Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

HIGHLIGHTSDATA CENTERSUBJEK PILIHANFORUM
PeraturanTax TreatyPutusanKurs KMKKurs BITarif Bunga
Fitur
highlightsdata centersubjek pilihanforum
Informasi
About UsKebijakan PrivasiPedoman Media SiberDisclaimerKontak KamiCareer
Navigating the Coretax era with
Ortax Ecosystem
Ortax Ecosystem
pajakexpress.com | pajak101.com | taxbase.id | bsadvisory.com

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM )
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Meterai
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengadilan Pajak
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Pajak Daerah
Bea Cukai

PENGANTAR

Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai Hukum Pajak Formal

NPWP &
PENGUKUHAN PKP

Dasar Hukum

Pengertian NPWP

Fungsi dan Manfaat NPWP

Kode Seri NPWP

Kewajiban Mendaftarkan Diri

Pengertian Pengukuhan PKP

Fungsi Pengukuhan PKP

Kewajiban Melaporkan Usaha

Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan

Tempat Pendaftaran dan atau Pelaporan Usaha

Tempat Pendaftaran bagi WP Tertentu dan/atau Pelaporan Usaha bagi PKP Tertentu

Tata Cara Pendaftaran dan atau Pelaporan Usaha

Perubahan Data Wajib Pajak dan Pemindahan Wajib Pajak

Tata Cara Perubahan Identitas Wajib Pajak dan Pemindahan Wajib Pajak

Tata Cara Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP

Sanksi yang Berhubungan dengan NPWP dan Pengukuhan PKP

Tata Cara pemberian NPWP Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik Dan Pegawai dilakukan

SURAT PEMBERITAHUAN
(SPT)

Dasar Hukum

Pengertian SPT

Fungsi SPT

Bentuk, Isi, Keterangan dan/atau Dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT

Pengambilan dan Penyampaian SPT

Tandatangan SPT

SPT Dianggap Tidak Disampaikan

Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menyampaikan SPT

Batas Waktu Penyampaian SPT

Perpanjangan Batas Waktu Penyampaian SPT

Sanksi Keterlambatan Penyampaian SPT

WP dengan Kriteria Tertentu yang Dapat Melaporkan Beberapa Masa Pajak dalam Satu SPT Masa

Pengecualian dari Kewajiban Penyampaian SPT

Pengecualian Pengenaan Sanksi Denda Penyampaian SPT

Pembetulan SPT

E-SPT dan Penyampaian SPT Secara Elektronik (e-Filing)

PEMBAYARAN DAN
PENYETORAN

Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran

Tempat Pembayaran dan Penyetoran

Sanksi Keterlambatan Pembayaran dan Penyetoran

Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak

RESTITUSI

Dasar Hukum

Dasar Restitusi

Permohonan Restitusi Setelah Dilakukan Pemeriksaan SPT

Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang

Pemeriksaan atas Permohonan Restitusi

WP Dengan Kriteria Tertentu yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan

WP Dengan Persyaratan Tertentu yang Diberikan Pengembalian Pendahuluan

Jangka Waktu Pengembalian

Proses Pengembalian

Imbalan Bunga

PENETAPAN DAN
KETETAPAN PAJAK

Dasar Hukum

Pajak Terutang

Jenis Penetapan dan Ketetapan Pajak

Surat Tagihan Pajak (STP)

Surat Ketetapan Pajak (SKP)

UTANG PAJAK
DAN PENAGIHAN

Dasar Hukum

Dasar Penagihan

Bunga Penagihan

Urutan Penagihan

Penagihan Seketika dan Sekaligus

Hak Mendahului Piutang Pajak

Daluwarsa Penagihan

Gugatan

Penghapusan Piutang Pajak

KEBERATAN DAN
BANDING

Dasar Hukum

Keberatan

Jangka Waktu Keputusan Keberatan

Banding

Imbalan Bunga atas Keputusan Keberatan atau Banding atau Peninjauan Kembali yang Dikabulkan

PEMBETULAN KESALAHAN
TULIS, KESALAHAN HITUNG DAN/ATAU KEKELIRUAN PENERAPAN KETENTUAN PERPAJAKAN

Dasar Hukum

Dasar Pembetulan

Ruang Lingkup Pembetulan

Jangka Waktu Pembetulan

Hak WP Terkait dengan Pembetulan

PEMBUKUAN DAN
PENCATATAN

Dasar Hukum

Pengertian Pembukuan

Ketentuan Penyelenggaraan Pembukuan

Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah

Pengertian Pencatatan

Ketentuan Pokok Pencatatan

PEMERIKSAAN

Dasar Hukum

Pengertian Pemeriksaan

Tujuan Pemeriksaan

Jenis Pemeriksaan dan Jangka Waktunya

Standar Pelaksanaan Pemeriksaan

Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan

Pemeriksa Pajak

Peminjaman Dokumen

Penolakan Pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dalam Rangka Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan

Penolakan Pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dengan tujuan lain

Penyegelan

Penjelasan WP dan Pihak Ketiga

Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan Pembahasan Akhir Pemeriksaan

Pembatalan Hasil Pemeriksaan

Pengungkapan Wajib Pajak Dalam Laporan Tersendiri Selama Pemeriksaan

Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan

Pemeriksaan Ulang

Pemeriksaan Bukti Permulaan

WAKIL DAN
KUASA WP

Dasar Hukum

Wakil

Kuasa

Surat Kuasa Khusus

RAHASIA JABATAN

Dasar Hukum

Kerahasiaan

Kewajiban Memeberikan Keterangan atau Bukti

PENGURANGAN ATAU
PENGHAPUSAN SANKSI ADMINISTRASI

Dasar Hukum

Ruang Lingkup Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

Syarat yang Harus Dipenuhi untuk Memperoleh Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

Jangka Waktu Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

Hak WP Terkait dengan Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

Ketentuan Lain terkait dengan Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi

PENGURANGAN ATAU
PEMBATALAN SKP ATAU STP YANG TIDAK BENAR, DAN PEMBATALAN HASIL PEMERIKSAAN

Dasar Hukum

Ruang Lingkup

Jangka Waktu Pengurangan atau Pembatalan SKP/STP yang tidak benar dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan

Hak WP terkait dengan Pengurangan atau Pembatalan SKP/STP yang Tidak Benar dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan

KOMITE PENGAWAS
PERPAJAKAN (OMBUDSMAN PAJAK)

Dasar Hukum

Definisi

Struktur

Wewenang

Kewajiban

Ketentuan Lain terkait dengan Komite Pengawas Perpajakan

KETENTUAN PIDANA

Dasar Hukum

Jenis Sanksi

Sanksi karena Kealpaan

Sanksi karena Kesengajaan

Daluwarsa Penuntutan

Sanksi bagi Pejabat

Sanksi bagi Pihak Lain

PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA PERPAJAKAN

Dasar Hukum

Dasar Penyidikan

Tugas dan Wewenang Penyidik

Penghentian Penyidikan

Hak Wajib Pajak dalam Proses Penyidikan 

KETENTUAN LAINNYA

Dasar Hukum

Ketentuan lainnya

SURAT KETERANGAN
FISKAL (SKF)

Dasar Hukum

Pengertian Surat Keterangan Fiskal

Permohonan Surat Keterangan Fiskal

Jangka Waktu Penerbitan Surat Keterangan Fiskal

Konfirmasi Kebenaran Surat Keterangan Fiskal yang Diperoleh Wajib Pajak

ReadView

Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagai Hukum Pajak Formal

Sebagai hukum pajak formal UU KUP mengatur mengenai prosedur (tata cara) pemenuhan hak dan kewajiban perpajakan serta sanksi-sanksi bagi yang melanggar kewajiban perpajakan. Dengan kata lain UU KUP mengatur ketentuan formal dalam melaksanakan hukum pajak materil seperti UU Pajak Penghasilan (PPh), UU Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM), UU Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), UU Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), UU Bea Meterai UU Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (PPSP) dan UU Pengampunan Pajak.
 
Pemungutan pajak akan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan ini, kecuali apabila ketentuan perpajakan atau undang-undang pajak yang lain secara khusus menentukan sendiri tata cara pelaksanaan pemungutannya.
 
 
Sistem Pemungutan Pajak
 
Sistem pemungutan pajak di Indonesia dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu :
1. Self Assessment System
Dalam sistem self assessment, Wajib Pajak sendiri diberikan kepercayaan sepenuhnya oleh pemerintah untuk menghitung, menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang. Fiskus hanya berperan untuk mengawasi, misalnya melakukan penelitian apakah Surat Pemberitahuan (SPT) telah diisi dengan lengkap dan semua lampiran sudah disertakan, meneliti kebenaran penghitungan dan meneliti kebenaran penulisan.

Untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan kebenaran data yang terdapat di SPT Wajib Pajak, fiskus dapat melakukan pemeriksaan pajak. Contoh : PPh Orang Pribadi dan PPh Badan.

2. Official Assessment
Berbeda dengan sistem self assessment, dalam sistem official assessment, fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terutang. PBB menganut sistem ini, karena besarnya pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).

3. Withholding System
Dalam sistem withholding, pihak ketiga yang wajib menghitung, menetapkan, menyetorkan, dan melaporkan pajak yang sudah dipotong/dipungut. Misalnya pihak perusahaan atau pemberi kerja berkewajiban untuk menghitung berapa PPh yang harus dipotong atas penghasilan yang diterima pegawai. Kemudian perusahaan atau pemberi kerja tersebut harus menyetorkan PPh yang telah dipotong ke kas negara dan melaporkan PPh pegawainya tersebut melalui SPT Masa PPh Pasal 21 ke Kantor Pelayanan Pajak tempat perusahaan terdaftar.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor  PER-4/PJ/2010 tentang Tempat Lain Selain Tempat Tinggal, atau Tempat Kedudukan, dan/atau Tempat Kegiatan Usaha Dilakukan sebagai Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 tentang Tata Cara Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara Jabatan atas Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2014
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-13/PJ/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2012 Tentang Tempat Pendaftaran dan/atau Tempat Pelaporan Usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2016 tentang Layanan Pajak di Luar Kantor di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2018 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib Pajak dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak Secara Elektronik Melalui Sistem Administrasi Badan Hukum dan Sistem Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2018 tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak dalam Rangka Simplifikasi Regulasi
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-01/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Rangka Ekstensifikasi
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2019 tentang Layanan Pajak Tertentu Pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu
  16. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-46/PJ.10/2014 tentang Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Non Efektif
  17. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-47/PJ.10/2014 tentang Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak Bendahara yang Sudah Tidak Aktif
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.9/1998 Tentang Penggunaan Nomor Identitas Tunggal Wajib Pajak
  19. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2016 tentang Validasi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) terkait dengan Penerimaan dan Pengolahan Surat Pemberitahuan Tahunan
  20. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-44/PJ/2015 tentang Struktur Penomoran Nomor Pokok Wajib Pajak dan Penerapan Nomor Pokok Wajib Pajak Tetap
  21. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-14/PJ/2019 tentang Tata Cara Ekstensifikasi
  22. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-183/PJ.02/2015 tentang Penegasan Pelaksanaan Verifikasi Terkait Putusan Judicial Review atas Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011
  23. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-704/PJ.02/2016 tentang Penegasan Perlakuan NPWP bagi Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB
  24. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-711/PJ.02/2016 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak dalam Rangka Percepatan Investasi dengan Kriteria Tertentu Melalui PTSP Pusat di BKPM
  25. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-94/PJ.13/2018 tentang Pelaksanaan Pendaftaran Wajib Pajak Badan secara Elektronik melalui Notaris
Fungsi Pengukuhan PKP
(Penjelasan - UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 (2))


Fungsi Pengukuhan PKP antara lain :
  • Sebagai identitas PKP yang bersangkutan;
  • Pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan PPnBM; dan
  • Sarana dalam pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilai & Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM).
Perpanjangan Batas Waktu Penyampaian SPT
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 (4))

Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) dalam jangka waktu yang telah ditetapkan pada pasal 3 ayat (3) huruf b, atau huruf c UU PPh karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu penyelesaian dan memerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan, Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan dengan cara menyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain misalnya dengan Pemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal Pajak.
 
Pemberitahuan tersebut di atas harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu) Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran pajak yang terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.


Syarat yang diperlukan untuk mengajukan permohonan perpanjangan penyampaian SPT
(PER - 21/PJ/2009)

Syarat permohonan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan adalah :
a. Pemberitahuan diajukan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan berakhir dengan menyebutkan alasan-alasannya.
b. Menyampaikan penghitungan sementara Pajak Penghasilan yang terutang dan dilampiri Laporan Keuangan sementara tahun pajak yang berkenaan.
c. Melampirkan bukti pelunasan atas kekurangan pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada huruf b.
d. Surat Pernyataan dari Akuntan Publik yang menyatakan audit Laporan Keuangan belum selesai dalam hal Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik.
e. Permohonan menggunakan formulir 1770-Y/1771-Y/1771-$Y atau dalam bentuk data elektronik (e-SPT Y)

Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang mengajukan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan wajib melampirkan Surat Pernyataan dari pemberi kerja yang menyatakan bahwa bukti potong PPh Pasal 21 (Formulir 1721-A1 dan/atau Formulir 1721-A2) belum diberikan oleh pemberi kerja.
Pengecualian dari Kewajiban Penyampaian SPT
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 (8) jo. PMK 9/PMK.03/2018 jo. PMK 243/PMK.03/2014 Pasal 18)

Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT adalah WP tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang dalam satu Tahun Pajak menerima atau memperoleh penghasilan neto tidak melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 UU PPh
WP dengan kriteria ini dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 dan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi.
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan kegiatan usaha atau tidak melakukan pekerjaan bebas.
WP dengan kriteria ini dikecualikan dari kewajiban menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 25.

Selain itu, berdasarkan ketentuan di PMK 9/PMK.03/2018 disebutkan bahwa terdapat kondisi Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban penyampaian SPT, yaitu :
  • Wajib Pajak dengan angsuran PPh Pasal 25 nihil dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPh Pasal 25.
  • Pemungut PPN dikecualikan dari kewajiban pelaporan SPT Masa PPN, dalam hal pada suatu Masa Pajak tidak terdapat transaksi yang wajib dipungut PPN dan/atau PPnBM.
  • Kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong tidak perlu dilaporkan dalam hal jumlah SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau PPh Pasal 26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali nihil tersebut terjadi di Masa Pajak Desember atau dikarenakan adanya Surat Keterangan Domisili (Certificate of Domicile)
Pengecualian Pengenaan Sanksi Denda Penyampaian SPT
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 7 (2))

Wajib Pajak yang dikecualikan dari pengenaan sanksi denda karena terlambat atau tidak menyampaikan SPT adalah :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia;
d. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
e. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
g. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan; atau
h. Wajib Pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Kode Seri NPWP
(SE - 44/PJ/2015)

NPWP terdiri dari 15 (lima belas) digit dan merupakan satu kesatuan utuh, dengan penjelasan sebagai berikut :

Contoh :
 
 
 
1. 9 (sembilan) digit pertama adalah identitas unik Wajib Pajak;
2. 3 (tiga) digit berikutnya adalah kode KPP, dengan ketentuan sebagai berikut:
a) untuk pendaftaran/pemberian NPWP baru, kode KPP adalah kode KPP tempat Wajib Pajak pertama kali terdaftar;
b) untuk Wajib Pajak yang sudah terdaftar, kode KPP adalah kode KPP tempat Wajib Pajak terdaftar pada saat Surat Edaran Nomor SE-44/PJ/2015 berlaku;
3. 3 (tiga) digit terakhir adalah kode status pusat dan cabang

Penerapan NPWP Tetap (SE - 44/PJ/2015 Angka 2) :
  1. NPWP tidak berubah meskipun Wajib Pajak pindah tempat tinggal/tempat kedudukan atau mengalami pemindahan tempat terdaftar
  2. Pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar

Contoh Penerapan NPWP Tetap :
(Lampiran SE - 44/PJ/2015)

1.    Penerapan NPWP Tetap dalam hal Wajib Pajak Pindah Berdasarkan Permohonan

PT Maju Ramah, NPWP 92.345.678.1-922.000, terdaftar di KPP Pratama Kupang (Kode KPP 922) pindah tempat kedudukan ke wilayah kerja KPP Pratama Makassar Barat (Kode KPP 804). Wajib Pajak mengajukan permohonan pindah secara tertulis langsung ke KPP Pratama Kupang.
 
Berdasarkan hasil verifikasi dalam rangka pemindahan Wajib Pajak, KPP Pratama Kupang mengabulkan permohonan Wajib Pajak kemudian menerbitkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, selanjutnya menyampaikan ke KPP Pratama Makassar Barat dengan tembusan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, KPP Pratama Makassar Barat menerbitkan Kartu NPWP dan SKT atas nama PT Maju Ramah, NPWP 92.345.678.1-922.000.




2.    Penerapan NPWP Tetap dalam hal Wajib Pajak Dipindahkan secara Jabatan

a.   Berdasarkan Data dan/atau Informasi

Berdasarkan hasil verifikasi dalam rangka pemindahan Wajib Pajak atas data dan informasi yang diperoleh, Agung Subroto, NPWP 21.345.678.9-111.000, terdaftar di KPP Pratama Medan Barat (Kode KPP 111) telah pindah tempat tinggal ke wilayah kerja KPP Pratama Jakarta Tebet (Kode KPP 015).

KPP Pratama Medan Barat (Kode KPP 111) memindahkan Wajib Pajak yang bersangkutan dengan menerbitkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, selanjutnya menyampaikan ke KPP Pratama Jakarta Tebet dengan tembusan kepada Wajib Pajak.

Berdasarkan Surat Pindah dan Surat Pencabutan SKT, KPP Pratama Jakarta Tebet menerbitkan Kartu NPWP dan SKT atas nama Agung Subroto, NPWP 21.345.678.9-111.000.



 

b.   Berdasarkan Penetapan Tempat Terdaftar dan/atau Pelaporan Usaha bagi Wajib Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Wajib Pajak Besar, Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, dan Kantor Pelayanan Pajak Madya

PT Inspirasi Bersama, berstatus PKP, NPWP 12.435.678.9-517.000, terdaftar di KPP Pratama Semarang Candisari (Kode KPP 517). Berdasarkan hasil evaluasi, yang bersangkutan ditetapkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak terdaftar di KPP Madya, sehingga terhadap Wajib Pajak tersebut dipindahkan oleh KPP Pratama Semarang Candisari ke KPP Madya Semarang (Kode KPP 511).

KPP Pratama Semarang Candisari menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak dan menyampaikan daftar pengiriman surat pemberitahuan kepada KPP Madya Semarang.

KPP Madya Semarang menerbitkan Kartu NPWP, SKT dan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP) atas nama PT Inspirasi Bersama, NPWP 12.435.678.9-517.000.


  
c.   Dalam Rangka Pemecahan Instansi Vertikal DJP atau Perubahan Wilayah Kerja Instansi Vertikal DJP

Berdasarkan perubahan wilayah kerja, Kabupaten Kubu Raya berubah dari wilayah kerja KPP Pratama Pontianak (Kode KPP 701) ke KPP Pratama Mempawah (Kode KPP 704).

Terkait dengan perubahan wilayah kerja tersebut, Davied Herliyan, berstatus PKP, NPWP 13.245.678.9- 701.000 bertempat tinggal di Kabupaten Kubu Raya, dipindahkan dari KPP Pratama Pontianak ke KPP Pratama Mempawah.

KPP Pratama Pontianak menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak dan menyampaikan daftar pengiriman surat pemberitahuan kepada KPP Pratama Mempawah. KPP Pratama Mempawah menerbitkan Kartu NPWP, SKT dan SPPKP atas nama Davied Herliyan, NPWP 13.245.678.9-701.000.

 


Terhitung sejak tanggal 1 Juni 1998, NPWP ditetapkan sebagai identitas tunggal dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan di bidang PPh dan PPN/PPnBM. Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, kepada setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP), diberlakukan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) baru yakni sama dengan NPWP dari WP yang bersangkutan. (SE - 02/PJ.9/1998)
Kewajiban Melaporkan Usaha  
(68/PMK.03/2010 jo. 197/PMK.03/2013)

Yang wajib melaporkan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP adalah :
  1. Pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak bagi yang memenuhi ketentuan sebagai Pengusaha Kena Pajak.
  2. Wajib Pajak sebagai Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) yang:
    1. memilih sebagai PKP, wajib mengajukan pernyataan tertulis untuk dikukuhkan sebagai PKP;
    2. tidak memilih sebagai PKP tetapi sampai dengan suatu masa pajak dalam suatu tahun buku seluruh nilai peredaran bruto telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai Pengusaha Kecil, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP paling lambat akhir masa pajak berikutnya.
Penerbitan NPWP dan Pengukuhan PKP Secara Jabatan
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (4) dan (4a))

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 ayat (1) dan/atau ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007.

Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan NPWP dan/atau yang dikukuhkan sebagai PKP secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya NPWP dan/atau dikukuhkannya sebagai PKP.
Tata Cara Penghapusan NPWP dan/atau Pencabutan Pengukuhan PKP
(PMK 147/PMK.03/2017 jo. PER - 20/PJ/2013 stdtd. PER - 02/PJ/2018 jo PER - 04/PJ/2020)

Penghapusan NPWP atau pencabutan PKP dilakukan terhadap Wajib Pajak atau PKP yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Penghapusan NPWP atau pencabutan PKP dapat dilakukan :
  • Atas permohonan Wajib Pajak dan/atau PKP; atau
  • Secara jabatan.
Penghapusan NPWP atau pencabutan PKP atas permohonan Wajib Pajak dan/atau PKP atau secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan atau hasil verifikasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan yang mengatur mengenai tata cara pemeriksaan atau tata cara verifikasi.

Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dilakukan berdasarkan hasil verifikasi, jika penghapusan tersebut dilakukan terhadap :
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
c. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai pengurus, komisaris, pemegang saham atau pemilik, dan pegawai yang telah diberikan NPWP dan penghasilan netonya tidak melebihi PTKP;
d. wanita yang sebelumnya telah memiliki NPWP dan menikah tanpa membuat perjanjian pemisahan harta dan penghasilan serta tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya;
e. wanita kawin yang memiliki NPWP berbeda dengan NPWP suami dan pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan suaminya;
f. anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, yang telah memiliki NPWP;
g. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi dalam hal warisan telah selesai dibagi;
h. Wajib Pajak cabang yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi atau ditutup, atau tempat kegiatan usahanya pindah ke wilayah kerja KPP lain;
i. Wajib Pajak Badan dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan usaha;
j. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia;
k. Instansi Pemerintah yang sudah tidak memenuhi persyaratan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, yang dilikuidasi karena mengalami kondisi sebagai berikut:
1. tidak lagi beroperasi sebagai Instansi Pemerintah;
2. pembubaran Instansi Pemerintah yang disebabkan karena penggabungan Instansi Pemerintah;
3. tidak mendapat alokasi anggaran pada tahun anggaran berikutnya; atau
4. tidak lagi beroperasi yang diakibatkan oleh sebab lain;
l. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP Cabang; dan/atau
m. Wajib Pajak yang memiliki NPWP Cabang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang secara nyata tidak lagi:
1. mempunyai suatu hak dan/atau memperoleh manfaat atas bumi; dan/atau
2. memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
berkenaan dengan objek pajak PBB

Untuk penghapusan NPWP selain yang di atas, maka akan dilakukan penghapusan NPWP berdasarkan pemeriksaan.
 

Tata Cara Penghapusan NPWP

Permohonan penghapusan NPWP dapat dilakukan melalui :
  • Mengisi dan menandatangani formulir penghapusan NPWP jika pendaftaran secara manual atau mengisi formulir penghapusan NPWP pada aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.id
  • Melengkapi formulir penghapusan NPWP dengan dokumen yang disyaratkan
  • Dokumen yang disyaratkan dalam penghapusan NPWP :
    • surat keterangan kematian atau dokumen sejenis dari instansi yang berwenang dan surat pernyataan bahwa tidak mempunyai warisan atau surat pernyataan bahwa warisan sudah terbagi dengan menyebutkan ahli waris, untuk orang pribadi yang meninggal dunia;
    • dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak telah meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya, untuk orang pribadi yang meninggalkan Indonesia selama-lamanya;
    • dokumen yang menyatakan bahwa Wajib Pajak sudah tidak ada lagi kewajiban sebagai bendahara, untuk bendahara pemerintah;
    • surat pernyataan mengenai kepemilikan NPWP ganda dan fotokopi semua artu NPWP yang dimiliki, untuk Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu NPWP;
    • fotokopi buku nikah atau dokumen sejenis dan surat pernyataan tidak membuat, perjanjian pemisahan harta dan penghasilan atau surat pernyataan tidak ingin melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suami, untuk wanita kawin yang sebelumnya telah memiliki NPWP;
    • dokumen yang menunjukkan bahwa Wajib Pajak badan termasuk bentuk usaha tetap telah dibubarkan sehingga tidak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif, seperti akta pembubaran badan yang telah disahkan oleh instansi berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, untuk Wajib Pajak badan.
Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP dengan cara :
  1. langsung ke KPP atau melalui KP2KP;
  2. melalui pos; atau
  3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
Namun, dalam hal PKP atau Wajib Pajak mengajukan permohonan penghapusan NPWP secara online, maka untuk dokumen yang disyaratkan dapat dilakukan dengan cara mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen melalui Aplikasi e-Registration atau mengirimkannya dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani.

Pencabutan PKP
Pencabutan Pengukuhan sebagai  PKP dapat dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak terhadap :
  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
  2. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain;
  3. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  4. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka tindak lanjut pemindahan alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya tidak sesuai dengan informasi yang tercantum dalam dokumen yang disyaratkan pada permohonan saat pemindahan dengan keadaan yang sebenarnya;
  5. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan tidak menyampaikan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5);
  6. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan menyampaikan klarifikasi, namun ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) huruf b;
  7. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka aktivasi akun PKP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b;
  8. PKP yang tidak menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (8);PKP orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; dan/atau
  9. PKP bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia.
Pencabutan pengukuhan PKP atas permohonan Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan, dilakukan berdasarkan hasil verifikasi apabila pencabutan pengukuhan tersebut dilakukan terhadap:
  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non Efektif;
  2. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain;
  3. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  4. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka tindak lanjut pemindahan alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya tidak sesuai dengan informasi yang tercantum dalam dokumen yang disyaratkan pada permohonan saat pemindahan dengan keadaan yang sebenarnya;
  5. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan tidak menyampaikan klarifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (5);
  6. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan menyampaikan klarifikasi, namun ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 ayat (4) huruf b;
  7. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka aktivasi akun PKP tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) huruf b;
  8. PKP yang tidak menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (8);
  9. PKP orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan; dan/atau
  10.  PKP bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia.
Pencabutan pengukuhan PKP selain yang disebutkan di atas, maka akan dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan.
Pembetulan SPT
(Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 2021 Perubahan atas Pasal 8 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 20 PMK 9/PMK.03/2018)

(1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menyampaikan:
a. surat pemberitahuan Pemeriksaan; atau
b. surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka,
kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
(1a)  Dalam hal pembetulan SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2a) Dalam hal Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Masa yang mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas jumlah pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(2b) Tarif bunga perbulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan (2a) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
(3) Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan bukti permulaan, Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat mengungkapkan dengan pernyataan tertulis mengenai ketidakbenaran perbuatannya, yaitu sebagai berikut:
a. tidak menyampaikan SPT; atau
b. menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar
sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 atau pasal 39 ayat (1) huruf c dan huruf d sepanjang mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada Penuntut Umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(3a) Pengungkapan ketidakbenaran perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah pajak yang kurang bayar.
(4) Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih besar;
c. jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil; atau
d. jumlah modal menjadi lebih besar atau lebih kecil
dan pemeriksaan tetap dilanjutkan.
(5) Pajak yang kurang dibayar yang timbul sebagai akibat dari pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus dilunasi oleh Wajib Pajak sebelum laporan tersendiri disampaikan beserta administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari pajak yang kurang dibayar, yang dihitung sejak:
a. batas waktu penyampaian SPT Tahunan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Tahunan; atau
b. jatuh tempo pembayaran berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, untuk pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa
dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
(5a) Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana pada ayat (5) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 10% (sepuluh persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
(6) Wajib Pajak dapat membetulkan SPT Tahunan yang telah disampaikan, dalam hal Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan.
E-SPT dan Penyampaian SPT Secara Elektronik (e-Filing)
(PER – 02/PJ/2019)

Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT dan Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan dalam bentuk SPT Elektronik.

Wajib Pajak yang Wajib Menyampaikan SPT Elektronik
(Pasal 4 PER – 02/PJ/2019)

SPT Masa Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang:
a. terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar; dan/atau
b. sudah pernah menyampaikan SPT Masa Elektronik.

SPT Masa PPh Pasal 21/26 Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:
a. melakukan pemotongan PPh Pasal 21/26 terhadap pegawai tetap dan penerima  pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap ASN, anggota TNI/Polri, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) Masa Pajak;
b. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final)/26 selain pemotongan PPh sesuai huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak;
c. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
d. melakukan penyetoran pajak dengan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) Masa Pajak.

SPT Masa PPh Pasal 23/26 Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang memenuhi kriteria:
a. menerbitkan lebih dari 20 (dua puluh) bukti pemotongan PPh Pasal 23/26 dalam  1 (satu) Masa Pajak; dan/atau
b. jumlah penghasilan bruto yang menjadi dasar pengenaan PPh lebih dari Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dalam satu bukti pemotongan.

SPT Masa PPN wajib disampaikan secara elektronik.

SPT Tahunan Elektronik wajib disampaikan oleh Wajib Pajak yang:
a. terdaftar di KPP Madya, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar;
b. sudah pernah menyampaikan SPT Tahunan Elektronik;
c. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 Elektronik;
d. diwajibkan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23/26 Elektronik;
e. diwajibkan menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Elektronik;
f. menggunakan jasa konsultan pajak dalam pemenuhan kewajiban pengisian SPT Tahunan Pajak Penghasilan; dan/atau
g. laporan keuangannya diaudit oleh akuntan publik.

Penyampaian SPT Elektronik ke KPP 
(PER – 02/PJ/2019)

Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Elektronik ke KPP dengan cara:
a. e-Filing;
b. langsung;
c. dikirim melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
d. dikirim melalui perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat;

Saluran e-Filling untuk Penyampaian SPT Elektronik
(PER – 02/PJ/2019)

Saluran e-Filing yang dapat digunakan Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT Elektronik :
a. laman Direktorat Jenderal Pajak;
b. laman Penyalur SPT Elektronik;
c. saluran suara digital yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak untuk Wajib Pajak tertentu;
d. jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak; dan
e. saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Wajib Pajak dapat menyampaikan SPT Elektronik melalui e-Filing dalam jangka waktu 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Barat.
 
Dalam hal SPT Elektronik disampaikan melalui e-Filing, kepada Wajib Pajak diberikan Bukti Penerimaan Elektronik. Bukti Penerimaan Elektronik dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan sepanjang SPT Elektronik tersebut berdasarkan proses Penelitian SPT dinyatakan lengkap dan dapat diterima oleh sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak.
 
Dalam hal Wajib Pajak melakukan pembetulan atas SPT Elektronik yang telah disampaikan, pembetulan SPT tersebut harus disampaikan dalam bentuk SPT Elektronik.
 
Bukti Penerimaan Elektronik disampaikan kepada Wajib Pajak melalui alamat surat elektronik (e-mail address) yang dicantumkan pada saat pendaftaran transaksi elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Lampiran Keterangan dan/atau Dokumen yang Disyaratkan dalam SPT Elektronik
(PER – 02/PJ/2019)

Wajib Pajak harus melampirkan keterangan dan/atau dokumen yang disyaratkan dalam SPT Elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dengan cara:
a. menyampaikan dalam format Portable Document Format (PDF) dalam satu file, dalam hal SPT Elektronik disampaikan secara langsung, melalui pos, atau melalui perusahaan jasa ekspedisi/ kurir;
b. mengunggah (upload), dalam hal SPT Elektronik disampaikan melalui saluran tertentu.

Tata Cara dan Prosedur Penyampaian SPT Elektronik Secara Langsung atau Melalui Pos/Perusahaan Jasa Ekspedisi/Kurir

SPT Elektronik beserta lampirannya dilaporkan dengan menggunakan media penyimpanan elektronik (cakram padat, flash disk, atau media penyimpanan elektronik lainnya) ke KPP dengan prosedur sebagai berikut:
1. Wajib Pajak menggunakan Aplikasi SPT Elektronik untuk merekam data perpajakan yang akan dilaporkan, antara lain:
a. data identitas Wajib Pajak;
b. data bukti pemotongan/pemungutan Pajak Penghasilan atau Faktur Pajak;
c. data perpajakan lainnya yang terkandung dalam SPT yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; dan
d. data Surat Setoran Pajak dan/atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.
2. Wajib Pajak yang telah memiliki sistem administrasi keuangan/perpajakan sendiri dapat melakukan proses impor data dari sistem yang dimiliki Wajib Pajak ke dalam Aplikasi e-SPT dengan mengacu kepada format data yang sesuai dengan Aplikasi e-SPT.
3. Wajib Pajak mencetak formulir Induk SPT Masa PPh dan/atau SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh menggunakan Aplikasi e-SPT.
4. Wajib Pajak menandatangani formulir Induk SPT Masa PPh dan/atau SPT Masa PPN dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan Aplikasi e-SPT.
5. Wajib Pajak membentuk file data SPT menggunakan Aplikasi e-SPT dan menyimpannya dalam media penyimpanan elektronik.
6. Dalam hal keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan tidak dapat direkam pada Aplikasi e-SPT, Wajib Pajak harus memindai keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dalam media penyimpanan elektronik dengan format Portable Document Format (PDF) dalam satu file atau dalam format lainnya yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
7. Wajib Pajak menyampaikan SPT Elektronik ke KPP:
a. secara langsung;
b. melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. perusahaan jasa ekspedisi/kurir dengan bukti pengiriman surat.
8. Dalam penyampaian SPT Wajib Pajak membawa atau mengirimkan:
a. formulir Induk SPT Masa PPh, SPT Masa PPN, dan/atau SPT Tahunan PPh hasil cetakan Aplikasi e-SPT yang telah ditandatangani;
b. media penyimpanan elektronik yang berisi file data SPT; dan
c. dokumen lain yang wajib dilampirkan.
9. Atas penyampaian SPT Elektronik secara langsung diberikan bukti penerimaan sepanjang SPT lengkap.
10. Bukti pengiriman surat penyampaian SPT Elektronik melalui pos atau jasa ekspedisi/kurir dianggap sebagai bukti penerimaan SPT sepanjang SPT tersebut telah lengkap.

Tata Cara dan Prosedur Penyampaian SPT Elektronik Melalui Laman Direktorat Jenderal Pajak 
(Lampiran PER - 02/PJ/2019)

Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri untuk melakukan transaksi elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak dapat menyampaikan SPT Elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak dengan cara:
a. mengisi SPT Elektronik secara online (web filing) dengan benar, lengkap, dan jelas; atau
b. mengunggah (upload) SPT Elektronik yang dihasilkan oleh Aplikasi e-SPT.

Tata Cara Pelaporan SPT e-Filing melalui laman Direktorat Jenderal Pajak dengan web filing adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak mengakses laman DJP Online (djponline.pajak.go.id) atau laman yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b. Wajib Pajak melakukan pengisian SPT sesuai petunjuk yang tertera dalam aplikasi dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Dalam hal pengisian SPT menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus mencantumkan NTPN atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
d. Dalam hal Wajib Pajak telah meyakini kebenaran data yang diisikan, Wajib Pajak melanjutkan pada proses penyimpanan SPT pada menu web filing.
e. Wajib Pajak yang telah mengisi SPT meminta kode verifikasi pada laman Direktorat Jenderal Pajak atau menggunakan kode verifikasi dari perangkat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
f. Penyampaian SPT dibubuhi tanda tangan elektronik dengan memasukkan kode verifikasi.
g. Wajib Pajak melanjutkan dengan proses pengiriman SPT e-Filing pada laman Direktorat Jenderal Pajak.

