Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

HIGHLIGHTSDATA CENTERSUBJEK PILIHANFORUM
PeraturanTax TreatyPutusanKurs KMKKurs BITarif Bunga
Fitur
highlightsdata centersubjek pilihanforum
Informasi
About UsKebijakan PrivasiPedoman Media SiberDisclaimerKontak KamiCareer
Navigating the Coretax era with
Ortax Ecosystem
Ortax Ecosystem
pajakexpress.com | pajak101.com | taxbase.id | bsadvisory.com

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM )
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Meterai
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengadilan Pajak
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Pajak Daerah
Bea Cukai

PENGANTAR

Istilah Penting dalam UU BPHTB

OBJEK PAJAK

Dasar Hukum

Objek Pajak

Objek Pajak Yang Dikecualikan dari Pengenaan BPHTB

SUBJEK PAJAK

Dasar Hukum

Subjek Pajak

TARIF PAJAK

Dasar Hukum

Tarif Pajak

PENGHITUNGAN BPHTB

Dasar Hukum

Dasar Pengenaan

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)

Penghitungan BPHTB

SAAT DAN
TEMPAT PAJAK TERUTANG

Dasar Hukum

Saat Pajak Terutang

Tempat Pajak Terutang

PEMBAYARAN

Dasar Hukum

Pembayaran

PENETAPAN DAN
PENAGIHAN

Dasar Hukum

Penetapan dan Penagihan

KEBERATAN DAN
BANDING

Dasar Hukum

Dasar Keberatan

Tata Cara Pengajuan Keberatan

Banding

PENGURANGAN BPHTB

Dasar Hukum

Dasar Pengurangan

Besarnya Pengurangan BPHTB

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan

PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK

Dasar Hukum

Dasar Restitusi

Tata Cara Pengajuan Restitusi

Imbalan Bunga

KETENTUAN KHUSUS

Dasar Hukum

BPHTB Atas Perolehan Hak Karena Waris dan Hibah Wasiat

BPHTB Atas Pemberian Hak Pengelolaan

ReadView

Istilah Penting dalam UU BPHTB
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 1)
  1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
  2. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
  3. Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak pengelolaan, beserta bangunan di atasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
  4. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda.
  5. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar.
  6. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
  7. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya terutang.
  8. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan jumlah pajak yang dibayar.
  9. Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
  10. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
  11. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  12. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
  13. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 147/PMK.07/2010 tentang Badan atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-182/PJ./2000 Tentang BPHTB Atas Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Yang Digunakan Untuk Kepentingan Ibadah Dan Untuk Kegiatan Sosial/Pendidikan

Penetapan dan Penagihan
(UU Nomor 1 Tahun 2022  jo PP Nomor 35 Tahun 2023 ; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 14)

Sistem pemungutan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah self assessment dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk  menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak. Namun demikian sebagai dasar penagihan pajak, Pemerintah Daerah dapat melakukan penagihan dan/atau pemeriksaan dapat menerbitkan:

1.
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar    
Surat ketetapan Pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit Pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok Pajak, besarnya sanksi administratif, dan jumlah Pajak yang masih harus dibayar.
   
2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan
Surat ketetapan Pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan
   
3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil
Surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit Pajak atau Pajak tidak terutang dan tidak ada kredit Pajak.
   
4. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar
Surat ketetapan Pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran Pajak karena jumlah kredit Pajak lebih besar daripada Pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.
   
5. Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
   
6. Surat Teguran
Surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur Wajib Pajak untuk melunasi utang Pajaknya.
   
7. Surat Paksa
Surat perintah membayar utang Pajak dan biaya penagihan Pajak.
   
8. Surat Keputusan Pembetulan
Surat keputusan yang membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan Daerah yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Daerah Nihil, Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, atau Surat Keputusan Keberatan
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  2. Undang-Undang Republik Indonesia 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.    
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Pengajuan Keberatan, Permohonan Pelayanan Lainnya, Banding, Gugatan, Dan Peninjauan Kembali Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Setelah Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah.
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ/2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Pengajuan Keberatan, Permohonan Pelayanan Lainnya, Banding, Gugatan, Dan Peninjauan Kembali Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Setelah Pengalihan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Sebagai Pajak Daerah.
Dasar Keberatan
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 16 ; UU Nomor 1 Tahun 2022  jo. PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak terhadap:
  1. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar; ,
  2. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan;  
  3. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar;
  4. Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  4. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2016 tentang Pemberian Pengurangan dan/atau Keringanan atau Pembebasan Pajak Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan Retribusi Izin Mendirikan Bangunan Rumah Umum Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah.
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 15/PJ.6/2005 tentang Penjelasan Peraturan Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Objek Pajak Yang Dikecualikan dari Pengenaan BPHTB
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 3; UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 44)

Objek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah objek pajak yang diperoleh:
a.  perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
b.  negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
Yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.
c. badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut;
Badan atau perwakilan organisasi internasional yang dimaksud di atas adalah badan atau perwakilan organisasi internasional, baik pemerintah maupun non pemerintah.
Badan atau perwakilan organisasi internasional yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak dikenakan BPHTB diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.07/2010.
d. orang pribadi atau badan karena konversi hak atau karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;
Yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, termasuk pengakuan hak oleh Pemerintah.
Contoh :
  1. Hak Guna Bangunan menjadi Hak Milik tanpa adanya perubahan nama;
  2. Bekas tanah hak milik adat (dengan bukti surat Girik atau sejenisnya) menjadi hak baru.
Yang dimaksud dengan perbuatan hukum lain misalnya memperpanjang hak atas tanah tanpa adanya perubahan nama.
Contoh :
Perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB), yang dilaksanakan baik sebelum maupun setelah berakhirnya HGB.
e.  orang pribadi atau badan karena wakaf;
Yang dimaksud wakaf adalah perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
f.  orang pribadi atau badan yang digunakan untuk kepentingan ibadah.
Kepentingan ibadah sebagaimana dimaksud antara lain untuk masjid, musholla, gereja, pura, wihara, pondok pesantren, maupun sarana ibadah lainnya diatur dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-182/PJ./2000
   

Badan Atau Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (147/PMK.07/2010)

  1. BADAN-BADAN INTERNASIONAL DARI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA
    1. ADB (Asian Development Bank)
    2. IBRD (International Bank for Reconstruction and Development)
    3. IDA (International Development Association)
    4. IFC (International Finance Corporation)
    5. JDF (Irian Jaya Joint Development Fund)
    6. IMF (International Monetary Fund)
    7. UNDP (United Nations Development Program)
      1. IAEA (International Atomic Energy Agency)
      2. ICAO (International Civil Aviation Organization)
      3. ITU (International Telecommunication Union)
      4. UNIDO (United Nations Industrial Development Organization)
      5. UPU (United Postal Union)
      6. WMO (Word Meteorological Organization)
      7. UNU (United Nations University)
      8. UNV (United Nations Volunteer)
      9. UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development)
      10. UNDTCD (United Nations Department for Technical Cooperation and Development)
      11. UNEP (United Nations Environment Programme)
      12. UNCHS (United Nations Centre for Human Settlement)
      13. ESCAP (Economic and Social Commision for Asia and Pacific)
      14. UNFPA (United Nations Funds for Population Activities)
      15. WFP (World Food Program)
      16. IMO (International Maritime Organization)
      17. WIPO (World Intelectual Property Organization)
      18. IFAD (International Fund and Agriculture Organization)
      19. GATT (Government Agreement on Tarrifs and Trade)
      20. ITC (International Trade Centre)
      21. WTO (World Tourism Organization)
    8. FAO (Food and Agricultural Organization)
    9. ILO (International Labour Organization)
    10. UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees)
    11. UNIC (United Nations Information Centre)
    12. UNICEF (United Nation Children’s Fund)
    13. UNESCO (United Nation Education Scientific and Cultural Organization)
    14. WHO (Word Health Organization)
  1. KERJASAMA BILATERAL 
    1. Kerjasama Teknik Negeri Belanda - Republik Indonesia 
    2. Kerjasama Teknik Rusia - Republik Indonesia
    3. Kerjasama Teknik Jerman Barat - Republik Indonesia
    4. Kerjasama Teknik Negeri Polandia - Republik Indonesia
    5. Kerjasama Teknik Perancis - Republik Indonesia
    6. Kerjasama Teknik Amerika Serikat - Republik Indonesia  
    7. USAID (United States Agency For International Development)
    8. Kerjasama Teknik Swiss - Republik Indonesia
    9. Kerjasama Teknik Italia - Republik Indonesia
    10. Kerjasama Teknik Belgia - Republik Indonesia
    11. Kerjasama Teknik Denmark - Republik Indonesia
    12. Kerjasama Teknik Korea - Republik Indonesia
    13. Kerjasama Teknik Finlandia - Republik Indonesia 
  1. COLOMBO PLAN 
    1. Colombo Plan Australia
    2. Colombo Plan Canada
    3. Colombo Plan India
    4. Colombo Plan Jepang: 
      1. OECF (Overseas Economic Cooperation Fund)
      2. JICA (Japan International Cooperation Agency)
    5. Colombo Plan New Zealand
    6. IPECC (Pakistan - Republik Indonesia)
  1. KERJASAMA KEBUDAYAAN 
    1.  Kerjasama Kebudayaan Belanda - Republik Indonesia
    2.  Kerjasama Kebudayaan Jepang - Republik Indonesia
    3.  Kerjasama Kebudayaan Mesir/RPA - Republik Indonesia
    4.  Kerjasama Kebudayaan Austria - Republik Indonesia
  1. ORGANISASI-ORGANISASI ASING DAN LAINNYA
    1. Asean Secretariat
    2. ECC (European Economic Community)
    3. SEAMEO (South East Asian Minister of Education Organization)
    4. The Export - Import Bank of Japan
    5. AREMTRC (Asean - Re Energy Management Training and Research Centre)
    6. NORAD (The Norwegian Agency for International Development)
    7. FPP Int. (Foster Parents Plant Int.)
    8. PCI (Project Concern International)
    9. Danish Save The Children Organization
    10. IDRC (The International Development Research Centre)
    11. Kerjasama Teknik di Bidang Perkoperasian antara DMTCI/CLUSA Republik Indonesia
    12. WWF (World Wildlife Fund)
    13. The Population Council - Republik Indonesia
    14. NLRA (The Netherlands Leprosy Relief Association)
    15. WVI (The World Vision International)
    16. MCC (The Mennonite Central Committee of Akron Pennsylvania USA) - Pemerintah Republik Indonesia
    17. The Commission of The European Communities - Pemerintah Republik Indonesia
    18. OISCA INT. (The Organization for Industrial, Spiritual and Cultural Advancement International) - Pemerintah Republik Indonesia
    19. World Relief Cooperation - Pemerintah Republik Indonesia
    20. IFDC (The International Fertilizer Development Centre) - Pemerintah Republik Indonesia
    21. The Damien Foundation
    22. APCU (The Asean Heads of Population Coordination Unit)
    23. SIL (The Summer Institute of Linguisties, Inc.)
    24. IPC (The International Pepper Community)
    25. APCC (Asian and Pacific Coconut Community)
    26. INTELSAT (International Telecommunication Satellite Organization)
    27. PROJECT HOPE (The People Health Foundation, Inc.)
    28. CIP (The International Potato Centre)
    29. USC CANADA (The Unitarian Service Committee of Canada)
    30. ICRC (The International Committee of Red Cross)
    31. Terre Des Hommes Netherlands
    32. INTERWADER (Interwarder, East Asia Pacific Shorebird Study Programme)
    33. CIRAD (Le Centre De Cooperation Internationale en Recherche Agronomique Pour Le Development)
    34. CIMMYT (The Internationale Maize and Wheat Improvement Centre)
    35. HKI (Helen Keller International, Inc)
    36. Taipei Economic and Trade Office
    37. FADO (Flemish Organization for Assistance on Development)
    38. Sasakawa Memorial Health Foundation
    39. KAS (Konrad Adenauer Stiftung)
    40. SACFU (The South Australian CRANIO - FACIAL Unit)
    41. Program for Appropriate Technology in Health, USA-PATH
    42. ADC (Agriculture Development Council, Inc.)
    43. SCF (The Save The Children Federation/Community Development Foundation)
    44. CBP (The International Council for Bird Preservation)
    45. CIFOR (The Centre for International Forestry Research)
    46. Islamic Development Bank
    47. Kyoto University - Jepang
    48. CCA (The Canadian Cooperative Association)
    49. ICRAF (The International Centre for Research in Agroforestry)
    50. Swisscontact - Swiss foundation for Technical Cooperation
    51. Winrock International
    52. Stichting Tropenbos
    53. Utrecht University - Netherlands
    54. The Moslem World League (Rabitah)
  1. ORGANISASI SWASTA INTERNATIONAL
    1. Asian Foundation
    2. The British Council
    3. CARE (Cooperative for American Relief Everywhere Incorporation)
    4. CCF (Christian Children’s Fund)
    5. CRS (Catholic Relief Service)
    6. CWS (Church World Service)
    7. The Ford Foundation
    8. Friedrich Elbert Stiftung
    9. FNS (Friedrich Neumann Stiftung)
    10. IECS (International Executive Service Cooperation)
    11. IRRI (International Rice Research Institute)
    12. Leprosy Mission
    13. OXFAM (Oxford Committee for Famine Relief)
    14. Rockefeller Foundation
    15. MAF (Mission Aviation Fellowship)
    16. UFM International
    17. WE (World Education Incorporated, USA)
    18. AAFLI (Asian-American Free Labour Institute)
Objek Pajak
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 2 (1 dan 2); UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 44)

Yang menjadi objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud di atas meliputi:

  1. pemindahan hak karena:
    1. jual beli;
    2. tukar-menukar;
    3. hibah;
    4. hibah wasiat;
    Hibah wasiat adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
    5. waris;
    6.  pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
    Yang dimaksud dengan pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
    7.  pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
    Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama.
    8. penunjukan pembeli dalam lelang;
    Penunjukan pembeli dalam lelang adalah penetapan pemenang lelang oleh Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
    9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
    Sebagai pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
    10. penggabungan usaha;
    Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
    11. peleburan usaha;
    Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung tersebut.
    12. pemekaran usaha;
    Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
    13.  hadiah.
    Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada penerima hadiah.
          
  2. pemberian hak baru karena:
    1. kelanjutan pelepasan hak;
    Yang dimaksud dengan pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari pelepasan hak.
    2. di luar pelepasan hak.
    Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Hak atas tanah
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 2 (3))

Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah :

a.   hak milik;
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
b. hak guna usaha;
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan yang berlaku.
c.  hak guna bangunan;
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
d.  hak pakai;
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. hak milik atas satuan rumah susun;
Hak milik atas satuan rumah susun adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
f.  hak pengelolaan.
Hak pengelolaan adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
 

Dasar Restitusi
(UU Nomor 1 Tahun 2022  jo PP Nomor 35 Tahun 2023; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 21, 51/PMK.07/2016);

Kelebihan pembayaran BPHTB terjadi apabila :

  1. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang;
  2. Dilakukan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang tidak seharusnya terutang.
Untuk memperoleh pengembalian kelebihan pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk.
  
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Subjek Pajak
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 4; UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 45)
 
Yang menjadi subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan.

Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menjadi Wajib Pajak menurut UU BPHTB.

Penghitungan BPHTB
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 8; UU Nomor 1 Tahun 2022)

Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus di bawah ini :

Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)  XXXXX
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)  XXXXX (-)
Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)   XXXXX
Besarnya BPHTB terutang    XXXXX
=  5% X NPOPKP  
Tata Cara Pengajuan Keberatan
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 16, 17; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo. PP Nomor 35 Tahun 2023 )

  1. Pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar atau Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil oleh Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, pengajuan keberatan dapat diajukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan.
  2. Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
  3. Jika pengajuan keberatan dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Imbalan bunga dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan.
  4. Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen)  dari jumlah Pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) tidak dikenakan.
  5. Pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Keputusan atas Keberatan
(PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Dalam memberikan keputusan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.

Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:

  1. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
  2. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
  3. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil Pemeriksaan sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
  4. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.

Apabila jangka waktu telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.

Kemudian, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

Tata Cara Pengajuan Restitusi
(UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023 ,UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 22)
  1. Atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk
  2. Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak harus memberikan keputusan.
  3. Apabila jangka waktu telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan.
  4. Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak, kelebihan pembayaran Pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.
  5. Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.
Dasar Pengenaan
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 6; UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 46)

Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal :
a. jual beli adalah harga transaksi;
Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
b. tukar-menukar adalah nilai pasar;
Dalam hal tukar menukar kedua belah pihak dikenakan BPHTB.
c. hibah adalah nilai pasar;
d. hibah wasiat adalah nilai pasar;
e. waris adalah nilai pasar;
f. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k. penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l. peleburan usaha adalah nilai pasar;
m. pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n. hadiah adalah nilai pasar;
o. penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang.
 
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan n di atas tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

Contoh :

Wajib Pajak “A” membeli tanah dan bangunan dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (harga transaksi) Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah). Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan tersebut yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah sebesar Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah), maka yang dipakai sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) dan bukan Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).

Apabila Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud di atas belum ditetapkan, besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan ditetapkan oleh Menteri Keuangan.


Nilai Pasar
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 6)

Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual-beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
 
Besarnya Pengurangan BPHTB
(UU Nomor 1 Tahun 2022  jo PP Nomor 35 Tahun 2023 ; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 20; PER - 16/PJ/2005)

Besarnya pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan sebagai berikut :

a. Sebesar 25% untuk wajib pajak yang termasuk dalam  kategori memiliki Tanah dan/ atau bangunan Rumah Sederhana, Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana yang diperoleh langsung wajib pajak orang pribadi dari pengembang dan dibayar secara angsuran.
   
b.
Sebesar 50% untuk wajib pajak yang termasuk dalam :
  1. Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dan orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
  3. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
  4. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
  5. Wajib Pajak Badan yang melakukan Penggabungan Usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak;
  6. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta;
  7. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
  8. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat.
c.
Sebesar 75% untuk wajib pajak yang termasuk dalam :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
  2. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
  3. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah;
d.
Sebesar 100% untuk wajib pajak yang termasuk dalam :
  1. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
  2. Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
 
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, maka pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Pajak dan/atau sanksinya terkait BPHTB diatur melalui Peraturan Kepala Daerah.
 

Pembayaran
(UU Nomor 1 Tahun 2022 jo. PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak membayar atau menyetor Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD). SSPD yaitu bukti pembayaran atau penyetoran Pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Daerah melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.

Pembayaran atau penyetoran dilakukan melalui sistem pembayaran berbasis elektronik. Dalam hal sistem pembayaran berbasis elektronik belum tersedia, pembayaran atau penyetoran Pajak dapat dilakukan melalui pembayaran tunai.

Bentuk formulir dan petunjuk pengisian SSPD ditetapkan dalam setiap Peraturan Daerah.

Imbalan Bunga
(UU Nomor 1 Tahun 2022  jo PP Nomor 35 Tahun 2023; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 22; PMK Nomor 51/PMK.07/2016)

Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pembayaran kelebihan pembayaran Pajak      

Dalam hal penghitungan kelebihan pembayaran PBB-P2 dan/atau BPHTB menyebabkan adanya Imbalan Bunga, rincian penghitungan juga memuat penghitungan besaran imbalan bunga, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Imbalan Bunga ditetapkan sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat bulan); dan
  2. Imbalan Bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB (surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar dari pada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang) sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.07/2016

Rincian penghitungan disusun sesuai dengan format yang tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Nomor 51/PMK.07/2016 Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menerbitkan SKPDLB berdasarkan rincian penghitungan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak keputusan atas permohonan pengembalian, keputusan keberatan, putusan banding, atau putusan peninjauan kembali diterima. Kemudian, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk menyampaikan SKPDLB kepada Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak SKPDLB ditetapkan.

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. ;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.07/2016 tentang Penyelesaian Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dan Penyelesaian Permohonan Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan
  5. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S - 482/PJ.02/2016 tentang Penegasan Mengenai Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 51/PMK.07/2016

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
Tarif Pajak
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 5; UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 47)

Tarif BPHTB ditetapkan paling tinggi sebesar 5% (lima persen). Selanjutnya,Tarif BPHTB ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
BPHTB Atas Pemberian Hak Pengelolaan
(UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023 ; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 jo. PP Nomor 112 Tahun 2000)

Besarnya Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan adalah sebagai berikut :

  1. 0% (nol persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang, dalam hal penerima Hak Pengelolaan adalah Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pemerintah Daerah Propinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, lembaga pemerintah lainnya, dan Perusahaan Umum Pembangunan Perumahan Nasional (Perum Perumnas);
  2. 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang dalam hal penerima Hak Pengelolaan selain dimaksud pada huruf a.

Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan untuk pemberian Hak Pengelolaan adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Nilai Perolehan Objek Pajak dalam hal pemberian Hak Pengelolaan adalah nilai pasar pada saat diterbitkannya keputusan pemberian Hak Pengelolaan sebagaimana dimaksud di atas. Dalam hal nilai pasar lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.

Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota hanya dapat melakukan pendaftaran Hak Pengelolaan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan atau Surat Keterangan Bebas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

Ketentuan mengenai tata cara pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena pemberian Hak Pengelolaan diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan.      

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023  tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah      
Banding
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 18; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo. PP Nomor 35 Tahun 2023)
  1. Wajib Pajak dapat mengajukan banding atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan tersebut.
  2. Pengajuan banding menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
  3. Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. Jika pengajuan permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Imbalan bunga dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Putusan Banding.
  5. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen)  dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.      
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 111 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Waris dan Hibah Wasiat
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 112 Tahun 2000 tentang Pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan karena Pemberian Hak Pengelolaan

Dasar Pengurangan
(UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023, UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 20 jo. SE - 15/PJ.6/2005)

Atas permohonan WP, dapat diberikan pengurangan BPHTB dalam hal :

1. Kondisi tertentu wajib pajak yang berhubungan dengan objek pajak yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak baru melalui program pemerintah dibidang pertanahan dan tidak mempunyai kemampuan secara ekonomis;
  2. Wajib Pajak Badan yang memperoleh hak baru selain Hak Pengelolaan dan telah menguasai tanah dan atau bangunan secara fisik lebih dari 20 (dua puluh) tahun yang dibuktikan dengan surat pernyataan Wajib Pajak dan keterangan dari Pejabat Pemerintah Daerah setempat;
  3. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan Rumah Sederhana (RS), dan Rumah Susun Sederhana serta Rumah Sangat Sederhana (RSS) yang diperoleh langsung dari pengembangan dan dibayar secara angsuran;
  4. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dan orang pribadi yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah.
2.
Kondisi wajib pajak karena sebab-sebab tertentu yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu :
  1. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian dari hasil ganti rugi pemerintah yang nilai ganti ruginya di bawah Nilai Jual Objek Pajak;
  2. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas tanah yang dibebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum;
  3. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau sebab-sebab lainnya seperti kebakaran, banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan huru-hara yang terjadi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak penandatanganan akta;
  4. Wajib Pajak orang pribadi Veteran, Pegawai Negeri Sipil (PNS), Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polisi Republik Indonesia (POLRI), Pensiunan PNS, Purnawirawan TNI, Purnawirawan POLRI atau janda/duda-nya yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan rumah dinas Pemerintah;
  5. Wajib Pajak Badan Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI) yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan dalam rangka pengadaan perumahan bagi anggota KORPRI/PNS;
  6. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan reasuransi yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang berasal dari perusahaan induknya selaku pemegang saham tunggal sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi;
  7. Wajib Pajak yang Objek Pajaknya terkena bencana alam gempa bumi dan tsunami di pesisir pantai selatan pulau Jawa yang perolehan haknya atau saat terutangnya terjadi 3 (tiga) bulan sebelum terjadinya bencana.
3.
Kondisi wajib pajak karena sebab-sebab tertentu yang diajukan oleh Wajib Pajak kepada Direktur Jenderal Pajak, yaitu :
  1. Wajib Pajak Badan yang terkena dampak krisis ekonomi dan moneter yang berdampak luas pada kehidupan perekonomian nasional sehingga Wajib Pajak harus melakukan restrukturisasi usaha dan atau utang usaha sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah;
  2. Wajib Pajak Bank Mandiri yang memperoleh hak atas tanah yang berasal dari Bank Bumi Daya, Bank Dagang Negara, Bank Pembangunan Indonesia, dan Bank Ekspor Impor dalam rangkaian proses penggabungan usaha (merger);
  3. Wajib Pajak Badan yang melakukan penggabungan usaha (merger) atau Peleburan Usaha (konsolidasi) dengan atau tanpa terlebih dahulu mengadakan likuidasi dan telah memperoleh keputusan persetujuan Penggunaan Nilai Buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur Jenderal Pajak
4. Tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan antara lain untuk panti asuhan, panti jompo, rumah yatim piatu, sekolah yang tidak ditujukan mencari keuntungan, rumah sakit swasta milik institusi pelayanan sosial masyarakat. Pengurangan diajukan oleh Wajib Pajak Kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan.     

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, maka pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Pajak dan/atau sanksinya terkait BPHTB diatur melalui Perkada    

 
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)
(UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 46)
  1. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp80.000.000,00 (delapan puluh juta rupiah) untuk perolehan hak pertama Wajib Pajak di wilayah Daerah tempat terutangnya BPHTB.
  2. Dalam hal perolehan hak karena hibah wasiat atau waris yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat atau waris, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling sedikit sebesar Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
  3. Atas perolehan hak karena hibah wasiat atau waris tertentu, Pemerintah Daerah dapat menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang lebih tinggi daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
  4. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Saat Pajak Terutang
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 9; UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 49)

(1)
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan untuk:
  1. jual beli adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  2. tukar-menukar adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  3. hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  4. waris adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor   Pertanahan;
  5. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  6. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  7. lelang adalah sejak tanggal penunjukan pemenang lelang;
  8. putusan hakim adalah sejak tanggal putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
  9. hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan;
  10. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
  11. pemberian hak baru di luar pelepasan hak adalah sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak;
  12. penggabungan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  13. peleburan usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditanda-tanganinya akta;
  14. pemekaran usaha adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta;
  15. hadiah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta.
(2) Pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam butir 1.
(3)
Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi meliputi letak tanah dan atau bangunan.
 

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan
(UU Nomor 1 Tahun 2022  jo PP Nomor 35 Tahun 2023 ; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 20)

Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah, maka tata cara pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Pajak dan/atau sanksinya terkait BPHTB diatur melalui Peraturan Kepala Daerah.

Tempat Pajak Terutang
(UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 Pasal 9)

Tempat terutang pajak adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan.
 
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah;
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah.
BPHTB Atas Perolehan Hak Karena Waris dan Hibah Wasiat
(UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023; UU Nomor 21 Tahun 1997 jo. UU Nomor 20 Tahun 2000 jo. PP Nomor 111 Tahun 2000)

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang atas perolehan hak karena waris dan hibah wasiat adalah sebesar 50% (lima puluh persen) dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang seharusnya terutang.
 
Saat terutang pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan karena waris dan hibah wasiat adalah sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota.
 
Nilai Perolehan Objek Pajak karena waris dan hibah wasiat adalah nilai pasar pada saat didaftarkannya perolehan hak tersebut ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Dalam hal nilai pasar  lebih rendah dari pada Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Perolehan Objek Pajak yang digunakan sebagai dasar pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan.
 
Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota hanya dapat melakukan pendaftaran perolehan hak karena waris dan hibah wasiat pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
 
Ketentuan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan Peraturan Pemerintah mengenai perolehan hak karena waris dan hibah wasiat diatur oleh Menteri Keuangan.