiatan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit, Eksportir wajib memiliki Perizinan Berusaha di bidang Ekspor dari Menteri berupa Persetujuan Ekspor.
(3) Penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(4) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri atas:
a. Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR;
b. Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR;
c. Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR;
d. Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR;
e. Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR; dan
f. Persetujuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit untuk Program Percepatan.
(5) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang telah diterbitkan digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean yang diwajibkan dalam penyampaian Pemberitahuan Pabean Ekspor kepada kantor pabean.
(6) Eksportir dapat memiliki 1 (satu) atau lebih Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
(7) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Ekspor.
(8) Untuk 1 (satu) Pemberitahuan Pabean Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat menggunakan lebih dari 1 (satu) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4).


Pasal 5


(1) Penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) didasarkan pada Hak Ekspor.
(2) Hak Ekspor yang digunakan sebagai dasar penerbitan:
a. Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf c berasal dari Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR; dan
b. Persetujuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit untuk Program Percepatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf f berasal dari Hak Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit untuk Program Percepatan.
(3) Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dapat dimiliki oleh Eksportir berdasarkan:
a. pengakuan terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) minyak goreng kemasan merek MINYAKITA yang dilaporkan melalui SIMIRAH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau
b. pengakuan terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) minyak goreng kemasan merek MINYAKITA yang dilaporkan melalui SIMIRAH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang didahului dengan kerja sama Produsen Minyak Goreng dan Eksportir.
(4) Pengakuan terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) minyak goreng kemasan merek MINYAKITA sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikirimkan dari SIMIRAH ke sistem informasi Kementerian Perdagangan (sistem informasi sarana perdagangan).
(5) Data pengakuan terhadap pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) minyak goreng kemasan merek MINYAKITA sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diolah oleh sistem informasi Kementerian Perdagangan (sistem informasi sarana perdagangan) menjadi basis Hak Ekspor dengan mempertimbangkan:
a. rasio pengali kemasan;
b. pengali regional; dan/atau
c. insentif tambahan BUMN Pangan.
(6) Data basis Hak Ekspor yang telah diolah oleh sistem informasi Kementerian Perdagangan (sistem informasi sarana perdagangan) sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikirim ke SINSW sebagai dasar perhitungan Hak Ekspor dengan mempertimbangkan pengali Ekspor.
(7) Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat dimiliki oleh Eksportir berdasarkan partisipasi dalam rangka Program Percepatan.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan Hak Ekspor Program Percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diatur dengan Peraturan Menteri.

   

Pasal 6


(1) Hak Ekspor dapat dibekukan dan/atau diaktifkan kembali.
(2) Pembekuan dan/atau pengaktifan kembali Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan hasil keputusan rapat koordinasi tingkat menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait.
(3) Rapat koordinasi tingkat menteri dan kepala lembaga pemerintah nonkementerian terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipimpin oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan yang menangani Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit.
(4) Hasil keputusan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Lembaga National Single Window untuk dilakukan pembekuan dan/atau pengaktifan kembali Hak Ekspor.
(5) Lembaga National Single Window melakukan pembekuan dan/atau pengaktifan kembali Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) melalui SINSW.


Pasal 7


(1) Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dapat dialihkan kepada pihak lain.
(2) Pemilik Hak Ekspor hanya dapat melakukan pengalihan Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) secara elektronik melalui SINSW.
(3) Pengalihan Hak Ekspor secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan secara otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Pemilik Hak Ekspor yang melakukan pengalihan Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mengisi data dan/atau informasi pada SINSW paling sedikit mengenai:
a. nama penerima Hak Ekspor yang akan dialihkan;
b. NIB penerima Hak Ekspor yang akan dialihkan;
c. jumlah Hak Ekspor yang dialihkan;
d. nilai transaksi dengan memperhitungkan pajak dari pengalihan Hak Ekspor;
e. nomor kontrak kerja sama pengalihan Hak Ekspor; dan
f. tanggal kontrak kerja sama pengalihan Hak Ekspor.
(5) Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dialihkan 1 (satu) kali.
(6) Pemilik Hak Ekspor menyampaikan komitmen secara elektronik melalui SINSW bahwa Hak Ekspor yang dialihkan bukan berasal dari hasil pengalihan Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(7) Pemilik Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab atas kebenaran dan kesesuaian:
a. data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diisi oleh pemilik Hak Ekspor dalam pengalihan Hak Ekspor; dan
b. data dan/atau informasi yang tersedia secara elektronik dalam pengalihan Hak Ekspor,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran data dan/atau informasi, secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengalihan Hak Ekspor.
(8) Hasil pengalihan Hak Ekspor menjadi referensi pada SINSW dalam validasi pengajuan Persetujuan Ekspor dan disampaikan secara elektronik kepada:
a. pemilik Hak Ekspor yang dialihkan; dan
b. penerima pengalihan Hak Ekspor.
(9) Kementerian dapat menarik data pengalihan Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara elektronik melalui SINSW.
(10) Hak Ekspor yang telah dialihkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dijadikan sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor.
(11) Dalam hal pengalihan Hak Ekspor belum dapat dilaksanakan secara elektronik dan otomatis melalui SINSW, pengalihan Hak Ekspor masih dapat dilakukan secara elektronik melalui SINSW.
(12) Pemilik Hak Ekspor dapat mengajukan permohonan pengalihan Hak Ekspor secara elektronik melalui SINSW sebagaimana dimaksud pada ayat (11) kepada Direktur Jenderal dengan mengunggah persyaratan berupa hasil pindai dokumen asli kontrak kerja sama.
(13) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (12), Direktur Jenderal menyampaikan hasil keputusan pengalihan Hak Ekspor secara tertulis melalui media elektronik kepada Lembaga National Single Window untuk menjadi referensi pada SINSW dalam validasi pengajuan Persetujuan Ekspor dengan tembusan kepada:
a. pemohon pengalihan Hak Ekspor; dan
b. penerima pengalihan Hak Ekspor.


Pasal 8


(1) Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan/atau Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR hasil pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan  ayat (13) dapat dikonversi.
(2) Pemilik Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a dan/atau Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR hasil pengalihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dan ayat (13) dapat melakukan konversi Hak Ekspor menjadi:
a. Hak Ekspor CPO untuk Program MGR;
b. Hak Ekspor RBDPO untuk Program MGR;
c. Hak Ekspor UCO untuk Program MGR; dan/atau
d. Hak Ekspor Residu untuk Program MGR.
(3) Pemilik Hak Ekspor hanya dapat melakukan konversi Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) secara elektronik dan otomatis melalui SINSW.
(4) Pemilik Hak Ekspor yang melakukan konversi Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mengisi data dan/atau informasi pada SINSW paling sedikit mengenai:
a. jumlah Hak Ekspor yang akan dikonversi; dan
b. jenis Hak Ekspor tujuan konversi.
(5) Pemilik Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertanggung jawab atas kebenaran:
a. data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) yang diisi oleh pemilik Hak Ekspor dalam konversi Hak Ekspor; dan
b. data dan/atau informasi yang tersedia secara elektronik dalam konversi Hak Ekspor,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran data dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan konversi Hak Ekspor.
(6) Kementerian dapat menarik data konversi Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (4) secara elektronik melalui SINSW.
(7) Hak Ekspor hasil konversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor dengan ketentuan:
a. Hak Ekspor CPO untuk Program MGR hasil konversi digunakan sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a;
b. Hak Ekspor RBDPO untuk Program MGR hasil konversi digunakan sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b;
c. Hak Ekspor UCO untuk Program MGR hasil konversi digunakan sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d; atau
d. Hak Ekspor Residu untuk Program MGR hasil konversi digunakan sebagai dasar penerbitan Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf e
(8) Dalam hal konversi Hak Ekspor belum dapat dilaksanakan secara elektronik dan otomatis melalui SINSW, konversi Hak Ekspor masih dapat dilakukan secara elektronik.
(9) Pemilik Hak Ekspor dapat mengajukan permohonan konversi Hak Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (8) secara elektronik melalui SINSW kepada Direktur Jenderal dengan mengisi data secara elektronik.
(10) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (9), Direktur Jenderal menyampaikan hasil keputusan konversi Hak Ekspor secara tertulis melalui media elektronik kepada Lembaga National Single Window untuk menjadi referensi pada SINSW dalam validasi pengajuan Persetujuan Ekspor dengan tembusan kepada pemilik Hak Ekspor.


Pasal 9


(1) Pelaksanaan Ekspor yang dilakukan oleh Eksportir yang telah mendapatkan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e dikenakan:
a. bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Barang Ekspor yang dikenakan bea keluar; dan
b. tarif layanan badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Barang yang dikenakan tarif layanan badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
(2) Pelaksanaan Ekspor yang dilakukan oleh Eksportir yang telah mendapatkan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf f dikenakan:
a. bea keluar dalam rangka Program Percepatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Barang Ekspor yang dikenakan bea keluar; dan
b. tarif layanan badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Barang yang dikenakan tarif layanan badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.


Pasal 10


(1) Setiap penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) harus dilakukan konfirmasi status wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Konfirmasi status wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memperoleh keterangan status wajib pajak.
(3) Keterangan status wajib pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat status valid digunakan sebagai salah satu persyaratan pemberian Persetujuan Ekspor.


Pasal 11


(1) Untuk memperoleh Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf f, Eksportir harus mengajukan permohonan lengkap secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(2) Dalam hal permohonan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Untuk mengajukan permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus memiliki hak akses.
(4) Hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperoleh dengan melakukan registrasi melalui SINSW dan mengunggah hasil pindai dokumen asli:
a. untuk Eksportir yang merupakan orang perseorangan, paling sedikit berupa nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan;
b. untuk Eksportir yang merupakan badan usaha milik negara dan yayasan, paling sedikit berupa nomor pokok wajib pajak;
c. untuk Eksportir yang merupakan koperasi dan badan usaha, paling sedikit berupa NIB dan nomor pokok wajib pajak; atau
d. untuk Eksportir yang tidak dapat mendapatkan NIB, paling sedikit berupa nomor pokok wajib pajak.
(5) Dalam hal dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (4) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Eksportir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(6) Eksportir bertanggung jawab atas kebenaran:
a. elemen data yang diisi dalam pengajuan permohonan Persetujuan Ekspor; dan
b. data dan/atau informasi yang tersedia secara elektronik dalam pengajuan permohonan Persetujuan Ekspor,
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen data dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan Persetujuan Ekspor.


Pasal 12


(1) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e diterbitkan secara otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan mencantumkan kode quick response (QR), berdasarkan Hak Ekspor yang telah tersedia secara elektronik pada SINSW.
(2) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nomor Persetujuan Ekspor dan tanggal terbit;
b. NIB dan identitas Eksportir;
c. pos tarif/harmonized system;
d. jenis/uraian Barang;
e. jumlah Barang dan satuan Barang;
f. pelabuhan muat Ekspor;
g. negara tujuan; dan
h. masa berlaku berupa tanggal awal dan tanggal akhir.
(3) Identitas Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nama Eksportir; dan
b. alamat Eksportir.
(4) Masa berlaku Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.
(5) Dalam hal Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terealisasi seluruh ekspornya, jumlah Barang yang belum terealisasi ekspornya tidak dapat dikembalikan menjadi Hak Ekspor.
(6) Terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan penelitian elemen data dan/atau keterangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara Persetujuan Ekspor dengan dokumen Pemberitahuan Pabean Ekspor paling sedikit mengenai:
a. nomor Persetujuan Ekspor dan tanggal terbit;
b. pos tarif/harmonized system;
c. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
d. pelabuhan muat Ekspor.
(7) Terhadap elemen data masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean Ekspor, Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih berlaku.
(8) Selain penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7), terhadap elemen data dan/atau keterangan berupa jenis/uraian Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(9) Selain elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sampai dengan ayat (8) dilakukan penelitian atas nomor pokok wajib pajak Eksportir berdasarkan data dan/atau keterangan yang telah tersedia secara elektronik di SINSW yang berasal dari Sistem OSS.


Pasal 13


(1) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf f diterbitkan secara otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan mencantumkan kode quick response (QR) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nomor Persetujuan Ekspor dan tanggal terbit;
b. NIB dan identitas Eksportir;
c. pos tarif/harmonized system;
d. jenis/uraian Barang;
e. jumlah Barang dan satuan Barang;
f. pelabuhan muat Ekspor;
g. negara tujuan; dan
h. masa berlaku berupa tanggal awal dan tanggal akhir.
(3) Identitas Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nama Eksportir; dan
b. alamat Eksportir.
(4) Terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan penelitian elemen data dan/atau keterangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara Persetujuan Ekspor dengan dokumen Pemberitahuan Pabean Ekspor paling sedikit mengenai:
a. nomor Persetujuan Ekspor dan tanggal terbit;
b. pos tarif/harmonized system;
c. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
d. pelabuhan muat Ekspor.
(5) Terhadap elemen data masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean Ekspor, Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih berlaku.
(6) Selain penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5), terhadap elemen data dan/atau keterangan berupa jenis/uraian Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Selain elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) sampai dengan ayat (6) dilakukan penelitian atas nomor pokok wajib pajak Eksportir berdasarkan data dan/atau keterangan yang telah tersedia secara elektronik di SINSW yang berasal dari Sistem OSS.
(8) Masa berlaku Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri.
   

Pasal 14


(1) Penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf f dilakukan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri berdasarkan neraca komoditas.
(2) Pemanfaatan neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal neraca komoditas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum ditetapkan, penerbitan Persetujuan Ekspor oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri ini.
  

Pasal 15


(1) Apabila terdapat perubahan data pada:
a. Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR, Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR, Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR, Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR, dan Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf a sampai dengan huruf e; dan/atau
b. Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf f,
Eksportir wajib mengajukan permohonan perubahan Persetujuan Ekspor paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal perubahan data.
(2) Data pada Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR, Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR, dan Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan Persetujuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit untuk Program Percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berupa:
a. identitas Eksportir;
b. pos tarif/harmonized system;
c. jenis/uraian Barang;
d. jumlah Barang;
e. pelabuhan muat Ekspor; dan/atau
f. negara tujuan.
(3) Data pada Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR dan Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a berupa:
a. identitas Eksportir;
b. jenis/uraian Barang;
c. jumlah Barang;
d. pelabuhan muat Ekspor; dan/atau
e. negara tujuan.
(4) Identitas Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a memuat elemen data dan/atau keterangan mengenai:
a. nama Eksportir; dan
b. alamat Eksportir.
(5) Dalam hal perubahan Persetujuan Ekspor untuk elemen data jumlah Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d atau ayat (3) huruf c, berupa penambahan jumlah Barang, dapat dilakukan:
a. untuk Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR, sepanjang tidak melebihi Hak Ekspor CPO untuk Program MGR yang tersedia;
b. untuk Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR, sepanjang tidak melebihi Hak Ekspor RBDPO untuk Program MGR yang tersedia;
c. untuk Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR, sepanjang tidak melebihi Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR yang tersedia;
d. untuk Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR, sepanjang tidak melebihi Hak Ekspor UCO untuk Program MGR yang tersedia; atau
e. untuk Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR, sepanjang tidak melebihi Hak Ekspor Residu untuk Program MGR yang tersedia.
(6) Dalam hal perubahan Persetujuan Ekspor untuk elemen data jumlah Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d atau ayat (3) huruf c, berupa pengurangan jumlah Barang, maka:
a. selisih jumlah Barang dalam Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR dikembalikan ke Hak Ekspor CPO untuk Program MGR;
b. selisih jumlah Barang dalam Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR dikembalikan ke Hak Ekspor RBDPO untuk Program MGR;
c. selisih jumlah Barang dalam Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR dikembalikan ke Hak Ekspor RBDPL untuk Program MGR;
d. selisih jumlah Barang dalam Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR dikembalikan ke Hak Ekspor UCO untuk Program MGR; atau
e. selisih jumlah Barang dalam Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR dikembalikan ke Hak Ekspor Residu untuk Program MGR.
(7) Permohonan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW dengan mengisi data secara elektronik dan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan perubahan berupa:
a. Persetujuan Ekspor yang masih berlaku; dan
b. surat pernyataan mandiri bermeterai terkait elemen data yang mengalami perubahan.
(8) Dalam hal permohonan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(9) Dalam hal dokumen persyaratan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (7) telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Eksportir tidak mengunggah dokumen persyaratan ke SINSW.
(10) Eksportir bertanggung jawab atas kebenaran dan kesesuaian dokumen persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan perubahan Persetujuan Ekspor.


Pasal 16


(1) Apabila permohonan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan perubahan Persetujuan Ekspor melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan menggunakan tanda tangan elektronik (digital signature), dan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap sesuai dengan persyaratan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perubahan Persetujuan Ekspor.
(2) Apabila permohonan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, namun perubahan Persetujuan Ekspor belum diterbitkan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan penerbitan Persetujuan Ekspor secara elektronik dan otomatis melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(3) Apabila permohonan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik melalui SINSW paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perubahan Persetujuan Ekspor.
(4) Masa berlaku perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan sisa masa berlaku Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (4) atau Pasal 13 ayat (8).
  

Pasal 17


(1) Dalam hal:
a. perlu dilakukan verifikasi dalam proses perubahan Persetujuan Ekspor; atau
b. terjadi gangguan yang menyebabkan SINSW dan/atau Sistem INATRADE tidak berfungsi,
proses penerbitan perubahan Persetujuan Ekspor dihentikan sementara.
(2) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan oleh tim teknis perdagangan yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat dilakukan dalam hal:
a. pemohon perubahan Persetujuan Ekspor belum pernah melakukan Ekspor;
b. diperlukan pengecekan administrasi lebih lanjut ke kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait;
c. terdapat usulan atau rekomendasi pemeriksaan lebih lanjut dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait; dan/atau
d. terdapat kondisi khusus lainnya yang diperlukan dalam rangka penanganan pemenuhan atau pengendalian kebutuhan dan pasokan di dalam negeri.
(4) Petunjuk teknis mengenai mekanisme penghentian sementara dan mekanisme verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.


Pasal 18


(1) Dalam hal Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak dilakukan untuk kegiatan usaha, Eksportir dikecualikan dari pemenuhan NIB dan Persetujuan Ekspor.
(2) Pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit yang merupakan:
a. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, atau pelintas batas;
b. Barang pameran;
c. Barang contoh yang tidak untuk diperdagangkan;
d. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; dan/atau
e. Barang sebagai hibah, hadiah atau pemberian untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan, atau untuk kepentingan penanggulangan bencana alam.
(3) Terhadap pengecualian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b sampai dengan huruf e, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan surat keterangan.


Pasal 19


(1) Untuk memperoleh surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3), Eksportir harus mengajukan permohonan lengkap secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(2) Dalam hal permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap, permohonan tidak diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Untuk mengajukan permohonan secara elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir harus memiliki hak akses.
(4) Hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperoleh dengan melakukan registrasi melalui SINSW dan mengunggah hasil pindai dokumen asli:
a. untuk Eksportir yang merupakan orang perseorangan, paling sedikit berupa nomor pokok wajib pajak atau nomor induk kependudukan;
b. untuk Eksportir yang merupakan badan usaha milik negara dan yayasan, paling sedikit berupa nomor pokok wajib pajak;
c. untuk Eksportir yang merupakan koperasi dan badan usaha, paling sedikit berupa NIB dan nomor pokok wajib pajak; atau
d. Untuk Eksportir yang tidak dapat mendapatkan NIB, paling sedikit berupa nomor pokok wajib pajak.
(5) Dalam hal permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh warga negara asing yang merupakan pejabat pada badan internasional yang bertugas di Indonesia dan/atau pejabat pada kantor perwakilan negara asing di Indonesia, hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperoleh dengan melakukan registrasi melalui SINSW dan mengunggah hasil pindai dokumen asli paspor.
(6) Dalam hal permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemerintah untuk keperluan pemerintah sendiri atau hibah, hak akses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperoleh dengan melakukan registrasi melalui SINSW dan mengunggah hasil pindai dokumen asli nomor pokok wajib pajak bendahara satuan kerja.


Pasal 20


(1) Pengajuan permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 untuk Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b dilakukan dengan mengisi data secara elektronik dan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan berupa:
a. undangan pameran dan/atau konfirmasi keikutsertaan pameran; dan
b. surat pernyataan mandiri bermeterai yang menyatakan bahwa Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf b tidak untuk diperdagangkan, dan paling sedikit memuat informasi mengenai:
1. identitas Eksportir;
2. pos tarif/harmonized system;
3. jenis/uraian Barang;
4. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
5. tempat dan waktu pameran.
(2) Pengajuan permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) untuk Barang sebagaimana dimaksud Pasal 18 ayat (2) huruf c sampai dengan huruf e dilakukan dengan mengisi data secara elektronik dan mengunggah hasil pindai dokumen asli persyaratan berupa:
a. pertimbangan teknis dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian dan/atau dokumen pendukung lainnya, yang paling sedikit memuat informasi mengenai:
1. identitas Eksportir;
2. pos tarif/harmonized system;
3. jenis/uraian Barang;
4. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
5. negara tujuan; dan
b. surat pernyataan mandiri bermeterai yang menyatakan bahwa Barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (2) huruf c sampai dengan huruf e tidak untuk diperdagangkan, dan paling sedikit memuat informasi mengenai:
1. identitas Eksportir;
2. pos tarif/harmonized system;
3. jenis/uraian Barang;
4. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
5. negara tujuan.
(3) Dalam hal pertimbangan teknis dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait dan/atau dokumen pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a telah tersedia secara elektronik pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian yang telah terintegrasi dengan SINSW, Eksportir tidak perlu mengunggah pertimbangan teknis dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait dan/atau dokumen pendukung lainnya ke SINSW.
(4) Eksportir bertanggung jawab atas kebenaran dan kesesuaian:
a. dokumen persyaratan dalam pengajuan permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
b. data dan/atau informasi yang diisi oleh Eksportir dalam pengajuan permohonan surat keterangan; dan
c. data dan/atau informasi yang terkait pertimbangan teknis dan/atau dokumen pendukung lainnya yang tersedia secara elektronik dalam pengajuan permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
dengan memberikan persetujuan dalam bentuk pernyataan tanggung jawab atas kebenaran dokumen persyaratan, data, dan/atau informasi secara elektronik melalui SINSW pada saat melakukan pengajuan permohonan untuk mendapatkan surat keterangan.


Pasal 21


(1) Dalam hal permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan surat keterangan melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW dengan menggunakan tanda tangan elektronik (digital signature), dan mencantumkan kode quick response (QR), yang tidak memerlukan cap dan tanda tangan basah.
(2) Dalam hal permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dinyatakan tidak lengkap terkait dengan kesesuaian persyaratan, dilakukan penolakan secara elektronik.
(3) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nomor surat keterangan dan tanggal terbit;
b. identitas Eksportir;
c. pos tarif/harmonized system;
d. jenis/uraian Barang;
e. jumlah Barang dan satuan Barang; dan
f. negara tujuan.
(4) Identitas Eksportir sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat elemen data atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. nama Eksportir; dan
b. alamat Eksportir.
(5) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean yang diwajibkan dalam penyampaian Pemberitahuan Pabean Ekspor Barang.
(6) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku selama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan.
(7) Surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 1 (satu) kali penyampaian Pemberitahuan Pabean Ekspor Barang.
(8) Terhadap elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan penelitian elemen data dan/atau keterangan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, antara surat keterangan dengan dokumen Pemberitahuan Pabean Ekspor paling sedikit mengenai:
a. pos tarif/harmonized system; dan
b. jumlah Barang dan satuan Barang.
(9) Terhadap elemen data masa berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memastikan pada saat pengajuan Pemberitahuan Pabean Ekspor, surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) masih berlaku.
(10) Selain penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dan ayat (9), terhadap elemen data dan/atau keterangan berupa jenis/uraian Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d dilakukan penelitian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(11) Selain elemen data dan/atau keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) sampai dengan ayat (10), dilakukan penelitian atas nomor pokok wajib pajak Eksportir berdasarkan data dan/atau keterangan yang telah tersedia secara elektronik di SINSW yang berasal dari Sistem OSS.
(12) Pelaksanaan Ekspor yang dilakukan oleh Eksportir yang telah mendapatkan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan:
a. bea keluar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Barang Ekspor yang dikenakan bea keluar; dan
b. tarif layanan badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penetapan Barang yang dikenakan tarif layanan badan layanan umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.


Pasal 22


(1) Eksportir yang telah memiliki Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) wajib menyampaikan laporan realisasi Ekspor baik yang terealisasi maupun tidak terealisasi secara elektronik kepada Menteri.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Dalam hal Eksportir telah melakukan Ekspor dan telah menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir tidak perlu menyampaikan laporan realisasi pada bulan berikutnya.
(4) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. jenis/uraian Barang;
b. pos tarif/harmonized system;
c. jumlah Barang dan satuan Barang;
d. nilai Barang;
e. pelabuhan muat Ekspor;
f. negara tujuan; dan
g. nomor dan tanggal Pemberitahuan Pabean Ekspor Barang.


Pasal 23


(1) Eksportir yang telah memiliki surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) wajib menyampaikan laporan realisasi Ekspor baik yang terealisasi maupun tidak terealisasi secara elektronik kepada Menteri.
(2) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) pada bulan berikutnya melalui SINSW yang diteruskan ke Sistem INATRADE.
(3) Dalam hal Eksportir telah melakukan Ekspor dan telah menyampaikan laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Eksportir tidak perlu menyampaikan laporan realisasi pada bulan berikutnya.
(4) Laporan realisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat elemen data dan/atau keterangan paling sedikit mengenai:
a. jenis/uraian Barang;
b. pos tarif/harmonized system;
c. jumlah Barang dan satuan Barang;
d. pelabuhan muat Ekspor;
e. negara tujuan; dan
f. nomor dan tanggal Pemberitahuan Pabean Ekspor Barang.


Pasal 24


(1) Eksportir yang tidak melaksanakan kewajiban penyampaian  laporan  realisasi  Ekspor  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa peringatan.
(2) Apabila Eksportir yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyampaikan laporan realisasi Ekspor yang tidak terealisasi ekspornya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal peringatan dikenakan, Eksportir dikenai sanksi administratif berupa:
a. pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1)  untuk Eksportir yang melakukan Ekspor CPO, RBDPO, RBDPL, UCO, dan/atau Residu; dan/atau
b. penangguhan penerbitan dan perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), dan Pasal 16 ayat (1) yang masih dalam proses penerbitan,
selama Eksportir belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi terhadap Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), untuk Eksportir yang melakukan Ekspor CPO, RBDPO, RBDPL, UCO, dan/atau Residu.


Pasal 25


Eksportir yang tidak melaksanakan kewajiban mengajukan permohonan perubahan data pada Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Persetujuan Ekspor.


Pasal 26


(1) Dalam hal Eksportir dalam proses penyidikan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan dokumen Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) yang masih berlaku, Eksportir dikenai sanksi administratif berupa pembekuan Persetujuan Ekspor.
(2) Dalam hal Eksportir dalam proses penyidikan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan dokumen Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) yang masa berlakunya telah berakhir, Eksportir dikenai sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor.


Pasal 27


(1) Dalam hal Eksportir:
a. telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembekuan diberlakukan;
b. telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) sepanjang Persetujuan Ekspor masih berlaku;
c. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 oleh penyidik; dan/atau
d. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, 
  pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a, Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1) diaktifkan kembali.
(2) Dalam hal Eksportir telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1), sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dicabut.
(3) Dalam hal Eksportir:
a. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 oleh penyidik; dan/atau
b. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, 
sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dicabut.
 

Pasal 28


Eksportir  yang belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) tidak dapat mengajukan kembali permohonan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) sebelum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Ekspor.


Pasal 29


(1) Eksportir dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) dalam hal:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pembekuan Persetujuan Ekspor;
b. terbukti mengubah informasi yang tercantum dalam dokumen Persetujuan Ekspor;
c. ditemukan ketidaksesuaian dokumen persyaratan dan data atau informasi permohonan Persetujuan Ekspor, dan/atau perubahan Persetujuan Ekspor;
d. melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/atau
e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan dokumen Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(2) Eksportir yang telah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c, hanya dapat mengajukan kembali permohonan Persetujuan Ekspor setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan Persetujuan Ekspor.


Pasal 30


(1) Selain dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1);
b. pembekuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a, Pasal 25, dan Pasal 26 ayat (1);
c. pencabutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1); dan
d. penangguhan penerbitan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dan Pasal 26  ayat (2),
Eksportir dapat dikenai sanksi administratif lain.
(2) Sanksi administratif lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau usulan/rekomendasi dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait yang berupa:
a. penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4);
b. pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4); dan/atau
c. pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(3) Dalam hal Eksportir telah melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), sanksi administratif berupa:
a. penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dicabut; dan/atau
b. pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diaktifkan kembali sepanjang masa berlaku Persetujuan Ekspor belum berakhir.
(4) Dalam hal usulan/rekomendasi dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicabut, sanksi administratif berupa:
a. penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dicabut; dan/atau
b. pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diaktifkan kembali sepanjang masa berlaku Persetujuan Ekspor belum berakhir.
(5) Eksportir yang telah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, hanya dapat mengajukan kembali permohonan Persetujuan Ekspor:
a. setelah melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2); atau
b. berdasarkan usulan/rekomendasi dari kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (2).


Pasal 31


(1) Eksportir yang tidak melaksanakan kewajiban penyampaian laporan realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, dikenai sanksi administratif berupa peringatan.
(2) Apabila Eksportir yang telah dikenai sanksi administratif berupa peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetap tidak menyampaikan laporan realisasi Ekspor yang tidak terealisasi ekspornya dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal peringatan dikenakan, Eksportir dikenai sanksi administratif berupa:
a. pembekuan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1); dan/atau
b. penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) berikutnya,
selama Eksportir belum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1).


Pasal 32


(1) Dalam hal Eksportir dalam proses penyidikan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan dokumen surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) yang masih berlaku, Eksportir dikenai sanksi administratif berupa pembekuan surat keterangan.
(2) Dalam hal Eksportir dalam proses penyidikan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan dokumen surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) yang masa berlakunya telah berakhir, Eksportir dikenai sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan surat keterangan.


Pasal 33


(1) Dalam hal Eksportir:
a. telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) sepanjang surat keterangan masih berlaku;
b. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 oleh penyidik; dan/atau
c. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
pembekuan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dan Pasal 32 ayat (1) diaktifkan kembali.
(2) Dalam hal Eksportir telah melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1), sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b dicabut.
(3) Dalam hal Eksportir:
a. telah dikeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 oleh penyidik; dan/atau
b. terbukti tidak bersalah atau dibebaskan dari segala tuntutan hukum atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
sanksi administratif berupa penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dicabut.
  

Pasal 34


Eksportir yang belum melaksanakan kewajiban penyampaian laporan realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) tidak dapat mengajukan kembali permohonan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) sebelum melaksanakan kewajiban laporan realisasi Ekspor.


Pasal 35


(1) Eksportir dikenai sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dalam hal:
a. terbukti mengubah informasi yang tercantum dalam surat keterangan;
b. ditemukan ketidaksesuaian dokumen persyaratan dan data atau informasi permohonan surat keterangan;
c. melakukan pelanggaran di bidang kepabeanan berdasarkan informasi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; dan/atau
d. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan dokumen surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1).
(2) Eksportir yang telah dikenai sanksi administratif berupa pencabutan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b, hanya dapat mengajukan kembali permohonan surat keterangan setelah 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan surat keterangan.


Pasal 36


(1) Pengenaan sanksi berupa peringatan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(2) Pengenaan sanksi berupa pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(3) Pengenaan sanksi berupa penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2) huruf b dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Pengaktifan kembali Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(5) Pencabutan penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dan ayat (3) dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(6) Pengenaan sanksi berupa pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf a dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(7) Pengenaan sanksi berupa peringatan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(8) Pengenaan sanksi berupa pembekuan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(9) Pengenaan sanksi berupa penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf b dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(10) Pengaktifan kembali surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf a dan huruf b dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(11) Pencabutan penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2) dilakukan secara elektronik dan otomatis oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
 

Pasal 37


(1) Pengenaan sanksi berupa pembekuan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26 ayat (1), dan Pasal 30 ayat (2) huruf b dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(2) Pengenaan sanksi berupa penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dan Pasal 30 ayat (2) huruf a dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(3) Pengaktifan kembali Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(4) Pencabutan penangguhan penerbitan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(5) Pengenaan sanksi berupa pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dan Pasal 30 ayat (2) huruf c dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(6) Pengenaan sanksi berupa pembekuan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(7) Pengenaan sanksi berupa penangguhan penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(8) Pengaktifan kembali surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) huruf b dan huruf c dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(9) Pengenaan sanksi berupa pencabutan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.


Pasal 38


(1) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan Sistem INATRADE dan/atau SINSW tidak berfungsi, pengajuan permohonan untuk mendapatkan:
a. Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1);
b. perubahan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1);
c. surat keterangan sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (1); dan/atau
d. penyampaian laporan realisasi Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) dan Pasal 23 ayat (1),
disampaikan kepada Menteri secara manual melalui Unit Pelayanan Terpadu Perdagangan I.
(2) Apabila permohonan penerbitan Persetujuan Ekspor, perubahan Persetujuan Ekspor, dan/atau penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan lengkap sesuai dengan persyaratan, Direktur Jenderal atas nama Menteri menerbitkan:
a. Persetujuan Ekspor;
b. perubahan Persetujuan Ekspor; dan/atau
c. surat keterangan,
paling lama 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(3) Penerbitan Persetujuan Ekspor, perubahan Persetujuan Ekspor, dan/atau penerbitan surat keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Eksportir dengan tembusan kepada Kepala Lembaga National Single Window.


Pasal 39


(1) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan Sistem INATRADE dan/atau SINSW tidak berfungsi, pengenaan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan, penangguhan, pengaktifan kembali, pencabutan penangguhan, dan pencabutan Persetujuan Ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dilakukan secara manual oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(2) Dalam hal terjadi gangguan yang mengakibatkan Sistem INATRADE dan/atau SINSW tidak berfungsi, pengenaan sanksi administratif berupa peringatan, pembekuan, penangguhan, pengaktifan kembali, pencabutan penangguhan, dan pencabutan surat keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dilakukan secara manual oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri.
(3) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2) disampaikan kepada Eksportir dengan tembusan kepada Kepala Lembaga National Single Window.


Pasal 40


(1) Terhadap pelaksanaan kebijakan dan pengaturan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit, dilaksanakan pengawasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengawasan kegiatan perdagangan.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap kepatuhan Eksportir dalam pemenuhan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara bersama-sama dengan pejabat atau pegawai pada kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau dinas terkait di tingkat provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
(4) Dalam hal diperlukan, Menteri dapat membentuk tim terpadu pengawasan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan anggota yang terdiri atas:
a. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian;
b. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi;
c. Kejaksaan Agung;
d. Kementerian Perdagangan;
e. Kementerian Perindustrian;
f. Kementerian Pertanian;
g. Kementerian Keuangan;
h. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;
i. Badan Pangan Nasional;
j. Satuan Tugas Pangan Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
k. kementerian atau lembaga pemerintah nonkementerian terkait lainnya.
(5) Pelaksanaan tugas tim terpadu pengawasan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikoordinasikan oleh direktur jenderal yang membidangi perlindungan konsumen dan tertib niaga.


Pasal 41


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
1. Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa:
a. Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR;
b. Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR;
c. Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR;
d. Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR; dan
e. surat keterangan untuk pengecualian Ekspor,
yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1009), dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.
2. Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa:
a. Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR;
b. Persetujuan Ekspor RBDPO untuk Program MGR;
c. Persetujuan Ekspor RBDPL untuk Program MGR; dan
d. Persetujuan Ekspor UCO untuk Program MGR,
yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1009), dapat dilakukan perubahan.
3. Eksportir yang telah mengajukan permohonan perubahan Persetujuan Ekspor dan/atau penerbitan surat keterangan, sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini dan masih dalam proses penerbitan, dilakukan penolakan oleh anggota tim sebagai pejabat fungsional yang memiliki hak akses untuk memulai pemrosesan perubahan Persetujuan Ekspor dan/atau penerbitan surat keterangan.
 

Pasal 42


(1) Perubahan Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil harus menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16.
(2) Dalam hal perubahan Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) khusus untuk komoditas Palm Oil Mill Effluent Oil, perubahan dilakukan dengan:
a. pembatalan Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR yang telah diterbitkan; dan
b. penerbitan Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR yang baru.
(3) Untuk dapat melakukan pembatalan Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, Eksportir harus mengajukan permohonan pembatalan secara tertulis kepada Menteri melalui Direktur Jenderal.
(4) Pembatalan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan secara elektronik oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri melalui Sistem INATRADE yang diteruskan ke SINSW.
(5) Setelah dilakukan pembatalan Persetujuan Ekspor CPO untuk Program MGR sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Eksportir harus mengajukan permohonan penerbitan Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR secara elektronik kepada Menteri melalui SINSW.
(6) Pengajuan permohonan penerbitan Persetujuan Ekspor Residu untuk Program MGR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11.

 

Pasal 43


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:
a. Hak Ekspor yang dimiliki oleh pelaku usaha berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil, dinyatakan masih tetap berlaku.
b. Pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) CPO yang dilaporkan melalui SIMIRAH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan langsung oleh produsen CPO atau melalui kerja sama produsen CPO dan Eksportir, masih diakui sebagai Hak Ekspor CPO Program MGR dengan mempertimbangkan pengali Ekspor sampai dengan tanggal 12 November 2024.
c. Pelaksanaan pemenuhan kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation) minyak goreng curah yang dilaporkan melalui SIMIRAH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang dilakukan langsung oleh produsen minyak goreng atau melalui kerja sama produsen minyak goreng dan Eksportir, masih diakui sebagai Hak Ekspor RBDPL Program MGR dengan mempertimbangkan pengali Ekspor sampai dengan tanggal 12 November 2024.


Pasal 44


(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, ketentuan Ekspor Palm Oil Mill Effluent Oil dengan pos tarif ex 2306.60.90, High Acid Palm Oil Residue dengan pos tarif ex 2306.60.90 dan ex 2306.90.90, dan Minyak Tandan Kosong Kelapa Sawit/Empty Fruit Bunch Oil dengan pos tarif ex 2306.60.90 dan ex 2306.90.90 yang:
a. pengajuan permohonan pemuatan Barang untuk Ekspor dalam bentuk curah dan/atau pemeriksaan fisik sebelum pengajuan pemberitahuan pabean ekspor telah disetujui kepala kantor pabean; atau
b. telah mendapatkan nomor dan tanggal pendaftaran pemberitahuan pabean ekspor dari kantor pabean,
sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, dilaksanakan tanpa dilengkapi dengan Perizinan Berusaha di bidang Ekspor berupa Persetujuan Ekspor.
(2) Palm Oil Mill Effluent Oil dengan pos tarif ex 2306.60.90, High Acid Palm Oil Residue dengan pos tarif ex 2306.60.90 dan ex 2306.90.90, dan Minyak Tandan Kosong Kelapa Sawit/Empty Fruit Bunch Oil dengan pos tarif ex 2306.60.90 dan ex 2306.90.90 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.


Pasal 45


Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 50 Tahun 2022 tentang Ketentuan Ekspor Crude Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Oil, Refined, Bleached, and Deodorized Palm Olein, dan Used Cooking Oil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1009), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 46


Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.




  Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 7 Oktober 2024
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ZULKIFLI HASAN

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 11 Oktober 2024    
PLT. DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ASEP N. MULYANA




BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 674