Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.
a. | PBB-P2; | ||||||||||
b. | BPHTB; | ||||||||||
c. | PBJT atas:
|
||||||||||
d. | Pajak Reklame; | ||||||||||
e. | PAT; | ||||||||||
f. | Opsen PKB; dan | ||||||||||
g. | Opsen BBNKB. |
(1) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota terdiri atas:
|
||||||||||||||
(2) | Jenis Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak terdiri atas:
|
||||||||||||||
(3) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain adalah SKPD dan SPPT. | ||||||||||||||
(4) | Dokumen yang digunakan sebagai dasar pemungutan jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) antara lain adalah SPTPD. | ||||||||||||||
(5) | Dokumen SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib diisi dengan benar dan lengkap serta disampaikan oleh Wajib Pajak kepada Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Saat terutang Pajak ditetapkan pada saat orang pribadi atau Badan telah memenuhi syarat subjektif dan objektif atas suatu jenis Pajak dalam 1 (satu) kurun waktu tertentu dalam masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan Daerah. |
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak atau menjadi dasar bagi Walikota untuk menetapkan Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota. |
(3) | Masa Pajak yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan Pajak yang terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan untuk jangka waktu 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan kalender. |
(4) | Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang lamanya 1 (satu) tahun kalender, kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai masa Pajak, Tahun Pajak, dan bagian Tahun Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Subjek PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(2) | Wajib PBB-P2 adalah orang pribadi atau Badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan. |
(1) | Objek PBB-P2 adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. | ||||||||||||||||||
(2) | Bumi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk permukaan Bumi hasil kegiatan reklamasi atau pengurukan. | ||||||||||||||||||
(3) | Objek Pajak yang dikecualikan dari PBB-P2 adalah kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan atas:
|
(1) | Dasar pengenaan PBB-P2 adalah NJOP. | ||||||
(2) | NJOP tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. | ||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak memiliki atau menguasai lebih dari satu objek PBB-P2 di Daerah, NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya diberikan atas salah satu objek PBB-P2 untuk setiap Tahun Pajak. | ||||||
(4) | NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3). | ||||||
(5) | Besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) atas kelompok objek PBB-P2 dilakukan dengan mempertimbangkan:
|
||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran persentase sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam Peraturan Walikota. | ||||||
(7) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. | ||||||
(8) | Besaran NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Walikota. | ||||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaian PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota yang berpedoman pada peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara mengenai penilaian PBB-P2. |
a. | sebesar 0,05% (nol koma nol lima persen) untuk NJOP Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) sampai dengan Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah); |
b. | sebesar 0,1% (nol koma satu persen) untuk NJOP di atas Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sampai dengan Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); |
c. | sebesar 0,15% (nol koma lima belas persen) untuk NJOP di atas Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); |
d. | sebesar 0,2% (nol koma dua persen) untuk NJOP di atas Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah); |
e. | sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima persen) untuk NJOP di atas Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah); dan |
f. | sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) untuk NJOP di atas Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). |
(1) | Wilayah pemungutan PBB-P2 sebagai pajak terutang dipungut di wilayah Daerah. | ||||
(2) | Termasuk dalam pemungutan wilayah PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan wilayah daerah yang berada:
|
||||
(3) | Tahun Pajak PBB-P2 adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender. | ||||
(4) | Saat terutang PBB-P2 ditetapkan saat terjadinya kepemilikan, penguasaan, dan/atau pemanfaatan Bumi dan/atau Bangunan. | ||||
(5) | Saat yang menentukan untuk menghitung PBB-P2 yang terutang adalah menurut keadaan objek PBB-P2 pada tanggal 1 Januari. |
(1) | Subjek Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(2) | Wajib Pajak BPHTB adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. |
(1) | Objek BPHTB adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan. | ||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(3) | Hak atas Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(4) | Objek BPHTB yang dikecualikan sebagai Objek Pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan:
|
(1) | Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. | ||||||
(2) | Nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(3) | Dalam hal nilai perolehan objek pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang digunakan adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan pajak bumi dan bangunan pada tahun terjadinya perolehan. | ||||||
(4) | Dalam menentukan besaran BPHTB terutang, Pemerintah Daerah menetapkan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak sebagai pengurang dasar pengenaan BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1). | ||||||
(5) | Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp90.000.000,00 (sembilan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB. | ||||||
(6) | Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a angka 4 dan angka 5 yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak ditetapkan sebesar Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). |
(1) | Saat terutangnya BPHTB ditetapkan:
|
||||||||||||||
(2) | Dalam hal jual beli tanah dan/atau Bangunan tidak menggunakan perjanjian pengikatan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, saat terutang BPHTB untuk jual beli adalah pada saat ditandatanganinya akta jual beli. |
(1) | Subjek PBJT adalah konsumen barang dan/atau jasa tertentu. |
(2) | Wajib PBJT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu. |
a. | Makanan dan/atau Minuman; |
b. | Tenaga Listrik; |
c. | Jasa Perhotelan; |
d. | Jasa Parkir; dan |
e. | Jasa Kesenian dan Hiburan. |
(1) | Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi Makanan dan/atau Minuman yang disediakan oleh:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek PBJT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
|
(1) | Konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b adalah penggunaan Tenaga Listrik oleh pengguna akhir. | ||||||||
(2) | Dikecualikan dari konsumsi Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:
|
(1) | Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf c meliputi jasa penyediaan akomodasi dan fasilitas penunjangnya, serta penyewaan ruang rapat/pertemuan pada penyedia jasa perhotelan seperti:
|
||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari Jasa Perhotelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d terdiri atas:
|
||||||
(2) | Dikecualikan dari jasa penyediaan tempat parkir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf e meliputi:
|
||||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari Jasa Kesenian dan Hiburan sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah Jasa Kesenian dan Hiburan yang semata-mata untuk:
|
(1) | Dasar pengenaan PBJT merupakan jumlah yang dibayarkan oleh konsumen barang atau jasa tertentu, meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dalam hal pembayaran menggunakan voucher atau bentuk lain yang sejenis yang memuat nilai rupiah atau mata uang lain, dasar pengenaan PBJT ditetapkan sebesar nilai rupiah atau mata uang lainnya tersebut. | ||||||||||
(3) | Dalam hal tidak terdapat pembayaran atau yang seharusnya dibayar, maka dasar pengenaan PBJT didasarkan pada harga jual barang dan/atau jasa sejenis yang berlaku di Daerah. |
(1) | Nilai jual Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk:
|
||||||||
(2) | Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, dihitung berdasarkan:
|
||||||||
(3) | Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang dihasilkan sendiri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung berdasarkan:
|
||||||||
(4) | Nilai jual Tenaga Listrik yang ditetapkan untuk Tenaga Listrik yang berasal dari sumber lain dengan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ketentuan tidak terdapat pembayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), penyedia Tenaga Listrik sebagai Wajib Pajak melakukan penghitungan dan pemungutan PBJT atas Tenaga Listrik untuk penggunaan Tenaga Listrik yang dijual atau diserahkan. |
(1) | Tarif PBJT ditetapkan sebesar 10% (sepuluh persen). | ||||
(2) | Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke keluarga ditetapkan sebesar 40% (empat puluh persen). | ||||
(3) | Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada karaoke dewasa, diskotek, kelab malam, bar, panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan sejenisnya ditetapkan sebesar 50% (lima puluh persen). | ||||
(4) | Khusus tarif PBJT atas Tenaga Listrik untuk:
|
(1) | PBJT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat penjualan, penyerahan, dan/atau konsumsi barang dan jasa tertentu dilakukan. | ||||||||||
(2) | Masa PBJT adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender, kecuali pajak hiburan (yang bersifat insidentil) ditetapkan dalam satuan hari sesuai dengan jangka waktu penyelenggaraan. | ||||||||||
(3) | Saat terutangnya PBJT ditetapkan pada saat:
|
(1) | Subjek Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan Reklame. |
(2) | Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan yang menyelenggarakan Reklame. |
(3) | Dalam hal reklame diselenggarakan sendiri secara langsung oleh orang pribadi atau badan, Wajib Pajak Reklame adalah orang pribadi atau Badan tersebut. |
(4) | Dalam hal Reklame diselenggarakan melalui pihak ketiga, pihak ketiga tersebut menjadi Wajib Pajak Reklame. |
(1) | Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan Reklame. | ||||||||||||||||||
(2) | Objek Pajak Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi Reklame:
|
||||||||||||||||||
(3) | Objek Pajak Reklame yang dikecualikan dari objek Pajak Reklame adalah:
|
(1) | Dasar Pengenaan Pajak Reklame adalah nilai sewa Reklame. |
(2) | Dalam hal Reklame diselenggarakan oleh pihak ketiga, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan berdasarkan nilai kontrak Reklame. |
(3) | Dalam hal Reklame diselenggarakan sendiri, nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dengan memperhatikan faktor jenis, bahan yang digunakan, lokasi penempatan, waktu penayangan, jangka waktu penyelenggaraan, jumlah, dan ukuran media Reklame. |
(4) | Dalam hal nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diketahui dan/atau dianggap tidak wajar, nilai sewa Reklame ditetapkan dengan menggunakan faktor-faktor sebagaimana dimaksud ayat (3). |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Perhitungan nilai sewa Reklame sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat Reklame tersebut diselenggarakan. |
(2) | Khusus untuk Reklame berjalan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e, Pajak Reklame yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat usaha penyelenggara Reklame terdaftar. |
(1) | Tahun Pajak Reklame permanen adalah 1 (satu) tahun kalender. |
(2) | Masa Pajak Reklame insidentil dan Reklame yang bersifat khusus ditetapkan berdasarkan jangka waktu lamanya penyelenggaraan. |
(3) | Saat terutang Pajak Reklame ditetapkan pada saat terjadinya penyelenggaraan reklame. |
(1) | Subjek PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Wajib PAT adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Objek PAT adalah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Yang dikecualikan dari objek PAT adalah pengambilan untuk:
|
(1) | Dasar pengenaan PAT adalah nilai perolehan Air Tanah. | ||||||||||||
(2) | Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hasil perkalian antara harga air baku dengan bobot Air Tanah. | ||||||||||||
(3) | Harga air baku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan biaya pemeliharaan dan pengendalian sumber daya Air Tanah. | ||||||||||||
(4) | Bobot Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan dalam koefisien yang didasarkan atas faktor-faktor berikut:
|
||||||||||||
(5) | Nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman pada nilai perolehan air tanah yang ditetapkan oleh Gubernur. | ||||||||||||
(6) | Besarnya nilai perolehan Air Tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Daerah diatur dengan Peraturan Walikota dengan berpedoman pada nilai perolehan Air Tanah yang ditetapkan oleh Gubernur sesuai peraturan perundang-undangan. |
(1) | PAT yang terutang dipungut di wilayah Daerah tempat pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(2) | Masa PAT adalah jangka waktu yang lamanya 1 (satu) bulan kalender. |
(3) | Saat terutangnya PAT ditetapkan pada saat terjadinya pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Tanah. |
(1) | Opsen PKB dikenakan atas pajak terutang dari PKB. |
(2) | Wajib Pajak Opsen PKB merupakan Wajib PKB. |
(3) | Pemungutan Opsen PKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari PKB. |
(1) | Dasar pengenaan untuk Opsen PKB merupakan PKB terutang. |
(2) | Tarif Opsen PKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen). |
(3) | Besaran pokok Opsen PKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan tarif Opsen PKB sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(1) | Wilayah pemungutan Opsen PKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(2) | Saat terutang Opsen PKB ditetapkan pada saat terutangnya PKB. |
(1) | Opsen BBKNB dikenakan atas Pajak terutang dari BBKNB. |
(2) | Wajib Pajak Opsen BBNKB merupakan Wajib BBNKB. |
(3) | Pemungutan Opsen BBNKB dilakukan bersamaan dengan pemungutan Pajak terutang dari BBNKB. |
(1) | Dasar pengenaan untuk Opsen BBNKB merupakan BBNKB terutang. |
(2) | Tarif Opsen BBNKB ditetapkan sebesar 66% (enam puluh enam persen). |
(1) | Wilayah pemungutan Opsen BBNKB yang terutang merupakan wilayah Daerah tempat kendaraan bermotor terdaftar. |
(2) | Besaran pokok Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dengan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2). |
(3) | Saat terutang Opsen BBNKB ditetapkan pada saat terutangnya BBNKB. |
(1) | Jenis retribusi daerah terdiri atas:
|
||||||
(2) | Subjek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan Jasa Umum. | ||||||
(3) | Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-Undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pelayanan Jasa Umum. |
(1) | Jenis pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum meliputi adalah:
|
||||||||
(2) | Pelayanan yang merupakan objek Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelayanan yang disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah sebagaimana diatur dalam ketentuan Peraturan Perundang-undangan. |
a. | Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan jaringannya; |
b. | Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda); dan |
c. | Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). |
(1) | Subjek Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pelayanan kesehatan. |
(2) | Wajib Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf a adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa pelayanan kesehatan dihitung berdasarkan perkalian antara jenis-jenis pelayanan kesehatan, jenis-jenis pelayanan penunjang kesehatan, kelas perawatan, klasifikasi tindakan medik, klasifikasi asuhan keperawatan, parameter pemeriksaan dengan frekuensi pelayanan/pemeriksaan yang diterima pasien atau pihak penjamin dengan tarif retribusinya. |