Tata Cara Pelaporan SPT e-Filing dengan mengunggah SPT Elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak mengunduh Aplikasi e-SPT.
b. Wajib Pajak menginstal Aplikasi e-SPT dan melakukan pengisian SPT pada Aplikasi e-SPT.
c. Dalam hal pengisian SPT menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus mencantumkan NTPN atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
d. Dalam hal data yang diisikan pada aplikasi tersebut telah benar, Wajib Pajak menyimpan dokumen SPT tersebut dalam bentuk file csv.
e. Dalam hal keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan tidak dapat direkam pada Aplikasi e-SPT, Wajib Pajak harus memindai keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dalam media penyimpanan elektronik dengan format Portable Document Format (PDF) atau format lainnya yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
f. Wajib Pajak mengakses laman DJP Online (djponline.pajak.go.id) atau laman yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
g. Wajib Pajak mengunggah file csv dan lampiran yang dipersyaratkan dalam bentuk file PDF atau format lainnya yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak pada laman DJP.
h. Wajib Pajak meminta kode verifikasi pada laman Direktorat Jenderal Pajak atau menggunakan kode verifikasi dari perangkat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
i. Penyampaian SPT e-Filing dibubuhi tanda tangan elektronik dengan memasukkan kode verifikasi.
j. Wajib Pajak melanjutkan dengan proses pengiriman SPT e-Filing pada laman Direktorat Jenderal Pajak.

Tata Cara dan Prosedur Penyampaian SPT Elektronik Melalui Laman Penyalur SPT Elektronik  
(Lampiran PER - 02/PJ/2019)

1. Wajib Pajak yang sudah mendapatkan e-FIN harus mendaftarkan diri melalui laman Penyalur SPT Elektronik dengan mencantumkan:
a. alamat surat elektronik (e-mail address) dan
b. nomor telepon seluler,
untuk pengiriman kode verifikasi, notifikasi, dan Bukti Penerimaan Elektronik.
2. Untuk menyampaikan SPT melalui Penyalur SPT Elektronik, Wajib Pajak dapat memilih untuk menggunakan Sertifikat Elektronik (Digital Certificate) yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak atau dengan menggunakan kode verifikasi yang diperoleh dari perangkat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
3. Penyalur SPT Elektronik harus mengirimkan:
a. petunjuk penyampaian SPT Elektronik melalui laman Penyalur SPT Elektronik tersebut;
b. aplikasi untuk menyampaikan SPT Elektronik beserta petunjuk penggunaannya; dan
c. informasi lain yang diperlukan untuk melaporkan SPT Elektronik melalui Penyalur SPT Elektronik,
kepada Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri.
4. Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri pada laman penyalur SPT Elektronik dapat menyampaikan SPT e-Filing pada laman tersebut dengan cara:
a. mengisi Aplikasi SPT Elektronik secara online (web filing) pada laman tersebut dengan benar, lengkap, dan jelas; atau
b. mengunggah (upload) SPT Elektronik.
5. Tata Cara Pelaporan SPT e-Filing pada laman penyalur SPT Elektronik dengan web filing adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak mengakses laman penyalur SPT Elektronik.
b. Wajib Pajak melakukan pengisian SPT sesuai petunjuk yang tertera dalam aplikasi dan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
c. Dalam hal pengisian aplikasi SPT Elektronik menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus mencantumkan NTPN atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
d. Dalam hal Wajib Pajak telah meyakini kebenaran data yang diisikan pada laman penyalur SPT Elektronik, Wajib Pajak melanjutkan pada proses penyimpanan SPT Elektronik.
e. Dalam hal Wajib Pajak memilih untuk menggunakan kode verifikasi, Wajib Pajak memasukan kode verifikasi dari perangkat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebelum SPT Elektronik disampaikan.
f. Wajib Pajak melanjutkan dengan proses pengiriman SPT Elektronik pada laman Penyalur SPT Elektronik.
6. Tata Cara Pelaporan SPT e-Filing dengan upload SPT melalui laman Penyalur SPT Elektronik adalah sebagai berikut:
a. Wajib Pajak mengunduh Aplikasi SPT Elektronik.
b. Wajib Pajak menginstal Aplikasi SPT Elektronik terlebih dahulu dan melakukan pengisian SPT pada Aplikasi SPT Elektronik.
c. Dalam hal pengisian Aplikasi SPT Elektronik menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus mencantumkan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
d. Dalam hal data yang diisikan pada aplikasi tersebut telah benar, Wajib Pajak menyimpan dokumen SPT Elektronik tersebut dalam bentuk file csv.
e. Dalam hal keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan tidak dapat direkam pada Aplikasi SPT Elektronik, Wajib Pajak harus memindai keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dalam media penyimpanan elektronik dengan format Portable Document Format (PDF) atau format lainnya yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
f. Wajib Pajak mengakses laman penyalur SPT Elektronik.
g. Wajib Pajak mengunggah file csv pada laman penyalur SPT Elektronik serta lampiran yang dipersyaratkan dalam bentuk file PDF atau format lainnya yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
h. Dalam hal Wajib Pajak memilih untuk menggunakan kode verifikasi, Wajib Pajak memasukan kode verifikasi dari perangkat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak sebelum SPT Elektronik disampaikan.
i. Wajib Pajak melanjutkan dengan proses pengiriman SPT e-Filing pada laman Penyalur SPT Elektronik.
 
Tata Cara Pelaporan SPT e-Filing Melalui Jaringan Komunikasi Data yang Terhubung Khusus antara Direktorat Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak  
(Lampiran PER - 02/PJ/2019)

1. Wajib Pajak yang telah mendaftarkan diri untuk melakukan transaksi elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak dan mengajukan permohonan aktivasi EFIN dapat menyampaikan SPT Elektronik melalui jaringan komunikasi data yang didedikasikan khusus antara DJP dengan Wajib Pajak.
2. Wajib Pajak mengisi SPT Elektronik dengan menggunakan aplikasi elektronik yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
3. Dalam hal pengisian SPT menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus memasukkan NTPN atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
4. Wajib Pajak mengirimkan SPT yang telah diisi melalui jaringan komunikasi data yang terhubung khusus antara DJP dengan Wajib Pajak.
5. Atas penyampaian SPT e-Filing yang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kepada Wajib Pajak diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.

Tata Cara Pelaporan SPT e-Filing Melalui Saluran Lain Yang Ditetapkan Oleh Direktur Jenderal Pajak
(Lampiran PER - 02/PJ/2019)

Tata Cara Pelaporan SPT Elektronik berupa Formulir Digital (EFORM)
a. Wajib Pajak mengunduh Aplikasi Viewer EFORM pada laman yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b. Wajib Pajak menginstal Aplikasi Viewer EFORM.
c. Wajib Pajak mengunduh EFORM pada laman DJP Online (djponline.pajak.go.id) atau laman yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
d. Wajib Pajak yang telah mengunduh EFORM mendapat kode verifikasi pelaporan SPT dari Direktorat Jenderal Pajak melalui alamat surat elektronik (e-mail address) yang dicantumkan pada saat pendaftaran transaksi elektronik dengan Direktorat Jenderal Pajak.
e. Wajib Pajak melakukan pengisian pada EFORM.
f. Dalam hal pengisian EFORM menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus mengisi elemen data pembayaran atas pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
g. Dalam hal keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan tidak dapat direkam pada EFORM, Wajib Pajak harus memindai keterangan dan/atau dokumen lain yang harus dilampirkan dalam SPT sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan dalam media penyimpanan elektronik dengan format Portable Document Format (PDF).
h. Khusus untuk penyampaian Laporan Keuangan atau data Laporan Keuangan yang telah disampaikan di tempat yang ditentukan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak mengisi nomor bukti penyampaian Laporan Keuangan di laman DJP dan dilakukan proses validasi melalui sistem.
i. Penyampaian SPT Elektronik dibubuhi tanda tangan elektronik dengan memasukkan kode verifikasi yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Pajak.
j. Wajib Pajak melanjutkan dengan proses pengiriman data SPT dan lampiran sebagaimana dimaksud pada angka 7 melalui EFORM secara online.
k. Atas penyampaian SPT Elektronik yang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kepada Wajib Pajak diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.

Tata Cara Pelaporan SPT dalam bentuk dokumen elektronik melalui Pembuatan Bukti Pemotongan Elektronik (E-Bupot)
a. Wajib Pajak mengakses laman DJP Online (djponline.pajak.go.id) atau laman yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b. Wajib Pajak memilih menu e-Bupot pada laman DJP Online atau laman yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
c. Wajib Pajak membuat bukti pemotongan dan/atau bukti pemungutan yang akan dilaporkan dalam SPT Masa PPh sesuai petunjuk pembuatan bukti pemotongan/pemungutan dalam aplikasi e-Bupot.
d. Berdasarkan bukti pemotongan/pemungutan yang telah dibuat, Wajib Pajak selanjutnya mengotomatisasi pembuatan SPT.
e. Dalam hal pengisian SPT dalam bentuk dokumen elektronik menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus memasukkan satu atau lebih Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
f. Wajib Pajak menyampaikan SPT dengan mengunggah Digital Certificate yang dimiliki Wajib Pajak ke laman DJP Online atau laman yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
g. Atas penyampaian SPT dalam bentuk dokumen elektronik yang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kepada Wajib Pajak diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.

Tata Cara Pelaporan SPT dalam bentuk dokumen elektronik melalui Pembuatan Faktur Pajak Elektronik (E-Faktur)
a. Wajib Pajak mengakses laman yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk pembuatan faktur pajak elektronik.
b. Wajib Pajak membuat Faktur Pajak yang akan dilaporkan dalam SPT Masa PPN sesuai petunjuk pembuatan bukti pemotongan/pemungutan dalam aplikasi e-Faktur.
c. Berdasarkan Faktur Pajak Keluaran dan Masukan yang telah dibuat, Wajib Pajak selanjutnya mengotomatisasi pembuatan SPT.
d. Dalam hal pengisian SPT dalam bentuk dokumen elektronik menunjukkan status kurang bayar, Wajib Pajak harus memasukkan satu atau lebih Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN) atas pembayaran pajak yang kurang bayar tersebut sebagai bukti pembayaran.
e. Wajib Pajak menyampaikan SPT dengan menggunakan Digital Certificate yang telah dipasang (install) pada media peramban (browser) dimiliki Wajib Pajak ke laman yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak.
f. Atas penyampaian SPT dalam bentuk dokumen elektronik yang telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, kepada Wajib Pajak diberikan Bukti Penerimaan Elektronik.
Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak
(Pasal 9 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 242/PMK.03/2014 jo PMK 18/PMK.03/2021)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda kekurangan pembayaran pajak yang terutang atau pajak yang masih harus dibayar yang selanjutnya disebut utang pajak, dalam hal Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami keadaan di luar kekuasaannya sehingga Wajib Pajak tidak mampu memenuhi kewajiban pajak pada waktunya.


Syarat yang diperlukan untuk mengajukan permohonan mengangsur atau menunda pembayaran pajak

(PMK 242/PMK.03/2014)

Permohonan harus diajukan secara tertulis menggunakan surat permohonan pengangsuran pembayaran pajak atau surat permohonan penundaan pembayaran pajak paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran, disertai dengan alasan dan bukti yang mendukung permohonan dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak harus dilampiri surat kuasa sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. surat permohonan mencantumkan:
1. jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk diangsur, masa angsuran, dan  besarnya angsuran; atau
2. jumlah utang pajak yang pembayarannya dimohonkan untuk ditunda dan jangka waktu penundaan.
c. dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan pengangsuran atau penundaan pembayaran PBB yang masih harus dibayar selain memenuhi persyaratan huruf a dan b, Wajib Pajak harus tidak memiliki tunggakan PBB tahun-tahun sebelumnya dan permohonan dimaksud juga harus dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB yang dimohonkan pengangsuran atau penundaan.

Wajib Pajak yang mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran pajak harus memberikan jaminan yang dapat berupa garansi bank, surat/dokumen bukti kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, sertifikat tanah, atau sertifikat deposito.

Atas permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang diajukan oleh WP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan.
 
Keputusan sebagaimana dimaksud di atas dapat berupa :
a. Menyetujui jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak;
b. Menyetujui sebagian jumlah angsuran pajak dan/atau masa angsuran atau lamanya penundaan yang dimohonkan Wajib Pajak; atau
c. Menolak permohonan Wajib Pajak.

Apabila jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan suatu keputusan, permohonan dianggap disetujui sesuai dengan permohonan Wajib Pajak, dan keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak harus diterbitkan paling lama 5 (lima) hari kerja setelah jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja tersebut berakhir.


Jangka Waktu Angsuran
(PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 25 ayat (1))

Pengangsuran atas kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang atau pajak yang masih harus dibayar dapat diberikan untuk:
a. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5) dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
b. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan pengangsuran pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5) dengan angsuran paling banyak 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan angsuran atas utang pajak berupa pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
c. paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, dengan angsuran paling banyak (satu) kali dalam 1 (satu) bulan, untuk permohonan pengangsuran atas kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
 
Besarnya pembayaran angsuran atas utang pajak ditetapkan dalam jumlah utang pajak yang sama besar untuk setiap angsuran.
 

Jangka Waktu Penundaan
(PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 25 ayat (2))

Penundaan atas kekurangan pembayaran pajak, pajak yang terutang, atau pajak yang masih harus dibayar dapat diberikan untuk:
a. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5), untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang masih harus dibayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1);
b. paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkannya keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (3) atau ayat (5), untuk permohonan penundaan atas utang pajak berupa pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5; atau
c. paling lama sampai dengan bulan terakhir Tahun Pajak berikutnya, untuk permohonan penundaan atas kekurangan pembayaran pajak berdasarkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. 

Besarnya pelunasan atas penundaan utang pajak ditetapkan sejumlah utang pajak yang ditunda pelunasannya.
 

Sanksi
(PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 26)

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak kecuali Surat Tagihan Pajak, maka terhadap Wajib Pajak dikenakan bunga sesuai ketentuan Pasal 19 ayat (2) UU KUP sebesar 2% (dua persen) sebulan, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan pembayaran angsuran/pelunasan, dengan ketentuan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Bunga yang timbul akibat angsuran atau penundaan dihitung berdasarkan saldo utang pajak. Sanksi bunga sebagaimana dimaksud di atas ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak pada setiap tanggal jatuh tempo angsuran, jatuh tempo penundaan, atau pada tanggal pembayaran. Bunga sebagaimana dimaksud di atas tidak dikenakan terhadap angsuran atau penundaan atas pembayaran Surat Tagihan Pajak.

Dalam hal terhadap Wajib Pajak yang permohonan untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajaknya telah dikabulkan sebagian atau seluruhnya diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) dan/atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga (SKPIB), pengembalian kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tersebut terlebih dahulu diperhitungkan dengan sisa utang pajak yang belum diangsur atau yang ditunda pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.

Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga lebih kecil dari utang pajak yang belum diangsur, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:
a. Jumlah pokok dan bunga setiap angsuran tidak lebih dari jumlah setiap angsuran yang telah disetujui; dan
b. Masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disepakati.

Untuk itu penetapan kembali besarnya angsuran dan/atau masa angsuran sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan prosedur :
a. Kepala Kantor Pelayanan Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang perubahan saldo utang pajak serta permintaan usulan perubahan angsuran;
b. Wajib pajak harus menyampaikan secara tertulis usulan perubahan angsuran paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal diterima surat pemberitahuan;
Dalam hal sampai dengan batas waktu tersebut, Kepala Kantor Pelayanan Pajak tidak menerima usulan perubahan angsuran dari Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak dengan:
a. nilai angsuran adalah sebesar sisa utang pajak dibagi dengan sisa masa angsuran; dan
b. masa angsuran adalah sisa masa angsuran yang telah disetujui sebelumnya.
Keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak berfungsi sebagai pembatalan atas keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak sebelumnya.
c. Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak yang juga berfungsi sebagai pembatalan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak sebelumnya berdasarkan surat usulan yang disampaikan oleh Wajib Pajak paling lama 5 (lima) hari kerja sejak tanggal surat usulan diterima.

Dalam hal besarnya kelebihan pembayaran pajak dan/atau pemberian imbalan bunga tidak mencukupi untuk melunasi utang pajak yang ditunda, Wajib Pajak tetap berhak melunasi sisa utang pajak tersebut paling lama sesuai dengan jangka waktu penundaan.
 

Ketentuan perpajakan terhadap WP yang mengajukan keberatan  sementara permohonan angsuran/penundaan telah dikabulkan sebagian atau seluruhnya
(PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 28)

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk diangsur atau ditunda, Wajib Pajak wajib melunasi seluruh pajak yang masih harus dibayar yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, sebelum keberatan diajukan. Pengajuan keberatan yang mengakibatkan keputusan persetujuan angsuran pembayaran pajak atau keputusan persetujuan penundaan pembayaran pajak menjadi tidak berlaku.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas suatu surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya, yang pelunasannya telah memperoleh persetujuan untuk mengangsur atau menunda, persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayaran utang pajak tersebut tetap berlaku dan Wajib Pajak wajib melunasi sesuai dengan jadwal waktu yang telah ditetapkan.
 

Ketentuan perpajakan terhadap WP yang diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan  sementara ia telah mendapat persetujuan untuk mengangsur pembayaran pajak
(PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 29)

Dalam hal terhadap utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya yang telah mendapat persetujuan untuk diangsur pembayarannya diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menerima sebagian, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:
a. jumlah pokok dan bunga setiap angsuran tidak lebih dari jumlah setiap angsuran yang telah disetujui; dan
b. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.

Dalam hal terhadap utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya yang telah mendapat persetujuan untuk diangsur pembayarannya diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan atau Putusan Peninjauan Kembali yang menerima sebagian, besarnya angsuran dari sisa utang pajak ditetapkan kembali dengan ketentuan:
a. jumlah pokok dan bunga setiap angsuran tidak lebih dari jumlah setiap angsuran yang telah disetujui; dan
b. masa angsuran paling lama sama dengan sisa masa angsuran yang telah disetujui.
Jenis Penetapan dan Ketetapan Pajak
(UU Nomor 28 Tahun 2007)

a. Surat Tagihan Pajak (STP);
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
d. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB);
e. Surat ketetapan Pajak Nihil (SKPN).

Semuanya mempunyai ketetapan hukum yang penagihannya dapat dilakukan dengan menerbitkan Surat Paksa.
Surat Tagihan Pajak (STP)
(Pasal 14 UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 14 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 145/PMK.03/2012 jo. 183/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)
 
Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.

Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak dalam hal :
a. Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
Jumlah kekurangan pajak yang terutang STP sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
     
b. Berdasarkan hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung;
Jumlah kekurangan pajak yang terutang STP sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.
     
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga;
     
d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi tidak tepat waktu;
Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud di atas, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
     
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak mengisi Faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) dan ayat (6) UU PPN, kecuali isian faktur pajak tersebut telah mencantumkan :
  a. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN
  b. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN dan perubahannya dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran.
  Terhadap pengusaha atau Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud di atas, selain wajib menyetor pajak yang terutang, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 1% (satu persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
     
f. terdapat imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, dalam hal:
  1. diterbitkan keputusan;
  2. diterima putusan; atau
  3. ditemukan data atau informasi
  yang menunjukan adanya imbalan bunga yang seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak.

Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
 
STP diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak. Kecuali :
  1. STP atas sanksi administratif diterbitkan paling lma sesuai dengan daluwarsa penagihan SKPKB serta SKPKBT, dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Bandingm serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; 
  2. STP atas sanksi administratif dapat diterbitkan paling lama 5(lima) tahun sejak tanggal penerbitan SK Keberatan apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya Banding; dan
  3. STP atas sanksi administratif dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan Pajak dalam sidang terbuka untuk umum. 

Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud di atas diterbitkan setelah :

  • meneliti data administrasi perpajakan;
  • melakukan Pemeriksaan;
  • melakukan Pemeriksaan Ulang; atau
  • melakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 145/PMK.03/2012 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 183/PMK.03/2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.03/2012 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2021 Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2013 Tentang Bentuk dan Isi Nota Penghitungan, Bentuk dan Isi Surat Ketetapan Pajak serta Bentuk dan Isi Surat Tagihan Pajak atas Pajak Penjualan bagi Kontraktor Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara Generasi I
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2018 Tentang Bentuk dan Isi Nota Penghitungan, Bentuk dan Isi Surat Ketetapan Pajak serta Bentuk dan Isi Surat Tagihan Pajak
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2021 tentang Bentuk dan Isi Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak serta Surat Tagihan Pajak
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-05/PJ/2022 tentang Bentuk dan Isi Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak serta Surat Tagihan Pajak
  9. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ/2015 Tentang Tata Cara Penerbitan Kembali Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan/atau Surat Tagihan Pajak
  10. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-411/PJ.02/2016 Tentang Penegasan Penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP)
Pengertian SPT
(Pasal 1 (11) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Jenis SPT : (Pasal 3 PMK Nomor 9/PMK.03/2018)

SPT meliputi ;
  1. SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh)
    • SPT Tahunan PPh untuk satu Tahun Pajak; dan
    • SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak;
  2. SPT Masa yang terdiri dari;
    • SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh);
    • SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN); dan
    • SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai (PPN) bagi Pemungut PPN.
Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. Masa Pajak sama dengan 1 (satu) bulan kalender atau jangka waktu lain yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan kalender.

SPT Tahunan Pajak Penghasilan, yaitu SPT untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Bagian Tahun Pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak.
Contoh :
Pada awal Januari 2019, ada perusahaan melakukan perubahan tahun buku dari Januari – Desember berubah menjadi April – Maret. Kemudian disetujui oleh Direktorat Jenderal Pajak, mulai tahun pajak April 2019 – Maret 2020. Dalam hal ini ada bagian dari tahun 2019 yaitu Januari 2019 – Maret 2019 yang disebut Bagian Tahun Pajak.

Penyebutan Bagian Tahun Pajak dalam SPT Tahunan PPh untuk Bagian Tahun Pajak adalah sebagai berikut:
  1. menggunakan tahun kalender, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 1 (satu) tahun kalender;
  2. menggunakan tahun kalender yang di dalamnya memuat jumlah bulan yang lebih banyak, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender yang berbeda; atau
  3. menggunakan tahun kalender pertama, dalam hal Bagian Tahun Pajak meliputi 2 (dua) tahun kalender dengan jumlah bulan yang sama pada masing-masing tahun kalender.
SPT tersebut di atas dapat berbentuk :
  • formulir kertas (hardcopy); atau
  • dokumen elektronik (e-SPT atau e-Filing)
WP Dengan Kriteria Tertentu yang diberikan Pengembalian Pendahuluan
(Pasal 17C UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 39/PMK.03/2018 jo. PMK 209/PMK.03/2021)

Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak Patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. tepat waktu dalam menyampaikan SPT, yang meliputi :
1. Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Tahunan dalam 3 (tiga) Tahun Pajak terakhir yang wajib disampaikan sampai dengan akhir tahun sebelum penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu,  dengan tepat waktu;
2. Wajib Pajak telah menyampaikan SPT Masa atas Masa Pajak Januari sampai dengan November dalam Tahun Pajak terakhir sebelum penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu; dan
3. dalam hal terdapat keterlambatan penyampaian SPT Masa sebagaimana dimaksud dalam angka 2, keterlambatan tersebut harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. tidak lebih dari 3 (tiga) Masa Pajak untuk setiap jenis pajak serta tidak berturut-turut; dan
b. tidak lewat dari batas waktu penyampaian SPT Masa pada Masa Pajak berikutnya.
   
b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak;
Yang dimaksud dengan tidak mempunyai tunggakan pajak adalah keadaan Wajib Pajak pada tanggal 31 Desember tahun terakhir sebelum penetapan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu tidak memiliki utang pajak yang melewati batas akhir pelunasan, kecuali terhadap tunggakan pajak yang pembayarannya telah memperoleh izin penundaan atau pengangsuran.
   
c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut;
Laporan Keuangan yang diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah sebagaimana dimaksud di atas yaitu laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik  atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah yang dilampirkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang wajib disampaikan selama 3 (tiga) tahun berturut-turut sampai dengan akhir tahun sebelum tahun penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu.
   
d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.

Untuk dapat ditetapkan sebagai Wajib Pajak Kriteria Tertentu, Wajib Pajak mengajukan permohonan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tanggal 10 Januari. Direktur Jenderal Pajak menetapkan Wajib Pajak berdasarkan hasil penelitian atas pemenuhan kriteria sebagaimana dimaksud di atas  paling lama 1 (satu) bulan setelah diterimanya permohonan penetapan. Keputusan penetapan tersebut mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan hingga dilakukan pencabutan penetapan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Terhadap permohonan Pengembalian Pendahuluan dari Wajib Pajak Patuh sebagaimana dimaksud di atas dilakukan penelitian formal atas :
a. penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu masih berlaku;
b. Wajib Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka atau tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak dalam 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
d. Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak dalam 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; dan
e. Wajib Pajak tidak terlambat menyampaikan SPT Tahunan

Setelah memenuhi kewajiban formal sesuai kriteria di atas, Direktur Jenderal Pajak menindaklanjuti dengan meneliti :
a. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak;
b. bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon; dan
c. Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pemohon.  

Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak Patuh, menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) paling lama :
a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Penghasilan; atau
b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk Pajak Pertambahan Nilai

Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas, SKPPKP atau pemberitahuan belum diterbitkan, permohonan Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPPKP setelah jangka waktu tersebut berakhir.

SKPPKP tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap, pembayaran pajak tidak benar, atau alamat tidak sesuai dengan yang tercantum dalam SPT atau dengan pemberitahuan perubahan alamat. Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud di atas, kepada Wajib Pajak diberitahukan secara tertulis.

SKPPKP tidak dapat diterbitkan kepada Wajib Pajak Patuh apabila dalam masa berlakunya jangka waktu sebagai Wajib Pajak Patuh :
a. terhadap Wajib Pajak tersebut dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
b. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
c. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa untuk suatu jenis Pajak tertentu  3 (tiga) Masa Pajak tidak berturut-turut dalam 1 (satu) tahun kalender;
d. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Masa tidak lebih 3 (tiga) Masa Pajak secara berturut-turut dan terdapat penyampaian Surat Pemberitahuan Masa yang lewat dari batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Masa Pajak berikutnya;atau
e. Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT Tahunan.

Terhadap Wajib Pajak Patuh sebagaimana dimaksud di atas, diberitahukan secara tertulis bahwa kepada Wajib Pajak yang bersangkutan tidak dapat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak.

Pemeriksaan sebelum melakukan pengembalian pendahuluan
(Pasal 17C UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 39/PMK.03/2018 jo. PMK 209/PMK.03/2021)

DJP hanya melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari WP Patuh. Namun demikian DJP dapat melakukan pemeriksaan terhadap WP Patuh tersebut dan menerbitkan SKP setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Apabila hasil pemeriksaan tersebut DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen)dan jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Pengertian NPWP
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 (6)
 
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
Tandatangan SPT
(Pasal 7 PMK - 243/PMK.03/2014 jo. PMK - 9/PMK.03/2018 jo. PER - 02/PJ/2019)

SPT yang disampaikan wajib ditandatangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak. Dalam hal WP adalah Badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Jika SPT ditandatangani oleh bukan WP, harus dilampiri Surat Kuasa Khusus.

Penandatanganan SPT sebagaimana dimaksud dapat dilakukan dengan cara :
  • tanda tangan biasa;
  • tanda tangan stempel; atau
  • tanda tangan elektronik atau digital (Sertifikat Elektronik, kode verifikasi yang dikirimkan oleh Ditjen Pajak, atau tanda tangan elektronik lainnya yang ditentukan Ditjen Pajak).
Tanda tangan stempel dan tanda tangan elektronik atau digital mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan tanda tangan biasa.
Jatuh Tempo Pembayaran dan Penyetoran
(Pasal 9 UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 9 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 242/PMK.03/2014)
 
Tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak secara umum adalah :
(1) Untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
(2) Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas sebelum SPT Pajak Penghasilan disampaikan.
(3) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
(3a) Bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diperpanjang paling lama menjadi 2 (dua) bulan.
 
Berikut adalah rincian tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak untuk masing-masing jenis pajak :

Masa :

No Jenis Pajak Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran
1 PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong PPh tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
2 PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh
3 PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak
4 PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh
5 PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh
6 PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh
7 PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
8 PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri
9 PPh Pasal 25
10 PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk
11 PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri
12 PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
13 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor
14 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak
15 PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara pengeluaran paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara
16 PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
17 PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir
18 Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang- Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak
19 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN atau PPh Pasal 22 disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
20 PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak Disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
21 PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dipotong/dipungut atau yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak disetor sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (Pasal 9 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014)

Hari libur nasional sebagaimana dimaksud di atas yaitu hari Sabtu, hari Minggu, hari libur nasional, hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum, atau cuti bersama secara nasional

Contoh
PT. ABC bermaksud melakukan pembayaran pajak PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Maret 2021, jatuh tempo pembayaran adalah hari Sabtu, 10 April 2020. Berdasarkan ketentuan PMK No. 242/PMK.03/2014, pembayaran pajak tersebut masih diperbolehkan pada hari Senin, 12 April 2021. Meskipun lewat dari tanggal jatuh tempo yang sebenarnya, PT. ABC tidak dikenakan sanksi administrasi berupa tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
 
Tahunan :

No Jenis Pajak Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran
1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Sebelum SPT Pajak Penghasilan disampaikan
2. SPT Tahunan PPh Badan
Tempat Pendaftaran dan atau Pelaporan Usaha
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 jo. PER - 04/PJ/2020)

Tempat pendaftaran untuk memperoleh NPWP :
  1. Bagi Wajib Pajak orang pribadi adalah pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal;
  2. Bagi Wajib Pajak badan adalah pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan;
  3. Bagi Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu (Wajib Pajak orang pribadi yang mempunyai 1 (satu) tempat usaha yang berbeda dengan alamat tempat tinggal atau lebih dari 1 (satu) tempat usaha) selain mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal juga mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat-tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
Pendaftaran NPWP selain dapat dilakukan di KPP juga dapat dilakukan di Kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) atau Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan.

Dalam hal tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak berada dalam dua atau lebih wilayah kerja KPP, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan KPP tempat Wajib Pajak terdaftar.

Wajib Pajak sebagai karyawan dapat mendaftarkan diri di KPP domisili melalui KPP lokasi.

Selain dilakukan secara konvensional, pendaftaran NPWP dan Pengukuhan PKP dapat dilakukan secara online yaitu melalui aplikasi e-Registration milik DJP yang dapat diakses di http://www.ereg.pajak.go.id

Tempat pelaporan usaha bagi Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai PKP atau pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP maupun pengusaha kecil yang telah melampaui batasan yang ditentukan sebagai Pengusaha Kecil adalah pada KPP/KP4/KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Fungsi dan Manfaat NPWP
(Penjelasan - UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 (1)


Fungsi NPWP dari segi administrasi pajak antara lain :
● Sarana dalam administrasi perpajakan
● Tanda pengenal diri atau identitas WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya
Contoh : Untuk pengisian Surat Setoran Pajak (SSP) dan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan Tahunan
● Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi perpajakan

NPWP dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan, oleh karena itu kepada setiap Wajib Pajak hanya diberikan satu NPWP.

Manfaat dari memiliki NPWP antara lain :
● Untuk mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan pencantuman NPWP dalam dokumen yang diajukan. Misal: Dokumen Impor (PPUD, PIUD)
● Syarat kredit bank
● Syarat pembuatan rekening koran di bank
● Pengajuan izin Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP)
● Mengikuti lelang di Instansi Pemerintah, BUMN, dan BUMD
● Tidak dikenakan pajak lebih tinggi. Untuk PPh 21 (20% lebih tinggi jika tidak memiliki NPWP), PPh 22 yang sifatnya tidak final dan PPh 23 (100% lebih tinggi jika tidak memiliki NPWP).
Pengusaha
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 (4))


Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.


Pengusaha Kena Pajak (PKP)
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 (5))


PKP atau Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Terhadap Wajib Pajak ini, di samping memiliki NPWP juga diberikan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP).
Dasar Restitusi
(Pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 2020. Pasal 11 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 2 dan Pasal 5 244/PMK.03/2015)

Kelebihan pembayaran pajak terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang.

Kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan pengembalian (restitusi) dalam hal :
  1. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP;
  2. Pajak yang seharusnya tidak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP;
  3. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang­Undang KUP;
  4. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP
  5. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP
  6. Pajak yang telah dibayar atas pembelian Barang Kena Pajak yang dibawa ke luar Daerah Pabean oleh orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17E Undang-Undang KUP dan Pasal 16E Undang-Undang PPN;
  7. Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (4c) Undang-Undang PPN;
  8. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan atau Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung;
  9. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
  10. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
  11. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau
  12. Pajak yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP.
WP dapat mengajukan permohonan restitusi dengan ketentuan bahwa apabila ternyata WP mempunyai utang pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang pajak yang diadministrasikan di KPP domisili dan/atau di KPP lokasi, sebagaimana tercantum dalam :
a. Surat Tagihan Pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Keberatan, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2007 dan sebelumnya;
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang telah disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, dan Surat Keputusan Keberatan yang tidak diajukan banding, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya;
d. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atas jumlah yang tidak disetujui dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan sesudahnya, dalam hal:
  1)  tidak diajukan keberatan;
  2) diajukan keberatan tetapi Surat Keputusan Keberatan mengabulkan sebagian atau menolak dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut tidak diajukan banding; atau
  3) diajukan keberatan dan atas Surat Keputusan Keberatan tersebut diajukan banding tetapi Putusan Banding mengabulkan sebagian, menambah jumlah pajak terutang, atau menolak;
e. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, atau Surat Tagihan Pajak PBB;
f. Surat Keputusan Keberatan untuk PBB yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah tetapi tidak diajukan banding;
g. Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah; dan/atau
h. Surat Keputusan Pembetulan yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

Apabila berdasarkan hasil perhitungan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud di atas masih terdapat kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan untuk memperhitungkan kelebihan pembayaran pajak tersebut dengan pajak yang akan terutang atau dengan utang pajak atas nama Wajib Pajak lain.
 
Pelunasan utang pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui penghitungan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud di atas akan diakui pada saat diterbitkan SKPKPP.

Sarana yang harus digunakan WP untuk mengajukan permohonan restitusi
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 17)

WP dapat mengajukan permohonan restitusi dengan cara mengisi kolom dalam SPT atau dengan Surat Tersendiri.
Tempat Pendaftaran bagi WP Tertentu dan/atau Pelaporan Usaha bagi PKP Tertentu
(PER-07/PJ/2020 Pasal 2 dan 3)

Yang dimaksud dengan Wajib Pajak tertentu dan PKP tertentu adalah Wajib Pajak dan PKP :
  • badan usaha milik Negara;
  • penanaman modal asing tertentu;
  • bentuk usaha tetap dan orang asing tertentu;
  • perusahaan masuk bursa tertentu, termasuk badan-badan khusus (self regulatory organization) yang didirikan dan beroperasi di bursa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal serta perusahaan-perusahaan tertentu lainnya yang melakukan kegiatan usaha di Pasar Modal;
  • perusahaan besar tertentu.
  • orang pribadi tertentu.
Tempat pendaftaran dan atau tempat pelaporan usaha bagi Wajib Pajak pada KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, dan KPP Madya diatur sebagai berikut :
  1. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar meliputi :
    • KPP Wajib Pajak Besar Satu, untuk Wajib Pajak badan besar tertentu yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan, jasa penunjang pertambangan, dan jasa keuangan;
    • KPP Wajib Pajak Besar Dua, untuk Wajib Pajak badan besar tertentu yang melakukan kegiatan usaha di sektor industri, perdagangan, dan jasa selain jasa penunjang pertambangan dan jasa keuangan;
    • KPP Wajib Pajak Besar Tiga, untuk Wajib Pajak BUMN yang melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan, industri, dan perdagangan;
    • KPP Wajib Pajak Besar Empat, untuk Wajib Pajak BUMN yang melakukan kegiatan usaha di sektor jasa dan Wajib Pajak Orang Pribadi tertentu;
  2. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus meliputi:
    • KPP Perusahaan Masuk Bursa, untuk Wajib Pajak yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh otoritas pengawas pasar modal dan jasa keuangan, perusahaan efek nonbank, dan badan-badan khusus (self regulatory organization) yang didirikan dan beroperasi di bursa berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
    • KPP Penanaman Modal Asing Satu, untuk Wajib Pajak penanaman modal asing tertentu yang tidak masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha di sektor industri kimia dan barang galian non-logam;
    • KPP Penanaman Modal Asing Dua, untuk Wajib Pajak penanaman modal asing tertentu yang tidak masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha di sektor industri logam dan mesin;
    • KPP Penanaman Modal Asing Tiga, untuk Wajib Pajak penanaman modal asing tertentu yang tidak masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha di sektor pertambangan dan perdagangan;
    • KPP Penanaman Modal Asing Empat, untuk Wajib Pajak penanaman modal asing tertentu yang tidak masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha di sektor industri tekstil, makanan, dan kayu;
    • KPP Penanaman Modal Asing Lima, untuk Wajib Pajak penanaman modal asing tertentu yang tidak masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha di sektor agrobisnis dan jasa tertentu;
    • KPP Penanaman Modal Asing Enam, untuk Wajib Pajak penanaman modal asing tertentu yang tidak masuk bursa dan melakukan kegiatan usaha di sektor jasa tertentu;
    • KPP Badan dan Orang Asing, untuk Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang berkedudukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan orang asing yang bertempat tinggal di Daerah Khusus Ibukota Jakarta;
    • KPP Minyak dan Gas Bumi, untuk Wajib Pajak Migas;
  3. KPP Madya, untuk Wajib Pajak badan besar tertentu dalam suatu Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak.
Untuk Wajib Pajak Penanaman Modal Asing (WP PMA), tempat pendaftaran dan tempat pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, harus memperhatikan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) sebagai berikut : (Lampiran PER-07/PJ/2020)

DAFTAR KANTOR PELAYANAN PAJAK PENANAMAN MODAL ASING BERDASARKAN KLASIFIKASI LAPANGAN USAHA (KLU) WAJIB PAJAK

UNIT KANTOR KEKHUSUSAN
JENIS USAHA
GOLONGAN
POKOK
URAIAN KLASIFIKASI LAPANGAN USAHA
KPP PMA SATU

Industri Kimia dan Barang Galian Non Logam
17
18
19
20
21
22
23
31
37
38
58
Industri Kertas, dan Barang dari Kertas.
Industri Pencetakan, dan Reproduksi Media Rekaman.
Industri Produk dari Batubara dan Pengilangan Minyak Bumi.
Industri Bahan Kimia dan Barang dari Bahan Kimia.
Industri Farmasi, Produk Obat Kimia dan Obat Tradisional.
Industri Karet, Barang dari Karet, dan Plastik.
Industri Barang Galian Bukan Logam.
Industri Furnitur.
Pengelolaan Limbah.
Pengelolaan Sampah dan Daur Ulang.
Aktivitas Penerbitan.
KPP PMA DUA

Industri Logam dan Mesin
24
25
26
27
28
29
30
32
Industri Logam Dasar.
Industri Barang Logam, bukan Mesin dan peralatannya.
Industri Komputer barang elektronik dan Optik.
Industri Peralatan Listrik.
Industri Mesin dan Perlengkapan YTDL.
Industri Kendaraan Bermotor, trailer dan Semi Trailer
Industri Alat Angkutan lainnya.
Industri Pengolahan Lainnya.
KPP PMA TIGA

Pertambangan dan Perdagangan
05
06
07
08
09
45
46
47
Pertambangan Batubara dan Lignit.
Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Alam dan Panas Bumi.
Pertambangan Bijih logam.
Pertambangan dan Penggalian Lainnya.
Jasa Pertambangan
Perdagangan, Reparasi dan Perawatan Mobil dan Sepeda Motor.
Perdagangan Besar Bukan Mobil dan Sepeda Motor.
Perdagangan Eceran Bukan Mobil dan Motor.
KPP PMA EMPAT

Industri Tekstil, Makanan dan Kayu
10
11
12
13
14
15
16
Industri Makanan.
Industri Minuman.
Industri Pengolahan Tembakau.
Industri Tekstil.
Industri Pakaian Jadi.
Industri Kulit, Barang dari Kulit dan Alas Kaki.
Industri Kayu, Barang Dari Kayu dan Gabus (Tidak Termasuk Furnitur) dan Barang Anyaman Dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya.
KPP PMA LIMA

Agribisnis dan Jasa
01
02
03
33
35
36
39
49
50
51
52
53
60
61
62
63
64
65
66
72
77
78
79
80
81
82
84
85
86
87
88
Pertanian Tanaman, Peternakan, Perburuan dan Kegiatan YBDI.
Kehutanan dan Pemanenan Kayu dan Hasil Hutan Selain Kayu.
Perikanan.
Reparasi dan Pemasangan Mesin dan Peralatan.
Pengadaan Listrik, Gas, Uap/Air Panas dan Udara Dingin.
Pengelolaan Air.
Aktivitas Remediasi dan Pengelolaan Sampah Lainnya.
Angkutan Darat dan Angkutan Melalui Saluran Pipa.
Angkutan Perairan.
Angkutan Udara.
Pergudangan dan Aktivitas Penunjang Angkutan.
Aktivitas Pos dan Kurir.
Aktivitas Penyiaran dan Pemrograman.
Telekomunikasi.
Aktivitas Pemrograman, Konsultasi Komputer dan Kegiatan YBDI.
Aktivitas Jasa Informasi
Aktivitas Jasa Keuangan Bukan Asuransi dan Dana Pensiun.
Asuransi, Reasuransi dan Dana Pensiun, Bukan Jaminan Sosial Wajib.
Aktivitas Jasa Penunjang Jasa Keuangan, Asuransi dan Dana Pensiun.
Penelitian dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan.
Aktivitas Penyewaan dan Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi.
Aktivitas Ketenagakerjaan.
Aktivitas Agen Perjalanan, Penyelenggara Tur dan Jasa Reservasi Lainnya.
Aktivitas Keamanan dan Penyelidikan.
Aktivitas Penyedia Jasa untuk Gedung dan Pertamanan.
Aktivitas Administrasi Kantor, Aktivitas Jasa Penunjang Kantor dan Aktivitas Penunjang Lainnya.
Administrasi Pemerintahan dan Jaminan Sosial Wajib.
Pendidikan.
Aktivitas Kesehatan Manusia.
Aktivitas Sosial di Dalam Panti.
Aktivitas Sosial di Luar Panti.
KPP PMA ENAM

Jasa dan Perdagangan
41
42
43
55
56
68
71
73
74
90
93
94
Konstruksi Gedung.
Konstruksi Bangunan Sipil.
Konstruksi Khusus.
Penyediaan Akomodasi.
Penyediaan Makanan dan Minuman.
Real Estat.
Aktivitas Arsitektur dan Teknik Sipil; Analisis dan Uji Teknis.
Periklanan dan Penelitian Pasar.
Aktivitas Profesional, Ilmiah dan Teknis Lainnya.
Aktivitas Hiburan, Kesenian dan Kreativitas.
Aktivitas Olahraga dan Rekreasi Lainnya.
Aktivitas Keanggotaan Organisasi.
WP dengan Kriteria Tertentu yang Dapat Melaporkan Beberapa Masa Pajak dalam Satu SPT Masa
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 (3a) jo. PMK 182/PMK.03/2007)

Yang dimaksud dengan WP dengan kriteria tertentu yang dapat menyampaikan 1 (satu) Surat Pemberitahuan (SPT) Masa yang meliputi beberapa Masa Pajak sekaligus adalah :
a. Wajib Pajak usaha kecil yang terdiri dari :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan kegiatan usaha atau melakukan pekerjaan bebas dengan kriteria sebagai berikut :
a. Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri; dan
b. menerima atau memperoleh peredaran usaha dari kegiatan usaha atau penerimaan bruto dari pekerjaan bebas dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
2. Wajib Pajak Badan dengan kriteria sebagai berikut :
a. modal Wajib Pajak 100% (seratus persen) dimiliki oleh Warga Negara Indonesia;
b. menerima atau memperoleh peredaran usaha dalam Tahun Pajak sebelumnya tidak lebih dari Rp 900.000.000,00 (sembilan ratus juta rupiah).
b. Wajib Pajak di daerah tertentu yaitu Wajib Pajak yang tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

WP dengan kriteria tertentu tersebut dapat :
a. menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran seluruh pajak yang wajib dilunasi menurut SPT Masa tersebut dilakukan sekaligus paling lama dalam Masa Pajak yang terakhir; dan/atau
b. menyampaikan SPT Masa selain yang disebut pada huruf a untuk beberapa Masa Pajak sekaligus dengan syarat pembayaran untuk masing-masing Masa Pajak dilakukan sesuai batas waktu untuk Masa Pajak yang bersangkutan.

Syarat yang diperlukan agar WP dengan Kriteria Tertentu dapat melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT Masa
(PMK 182/PMK.03/2007)

Syarat yang diperlukan oleh WP dengan kriteria tertentu untuk dapat melaporkan beberapa masa pajak dalam satu SPT Masa :
a. Menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak.
b. Pemberitahuan secara tertulis tersebut harus disampaikan oleh Wajib Pajak paling lambat 2 (dua) bulan sebelum dimulainya masa pajak pertama yang oleh Wajib Pajak akan disampaikan dalam SPT Masa sekaligus sebagaimana dimaksud di atas.

Terhadap pemberitahuan secara tertulis tersebut dilakukan penelitian atas pemenuhan kriteria WP. Apabila WP yang bersangkutan tidak memenuhi syarat, Direktur Jenderal Pajak memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
Pengambilan dan Penyampaian SPT

SPT dapat diambil di tempat sebagai berikut  : (PER-9/PJ/2009)
  • Kantor Pelayanan Pajak (KPP);
  • Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP);
  • Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak;
  • Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak;
  • Pojok Pajak;
  • Mobil Pajak;
  • Melalui sistem komputer dengan alamat situs internet atau homepage Direktorat Jenderal Pajak, yaitu: http://www.pajak.go.id atau mencetak/menggandakan/fotokopi sendiri dengan bentuk dan isi yang sama dengan aslinya. Surat pemberitahuan yang didapatkan melalui sistem komputer dan penggandaan memiliki kekuatan hukum yang sama dengan SPT yang diambil dari tempat-tempat yang ditetapkan di atas.

Penyampaian SPT
(PMK - 243/PMK.03/2014 jo. PMK - 9/PMK.03/2018)

Wajib Pajak (WP) menyampaikan SPT ke Kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat WP terdaftar atau dikukuhkan, melalui:
a. secara langsung oleh WP sendiri;
b. kantor pos dengan bukti pengiriman surat; atau
c. dengan cara lain, yaitu melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, e-Filing, maupun laman penyalur SPT elektronik pihak ketiga.

Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir yang dapat ditunjuk harus memenuhi syarat sebagai berikut : (KEP-518/PJ./2000)
a. berbentuk badan;
b. memiliki izin usaha jasa ekspedisi atau jasa kurir;
c. mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak dan telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak; dan
d. bersedia menandatangani perjanjian dengan Direktorat Jenderal Pajak.
 
Atas penyampaian SPT sebagaimana dimaksud diberikan tanda penerimaan surat dan atas penyampaian SPT melalui e-Filing diberikan Bukti Penerimaan Elektronik. Bukti Pengiriman Surat atau tanda penerimaan surat serta Bukti Penerimaan Elektronik tersebut di atas menjadi bukti penerimaan SPT.
 
Apabila SPT tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Pajak mengirimkan pemberitahuan kepada Wajib Pajak untuk melengkapi, sedangkan tanda bukti dan tanggal penerimaan kelengkapan SPT dianggap sebagai tanda bukti dan tanggal penerimaan SPT.

Penelitian SPT
(Pasal 12 ayat (1) PER - 02/PJ/2019)

Terhadap SPT yang disampaikan Wajib Pajak, dilakukan pengecekan validitas NPWP. Apabila NPWP yang tertera dalam SPT dinyatakan tidak valid, maka Wajib Pajak harus mendaftarkan diri terlebih dahulu untuk memperoleh NPWP. Sedangkan apabila NPWP yang tertera dalam SPT dinyatakan valid, atas SPT yang disampaikan Wajib Pajak dilakukan Penelitian SPT.

Penelitian SPT dilakukan untuk memastikan bahwa SPT telah memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. SPT ditandatangani oleh Wajib Pajak sesuai Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP;
b. SPT disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain Rupiah;
c. SPT diisi dengan lengkap dan sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen yang dipersyaratkan;
d. SPT Lebih Bayar disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah berakhirnya Masa Pajak, Tahun Pajak, atau Bagian Tahun Pajak dan telah ditegur secara tertulis; dan
e. SPT disampaikan sebelum Direktur Jenderal Pajak melakukan Pemeriksaan, Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak.
 
Apabila SPT disampaikan dalam bentuk dokumen elektronik, penelitian terhadap penandatanganan SPT dilakukan dengan memastikan adanya:
a. tanda tangan biasa pada induk SPT yang dicetak; atau
b. tanda tangan digital (Sertifikat Elektronik, kode verifikasi yang dikirimkan oleh Ditjen Pajak, atau tanda tangan elektronik lainnya yang ditentukan Ditjen Pajak).
 
SPT tidak lengkap
(Pasal 12 PER - 02/PJ/2019)

Berdasarkan penelitian SPT yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak di atas, SPT dinyatakan tidak lengkap, apabila :
a. terdapat elemen SPT Induk yang diisi tidak lengkap;
b. Lampiran "Daftar Pemotongan/Pemungutan yang Dipotong Pihak Lain atau Ditanggung Negara,  Daftar Harta dan Kewajiban Pada Akhir Tahun dan Daftar Susunan Anggota Keluarga" dalam SPT Tahunan Orang Pribadi dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
c. Lampiran "Daftar Pemegang Saham/Pemilik Modal dan Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris" dalam SPT Tahunan Badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
d. Lampiran Khusus dalam SPT Tahunan Badan dilampirkan tetapi diisi tidak lengkap;
e. SPT yang ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak tetapi tidak dilampirkan dengan Surat Kuasa Khusus dan dokumen yang harus dilampirkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan;
f. SPT Tahunan Orang Pribadi yang ditandatangani oleh ahli waris tetapi tidak dilampirkan dengan Surat Keterangan Kematian dari instansi yang berwenang;
g. SPT dengan status Kurang Bayar tetapi tidak dilampirkan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP; dan
h. keterangan dan/atau dokumen yang dipersyaratkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PER-02/PJ/2019 yang belum sepenuhnya dilampirkan pada penyampaian SPT Tahunan atau SPT Masa.
Tempat  Pembayaran dan Penyetoran
(Pasal 10 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 10 242/PMK.03/2014 jo PMK Nomor 18/PMK.03/2021)

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui :
a. layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
b. layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya,
pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing/Lembaga Persepsi Lainnya (lembaga selain Bank/Pos Persepsi yang ditunjuk untuk menyediakan layanan setoran penerimaan negara sebagai agen penerimaan (collecting agent) dalam sistem penerimaan negara menggunakan surat setoran elektronik).
 
Pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak.

Sarana administrasi lain dapat berupa :
a. BPN atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara elektronik atau dengan datang langsung ke Bank Persepsi;
b. SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
c. Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan; atau
d. Bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

Surat Setoran Pajak (SSP) dianggap sah apabila telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN). Selain itu, Bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan Bukti Pbk.

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dalam mata uang Rupiah, kecuali bagi Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29, dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak serta SKP dan STP yang diterbitkan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat, dengan menggunakan mata uang Dollar Amerika Serikat.

Wajib Pajak dapat yang telah mendapatkan izin menyelenggarakan pembukuan dalam Bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika dapat melakukan pembayaran PPh Pasal 25, PPh Pasal 29 dan PPh Final yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dalam mata uang Rupiah.

Dalam hal pembayaran pajak dilakukan dalam satuan mata uang Rupiah, Wajib Pajak harus mengkonversikan pembayaran dalam satuan mata uang Rupiah tersebut ke satuan mata uang Dollar Amerika Serikat dengan menggunakan kurs yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan yang berlaku pada tanggal pembayaran.


Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak
(PP Nomor 50 Tahun 2022)

1. Wajib Pajak wajib membayar atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat pembayaran. 
2. Pembayaran atau penyetoran pajak juga dapat dilakukan dengan menggunakan sarana administrasi lain yang kedudukannya disamakan dengan Surat Setoran Pajak. Yang dimaksud dengan "sarana administrasi lain" antara lain bukti pembayaran secara elektronik atau bukti pembayaran melalui anjungan tunai mandiri.



TABEL KODE AKUN PAJAK DAN KODE JENIS SETORAN

1. Kode Akun Pajak 411121 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 21

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 21 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 21.
200 Tahunan PPh Pasal 21 untuk pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Pasal 21.
300 STP PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak (STP) PPh Pasal 21.
310 SKPKB PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 21.
311 SKPKB PPh Final Pasal 21 Pembayaran Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.
320 SKPKBT PPh Pasal 21 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 21.
321 SKPKBT PPh Final Pasal 21 Pembayaran Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun dan Uang Pesangon.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali.
401 PPh Final Pasal 21 Pembayaran Sekaligus Atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 pembayaran sekaligus atas Jaminan Hari Tua, Uang Tebusan Pensiun, dan Uang Pesangon.
402 PPh Final Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan para pensiunnya untuk pembayaran PPh Final Pasal 21 atas honorarium atau imbalan lain yang diterima Pejabat Negara, PNS, anggota TNI/POLRI dan para pensiunnya.
500 PPh Pasal 21 atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Pasal 21 atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Pasal 21 untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
2. Kode Akun Pajak 411122 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 22 untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 22 untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 22.
300 STP PPh Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22.
310 SKPKB PPh Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22.
311 SKPKB PPh Final Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 22.
320 SKPKBT PPh Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22.
321 SKPKBT PPh Final Pasal 22 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 22.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
401 PPh Final Pasal 22 atas Penebusan Migas untuk pembayaran PPh Final Pasal 22 atas Penebusan Migas.
403 PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah untuk pembayaran PPh Pasal 22 atas Penjualan Barang yang Tergolong Sangat Mewah
404 PPh Pasal 22 atas Ekspor Komoditas Tambang Batubara, Mineral Logam, dan Mineral Bukan Logam untuk pembayaran PPh Pasal 22 atas Ekspor Komoditas Tambang Batubara, Mineral Logam, dan Mineral Bukan Logam
500 PPh Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPh Pasal 22 non-Bendaharawan untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut selain Bendaharawan
910 Pemungut PPh Pasal 22 Bendaharawan APBN untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
920 Pemungut PPh Pasal 22 Bendaharawan APBD untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBD
930 Pemungut PPh Pasal 22 Bendaharawan Dana Desa untuk pembayaran PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan Dana Desa
   
3. Kode Akun Pajak 411123 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 22 Impor

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran pajak yang harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas transaksi impor termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 22 Impor.
300 STP PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 22 atas transaksi impor.
310 SKPKB PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 22 atas transaksi impor.
320 SKPKBT PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 22 atas transaksi impor.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPh Pasal 22 Impor atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas pengungkapan ketidakbenaran atas transaksi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Pasal 22 Impor atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 22 atas penghentian penyidikan tindak pidana atas transaksi Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 Impor untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 22 Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
4. Kode Akun Pajak 411124 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 23

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 23 untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor (selain PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa) yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23 termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
101 PPh Pasal 23 atas Dividen untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
102 PPh Pasal 23 atas Bunga untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas bunga (termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian utang) yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
103 PPh Pasal 23 atas Royalti untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
104 PPh Pasal 23 atas Jasa untuk pembayaran PPh Pasal 23 yang harus disetor atas jasa yang dibayarkan kepada Wajib Pajak dalam negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Pasal 23 untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 23.
300 STP PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 23 (selain STP PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa).
301 STP PPh Pasal 23 atas Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa.
310 SKPKB PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 23 (selain SKPKB PPh pasal 23 atas dividen, bunga, royalti dan jasa).
311 SKPKB PPh Pasal 23 atas Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa.
312 SKPKB PPh Final Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 23.
320 SKPKBT PPh Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23 (selain SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa).
321 SKPKBT PPh Pasal 23 atas Dividen, Bunga, Royalti, dan Jasa untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa.
322 SKPKBT PPh Final Pasal 23 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 23.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
401 PPh Final Pasal 23 atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi untuk pembayaran PPh Final Pasal 23 atas bunga simpanan anggota koperasi.
500 PPh Pasal 23 atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 23 atas pengungkapan ketidakbenaran (termasuk PPh Pasal 23 atas dividen, bunga, royalti, dan jasa) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3), atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Pasal 23 atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 23 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 23 untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPh Pasal 23 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5)Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
5. Kode Akun Pajak 411125 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Orang Pribadi

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi yang terutang.
101 Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi Pengusaha Tertentu untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Orang Pribadi Pengusaha Tertentu yang terutang.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Orang Pribadi untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Orang Pribadi.
200 Tahunan PPh Orang Pribadi untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
300 STP PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Orang Pribadi.
310 SKPKB PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Orang Pribadi.
320 SKPKBT PPh Orang Pribadi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Orang Pribadi.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPh Orang Pribadi atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Orang Pribadi atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Orang Pribadi atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Orang Pribadi atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Orang Pribadi untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Orang Pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
6. Kode Akun Pajak 411126 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 25/29 Badan

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 25 Badan untuk pembayaran Masa PPh Pasal 25 Badan yang terutang.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Badan untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Badan.
200 Tahunan PPh Badan untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan termasuk SPT pembetulan sebelum dilakukan pemeriksaan.
300 STP PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Badan.
310 SKPKB PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Badan.
320 SKPKBT PPh Badan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Badan.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPh Badan atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Badan atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Badan atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Badan atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Badan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) dan Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
7. Kode Akun Pajak 411127 Untuk Jenis Pajak PPh Pasal 26

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Masa PPh Pasal 26 untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang harus disetor (selain PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa dan laba setelah pajak BUT) yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 26
101 PPh Pasal 26 atas Dividen untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang harus disetor atas dividen yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 26.
102 PPh Pasal 26 atas Bunga untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang harus disetor atas bunga (termasuk premium, diskonto, premi swap dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang) yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 26.
103 PPh Pasal 26 atas Royalti untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang harus disetor atas royalti yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 26.
104 PPh Pasal 26 atas Jasa untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang harus disetor atas jasa yang dibayarkan kepada Wajib Pajak luar negeri yang tercantum dalam SPT Masa PPh Pasal 26.
105 PPh Pasal 26 atas Laba setelah Pajak BUT untuk pembayaran PPh Pasal 26 yang harus dibayar atas laba setelah pajak BUT yang tercantum dalam SPT Tahunan PPh BUT.
199 Pembayaran Pendahuluan SKP PPh Pasal 26 untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Pasal 26.
300 STP PPh Pasal 26 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 26 (selain STP PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa dan laba setelah pajak BUT).
301 STP PPh Pasal 26 atas Dividen, Bunga, Royalti, Jasa, dan Laba Setelah Pajak BUT untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa, dan laba setelah pajak BUT.
310 SKPKB PPh Pasal 26 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 26 (selain SKPKB PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa dan laba setelah pajak BUT).
311 SKPKB PPh Pasal 26 atas Dividen, Bunga, Royalti, Jasa, dan Laba Setelah Pajak BUT untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa, dan laba setelah pajak BUT.
320 SKPKBT PPh Pasal 26 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 26 (selain SKPKBT PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa dan laba setelah pajak BUT).
321 SKPKBT PPh Pasal 26 atas Dividen, Bunga, Royalti, Jasa, dan Laba Setelah Pajak BUT untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 26 atas dividen, bunga, royalti, jasa, dan laba setelah pajak BUT.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPh Pasal 26 atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 26 atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Pasal 26 atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 26 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Pasal 26 untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Pasal 26 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
8. Kode Akun Pajak 411128 Untuk Jenis Pajak PPh Final

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPh Final untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPh Final.
300 STP PPh Final untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar/disetor yang tercantum dalam STP PPh Final.
310 SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 4 ayat (2).
311 SKPKB PPh Final Pasal 15 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 15.
312 SKPKB PPh Final Pasal 19 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Final Pasal 19.
320 SKPKBT PPh Final Pasal 4 ayat (2) untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 4 ayat (2).
321 SKPKBT PPh Final Pasal 15 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 15.
322 SKPKBT PPh Final Pasal 19 untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Final Pasal 19.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pernbetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
401 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Diskonto/Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas diskonto/bunga obligasi dan Surat Utang Negara
402 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
403 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Persewaan Tanah dan/atau Bangunan.
404 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Deposito/ Tabungan, Jasa Giro dan Diskonto SBI untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan, jasa giro dan diskonto SBI.
405 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Hadiah Undian untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas hadiah undian.
406 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Transaksi Saham, Obligasi dan sekuritas lainnya di Bursa. untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas transaksi saham, obligasi dan sekuritas lainnya, dan di Bursa.
407 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penjualan Saham Pendiri untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penjualan Saham Pendiri.
408 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penjualan Saham Milik Perusahaan Modal Ventura untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penjualan saham milik Perusahaan Modal Ventura.
409 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Jasa Konstruksi untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi.
410 PPh Final Pasal 15 atas Jasa Pelayaran Dalam Negeri untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas jasa pelayaran dalam negeri.
411 PPh Final Pasal 15 atas Jasa Pelayaran dan/atau Penerbangan Luar Negeri untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas jasa pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri.
413 PPh Final Pasal 15 atas Penghasilan Perwakilan Dagang Luar Negeri untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas penghasilan perwakilan dagang luar negeri.
414 PPh Final Pasal 15 atas Pola Bagi Hasil untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas pola bagi hasil.
415 PPh Final Pasal 15 atas Kerjasama Bentuk BOT untuk pembayaran PPh Final Pasal 15 atas kerjasama bentuk BOT.
416 PPh Final Pasal 19 atas Revaluasi Aktiva Tetap untuk pembayaran PPh Final Pasal 19 atas revaluasi aktiva tetap.
417 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi yang Dibayarkan kepada Orang Pribadi untuk Pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Bunga Simpanan Anggota Koperasi yang Dibayarkan kepada Orang Pribadi
418 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan yang diterima dan/atau yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa
419 PPh Final Pasal 17 ayat (2c) atas penghasilan berupa dividen untuk pembayaran PPh Final Pasal 17 ayat (2c) atas dividen yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri
420 PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu untuk pembayaran PPh Final Pasal 4 ayat (2) atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
421 PPh Final atas Uplift dan Pengalihan Participating Interest di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi untuk pembayaran PPh Final atas penghasilan kontraktor di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi berupa uplift atau imbalan lain yang sejenis, dan penghasilan kontraktor dari pengalihan participating interest.
499 PPh Final Lainnya untuk pembayaran PPh Final lainnya
500 PPh Final atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Final atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Final atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Final atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Final untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPh Final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
9. Kode Akun Pajak 411129 Untuk Jenis Pajak PPh Non Migas Lainnya

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran masa PPh Non Migas lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri.
101 PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri untuk pembayaran masa PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat non-final).
300 STP PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Non Migas lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri.
301 STP PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat non-final).
310 SKPKB PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Non Migas lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri.
311 SKPKB PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat non-final).
320 SKPKBT PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Non Migas lainnya selain PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri.
321 SKPKBT PPh Pasal 15 atas Jasa Penerbangan Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Pasal 15 atas jasa penerbangan dalam negeri yang memperoleh penghasilan berdasarkan perjanjian charter (bersifat non-final).
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPh Non Migas Lainnya atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam surat pemberitahuan PPh Non Migas Lainnya atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPh Non Migas Lainnya atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam surat pemberitahuan PPh Non Migas Lainnya atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan PPh Non Migas Lainnya untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian surat pemberitahuan PPh Non Migas Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
512 PPh Non Migas Lain-Lain Untuk pembayaran pajak PPh Non Migas lain-lain.
513 PPh Non Migas Lainnya atas pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan Untuk pembayaran PPh Non Migas lainnya atas pajak yang tidak atau kurang dibayar atau pajak yang seharusnya tidak dikembalikan.
514 SKPKB PPh Non Migas lainnya atas harta bersih tambahan yang diperlakukan sebagai penghasilan Untuk pembayaran PPh Non Migas lainnya atas harta bersih tambahan yang diperlakukan sebagai penghasilan.
515 SKPKB PPh Non Migas lainnya atas tambahan penghasilan dari harta yang belum atau kurang diungkap Wajib Pajak yang sudah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak Untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Non Migas lainnya atas tambahan penghasilan dari harta yang belum atau kurang diungkap atas Wajib Pajak yang sudah memperoleh Surat Keterangan Pengampunan Pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Pengampunan Pajak.
516 SKPKB PPh Non Migas lainnya atas tambahan penghasilan dari harta yang belum atau kurang diungkap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir. Untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Non Migas lainnya atas tambahan penghasilan dari harta yang belum atau kurang diungkap Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pernyataan sampai dengan periode Pengampunan Pajak berakhir sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Pengampunan Pajak.
   
10. Kode Akun Pajak 411131 Untuk Jenis Pajak Fiskal Luar Negeri

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Fiskal Luar Negeri untuk pembayaran Fiskal Luar Negeri.
300 STP Fiskal Luar Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP Fiskal Luar Negeri.
   
11. Kode Akun Pajak 411111 Untuk Jenis Pajak PPh Minyak Bumi

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 PPh Minyak Bumi untuk pembayaran masa PPh Minyak Bumi.
300 STP PPh Minyak Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Minyak Bumi.
310 SKPKB PPh Minyak Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Minyak Bumi.
320 SKPKBT PPh Minyak Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Minyak Bumi.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
   
12. Kode Akun Pajak 411112 Untuk Jenis Pajak PPh Gas Alam

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 PPh Gas Alam untuk pembayaran masa PPh Gas Alam.
300 STP PPh Gas Alam untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Gas Alam.
310 SKPKB PPh Gas Alam untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Gas Alam.
320 SKPKBT PPh Gas Alam untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Gas Alam.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
   
13. Kode Akun Pajak 411119 Untuk Jenis Pajak PPh Migas Lainnya

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 PPh Migas Lainnya untuk pembayaran masa PPh Migas Lainnya.
300 STP PPh Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPh Migas Lainnya.
310 SKPKB PPh Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPh Migas Lainnya.
320 SKPKBT PPh Migas Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPh Migas Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
   
14. Kode Akun Pajak 411211 Untuk Jenis Pajak PPN Dalam Negeri

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa PPN Dalam Negeri untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri.
101 Setoran PPN BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean untuk pembayaran PPN terutang atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
102 Setoran PPN JKP dari luar Daerah Pabean untuk pembayaran PPN terutang atas Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
103 Setoran Kegiatan Membangun Sendiri untuk pembayaran PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri.
104 Setoran Penyerahan Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan untuk pembayaran PPN terutang atas penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
Setoran Atas Pengalihan Aktiva Dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan untuk pembayaran PPN yang terutang atas pengalihan aktiva dalam rangka restrukturisasi perusahaan.
105 Penebusan Stiker Lunas PPN atas Penyerahan Produk Rekaman Suara atau Gambar untuk pembayaran pajak untuk Penebusan Stiker Lunas PPN atas Penyerahan Produk Rekaman Suara atau Gambar.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPN Dalam Negeri untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPN Dalam Negeri.
300 STP PPN Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPN Dalam Negeri.
310 SKPKB PPN Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN Dalam Negeri.
311 SKPKB PPN Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean.
312 SKPKB PPN Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
313 SKPKB PPN Kegiatan Membangun Sendiri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
314 SKPKB Pemungut PPN Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN yang menjadi kewajiban pemungut.
320 SKPKBT PPN Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN Dalam Negeri.
321 SKPKBT PPN Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean.
322 SKPKBT PPN Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN atas pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean.
323 SKPKBT PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri.
324 SKPKBT Pemungut PPN Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN Dalam Negeri yang menjadi kewajiban pemungut.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPN Dalam Negeri atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPN Dalam Negeri atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT PPh Pasal 21 atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN Dalam Negeri untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPN Dalam Negeri non-Bendaharawan untuk penyetoran PPN dalam negeri yang dipungut oleh Pemungut selain Bendaharawan
910 Pemungut PPN Dalam Negeri Bendaharawan APBN untuk pembayaran PPN Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
920 Pemungut PPN Dalam Negeri Bendaharawan APBD untuk pembayaran PPN Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
930 Pemungut PPN Dalam Negeri Bendaharawan Dana Desa untuk pembayaran PPN Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan Dana Desa
   
15.  Kode Akun Pajak 411212 untuk jenis pajak PPN Impor

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa PPN Impor untuk pembayaran PPN terutang pada saat impor BKP.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPN Impor untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPN Impor.
300 STP PPN Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPN Impor.
310 SKPKB PPN Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN Impor.
320 SKPKBT PPN Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN Impor.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPN Impor atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPN Impor atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPN untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPN Impor non-Bendaharawan untuk pembayaran PPN Impor yang dipungut oleh Pemungut selain Bendaharawan
910 Pemungut PPN Impor Bendaharawan APBN untuk pembayaran PPN Impor yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
920 Pemungut PPN Impor Bendaharawan APBD untuk pembayaran PPN Impor yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBD
930 Pemungut PPN Impor Bendaharawan Dana Desa untuk pembayaran PPN Impor yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan Dana Desa
   
16. Kode Akun Pajak 411219 Untuk Jenis Pajak PPN Lainnya

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa PPN Lainnya untuk pembayaran PPN Lainnya yang terutang.
300 STP PPN Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPN Lainnya.
310 SKPKB PPN Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPN Lainnya.
320 SKPKBT PPN Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPN Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPN Lainnya atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPN Lainnya atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT PPN untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
17. Kode Akun Pajak 411221 Untuk Jenis Pajak PPnBM Dalam Negeri

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran pajak yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPnBM Dalam Negeri.
300 STP PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPnBM Dalam Negeri.
310 SKPKB Masa PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM Dalam Negeri.
311 SKPKB Pemungut PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM Dalam Negeri yang menjadi kewajiban pemungut.
320 SKPKBT Masa PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM Dalam Negeri.
321 SKPKBT Pemungut PPnBM Dalam Negeri untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM Dalam Negeri yang menjadi kewajiban pemungut.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPnBM Dalam Negeri atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPnBM Dalam Negeri atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran pajak yang masih harus disetor yang tercantum dalam SPT Masa PPN Dalam Negeri atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN Dalam Negeri untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT Masa PPN Dalam Negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPnBM Dalam Negeri non-Bendaharawan untuk pembayaran PPnBM Dalam Negeri yang dipungut oleh Pemungut selain Bendaharawan
910 Pemungut PPnBM Bendaharawan APBN untuk pembayaran PPnBM yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
920 Pemungut PPnBM Bendaharawan APBD untuk pembayaran PPnBM yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBD
930 Pemungut PPnBM Bendaharawan Dana Desa untuk pembayaran PPnBM yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan Dana Desa
   
18. Kode Akun Pajak 411222 Untuk Jenis Pajak PPnBM Impor

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa PPnBM Impor untuk pembayaran PPnBM terutang pada saat impor BKP.
199 Pembayaran Pendahuluan skp PPnBM Impor untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak PPnBM Impor.
300 STP PPnBM Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPnBM Impor.
310 SKPKB PPnBM Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM Impor.
320 SKPKBT PPnBM Impor untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM Impor.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPnBM Impor atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran PPnBM pada saat impor BKP atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPnBM Impor atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran PPnBM pada saat impor BKP atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran PPnBM pada saat impor BKP untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran PPnBM pada saat impor BKP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
900 Pemungut PPnBM Impor untuk penyetoran PPnBM Impor yang dipungut oleh pemungut.
910 Pemungut PPnBM Impor Bendaharawan APBN untuk pembayaran PPnBM Impor yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
920 Pemungut PPnBM Impor Bendaharawan APBD untuk pembayaran PPnBM Impor yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBD
930 Pemungut PPnBM Impor Bendaharawan Dana Desa untuk pembayaran PPnBM Impor yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan Dana Desa
   
19. Kode Akun Pajak 411229 Untuk Jenis Pajak PPnBM Lainnya

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa PPnBM Lainnya untuk pembayaran PPnBM Lainnya yang terutang
300 STP PPnBM Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PPnBM Lainnya.
310 SKPKB PPnBM Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB PPnBM Lainnya.
320 SKPKBT PPnBM Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT PPnBM Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 PPnBM Lainya atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran PPnBM Lainnya atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 PPnBM Lainnya atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran PPnBM lainnya atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran PPnBM Lainnya untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran PPnBM Lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan atau untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
20. Kode Pajak 411611 Untuk Bea Meterai Akun

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Bea Meterai untuk pembayaran penggunaan Bea Meterai.
199 Pembayaran Pendahuluan skp Bea Meterai untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak Bea Meterai.
2XX Pembayaran deposit atas penggunaan Mesin Teraan Meterai Digital untuk membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas untuk pembayaran deposit bagi Wajib Pajak yang menggunakan Mesin Teraan Meterai Digital untuk membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas.
a. Digital pertama dalah angka "2" yaitu kode pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai lunas dengan Mesin Teraan Digital, dan
b. Digit kedua dan ketiga (XX) adalah :
1) angka "01", dalam hal Wajib Pajak hanya memiliki 1 (satu) Unit Mesin Teraan Meterai Digital, atau
2) sesuai dengan nomor urut dilakukannya pendaftaran Mesin Teraan Meterai Digital dalam hal Wajib Pajak memiliki lebih dari 1 (satu) unit Mesin Teraan Meterai Digital.
300 STP Bea Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP Bea Meterai.
310 SKPKB Bea Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB Bea Meterai.
320 SKPKBT Bea Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT Bea Meterai.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 Bea Meterai atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran penggunaan Bea Meterai atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 Bea Meterai atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran penggunaan Bea Meterai atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran Bea Meterai untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran penggunaan Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
512 Denda atas Pemeteraian Kemudian untuk pembayaran denda atas Pemeteraian Kemudian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dan Pasal 9 Undang-Undang Bea Meterai.
   
