Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

HIGHLIGHTSDATA CENTERSUBJEK PILIHANFORUM
PeraturanTax TreatyPutusanKurs KMKKurs BITarif Bunga
Fitur
highlightsdata centersubjek pilihanforum
Informasi
About UsKebijakan PrivasiPedoman Media SiberDisclaimerKontak KamiCareer
Navigating the Coretax era with
Ortax Ecosystem
Ortax Ecosystem
pajakexpress.com | pajak101.com | taxbase.id | bsadvisory.com

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM )
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Meterai
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengadilan Pajak
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Pajak Daerah
Bea Cukai

PENGANTAR

Istilah Penting dalam UU PBB

SUBJEK PAJAK

Dasar Hukum

Subjek PBB

Penetapan Wajib Pajak atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang Belum Jelas Diketahui Wajib Pajaknya

OBJEK PAJAK

Dasar Hukum

Objek Pajak

Objek Pajak yang dikecualikan dari Pengenaan PBB

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)

Klasifikasi NJOP

Penilaian Untuk Penentuan NJOP

Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak PBB

PENDAFTARAN

Dasar Hukum

Pendaftaran

TARIF PAJAK

Dasar Hukum

Tarif Pajak

SAAT DAN
TEMPAT PAJAK TERUTANG

Dasar Hukum

Saat Pajak Terutang

Tempat Pajak Terutang

PENGHITUNGAN PBB

Dasar Hukum

Dasar Pengenaan Pajak

Dasar Penghitungan Pajak

Penghitungan Pajak

PEMBAYARAN

Dasar Hukum

Pembayaran

PENAGIHAN

Dasar Hukum

Dasar Penagihan

Tata Cara Penagihan

Jangka Waktu Pelaksanaan Penagihan

SANKSI

Dasar Hukum

Sanksi Administrasi

Sanksi Pidana

KEBERATAN

Dasar Hukum

Dasar Keberatan

Syarat Mengajuan Keberatan

Proses Penyelesaian Keberatan

BANDING

Dasar Hukum

Tata Cara Pengajuan Banding

PENGURANGAN

Dasar Hukum

Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan

Pengurangan Denda Administrasi

Pengurangan Pajak

Pengurangan PBB Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi Pada Tahap Eksplorasi

Pengurangan PBB Wilayah Tertentu

PENGEMBALIAN KELEBIHAN
PEMBAYARAN PAJAK (RESTITUSI)

Dasar Hukum

Dasar Restitusi

Tata Cara Pengajuan Restitusi

Imbalan Bunga

PEMBAGIAN HASIL

Dasar Hukum

Rincian Pembagian Hasil

Alokasi Bagian Pemerintah Pusat

KETENTUAN KHUSUS

Dasar Hukum

Ketentuan PBB atas Perguruan Tinggi Swasta

Ketentuan PBB atas Rumah Sakit Swasta

Penentuan NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus

ReadView

Istilah Penting dalam UU PBB
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1)
  1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya;
  2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan;
  3. Nilai Jual Objek Pajak adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti;
  4. Surat Pemberitahuan Objek Pajak adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data objek pajak menurut ketentuan Undang-Undang ini;
  5. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak. 
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2011 tentang Tata Cara Penetapan Wajib Pajak atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang Belum Jelas Diketahui Wajib Pajaknya dan Pencabutan Penetapan Sebagai Wajib Pajak
Subjek PBB
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 4; UU Nomor 1 Tahun 2022)

Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
  1. Mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau; 
  2. Memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau; 
  3. Memiliki, menguasai atas bangunan, dan/atau; 
  4. Memperoleh manfaat atas bangunan. 
Subjek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak menurut UU PBB.

Apabila suatu objek pajak tidak diketahui secara jelas siapa yang akan menanggung pajaknya maka yang menetapkan subjek pajak sebagai wajib pajak adalah Direktorat Jenderal Pajak.

Penetapan ini ditentukan berdasarkan bukti-bukti :
  • Apakah ada perjanjian antara pemilik dan penyewa yang mengatur?
  • Siapa yang menanggung kewajiban pajaknya?
  • Dan siapa yang secara nyata mendapat manfaat atas bidang tanah dan bangunan tersebut?

Contoh:
  1. Subjek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan Undang-Undang atau bukan karena perjanjian maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
  2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
  3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai wajib pajak.
Penunjukan sebagai Wajib Pajak oleh DJP bukan merupakan bukti pemilikan hak sehinga tanda pembayaran/pelunasan pajak tidak dapat dijadikan sebagai bukti kepemilikan hak.
 
Apabila seseorang ditetapkan sebagai wajib pajak oleh DJP atas objek pajak yang bukan miliknya maka ia dapat memberikan surat keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak yang dimaksud.
 
Apabila disetujui oleh DJP maka DJP membatalkan penetapan sebagai wajib pajak dalam jangka waktu 1 bulan sejak diterimanya surat keterangan tersebut.
 
Bila keterangan yang diajukan tersebut tidak disetujui, maka DJP mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya.
 
Namun apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan sebagaimana dimaksud di atas Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui dan ketetapan sebagai wajib pajak gugur dengan sendirinya dan berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai wajib pajak.
Penetapan Wajib Pajak atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang Belum Jelas Diketahui Wajib Pajaknya 
(PER 11/PJ/2011 pasal 2)

Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Kepala KPP Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagai Wajib Pajak dan dituangkan dalam Surat Keputusan Penetapan Wajib Pajak atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
  1. Penetapan dilakukan berdasarkan hasil penelitian PBB.
  2. Penetapan bukan merupakan bukti kepemilikan hak.
  3. Surat Keputusan Penetapan Wajib Pajak atas Objek Pajak Bumi dan Bangunan disampaikan kepada Wajib Pajak disertai dengan SPPT.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang  Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah. 
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 Tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 234/PMK.03/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 48/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pelaporan, Dan Pendataan Objek Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan. 
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 1004/KMK.04/1985 tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang Menggunakan Obyek Pajak Bumi dan Bangunan yang Tidak Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 23/PMK.03/2014 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara.
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2021 tentang Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2020 Tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Dalam Rangka Simplifikasi Regulasi.
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2016 tentang Tata Cara Penilaian untuk Penentuan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2016 tentang Tata Cara Pemetaan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-08/PJ/2019 tentang Tata Cara Pemberian, Penyesuaian, dan Penghapusan Nomor Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.6/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-16/PJ.6/1998 Tanggal 30 Desember 1998 Khusus untuk Pengenaan PBB Bidang Usaha Perikanan.
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-36/PJ/2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2014 tentang Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-05/PJ/2020 tentang Prosedur Pelaksanaan Penilaian Untuk Tujuan Perpajakan
Objek Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 2 ayat (1))

Yang menjadi objek pajak adalah Bumi dan Bangunan.


Pengertian Bumi
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1)

Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. 


Pengertian Bangunan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1)

Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah
  1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut
  2. Jalan tol;
  3. Kolam renang;
  4. Pagar mewah;
  5. Tempat olahraga;
  6. Galangan papal, dermaga;
  7. Taman mewah;
  8. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
  9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.

Klasifikasi Bumi dan Bangunan
(Penjelasan UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 2 ayat (1))

Klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terhutang. Klasifikasi objek PBB diatur oleh Menteri Keuangan.

Dalam menentukan klasifikasi bumi/tanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
  1. letak;
  2. peruntukan;
  3. pemanfaatan;
  4. kondisi lingkungan dan lain-lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut :
  1. bahan yang digunakan;
  2. rekayasa;
  3. letak;
  4. kondisi lingkungan dan lain-lain.
Objek Pajak yang dikecualikan dari Pengenaan PBB
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 3 ayat (1))

Objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Objek Pajak yang : 
1. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
Yang dimaksud dengan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah bahwa objek pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum dan nyata-nyata tidak ditujukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan/badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional tersebut.
Contoh :
a. pesantren atau sejenis dengan itu;
b. madrasah;
c. tanah wakaf;
d. rumah sakit umum.
2. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
3. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
4. digunakan oleh perwakilan diplomatik konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik;
5. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi international yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Badan atau Perwakilan Organisasi Internasional yang menggunakan objek PBB dan tidak dikenakan PBB diatur dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1004/KMK.04/1985.


Perlakuan PBB terhadap fasilitas umum dan sarana sosial untuk Kawasan Industri dan Real Estate 
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 3 jo. SE- 57/PJ.6/1994)

Sebagaimana diketahui bahwa dalam suatu kawasan industri dan real estate, sesuai dengan ketentuan, harus menyediakan fasilitas umum dan/atau sarana sosial yang selain dimanfaatkan langsung oleh pemilik/pengusaha/pemanfaat kawasan industri dan real estate dimaksud juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum.

Untuk memberikan pembebasan terlebih dahulu harus dilakukan penelitian guna memperoleh kepastian bahwa :
  • Tanah dan/atau bangunan tersebut nyata-nyata (de facto) telah digunakan sebagai fasilitas umum (jalan, trotoar, berm, saluran air hujan, jalur hijau dan lain-lain) dan/atau sarana sosial (tempat ibadah, kesehatan, pendidikan dan lain-lain).
  • Tanah dan atau bangunan tersebut semata-mata digunakan untuk kepentingan umum/sosial dan tidak untuk mencari keuntungan.
Tanah dan/atau bangunan tersebut dapat berstatus telah/belum diserahkan oleh pengelola kawasan industri maupun pengelola real estate kepada pemerintah daerah setempat.
 
Untuk mendapatkan pembebasan sebagai objek pajak yang tidak dikenakan PBB, maka wajib pajak mengajukan permohonan kepada kantor pelayanan PBB setempat dengan disertai bukti surat-surat dan keterangan/gambar situasi (site plan) yang diperlukan. Berdasarkan permohonan Kantor Pelayanan PBB mengadakan penelitian lapangan yang dituangkan dalam Berita Acara Penelitian Lapangan.
 

Perlakuan PBB terhadap objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 3 (2))

Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih oleh Peraturan Pemerintah. Objek Pajak yang dimaksud adalah objek pajak yang dimiliki/dikuasai/digunakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan. 

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. 
 
Oleh sebab itu wajar Pemerintah Pusat juga ikut membiayai penyediaan fasilitas tersebut melalui pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan. Mengenai bumi dan/atau bangunan milik perorangan dan/atau badan yang digunakan oleh negara, kewajiban perpajakannya tergantung pada perjanjian yang diadakan.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1 jo. 234/PMK.03/2022 Pasal 1 jo PER-22/PJ/2020)
 
Nilai Jual Objek Pajak yang selanjutnya disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Yang dimaksud dengan:
  1. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya;
  2. Nilai perolehan baru, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tersebut;
  3. Nilai jual pengganti, adalah suatu pendekatan/metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Nilai jual bumi per meter persegi adalah nilai bumi per meter persegi yang diperoleh melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, nilai perolehan baru, atau nilai jual pengganti.

Nilai jual bangunan per meter persegi adalah nilai bangunan per meter persegi yang diperoleh melalui nilai perolehan baru.

Pedoman untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 6 (2) jo. 234/PMK.03/2022 PER-22/PJ/2020)

Dalam menentukan NJOP, masing-masing objek pajak bumi dan bangunan memiliki kriteria tersendiri. Untuk itu objek pajak dapat dikelompokan menjadi beberapa sektor :
a. objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perkebunan;
b. objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan perhutanan;
c. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi;
d. objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi;
e. objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan pertambangan mineral atau batubara; dan
f. objek pajak PBB Sektor Lainnya meliputi bumi dan/atau bangunan yang berada di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi sebagaimana diatur dalam undang-undang mengenai kelautan, yang;
1. selain diatur dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah, kecuali yang sudah diatur dalam peraturan daerah mengenai Pajak dan retribusi yang disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah masih tetap berlaku paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal diundangkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah; dan
2. selain objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, atau objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara.
g. Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.

Untuk NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan, besarnya NJOP setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya. Penetapan besarnya NJOP dilakukan oleh Kepala Daerah.
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 3 (3) jo. 23/PMK.03/2014 Pasal 2)

Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) adalah batas NJOP yang tidak kena pajak.
 
NJOPTKP untuk PBB selain sektor perdesaan dan perkotaan bagi setiap Wajib Pajak ditetapkan sebesar Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).
 
Sedangkan NJOPTKP untuk PBB sektor perdesaan dan perkotaan ditetapkan paling rendah sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak. Lebih lanjut, NJOPTKP tersebut ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
 
Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak.

Contoh I :

Seorang Wajib Pajak hanya mepunyai Objek Pajak berupa berupa bumi dengan nilai sebagai berikut:
-    Nilai Jual Objek Pajak Bumi    Rp   8.000.000,00
-    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak  Rp 12.000.000,00

Karena Nilai Jual Objek Pajak berada di bawah Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, maka Objek Pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.

Contoh II :

Seorang Wajib Pajak mempunyai dua Objek Pajak berupa bumi dan bangunan masing-masing di Desa A dan di Desa B dengan nilai sebagai berikut :
a.    Desa A  
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bumi   Rp  18.000.000,00
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bangunan  Rp  15.000.000,00
Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :  
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bumi     Rp  18.000.000,00
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp  15.000.000,00 (+)
  -    Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak  Rp  33.000.000,00
  -    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp  12.000.000,00 (-)
  -    Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak   Rp  11.000.000,00

b. Desa B  
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bumi    Rp    5.000.000,00
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp    3.000.000,00

       Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak :  
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bumi  Rp    5.000.000,00
  -    Nilai Jual Objek Pajak Bangunan Rp    3.000.000,00 (+)
  -    Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan pajak Rp    8.000.000,00
  -    Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Rp                  0,00 (-)
  -    Nilai Jual Objek Pajak untuk Penghitungan Pajak Rp    8.000.000,00

Untuk Objek Pajak di Desa B, tidak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak, karena Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak telah diberikan untuk Objek Pajak yang berada di Desa A.
Klasifikasi NJOP
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 6 (2) jo. 186/PMK.03/2019 jo. 234/PMK.03/2022)

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditentukan sebagai berikut :

Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Perkebunan

1. Untuk menetapkan NJOP bumi, bumi yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perkebunan meliputi:
a. Areal Produktif Perkebunan merupakan areal yang telah ditanami tanaman perkebunan, meliputi tanah dan pengembangan tanah berupa tanaman;
b. Areal Belum Produktif Perkebunan merupakan areal yang belum ditanami tanaman perkebunan, meliputi areal yang belum diolah, areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami, dan areal pembibitan;
c. Areal Tidak Produktif Perkebunan merupakan areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perkebunan;
d. Areal Pengaman Perkebunan merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perkebunan; dan
e. Areal Emplasemen Perkebunan merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
2. NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada poin 1 meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Produktif Perkebunan berupa:
1. tanah, ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis; dan
2. pengembangan tanah, ditentukan berdasarkan penghitungan Biaya Investasi Tanaman;
b. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Perkebunan ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Perkebunan ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Perkebunan ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam huruf b; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Perkebunan ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
3. NJOP bumi untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Produktif Perkebunan, Areal Belum Produktif Perkebunan, Areal Tidak Produktif Perkebunan, Areal Pengaman Perkebunan, dan Areal Emplasemen Perkebunan.
4. NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
 
 
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Perhutanan

1. Untuk menetapkan NJOP bumi, bumi yang merupakan objek pajak PBB Sektor Perhutanan meliputi:
a. Areal Produktif Perhutanan merupakan:
1. areal blok tebangan pada Hutan Alam dengan IUPHHK-HA dan/atau areal blok pemanenan pada Hutan Alam dengan IUPHHBK-HA; atau
2. areal yang telah ditanami pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, meliputi tanah dan pengembangan tanah berupa tanaman;
b. Areal Belum Produktif Perhutanan merupakan:
1. areal yang dapat ditebang selain blok tebangan pada Hutan Alam dengan IUPHHK-HA dan/atau areal yang dapat dipanen selain blok pemanenan pada Hutan Alam dengan IUPHHBK-HA; atau
2. areal yang belum ditanami baik areal yang belum diolah dan/atau areal yang sudah diolah pada Hutan Tanaman dengan IUPHHK-HTI dan/atau IUPHHBK-HT, atau penugasan dari pemerintah kepada Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. Areal Tidak Produktif Perhutanan merupakan :
1. areal pada Hutan Alam dengan IUPHHK-RE yang belum tercapai keseimbangan ekosistem dan belum ada pemanfaatan hasil hutan bukan kayu; dan/atau
2. areal yang tidak dapat diusahakan untuk kegiatan usaha perhutanan, yang meliputi areal tidak layak kelola, areal pengelolaan sosial dan tanaman kehidupan, areal yang dimanfaatkan oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak secara tidak sah, serta areal yang dimanfaatkan tidak sepenuhnya oleh selain Subjek Pajak atau Wajib Pajak secara sah;
d. Areal Pengaman Perhutanan merupakan areal yang telah melalui proses rekayasa dan  dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha perhutanan meliputi areal log ponds atau log yards, tempat pengumpulan hasil panen, jalan, kanal, parit, dan tanggul;
e. Areal Emplasemen Perhutanan merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya; dan
f. Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan, merupakan:
1. areal yang memiliki fungsi dan peruntukan sebagai perlindungan dan konservasi, meliputi sungai, kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, kawasan perlindungan setempat, kawasan suaka alam dan cagar budaya, zona penyangga (buffer zone), dan
2. areal hutan yang ditetapkan sebagai hutan bernilai konservasi tinggi (High Conservation Value Forest).
2. NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada poin 1 meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud pada poin 1 huruf a angka 1 ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih hasil hutan dengan Angka Kapitalisasi;
b. NJOP bumi untuk Areal Produktif sebagaimana dimaksud pada poin 1 huruf a angka 2 Perhutanan berupa:
1. tanah, ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis; dan
2. pengembangan tanah, ditentukan berdasarkan penghitungan Biaya Investasi Tanaman;
c. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Perhutanan ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
d. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Perhutanan ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
e. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Perhutanan ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Perhutanan sebagaimana dimaksud dalam huruf c;
f. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Perhutanan ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis; dan
g. NJOP bumi untuk Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3. NJOP bumi untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Produktif Perhutanan, Areal Belum Produktif Perhutanan, Areal Tidak Produktif Perhutanan, Areal Pengaman Perhutanan, Areal Emplasemen Perhutanan, dan Areal Perlindungan dan Konservasi Perhutanan.
4. NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.

Keterangan tambahan:
1. Pendapatan bersih hasil hutan merupakan pendapatan kotor hasil hutan dikurangi Biaya Produksi Perhutanan.
2. Pendapatan kotor hasil hutan merupakan hasil perkalian jumlah produksi hasil hutan dengan harga jual hasil hutan.
3. Jumlah produksi hasil hutan merupakan jumlah produksi hasil hutan kayu dan/atau jumlah produksi hasil hutan bukan kayu, yang dihitung dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
4. Harga jual hasil hutan merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu dan/atau harga jual rata-rata hasil hutan bukan kayu, yang dihitung dalam tahun terakhir sebelum Tahun Pajak PBB terutang.
5. Harga jual rata-rata hasil hutan kayu merupakan harga jual rata-rata hasil hutan kayu yang terjadi pada tempat penimbunan kayu (log pond atau log yard).
6. Biaya Produksi Perhutanan dihitung dengan mengalikan Rasio Biaya Produksi dengan pendapatan kotor hasil hutan.
 
 
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi
 
Bumi yang berada dalam kawasan pertambangan minyak dan/atau gas bumi meliputi:
  • Permukaan Bumi Onshore;
  • Permukaan Bumi Offshore; dan/atau
  • tubuh bumi.
1. Untuk menetapkan NJOP bumi, Permukaan Bumi Onshore meliputi:
a. Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
b. Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
c. Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi minyak dan/atau gas bumi;
d. Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi; dan
e. Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
2. Untuk menetapkan NJOP bumi, Permukaan Bumi Offshore berupa Areal Offshore Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan minyak dan/atau gas bumi.
3. Untuk menetapkan NJOP bumi, tubuh bumi meliputi:
- Tubuh Bumi Eksplorasi; atau
- Tubuh Bumi Eksploitasi.
4. NJOP bumi untuk areal sebagaimana dimaksud pada poin 1 meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
b. NJOP bumi untuk Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
5. NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Onshore merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, Areal Pengaman Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan Areal Emplasemen Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
6. NJOP bumi sebagaimana Areal Offshore Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
7. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi meliputi:
a. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
b. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan minyak dan/atau gas bumi dengan Angka Kapitalisasi; atau
c. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi.
8. NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
 
 
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi
 
Bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan untuk pengusahaan panas bumi meliputi:
  • Permukaan Bumi Onshore;
  • Permukaan Bumi Offshore;
  • dan/atau tubuh bumi.
Untuk menetapkan NJOP bumi, Permukaan Bumi Onshore meliputi:
a. Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang belum diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
b. Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang sedang diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
c. Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang tidak dapat atau telah selesai diusahakan untuk pengambilan hasil produksi panas bumi;
d. Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman kegiatan pengusahaan panas bumi; dan
e. Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
 
Untuk menetapkan NJOP bumi, Permukaan Bumi Offshore berupa Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan pengusahaan panas bumi.
 
Untuk menetapkan NJOP bumi, tubuh bumi meliputi:
  • Tubuh Bumi Eksplorasi; atau
  • Tubuh Bumi Eksploitasi.

NJOP bumi untuk areal pada Permukaan Bumi Onshore meliputi:

a. NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
b. NJOP bumi untuk Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
 
NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Onshore merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Tidak Produktif Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, Areal Pengaman Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi, dan Areal Emplasemen Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi.
 
NJOP bumi suntuk Areal Offshore Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 
NJOP bumi untuk Tubuh Bumi meliputi:
a. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
b. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan uap dan/atau listrik dengan Angka Kapitalisasi; atau
c. NJOP Bumi untuk Tubuh Bumi Eksploitasi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
 
NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
 
 
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara
 
Bumi yang berada di dalam kawasan pertambangan mineral atau batubara meliputi:
  • Permukaan Bumi Onshore;
  • Permukaan Bumi Offshore; dan/atau
  • tubuh bumi.
Untuk menetapkan NJOP bumi, Permukaan Bumi Onshore meliputi:
a. Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang belum dimanfaatkan untuk kegiatan penambangan mineral atau batubara atau yang sedang dilakukan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan/atau studi kelayakan;
b. Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang belum dilakukan pengambilan mineral atau batubara;
c. Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang tidak dapat diusahakan penambangan mineral atau batubara, atau yang telah selesai diusahakan penambangan mineral atau batubara;
d. Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang dimanfaatkan sebagai pendukung dan pengaman penambangan mineral atau batubara; dan
e. Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal yang di atasnya dimanfaatkan untuk bangunan serta fasilitas penunjangnya.
 
Untuk menetapkan NJOP bumi, Permukaan Bumi Offshore berupa Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara merupakan areal berupa perairan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan mineral atau batubara.
 
Untuk menetapkan NJOP bumi, tubuh bumi meliputi:
  • Tubuh Bumi Eksplorasi; atau
  • Tubuh Bumi Operasi Produksi.
NJOP bumi untuk areal meliputi:
a. NJOP bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis;
b. NJOP bumi untuk Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. NJOP bumi untuk Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
d. NJOP bumi untuk Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan penyesuaian terhadap NJOP bumi per meter persegi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan
e. NJOP bumi untuk Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis.
 
NJOP bumi untuk Permukaan Bumi Onshore merupakan penjumlahan NJOP bumi untuk Areal Belum Dimanfaatkan Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Cadangan Produksi Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Tidak Produktif Pertambangan Mineral atau Batubara, Areal Pengaman Pertambangan Mineral atau Batubara, dan Areal Emplasemen Pertambangan Mineral atau Batubara.
 
NJOP bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 untuk Areal Offshore Pertambangan Mineral atau Batubara ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
 
NJOP bumi untuk Tubuh Bumi meliputi:
a. NJOP bumi  untuk Tubuh Bumi Eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak;
b. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih mineral atau batubara dengan Angka Kapitalisasi;
c. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi yang belum atau tidak mempunyai hasil produksi ditetapkan sebesar NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam huruf a; atau
d. NJOP bumi untuk Tubuh Bumi Operasi Produksi ditetapkan sebesar Rp0,00 (nol Rupiah), dalam hal pendapatan bersih mineral atau batubara kurang dari Rp0,00 (nol Rupiah).
 
NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
 
 
Tata Cara Penetapan NJOP PBB Sektor Lainnya
 
1. NJOP bumi pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih perikanan tangkap dengan Angka Kapitalisasi.
2. NJOP bumi pada perairan yang digunakan untuk pembudidayaan ikan yang terdapat hasil produksi ditentukan berdasarkan Nilai Jual Pengganti yang merupakan hasil perkalian pendapatan bersih pembudidayaan ikan dengan Angka Kapitalisasi.
3. NJOP bumi pada perairan yang digunakan untuk perikanan tangkap dan pembudidayaan ikan yang tidak terdapat hasil produksi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
4. NJOP bumi, pada perairan yang digunakan untuk jaringan pipa, jaringan kabel, dan fasilitas penyimpanan dan pengolahan, ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak..
5. NJOP bangunan untuk objek pajak PBB Sektor Lainnya ditentukan berdasarkan Nilai Perolehan Baru.
 
 
Tata Cara Penetapan NJOP Berdasarkan Kontrak, Perjanjian, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi
 
Wajib Pajak pemegang Kontrak Karya, Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, atau Izin Usaha Pertambangan Khusus Operasi Produksi mengembalikan SPOP yang telah diisi dengan jelas, benar, lengkap, dan ditandatangani kepada Kantor Pelayanan Pajak tempat objek pajak terdaftar yang dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai tata cara pendaftaran dan pendataan objek pajak dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
 
Untuk Klasifikasi NJOP Bumi dan Bangunan sektor Perdesaaan dan Perkotaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Kepala Daerah.
Penilaian Untuk Penentuan NJOP
(PMK Nomor 186/PMK.03/2019 jo. PMK Nomor 234/PMK.03/2022 jo. PMK Nomor 48/PMK.03/2021; PMK Nomor 79 Tahun 2023  jo. PER - 24/PJ/2016)

Penilaian PBB dilaksanakan melalui:
  1. Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.
  2. Nilai Perolehan Baru adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek pajak tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek pajak tersebut.
  3. Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.
Pendaftaran dan Pendataan Objek Pajak PBB
(PMK 48/PMK.03/2021 jo. PER - 29/PJ/2016 jo. PER - 08/PJ/2019)
 
Pendaftaran dan Pemutakhiran SPOP
Dalam rangka Pendaftaran dan Pemutakhiran, Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan SPOP kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak. SPOP sebagaimana dimaksud merupakan SPOP Elektronik. Penyampaian SPOP tersebut dapat dilakukan secara elektronik melalui saluran tertentu, secara langsung, melalui pos, jasa pengiriman, atau cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Adapun tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak adalah:
  1. tanggal 1 Februari Tahun Pajak PBB terutang, untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;     
  2. tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang, untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan objek pajak PBB Sektor Lainnya; atau     
  3. tanggal Objek Pajak terdaftar sebagaimana tercantum dalam SKT PBB, dalam hal Pendaftaran Objek Pajak diterbitkan SKT PBB setelah 1 Februari Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan terpenuhi kondisi saat terutang PBB menurut keadaan Objek Pajak pada 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang.     
Subjek Pajak atau Wajib Pajak dapat mendaftarkan atau memutakhirkan sendiri data Objek Pajak dan/atau Subjek Pajak atau Wajib Pajak, tanpa menunggu penyampaian SPOP oleh KPP, dengan cara mengisi dan menyampaikan SPOP ke KPP atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pengembalian SPOP
Subjek Pajak atau Wajib Pajak wajib mengembalikan SPOP ke KPP atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak. Tanggal pengembalian SPOP sebagaimana dimaksud adalah:
  1. Tanggal penyampaian SPOP Elektronik, dalam hal SPOP disampaikan secara elektronik;      
  2. tanggal tanda terima, dalam hal SPOP disampaikan secara langsung; atau      
  3. tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dikirim melalui pos, jasa ekspedisi, atau jasa kurir.  
Dalam hal jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sebagaimana dimaksud di atas tidak dapat dipenuhi, Subjek Pajak atau Wajib Pajak dapat menyampaikan surat pemberitahuan penundaan pengembalian SPOP ke KPP. Surat pemberitahuan penundaan pengembalian SPOP tersebut harus diterima oleh KPP sebelum jangka waktu 30 (tiga puluh) hari berakhir. Penundaan pengembalian SPOP dilakukan paling lama 7 (tujuh) hari setelah jangka waktu 30 (tiga puluh) hari berakhir. Surat pemberitahuan penundaan pengembalian SPOP dibuat dengan menggunakan format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri No 48/PMK.03/2021.

Dalam hal SPOP belum dikembalikan setelah jangka waktu:
  1. 30 (tiga puluh) hari dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan pengembalian SPOP; atau
  2. 7 (tujuh) hari, KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
Subjek Pajak atau Wajib Pajak wajib mengembalikan SPOP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal tanda terima atau tanggal bukti pengiriman surat teguran. Surat teguran tersebut dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri No 48/PMK.03/2021.

Pemetaan Objek Pajak
Pemetaan Objek Pajak adalah kegiatan untuk memperoleh, mengumpulkan, melengkapi, dan menatausahakan, data Objek Pajak untuk menghasilkan informasi geografis terkait Objek Pajak dan Wajib Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan. Tujuan Pemetaan adalah sebagai berikut:

Tujuan Pemetaan Uraian
pendataan; Pemetaan dalam rangka pendataan dilakukan untuk memperoleh, mengumpulkan, melengkapi, dan menatausahakan data Objek Pajak dan/atau Subjek Pajak atau Wajib Pajak.
pemeriksaan; Pemetaan dalam rangka pemeriksaan dilaksanakan oleh petugas Pemetaan atau tim Pemetaan selaku tenaga ahli dalam pemeriksaan, sebagai dasar penetapan PBB atau pertimbangan keputusan sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
penyelesaian keberatan PBB; atau Pemetaan dalam rangka penyelesaian keberatan PBB dilakukan dalam penelitian keberatan PBB sebagai pertimbangan Direktur Jenderal Pajak dalam memberikan keputusan atas keberatan PBB yang diajukan Wajib Pajak.
penyelesaian pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar. Pemetaan dalam rangka penyelesaian pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar dilakukan sebagai pertimbangan Direktur Jenderal Pajak dalam memberikan keputusan atas pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar yang diajukan Wajib Pajak.

Pemetaan dilakukan dengan metode:
a. pengukuran; dan/atau
Pengukuran dilakukan dengan:
1) menggunakan sistem pengukuran berbasis satelit;
2) bantuan data penginderaan jauh; dan/atau
3) alat ukur lain.
b. pengonversian peta.
Pengonversian peta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan melalui:
1) transformasi antar sistem proyeksi; dan/atau
2) digitasi peta analog ke peta digital.

Hasil Pemetaan disajikan dalam bentuk peta dengan menggunakan:
  1. sistem proyeksi Universal Transverse Mercator (UTM); dan
  2. datum geodetik World Geodetic System 1984 (WGS84).
Pemberian NOP
NOP diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak melalui Pemeriksaan atau Penelitian PBB dalam hal subjek pajak PBB tidak mengembalikan SPOP. NOP yang diberikan melalui Pemeriksaan atau Penelitian PBB, dituangkan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang atau SKP PBB.

Struktur NOP terdiri dari 18 (delapan belas) digit, dengan rincian sebagai berikut:
  1. digit ke-1 dan ke-2 merupakan kode provinsi;
  2. digit ke-3 dan ke-4 merupakan kode kabupaten/kota;
  3. digit ke-5 sampai dengan digit ke-7 merupakan kode kecamatan;
  4. digit ke-8 sampai dengan digit ke-10 merupakan kode KPP;
  5. digit ke-11 merupakan kode subsektor;
  6. digit ke-12 merupakan kode jenis bumi;
  7. digit ke-13 merupakan kode rincian;
  8. digit ke-14 sampai dengan digit ke-17 merupakan kode nomor urut Objek Pajak; dan
  9. digit ke-18 merupakan kode sektor Objek Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pendaftaran Dan Pendataan Objek Pajak Dan Subjek Pajak Atau Wajib Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 24/PJ/2016 tentang  Tata Cara Penilaian Untuk Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi Dan Bangunan.
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 05/PJ/2020 tentang Prosedur Pelaksanaan Penilaian untuk Tujuan Perpajakan
Pendaftaran
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 9 jo. PMK Nomor 48/PMK.03/2021; PMK Nomor 186/PMK.03/2019 jo. PMK Nomor 234/PMK.03/2022; PMK Nomor 79 Tahun 2023; PER - 24/PJ/2016)
 
Direktorat Jenderal Pajak melakukan pendataan untuk memperoleh, mengumpulkan, melengkapi, dan menatausahakan, data Objek Pajak dan/atau Subjek Pajak atau Wajib Pajak, termasuk informasi geografis Objek Pajak untuk keperluan administrasi perpajakan. Pendataan dilakukan melalui Pendataan kantor dan Pendataan lapangan.

Dalam rangka Pendaftaran dan Pemutakhiran, KPP menyampaikan SPOP kepada Subjek Pajak atau Wajib Pajak. Penyampaian SPOP dapat dilakukan melalui Direktorat Jenderal Pajak atau saluran lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak, atau secara langsung, melalui pos, jasa pengiriman, atau cara lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak adalah: tanggal tanda diterima, dalam hal SPOP disampaikan secara langsung; tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dikirim melalui pos atau jasa pengiriman.
 
Tanggal penyampaian SPOP oleh Direktorat Jenderal Pajak merupakan tanggal diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak, meliputi:
  1. tanggal 1 Februari Tahun Pajak PBB terutang, untuk objek pajak PBB Sektor Perkebunan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, dan objek pajak PBB Sektor Pertambangan untuk Pengusahaan Panas Bumi;
  2. tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang, untuk objek pajak PBB Sektor Perhutanan, objek pajak PBB Sektor Pertambangan Mineral atau Batubara, dan objek pajak PBB Sektor Lainnya; atau
  3. tanggal Objek Pajak terdaftar sebagaimana tercantum dalam SKT PBB, dalam hal Pendaftaran Objek Pajak diterbitkan SKT PBB setelah 1 Februari Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf a atau tanggal 31 Maret Tahun Pajak PBB terutang sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan terpenuhi kondisi saat terutang PBB menurut keadaan Objek Pajak pada 1 Januari Tahun Pajak PBB terutang.
SPOP tersebut:
  1. SPOP yang dimaksud merupakan SPOP elektronik
  2. dilampiri dengan LSPOP yang merupakan bagian tidak terpisahkan dengan SPOP; 
  3. harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap, serta ditandatangani oleh Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak. Jelas berarti bahwa pengisian data dalam SPOP tidak menimbulkan salah tafsir yang dapat merugikan negara maupun Wajib Pajak sendiri. Benar berarti bahwa semua data yang dilaporkan harus sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Lengkap berarti bahwa SPOP memuat semua unsur yang harus dilaporkan dan dilampiri dokumen pendukung isian SPOP; 
  4. dalam hal yang menjadi Wajib Pajak adalah badan, SPOP ditandatangani oleh pengurus atau direksi; 
  5. dalam hal ditandatangani oleh kuasa Wajib Pajak, harus dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan 
  6. Bentuk dan format SPOP, serta data pendukung isian diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak.    
Subjek Pajak atau Wajib Pajak wajib mengembalikan SPOP ke KPP atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah tanggal diterimanya SPOP oleh Subjek Pajak atau Wajib Pajak. Tanggal pengembalian SPOP adalah: tanggal tanda terima, dalam hal SPOP disampaikan secara langsung; tanggal bukti pengiriman, dalam hal SPOP dikirim melalui pos atau jasa pengiriman.

Dalam hal SPOP belum dikembalikan setelah jangka waktu:
  1. 30 (tiga puluh) hari dan Subjek Pajak atau Wajib Pajak tidak menyampaikan surat pemberitahuan penundaan pengembalian SPOP, Kepala KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak.
  2. 7 (tujuh) hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3), KPP menerbitkan surat teguran dan menyampaikan kepada Wajib Pajak.
Wajib Pajak wajib menyampaikan SPOP dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal tanda terima atau tanggal bukti pengiriman surat teguran. Surat teguran dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK 48/PMK.03/2021.

Atas dasar SPOP tersebut DJP menerbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).


Penilaian PBB

Penilaian PBB adalah kegiatan untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak yang akan dijadikan dasar pengenaan PBB sektor perkebunan, sektor perhutanan, sektor pertambangan, dan sektor lainnya. Terdapat tiga pendekatan guna menentukan suatu nilai jual objek pajak, yaitu:
  1. Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.     
  2. Perbandingan Harga dengan Objek Lain yang Sejenis adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya.      
  3. Nilai Jual Objek Pajak Pengganti yang selanjutnya disebut Nilai Jual Pengganti adalah suatu pendekatan atau metode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut.      
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
Dasar Pengenaan Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 6 jo. PMK 186/PMK.03/2019 jo. PMK 234/PMK.03/2022)

1. Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
2. NJOP PBB merupakan hasil penjumlahan antara NJOP bumi dan NJOP bangunan.
3. Penilaian objek pajak untuk penetapan NJOP bumi dan NJOP bangunan dilakukan oleh Penilai Pajak.
4. Penilai Pajak meliputi:
a. pejabat fungsional penilai pajak;
b. pejabat fungsional asisten penilai pajak; dan
c. petugas penilai pajak.
 
 
(Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 40)
 
1. Dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah NJOP.
2. NJOP ditetapkan berdasarkan proses penilaian PBB-P2
3. Besarnya NJOP sebagaimana dimaksud ditetapkan setiap 3 (tiga) tahun, kecuali untuk objek pajak tertentu dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
4. Besaran NJOP ditetapkan oleh Kepala Daerah.
 
Nilai jual sebagai Dasar Pengenaan PBB dikelompokkan menjadi dua, yaitu : (PMK 186/PMK.03/2019)
 
1. Klasifikasi NJOP Bumi & Bangunan untuk Objek Pajak Sektor Perkebunan, Objek Pajak Sektor Perhutanan, dan Objek Pajak Sektor Pertambangan;
2. Klasifikasi NJOP Bumi & Bangunan untuk Objek Pajak Sektor Lainnya.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-371/PJ./2002 tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan Melalui Fasilitas Perbankan Elektronik.
  5. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-40/PJ/2008 tentang Tata Cara Pembayaran dan Pelimpahan Hasil Penerimaan PBB Melalui Fasilitas Perbankan Elektronik untuk Tempat Pembayaran Elektronik.
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-42/PJ/2008 tentang Prosedur Penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) atas Kehilangan/Kerusakan Struk Anjungan Tunai Mandiri (ATM) atau Bukti Pembayaran PBB lainnya dari Fasilitas Tempat Pembayaran PBB (TP) Elektronik.
Dasar Penghitungan Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 6 jo. PP Nomor 25 Tahun 2002)

Yang menjadi dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (assessment value) atau NJKP, yaitu suatu persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen). 
 
Besarnya persentase NJKP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

Contoh: 
 
Nilai jual suatu objek pajak sebesar Rp 1.000.000,00; 
Persentase Nilai Jual Kena Pajak misalnya 20%; 
maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak : 20% x Rp 1.000.000,00 = Rp 200.000,00

Terhitung sejak tahun pajak 2002, besarnya NJKP ditetapkan sebagai berikut :
a. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak untuk objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan.
b. Objek Pajak lainnya :
1. Sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) atau lebih;
2. Sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Untuk pajak bumi dan bangunan sektor perdesaan dan perkotaan tidak mendapat perkalian persentase NJKP.


Dasar Penghitungan Pajak
(UU Nomor 1 Tahun 2022 Pasal 40)
 
NJOP yang digunakan untuk perhitungan PBB-P2 ditetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) dan paling tinggi 100% (seratus persen) dari NJOP setelah dikurangi NJOP tidak kena pajak.
Tarif Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 5)

Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5% (nol koma lima persen).

(UU Nomor 1 Tahun 2022 pasal 41)
  1. Tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,5% (nol koma lima persen);
  2. Tarif PBB-P2 yang berupa lahan produksi pangan dan ternak ditetapkan lebih rendah daripada tarif untuk lahan lainnya;
  3. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Jangka Waktu Pelaksanaan Penagihan
 
PMK 61 Tahun 2023
Kegiatan tindakan pelaksanaan penagihan sejak tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan pengajuan permintaan penetapan tanggal dan tempat pelelangan meliputi jangka waktu paling cepat 30 hari. Penentuan jangka waktu tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Penerbitan Surat Teguran sebagai awal tindakan pelaksanaan penagihan pajak dikeluarkan segera setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pembayaran dari jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam STP;
2. Apabila Surat Teguran tidak dipenuhi oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak, maka diterbitkan Surat Paksa. Jangka waktu penerbitan Surat Paksa paling lambat 21 hari sejak tanggal Pengeluaran Surat Teguran.
3. Surat Paksa memuat perintah kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak untuk melunasi hutang pajaknya dalam waktu 2 x 24 jam sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa. Jika dalam jangka waktu tersebut utang pajak tidak dilunasi oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak maka diterbitkan Surat Perintah Melakukan Penyitaan.
4. Pengajuan permintaan penetapan tanggal dan tempat pelaksanaan lelang dilakukan paling cepat 14 (empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan. Dalam jangka waktu tersebut dilakukan persiapan-persiapan yang menyangkut kelengkapan-kelengkapan :
a. dokumen-dokumen piutang pajak (tindakan STP);
b. dokumen-dokumen yang menyangkut tindakan pelaksanaan penagihan (Surat Teguran, Surat Paksa, Surat Perintah Melakukan Penyitaan, Berita Acara Penyitaan dan lain-lain).
Saat Pajak Terutang
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 8)

Saat yang menentukan pajak yang terhutang adalah menurut keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari. Hal ini dikarenakan PBB hanya mengenal tahun takwim/kalender sebagai tahun pajak (1 Januari sampai dengan 31 Desember).

Contoh :
  1. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa tanah dan bangunan. Pada tanggal 10 Januari 1986 bangunannya terbakar, maka pajak yang terutang tetap berdasarkan keadaan objek pajak pada tanggal 1 Januari 1986, yaitu keadaan sebelum bangunan itu terbakar.
  2. Objek pajak pada tanggal 1 Januari 1986 berupa sebidang tanah tanpa bangunan di atasnya. Pada tanggal 10 Agustus 1986 dilakukan pendataan, ternyata di atas tanah tersebut telah berdiri suatu bangunan, maka pajak yang terhutang untuk tahun 1986 tetap dikenakan pajak berdasarkan keadaan pada tanggal 1 Januari 1986. Sedangkan bangunannya baru akan dikenakan pada tahun 1987.
Pembayaran
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 11 jo. PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 1 jo. PMK 18 Tahun 2021 Pasal 103)

Jatuh tempo pelunasan PBB yang kurang dibayar sebagaimana tercantum dalam SPPT adalah selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.

Tempat Pembayaran PBB terutang adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh BUN untuk menerima pembayaran PBB dan memindahbukukan ke Bank Persepsi/Pos Persepsi.

Pembayaran PBB terutang dapat dilakukan secara elektronik di Bank Umum/Kantor Pos (melalui fasilitas perbankan elektronik seperti ATM, internet, dan phone banking) yang ditunjuk oleh BUN untuk menerima pembayaran PBB secara elektronik dan memindahbukukan ke Bank Persepsi Elektronik/Pos Persepsi Elektronik.

Pembayaran PBB juga dapat dilakukan melalui petugas yang ditunjuk untuk memungut PBB sektor Pedesaan dan/atau sektor Perkotaan dan menyetorkannya ke Tempat Pembayaran.

Yang dimaksud dengan :
1. Bank Persepsi adalah bank umum yang ditunjuk oleh Kuasa BUN Pusat untuk menerima setoran Penerimaan Negara. 
2. Pos Persepsi adalah Kantor Pos yang ditunjuk Kuasa BUN untuk menerima setoran Penerimaan Negara.
3. Bank Persepsi Elektronik/Pos Persepsi Elektronik, yang selanjutnya disebut Bank/Pos Persepsi Elektronik, adalah Bank Umum/Kantor Pos yang ditunjuk oleh Kuasa BUN untuk menerima pemindahbukuan hasil penerimaan PBB dari TP Elektronik dan melimpahkan hasil penerimaan PBB ke kas negara.
 
 
Tata Cara Pembayaran PBB
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 11 jo. PMK 242/PMK.03/2014 Pasal 10, 11, 12, 13)

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan ke Kas Negara melalui:
a. layanan pada loket/teller (over the counter); dan/atau
b. layanan dengan menggunakan Sistem Elektronik lainnya,
pada Bank Persepsi/Pos Persepsi/Bank Devisa Persepsi/Bank Persepsi Mata Uang Asing

Pembayaran dan penyetoran pajak dilakukan dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP. Sarana administrasi lain dapat berupa:
a. BPN atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem pembayaran pajak secara  elektronik atau dengan datang langsung ke Bank Persepsi
b. SSPCP atas pembayaran dan penyetoran PPh Pasal 22 impor, PPN impor, dan PPnBM impor serta PPN Hasil Tembakau Buatan Dalam Negeri;
c. Bukti Pbk atas pembayaran dan penyetoran pajak melalui Pemindahbukuan; atau
d. bukti penerimaan pajak lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

SSP atau sarana administrasi lain dinyatakan sah, dalam hal telah divalidasi dengan NTPN. Dikecualikan dari ketentuan Bukti Pbk dinyatakan sah dalam hal telah ditandatangani oleh Pejabat yang berwenang untuk menerbitkan Bukti Pbk.
 
Pembayaran yang dilakukan oleh Wajib Pajak diakui sebagai pelunasan kewajiban sesuai dengan tanggal bayar yang tertera pada BPN atau tanggal bayar berdasarkan validasi MPN pada SSP atau sarana administrasi lain.
 
Satu formulir SSP hanya dapat digunakan untuk pembayaran: 
a. 1 (satu) jenis pajak;
b. 1 (satu) Masa Pajak atau Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak; dan
c. 1 (satu) surat ketetapan pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Tagihan Pajak PBB, dengan menggunakan 1 (satu) kode akun pajak dan 1 (satu) kode jenis setoran.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
  3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
  5. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang  Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
  6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.     
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 253/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2023 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak     
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 249/PMK.03/2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 253/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-37/PJ/2017 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.
Tata Cara Penagihan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 11)

Tata cara penagihan PBB, dapat diilustrasikan sebagai berikut :
1. Tindakan pelaksanaan penagihan diawali dengan pengeluaran Surat Teguran sampai pelaksanaan lelang.
2. Namun demikian, dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat Wajib Pajak, pemberitahuan melalui telepon, surat atau cara lain sebelum lewat saat jatuh tempo pembayaran hendaknya dilakukan.
3. Tindakan pelaksanaan penagihan harus dilaksanakan sampai tuntas, dengan hasil akhir berupa pelunasan utang pajak.
4. Urutan Pelaksanaan Penagihan :
a. Penerbitan surat teguran;
b. Penerbitan surat paksa;
c. Penerbitan surat perintah melakukan penyitaan;
d. Pelaksanaan penyitaan;
Apabila wajib pajak melunasi hutang pajaknya sebelum pelaksanaan penyitaan, maka surat perintah melakukan penyitaan tersebut dicabut.
e. Pengajuan/permintaan jadual waktu dan tempat pelelangan;
f. Pengumuman lelang;
g. Pelaksanaan lelang.
Apabila wajib pajak melunasi hutang pajaknya serta biaya-biaya lainnya sebelum pelaksanaan lelang, maka Pengumuman Lelang tersebut dibatalkan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.03/2008 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sehubungan dengan Luapan Lumpur Sidoarjo.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 172/PMK.010/2016 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi pada Tahap Eksplorasi.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK.03/2017 tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Yang Tidak Benar
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82/PMK.03/2017 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-43/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi Dan Bangunan Dan Pengurangan Atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Pajak Bumi Dan Bangunan, Yang Tidak Benar
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 44/PJ/2017 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan.
Dasar Penagihan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 12; UU 1 Tahun 2022 jo PMK 234 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023)

Sebagai dasar penagihan pajak, dapat diterbitkan :
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya PBB terutang kepada Wajib Pajak. SPPT diterbitkan oleh KPP untuk 1 (satu) tahun pajak.SPPT yang dimaksud  diterbitkan dalam bentuk elektronik dan ditandatangani secara elektronik. SPPT diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun setelah berakhirnya Tahun Pajak PBB terutang.

Bentuk dan Isi Formulir SPPT sebagaimana ditetapkan dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.03/2022.

2. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
DJP dapat mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Apabila Surat Pemberitahuan Objek Pajak tidak disampaikan dan setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan sebagaimana ditentukan dalam surat teguran.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud di atas, adalah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dihitung dari pokok pajak.
b. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain ternyata jumlah yang terhutang lebih besar dari jumlah pajak yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak yang disampaikan oleh wajib pajak.
Jumlah pajak yang terutang dalam Surat Ketetapan Pajak sebagaimana dimaksud di atas adalah selisih pajak yang terhutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain dengan pajak yang terhutang yang dihitung berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak ditambah denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) dari selisih pajak yang terhutang.
Pajak yang terutang berdasarkan SKP PBB harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP PBB oleh Wajib Pajak.

3. Surat Tagihan Pajak (STP)
Dasar Penerbitan STP dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
b. Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SKP, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak;
c. Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

Besarnya denda administrasi dalam STP pada saat jatuh tempo dan besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak membayar pajaknya melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% (dua persen) sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan. Pajak yang terutang berdasarkan STP PBB harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya Surat Tagihan Pajak PBB oleh Wajib Pajak.

Tata cara penerbitan STP dilakukan sesuai dengan PER - 01/PJ/2022.

Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan, Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) dalam hal:
1. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran (Jumlah tagihan dalam berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1% (satu persen) per bulan dari jumlah Pajak yang kurang dibayar, dihitung sejak saat terutangnya Pajak atau berakhirnya masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;
2. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran (Jumlah tagihan dalam STPD , berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan); atau
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.

Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. Adapun Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Jangka waktu penerbitan ketetapan PBB (Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak PBB, Surat Tagihan Pajak PBB)
(SE-48/PJ.6/2008)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994, tidak mengatur mengenai batas waktu penerbitan ketetapan serta daluwarsa penagihan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sehingga ketentuan mengenai batas waktu penerbitan ketetapan pajak dan daluwarsa penagihan dalam Undang-Undang KUP berlaku untuk PBB.

Mengacu pada ketentuan Pasal 13 dan Pasal 15 Undang-Undang KUP Tahun 2007, untuk Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya, ketetapan PBB diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak.
 
Walaupun batas waktu penerbitan ketetapan PBB sebagaimana dimaksud di atas telah lewat, surat ketetapan PBB tetap dapat diterbitkan apabila Wajib Pajak setelah batas waktu tersebut dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang PBB atau tindak pidana lainnya yang dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara bedasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
 
Mengacu pada ketentuan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP Tahun 2007, untuk Tahun Pajak 2008 dan Tahun Pajak-Tahun Pajak berikutnya, hak untuk melakukan penagihan PBB, termasuk denda administrasi dan biaya penagihan PBB, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan STP PBB dan tertangguh apabila memenuhi ketentuan Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang KUP Tahun 2007.
Tempat Pajak Terutang
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 8; UU Nomor 1 Tahun 2022)

Tempat pajak yang terutang adalah :
  1. Untuk daerah Jakarta, di wilayah daerah khusus Ibukota Jakarta;
  2. Untuk daerah lainnya, di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II atau Kotamadya Daerah Tingkat II, yang meliputi letak Objek Pajak.
Tempat pajak yang terutang untuk Kotamadya Batam, di wilayah propinsi daerah tingkat I yang bersangkutan.

Tempat pajak yang terutang Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan adalah di wilayah daerah yang meliputi letak objek pajak.
Sanksi Pidana
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 24, 25)

WP dikenakan sanksi pidana dalam hal :
1. Wajib Pajak karena kealpaanya :
• tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
• menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian negara, maka akan dikenakan sanksi administrasi dan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya 2 (dua) kali lipat pajak yang terutang;
2. Wajib Pajak yang dengan sengaja :
• tidak mengembalikan atau menyampaikan SPOP kepada Direktorat Jenderal Pajak;
• menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
• memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen dipalsukan seolah-olah benar;
• tidak memperlihatkan data atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
• tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan;
sehingga menimbulkan kerugian bagi negara, akan dikenakan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau denda setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terutang.

Ketentuan untuk pejabat yang tugas pekerjaannya berkaitan langsung atau ada hubungannya dengan obyek pajak ataupun pihak lainnya yang melakukan tindakan sebagaimana dimaksud pada poin 4 dan 5 dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp. 2.000.000,- (dua juta rupiah).

Sanksi pidana tersebut dilipatkan dua, apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat satu tahun, terhitung sejak selesainya menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
Proses Penyelesaian Keberatan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 Pasal 15 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. PMK 253 Tahun 2014 jo. PMK 249 Tahun 2016 jo. SE-37/PJ/2017; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023)

Proses Penyelesaian Keberatan :
1. Keberatan diajukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan ke KPP Pratama, atau Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dalam wilayah KPP Pratama yang bersangkutan, baik secara langsung atau melalui pos atau melalui jasa pengiriman dengan bukti pengiriman surat.
2. Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya dengan disertai bukti pendukung.
3. Tanggal penerimaan surat Keberatan yang dijadikan dasar untuk memproses surat Keberatan adalah:
• tanggal tanda terima sebagaimana tercantum pada bukti penerimaan surat, dalam hal Surat Keberatan disampaikan secara langsung; atau
• tanggal pengiriman sebagaimana tercantum pada bukti pengiriman surat, dalam hal Surat Keberatan disampaikan melalui pos atau jasa pengiriman.
4. Pengajuan Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan, dianggap bukan sebagai Keberatan sehingga tidak dapat dipertimbangkan.
5. Surat Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan, diberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak melalui penyampaian surat pemberitahuan dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II PMK 253/PMK.03/2014.
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan gugatan ke Pengadilan Pajak atas surat dari Direktur Jenderal Pajak yang menyatakan bahwa keberatan Wajib Pajak tidak dipertimbangkan, jangka waktu 12 (dua belas) bulan tertangguh, terhitung sejak tanggal dikirim surat dari Direktur Jenderal Pajak tersebut kepada Wajib Pajak sampai dengan Putusan Pengadilan Pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak.
6. Kepala Kanwil DJP dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat Keberatan, harus memberi suatu keputusan atas pengajuan Keberatan.
7. Keputusan Keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak, atau menambah besarnya jumlah PBB yang terutang.
8. Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal penerimaan surat Keberatan telah terlampaui dan keputusan belum diterbitkan, pengajuan Keberatan dianggap dikabulkan dan diterbitkan keputusan sesuai dengan pengajuan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu dimaksud berakhir.
9. Dalam hal keputusan Keberatan menyebabkan perubahan data dalam SPPT atau SKP PBB, KPP Pratama menerbitkan SPPT atau SKP PBB baru berdasarkan keputusan Keberatan tanpa merubah saat jatuh tempo pembayaran.
Dalam hal Surat Keputusan Keberatan PBB menyebabkan perubahan besarnya PBB yang terutang dalam SPPT atau SKP PBB:
a. Kepala KPP melakukan pembetulan atas SPPT atau SKP PBB secara jabatan, dalam hal SPPT atau SKP PBB belum melewati jatuh tempo pembayaran dan Wajib Pajak belum melakukan pembayaran.
b. Kepala KPP melakukan penerbitan STP PBB sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam hal SPPT atau SKP PBB sudah melewati jatuh tempo pembayaran dan Wajib Pajak belum melakukan pembayaran.
c. Kepala KPP melakukan pembetulan STP PBB secara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, dalam hal sudah diterbitkan STP PBB dan Wajib Pajak belum melakukan pembayaran.
10. SPPT atau SKP PBB baru yang diterbitkan berdasarkan keputusan Keberatan tidak bisa diajukan Keberatan.
11. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud dalam angka 12, Wajib Pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis sepanjang surat keputusan Keberatan belum diterbitkan.
 
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberikan keputusan atas keberatan yang diajukan.
 
Apabila jangka waktu 12 (dua belas) bulan telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan, maka keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima.
 
Sebelum surat keputusan diterbitkan, wajib pajak dapat menyampaikan alasan tambahan atau penjelasan tertulis.
 
Keputusan Direktur Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang.
 
Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Dalam memberikan keputusan, Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk dapat melakukan Pemeriksaan.
 
Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima.
 
Keputusan Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk atas keberatan dapat berupa:
1. menerima seluruhnya dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
2. menerima sebagian dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sebagian sama dengan Pajak yang terutang menurut Wajib Pajak;
3. menolak dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian sama dengan Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak; atau
4. menambah besarnya jumlah Pajak yang terutang dalam hal Pajak terutang berdasarkan hasil penelitian lebih besar dari Pajak yang terutang dalam surat keputusan/ketetapan yang diajukan keberatan oleh Wajib Pajak.
 
Apabila jangka waktu telah lewat dan Kepala Daerah tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap diterima..
 
Kemudian, Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian keberatan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.
Syarat Mengajukan Keberatan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 Pasal 15 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. PMK 249/PMK.03/2016; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023)

Surat Keberatan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. satu Surat Keberatan untuk satu SPPT atau SKP PBB;
b. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia;
c. ditujukan kepada Direktur Jenderal Pajak dan disampaikan melalui KPP;
d. dilampiri dengan fotokopi SPPT atau SKP PBB yang diajukan keberatan;
e. dikemukakan jumlah PBB yang terutang menurut penghitungan Wajib Pajak dan disertai dengan alasan pengajuan keberatan;
f. diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT atau SKP PBB, kecuali Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya dengan disertai bukti pendukung;
g. ditandatangani oleh Wajib Pajak, atau dalam hal Surat Keberatan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak, Surat Keberatan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
h. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan:
1. pengurangan atau pembatalan SPPT atau SKP PBB yang tidak benar;
2. pengurangan PBB; atau
3. pengurangan denda administrasi PBB.
Dalam hal Surat Keberatan yang disampaikan oleh Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan sebagaimana huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, atau huruf g di atas, Wajib Pajak dapat melakukan perbaikan atas Surat Keberatan tersebut dan menyampaikan kembali sebelum jangka waktu 3 (tiga) bulan terlampaui. Surat Keberatan dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Nomor 249/PMK.03/2016.

Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan, Pengajuan keberatan harus diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak tanggal surat ketetapan pajak dikirim. Dalam hal Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya, pengajuan keberatan dapat diajukan dalam jangka waktu lebih dari 3 (tiga) bulan. Keberatan dapat diajukan apabila Wajib Pajak telah membayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui Wajib Pajak. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, jangka waktu pelunasan atas jumlah Pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan. Pengajuan keberatan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Tata Cara Pengajuan Permohonan Pengurangan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo. PMK Nomor 82/PMK.03/2017)

Pengurangan PBB diberikan berdasarkan permohonan Wajib Pajak yang ditujukan kepada Menteri Keuangan dan disampaikan melalui Kepala KPP.

1. Permohonan Pengurangan PBB karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. Wajib Pajak tidak sedang mengajukan keberatan PBB atas SPPT atau SKP PBB yang dimohonkan Pengurangan PBB;
b. Wajib Pajak tidak mengajukan banding atas surat keputusan keberatan PBB;
c. Wajib Pajak tidak mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi atas SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB, atau Wajib Pajak mengajukan permintaan pengurangan denda administrasi atas SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB tetapi dianggap bukan sebagai permintaan karena tidak memenuhi persyaratan;
d. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pengurangan atas SPPT atau SKP PBB yang tidak benar atau Wajib Pajak mengajukan permohonan pengurangan atas SPPT atau SKP PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
e. Wajib Pajak tidak mengajukan permohonan pembatalan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB  yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB, yang tidak benar atau Wajib Pajak mengajukan permohonan pembatalan SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB yang tidak benar tetapi dianggap bukan sebagai permohonan;
f. Wajib Pajak tidak sedang mengajukan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB; dan
g. diajukan dalam jangka waktu:
1. 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT;
2. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB;
3. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB; atau
4. 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya surat keputusan pembetulan atas SPPT, SKP PBB, atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB dalam hal:
a) permohonan pembetulan atas SPPT diajukan dalam waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT; atau
b) permohonan pembetulan atas SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB diajukan dalam waktu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SKP PBB atau STP PBB yang diterbitkan atas dasar surat keputusan keberatan PBB.
Ketentuan jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf g, tidak berlaku dalam hal Wajib Pajak dapat membuktikan bahwa dalam jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan  di luar kekuasaannya.
2. Permohonan Pengurangan PBB terhadap Objek Pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa harus memenuhi ketentuan sebagai berikut:
a. diajukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal terjadinya bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
b. mencabut pengajuan keberatan PBB, banding, peninjauan kembali, serta permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan PBB yang tidak benar, atau pengurangan/ penghapusan denda administrasi PBB, dalam hal atas pengajuan atau permohonan dimaksud belum diterbitkan keputusan atau putusan.
 
Persyaratan Permohonan Pengurangan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo PMK Nomor 82/PMK.03/2017)

Permohonan, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) SPPT, SKP PBB, atau STP PBB;
  2. diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mengemukakan besarnya persentase Pengurangan PBB yang dimohonkan dengan disertai alasan yang jelas;
  3. ditandatangani oleh Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak, dan dalam hal permohonan ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak atau wakil Wajib Pajak, permohonan tersebut harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan; dan
  4. tidak memiliki tunggakan PBB atas Objek Pajak yang dimohonkan Pengurangan PBB, kecuali dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Permohonan dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK Nomor 82/PMK.03/2017


Dokumen Pendukung Permohonan Pengurangan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo. PMK Nomor 82/PMK.03/2017)

Permohonan harus dilampiri dengan fotokopi SPPT, SKP PBB, atau STP PBB, yang dimohonkan Pengurangan PBB.
1. Dalam hal Pengurangan PBB karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a, permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilampiri dengan:
a. fotokopi laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun pengajuanpermohonan Pengurangan PBB, untuk Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan; atau
b. fotokopi dokumen pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, untuk Wajib Pajak yang melakukan pencatatan; dan
c. fotokopi dokumen pendukung yang menyatakan Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas pada tahun sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB.
2. Dalam hal Pengurangan PBB terhadap Objek Pajak yang terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b, permohonan Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga harus dilampiri dengan:
a. surat pernyataan dari Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa; dan
b. surat keterangan dari instansi terkait sebagai bukti pendukung yang menyatakan bahwa Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.
Surat pernyataan Wajib Pajak yang menyatakan bahwa Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa dibuat dengan menggunakan contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari PMK Nomor 82/PMK.03/2017.


Keputusan atas Permohonan Pengurangan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo. PMK Nomor 82/PMK.03/2017)
  1. Kepala Kanwil DJP dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal surat permohonan Pengurangan PBB diterima harus memberi keputusan atas permohonan Pengurangan PBB berupa mengabulkan seluruhnya, mengabulkan sebagian, atau menolak permohonan Wajib Pajak.
  2. Apabila jangka waktu pemberian keputusan telah terlampaui dan Kepala Kanwil DJP tidak menerbitkan surat keputusan Pengurangan PBB, permohonan Pengurangan PBB dianggap 
    dikabulkan dan Kepala Kanwil DJP harus menerbitkan surat keputusan Pengurangan PBB sesuai dengan permohonan Wajib Pajak dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan terhitung sejak jangka waktu berakhir.
  3. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan Pengurangan PBB dengan mengemukakan besaran persentase melebihi ketentuan; dan Kepala Kanwil DJP menerbitkan surat keputusan Pengurangan PBB melampaui jangka waktu, maka besarnya Pengurangan PBB yang ditetapkan dalam surat keputusan Pengurangan PBB paling tinggi sebesar persentase di atas.
  4. Dalam hal Kepala Kanwil DJP atas nama Menteri Keuangan telah menerbitkan keputusan Pengurangan PBB; dan Wajib Pajak mengajukan permintaan keterangan secara tertulis mengenai keputusan, maka Kepala Kanwil DJP memberikan keterangan secara tertulis mengenai hal-hal yang menjadi dasar untuk menolak atau mengabulkan sebagian permohonan Wajib Pajak 
Dasar Restitusi
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. PMK 17/PMK.03/2011 Pasal 2 dan Pasal 3; PMK Nomor 244/PMK.03/2015 UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023)

Kelebihan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terjadi dalam hal:
  1. PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari yang seharusnya terutang; atau
  2. Dilakukan pembayaran PBB yang tidak seharusnya terutang.
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat objek pajak terdaftar.

Kemudian, berdasarkan PMK Nomor 244/PMK.03/2015 bahwa kelebihan pembayaran PBB dapat dikembalikan dalam hal terdapat:
  1. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan SKKP PBB; 
  2. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung; 
  3. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang PBB; 
  4. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Denda Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 Undang-Undang PBB;  
  5. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pembetulan PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP;
  6. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Sanksi Administrasi atau Surat Keputusan Penghapusan Sanksi Administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
  7. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Ketetapan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Ketetapan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP; atau 
  8. PBB yang lebih dibayar karena diterbitkan Surat Keputusan Pengurangan Surat Tagihan Pajak PBB atau Surat Keputusan Pembatalan Surat Tagihan Pajak PBB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf c Undang-Undang KUP.
Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan, atas kelebihan pembayaran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian kepada Kepala Daerah. Kepala Daerah dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diterimanya permohonan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak harus memberikan keputusan.

Apabila jangka waktu telah dilampaui dan Kepala Daerah tidak memberikan suatu keputusan, permohonan pengembalian pembayaran Pajak dianggap dikabulkan dan SKPDLB harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan. Apabila Wajib Pajak mempunyai utang Pajak, kelebihan pembayaran Pajak langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih dahulu utang Pajak tersebut.

Pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan sejak diterbitkannya SKPDLB.

Jika pengembalian kelebihan pembayaran Pajak dilakukan setelah lewat 2 (dua) bulan, Kepala Daerah memberikan imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan atas keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang  Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 Tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 234/PMK.03/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar Keberatan
(UU Nomor 12 Tahun 1985 Pasal 15 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023)

Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan pada Direktur Jenderal Pajak atas  :
  1. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT); atau
  2. Surat Ketetapan Pajak PBB (SKP PBB).
Keberatan hanya diajukan terhadap materi dalam penetapan besarnya PBB yang terutang pada SPPT atau SKP PBB.

Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk terhadap SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, SKPDLB, SKPDN, atau pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga.
Pengurangan PBB Wilayah Tertentu
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo. jo. SE-44/PJ.6/1994)

Pengurangan yang diajukan atas objek pajak badan yang telah mendapatkan fasilitas keringanan sesuai dengan keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 748/KMK.04/1990 tanggal 28 Juni 1990 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Bagi Investasi di Wilayah Tertentu, tidak dapat lagi diberikan (lex specialist).

Contoh :
Badan Usaha "PT. X" yang bergerak di bidang usaha perhutanan melakukan investasi di daerah Kalimantan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 748/KMK.04/1990 tanggal 28 Juni 1990, terhadap objek pajak bersangkutan diberikan pengurangan sebesar 50% dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunan terutang, selama 8 (delapan) tahun berturut-turut sejak diperolehnya izin peruntukan tanah.

Jika wajib pajak tersebut mengajukan pengurangan berdasarkan Keputusan Menteri keuangan Nomor : 158/KMK.04/1991 tanggal 13 Februari 1991, maka terhadap objek pajak tersebut tidak dapat lagi diberikan pengurangan.
Tata Cara Pengajuan Banding
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 17; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo. PP Nomor 35 Tahun 2023)

Ketentuan Pasal 17 UU PBB tentang Banding dihapus sehingga ketentuan banding PBB mengikuti ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Jika WP tidak puas atas keputusan keberatan maka ia dapat mengajukan banding hanya kepada badan peradilan pajak. Putusan Pengadilan Pajak merupakan putusan pengadilan khusus di lingkungan peradilan tata usaha negara. (UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 27)


Syarat yang harus dipenuhi WP dalam mengajukan banding
(UU Nomor 28 Tahun 2007 Pasal 27; UU Nomor 14 Tahun 2002; PP Nomor 35 Tahun 2023)

Tata cara pengajuan surat permohonan banding :
1. Banding diajukan dengan Surat Banding dalam Bahasa Indonesia kepada Pengadilan Pajak.
2. Banding diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak Surat Keputusan Keberatan diterima, dengan dilampiri salinan dari Surat Keputusan keberatan tersebut.
3. Jangka waktu sebagaimana dimaksud tidak mengikat apabila jangka waktu dimaksud tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaan pemohon Banding (force majeur).
4. Pemohon Banding dapat melengkapi Surat Bandingnya untuk memenuhi ketentuan yang berlaku sepanjang masih dalam jangka waktu 3 bulan tersebut.
5. Terhadap 1 (satu) Keputusan diajukan 1 (satu) Surat Banding.
6. Banding diajukan dengan disertai alasan-alasan yang jelas, dan dicantumkan tanggal diterima surat keputusan yang dibanding.
7. Selain dari persyaratan di atas, dalam hal Banding diajukan terhadap besarnya jumlah Pajak yang terutang, Banding hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang dimaksud telah dibayar sebesar 50% (lima puluh persen).

Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan pengajuan permohonan banding, Direktur Jenderal Pajak wajib memberikan keterangan secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar Surat Keputusan Keberatan yang diterbitkan.

Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan,berikut tata cara pengajuan permohonan banding:
1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak atas Surat Keputusan Keberatan yang ditetapkan oleh Kepala Daerah atau Pejabat yang ditunjuk paling lama 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima dengan dilampiri salinan Surat Keputusan Keberatan.
2. Permohonan banding menangguhkan kewajiban membayar Pajak sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Putusan Banding.
3. Pengajuan banding dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
4. Jika permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya, kelebihan pembayaran Pajak dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dihitung dari Pajak yang lebih dibayar untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Imbalan bunga dihitung sejak bulan pelunasan sampai dengan diterbitkannya SKPDLB.
5. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah Pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan Pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Sanksi Administrasi
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 10 dan Pasal 11; UU Nomor 1 Tahun 2022 jo PP Nomor 35 Tahun 2023)

WP dikenakan sanksi administrasi dalam hal :
1. Wajib Pajak yang tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak walaupun sudah ditegur secara tertulis, dikenakan denda administrasi sebesar 25% dari pokok pajak.
2. Wajib Pajak yang melaporkan data objek pajak tidak benar (lebih kecil dari hasil pemeriksaan Direktorat Jenderal Pajak), dikenakan denda administrasi sebesar 25% dari selisih pajak yang terutang.
3. Pajak terutang yang pada saat jatuh tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, akan dikenakan denda administrasi sebesar 2% sebulan, dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
 
Untuk PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan, Kepala Daerah dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah (STPD) dalam hal:
1. Pajak terutang dalam SKPD atau SPPT yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran (Jumlah tagihan dalam STPD berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 1 % (satu persen) setiap bulan dihitung dari Pajak yang kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan;
2. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo pembayaran (Jumlah tagihan dalam STPD , berupa pokok Pajak yang kurang dibayar ditambah dengan pemberian sanksi administratif berupa bunga sebesar 0,6% (nol koma enam persen) per bulan dari Pajak yang tidak atau kurang dibayar, dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak saat terutangnya Pajak serta bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan; atau
3. Wajib Pajak dikenakan sanksi administratif berupa bunga dan/atau denda.
 
Pajak yang terutang berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat Paksa. Adapun Penagihan Pajak dengan Surat Paksa dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pengurangan Denda Administrasi
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 20 jo. PMK Nomor 81/PMK.03/2017 )

Direktur Jenderal Pajak atas permintaan Wajib Pajak dapat mengurangkan denda administrasi PBB karena hal-hal tertentu yang meliputi:
1. denda administrasi sebesar 25% (dua puluh lima persen) yang dihitung dari pokok pajak yang tercantum dalam SKP PBB; atau
2. denda administrasi sebesar 2% (dua persen) sebulan yang tercantum dalam STP PBB.
 
Hal-hal tertentu sebagaimana dimaksud di atas berupa:
1. kealpaan Wajib Pajak;
2. bukan kesalahan Wajib Pajak;
3. Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas (Kesulitan likuiditas merupakan kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha), pada:
a. akhir tahun buku sebelum tahun pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi PBB, dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan; atau
b. akhir tahun kalender sebelum tahun pengajuan permintaan pengurangan denda administrasi PBB, dalam hal Wajib Pajak melakukan pencatatan;
4. terjadi bencana alam (Bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor) atau kejadian luar biasa lainnya (kebakaran, huru-hara, atau kerusuhan) sehingga Wajib Pajak tidak dapat memenuhi kewajiban perpajakannya; atau
5. hal-hal lain berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2020 Tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Dalam Rangka Simplifikasi Regulasi
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 01/PJ/2022 tentang Surat, Daftar, dan Formulir yang Digunakan Dalam Pelaksanaan Penagihan Pajak atas Jumlah Pajak yang Masih Harus Dibayar
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor  SE-48/PJ/2008 tentang Batas Waktu Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan, dan Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan, Serta Daluwarsa Penagihan Pajak Bumi dan Bangunan
Penghitungan Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 7)

Secara umum besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus di bawah ini:

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)   XXXXX
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)   XXXXX (-)
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)        XXXXX
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) XXXXX
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 M) ; atau  
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 M atau lebih)  
Besarnya PBB terutang  XXXXX
= 0.5% X NJKP  
              
Penghitungan PBB Sektor Pedesaan dan Perkotaan
(UU Nomor 1 Tahun 2022)

Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus di bawah ini:

Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)   XXXXX
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)  XXXXX (-)
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)  XXXXX
Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) XXXXX
= 20% x NJOPKP (paling rendah)  
= 100% x NJOPKP (paling tinggi)  
   
Besarnya PBB terutang       XXXXX
= 0.3% (Asumsi tarif tertinggi) X NJOPKP  

Contoh :

Wajib Pajak A mempunyai Objek Pajak berupa :
  • Tanah seluas 800 m2 dengan harga jual Rp 300.000/m2
  • Bangunan seluas 400 m2 dengan nilai jual Rp 350.000/m2;
  • Taman seluas 200 m2 dengan nilai jual Rp 50.000/m2;
  • Pagar sepanjang 120 m dan tinggi rata-rata pagar 1,5 m dengan nilai jual Rp175.000/m2;
Besarnya pokok pajak yang terutang adalah sebagai berikut:

1. NJOP Bumi: 800 x Rp300.000,00   = Rp  240.000.000,00
2. NJOP Bangunan         
  a.   Rumah dan garasi
      400 x Rp350.000,00

=  Rp 140.000.000,00
 
  b.   Taman
      200 x Rp50.000,00

=  Rp   10.000.000,00
 
  c.   Pagar
      (120 x 1,5) x Rp175.000,00    

=  Rp   31.500.000,00 +
 
  Total NJOP Bangunan      Rp 181.500.000,00  
  Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak =  Rp   10.000.000,00 -  
  Nilai Jual bangunan Kena Pajak   = Rp 171.500.000,00 +
3. Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak       = Rp 411.500.000,00
4. Tarif pajak efektif yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah 0,2%.    
5. PBB terutang: 0,2% x Rp411.500.000,00   = Rp        823.000,00
Imbalan Bunga
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. PMK 18/PMK.03/2021)

Apabila pengembalian kelebihan pembayaran pajak dilakukan setelah jangka waktu yang ditetapkan, Pemerintah memberikan imbalan bunga.

Imbalan bunga diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal terdapat :
a. keterlambatan penerbitan Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (SKKP PBB) sesuai ketentuan berlaku;
Imbalan bunga dihitung sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan masa imbalan bunga dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima sampai dengan saat diterbitkannya SKKP PBB, dengan dasar perhitungan imbalan bunganya adalah jumlah kelebihan pembayaran PBB yang tercantum dalam SKKP PBB.
b. keterlambatan penerbitan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (SPMKP PBB) sesuai ketentuan berlaku;
Imbalan bunga dihitung sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dengan masa imbalan bunga mulai dari berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya SKKP PBB sampai dengan diterbitkannya SPMKP PBB, dengan dasar perhitungan imbalan bunganya adalah jumlah kelebihan pembayaran PBB.
c.
kelebihan pembayaran PBB karena pengajuan keberatan atau permohonan banding dikabulkan sebagian atau seluruhnya; atau
Imbalan bunga dihitung sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran PBB sampai dengan diterbitkannya Keputusan Keberatan atau Putusan Banding, dengan dasar perhitungan imbalan bunganya adalah jumlah kelebihan pembayaran PBB sebagian atau seluruhnya sebagaimana hasil Keputusan Keberatanatau Putusan Banding.
d. kelebihan pembayaran sanksi administrasi karena pengurangan atau penghapusan sebagai akibat diterbitkan Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Imbalan bunga dihitung sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dari jumlah kelebihan pembayaran pajak untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan kelebihan pembayaran sanksi administrasi sampai dengan diterbitkannya Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi, dengan dasar perhitungan imbalan bunganya adalah jumlah kelebihan pembayaran sanksi administrasi sebagaimana hasil Keputusan Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi.

Masa imbalan bunga dihitung berdasarkan satuan bulan, dan kurang dari 1 (satu) bulan dihitung 1 (satu) bulan penuh.

Imbalan bunga sebagaimana dimaksud di atas diperhitungkan dengan utang pajak.

Tarif bunga per bulan merupakan tarif bunga yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
Pengurangan PBB Untuk Kegiatan Usaha Pertambangan/Pengusahaan Panas Bumi Pada Tahap Eksplorasi
(172/PMK.010/2016)

Pengurangan PBB diberikan kepada Wajib Pajak atas PBB Panas Bumi yang terutang yang tercantum dalam SPPT untuk Tubuh Bumi. Pengurangan PBB tersebut diberikan sebesar 100% (seratus persen) dari PBB Panas Bumi yang terutang. Wajib Pajak yang dapat diberikan Pengurangan PBB Panas Bumi sebagaimana dimaksud yaitu Wajib Pajak yang memenuhi ketentuan sebagai berikut:
  1. memiliki Izin Panas Bumi setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi;
  2. menyampaikan SPOP; dan
  3. melampirkan surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha Panas Bumi yang menyatakan bahwa objek PBB Panas Bumi masih pada tahap Eksplorasi.
Jangka Waktu Pengurangan PBB
Pengurangan PBB sebagaimana dapat diberikan setiap tahun untuk jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun, terhitung sejak Izin Panas Bumi diterbitkan. Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama untuk jangka waktu 2 (dua) tahun. Perpanjangan jangka waktu dapat diberikan sepanjang telah terdapat surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kegiatan usaha Panas Bumi yang menyatakan bahwa objek PBB Panas Bumi masih pada tahap Eksplorasi. Pengurangan PBB diberikan untuk SPPT mulai tahun pajak 2017.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Undang-Undang 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan Pemerintahan Daerah.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2011 tentang Permohonan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Penghitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak.
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 7/PJ/2011 Tentang  Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
Tata Cara Pengajuan Restitusi
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. PMK 17/PMK.03/2011)

Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran PBB kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat objek pajak terdaftar.
 
Permohonan harus memenuhi persyaratan:
1. permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan mencantumkan besarnya pengembalian yang dimohon disertai alasan yang jelas;
2. permohonan dilampiri fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Tagihan Pajak PBB (STP PBB), atau SKP PBB, dan bukti pembayaran PBB yang sah; dan
3. surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak, dan dalam hal ditandatangani oleh bukan Wajib Pajak berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) surat permohonan harus dilampiri dengan Surat Kuasa Khusus, untuk:
1) Wajib Pajak badan; atau
2) Wajib Pajak orang pribadi dengan kelebihan pembayaran PBB menurut Wajib Pajak lebih banyak dari Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah);
b) surat permohonan harus dilampiri dengan surat kuasa, untuk Wajib Pajak orang pribadi dengan kelebihan pembayaran PBB menurut Wajib Pajak paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

Permohonan pengembalian yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas dianggap bukan sebagai permohonan sehingga tidak dapat di pertimbangkan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan atau penelitian terhadap permohonan pengembalian dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal diterimanya surat permohonan pengembalian Wajib Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama atas nama Direktur Jenderal Pajak menerbitkan:
1. SKKP PBB apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata lebih besar dari jumlah PBB terutang;
2. SPb apabila jumlah PBB yang dibayar sama dengan jumlah PBB terutang;
3. SKP PBB apabila jumlah PBB yang dibayar ternyata kurang dari jumlah PBB terutang.

Apabila setelah jangka waktu di atas Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama tidak memberikan keputusan, permohonan tersebut dianggap dikabulkan dan SKKP PBB diterbitkan paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
Pengurangan Pajak
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo. PMK Nomor 82/PMK.03/2017)

Pengurangan PBB untuk selain sektor Perdesaan dan Perkotaan dapat diberikan kepada Wajib Pajak:
1. karena kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau
2. dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.

Kondisi tertentu sebagaimana dimaksud di atas yaitu kerugian (yang diketahui dari laporan keuangan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh; atau pencatatan yang dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, dalam hal Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan) dan kesulitan likuiditas (kondisi ketidakmampuan Wajib Pajak dalam membayar utang jangka pendeknya dengan kas yang diperoleh dari kegiatan usaha) pada:
1. akhir tahun buku sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan; atau
2. akhir tahun kalender sebelum tahun pengajuan permohonan Pengurangan PBB, dalam hal Wajib Pajak melakukan pencatatan.

Kemudian, bencana alam sebagaimana dimaksud di atas merupakan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, atau tanah longsor. Sebab lain yang luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b antara lain kebakaran, wabah penyakit, wabah hama, huru-hara, kerusuhan, atau tindakan anarkis.

Pengurangan PBB untuk sektor Perdesaan dan Perkotaan, pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok Pajak dan/atau sanksinya diatur dalam Peraturan Daerah.


Besarnya Pengurangan PBB
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 19 jo. PMK Nomor 82/PMK.03/2017)

Pengurangan PBB dapat diberikan:
1. sebesar paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen) dari PBB yang terutang dalam hal kondisi tertentu Objek Pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak; atau
2. sebesar paling tinggi 100% (seratus persen) dari PBB yang terutang dalam hal Objek Pajak terkena bencana alam atau sebab lain yang luar biasa.

PBB yang terutang sebagaimana dimaksud di atas, yaitu: jumlah pokok pajak yang tercantum dalam SPPT, jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam SKP PBB; atau jumlah pokok pajak ditambah dengan denda administrasi yang tercantum dalam STP PBB.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 234/PMK.03/2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 186/PMK.03/2019 tentang Klasifikasi Objek Pajak dan Tata Cara Penetapan Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 796/KMK.04/1993 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atas Rumah Sakit Swasta.
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 32/PJ/2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara.
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-22/PJ/2020 Tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Dalam Rangka Simplifikasi Regulasi.
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2021 tentang Surat Pemberitahuan Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
  8. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-10/PJ.6/1995 tentang Pengenaan PBB atas Perguruan Tinggi Swasta (PTS).
Ketentuan PBB atas Perguruan Tinggi Swasta
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. SE-10/PJ.6/1995)

Perguruan Tinggi Swasta (PTS) merupakan institusi pendidikan yang mempunyai fungsi sosial dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun akhir-akhir ini PTS juga berkembang sebagai institusi yang cenderung memperoleh keuntungan.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dengan ini disampaikan petunjuk pelaksanaan pengenaan PBB atas PTS sebagai berikut :
1. Yang dimaksud Perguruan Tinggi adalah Satuan Pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan berkelanjutan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan para peserta didik serta keluasan dan kedalaman bahan pengajaran yang lebih tinggi dari pada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah;
2. Yang dimaksud Perguruan Tinggi Swasta selanjutnya disebut PTS adalah perguruan tinggi yang berbentuk Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, dan Universitas, yang diselenggarakan oleh Badan Penyelenggaraan PTS yang berbentuk yayasan, perkumpulan sosial dan/atau badan wakaf;
3. Penerbitan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB atas PTS dilaksanakan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut :
a. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SSP) dan pungutan lainnya dengan nama apapun rata-rata >= Rp. 2.000.000,00 (dua juta rupiah) satu tahun.
b. Luas bangunan >= 2.000 m2
c. Lantai/tingkat bangunan >= 4 lantai
d. Luas tanah >= 20.000 m2
e. Jumlah mahasiswa >= 3.000 mahasiswa.
4. Bumi dan/atau bangunan yang dikuasai, dimiliki dan/atau dimanfaatkan oleh PTS, dikenakan PBB sebesar 50% (lima puluh persen) dari PBB yang seharusnya terutang.
5. Bumi dan/atau bangunan yang dikuasai, dimiliki dan/atau dimanfaatkan oleh PTS tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk penyelenggaraan pendidikan secara langsung yang terletak di luar lingkungan PTS yang bersangkutan, tetap dikenakan PBB sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
6. Apabila PTS dapat membuktikan bahwa dalam kegiatannya nyata-nyata tidak memperoleh surplus/keuntungan, maka PTS tersebut dapat mengajukan permohonan pengurangan atau permohonan pembatalan SPPT sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Rincian Pembagian Hasil
(PP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 2)

Hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dibagi untuk Pemerintah Pusat dan Daerah dengan imbangan sebagai berikut :
1. 10% (sepuluh persen) untuk Pemerintah Pusat.
2. 90% (sembilan puluh persen) untuk Daerah.

Jumlah 90% yang merupakan bagian daerah diperinci sebagai berikut :
c. 16.2% untk daerah propinsi yang bersangkutan. 
b. 64.8% untuk daerah Kabupaten / Kota yang bersangkutan. 
c. 9% untuk biaya pemungutan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2000 Tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
  3. Peraturan Pemerintah Nomor  5 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Ketentuan PBB atas Rumah Sakit Swasta
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 jo. 796/KMK.04/1993)

Sejalan dengan perkembangan sosial-ekonomi, rumah sakit swasta dalam melakukan fungsi sosialnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan pelayanan dan jasa-jasa kesehatan, telah berkembang sebagai institusi yang juga bersifat ekonomis dengan menitikberatkan pada upaya mencari keuntungan.
 
Walaupun terdapat pergeseran status dan fungsi rumah sakit swasta dimaksud, fungsi sosial rumah sakit swasta tetap melekat sebagai institusi yang memberikan jasa pelayanan kesehatan, sehingga turut menunjang program kesehatan nasional.
 
Atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki/dikuasai/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta tersebut dapat dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pada jumlah tertentu atas pajak terutang dengan memperhatikan fungsi sosial rumah sakit tersebut.
 
Atas bumi dan/atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta, dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 50% dari jumlah Pajak Bumi dan Bangunan yang seharusnya terhutang.
 
Yang dimaksud dengan Rumah Sakit Swasta di atas adalah Rumah Sakit Swasta IPSM (Institusi Pelayanan Sosial Masyarakat) yang:
a. 25% dari jumlah tempat tidur digunakan untuk pasien yang tidak mampu;
b. Sisa Hasil Usaha (SHU) digunakan untuk reinvestasi Rumah Sakit dalam rangka pengembangan Rumah Sakit dan tidak digunakan untuk investasi di luar Rumah Sakit;
 
Rumah Sakit Swasta Pemodal yang bukan merupakan Rumah Sakit Swasta IPSM sebagaimana dimaksud di atas dan didirikan oleh suatu badan yang berbentuk Perseroan Terbatas, dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 
Atas bumi dan/atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/dimanfaatkan oleh Rumah Sakit Swasta tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung yang terletak di luar lingkungan Rumah Sakit, tetap dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan sepenuhnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Alokasi Bagian Pemerintah Pusat
(PP Nomor 16 Tahun 2000 Pasal 3)

Hasil penerimaan pajak Bumi dan Bangunan bagian pemerintah pusat dibagikan kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota. Pembagian didasarkan atas realisasi penerimaan pajak Bumi dan Bangunan Tahun Anggaran Berjalan.

Alokasi pembagian ditentukan sebagai berikut :
1. 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah Kabupaten/Kota.
2. 35% dibagikan insentif kepada daerah kabupaten/kota yang realisasi penerimaan pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai atau melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
Penentuan NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus
(UU Nomor 12 Tahun 1985 jo. UU Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1 jo. 186/PMK.03/2019 jo. 234/PMK.03/2022 jo. PER-31/PJ/2014 Pasal 13 jo. PER-22/PJ/2020 jo. KEP - 16/PJ.6/1998 Pasal 13)

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak atas Objek Pajak yang bersifat khusus ditentukan sebagai berikut :
a. Areal tanah adalah sebesar nilai jual Objek Pajak berupa tanah disekitarnya dengan penyesuaian seperlunya.
b. Areal perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta tempat rekreasi adalah sebesar nilai jual yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping dengan klasifikasi nilai jual Objek Pajak permukaan bumi berupa tanah sekitarnya.
Perhitungan atas besarnya Nilai Jual Objek Pajak perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta tempat rekreasi, ditentukan sebagaimana Lampiran Va dan Vb KEP-16/PJ.6/1998.
c. Areal perairan untuk kepentingan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) adalah sebesar 10 x 10% dari Hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan.
d. Objek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian kedalam klasifikasi, penggolongan, dan ketentuan nilai jual bangunan.