(2) | Tingkat penggunaan pelayanan ambulan atau mobil jenazah dihitung berdasarkan jarak tempuh dengan satuan kilometer dan petugas yang menyertai. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(2) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya operasional dan pemeliharaan, biaya bunga dan biaya modal. |
(3) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2). |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(1) | Struktur tarif retribusi digolongkan berdasarkan kelompok, jenis, klasifikasi, kategori dan komponen pelayanan kesehatan yang terdiri dari jasa pelayanan. |
(2) | Struktur dan besaran retribusi pelayanan di Pusat Kesehatan Masyarakat dan Laboratorium Kesehatan Daerah ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(3) | Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pendapatan Asli Daerah yang harus disetor ke Kas Umum Daerah. |
(4) | Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Retribusi Pelayanan Kesehatan dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Masa retribusi pelayanan kesehatan adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan jangka waktu penggunaan Pelayanan Kesehatan. |
(3) | Saat Retribusi Pelayanan Kesehatan yang terutang terjadi pada saat menggunakan pelayanan kesehatan atau sejak diterbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(1) | Subjek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati Pelayanan Persampahan/Kebersihan dari Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf b adalah pelayanan persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi:
|
||||||||||
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan kebersihan pada:
|
(1) | Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis sampah, frekuensi pengambilan sampah, volume sampah, jangka waktu, dan golongan pengguna jasa. |
(2) | Jenis sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sampah rumah tangga, sampah sejenis rumah tangga atau sampah non medik. |
(3) | Dalam hal volume sampah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sulit diukur maka volume sampah dimaksud dapat ditaksir dengan berbagai pendekatan, antara lain berdasarkan luas area, jumlah personil, dan wajib retribusi. |
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(5) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(6) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya. |
(1) | Struktur tarif retribusi digolongkan berdasarkan pelayanan yang diberikan, jenis, serta volume sampah yang dihasilkan dan kemampuan masyarakat. |
(2) | Struktur dan besarnya retribusi pelayanan persampahan/kebersihan ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(3) | Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pendapatan Asli Daerah yang harus disetor ke Kas Umum Daerah. |
(1) | Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Masa retribusi adalah batas waktu bagi Wajib Retribusi untuk memanfaatkan pelayanan persampahan/kebersihan yang lamanya 1 (satu) bulan kalender atau waktu setelah selesai memanfaatkan fasilitas persampahan. |
(3) | Saat Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan yang terutang terjadi pada saat penggunaan pelayanan persampahan/kebersihan atau sejak diterbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(1) | Subjek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c adalah orang pribadi atau Badan yang memanfaatkan jasa pelayanan parkir di Tepi Jalan Umum yang disediakan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran atas pemanfaatan jasa pelayanan parkir di Tepi Jalan Umum yang dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(1) | Obyek Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf c adalah penyediaan pelayanan parkir di tepi jalan umum yang disediakan Pemerintah Daerah meliputi:
|
||||||||
(2) | Obyek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
(1) | Tingkat Penggunaan Jasa Retribusi diukur berdasarkan jenis kendaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) dan frekuensi pemanfaatan jasa pelayanan parkir. |
(2) | Selain dihitung berdasarkan jenis kendaraan dan frekuensi pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tingkat penggunaan jasa parkir di Tepi Jalan Umum pada lokasi tertentu dikenakan tarif berdasarkan zona. |
(3) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektifitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(4) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(1) | Struktur Tarif Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum ditetapkan berdasarkan jenis kendaraan dan frekuensi pemanfaatan jasa pelayanan parkir. |
(2) | Struktur dan besarnya Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(3) | Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pendapatan Asli Daerah yang harus disetor ke Kas Umum Daerah. |
(1) | Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Saat retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi sejak pelayanan parkir di tepi jalan umum diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen lain yang dipersamakan diberikan. |
(3) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah karcis. |
(1) | Subjek Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati Pelayanan Pasar dari Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Pelayanan Pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) huruf d adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan luas stand, frekuensi penggunaan, dan golongan pengguna jasa. |
(2) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. |
(3) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal. |
(4) | Dalam hal penetapan tarif sepenuhnya memperhatikan biaya penyediaan jasa, penetapan tarif hanya untuk menutup sebagian biaya. |
(1) | Struktur tarif retribusi digolongkan berdasarkan pelayanan yang diberikan, luas stand dan kemampuan masyarakat. |
(2) | Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pendapatan Asli Daerah yang harus disetor ke Kas Umum Daerah. |
(1) | Retribusi Pelayanan Pasar dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Saat Retribusi Pelayanan Pasar yang terutang terjadi pada saat penggunaan pelayanan pasar atau sejak diterbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(1) | Pelayanan Retribusi Jasa Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf a termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||
(2) | Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||
(4) | Pengaturan mengenai tambahan layanan atas rincian objek pelayanan yang diberikan oleh BLUD setelah berlakunya Peraturan Daerah ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota. | ||||||
(5) | Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan dalam negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Wali Kota ditetapkan. | ||||||
(6) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai BLUD. | ||||||
(7) | Dalam hal perangkat daerah atau unit kerja ditetapkan sebagai BLUD setelah Peraturan Daerah ini berlaku, BLUD perangkat daerah atau unit kerja dimaksud menerapkan tarif retribusi pada perangkat daerah atau unit kerja yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini. |
(1) | Dalam hal Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 74 ayat (1) dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi yang dipungut oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Objek Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (1) huruf b adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
|
||||||||||||
(2) | Jenis Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
(1) | Subjek Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf a adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan fasilitas pasar grosir, pertokoan, atau tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Penyediaan Tempat kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf a adalah orang pribadi atau Badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi penyediaan tempat kegiatan usaha. |
(1) | Objek Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf a adalah penyediaan pasar grosir, pertokoan, atau tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa zona perdagangan yang meliputi area perdagangan, pertokoan ritel, pertokoan grosir, dan restoran pada Pudak Galeri atau tempat kegiatan usaha lainnya yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. |
(3) | Dikecualikan dari objek Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas pertokoan yang tidak disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(1) | Tingkat penggunaan penyediaan tempat kegiatan usaha diukur berdasarkan jangka waktu, jenis usaha, lokasi, dan jumlah atau luas fasilitas pertokoan atau tempat kegiatan usaha lainnya. |
(2) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha adalah biaya administrasi, biaya pemeliharaan, biaya penyusutan, biaya operasional, dan biaya pembinaan. |
(1) | Struktur dan besarnya tarif Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha ditetapkan berdasarkan jenis layanan dan luas tempat atau jangka waktu penggunaan. |
(2) | Struktur dan besarnya Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(3) | Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan Pendapatan Asli Daerah yang harus disetor ke Kas Umum Daerah. |
(4) | Penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperuntukkan bagi peningkatan fasilitas tempat kegiatan usaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Retribusi Penyediaan Tempat Kegiatan Usaha dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Saat retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi sejak penyediaan tempat kegiatan usaha diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen lain yang dipersamakan diberikan. |
(3) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah karcis. |
(1) | Subjek Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan parkir di tempat khusus parkir. |
(2) | Wajib Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh jasa pelayanan parkir di Tempat Khusus Parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(1) | Objek Retribusi Penyediaan Tempat Khusus Parkir adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf b penyediaan pelayanan parkir di tempat khusus parkir yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan tempat parkir yang tidak disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa parkir di tempat khusus parkir diukur berdasarkan jenis kendaraan, frekuensi, fasilitas yang tersedia, dan jangka waktu pemanfaatan jasa pelayanan parkir. |
(2) | Selain dihitung berdasarkan jenis kendaraan dan frekuensi pemanfaatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tingkat penggunaan jasa parkir di tempat khusus parkir pada lokasi tertentu dikenakan tarif progresif atau sistem berlangganan sesuai jangka waktu penggunaan jasa parkir. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara penetapan lokasi tertentu yang dikenakan tarif progresif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Penyediaan Parkir di Tempat Khusus Parkir ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, petugas pelaksana pelayanan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, efektivitas pengendalian, kualitas atas pelayanan tersebut, dan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(2) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa di Tempat Khusus Parkir tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(1) | Retribusi Pelayanan Parkir di Tempat Khusus Parkir dipungut di Tempat Parkir Khusus yang telah ditetapkan dalam wilayah Daerah. |
(2) | Wilayah Tempat Khusus Parkir ditetapkan dengan Keputusan Walikota. |
(3) | Saat retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi sejak pelayanan tempat khusus parkir diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen lain yang dipersamakan diberikan. |
(4) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah karcis. |
(1) | Subjek Retribusi Penyediaan Tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan fasilitas tempat penginapan/pesanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Penyediaan Tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran. |
(1) | Objek Retribusi Penyediaan Tempat penginapan/pesanggrahan/vila sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c adalah pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat khusus penginapan/pesanggrahan/vila yang tidak disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila diukur berdasarkan jenis fasilitas, lokasi dan jangka waktu pemakaian penginapan/pesanggrahan/vila. |
(2) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan struktur dan besaran tarif retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/vila dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(3) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan tempat penginapan/pesanggrahan/vila dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(1) | Struktur dan Besarnya Tarif Retribusi ditetapkan berdasarkan jenis bangunan, kurun waktu, dan fasilitas yang disediakan dari tempat penginapan/pesanggrahan/vila. |
(2) | Struktur dan besarnya Retribusi Penyediaan Tempat penginapan/pesanggrahan/vila ditetapkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(3) | Hasil pungutan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Pendapatan Asli Daerah yang harus disetor ke Kas Umum Daerah. |
(4) | Penerimaan retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diperuntukkan bagi peningkatan tempat penginapan/pesanggrahan/vila sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Retribusi Penyediaan Tempat penginapan/pesanggrahan/vila dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Saat retribusi terutang terjadi dalam masa retribusi sejak penyediaan tempat penginapan/pesanggrahan/vila diberikan atau sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen lain yang dipersamakan diberikan. |
(3) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah karcis. |
(1) | Subjek Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf d adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan rumah pemotongan hewan ternak. |
(2) | Wajib Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf d adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-Undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi. |
(1) | Objek Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf d berupa pemanfaatan penyediaan fasilitas pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong, yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(2) | Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak yang tidak disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis, frekuensi, jangka waktu Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak. |
(2) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak ditetapkan dengan memperhatikan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, petugas pelaksana pelayanan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, efektivitas pengendalian, kualitas atas pelayanan tersebut, dan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(3) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa di Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(1) | Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak dipungut di tempat pelayanan pemotongan hewan ternak wilayah Daerah. |
(2) | Saat Retribusi Pelayanan Rumah Pemotongan Hewan Ternak terutang terjadi dalam masa retribusi sejak diterbitkannya SKRD. |
(1) | Subjek Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf e adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga. |
(2) | Wajib Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf e adalah orang pribadi atau Badan yang menurut Peraturan Perundang-Undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi, termasuk pemungut atau pemotong retribusi. |
(1) | Objek Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf e berupa pemanfaatan pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. | ||||||
(2) | Dikecualikan dari Objek Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelayanan tempat rekreasi, pariwisata dan olahraga yang tidak disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah. | ||||||
(3) | Dispensasi dari kewajiban pembayaran atas Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga adalah:
|
(1) | Tingkat penggunaan jasa diukur berdasarkan jenis, frekuensi, jangka waktu pelayanan tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga. |
(2) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga ditetapkan dengan memperhatikan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, petugas pelaksana pelayanan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, efektivitas pengendalian, kualitas atas pelayanan tersebut, dan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak. |
(3) | Keuntungan yang layak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa di tempat rekreasi, pariwisata, dan olahraga tersebut dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar. |
(1) | Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata dan Olahraga dipungut di tempat pelayanan penyelenggaraan rekreasi, pariwisata, dan olahraga wilayah Daerah. |
(2) | Saat Retribusi Tempat Rekreasi, Pariwisata, dan Olahraga terutang terjadi dalam masa retribusi sejak diterbitkannya SKRD atau dengan dokumen lain yang dipersamakan. |
(3) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah karcis. |
(1) | Subjek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 adalah orang pribadi atau Badan yang memperoleh pelayanan pemanfaatan aset Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 adalah orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan Retribusi diwajibkan untuk melakukan pembayaran retribusi termasuk pemungut atau pemotong Retribusi pemanfaatan aset Daerah. |
(1) | Objek Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 adalah pelayanan pemanfaatan aset Daerah yang terdiri atas pemanfaatan:
|
||||||||||||||||||||||||||||||||||
(2) | Dikecualikan dari pengertian pemanfaatan aset Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah penggunaan tanah yang tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut. |
(1) | Retribusi Pemanfaatan Aset Daerah dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Saat retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terjadi sejak diterbitkan SKRD atau sejak dokumen lain yang dipersamakan diberikan oleh pejabat yang berwenang. |
(1) | Pelayanan Retribusi Jasa Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) termasuk pelayanan yang diberikan oleh BLUD. | ||||||
(2) | Detail rincian objek atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dalam Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||
(3) | Detail rincian objek Retribusi yang diatur dalam Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||
(4) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi Jasa Umum yang diberikan oleh BLUD ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan mengenai BLUD. | ||||||
(5) | Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) disampaikan kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang Keuangan Negara, menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan Dalam Negeri, dan DPRD paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak Peraturan Walikota ditetapkan. | ||||||
(6) | Dalam hal perangkat daerah atau unit kerja ditetapkan sebagai BLUD setelah Peraturan Daerah ini berlaku, BLUD perangkat daerah atau unit kerja dimaksud menerapkan tarif retribusi pada perangkat daerah atau unit kerja yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah ini. |
(1) | Dalam hal Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1) dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke Rekening Kas BLUD. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Jenis Retribusi Jasa Perizinan Tertentu yang diatur dalam Peraturan Daerah ini, meliputi:
|
||||
(2) | Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disediakan atau diberikan oleh Pemerintah Daerah berdasarkan kewenangan Daerah masing-masing sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(3) | Subjek Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menggunakan atau menikmati pemberian Perizinan Tertentu. | ||||
(4) | Wajib Retribusi Perizinan Tertentu merupakan orang pribadi atau Badan yang menurut peraturan perundang-undangan diwajibkan untuk melakukan pembayaran Retribusi atas pemberian Perizinan Tertentu. |
(1) | Subjek Retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf a adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh PBG dari Pemerintah Daerah. |
(2) | Wajib Retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf a adalah Subjek Retribusi PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Objek retribusi PBG sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf a adalah penerbitan PBG. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan:
|
||||||||||||||||||||||
(3) | Penerbitan PBG sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan untuk permohonan persetujuan:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | PBG perubahan tidak diperlukan untuk pekerjaan pemeliharaan dan pekerjaan perawatan. | ||||||||||||||||||||||
(5) | Pemberian PBG dilakukan dengan tetap mempertimbangkan rencana teknis bangunan dan rencana tata ruang, serta tetap memperhatikan:
|
||||||||||||||||||||||
(6) | Dikecualikan objek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan PBG untuk bangunan milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Daerah, atau Pemerintah Daerah lainnya. |
(1) | Tata cara penghitungan retribusi PBG ditetapkan sebagai berikut:
|
||||||
(2) | Cara penghitungan retribusi Prasarana BG ditetapkan sebagai berikut: Volume (V) x Indeks prasarana Bangunan Gedung (I) x Indeks BG Terbangun (Ibg) x Harga satuan retribusi prasarana Bangunan Gedung (HSPBG). |
||||||
(3) | Indeks Lokalitas, Indeks Terintegrasi, Indeks BG Terbangun, Indeks Fungsi dan Indeks Parameter, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), serta Indeks BG Terbangun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. | ||||||
(4) | Standar Harga Satuan Tertinggi (SHST) merupakan biaya paling banyak per meter persegi pelaksanaan konstruksi pekerjaan standar untuk pembangunan bangunan gedung negara, yang diatur secara berkala setiap tahun dengan Peraturan Walikota. | ||||||
(5) | Walikota dapat menetapkan Indeks Lokalitas (Ilo) yang disesuaikan dengan fungsi Bangunan Gedung atau Prasarana bangunan Gedung. | ||||||
(6) | Indeks Prasarana Bangunan Gedung sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(1) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi perizinan tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya penyelenggaraan pemberian perizinan yang bersangkutan. |
(2) | Biaya penyelenggaraan pemberian perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penerbitan dokumen persetujuan, pengawasan dan pengendalian kegiatan di lapangan, penatausahaan dan biaya dari pemberian persetujuan tersebut. |
(1) | Retribusi terutang dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Retribusi terutang dalam masa retribusi terjadi pada saat ditetapkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(1) | Subjek retribusi PTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf b adalah pemberi kerja tenaga kerja asing yang memperoleh pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja hanya di dalam wilayah daerah. |
(2) | Wajib Retribusi PTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf b merupakan subyek retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1). |
(1) | Objek retribusi PTKA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 ayat (1) huruf b adalah pemberian pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja hanya di dalam wilayah daerah berdasarkan permohonan dari pemberi kerja tenaga kerja asing. | ||||||||||||
(2) | Pemberi kerja Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk:
|
||||||||||||
(3) | Pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud ayat (2) adalah badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja asing dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. |
(1) | Tingkat penggunaan jasa dalam pemberian pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja hanya di dalam wilayah daerah diukur berdasarkan jumlah pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan dan jangka waktu pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing Perpanjangan. | ||||||||||||
(2) | Prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian biaya sehubungan dengan adanya pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja hanya di dalam wilayah daerah. | ||||||||||||
(3) | Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas biaya untuk mendanai:
|
||||||||||||
(4) | Dana Kompensasi Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a adalah kompensasi yang harus dibayar oleh pemberi kerja tenaga kerja asing atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan sebagai penerimaan Negara bukan pajak atau pendapatan daerah. |
(1) | Struktur tarif retribusi ditetapkan berdasarkan tingkat penggunaan jasa. |
(2) | Struktur dan besaran tarif retribusi Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. |
(3) | Besarnya tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan sebesar USD100,00 (seratus dolar Amerika Serikat) per jabatan per orang per bulan dan dibayarkan di muka. |
(4) | Besaran tarif retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila diperhitungkan kurang dari 1 (satu) bulan dibayar 1 (satu) bulan penuh. |
(5) | Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dibayarkan dengan rupiah berdasarkan nilai kurs yang berlaku pada saat SKRD atau dokumen yang dipersamakan diterbitkan. |
(1) | Retribusi PTKA dipungut di wilayah Daerah. |
(2) | Retribusi PTKA dipungut sesuai dengan jangka waktu pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing perpanjangan bagi tenaga kerja asing yang bekerja hanya di dalam wilayah Daerah, yang pelaksanaannya berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Saat retribusi terutang adalah pada saat SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ditetapkan. |
(1) | Pemanfaatan dari penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan. |
(2) | Pemanfaatan dari penerimaan Retribusi yang dipungut dan dikelola oleh BLUD dapat langsung digunakan untuk mendanai penyelenggaraan pelayanan BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai BLUD. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanfaatan penerimaan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d, huruf e, huruf f, huruf g, wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dengan menggunakan:
|
||||
(2) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c wajib mendaftarkan diri dan/atau objek Pajaknya kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk. | ||||
(3) | Pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) kepada Wajib Pajak diberikan satu NPWPD yang diterbitkan oleh Pejabat yang ditunjuk. | ||||
(4) | Selain diberikan NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pejabat yang ditunjukan dapat menerbitkan nomor registrasi, NOPD, atau jenis penomoran lain yang dipersamakan untuk jenis Pajak yang memerlukan pendaftaran objek Pajak, kecuali untuk PBB-P2 hanya diterbitkan NOPD atau jenis penomoran lain yang dipersamakan. | ||||
(5) | NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk orang pribadi dihubungkan dengan nomor induk kependudukan. | ||||
(6) | NPWPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk Badan dihubungkan dengan nomor induk berusaha. | ||||
(7) | Dalam hal Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak mendaftarkan diri, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk secara jabatan menerbitkan NPWPD berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah. |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk melakukan pendataan Wajib Pajak dan objek Pajak untuk memperoleh, melengkapi, dan menatausahakan data objek Pajak dan/atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan Daerah. |
(2) | Khusus untuk PBB-P2, pendataan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi seluruh Bumi dan/atau Bangunan dalam wilayah Daerah. |
(1) | Dalam hal Wajib Pajak tidak lagi memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak. | ||||
(2) | Dalam hal penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk harus menerbitkan keputusan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap. | ||||
(3) | Dalam hal keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diterbitkan setelah melampaui jangka waktu 3 (tiga) bulan, permohonan Wajib Pajak dianggap disetujui. | ||||
(4) | Penonaktifan atau penghapusan NPWPD, nomor registrasi, NOPD, dan/atau jenis penomoran lain yang dipersamakan secara jabatan atau atas dasar permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan sepanjang Wajib Pajak:
|
(1) | NJOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) ditetapkan oleh Walikota. | ||||||
(2) | Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek PBB-P2 tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. | ||||||
(3) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. | ||||||
(4) | Dalam hal tidak diperoleh harga rata-rata sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penghitungan NJOP dapat dilakukan dengan metode:
|
||||||
(5) | NJOP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) ditetapkan berdasarkan proses penilaian. |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan Pajak terutang berdasarkan surat pendaftaran objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(2) | Dalam hal Wajib Pajak tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan atas Pajak terutang secara jabatan berdasarkan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Daerah. |
(3) | Dalam hal berdasarkan hasil Pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah Pajak yang terutang lebih besar dari jumlah Pajak yang dihitung berdasarkan surat pendaftaran objek pajak yang disampaikan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menetapkan Pajak terutang dengan menggunakan SKPD atau dokumen lain yang dipersamakan. |
(4) | Pajak terutang untuk jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak. |
(5) | Penetapan Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tanpa dikenakan sanksi administratif, kecuali PKB. |
(6) | Penetapan Opsen PKB terutang dalam SKPD dihitung untuk 12 (dua belas) bulan berturut-turut terhitung mulai saat pendaftaran Kendaraan Bermotor. |
(7) | Untuk Opsen PKB yang karena keadaan kahar (force majeure) sehingga kepemilikan dan/atau penguasaannya tidak sampai 12 (dua belas) bulan, dapat dilakukan pengembalian Pajak yang sudah dibayar untuk porsi jangka waktu yang belum dilalui. |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan PBB-P2 terutang berdasarkan SPOP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (1) huruf b dengan menggunakan SPPT atau SKPD. | ||||||
(2) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPD PBB-P2 dalam hal:
|
||||||
(3) | Pajak terutang PBB-P2 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak berkenaan. |
(1) | Besaran Retribusi terutang dihitung berdasarkan perkalian antara tingkat penggunaan jasa dengan tarif Retribusi. | ||||||||
(2) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditinjau kembali paling lama 3 (tiga) tahun sekali. | ||||||||
(3) | Tingkat penggunaan jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jumlah penggunaan jasa yang dijadikan dasar alokasi beban biaya yang dipikul Pemerintah Daerah untuk penyelenggaraan jasa yang bersangkutan. | ||||||||
(4) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan nilai rupiah yang ditetapkan untuk menghitung besarnya Retribusi yang terutang. | ||||||||
(5) | Dalam hal tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dinyatakan dalam satuan mata uang selain rupiah, pembayaran Retribusi dimaksud tetap harus dilakukan dalam satuan mata uang rupiah dengan menggunakan kurs pada saat terutang yang ditetapkan oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan negara untuk kepentingan perpajakan. | ||||||||
(6) | Tarif Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditentukan seragam atau bervariasi menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran penetapan tarif Retribusi. | ||||||||
(7) | Besaran Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, baik berbentuk dokumen tercetak maupun dokumen elektronik. | ||||||||
(8) | Dokumen lain yang dipersamakan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat berupa karcis, kupon, kartu langganan, surat perjanjian, dan surat pemberitahuan pembayaran dari aplikasi pelayanan atau perizinan elektronik. | ||||||||
(9) | Khusus untuk pemanfaatan aset Daerah berupa pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf f, bentuk pemanfaatan barang milik daerah dan tata cara penghitungan besaran tarif dapat ditetapkan dengan Peraturan Walikota untuk pemanfaatan barang milik daerah berupa:
|
||||||||
(10) | Penetapan Peraturan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dapat dilakukan untuk setiap pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah. | ||||||||
(11) | Bentuk pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilaksanakan dengan ketentuan:
|
||||||||
(12) | Pelaksanaan pemanfaatan barang milik daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (9), sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengelolaan barang milik daerah. |
(1) | Pemungutan Pajak dilarang diborongkan. | ||||||||
(2) | Wajib Pajak melakukan pembayaran atau penyetoran Pajak yang terutang dengan menggunakan SSPD. | ||||||||
(3) | Pembayaran atau penyetoran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. | ||||||||
(4) | Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai. | ||||||||
(5) | Walikota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang paling lama:
|
||||||||
(6) | Walikota menetapkan jangka waktu pembayaran atau penyetoran Pajak terutang untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah berakhirnya masa Pajak. | ||||||||
(7) | Dalam hal Wajib Pajak tidak membayar atau menyetor tepat pada waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar atau disetor, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan dan ditagih dengan menggunakan STPD. | ||||||||
(8) | Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terhadap wajib pajak yang tidak membayar atau menyetor tepat waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Wajib Pajak juga dapat dikenai sanksi administratif dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada pada ayat (7) dan ayat (8) diatur dalam Peraturan Walikota. | ||||||||
(10) | Dalam hal wajib pajak tidak melakukan pembayaran atau penyetoran PBB-P2 atas SKPD objek PBB-P2 baru sesuai jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf b, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat membatalkan NOPD dan SKPD. | ||||||||
(11) | Pembayaran atau penyetoran BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan dari jual beli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf a dan ayat (2) berdasarkan nilai perolehan objek Pajak. | ||||||||
(12) | Dalam hal terjadi perubahan atau pembatalan perjanjian pengikatan jual beli sebelum ditandatanganinya akta jual beli mengakibatkan:
|
||||||||
(13) | Pembayaran atau penyetoran BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (11) dan ayat (12) huruf b paling lambat dilunasi pada saat penandatanganan akta jual beli. |
(1) | Pejabat pembuat akta tanah atau notaris sesuai kewenangannya wajib:
|
||||
(2) | Dalam hal pejabat pembuat akta tanah atau notaris melanggar kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara wajib:
|
||||
(4) | Kepala kantor yang membidangi pelayanan lelang negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan bagi Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (3) huruf b diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Kepala kantor bidang pertanahan hanya dapat melakukan pendaftaran hak atas tanah atau pendaftaran peralihan hak atas tanah setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran BPHTB. |
(2) | Kepala kantor bidang pertanahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Penelitian SSPD BPHTB meliputi:
|
||||||||||||||||
(2) | Objek pajak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d meliputi perolehan hak karena waris dan hibah wasiat. | ||||||||||||||||
(3) | Kriteria pengecualian objek BPHTB bagi masyarakat berpenghasilan rendah/masyarakat keluarga miskin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f yaitu untuk kepemilikan rumah pertama dengan kriteria tertentu yang ditetapkan oleh Walikota. | ||||||||||||||||
(4) | Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselaraskan dengan kebijakan pemberian kemudahan pembangunan dan perolehan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah/masyarakat keluarga miskin yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan Urusan Pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan perumahan rakyat. | ||||||||||||||||
(5) | Proses Penelitian atas SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya secara lengkap SSPD BPHTB untuk Penelitian di tempat. | ||||||||||||||||
(6) | Dalam hal berdasarkan hasil Penelitian SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jumlah pajak yang disetorkan lebih kecil dari jumlah pajak terutang, Wajib Pajak wajib membayar selisih kekurangan tersebut. |
(1) | Wajib Retribusi melakukan pembayaran Retribusi terutang yang ditetapkan dalam SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan ke kas Daerah atau melalui Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut. |
(2) | Wajib Retribusi yang bertindak selaku pemungut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyetorkan seluruh penerimaan Retribusi yang dipungut ke kas Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(3) | Dalam hal Retribusi dipungut atas pelayanan yang diberikan oleh BLUD, pembayaran Retribusi oleh Wajib Retribusi disetorkan ke rekening kas BLUD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(4) | Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibayarkan sekaligus sebelum pelayanan diberikan. |
(5) | Dalam hal Wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar, Wajib Retribusi dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari Retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dan ditagih dengan menggunakan STRD. |
(6) | Penagihan Retribusi terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) didahului dengan Surat Teguran. |
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga dalam melakukan Pemungutan Retribusi. |
(2) | Kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak termasuk penetapan tarif, pengawasan, dan pemeriksaan. |
(3) | Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi dengan tidak menambah beban Wajib Retribusi. |
(4) | Penerimaan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetor ke rekening kas umum daerah secara bruto. |
(5) | Pemberian imbal jasa kepada pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui belanja anggaran pendapatan dan belanja daerah. |
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan kerja sama atau penunjukan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Wajib Pajak wajib melakukan pembukuan atau pencatatan secara elektronik dan/atau non-elektronik, dengan ketentuan:
|
||||
(2) | Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya. | ||||
(3) | Pembukuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembukuan. | ||||
(4) | Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit memuat data peredaran usaha atau data penjualan beserta bukti pendukungnya agar dapat digunakan untuk menghitung besaran Pajak yang terutang. | ||||
(5) | Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, termasuk dokumen hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disimpan selama 5 (lima) tahun di Indonesia di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak Badan. |
(1) | Wajib Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c wajib mengisi SPTPD. |
(2) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup seluruh jenis Pajak terutang yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. |
(3) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat peredaran usaha dan jumlah Pajak terutang perjenis Pajak dalam satu masa Pajak. |
(4) | SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Walikota setelah berakhirnya masa Pajak dengan dilampiri SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak. |
(5) | Khusus untuk BPHTB, SSPD dipersamakan sebagai SPTPD. |
(6) | SSPD BPHTB sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dianggap telah disampaikan setelah dilakukannya pembayaran. |
(1) | Pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1) dilakukan setiap masa Pajak. |
(2) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan jangka waktu yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk menghitung Pajak terutang yang harus dibayarkan atau disetorkan ke kas Daerah dan dilaporkan dalam SPTPD. |
(3) | Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Walikota menetapkan jangka waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 10 (sepuluh) hari kalender setelah berakhirnya masa Pajak. |
(4) | Ketentuan masa Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dikecualikan untuk BPHTB. |
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengisian dan penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 ayat (1), penentuan masa Pajak untuk setiap jenis Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan batas waktu penyampaian SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Wajib pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144 ayat (1), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda. | ||||||||||||
(2) | Sanksi administrasi berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan STPD dalam satuan rupiah untuk setiap SPTPD. | ||||||||||||
(3) | Besaran sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan untuk keterlambatan penyampaian pelaporan terhadap jenis pajak PBJT sebagai berikut:
|
||||||||||||
(4) | Sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dikenakan jika wajib pajak mengalami keadaan kahar (force majeure). | ||||||||||||
(5) | Kriteria keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi:
|
||||||||||||
(6) | Selain dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap Wajib Pajak yang tidak melaksanakan kewajiban pelaporan SPTPD juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
|
||||||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (6) diatur dalam Peraturan Walikota |
(1) | Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan SPTPD yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis sepanjang belum dilakukan Pemeriksaan. |
(2) | Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan lebih bayar, pembetulan SPTPD harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum kedaluwarsa penetapan. |
(3) | Dalam hal pembetulan SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan kurang bayar, pembetulan SPTPD dilampiri dengan SSPD sebagai bukti pelunasan Pajak yang kurang dibayar dan sanksi administratif berupa bunga. |
(4) | Atas pembetulan SPTPD yang menyatakan kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(5) | Atas kurang bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tidak dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan pokok Pajak yang kurang dibayar. |
(1) | Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146 ayat (1), terlebih dahulu dilakukan penelitian terhadap pelaksanaan pembetulan. | ||||||
(2) | Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
|
||||||
(3) | Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi dan/atau keterangan dari Wajib Pajak serta dalam hal diperlukan dapat dilakukan peninjauan atau penelitian setempat. | ||||||
(4) | Dalam hal pembetulan didasarkan atas penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan atas permohonan atau kemauan Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 146, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya permohonan. | ||||||
(5) | Apabila berdasarkan hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diketahui terdapat Pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan STPD. | ||||||
(6) | STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) mencantumkan jumlah kekurangan pembayaran Pajak terutang ditambah sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||
(7) | Dalam hal hasil Penelitian atas SPTPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terdapat indikasi penyampaian informasi yang tidak sebenarnya dari Wajib Pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan. |
(1) | Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan pembetulan STPD, SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDN, atau SKPDLB yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis dan/atau kesalahan hitung dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah. | ||||||||||||
(2) | Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Surat Keputusan Pembetulan. | ||||||||||||
(3) | Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk menindaklanjuti permohonan tersebut dengan melakukan penelitian terhadap permohonan Wajib Pajak. | ||||||||||||
(4) | Dalam rangka penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat meminta data, informasi, dan/atau keterangan yang diperlukan. | ||||||||||||
(5) | Dalam hal pembetulan didasarkan atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk wajib menerbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima. | ||||||||||||
(6) | Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) berisi keputusan berupa:
|
||||||||||||
(7) | Walikota atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya dapat membatalkan SPPT, SKPD/SKPDKB/SKPDKBT dan/atau STPD yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dibidang perpajakan yang seharusnya tidak diterbitkan. | ||||||||||||
(8) | Pembatalan SPPT, SKPD dan/atau STPD yang seharusnya tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) terdiri atas:
|
||||||||||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembetulan atau pembatalan ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk berwenang melakukan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban Pajak dan Retribusi dan tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pajak dan Retribusi. | ||||||||||
(2) | Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam hal:
|
||||||||||
(3) | Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit untuk:
|
||||||||||
(4) | Pemeriksaan untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi penentuan, pencocokan atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan. | ||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara Pemeriksaan Pajak dan Retribusi diatur dalam Peraturan Walikota dengan berpedoman pada Peraturan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan negara mengenai pedoman Pemeriksaan Pajak. |
(1) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, kewajiban Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang diperiksa terdiri atas:
|
||||||
(2) | Dalam pelaksanaan Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149, hak Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang diperiksa paling sedikit:
|
||||||
(3) | Dalam hal Wajib Pajak dan Wajib Retribusi tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), besarnya Pajak dan Retribusi terutang ditetapkan secara jabatan. |
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN. | ||||||||||
(2) | SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal terdapat Pajak yang kurang atau tidak dibayar berdasarkan:
|
||||||||||
(3) | SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal ditemukan data baru dan/atau data yang semula belum terungkap dan menyebabkan penambahan Pajak yang terutang setelah dilakukan Pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPDKBT. | ||||||||||
(4) | SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam hal jumlah Pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak. | ||||||||||
(5) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, dan SKPDN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Walikota. |
(1) | Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf a dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar l,8% (satu koma delapan persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||
(2) | Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b angka 1 dan huruf b angka 2 dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 2,2% (dua koma dua persen) per bulan dari Pajak yang kurang atau terlambat dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPDKB, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan, sejak saat terutangnya Pajak ditambahkan dengan sanksi administratif berupa:
|
||||
(3) | Jumlah Pajak yang terutang dalam SKPDKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2) huruf b angka 3 tidak dikenakan sanksi administratif. | ||||
(4) | Jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) dikenakan sanksi administratif berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan Pajak yang terutang dalam SKPDKBT. | ||||
(5) | SKPDKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) serta SKPDKBT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib dilunasi dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan. |
(1) | Dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak terutangnya Pajak, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD. | ||||||||
(2) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a, huruf d dan huruf e dalam hal:
|
||||||||
(3) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan STPD untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penghitungan sendiri oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dan huruf c dalam hal:
|
||||||||
(4) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan ayat (3) huruf a dan huruf b, berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar l% (satu persen) per bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||
(5) | Jumlah tagihan dalam STPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan ayat (3) huruf c, dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(1) | Utang Pajak sebagaimana tercantum dalam SPPT, SKPD, SPTPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding merupakan dasar Penagihan Pajak. |
(2) | Atas dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan imbauan. |
(3) | Dalam hal dasar Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilunasi setelah jatuh tempo pembayaran atau pelunasan, dapat dilakukan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perpajakan. |
(1) | Dalam rangka melaksanakan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (3) Walikota berwenang menunjuk Pejabat untuk melaksanakan Penagihan. | ||||||||||||||||||||||||||
(2) | Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
|
||||||||||||||||||||||||||
(3) | Jurusita Pajak melaksanakan Penagihan Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Tata cara Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (1) diawali dengan penerbitan Surat Teguran. |
(2) | Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan batas waktu pelunasan Utang Pajak oleh Penanggung Pajak. |
(3) | Dalam hal batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terlampaui dan Wajib Pajak belum melunasi Utang Pajak, terhadap Penanggung Pajak diterbitkan Surat Paksa. |
(4) | Khusus untuk Penanggung Pajak yang telah disetujui untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak, atas Utang Pajak yang diangsur atau ditunda pembayarannya tidak diterbitkan Surat Teguran. |
(5) | Dalam hal kewajiban pembayaran Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum dilakukan setelah melewati jatuh tempo, diterbitkan Surat Paksa tanpa didahului Surat Teguran. |
(6) | Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberitahukan atau disampaikan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak. |
(7) | Dalam hal Penanggung Pajak tidak melunasi Utang Pajaknya setelah melewati jangka waktu 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam sejak Surat Paksa disampaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), diterbitkan surat perintah melaksanakan penyitaan. |
(8) | Dalam hal Utang Pajak dan/atau biaya Penagihan Pajak tidak dilunasi setelah dilaksanakan penyitaan berdasarkan surat perintah melaksanakan penyitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7), Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (2) berwenang melaksanakan penjualan secara lelang melalui kantor lelang terhadap barang yang disita. |
(9) | Penjualan secara lelang dilaksanakan paling cepat setelah jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak pengumuman lelang. |
(10) | Pengumuman lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (9), dilaksanakan paling cepat setelah lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak dilakukan penyitaan. |
(11) | Hasil lelang dipergunakan terlebih dahulu untuk membayar biaya Penagihan Pajak dan sisanya untuk membayar Utang Pajak yang belum dibayar. |
a. | Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; |
b. | Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan usahanya atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; |
c. | terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; |
d. | badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau |
e. | terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan. |
(1) | Dalam rangkaian proses pelaksanaan Penagihan, terhadap Penanggung Pajak yang tidak menunjukkan iktikad baik melunasi Utang Pajak dan memiliki Utang Pajak dengan besaran tertentu, dapat dilakukan pencegahan dan/atau penyanderaan. |
(2) | Pencegahan dan/atau penyanderaan terhadap Penanggung Pajak tidak mengakibatkan hapusnya Utang Pajak atau terhentinya pelaksanaan Penagihan Pajak. |
(3) | Pencegahan dan/atau penyanderaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Hak untuk melakukan Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak terutangnya Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4), Pasal 17 ayat (1), Pasal 29 ayat (3), Pasal 36 ayat (3), Pasal 42 ayat (3), Pasal 45 ayat (2), Pasal 48 ayat (3), kecuali apabila Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Dalam hal saat terutang Pajak untuk jenis Pajak yang dipungut berdasarkan penetapan Walikota berbeda dengan saat penetapan SKPD atau SPPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dan Pasal 132 ayat (1), jangka waktu 5 (lima) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak saat penetapan SKPD atau SPPT. | ||||
(3) | Kedaluwarsa Penagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh apabila sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2):
|
||||
(4) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran dan/atau Surat Paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal penyampaian Surat Teguran dan/atau Surat Paksa. | ||||
(5) | Pengakuan Utang Pajak secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b merupakan Wajib Pajak dengan kesadarannya menyatakan masih mempunyai Utang Pajak dan belum melunasinya kepada Pemerintah Daerah. | ||||
(6) | Pengakuan Utang Pajak secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Pajak. | ||||
(7) | Dalam hal terdapat pengakuan Utang Pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal pengakuan. |
(1) | Hak untuk melakukan Penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak saat terutangnya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan tindak pidana di bidang Retribusi. | ||||
(2) | Kedaluwarsa Penagihan Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tertangguh jika:
|
||||
(3) | Dalam hal diterbitkan Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, kedaluwarsa Penagihan dihitung sejak tanggal diterimanya Surat Teguran. | ||||
(4) | Pengakuan utang Retribusi secara langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan Wajib Retribusi dengan kesadaran menyatakan masih mempunyai utang Retribusi dan belum melunasi kepada Pemerintah Daerah. | ||||
(5) | Pengakuan utang Retribusi secara tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dapat diketahui dari pengajuan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran dan permohonan keberatan oleh Wajib Retribusi. |
(1) | Walikota melakukan pengelolaan piutang Pajak untuk menentukan prioritas Penagihan Pajak. | ||||
(2) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk memerintahkan Jurusita Pajak untuk melakukan Penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (3). | ||||
(3) | Piutang Pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. | ||||
(4) | Piutang Pajak yang dihapuskan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dalam Keputusan Walikota. | ||||
(5) | Keputusan Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan dengan mempertimbangkan:
|
||||
(6) | Penagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) huruf a dibuktikan dengan dokumen pelaksanaan Penagihan. | ||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Pajak diatur dalam Peraturan Walikota. |
(1) | Piutang Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk melakukan Penagihan sudah kedaluwarsa dapat dihapuskan. |
(2) | Penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam Keputusan Walikota. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penghapusan piutang Retribusi yang sudah kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga. | ||||||||||
(2) | Keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan jumlah Pajak terutang atau jumlah Pajak yang dipotong atau dipungut, berdasarkan penghitungan Wajib Pajak, dengan disertai alasan yang jelas. | ||||||||||
(3) | Pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SPPI, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, atau SKPDN dikirim atau tanggal pemotongan atau Pemungutan, kecuali jika Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar. | ||||||||||
(4) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||
(5) | Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar Pajak terutang dalam SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. | ||||||||||
(6) | Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (5) tidak dianggap sebagai surat keberatan. | ||||||||||
(7) | Tanda pengiriman surat keberatan melalui pengiriman tercatat atau melalui media lainnya, atau tanda penerimaan surat keberatan yang diberikan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk kepada Wajib Pajak, menjadi tanda bukti penerimaan surat keberatan. | ||||||||||
(8) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. | ||||||||||
(9) | Jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak termasuk sebagai Utang Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 155 ayat (1). |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (1). | ||||||||
(2) | Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan. | ||||||||
(3) | Keputusan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima sebagaimana dimaksud dalam Pasal 165 ayat (7). | ||||||||
(4) | Keputusan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
|
||||||||
(5) | Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) Walikota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima. | ||||||||
(6) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Dalam hal pengajuan keberatan Pajak dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan. |
(3) | Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(1) | Wajib Retribusi tertentu dapat mengajukan keberatan kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk atas SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. | ||||||||||
(2) | Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai alasan yang jelas. | ||||||||||
(3) | Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal SKRD dikirim, kecuali jika Wajib Retribusi dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan kahar. | ||||||||||
(4) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi:
|
||||||||||
(5) | Pengajuan keberatan tidak menunda kewajiban membayar Retribusi dan pelaksanaan Penagihan Retribusi. |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 ayat (1) dengan menerbitkan surat keputusan keberatan. |
(2) | Dalam memberikan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan. |
(3) | Keputusan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya Retribusi yang terutang. |
(4) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah lewat dan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima seluruhnya. |
(1) | Jika pengajuan keberatan diterima sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Retribusi dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Retribusi yang lebih dibayar untuk paling lama 12 (dua belas) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKRDLB. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan keberatan Retribusi diatur dalam Peraturan Walikota. |
(1) | Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Walikota atau Pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (3) paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan. |
(2) | Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dengan disertai alasan yang jelas. |
(3) | Permohonan banding sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding. |
(4) | Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(1) | Dalam hal permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. |
(2) | Imbalan bunga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding. |
(3) | Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (3) tidak dikenakan. |
(4) | Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. |
(1) | Dalam mendukung kebijakan kemudahan berinvestasi, Walikota dapat memberikan insentif fiskal kepada pelaku usaha di Daerah. | ||||||||||
(2) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksinya. | ||||||||||
(3) | Insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan atas permohonan Wajib Pajak dan Wajib Retribusi atau diberikan secara jabatan oleh Walikota berdasarkan pertimbangan:
|
||||||||||
(4) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan kewenangan Walikota sesuai dengan kebijakan Daerah dalam pengelolaan keuangan daerah. | ||||||||||
(5) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a dan huruf b, dilakukan dengan memperhatikan faktor:
|
||||||||||
(6) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi pelaku usaha mikro dan ultra mikro sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c, dilakukan sesuai dengan kriteria usaha mikro dan ultra mikro dalam peraturan perundang-undangan di bidang usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. | ||||||||||
(7) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d, disesuaikan dengan prioritas Daerah yang tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah. | ||||||||||
(8) | Pemberian insentif fiskal kepada Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf e dilakukan dalam rangka percepatan penyelesaian proyek strategis nasional. |
(1) | Pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Walikota dan diberitahukan kepada DPRD. |
(2) | Pemberitahuan kepada DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan pertimbangan Walikota dalam memberikan insentif fiskal. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian insentif fiskal diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Dalam hal pemberian insentif fiskal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (1) merupakan permohonan Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi, apabila diperlukan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi untuk tujuan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1). |
(2) | Pemeriksaan Pajak dan/atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memastikan bahwa Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi yang mengajukan permohonan insentif fiskal berhak untuk menerima insentif fiskal sesuai dengan pertimbangan dan faktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173 ayat (3) dan ayat (5). |
(1) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat memberikan keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok dan/atau sanksi administratif Pajak dan/atau Retribusi dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(2) | Kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit berupa kemampuan membayar Wajib Pajak atau Wajib Retribusi atau tingkat likuiditas Wajib Pajak atau Wajib Retribusi. |
(3) | Pemberian keringanan, pengurangan, pembebasan, dan penundaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kondisi Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dan/atau objek Pajak atau objek Retribusi. |
(4) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara keringanan, pengurangan, pembebasan dan penundaan pembayaran atas pokok Pajak, pokok Retribusi dan/atau sanksi administratif diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Walikota dapat memberikan kemudahan perpajakan Daerah kepada Wajib Pajak, berupa:
|
||||||||||
(2) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, diberikan kepada Wajib Pajak yang mengalami keadaan kahar sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban Pajak pada waktunya. | ||||||||||
(3) | Perpanjangan batas waktu pembayaran atau pelaporan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan Walikota secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Walikota. | ||||||||||
(4) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau keadaan kahar Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pelunasan Pajak pada waktunya. | ||||||||||
(5) | Pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang atau Utang Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diberikan Walikota berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditetapkan dalam Keputusan Walikota. | ||||||||||
(6) | Dalam pemberian fasilitas angsuran atau penundaan pembayaran Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Walikota memperhatikan kepatuhan Wajib Pajak dalam pembayaran Pajak selama 2 (dua) tahun terakhir. | ||||||||||
(7) | Keputusan Walikota atas permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat berupa:
|
||||||||||
(8) | Persetujuan atau persetujuan sebagian angsuran atau penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) huruf a dan huruf b paling lama diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan. | ||||||||||
(9) | Pembayaran angsuran setiap masa angsuran dan pembayaran Pajak yang ditunda disertai bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari jumlah Pajak yang masih harus dibayar, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. | ||||||||||
(10) | Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) meliputi:
|
||||||||||
(11) | Ketentuan lebih lanjut mengenai administrasi dan tata cara pemberian kemudahan perpajakan Daerah diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Atas kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi, Wajib Pajak atau Wajib Retribusi dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Walikota atau Pejabat yang ditunjuk. | ||||||
(2) | Pengajuan permohonan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk BPHTB harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terbit SSPD kecuali:
|
||||||
(3) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. | ||||||
(4) | Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harus memberikan keputusan. | ||||||
(5) | Apabila jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) telah dilampaui dan Walikota atau Pejabat yang ditunjuk tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak atau Retribusi dianggap dikabulkan dan SKPDL atau SKRDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. | ||||||
(6) | Apabila Wajib Pajak atau Wajib Retribusi mempunyai Utang Pajak atau Utang Retribusi lainnya, kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu Utang Pajak atau utang Retribusi lainnya. | ||||||
(7) | Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB atau SKRDLB. | ||||||
(8) | Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi. | ||||||
(9) | Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak atau Retribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Walikota. |
(1) | Opsen dikenakan atas pokok Pajak terutang dari:
|
||||
(2) | Opsen PKB dan Opsen BBNKB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada nama, nomor induk kependudukan, dan/atau alamat pemilik Kendaraan Bermotor di wilayah Daerah. | ||||
(3) | Besaran pokok Opsen PKB dan Opsen BBNKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak sebesar 66% (enam puluh enam persen) dengan dasar pengenaan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dan Pasal 47 ayat (1). | ||||
(4) | Pemungutan Opsen yang dikenakan atas pokok Pajak terutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan bersamaan dengan Pemungutan Pajak terutang dari PKB dan BBNKB. |
(1) | Dalam rangka optimalisasi penerimaan Opsen PKB dan Opsen BBNKB, Pemerintah Daerah provinsi bersinergi dengan Pemerintah Daerah. |
(2) | Sinergi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa sinergi pendanaan untuk biaya yang muncul dalam Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB. |
(3) | Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB dan bentuk sinergi antara provinsi dan kota dalam implementasi kebijakan yang berdampak pada Pemungutan Opsen PKB dan Opsen BBNKB diatur dalam Peraturan Walikota. |
(1) | Dalam upaya mengoptimalkan penerimaan Pajak, Pemerintah Daerah dapat melaksanakan kerja sama optimalisasi Pemungutan Pajak dengan:
|
||||||||||||||
(2) | Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
|
||||||||||||||
(3) | Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e dan/atau huruf g. | ||||||||||||||
(4) | Kerja sama yang dapat dilaksanakan bersama dengan pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf e, huruf f dan huruf g. |
(1) | Pemerintah Daerah dapat:
|
||||||||||||||||||||
(2) | Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) dituangkan dalam dokumen perjanjian kerja sama atau dokumen lain yang disepakati para pihak. | ||||||||||||||||||||
(3) | Khusus untuk bentuk kerja sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (2) huruf a, dokumen perjanjian kerja sama ditetapkan oleh Walikota bersama mitra kerja sama. | ||||||||||||||||||||
(4) | Dokumen perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit mengatur ketentuan mengenai:
|
(1) | Dalam rangka optimalisasi Pemungutan Pajak, Pemerintah Daerah dapat meminta data dan/atau informasi kepada pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan. |
(2) | Data dan/atau informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa data dan/atau informasi yang berkaitan dengan orang pribadi atau Badan yang terdaftar dan memiliki peredaran usaha. |
(1) | Pemerintah Daerah dapat menerapkan sistem online terhadap Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. | ||||||||
(2) | Penerapan sistem online sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk:
|
||||||||
(3) | Dalam hal Pemerintah Daerah telah menerapkan sistem online terhadap jenis pajak daerah dan retribusi daerah maka Wajib Pajak dan Wajib Retribusi wajib melaksanakan sistem online dimaksud. | ||||||||
(4) | Wajib Pajak dan Wajib Retribusi yang melanggar ketentuan pelaksanaan sistem online sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikenakan sanksi administratif. | ||||||||
(5) | Walikota atau perangkat daerah yang ditunjuk berwenang menghubungkan sistem data transaksi usaha yang dimiliki oleh Wajib Pajak dan/atau Wajib Retribusi dengan sistem yang dimiliki/dikelola oleh Pemerintah Daerah secara online. | ||||||||
(6) | Walikota dapat menunjuk Bank Umum dan/atau e-commerce yang bertindak sebagai pelaksana operasional sistem online terhadap Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. | ||||||||
(7) | Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan dan pengenaan sanksi administratif sistem online terhadap Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diatur dalam Peraturan Walikota. |
(1) | Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(2) | Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Walikota untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan Daerah. | ||||
(3) | Yang dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) adalah:
|
||||
(4) | Untuk kepentingan Daerah, Walikota berwenang memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), agar memberikan keterangan, memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak yang ditunjuk. | ||||
(5) | Untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dalam perkara pidana atau perdata, atas permintaan hakim sesuai dengan hukum acara pidana dan hukum acara perdata, Walikota dapat memberikan izin tertulis kepada pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (2), untuk memberikan dan memperlihatkan bukti tertulis dan keterangan Wajib Pajak yang ada padanya. | ||||
(6) | Permintaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (5) harus menyebutkan nama tersangka atau nama tergugat, keterangan yang diminta, serta kaitan antara perkara pidana atau perdata yang bersangkutan dengan keterangan yang diminta. |
(1) | Penyidik Pegawai Negeri Sipil Daerah berwenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Daerah dan Retribusi. | ||||||||||||||||||||||
(2) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil Daerah yang diangkat oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. | ||||||||||||||||||||||
(3) | Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
|
||||||||||||||||||||||
(4) | Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana. |
(1) | Wajib Pajak yang karena kealpaannya tidak mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan SPTPD kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
(2) | Wajib Pajak yang dengan sengaja mengisi SPTPD dengan tidak benar atau tidak lengkap atau tidak melampirkan keterangan yang tidak benar atau tidak menyampaikan SPTPD kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5), sehingga merugikan Keuangan Daerah, diancam dengan pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. |
a. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 36 Tahun 1955 tentang Pemungutan Pajak Yang Disebut Pajak Jalan (Tambahan Lembaran Propinsi Djawa Timur tanggal 15 Agustus 1955 Seri B No. 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 5 Tahun 1973 (Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Djawa Timur Tahun 1974 Seri B Tanggal 8 Mei 1974 No. 29/B); |
b. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 37 Tahun 1955 tentang Pemungutan Padjak Pendjualan Dan Pembuatan Petasan (Tambahan Lembaran Propinsi Djawa Timur tanggal 15 Agustus 1955 Seri B No. 11); |
c. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 38 Tahun 1955 tentang Pemungutan Padjak Tempat Usaha Perseroan Dalam Kota Besar Surabaja (Tambahan Lembaran Propinsi Djawa Timur tanggal 15 Agustus 1955 Seri B No. 11); |
d. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 40 Tahun 1955 tentang Pemungutan Padjak Reklame Dalam Daerah Kota Besar Surabaja (Tambahan Lembaran Propinsi Djawa Timur tanggal 15 Agustus 1955 Seri B No 11) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 04 Tahun 1975 tentang Untuk Merubah Kedua Kali Peraturan Daerah Kota Besar Surabaya Nomor 40 tahun 1955 tentang Pemungutan Pajak Yang Disebut Pajak Reklame Kota Besar Surabaya (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1977 Seri A Tanggal 15 Januari 1977 No 1/A); |
e. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 41 Tahun 1955 tentang Mengenai Pemungutan Pajak Yang Disebut Hak Izin, Hak Perkenan dan Hak Perlulusan (Pengundangan Tanggal 15 Agustus 1955) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 6 Tahun 1973 (Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Djawa Timur Tahun 1974 Seri B Tanggal 8 Mei 1974 No. 28/B); |
f. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 42 Tahun 1955 tentang Pemungutan Opsen Atas Padjak Rumah Tangga Dalam Daerah Kota Besar Surabaja (Tambahan Lembaran Daerah Propinsi Djawa Timur tanggal 15 Agustus 1955 Seri B No 11); |
g. | Peraturan Daerah Kota Besar Surabaja Nomor 43 Tahun 1955 tentang Pemungutan Opsen Atas Padjak Perpording Dalam Daerah Kota Besar Surabaja (Tambahan Lembaran Propinsi Djawa Timur tanggal 15 Agustus 1955 Seri B No 11); |
h. | Peraturan Daerah Kotamadya Surabaja Nomor 1 Tahun 1969 tentang Tjara Mendjalankan Penagihan Padjak/Retribusi Daerah dengan Surat Paksa (Pengundangan Tanggal 30 Januari 1969) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 16 Tahun 1991 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 1969 tentang Cara Menjalankan Penagihan Pajak/Retribusi Daerah Dengan Surat Paksa (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1992 Seri B tanggal 27 Januari 1992 Nomor 3/B); |
i. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 2 Tahun 1969 tentang Pajak Bangsa Asing (Pengundangan tanggal 01 Januari 1970) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 9 Tahun 1987 tentang (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1987 tanggal 24 Oktober 1987, Seri A Nomor 3); |
j. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 3 Tahun 1969 tentang Pajak Radio (Tanggal Pengundangan 01 Januari 1970) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah tingkat II Surabaya Nomor 1 Tahun 1991 tentang Perubahan Kedua Peraturan Daerah Kotamadya Daerah tingkat II Surabaya Nomor 3 Tahun 1969 tentang Pajak Radio (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1992 Seri A Tanggal 24 April 1992 Nomor 1); |
k. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 14 Tahun 1974 tentang Penetapan Tarif-Tarif Retribusi Di Taman Hiburan Rakyat (Lembaran Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1975 Seri B Tanggal 2 April 1975 No 3/B) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 04 Tahun 1981 tentang Perubahan Ketiga Kalinya Peraturan Daerah Kotamadya daerah Tingkat II Surabaya Nomor 14 Tahun 1974 tentang Penetapan Tarif-Tarif Retribusi Di Taman Hiburan Rakyat (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1982 Seri B Tanggal 12 April 1982 Nomor 2/B); |
l. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 9 Tahun 1977 tentang Tarip Retribusi Pasar (Lembaran Daerah Kotamadya daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1978 Seri B pada tanggal 11 Pebruari 1978 Nomor 2/B); |
m. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 11 Tahun 1977 tentang Pungutan Pajak Tontonan Dalam Daerah Kota Besar Surabaya (Lembaran Daerah Kotamadya daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1978 Seri A pada tanggal 23 Mei 1978 Nomor 2/A); |
n. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 16 Tahun 1977 tentang Tarip Pajak Jalan (Pengundangan pada Tanggal 1 Januari 1970); |
o. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 17 Tahun 1977 Tentang Pajak Kendaraan tak Bermotor (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1978 Seri A pada tanggal 26 April 1978 Nomor 1/A.) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 9 Tahun 1981 tentang Perubahan Yang Kedua Kali Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 35 Tahun 1955 tentang Pajak Kendaraan Tak Bermotor (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1982 Seri A pada tanggal 17 Mei 1982 Nomor 1/A); |
p. | Peraturan Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 19 Tahun 1977 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan oleh Pusat Kesehatan Masyarakat Kotamadya daerah Tingkat II Surabaya sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 10 Tahun 1989 (Lembaran Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1990 Seri B Tanggal 16 Maret 1990 Nomor 1); |
q. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 20 Tahun 1977 tentang Retribusi Pemeriksaan Konstruksi Pemeriksaan Dalam Bangunan Dan Perbaikan Jalan/Saluran Assainering (Pengundangan pada Tanggal 01 Januari 1970); |
r. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 21 Tahun 1977 tentang Retribusi Penyelesaian Sengketa Perumahan (Pengundangan pada Tanggal 01 Januari 1970); |
s. | Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 1977 tentang Pemakaian dan Retribusi Tanah yang Dikelola oleh Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 2 Tahun 1987 (Pengundangan pada tanggal 01 Januari 1970); |
t. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 3 Tahun 1978 tentang Persetujuan Prinsip Lokasi Pendirian Bangunan-Bangunan serta Ketentuan-Ketentuan Retribusinya (Pengundangan pada Tanggal 01 Januari 1970); |
u. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 7 Tahun 1978 tentang Retribusi Prakwalifikasi dan Uang Penggantian Dokumen-Dokumen Pelelangan Pekerjaan (Pengundangan pada Tanggal 01 Januari 1970); |
v. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 4 Tahun 1987 tentang Pajak Anjing (Lembaran Daerah Kota Madya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1987 Seri A); |
w. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 20 Tahun 1987 tentang Pajak Potong Hewan (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tahun 1988 Seri A Pada Tanggal 31 Agustus 1988 Nomor 2); |
x. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 7 Tahun 1998 tentang Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah Dan Air Permukaan (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 1/A Tahun 1998 Seri A); |
y. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 8 Tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan Dan Pengolahan Bahan Galian Golongan C (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 2/A Tahun 1998 Seri A); |
z. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 20 Tahun 1998 tentang Pencabutan Dan Pencabutan Sebagian Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Tentang Retribusi Daerah Berkaitan dengan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah (Lembaran Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Seri C Tahun 1999 Tanggal 9 Juli 1999 Nomor 2/C); |
aa. | Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 13 Tahun 1999 Tentang Retribusi Izin Peruntukan Penggunaan Tanah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2016 (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2016 Nomor 5); |
bb. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 13 Tahun 2001 tentang Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan Serta Pusat Perbelanjaan Pasar Turi (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2001 Nomor Nomor 3/B); |
cc. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2006 tentang Biaya Pemungutan Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2006 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 9); |
dd. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Mohamad Soewandhie (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2008 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 9); |
ee. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 6) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2017 (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2017 Nomor 6); |
ff. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2010 tentang Pelayanan Kesehatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Bhakti Dharma Husada (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 7); |
gg. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 8) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan Perkotaan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2021 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 5); |
hh. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Dinas Kesehatan Kota Surabaya (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 4); |
ii. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 11 Tahun 2010 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 9); |
jj. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2010 tentang Retribusi Terminal (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2010 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 10); |
kk. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2011 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1); |
ll. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 3 Tahun 2011 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2011 Nomor 3, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 2) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2014 (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2014 Nomor 7); |
mm. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2011 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 3); |
nn. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Trayek (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 4, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 3); |
oo. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 5 Tahun 2012 tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 5, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 4) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2018 Nomor 2); |
pp. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 6 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Tera atau Tera Ulang (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 6, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 5); |
qq. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 6); |
rr. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 8); |
ss. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Khusus Parkir (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 9); |
tt. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 10 Tahun 2012 tentang Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 10); |
uu. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 11 Tahun 2012 tentang Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 11, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 10) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2016 tentang (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2016 Nomor 6); |
vv. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 12, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 11) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 9 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 12 Tahun 2012 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2013 Nomor 9, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 8); |
ww. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 13 Tahun 2012 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2012 Nomor 13, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 12); |
xx. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2013 tentang Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2013 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1); |
yy. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2016 tentang Retribusi Pengolahan Limbah Cair Dalam Bentuk Tinja (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2016 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1); |
zz. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2017 tentang Penerapan Sistem Online terhadap Pajak Daerah Di Kota Surabaya (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2017 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1); |
aaa. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2022 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2022 Nomor 1, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 1); |
bbb. | Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 2022 tentang Retribusi Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Lembaran Daerah Kota Surabaya Tahun 2022 Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah Kota Surabaya Nomor 7). |
I. | UMUM Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah telah merubah kebijakan hukum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah mengatur dan menetapkan 7 (tujuh) jenis pajak Daerah Kota terdiri atas Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Barang dan Jasa Tertentu, Pajak Reklame, Pajak Air Tanah, Pajak Sarang Burung Walet, Opsen Pajak Kendaraan Bermotor dan Opsen Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini juga mengatur dan menetapkan Jenis Retribusi Daerah Kota meliputi Retribusi Jasa Umum terdiri atas 5 (lima) jenis Retribusi, Retribusi Jasa Usaha terdiri atas 10 (sepuluh) jenis Retribusi dan Retribusi Perizinan Tertentu terdiri atas 3 (tiga) jenis Retribusi.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah melarang Pemerintah Daerah melakukan pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selain jenis Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana ditetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Namun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini memperbolehkan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat tidak melakukan pemungutan terhadap Jenis Pajak dan Retribusi sebagaimana dimaksud bilamana potensinya kurang memadai dan/atau Pemerintah Daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan ketentuan Pasal 187 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, Daerah harus menetapkan Peraturan Daerah baru untuk menggantikan Peraturan Daerah yang mengatur Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah diundangkan. Dengan demikian, Pemerintahan Kota Surabaya sudah harus membentuk dan memberlakukan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah baru tersebut. Berdasarkan ketentuan Pasal 94 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, aturan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah harus ditetapkan dalam 1 (satu) Peraturan Daerah dan sekaligus menjadi dasar hukum pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan daerah dimaksud mengatur seluruh jenis pajak daerah dan retribusi Daerah dengan minimal pengaturan lingkup materi muatan meliputi Jenis Pajak dan Retribusi, Subjek Pajak dan Wajib Pajak, Subjek Retribusi dan Wajib Retribusi, objek Pajak dan Retribusi, dasar pengenaan Pajak, tingkat penggunaan jasa Retribusi, saat terutang Pajak, wilayah pemungutan Pajak, serta tarif Pajak dan Retribusi.
Berhubungan dengan keberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah ini, maka Pemerintahan Kota Surabaya perlu menindaklanjuti amanat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dengan membentuk Peraturan Daerah Kota Surabaya tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dan sekaligus mencabut dan menyatakan tidak berlakunya peraturan daerah yang masih berlaku dan mengatur tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kota Surabaya.
|
||
II. | PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Cukup jelas.
Pasal 2 Cukup jelas.
Pasal 3 Cukup jelas.
Pasal 4 Ayat (1)
Pada prinsipnya saat terutangnya Pajak terjadi pada saat timbulnya objek Pajak yang dapat dikenai Pajak. Namun, untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak dapat terjadi pada:
Yang dimaksud dengan "syarat subjektif' adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai subjek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Yang dimaksud dengan "syarat objektif” adalah persyaratan yang sesuai dengan ketentuan mengenai objek Pajak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 5 Cukup jelas.
Pasal 6 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Bangunan adalah jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut, jalan tol, kolam renang, pagar mewah, tempat olahraga, galangan kapal, dermaga, taman mewah, tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak, dan mеnага.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Bumi dan/atau Bangunan untuk jalur kereta api, moda raya terpadu (Mass Rapid Transit), lintas raya terpadu (Light Rail Transit), atatt yang sejenis" adalah jalur rel yang digunakan sebagai infrastruktur perhubungan untuk moda berbasis rel dimaksud, tidak termasuk area lain pada stasiun seperti kantor, gedung parkir, lounge, fasilitas makan/minum, dan fasilitas hiburan di stasiun.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “Bumi dan/atau Bangunan tempat tinggal lainnya berdasarkan NJOP tertentu yang ditetapkan oleh Walikota” termasuk untuk Veteran Pembela Kemerdekaan Republik Indonesia, Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia.
Huruf i
Cukup jelas.
Pasal 7 Cukup jelas.
Pasal 8 Cukup jelas.
Pasal 9 Cukup jelas.
Pasal 10 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11 Cukup jelas.
Pasal 12 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “konversi hak” adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan, termasuk pengakuan hak oleh pemerintah. Misalnya: Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
Yang dimaksud dengan “perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama” adalah perbuatan hukum dalam bentuk antara lain:
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Pasal 13 Cukup jelas.
Pasal 14 Cukup jelas.
Pasal 15 Cukup jelas.
Pasal 16 Cukup jelas.
Pasal 17 Cukup jelas.
Pasal 18 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan penjualan atau penyerahan barang dan jasa tertentu oleh Wajib Pajak termasuk penyediaan akomodasi yang dipasarkan oleh pihak ketiga berupa tempat tinggal yang difungsikan sebagai hotel. Dalam kondisi dimaksud yang menjadi Wajib Pajak PBJT adalah pemilik atau pihak yang menguasai tempat tinggal, yang menyerahkan jasa akomodasi kepada konsumen akhir, bukan penyedia jasa pemasaran atau pengelolaan melalui platform digital.
Pasal 19 Cukup jelas.
Pasal 20 Ayat (1)
Huruf a
Contoh Penjualan dan/atau penyerahan Makanan dan/atau Minuman:
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 21 Cukup jelas.
Pasal 22 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "tempat tinggal pribadi yang difungsikan sebagai hotel" adalah rumah, apartemen, dan kondominium yang disediakan sebagai jasa akomodasi selayaknya akomodasi hotel, tetapi tidak termasuk bentuk persewaan (kontrak) jangka panjang (lebih dari satu bulan).
Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "persewaan ruangan untuk diusahakan di hotel" adalah ruangan yang disewa oleh pelaku usaha untuk penyelenggaraan kegiatan usaha seperti kantor, toko, atau mesin anjungan tunai mandiri (ATM) di dalam hotel.
Pasal 23 Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir” dalam ketentuan ini adalah termasuk parkir khusus dan/atau penyediaan penitipan kendaraan bermotor.
Huruf b
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 24 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "permainan ketangkasan" meliputi permainan yang berada di dalam kawasan arena dan/atau taman bermain yang dipungut bayaran, baik yang berada di dalam ruangan maupun di luar ruangan seperti permainan ding-dong, lempar bola ke dalam keranjang, paintball, dan sebagainya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "olahraga permainan" meliputi persewaan ruang dan alat olahraga seperti tempat kebugaran (fitness center), lapangan futsal, lapangan tenis, kolam renang, dan sebagainya yang dikenakan bayaran atas penggunaannya.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Huruf l
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 25 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Contoh Perhitungan:
Penyelenggara Parkir X memungut pembayaran parkir mobil sebesar Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) tanpa mencantumkan jumlah pajak pada karcis parkir, maka jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 10% (sepuluh persen) x Rp10.000,00 (sepuluh ribu rupiah) = Rp1.000,00 (seribu rupiah). Huruf e
Contoh Perhitungan:
Penyelenggara A menyelenggarakan konser musik dengan Harga Tanda Masuk sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) tanpa mencantumkan jumlah pajak pada Harga Tanda Masuk, maka jumlah pajak yang harus dibayarkan adalah 10% (sepuluh persen) x Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) = Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah). Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 26 Cukup jelas.
Pasal 27 Cukup jelas.
Pasal 28 Cukup jelas.
Pasal 29 Cukup jelas.
Pasal 30 Cukup jelas.
Pasal 31 Cukup jelas.
Pasal 32 Cukup jelas.
Pasal 33 Cukup jelas.
Pasal 34 Cukup jelas.
Pasal 35 Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 37 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pemanfaatan” adalah kegiatan penggunaan Air Tanah di sumbernya tanpa dilakukan pengambilan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 38 Cukup jelas.
Pasal 39 Cukup jelas.
Pasal 40 Cukup jelas.
Pasal 41 Cukup jelas.
Pasal 42 Cukup jelas.
Pasal 43 Cukup jelas.
Pasal 44 Cukup jelas.
Pasal 45 Cukup jelas.
Pasal 46 Cukup jelas.
Pasal 47 Cukup jelas.
Pasal 48 Cukup jelas.
Pasal 49 Cukup jelas.
Pasal 50 Cukup jelas.
Pasal 51 Cukup jelas.
Pasal 52 Cukup jelas.
Pasal 53 Cukup jelas.
Pasal 54 Cukup jelas.
Pasal 55 Cukup jelas.
Pasal 56 Cukup jelas.
Pasal 57 Cukup jelas.
Pasal 58 Cukup jelas.
Pasal 59 Cukup jelas.
Pasal 60 Cukup jelas.
Pasal 61 Cukup jelas.
Pasal 62 Cukup jelas.
Pasal 63 Cukup jelas.
Pasal 64 Cukup jelas.
Pasal 65 Cukup jelas.
Pasal 66 Cukup jelas.
Pasal 67 Cukup jelas.
Pasal 68 Cukup jelas.
Pasal 69 Cukup jelas.
Pasal 70 Cukup jelas.
Pasal 71 Cukup jelas.
Pasal 72 Cukup jelas.
Pasal 73 Cukup jelas.
Pasal 74 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Walikota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 75 Cukup jelas.
Pasal 76 Cukup jelas.
Pasal 77 Cukup jelas.
Pasal 78 Cukup jelas.
Pasal 79 Cukup jelas.
Pasal 80 Cukup jelas.
Pasal 81 Cukup jelas.
Pasal 82 Cukup jelas.
Pasal 83 Cukup jelas.
Pasal 84 Cukup jelas.
Pasal 85 Cukup jelas.
Pasal 86 Cukup jelas.
Pasal 87 Cukup jelas.
Pasal 88 Cukup jelas.
Pasal 89 Cukup jelas.
Pasal 90 Contoh tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh Pemerintah Daerah, seperti asrama, hotel, atau aula atau ruangan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh organisasi perangkat Daerah, yang difungsikan sebagai tempat penginapan atau pesanggrahan atau vila.
Pasal 91 Cukup jelas.
Pasal 92 Cukup jelas.
Pasal 93 Cukup jelas.
Pasal 94 Cukup jelas.
Pasal 95 Cukup jelas.
Pasal 96 Cukup jelas.
Pasal 97 Cukup jelas.
Pasal 98 Cukup jelas.
Pasal 99 Cukup jelas.
Pasal 100 Cukup jelas.
Pasal 101 Cukup jelas.
Pasal 102 Cukup jelas.
Pasal 103 Cukup jelas.
Cukup jelas.
Pasal 105 Cukup jelas.
Pasal 106 Cukup jelas.
Pasal 107 Cukup jelas.
Pasal 108 Yang dimaksud dengan “optimalisasi” adalah pemanfaatan aset Daerah termasuk dengan operator atau tenaga sumber daya manusia yang mengoperasikan aset Daerah yang bersangkutan.
Pasal 109 Cukup jelas.
Pasal 110 Cukup jelas.
Pasal 111 Cukup jelas.
Pasal 112 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyesuaian detail rincian objek dalam Peraturan Walikota dapat dilakukan sepanjang detail rincian objek yang baru merupakan bagian dari rincian objek yang telah diatur dalam Peraturan Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 113 Cukup jelas.
Pasal 114 Cukup jelas.
Pasal 115 Cukup jelas.
Pasal 116 Cukup jelas.
Pasal 117 Cukup jelas.
Pasal 118 Cukup jelas.
Pasal 119 Cukup jelas.
Pasal 120 Cukup jelas.
Pasal 121 Cukup jelas.
Pasal 122 Cukup jelas.
Pasal 123 Cukup jelas.
Pasal 124 Cukup jelas.
Pasal 125 Cukup jelas.
Pasal 126 Cukup jelas.
Pasal 127 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Setiap Wajib Pajak orang pribadi hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk kependudukan Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Ayat (6)
Setiap Wajib Pajak Badan hanya memiliki 1 (satu) NPWPD dan dihubungkan dengan nomor induk berusaha Wajib Pajak dimaksud dalam basis data (profiling system) Pemerintah Daerah yang bersangkutan.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 128 Cukup jelas.
Pasal 129 Cukup jelas.
Pasal 130 Cukup jelas.
Pasal 131 Cukup jelas.
Pasal 132 Cukup jelas.
Pasal 133 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "SPPT" adalah dokumen yang digunakan sebagai dasar bagi Wajib Pajak untuk membayar PBB-P2 terutang dan bukan merupakan dokumen bukti kepemilikan atas suatu objek PBB-P2.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 134 Cukup jelas.
Pasal 135 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dilarang diborongkan" adalah bahwa seluruh proses kegiatan Pemungutan Pajak yang meliputi kegiatan penghitungan besarnya Pajak terutang, pengawasan, penyetoran, dan Penagihan Pajak tidak dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga, namun dimungkinkan adanya kerja sama dengan pihak ketiga dalam rangka mendukung kegiatan Pemungutan Pajak, antara lain pengiriman surat kepada Wajib Pajak atau penghimpunan data objek dan subjek Pajak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Pemberian NPWPD kepada Wajib Pajak digunakan untuk seluruh kewajiban jenis Pajak.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SKPD” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “tanggal pengiriman SPPT atau SKPD” adalah tanggal dikirimkannya dokumen baik secara fisik maupun elektronik.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan pengenaan sanksi administratif berupa bunga dihitung sejak tanggal ketetapan.
Contoh 1: ketetapan pajak reklame diterbitkan tanggal 31 Oktober, sehingga jatuh tempo pembayaran adalah tanggal apabila ketetapan pajak berikutnya terbit melebihi jatuh tempo, maka wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen). Contoh 2: Jatuh tempo SPTPD atas PBJT pada tanggal 10 Oktober, wajib pajak menyampaikan SPTPD pada tanggal 11 Oktober, maka wajib pajak dikenakan sanksi administratif berupa denda atas keterlambatan pelaporan terhadap jenis pajak PBJT sesuai dengan ketentuan Pasal 144. (cut off masa pajak). Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Ayat (13)
Cukup jelas.
Pasal 136 Cukup jelas.
Pasal 137 Cukup jelas.
Pasal 138 Ketentuan mengenai penerbitan surat keterangan bukan objek BPHTB bertujuan untuk memberikan kepastian bagi pejabat pembuat akta tanah atau notaris, kepala kantor lelang negara, dan kepala kantor bidang pertanahan, bahwa suatu perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan bukan merupakan objek BPHTB. Sebagai contoh, Walikota atau Pejabat yang ditunjuk dapat menerbitkan surat keterangan bukan objek BPHTB atas perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan karena wakaf.
Pasal 139 Cukup jelas.
Pasal 140 Cukup jelas.
Pasal 141 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pertimbangan efisiensi dan efektivitas Pemungutan Retribusi" adalah Pemungutan Retribusi yang dilaksanakan oleh pihak ketiga menggunakan sumber daya yang lebih efisien dari aspek waktu, tenaga, dan biaya, dibandingkan apabila dilaksanakan sendiri oleh Pemerintah Daerah, serta dapat mencapai realisasi penerimaan yang optimal.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 142 Cukup jelas.
Pasal 143 Ayat (1)
Wajib Pajak dalam melakukan pengisian SPTPD dapat melalui sistem elektronik
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 144 Cukup jelas.
Pasal 145 Cukup jelas.
Pasal 146 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 147 Cukup jelas.
Pasal 148 Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kesalahan tulis” adalah:
Yang dimaksud dengan “kesalahan hitung” adalah kesalahan dalam penambahan/pengurangan dan perkalian/pembagian, kesalahan penerapan tarif, kesalahan penerapan klasifikasi objek, penetapan jumlah batas nilai Bangunan Tidak Kena Pajak dan kesalahan lainnya sejenisnya.
Yang dimaksud dengan “salah/keliru dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan” adalah kekeliruan dalam penerapan ketentuan undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya terhadap fakta atau kenyataan objek pajak dan subjek pajak yang sudah jelas/benar. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud “Objek pajak mengalami perubahan fungsi menjadi digunakan semata-mata hanya untuk melayani kepentingan umum” termasuk Bumi dan/atau Bangunan yang merupakan Prasarana, Sarana dan Utilitas kawasan perumahan yang telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah.
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 149 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Analisis risiko dilaksanakan dengan mempertimbangkan perilaku dan kepatuhan Wajib Pajak yang meliputi:
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 150 Cukup jelas.
Pasal 151 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “penghitungan secara jabatan” adalah penghitungan besaran Pajak terutang berdasarkan data dan/atau informasi yang ada pada Pemerintah Daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 152 Cukup jelas.
Pasal 153 Cukup jelas.
Pasal 154 Cukup jelas.
Pasal 155 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “imbauan” adalah pemberian informasi kepada Penanggung Pajak sebagai pengingat agar Penanggung Pajak dapat melunasi Utang Pajaknya sebelum diterbitkannya Surat Teguran. Imbauan dapat diberikan melalui surat imbauan atau melalui media lainnya.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan” adalah Undang-Undang mengenai Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Cukup jelas.
Pasal 157 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Pasal 158 Cukup jelas.
Pasal 159 Cukup jelas.
Pasal 160 Cukup jelas.
Pasal 161 Cukup jelas.
Pasal 162 Cukup jelas.
Pasal 163 Cukup jelas.
Pasal 164 Cukup jelas.
Pasal 165 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “keadaan lain berdasarkan pertimbangan Walikota" merupakan keadaan di luar kemampuan Wajib Pajak berdasarkan penilaian objektif Walikota yang menyebabkan Wajib Pajak tidak dapat memenuhi batas waktu pengajuan keberatan, contohnya adalah Wajib Pajak berada di remote area atau adanya akuisisi Wajib Pajak oleh pihak lain yang menyebabkan Wajib Pajak terkendala mengajukan keberatan dan melengkapi dokumen pendukung pengajuan keberatan.
Ayat (5)
Ketentuan ini mengatur bahwa persyaratan pengajuan keberatan bagi Wajib Pajak adalah harus melunasi terlebih dahulu sejumlah kewajiban perpajakannya yang telah disetujui Wajib Pajak. Pelunasan tersebut harus dilakukan sebelum Wajib Pajak mengajukan keberatan.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 166 Cukup jelas.
Pasal 167 Cukup jelas.
Pasal 168 Cukup jelas.
Pasal 169 Cukup jelas.
Pasal 170 Cukup jelas.
Pasal 171 Cukup jelas.
Pasal 172 Cukup jelas.
Pasal 173 Cukup jelas.
Pasal 174 Cukup jelas.
Pasal 175 Cukup jelas.
Pasal 176 Cukup jelas.
Pasal 177 Cukup jelas.
Pasal 178 Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Yang dimaksud dengan “Utang Pajak atau Utang Retribusi lainnya” merupakan Utang Pajak atau Utang Retribusi lain yang masih belum dibayar oleh Wajib Pajak atau Wajib Retribusi selain jenis Pajak atau Retribusi yang diajukan pengembalian kelebihan pembayaran.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Pasal 179 Cukup jelas.
Pasal 180 Cukup jelas.
Pasal 181 Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan “pihak ketiga” merupakan pihak-pihak di luar Pemerintah dan Pemerintah Daerah lain, misalnya perorangan, akademisi, swasta, dan pihak lainnya di dalam negeri yang berkaitan dengan optimalisasi Pemungutan Pajak.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “pengawasan Wajib Pajak bersama” merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan bersama dengan mitra kerja sama dalam hal ini Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah lain dengan mekanisme tertentu untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 182 Cukup jelas.
Pasal 183 Cukup jelas.
Pasal 184 Cukup jelas.
Pasal 185 Cukup jelas.
Pasal 186 Cukup jelas.
Pasal 187 Cukup jelas.
Pasal 188 Cukup jelas.
Pasal 189 Cukup jelas.
Pasal 190 Cukup jelas.
Pasal 191 Cukup jelas.
Pasal 192 Cukup jelas.
Pasal 193 Cukup jelas.
Pasal 194 Cukup jelas.
Pasal 195 Cukup jelas.
Pasal 196 Cukup jelas.
Pasal 197 Cukup jelas.
|
Dokumen ini diketik ulang dan diperuntukan secara ekslusif untuk www.ortax.org dan TaxBaseX. Pengambilan dokumen ini yang dilakukan tanpa ijin adalah tindakan ilegal.