21. Kode Akun Pajak 411612 untuk Penjualan Benda Meterai

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Penjualan Benda Meterai untuk pembayaran penjualan Benda Meterai.
199 Pembayaran Pendahuluan skp Benda Meterai untuk pembayaran pajak sebelum diterbitkan surat ketetapan pajak Benda Meterai.
300 STP Benda Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP Benda Meterai.
310 SKPKB Benda Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB Benda Meterai.
320 SKPKBT Benda Meterai untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT Benda Meterai.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
500 Benda Meterai atas pengungkapan ketidakbenaran untuk kekurangan pembayaran penjualan Benda Meterai atas pengungkapan ketidakbenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
501 Benda Meterai atas penghentian penyidikan tindak pidana untuk kekurangan pembayaran penjualan Benda Meterai atas penghentian penyidikan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
510 Sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran Benda Meterai untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda atau kenaikan, atas pengungkapan ketidakbenaran pembayaran penjualan Benda Meterai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3) atau Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
511 Sanksi denda administrasi berupa denda atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan untuk pembayaran sanksi administrasi berupa denda, atas penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B ayat (2) Undang-Undang KUP.
   
22. Kode Akun Pajak 411613 untuk Pajak Penjualan Batubara

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Pajak Penjualan Batubara untuk pembayaran Pajak Penjualan Batubara.
300 STP Pajak Penjualan Batubara untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP Pajak Penjualan Batubara.
310 SKPKB Pajak Penjualan Batubara untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB Pajak Penjualan Batubara.
320 SKPKBT Pajak Penjualan Batubara untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT Pajak Penjualan Batubara.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
   
23. Kode Akun Pajak 411619 Untuk Pajak Tidak Langsung Lainnya

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 Setoran Masa Pajak Tidak Langsung Lainnya untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung Lainnya yang terutang.
300 STP Pajak Tidak Langsung Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP Pajak Tidak Langsung Lainnya.
310 SKPKB Pajak Tidak Langsung Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKB Pajak Tidak Langsung Lainnya.
320 SKPKBT Pajak Tidak Langsung Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKPKBT Pajak Tidak Langsung Lainnya.
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.
900 Pemungut Pajak Tidak Langsung Lainnya non-Bendaharawan untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung Lainnya yang dipungut oleh Pemungut selain Bendaharawan
910 Pemungut Pajak Tidak Langsung Lainnya Bendaharawan APBN untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung Lainnya yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBN
920 Pemungut Pajak Tidak Langsung Lainnya Bendaharawan APBD untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung Lainnya yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan APBD
930 Pemungut Pajak Tidak Langsung Lainnya Bendaharawan Dana Desa untuk pembayaran Pajak Tidak Langsung Lainnya yang dipungut oleh Pemungut Bendaharawan Dana Desa
   
24.  Kode Akun Pajak 411621 Untuk Bunga/Denda Penagihan PPh

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
300 STP atas Bunga Penagihan untuk pembayaran STP Bunga Penagihan PPh.
301 STP atas Denda Penagihan untuk pembayaran STP Denda Penagihan PPh Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP.
   
25. Kode Akun Pajak 411622 Untuk Bunga/Denda Penagihan PPN

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
300 STP atas Bunga Penagihan PPN untuk pembayaran STP Bunga Penagihan PPN.
301 STP atas Denda Penagihan untuk pembayaran STP Denda Penagihan PPN Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP.
   
26. Kode Akun Pajak 411623 Untuk Bunga/Denda Penagihan PPnBM

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
300 STP atas Bunga Penagihan PPnBM untuk pembayaran STP Bunga Penagihan PPnBM.
301 STP atas Denda Penagihan untuk pembayaran STP Denda Penagihan PPnBM Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP.
   
27. Kode Akun Pajak 411624 Untuk Bunga/Denda Penagihan PTLL

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
300 STP atas Bunga Penagihan PTLL untuk pembayaran STP Bunga Penagihan PTLL.
301 STP atas Denda Penagihan untuk pembayaran STP Denda Penagihan PPnBM Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP.
   
28. Kode Akun Pajak 411313 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 SPPT PBB Sektor Perkebunan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Perkebunan
300 STP PBB Sektor Perkebunan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PBB Sektor Perkebunan
310 SKP PBB Sektor Perkebunan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Perkebunan
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
   
29. Kode Akun Pajak 411314 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 SPPT PBB Sektor Perhutanan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Perhutanan
300 STP PBB Sektor Perhutanan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PBB Sektor Perhutanan
310 SKP PBB Sektor Perhutanan untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Perhutanan
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
   
30. Kode Akun Pajak 411315 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara
300 STP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara
310 SKP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
   
31.  Kode Akun Pajak 411316 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
300 STP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
310 SKP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
   
32.  Kode Akun Pajak 411317 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi
300 STP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi
310 SKP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Panas Bumi
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
   
33. Kode Akun Pajak 411319 untuk Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Lainnya

KODE
JENIS
SETORAN
JENIS SETORAN KETERANGAN
100 SPPT PBB Sektor Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SPPT PBB Sektor Lainnya
300 STP PBB Sektor Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam STP PBB Sektor Lainnya
310 SKP PBB Sektor Lainnya untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam SKP PBB Sektor Lainnya
390 Pembayaran atas Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali untuk pembayaran jumlah yang masih harus dibayar yang tercantum dalam Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali
Kewajiban Mendaftarkan Diri
(PMK 147/PMK.03/2017 Pasal 3)


Yang wajib mendaftarkan diri adalah :
a. Wajib Pajak Orang Pribadi; (usahawan dan non usahawan)
b. Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi;
c. Wajib Pajak Badan; dan
d. Bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Orang Pribadi Non Usahawan
Wajib Pajak orang pribadi Non Usahawan (yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas), apabila jumlah penghasilannya sampai dengan suatu bulan yang disetahunkan telah melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama pada akhir bulan berikutnya.
 
Kewajiban mendaftarkan diri berlaku pula terhadap wanita kawin yang dikenakan pajak secara terpisah, karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. (Penjelasan - UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 (1))

Wajib Pajak orang pribadi selain yang disebutkan di atas yang memerlukan NPWP dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh NPWP.
 
Wanita kawin yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan tidak hidup terpisah atau tidak melakukan pemisahan penghasilan dan harta, hak dan kewajiban perpajakannya digabungkan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan suaminya.

Namun demikian wanita kawin tersebut di atas dapat mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas namanya sendiri agar dapat melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suaminya. (Penjelasan - UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 2 (1))

Orang Pribadi sebagai Usahawan dan Badan
Wajib Pajak orang pribadi sebagai Usahawan (yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas termasuk Wajib Pajak orang pribadi pengusaha tertentu) dan Wajib Pajak badan, wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama 1 (satu) bulan setelah usaha mulai dijalankan.
 
Yang dimaksud dengan Wajib Pajak Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap. (UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 ayat (3)

NPWP Bagi Wanita Kawin
Wajib Pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
1) hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim; 
2) menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau 
3) memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta,
yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak atau yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas wajib mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dan kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.    

Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah, permohonan juga harus dilampiri dengan:
a. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami; 
b. fotokopi Kartu Keluarga; dan
c. fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.

Apabila wanita kawin yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya dan anak yang belum dewasa, harus melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan Nomor Pokok Wajib Pajak suami atau kepala keluarga.
Sanksi Keterlambatan Penyampaian SPT
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 7)

Apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU PPh atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (4) UU PPh, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar :
a. Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
b. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya
c. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan
d. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi
 
Selain itu WP yang tidak menyampaikan sesuai batas waktu sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (3) UU PPh atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT Tahunan sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat (4) UU PPh, dapat diterbitkan Surat Teguran.
SPT Dianggap Tidak Disampaikan
(Pasal 3 (7) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 23 PER - 02/PJ/2019)

SPT dianggap tidak disampaikan apabila :
a. SPT tidak ditandatangani oleh Wajib Pajak sesuai Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP;
b. SPT disampaikan dalam bahasa Indonesia menggunakan satuan mata uang selain Rupiah, terhadap Wajib Pajak yang belum mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain Rupiah;
c. SPT disampaikan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang Rupiah, terhadap Wajib Pajak yang telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan dengan mata uang selain Rupiah;
d. SPT yang menyatakan Lebih Bayar disampaikan setelah 3 (tiga) tahun sesudah berakhirnya bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak, dan Wajib Pajak telah ditegur secara tertulis;
e. SPT disampaikan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, atau menerbitkan surat ketetapan pajak;
f. SPT Pembetulan yang menyatakan rugi disampaikan melewati jangka waktu 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan; atau
g. pembetulan atas SPT Tahunan karena Wajib Pajak menerima surat ketetapan pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali Tahun Pajak sebelumnya atau beberapa Tahun Pajak sebelumnya, yang menyatakan rugi fiskal yang berbeda dengan rugi fiskal yang telah dikompensasikan dalam SPT Tahunan yang akan dibetulkan tersebut, tidak disampaikan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan setelah menerima Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

SPT yang ditandatangani beserta lampirannya adalah satu kesatuan yang merupakan unsur keabsahan SPT.  

Apabila Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan kepada Wajib Pajak.

Atas penyampaian SPT, Kantor Pelayanan Pajak melakukan Penelitian SPT yang disampaikan. Berdasarkan penelitian SPT yang dilakukan, KPP dapat menerbitkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT atau menerbitkan Surat Pemberitahuan SPT Dianggap Tidak Disampaikan. Dalam hal penyampaian SPT melalui pos dengan bukti pengiriman surat dan perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat, berlaku ketentuan bahwa dalam hal kemudian ditemukan SPT tidak sepenuhnya dilampiri keterangan dan/atau dokumen maka SPT dianggap tidak disampaikan, selanjutnya Kantor Pelayanan Pajak akan menerbitkan surat pemberitahuan SPT dianggap tidak disampaikan.

Apabila diterbitkan Surat Permintaan Kelengkapan SPT, Wajib Pajak harus menyampaikan kelengkapan SPT dalam bentuk Portable Document Format (PDF) atau format lainnya yang ditentukan Direktorat Jenderal Pajak dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung setelah surat permintaan kelengkapan SPT diterbitkan dengan cara.
a. diunggah melalui e-Filing;
b. disampaikan langsung ke TPT KPP tempat Wajib Pajak terdaftar;
c. disampaikan melalui pos dengan bukti pengiriman surat; atau
d. disampaikan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti pengiriman surat.

Dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan kelengkapan SPT dalam jangka waktu tersebut maka Kantor Pelayanan Pajak akan menyampaikan surat pemberitahuan kepada Wajib Pajak yang menyatakan bahwa SPT dianggap tidak disampaikan.
Perubahan Data Wajib Pajak dan Pemindahan Wajib Pajak

Perubahan Data Wajib Pajak
(PMK 147/PMK.03/2017 jo. PER - 20/PJ/2013 stdtd. PER - 02/PJ/2018 Pasal 28 PER - 04/PJ/2020)

Perubahan data Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan dalam hal data yang  terdapat dalam administrasi perpajakan berbeda dengan data Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak menurut keadaan yang sebenarnya yang tidak memerlukan pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak baru dan/atau pengukuhan Pengusaha Kena Pajak baru.

Yang dimaksud dengan perubahan data Wajib Pajak antara lain meliputi :
a. Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi
1. perubahan identitas Wajib Pajak; 
2. perubahan alamat tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, dalam wilayah kerja KPP yang sama;
3. perubahan sumber penghasilan Wajib Pajak; 
4. perubahan Wajib Pajak menjadi Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi; atau 
5. terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
b. Untuk Wajib Pajak Warisan Belum Terbagi
1. perubahan wakil Wajib Pajak;
2. perubahan alamat tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dalam wilayah kerja KPP yang sama; 
3. perubahan sumber penghasilan Wajib Pajak; atau 
4. terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
c. Untuk Wajib Pajak Badan
1. perubahan identitas Wajib Pajak yang tidak mengubah bentuk badan hukum;
2. perubahan alamat tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dalam wilayah kerja KPP yang sama;
3. perubahan jenis kegiatan usaha Wajib Pajak;
4. perubahan struktur permodalan atau kepemilikan Wajib Pajak Badan yang tidak mengubah bentuk badan hukum;
5. terdapat kesalahan tulis data Wajib Pajak pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
6. terdapat perbedaan antara data terkait kategori dan/atau bentuk badan pada basis data perpajakan, dengan kategori dan/atau bentuk badan usaha Wajib Pajak yang sebenarnya dan yang seharusnya tercatat dalam basis data perpajakan dari sejak terdaftar sesuai dengan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak;
d. Untuk Instansi Pemerintah
1. perubahan identitas Instansi Pemerintah;
2. perubahan alamat tempat kedudukan Instansi Pemerintah yang masih dalam wilayah kerja KPP yang sama;
3. perubahan Kepala Instansi Pemerintah dan/atau pejabat Bendahara Pengeluaran atau Bendahara Penerimaan;
4. terdapat kesalahan tulis data Instansi Pemerintah pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak; atau
5. terdapat perbedaan antara data terkait kategori dan/atau bentuk Instansi Pemerintah pada basis data perpajakan, dengan kategori dan/atau bentuk Instansi Pemerintah yang sebenarnya dan yang seharusnya tercatat dalam basis data perpajakan dari sejak terdaftar sesuai dengan dokumen yang disampaikan oleh Wajib Pajak.

Perubahan data Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan :
a. atas permohonan Wajib Pajak; atau
b. secara jabatan.

Pemindahan Wajib Pajak

Pemindahan Wajib Pajak dan/atau PKP adalah perubahan alamat Wajib Pajak dan/atau PKP karena perpindahan tempat tinggal, tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain. 

Dalam hal Wajib Pajak terdaftar dan/atau PKP terdaftar pindah tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lain, Wajib Pajak dan/atau PKP wajib mengajukan permohonan pindah ke:
a. KPP Lama, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak dan/atau PKP Badan atau Joint Operation atau Wajib Pajak Bendahara; atau
b. KPP Baru, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan mengisi Formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Formulir Perubahan Data dan PKP Pindah.

Berdasarkan permohonan Wajib Pajak :
a. KPP Lama harus menerbitkan Surat Pindah untuk disampaikan kepada Wajib Pajak dan ditembuskan ke KPP Baru, paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.
b. KPP Baru meneruskan permohonan pindah ke KPP Lama sebagai dasar penerbitan Surat Pindah, paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.

KPP Baru harus menerbitkan Kartu NPWP dan SKT dan/atau SPPKP serta ditembuskan ke KPP Lama, paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak:
a. diterimanya Surat Pindah dari KPP Lama, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak dan/atau PKP Badan atau Joint Operation atau Wajib Pajak Bendahara
b. permohonan diterima secara lengkap, dalam hal pemohon adalah Wajib Pajak Orang Pribadi, dengan mengisi Formulir Perubahan Data dan Wajib Pajak Pindah dan/atau Formulir Perubahan Data dan PKP Pindah

KPP Lama harus menerbitkan Surat Pencabutan SKT dan/atau Surat Pencabutan SPPKP, paling lama 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya tembusan Kartu NPWP dan SKT dan/atau SPPKP dari KPP Baru. 

Dalam hal permohonan pindah disampaikan ke:
a. KPP Baru oleh Wajib Pajak dan/atau PKP badan, atau Joint Operation, atau Bendahara, KPP Baru harus meneruskan permohonan pindah tersebut ke KPP Lama; atau
b. KPP Lama oleh Wajib Pajak dan/atau PKP orang pribadi, KPP Lama harus meneruskan permohonan pindah tersebut ke KPP Baru

Dalam hal KPP Lama telah menerima tembusan Surat Keterangan Terdaftar dan/atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak KPP Lama harus mengirim berkas Wajib Pajak dan/atau berkas PKP yang bersangkutan berikut uraian singkat mengenai hal-hal yang dianggap perlu kepada KPP Baru yang berisi, antara lain:
a.  jumlah tunggakan pajak yang masih harus ditagih;
b. tindakan penagihan yang telah dilaksanakan atas tunggakan pajak;
c. permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau keberatan Wajib Pajak atau PKP yang belum diselesaikan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 17/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Pemeriksaan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 226/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga
  7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 226/PMK.03/2013 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga
  8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 65/PMK.03/2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 226/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Penghitungan dan Pemberian Imbalan Bunga
  9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 187/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pengembalian atas Kelebihan Pembayaran Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
  10. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
  11. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
  12. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 117/PMK.03/2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 Tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 Tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ/2010 tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2013 tentang Pencabutan Beberapa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Terkait dengan Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  16. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2018 tentang Penetapan Wajib Pajak Kriteria Tertentu atau Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah dan Perlakuan atas Selisih Kelebihan Pembayaran Pajak yang Belum Dikembalikan dalam Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-10/PJ/2018 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu, Wajib Pajak yang Memenuhi Persyaratan Tertentu, dan Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah
  18. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-69/PJ/2016 tentang Pengawasan Restitusi PPN
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan dalam Menyampaikan SPT
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 dan Pasal 4)

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menyampaikan SPT :
a. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan ditandatangani.
Yang dimaksud dengan benar, lengkap, dan jelas dalam mengisi Surat Pemberitahuan adalah:
a. benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
b. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PMK.03/2015.
c. Dalam hal WP adalah Badan, SPT harus ditandatangani oleh pengurus atau direksi.
d. Dalam hal Wajib Pajak menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan menandatangani SPT, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT.
e. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Laporan keuangan yang dimaksud adalah laporan keuangan dari masing-masing WP.
f. Dalam hal laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat pasal 4 (4a) UU PPh diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada Surat Pemberitahuan, Surat Pemberitahuan dianggap tidak lengkap dan tidak jelas, sehingga Surat Pemberitahuan dianggap tidak disampaikan.
Pajak Terutang
(Pasal 12 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Pajak pada prinsipnya terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut adalah:
  1. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
  2. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah; atau
  3. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada adanya surat ketetapan pajak.
 
Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, serta melaporkan dalam Surat Pemberitahuan, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak atau pun Surat Tagihan Pajak. 
 
Direktorat Jenderal Pajak tidak berkewajiban untuk menerbitkan surat ketetapan pajak atas semua Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak. Penerbitan suatu surat ketetapan pajak hanya terbatas pada Wajib Pajak tertentu yang disebabkan oleh ketidakbenaran dalam pengisian Surat Pemberitahuan atau karena ditemukannya data fiskal yang tidak dilaporkan oleh Wajib Pajak.
Tata Cara pemberian NPWP Orang Pribadi Yang Berstatus Sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik Dan Pegawai dilakukan
(PER-16/PJ/2007)
 
Pemberi Kerja/Bendaharawan Pemerintah membuat Daftar Nominatif dan atau mengisi e-NPWP, dan menyampaikannya ke KPP Lokasi. Daftar Nominatif dan atau e-NPWP yang telah diisi berfungsi sebagai permohonan pendaftaran Wajib Pajak oleh masing-masing calon Wajib Pajak Orang Pribadi secara Massal. Terhadap orang pribadi yang memenuhi syarat sebagai Wajib Pajak berdasarkan Daftar Nominatif dan atau e-NPWP diberikan kartu NPWP oleh KPP Lokasi sesuai domisili Wajib Pajak. Oleh KPP Lokasi kemudian Berkas NPWP disampaikan ke KPP Domisili dari WP yang bersangkutan.
 
KPP Lokasi adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha Pemberi Kerja/ Bendaharawan Pemerintah.
 
KPP Domisili adalah KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal/domisili Wajib Pajak Orang Pribadi yang berstatus sebagai Pengurus, Komisaris, Pemegang Saham/Pemilik dan Pegawai.
Tata Cara Perubahan Identitas Wajib Pajak dan Pemindahan Wajib Pajak

Perubahan Data Wajib Pajak
(PMK 147/PMK.03/2017 jo. PER - 20/PJ/2013 stdtd. PER - 04/PJ/2020 Pasal 14 dan Pasal 15)

Permohonan perubahan data oleh Wajib Pajak dapat diajukan melalui :
1. Permohonan dengan menggunakan Formulir Perubahan Data (Secara Manual)
  • Permohonan secara tertulis dilakukan dengan mengisi dan menandatangani Formulir Perubahan Data Wajib Pajak.
  • Wajib Pajak yang telah mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran Wajib Pajak harus melengkapi formulir perubahan data tersebut dengan dokumen yang disyaratkan.
  • Dokumen yang disyaratkan adalah dokumen yang menunjukkan bahwa data Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak mengalami perubahan di atas.
  • Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak dengan cara :
    • Langsung ke KPP atau melalui KP2KP;
    • Melalui pos; atau
    • Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa.
  • Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis, KPP memberikan Bukti Penerimaan Surat apabila permohonan dinyatakan telah diterima secara lengkap.
  • Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis yang diterima secara tidak lengkap, berlaku ketentuan:
    • dalam hal permohonan disampaikan secara langsung, permohonan dikembalikan kepada Wajib Pajak; atau
    • dalam hal permohonan disampaikan melalui pos atau melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir, KPP menyampaikan pemberitahuan secara tertulis mengenai ketidaklengkapan tersebut.
2. Permohonan secara elektronik
  • Permohonan perubahan data dilakukan secara elektronik dilakukan melalui:
    1. Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak, dilakukan dengan:
      1. mengisi dan menyampaikan Formulir Perubahan Data Wajib Pajak; dan
      2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung; atau
    2. contact center dan/atau saluran tertentu lainnya, dilakukan dengan memanfaatkan layanan yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
  • Permohonan yang disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum. Dalam rangka proses pengajuan permohonan perubahan data Wajib Pajak melalui contact center dan/atau saluran tertentu lainnya, Wajib Pajak harus memenuhi proses validasi identitas untuk membuktikan bahwa Wajib Pajak sendiri yang mengajukan permohonan dimaksud. 
  • Perubahan data Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan secara jabatan apabila terdapat data dan/atau informasi yang menunjukkan adanya perubahan data Wajib Pajak, dan memberitahukan perubahan tersebut kepada Wajib Pajak dengan menyampaikan Surat Pemberitahuan Perubahan Data.


Pemindahan Wajib Pajak
(PMK 147/PMK.03/2017 jo. PER - 20/PJ/2013 stdtd. PER - 02/PJ/2018 Pasal 33-35)

Permohonan pemindahan Wajib Pajak dan/atau Pengusaha Kena Pajak dapat dilakukan melalui :
1. Permohonan Secara Manual
  • permohonan pemindahan dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis menggunakan formulir pemindahan Wajib Pajak
  • Wajib Pajak yang telah mengisi dan menandatangani Formulir Pemindahan Wajib Pajak harus melengkapi formulir pemindahan tersebut dengan dokumen yang disyaratkan dan menyampaikan ke KPP Lama
  • Dokumen yang disyaratkan meliputi dokumen yang menunjukkan bahwa tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak menurut keadaan yang sebenarnya
  • Penyampaian permohonan secara tertulis dilakukan :
    • Langsung ke KPP atau melalui KP2KP;
    • Melalui pos; atau
    • Melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa
  • Terhadap penyampaian permohonan secara tertulis KPP Lama memberikan Bukti Penerimaan Surat apabila permohonan dinyatakan telah diterima secara lengkap.
2. Permohonan secara elektronik
  • Permohonan pemindahan tempat Wajib Pajak terdaftar secara elektronik dilakukan dengan:
    1. mengisi dan menyampaikan Formulir Pemindahan Wajib Pajak; dan
    2. mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen pendukung,
    3. pada Aplikasi Registrasi yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak.
  • Formulir Pemindahan Wajib Pajak yang telah diisi dan disampaikan melalui Aplikasi Registrasi dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
  • Berdasarkan permohonan pemindahan Wajib Pajak:
    1. kepada Wajib Pajak diberikan BPE, dalam hal permohonan memenuhi ketentuan; atau
    2. permohonan dianggap tidak diajukan dan Kepala KPP memberitahukan hal tersebut kepada Wajib Pajak melalui alamat surel (email) yang telah terdaftar di Direktorat Jenderal Pajak, dalam hal permohonan tidak memenuhi ketentuan.

Tambahan :
Berdasarkan permohonan pindah yang sudah diberikan Bukti Penerimaan Surat baik secara elektronik maupun manual, maka KPP lama memberikan keputusan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah Bukti Penerimaan Surat diterbitkan.

Keputusan tersebut dapat berupa :
  1. menerima permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Pindah, Surat Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar, dan/atau Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dan menyampaikan kepada Wajib Pajak; atau
  2. menolak permohonan Wajib Pajak dengan menerbitkan Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Dipindah dan menyampaikan kepada Wajib Pajak.

KPP lama menerbitkan surat dan ditembuskan ke KPP baru berupa Surat Pindah, Surat Pencabutan Surat Keterangan Terdaftar, dan/atau Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal hasil Verifikasi menunjukkan bahwa:
  1. tempat tinggal atau tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya dari Wajib Pajak tidak berada di wilayah kerja KPP Lama; dan
  2. terhadap Wajib Pajak tidak sedang dilakukan Verifikasi dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak, pemeriksaan, pemeriksaan bukti permulaan, atau penyidikan.
Wajib Pajak yang diterbitkan Surat Pemberitahuan Tidak Dapat Pindah karena sedang:
  • dilakukan Verifikasi dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak,
  • pemeriksaan,
  • pemeriksaan bukti permulaan, atau
  • penyidikan
sehingga pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak tetap dilakukan di KPP Lama sampai dengan Wajib Pajak dipindah ke KPP Baru.

Berdasarkan tembusan Surat Pindah, Surat Pencabutan SKT, dan/atau Surat Pencabutan PKP dari KPP Lama, maka KPP Baru menerbitkan Kartu NPWP dan SKT dan/ atau Surat Pengukuhan PKP paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah tembusan Surat Pindah, Surat Pencabutan SKT, dan/atau Surat Pencabutan PKP diterima.

Untuk tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak di KPP Baru adalah sesuai dengan tanggal pengukuhan Pengusaha Kena Pajak di KPP Lama.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu yang Dapat Melaporkan Beberapa Masa Pajak dalam Satu Surat Pemberitahuan Masa
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 9/PMK.03/2018 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT)
  9. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2019 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan Menggunakan Bahasa Asing Dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah Serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
  11. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-518/PJ/2000 Tentang Penyampaian Surat Pemberitahuan selain melalui Kantor Pos
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2022 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Selain Instansi Pemerintah Dan Bagi Pihak Lain
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2008 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dalam Bentuk Formulir Kertas (Hard Copy) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor Pelayanan Pajak, dalam Rangka Pengolahan Data dan Dokumen di Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-9/PJ./2009 Tentang Tempat dan Cara Lain Pengambilan SPT
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-21/PJ./2009 Tentang Tata Cara Penyampaian Perpanjangan Surat Pemberitahuan Tahunan
  16. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-39/PJ/2009 Tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya
  17. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-66/PJ/2009 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2009 Tentang Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi beserta Petunjuk Pengisiannya
  18. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2010 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-146/PJ./2006 tentang Bentuk, Isi dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
  19. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2010 Tentang Perubahan Pertama atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2008 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dalam Bentuk Formulir Kertas (Hard Copy) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor Pelayanan Pajak, dalam Rangka Pengolahan Data dan Dokumen di Pusat Pengolahan Data dan Dokumen Perpajakan
  20. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya
  21. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
  22. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
  23. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
  24. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
  25. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ/2013 Tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
  26. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-26/PJ/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya
  27. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2014 Tentang Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menggunakan Formulir 1770S atau 1770SS secara E-Filing dan Merupakan Pegawai Tetap pada Pemberi Kerja Tertentu
  28. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya
  29. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2014 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44/PJ/2010 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
  30. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 Tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
  31. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2015 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya
  32. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2017 Tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan beserta Petunjuk Pengisiannya
  33. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan
  34. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-03/PJ/2019 Tentang Petunjuk Teknis Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, dan Pengolahan Surat Pemberitahuan
  35. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-150/PJ.03/2017 Tentang Penegasan Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) terkait Penyampaian Surat Pernyataan Harta (SPH) untuk Pengampunan Pajak
Fungsi SPT
(Penjelasan - Pasal 3 (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Bagi Wajib Pajak, SPT berfungsi untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
  1. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam 1 (satu) Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
  2. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
  3. harta dan kewajiban;
  4. penyetoran dari pemotong atau pemungut pajak orang pribadi atau badan lain dalam 1 (satu) masa pajak.
Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP), SPT berfungsi untuk mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang :
  1. pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
  2. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak.
Bagi pemotong atau pemungut pajak, sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya kepada Negara dan pihak yang dipotong.
Jangka Waktu Pengembalian
(UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 11 (2), Penjelasan UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 11 (2))

Untuk menjamin kepastian hukum bagi Wajib Pajak dan ketertiban administrasi, batas waktu pengembalian kelebihan pembayaran pajak ditetapkan paling lama 1 (satu) bulan : 
  1. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai Pasal 17 ayat (1) UU KUP, dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan tertulis tentang pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
  2. untuk Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17B UU KUP, dihitung sejak tanggal penerbitan;
  3. untuk Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak sesuai Pasal 17C dan Pasal 17D UU KUP, dihitung sejak tanggal penerbitan;
  4. untuk Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga, dihitung sejak tanggal penerbitan;
  5. untuk Putusan Banding dihitung sejak diterimanya Putusan Banding oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan; atau
  6. untuk Putusan Peninjauan Kembali dihitung sejak diterimanya Putusan Peninjauan Kembali oleh Kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang melaksanakan putusan pengadilan.
sampai dengan saat diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
Surat Ketetapan Pajak (SKP)
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 1 (15))

Surat ketetapan pajak adalah surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

SKP sebagaimana dimaksud di atas diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan pajak

SKPKB
(Pasal 13 UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 13 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 145/PMK.03/2012 jo. PMK 183/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
 
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKB dalam hal-hal sebagai berikut :
a. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
     
b. apabila Surat Pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) UU KUP dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran;

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :
  a. 50% (lima puluh persen) untuk PPh sendiri
  b. 100% (seratus persen) untuk PPh Pemotongan atau Pemungutan
  c. 100%  (seratus persen) untuk PPN/PPnBM
     
c. apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain mengenai Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah ternyata tidak seharusnya dikompensasikan selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenai tarif 0% (nol persen);

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).
     
d. apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 atau Pasal 29 UU KUP tidak dipenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang terutang;

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar :
  a. 50% (lima puluh persen) untuk PPh sendiri
  b 100% (seratus persen) untuk PPh Pemotongan atau Pemungutan
     
e. apabila kepada Wajib Pajak diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4a) UU KUP.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.
   
f. PKP tidak melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau ekspor JKP dan telah diberikan pengembalian PM atau telah mengkreditkan PM sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (6e) UU PPN.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud di atas ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya SKPKB.

Adapun tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana yang disebutkan, dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan berdasarkan hasil pemeriksaan PPN dan PPn-BM sebagaimana dimaksud pada poin a dan c, dalam penerapan sanksinya hanya akan diterapkan satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya.

Besarnya pajak yang terutang yang diberitahukan oleh Wajib Pajak dalam SPT menjadi pasti sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan apabila dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak tidak diterbitkan SKP, kecuali Wajib Pajakmelakukan tindak pidana di bidang perpajakan dalam Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak dimaksud.

SKPKBT
(Pasal 15 UU Nomor 11 Tahun 2020, Pasal 15 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
 
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 (lima) tahun setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak apabila ditemukan data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.

Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
 
Kenaikan di atas tidak dikenakan apabila SKPKBT diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.


SKPLB
(Pasal 17 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.

SKPLB diterbitkan antara lain :
a. Setelah dilakukan pemeriksaan atas Surat Pemberitahuan yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak. (Penjelasan Pasal 17 (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)
Menurut ketentuan ini SKPLB diterbitkan untuk:
  a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
  b. Pajak Pertambahan Nilai apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai tersebut; atau
  c. Pajak Penjualan Atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
b. Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan SKPLB apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

SKPLB masih dapat diterbitkan lagi apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan/atau data baru ternyata pajak yang lebih dibayar jumlahnya lebih besar daripada kelebihan pembayaran pajak yang telah ditetapkan.


SKPN
(Pasal 1 angka 18 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

Apabila diminta oleh Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak atas pembetulan SKP/STP.
Batas Waktu Penyampaian SPT
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 3 (3) jo. PMK 9/PMK.03/2018 jo. PMK 242/PMK.03/2014)

Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) secara umum adalah :
a. untuk SPT Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak;
b. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak; atau
c. untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

Berikut adalah rincian batas waktu penyampaian SPT untuk masing-masing jenis pajak :

SPT Masa :

No Jenis Pajak Batas Waktu Penyetoran/Pembayaran
1 PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong oleh Pemotong PPh tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
2 PPh Pasal 15 yang dipotong oleh Pemotong PPh
3 PPh pasal 22 yang pemungutannya dilakukan oleh Wajib Pajak badan tertentu sebagai Pemungut Pajak
4 PPh Pasal 21 yang dipotong oleh Pemotong PPh
5 PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh
6 PPh Pasal 26 yang dipotong oleh Pemotong PPh
7 PPh Pasal 4 ayat (2) yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir
8 PPh Pasal 15 yang harus dibayar sendiri
9 PPh Pasal 25
10 PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pemungut PPN selain Bendahara Pemerintah atau instansi Pemerintah yang ditunjuk
11 PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri
12 PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
13 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor bersamaan dengan saat pembayaran Bea Masuk dan dalam hal Bea Masuk ditunda atau dibebaskan, PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen pemberitahuan pabean impor
14 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM atas impor yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai 1 (satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan pajak
15 PPh Pasal 22 yang dipungut oleh bendahara pengeluaran paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran atas penyerahan barang yang dibiayai dari belanja Negara atau belanja Daerah, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak atas nama rekanan dan ditandatangani oleh bendahara.
16 PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Bendahara Pengeluaran sebagai Pemungut PPN paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal pelaksanaan pembayaran kepada Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
17 PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa paling lama pada akhir Masa Pajak terakhir
18 Pembayaran masa selain PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3b) Undang-Undang KUP yang melaporkan beberapa masa pajak dalam satu Surat Pemberitahuan Masa sesuai dengan batas waktu untuk masing-masing jenis pajak
19 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan PPnBM yang pemungutannya dilakukan oleh Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar sebagai Pemungut PPN atau PPh Pasal 22 disetor pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran kepada PKP Rekanan Pemerintah melalui Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara
20 PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dalam satu Masa Pajak Disetor paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum Surat Pemberitahuan Masa PPN disampaikan.
21 PPh Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dipotong/dipungut atau yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak disetor sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.

Keterangan:
* kewajiban untuk melaporkan PPh Pasal 21/26 yang dipotong tidak berlaku dalam hal jumlah PPh Pasal 21/26 yang dipotong pada Masa Pajak yang bersangkutan nihil, kecuali Masa Pajak Desember.

Dalam hal batas akhir pelaporan  bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. (PMK 9/PMK.03/2018 jo. PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 9)

Hari libur nasional sebagaimana dimaksud di atas termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Contoh
PT. ABC bermaksud melakukan pelaporan SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember 2018, batas akhir pelaporan adalah hari Minggu, 20 Januari 2019. Berdasarkan ketentuan PMK No. 242/PMK.03/2014, pelaporan SPT tersebut masih diperbolehkan pada hari Senin, 21 Januari 2019. Meskipun lewat dari tanggal jatuh tempo yang sebenarnya, PT. ABC tidak dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp100.000,00.

SPT Tahunan :
 
No Jenis Pajak Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir
1. SPT Tahunan PPh Orang Pribadi 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak
2. SPT Tahunan PPh Badan 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak
Pemeriksaan atas Permohonan Restitusi
(Pasal 17B UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 17B UU Nomor 28 Tahun 2007)
 
Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP (WP dengan kriteria tertentu) dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D UU KUP (WP dengan persyaratan tertentu), harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap.
 
Yang dimaksud dengan "surat permohonan telah diterima secara lengkap" adalah SPT yang telah diisi lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU KUP.
 
Apabila setelah melampaui jangka waktu tersebut di atas Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
 
Surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat berupa Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Nihil atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
 
Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan. Penerbitan surat ketetapan pajak untuk WP ini tertangguh sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Namun apabila :
  1. Bukti Permulaan tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
  2. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
  3. Pemeriksaan Bukti permulaan dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan SKPLB, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga perbulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sampai dengan saat diterbitkan SKPLB.
 
Surat ketetapan pajak diterbitkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang semula tertangguh karena dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
 
 
SKPLB terlambat diterbitkan
(UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 17B UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 17B)
 
Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan per bulan dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.
 
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan untuk WP yang  sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, namun ternyata :
  1. Bukti Permulaan tidak dilanjutkan dengan penyidikan;
  2. Pemeriksaan Bukti Permulaan dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44A Undang-Undang KUP; atau
  3. Pemeriksaan Bukti permulaan dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Maka kepada Wajib Pajak tersebut diberikan imbalan bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
 
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
 
Imbalan bunga tidak diberi dalam hal pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan:
  1. tidak dilanjutkan dengan penyidikan karena Wajib Pajak dengan kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya; atau
  2. dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan karena dilakukan penghentian penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44B.
Bunga Penagihan
(Pasal 19 UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 19 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Apabila Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau kurang dibayar itu dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan untuk seluruh masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya Surat Tagihan Pajak, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan dan ternyata penghitungan sementara pajak yang terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (5) UU KUP kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang atas kekurangan pembayaran pajak tersebut, dikenai bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari saat berakhirnya batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b dan huruf c UU KUP sampai dengan tanggal dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud diatas dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
Sanksi Keterlambatan Pembayaran dan Penyetoran
(Pasal 9 UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 9 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Apabila pembayaran atau penyetoran pajak dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, dikenai sanksi administrasi berupa :
1. Untuk pajak yang terutang pada suatu saat atau Masa dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2. Untuk  pembayaran atau penyetoran atas kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan dikenai sanksi administrasi sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
3. Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana pada ayat (2) huruf a dan ayat 2 huruf b dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.

Contoh
 

KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 57/KMK.10/2020

TENTANG

TARIF BUNGA SEBAGAI DASAR PENGHITUNGAN SANKSI ADMINISTRASI
BERUPA BUNGA DAN PEMBERIAN IMBALAN BUNGA PERIODE
1 JANUARI 2021 SAMPAI DENGAN 31 JANUARI 2021

A. Sanksi Administrasi:
No. Ketentuan dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Tarif bunga per bulan
1. Pasal 19 ayat (1), Pasal 19 ayat (2), dan Pasal 19 ayat (3) 0,51% (nol koma lima satu persen)
2. Pasal 8 ayat (2), Pasal 8 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2a), Pasal 9 ayat (2b), dan Pasal 14 ayat (3) 0,93% (nol koma sembilan tiga persen)
3. Pasal 8 ayat (5) 1,34% (satu koma tiga empat persen)
4. Pasal 13 ayat (2) dan Pasal 13 ayat (2a) 1,76% (satu koma tujuh enam persen)
 
B. Imbalan Bunga:
Ketentuan dalam Undang-Undang mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan  Tarif bunga per bulan
Pasal 11 ayat (3), Pasal 17B ayat (3), Pasal 17B ayat (4), dan Pasal 27B ayat (4) 0,51% (nol koma lima satu persen)
 
PT. ABC bermaksud melakukan pembayaran PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak Desember 2020 sebesar Rp100.000.000,00, jatuh tempo pembayaran adalah hari Minggu, 10 Januari 2021. PT ABC melakukan pembayaran pajak hari Rabu, 13 Januari 2021. Karena pembayaran pajak tersebut telah lewat dari tanggal jatuh tempo, PT. ABC akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga 0,93% per bulan (0,93% X Rp100.000.000,00 X 1 Bulan = Rp930.000,00) melalui mekanisme penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) oleh kantor pajak.
Gugatan
(Pasal 23 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Untuk melaksanakan azas Keadilan, Wajib Pajak diperkenankan untuk melakukan gugatan terhadap:
a. pelaksanaan Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan, atau Pengumuman Lelang;
b. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak;
c. keputusan yang berkaitan dengan pelaksanaan keputusan perpajakan, selain yang ditetapkan dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 26; atau
d. penerbitan surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Keberatan yang dalam penerbitannya tidak sesuai dengan prosedur atau tata cara yang telah diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak.

Tata cara pengajuan Gugatan :
1. Gugatan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak, dengan disertai alasan-alasan yang jelas, mencantumkan tanggal diterima, pelaksanaan penagihan, atau Keputusan yang digugat dan dilampiri salinan dokumen yang digugat;
2. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan Pajak adalah 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penagihan;
3. Jangka waktu untuk mengajukan Gugatan terhadap Keputusan selain Gugatan sebagaimana dimaksud pada angka 2 adalah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterima Keputusan yang digugat;
4. Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 2 dan 3 tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan penggugat (force majeur);
5. Perpanjangan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada angka 4 adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak berakhirnya keadaan di luar kekuasaan penggugat;
6. Terhadap 1 (satu) pelaksanaan penagihan atau 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Gugatan.
Imbalan Bunga atas Keputusan Keberatan atau Banding atau Peninjauan Kembali yang Dikabulkan
(Pasal 27B UU Nomor 11 Tahun 2020)

Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.
 
Imbalan bunga yang diberikan terhadap kelebihan pembayaran pajak paling banyak sebesar jumlah lebih bayar yang disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atas SPT yang menyatakan lebih bayar yang telah diterbitkan:
  1. SKPKB;
  2. SKPKBT;
  3. SKPLB; atau
  4. SKP Nihil.
Wajib Pajak diberikan imbalan bunga dalam hal permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan SKP, atau permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya sehingga menyebabkan kelebihan pembayaran pajak.

Imbalan bunga yang akan diberikan:
  1. berdasarkan tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas); dan
  2. diberikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
Tarif bunga per bulan yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah tarif bunga per bulan yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.

Imbalan bunga dihitung sejak tanggal penerbitan SKPKB, SKPKBT, SKPLB, SKP nihil sampai dengan tanggal diterbitkannya SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali.

Imbalan bunga dihitung:
  1. sejak tanggal pembayaran SKPKB atau SKPKBT sampai dengan tanggal diterbitkannya SK Pembetulan, surat keputusan pengurangan, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
  2. sejak tanggal penerbitan SKPLB atau SKPN sampai dengan tanggal diterbitkannya SK Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak; atau
  3. sejak tanggal pembayaran STP sampai tanggal diterbitkannya SK Pembetulan, surat keputusan pengurangan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak.
Sanksi yang Berhubungan dengan NPWP dan Pengukuhan PKP
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 39 ayat (1), (2), dan (3))

Setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pidana tersebut dapat ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan.
 
Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
Dasar Pembetulan
(Pasal 16 (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 11/PMK.03/2013)

WP dapat mengajukan permohonan pembetulan.

Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat membetulkan :
  1. Surat ketetapan pajak yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan Pajak Nihil, dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar;
  2. Surat Tagihan Pajak;
  3. Surat Keputusan Pembetulan;
  4. Surat Keputusan Keberatan;
  5. Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi;
  6. Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi;
  7. Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak;
  8. Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
  9. Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak;
  10. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga;
  11. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang;
  12. Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  13. Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi dan Bangunan;
  14. Surat Keputusan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan; atau
  15. Surat Keputusan Pengurangan Denda Pajak Bumi dan Bangunan
yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.

Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud pada di atas dapat berupa Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas surat ketetapan pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas Surat Tagihan Pajak.
Ruang Lingkup Pembetulan
(Penjelasan Pasal 16 (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 11/PMK.03/2013)

Ruang lingkup pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan yang dapat dibetulkan meliputi :
  1. kesalahan tulis, antara lain berupa kesalahan penulisan nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak, nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, tanggal jatuh tempo, atau kesalahan tulis lainnya yang tidak mempengaruhi jumlah pajak terutang;
  2. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan atau kesalahan hitung yang diakibatkan oleh adanya penerbitan surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, surat keputusan yang terkait dengan bidang perpajakan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali;
  3. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan, yaitu kekeliruan dalam penerapan tarif, kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto, kekeliruan penerapan sanksi administrasi, kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak, kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan kekeliruan dalam pengkreditan pajak.
Pembetulan atas kesalahan atau kekeliruan tersebut di atas yang terkait dengan pengkreditan Pajak Masukan dalam Pajak Pertambahan Nilai, hanya dapat dilakukan apabila :
  1. terdapat perbedaan Pajak Masukan yang menjadi kredit pajak; dan
  2. tidak mengandung sengketa antara fiskus dan Wajib Pajak
Banding
(Pasal 27 UU Nomor 7 Tahun 2021)

Jika WP tidak puas atas keputusan keberatan maka ia dapat mengajukan banding hanya kepada badan peradilan pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara.


Syarat yang harus dipenuhi WP dalam mengajukan banding
(Pasal 27 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Tata Cara pengajuan surat permohonan banding :
1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak;
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima, dengan dilampiri salinan dari Surat Keputusan keberatan tersebut 
Jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding (force majeur) 
Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 bulan tersebut
3. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding;
4. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding;
5. Selain dari persyaratan di atas, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3), ayat (3a), atau Pasal 25 ayat (7) UU KUP, atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.

Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak termasuk sebagai utang pajak sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.

Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar 60% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 85/PMK.03/2010 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.03/2008 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Pajak dan Penetapan Besarnya Penghapusan
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemblokiran dan Penyitaan Harta Kekayaan Penanggung Pajak yang Tersimpan pada Bank dalam Rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2016 tentang Surat, Daftar, Formulir, dan Laporan yang Digunakan dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
  8. Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-01/PJ/2022 tentang Surat, Daftar, Dan Formulir Yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak Atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar
Proses Pengembalian
(244/PMK.03/2015)

a. Kelebihan pembayaran pajak yang masih tersisa dikembalikan oleh Kepala KPP atas nama Direktur Jenderal Pajak dengan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak (SKPKPP) per jenis pajak, dan per Masa Pajak atau Tahun Pajak, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015.
b. Atas dasar SKPKPP, Kepala KPP atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP) per jenis pajak dan per Masa Pajak atau Tahun Pajak, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015.
c. SPMKP dibuat dalam rangkap 4 (empat) dengan peruntukan sebagai berikut :
a. Lembar ke-1 dan lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN);
b. Lembar ke-3 untuk Wajib Pajak; dan
c. Lembar ke-4 untuk arsip KPP.
d. Berdasarkan SPMKP tersebut, Kepala KPPN atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D), dengan ketentuan :
dalam hal seluruh kelebihan pembayaran pajak dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau
a. pajak yang akan terutang melalui potongan SPMKP, KPPN menerbitkan SP2D Nihil;
b. dalam hal seluruh kelebihan pembayaran pajak dikembalikan kepada Wajib Pajak, Kepala KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan rekening Wajib Pajak bersangkutan;
c. dalam hal masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak yang harus dikembalikan kepada Wajib Pajak setelah dikompensasikan ke Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang melalui potongan SPMKP, Kepala KPPN menerbitkan SP2D sesuai dengan rekening Wajib Pajak bersangkutan.
e. Kepala KPPN mengembalikan lembar ke-2 SPMKP disertai dengan lembar ke-2 SP2D kepada penerbit SPMKP setelah dibubuhi cap tanggal dan nomor penerbitan SP2D.
f. SPMKP dibebankan pada mata anggaran pengembalian pendapatan pajak tahun anggaran berjalan, yaitu pada masa anggaran yang sama dengan masa anggaran pemerintah semula.
g. SPMKP disampaikan ke KPPN secara langsung oleh petugas yang ditunjuk.
h. Kepala KPP menyampaikan spesimen tanda tangan pejabat yang diberi wewenang untuk menandatangani SKPKPP dan SPMKP kepada Kepala  KPPN.
Pemeriksa Pajak
(Pasal 11 PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Pemeriksaan Pajak wajib :
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan;
c. memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
d. melakukan pertemuan dengan Wajib Pajak dalam rangka memberikan penjelasan mengenai:
1) alasan dan tujuan Pemeriksaan;
2) hak dan kewajiban Wajib Pajak selama dan setelah pelaksanaan Pemeriksaan;
3) hak Wajib Pajak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a;dan
4) kewajiban dari Wajib Pajak untuk memenuhi permintaan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya, yang dipinjam dari Wajib Pajak;
e. menuangkan hasil pertemuan sebagaimana dimaksud pada huruf d dalam berita acara pertemuan dengan Wajib Pajak;
f. menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak;
g. memberikan hak untuk hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan;
h. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
i. melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan menyampaikan saran secara tertulis;
j. mengembalikan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak; dan
k. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak atas segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.
 
 
Kewajiban pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain
(Pasal 77 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak wajib:
a. menyampaikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor;
b. memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
c. memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan Tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
d. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang diperiksa;
e. menyampaikan Kuesioner Pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
f. mengembalikan buku, catatan, dan dokumen pendukung lainnya yangdipinjam dari Wajib Pajak; dan/atau
g. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.


Wewenang pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
(Pasal 12 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang :
a. melihat dan/atau meminjam buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
d. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa :
1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
2) memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal jumlah buku, catatan, dan dokumen sangat banyak sehingga sulit untuk dibawa ke kantor Direktorat Jenderal Pajak;
e. melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
f. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan
g. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang :
a. memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan Surat Panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor;
b. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
c. meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak;
e. meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak; dan
f. meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.


Wewenang pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain
(Pasal 78 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang:
a. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
b. mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan;
d. meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
e. meminta keterangan dan/atau data yang diperIukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.

Dalam hal Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:
a. melihat dan/atau meminjam buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. meminta keterangan lisan dan/ atau tertulis dari Wajib Pajak; dan/atau
c. meminta keterangan dan/atau data yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan.


Hak WP dalam proses pelaksanaan  pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
(Pasal 13 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak :
a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2;
b. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
c. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan;
d. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
e. menerima SPHP;
f. menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan pada  waktu yang telah ditentukan;
g. mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dengan Wajib Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, kecuali untuk Pemeriksaan atas keterangan lain berupa data konkret yang dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) huruf a; dan
h. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.


Hak WP dalam proses pelaksanaan pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dengan tujuan lain
(Pasal 79 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain, Wajib Pajak berhak:
a. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan;
b. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, dalam hal Pemeriksaan dilakukan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan;
c. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan Pemeriksaan;
d. meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak apabila terdapat perubahan susunan Tim Pemeriksa Pajak; dan/atau
e. memberikan pendapat atau penilaian atas pelaksanaan Pemeriksaan oleh Pemeriksa Pajak melalui pengisian Kuesioner Pemeriksaan.


Kewajiban WP dalam proses pelaksanaan pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
(Pasal 14 PMK 17/PMK.03/2013 jo. 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib :
a. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
b. memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memberikan kesempatan untuk memasuki dan memeriksa tempat atau ruang, barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak;
d. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, antara lain berupa :
1) menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak apabila dalam mengakses data yang dikelola secara elektronik memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus;
2) memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak; dan/atau
3) menyediakan ruangan khusus tempat dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam hal Pemeriksaan dilakukan di tempat Wajib Pajak
e. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan
f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib :
a. memenuhi panggilan untuk datang menghadiri Pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan;
b. memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara  elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak;
c. memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
d. menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP;
e. meminjamkan KKP yang dibuat oleh akuntan publik; dan
f. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan.


Kewajiban WP dalam proses pelaksanaan  pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dengan tujuan lain
(Pasal 80 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib:
a. memperlihatkan dan meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan;
b. memberi kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik;
c. memberi kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang penyimpanan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dokumen lain, dan/atau barang, yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan serta meminjamkannya kepada Pemeriksa Pajak; dan/atau
d. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.

Dalam pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan Jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
a. memperlihatkan dan meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain, yang berhubungan dengan tujuan Pemeriksaan; dan/atau
b. memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis serta memberikan data dan/atau keterangan lain yang diperlukan.

Apabila dalam mengungkapkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen serta keterangan yang diminta, Wajib Pajak terikat oleh suatu kewajiban untuk merahasiakannya, maka kewajiban untuk merahasiakan itu ditiadakan oleh permintaan untuk keperluan pemeriksaan
Tata Cara Pendaftaran dan atau Pelaporan Usaha
(PMK 147/PMK.03/2017 jo. PER - 02/PJ/2018 jo PER - 04/PJ/2020)

Pendaftaran untuk mendapatkan NPWP dan/atau pelaporan usaha untuk dikukuhkan sebagai PKP dapat dilakukan secara manual/konvensional maupun elektronik (online). Berikut adalah langkah-langkahnya :

TATA CARA PENDAFTARAN DAN/ATAU PELAPORAN USAHA SECARA MANUAL/KONVENSIONAL

1. Wajib Pajak harus mengisi Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Permohonan Pengukuhan PKP secara lengkap dan jelas. Dalam hal Wajib Pajak membutuhkan bantuan dalam mengisi formulir tersebut dapat menanyakan kepada Petugas Pendaftaran Wajib Pajak.

Data/dokumen pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran NPWP antara lain sebagai berikut  :   
• untuk Wajib Pajak orang pribadi baik yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas maupun yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, berupa:
1. bagi Warga Negara Indonesia, yaitu fotokopi KTP; atau
2. bagi Warga Negara Asing, yaitu: 
a) fotokopi paspor; dan
b) fotokopi Kartu Izin Tinggal Sementara (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP);

• 
Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah berdasarkan keputusan hakim yaitu fotokopi KTP,

•   Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi bagi wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya, berupa:
a. fotokopi KTP;
b. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak suami dalam hal suami merupakan WNI, atau fotokopi dokumen identitas perpajakan di luar negeri dalam hal suami merupakan subjek pajak luar negeri;
c. fotokopi Kartu Keluarga, akta perkawinan, atau dokumen sejenisnya;
d.  fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami; dan

•  Untuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu berupa :
a. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi; 

•   Untuk Wajib Pajak Badan yang berorientasi pada profit (profit oriented) maupun yang tidak berorientasi pada profit (non profit oriented) berupa :
a. fotokopi:
1) akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahannya, bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri; atau
2)   surat keterangan penunjukan dari kantor pusat, bagi bentuk usaha tetap atau kantor perwakilan perusahaan asing;
b. dokumen yang menunjukkan identitas diri salah satu pengurus Badan:
1) bagi WNI, yaitu:
a) fotokopi KTP; dan
b) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak;
atau
2)   bagi WNA, yaitu:
a) fotokopi paspor; dan
b) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal WNA telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;

•  Untuk Wajib Pajak Badan yang berbentuk kerja sama operasi (joint operation) sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong :
a. fotokopi Perjanjian Kerjasama/Akta Pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (Joint Operation);
b. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota bentuk kerja sama  operasi (Joint Operation) yang diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
c. dokumen yang menunjukkan identitas diri salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation):
1) bagi WNI, yaitu fotokopi KTP dan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; atau
2)   bagi WNA, yaitu:
a) fotokopi paspor; dan
b) fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak, dalam hal WNA telah terdaftar sebagai Wajib Pajak;

•    Untuk Wajib Pajak dengan status cabang berupa :
  1. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak pusat atau induk; dan
  2. surat pernyataan bermeterai dari pimpinan cabang yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
•   Untuk Bendaharawan sebagai Wajib Pajak Pemungut/Pemotong
  1. fotokopi dokumen penunjukan sebagai Bendaharawan, dan
  2. fotokopi Kartu Tanda Penduduk orang pribadi yang ditunjuk sebagai bendahara.

Data/dokumen pendukung yang perlu disiapkan oleh Wajib Pajak sebagai kelengkapan permohonan pengukuhan PKP antara lain sebagai berikut  :  
•   untuk Wajib Pajak orang pribadi:
  1. fotokopi KTP bagi WNI;
  2. fotokopi paspor, fotokopi KITAS atau KITAP bagi WNA; dan
  3. surat pernyataan bermeterai dari Wajib Pajak yang menyatakan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha atau pekerjaan bebas tersebut dilakukan.
• untuk Wajib Pajak Badan:
  1. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
  2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus, atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah WNA dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  3. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak Badan yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
• untuk Wajib Pajak dengan status cabang dari Wajib Pajak Badan:
  1. fotokopi akta pendirian atau dokumen pendirian dan perubahan bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri, atau surat keterangan penunjukan dari kantor pusat bagi bentuk usaha tetap;
  2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak salah satu pengurus cabang, atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab cabang adalah WNA dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  3. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus cabang yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
• untuk Wajib Pajak Badan bentuk kerja sama operasi (joint operation):
  1. fotokopi perjanjian kerja sama/akta pendirian sebagai bentuk kerja sama operasi (joint operation);
  2. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak masing-masing anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation) yang diwajibkan untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. fotokopi Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak orang pribadi salah satu pengurus perusahaan anggota bentuk kerja sama operasi (joint operation), atau fotokopi paspor dalam hal penanggung jawab adalah Warga Negara Asing dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
  4. surat pernyataan bermeterai dari salah satu pengurus Wajib Pajak kerja sama operasi (Joint Operation) yang menyatakan kegiatan usaha yang dilakukan dan tempat atau lokasi kegiatan usaha tersebut dilakukan.
2.   Wajib Pajak menyerahkan Formulir Permohonan Pendaftaran Wajib Pajak dan/atau Formulir Pengukuhan PKP yang telah diisi secara lengkap dan jelas serta ditandatangani Wajib Pajak.
3.    Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
4.   Penyampaian secara tertulis dilakukan :
  • secara langsung;
  • melalui pos; atau
  • melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
5.  Dalam hal permohonan dinyatakan diterima secara lengkap, maka KPP atau KP2KP memberikan Bukti Penerimaan Surat kepada Wajib Pajak.
6.  Permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti Penerimaan Surat oleh KPP atau KP2KP, maka pihak KPP atau KP2KP akan menerbitkan Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar Paling Lama 1 (satu) hari kerja.

 
  
TATA CARA PENDAFTARAN DAN ATAU PELAPORAN USAHA SECARA ONLINE (e-Registration)

Sistem e-Registration adalah sistem pendaftaran, perubahan data Wajib Pajak dan/atau Pengukuhan dan Pencabutan Pengukuhan PKP melalui sistem yang terhubung langsung secara online dengan Direktorat Jenderal Pajak.

Berikut langkah-langkah untuk melakukan pendaftaran dan atau pengukuhan PKP melalui e-Registration :
  1. Membuka situs Direktorat Jenderal Pajak dengan alamat http://www.pajak.go.id. 
  2. Memilih menu sistem e-Registration. 
  3. Membuat account dengan melakukan login pada sistem e-Registration. 
  4. Login ke sistem e-Registration dengan mengisi username dan password yang telah dibuat. 
  5. Memilih menu “Permohonan Pendaftaran NPWP dan/atau Pengukuhan PKP”. 
  6. Memilih jenis Wajib Pajak yang sesuai (Orang Pribadi, Badan, atau Bendahara) 
  7. Mengisi formulir permohonan pada laman website e-Registration dengan lengkap dan benar. 
  8. Memilih tombol “daftar” untuk mengirim Formulir Permohonan Pendaftaran NPWP dan/atau Pengukuhan PKP. 
  9. Mencetak formulir permohonan yang sudah diisi secara lengkap dan SKT Sementara melalui aplikasi e-Registration. 
  10. Menerima SKT, NPWP dan/atau SPPKP dari KPP tempat Wajib Pajak Terdaftar.
Jangka Waktu Keputusan Keberatan
(Pasal 26 dan pasal 26A UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 17 jo. 9/PMK.03/2013 jo. 202/PMK.03/2015)

Direktur Jenderal Pajak harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.

Sebelum surat keputusan diterbitkan, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.

Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b dan huruf d UU KUP, Wajib Pajak yang bersangkutan harus dapat membuktikan ketidakbenaran ketetapan pajak tersebut.

Wajib Pajak yang mengungkapkan pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dalam proses keberatan yang tidak diberikan pada saat pemeriksaan, selain data dan informasi yang pada saat pemeriksaan belum diperoleh Wajib Pajak dari pihak ketiga, pembukuan, catatan, data, informasi, atau keterangan lain dimaksud tidak dipertimbangkan dalam penyelesaian keberatannya.

Wajib Pajak dapat mencabut pengajuan keberatan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum tanggal diterima Surat Pemberitahuan Untuk Hadir oleh Wajib Pajak. Selanjutnya, Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP.

Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) Undang-Undang KUP, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Gugatan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.

Apabila jangka waktu penerbitan keputusan keberatan  telah terlampaui dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberi keputusan atas keberatan, keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Keberatan sesuai dengan pengajuan keberatan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan tersebut berakhir.
Penjelasan WP dan Pihak Ketiga
(Pasal 39, 40, dan 89 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)
 
Untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci, Pemeriksa Pajak melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan dapat memanggil Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak melalui penyampaian surat panggilan yang dapat dilakukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak.
 
Penjelasan tersebut dituangkan dalam berita acara mengenai pemberian penjelasan Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.
 
Dalam hal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani berita acara, Pemeriksa Pajak membuat catatan penolakan tersebut dalam berita acara dimaksud.
 
Pemeriksa Pajak melalui kepala unit pelaksana Pemeriksaan, dapat meminta keterangan dan/atau bukti kepada pihak ketiga sesuai Pasal 35 Undang-Undang KUP secara tertulis sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara permintaan keterangan kepada pihak ketiga.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 24/PMK.011/2012 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 Tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PMK.03/2015 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.03/2019 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang Selain Rupiah serta Kewajiban Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Melakukan Pencatatan dan Kriteria Tertentu Serta Tata Cara Menyelenggarakan Pembukuan Untuk Tujuan Perpajakan
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2020 tentang Tata Cara Pemberitahuan, Pemberian, Pembatalan serta Permohonan dan Penerbitan Kembali Izin Penyelenggaraan Pembukuan atau Pencatatan dengan Menggunakan Bahasa Inggris atau Pembukuan dengan Menggunakan Bahasa Inggris dan Satuan Mata Uang Dolar Amerika Serikat
Permohonan Restitusi Setelah dilakukan Pemeriksaan SPT
(Pasal 17 (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Menurut ketentuan ayat ini, Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar diterbitkan untuk:
a. Pajak Penghasilan apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang;
b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila jumlah kredit pajak lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang. Jika terdapat pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN, jumlah pajak yang terutang dihitung dengan cara jumlah Pajak Keluaran dikurangi dengan pajak yang dipungut oleh Pemungut PPN tersebut; atau
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah apabila jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar tersebut diterbitkan setelah dilakukan pemeriksaan atas SPT yang disampaikan Wajib Pajak yang menyatakan kurang bayar, nihil, atau lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
 
Apabila Wajib Pajak setelah menerima Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dan menghendaki pengembalian kelebihan pembayaran pajak, wajib mengajukan permohonan tertulis.
Penagihan Seketika dan Sekaligus
(Pasal 20 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 24/PMK.03/2008 jo. PMK 85/PMK.03/2010)

Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan Penagihan Pajak yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun Pajak.

Penagihan seketika dan sekaligus dilakukan apabila:
a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;
c. terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usaha atau menggabungkan atau memekarkan usaha, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya;
d. badan usaha akan dibubarkan oleh negara; atau
e. terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
Hak WP terkait dengan Pembetulan
(Pasal 16 (3) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 11/PMK.03/2013)

Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar Direktur Jenderal Pajak menambah, mengurangkan, menghapuskan, atau menolak permohonan pembetulan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Untuk itu Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis atas permintaan Wajib Pajak tersebut.
Tata Cara Penyelenggaraan Pembukuan Dengan menggunakan Bahasa Asing dan Satuan Mata Uang selain Rupiah
(Pasal 1 (29) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 196/PMK.03/2007 jo. 24/PMK.011/2012 jo. PMK 1/PMK.03/2015 jo. PMK 123/PMK.03/2019 jo. PER - 24/PJ/2020)

Wajib Pajak dalam rangka Penanaman Modal Asing dan Bentuk Usaha Tetap dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau unit lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau saluran lain yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
 
Permohonan tersebut diajukan oleh Wajib Pajak, paling lambat 3 (tiga) bulan:
a. sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat tersebut dimulai; atau
b. sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru.
 
Permohonan tersebut ditandatangani secara digital dengan disertai kelengkapan persyaratan yang terdiri dari:
a. pernyataan bahwa pembukuan Wajib Pajak akan menggunakan bahasa Inggris serta seluruh aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, dan biaya dicatat dalam satuan mata uang Dolar Amerika Serikat; dan
b. memiliki Surat Keterangan Fiskal yang masih berlaku pada saat permohonan diajukan.
 
Pemenuhan kelengkapan persyaratan, dilakukan dengan cara mencantumkan kode verifikasi yang terdapat dalam Surat Keterangan Fiskal yang masih berlaku pada saat mengajukan.
 
Wajib Pajak badan tertentu dapat menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dengan mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau unit yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak secara elektronik melalui laman Direktorat Jenderal Pajak atau saluran lain yang terintegrasi dengan sistem Direktorat Jenderal Pajak.
 
Wajib Pajak badan tertentu meliputi:
a. Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan induk di luar negeri, yaitu perusahaan anak (subsidiary company) yang dimiliki dan/atau dikuasai oleh perusahaan induk (parent company) di luar negeri yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) huruf a dan huruf b Undang-Undang Pajak Penghasilan;
b. Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
c. Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan reksadana dalam denominasi satuan mata uang Dolar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan Efektif Pernyataan Pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal;
d. Wajib Pajak yang melakukan Kerja Sama Operasi (KSO) sepanjang dipersyaratkan dalam perjanjian kerjasama/akta pendirian KSO namun tidak semua anggota KSO telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat; atau
e. Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
 
Permohonan tersebut diajukan oleh Wajib Pajak, paling lambat 3 (tiga) bulan:
a. sebelum tahun buku yang diselenggarakan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat tersebut dimulai; atau
b. sejak tanggal pendirian bagi Wajib Pajak baru.

Permohonan tersebut ditandatangani secara digital dengan disertai kelengkapan persyaratan yang terdiri dari:
a. pernyataan bahwa pembukuan Wajib Pajak badan tertentu akan menggunakan bahasa Inggris serta seluruh aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, dan biaya dicatat dalam satuan mata uang Dolar Amerika Serikat;
b. memiliki Surat Keterangan Fiskal yang masih berlaku pada saat permohonan diajukan; dan
c. dokumen berupa:
- surat keterangan dari bursa efek luar negeri yang menyatakan bahwa emisi saham Wajib Pajak pemohon didaftarkan di bursa efek tersebut, bagi Wajib Pajak yang mendaftarkan emisi sahamnya baik sebagian maupun seluruhnya di bursa efek luar negeri;
- Surat Pemberitahuan Efektifnya Pernyataan Pendaftaran dari Otoritas Jasa Keuangan atau lembaga yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pasar modal atas penerbitan reksadana oleh Kontrak Investasi Kolektif yang bersangkutan, bagi Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif;
- Prospektus penawaran atas reksadana yang diterbitkan dalam satuan mata uang Dolar Amerika Serikat, bagi Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif;
- Surat keterangan atau pernyataan dari perusahaan induk (parent company) di luar negeri, bagi Wajib Pajak yang berafiliasi langsung dengan perusahaan indukdi luar negeri; atau
- perjanjian kerjasama yang mensyaratkan pembukuan KSO diselenggarakan dengan menggunakan Bahasa Inggris dan satuan Mata Uang Dolar Amerika Serikat, bagi Wajib Pajak yang melakukan KSO namun tidak semua anggota KSO telah mendapatkan izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat;
- Surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa mata uang fungsional yang digunakan Wajib Pajak sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia adalah satuan mata uang Dolar Amerika Serikat, bagi Wajib Pajak yang menyajikan laporan keuangan dalam mata uang fungsionalnya menggunakan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat sesuai Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.

Pemenuhan kelengkapan persyaratan surat keterangan fiskal, dilakukan dengan cara mencantumkan kode verifikasi yang terdapat dalam Surat Keterangan Fiskal yang masih berlaku pada saat mengajukan permohonan.
 
Pemenuhan kelengkapan persyaratan dokumen lain, disampaikan dengan cara mengunggah dokumen dalam bentuk portable document format (pdf) yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari surat permohonan.
Bentuk, Isi, Keterangan dan/atau Dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT
(PMK 243/PMK.03/2014 Pasal 4 jo. PMK Nomor 09/PMK.03/2018)

Berbagai jenis Surat Pemberitahuan (SPT) yang berlaku saat ini antara lain :
  1. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26
  2. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 22
  3. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26
  4. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 25
  5. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2)
  6. SPT Masa Pajak Penghasilan Pasal 15
  7. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai
  8. SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai bagi pemungut
  9. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan
  10. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat
  11. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
SPT terdiri dari SPT Induk dan lampirannya yang merupakan satu kesatuan, kecuali SPT untuk poin 2,3,4,5 dan 6.

SPT paling sedikit berisi :
  1. Jenis Pajak;
  2. Nama Wajib Pajak dan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
  4. Tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
Untuk SPT Tahunan PPh harus dilengkapi data mengenai :
  1. jumlah peredaran usaha;
  2. jumlah penghasilan, termasuk penghasilan yang bukan merupakan objek pajak;
  3. jumlah Penghasilan Kena Pajak;
  4. jumlah pajak yang terutang;
  5. jumlah kredit pajak;
  6. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
  7. jumlah harta dan kewajiban;
  8. tanggal pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29; dan
  9. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
Untuk SPT Masa PPh harus dilengkapi data mengenai :
  1. jumlah objek pajak (kecuali untuk SPT Masa PPh Pasal 25), jumlah pajak yang terutang, dan/atau jumlah pajak dibayar;
  2. tanggal pembayaran atau penyetoran; dan
  3. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak (kecuali untuk SPT Masa PPh Pasal 25).
Untuk SPT Masa PPN harus dilengkapi data mengenai :
  1. jumlah penyerahan;
  2. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
  3. jumlah Pajak Keluaran;
  4. jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan;
  5. jumlah kekurangan atau kelebihan pajak;
  6. tanggal penyetoran; dan
  7. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.
Untuk SPT Masa PPN bagi Pemungut harus dilengkapi data mengenai :
  1. jumlah Dasar Pengenaan Pajak;
  2. jumlah pajak yang dipungut;
  3. jumlah pajak yang disetor;
  4. tanggal pemungutan;
  5. tanggal penyetoran; dan
  6. data lainnya yang terkait dengan kegiatan usaha Wajib Pajak.

Dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT
(PER - 02/PJ/2019)

Dokumen yang harus dilampirkan dalam SPT :

SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan :
  1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29, dalam hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29,
  2. Surat Setoran Pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan SSP atas PPh Pasal 26 ayat (4), dalam hal terdapat setoran PPh Pasal 26 ayat (4) oleh BUT
  3. Laporan Keuangan atau Laporan Keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik, berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri (bukan Neraca dan Laporan Laba Rugi konsolidasi grup) beserta rekonsiliasi laba rugi fiskal,
  4. Laporan Keuangan dari Badan Usaha di Luar Negeri yang Kepemilikan Sahamnya Mulai dari 50%, apabila WP memiliki penyertaan modal pada badan usaha luar negeri,
  5. Laporan Keuangan Konsolidasi atau Kombinasi Kantor Pusat BUT,
  6. Daftar Nominatif atas Pengeluaran Biaya Promosi, 
  7. Daftar Nominatif terkait Biaya Entertainment, 
  8. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
  9. Penghitungan Peredaran Bruto & Pembayaran Final PP 46 Tahun 2013 & PP 23 Tahun 2018, apabila WP menggunakan penghitungan sesuai PP 46 Tahun 2013/PP 23 Tahun 2018,
  10. Dokumen Penentuan Harga Transfer, berupa ikhtisar dokumen induk dan dokumen lokal, dan tanda terima penyampaian Notifikasi/Laporan per Negara (CbCR),
  11. Laporan penghitungan besarnya perbandingan antara utang dan modal (DER), dan laporan utang swasta luar negeri,
  12. Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih,
  13. Daftar sarana dan fasilitas yang diberikan kepada pegawai sesuai Pasal 4 ayat (1) PMK 167/PMK.03/2018,
  14. Lembar penghitungan fasilitas pengurangan tarif PPh bagi Wajib Pajak dalam negeri (Pasal 31E UU PPh)
  15. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pembukuan :
  1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29,
  2. Laporan Keuangan yang telah diaudit, termasuk Neraca dan Laporan Laba Rugi Tahun Pajak yang bersangkutan dari Wajib Pajak itu sendiri berserta rekonsiliasi fiskalnya,
  3. Rekapitulasi peredaran bruto dan/atau penghasilan lain dan biaya, apabila Wajib Pajak menggunakan Norma penghitungan penghasilan neto
  4. Perhitungan Peredaran Bruto dan Pembayaran PPh Pasal 25 OPPT, apabila Wajib Pajak merupakan Orang Pribadi Pengusaha Tertentu
  5. Fotokopi formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya oleh pemberi kerja,
  6. Surat Kuasa Khusus dalam hal SPT tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris,
  7. Surat Keterangan Kematian, dalam hal SPT ditandatangani oleh ahli waris,
  8. Penghitungan kompensasi kerugian dalam hal terdapat sisa kerugian tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan,
  9. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan/atau memiliki NPWP sendiri,
  10. Penghitungan Peredaran Bruto & Pembayaran Final PP 46 Tahun 2013 & PP 23 Tahun 2018, dalam hal Wajib Pajak menggunakan penghitungan sesuai PP 46 tahun 2013 dan/atau PP 23 tahun 2018
  11. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah,
  12. Daftar penghitungan penyusutan dan/atau amortisasi fiskal,
  13. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.
SPT Tahunan PPh wajib Pajak Orang Pribadi yang menyelenggarakan pencatatan :
  1. Jumlah peredaran atau penerimaan bruto setiap bulan selama setahun,
  2. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29,
  3. Surat Kuasa Khusus dalam hal SPT tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris,
  4. Fotokopi formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2, dalam hal Wajib Pajak menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya oleh pemberi kerja,
  5. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan/atau memiliki NPWP sendiri,
  6. Daftar susunan keluarga yang menjadi tanggungan Wajib Pajak,
  7. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah,
  8. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25
SPT Tahunan PPh wajib Pajak Orang Pribadi tidak melakukan kegiatan usaha / pekerjaan bebas :
  1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 29 yang seharusnya dalam hal terdapat kekurangan pajak yang terutang, kecuali ada izin untuk mengangsur atau menunda pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 29,
  2. Surat Kuasa Khusus dalam hal SPT tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris,
  3. Fotokopi formulir 1721-A1 dan/atau 1721-A2 dan/atau bukti potong PPh Pasal 21, dalam hal Wajib Pajak menerima penghasilan sehubungan dengan pekerjaan yang sudah dipotong pajaknya oleh pemberi kerja,
  4. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang oleh masing-masing pihak bagi Wajib Pajak yang kawin dengan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan dan/atau memiliki NPWP sendiri,
  5. Bukti setoran zakat atas penghasilan yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk dan disahkan oleh Pemerintah,
  6. Lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menjelaskan penghitungan besarnya penghasilan kena pajak atau besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25.
SPT Masa PPh Pasal 21 dan 26 :
  1. Bukti pembayaran PPh Pasal 21/26 dan/atau Bukti Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau sarana administrasi lain.
  2. Formulir 1721-I s.d. 1721-V
  3. Surat Kuasa Khusus dalam hal SPT tahunan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, atau Surat Keterangan Kematian dari Instansi yang berwenang dalam hal ditandatangani oleh Ahli Waris,
  4. Legalisasi fotokopi Surat Keterangan Domisili dan tanda terima SKD WPLN, dalam hal terdapat transaksi PPh Pasal 26 yang menggunakan tarif tax treaty.
SPT Masa PPh Pasal 22
Badan usaha industri tertentu:
  1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang harus disetor,
  2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
  3. Daftar bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22,
  4. Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22,
  5. Rincian retur penjualan, dalam hal ada retur penjualan.
Bendaharawan pemerintah/badan lain:
  1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang harus disetor,
  2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
  1. Bank Devisa :
    1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 22 impor.
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
    3. Daftar Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 22 impor.
  2. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai:
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang harus disetor.
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
    3. Daftar bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
    4. Bukti Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22.
    5. Risalah lelang, dalam hal pelaksanaan lelang.
  3. Pertamina:
    1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 22.
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
    3. Daftar Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan Pasal 22.
SPT Masa PPh Pasal 23 dan 26 :
  1. Bukti pembayaran PPh Pasal 23/26 dan/atau Bukti Pemindahbukuan, Surat Setoran Pajak, atau sarana administrasi lain,
  2. Daftar bukti pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan/atau Pasal 26,
  3. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 23,
  4. Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26,
  5. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
  6. Legalisasi Fotokopi Surat Keterangan Domisili dan tanda terima SKD WPLN yang masih berlaku, dalam hal terdapat transaksi PPh Pasal 26 yang menggunakan tarif tax treaty.
SPT Masa PPh Pasal 25 untuk Wajib Pajak baru kecuali Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, dan Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan tidak teratur :
  1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 25,
  2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
  3. Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang bulan bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2) atas :
  1. Hadiah Undian :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas hadiah undian,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas hadiah undian.
  2. Bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia, dan Jasa Giro :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan, diskonto Sertifikat Bank Indonesia, dan jasa giro,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Daftar Bukti Pemotongan/Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas bunga deposito/tabungan diskonto SBI, jasa giro.
  3. Bunga dan/atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN):
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas Bunga dan/atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN),
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti Pemotongan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) atas Bunga dan/atau Diskonto Obligasi dan Surat Berharga Negara (SBN).
  4. Transaksi penjualan saham di bursa efek :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas transaksi penjualan saham di bursa efek,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Daftar nilai penjualan saham per hari bursa,
    4. Daftar perantara pedagang efek pemungut Pajak Penghasilan atas penghasilan dari penjualan saham.
  5. Transaksi penjualan obligasi :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas transaksi penjualan obligasi,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Daftar nilai penjualan obligasi per hari,
    4. Daftar perantara pedagang efek pemungut Pajak Penghasilan atas penghasilan dari penjualan obligasi.
  6. Persewaan tanah dan/atau bangunan, bagi penyewa sebagai pemotong pajak :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas persewaan tanah dan/atau bangunan,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas persewaan tanah dan/atau bangunan.
  7. Persewaan tanah dan/atau bangunan, bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha persewaan atas tanah dan/atau bangunan dan Pajak Penghasilan yang terutang harus disetor sendiri :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas  persewaan tanah dan/atau bangunan,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
  8. Penyerahan Jasa Konstruksi, bagi penerima jasa sebagai pemotong pajak :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas jasa konstruksi.
  9. Penyerahan jasa konstruksi, bagi Wajib Pajak yang bergerak di bidang usaha jasa konstruksi dan Pajak Penghasilan yang terutang harus disetor sendiri :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas jasa konstruksi,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
  10. Bunga simpanan Koperasi :
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas bunga simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti Pemungutan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) atas Bunga Simpanan yang Dibayarkan oleh Koperasi kepada Anggota Koperasi Orang Pribadi;
  11. Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
    1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (2) atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti Pemungutan PPh Final Pasal 4 Ayat (2) atas Dividen yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri.
SPT Masa PPh Pasal 15 atas :
  1. Imbalan yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan pelayaran dalam negeri:
    1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan atas imbalan yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan pelayaran dalam negeri,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas imbalan yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan pelayaran dalam negeri.
  2. Imbalan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal oleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri dan Pajak Penghasilan yang terutang harus disetor sendiri:
    1. Surat Setoran Pajak atas Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri atas imbalan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk penyewaan kapal oleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dalam negeri,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
  3. Imbalan charter kapal laut dan/atau pesawat udara yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri :
    1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan atas imbalan charter kapal laut dan/atau pesawat udara yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas imbalan charter kapal laut dan/atau pesawat udara yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri,
    4. Fotokopi Surat Keterangan Domisili yang masih berlaku, dalam hal pengenaan pajaknya dihitung berdasarkan tarif Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B).
  4. Imbalan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk charter kapal laut dan/atau pesawat udara oleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri dan Pajak Penghasilan yang terutang harus disetor sendiri :
    1. Surat Setoran Pajak atas Pajak Penghasilan yang dibayar sendiri atas imbalan yang diterima atau diperoleh sehubungan dengan pengangkutan orang dan/atau barang termasuk charter kapal laut dan/atau pesawat udara oleh Wajib Pajak perusahaan pelayaran dan/atau penerbangan luar negeri,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak.
  5. Imbalan charter pesawat udara yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan penerbangan dalam negeri :
    1. Surat Setoran Pajak Pajak Penghasilan atas imbalan charter pesawat udara yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan penerbangan dalam negeri,
    2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak,
    3. Bukti pemotongan Pajak Penghasilan atas imbalan charter pesawat udara yang dibayarkan atau terutang kepada perusahaan penerbangan dalam negeri.
SPT Masa PPN dan PPnBM :
  1. Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah,
  2. Surat Kuasa Khusus, dalam hal SPT Masa ditandatangani oleh bukan Pengusaha Kena Pajak,
  3. Daftar rincian kendaraan bermotor bagi Pengusaha Kena Pajak dalam mata rantai distribusi kendaraan bermotor.
SPT Masa dan Tahunan sebagaimana dimaksud dalam PER-02/PJ/2019 harus dilengkapi dan/atau dilampiri juga dengan keterangan dan/atau dokumen tertentu lain, yang diperlukan atau disebutkan dalam SPT atau petunjuk pengisiannya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.


Bentuk SPT  PPh Badan
(PER - 34/PJ/2010 jo. PER - 26/PJ/2013 jo. PER - 19/PJ/2014 jo. PER - 36/PJ/2015, jo. PER - 30/PJ/2017)

Bentuk SPT yang harus digunakan oleh Wajib Pajak Badan dapat dilihat pada lampiran PER-19/PJ/2014. Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (Formulir 1771 dan Lampirannya) dan Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan bagi Wajib Pajak yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dollar Amerika Serikat (Formulir 1771/$ dan Lampirannya) beserta Petunjuk Pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I dan Lampiran II Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2014. Dalam PER-30/PJ/2017 tidak terdapat perubahan Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, sehingga masih mengacu kepada PER-9/PJ/2014.


Bentuk SPT  PPh Orang Pribadi
(PER - 34/PJ/2010 jo. PER - 26/PJ/2013 jo. PER - 19/PJ/2014 jo. PER - 36/PJ/2015 jo. PER - 30/PJ/2017)

SPT yang digunakan oleh orang pribadi yang berstatus sebagai pekerja tidak sama dengan SPT yang digunakan oleh orang pribadi yang menjalankan usaha. Berikut adalah ketentuannya :

Formulir 1770
Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (Formulir 1770 dan Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan :
  1. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
  2. dari satu atau lebih pemberi kerja;
  3. yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final; dan/atau
  4. dari dalam negeri lainnya; dan/atau
  5. dari luar negeri.
Formulir 1770 S
Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sederhana (Formulir 1770 S dan Lampirannya) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan :
  1. dari satu atau lebih pemberi kerja;
  2. dari dalam negeri lainnya; dan/atau
  3. yang dikenakan PPh Final dan/atau Bersifat Final.
  4. dari luar negeri.
Formulir 1770 SS
Bentuk Formulir SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi Sangat Sederhana (Formulir 1770 SS) bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan selain dari usaha dan/atau pekerjaan bebas dengan jumlah penghasilan bruto tidak lebih dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun.


Bentuk SPT PPh Pasal 21
(PER - 14/PJ/2013)

Bentuk SPT yang harus digunakan oleh Pemberi Kerja sehubungan dengan pemotongan pajak atas penghasilan pegawainya adalah SPT 1721 dan lampirannya. Bentuk SPT tersebut dapat dilihat pada lampiran PER-14/PJ/2013.

SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 baik dalam bentuk formulir kertas (hard copy) maupun e-SPT dapat digunakan oleh Pemotong yang :
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  2. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  3. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  4. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya tidak lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak
SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT wajib digunakan oleh Pemotong yang :
  1. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) orang dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  2. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26 selain pemotongan PPh sebagaimana dimaksud pada huruf a dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  3. melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (Final) dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak; dan/atau
  4. melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti Pbk yang jumlahnya lebih dari 20 (dua puluh) dokumen dalam 1 (satu) masa pajak
Pemotong yang telah menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk e-SPT tidak diperbolehkan lagi menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) untuk masa-masa pajak berikutnya

Wajib pajak dianggap tidak menyampaikan SPT masa 21/26 yaitu dalam hal :
  1. Dalam hal pemotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) PER 14/2013 tidak menyampaikan dalam bentuk e-SPT
  2. Pemotong dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26 dalam hal tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PER 14/2013
Wajib pajak/pemotong yang masuk kriteria tersebut akan dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


Bentuk SPT  PPN
(PER - 11/PJ/2013 jo. PER - 25/PJ/2014)

Bentuk SPT yang harus digunakan oleh PKP untuk melaporkan kewajiban perpajakannya di bidang PPN dapat dilihat pada lampiran PER-11/PJ/2013. Dalam PER-11/PJ/2013 tersebut, antara lain ditegaskan:

Setiap PKP wajib menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik, kecuali PKP orang pribadi yang:
  1. melaporkan tidak lebih dari 25 (dua puluh lima) dokumen (Faktur Pajak/dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dan/atau Nota Retur/Nota Pembatalan) pada setiap Lampiran SPT dalam 1 (satu) Masa Pajak; dan
  2. jumlah seluruh penyerahan barang dan jasanya dalam 1 (satu) Masa Pajak kurang dari Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah), dapat menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) atau dalam bentuk data elektronik.
PKP dianggap tidak menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam hal SPT Masa PPN 1111 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) tidak disampaikan dalam bentuk data elektronik.

SPT Masa PPN 1111 terdiri dari:
  1. Induk SPT Masa PPN 1111- Formulir 1111 (F.1.2.32.04); dan
  2. Lampiran SPT Masa PPN 1111:
    1. Formulir 1111 AB - Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan (D.1.2.32.07);
    2. Formulir 1111 A1 - Daftar Ekspor BKP Berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP (D.1.2.32.08);
    3. Formulir 1111 A2 - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak (D.1.2.32.09);
    4. Formulir 1111 B1 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean (D.1.2.32.10);
    5. Formulir 1111 B2 - Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri (D.1.2.32.11); dan
    6. Formulir 1111 B3 - Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dikreditkan atau yang Mendapat Fasilitas (D.1.2.32.12),
SPT Masa PPN 1111 DM terdiri dari :
  1. Induk SPT Masa PPN 1111 DM - Formulir 1111 DM (F.1.2.32.05); dan
  2. Lampiran SPT Masa PPN 1111 DM:
    1. Formulir 1111 A DM (D.1.2.32.13) - Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri Dengan Faktur Pajak; dan
    2. Formulir 1111 R DM (D.1.2.32.14) - Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh PKP yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan
SPT  Masa PPN 1107 PUT terdiri dari :
  1. Induk SPT - Formulir 1107 PUT (F.1.2.32.02);
  2. Lampiran SPT  Masa PPN 1107 PUT
    1. Lampiran 1 Daftar PPN dan PPnBM yang Dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah – Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03);
    2. Lampiran 2 Daftar PPN dan PPnBM yang Dipungut oleh Selain Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04).

Dokumen Yang Disyaratkan Dalam Restitusi PPN
(PER - 11/PJ/2013 jo. PER - 25/PJ/2014 Pasal 8A)

Dalam hal SPT Masa PPN 1111 Lebih Bayar dan dimintakan pengembalian (restitusi) dengan pengembalian pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C UU KUP, SPT PPN 1111 harus dilampiri dengan seluruh dokumen dalam bentuk hardcopy berupa:
  1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB), Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak/Barang Kena Pajak Tidak Berwujud sesuai Formulir 1111 A1;
  2. Faktur Pajak Keluaran dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sesuai Formulir 1111 A2;
  3. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atas Impor BKP dan/atau  SSP atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, sesuai formulir 1111 B1
  4. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sesuai formulir 1111 B2
  5. Faktur Pajak Masukan dan Nota Retur/Nota Pembatalan, sesuai formulir 1111 B3
WP Dengan Persyaratan Tertentu yang diberikan Pengembalian Pendahuluan
(Pasal 17D UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 39/PMK.03/2018 jo. PMK 209/PMK.03/2021)
 
Wajib Pajak dengan persyaratan tertentu adalah Wajib Pajak sebagai berikut :
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi;
  2. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah);
  3. Wajib Pajak badan yang menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah); atau 
  4. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai lebih bayar restitusi dengan jumlah lebih bayar paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Untuk dapat memperoleh Pengembalian Pendahuluan, WP Persyaratan Tertentu harus mengajukan permohonan dengan cara mengisi kolom Pengembalian Pendahuluan dalam SPT. 
 
Pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak kepada Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dilakukan setelah Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian.
 
Penelitian dilakukan atas:
a. kebenaran penulisan dan penghitungan pajak, yang dilakukan dengan memastikan kebenaran penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan/atau pembagian suatu bilangan dalam penghitungan pajak;
b. bukti pemotongan atau bukti pemungutan PPh yang dikreditkan WP pemohon, yang dilakukan dengan cara memastikan bukti pemotongan atau bukti pemungutan PPh telah dilaporkan dalam SPT Wajib Pajak pemohon dan SPT pemotong atau pemungut pajak;
Penghitungan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan penelitian atas bukti pemotongan atau bukti pemungutan PPh memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dilaporkan dalam SPT  pemotong atau pemungut pajak dan tidak dikreditkan dalam SPT Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
- bukti pemotongan atau bukti pemungutan Pajak Penghasilan yang dikreditkan dalam SPT Wajib Pajak pemohon dan belum dilaporkan dalam SPT Wajib Pajak pemotong atau pemungut, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak.
c. Pajak Masukan yang dikreditkan dan/atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak pemohon, yakni dengan cara memastikan:
1. Pajak Masukan yang dikreditkan oleh Wajib Pajak Persyaratan Tertentu telah dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak; dan/atau
2. Pajak Masukan yang dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Persyaratan Tertentu telah divalidasi dengan NTPN.
Penghitungan kelebihan pembayaran pajak berdasarkan penelitian atas Pajak Masukan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
- Faktur Pajak yang dikreditkan Wajib Pajak pemohon dan tidak dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak; dan/atau
- Faktur Pajak yang dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak dan tidak dikreditkan Wajib Pajak pemohon, tidak diperhitungkan sebagai bagian dari kelebihan pembayaran pajak.
 
Berdasarkan hasil penelitian, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak paling lama:
  1. 15 (lima belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan orang pribadi;
  2. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan badan; dan
  3. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap, untuk permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai.
Apabila setelah lewat jangka waktu sebagaimana dimaksud, Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan keputusan atau pemberitahuan, permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan.

Dalam hal permohonan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dianggap dikabulkan sebagaimana dimaksud di atas, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPPKP setelah jangka waktu tersebut berakhir.

SKPPKP sebagaimana dimaksud di atas tidak diterbitkan apabila hasil penelitian menyatakan tidak lebih bayar, lampiran SPT tidak lengkap, penulisan dan penghitungan pajak tidak benar, kredit pajak atau Pajak Masukan berdasarkan sistem aplikasi Direktorat Jenderal Pajak tidak benar, pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak benar, Wajib Pajak dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Dalam hal SKPPKP tidak diterbitkan sebagaimana dimaksud di atas, kepada Wajib Pajak diberitahukan secara tertulis.
 

Pemeriksaan sebelum melakukan pengembalian pendahuluan
(Pasal 17D UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 39/PMK.03/2018 jo. PMK 209/PMK.03/2021)
 
DJP hanya melakukan penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari WP dengan persyaratan tertentu. Namun demikian DJP dapat melakukan pemeriksaan terhadap WP tersebut dan menerbitkan SKP, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak. Apabila hasil pemeriksaan tersebut DJP menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), maka jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen)dan jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Kewajiban Memberikan Keterangan atau Bukti
(Pasal 35 & 35A UU Nomor 28 Tahun 2007)

Apabila dalam menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperlukan keterangan atau bukti dari bank, akuntan publik, notaris, konsultan pajak, kantor administrasi, dan/atau pihak ketiga lainnya, yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan pajak, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, atas permintaan tertulis dari Direktur Jenderal Pajak, pihak-pihak tersebut wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta.

Setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan kepada Direktorat Jenderal Pajak yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan ketentuan 
 
Dalam hal pihak-pihak tersebut terikat oleh kewajiban merahasiakan, untuk keperluan pemeriksaan, penagihan pajak, atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, kewajiban merahasiakan tersebut ditiadakan, kecuali untuk bank, kewajiban merahasiakan ditiadakan atas permintaan tertulis dari Menteri Keuangan.
 
Yang dimaksud dengan "konsultan pajak" adalah setiap orang yang dalam lingkungan pekerjaannya secara bebas memberikan jasa konsultasi kepada Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam rangka pengawasan kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakan sebagai konsekuensi penerapan sistem self assessment, data dan informasi yang berkaitan dengan perpajakan yang bersumber dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain sangat diperlukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Data dan informasi dimaksud adalah data dan informasi orang pribadi atau badan yang dapat menggambarkan kegiatan atau usaha, peredaran usaha, penghasilan dan/atau kekayaan yang bersangkutan, termasuk informasi mengenai nasabah debitur, data transaksi keuangan dan lalu lintas devisa, kartu kredit, serta laporan keuangan dan/atau laporan kegiatan usaha yang  disampaikan kepada instansi lain di luar Direktorat Jenderal Pajak.
Penghapusan Piutang Pajak
(Pasal 24 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 68/PMK.03/2012)

1. Piutang Pajak yang tercantum dalam:
  1. Surat Tagihan Pajak (STP);
  2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);
  3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
  4. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);
  5. Surat Ketetapan Pajak (SKP);
  6. Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT);
  7. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.
  Yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah; atau
     
2. Piutang pajak Wajib Pajak Orang Pribadi yang menurut data administrasi Kantor Pelayanan Pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
  1. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak meninggal dunia dan tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;
  2. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan;
  3. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
  4. dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
  5. hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
     
3. Piutang pajak Wajib Pajak Badan yang menurut data administrasi Kantor Pelayanan Pajak tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, disebabkan karena:
  a. Wajib Pajak bubar, likuidasi, atau pailit dan Penanggung Pajak tidak dapat ditemukan;
  b. hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;
  c. dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau
  d. hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Untuk memastikan keadaan Wajib Pajak atau piutang pajak yang tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi, wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan hasilnya dilaporkan dalam Laporan Hasil Penelitian. Laporan Hasil Penelitian harus menggambarkan keadaan Wajib Pajak atau Piutang Pajak yang bersangkutan sebagai dasar untuk menentukan besarnya Piutang Pajak yang tidak dapat ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapus.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 55/PMK.03/2016 tentang Tata Cara Permintaan Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan untuk Kepentingan Penerimaan Negara.
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-3/PJ/2011 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan Melalui Pengamatan atau Kegiatan Intelijen Perpajakan.
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2019 tentang Pelaksanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan Dan Pengamatan
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2013 tentang Pencabutan Beberapa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Terkait dengan Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2014 tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-272/PJ/2002 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengamatan, Pemeriksaan Bukti Permulaan, dan Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2014 tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2012 Tentang Pedoman Penggunaan Metode Dan Teknik Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan.
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan.
  12. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-23/PJ/2015 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Pengertian Pembukuan
(Pasal 28 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
 
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan.
 
Wajib Pajak yang dikecualikan dari kewajiban menyelenggarakan, tetapi wajib melakukan pencatatan, adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Jangka Waktu Pembetulan
(Pasal 16 (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 11/PMK.03/2013)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan pembetulan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan pembetulan yang diajukan Wajib Pajak.
 
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat, tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan yang diajukan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak Wajib menerbitkan surat keputusan pembetulan sesuai dengan permohonan Wajib Pajak Keputusan tersebut di atas dapat berupa menambahkan, mengurangkan atau menghapuskan jumlah pajak yang terutang dan/atau memperbaiki kesalahan dan kekeliruan lainnya, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
(Pasal 17 (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 187/PMK.03/2015)

Permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang kepada Direktur Jenderal Pajak dalam hal :
a. terdapat pembayaran pajak yang bukan merupakan objek pajak yang terutang atau yang seharusnya tidak terutang;
b. terdapat kelebihan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pajak dalam rangka impor;
c. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang mengakibatkan pajak yang dipotong atau dipungut lebih besar daripada pajak yang seharusnya dipotong atau dipungut;
d. terdapat kesalahan pemotongan atau pemungutan yang bukan merupakan objek pajak; atau
e. terdapat kelebihan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan terkait penerapan P3B bagi Subjek Pajak Luar Negeri.

Dalam hal terjadi kesalahan pembayaran pajak oleh Wajib Pajak atas pajak yang seharusnya tidak terutang, pembayaran tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dengan surat permohonan dan harus dilampiri, antara lain :
a. fotokopi bukti pembayaran pajak berupa surat setoran pabean cukai dan pajak atau sarana administrasi lain yang dipersamakan dengan surat setoran pabean cukai dan pajak;
b. fotokopi SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, SPP, atau dokumen yang berisi pembatalan impor yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang;
c. fotokopi keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali yang terkait dengan SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP, dalam hal diajukan keberatan, banding dan/atau peninjauan kembali terhadap SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP;
d. perhitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
e. alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.

Permohonan tersebut disampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau berdomisili.


Ketentuan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
(Pasal 17 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 187/PMK.03/2015)

Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terkait dengan :
a. Pajak Penghasilan, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Wajib Pajak yang dipotong atau dipungut dengan mengajukan permohonan;
b. Pajak Pertambahan Nilai, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang dipungut, sepanjang pihak yang dipungut bukan Pengusaha Kena Pajak, dengan mengajukan permohonan;
c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah, pajak yang seharusnya tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh pihak yang dipungut dengan mengajukan permohonan.

Permohonan pengembalian pajak sebagaimana yang dimaksud di atas harus dilampiri dengan dokumen berupa :
  • asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak, atau Faktur Pajak, atau dokumen lain yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;
  • penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  • alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut melalui bentuk usaha tetap di Indonesia dengan mengajukan permohonan, atas permohonan ini harus dilampiri dengan dokumen berupa :
  • asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;
  • penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  • alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  • surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai  biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri.
Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap Subjek Pajak Luar Negeri yang tidak memiliki bentuk usaha tetap di Indonesia, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh Subjek Pajak Luar Negeri tersebut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan, atas permohonan ini harus dilampiri dengan dokumen berupa :
  • asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;
  • penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  • alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang;
  • surat permohonan dari Subjek Pajak Luar Negeri;
  • surat kuasa dari Subjek Pajak Luar Negeri yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan; dan
  • surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri.
Dalam hal terjadi kesalahan pemotongan atau pemungutan pajak terhadap orang pribadi atau badan yang tidak diwajibkan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, pajak yang seharusnya tidak dipotong atau tidak dipungut tersebut dapat diminta kembali oleh orang pribadi atau badan tersebut melalui Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan dengan mengajukan permohonan, atas permohonan ini harus dilampiri dengan dokumen berupa :
  • asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak, atau Faktur Pajak atau dokumen lain yang dipersamakan dengan Faktur Pajak;
  • penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  • alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  • surat kuasa dari pihak yang dipotong atau dipungut kepada Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan atau Pengusaha Kena Pajak yang melakukan pemungutan.
Dalam hal Wajib Pajak yang melakukan pemotongan atau pemungutan tidak dapat ditemukan yang disebabkan antara lain karena pembubaran usaha, permohonan diajukan secara langsung oleh pihak yang dipotong atau dipungut, atas permohonan ini harus dilampiri dengan dokumen berupa :
  • asli bukti pemotongan atau pemungutan pajak;
  • penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang;
  • alasan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang; dan
  • surat pernyataan Subjek Pajak Luar Negeri bahwa pajak yang dimintakan pengembalian belum diperhitungkan dengan pajak yang terutang di luar negeri dan/atau belum dibebankan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak di luar negeri.
Direktur Jenderal Pajak melakukan penelitian terhadap permohonan pengembalian pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak surat permohonan Wajib Pajak diterima secara lengkap. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila berdasarkan laporan hasil penelitian terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang.
 
Apabila berdasarkan laporan hasil penelitian sebagaimana menyatakan bahwa tidak terdapat pajak yang seharusnya tidak terutang, Direktur Jenderal Pajak harus memberitahukan secara tertulis.
Struktur
(Pasal 36C UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 2 PMK 63/PMK.09/2016 jo PMK 2/PMK/09/2023)
 
Komposisi keanggotaan Komite Pengawas Perpajakan terdiri atas:
a. ketua merangkap anggota yang berasal dari luar Kementerian;
b. wakil ketua merangkap anggota yang berasal dari luar Kementerian;
c. anggota yang berasal dari luar Kementerian yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang pajak;  
d. anggota yang berasal dari luar Kementerian yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang kepabeanan dan cukai;
e. anggota yang berasal dari luar Kementerian yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang hukum, ekonomi, dan/atau keuangan;
f. Sekretaris Jenderal; dan
g. Inspektur Jenderal.
 
Komposisi keanggotaan Komite Pengawas Perpajakan sebagaimana paling sedikit mencakup 3 (tiga) orang yang bukan pegawai negeri sipil.
 
Anggota Komite Pengawas Perpajakan selain Sekretaris Jenderal dan Inspektur Jenderal, ditunjuk dan ditetapkan oleh Menteri untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat ditunjuk kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
 
Menteri dapat memberhentikan anggota Komite Pengawas Perpajakan sebelum jangka waktu 3 (tiga) tahun.
Ketentuan Pokok Pencatatan
(Pasal 28 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 54/PMK.03/2021)
 
Pencatatan terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak terutang.
 
Pencatatan harus dilakukan:
a. dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan
b. di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab dan satuan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan
c. dalam suatu Tahun Pajak berupa jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember; dan
d. secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto
 
Bagi Wajib Pajak yang mempunyai lebih dari 1 (satu) jenis usaha dan/atau pekerjaan bebas, tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk setiap jenis dan/atau tempat usaha dan/atau pekerjaan bebas yang bersangkutan.
 
Pencatatan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi secara elektronik maupun non-elektronik.
 
Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data, wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas bagi Wajib Pajak orang pribadi.
Sanksi bagi Pejabat
(Pasal 41 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Sanksi yang dapat dikenakan terhadap pejabat yang melakukan pelanggaran atas larangan mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak dapat diancam sanksi pidana sebagai berikut :
a. Karena kealpaan, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah).

Untuk menjamin bahwa kerahasiaan mengenai perpajakan tidak akan diberitahukan kepada pihak lain dan supaya Wajib Pajak dalam memberikan data dan keterangan tidak ragu-ragu, dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Perpajakan, perlu adanya sanksi pidana bagi pejabat yang bersangkutan yang menyebabkan terjadinya pengungkapan kerahasiaan tersebut.

Pengungkapan kerahasiaan dilakukan karena kealpaan dalam arti lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan sehingga kewajiban untuk merahasiakan keterangan atau bukti-bukti yang ada pada Wajib Pajak yang dilindungi oleh Undang-Undang Perpajakan dilanggar. Atas kealpaan tersebut, pelaku dihukum dengan hukuman yang setimpal.
   
b. Karena kesengajaan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Perbuatan atau tindakan yang dilakukan dengan sengaja dikenai sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan perbuatan atau tindakan yang dilakukan karena kealpaan agar pejabat yang bersangkutan lebih berhati-hati untuk tidak melakukan perbuatan membocorkan rahasia Wajib Pajak.

Ketentuan ini berlaku pula terhadap seseorang yang menyebabkan tidak dipenuhinya kewajiban pejabat tersebut.

Penuntutan terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud di atas hanya dilakukan atas pengaduan orang yang kerahasiaannya dilanggar.
Urutan Penagihan
(UU Nomor 19 Tahun 2000)

Contoh urutan penagihan pajak jika diasumsikan WP tidak beritikad baik untuk melunasi utang pajaknya :
 
Pengertian Pencatatan
(Pasal 28 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo PMK 54/PMK.03/2021)

Pencatatan wajib dilakukan oleh:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha dan/atau pekerjaan bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan memilih untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas; dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.
Hak WP terkait dengan Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 26 PMK 8/PMK.03/2013)

Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap surat permohonan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum diterbitkan surat keputusan terkait permohonan Wajib Pajak.
 
Pencabutan terhadap surat permohonan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 
a. pencabutan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan;
b. pencabutan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
c. surat pencabutan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permohonan, Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan jenis permohonan yang dicabut.
 
Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak. Untuk itu Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis atas permintaan Wajib Pajak Pajak.
Sanksi bagi Pihak Lain
(Pasal 41A, Pasal 41B, Pasal 41C, dan Pasal 43 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Pihak lain yang dapat dikenakan sanksi pidana perpajakan :
a. setiap orang yang wajib memberikan keterangan atau bukti yang diminta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 UU KUP tetapi dengan sengaja tidak memberi keterangan atau bukti, atau memberi keterangan atau bukti yang tidak benar dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah). (Pasal 41A UU Nomor 28 Tahun 2007)

Ketentuan ini berlaku juga bagi pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (Pasal 43 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007)
   
b. setiap orang yang dengan sengaja menghalangi atau mempersulit penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah). (Pasal 41B UU Nomor 28 Tahun 2007)

Ketentuan ini berlaku juga bagi pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (Pasal 43 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007)
   
c. setiap orang yang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) UU KUP dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 41C ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)
   
d. setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan tidak terpenuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (1) UU KUP dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (Pasal 41C ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007)
   
e. setiap orang yang dengan sengaja tidak memberikan data dan informasi yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35A ayat (2) UU KUP dipidana dengan pidana kurungan paling lama 10 (sepuluh) bulan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah). (Pasal 41C ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2007)
   
f. setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan data dan informasi perpajakan sehingga menimbulkan kerugian kepada negara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (Pasal 41C ayat (4) UU Nomor 28 Tahun 2007)
Definisi
(Pasal 36C UU Nomor 28 Tahun 2007  jo. PMK 117/PMK.01/2018 jo PMK.2.PMK.09/2023)

Komite Pengawas Perpajakan

Komite Pengawas Perpajakan yang adalah komite nonstruktural yang bersifat independen dalam melakukan fungsi pengawasan aspek strategis bidang Perpajakan.
 
Dalam melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud di atas, Komite Pengawas Perpajakan juga melakukan perumusan kebijakan perpajakan dan instansi yang berwenang menyelenggarakan administrasi perpajakan baik di bidang pajak, kepabeanan, dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan. Komite Pengawas Perpajakan bertanggung jawab kepada  Menteri Keuangan.

Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan

Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan merupakan unit organisasi di lingkungan Kementerian Keuangan yang secara fungsional bertanggung jawab kepada Ketua Komite Pengawas Perpajakan, dan secara administratif berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Sekretaris Jenderal.
 
Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan mempunyai tugas memberikan dukungan teknis dan administratif dalam pelaksanaan tugas Komite Pengawas Perpajakan.
Pengertian Pemeriksaan
(Pasal 1 angka 25 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pengertian  lain terkait dengan pemeriksaan : (184/PMK.03/2015 Pasal 1 jo. PMK 18/PMK.03/2021)
• Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, dan/atau tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak.
• Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.
• Pemeriksa Pajak adalah Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk melaksanakan Pemeriksaan.
• Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak adalah tanda pengenal yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak yang merupakan bukti bahwa orang yang namanya tercantum pada kartu tanda pengenal tersebut sebagai Pemeriksa Pajak.
• Surat Perintah Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SP2 adalah surat perintah untuk melakukan Pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
• Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan adalah surat pemberitahuan mengenai dilakukannya Pemeriksaan Lapangan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
• Surat Panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor adalah surat panggilan mengenai dilakukannya Pemeriksaan Kantor dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
• Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
• Data yang dikelola secara elektronik adalah data yang bentuknya elektronik, yang dihasilkan oleh komputer dan/atau pengolah data elektronik lainnya dan disimpan dalam disket, compact disk, tape backup, hard disk, atau media penyimpanan elektronik lainnya.
• Tempat Penyimpanan Buku, Catatan, dan Dokumen adalah tempat yang diselenggarakan oleh Wajib Pajak, perusahaan penyimpan arsip atau dokumen dan/atau yang diselenggarakan oleh pihak lain. 
• Penyegelan adalah tindakan menempatkan tanda segel pada tempat atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak yang digunakan atau patut diduga digunakan sebagai tempat atau alat untuk menyimpan buku atau catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain.
• Kertas Kerja Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat KKP adalah catatan secara rinci dan jelas yang dibuat oleh Pemeriksa Pajak mengenai prosedur Pemeriksaan yang ditempuh, data, keterangan, dan/atau bukti yang dikumpulkan, pengujian yang dilakukan dan simpulan yang diambil sehubungan dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
• Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat SPHP adalah surat yang berisi tentang temuan Pemeriksaan yang meliputi pos-pos yang dikoreksi, nilai koreksi, dasar koreksi, perhitungan sementara dari jumlah pokok pajak terutang dan perhitungan sementara dari sanksi administrasi.
• Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan adalah pembahasan antara Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak atas temuan Pemeriksaan yang hasilnya dituangkan dalam berita acara pembahasan akhir hasil Pemeriksaan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dan berisi koreksi pokok pajak terutang baik yang disetujui maupun yang tidak disetujui dan perhitungan sanksi administrasi.
• Tim Quality Assurance Pemeriksaan adalah tim yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pajak dalam rangka membahas hasil Pemeriksaan yang terbatas pada dasar hukum koreksi yang belum disepakati antara Pemeriksa Pajak dan Wajib Pajak dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan guna menghasilkan Pemeriksaan yang berkualitas.
• Laporan Hasil Pemeriksaan yang selanjutnya disingkat LHP adalah laporan yang berisi tentang pelaksanaan dan hasil Pemeriksaan yang disusun oleh Pemeriksa Pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Pemeriksaan.
• Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir yang selanjutnya disebut LHP Sumir adalah laporan tentang penghentian Pemeriksaan tanpa adanya usulan penerbitan surat ketetapan pajak.
• Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah Pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
• Pemeriksaan Ulang adalah Pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah diterbitkan surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan sebelumnya untuk jenis pajak dan masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak yang sama.
• Kuesioner Pemeriksaan adalah formulir yang berisikan sejumlah pertanyaan dan penilaian oleh Wajib Pajak yang terkait dengan pelaksanaan Pemeriksaan.
• Analisis Risiko adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai tingkat ketidakpatuhan Wajib Pajak yang berisiko menimbulkan hilangnya potensi penerimaan pajak.
Ketentuan Penyelenggaraan Pembukuan
(Pasal 28 UU Nomor 28 Tahun 2007)
  1. Pembukuan atau pencatatan tersebut harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
  2. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri Keuangan.
  3. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
  4. Perubahan terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak.
  5. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri atas catatan mengenai harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
  6. Pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
  7. Buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib Pajak badan.
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pemeriksaan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 239/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2018 Tentang Cara Lain Untuk Menghitung Peredaran Bruto
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2013 Tentang Standar Pemeriksaan
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-40/PJ/2013 Tentang Pengawasan Pengusaha Kena Pajak
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-30/PJ/2014 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-40/PJ/2013 Tentang Pengawasan Pengusaha Kena Pajak
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2014 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan
  12.  Instruksi Direktur Jenderal Pajak Nomor INS-04/PJ/2015 Tentang Penyelesaian Pemeriksaan Khusus Melalui Penghentian Pemeriksaan dengan Membuat Laporan Hasil Pemeriksaan Sumir Sebelum Penyampaian Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dalam Rangka Mendukung Tahun Pembinaan Wajib Pajak
  13. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ/2015 Tentang Rencana dan Strategi Pemeriksaan Tahun 2015
  14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-24/PJ/2015 Tentang Pedoman Penyusunan Laporan Hasil Pemeriksaan
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-27/PJ/2015 Tentang Pemeriksaan oleh Petugas Pemeriksa Pajak
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 74/PJ/2015 Tentang Pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung  Nomor 73 P/Hum/2013 Tentang Uji Materiil Terhadap Pasal-Pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 Tentang Tata Cara  Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 12/PJ/2016 Tentang Penegasan atas Pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 15/PJ/2018 Tentang Kebijakan Pemeriksaan
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan menjadi Undang-Undang
  2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 11/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pembetulan

 

Dasar Penagihan
(Pasal 18 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Yang menjadi dasar penagihan pajak adalah :
a. Surat Tagihan Pajak;
b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar;
c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan;
d. Surat Keputusan Pembetulan;
e. Surat Keputusan Keberatan;
f. Putusan Banding;
g. Putusan Peninjauan Kembali.
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah.

Pada dasarnya besarnya utang pajak dihitung sendiri oleh Wajib Pajak. Apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam penghitungan pajak terutang tersebut, maka Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan. Dalam hal tagihan pajak tersebut tidak dibayar pada tanggal jatuh tempo, penagihannya dapat dilakukan dengan Surat Paksa.
Usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan
(Pasal 63 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)
 
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka apabila:
  1. pada saat pelaksanaan Pemeriksaan ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan; atau
  2. Wajib Pajak menolak untuk dilakukan Pemeriksaan sesuai Pasal 36 atau Pasal 37 dan terhadap Wajib Pajak tersebut tidak dilakukan penghitungan penghasilan kena pajak secara jabatan.
Dalam hal Pemeriksaan yang dilakukan merupakan Pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 17B Undang-Undang KUP, usulan Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak tersebut.
Wewenang
(Pasal 36C UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 3 PMK 63/PMK.09/2016 jo. PMK 117/PMK.01/2018 jo PMK 2/PMK/09/2023)

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Komite Pengawas Perpajakan memiliki wewenang untuk:
a. meminta informasi kepada Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Inspektorat Jenderal sesuai dengan tugas dan fungsinya;
b. mengumpulkan informasi, saran, masukan, dan/atau aspirasi dari pihak selain yang dimaksud pada huruf a dalam rangka pelaksanaan fungsi pengkajian
c. menerima pengaduan Perpajakan dari pihak eksternal Kementerian;
d. memantau tindak lanjut rekomendasi hasil kajian yang disetujui Menteri;
e. memantau tindak lanjut penyelesaian pengaduan oleh Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, dan Inspektorat Jenderal; dan
f. melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melaksanakan tugas dan fungsi sepanjang tidak bertentangan dengan kode etik, prinsip benturan kepentingan, dan independensi.
 
Sedangkan Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan, dalam melaksanakan tugasnya, menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan kebijakan teknis dan program kerja pengawasan terhadap kebijakan perpajakan dan pelaksanaan administrasi perpajakan;
b. pelaksanaan pengamatan, pengkajian, dan penanganan pengaduan, masukan, dan mediasi masyarakat;
c. penyusunan konsep dan pelaksanaan pemantauan (monitoring) dan evaluasi atas saran dan/atau rekomendasi yang terkait dengan kebijakan perpajakan dan penyelenggaraan administrasi perpajakan;
d. pelaksanaan edukasi kepada masyarakat;
e. pelaksanaan manajemen data dan informasi;
f. penyusunan rencana strategis dan rencana kerja; dan
g. pengelolaan anggaran, organisasi dan tata laksana, sumber daya manusia, kepatuhan internal, risiko, kinerja, tata usaha, dan rumah tangga.
Jenis Pemeriksaan dan Jangka Waktunya
(Pasal 29 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. 17/PMK.03/2013 jo. 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Jenis Pemeriksaan sehubungan dengan pengujian kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak :
a. Pemeriksaan Kantor
Pemeriksaan Kantor adalah Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.

Pemeriksaan Kantor terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu paling lama paling lama 4 (empat) bulan, yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. Dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan, kecuali untuk Pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor tidak dapat diperpanjang.

Perpanjangan jangka waktu pengujian Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam hal ;
• Pemeriksaan Kantor diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
• Terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
• Ruang lingkup Pemeriksaan Kantor meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
• Berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
   
b. Pemeriksaan Lapangan
Pemeriksaan Lapangan adalah Pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pemeriksaan Lapangan terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Selanjutnya dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. dilakukan dalam hal:
  1. Pemeriksaan Lapangan diperluas ke Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak lainnya;
  2. terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga;
  3. ruang lingkup Pemeriksaan Lapangan meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau
  4. berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana Pemeriksaan.
Sedangkan terkait dengan:
  1. Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama Minyak dan Gas Bumi;
  2. Wajib Pajak dalam satu grup; atau
  3. Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan,
dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali sesuai dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.

Jangka waktu untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan pelaporan paling lama 2 (dua) bulan, yang dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.

Pemeriksaan Lapangan terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain dilakukan paling lama 4 (empat) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal LHP.

Pemeriksaan dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak, termasuk terhadap instansi pemerintah dan badan lain sebagai pemungut pajak atau pemotong pajak.
Kuasa
(Pasal 1 dan 2 PMK 229/PMK.03/2014)

Seorang kuasa adalah orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
 
Dalam melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus. Yang dimaksud dari kuasa khusus ialah Konsultan Pajak dan/atau karyawan Wajib Pajak.


Syarat  yang harus dipenuhi oleh seorang kuasa
(PP Nomor 74 Tahun 2011 jo. Pasal 4 PMK  229/PMK.03/2014)

Seorang kuasa harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
  • menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  • memiliki surat kuasa khusus dari Wajib Pajak yang memberi kuasa;
  • memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
  • telah menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak Terakhir; kecuali terhadap seorang kuasa yang tahun pajak terakhir belum memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan; dan
  • tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (PP Nomor 74 Tahun 2011)
Seseorang yang tidak memenuhi persyaratan di atas, tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa.

Yang dapat menjadi bukti bahwa seseorang menguasai ketentuan perundang-undangan perpajakan sehubungan dengan pemenuhan syarat menjadi seorang kuasa antara lain : (Pasal 5 229/PMK.03/2014)
a. Dalam hal seorang kuasa bukan konsultan pajak, seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sesuai Pasal 4 huruf a, apabila memiliki:
a. sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevet pajak;
b. ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
c. sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak.
b. Dalam hal seorang kuasa adalah konsultan pajak, seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, apabila memiliki izin praktik konsultan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk, dan harus menyerahkan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak.


Kelengkapan Dokumen dalam Surat Kuasa
(Pasal 6 PMK 229/PMK.03/2014)

Dalam hal seorang kuasa merupakan konsultan pajak, dokumen kelengkapan yang diwajibkan yaitu ;
a. fotokopi kartu izin praktik konsultan pajak;
b. surat pernyataan sebagai konsultan pajak;
c. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak; dan
d. fotokopi tanda terima penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir bagi kuasa yang telah memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan Pajak Penghasilan.
 
Dalam hal seorang kuasa merupakan karyawan Wajib Pajak. dokumen kelengkapan yang diwajibkan yaitu ;
a. fotokopi sertifikat brevet di bidang perpajakan, ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, atau sertifikat konsultan pajak.
b. fotokopi kartu Nomor Pokok Wajib Pajak.
c. fotokopi tanda terima penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak terakhir bagi kuasa yang telah memiliki kewajiban untuk menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
d. fotokopi daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dilaporkan Wajib Pajak.
Standar Pelaksanaan Pemeriksaan
(Pasal 8 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Pelaksanaan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilakukan sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu:
  1. Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
  2. Luas Pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan, permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan;
  3. Temuan Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
  4. Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim;
  5. Tim Pemeriksa Pajak dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun yang berasal dari instansi di luar Direktorat Jenderal Pajak yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tenaga ahli, seperti penterjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara;
  6. Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain;
  7. Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau ditempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa Pajak;
  8. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
  9. Pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan;

 

Prosedur pelaksanaan pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain
(Pasal 74 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Pelaksanaan Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilakukan sesuai dengan standar pelaksanaan Pemeriksaan, yaitu:
  • Pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama;
  • Luas Pemeriksaan disesuaikan dengan kriteria dilakukannya Pemeriksaan untuk tujuan lain;
  • Pemeriksaan dilakukan oleh tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim, dan seorang atau lebih anggota tim;
  • Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau di tempat lain yang dianggap perlu oleh Pemeriksa Pajak;
  • Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja;
  • Pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan;
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.09/2008 tentang Komite Pengawas Perpajakan.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 63/PMK.09/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 54/PMK.09/2008 Tentang Komite Pengawas Perpajakan.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 117/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Komite Pengawas Perpajakan.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 2/PMK.09/2023 tentang Komite Pengawas Peerpajakan 
Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan Pembahasan Akhir Pemeriksaan
(Pasal 41 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 PMK 18/PMK.03/2021)

Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus diberitahukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian SPHP yang dilampiri dengan daftar temuan hasil Pemeriksaan. Wajib Pajak wajib memberikan tanggapan tertulis atas SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan dalam bentuk:
  1. lembar pernyataan persetujuan hasil pemeriksaan dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh hasil Pemeriksaan; atau
  2. surat sanggahan, dalam hal Wajib Pajak tidak menyetujui sebagian atau seluruh hasil Pemeriksaan.
Dalam rangka melaksanakan pembahasan atas hasil Pemeriksaan yang tercantum dalam SPHP dan daftar temuan hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak harus diberikan hak hadir dalam Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan. 

Dalam hal terdapat hasil Pemeriksaan yang belum disepakati dalam risalah pembahasan, Wajib Pajak mengajukan permohonan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir dibuat setelah pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan dilaksanakan.

Tim Quality Assurance Pemeriksaan bertugas untuk:
  1. membahas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak pada saat Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan;
  2. memberikan simpulan dan keputusan atas perbedaan pendapat antara Wajib Pajak dengan Pemeriksa Pajak; dan
  3. membuat risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan yang berisi simpulan dan keputusan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada huruf b dan bersifat mengikat.
Risalah Pembahasan dan risalah Tim Quality Assurance Pemeriksaan digunakan oleh Pemeriksa Pajak sebagai dasar untuk membuat berita acara Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan yang dilampiri dengan ikhtisar hasil pembahasan akhir.
Standar Pelaporan Hasil Pemeriksaan
(Pasal 10 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Kegiatan Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan yaitu:
a. Laporan Hasil Pemeriksaan disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait dengan Pemeriksaan.
b. Laporan Hasil Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan antara lain mengenai :
1) Penugasan Pemeriksaan;
2) Identitas Wajib Pajak;
3) Pembukuan atau pencatatan Wajib Pajak;
4) Pemenuhan kewajiban perpajakan;
5) Data/informasi yang tersedia;
6) Buku dan dokumen yang dipinjam;
7) Materi yang diperiksa;
8) Uraian hasil Pemeriksaan;
9) Ikhtisar hasil Pemeriksaan;
10) Penghitungan pajak terutang;
11) Simpulan dan usul Pemeriksa Pajak.
 
Standar pelaporan hasil pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan untuk tujuan lain
(Pasal 76 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015)

Kegiatan Pemeriksaan untuk tujuan lain harus dilaporkan dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan yang disusun sesuai standar pelaporan hasil Pemeriksaan, yaitu:
a. Laporan Hasil Pemeriksaan disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup atau pos-pos yang diperiksa sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, memuat simpulan Pemeriksa Pajak dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait;
b. Laporan Hasil Pemeriksaan untuk tujuan lain antara lain mengenai :
1) Identitas Wajib Pajak;
2) Penugasan Pemeriksaan;
3) Dasar (tujuan) Pemeriksaan;
4) Buku dan dokumen yang dipinjam;
5) Materi yang diperiksa;
6) Uraian hasil Pemeriksaan;
7) Simpulan dan usul Pemeriksa.
Penolakan Pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dengan tujuan lain
(Pasal 86 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk tujuan lain menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat penolakan Pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat penolakan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.
 
Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk tujuan lain memenuhi Surat Panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.
 
Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.
Peminjaman Dokumen

Prosedur peminjaman dokumen dalam proses pelaksanaan pemeriksaan
(Pasal 28 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)
 
Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, berlaku ketentuan sebagai berikut:
a. buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan dan diperoleh/ditemukan pada saat pelaksanaan Pemeriksaan di tempat Wajib Pajak, dipinjam pada saat itu juga dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.
b. dalam hal buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum ditemukan atau diberikan oleh Wajib Pajak pada saat pelaksanaan Pemeriksaan Pemeriksa Pajak membuat surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen yang dilampiri dengan daftar buku, catatan, dan/atau dokumen yang wajib dipinjamkan.
c. dalam hal untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik diperlukan peralatan dan/atau keahlian khusus, Pemeriksa Pajak dapat meminta bantuan kepada:
  1. Wajib Pajak untuk menyediakan tenaga dan/atau peralatan atas biaya Wajib Pajak; atau
  2. seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu, baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun yang berasal dari luar Direktorat Jenderal Pajak.

Dalam hal Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. daftar buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta  keterangan lain yang diperlukan oleh Pemeriksa Pajak, harus dilampirkan pada Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor.
  2. buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain sebagaimana dimaksud pada huruf a, wajib dipinjamkan pada saat Wajib Pajak memenuhi panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor dan Pemeriksa Pajak membuat bukti peminjaman dan pengembalian buku, catatan, dan dokumen.
  3. dalam hal buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain yang diperlukan belum tercantum dalam lampiran Surat Panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak membuat surat permintaan peminjaman buku, catatan, dan dokumen.
Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain belum dipenuhi dan jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud di atas belum terlampaui, Pemeriksa Pajak dapat menyampaikan peringatan secara tertulis paling banyak 2 (dua) kali.

Dalam hal jangka waktu 1 (satu) bulan sebagaimana dimaksud di atas terlampaui dan surat permintaan tidak dipenuhi sebagian atau seluruhnya, Pemeriksa Pajak harus membuat berita acara mengenai hal tersebut.

Dalam hal buku, catatan, dan dokumen yang dipinjam berupa fotokopi dan/atau data yang dikelola secara elektronik, Wajib Pajak yang diperiksa harus membuat surat pernyataan bahwa fotokopi dan/atau data yang dikelola secara elektronik yang dipinjamkan kepada Pemeriksa Pajak adalah sesuai dengan aslinya.

Dalam hal buku, catatan, dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik serta keterangan lain perlu dilindungi kerahasiannya, Wajib Pajak dapat mengajukan permintaan agar pelaksanaan Pemeriksaan dapat dilakukan di tempat Wajib Pajak dengan menyediakan ruangan khusus.

Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan peminjaman  sehingga besarnya penghasilan kena pajak tidak dapat dihitung, Pemeriksa Pajak dapat menghitung penghasilan kena pajak secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Dalam hal Pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak tidak memenuhi sebagian atau seluruh permintaan peminjaman sehingga besarnya penghasilan kena pajak tidak dapat dihitung, Pemeriksa Pajak mengusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 Tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.01/2017 Tentang Persyaratan untuk Menjadi Kuasa Hukum pada Pengadilan Pajak
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ/2017 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 229/PMK.03/2014 Tentang Persyaratan serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.01/2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 Tentang Konsultan Pajak
Tujuan Pemeriksaan
(Pasal 29 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 4 dan Pasal 70 17/PMK.03/2013 jo. 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan Pemeriksaan dengan tujuan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

A. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak;

Ruang lingkup Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat meliputi satu, beberapa, atau seluruh jenis pajak, baik untuk satu atau beberapa Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak dalam tahun-tahun lalu maupun tahun berjalan.

Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dengan menelusuri kebenaran SPT, pembukuan atau pencatatan, dan pemenuhan kewajiban perpajakan lainnya dibandingkan dengan keadaan atau kegiatan usaha sebenarnya dari Wajib Pajak.

Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam hal memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Wajib Pajak yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 17B Undang-Undang KUP;
  2. terdapat data konkret yang menyebabkan pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar;
  3. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan lebih bayar, selain yang mengajukan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai huruf a;
  4. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak;
  5. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi;
  6. Wajib Pajak melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya;
  7. Wajib Pajak melakukan perubahan tahun buku atau metode pembukuan atau karena dilakukannya penilaian kembali (revaluasi) aktiva tetap;
  8. Wajib Pajak tidak menyampaikan atau menyampaikan SPT tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam surat teguran yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; 
  9. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang terpilih untuk dilakukan Pemeriksaan berdasarkan Analisis Risiko; atau
  10. Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan/atau ekspor Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan atau telah mengkreditkan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6e) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Data konkret sebagaimana dimaksud pada huruf b merupakan data yang diperoleh atau dimiliki oleh Direktur Jenderal Pajak yang berupa:
  1. hasil klarifikasi atau konfirmasi faktur pajak;
  2. bukti pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan;
  3. data perpajakan terkait dengan Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang KUP dan setelah ditegur secara tertulis Surat Pemberitahuan tidak disampaikan pada waktunya sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran; dan/atau
  4. bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Ketentuan mengenai Analisis Risiko pada huruf h dan huruf i dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 
 
Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan harus dilaksanakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan atau Pemeriksaan Kantor.
   
B. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan meliputi :

Ruang lingkup Pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dapat meliputi penentuan, pencocokan, atau pengumpulan materi yang berkaitan dengan tujuan Pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan untuk tujuan lain adalah sebagai berikut:
  1. pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan;
  2. penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak;
  3. pengukuhan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan;
  4. pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
  5. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
  6. pengumpulan bahan guna penyusunan norma penghitungan penghasilan neto;
  7. pencocokan data dan/atau alat keterangan;
  8. penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil;
  9. penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai;
  10. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak;
  11. penentuan saat produksi dimulai atau memperpanjang jangka waktu kompensasi kerugian sehubungan dengan pemberian fasilitas perpajakan; dan/atau
  12. memenuhi permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
Pemeriksaan untuk tujuan lain dilaksanakan sesuai dengan standar Pemeriksaan yang meliputi standar umum, standar pelaksanaan Pemeriksaan, dan standar pelaporan hasil Pemeriksaan. Standar umum Pemeriksaan merupakan standar yang bersifat pribadi dan berkaitan dengan persyaratan Pemeriksa Pajak dan mutu pekerjaannya.
Kerahasiaan
(Pasal 34 UU Nomor 7 Tahun 2021)

Yang wajib merahasiakan keadaan wajib pajak antara lain :
  • Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan 
  • tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Data yang wajib dirahasiakan
(Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2021)
  • SPT, laporan keuangan, dan lain-lain yang dilaporkan oleh Wajib Pajak;
  • data yang diperoleh dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan; 
  • dokumen dan/atau data yang diperoleh dari pihak ketiga yang bersifat rahasia;
  • dokumen dan/atau rahasia Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkenaan

Pihak yang dikecualikan dari kewajiban merahasiakan keadaan wajib pajak 
(Pasal 34 ayat (2a) UU Nomor 7 Tahun 2021)

Untuk kepentingan negara, Menteri Keuangan berwenang memberi izin tertulis kepada pejabat dan/atau tenaga ahli supaya memberikan keterangan dan/atau memperlihatkan bukti tertulis dari atau tentang Wajib Pajak kepada pihak tertentu yang ditunjuk dalam izin tertulis Menteri Keuangan tersebut dalam hal :
  • Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi atau saksi ahli dalam sidang pengadilan; atau
  • pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan kepada pejabat lembaga negara atau instansi Pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan dalam bidang keuangan negara.

Pihak  yang dapat diberikan Keterangan oleh Pejabat dan Tenaga Ahli yang Ditunjuk
(Pasal 34 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. KMK 539/KMK.04/2000)
 
Pejabat dari lembaga negara atau instansi pemerintah yang berwenang melakukan pemeriksaan di bidang keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang sedang menjalankan tugas sesuai dengan surat tugas yang diterima dan ditunjukkan kepada pejabat atau tenaga ahli.
 
Surat tugas tersebut harus menyebutkan nama Wajib Pajak dan keterangan yang ingin diketahui tentang Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pembatalan Hasil Pemeriksaan
(Pasal 60 PMK 17/PMK.03/2013 jo. 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Surat ketetapan pajak dari hasil Pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
  1. penyampaian SPHP; atau
  2. Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, dapat dibatalkan secara jabatan atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak oleh Direktur Jenderal Pajak sesuai Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP.
Dalam hal dilakukan pembatalan, proses Pemeriksaan harus dilanjutkan dengan melaksanakan prosedur penyampaian SPHP dan/atau Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan.

Prosedur penyampaian SPHP dan/atau pelaksanaan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, harus dilakukan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam PMK 17/PMK.03/2013 yang diubah terakhir dengan PMK 184/PMK.03/2015.

Dalam hal Pemeriksaan yang dilanjutkan terkait dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sesuai Pasal 17B ayat  (1) Undang-Undang KUP, Pemeriksaan dilanjutkan dengan penerbitan:
  1. surat ketetapan pajak sesuai dengan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP belum terlewati; atau
  2. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sesuai dengan SPT apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (1) Undang-Undang KUP terlewati.
Dalam hal susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak untuk melanjutkan Pemeriksaan berbeda dengan susunan keanggotaan tim Pemeriksa Pajak sebelumnya, Pemeriksaan tersebut dilakukan setelah diterbitkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak.
Penolakan Pemeriksaan terkait dengan pemeriksaan dalam Rangka Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
(Pasal 36 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Lapangan untuk  menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan termasuk menolak menerima Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani, Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tidak ada di tempat maka:
  1. Pemeriksaan tetap dapat dilakukan sepanjang terdapat pegawai atau anggota keluarga yang  telah dewasa dari Wajib Pajak yang dapat dan mempunyai kewenangan untuk mewakili Wajib Pajak, terbatas untuk hal yang berada dalam kewenangannya; atau
  2. Pemeriksaan ditunda untuk dilanjutkan pada kesempatan berikutnya.
Untuk keperluan pengamanan Pemeriksaan, sebelum dilakukan penundaan, Pemeriksa Pajak dapat melakukan Penyegelan. Apabila setelah dilakukan Penyegelan dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak berada di tempat dan/atau tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak meminta kepada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan.

Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak untuk membantu kelancaran Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak meminta pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan.

Dalam hal pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak menolak untuk menandatangani surat penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang dilakukan Pemeriksaan Kantor untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan memenuhi Surat Panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor namun menyatakan menolak untuk dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil,  atau kuasa dari Wajib Pajak harus menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan  penolakan Pemeriksaan, Pemeriksa Pajak membuat berita acara penolakan Pemeriksaan yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

Apabila dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak Surat Panggilan dalam Rangka Pemeriksaan Kantor disampaikan kepada Wajib Pajak dan surat panggilan tersebut tidak dikembalikan oleh pos atau jasa pengiriman lainnya dan Wajib Pajak tidak memenuhi panggilan Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak membuat berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan oleh Wajib Pajak yang ditandatangani oleh tim Pemeriksa Pajak.

Surat pernyataan penolakan Pemeriksaan, atau berita acara penolakan Pemeriksaan, atau berita acara tidak dipenuhinya panggilan Pemeriksaan, atau surat pernyataan penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan, atau berita acara penolakan membantu kelancaran Pemeriksaan, dapat dijadikan dasar untuk penetapan pajak secara jabatan atau diusulkan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2017 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-112/PJ/2010 tentang Penegasan Tata Cara Peminjaman Buku, Catatan, Data, dan Informasi dan/atau Permintaan Keterangan Terkait dengan Penyelesaian Keberatan, Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang Tidak Benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan atau Surat Ketetapan Pajak dari Hasil Pemeriksaan
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-17/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan  Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
Keberatan
(Pasal 25 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 9/PMK.03/2013 jo. PMK 202/PMK.03/2015)

Jika Wajib Pajak merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang dikenakan, Wajib Pajak dapat mengajukan Keberatan.
 
Keberatan yang diajukan adalah mengenai materi atau isi dari ketetapan pajak, yaitu jumlah rugi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, jumlah besarnya pajak, atau pemotongan atau pemungutan pajak.
 
Keberatan dapat diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu :
1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT)
3. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN)
4. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
5. Pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
 
 
Syarat yang harus dipenuhi WP dalam mengajukan keberatan
(Pasal 25 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 9/PMK.03/2013 jo. PMK 202/PMK.03/2015)
 
Pengajuan keberatan yang dituangkan dalam bentuk surat keberatan harus memenuhi syarat formal sebagai berikut  :
1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
2. Mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar penghitungan;
3. 1 (satu) keberatan diajukan hanya untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, untuk 1 (satu)  pemotongan pajak, atau untuk 1 (satu) pemungutan pajak;
4. Wajib Pajak telah melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi, sebelum Surat Keberatan disampaikan;
5. Diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal:
1) surat ketetapan pajak dikirim; atau
2) pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga,
kecuali Wajib Pajak dapat menunjukan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak;
6. Surat Keberatan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP; dan
7. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan sesuai Pasal 36 Undang-Undang KUP.
 
Persyaratan angka 4 hanya berlaku untuk pengajuan keberatan atas suatu Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang berkaitan dengan SPT untuk Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak 2008 dan seterusnya.
 
Surat keberatan Wajib Pajak disampaikan ke KPP atau ke Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah KPP yang bersangkutan.
 
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) atau ayat (3a) UU KUP atas jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan, tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan.
 
Tanggal bukti penerimaan surat keberatan yaitu:
a. sesuai tanggal terima yang tercantum pada bukti penerimaan surat yang diberikan oleh
1. KPP; atau
2. Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan dalam wilayah kerja KPP
dalam hal surat keberatan disampaikan secara langsung.
b. sesuai tanggal stempel pos yang tercantum pada bukti pengiriman surat, dalam hal surat keberatan disampaikan melalui pos;
c. sesuai tanggal pengiriman yang tercantum pada bukti pengiriman surat, dalam hal surat keberatan disampaikan melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir; atau
d. sesuai tanggal yang tercantum pada bukti penerimaan elektronik, dalam hal surat keberatan disampaikan dengan e-Filing melalui Penyedia Jasa Aplikasi atau Application Service Provider (ASP).

Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan keberatan, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak, penghitungan rugi, atau pemotongan atau pemungutan pajak.

Wajib Pajak dapat menyampaikan perbaikan surat keberatan dengan melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui. Dalam hal Wajib Pajak menyampaikan perbaikan surat keberatan, tanggal penyampaian perbaikan surat keberatan merupakan tanggal surat keberatan diterima.

Surat keberatan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU KUP bukan merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan dan tidak diterbitkan Surat Keputusan Keberatan.
Penyegelan
(Pasal 32 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)
 
Pemeriksa Pajak berwenang melakukan Penyegelan untuk memperoleh atau mengamankan buku, catatan, dan/atau dokumen, termasuk data yang dikelola secara elektronik, dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa agar tidak dipindahkan, dihilangkan, dimusnahkan, diubah, dirusak, ditukar, atau dipalsukan.
 
Penyegelan dilakukan apabila pada saat pelaksanaan Pemeriksaan Lapangan:
  • Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk memasuki tempat atau ruang serta memeriksa barang bergerak dan/atau tidak bergerak, yang diduga atau patut diduga digunakan untuk menyimpan buku atau catatan, dan/atau dokumen, termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program aplikasi online yang dapat memberi petunjuk tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak;
  • Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan yang antara lain berupa tidak memberi kesempatan kepada Pemeriksa Pajak untuk mengakses data yang dikelola secara elektronik atau membuka barang bergerak dan/atau tidak bergerak;
  • Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak berada di tempat dan tidak ada pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku pihak yang mewakili Wajib Pajak, sehingga diperlukan upaya pengamanan Pemeriksaan sebelum Pemeriksaan ditunda; atau
  • Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak yang diperiksa tidak berada di tempat dan pegawai atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang mempunyai kewenangan untuk bertindak selaku pihak yang mewakili Wajib Pajak menolak memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan.
Penyegelan dilakukan dengan menggunakan tanda segel. Penyegelan dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak. Dalam melakukan Penyegelan, Pemeriksa Pajak wajib membuat berita acara Penyegelan. Berita acara Penyegelan dibuat dan ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak. Berita acara Penyegelan dibuat 2 (dua) rangkap dan rangkap kedua diserahkan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak yang diperiksa. Dalam hal saksi menolak menandatangani berita acara Penyegelan, Pemeriksa Pajak membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara Penyegelan.

Dalam melaksanakan Penyegelan, Pemeriksa Pajak dapat meminta bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau pemerintah daerah setempat.

Pembukaan segel dilakukan apabila:
  1. Wajib Pajak, wakil, kuasa, atau pihak yang dapat mewakili Wajib Pajak telah memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau telah memberi bantuan guna kelancaran Pemeriksaan;
  2. berdasarkan pertimbangan Pemeriksa Pajak, Penyegelan tidak diperlukan lagi; dan/atau
  3. terdapat permintaan dari penyidik yang sedang melakukan penyidikan tindak pidana.
Pembukaan segel harus dilakukan oleh Pemeriksa Pajak dengan disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa selain anggota tim Pemeriksa Pajak. Dalam keadaan tertentu, pembukaan segel dapat dibantu oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau pemerintah daerah setempat.

Dalam hal tanda segel yang digunakan untuk melakukan Penyegelan rusak atau hilang, Pemeriksa Pajak harus membuat berita acara mengenai kerusakan atau kehilangan dan melaporkannya kepada Kepolisian Negara Repulik Indonesia.

Dalam melakukan pembukaan segel, Pemeriksa Pajak membuat berita acara pembukaan segel yang ditandatangani oleh Pemeriksa Pajak dan saksi. Dalam hal saksi menolak menandatangani berita acara pembukaan segel, Pemeriksa Pajak membuat catatan tentang penolakan tersebut dalam berita acara pembukaan segel.

Berita acara pembukaan segel dibuat 2 (dua) rangkap dan rangkap kedua diserahkan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak.

Apabila dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal Penyegelan atau jangka waktu lain dengan mempertimbangkan tujuan Penyegelan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak tetap tidak memberi izin kepada Pemeriksa Pajak untuk membuka atau memasuki tempat atau ruangan, barang bergerak atau tidak bergerak yang disegel, dan/atau tidak memberikan bantuan guna kelancaran Pemeriksaan, Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak dianggap menolak dilakukan Pemeriksaan, Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak wajib menandatangani surat pernyataan penolakan Pemeriksaan.

Dalam hal Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak menolak menandatangani surat pernyataan penolakan, Pemeriksa Pajak membuat dan menandatangani berita acara mengenai penolakan tersebut.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 202/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2021 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2013 Tentang Pencabutan Beberapa Peraturan Direktur Jenderal Pajak Terkait dengan Penerbitan Peraturan Menteri Keuangan di Bidang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, termasuk Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-52/PJ/2010 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-41/PJ/2014 Tentang Tata Cara Penanganan Dan Pelaksanaan Putusan Banding, Putusan Gugatan, Dan Putusan Peninjauan Kembali.
  8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ/2014 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Keberatan Pajak Penghasilan Pajak Pertambahan Nilai Dan/Atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
Pengungkapan Wajib Pajak Dalam Laporan Tersendiri Selama Pemeriksaan
(Pasal 61 dan 62 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Wajib Pajak dapat mengungkapkan dalam laporan tersendiri secara tertulis mengenai ketidakbenaran pengisian SPT yang telah disampaikan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sesuai Pasal 8 ayat (4) Undang Undang KUP dan Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011, sepanjang Pemeriksa Pajak belum menyampaikan SPHP.

Pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar. Laporan tersendiri secara tertulis harus ditandatangani oleh Wajib Pajak, wakil, atau kuasa dari Wajib Pajak dan dilampiri dengan:
  1. penghitungan pajak yang kurang dibayar sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dalam format Surat Pemberitahuan;
  2. Surat Setoran Pajak atas pelunasan pajak yang kurang dibayar; dan
  3. Surat Setoran Pajak atas pembayaran sanksi administrasi berupa bunga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) Undang-Undang KUP.
Apabila pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT tidak mengakibatkan kekurangan pembayaran pajak maka pengungkapan tersebut tidak perlu dilampiri dengan Surat Setoran Pajak.

Surat Setoran Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf b diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam surat ketetapan pajak yang diterbitkan berdasarkan hasil Pemeriksaan dalam hal:
  1. Untuk membuktikan pengungkapan ketidakbenaran dalam laporan tersendiri sebagaimana dimaksud dalam Pemeriksaan tetap dilanjutkan dan atas hasil Pemeriksaan diterbitkan surat ketetapan pajak dengan mempertimbangkan laporan tersendiri tersebut serta memperhitungkan pokok pajak yang telah dibayar.
  2. Dalam hal hasil Pemeriksaan membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT oleh Wajib Pajak tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya ditambah dengan sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 13 Undang-Undang KUP.
  3. Dalam hal hasil Pemeriksaan membuktikan bahwa pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT oleh Wajib Pajak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya, surat ketetapan pajak diterbitkan sesuai dengan pengungkapan Wajib Pajak.
Dalam hal pengungkapan ketidakbenaran pengisian SPT dilakukan untuk SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai tidak dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf i Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2022 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/2000 Tentang Pihak Lain yang Dapat Diberikan Keterangan oleh Pejabat dan Tenaga Ahli yang Ditunjuk Mengenai Segala Sesuatu yang Diketahui atau Diberitahukan Kepadanya oleh Wajib Pajak dalam Rangka Jabatan atau Pekerjaannya untuk menjalankan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan Perpajakan
  4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 23/PJ/2017 Tentang Penunjukan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dan Kantor Pelayanan Pajak di Lingkungan Direktorat Jenderal Pajak untuk Menerapkan Aplikasi Usulan Pembukaan Rahasia Bank
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 19/PJ/2015 Tentang Pedoman Permintaan dan Pemanfaatan Kuasa Membuka Rahasia Bank/Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank dan Pengawasan Hasil Pemanfaatan Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank untuk Keperluan Pemeriksaan Pajak
Surat Kuasa Khusus
(PP Nomor 74 Tahun 2011 jo. Pasal 7 PMK 229/PMK.03/2014)

Surat kuasa khusus paling sedikit memuat :
  1. nama, alamat, dan tanda tangan di atas materai, serta Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak pemberi kuasa;
  2. nama, alamat, dan tanda tangan, serta Nomor Pokok Wajib Pajak penerima kuasa;dan
  3. hak dan/atau kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan yang mencakup keperluan perpajakan, jenis pajak, dan Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak/Tahun Pajak.
Satu surat kuasa khusus hanya untuk 1 (satu) pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu.


Ketentuan Terkait dengan Kuasa WP
(PP Nomor 74 Tahun 2011 jo. Pasal 9 PMK 229/PMK.03/2014)
  • Seorang kuasa tidak dapat melimpahkan kuasa yang diterima dari Wajib Pajak kepada orang lain.
  • Seorang kuasa dapat menunjuk orang lain atau karyawannya terbatas untuk menyampaikan dokumen-dokumen dan/atau menerima dokumen-dokumen perpajakan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu yang dikuasakan, selain penyerahan dokumen yang dapat disampaikan melalui tempat pelayanan terpadu. Orang lain atau karyawan yang ditunjuk, wajib menyerahkan Surat Penunjukan dari seorang kuasa pada saat melaksanakan tugasnya.
  • Setiap Pegawai dilarang menindaklanjuti pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak yang memberikan kuasa kepada seseorang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai kuasa Wajib Pajak.
Kewajiban
(Pasal 36C UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 54/PMK.09/2008 jo. PMK 63/PMK.09/2016 jo PMK. 2/PMK/09/2023)
 
Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Komite Pengawas Perpajakan wajib :  
a. menaati dan melaksanakan peraturan perundang-undangan;
b. menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dari Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Inspektorat Jenderal, Wajib Pajak, dan pihak eksternal lainnya;
c. menaati dan menjunjung tinggi kode etik Kementerian dan Komwasjak;
d. bersikap independen, objektif, jujur, adil, profesional, transparan, dan akuntabel dalam pelaksanaan tugas; dan
e. mengungkapkan benturan kepentingan atau munculnya potensi benturan kepentingan kepada Menteri.
 
Sebelum melaksanakan tugas dan wewenangnya, Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komite Pengawas Perpajakan wajib mengangkat sumpah atau janji sesuai dengan agama dan keyakinan masing-masing.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8/PMK.03/2013 Tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66/PMK.03/2017 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
  5. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-112/PJ/2010 Tentang Penegasan Tata Cara Peminjaman Buku, Catatan, Data, dan Informasi dan/atau Permintaan Keterangan Terkait dengan Penyelesaian Keberatan, Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak yang Tidak Benar, dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan atau Surat Ketetapan Pajak dari Hasil Pemeriksaan.
  6. Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-17/PJ/2014 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak.
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-52/PJ/2015 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan  Nomor 29/PMK.03/2015 Tentang Penghapusan Sanksi Administrasi Bunga yang Terbit Berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009.
Imbalan Bunga
(Pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 2020, Pasal 11 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo 226/PMK.03/2013 jo. 186/PMK.03/2015 jo. PMK 65/PMK.03/2018)

Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu 1 (satu) bulan, Pemerintah memberikan imbalan bunga sebesar bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak batas waktu berakhir sampai dengan saat dilakukan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
 
Imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat:

No. Kondisi Besarnya Imbalan Bunga
1 Keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang KUP Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak :
  1. batas waktu penerbitan SPMKP sampai dengan tanggal penerbitan SPMKP; atau
  2. batas waktu penerbitan SPMIB sampai dengan tanggal penerbitan SPMIB dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2 Keterlambatan penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (3) Undang-Undang KUP Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan untuk penerbitan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), sampai dengan diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB)
3 Kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B ayat (4) Undang-Undang KUP Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan setelah diterimanya secara lengkap surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
4 Kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau permohonan peninjauan kembali dikabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat Undang-Undang KUP Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
5 kelebihan pembayaran pajak karena Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak atas surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (1a) Undang-Undang KUP Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak :
  1. tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak untuk Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);
  2. tanggal penerbitan Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) dan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak;
  3. tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, atau Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak untuk Surat Tagihan Pajak (STP), untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
6 kelebihan pembayaran sanksi administrasi berupa denda Pasal 14 ayat (4) dan/atau bunga Pasal 19 ayat (1) karena Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang mengabulkan sebagian atau seluruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang KUP sebesar Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dari jumlah kelebihan pembayaran pajak, dihitung sejak tanggal pembayaran pajak yang menyebabkan kelebihan pembayaran sanksi administrasi sampai dengan diterbitkannya Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagai akibat diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, untuk paling lama 24 ( dua puluh empat) bulan.

Pemberian imbalan bunga kepada Wajib Pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan Utang Pajak yang diadministrasikan di KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan, termasuk di KPP tempat Wajib Pajak cabang terdaftar dan di KPP tempat objek pajak PBB diadministrasikan.

Dalam hal setelah dilakukan perhitungan terhadap utang pajak ternyata masih terdapat sisa imbalan bunga yang harus dibayarkan kepada Wajib Pajak, atas permohonan Wajib Pajak, sisa imbalan bunga tersebut dapat diperhitungkan dengan:
  1. pajak yang akan terutang atas nama Wajib Pajak; dan/atau
  2. Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang atas nama Wajib Pajak lain.
Perhitungan pemberian imbalan bunga dengan Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang dituangkan dalam nota penghitungan.
 
Dalam hal tidak ada Utang Pajak dan/atau pajak yang akan terutang, seluruh imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak bersangkutan.
 
Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SKPIB terhadap Wajib Pajak apabila terdapat imbalan bunga yang akan diberikan kepada Wajib Pajak. Berdasarkan SKPIB tersebut, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan SPMIB. Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang pajak, utang pajak tersebut harus dicantumkan pada SKPIB dan dibuatkan Surat Setoran Pajak (SSP) yang menyebutkan nomor surat ketetapan pajak atau nomor Surat Tagihan Pajak (STP).
Syarat yang Harus Dipenuhi untuk Memperoleh Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 5 PMK 8/PMK.03/2013)

Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, kecuali permohonan tersebut diajukan untuk Surat Tagihan Pajak berdasarkan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP, sepanjang terkait dengan surat ketetapan pajak yang sama maka 1 (satu) permohonan dapat diajukan untuk lebih dari satu Surat Tagihan Pajak;
b. permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. mengemukakan jumlah sanksi administrasi menurut Wajib Pajak dengan disertai alasan;
d. permohonan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
e. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang  KUP.

Permohonan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat dipertimbangkan.
 
Permohonan untuk memperoleh pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi hanya dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan kedua, permohonan tersebut harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal keputusan Direktur Jenderal Pajak atas permohonan yang pertama dikirim, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan Wajib Pajak.
Pemeriksaan Ulang
(Pasal 68 PMK 17/PMK.03/2013 jo. PMK 184/PMK.03/2015 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Pemeriksaan Ulang hanya dapat dilakukan berdasarkan instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak. Instruksi atau persetujuan Direktur Jenderal Pajak untuk melaksanakan Pemeriksaan Ulang dapat  diberikan apabila terdapat data baru termasuk data yang semula belum terungkap.

Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan.

Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang  tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, Pemeriksaan Ulang dihentikan dengan membuat LHP Sumir dan kepada Wajib Pajak diberitahukan mengenai penghentian tersebut.

Dalam hal hasil Pemeriksaan Ulang tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam surat ketetapan pajak sebelumnya tetapi terdapat perubahan jumlah rugi fiskal, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai rugi fiskal. Keputusan mengenai rugi fiskal digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan rugi fiskal ke tahun pajak berikutnya.
Ketentuan Lain terkait dengan Komite Pengawas Perpajakan
(Pasal 36C UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 6 dan Pasal 7 PMK 2/PMK/09/2023)

a. Komite Pengawas Perpajakan dibantu oleh unit sekretariat yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri
b. Komite Pengawas Perpajakan dapat membentuk tim kerja sesuai kebutuhan yang ditetapkan oleh Ketua Komite Pengawas Perpajakan.
c. Dalam rangka menjalankan tugas pengawasan Komite Pengawas Perpajakan menyusun petunjuk pelaksanaan. .
Ruang Lingkup Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 8/PMK.03/2013)

Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan meliputi sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan/atau kenaikan yang dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahan Wajib Pajak. Sanksi administrasi yang dapat dikurangkan atau dihapuskan meliputi sanksi administrasi yang tercantum dalam :
a. Surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A Undang-Undang KUP;
b. Surat Tagihan Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, kecuali sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d) Undang-Undang KUP; atau
c. Surat Tagihan Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b.

Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud di atas, hanya dapat dilakukan dalam hal surat ketetapan pajak tersebut :
a. tidak diajukan keberatan;
b. diajukan keberatan, tetapi telah dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
c. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
d. tidak diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
e. diajukan permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
f. tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi;
g. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
h. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi permohonan tersebut ditolak.
   
Dalam praktik dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada Wajib Pajak tidak tepat karena ketidaktelitian petugas pajak yang dapat membebani Wajib Pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami peraturan perpajakan. Dalam hal demikian, sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang telah ditetapkan dapat dihapuskan atau dikurangkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Dasar Penyidikan
(Pasal 1 angka (31) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Penyidik adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diangkat sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan oleh pejabat yang berwenang adalah penyidik tindak pidana di bidang perpajakan. Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan dilaksanakan menurut ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.

Penyidikan merupakan proses kelanjutan dari hasil pemeriksaan yang mengindikasikan adanya bukti permulaan tindak pidana perpajakan.

WP yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat langsung disidik namun harus terlebih dahulu dilakukan pengamatan atau pemeriksaan. Apabila berdasarkan  hasil pengamatan atau pemeriksaan ditemukan indikasi tindak pidana dibidang perpajakan, maka dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Apabila hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan menunjukan bahwa telah terdapat bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, maka barulah diusulkan untuk ditindaklanjuti dengan penyidikan. (Pasal 43A ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)
Tugas dan Wewenang Penyidik

Tugas penyidik
(Pasal 1 angka (31) UU Nomor 28 Tahun 2007)


Tugas Penyidik adalah mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan tersangkanya.

Wewenang penyidik
(Pasal 44 UU Nomor 28 Tahun 2007)


Wewenang Penyidik adalah :
a. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
b. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
d. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
e. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
f. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
g. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
h. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
i. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
j. menghentikan penyidikan; dan/atau
k. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

Wewenang tersebut di atas termasuk melakukan penyitaan. Penyitaan tersebut dapat dilakukan, baik terhadap barang bergerak maupun tidak bergerak, termasuk rekening bank, piutang, dan surat berharga milik Wajib Pajak, Penanggung Pajak, dan/atau pihak lain yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Selain itu untuk melindungi bahan bukti yang ditemukan dalam proses penyidikan, Penyidik Pajak berwenang untuk melakukan tindakan penyegelan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
 
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud  di atas, penyidik dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.
 
Penyidik memberitahukan saat dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1/PM.3/2007 tentang Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
  4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 10/KMK.03/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Penanganan Pengenaan Sanksi Sesuai Ketentuan Pasal 36A Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009
  5. PER-103/PJ./2007 tentang Surat Pernyataan Bersedia Mematuhi Kode Etik Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Ruang Lingkup 
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 2 dan Pasal 5 PMK 8/PMK.03/2013)

Direktur Jenderal Pajak berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat :
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak sesuai Pasal 14 Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
d. membatalkan surat ketetapan pajak dari hasil pemeriksaan atau verifikasi yang dilaksanakan tanpa:
1) penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan atau surat pemberitahuan hasil verifikasi; dan/atau
2) pembahasan akhir hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan Wajib

Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar hanya dapat diajukan dalam hal atas surat ketetapan pajak tersebut:
a. tidak diajukan keberatan;
b. diajukan keberatan, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak dan Direktur Jenderal Pajak telah menyetujui permohonan pencabutan Wajib Pajak tersebut;
c. diajukan keberatan, tetapi tidak dipertimbangkan;
d. tidak diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi;
e. diajukan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak;
f. tidak sedang diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi
g. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi dicabut oleh Wajib Pajak; atau
h. diajukan permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan atau verifikasi, tetapi permohonan tersebut ditolak.

Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Demikian juga, atas Surat Tagihan Pajak yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 177/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-15/PJ/2019 tentang Pelaksanaan Kegiatan Intelijen Perpajakan dan Pengamatan. 
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-07/PJ/2014 tentang Pencabutan Peraturan Direktur jenderal pajak PER-04/PJ/2012 tentang Pedoman Penggunaan Metode dan teknik Pemeriksaan Untuk Menguji Kepatuhan Pemenuhan Kewajiban Perpajakan
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-18/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengembangan dan Analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan
  8. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-23/PJ/2015 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan.
Sanksi karena Kealpaan
(Pasal 38 UU Nomor 11 Tahun 2020 Pasal 38 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang karena kealpaannya:
a. tidak menyampaikan SPT; atau
b. menyampaikan SPT, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar, atau pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.
Daluwarsa Penuntutan
(Pasal 40 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Tindak pidana di bidang perpajakan tidak dapat dituntut setelah lampau waktu 10 (sepuluh) tahun sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya Masa Pajak, berakhirnya Bagian Tahun Pajak, atau berakhirnya Tahun Pajak yang bersangkutan. Hal tersebut dimaksudkan guna memberikan suatu kepastian hukum bagi Wajib Pajak, Penuntut Umum dan Hakim. Jangka waktu 10 (sepuluh) tahun tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan daluwarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, selama 10 (sepuluh) tahun.
Permohonan Surat Keterangan Fiskal
(Pasal 2 PER-03/PJ/2019)

Wajib Pajak yang ingin memperoleh Surat Keterangan Fiskal (SKF) dapat mengajukan permohonan melalui:
a. laman Direktorat Jenderal Pajak (https://djponline.pajak.go.id/); atau
b. mengajukan permohonan tertulis penerbitan SKF secara langsung ke KPP/KP2KP yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala KPP tempat permohonan diajukan dengan ditandangani oleh:
  1. Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan; atau
  2. pimpinan tertinggi Wajib Pajak badan atau pengurus yang diberikan wewenang untuk menjalankan kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan perpajakan, yang dibuktikan dengan fotokopi akta pendirian atau dokumen pendukung lainnya.

Penyampaian permohonan tertulis dapat disampaikan oleh Wajib Pajak/kuasa/pihak yang ditunjuk sesuai ketentuan perundang-undangan perpajakan.

Wajib Pajak yang dapat mengajukan permohonan SKF adalah Wajib Pajak Pusat, dalam hal memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. telah menyampaikan:
  1) SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan
  2) SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir untuk Wajib Pajak  Pusat dan/atau Wajib Pajak Cabang apabila ada, yang sudah menjadi kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
b. tidak mempunyai Utang Pajak di KPP tempat Wajib Pajak Pusat maupun Wajib Pajak Cabang  terdaftar, atau mempunyai Utang Pajak namun atas keseluruhan Utang Pajak tersebut telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak sesuai Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP; dan
c. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau tindak  pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan.


Permohonan SKF secara tertulis dibuat sesuai format berikut :

  LAMPIRAN 
  PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK 
  NOMOR : PER-03/PJ/2019
  TENTANG : TATA CARA PEMBERIAN SURAT
KETERANGAN FISKAL

Nomor :     ……………………… (1)   ........., ...................(3)
Lampiran :     ……………………… (2)  
Perihal       Permohonan Penerbitan Surat Keterangan Fiskal  


Yth. Direktur Jenderal Pajak
c.q. Kepala KPP ....................... (4)
di ......................(5)


Sehubungan dengan diperlukannya Surat Keterangan Fiskal sebagai persyaratan dalam rangka .......................(6), dengan ini:

Nama  :    ............................................ (7)
NPWP :    ............................................ (8)
Alamat :    ............................................ (9)
Surel Aktif :    ............................................ (10)

bertindak:
 
 atas nama diri sendiri.
   
 
 sebagai pengurus*) dari Wajib Pajak badan:
Nama  :    ............................................ (11)
NPWP :    ............................................ (12)
Alamat :    ............................................ (13)
Surel Aktif :    ............................................ (14)

mengajukan permohonan penerbitan Surat Keterangan Fiskal dan bersama ini menyatakan bahwa:
1. telah menyampaikan:
  a.  SPT Tahunan Pajak Penghasilan 2 (dua) Tahun Pajak terakhir; dan/atau
  b.  SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai 3 (tiga) Masa Pajak Pertambahan Nilai terakhir,
  yang telah menjadi kewajiban Wajib Pajak.
2. tidak memiliki Utang Pajak atau memiliki Utang Pajak namun telah mendapatkan izin untuk menunda atau mengangsur pembayaran pajak: dan
3. tidak sedang dalam proses penanganan tindak pidana di bidang perpajakan dan/atau tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya tindak pidana di bidang perpajakan yaitu pemeriksaan bukti permulaan secara terbuka, penyidikan, atau penuntutan.

Demikian surat permohonan disampaikan dengan menyadari sepenuhnya bahwa:
1. SKF digunakan dalam rangka memperoleh pelayanan atau pelaksanaan kegiatan tertentu sesuai tujuan diajukannya permohonan.
2. SKF bukan merupakan pernyataan yang menghilangkan wewenang Direktur Jenderal Pajak untuk melakukan penetapan besarnya pajak yang terutang, melakukan penagihan utang pajak, dan/atau mengenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.




  Wajib Pajak/Pengurus **



...................................


* Pimpinan tertinggi atau pengurus yang diberikan wewenang untuk menjalankan kegiatan perusahaan yang berkaitan dengan perpajakan.
Ketentuan lainnya

Sanksi bagi petugas pajak
(Pasal 36A UU Nomor 28 Tahun 2007)


Mengenakan sanksi kepada pegawai pajak yang dalam melaksanakan tugasnya melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. Pegawai pajak yang karena kelalaiannya atau dengan sengaja menghitung atau menetapkan pajak tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya dengan sengaja bertindak di luar kewenangannya yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan, dapat diadukan ke unit internal Departemen Keuangan yang berwenang melakukan pemeriksaan dan investigasi dan apabila terbukti melakukannya dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
d. Pegawai pajak yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang untuk memberikan sesuatu, untuk membayar atau menerima pembayaran, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan perubahannya.;
e. Pegawai pajak tidak dapat dituntut, baik secara perdata maupun pidana, apabila dalam melaksanakan tugasnya didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pegawai pajak meliputi :
a. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan/atau Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) yang bekerja pada Direktorat Jenderal Pajak atau Pegawai Negeri Sipil lain yang diperbantukan/dipekerjakan pada Direktorat Jenderal Pajak;
b. Tenaga Ahli dari instansi lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Penanganan atas perbuatan yang dilakukan oleh pegawai pajak harus dilakukan berdasarkan :
a. Laporan Hasil Audit Aparat Pengawas Fungsional atau pengawas internal Direktorat Jenderal Pajak; atau
b. Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Pegawai pajak yang mengetahui adanya dugaan pelanggaran, dapat melaporkan atau menyampaikan pengaduan kepada Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atau unit pengawasan internal pada Direktorat Jenderal Pajak.

Pelaporan atau penyampaian pengaduan dapat dilakukan secara langsung melalui tatap muka atau secara tidak langsung melalui surat, telepon, faksimili, kotak pengaduan, surat elektronik (email), atau saluran pengaduan lainnya.

Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan, atau unit pengawasan internal pada Direktorat Jenderal Pajak,  setelah menerima laporan atau pengaduan, melakukan tindakan sebagai berikut :
a. menginvestigasi dan melaporkan hasil investigasi dalam bentuk Laporan Hasil Audit;
b. merekomendasikan untuk dijatuhi hukuman disiplin berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian, apabila berdasarkan hasil investigasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, ditemukan bukti bahwa pegawai pajak telah melakukan pelanggaran disiplin;
c. melimpahkan kasus kepada aparat penegak hukum melalui Inspektur Jenderal atas nama Menteri Keuangan, apabila berdasarkan hasil investigasi terdapat indikasi adanya perbuatan pidana.

Jika berdasarkan hasil investigasi, ditemukan bukti bahwa pegawai pajak telah melakukan pelanggaran disiplin, pejabat yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian menjatuhkan hukuman disiplin kepada pegawai pajak yang bersangkutan.

Dalam rangka penyusunan laporan Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan atau unit pengawasan internal pada Direktorat Jenderal Pajak, harus mencantumkan latar belakang, dampak, mekanisme penanganan dan iktikad baik pegawai pajak untuk menjadi pertimbangan dalam pelaksanaan penindakan oleh pejabat yang berwenang;

Iktikad baik pegawai pajak, yaitu iktikad dari pegawai pajak yang dalam melaksanakan tugasnya tidak untuk mencari keuntungan bagi diri sendiri, keluarga, kelompok, dan/atau tindakan lain yang berindikasi korupsi, kolusi, dan/atau nepotisme.
 
 
Kode Etik Pegawai
(Pasal 36B UU Nomor 28 Tahun 2007)


(1)  Menteri Keuangan berkewajiban untuk membuat kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(2) Pegawai Direktorat Jenderal Pajak wajib mematuhi kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak.
(3) Pengawasan pelaksanaan dan penampungan pengaduan pelanggaran kode etik pegawai Direktorat Jenderal Pajak dilaksanakan oleh Komite Kode Etik yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
 
 
Insentif bagi Petugas Pajak
(Pasal 36D UU Nomor 28 Tahun 2007)


(1)  Direktorat Jenderal Pajak dapat diberi insentif atas dasar pencapaian kinerja tertentu.
(2) Pemberian insentif sebagaimana dimaksud pada angka (1) ditetapkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
(3) Tata cara pemberian dan pemanfaatan insentif sebagaimana dimaksud pada angka (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pemberian besarnya insentif dilakukan melalui pembahasan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan alat kelengkapan Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah keuangan.
 

Perubahan Imbalan Bunga dan Sanksi
(Pasal 37 UU Nomor 28 Tahun 2007)


Perubahan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, diatur dengan Peraturan Pemerintah.
 
Sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan, nilai uang akan dapat berubah-ubah. Karena itu Undang-Undang KUP memberikan wewenang kepada Pemerintah apabila diperlukan dapat mengeluarkan Peraturan Pemerintah untuk mengubah dan menyesuaikan besarnya imbalan bunga dan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, sesuai dengan keadaan ekonomi keuangan.
Hak WP terkait dengan Pengurangan atau Pembatalan SKP/STP yang Tidak Benar dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 26 PMK 8/PMK.03/2013)

Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan terhadap surat permohonan yang telah disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak sebelum diterbitkan surat keputusan terkait permohonan Wajib Pajak.

Pencabutan terhadap surat permohonan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. pencabutan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan dapat mencantumkan alasan pencabutan;
b. pencabutan harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar; dan
c. surat pencabutan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat pencabutan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat pencabutan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai Pasal 32 ayat (3) Undang-Undang KUP.

Dalam hal Wajib Pajak melakukan pencabutan terhadap surat permohonan, Wajib Pajak tidak berhak untuk mengajukan kembali permohonan yang sama dengan jenis permohonan yang dicabut.
 
Wajib Pajak dapat meminta secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak mengenai alasan yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak. Untuk itu Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keterangan secara tertulis atas permintaan Wajib Pajak tersebut.
Pemeriksaan Bukti Permulaan
(Pasal 43A (1) UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. PMK 239/PMK.03/2014 jo. PMK 177/PMK.03/2022)
 
Pemeriksaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan.
 
Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa keterangan, tulisan, atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi suatu tindak pidana di bidang perpajakan yang dilakukan oleh siapa saja yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.
 
Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan:
a. secara terbuka; atau
b. secara tertutup.
 
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka didahului dengan penyampaian surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan. Sedangkan, Pemeriksaan Bukti Permulaan secara tertutup tidak dengan surat pemberitahuan Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
 
Pemeriksaan Bukti Permulaan secara terbuka atau tertutup dilakukan terhadap dugaan Peristiwa Pidana yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan.
 
Pemeriksa Bukti Permulaan menuangkan hasil Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dengan mencantumkan:
a. pelaksanaan Pemeriksaan Bukti Permulaan;
b. simpulan mengenai ada atau tidaknya Bukti Permulaan; dan
c. tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan.
 
Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan Bukti Permulaan dan disampaikan kepada kepala Unit Pelaksana Penegakan Hukum.
 
Dalam hal Pemeriksaan Bukti Permulaan dilakukan secara terbuka, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Permulaan kepada orang pribadi atau badan pada saat Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan dibuat.
 
Pemberitahuan tersebut berupa pemberitahuan tindak lanjut Pemeriksaan Bukti Pemeriksaan untuk dilakukan:
a. Penyidikan dalam hal ditemukan Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan dan Wajib Pajak:
- Tidak mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya; atau
- mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya namun tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
b. penghentian Pemeriksaan Bukti Permulaan dalam hal:
- Wajib Pajak telah mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya sesuai dengan keadaan yang sebenarnya;
- Wajib Pajak orang pribadi yang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan meninggal dunia;
- Peristiwa bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
- tidak ditemukan adanya Bukti Permulaan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; atau
- daluwarsa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
c. Dalam hal ditemukan:
- Potensi pajak yang bukan merupakan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan;
- dugaan Peristiwa Pidana selain yang ditentukan dalam Surat Perintah Pemeriksaan Bukti Permulaan;
- tindak pidana selain Tindak Pidana di Bidang Perpajakan; dan/atau
- Bukti Permulaan yang cukup mengenai keterlibatan pegawai Direktorat Jenderal Pajak
 
Pemeriksa Bukti Permulaan harus mengungkapkan tindak lanjut yang telah dilakukan oleh Pemeriksa Bukti Permulaan dalam Laporan Pemeriksaan Bukti Permulaan.
Wakil
(Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Wajib pajak diwakili dalam hal :
a. badan oleh pengurus;
b. badan yang dinyatakan pailit oleh kurator;
c. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan;
d. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
e. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
f. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali atau pengampunya
 
Dalam Undang-Undang ditentukan siapa yang menjadi wakil untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan Wajib Pajak terhadap badan, badan yang dinyatakan pailit, badan dalam pembubaran, badan dalam likuidasi, warisan yang belum dibagi, dan anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan. Bagi Wajib Pajak tersebut perlu ditentukan siapa yang menjadi wakil atau kuasanya karena mereka tidak dapat atau tidak mungkin melakukan sendiri tindakan hukum tersebut.


Pengurus
(Pasal 32 ayat (4) UU Nomor 28 Tahun 2007 dan Penjelasannya)

Termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan.

Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan dan/atau  mengambil  keputusan dalam rangka menjalankan kegiatan perusahaan, misalnya berwenang menandatangani kontrak dengan pihak ketiga, menandatangani cek, dan sebagainya walaupun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akta pendirian maupun akta perubahan, termasuk dalam pengertian pengurus. Ketentuan ini berlaku pula bagi komisaris dan pemegang saham mayoritas atau pengendali.


Tanggung jawab wakil
(Pasal 32 ayat (2) UU Nomor 28 Tahun 2007 dan Penjelasannya)

Wakil bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya, menurut kewajaran dan kepatutan, benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
Jenis Sanksi

Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan surat ketetapan pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana.
Sanksi karena Kesengajaan
(Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Wajib Pajak dinyatakan melakukan kesengajaan, jika Wajib Pajak dengan sengaja :
a. tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak atau tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak;
c. tidak menyampaikan SPT;
d. menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap;
e. menolak untuk dilakukan pemeriksaan sesuai Pasal 29 UU KUP;
f. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar, atau tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
g. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku, catatan, atau dokumen lain;
h. tidak menyimpan buku, catatan, atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia sesuai Pasal 28 ayat (11) UU KUP; atau
i. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut.

sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pidana dapat ditambahkan 1 (satu) kali menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan

Dalam perbuatan atau tindakan ini termasuk pula setiap orang yang dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak, atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

Ketentuan tersebut di atas berlaku juga bagi Wakil, Kuasa, Pegawai  dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)


Sanksi yang dikenakan jika WP mengajukan permohonan restitusi sementara SPT yang disampaikannya tidak benar atau tidak lengkap
(Pasal 39 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak atau Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, atau menyampaikan SPT dan/atau keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan.
 
 
Sanksi yang dikenakan jika WP dengan sengaja menerbitkan faktur pajak atau bukti dokumen lain yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya
(Pasal 39A UU Nomor 28 Tahun 2007)

Setiap orang yang dengan sengaja:
a. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya; atau
b. menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun serta denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dan paling banyak 6 (enam) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak.
 
Faktur pajak sebagai bukti pungutan pajak merupakan sarana administrasi yang sangat penting dalam pelaksanaan ketentuan Pajak Pertambahan Nilai. Demikian juga bukti pemotongan pajak dan bukti pemungutan pajak merupakan sarana untuk pengkreditan atau pengurangan pajak terutang sehingga setiap penyalahgunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak dapat mengakibatkan dampak negatif dalam keberhasilan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan. Oleh karena itu, penyalahgunaan tersebut berupa penerbitan dan/atau penggunaan faktur pajak, bukti pemotongan pajak, bukti pemungutan pajak, dan/atau bukti setoran pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya dikenai sanksi pidana.
 
Ketentuan tersebut di atas berlaku juga bagi Wakil, Kuasa, Pegawai  dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan atau yang membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. (Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2007)
Hak Wajib Pajak dalam Proses Penyidikan 
(KEP - 272/PJ/2002 Pasal 8)
 
Pada tahap pemeriksaan dalam proses penyidikan, setiap Tersangka perkara tindak pidana di bidang perpajakan dapat didampingi penasehat hukumnya.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan 
  2. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER -03/PJ/2019 Tentang Tata Cara Pemberian Surat Keterangan Fiskal.
Jangka Waktu Pengurangan atau Pembatalan SKP/STP yang tidak benar dan Pembatalan Hasil Pemeriksaan
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 7 PMK 8/PMK.03/2013)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat  permohonan diterima harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi.
 
Surat keputusan tersebut berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib  Pajak.
 
Apabila jangka waktu telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi, permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
Hak Mendahulu Piutang Pajak
(Pasal 21 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Hak mendahulu adalah hak negara sebagai kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik Penanggung Pajak yang akan dilelang di muka umum. Ketentuan tentang hak mendahulu meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.

Hak mendahulu untuk utang pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap:
a. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara, yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan dilarang membagikan harta Wajib Pajak dalam pailit, pembubaran atau likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak Wajib Pajak tersebut.

Hak mendahulu hilang setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah.

Perhitungan jangka waktu hak mendahulu ditetapkan sebagai berikut:
a. dalam hal Surat Paksa untuk membayar diberitahukan secara resmi maka jangka waktu 5 (lima) tahun dihitung sejak pemberitahuan Surat Paksa; atau
b. dalam hal diberikan penundaan pembayaran atau persetujuan angsuran pembayaran maka jangka waktu 5 (lima) tahun tersebut dihitung sejak batas akhir penundaan diberikan.
Ketentuan Lain terkait dengan Permohonan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 29 PMK 8/PMK.03/2013)

Direktur Jenderal Pajak secara jabatan dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi dalam Surat Tagihan Pajak yang diterbitkan sebagai akibat dari :
a. Direktur Jenderal Pajak meneliti data dan/atau informasi yang diperoleh terkait dengan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi secara jabatan.
b. Direktur Jenderal Pajak dapat meminta dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan yang diperlukan kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat permintaan dokumen, data, informasi, dan/atau keterangan tambahan.
c. Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada huruf a, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi. 

Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi tersebut di atas dilakukan apabila diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pengurangan/Pembatalan Ketetapan Pajak yang tidak benar, atau Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, yang mengakibatkan pajak yang masih harus dibayar berkurang atau dibatalkan.
Daluwarsa Penagihan
(Pasal 22 UU Nomor 28 Tahun 2007)

Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.

Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila:
a. diterbitkan Surat Paksa;
b. ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
c. diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (4) UU KUP; atau
d. dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Penghentian Penyidikan
(Pasal 44B UU Nomor 7 Tahun 2021)

Penyidikan dapat dihentikan setelah Wajib Pajak melunasi :
a. kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 1 (satu) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara.
b. kerugian pada pendapatan negara ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 3 (tiga) kali jumlah kerugian pada pendapatan negara, atau
c. jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak ditambah dengan sanksi administratif berupa denda sebesar 4 (empat) kali jumlah pajak dalam faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak

Dalam hal perkara pidana telah dilimpahkan ke pengadilan, Wajib Pajak tetap dapat melunasi. Hal ini dapat menjadi pertimbangan untuk dituntut tanpa disertai penjatuhan pidana penjara.
 
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak pada tahap penyidikan sampai dengan persidangan belum memenuhi jumlah, atas pembayaran tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran pidana denda yang dibebankan kepada Wajib Pajak.
 
Selain itu untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan.
Konfirmasi Kebenaran Surat Keterangan Fiskal yang Diperoleh Wajib Pajak
(Pasal 6 PER-03/PJ/2019)

Kementerian/Lembaga atau pihak lain dapat melakukan konfirmasi kebenaran SKF yang diperoleh Wajib Pajak berdasarkan Kode Verifikasi yang tercantum dalam SKF.
 
Konfirmasi kebenaran SKF dapat dilakukan melalui:
1. laman milik Direktorat Jenderal Pajak (jawaban konfirmasi kebenaran SKF akan diperoleh secara otomatis di laman milik Direktorat Jenderal Pajak);
2. Kring Pajak (jawaban konfirmasi kebenaran SKF akan diperoleh secara lisan); atau
3. KPP/KP2KP (jawaban konfirmasi kebenaran SKF akan diperoleh secara lisan).
Jangka Waktu Penerbitan Surat Keterangan Fiskal
(Pasal 4 PER-03/PJ/2019)

Berdasarkan hasil penelitian sistem informasi Direktorat Jenderal Pajak, atas:
a. permohonan penerbitan Surat Keterangan Fiskal (SKF) oleh Wajib Pajak melalui laman Direktorat Jenderal Pajak, maka laman Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan SKF dalam hal permohonan Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan sesuai Pasal 3 PER-03/PJ/2019; atau
b. permohonan penerbitan SKF oleh Wajib Pajak melalui laman Direktorat Jenderal Pajak, maka KPP atau KP2KP menerbitkan SKF dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja, dalam hal permohonan Wajib Pajak memenuhi ketentuan sesuai Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan Pasal 3 PER-03/PJ/2019.

SKF berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) bulan terhitung mulai tanggal diterbitkan.

Apabila Wajib Pajak Pusat mempunyai cabang, SKF yang diterbitkan untuk Wajib Pajak Pusat berlaku juga untuk Wajib Pajak Cabang.

SKF yang diperoleh Wajib Pajak tidak menghilangkan kewenangan Direktur Jenderal Pajak untuk  menetapkan besarnya pajak yang terutang, melakukan penagihan Utang Pajak, dan/atau mengenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Pengertian Surat Keterangan Fiskal
(Pasal 1 PER-03/PJ/2019)

Surat Keterangan Fiskal (SKF) adalah informasi yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak mengenai pemenuhan kepatuhan Wajib Pajak selama periode tertentu untuk memenuhi persyaratan memperoleh pelayanan atau dalam rangka pelaksanaan kegiatan tertentu.
Jangka Waktu Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi
(Pasal 36 UU Nomor 28 Tahun 2007 jo. Pasal 7 PMK 8/PMK.03/2013)

Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permohonan diterima harus menerbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi.
 
Surat keputusan tersebut berisi keputusan berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
 
Apabila jangka waktu telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak menerbitkan surat keputusan atau tidak mengembalikan permohonan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan Direktur Jenderal Pajak harus menerbitkan surat keputusan sesuai dengan permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak.