Home
/
Data Center
/
Peraturan
/
PER - 6/BC/2025
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER - 6/BC/2025

TENTANG

PEDOMAN PENATAUSAHAAN PIUTANG PERPAJAKAN DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang :
  1. bahwa ketentuan mengenai pedoman penatausahaan piutang telah diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-23/BC/2018 tentang Pedoman Penatausahaan Piutang di Lingkungan Direktorat Jenderal Bea Dan Cukai;
  2. bahwa untuk memberikan keadilan, kepastian hukum, dan penguatan tata kelola piutang melalui penyesuaian proses bisnis penatausahaan piutang, ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu diganti;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Pedoman Penatausahaan Piutang Perpajakan di Bidang Kepabeanan dan Cukai;

Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);
  2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2021 Nomor 246, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6736);
  3. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 368) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3987);
  4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 nomor 556) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 207/PMK.06/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 69/PMK.06/2014 tentang Penentuan Kualitas Piutang dan Pembentukan Penyisihan Piutang Tidak Tertagih pada Kementerian Negara/Lembaga dan Bendahara Umum Negara (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1702);
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.04/2022 tentang Pemungutan Bea Keluar (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 620);
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 168/PMK.04/2022 tentang Jaminan dalam rangka Kegiatan Kepabeanan dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1172);
  8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.05/2022 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1451) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 57 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.05/2022 tentang Kebijakan Akuntansi Pemerintah Pusat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 402);
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 232/PMK.05/2022 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Instansi (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2022 Nomor 1452);
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 740) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 4 Tahun 2025 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96 Tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2025 Nomor 72);
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147 Tahun 2023 tentang Penghapusan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1085);
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 Tahun 2023 tentang Pengembalian Penerimaan Negara di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1058);
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154 Tahun 2023 tentang Penundaan atau Pengangsuran Utang di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 1059);
  14. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 115 Tahun 2024 tentang Penagihan Utang Kepabeanan dan Cukai (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2024 Nomor 1089);

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PEDOMAN PENATAUSAHAAN PIUTANG PERPAJAKAN DI BIDANG KEPABEANAN DAN CUKAI.


BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:
  1. Pungutan Negara adalah pungutan negara dalam rangka impor, pungutan negara dalam rangka ekspor, pungutan negara di bidang cukai, dan/atau pungutan negara lainnya yang terkait dengan kegiatan dalam rangka impor, ekspor, dan/atau di bidang cukai yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  2. Penatausahaan Piutang adalah serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pengelolaan piutang.
  3. Piutang adalah piutang perpajakan yang timbul akibat adanya Pungutan Negara yang belum dilunasi sampai dengan akhir periode pelaporan keuangan.
  4. Dokumen Sumber adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi keuangan yang digunakan sebagai sumber atau bukti untuk menghasilkan data akuntansi.
  5. Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang adalah Dokumen Sumber atau bukti awal yang diakui sehingga timbul kewajiban membayar sebagai akibat suatu penetapan, mendapat kemudahan penundaan pembayaran, atau mendapat kemudahan pembayaran secara berkala.
  6. Dokumen Sumber Mutasi Piutang adalah Dokumen Sumber atau bukti yang dapat mengakibatkan penambahan atau pengurangan atas nilai Piutang.
  7. Basis Akrual adalah basis akuntansi yang mengakui pengaruh transaksi dan peristiwa lainnya pada saat transaksi dan peristiwa itu terjadi, tanpa memperhatikan saat kas atau setara kas diterima atau dibayar.
  8. Kualitas Piutang adalah hampiran atas ketertagihan Piutang yang diukur berdasarkan kepatuhan membayar kewajiban oleh debitur.
  9. Validasi Data Piutang yang selanjutnya disebut Validasi adalah serangkaian kegiatan untuk memastikan kesesuaian antara pencatatan saldo awal Piutang tahun berjalan dengan saldo akhir Piutang tahun sebelumnya dan saldo akhir Piutang tahun berjalan, serta memastikan kesesuaian antara data koreksi Piutang, Piutang terbit, dan mutasi Piutang dengan data pembanding.
  10. Arsip Data Elektronik yang selanjutnya disingkat ADE adalah arsip dalam bentuk informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya.
  11. Debitur adalah badan atau orang perseorangan yang berutang menurut peraturan, perjanjian, atau sebab apapun.
  12. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.
  13. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.
  14. Kantor Pelayanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Pelayanan adalah Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai dan Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  15. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang selanjutnya disebut Kantor Wilayah adalah Kantor Wilayah dan Kantor Wilayah Khusus di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
  16. Kantor Pusat adalah Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

(1) Penatausahaan Piutang meliputi kegiatan:
a. penatausahaan Dokumen Sumber;
b. Validasi; dan
c. pelaporan Piutang.
(2) Penatausahaan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap Piutang yang meliputi:
a. Pungutan Negara dalam rangka impor, ekspor, dan/atau cukai, yang terdiri dari:
1. bea masuk, termasuk:
a) bea masuk anti dumping;
b) bea masuk imbalan;
c) bea masuk tindakan pengamanan;
d) bea masuk pembalasan;
e) bea masuk dalam rangka kemudahan impor tujuan ekspor (KITE);
f) denda administrasi pabean; dan
g) pungutan pabean impor lainnya;
2. bea keluar, termasuk:
a) denda administrasi bea keluar;
b) bunga bea keluar; dan
c) pungutan pabean ekspor lainnya;
3. cukai, termasuk:
a) cukai hasil tembakau;
b) cukai etil alkohol;
c) cukai minuman mengandung etil alkohol;
d) denda administrasi cukai; dan
e) pungutan cukai lainnya.
b. Pungutan Negara lainnya yang terkait dengan kegiatan impor, ekspor, dan/atau cukai, yang terdiri dari:
1. Pajak Pertambahan Nilai;
2. Pajak Penghasilan Pasal 22;
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah; dan
4. Pungutan Negara lainnya yang dipungut dan dikelola oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.


Pasal 3

(1) Basis akuntansi yang digunakan untuk pengakuan Piutang menggunakan Basis Akrual.
(2) Piutang diakui saat diterbitkan Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang.


BAB III
DOKUMEN SUMBER

Pasal 4

(1) Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) harus didukung oleh Dokumen Sumber.
(2) Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang dan Dokumen Sumber Mutasi Piutang.
(3) Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari:
a. dokumen akibat suatu penetapan, meliputi:
1. Surat Penetapan Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPTNP);
2. Surat Penetapan Pabean (SPP);
3. Surat Penetapan Sanksi Administrasi (SPSA);
4. Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP);
5. Surat Penetapan Perhitungan Bea Keluar (SPPBK);
6. Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar (SPKPBK);
7. Surat Tagihan di Bidang Cukai (STCK-1);
8. Surat Pemberitahuan dan Penagihan Biaya Pengganti (SPPBP-1);
9. Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan;
10 putusan banding;
11. putusan peninjauan kembali; dan
12. surat penetapan lainnya dan/atau surat tagihan lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai;
b. mendapat penundaan pembayaran, meliputi:
1. pemberitahuan pabean impor dengan penundaan pembayaran Pungutan Negara berupa pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan menggunakan jaminan;
2. surat permohonan pengeluaran barang impor untuk dipakai dengan pelayanan segera (rush handling) yang telah disetujui;
3. Surat Penetapan Pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak (SPPBMCP);
4. dokumen pemesanan pita cukai dengan kemudahan penundaan pembayaran; dan
5. dokumen yang mendapat penundaan pembayaran lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan di bidang kepabeanan dan cukai; atau
c. mendapat pembayaran secara berkala, meliputi:
1. pemberitahuan pabean impor dengan fasilitas pembayaran berkala;
2. dokumen pelunasan cukai dengan cara pembayaran yang mendapat kemudahan pembayaran secara berkala; dan
3. dokumen yang mendapat pembayaran secara berkala lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.
(4) Dokumen Sumber Mutasi Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), meliputi:
a. Bukti Penerimaan Negara (BPN);
b. Surat Pemberitahuan Piutang Pajak Dalam Rangka Impor (SP3DRI);
c. Surat Tagihan di Bidang Cukai (STCK-1);
d. Tanda Bukti Perusakan Pita Cukai (CK-2) saat digunakan untuk pemesanan pita cukai;
e. Tanda Bukti Penerimaan Pengembalian Pita Cukai (CK-3) saat digunakan untuk pemesanan pita cukai;
f. Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan;
g. Keputusan Direktur Jenderal mengenai Persetujuan Penundaan atau Pengangsuran Utang di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
h. Surat Persetujuan Pembayaran Awal atas Penundaan atau Pengangsuran Utang di Bidang Kepabeanan dan Cukai;
i. surat teguran;
j. surat paksa;
k. surat persetujuan Direktur Jenderal untuk membatalkan atau membetulkan penetapan tagihan;
l. putusan banding;
m. putusan peninjauan kembali;
n. surat keputusan tentang pembebasan atau keringanan bea masuk;
o. tanda terima pengembalian barang kiriman untuk impor barang melalui penyelenggara pos yang ditunjuk;
p. Surat Pernyataan Piutang Negara Lunas (SPPNL);
q. Keputusan Menteri Keuangan tentang penghapustagihan Piutang;
r. Keputusan Menteri Keuangan tentang pengembalian penerimaan negara di bidang kepabeanan dan cukai;
s. dokumen penyelesaian impor untuk dipakai dengan pelayanan segera (rush handling); dan
t. Dokumen Sumber Mutasi Piutang lainnya yang diterbitkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan cukai.


BAB IV
PENATAUSAHAAN DOKUMEN SUMBER

Pasal 5

(1) Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan ayat (4) dilakukan penatausahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a yang meliputi:
a. diverifikasi;
b. dicatat;
c. direkapitulasi; dan
d. diarsipkan.
(2) Penatausahaan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penetapan;
b. Pejabat Bea dan Cukai yang menerima salinan putusan banding dan putusan peninjauan kembali;
c. Pejabat Bea dan Cukai yang menerbitkan Dokumen Sumber Piutang lainnya; atau
d. Pejabat Bea dan Cukai yang menangani kegiatan kepabeanan dan cukai terkait.
(3) Pencatatan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Dokumen Sumber diterbitkan atau salinan diterima.
(4) Hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang.
(5) Penyampaian hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan setiap bulan paling lambat pada hari kerja ke-5 (lima) bulan berikutnya.
(6) Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang melakukan konfirmasi dan mencatat hasil rekapitulasi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ke daftar Piutang.
(7) Hasil konfirmasi dan pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) direkapitulasi dan dimonitor setiap bulan untuk disampaikan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang di Kantor Wilayah.
(8) Kegiatan penatausahaan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem aplikasi perbendaharaan.


Pasal 6

(1) Piutang dicatat sebesar nilai yang tercantum dalam Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3).
(2) Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bertambah atau berkurang, dalam hal terdapat:
a. pembayaran atau pelunasan;
b. penundaan atau pengangsuran utang di bidang kepabeanan dan cukai;
c. persetujuan pembayaran awal atas penundaan dan atau pengangsuran utang;
d. pengenaan bunga atas utang atau tagihan berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai yang tidak atau kurang dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo;
e. pelimpahan Piutang pajak ke Kantor Pelayanan Pajak;
f. penggunaan kompensasi;
g. Keputusan Direktur Jenderal mengenai keberatan;
h. putusan banding;
i. putusan peninjauan kembali;
j. pembetulan surat penetapan tagihan karena adanya persetujuan Direktur Jenderal untuk menambah, mengurangi, dan menghapus tagihan dan/atau sanksi administrasi berupa denda dalam surat penetapan;
k. keputusan tentang pembebasan atau keringanan bea masuk;
l. pengembalian barang kiriman untuk impor barang melalui penyelenggara pos yang ditunjuk;
m. penyelesaian impor untuk dipakai dengan pelayanan segera (rush handling);
n. pernyataan Piutang negara lunas oleh Panitia Urusan Piutang Negara;
o. putusan mengenai penghapus tagihan Piutang; dan/atau
p. koreksi nilai Piutang.
(3) Dalam hal terdapat penambahan atau pengurangan nilai Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pencatatan dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi nilai Piutang sebesar perubahannya.
(4) Penambahan atau pengurangan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus didukung oleh Dokumen Sumber Mutasi Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
(5) Dokumen Sumber Mutasi Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf d dan huruf e diperhitungkan jika digunakan untuk mengurangi Piutang dari:
a. Pemesanan Pita Cukai Hasil Tembakau (CK-1) dengan kemudahan penundaan pembayaran;
b. Pemesanan Pita Cukai MMEA Impor (CK-1A Impor) dengan fasilitas pembayaran berkala; dan
c. Dokumen Pelunasan Cukai dengan Cara Pembayaran (CK-1C) yang mendapat kemudahan pembayaran secara berkala.


Pasal 7

(1) ADE diarsipkan atau disimpan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang.
(2) Pengarsipan dilakukan dengan mengelompokkan arsip sesuai dengan jenis Dokumen Sumber dan tanggal penerbitan Dokumen Sumber.
(3) Dokumen hasil cetak ADE merupakan dokumen yang sah sebagai Dokumen Sumber.


BAB V
VALIDASI

Pasal 8

(1) Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang pada Kantor Pelayanan, Kantor Wilayah, dan Kantor Pusat melaksanakan Validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b secara berjenjang.
(2) Kegiatan Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. kesesuaian pencatatan saldo awal Piutang tahun berjalan dengan saldo akhir Piutang tahun sebelumnya dan saldo akhir Piutang tahun berjalan;
b. koreksi Piutang;
c. Piutang terbit;
d. mutasi Piutang; dan
e. status Piutang.
(3) Kegiatan Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan membandingkan antara data Piutang dengan data pembanding internal dan eksternal Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Pelaksanaan Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun.
(5) Hasil Validasi Kantor Pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kembali kepada:
a. Pejabat Bea dan Cukai yang menyusun laporan keuangan pada Kantor Pusat; dan
b. Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang di Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan secara berjenjang.
(6) Dalam melaksanakan proses Validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat Bea dan Cukai menggunakan kertas kerja sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(7) Bentuk dan isi laporan hasil Validasi dapat dibuat sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.


Pasal 9

Validasi dilakukan sesuai prosedur sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
 

BAB VI
PELAPORAN PIUTANG

Pasal 10

(1) Pejabat Bea dan Cukai melakukan kegiatan pelaporan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c.
(2) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. laporan Piutang untuk monitoring proses penagihan; dan
b. laporan Piutang untuk penyusunan laporan keuangan.


Bagian Pertama
Laporan Piutang untuk Monitoring Proses Penagihan

Pasal 11

(1) Laporan Piutang untuk monitoring proses penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf a timbul dari Dokumen Sumber Awal Terbit Piutang akibat suatu penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a.
(2) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. daftar Piutang;
b. status penagihan;
c. status pelunasan;
d. status pelimpahan;
e. status kedaluwarsa; dan
f. status pihak yang terutang.
(3) Status penagihan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dibuat berdasarkan dokumen penagihan Piutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang mengatur mengenai penagihan utang kepabeanan dan cukai.
(4) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang di Kantor Pelayanan.
(5) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang mengelola Piutang pada Kantor Wilayah dan Kantor Pusat secara berjenjang.
(6) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (5) disampaikan paling lambat tanggal 10 setiap bulan.
(7) Penyusunan dan penyampaian Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dilakukan melalui sistem aplikasi perbendaharaan.


Bagian Kedua
Laporan Piutang untuk Penyusunan Laporan Keuangan

Pasal 12

(1) Laporan Piutang untuk penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b disusun  berdasarkan  hasil  Validasi  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dan/atau data pendukung lainnya.
(2) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh Pejabat Bea dan Cukai yang menyusun laporan keuangan.
(3) Laporan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun paling sedikit 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun sesuai dengan periode penyusunan laporan keuangan pemerintah.


Pasal 13

(1) Pelaporan Piutang untuk kepentingan penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan dengan memperhitungkan:
a. penyisihan Piutang; dan
b. penghapusbukuan Piutang.
(2) Perhitungan penyisihan Piutang dan penghapusbukuan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan hak tagih atas Piutang.
 

Pasal 14

Piutang yang telah dilakukan penghapusbukuan dicatatkan secara ekstrakomptabel dan diungkapkan secara memadai dalam Catatan atas Laporan Keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai standar akuntansi pemerintahan.


Pasal 15

(1) Penyisihan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a dilakukan untuk menjaga nilai Piutang di neraca sesuai dengan nilai bersih yang dapat direalisasikan.
(2) Penyisihan Piutang di Kantor Pelayanan dilaksanakan berdasarkan prinsip kehati-hatian dengan melakukan:
a. penilaian Kualitas Piutang; dan
b. pemantauan dan pengambilan langkah-langkah yang diperlukan agar hasil penagihan Piutang yang telah disisihkan senantiasa dapat direalisasikan.
(3) Penilaian Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. jatuh tempo Piutang; dan
b. upaya penagihan.
(4) Penilaian Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dilakukan dengan cara mengelompokkan Piutang berdasarkan:
a. umur Piutang;
b. status Debitur; dan
c. status pelimpahan proses penagihan Piutang,
sejak timbulnya Piutang sampai dengan akhir periode pelaporan.


Pasal 16

(1) Kualitas Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a ditetapkan dalam 4 (empat) golongan, yaitu:
a. lancar;
b. kurang lancar;
c. diragukan; dan
d. macet.
(2) Kualitas Piutang lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan apabila umur Piutang kurang dari atau sama dengan 1 (satu) tahun.
(3) Kualitas Piutang kurang lancar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan apabila umur Piutang lebih dari 1 (satu) tahun sampai dengan 2 (dua) tahun.
(4) Kualitas Piutang diragukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditetapkan apabila umur Piutang lebih dari 2 (dua) tahun sampai dengan 3 (tiga) tahun.
(5) Kualitas Piutang macet sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d ditetapkan apabila:
a. umur Piutang lebih dari 3 (tiga) tahun;
b. proses penagihan telah dilimpahkan ke Panitia Urusan Piutang Negara; dan/atau
c. Debitur:
1) tidak ditemukan termasuk meninggal dunia dengan tidak meninggalkan harta warisan dan tidak mempunyai ahli waris atau ahli waris tidak ditemukan;
2) tidak ditemukan, bubar, likuidasi, atau pailit, dan pengurus, direksi, komisaris, pemegang saham, pemilik modal, pihak lain yang dibebani untuk melakukan pemberesan atau likuidator, atau kurator tidak dapat ditemukan; dan/atau
3) tidak memiliki harta kekayaan lagi.


Pasal 17

(1) Penyisihan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a tidak tertagih sebesar:
a. 5‰ (lima permil) dari Piutang dengan Kualitas Piutang lancar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a;
b. 10% (sepuluh persen) dari Piutang dengan Kualitas Piutang kurang lancar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b setelah dikurangi dengan nilai jaminan dan/atau nilai barang sitaan;
c. 50% (lima puluh persen) dari Piutang dengan Kualitas Piutang diragukan sebagaimana dimaksud dalam 16 ayat (1) huruf c setelah dikurangi dengan nilai jaminan dan/atau nilai barang sitaan; dan
d. 100% (seratus persen) dari Piutang dengan Kualitas Piutang macet sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf d setelah dikurangi dengan nilai jaminan dan/atau nilai barang sitaan.
(2) Jaminan dan/atau barang sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d yang mempunyai nilai lebih besar dari Piutangnya diperhitungkan sama dengan sisa Piutang.
(3) Jaminan dan/atau nilai barang sitaan yang diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan penyisihan Piutang tidak tertagih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b sampai dengan huruf d ditetapkan sebesar:
a. 100% (seratus persen) dari jaminan tunai, surat berharga yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, surat berharga negara, garansi bank, tabungan dan deposito yang diblokir pada bank, emas, dan logam mulia;
b. 80% (delapan puluh persen) dari nilai hak tanggungan atas tanah bersertifikat hak milik atau hak guna bangunan berikut bangunan di atasnya;
c. 60% (enam puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah bersertifikat hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai, berikut bangunan di atasnya yang tidak diikat dengan hak tanggungan;
d. 50% (lima puluh persen) dari nilai jual objek pajak atas tanah dengan bukti kepemilikan berupa surat girik atau bukti kepemilikan non sertifikat lainnya yang dilampiri surat pemberitahuan pajak terutang terakhir; atau
e. 50% (lima puluh persen) dari nilai hipotik atas pesawat udara dan kapal laut dengan isi kotor paling sedikit 20 m3 (dua puluh meter kubik), nilai jaminan fidusia atas kendaraan bermotor, dan nilai atas pesawat udara, kapal laut, dan kendaraan bermotor yang tidak diikat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan disertai bukti kepemilikan.


Pasal 18

(1) Piutang yang tidak dapat ditagih oleh Kantor Pelayanan, proses penagihannya dilimpahkan ke Kantor Pelayanan Pajak.
(2) Piutang yang proses penagihannya dilimpahkan ke Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. Pajak Pertambahan Nilai;
b. Pajak Penghasilan Pasal 22; dan
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
(3) Piutang yang proses penagihannya dilimpahkan ke Kantor Pelayanan Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dicatat dalam neraca laporan keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(4) Tata cara pelimpahan Piutang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penagihan utang kepabeanan dan cukai.


Pasal 19

(1) Pelaksanaan kegiatan akuntansi Piutang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi.
(2) Pejabat Bea dan Cukai yang menyusun laporan keuangan bertanggung jawab atas kegiatan akuntansi Piutang yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang- undangan yang mengatur mengenai sistem akuntansi dan pelaporan keuangan instansi.


BAB VII
MONITORING DAN EVALUASI

Pasal 20

(1) Terhadap kegiatan Penatausahaan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilakukan proses monitoring dan evaluasi.
(2) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun oleh Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan.
(3) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap:
a. implementasi peraturan terkait dengan kegiatan Penatausahaan Piutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2;
b. sistem aplikasi perbendaharaan yang digunakan dalam proses Penatausahaan Piutang; dan
c. hasil pemeriksaan aparat pengawas fungsional.
(4) Monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan bersamaan dengan pemantauan sistem pengendalian internal.
(5) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada:
a. Kepala Kantor Wilayah, dalam hal kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan di tingkat Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai; atau
b. Direktur Jenderal, dalam hal kegiatan monitoring dan evaluasi dilakukan di tingkat Kantor Wilayah dan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai.
(6) Hasil monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat digunakan untuk perbaikan proses bisnis dan/atau kebijakan terkait Penatausahaan Piutang.


BAB VIII
PENATAUSAHAAN PIUTANG SECARA MANUAL

Pasal 21

(1) Dalam hal sistem aplikasi perbendaharaan belum tersedia dan/atau terjadi gangguan pada sistem aplikasi perbendaharaan, pelaksanaan:
a. penatausahaan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;
b. penyusunan laporan Piutang untuk monitoring proses penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; dan
c. penyusunan laporan Piutang untuk penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
dilakukan secara manual.
(2) Pelaksanaan Penatausahaan Piutang secara manual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas:
a. penatausahaan Dokumen Sumber sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf D yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini;
b. penyusunan laporan Piutang untuk monitoring proses penagihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf E yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini; dan
c. penyusunan laporan Piutang untuk penyusunan laporan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dibuat sesuai dengan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf F yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
 

BAB IX
KETENTUAN LAIN-LAIN

Pasal 22

(1) Piutang bea keluar dan Piutang atas biaya pengganti yang telah dilimpahkan proses penagihannya ke Panitia Urusan Piutang Negara sebelum ditetapkannya Peraturan Direktur Jenderal ini, terhadap Piutang bea keluar dan Piutang atas biaya pengganti dicatat dalam neraca laporan keuangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2) Dalam hal terdapat data Piutang hasil Penatausahaan Piutang yang digunakan sebelum berlakunya Peraturan Direktur Jenderal ini, terhadap data Piutang tersebut tetap disimpan dan dimonitor proses penagihannya.


BAB X
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 23

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku, Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-23/BC/2018 tentang Pedoman Penatausahaan Piutang di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.


Pasal 24

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.




Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 23 Maret 2025
DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI

ttd

ASKOLANI

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA