Media Komunitas
Perpajakan Indonesia

HIGHLIGHTSDATA CENTERSUBJEK PILIHANFORUM
PeraturanTax TreatyPutusanKurs KMKKurs BITarif Bunga
Fitur
highlightsdata centersubjek pilihanforum
Informasi
About UsKebijakan PrivasiPedoman Media SiberDisclaimerKontak KamiCareer
Navigating the Coretax era with
Ortax Ecosystem
Ortax Ecosystem
pajakexpress.com | pajak101.com | taxbase.id | bsadvisory.com

© Copyright 2025 PT INTEGRAL DATA PRIMA

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Pajak Penghasilan
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPnBM )
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Meterai
Pengampunan Pajak (Tax Amnesty)
Pengadilan Pajak
Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP)
Pajak Daerah
Bea Cukai

PENGANTAR

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai

Legal Character PPN

Pajak Pertambahan Nilai Sebagai Pajak Objektif

Pajak Pertambahan Nilai Sebagai Pajak Pusat Atau Pajak Negara

Fungsi Pajak Pertambahan Nilai

Istilah Penting dalam UU PPN

SUBJEK PPN

Dasar Hukum

Pengusaha Kena Pajak

Pengusaha Kecil

Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak

Pencabutan PKP

Transaksi Antar Pengusaha Yang Memiliki Hubungan Istimewa

OBJEK PPN

Objek PPN

Barang Kena Pajak

Jasa Kena Pajak

Identifikasi Suatu Kegiatan/Transaksi Sebagai Objek PPN

PAJAK PENJUALAN
ATAS BARANG MEWAH

Dasar Hukum

Objek PPnBM

Pengenaan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

Jenis Kendaraan Bermotor Yang Dikenai PPnBM

Jenis Barang Selain Kendaraan Bermotor Yang Dikenai PPnBM

TARIF PAJAK

Dasar Hukum

Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

DASAR PENGENAAN
PAJAK

Dasar Hukum

Pengertian

Nilai Lain

PENGHITUNGAN PAJAK
PERTAMBAHAN NILAI

Dasar Hukum

Cara Penghitungan PPN

PENGKREDITAN PAJAK
MASUKAN

Dasar Hukum

Mekanisme Pengkreditan

Tempat Pengkreditan

Pengkreditan Masa Tidak Sama

Pengkreditan Pajak Masukan Yang Ditagih Dengan Penerbitan Ketetapan Pajak

Pengkreditan Pajak Masukan Yang Tidak Dilaporkan dan/atau Ditemukan Pada Waktu Dilakukan Pemeriksaan

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan

Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan

Pengkreditan Pajak Masukan bagi WP yang Belum Memiliki Pajak Keluaran

SAAT DAN
TEMPAT PPN TERUTANG

Dasar Hukum

Saat Terutang PPN

Tempat Terutang PPN

Sentralisasi Tempat PPN Terutang

FAKTUR PAJAK

Dasar Hukum

Pengertian

Saat Pembuatan Faktur Pajak

Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak

Faktur Pajak bagi PKP Pedagang Eceran

Faktur Pajak Pengganti

Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak

Penggunanan Metode "QQ" pada Faktur Pajak

Ketentuan Penting Lain Mengenai Faktur Pajak

Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak

Indikasi Wajib Pajak Penerbit dan Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah

NOTA RETUR
ATAS BKP YANG DIKEMBALIKAN DAN JKP YANG DIBATALKAN

Dasar Hukum

Pengertian

Retur Mengurangi PPN/Harta/Biaya

Saat Retur

Tata Cara Pembuatan Nota Retur

Pelaporan Nota Retur dalam SPT Masa PPN

RESTITUSI

Dasar Hukum

Restitusi Melalui KPP

Restitusi atau Pembayaran Pendahuluan Melalui Bapeksta

Restitusi Dipercepat Bagi PKP Eksportir Tertentu

Restitusi Pembebasan PPN dan/atau PPnBM kepada Perwakilan Negara Asing/Badan Internasional

Restitusi PPN Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri (Turis Asing)

Pengawasan Restitusi PPN

Pengembalian Pendahuluan atas Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah

EKSPOR JASA
KENA PAJAK

Dasar Hukum

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas Ekspornya dikenakan PPN 0%

Saat Terutangnya PPN dan Pemberitahuan Ekspor JKP

Syarat Ekspor Jasa Kena Pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai

PPN JASA
LUAR NEGERI

Dasar Hukum

Pengertian Jasa Luar Negeri

Penetapan Saat Terutang

Penghitungan dan Pelaporan

Permasalahan PPN JLN

PPN ATAS
KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI

Dasar Hukum

Istilah-istilah dalam Kegiatan Membangun Sendiri

Syarat Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak

Saat dan Tempat pajak Terutang

Penyetoran dan Pelaporan

Pengawasan Pemenuhan Kewajiban PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri

PPN ATAS
HANDLING IMPORT

Dasar Hukum

PPN atas Handling Import

Pencabutan Ketentuan Mengenai Penggunaan Metode Q.Q

PPN ATAS
TRANSAKSI SEWA GUNA USAHA (LEASING)

Dasar Hukum

Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Capital Lease)

Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi

Penjualan dan Penyewagunausahaan Kembali (Sale and Leaseback)

PPN ATAS
JASA TELEKOMUNIKASI

Dasar Hukum

Jenis Jasa Telekomunikasi

Faktur Pajak

Jasa Warung Telekomunikasi

Penyerahan Jasa Interkoneksi Antar Perusahaan Telekomunikasi

PPN ATAS
PRODUK REKAMAN SUARA DAN/ATAU GAMBAR

Dasar Hukum

Jenis Produk Rekaman Suara

Dasar Pengenaan Pajak

Mekanisme Pengenaan PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar

PPN atas Penyerahan Film Rekaman Video

Tata Cara Pengajuan Permohonan Stiker Lunas PPN

Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar yang dikenakan PPN dengan Ketentuan Umum

Asosiasi Pengusaha rekaman yang ditunjuk untuk memberikan rekomendasi yang diperlukan Dalam Rangka Penebusan Stiker Lunas PPN

PPN ATAS
PENYERAHAN AKTIVA YANG MENURUT TUJUAN SEMULA TIDAK UNTUK DIPERJUALBELIKAN

Dasar Hukum

Aktiva yang Tujuan Semula Tidak Diperjualbelikan

Saat Terutang PPN

Dasar Pengenaan Pajak

PPN ATAS
PENYERAHAN BKP DALAM RANGKA RESTRUKTURISASI PERUSAHAAN

Dasar Hukum

Pengertian

Saat Terutang PPN

Tata Cara Penyetoran PPN

Tata Cara Pelaporan SPT Masa PPN Oleh PKP Pembeli Sebenarnya

Perlakuan bagi Pengalihan Aktiva yang Dilakukan dalam Masa Peralihan ( 1 Januari 1998 s/d 27 Mei 1999)

PPN ATAS
JASA PENYELENGGARAAN KEGIATAN (EVENT ORGANIZER)

Dasar Hukum

Pengertian & Istilah

Dasar Pengenaan Pajak

PPN ATAS
JASA KEAGENAN

Dasar Hukum

PPN Atas Jasa Keagenan

PPN ATAS
REAL ESTATE

Dasar Hukum

Dasar Pengenaan Pajak

PPN ATAS
KEGIATAN USAHA PERBANKAN

Dasar Hukum

Pengertian

Perlakuan Perpajakan Perbankan

PERLAKUAN PPN
ATAS JASA PERDAGANGAN

Dasar Hukum

Pengertian

PPN atas Jasa Perdagangan

PPN ATAS
HASIL TEMBAKAU

Dasar Hukum

Definisi

Ketentuan Umum

DPP dan Tarif

Saat Terutang dan Pembuatan Faktur

Pajak Masukan

PERLAKUAN PPN
ATAS REIMBURSEMENT

Dasar Hukum

Reimbursement vs Penggantian

Reimbursement Perolehan BKP Dan/Atau JKP Kepada Kontraktor Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi

SPT MASA
PPN

Dasar Hukum

Jenis SPT Masa PPN

Ketentuan Bentuk dan Pengisian SPT

Penyetoran dan Pelaporan

Petunjuk Pengisian SPT

GAGAL PRODUKSI

Dasar Hukum

Definisi

Ketentuan Umum

SERBA -
SERBI

Mendefinisi Mobil Jenis Station Wagon

Tanggung Jawab Renteng PPN

e-FAKTUR

Dasar Hukum

Pendahuluan

Approval & Validasi e-Faktur

Persiapan Penggunaan Aplikasi eFaktur

Sertifikat Elektronik

Pencantuman Identitas Pembeli

PPN ATAS
KENDARAAN BERMOTOR BEKAS

Dasar Hukum

PPN Atas Kendaraan Bermotor Bekas

PPN ATAS
PENYERAHAN PUPUK BERSUBSIDI UNTUK SEKTOR PERTANIAN

Dasar Hukum

Pengertian Dan Istilah

DPP Dan Tarif PPN

Pajak Masukan

PPN ATAS
TRANSAKSI PERDAGANGAN ASET KRIPTO

Dasar Hukum

Pengertian Dan Jenis Aset Kripto

Objek Pajak Kripto

PPN atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto

PPN atas Jasa Exchanger Aset Kripto

PPN atas Jasa Verifikasi Transaksi (Mining) Aset Kripto

PPN ATAS
PENJUALAN PULSA, KARTU PERDANA, TOKEN DAN VOUCER

Dasar Hukum

PPN Atas Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token dan Voucer

PERLAKUAN PPN
ATAS JASA KEAGAMAAN

Dasar Hukum

PPN Atas Jasa Keagamaan

PPN ATAS
PEMANFAATAN BKPTB DAN/ATAU JKP MELALUI PERDAGANGAN MELALUI SISTEM ELEKTRONIK

Dasar Hukum

Pengertian Dan Istilah

Pemungut PPN

Pemungutan PPN

Penyetoran PPN

Pelaporan PPN

PPN ATAS
LIQUIFIED PETROLEUM GAS TERTENTU

Dasar Hukum

PPN atas Liquified Petroleum Gas Tertentu

PPN ATAS
BARANG HASIL PERTANIAN TERTENTU

Dasar Hukum

PPN Atas Barang Hasil Pertanian Tertentu

ReadView

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi. Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur peredaran suatu barang seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba.

Pada setiap tahap produksi nilai produk dan harga jual produk selalu terdapat nilai tambah antara lain karena setiap penjual menginginkan adanya keuntungan sehingga dalam menentukan harga jual : harga perolehan + laba bruto (mark up).

Pertambahan nilai (value added) dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan) serta sisi selisih output dikurangi input.

Value added = Wages + Profits = Output - Input

Setiap kenaikan harga akan menggambarkan pertambahan nilai pada tahap (produksi atau distribusi) tersebut. Nilai atau harga produk akhir sama dengan penjumlahan kenaikan-kenaikan atau pertambahan nilai dari keseluruhan tahap produksi. Jadi, dasar pajak yang dikenakan terhadap kenaikan tersebut adalah identik dengan pajak yang dikenakan terhadap nilai akhir dari produk tersebut.
    
Meskipun PPN dapat dipungut beberapa kali pada berbagai mata rantai jalur produksi dan distribusi, namun pajak dikenakan hanya pada pertambahan nilai yang timbul pada setiap jalur yang dilalui barang dan jasa sehingga dapat dikatakan bahwa sasaran yang dikenakan PPN adalah hanya pertambahan nilai yang merupakan biaya yang dikeluarkan untuk faktor produksi mulai dari bahan baku/bahan pembantu diterima, proses produksi, sampai hasil siap dijual, serta besarnya laba yang diinginkan oleh penjual.
    
Pertambahan nilai ini timbul karena dipakainya faktor produksi di setiap jalur perusahaan dalam menyiapkan, menghasilkan, menyalurkan, memperdagangkan barang atau pemberian pelajanan jasa kepada para konsumen, juga semua biaya untuk mendapatkan dan mempertahankan laba termasuk bunga modal, sewa, penyusutan, dan upah kerja. Jika perusahaan mengurangkan  pengeluaran modalnya, yang tersisa hanyalah nilai output barang konsumen saja.

Legal Character PPN

Legal Character merupakan ciri-ciri atau nature dari suatu jenis pajak. Pemahaman tentang nature dari suatu jenis pajak akan menentukan atau memberikan konsekuensi bagaimana sebaiknya pajak tersebut harus dipungut. Legal character dari PPN dapat dideskripsikan sebagai pajak tidak langsung atas konsumsi yang bersifat umum (general indirect tax on consumption)

a) General
PPN merupakan pajak atas konsumsi yang bersifat umum, artinya PPN dikenakan terhadap semua barang. PPN ditujukan pada semua private expenditure, sebagai konsekuensinya tidak boleh ada diskriminasi atau pembedaan antara barang dan jasa karena keduanya merupakan pengeluaran. Dengan kata lain yang harus menjadi objek PPN adalah barang dan juga jasa.

b)   Indirect (PPN sebagai Pajak Tidak Langsung)
PPN merupakan pajak tidak langsung, sehingga beban pajaknya dapat dialihkan, baik dalam bentuk forward shifting maupun backward shifting. Dengan kata lain tidak harus selalu konsumen yang memikul beban pajak sepenuhnya, tetapi beban pajak ini bisa saja dipikul sebagian oleh penjual dengan cara mengurangi keuntungan atau melakukan efisiensi.

John Stuart Mills, seorang ahli ekonomi Inggris tahun 1800-an, mempelopori pembedaan pajak atas Pajak Langsung dan Pajak Tidak Langsung. Pembedaan ini dilakukan dengan memperhatikan unsur yang mempunyai arti ekonomis yang ada pada pengertian pajak. Pengertian umum yang membedakan kedua jenis pajak itu adalah :
  • Pajak langsung adalah pajak yang dikenakan terhadap orang yang harus menanggung dan membayarkannya.
  • Pajak Tidak Langsung dikenakan terhadap orang yang harus menanggungnya, tetapi dapat diharapkan pihak lain untuk membayarnya.
Dari kedua pengertian di atas, dapat dilihat adanya tiga unsur yang sama-sama dimiliki keduanya, yaitu :
  • Penanggung jawab pajak (Wajib Pajak), yaitu orang yang secara hukum (yuridis formal) harus membayar pajak.
  • Penanggung pajak, adalah orang yang membayar pajak (dalam arti ekonomis)
  • Pemikul pajak (destinataris), yaitu orang yang dimaksud oleh ketentuan harus memikul beban pajak.
Jika dalam pengenaan pajak, ketiga unsur itu dapat ditemukan pada diri seseorang, maka pajak yang dikenakan dapat dikatakan sebagai pajak langsung. Jika ketiga unsur itu terpisah, atau terdapat pada lebih dari satu orang, maka pajak yang dikenakan dapat dikatakan sebagai Pajak Tidak Langsung.

PPN adalah salah satu contoh pajak yang termasuk sebagai Pajak Tidak Langsung, karena ketiga unsur pajak dalam pengertian di atas, penanggung jawab pajak, penanggung pajak dan pemikul pajak, dalam pengenaan PPN ditemukan terpisah-pisah.
Produsen = Penganggung pajak (harus melaporkan diri sebagai Wajib Pajak PPN)
Pedagang besar = Pembayar pajak, pada setiap kali melakukan pembelian membayar sejumlah harga beli ditambah dengan PPN.
Konsumen = Destinataris, sebagai yang dituju oleh Undang-undang untuk memikul beban pajak. Pajak dibebankan Pedagang Besar, kepada konsumen lewat harga jual yang lebih tinggi.

PPN yang dikenakan pada akhirnya akan menjadi beban konsumen. Oleh karena itu beban pajak akan dibebankan kepada semua konsumen, tanpa memandang siapakah konsumen yang akan menanggung pajak.
 
c) On Consumption
PPN merupakan pajak atas konsumsi, tanpa membedakan apakah konsumsi tersebut digunakan/ habis sekaligus ataupun digunakan/habis secara bertahap/berangsur-angsur. Oleh karena itu semua barang harusnya menjadi objek PPN, baik itu barang bergerak atau tidak bergerak maupun barang berwujud atau tidak berwujud.
 
Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak Objektif

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tergolong sebagai Pajak Objektif, yaitu pajak yang pengenaannya didasarkan pada objek pajak, baik objek pajak berupa benda ataupun objek pajak lainnya.
   
Objek yang dapat dikenakan pajak dapat berupa benda, keadaan, perbuatan ataupun suatu peristiwa. Dalam kelompok Pajak Objektif, PPN termasuk ke dalam pajak yang dipungut karena perbuatan yang menyebabkan adanya lalu lintas barang. Menurut Undang-Undang PPN, perbuatan yang menimbulkan hutang PPN adalah suatu penyerahan.
  
Pajak Pertambahan Nilai Sebagai Pajak Pusat Atau Pajak Negara
   
Menurut Undang-undang Dasar 1945 pasal 23A ditentukan bahwa : “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang”. Undang-undang dalam kalimat ini dapat berarti dengan suatu undang-undang atau peraturan perundangan lainnya di bawah undang-undang yang pembuatannya berdasarkan undang-undang.

Dalam pemungutan pajak, kita temukan adanya pemungutan yang berdasarkan Undang-undang, dan ada pula yang berdasarkan Peraturan Daerah. Pajak yang dipungut dengan Undang-undang yang penerimaan pajaknya merupakan sumber penerimaan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) biasanya disebut juga sebagai pajak pusat, Pajak Umum atau Pajak Negara. Pajak yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah yang merupakan sumber pembiayaan yang dimasukkan kedalam anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD), disebut juga pajak daerah. Dalam pengelompokan ini, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, yang merupakan sumber penerimaan yang tercantum dalam APBN termasuk sebagai Pajak Pusat atau Pajak Negara.

Fungsi Pajak Pertambahan Nilai

Penerimaan Negara
Salah satu fungsi pemungutan pajak yang umum adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Fungsi ini disebut juga sebagai fungsi Budgeter. Begitu pula Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sebagai Pajak Negara, penghasilan yang diperoleh dari pemungutan pajak dipergunakan sebagai sumber pembiayaan negara, sebagaimana tercantum dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Pemerataan Beban Pajak
PPN sering ditambahkan sebagai tambahan atau koreksi untuk Pajak Penghasilan (PPh). Karena PPh mengadakan pengecualian Subjek Pajak, ada Subjek Pajak yang dibebaskan dari pengenaan pajak. Dengan diadakannya PPN, subjek pajak yang terbebaskan pada PPh, secara tidak langsung menjadi penanggung pajak melalui konsumsi yang dilakukannya. Dengan demikian beban pajak akan terbebani pada setiap orang, tanpa pengecualian. PPN dalam hal ini berperan sebagai alat untuk meratakan beban pajak.

Mengatur Pola Konsumsi
PPN sering disebut juga pajak atas konsumsi. Yang menjadi pemikul beban pajak ini adalah konsumen. Oleh karena itu PPN dapat juga dijadikan alat untuk membentuk pola konsumsi, dengan mengenakan pajak atas barang-barang tertentu, dan tidak mengenakan pajak atas barang lainnya sesuai dengan yang diinginkan. Dengan demikian pola konsumsi masyarakat diharapkan dapat dipengaruhi dan diarahkan.

Mendorong Ekspor
Untuk mendorong dan meningkatkan daya saing barang ekspor di pasaran luar negeri, tarif atas penyerahan ekspor ditetapkan sebesar 0%.

Mendorong Investasi
Dalam sistem PPN, pajak yang dibayarkan atas perolehan atau impor barang modal, dibebaskan/dapat diminta kembali. Pembebasan/pengembalian PPN Barang Modal diharapkan akan mendorong investasi

Istilah Penting dalam UU PPN
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1)
  1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.
  2. Barang adalah  barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak, dan barang tidak berwujud.
  3. Barang Kena Pajak adalah  barang yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  4. Penyerahan Barang Kena Pajak adalah  setiap kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak.
  5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
  6. Jasa Kena Pajak adalah  jasa yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  7. Penyerahan Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pemberian Jasa Kena Pajak.
  8. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah  setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  9. Impor adalah  setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.
  10. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  11. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud adalah setiap kegiatan mengeluarkan Barang Kena Pajak Berwujud dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean.
  12. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan tukar-menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.
  13. Badan adalah  sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
  14. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.
  15. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.
  16. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk dan/atau sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya guna baru atau kegiatan mengolah sumber daya alam, termasuk menyuruh orang pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut. melakukan kegiatan tersebut.
  17. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
  18. Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
  19. Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  20. Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
  21. Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak tersebut.
  22. Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya menerima penyerahan Jasa Kena Pajak dan yang membayar atau seharusnya membayar Penggantian atas Jasa Kena Pajak tersebut.
  23. Faktur Pajak adalah  bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
  24. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.
  25. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak.
  26. Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.
  27. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai adalah bendahara Pemerintah, badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/ataupenyerahan Jasa Kena Pajak kepada bendahara Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
  28. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud adalah setiap kegiatan pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari dalam Daerah Pabean di luar Daerah Pabean.
  29. Ekspor Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan penyerahan Jasa Kena Pajak ke luar Daerah Pabean.

Dasar Hukum
(Pasal 1A UU Nomor 11 Tahun 2020 s.t.d.t.d UU 6 Tahun 2023)

  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  3. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 Tentang Penerapan Terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 Tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
  7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 32/PMK.010/2019 Tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai.
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2014 tentang Tata Cara Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak Secara Jabatan atas Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai Tahun 2014.
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2016 Tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor  KEP-153/PJ/2002 Tentang Penetapan Bentuk, Ukuran, Warna, Isi, dan Teks Stiker Lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Dasar Pengenaan Pajak untuk Menghitung Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Gambar dan Penunjukan Asosiasi yang Memberikan Rekomendasi untuk Penebusan Stiker Lunas Pajak Pertambahan Nilai serta Tata Cara Penebusan dan Pelaporannya Sebagaimana Telah  Diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2008 dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ/2004 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 4/PJ/2008.
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-20/PJ/2013 tentang Tata Cara Pendaftaran dan Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak, Pelaporan Usaha dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, serta Perubahan Data dan Pemindahan Wajib Pajak.
  11. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ./2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
  12. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak.
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 11/PJ/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-03/Pj/2022 Tentang Faktur Pajak
  14. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-546/PJ/2000 tentang Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan dan Restrukturisasi Utang Usaha.
  15. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.3/1988 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Telekomunikasi.
  16. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ.54/1999 tentang Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang atas Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan.
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-23/PJ.42/1999 tentang Buku Panduan Tentang Perlakuan Perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan.
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.54/2000 tentang Penegasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Interkoneksi  antar Perusahaan Telekomunikasi.
  19. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.32/2000 tentang Penegasan PPN atas Jasa Keagenan (Penjualan Tiket).
  20. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.51/2002 tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Tanah dan/atau Bangunan oleh Pengusaha Bidang Real Estat dan Industrial Estat.
  21. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ.53/2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Penyelenggara Kegiatan (Event Organizer).
  22. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ./2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan.
  23. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 tentang Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, dan  Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
  24. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-393/PJ.02/2016 tentang Penegasan Saat Dimulainya Kewajiban Perpajakan.

Pengusaha Kena Pajak
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3A jo. 40/PMK.03/2010 Pasal 7 jo. 197/PMK.03/2013)

Subjek Pajak PPN
Subjek Pajak PPN adalah Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha Kena Pajak
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1)

Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Yang Wajib Dikukuhkan Sebagai PKP
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3A jo. 40/PMK.03/2010 Pasal 7 jo. 197/PMK.03/2013)

1) Pengusaha yang melakukan:
Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean;
  • Ekspor BKP Berwujud dan/atau Tidak Berwujud
  • Ekspor JKP
2) Pengusaha Kecil yang memilih dikukuhkan sebagai PKP
 
Orang Pribadi atau Badan (bukan PKP) yang :
1) Memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean;
2) Memanfaatkan JKP dari Luar Daerah Pabean

wajib memungut, menyetor, dan melaporkan PPN yang terutang dengan menggunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut paling lama akhir bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak.

Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
(Pasal 3A UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dan/atau melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Jasa Kena Pajak, dan/atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud diwajibkan:

  1. melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
  2. memungut pajak yang terutang;
  3. menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang masih harus dibayar dalam hal Pajak Keluaran lebih besar dari Pajak Masukan yang dapat dikreditkan, serta menyetorkan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang; dan
  4. melaporkan penghitungan pajak.

Kewajiban untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terhutang dimulai sejak saat pengukuhan sebagai PKP.

Hak yang diperoleh jika telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak adalah:

  1. Pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan BKP/JKP;
  2. Restitusi atau kompensasi atas kelebihan PPN.

Pencabutan PKP
(PMK No 197/PMK.03/2013 jo. PER - 04/PJ/2020)

Pasal 54 PER - 04/PJ/2020
Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP terhadap Pengusaha yang tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai PKP berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan PPN, berdasarkan permohonan PKP atau secara jabatan.

Dalam hal PKP orang pribadi telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan, permohonan pencabutan pengukuhan PKP diajukan oleh keluarga sedarah atau semenda.

Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan oleh Kepala KPP berdasarkan:

  1. hasil Pemeriksaan; atau
  2. hasil penelitian administrasi.

Selain dilakukan berdasarkan hasil Pemeriksaan, Kepala KPP juga dapat melakukan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan berdasarkan hasil penelitian administrasi terhadap:

  1. PKP dengan status Wajib Pajak Non Efektif
  2. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain
  3. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
  4. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka tindak lanjut pemindahan alamat tempat tinggal, tempat kedudukan, dan/atau tempat kegiatan usaha ke wilayah kerja KPP lainnya tidak sesuai dengan informasi yang tercantum dalam dokumen yang disyaratkan pada permohonan saat pemindahan dengan keadaan yang sebenarnya
  5. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan tidak menyampaikan klarifikasi
  6. PKP yang telah dilakukan penonaktifan sementara akun PKP dan menyampaikan klarifikasi, namun ditolak
  7. PKP yang berdasarkan hasil penelitian lapangan dalam rangka aktivasi akun PKP tidak memenuhi ketentuan
  8. PKP yang tidak menyampaikan permintaan aktivasi akun PKP dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan
  9. PKP orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan warisan
  10. PKP bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usaha di Indonesia.
 
Permohonan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
(Pasal 7 197/PMK.03/2013 jo. Pasal 57 PER - 04/PJ/2020)

Dalam hal pengusaha telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah), Pengusaha Kena Pajak dapat mengajukan permohonan pencabutan pengukuhan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Berdasarkan hasil Pemeriksaan, Kepala KPP memberikan Keputusan berupa:

  1. menerima permohonan pencabutan pengukuhan PKP dengan menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha tidak lagi memenuhi ketentuan sebagai PKP; atau
  2. menolak permohonan pencabutan pengukuhan PKP dengan menerbitan Surat Penolakan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, dalam hal Pengusaha masih memenuhi ketentuan sebagai PKP.


Jangka Waktu Pencabutan Pengusaha Kena Pajak

(Pasal 57 PER - 04/PJ/2020)

Penerbitan keputusan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal BPE atau tanggal BPS. Apabila Kepala KPP tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, permohonan PKP dianggap dikabulkan dan Kepala KPP harus menerbitkan Surat Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak paling lama 1 (satu) bulan setelah jangka waktu penerbitan keputusan berakhir.

Transaksi antar Pengusaha yang Memiliki Hubungan Istimewa
(Pasal 2 UU Nomor 11 Tahun 1994 s.t.d.t.d UU 6 Nomor 2023)

Jika terdapat transaksi antar PKP yang memiliki Hubungan Istimewa maka:

Dalam hal harga jual atau penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka harga jual atau penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan BKP atau JKP itu dilakukan.

Hubungan Istimewa dianggap ada apabila :

• 
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan sebesar 25% atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih. Demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebutkan terakhir.

Contoh :

Kalau PT. A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. B, pemilikan saham oleh PT A. merupakan penyertaan langsung.

Selanjutnya apabila PT. B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT. C, maka PT. A sebagai pemegang saham PT. B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT. C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian, antara PT. A, PT. B, dan PT. C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT. A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT. D, maka antara PT. B, PT.C dan PT. D dianggap terdapat hubungan istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas juga dapat terjadi antara orang pribadi dan badan.

•  
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua Pengusaha atau lebih berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama, yaitu penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.

Hubungan antara pengusaha seperti digambarkan di atas dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan.

• 
Hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat :  
  1. Sedarah lurus satu derajat, yaitu: ayah/ibu dengan anak; 
  2. Sedarah ke samping satu derajat, yaitu: kakak dengan adik; 
  3. Semenda lurus satu derajat, yaitu: mertua dengan menantu atau ayah/ibu dengan anak tiri; 
  4.  Semenda ke samping satu derajat, yaitu: hubungan saudara ipar;
Jika antara suami istri ada perjanjian pemisahan harta dan penghasilan, maka hubungan keduanya merupakan hubungan istimewa.

Objek PPN
(Pasal 4, Pasal 16C, dan Pasal 16D UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023, Objek PPN terdiri dari :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
Contoh : PT Indo Semen (perusahaan pabrikan semen) menyerahkan semen kepada pembelinya di dalam negeri
2. Impor Barang Kena Pajak
Contoh : PT Astra Internasional melakukan impor Mobil Toyota dari Jepang
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha
Contoh : PT Trans (perusahaan konsultan pajak) menyerahkan jasa konsultasi pajak kepada kliennya di dalam negeri
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Contoh : PT Coca Cola Indonesia (perusahaan pabrikan minuman ringan) menggunakan hak merek "Coca Cola" milik Coca Cola, Corp. di Amerika
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean
Contoh : PT Garuda Indonesia (perusahaan maskapai penerbangan) menggunakan jasa konsultan manajemen dari perusahaan konsultan Jerman
6.   Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
Contoh : PT Tekstil Indonesia (perusahaan eksportir tekstil yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak) melakukan ekspor produk tekstil ke Arab Saudi
7.  Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
Yang dimaksud dengan "Barang Kena Pajak Tidak Berwujud" adalah :
1) penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya;
2) penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
3) pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
4) pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebut pada angka 1), penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2), atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3), berupa :
a) penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya,yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serta optik, atau teknologi yang serupa;
b) penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
c) penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
5) penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
6) pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas
Contoh:
PT Indofood Sukses Makmur (perusahaan produk makanan yang telah dikukuhkan sebagai PKP) mengekspor formula produksi dan merek dagang Indomie (mie instan) ke De United Food Industries Limited (Nigeria) melalui lisensi
8.  Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
Termasuk dalam pengertian ekspor Jasa Kena Pajak adalah penyerahan Jasa Kena Pajak dari dalam Daerah Pabean ke luar Daerah Pabean oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan dan melakukan ekspor Barang Kena Pajak Berwujud atas dasar pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan di luar Daerah Pabean
Contoh:
PT Megatika International (perusahaan jasa arsitektur yang telah dikukuhkan sebagai PKP) mengekspor jasa arsitek pembangunan highrise apartment  ke Maroko.
9.  Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. (Pasal 16C UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)
Contoh :
Tuan Hendra, seorang dokter speialis anak membangun rumah untuk tempat tinggal di Bogor dengan luas bangunan 500 m2.
10. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (bukan inventory) oleh Pengusaha Kena Pajak, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan. (Pasal 16D UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)
Contoh :
Pada bulan September 2019, PT Sepatu Bata menjual sebuah mesin produksinya yang semula diimpor dari Italy pada tahun 2017. Karena Pajak Masukan atas impor mesin di tahun 2017 tersebut menurut ketentuan dapat dikreditkan, maka pada saat mesin tersebut dijual kembali di tahun 2019 harus dikenakan PPN.
Dalam hal PT Sepatu Bata di tahun 2019 menjual mobil sedan, penjualan sedan tersebut tidak terutang PPN karena Pajak Masukan pada saat perolehannya menurut ketentuan tidak dapat dikreditkan.

Penyerahan barang/jasa tersebut akan dikenakan PPN apabila memenuhi syarat-syarat kumulatif sebagai berikut :

 

  1. barang atau jasa yang diserahkan merupakan BKP/JKP
  2. penyerahannya dilakukan (terjadi) di dalam Daerah Pabean (Wilayah RI yang di dalamnya berlaku perundang-undangan pabean, meliputi darat, perairan, lapisan udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen)
  3. penyerahan tersebut dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan pengusaha yang bersangkutan.

Barang Kena Pajak
(Pasal 1A UU No. 11 Tahun 2020 s.t.d.t.d UU No. 6 Tahun 2023)

Barang Kena Pajak adalah barang yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang PPN. Semua barang pada prinsipnya merupakan Barang Kena Pajak (dikenakan PPN) kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang PPN itu sendiri. Barang Kena Pajak tersebut terdiri dari barang berwujud (bergerak dan tidak bergerak) dan barang tidak berwujud (merek dagang, paten, hak cipta, dll).

Yang termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak adalah :

  1. penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
  2. pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau perjanjian sewa guna usaha (leasing);
  3. penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang;
  4. pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena Pajak;
  5. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan;
  6. penyerahan Barang Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar cabang;
  7. dihapus; dan
  8. penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Yang tidak termasuk dalam pengertian Penyerahan BKP adalah :
  1. penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang;
  2. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
  3. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf f dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan tempat pajak terutang;
  4. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta pengalihan Barang Kena Pajak untuk tujuan setoran modal pengganti saham, dengan syarat pihak yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah Pengusaha Kena Pajak; dan
  5. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b UU PPN.
Barang yang Tidak Dikenakan PPN
(Pasal 4A UU Nomor 7 Tahun 2021 )

Jenis-jenis barang yang tidak dikenai PPN  :
  1. makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering, yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah; dan
  2. Uang, emas batangan untuk kepentingan cadangan devisa negara, dan surat berharga.

Jasa Kena Pajak
(UU Nomor 42 Tahun 2009)

Jasa Kena Pajak adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang/fasilitas/kemudahan/hak tersedia untuk dipakai, termasuk menghasilkan barang berdasarkan pesanan dengan bahan dan petunjuk pemesan, yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-Undang PPN. (Pasal 1 angka 5 dan 6 UU Nomor 42 Tahun 2009)

Contoh : jasa konsultan, jasa sewa, jasa konstruksi, jasa perantara, dll.
Pada prinsipnya semua jasa merupakan Jasa Kena Pajak (JKP), kecuali yang dinyatakan lain oleh Undang-Undang PPN itu sendiri (negative list).

Jasa yang Tidak Dikenakan PPN
(Pasal 4A ayat 3 UU Nomor 7 Tahun 2021)

Jenis-jenis Jasa yang Tidak Dikenakan PPN adalah :

  1. Jasa di bidang keagamaan, meliputi :   
    • jasa pelayanan rumah ibadah;
    • jasa pemberian khotbah atau dakwah;
    • jasa penyelenggaraan kegiatan keagamaan; dan
    • jasa lainnya di bidang keagamaan.
  2. Jasa di bidang kesenian dan hiburan, meliputi semua jenis jasa yang dilakukan oleh pekerja seni dan hiburan yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah
  3. Jasa di bidang perhotelan, meliputi jasa penyewaan kamar dan/atau jasa penyewaan ruangan di hotel yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah;
  4. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi semua jenis jasa sehubungan dengan kegiatan pelayanan yang hanya dapat dilakukan oleh pemerintah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan jasa tersebut tidak dapat disediakan oleh bentuk usaha lain.
  5. Jasa Penyediaan tempat parkir, meliputi jasa penyediaan atau penyelenggaraan tempat parkir yang dilakukan oleh pemilik tempat parkir atau pengusaha pengelola tempat parkir kepada pengguna tempat parkir yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.
  6. Jasa boga atau catering, meliputi semua kegiatan pelayanan penyediaan makanan dan minuman yang merupakan objek pajak daerah dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah.

Identifikasi Suatu Kegiatan/Transaksi sebagai Objek PPN

Pengujian atau tes berikut ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi apakah suatu kegiatan atau transaksi merupakan objek PPN atau bukan.

1. Identifikasi apakah kegiatan tersebut masuk ke dalam Lingkup Objek PPN atau tidak:
  • penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
  • impor Barang Kena Pajak.
  • penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
  • pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
  • pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah
  • ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
  • ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.
  • ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak
  • kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain (Pasal 16C).
  • penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (bukan inventory) oleh Pengusaha Kena Pajak, sepanjang Pajak Masukan yang dibayar pada saat perolehannya menurut ketentuan dapat dikreditkan (Pasal 16D).
2. Tentukan jenis transaksinya, yaitu dengan memisahkan transaksi kedalam dua bagian sebagai berikut:
Transaksi yang Memperhatikan Subjeknya Transaksi yang Tidak Memperhatikan Subjeknya
Penyerahan BKP Impor BKP
Penyerahan JKP Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
Ekspor BKP Berwujud Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean
Ekspor BKP Tidak Berwujud Kegiatan Membangun Sendiri (Ps. 16C)
Ekspor JKP
Penjualan/Pengalihan Aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan (Pasal. 16D)

Apabila suatu transaksi tergolong sebagai yang memperhatikan subjeknya maka Penjual BKP/eksportir atau pemberi JKP harus Pengusaha Kena Pajak dan kegiatan yang dilakukan adalah dalam rangka kegiatan usaha atau pekerjaan (kecuali Pasal 16 D)

3. Identifikasi apakah syarat-syarat berikut telah terpenuhi:
  • Terjadi di dalam Daerah Pabean
  • Barang atau jasa yang diserahkan adalah BKP ata JKP
  • Penyerahan dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya kecuali penyerahan eks Pasal 16 D dan semua transaksi yang tidak memperhatikan subjeknya.
4. Khusus penyerahan BKP, identifikasi apakah penyerahan tersebut termasuk dalam kriteria penyerahan BKP
5. Identifikasi ada tidaknya fasilitas PPN
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 Tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2020 Tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  6. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.011/2014 Tentang Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 33/PMK.010/2017 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 64/PMK.011/2014 Tentang Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pemberian Pembebasan dari Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 96/PMK.03/2021 Tahun 2021 tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 15/PMK.03/2023 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2021 tentang Penetapan Jenis Barang Kena Pajak Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Tata Cara Pengecualian Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Objek PPnBM
(Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

Di samping pengenaan PPN, dikenakan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) terhadap :

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
  2. impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah.

Dengan pertimbangan bahwa :

  1. perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
  2. perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah;
  3. perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
  4. perlu untuk mengamankan penerimaan negara;

maka atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh produsen atau atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, di samping dikenakan PPN, juga dikenakan PPnBM.

Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah adalah :

  1. bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
  2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
  3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
  4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
  5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol.
Pengenaan PPnBM atas impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan siapa yang mengimpor Barang Kena Pajak tersebut serta tidak memperhatikan apakah impor tersebut dilakukan secara terus menerus atau hanya sekali saja.

Selain itu, pengenaan PPnBM terhadap suatu penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah tidak memperhatikan apakah suatu bagian dari Barang Kena Pajak tersebut telah dikenakan atau tidak dikenakan PPnBM pada transaksi sebelumnya.

Yang termasuk dalam pengertian menghasilkan adalah kegiatan:

a. merakit :
menggabungkan bagian-bagian lepas dari suatu barang menjadi barang setengah jadi atau barang jadi, seperti merakit mobil, barang elektronik, perabot rumah tangga, dan sebagainya;
b. memasak :
mengolah barang dengan cara memanaskan baik dicampur bahan lain atau tidak;
c. mencampur :
mempersatukan dua atau lebih unsur (zat) untuk menghasilkan satu atau lebih barang lain;
d. mengemas :
menempatkan suatu barang ke dalam suatu benda yang melindunginya dari kerusakan dan/atau untuk meningkatkan pemasarannya;
e. membotolkan :
memasukkan minuman atau benda cair ke dalam botol yang ditutup menurut cara tertentu;

dan kegiatan-kegiatan lain yang dapat dipersamakan dengan kegiatan itu, atau menyuruh orang atau badan lain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut.

Pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(Pasal 5 ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan hanya satu kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah oleh Pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor.

Pengertian umum dari Pajak Masukan hanya berlaku pada PPN dan tidak dikenal pada PPnBM. Oleh karena itu PPnBM yang telah dibayar tidak dapat dikreditkan dengan PPnBM yang terutang.

Dengan demikian prinsip pemungutannya hanya satu kali saja yaitu pada waktu :

  1. penyerahan oleh Pabrikan atau Produsen Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah, atau
  2. impor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah.

Penyerahan pada tingkat berikutnya tidak lagi dikenakan PPnBM.

Jenis Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM
(33/PMK.010/2017)

Berikut adalah Daftar Kendaraan Bermotor yang atas Penyerahan atau Impornya Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah:

1. Tarif sebesar 10% (Sepuluh Persen)
No   Uraian Barang
1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan 10 (sepuluh) orang sampai dengan 15 (lima belas) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api atau nyala api kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan semua kapasitas isi silinder
2. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar cetus api, baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
3.  Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel). baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc.
2. Tarif sebesar 20% (Dua Puluh Persen)
No   Uraian Barang
1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan motor bakar cetus api, baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.
2. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan 2500 cc.
3.  Kendaraan bermotor dengan kabin yang dirancang untuk 2 (dua) baris tempat duduk (double cabin) untuk penumpang melebihi 3 (tiga) orang tetapi tidak melebihi 6 (enam) orang termasuk pengemudi dan memiliki bak (terbuka atau tertutup) untuk pengangkutan barang, dengan motor bakar cetus api atau nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2) atau dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4), untuk semua kapasitas isi silinder, dengan massa total tidak lebih dari 5 (lima) ton.
3. Tarif sebesar 30% (Tiga Puluh Persen)
No   Uraian Barang
1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api, baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc:
  • sedan atau station wagon;
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4).
2. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder sampai dengan 1500 cc:
  • sedan atau station wagon;
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4).
4. Tarif sebesar 40% (Empat Puluh Persen)
No   Uraian Barang
1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi selain sedan atau station wagon, dengan  motor bakar cetus api, baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2), dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc sampai dengan 3000 cc.
2. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar cetus api, baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan kapasitas 3000 cc:
  • sedan atau station wagon;
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4);
3.  Kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel). baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 1500 cc sampai dengan  2500 cc:
  • sedan atau station wagon;
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4);
5. Tarif sebesar 50% (Lima Puluh Persen)
No   Uraian Barang
Semua jenis kendaraan khusus yang dibuat untuk golf.
6. Tarif sebesar 60% (Enam Puluh Persen)
No   Uraian Barang
1. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 250 cc sampai dengan 500 cc:
Sepeda motor (termasuk moped) dan sepeda yang dilengkapi dengan motor tambahan, dengan atau tanpa kereta pasangan sisi, termasuk kereta pasangan sisi.
2. Kendaraan khusus yang dibuat untuk perjalanan di atas salju, di pantai, digunung, dan kendaraan semacam itu.
7. Tarif sebesar 125% (Seratus Dua Puluh Lima Persen)
No   Uraian Barang
1. Kendaraan bermotor untuk pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar cetus api. baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 3000 cc:
  • sedan atau station wagon;
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2);
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4);
2. Kendaraan bermotor pengangkutan kurang dari 10 (sepuluh) orang termasuk pengemudi, dengan motor bakar nyala kompresi (diesel/semi diesel), baik dilengkapi dengan motor listrik maupun tidak, dengan kapasitas isi silinder lebih dari 2500 cc:
  • sedan atau station wagon;
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 1 (satu) gardan penggerak (4x2);
  • selain sedan atau station wagon, dengan sistem 2 (dua) gardan penggerak (4x4);
3. Kendaraan bermotor beroda dua dengan kapasitas isi silinder lebih dari 500 cc:
Sepeda motor (termasuk moped) dan sepeda yang dilengkapi dengan motor tambahan, dengan atau tanpa kereta pasangan sisi, termasuk kereta pasangan sisi.
4. Trailer atau semi - trailer dari tipe caravan, untuk perumahan atau kemah.

Jenis Barang Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai PPnBM
(96/PMK.03/2021 s.t.d.t.d 15/PMK.03/2023)

Daftar jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah:

1. Tarif sebesar 20 % (Dua Puluh Persen)
No   Uraian Barang
a. Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dengan harga jual sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) atau lebih
2. Tarif sebesar 40 % (Empat Puluh Persen)
No   Uraian Barang
a. Kelompok balon udara dan balon udara yang dapat dikemudikan, pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.
b. Kelompok peluru senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
Peluru dan bagiannya, tidak termasuk peluru senapan angin.
3. Tarif sebesar 50 % (Lima Puluh Persen)
No   Uraian Barang
a. Kelompok pesawat udara  yang dikenakan tarif 40%, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan udara niaga::
a.1 Helikopter.
a.2 Pesawat udara dan kendaraan udara lainnya, selain helikopter.
b. Kelompok senjata api dan senjata api lainnya, kecuali untuk keperluan negara:
  • Senjata artileri
  • Revolver dan pistol
  • Senjata api (selain senjata artileri, revolver dan pistol) dan peralatan semacam itu yang dioperasikan dengan penembakan bahan peledak
4. Tarif sebesar 75 % (Tujuh Puluh Lima Persen)
No   Uraian Barang
  Kelompok kapal pesiar mewah, kecuali untuk keperluan negara atau angkutan umum:
1. Kapal pesiar, kapal ekskursi, dan kendaraan air semacam itu terutama dirancang untuk pengangkutan orang, kapal feri dari semua jenis, kecuali untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
2. Yacht, kecuali untuk kepentingan negara, angkutan umum atau usaha pariwisata

Tarif Pajak Pertambahan Nilai
(Pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2021 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

1. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:
  1. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
  2. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.
2. Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas:
a) ekspor BKP Berwujud;
b) ekspor BKP Tidak Berwujud;
c) ekspor JKP.

Pengenaan tarif 0% (nol persen) tidak berarti pembebasan dari pengenaan PPN. Dengan demikian, Pajak Masukan yang telah dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berkaitan dengan kegiatan tersebut dapat dikreditkan.

3. Tarif PPN sebagaimana dimaksud pada angka (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, Pemerintah diberi wewenang mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal. Perubahan tarif dikemukakan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat dalam rangka pembahasan dan penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

 

Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah
(Pasal 8 UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

1. Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dapat ditetapkan dalam beberapa kelompok tarif, yaitu tarif terendah sebesar 10% (sepuluh persen) dan tarif tertinggi 200% (dua ratus persen)
2. Atas ekspor Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).

Perbedaan kelompok tarif tersebut didasarkan pada pengelompokan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang atas penyerahannya dikenai PPnBM.

Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang dikenakan PPnBM ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan Jenis Barang yang dikenakan PPnBM atas Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pengelompokan barang-barang yang terkena PPnBM terutama didasarkan pada tingkat kemampuan golongan masyarakat yang mempergunakan barang-barang tersebut, di samping didasarkan pula pada nilai gunanya bagi masyarakat pada umumnya.

Sehubungan dengan hal itu, tarif yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang yang hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi dan barang-barang yang konsumsinya perlu dibatasi. Dalam hal terhadap barang-barang yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat banyak perlu dikenakan PPnBM, maka tarif yang dipergunakan adalah tarif yang rendah.

PPnBM adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah di dalam Daerah Pabean. Oleh karena itu, Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang diekspor atau dikonsumsi di luar Daerah Pabean, dikenakan PPnBM dengan tarif 0% (nol persen). PPnBM yang telah dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang diekspor tersebut dapat diminta kembali.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 102/PMK.011/2011 Tentang Nilai Lain Sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 38/PMK.011/2013 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak   
  7. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2014 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Emas Perhiasan
  8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 56/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
  9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 121/PMK.03/2015 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 Tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
  10. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Republik Indonesia 62/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Liquefied Petroleum Gas Tertentu
  11. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Republik Indonesia 63/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Hasil Tembakau
  12. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Republik Indonesia 66/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian
  13. Peraturan Menteri Keuangan Nomor Republik Indonesia 71/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu
  14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-79/PJ/2011 Tentang Penyampaian Peraturan Menteri Keuangan Nomor 102/PMK.011/2011 Tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Berupa Film Cerita Impor dan Penyerahan Film Cerita Impor, serta Dasar Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas Kegiatan Impor Film Cerita Impor

Tempat Pengkreditan
(Pasal 22 PP Nomor 44 Tahun 2022 jo. SE-21/PJ.5/2001)

Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.
Yang dimaksud dengan “tempat pengkreditan Pajak Masukan” merupakan di tempat Pengusaha diadministrasikan oleh kantor Direktorat Jenderal Pajak sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Contoh:

PT A yang berkedudukan di Kabupaten Gresik dan telah diadministrasikan sebagai Pengusaha Kena Pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Gresik, melakukan impor Barang Kena Pajak melalui pelabuhan Tanjung Perak di Kota Surabaya. Atas impor Barang Kena Pajak tersebut, PT A mengkreditkan Pajak Masukan di Kabupaten Gresik dan tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kota Surabaya

Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat selain tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak ataupun secara jabatan.

Contoh:

Pengusaha Kena Pajak A yang kantor pusatnya di Kota Jakarta Pusat dan telah terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Gambir Satu memiliki pabrik yang terletak di Kota Surakarta dan terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Surakarta. Pemberitahuan impor barang dalam rangka impor Barang Kena Pajak menggunakan nomor pokok wajib pajak kantor pusat di Kota Jakarta Pusat. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Pengusaha Kena Pajak di Kota Surakarta dapat mengkreditkan Pajak Masukan yang tercantum dalam pemberitahuan impor barang tersebut.

Direktur Jenderal Pajak karena jabatan dapat menetapkan tempat lain selain tempat dilakukannya impor Barang Kena Pajak, sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini diperlukan untuk memberikan kemudahan bagi Pengusaha Kena Pajak yang terdaftar di kantor pelayanan pajak tertentu yang pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan Nilainya ditetapkan secara terpusat.

Syarat yang harus Dipenuhi untuk Mengajukan Permohonan Tempat Lain sebagai Tempat Pengkreditan Pajak Masukan
(SE - 21/PJ.5/2001)

Permohonan tempat lain sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak selain tempat di tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan dapat dikabulkan bila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a)  lokasi usaha Wajib Pajak atau tempat Wajib Pajak dikukuhkan (Kantor Pusat/Kantor Cabang/Perwakilan) tidak melakukan kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak.
b) lokasi usaha tersebut hanya berfungsi sebagai kantor penghubung untuk keperluan administrasi (liaison office). Dengan demikian penggunaan alamat dan/atau NPWP lokasi usaha pada Faktur Pajak Masukan hanya untuk pemenuhan persyaratan administrasi saja.
c)  Faktur Pajak Masukan tersebut tidak/tidak akan dikreditkan di KPP lokasi.
d) Faktur Pajak Masukan tersebut memenuhi syarat sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan.

Kepala Kantor Wilayah sebelum memutuskan untuk memberikan ijin tempat lain sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan, perlu melakukan permintaan konfirmasi ke KPP yang mengadministrasikan/seharusnya mengadministrasikan Faktur Pajak tersebut untuk meyakinkan bahwa Faktur Pajak Masukan yang dimintakan dikreditkan di tempat lain belum dikreditkan di KPP lokasi.

Permintaan konfirmasi dapat menggunakan formulir yang telah ditentukan.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang dimintakan konfirmasi harus memberikan jawaban paling lambat 2 minggu terhitung sejak diterimanya surat permintaan konfirmasi.

Kepala Kantor Wilayah DJP harus memberikan jawaban atas permohonan ijin tempat lain sebagai tempat pengkreditan Pajak Masukan paling lambat 1 bulan setelah permohonan diterima.

Izin untuk mengkreditkan Pajak Masukan tersebut hanya menyangkut persetujuan untuk tempat pengkreditan Pajak Masukan. Sehingga Pajak Masukan tersebut baru dapat dikreditkan apabila Faktur Pajak-nya telah memenuhi ketentuan antara lain merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan ketentuan lain yang berkenaan dengan pengkreditan Pajak Masukan baik secara formal maupun material. Izin pengkreditan Pajak Masukan tersebut harus menyebutkan secara jelas nilai PPN, nomor, dan tanggal Faktur Pajak yang diijinkan untuk dikreditkan di tempat lain.

Pengusaha Kecil
(UU Nomor 42 Tahun 2009 jo. 68/PMK.03/2010 jo. 197/PMK.03/2013)

Pengertian Pengusaha Kecil
(Pasal1 197/PMK.03/2013)
Pengusaha kecil merupakan pengusaha yang selama 1 (satu) tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Penyerahan yang Dilakukan oleh Pengusaha Kecil
(Pasal 3A UU Nomor 42 Tahun 2009 jo. Pasal 2 68/PMK.03/2010)

Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kecil tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jika Pengusaha Kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha Kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak. Pengusaha Kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diwajibkan terhadap Pengusaha Kena Pajak pada umumnya. Ketentuan tidak dikenakan PPN tidak berlaku apabila Pengusaha Kecil memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pengusaha yang Wajib Mendaftarkan Diri untuk Dikukuhkan sebagai PKP
(Pasal 4 197/PMK.03/2013)

Pengusaha kecil yang omzetnya telah melampaui batasan peredaran bruto (omzet) Rp 4,8 miliar sampai dengan suatu bulan dalam satu tahun buku, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah bulan saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh :
Bapak Rizal terdaftar di KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua memiliki toko onderdil mobil di Pusat Onderdil Fatmawati, omzet bulan Januari 2023 s.d. April 2023 mencapai Rp 4,5 miliar. Sementara omzet bulan Mei 2023 adalah Rp 400 Juta. Dengan demikian, batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2023, sehingga Bapak Meidi harus segera melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP kepada KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua selambat-lambatnya 30 Juni 2023.

Pengusaha yang Telah Melampaui Batasan Omzet Rp 4,8 miliar Tetapi Tidak Melaporkan Usahanya untuk Dikukuhkan sebagai PKP
(Pasal 5 197/PMK.03/2013 )

Pengusaha Kena Pajak telah melampaui batasan omzet Rp 4,8 miliar dapat dikukuhkan secara jabatan, Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan surat ketetapan pajak dan/atau surat tagihan pajak untuk Masa Pajak sebelum pengusaha dikukuhkan secara jabatan sebagai Pengusaha Kena Pajak, terhitung sejak saat jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).

Contoh:
Jika Bapak Rizal (seperti contoh di atas) tidak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP ke KPP Jakarta Kebayoran Baru Dua dan berdasarkan hasil ekstensifikasi pada bulan Desember 2023 diketahui bahwa batasan Pengusaha Kecil telah terlampaui pada bulan Mei 2023, maka saat pengukuhan sebagai PKP terhitung sejak bulan Mei 2023 dan atas PPN terutang bulan Mei 2023 s.d. November 2023 beserta sanksi bunga 2 % sebulan dari PPN terutang.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang

Pengertian
(Pasal 1 UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. PP Nomor 44 Tahun 2022)

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang.

Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.

Nilai Ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh eksportir.

Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Nilai Lain
(75/PMK.03/2010 jo 102/PMK.011/2011 jo. 121/PMK.03/2015 jo. 62/PMK.03/2022 jo. PMK 63/PMK.03/2022 jo. 66/PMK.03/2022 jo. 71/PMK.03/2022)

Nilai Lain adalah suatu jumlah yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak, yang dapat berupa:

- Harga Pokok Penjualan (Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba kotor);
- perkiraan harga jual rata-rata; 
- harga pasar wajar;
- persentase tertentu dari harga jual, tagihan atau imbalan; 
- harga faktual yang dianggap wajar. 

Nilai Lain ditetapkan sebagai berikut:

• Pemakaian sendiri:
DPP = Harga Pokok Penjualan
PPN = 11% X Harga Pokok Penjualan
 
• Pemberian cuma-cuma:
DPP = Harga Pokok Penjualan
PPN = 11% X Harga Pokok Penjualan
 
• Penyerahan film cerita (PMK No 102/PMK.011/2011) :
DPP = Perkiraan hasil rata-rata per judul film
PPN = 11% X Perkiraan hasil rata-rata per judul film
Rp 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)
per copy film cerita impor
 
• Aktiva yang tujuan semula tidak diperjualbelikan yang tersisa saat pembubaran perusahaan:
DPP = Harga Pasar Wajar
PPN = 11% X Harga Pasar Wajar
(Pajak Masukan yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan DPP Nilai Lain tersebut di atas tetap dapat dikreditkan, sepanjang berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya dan faktur pajaknya merupakan faktur pajak standar).
 
• Penyerahan BKP dan/atau JKP dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP dan/atau  JKP antarcabang
DPP = Harga Pokok Penjualan atau harga perolehan
PPN = 11% x Harga Pokok Penjualan atau harga perolehan  
 
• Penyerahan BKP kepada pedagang perantara 
DPP = Harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli
PPN = 11% x Harga yang disepakati antara pedagang perantara dengan pembeli
 
• Penyerahan BKP melalui juru lelang      
DPP = Harga Lelang      
PPN = 11% x Harga Lelang 
 
• Penyerahan hasil Tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Produsen
DPP = 100/(100+t) x Harga Jual Eceran Hasil Tembakau
PPN = 11% x 100/(100+11) x Harga Jual Eceran Hasil Tembakau
 
• Penyerahan hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri oleh Importir
DPP = 100/(100+t) x Harga Jual Eceran Hasil Tembakau
PPN = 11% x 100/(100+11) x Harga Jual Eceran Hasil Tembakau
 
• Penyerahan Pupuk Bersubsidi oleh PKP (Bagian harga yang mendapatkan subsidi)
DPP = 100/(100+t) x Jumlah Pembayaran Subsidi
PPN = 11% x 100/(100+11) x Jumlah Pembayaran Subsidi
 
• Penyerahan Pupuk Bersubsidi oleh PKP (Bagian harga tidak mendapatkan subsidi)
DPP = 100/(100+t) x Harga Eceran Tertinggi
PPN = 11% x 100/(100+11) x Harga Eceran Tertinggi
 
• Penyerahan LPG Tertentu pada titik serah Badan Usaha
DPP = 100/(100+t) x Harga Jual Eceran
PPN = 11% x 100/(100+11) x Harga Jual Eceran
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang

Mekanisme Pengkreditan
(Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 2021)

Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak yang sama.

Apabila tidak dapat dikreditkan pada masa pajak yang sama (misalnya Faktur Pajak-nya diterima terlambat), Pajak Masukan tersebut masih bisa dikreditkan pada masa pajak berikutnya, selambat-lambatnya tiga bulan setelah berakhirnya masa pajak yang bersangkutan, sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan (dikapitalisasikan) pada harga perolehan BKP/JKP.

Apabila jangka waktu 3 (tiga) bulan tersebut telah terlewati, maka Pajak Masukan tetap dapat dikreditkan dengan cara melakukan pembetulan SPT Masa PPN. Misalnya, Faktur Pajak Masukan bulan

April 2023 baru diterima oleh PKP pada bulan November 2023, Faktur Pajak Masukan tersebut tetap dapat dikreditkan dengan cara melakukan pembetulan SPT Masa PPN untuk Masa April 2023.

Pengkreditan Masa Tidak Sama
(Pasal 9 ayat 9 UU Nomor 7 Tahun 2021 jo. SE-02/PJ/2020)

Pajak Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak yang sama yang disebabkan antara lain karena Faktur Pajak terlambat diterima, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dibebankan sebagai biaya atau belum ditambahkan dalam harga perolehan BKP atau JKP serta memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan UU PPN.

Dalam hal jangka waktu 3 bulan telah terlampaui, pengkreditan Pajak Masukan dapat dilakukan melalui pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan. Berlaku juga terhadap Pajak Masukan yang tercantum dalam dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Contoh :

  1. PT A melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Februari 2020 dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) Masa Pajak Februari 2020.
  2. Pajak Masukan atas pembelian mesin sebagaimana dimaksud pada Contoh Kasus 1 dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak Februari 2020 atau pada Masa Pajak berikutnya, yaitu Masa Pajak Maret 2020, April 2020, atau Mei 2020.
  3. PT B melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020, namun Faktur Pajaknya baru diterima oleh PT B pada bulan Juni 2020. PT B telah menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, April 2020, dan Mei 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, April 2020, atau Mei 2020.
  4. PT C melakukan pembelian mesin dengan Faktur Pajak tertanggal 4 Februari 2020, namun Faktur Pajaknya baru diterima oleh PT C pada bulan Juni 2020. PT C telah menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, dan April 2020, tetapi belum menyampaikan SPT Masa PPN Masa Pajak Mei 2020. Pajak Masukan atas pembelian mesin tersebut dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran melalui pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak Februari 2020, Maret 2020, atau April 2020, atau melalui penyampaian SPT Masa PPN Masa Pajak Mei 2020.
  5. Pada tanggal 5 Februari 2020, PT D membayar PPN atas impor mesin. PPN Impor yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak dilakukannya pembayaran, yaitu Masa Pajak Februari 2020, atau pada Masa Pajak berikutnya, yaitu Masa Pajak Maret 2020, April 2020, atau Mei 2020.
  6. Atas Impor mesin sebagaimana dimaksud pada Contoh Kasus 5 di atas, diterbitkan surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean dan terdapat penetapan kekurangan nilai PPN Impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada tanggal 4 November 2020. Kekurangan PPN Impor tersebut telah dibayar oleh PT D pada tanggal 10 November 2020. PPN Impor yang dibayar tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran pada Masa Pajak dilakukannya pembayaran, yaitu Masa Pajak November 2020, atau pada Masa Pajak berikutnya, yaitu Masa Pajak Desember 2020, Januari 2021, atau Februari 2021.

Pengkreditan Pajak Masukan Yang Tidak Dilaporkan dan/atau Ditemukan Pada Waktu Dilakukan Pemeriksaan
(Pasal 9 ayat 9b UU Nomor 7 Tahun 2021 jo 18/PMK.03/2021)

Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan, dapat dikreditkan oleh PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pajak Masukan yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN yang diberitahukan dan/atau ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan yaitu PPN yang tercantum dalam:

  1. Faktur Pajak; dan/atau
  2. dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak.

Pengkreditan Pajak Masukan dilakukan pada saat pemeriksaan untuk diperhitungkan dalam ketetapan pajak yang akan diterbitkan berdasarkan dokumen yang:

  1. diberitahukan oleh PKP dengan memperlihatkan dan/atau meminjamkan dokumen dimaksud sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pemeriksaan; dan/atau
  2. ditemukan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Pengkreditan Pajak Masukan dapat dilakukan sepanjang surat pemberitahuan hasil pemeriksaan belum disampaikan kepada PKP.

Contoh 1:

PT L merupakan badan usaha yang bergerak dalam industri manufaktur otomotif. PT L telah dikukuhkan sebagai PKP sejak tahun 2016. Pada bulan Agustus 2020, KPP Madya PQR melakukan pemeriksaan lapangan terhadap PT L atas Surat Pemberitahuan Masa PPN Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2018. Pada saat pemeriksaan sedang berlangsung, PT L memberitahukan Faktur Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN Masa Pajak Februari 2018 kepada pemeriksa pajak dengan menyampaikan dokumen bukti pungutan PPN berupa Faktur Pajak dimaksud.

Surat pemberitahuan hasil pemeriksaan disampaikan oleh pemeriksa pajak kepada PT L pada tanggal 20 Oktober 2020 dan ketetapan pajak diterbitkan oleh KPP Madya PQR pada tanggal 30 November 2020. Berdasarkan hal tersebut, Pajak Masukan yang diberitahukan oleh PT L tidak dapat dikreditkan karena surat pemberitahuan hasil pemeriksaan telah disampaikan kepada PT L sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja mulai berlaku (tanggal 2 November 2020).

Contoh 2:

PT M merupakan badan usaha yang bergerak di bidang perdagangan peralatan kantor. PT M telah dikukuhkan sebagai PKP sejak tahun 2017. KPP Pratama TUV, tempat PT M terdaftar, melakukan pemeriksaan lapangan terhadap PT M atas Surat Pemberitahuan Masa PPN Masa Pajak Januari sampai dengan Desember 2019 di bulan Oktober 2021. Pada saat pemeriksaan sedang berlangsung, pemeriksa pajak menemukan Faktur Pajak dengan identitas pembeli atas nama PT M pada Masa Pajak Juli 2019, namun belum pernah dilaporkan oleh PT M sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dalam suatu Masa Pajak. Oleh karena itu, pemeriksa pajak memperhitungkan PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak yang ditemukan tersebut sebagai Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan
(186/PMK.03/2022)

PKP Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Tidak Terutang Pajak (PM untuk Penyerahan Terutang Pajak Tidak Diketahui dengan Pasti)
(186/PMK.03/2022)
   
PKP yang melakukan kegiatan usaha yang atas penyerahannya:
  1. sebagian merupakan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Pajak Masukan yang Berkenaan dengan Penyerahannya Dapat Dikreditkan; dan
  2. sebagian lainnya merupakan:
    1. Penyerahan yang Terutang Pajak dan Pajak Masukan yang Berkenaan dengan Penyerahannya Tidak Dapat Dikreditkan; dan/atau
    2. Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak,
Maka pedoman penghitungan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebagai berikut:
1. Menghitung jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan perkiraan dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan.
P =  PM x Z
P   : merupakan jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan perkiraan;
PM : merupakan jumlah Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
Z  : merupakan persentase yang sebanding dengan perkiraan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Pajak Masukan yang Berkenaan dengan Penyerahannya Dapat Dikreditkan terhadap perkiraan penyerahan seluruhnya.
2. Menghitung kembali jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan realisasi penyerahan dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan
P' = PM  x Z'
  T
P   : jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan realisasi penyerahan pada suatu Tahun Pajak;
PM : jumlah Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP
T : masa manfaat BKP dan/atau JKP
Z ' : persentase yang sebanding dengan realisasi Penyerahan yang Terutang Pajak dan Pajak Masukan yang Berkenaan dengan Penyerahannya Dapat Dikreditkan terhadap realisasi penyerahan seluruhnya dalam setiap Tahun Pajak.
3. Melakukan penyesuaian jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan dengan cara menghitung selisih antara jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan realisasi penyerahan dengan alokasi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan perkiraan
ΔP =  P' -_P  
        T
ΔP  : besarnya penyesuaian jumlah Pajak Masukan yang telah dikreditkan
P' : jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan realisasi penyerahan pada suatu Tahun Pajak;
P : jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan berdasarkan perkiraan;
T : masa manfaat BKP dan/atau JKP

Besarnya penyesuaian jumlah Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperhitungkan dengan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan pada suatu Masa Pajak paling lambat pada Masa Pajak ketiga dalam tahun-tahun pajak dilakukannya penghitungan kembali.

PKP yang Peredaran Usahanya dalam 1 Tahun Tidak Melebihi Jumlah Tertentu
(74/PMK.03/2010)

PKP yang dapat menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini adalah PKP yang peredaran usaha atau omzet dalam satu tahun buku tidak melebihi Rp1,8 Milyar. Dengan demikian, apabila omzet PKP tidak melebihi Rp1,8 Milyar dalam satu tahun buku, maka PKP tesebut boleh memilih apakah kewajiban PPN nya menggunakan mekanisme pengkreditan pajak masukan secara umum atau menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ini.

Jika menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan maka besarnya pajak masukan yang dapat dikreditkan dan besarnya PPN yang harus disetor adalah :
  1. Untuk penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 60% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetor dalam suatu masa pajak adalah 4% dari omzet.
  2. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), pajak masukan yang dapat dikreditkan adalah sebesar 70% dari pajak keluaran. Dengan demikian, PPN yang harus disetor dalam suatu masa pajak adalah 3% dari omzet
Dalam hal ini PKP tidak dapat membebankan PPN Masukan sebagai biaya untuk penghitungan PPh.

Pengertian
(UU Nomor 42 Tahun 2009 jo. UU Nomor 7 Tahun 2021 jo. UU Nomor 6 Tahun 2023)

Faktur pajak adalah :

  1. Bukti pungutan pajak (PPN/PPn BM) yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan BKP/JKP; atau
  2. Bukti pungutan pajak (PPN/PPn BM) karena impor BKP yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Faktur Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1 (satu) bulan kalender.

Faktur Pajak tidak harus dibuat secara khusus atau berbeda dengan Faktur Penjualan, artinya Faktur Penjualan dapat sekaligus berfungsi sebagai Faktur Pajak.

Penggunaan Metode “QQ” pada Faktur Pajak

Impor Inden
(539/KMK.04/1990)

Impor Inden adalah suatu kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh importir untuk dan atas nama pemesan (Indentor) berdasarkan perjanjian pemasukan barang impor antara importir dengan Indentor, yang segala pembiayaan impor antara lain pembukaan L/C, bea, pajak maupun biaya yang berhubungan dengan impor sepenuhnya menjadi beban Indentor dan sebagai balas jasa importir memperoleh komisi (handling fee) dari indentor.

Kegiatan Usaha di Bidang Impor atas Dasar Inden ini diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/1990.

Hal yang perlu diperhatikan terkait dengan masalah perpajakannya :

  1. Importir yang melakukan impor atas dasar inden diwajibkan mencantumkan tambahan penjelasan (q.q.) nama, alamat, dan NPWP Indentor pada setiap lembar Pemberitahuan Impor Barang dan Surat Setoran Pajak.
  2. Bank Devisa atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atau Kantor Pos Lalu Bea tempat pemasukan Pemberitahuan Impor Barang wajib membubuhkan cap "Impor atas Dasar Inden" pada setiap lembar Pemberitahuan Impor Barang yang bersangkutan.
  3. importir yang melakukan impor atas dasar inden wajib melunasi PPN dan/atau PPnBM yang terutang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dan pihak importir yang melakukan impor atas dasar inden tidak diperkenankan mengkreditkan PPN yang terutang tersebut.
  4. PPN yang telah dilunasi oleh importir yang melakukan impor atas dasar inden dapat dikreditkan terhadap Pajak Keluaran yang terutang oleh Indentor yang bersangkutan dengan bukti Pemberitahuan Impor Barang dan Surat Setoran Pajak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
  5. Dalam hal importir yang melakukan impor atas dasar inden tidak memenuhi persyaratan seperti yang dimaksud pada angka 1 di atas maka impor tersebut ditetapkan sebagai impor atas biaya sendiri.
  6. Dalam hal importir melakukan impor atas biaya sendiri maka penyerahan barang kena pajak oleh importir terutang pajak pertambahan nilai (pajak keluaran) dan pajak pertambahan nilai yang telah dibayar oleh importir dalam rangka pemasukan barang (impor) tersebut dapat dikreditkan dengan pajak keluaran yang terutang tersebut.

Ekspor yang Menggunakan Nama/Kuota Eksportir Lain
(SE-47/PJ/2008)

Ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang keluar daerah pabean Republik Indonesia. Di dalam pelaksanaannya ekspor dapat dilakukan untuk dan atas nama eksportir itu sendiri, dan dapat pula dilakukan dengan menggunakan nama/quota eksportir lain. Ekspor yang dilakukan dengan menggunakan nama/quota eksportir lain diatur dalam SE-25/PJ.32/1989 dan SE-19/PJ.32/1990, dimana dalam transaksi ini tidak dianggap terjadi penyerahan BKP dari eksportir pemilik barang kepada eksportir pemilik nama/quota sepanjang dokumen PEB yang telah dicap fiat muat disebutkan nama eksportir pemilik/kuota “QQ” eksportir pemilik barang.

Pada tanggal 29 Agustus 2008 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2008 peraturan mengenai kegiatan ekspor yang menggunakan nama/kuota ekportir lain tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
 
Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi
(SE-129/PJ/2010 jo. SE-10/PJ.42/1994)

Sewa guna usaha sesuai Keputusan Menteri keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 tanggal 17 November 1991 adalah suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan opsi (finance lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) untuk digunakan oleh lessee dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Mekanisme pengenaan PPN:

  1. Perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ditanda tangani oleh lessor dan lesse.
  2. Perjanjian jual beli barang modal sebagai objek perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi ditanda tangani oleh supplier dan lessor.
  3. Supplier menyerahkan barang modal kepada lessee sesuai dengan permintaan lessor.
  4. Supplier menyerahkan barang modal secara yuridis kepada lessor selaku pemegang hak milik atas barang modal yang menjadi objek perjanjian.
  5. Supplier membuat dan menyerahkan faktur pajak kepada lessor dengan menuliskan pada faktur pajak nama lessor qq lessee.
  6. Lessor membayar PPN kepada supplier, namun PPN ini bukan merupakan pajak masukan bagi lessor.
  7. Lessor menyerahkan faktur pajak kepada lessee agar supaya pajak masukan dapat dikreditkan oleh lessee.
  8. Lessor melakukan reimbursement atas faktur pajak yang telah dibayarkan kepada lessee.

Lebih lanjut mengenai perlakuan PPh dan PPN terhadap perjanjian sewa guna usaha dengan hak opsi yang berakhir menjadi lebih singkat dari masa sewa guna usaha yang diisyaratkan dalam pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 1169/KMK.01/1991 diatur melalui SE-10/PJ.42/1994.

Pada tanggal 29 November 2010 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-129/PJ/2010 perihal Perlakuan PPh dan PPN terhadap Perjanjian Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi dinyatakan tidak berlaku

Kontrak kerja yang disubkan kepada pihak ketiga karena pihak utama selaku penandatangan kontrak tidak memiliki kemampuan secara langsung  melaksanakan proyek dalam kontrak kerja
(SE-47/PJ/2008 jo. SE-10/PJ.42/1994)

Pada dasarnya penggunaan metode q.q. pada Faktur Pajak tidak diatur dalam Undang-Undang PPN, namun untuk lebih memberikan kemudahan dan pelayanan yang baik kepada Pengusaha Kena Pajak maka penggunaan metode q.q. pada Faktur Pajak dapat dimungkinkan sepanjang Pengusaha Kena Pajak memiliki itikad baik dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan fiskus tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi pengawasannya.

Sebenarnya penerbitan Faktur Pajak dapat dilakukan dengan mekanisme biasa, namun pada kenyataannya banyak PKP yang mengajukan permohonan agar dapat menggunakan metode q.q. pada Faktur Pajak dengan alasan kepraktisan, dan karena harga yang diajukan kontraktor utama kepada pemilik proyek adalah sama dengan harga yang diajukan oleh Sub Kontraktor kepada Kontraktor

Utama (tidak terdapat perubahan harga, Kontraktor Utama hanya mendapat komisi saja).
Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka metode “QQ” pada faktur pajak dapat diterapkan dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Faktur Pajak Keluaran diterbitkan oleh Sub Kontraktor, pada kolom "Pembeli BKP/Penerima JKP" agar dicantumkan "Nama Kontraktor Utama q.q. Nama Pemilik Proyek". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Nama dan Alamat Pemilik Proyek. Asli lembar kesatu Faktur Pajak tersebut hanya untuk Pemilik Proyek, sehingga dengan demikian yang berhak mengkreditkan Pajak Masukannya adalah Pemilik Proyek.
  2. PPN dipungut dan disetor oleh Pemilik Proyek selaku Badan Pemungut untuk dan atas nama Sub Kontraktor. Pada Surat Setoran Pajak (SSP), dicantumkan "Nama Kontraktor Utama qq Nama Sub Kontraktor". Alamat dan NPWP dicantumkan Alamat dan NPWP Sub Kontraktor. Sedangkan NPWP Kontraktor Utama dicantumkan di bawah kotak NPWP. Kolom KPP pada sudut kiri atas SSP dicantumkan KPP tempat Sub Kontraktor terdaftar/dikukuhkan. SSP lembar kesatu hanya untuk Sub  Kontraktor.
  3. Kontraktor Utama selaku agen tidak berhak mengkreditkan atau meminta restitusi atas PPN yang dipungut oleh Pemilik Proyek selaku pemungut PPN untuk dan atas nama Sub Kontraktor. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Kontraktor Utama selaku agen hanya yang berhubungan langsung dengan jasa keagenan.
  4. Kontraktor Utama selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (mekanisme biasa).

Pada tanggal 29 Agustus 2008 melalui Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2008 peraturan mengenai “Kontrak kerja yang disubkan kepada pihak ketiga karena pihak utama selaku penandatangan kontrak tidak memiliki kemampuan secara langsung melaksanakan proyek dalam kontrak kerja" tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pada SE-47/PJ/2008 mengenai pencabutan peraturan terkait dengan penggunaan metode “QQ” walupun tidak  secara  eksplisit disebutkan mengenai pencabutan SE-10/PJ.42/1994 atas metode qq dalam transaksi sewa guna usaha dengan hak opsi serta 539/KMK.04/1990 mengenai penggunaan qq pada impor inden.

Namun mungkin pada dasarnya pihak Direktorat Jenderal Pajak  bermaksud untuk mencabut semua peraturan yang mengatur mengenai penggunaan faktur pajak   dengan metode QQ dalam rangka mendukung terciptanya good governance sehingga jika ditemukan transaksi dimana akan diterapkan metode “QQ” pada faktur pajak maka lebih baik jika kita menanyakan atau berkonsultasi terlebih dahulu dengan Kantor Pelayanan Pajak di wilayah masing masing.

Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas Ekspornya dikenakan PPN 0%
(32/PMK.010/2019)

Kegiatan Ekspor Jasa Kena Pajak merupakan kegiatan pelayanan di dalam Daerah Pabean yang menyebabkan suatu barang, fasilitas, kemudahan, atau hak tersedia untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean.

Kegiatan pelayanan yaitu:

  1. kegiatan yang melekat pada barang bergerak yang dikeluarkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean;
  2. kegiatan yang melekat pada barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean; atau
  3. kegiatan selain kegiatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b yang hasilnya diserahkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean dengan cara:
    1. penyampaian langsung atau tidak langsung antara lain melalui pos dan saluran elektronik; atau
    2. berupa penyediaan hak untuk dipakai (akses) di luar Daerah Pabean,
    3. berdasarkan permintaan Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak.

Jenis Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang melekat pada barang bergerak yang dikeluarkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean meliputi:

  1. jasa maklon;
  2. jasa perbaikan dan perawatan; dan
  3. jasa pengurusan transportasi (freight forwarding) terkait barang untuk tujuan ekspor.

Jenis Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang melekat pada barang tidak bergerak yang berada di luar Daerah Pabean yaitu jasa konsultansi konstruksi yang meliputi pengkajian, perencanaan, dan perancangan konstruksi terkait dengan bangunan atau rencana bangunan yang berada di luar Daerah Pabean.

Jenis Jasa Kena Pajak berupa kegiatan pelayanan yang hasilnya diserahkan untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean meliputi:

  1. jasa teknologi dan informasi;
  2. jasa penelitian dan pengembangan (research and development);
  3. jasa persewaan alat angkut berupa persewaan pesawat udara dan/atau kapal laut untuk kegiatan penerbangan atau pelayaran internasional;
  4. jasa konsultansi bisnis dan manajemen, jasa konsultansi hukum, jasa konsultansi desain arsitektur dan interior, jasa konsultansi sumber daya manusia, jasa konsultansi keinsinyuran (engineering Services), jasa konsultansi pemasaran (marketing Services), jasa akuntansi atau pembukuan, jasa audit laporan keuangan, dan jasa perpajakan;
  5. jasa perdagangan berupa jasa mencarikan penjual barang di dalam Daerah Pabean untuk tujuan ekspor; dan
  6. jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi/konektivitas data.

Jasa Maklon adalah pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa.
Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi syarat sbb :

  • spesifikasi dan bahan baku dan/atau bahan setengah jadi disediakan oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak;
  • bahan baku dan/atau bahan setengah jadi sebagaimana dimaksud dalam huruf a akan diproses untuk menghasilkan Barang Kena Pajak;
  • kepemilikan atas Barang Kena Pajak yang dihasilkan berada pada Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak; dan
  • pengusaha jasa maklon mengirim Barang Kena Pajak yang merupakan hasil pekerjaannya ke luar Daerah Pabean dengan menggunakan mekanisme ekspor barang
  Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari kegiatan ekspor Jasa Maklon oleh Pengusaha Kena Pajak eksportir Jasa Maklon dilaporkan sebagai ekspor Barang Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai atas:
  1. perolehan Barang Kena Pajak;
  2. perolehan Jasa Kena Pajak;
  3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau
  5. impor Barang Kena Pajak,
merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.


Jasa teknologi dan informasi meliputi:

  1. layanan analisis sistem komputer, antara lain pemecahan masalah yang membutuhkan dukungan teknologi informasi;
  2. layanan perancangan sistem komputer, antara lain spesifikasi piranti keras (Hardware), piranti lunak (software), dan/atau jaringan komputer yang dibutuhkan;
  3. layanan pembuatan sistem komputer dan/atau situs web menggunakan bahasa pemrograman, antara lain layanan pembuatan aplikasi;
  4. layanan keamanan teknologi informasi (IT security), antara lain perlindungan informasi pada saat informasi diproses, ditransmisikan, dan/atau disimpan;
  5. layanan pusat kontak (contact center), antara lain pemberian jawaban dan/atau tindak lanjut atas pertanyaan dan/atau pernyataan yang disampaikan kepada pusat kontak;
  6. layanan dukungan teknik, antara lain layanan penanganan masalah pelanggan (client) dalam penerapan, pemakaian, pemrosesan data (data Processing), dan konfigurasi piranti keras (hardware), piranti lunak (software), dan/atau jaringan komputer;
  7. layanan komputasi awan (cloud computing) dan web hosting, antara lain data hosting atau data storage sepanjang server berada di dalam Daerah Pabean dan penerima layanan data hosting atau data storage merupakan penyedia layanan cloud computing atau web hosting; dan
  8. layanan pembuatan konten dengan menggunakan bantuan teknologi informasi, antara lain pembuatan games, animasi, dan desain grafis.

Jasa interkoneksi, penyelenggaraan satelit dan/atau komunikasi/konektivitas data meliputi:

  1. layanan interkoneksi panggilan dan/atau pesan singkat internasional yang dilakukan oleh penyelenggara telekomunikasi dalam negeri kepada penyelenggara telekomunikasi luar negeri;
  2. layanan transmitter and responder (transponder) satelit yang dilakukan oleh penyelenggara satelit dalam negeri kepada penerima layanan di luar negeri, sepanjang stasiun bumi yang digunakan oleh penerima layanan berada di luar Daerah Pabean;
  3. layanan pengendalian satelit yang dilakukan oleh penyelenggara satelit dalam negeri kepada penyelenggara satelit luar negeri, sepanjang stasiun bumi pengendali yang digunakan oleh penyelenggara satelit dalam negeri berada di dalam Daerah Pabean; dan/atau
  4. layanan ketersambungan internet global melalui jaringan publik atau privat yang dilakukan oleh penyelenggara jaringan dalam negeri kepada penerima layanan di luar negeri.

Pelaporan Nota Retur dalam SPT Masa PPN

  • Pengurangan Pajak Keluaran atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan/atau Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya Pengembalian Barang Kena Pajak atau Pembatalan Jasa Kena Pajak
  • Pengurangan Pajak Masukan, pengurangan harta, atau pengurangan biaya, oleh Pembeli atau Penerima Jasa dilakukan dalam Masa Pajak saat terjadinya pengembalian Barang Kena Pajak atau Pembatalan Jasa Kena Pajak .
  • Nota Retur yang dibuat oleh pembeli dan yang diterima oleh Pengusaha Kena Pajak penjual harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN, agar dapat mengurangi PPN/PPnBM yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPN sebelumnya
    • Pengurangan PPN dan PPnBM oleh PKP penjual dilakukan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dibuatnya Nota Retur.
    • Dalam hal Nota Retur belum dapat diperhitungkan dalam Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dibuatnya Nota Retur, maka Nota Retur dapat diperhitungkan oleh PKP penjual dalam Masa Pajak diterimanya Nota Retur tersebut.
    • Pengurangan PPN dan PPnBM, harta, atau pengurangan biaya oleh pembeli dilakukan dalam Masa Pajak dibuatnya Nota Retur.

Retur Mengurangi PPN/Harta/Biaya
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 65/PMK.03/2010)

Pengembalian BKP

Dalam hal Barang Kena Pajak yang diserahkan ternyata dikembalikan (retur) oleh Pembeli, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut dapat mengurangi Pajak Keluaran dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Penjual dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak Pembeli, dalam hal Pajak Masukan atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Pembeli, dalam hal pajak atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi Pembeli yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.

Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal Barang Kena Pajak yang dikembalikan diganti dengan Barang Kena Pajak yang sama, baik dalam jumlah fisik, jenis maupun harganya.

Pembatalan JKP

Dalam hal Jasa Kena Pajak yang diserahkan ternyata dibatalkan, baik sebagian maupun seluruhnya oleh Penerima Jasa, Pajak Pertambahan Nilai dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut mengurangi Pajak Keluaran yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak dan mengurangi:

  1. Pajak Masukan dari Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Masukan atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan telah dikreditkan;
  2. biaya atau harta bagi Pengusaha Kena Pajak Penerima Jasa, dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut tidak dikreditkan dan telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut; atau
  3. biaya atau harta bagi Penerima Jasa yang bukan Pengusaha Kena Pajak dalam hal Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan tersebut telah dibebankan sebagai biaya atau telah ditambahkan (dikapitalisasi) dalam harga perolehan harta tersebut.
Saat Retur
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 65/PMK.03/2010)
  • Saat Pengembalian Barang Kena Pajak adalah saat Barang Kena Pajak tersebut dikembalikan oleh Pembeli.
  • Saat Pembatalan Jasa Kena Pajak adalah saat dilakukannya pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak Penerima Jasa.

Pengembalian Pendahuluan atas Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah
(39/PMK.03/2018 s.t.d.t.d. 209/PMK.03/2021)

1. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu dan ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah diberikan Pengembalian Pendahuluan atas kelebihan pembayaran PPN pada setiap Masa Pajak. Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud meliputi:
  1. perusahaan yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;
  2. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah;
  3. Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Mitra Utama Kepabeanan sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Mitra Utama Kepabeanan;
  4. Pengusaha Kena Pajak yang telah ditetapkan sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator) sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai Operator Ekonomi Bersertifikat (Authorized Economic Operator);
  5. pabrikan atau produsen selain Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf d, yang memiliki tempat untuk melakukan kegiatan produksi;
  6. Pengusaha Kena Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu
  7. Pedagang Besar Farmasi yang memiliki:
    1. Sertifikat Distribusi Farmasi atau Izin Pedagang Besar Farmasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pedagang besar farmasi; dan
    2.. Sertifikat Cara Distribusi Obat yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi obat yang baik;
  8. Distributor Alat Kesehatan yang memiliki:
    1. Sertifikat Distribusi Alat Kesehatan atau Izin Penyalur Alat Kesehatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyalur alat kesehatan; dan
    2. Sertifikat Cara Distribusi Alat Kesehatan yang Baik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai cara distribusi alat kesehatan yang baik;
    atau
  9. perusahaan yang dimiliki secara langsung oleh Badan Usaha Milik Negara dengan kepemilikan saham lebih dari 50% (lima puluh persen) yang laporan keuangannya dikonsolidasikan dengan laporan keuangan Badan Usaha Milik Negara induk sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
2. Syarat dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah
Untuk dapat ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak Berisiko Rendah, Pengusaha Kena Pajak harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  1. Pengusaha Kena Pajak merupakan Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada butir 1, selain huruf f ;
  2. Pengusaha Kena Pajak pabrikan atau produsen sebagaimana dimaksud pada huruf e menyampaikan SPT Masa PPN selama 12 (dua belas) bulan terakhir dengan tepat waktu;
  3. Pengusaha Kena Pajak tidak sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan; dan
  4. Pengusaha Kena Pajak tidak pemah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
3. Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan tertentu
Kegiatan tertentu sebagaimana dimaksud di atas meliputi:
  1. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud;
  2. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak  Pertambahan Nilai;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
  4. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan/atau
  5. ekspor Jasa Kena Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 32/PMK.010/2019 Tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang Atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-49/PJ/2011 Tentang Penyampaian Peraturan Menteri Keuangan Nomor 30/PMK.03/2011 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 Tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Restitusi Pembebasan PPN dan/atau PPnBM kepada Perwakilan Negara Asing atau Badan Internasional
(162/PMK.03/2014 s.t.d.t.d 33/PMK.03/2018)

Pengertian

Perwakilan Negara Asing adalah perwakilan diplomatik, dan/atau perwakilan konsuler yang diakreditasikan kepada pemerintah Republik Indonesia, termasuk perwakilan tetap/misi diplomatik yang diakreditasikan kepada Sekretariat ASEAN, organisasi internasional yang diperlakukan sebagai perwakilan diplomatik/konsuler, serta misi khusus, dan berkedudukan di Indonesia.

Pejabat Perwakilan Negara Asing adalah kepala beserta staf Perwakilan Negara Asing, kecuali staf yang merupakan Warga Negara Indonesia.

Badan Internasional adalah suatu badan Perwakilan Organisasi Internasional di bawah Perserikatan  Bangsa Bangsa, badan-badan di bawah Perwakilan Negara Asing dan Organisasi/Lembaga Asing lainnya yang melaksanakan kerjasama teknik yang bertempat dan berkedudukan di Indonesia.

Pejabat Badan Internasional adalah Kepala, Pejabat/staf, dan tenaga ahli Badan Internasional yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Indonesia untuk menjalankan tugas atau jabatan di Indonesia, kecuali staf dan/atau tenaga ahli yang merupakan Warga Negara Indonesia.

Ketentuan umum

Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada Perwakilan Negara Asing serta Pejabat Perwakilan Negara Asing hanya dapat diberikan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk dan diberikan berdasarkan asas timbal balik yang ditetapkan oleh Menteri Luar Negeri, serta mempertimbangkan batas minimum pembelian barang atau jasa di luar Pajak Pertambahan Nilai yang ditetapkan suatu negara (minimum purchase requirement) dari Menteri Luar Negeri atau pejabat yang ditunjuk.

Pembebasan PPN dan/atau PPnBM

1.
Atas impor Barang Kena Pajak (kendaraan bermotor* dan selain kendaraan bermotor)
  1. Perwakilan Negara Asing serta Pejabat Perwakilan Negara Asing; dan
  2. Badan Internasional serta Pejabat Badan Internasional,
Batasan jumlah impor kendaraan bermotor dalam keadaan jadi/completely built up (CBU) untuk Badan Internasional serta Pejabat Badan Internasional, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang Badan Internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia.
2.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak (kendaraan bermotor* dan selain kendaraan bermotor) dan/atau Jasa Kena Pajak kepada:
  1. Perwakilan Negara Asing serta Pejabat Perwakilan Negara Asing; dan
  2. Badan Internasional serta Pejabat Badan Internasional,
Penyerahan tersebut dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rantai distribusi kendaraan bermotor, yaitu importir, Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), industri perakitan, distributor, dealer, sub-dealer dan showroom.

*Kendaraan bermotor yang dimaksud adalah kendaraan bermotor roda empat.

Permohonan dan Pelaksanaan Pembebasan PPN dan/atau PPnBM

Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta pejabatnya mengajukan permohonan pembebasan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kepada Menteri Luar Negeri atau Menteri Sekretaris Negara sebelum perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Dan selanjutnya, dilaksanakan sepenuhnya oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak Badan dan Orang Asing atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk impor sesuai dengan ketentuan Kepabeanan yang berlaku.

Restitusi Dipercepat bagi PKP Eksportir Tertentu
(SE-34/PJ.54/1996)

Restitusi dapat dipercepat untuk Pengusaha Kena Pajak Eksportir Tertentu (PET), yaitu Perusahaan Eksportir yang telah mendapatkan sertifikat PET dari Menteri Perindustrian dan Perdagangan akan diberikan pelayanan restitusi PPN dipercepat. 

Atas permohonan restitusi PPN yang diajukan oleh PET tersebut di atas akan diselesaikan dalam waktu 7 hari kerja, dihitung mulai tanggal permohonan diterima secara lengkap sampai dengan SPMKP (Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak) dikirim.

Permohonan untuk memperoleh status PET harus diajukan kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan.

Sejak tanggal 1 Februari 2001, atas penyerahan BKP/JKP kepada PKP PET terutang PPN.

Atas penyerahan BKP berupa bahan baku/bahan pembantu dan/atau JKP kepada PKP PET dalam bulan Januari 2001 yang digunakan untuk menghasilkan BKP yang diekspor masih mendapat fasilitas PPN 0% (nol persen) dipercepat.

Permohonan restitusi oleh PKP PET dan/atau PKP Pemasok jasa dan/atau bahan baku/bahan pembantu kepada PKP PET yang dimasukkan sejak tanggal 1 Februari 2001 diproses.

Pengertian Jasa Luar Negeri
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 40/PMK.03/2010 jo. SE-147/PJ/2010)
  1. BKP Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean yang Dimanfaatkan di Dalam Daerah Pabean:
    • Dimiliki Orang Pribadi atau Badan yang bertempat tinggal/bertempat kedudukan di luar daerah pabean
    • Kegiatan pemanfaatan di dalam daerah pabean
    • Dimanfaatkan oleh siapapun di dalam daerah pabean
  2. JKP dari Luar Daerah Pabean yang Dimanfaatkan di Dalam Daerah Pabean:
    • Diserahkan oleh orang pribadi/badan yang bertempat tinggal/bertempat kedudukan di luar daerah pabean
    • Pemberian jasa dapat dilakukan di luar/dalam daerah pabean  tidak menyebabkan pemberi jasa menjadi SPDN
    • Kegiatan pemanfaatan di dalam daerah pabean
    • Dimanfaatkan oleh siapapun di dalam daerah pabean

Tempat Terutang PPN
(Pasal 12 UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d. UU 6 Tahun 2023 jo. PER - 4/PJ/2010)

Terdapat beberapa tempat terutang PPN, yaitu :

  • Atas Penyerahan BKP/JKP adalah di tempat tinggal (Pengusaha Orang Pribadi) atau tempat kedudukan (Pengusaha Badan) dan tempat kegiatan usaha dilakukan, yaitu di tempat Pengusaha dikukuhkan atau seharusnya dikukuhkan sebagai PKP;
  • Atas Impor BKP adalah di tempat dimasukannya Barang Kena Pajak ke dalam Daerah Pabean;
  • Atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean adalah di tempat orang pribadi atau badan yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/JKP tersebut terdaftar sebagai Wajib Pajak;
  • Atas Kegiatan Membangun Sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan adalah di tempat bangunan didirikan;

Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan tempat lain selain tempat di atas sebagai tempat PPN terutang atas ekspor BKP, baik atas permohonan tertulis dari Pengusaha Kena Pajak atau secara jabatan.

Tempat Terutangnya PPN bagi PKP Orang Pribadi
(PER - 4/PJ/2010)

Bagi Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi, Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah terutang di tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha atau tempat lain.

Pengusaha Kena Pajak Orang Pribadi sebagaimana dimaksud di atas yang mempunyai tempat tinggal tidak sama dengan tempat kegiatan usahanya, dikukuhkan dan terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah hanya di tempat kegiatan usahanya, sepanjang Pengusaha Kena Pajak tersebut tidak melakukan kegiatan usaha apapun di tempat tinggalnya.

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 539/KMK.04/1990 Tentang Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan  atas Barang Mewah untuk Kegiatan Usaha di Bidang Impor atas Dasar Inden.
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 Tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2018 Tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-19/PJ/2017 Tentang Perlakuan Terhadap Penerbitan dan/atau Penggunaan Faktur Pajak Tidak Sah oleh Wajib Pajak.
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-16/PJ/2021 Tentang Dokumen Tertentu Yang Kedudukannya Dipersamakan Dengan Faktur Pajak.
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 03/PJ/2022 Tentang Faktur Pajak.
  10. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2008 Tentang Pencabutan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak dan Surat Penegasan Tentang Penggunaan Metode Q.Q. pada Faktur Pajak Standar.
  11. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-26/PJ/2015 Tentang Penegasan Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak.
  12. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-17/PJ/2018 Tentang Tata Cara Penanganan Wajib Pajak Terindikasi sebagai Penerbit Faktur  Pajak Tidak Sah, Wajib Pajak Penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, dan/atau Wajib Pajak Terindikasi sebagai Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah.
  13. Surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-143/PJ.08/2018 Tentang Data Faktur Pajak Tanpa Identitas Wajib Pajak Pembeli (NPWP 000).
  14. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ/2020 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak.

Penghitungan dan Pelaporan
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 40/PMK.03/2010 jo. SE-147/PJ/2010)

PPN terutang :

  1. Disetorkan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah saat terutangnya pajak; dapat dikreditkan pada masa pajak terutang/masa pajak berikutnya sesuai pengkreditan PM
  2. Dilaporkan dalam SPT Masa bulan terutangnya pajak dan dapat dilaporkan paling lama 3 bulan setelah masa pajak yang yang bersangkutan.

Ketentuan pengisian “SSP” (dokumen tertentu sebagai Faktur Pajak) :

  1. Kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” : diisi nama dan alamat pihak yang menyerahkan PPN JLN
  2. Kolom “NPWP” : diisi angka 0 (nol), kecuali kode KPP diisi kode KPP Pihak yang memanfaatkan
  3. Kolom “Masa Pajak” : diisikan masa pajak saat  terutang
  4. Kolom “Wajib Pajak/Penyetor”: diisi nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Pasca Bencana Alam Di Wilayah Provinsi Sumatera Barat Dan Sebagian Provinsi Jambi
  4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 61/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 Tentang Perubahan Atas  Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012 Tentang Tata Cara Penetapan Secara Jabatan Atas Jumlah  Biaya Yang Dikeluarkan Dan/Atau Yang Dibayarkan Untuk Membangun Bangunan Dalam  Rangka Kegiatan Membangun  Sendiri
  6. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2012 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 tentang Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai  Atas Kegiatan Membangun Sendiri
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE - 22/PJ/2013 Tentang Perubahan Atas Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-53/PJ/2012 Tentang Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Tentang Batasan Dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Pengawasan Pemenuhan Kewajiban PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
(SE - 53/PJ/2012 s.t.d.t.d SE - 22/PJ/2013)

Pengawasan Pemenuhan Kewajiban PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri adalah sebagai berikut:

  1. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan wajib melakukan pengawasan kewajiban PPN atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan oleh Orang Pribadi atau Badan.
  2. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan melakukan upaya untuk mencari data kegiatan membangun sendiri dengan melakukan canvassing (penyisiran).
  3. Pengawasan pemenuhan kewajiban PPN atas kegiatan membangun sendiri dilakukan berdasarkan:
    1. data penyetoran dan pelaporan;
    2. hasil analisis Surat Pemberitahuan (SPT) dan laporan keuangan;
    3. data hasil canvassing (penyisiran);
    4. data hasil pengamatan potensi Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri oleh Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP);
    5. data hasil visit (kunjungan lapangan);
    6. hasil Sensus Pajak Nasional; dan
    7. data dari pihak ketiga.
  4. Pengawasan pemenuhan kewajiban PPN atas kegiatan membangun sendiri dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut
    1. Seksi Pengawasan dan Konsultasi melakukan pengawasan berdasarkan data hasil analisis SPT dan laporan keuangan serta hasil visit (kunjungan lapangan)
    2. Seksi Pengawasan dan Konsultasi melakukan pengawasan berdasarkan data hasil Sensus Pajak Nasional
    3. Seksi Ekstensifikasi Perpajakan melakukan pengawasan. Pengawasan ini ditujukan untuk mengetahui apakah orang pribadi atau badan:
      1) tidak melakukan kewajiban penyetoran dan/atau kewajiban pelaporan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri; atau
      2) telah melakukan kewajiban penyetoran atau kewajiban pelaporan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri namun terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar.

Sentralisasi Tempat PPN Terutang
(PER-8/PJ./2010 jo. PER-11/PJ/2020)

Pengusaha yang dapat mengajukan sentralisasi tempat PPN terutang:

•  Apabila Pengusaha memiliki tempat kegiatan usaha lebih dari satu (memiliki kantor cabang atau perwakilan) yang berada dalam wilayah kerja KPP yang berbeda, maka masing-masing tempat kegiatan usaha tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (Prinsip Desentralisasi).
Namun apabila memenuhi syarat yang telah ditentukan, Pengusaha tersebut dapat menyampaikan pemberitahuan secara elektronik kepada Kepala Kanwil Dirjen Pajak Tempat Pemusatan untuk melakukan pemusatan (sentralisasi) tempat pajak terutang pada satu tempat atau lebih.
•  Pengusaha Kena Pajak yang memiliki lebih dari satu tempat untuk melakukan kegiatan penyerahan BKP/JKP dapat mengajukan pemusatan (sentralisasi) tempat PPN terutang pada satu tempat atau lebih.

Tempat yang tidak dapat dipilih sebagai tempat PPN terutang:

Tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha Pengusaha Kena Pajak yang :

  1. berada di Tempat Penimbunan Berikat termasuk di dalamnya Kawasan Berikat;
  2. berada di Kawasan Ekonomi Khusus;
  3. berada di Kawasan Bebas;
  4. berada di Kawasan berfasilitas lainnya;
  5. mendapatkan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor; dan/atau
  6. memiliki kegiatan usaha di bidang pengalihan tanah dan/atau bangunan,

tidak dapat dipilih sebagai Tempat Pemusatan PPN Terutang atau tempat PPN terutang yang akan dipusatkan.

Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang secara nyata tidak memiliki kegiatan usaha dan/atau tidak melakukan kegiatan administrasi penyerahan dan administrasi keuangan, tidak dapat dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang.

Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi dalam Pemberitahuan Sentralisasi Tempat PPN Terutang
(PER-11/PJ/2020 )

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemberitahuan :

1. memuat nama, alamat, dan NPWP Pengusaha Kena Pajak pada Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang;
2. memuat nama dan NPWP Pengusaha Kena Pajak pada Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang akan dipusatkan;
3. dilampiri surat pernyataan bahwa:
a. administrasi penyerahan dan administrasi keuangan diselenggarakan secara terpusat pada Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang dipilih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang;
b. Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang dan Tempat Pajak Pertambahan Nilai Terutang yang akan dipusatkan tidak termasuk tempat tinggal, tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usaha yang dikecualikan; dan
c. Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang secara nyata memiliki kegiatan usaha dan/atau melakukan kegiatan administrasi penyerahan dan administrasi keuangan.
4. dilampiri surat kuasa khusus dalam hal pemberitahuan dilakukan oleh kuasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pelaksanaan Pengajuan Permohonan Sentralisasi Tempat PPN Terutang bagi PKP selain Pedagang Eceran dan PKP yang Menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM melalui Media Elektronik
(PER-11/PJ/2020 )

1. Cara pengajuan permohonan Sentralisasi Tempat PPN Terutang Bagi PKP selain Pedagang Eceran dan PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM melalui media elektronik adalah sebagai berikut :
1. menyampaikan pemberitahuan sentralisasi tempat PPN terutang pada saat dimulainya pemusatan yaitu saat dimulainya pemasukan SPT Masa dengan Media elektronik (e-filing);
2. mengajukan permohonan untuk penetapan satu tempat atau lebih sebagai tempat pemusatan PPN terutang kepada Kepala Kanwil paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum dimulainya pemusatan;
Surat permohonan tersebut memuat :
•  nama, alamat dan NPWP tempat pemusatan PPN terutang;
•  rincian nama, alamat dan NPWP tempat PPN terutang yang akan dipusatkan;
•  tanggal dimulainya pemusatan;
•   berita acara penyampaian SPT Masa PPN melalui Media Elektronik (e-filing) beserta fotokopinya untuk masa pajak dari tempat yang akan dijadikan pemusatan PPN terutang;
2. Keputusan penetapan sentralisasi tempat PPN terutang harus diberikan paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan diterima.
3. Kepala Kanwil dapat memberikan keputusan penetapan sentralisasi tempat PPN terutang tanpa melalui Pemeriksaan Sederhana Lapangan.
4. Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, kepala Kanwil belum memberikan keputusan, maka permohonan sentralisasi dianggap diterima.
5. Keputusan persetujuan pemusatan tempat PPN terutang berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal berlakunya pemusatan.
6 PKP dapat mengajukan permohonan perpanjangan sentralisasi tempat PPN terutang selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah habis masa berlakunya.
7. PKP dapat mengajukan dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat PPN terutang untuk tempat kegiatan usaha dimana pabrik terletak.
8. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM beserta lampirannya dengan menggunakan media elektronik berupa disket, Digital Data Storage (DDS), atau Digital Audio Type (DAT) dan Compact Disk, tidak termasuk ke dalam pengertian PKP yang menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM secara elektronik. Dengan demikian, PKP tersebut tidak dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat PPN terutang untuk tempat kegiatan usaha dimana pabrik terletak.
9. Permohonan sentralisasi tempat PPN terutang dikabulkan apabila kegiatan dan administrasi pembelian untuk jaringan penjualan yang tersebar di berbagai tempat, dipusatkan di tempat pemusatan PPN dimohonkan

Pelaksanaan Pengajuan Permohonan Sentralisasi Tempat PPN Terutang bagi PKP selain Pedagang Eceran dan PKP yang Menyampaikan SPT Masa PPN dan PPnBM melalui Selain Media Elektronik
(Pasal 11 KEP-128/PJ./2003)

Permohonan sentralisasi diajukan secara tertulis kepada Kepala Kantor Wilayah paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum saat dimulainya pemusatan dan paling sedikit memuat :

1. nama, alamat dan NPWP tempat pemusatan PPN terutang;
2. rincian nama, alamat dan NPWP tempat kegiatan penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang dipusatkan;
3. tanggal yang diinginkan untuk dimulainya pemusatan;
4. pernyataan Pengusaha Kena Pajak bahwa sistem administrasinya telah sesuai dengan persyaratan pemusatan tempat PPN terutang.
Kepala Kanwil harus memberikan keputusan paling lambat 3 (tiga) bulan sejak permohonan.

Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan kepala Kanwil belum memberikan keputusan, maka permohonan PKP dianggap diterima dan surat keputusan persetujuan pemusatan diterbitkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak permohonan dianggap diterima.

Keputusan persetujuan pemusatan tempat PPN terutang berlaku selama 5 (lima) tahun sejak tanggal berlakunya pemusatan.

PKP tidak dapat mengajukan permohonan pemusatan tempat PPN terutang untuk tempat kegiatan usaha dimana pabrik terletak. Keputusan pemusatan tempat PPN terutang untuk Pabrikan yang telah diberikan sebelum diterbitkannya KEP-128/PJ/2003 tetap berlaku sampai habis masa berlakunya.

Fiskus akan melakukan Pemeriksaan Sederhana Lapangan (PSL) untuk meyakinkan bahwa persyaratan di atas telah terpenuhi.

Apabila dalam jangka waktu 2 (dua) bulan sejak tanggal permintaan pemeriksaan, Kepala Kantor KPP tidak memberikan laporan hasil pemeriksaan, maka keputusan pemusatan dianggap diterima.

Dalam hal KPP memberikan hasil laporan PSL yang berbeda-beda, maka Kepala Kanwil dapat menolak atau mengabulkan sebagian permohonan pemusatan tempat PPN terutang.

Saat Terutangnya PPnBM atas BKP yang Tergolong Mewah dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan BKP yang Tergolong Mewah Antar Cabang
(PER-8/PJ./2010)

Saat Terutangnya PPnBM atas Penyerahan BKP yang Tergolong Mewah dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan BKP yang Tergolong Mewah Antar Cabang adalah sebagai berikut :

1. Dalam hal Pengusaha mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang, baik sebagai Pusat maupun sebagai Cabang perusahaan, maka atas setiap tempat pajak terutang tersebut harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), kecuali atas tempat pajak terutang tersebut dilakukan pemusatan tempat pajak terutang.
2. Atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh Pengusaha Kena Pajak dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah antar cabang, dikenakan PPN.
3. Dalam hal Pusat atau Cabang yang menyerahkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah Pengusaha yang menghasilkan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak belum terutang PPnBM.
4. Saat terutangnya PPnBM atas penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah ditetapkan pada saat penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari Pengusaha Kena Pajak Pusat atau Cabang kepada pihak lain. Dasar Pengenaan Pajak untuk PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah adalah sebesar Harga Jual setelah dikurangi laba kotor.
5. Dasar Pengenaan Pajak untuk PPN dan PPnBM yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah adalah sebesar Harga Jual tidak termasuk PPN dan PPnBM.
Istilah-istilah dalam Kegiatan Membangun Sendiri
(61/PMK.03/2022 jo. PER-25/PJ/2012)
  • Kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan, baik bangunan baru maupun perluasan bangunan lama, yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain, termasuk kegiatan membangun bangunan oleh pihak lain bagi orang pribadi atau badan namun Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan tersebut tidak dipungut oleh pihak lain.
  • Bangunan adalah 1 (satu) atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria :
    1. konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
    2. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
    3. luas bangunan yang dibangun paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi).

Tata Cara Pembuatan Nota Retur
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 65/PMK.03/2010)

Pengembalian BKP

1) Dalam hal terjadi Pengembalian Barang Kena Pajak, Pembeli harus membuat dan menyampaikan nota retur kepada Pengusaha Kena Pajak Penjual.
2) Nota retur paling sedikit harus mencantumkan:
  1. nomor urut nota retur;
  2. nomor, kode seri, dan tanggal Faktur Pajak dari Barang Kena Pajak yang dikembalikan;
  3. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Pembeli;
  4. nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak Penjual;
  5. jenis barang, jumlah harga jual Barang Kena Pajak yang dikembalikan;
  6. PPN atas Barang Kena Pajak yang dikembalikan, atau PPN dan PPnBM atas Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikembalikan;
  7. tanggal pembuatan nota retur; dan
  8. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota retur.
3) Nota retur harus dibuat pada saat Barang Kena Pajak dikembalikan.
4) Bentuk dan ukuran nota retur dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi Pembeli.
5) Nota retur dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu:
  • lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Penjual;
  • lembar ke-2: untuk arsip Pembeli.
6)  Dalam hal Pembeli bukan Pengusaha Kena Pajak, nota retur dibuat paling sedikit dalam rangkap 3 (tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Pembeli terdaftar.
7)  Pengembalian Barang Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal:
  1. nota retur tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada angka 2)
  2. nota retur tidak dibuat pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikembalikan sesuai dengan ketentuan pada angka 3)
  3. nota retur tidak disampaikan sebagaimana dimaksud angka 7).

Pembatalan JKP

1) Dalam hal terjadi pembatalan penyerahan Jasa Kena Pajak, Penerima Jasa harus membuat dan menyampaikan nota pembatalan kepada Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak.
2) Nota pembatalan paling sedikit harus mencantumkan:
  1. nomor nota pembatalan;
  2. nomor, kode seri dan tanggal Faktur Pajak dari Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
  3. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak Penerima Jasa;
  4. nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak;
  5. jenis jasa dan jumlah penggantian Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
  6. Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang dibatalkan;
  7. tanggal pembuatan nota pembatalan; dan
  8. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani nota pembatalan.
3) Nota pembatalan harus dibuat pada saat Jasa Kena Pajak dibatalkan.
4) Bentuk dan ukuran nota pembatalan dibuat sesuai dengan kebutuhan administrasi Pembeli.
5) Nota pembatalan dibuat paling sedikit dalam rangkap 2 (dua) yaitu:
  1. lembar ke-1: untuk Pengusaha Kena Pajak Pemberi Jasa Kena Pajak;
  2. lembar ke-2: untuk arsip Penerima Jasa.
6)  Dalam hal Penerima Jasa bukan Pengusaha Kena Pajak, nota pembatalan dibuat paling sedikit dalam rangkap 3 (tiga), dan lembar ke-3 harus disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Penerima Jasa terdaftar.
7)  Pembatalan Jasa Kena Pajak dianggap tidak terjadi dalam hal:
  1. nota pembatalan tidak selengkapnya mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud pada angka (2);
  2. nota pembatalan tidak dibuat pada saat Jasa Kena Pajak dibatalkan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka (3); atau
  3. nota pembatalan tidak disampaikan sebagaimana dimaksud pada angka (7).

Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak
(PER - 16/PJ/2021)

Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak adalah :

  1. Surat Perintah Penyerahan Barang (SPPB) yang dibuat/dikeluarkan oleh BULOG/DOLOG untuk penyaluran tepung terigu;
  2. bukti tagihan atas penyerahan jasa telekomunikasi oleh perusahaan telekomunikasi;
  3. bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat oleh Penyelenggara Distribusi atas penjualan pulsa dan/atau penerimaan komisi/fee terkait dengan distribusi token dan/atau voucher;
  4. bukti tagihan atas penyerahan listrik oleh perusahaan listrik;
  5. bukti tagihan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh perusahaan air minum;
  6. tiket, tagihan surat muatan udara (airway bill), atau delivery bill, yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa angkutan udara dalam negeri;
  7. nota penjualan jasa yang dibuat/dikeluarkan untuk penyerahan jasa kepelabuhanan;
  8. bukti tagihan (trading confirmation) atas penyerahan JKP oleh perantara efek;
  9. bukti tagihan atas penyerahan JKP oleh perbankan;
  10. dokumen yang digunakan untuk pemesanan pita cukai hasil tembakau (dokumen CK-1);
  11. SSP untuk pembayaran PPN atas penyerahan BKP melalui juru lelang disertai dengan kutipan risalah lelang, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan SSP tersebut;
  12. Pemberitahuan Ekspor Barang yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang dilampiri Nota Pelayanan Ekspor, invoice dan bill of lading atau airway bill yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Barang tersebut, untuk ekspor BKP;
  13. Pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud dan dilampiri dengan invoice yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud, untuk ekspor JKP/BKP Tidak Berwujud;
  14. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang dilampiri dengan SSP, SSPCP, dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut, untuk impor BKP;
  15. PIB yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang dilampiri dengan SSP dan surat penetapan tarif dan/atau nilai pabean, surat penetapan pabean, atau surat penetapan kembali tarif dan/atau nilai pabean yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari PIB tersebut, untuk impor BKP dalam hal terdapat penetapan kekurangan nilai PPN Impor oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  16. surat penetapan pembayaran Bea Masuk, Cukai, dan/atau Pajak atas barang kiriman yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang dilampiri dengan SSP, SSPCP, dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
  17. SSP untuk pembayaran PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, dengan melampirkan tagihan dan rincian berupa jenis dan nilai BKP Tidak Berwujud atau JKP serta nama dan alamat penyedia BKP Tidak Berwujud atau JKP;
  18. bukti pungut PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencantumkan nama dan NPWP atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) pembeli, atau alamat posel (email) pembeli yang terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak, atau yang dilampiri dengan dokumen yang membuktikan bahwa akun pembeli pada sistem elektronik pemungut PPN PMSE memuat nama dan NPWP pembeli, atau alamat posel (email) pembeli yang terdaftar pada administrasi Direktorat Jenderal Pajak;
  19. dokumen pengeluaran barang dari Kawasan Berikat yang merupakan penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pengusaha Kena Pajak;
  20. SSP untuk pembayaran PPN atas pengeluaran BKP milik Subjek Pajak Luar Negeri dari Kawasan Berikat ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang dilampiri dengan pemberitahuan pabean untuk pengeluaran BKP;
  21. SSP untuk pembayaran PPN atas pengeluaran dan/atau penyerahan BKP dan/atau JKP dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ke Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang dilampiri dengan:
    1) pemberitahuan pabean untuk pengeluaran BKP;
    2) invoice atau kontrak, untuk penyerahan BKP yang dilakukan tanpa melalui mekanisme pengeluaran BKP; atau
    3) invoice atau kontrak, untuk penyerahan JKP dan/atau BKP Tidak Berwujud;
  22. Pemberitahuan Pabean Kawasan Ekonomi Khusus (PPKEK) yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang dilampiri dengan SSP, SSPCP, dan/atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mencantumkan identitas pemilik barang berupa nama, alamat, dan NPWP, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PPKEK tersebut, untuk impor BKP ke Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);
  23. SSP atas pelunasan PPN terkait dengan penyerahan BKP dan/atau JKP oleh Pelaku Usaha di KEK kepada pembeli dan/atau penerima jasa yang berkedudukan di Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang pada saat impor, pemanfaatan, atau perolehannya tidak dipungut PPN yang dilampiri dengan:
    1) pemberitahuan pabean untuk pengeluaran BKP;
    2) invoice atau kontrak, untuk penyerahan BKP yang dilakukan tanpa melalui mekanisme pengeluaran BKP; atau
    3) invoice atau kontrak, untuk penyerahan JKP dan/atau BKP Tidak Berwujud;
  24.  SSP atas pelunasan PPN terkait dengan pengeluaran barang yang bukan merupakan penyerahan BKP oleh Pelaku Usaha di KEK kepada pembeli dan/atau penerima jasa yang berkedudukan di Tempat Lain Dalam Daerah Pabean yang pada saat impor, pemanfaatan, atau perolehannya tidak dipungut PPN yang dilampiri dengan Pemberitahuan Pabean untuk pengeluaran BKP; dan
  25. Surat ketetapan pajak untuk menagih Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang dilampiri dengan seluruh SSP atas pelunasan jumlah PPN yang masih harus dibayar berupa:
    1) bukti penerimaan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik;
    2) bukti pemindahbukuan yang telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak; dan/atau
    3) Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) atau bukti penerimaan negara sebagai bukti kompensasi atas Utang Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf d sampai dengan huruf j, huruf 1, huruf m, dan huruf s paling sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan, dalam hal penyerahan;
  2. nama, alamat, dan NPWP pemilik barang dan eksportir, dalam hal ekspor;
  3. jenis BKP dan/atau JKP;
  4. Dasar Pengenaan Pajak; dan
  5. jumlah PPN yang dipungut kecuali dalam hal ekspor.

Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf c paling sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan NPWP yang melakukan ekspor atau penyerahan atau nama dan NPWP penjual;
  2. jenis BKP dan/atau JKP;
  3. Dasar Pengenaan Pajak; dan
  4. jumlah PPN yang dipungut.

Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf t dan huruf u paling sedikit memuat:

  1. Nama dan NPWP pembeli atau penerima BKP; dan
  2. jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut atau dilunasi.

Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam huruf v, huruf w, dan huruf x paling sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan NPWP Pelaku Usaha di Kawasan Ekonomi Khusus; dan
  2. jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut atau dilunasi.

Cara Penghitungan PPN
(Pasal 8A UU Nomor 7 tahun 2021 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023)

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak.

PPN = Tarif Pajak x Dasar Pengenaan Pajak

Cara menghitung PPN yang terutang adalah dengan mengalikan jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan tarif pajak. Pajak yang terutang ini merupakan Pajak Keluaran, yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak.

Contoh :

a. Penerapan tarif 12% (dua belas persen)
Pengusaha Kena Pajak A menjual tunai BKP dengan Harga Jual Rp10.000.000,00
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 12% x Rp10.000.000,00 = Rp1.200.000,00.

Pajak Pertambahan Nilai Sebesar Rp1.200.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh pengusaha Kena Pajak A.
 
b. Penerapan tarif 12% (dua belas persen)
Seseorang mengimpor BKP tertentu yang dikenai tarif 12% dengan Nilai Impor Rp10.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
= 12% x Rp10.000.000,00 = Rp1.200.000,00.
 
c. Penerapan tarif 0% (nol persen)
Pengusaha Kena Pajak D melakukan ekspor BKP dengan Nilai Ekspor Rp10.000.000,00.
Pajak pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp10.000.000,00 = Rp0,00.

Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp0,00 (nol rupiah) tersebut merupakan Pajak Keluaran.
 
Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang dalam penghitungan Pajak Pertambahan Nilai terutang menggunakan Dasar Pengenaan Pajak berupa nilai lain, dapat dikreditkan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 539/KMK.04/1990 tentang Pajak Penghasilan Pasal 22, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah untuk Kegiatan Usaha di Bidang Impor atas Dasar Inden
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2008 tentang Pencabutan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak dan Surat Penegasan tentang Penggunaan Metode Q.Q pada Faktur Pajak Standar.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 74/PMK.03/2010 Tentang Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Mempunyai Peredaran Usaha Tidak Melebihi Jumlah Tertentu.
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2021 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 186/PMK.03/2022 Tahun 2022 tentang Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak yang Melakukan Penyerahan yang Terutang Pajak dan Penyerahan yang Tidak Terutang Pajak
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ.5/2001 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Tempat Lain sebagai Tempat Pengkreditan Pajak Masukan dan Tempat Lain sebagai Tempat Pajak Terutang atas Ekspor.
  8. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-02/PJ.5/2020 tentang Pengkreditan Pajak Masukan Pada Masa Pajak yang Tidak Sama.
Dasar Pengenaan Pajak
(PMK.121/PMK.03/2015)

Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar.

Aktiva yang Tujuan Semula Tidak Diperjualbelikan

Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c UU PPN.

Dalam Undang-Undang HPP, Pasal 9 ayat (8) huruf c, yang mengatur bahwa pengkreditan Pajak Masukan tidak diberlakukan bagi perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan, telah dihapus.

Dengan demikian, berdasarkan ketentuan perpajakan terbaru, Pajak Masukan atas perolehan sedan dan station wagon dapat dikreditkan dan atas penjualan atau penyerahan aset yang masih tersisa pada saat likuidasi berupa sedan dan station wagon terutang PPN.

Mekanisme Pengenaan PPN atas Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar
(PER - 32/PJ/2016)
  • Produsen produk rekaman suara wajib melaporkan usahanya ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha produsen rekaman suara untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.
  • Penyalur atau agen atau sejenisnya seperti outlet atau pengecer yang semata-mata hanya menyerahkan produk rekaman suara yang telah dibubuhi stiker tanda lunas PPN, tidak perlu lagi dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dalam penentuan Dasar Pengenaan Pajak telah diperhitungkan nilai tambah atas penyaluran/keagenan/pengecer produk rekaman suara.
  • Penebusan stiker lunas PPN dilakukan dengan pembayaran dan/atau dengan memperhitungkan Pajak Masukan.
  • Pembayaran untuk penebusan stiker lunas PPN dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
  • Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan untuk penebusan stiker lunas PPN adalah Pajak Masukan atas:
    1. pembayaran royalti;
    2. pembayaran pencetakan label, meliputi pembayaran untuk :
      • pencetakan cover rekaman suara;
      • pembelian kotak pembungkus rekaman suara;
      • pembelian sampul pembungkus rekaman suara.
    3. pembayaran biaya perekaman;
    4. pembelian atau pembuatan master rekaman gambar; dan
    5. pembayaran jasa periklanan pada televisi, radio, majalah, dan surat kabar.
  • Pajak Masukan yang belum diperhitungkan untuk penebusan stiker lunas PPN dapat diperhitungkan untuk penebusan stiker lunas PPN pada Masa Pajak berikutnya paling lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak yang bersangkutan sepanjang belum dikreditkan atau dibebankan sebagai biaya.
  • Pajak Masukan yang telah dikreditkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN tidak dapat diperhitungkan untuk menebus stiker lunas PPN, walaupun melalui mekanisme pembetulan Surat Pemberitahuan Masa PPN yang bersangkutan.
  • Dalam hal jumlah nilai stiker lunas PPN yang diminta lebih besar dari jumlah Pajak Masukan yang diperhitungkan maka jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang kurang dibayar tersebut harus disetor tunai ke kas Negara.
  • Pajak Masukan lainnya selain tersebut di atas dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan umum Pajak Pertambahan Nilai.
  • Untuk melakukan penebusan stiker lunas PPN, Produsen produk rekaman suara diwajibkan mengajukan surat permohonan penebusan stiker lunas PPN kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang ditunjuk untuk melayani pemberian stiker lunas PPN dan menerbitkan surat permintaan pencetakan stiker lunas PPN kepada Perum Peruri dalam jangka waktu paling lambat 5 (lima) hari kerja setelah surat permohonan diterima secara lengkap.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 121/PMK.03/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tentang Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 11/PJ/2022 Tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-03/PJ/2022 Tentang Faktur Pajak

PPN atas Penyerahan Film Rekaman Video

Produk Rekaman Gambar adalah semua produk rekaman gambar yang dibuat di atas media rekaman Video Compact Disc (CVCD), Digital Versatile Disc (DVD), Laser Disc (LD) pita kaset (VHS), atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya, yang ditayangkan kepada khalayak dengan sistem proyeksi elektronik, tidak termasuk produk rekaman gambar yang berisi:

  1. lagu beserta tayangan gambar (karaoke);
  2. tayangan gambar yang berisi materi buku pelajaran umum, pelajaran bahasa dan pelajaran agama;
  3. software program komputer.

Untuk keperluan penebusan stiker PPN, produk rekaman gambar dikelompokkan berdasarkan harga jual eceran menjadi sebagai berikut :

No Kelompok Batasan harga jual eceran per judul film atau per kopi seri judul film DPP PPN terutang
1. Jenis I s.d. Rp 10.000 Rp. 10.000 Rp. 1.000
2. Jenis II Di atas Rp 10.000 s.d. Rp 20.000 Rp. 12.500 Rp. 1.250
3. Jenis III Di atas Rp 20.000 s.d. Rp 40.000 Rp. 25.000 Rp. 2.500
4. Jenis IV Di atas Rp 40.000 s.d. Rp 60.000 Rp. 47.500 Rp. 4.750
5. Jenis V Di atas Rp 60.000 s.d. Rp 80.000 Rp. 65.000 Rp. 6.500
6. Jenis VI Di atas Rp 80.000 s.d. Rp 100.000 Rp. 85.000 Rp. 8.500

Tata Cara Pengajuan Permohonan Stiker Lunas PPN

Permohonan diajukan oleh Produsen Produk Rekaman Suara kepada Direktur Jenderal Pajak c.q. Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi Kantor Pelayanan Pajak tempat produsen tersebut terdaftar.

Permohonan dibuat 2 (dua) rangkap, dengan peruntukan sebagai berikut :

  1. asli untuk Kepala Kantor Wilayah DJP
  2. foto copy untuk Produsen Produk Rekaman Suara

Permohonan dilengkapi dengan dokumen sebagai berikut :

  1. foto copy Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
  2. foto copy surat Surat Izin Usaha Industri Rekaman/Surat Izin Usaha Perdagangan.
  3. surat kuasa khusus bila menunjuk pihak lain dalam pengurusan permohonan stiker lunas PPN.
  4. surat rekomendasi dari Asosiasi Pengusaha Rekaman yang ditunjuk.
  5. daftar rekapitulasi Faktur Pajak Masukan yang akan diperhitungkan dalam penebusan Stiker Lunas PPN.
  6. asli dan foto copy Faktur Pajak Masukan yang akan diperhitungkan.
  7. surat pernyataan keabsahan Faktur Pajak.
  8. kode stiker lunas PPN.
  9. asli dan foto copy Surat Setoran Pajak (SSP).
  10. asli dan foto copy Surat Pemberitahuan Masa PPN Untuk 2 (dua) Masa Pajak terakhir sebelum pengajuan penebusan stiker.

Asosiasi Pengusaha Rekaman yang Ditunjuk untuk Memberikan Rekomendasi yang Diperlukan dalam Rangka Penebusan Stiker Lunas PPN
(PER - 4/PJ/2008)

Asosiasi pengusaha rekaman yang ditunjuk untuk memberikan rekomendasi yang diperlukan dalam rangka penebusan stiker Lunas PPN, adalah :

  1. ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya;
  2. ASPRINDO (Asosiasi Pengusaha Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya;
  3. PAPRI (Persatuan Artis Pencipta Lagu dan Penata Musik Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya;
  4. ASA-PRI (Asosiasi Artis-Produser Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya;
  5. GAPERINDO (Gabungan Perusahaan Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya;
  6. APPRI (Asosiasi Penyalur dan Pengusaha Rekaman Indonesia) yang diwakili pengurusnya;
  7. Asosiasi lainnya yang ditetapkan selanjutnya oleh Direktur Jenderal Pajak.

Tata Cara Pelaporan SPT Masa PPN Oleh PKP Pembeli Sebenarnya
(UU Nomor 42 tahun 2009 s.t.d.t,d UU 7 Tahun 2021 Pasal 16E jo.KEP-546/PJ/2000 jo. SE-12/PJ.54/1999)

Tata cara pelaporan pada SPT Masa PPN oleh PKP pembeli sebenarnya:

1.

PPN yang disetor oleh PKP pembeli merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan bukti setoran (SSP) atas penyerahan BKP tersebut dianggap sebagai Faktur Pajak dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP.

Dalam hal pembelinya adalah Bank Kreditor dan atau BPPN maka PPN yang disetor tidak dapat dikreditkan.

2. Pelaporan dilakukan dengan menyertakan Surat Keterangan lembar ke-4 yang dikeluarkan oleh Prakarsa Jakarta dan/atau BPPN.
 

PPN Atas Barang Hasil Pertanian Tertentu

Perkebunan Tanaman Pangan Tanaman Hias Obat Hasil Hutan
Hasil Hutan Kayu Hasil Hutan Bukan Kayu
  • Kelapa Sawit
  • Kakao
  • Kopi
  • Aren
  • Jambu Mete
  • Lada
  • Pala
  • Cengkeh
  • Karet
  • Teh
  • Tembakau
  • Tebu
  • Kapas
  • Kapuk
  • Rami, Rosella,
  • Jute, Kenaf,
  • Abaca dan
  • lainnya
  • Kayu Manis
  • Kina
  • Panili
  • Nilam
  • Jarak Pagar
  • Sereh
  • Atsiri
  • Kelapa
  • Tanaman Perkebunan dan sejenisnya
  • Padi
  • Jagung
  • Kacang-kacangan:
    1. Kacang Tanah
    2. Kacang Hijau
  • Umbi-umbian:
    1. Ubi Kayu
    2. Ubi Jalar
    3. Talas, Garut, Gembili dan Umbi Lainnya
  • Tanaman Hias
  • Tanaman Potong
  • Tanaman Obat
  • Kayu
  • Kelapa Sawit
  • Karet
  • Bambu
  • Rotan
  • Gaharu
  • Agathis
  • Shorea
  • Kemiri
  • Tengkawang
 
• Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan penyerahan barang hasil pertanian tertentu dapat menggunakan besaran tertentu untuk memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang.

•

Besaran tertentu ditetapkan:

  1. sebesar 1,1% (satu koma satu persen) dari Harga Jual, yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. sebesar 1,2% (satu koma dua persen) dari Harga Jual, yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Besaran tertentu diperoleh dari hasil perkalian 10% (sepuluh persen) dari tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan Harga Jual.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

  1. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

•

Pengusaha Kena Pajak yang dalam penyerahannya menggunakan besaran tertentu untuk memungut dan menyetorkan PPN terutang harus menyampaikan pemberitahuan kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Pengusaha Kena Pajak dikukuhkan.

Pemberitahuan disampaikan paling lambat pada saat batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Masa Pajak pertama dimulainya penggunaan besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai terutang atas penyerahan barang hasil pertanian tertentu.

• Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sehubungan dengan kegiatan penyerahan barang hasil pertanian tertentu tidak dapat dikreditkan.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-546/PJ/2000 Tentang Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan dan Restrukturisasi Utang Usaha
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-12/PJ.54/1999 Tentang Saat Terutangnya Pajak Pertambahan Nilai serta Tata Cara Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang atas Penyerahan Barang Kena Pajak dalam Rangka Restrukturisasi Perusahaan
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-23/PJ.42/1999 Tentang Buku Panduan Tentang Perlakuan Perpajakan atas Restrukturisasi Perusahaan

Dasar Pengenaan Pajak
(jo.  PER - 32/PJ/2016 jo. PER-4/PJ/2008)

Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung PPN yang terutang atas penyerahan produk rekaman suara adalah Harga Jual Rata-rata, yaitu :

No Jenis Produk Harga Jual Rata-rata/buah
(DPP)
PPN terutang
1. Kaset isi jenis A Rp.   8.000,- Rp.    800,-
2. Kaset isi jenis B Rp. 16.000,- Rp. 1.600,-
3. Kaset isi jenis C Rp.   7.500,- Rp.    750,-
4. Compact disc jenis CD.1 Rp. 20.000,- Rp. 2.000,-
5. Compact disc jenis CD.2 Rp. 48.000,- Rp. 4.800,-
6. Video compact disc jenis VCDK.1 Rp. 18.000,- Rp. 1.800,-
7. Video compact disc jenis VCDK.2 Rp. 50.000,- Rp. 5.000,-
8. Video compact disc jenis VCDK. Ekonomis Rp. 10.000,- Rp. 1.000,-

Saat Terutang PPN

Atas Aktiva/Persediaan yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan terjadi, adalah pada saat yang terjadi lebih dahulu di antara saat:

  1. ditandatanganinya akta pembubaran oleh Notaris;
  2. berakhirnya jangka waktu berdirinya perusahaan yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar;
  3. tanggal penetapan Pengadilan yang menyatakan perusahaan dibubarkan; atau
  4. diketahuinya bahwa perusahaan tersebut nyata-nyata sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau sudah dibubarkan, berdasarkan hasil pemeriksaan atau berdasarkan data atau dokumen yang ada.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 64/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Barang Hasil Pertanian Tertentu

PPN atas Jasa Exchanger Aset Kripto

Contoh Layanan Jasa dan Penghasilan Exchanger

  • jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi Aset Kripto;
  • jasa penarikan dana (withdrawal);
  • penyerahan jasa pemindahan (transfer) Aset Kripto antar dompet elektronik (e-wallet);
  • penyerahan jasa deposit;
  • penyediaan dan/atau pengelolaan media penyimpanan Aset Kripto atau dompet elektronik (e-wallet);
  • jasa lainnya sehubungan dengan Aset Kripto

PPN atas Jasa Exchanger Aset Kripto

PPN = 1% x 10% x Nilai Transaksi

Contoh Penghitungan

Tuan A memiliki 1 koin Aset Kripto dan Tuan B memiliki uang Rupiah, yang disimpan pada e-wallet yang disediakan oleh Pedagang Fisik Aset Kripto X. Pada tanggal 5 Mei 2022, melalui platform yang disediakan oleh Pedagang Fisik Aset Kripto X, Tuan A menjual 0,7 koin Aset Kripto dan Tuan B membeli 0,7 koin Aset Kripto, pada harga 1 koin Aset Kripto = Rp500.000.000,00. Pedagang Fisik Aset Kripto X sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik merupakan exchanger yang terdaftar di Bappebti. Atas transaksi tersebut Pedagang Fisik Aset Kripto X wajib:

  1. Memungut Pajak Penghasilan Pasal 22 kepada Tuan A sebesar = 0,1% x (0,7 koin x Rp500.000.000,00) = Rp350.000,00;
  2. Memungut Pajak Pertambahan Nilai kepada Tuan B sebesar = 1% x 10% x (0,7 koin x Rp500.000.000,00) = Rp350.000,00;
  3. Membuat bukti pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 dan bukti pemungutan Pajak Pertambahan Nilai berupa Dokumen yang Dipersamakan dengan Bukti Pemotongan/Pemungutan Unifikasi;
  4. Menyetorkan PPh Pasal 22 dan Pajak Pertambahan Nilai yang telah dipungut paling lambat pada tanggal 15 Juni 2022; dan
  5. Melaporkan pemungutan PPh Pasal 22 pada SPT Masa Unifikasi Masa Mei dan melaporkan  pemungutan Pajak Pertambahan Nilai pada SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai 1107 PUT bagi Pihak Lain Masa Mei, paling lambat pada tanggal 20 Juni 2022.

PPN atas Liquified Petroleum Gas Tertentu

•   LPG Tertentu adalah LPG yang merupakan bahan bakar yang mempunyai kekhususan karena kondisi tertentu seperti penggunanya/penggunaannya, kemasannya, volume dan/atau harganya yang masih harus diberikan subsidi.
•   Atas penyerahan LPG Tertentu oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai, yaitu:
  1. penyerahan LPG Tertentu yang bagian harganya disubsidi, dibayar oleh Pemerintah.
  2. penyerahan LPG Tertentu yang bagian harganya tidak disubsidi, dibayar oleh pembeli.
• Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan LPG Tertentu yang bagian harganya tidak disubsidi pada:
a.  titik serah Badan Usaha, dihitung dengan mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, dengan formula
  100        x Harga Jual Eceran
(100+t)
(seratus per seratus ditambah t yang merupakan angka pada tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku) dari Harga Jual Eceran
b. titik serah Agen atau Pangkalan, dipungut dan disetor dengan besaran tertentu.
Besaran tertentu Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan LPG Tertentu ditetapkan:
a. pada titik serah Agen:
  1. sebesar 1,1/101,1 (satu koma satu per seratus satu koma satu) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. sebesar 1,2/101,2 (satu koma dua per seratus satu koma dua) yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
dari selisih lebih antara Harga Jual Agen dan Harga Jual Eceran;
b.  pada titik serah Pangkalan:
  1. sebesar 1,1/101,1 (satu koma satu per seratus satu koma satu) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. sebesar 1,2/101,2 (satu koma dua per seratus satu koma dua) yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai,
dari selisih lebih antara Harga Jual Pangkalan dan Harga Jual Agen.
Besaran tertentu pada:
  1. titik serah Agen, diperoleh dari hasil perkalian formula tertentu dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan nilai tertentu berupa selisih lebih antara Harga Jual Agen dan Harga Jual Eceran; dan
  2. titik serah Pangkalan, diperoleh dari hasil perkalian formula tertentu dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan nilai tertentu berupa selisih lebih antara Harga Jual Pangkalan dan Harga Jual Agen.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada titik serah Agen sudah termasuk dalam selisih lebih antara Harga Jual Agen dan Harga Jual Eceran.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang pada titik serah Pangkalan sudah termasuk dalam selisih lebih antara Harga Jual Pangkalan dan Harga Jual Agen.
Contoh Perhitungan PPN Atas Penyerahan LPG Tertentu:
•  Contoh Penyerahan pada titik serah Badan Usaha
Pada tanggal 12 Mei 2022, PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang mendapat penugasan dari Pemerintah untuk melaksanakan kegiatan penyediaan dan pendistribusian LPG Tertentu menyerahkan 12.000 tabung LPG Tertentu kepada PT XYZ yang telah ditunjuk oleh PT Pertamina (Persero) sebagai Agen.

Harga Jual Eceran yang berlaku pada tanggal penyerahan sebesar Rp12.750,00 per tabung. Maka atas penyerahan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan penghitungan sebagai berikut:
Dasar Pengenaan Pajak = 12.000 x 100/111 x Rp12.750,00
= Rp137.837.838
PPN terutang = 11% x Rp137.837.838
= Rp15.162.162,2
•   Contoh Penyerahan pada titik serah Agen
Pada tanggal 15 Mei 2022, PT XYZ selaku Agen, menyerahkan 3.000 tabung LPG Tertentu kepada CV PQR yang telah ditunjuk oleh PT XYZ sebagai Pangkalan.

Harga Jual Agen sebesar Rp14.000,00 per tabung. Harga Jual Eceran yang berlaku sebesar Rp12.750,00 per tabung. Dalam hal ini PT XYZ telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Maka atas penyerahan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan penghitungan sebagai berikut:
PPN terutang  =  3.000 x 1,1/101,1 x (Rp14.000,00 – Rp12.750,00)
= Rp40.801
  
PPN terutang sebesar Rp40.801 (empat puluh ribu delapan ratus satu) sudah termasuk dalam selisih lebih antara Harga Jual Agen dan Harga Jual Eceran.
•   Contoh Penyerahan pada titik serah Pangkalan
Pada tanggal 20 Mei 2022, CV PQR selaku Pangkalan, menyerahkan tabung LPG Tertentu secara eceran 1 tabung kepada konsumen akhir.

Harga Jual Pangkalan sebesar Rp15.500,00 per tabung. Harga Jual Agen atas perolehan LPG Tertentu tersebut sebesar Rp 14.000,00. Dalam hal ini CV PQR telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Maka atas penyerahan tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai dengan penghitungan sebagai berikut:
PPN terutang  =  1 x 1,1/101,1 x (Rp15.500,00 – Rp14.000,00)
= Rp16,00

PPN terutang sebesar Rp16,00 (enam belas rupiah) sudah termasuk dalam selisih lebih antara Harga Jual Pangkalan dan Harga Jual Agen.

Mendefinisi Mobil Jenis Station Wagon

Perubahan Aturan Pengkreditan Pajak Masukan dalam Undang-Undang HPP

Menghapus ketentuan mengenai larangan pengkreditan PM atas perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan. Dengan demikian, per tanggal 1 April 2022, PM atas perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon dapat dikreditkan.
Hal ini diatur dalam perubahan Pasal 9 ayat (8) huruf c Undang-Undang PPN.

Definsi Station Wagon Menurut Wikipedia

Mengingat bahwa peraturan perpajakan belum ada yang memberikan definisi dan penjelasan spesifikasi station wagon, maka akan diberikan referensi yang memadai agar bisa mendefiniskan kendaraan (mobil) apa saja yang masuk kriteria sebagai station wagon.

Station Wagon Menurut Wikipedia

"A station wagon or estate car is a body style variant of a sedan/saloon with its roof extended rearward[1] over a shared passenger/cargo volume with access at the back via a third or fifth door (the liftgate or tailgate), instead of a trunk lid. The body style transforms a standard three-box design into a two-box design — to include an A, B & C-pillar, as well as a D pillar. Station wagons feature flexibility to allow configurations that either favor passenger or cargo volume, e.g., fold-down rear seats."

Menurut definisi tersebut dapat dipahami bahwa sebuah mobil station wagon pada dasarnya merupakan variant dari jenis sedan, dengan atap diperpanjang kebelakang melampaui ruang penumpang dan kargo/barang, dengan akses di belakang melalui pintu ketiga atau kelima (pintu-ekor/tail-gate), bukan dari bagasi.

Ilustrasi gambar di bawah ini mudah-mudahan dapat memperjelas definisi ini. Pada gambar atas adalah jenis sedan dimana badan mobil terdiri atas tiga kotak (pada gambar dibedakan dengan warna) yaitu bagian depan (ruang mesin), bagian tengah (ruang penumpang) dan bagian belakang (bagasi/kargo). Sedang station wagon adalah gambar yang tengah, dimana badannya hanya terdiri dari dua kotak yaitu bagian depan (ruang mesin) dan bagian belakang (ruang penumpang dan kargo/barang).



Definisi Station Wagon Menurut The American Heritage Dictionary

The American Heritage Dictionary defines a station wagon as "an automobile with one or more rows of folding or removable seats behind the driver and no luggage compartment but an area behind the seats into which suitcases, parcels, etc., can be loaded through a tailgate."

Definisi dari The American Heritage Dictionary lebih memperjelas gambaran akan sebuah station wagon, dimana digambarkan bahwa station wagon adalah sebuah mobil dengan satu atau lebih baris kursi yang dapat dilipat atau dilepas di belakang sopir dan tidak ada ruang bagasi [seperti pada sedan] tapi sebuah ruang di belakang kursi di mana koper, paket, dll, dapat dimuat melalui sebuah pintu belakang.

Penggunaan Istilah Station Wagon dan Perkembangannya

“Station wagon" atau "wagon" adalah istilah yang secara umum digunakan dalam bahasa Inggris United States, Australia, Kanada dan New Zealand. Sedang "estate car" atau "estate" adalah umum digunakan pada British English.

Pabrikan-pabrikan mobil dunia telah memasarkan body-style wagon dengan istilah yang bermacam-macam; misalnya Audi dengan "Avant", BMW dengan "Touring", Citroen dengan "Break", Volkswagen dengan "Variant", Opel dengan "Caravan", Wartburg dengan "Tourist", Fiat dengan "Weekend", Mazda dengan "Estate", serta pabrikan lainnya dengan istilah yang berbeda pula.

Persamaan dan Perbedaan Station Wagon dengan Hatchback

Persamaan antara Station wagon dengan hatchback adalah keduanya mempunyai design konfigurasi yang sama yaitu dua kotak, kotak bagian depan adalah ruang mesin dan kotak belakang adalah ruang penumpang dan kargo/barang dalam satu ruang, serta terdapat pintu belakang untuk akses kargo/barang. Disamping mempunyai persamaan, keduanya juga mempunyai sedikit perbedaan yang antara lain adalah sebagai berikut :

  1. Ruang Kargo/barang. Ruang kargo pada station wagon lebih luas dengan jendela pada ruang kargo juga lebih luas, sedang pada hatchback relatif lebih sempit dan jendela yang minim, bahkan mungkin tanpa jendela samping di area kargo.
  2. Kursi. Pada station wagon mempunyai dua atau tiga baris kursi penumpang sedang pada hatchback hanya satu atau dua baris kursi saja.
  3. Suspensi Belakang. Suspensi belakang pada station wagon pada umumnya didesign dengan suspensi yang lebih memungkinkan untuk mengangkut beban tambahan dibanding dengan hatchback.
  4. Pintu Belakang. Pintu belakang pada hatchback biasanya didesign dengan fitur pintu berengsel dibuka keatas (top-hinged liftgate) atau kombinasi dengan pintu dibuka ke bawah untuk akses ke ruang kargo/barang.

Spesifikasi Station Wagon

Dari uraian tentang definisi station wagon di atas maka dapat disimpulkan bahwa station wagon adalah sebuah mobil dengan spesifikasi sebagai berikut :

  1. Konfigurasi badan mobil terdiri dua kotak (two-box) yaitu kotak depan (ruang mesin) dan kotak belakang (ruang penumpang dan kargo/barang menyatu dalam satu ruang), bukan tiga kotak (three-box) sebagaimana sedan.
  2. Mempunyai akses ke ruang penumpang/kargo melalui pintu belakang (bukan bagasi)
  3. Mempunyai dua atau tiga baris kursi penumpang

Hatchback mempunyai spesifikasi mirip dengan station wagon, hanya size dan volume badan (body) relatif lebih kecil, sehingga kita kategori-kan juga sebagai station wagon.

Mengidentifikasi Mobil di Pasar Indonesia

Setelah diketahui spesifikasi khusus dari kendaraan jenis station wagon maka dapat diidentifikasi apakah sebuah mobil termasuk dalam kriteria sebagai station wagon atau bukan.

Berdasarkan spesifikasi yang sudah disebutkan di atas, untuk mobil keluaran Toyota yang dipasarkan di Indonesia, yang memenuhi kriteria sebagai station wagon antara lain Avanza, Innova, Rush, Fortuner, Previa, Land Cruiser dan Alphard.

Pada mobil keluaran Suzuki yang termasuk kategori station wagon antara lain Aerio, Escudo, Vitara, Karimun dan Katana.

Pada mobil keluaran Honda antara lain CRV, Odyssey dan Freed. Pada mobil keluaran Hyundai antara lain Tucson, H-1, dan Santa Fee.

Adapun untuk Jazz (Honda), Yaris (Toyota), X-Over (Suzuki), Aveo (Hyundai), dan yang sejenisnya mempunyai spesifikasi sebagai

Hatchback, merupakan station wagon dengan ukuran relatif lebih kecil.

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 66/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian

Reimbursement vs Penggantian
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 19)

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Reimbursement atau penggantian kembali biaya-biaya yang sudah dikeluarkan pada hakekatnya hanya merupakan transaksi utang piutang. Pihak Pertama mengeluarkan biaya kepada pihak ketiga dengan syarat biaya tersebut akan di-reimburse kepada pihak kedua. Seolah-olah pihak pertama menalangi pengeluaran yang seharusnya dikeluarkan oleh pihak kedua. Dilihat dari sudut pandang akuntansi, substansi reimbursement yang memenuhi syarat adalah :

  1. Jumlah yang di-reimburse tidak boleh dimark-up dan bukti asli dari pihak ketiga diserahkan kepada pihak kedua sebagai penanggung beban yang sebenarnya..
  2. Bukti dibuat atas nama pihak kedua atau dibuat atas nama pihak pertama q.q. pihak kedua.
  3. Kontrak kerja antara pihak pertama dan pihak kedua.

Bila ketiga syarat di atas tidak terpenuhi, maka reimbursement tersebut merupakan objek PPN. Syarat-syarat di atas sebenarnya tidak diatur secara eksplisit dalam ketentuan perpajakan namun merupakan kebiasaan praktik di lapangan.

Contoh:

Tagihan Listirk PLN kepada PT. B adalah sebesar Rp. 5.000.000,-. PT. A menggunakan 60% dari tagihan listrik tersebut dan sisanya digunakan oleh PT. B atas dasar tersebut PT. B membuat kuitansi penagihan kepada PT. A sebesar 60% x Rp.5.000.000,- = Rp. 3.000.000,-

Apakah PT. B berkewajiban memungut PPN atas tagihan listrik tersebut dan apakah PPN yang dibayarkan oleh PT. B kepada PLN bisa dikreditkan secara penuh oleh PT B?

Berdasarkan ketiga syarat tersebut maka tagihan listrik oleh PT. B kepada PT. A dengan menggunakan kuitansi tidak memenuhi syarat pertama (menyerahkan bukti asli dari pihak ketiga) walaupun PT. B tidak melakukan mark-up kepada PT. A sehingga PT. B berkewajiban memungut PPN atas tagihan listrik kepada PT. A. Sedangkan PPN atas tagihan listrik atas nama PT. B yang dibayarkan kepada PLN oleh PT. B dapat dikreditkan sepanjang pemakaian listrik tersebut berhubungan langsung dengan kegiatan usaha PT. B.

Saat Terutang dan Pembuatan Faktur
(63/PMK.03/2022)

Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Hasil Tembakau dipungut 1 (satu) kali oleh Produsen atau Importir. Atas penyerahan Hasil Tembakau yang telah dipungut Pajak Pertambahan Nilai oleh Produsen dan/atau Importir, dari Pengusaha Penyalur kepada Pengusaha Penyalur lainnya atau kepada konsumen akhir, Pengusaha Penyalur tidak memungut dan menyetor Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Hasil Tembakau terutang pada saat Produsen dan/atau Importir melakukan pemesanan pita cukai Hasil Tembakau.

Produsen dan/atau Importir wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan Hasil Tembakau yang terutang Pajak Pertambahan Nllai. Faktur Pajak dibuat pada saat Produsen dan/atau Importir melakukan pemesanan pita cukai Hasil Tembakau.

Syarat Ekspor Jasa Kena Pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai

Ekspor Jasa Kena Pajak dikenai Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 PMK 39 sepanjang memenuhi ketentuan sebagai berikut:

  1. didasarkan atas perikatan atau perjanjian tertulis antara Pengusaha Kena Pajak dengan Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak yang mencantumkan dengan jelas:
    1. jenis;
    2. rincian kegiatan yang dihasilkan di dalam Daerah Pabean untuk dimanfaatkan di luar Daerah Pabean oleh Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak; dan
    3. nilai penyerahan,
  2. Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3), PMK 39 dan terdapat pembayaran disertai dengan bukti pembayaran yang sah dari Penerima Ekspor Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak sehubungan dengan Ekspor Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam huruf a.

Kegiatan pelayanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 PMK 39 yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada pasal 6 ayat (1) dianggap sebagai penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) PMK 39 yang dihasilkan dan dimanfaatkan di luar Daerah Pabean tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai. 

Indikasi Wajib Pajak Penerbit dan Pengguna Faktur Pajak Tidak Sah
(PER-16/PJ/2018 jo. SE-17/PJ/2018)

Direktur Jenderal Pajak berwenang menetapkan Status Suspend terhadap Wajib Pajak Terindikasi Penerbit berdasarkan:

  1. hasil penelitian indikasi penerbit;
  2. hasil Pengembangan dan Analisis IDLP;
  3. hasil pengembangan Pemeriksaan Bukti Permulaan Wajib Pajak lain;
  4. hasil pengembangan Penyidikan Wajib Pajak lain;
  5. informasi yang diperoleh pada saat Wajib Pajak sedang dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan; atau
  6. informasi yang diperoleh pada saat Wajib Pajak sedang dilakukan Penyidikan.

Atas penerbitan Keputusan Direktur Jenderal Pajak tentang Penetapan Status Suspend, Wajib Pajak dapat menyampaikan klarifikasi. Klarifikasi yang dimaksud disampaikan secara langsung oleh Wajib Pajak (tidak dapat dikuasakan) ke Kanwil DJP secara tertulis paling lama 30 (tiga puluh) hari kalender sejak Keputusan Dirjen Pajak tentang Penetapan Status Suspend dikirimkan kepada Wajib Pajak dengan syarat belum dilakukan Pemeriksaan Bukti Permulaan atau Penyidikan.

Dalam rangka penentuan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit perlu dilakukan analisis terhadap indikasi awal bahwa Wajib Pajak sebagai penerbit Faktur Pajak Tidak Sah, antara lain berupa:

1) Wajib Pajak belum dikukuhkan sebagai PKP namun menerbitkan Faktur Pajak;
2) Wajib Pajak yang melakukan transaksi dengan Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit;
3) Wajib Pajak yang Faktur Pajak keluarannya belum atau tidak dilaporkan di dalam SPT Masa PPN namun sudah dikreditkan oleh lawan transaksi;
4) Wajib Pajak yang:
a) akta pendirian badan hukumnya disahkan oleh dan dibuat di hadapan notaris yang sama dengan yang digunakan oleh Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit atau notaris yang sama dengan yang digunakan oleh satu atau beberapa Wajib Pajak ;
b) pendiriannya pada waktu yang bersamaan atau berdekatan dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain; atau
c) memiliki alamat kedudukan atau kegiatan usaha yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain; dan/atau
d) memiliki pengurus yang sama dengan pengurus Wajib Pajak Terindikasi Penerbit atau Wajib Pajak Penerbit atau pengurus yang sama dengan satu atau beberapa Wajib Pajak lain.
5) Wajib Pajak yang memiliki kegiatan usaha tidak wajar, dengan karakteristik antara lain:
a) Wajib Pajak Non-Efektif (NE) tiba-tiba kegiatan usahanya aktif dan melakukan penyerahan yang terutang PPN dalam jumlah besar;
b) Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang tidak sebanding dengan jumlah modal atau jumlah harta perusahaan;
c) Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang tidak sebanding dengan jumlah karyawan yang bekerja pada perusahaan;
d) Wajib Pajak melakukan penyerahan terutang PPN yang sangat beragam sehingga tidak diketahui dengan pasti kegiatan usaha utama Wajib Pajak tersebut;
e) Wajib Pajak memiliki persediaan besar namun tidak memiliki gudang atau tidak terdapat biaya sewa gudang;
f) Wajib Pajak yang sebagian besar pembeliannya adalah impor namun kegiatan penyerahannya tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan barang yang diimpor; dan/atau
g) Wajib Pajak yang melakukan penyerahan BKP namun tidak sesuai atau tidak berhubungan dengan barang yang dibeli;
h) Wajib Pajak yang memiliki rasio laba usaha bersih (net profit margin) sangat kecil.
6) Wajib Pajak yang memiliki administrasi pelaporan pajak dengan karakteristik antara lain:
a) Wajib Pajak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN dengan status Lebih Bayar dan dikompensasikan ke masa pajak berikutnya secara terus-menerus, namun:
  • Wajib Pajak bukan Wajib Pajak yang baru berdiri;
  • Wajib Pajak tidak sedang berinvestasi pada barang modal;
  • tidak terdapat peningkatan persediaan yang signifikan; dan/atau
  • Wajib Pajak tidak melakukan, atau melakukan dengan jumlah persentase yang kecil, atas:
    (1)   penyerahan yang terutang PPN namun tidak dipungut;
    (2) penyerahan ekspor; dan/atau
    (3) penyerahan kepada Pemungut PPN
b) Wajib Pajak memiliki penyerahan terutang PPN dalam jumlah besar namun secara konsisten PPN Kurang Bayar yang dibayar atau disetor kecil;
c) Wajib Pajak melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang mengakibatkan jumlah Pajak Keluaran menjadi lebih besar namun diimbangi juga dengan penambahan Pajak Masukan yang besar sehingga tidak mengubah PPN Kurang Bayar yang telah dilaporkan atau menambah PPN Kurang Bayar tetapi nilainya kecil; dan/atau
d) Wajib Pajak rutin menyampaikan SPT Masa PPN namun tidak atau kurang patuh dalam menyampaikan SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, Pasal 23 dan/atau Pasal 26, Pasal 25, Pasal 4 ayat (2), dan/atau SPT Tahunan PPh.
7) terdapat IDLP yang mengindikasikan Wajib Pajak telah atau sedang atau akan menerbitkan Faktur Pajak Tidak Sah.

 

Pengkreditan Pajak Masukan Yang Ditagih Dengan Penerbitan Ketetapan Pajak
(Pasal 9 ayat 9c UU Nomor 7 Tahun 2021 jo 18/PMK.03/2021)

Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, yang ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak, dapat dikreditkan oleh PKP sebesar jumlah pokok pajak yang tercantum dalam ketetapan pajak, dengan ketentuan:
  1. ketetapan pajak dimaksud merupakan surat ketetapan pajak yang diterbitkan hanya untuk menagih Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/ataup emanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  2. PKP menyetujui seluruh hasil pemeriksaan atas ketetapan pajak;
  3. jumlah PPN yang masih harus dibayar meliputi pokok pajak dan sanksi sebagaimana tercantum dalam ketetapan pajak telah dilakukan pelunasan;
  4. tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak; dan
  5. sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
1. Pelunasan atas jumlah PPN yang masih harus dibayar dilakukan oleh PKP dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan Surat Setoran Pajak berupa:
a. bukti penerimaan negara sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai sistem penerimaan negara secara elektronik;
b bukti pemindahbukuan yang telah ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara pembayaran dan penyetoran pajak; dan/atau
c SP2D atau bukti penerimaan negara sebagai bukti kompensasi atas Utang Pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai tata cara penghitungan dan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.
2. Ketetapan pajak yang dilampiri dengan seluruh SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP atas pelunasan jumlah PPN yang masih harus dibayar merupakan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Pengkreditan Pajak Masukan dilakukan dengan cara melaporkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN pada Masa Pajak dilakukannya pelunasan ketetapan pajak atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat pelunasan ketetapan pajak.
3. Tidak dilakukan upaya hukum atas ketetapan pajak meliputi tidak diajukan permohonan:
a. keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 Undang-Undang KUP;
b banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP;
c pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf a Undang-Undang KUP;
d. pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP;
e. pembatalan hasil pemeriksaan pajak atau ketetapan pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang KUP; dan/atau
f. peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai pengadilan pajak.
Termasuk tidak dilakukan upaya hukum yaitu tidak diajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Undang-Undang KUP.
 
Contoh:

PT N merupakan badan usaha yang bergerak di bidang perdagangan mainan. PT N telah dikukuhkan sebagai PKP sejak tahun 2021. Dalam melakukan usahanya, PT N diwajibkan membayar royalti kepada O Ltd. yang berlokasi di Negara Jepang. Royalti tersebut berhubungan dengan kegiatan usaha PT N. Berdasarkan kontrak antara PT N dan O Ltd., pembayaran royalti dilakukan setiap bulan paling lama tanggal 5 (lima).

Pada tanggal 5 November 2022, PT N melakukan pembayaran royalti namun belum melakukan pemungutan dan penyetoran PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud tersebut. Pada tanggal 20 Agustus 2023, KPP Pratama XYZ menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud yang belum dipungut sebesar Rp1.180.000.000,00 yang terdiri dari pokok pajak sebesar Rp1.000.000.000,00 dan sanksi administrasi sebesar Rp180.000.000,00. PT N menyetujui seluruh hasil pemeriksaan dan tidak melakukan upaya hukum atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dimaksud. PT N melakukan pembayaran atas Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada tanggal 7 September 2023 sebesar Rp500.000.000,00 dan tanggal 10 November 2020 sebesar Rp680.000.000,00.

Berdasarkan contoh di atas, PT N telah melakukan pelunasan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar pada tanggal 10 November 2023 sehingga pokok pajak sebesar Rp1.000.000.000,00 dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan pada Masa Pajak November 2023.

Petunjuk Pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Mengkreditkan Pajak Masukan Yang Ditagih Dengan Penerbitan Ketetapan Pajak

Pajak Masukan dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN 1111 pada Masa Pajak dilakukannya pelunasan ketetapan pajak atau pada Masa Pajak berikutnya paling lama 3 (tiga) Masa Pajak setelah berakhirnya Masa Pajak saat pelunasan ketetapan pajak, dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Untuk ketetapan pajak yang terkait dengan impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilaporkan dalam Formulir 1111 B1. Apabila pelaporan dalam Formulir 1111 B1 dimaksud belum dapat dilakukan pada aplikasi yang disediakan dan/atau ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, Pajak Masukan dilaporkan dalam Formulir 1111 B2.
  2. Untuk ketetapan pajak yang terkait dengan perolehan BKP dan/atau JKP, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dilaporkan dalam Formulir 1111 B2.
  3. Dalam hal Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan tersebut dilaporkan dalam Formulir 1111 B3.

Pengawasan Restitusi PPN
(S - 69/PJ/2016 )

Dalam rangka menindaklanjuti surat Direktur Jenderal Pajak nomor S-41/PJ/2016 tanggal 7 Maret 2016 hal Strategi Pengamanan Pencapaian Target Penerimaan Pajak Tahun 2016, khususnya butir 2 huruf b angka 2) yaitu peningkatan pengawasan PKP secara kontinu dengan optimalisasi data yang tersedia, termasuk pengawasan di Kawasan Berikat dan Kawasan Bebas serta mitigasi risiko terkait dengan restitusi PPN dan untuk melaksanakan Instruksi Direktur Jenderal Pajak nomor INS-01/PJ/2016 tanggal 15 Februari 2016 tentang Pengamanan Penerimaan Pajak Tahun 2016, berikut arahan Direktur Jenderal Pajak:

1. Kepala Kanwil DJP dan Kepala KPP secara ketat mengawasi pemberian restitusi PPN di setiap masanya,  sesuai dengan target yang telah disepakati.
2. Pemberian restitusi memperhatikan ketentuan yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 244/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Perhitungan dan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak yaitu:
  1. kelebihan pembayaran harus diperhitungkan terlebih dahulu dengan utang pajak Wajib Pajak yang bersangkutan;
  2. jika setelah diperhitungkan dengan utang pajak masih terdapat sisa kelebihan pembayaran pajak, maka atas permohonan Wajib Pajak dapat diperhitungkan dengan:
    1.) pajak yang akan terutang atas Wajib Pajak yang bersangkutan;
    2). utang pajak dan/atau pajak yang akan terutang atas nama Wajib Pajak lain.
Untuk itu, Kepala Kanwil DJP/Kepala KPP bersinergi dengan Kepala Kanwil DJP/Kepala KPP lain mengidentifikasi Wajib Pajak lain yang terkait atau Wajib Pajak lain yang terafiliasi dengan Wajib Pajak yang menerima restitusi untuk dapat memperhitungkan restitusi PPN tersebut, atau melakukan pemeriksaan pada waktu yang bersamaan.
3. Restitusi PPN pada prinsipnya terjadi dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
  1.   PKP yang melakukan ekspor;
  2.   PKP yang melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN;
  3.   PKP yang melakukan penyerahan ke Kawasan Berikat;
  4.   PKP yang melakukan penyerahan ke dalam Kawasan Bebas (FTZ) Batam.
Dalam hal PKP yang meminta restitusi adalah PKP di luar yang tersebut di atas, misalnya PKP Perdagangan, maka hal tersebut diwaspadai.
4. Untuk PKP yang meminta restitusi karena kegiatan ekspor, maka  diyakini bahwa barang-barang yang diekspor memang benar-benar ke luar daerah pabean.
5. Untuk PKP yang meminta restitusi karena melakukan penyerahan kepada Pemungut PPN non Bendahara Pemerintah, yaitu KKKS Migas, BUMN, dan Badan Tertentu yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 73/PMK.03/2010, Nomor 85/PMK.03/2012, dan Nomor 37/PMK.03/2015 maka dipastikan bahwa PPN yang telah dipungut tersebut telah disetor tepat waktu.
6.  Untuk PKP yang melakukan penyerahan kepada Pengusaha di Kawasan Berikat, maka  dipastikan bahwa barang tersebut benar-benar masuk ke Kawasan Berikat. Untuk dapat mengecek hal tersebut, diminta kepada Kepala Kanwil DJP/Kepala KPP dapat bersinergi dengan Kanwil DJBC/KPPBC setempat untuk dapat memperoleh dokumen pengeluaran dan pemasukan barang serta mendapatkan akses inventory monitoring system yang ada.
7. Untuk PKP yang melakukan penyerahan barang ke Kawasan Pelabuhan Bebas (FTZ) Batam, maka  dipastikan bahwa barang-barang tersebut benar-benar masuk ke dalam Batam.Untuk itu,  Kepala KPP dapat berkoordimasi dengan KPP Madya Batam untuk memperoleh data endorsement atas pemasukan barang tersebut ke Pulau Batam.
8.  Selain itu,  juga dilakukan pengawasan yang ketat atas permohonan restitusi yang dilakukan oleh PKP yang melaporkan penyerahan digunggung dalam SPT PPN 1111 form 1111 AB namun demikian transaksinya tidak dilakukan secara eceran/ritel. Contohnya adalah perusahaan/developer real estate, dan dealer motor/mobil.
9.  Perlu juga diwaspadai permohonan restitusi PPN yang sebagian besar Pajak Masukannya berupa SSP Pemanfaatan Jasa Luar Negeri. Sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-29/PJ/2015 tentang Petunjuk Pengisian SPT Masa PPN, maka dalam SSP Pemanfaatan Jasa Luar Negeri harus ditulis Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN)-nya. Hal ini bertujuan  satu NTPP tidak dikreditkan pada 2 (dua) masa yang berbeda.
10.   Kepala KPP melaksanakan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 yang mengatur bahwa permohonan restitusi PPN yang diproses melalui mekanisme pengembalian pendahuluan (Pasal 17C UU KUP) harus dilampiri dengan seluruh dokumen Pajak Keluaran dan Pajak Masukan dalam bentuk hardcopy, kecuali e-Faktur.
11.  Dalam proses keberatan di Kanwil DJP, benar-benar didukung dengan argumentasi dan legal basis yang kuat  risiko kalah di tingkat banding dapat diminimalisasi.
12.  Dalam hal terdapat putusan banding yang mengakibatkan restitusi, benar-benar diteliti bahwa putusan tersebut tidak terdapat kesalahan formal.
13 Selanjutnya dalam rangka pengawasan pemberian restitusi PPN, Kepala Kanwil DJP/ Kepala KPP memanfaatkan seoptimal mungkin data yang tersedia di aplikasi portal DJP maupun aplikasi-aplikasi lainnya. 

Saat Terutangnya PPN dan Pemberitahuan Ekspor JKP

Saat terutangnya Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Jasa Kena Pajak adalah pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.

Saat Ekspor adalah pada saat Penggantian atas jasa yang diekspor tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan Ekspor Jasa Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak pada saat Ekspor Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak berupa Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak yang dilampiri dengan faktur penjualan (invoice) yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak.

Atas kegiatan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan jasa maklon, selain wajib membuat Faktur Pajak, Pengusaha Kena Pajak wajib membuat pemberitahuan ekspor barang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

Pemberitahuan Ekspor Jasa Kena Pajak dibuat sesuai dengan format tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri 32/PMK.010/2019.

Atas kegiatan Ekspor Jasa Kena Pajak dilaporkan sebagai Ekspor Jasa Kena Pajak dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Atas kegiatan ekspor jasa maklon, selain melaporkan Ekspor Jasa Kena Pajak, Pengusaha Kena Pajak melaporkan ekspor Barang Kena Pajak yang dihasilkan dari pelaksanaan kegiatan jasa maklon dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai.

Pajak Pertambahan Nilai atas:

  1. perolehan Barang Kena Pajak;
  2. perolehan Jasa Kena Pajak;
  3. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean;
  4. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean; dan/atau
  5.  impor Barang Kena Pajak,

yang berhubungan langsung dengan kegiatan Ekspor Jasa Kena Pajak dan ekspor Barang Kena Pajak merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pengertian
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo.65/PMK.03/2010)

Pengembalian Barang Kena Pajak (Retur BKP) adalah pengembalian Barang Kena Pajak baik sebagian maupun seluruhnya oleh Pembelian Barang Kena Pajak.

Pembatalan Jasa Kena Pajak (Retur JKP) adalah pembatalan seluruhnya atau sebagian hak atau fasilitas atau kemudahan oleh pihak penerima Jasa Kena Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 72/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 18/PMK.03/2011 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
  5. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 120/PMK.03/2019 Tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
  6. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 162/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta Pejabatnya
  7. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 248/PMK.010/2015 Tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional Serta Pejabatnya
  8. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 33/PMK.03/2018 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.03/2014 Tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Kepada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional Serta Pejabatnya
  9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 39/PMK.03/2018 Tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
  10. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 117/PMK.03/2019 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 Tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
  11. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
  12. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 141/KMK.03/2010 Tentang Penetapan Bandar Udara yang Memberikan Pelayanan Permintaan Kembali Pajak Pertambahan Nilai Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
  13. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-49/PJ/2010 Tentang Pencabutan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-48/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak  Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-28/PJ/2013 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Toko Retail serta Pengelolaan Administrasi Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai Kepada Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri
  15. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2019 Tentang Tata Cara Pendaftaran dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak Toko Retail yang Berpartisipasi dalam Skema Pengembalian Pajak Pertambahan Nilai Kepada Turis Asing
  16. Keputusan Direktur Jenderal Pajak KEP-20/PJ/1996 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-07/PJ/1995 tentang Pembayaran Pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor atau Pembelian Barang Kena Pajak, Selain Barang Modal, dalam Rangka Ekspor
  17. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak  Nomor SE-34/PJ.54/1996 Tentang Restitusi PPN yang Diajukan Permohonannya oleh PKP Eksportir Tertentu (Penyempurnaan Ke-2 atas Surat Edaran Seri PPN 28-95)
  18. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-75/PJ/2008 Tentang Tata Cara Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  19. Surat Direktur Jenderal Pajak  Nomor S-69/PJ/2016  Tentang Pengawasan Restitusi PPN

Pajak Masukan Tidak Dapat Dikreditkan
(Pasal 9 ayat 8 UU Nomor 7 Tahun 2021 s.t.d.t.d. UU 6 Tahun 2023)

Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan bagi pengeluaran untuk :

a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha
Yang dimaksud dengan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha adalah pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan produksi, distribusi, pemasaran, dan manajemen. Ketentuan ini berlaku untuk semua bidang usaha.
b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan
c. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan;

 

Saat Terutang PPN
(Pasal 11 ayat 1 UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU 6 Tahun 2023)

PPN terutang pada saat :
  1. Penyerahan  Barang Kena Pajak
  2. Impor  Barang Kena Pajak
  3. Penyerahan Jasa Kena Pajak
  4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean
  5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
  6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
  7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; atau
  8. Ekspor Jasa Kena Pajak
  9. Pembayaran, dalam hal pembayaran diterima sebelum penyerahan BKP atau sebelum pemanfaatan BKP tidak berwujud atau JKP dari luar Daerah Pabean
  10. Pada saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak, dalam hal saat terutangnya pajak sukar ditetapkan atau terjadi perubahan ketentuan  yang dapat menimbulkan ketidakadilan.
Saat pajak terutang seperti tersebut di atas diartikan sebagai saat mulai timbulnya utang pajak kepada negara, sehingga bukan merupakan batas akhir pembayaran pajak ke kas negara.

Saat terutangnya Pajak sebagai berikut :
(Pasal 23 PP Nomor 44 Tahun 2022)

1. Untuk Penyerahan BKP yang bergerak, selain penyerahan oleh consignor kepada consignee secara konsinyasi PPN terutang pada saat : 
  • Saat barang diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga atas nama pembeli,
  • Saat barang diserahkan secara langsung kepada penerima barang untuk pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang
  • Saat barang diserahkan kepada juru kirim atau Pengusaha jasa angkutan; atau
  • Saat harga atas penyerahan diakui sebagai piutang atau penghasilan
Undang-Undang PPN menganut prinsip bahwa penyerahan barang bergerak telah terjadi pada saat barang tersebut dikeluarkan dari penguasaan PKP Penjual dengan maksud langsung atau tidak langsung diserahkan kepada pihak lain.
2. Untuk Penyerahan BKP yang tidak bergerak, PPN terutang pada saat:
a. Saat penyerahan hak untuk menguasai atau menggunakan secara yuridis.
(Saat penyerahan hak sebagaimana yang tercantum dalam akta jual beli)
b. Saat penyerahan hak untuk menguasai atau menggunakan secara nyata.
(Saat barang tidak bergerak diserahkan penguasaannya secara nyata kepada pembeli, meskipun secara yuridis barang tersebut masih milik penjual).
3. Untuk Penyerahan BKP yang tidak berwujud, PPN terutang pada saat :
  • harga penyerahannya diakui sebagai piutang oleh PKP yang bersangkutan
  • harga penyerahannya ditagih oleh PKP yang bersangkutan
  • harga penyerahannya dibayar baik sebagian maupun keseluruhan
  • ditandatanganinya kontrak atau perjanjian oleh PKP yang bersangkutan (dalam hal kondisi pada ketiga poin di atas tidak diketahui)
4. PPN atas persediaan BKP dan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan yang tersisa pada saat pembubaran perusahaan terutang  pada saat :
  • ditandatanganinya Akta Pembubaran oleh Notaris;
  • diketahui telah bubar secara nyata;
  • diketahui telah bubar berdasarkan dokumen atau data, yaitu mana yang lebih dahulu terjadi di antara ketiga poin di atas
5. Penyerahan BKP dalam rangka penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha, serta untuk tujuan setoran modal pengganti saham terutang pada saat:
  • disepakati atau ditetapkan sesuai dengan hasil rapat umum pemegang saham   
  • ditandatanganinya akta oleh notaris
  • disepakati atau ditetapkannya pengalihan yang tertuang dalam perjanjian pengalihan BKP untuk tujuan setoran modal
6. PPN atas impor BKP Terutang pada saat BKP tersebut dimasukkan ke dalam Daerah Pabean, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean.
7. Atas Penyerahan JKP, PPN terutang pada saat:
  • harga penyerahannya dicatat sebagai utang (dicatat sebagai biaya/accrual basis);
  • kontrak atau perjanjian ditandatangani
  • mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau keseluruhan.
8.   PPN atas Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud atau JKP dari Luar Daerah Pabean terutang pada saat:
  • secara nyata digunakan;
  • harga perolehannya dicatat sebagai utang (dicatat sebagai biaya/accrual basis);
  • penagihan;
  • pembayaran;
  • ditandatanganinya surat perjanjian (dalam hal kondisi di atas tidak dapat diketahui)
yaitu mana yang lebih dulu terjadi di antara kelima poin di atas
9. PPN atas Ekspor BKP terutang pada saat Barang Kena Pajak tersebut dikeluarkan dari Daerah Pabean, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan pabean.
10. PPN atas Ekspor BKP tidak berwujud terutang pada saat BKP tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
11. PPN atas Ekspor JKP terutang pada saat penggantian JKP tersebut dicatat atau diakui sebagai piutang atau penghasilan.
Saat Pembuatan Faktur Pajak
(Pasal 13 UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. PER-3/PJ/2022)

Faktur Pajak harus dibuat paling lambat pada:
  • akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP atau JKP dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP;
  • saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
  • saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
  • saat ekspor BKP berwujud, ekspor BKP tidak berwujud, dan/atau ekspor JKP; atau
  • saat PKP rekanan menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut PPN
Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat:
  • pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau JKP; atau
  • pada akhir bulan penyerahan BKP dan/atau JKP, dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi sebelum berakhirnya bulan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak
(Pasal 13 UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. PER-03/PJ/2022 s.t.d.t.d PER-11/PJ/2022)

Tata Cara pembuatan faktur pajak adalah sebagai berikut :

•  Faktur Pajak dibuat oleh PKP Penjual
•   Faktur Pajak yang dibuat wajib berbentuk elektronik.
• Faktur Pajak dicantumkan tanda tangan berbentuk Tanda Tangan Elektronik.
• Faktur Pajak harus memenuhi persyaratan formal dan material
• Faktur Pajak paling sedikit memuat keterangan tentang :
a.  nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP,
b.  identitas Pembeli BKP atau Penerima JKP yang meliputi:nama, alamat, dan NPWP, bagi Wajib Pajak dalam negeri badan dan instansi pemerintah;
• nama, alamat, dan NPWP atau NIK, bagi subjek pajak dalam negeri orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
• nama, alamat, dan nomor paspor, bagi subjek pajak luar negeri orang pribadi; atau
• nama dan alamat, bagi subjek pajak luar negeri badan atau bukan merupakan subjek pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang mengenai pajak penghasilan;
c.   jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;
d. PPN yang dipungut;
e.  PPnBM yang dipungut;
f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
• Faktur Pajak dapat dibuat secara gabungan untuk semua penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama 1 (satu) bulan kalendar kepada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama
• Faktur Pajak dapat dibuat tanpa mencantumkan keterangan mengenai identitas pembeli serta nama dan tanda tangan penjual dalam hal melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pembeli dengan karakteristik konsumen akhir
• Faktur Pajak atas penyerahan BKP dan/atau JKP yang tidak dipungut PPN atau PPN dan PPnBM, dibebaskan dari pengenaan PPN, atau PPN atau PPN dan PPnBM ditanggung pemerintah, harus diberikan keterangan mengenai PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut, dibebaskan, atau ditanggung pemerintah melalui aplikasi e-Faktur.

Larangan Membuat Faktur Pajak
(Pasal 14 UU Nomor 11 Tahun 1994 jo. UU Nomor 7 Tahun 2021 jo. UU Nomor 6 Tahun 2023)

Orang pribadi atau badan yang tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dilarang membuat Faktur Pajak.

Jika Faktur Pajak sudah terlanjur dibuat, Orang Pribadi atau badan yang bersangkutan wajib menyetor jumlah pajak yang tercantum dalam Faktur Pajak ke Kas Negara. Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi pembeli dari pemungutan pajak yang tidak semestinya.

Faktur Pajak Pengganti
(Lampiran PER - 03/PJ/2022 s.t.d.t.d PER - 11/PJ/2022)

Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak Pengganti

  1. Atas permintaan PKP Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP atau atas kemauan sendiri, PKP yang membuat Faktur Pajak membetulkan Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan dengan cara membuat Faktur Pajak pengganti menggunakan aplikasi e-Faktur.
  2. Pembuatan Faktur Pajak pengganti dapat dilakukan sepanjang terhadap SPT Masa PPN Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti masih dapat disampaikan atau dilakukan pembetulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  3. Pembetulan Faktur Pajak yang salah dalam pengisian atau penulisan tidak diperkenankan dilakukan selain dengan cara sebagaimana dimaksud pada angka 1.
  4. Pembuatan Faktur Pajak pengganti dilaksanakan sesuai dengan tata cara sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B dan huruf C PER - 03/PJ/2022.
  5. Faktur Pajak pengganti sebagaimana dimaksud pada angka 1, diisi berdasarkan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya.
  6. NSFP Faktur Pajak pengganti tetap menggunakan NSFP yang sama dengan NSFP Faktur Pajak yang diganti.
  7. Tanggal Faktur Pajak pengganti diisi dengan tanggal pada saat Faktur Pajak pengganti dibuat.
  8. Dalam hal PKP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP telah melaporkan Faktur Pajak yang diganti dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak keluaran maka PKP dimaksud harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  9. Dalam hal PKP Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP telah melaporkan Faktur Pajak yang diganti dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak masukan maka PKP dimaksud harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  10. Faktur Pajak pengganti dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak yang sama dengan Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang diganti dengan mencantumkan nilai dan/atau keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya setelah penggantian.
  11. Pelaporan Faktur Pajak pengganti dalam SPT Masa PPN sebagaimana dimaksud pada angka 10 harus mencantumkan kode dan NSFP Faktur Pajak yang diganti pada kolom yang telah ditentukan dalam formulir SPT Masa PPN.
Tata Cara Pembatalan Faktur Pajak
(Lampiran K PER-03/PJ/2022)
  1. PKP harus melakukan pembatalan Faktur Pajak menggunakan aplikasi e-Faktur untuk Faktur Pajak yang telah dibuat atas penyerahan:
    1. BKP dan/atau JKP yang transaksinya dibatalkan; atau
    2. barang dan/atau jasa yang seharusnya tidak dibuatkan Faktur Pajak.
  2. Pembatalan Faktur Pajak dapat dilakukan sepanjang terhadap SPT Masa PPN Masa Pajak dilaporkannya Faktur Pajak yang dibatalkan masih dapat disampaikan atau dilakukan pembetulan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
  3. Pembatalan transaksi sebagaimana dimaksud pada angka 1 huruf a harus didukung oleh bukti atau dokumen yang membuktikan bahwa telah terjadi pembatalan transaksi. Bukti dapat berupa pembatalan kontrak atau dokumen lain yang menunjukkan telah terjadi pembatalan transaksi.
  4. Faktur Pajak yang dibatalkan harus tetap diadministrasikan oleh PKP yang membuat Faktur Pajak.
  5. Dalam hal PKP yang membuat Faktur Pajak belum melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak keluaran maka PKP dimaksud harus tetap melaporkan Faktur Pajak tersebut dalam SPT Masa PPN dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, kolom PPN, dan kolom PPnBM.
  6. Dalam hal PKP yang menyerahkan BKP atau barang dan/atau menyerahkan JKP atau jasa telah melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak keluaran maka PKP dimaksud harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan cara melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, kolom PPN, dan kolom PPnBM.
  7. Dalam hal PKP Pembeli BKP atau pembeli barang dan/atau Penerima JKP atau penerima jasa telah melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan dalam SPT Masa PPN sebagai Faktur Pajak masukan maka PKP dimaksud harus melakukan pembetulan SPT Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dengan cara melaporkan Faktur Pajak yang dibatalkan tersebut dengan mencantumkan nilai 0 (nol) pada kolom DPP, kolom PPN, dan kolom PPnBM
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud  Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean.
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-147/PJ/2010 Tentang Penjelasan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan  Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2022 tentang Penerapan terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-4/PJ/2010 Tentang Tempat Lain Selain Tempat Tinggal atau Tempat Kedudukan dan/atau Tempat Kegiatan Usaha Dilakukan sebagai Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-8/PJ./2010 Tentang Saat Terutangnya Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah dari Pusat ke Cabang atau Sebaliknya dan Penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Antar Cabang
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2020 Tentang Penetapan Satu Tempat atau Lebih sebagai Tempat Pemusatan Pajak Pertambahan Nilai Terutang

Pengkreditan Pajak Masukan bagi WP yang Belum Memiliki Pajak Keluaran
(Pasal 9 ayat 2a UU Nomor 7 Tahun 2021 s.t.d.t.d UU 6 Tahun 2023 jo. Pasal 65 PMK 18/PMK.03/2021)

Bagi Pengusaha Kena Pajak yang belum melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP dan/atau ekspor BKP dan/atau JKP, Pajak Masukan atas perolehan BKP dan/atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan sesuai dengan Undang-Undang 7 Tahun 2021.

Ketentuan pengkreditan Pajak Masukan berlaku untuk Masa Pajak sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai PKP yaitu Masa Pajak sebelum tanggal pengukuhan Pengusaha sebagai PKP sebagaimana tercantum dalam surat pengukuhan PKP.

Pajak Masukan dihitung dengan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan sebesar 80% dari Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut oleh PKP atas penyerahan BKP dan/atau JKP terhitung sejak Pengusaha seharusnya dikukuhkan sebagai PKP sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sampai dengan sebelum Pengusaha dimaksud dikukuhkan sebagai PKP

Untuk menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan, PKP tidak dapat menggunakan:

  1. nilai lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk menghitung Pajak Keluaran yang seharusnya dipungut atas penyerahan BKP dan/atau JKP; dan
  2. pedoman penghitungan pengkreditan Pajak Masukan bagi PKP yang peredaran usahanya dalam 1 (satu) tahun tidak melebihi jumlah tertentu

Penetapan Saat Terutang
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 40/PMK.03/2010 jo. SE-147/PJ/2010)

1. Saat terutang --> saat dimulainya pemanfaatan:
Saat yang diketahui terjadi lebih dahulu:
  1. Secara nyata digunakan
  2. Saat dinyatakan sebagai utang
  3. Saat ditagih
  4. Saat dibayar (sebagian/seluruhnya)
2. Bila tidak diketahui saat dimulainya pemanfaatan, maka digunakan tanggal ditandatanganinya kontrak/perjanjian/saat lain yang ditetapkan Dirjen Pajak.
 
PPN atas Handling Import
(539/KMK.04/1990 jo. SE-47/PJ/2008)
  • Pengertian Handling Import (Impor Inden)
    1. kegiatan memasukkan barang ke dalam Daerah Pabean
    2. yang dilakukan oleh importir untuk dan atas nama pemesan (indentor)
    3. segala biaya impor (biaya LC, Bea Masuk, Pajak, dll) menjadi beban indentor
    4. importir akan memperoleh komisi (handling fee) dari indentor atas jasa tersebut.
  • Mekanisme Pengenaan PPN atas Handling Import
    a) Importir yang melakukan impor inden diwajibkan menambahkan kode "qq" diikuti nama, alamat, dan NPWP indentor dalam setiap lembar PIB (Pemberitahuan Impor Barang) dan SSP-nya.
    b) Bank devisa, Ditjen Bea dan Cukai atau Kantor Pos Lalu Bea tempat memasukkan PIB wajib membubuhkan cap "Impor atas Dasar Inden" pada setiap lembar PIB yang bersangkutan.
    c) Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Importir kepada indentor (pemesan) bukan merupakan penyerahan barang yang terutang PPN.
    d) Indentor (pemesan) berhak mengkreditkan PPN yang dibayar atas impor barang yang bersangkutan (PPN Impor).
    e) Atas penyerahan jasa handling impor oleh importir kepada indentor terutang PPN sebesar 10% dari komisi yang dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh indentor kepada importir. PPN tersebut merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh indentor.
    f) Bila persyaratan pada huruf a dan b tidak dipenuhi, maka impor tersebut harus diperlakukan sebagai impornya importir sendiri. Dengan demikian, importir berhak mengkreditkan PPN atas impor barang yang bersangkutan. Selanjutnya, atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh importir kepada indentor harus dikenakan PPN. Dan indentor berhak mengkreditkan PPN yang dibayar atas penyerahan BKP dari importir kepada indentor tersebut (PPN yang dipungut oleh importir).
Permasalahan PPN JLN
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 6 Tahun 2023 jo. 40/PMK.03/2010 jo. SE-147/PJ/2010)
  1. Pengisian SSP tidak sesuai ketentuan --> PPN tidak dapat dikreditkan
  2. Keterlambatan penyetoran --> sanksi bunga 2% per bulan dan PPN tetap dapat dikreditkan pada Masa Pajak yang seharusnya atau pada Masa Pajak yang tidak sama, sesuai dengan ketentuan pengkreditan Pajak Masukan yang berlaku
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ./2004 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ./2006 Tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ./2004 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 4/PJ/2008 Tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ./2004 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Produk Rekaman Suara
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2016 Tentang Pencabutan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-153/PJ/2002 Tentang Penetapan Bentuk, Ukuran, Warna, Isi, dan Teks Stiker Lunas Pajak Pertambahan Nilai, dan Dasar Pengenaan Pajak Untuk Menghitung Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Produk Rekaman Gambar dan Penunjukan Asosiasi yang Memberikan Rekomendasi Untuk Penebusan Stiker Lunas Pajak Pertambahan Nilai Serta Tata Cara Penebusan dan Pelaporannya Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-5/PJ/2008 Dan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-81/PJ/2004 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Produk Rekaman Suara Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah Terakhir Dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER- 4/PJ/2008
Saat dan Tempat Pajak Terutang
(61/PMK.03/2022 jo. PER-25/PJ/2012)
  • Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri (menggali fondasi, memasang tiang pancang dan lain-lain).
  • Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.

Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
(61/PMK.03/2022 jo. PER-25/PJ/2012)

PPN KMS = 11% x 20% x Total Biaya (tidak termasuk harga tanah)

  • Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN dengan besaran tertentu.
  • Besaran tertentu merupakan hasil perkalian 20% (dua puluh persen) dengan tarif Pajak Pertambahan Nilai dikalikan dengan dasar pengenaan pajak.
  • Dasar pengenaan pajak berupa nilai tertentu sebesar jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan untuk setiap Masa Pajak sampai dengan bangunan selesai, tidak termasuk biaya perolehan tanah.
  • Termasuk dalam pengertian jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah PPN yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun sendiri tersebut

Syarat Pengenaan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
(61/PMK.03/2022 jo. PER-25/PJ/2012 jo. SE - 53/PJ/2012)

Kegiatan membangun sendiri dikenakan PPN apabila:

  • Membangun sendiri tersebut dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan oleh pihak lain
  • Termasuk kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan melalui kontraktor atau pemborong tetapi atas kegiatan membangun tersebut tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai, dan kontraktor atau pemborong tersebut bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak.
  • Batasan bangunan yang dikenai PPN kegiatan membangun sendiri adalah satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
    a) konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
    b) diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
    c) luas keseluruhan paling sedikit 200 m2 (dua ratus meter persegi).
  • Dilakukan secara sekaligus dalam suatu jangka waktu tertentu; atau bertahap sebagai satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan membangun tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun.

Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi (Operating Lease)
(1169/KMK.01/1991)

Perlakuan  PPN atas Sewa Guna Usaha Tanpa Hak Opsi (Operating Lease) adalah sebagai berikut:

  • Jasa Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (sewa menyewa biasa) merupakan Jasa Kena Pajak, sehingga harga sewa yang dibayar atau yang seharusnya dibayar oleh lessee harus dipungut PPN oleh lessor, dengan menerbitkan Faktur Pajak
  • Lessee berhak mengkreditkan Pajak Masukan yang dibayar atas SGU tanpa hak opsi tersebut, sepanjang aktiva yang disewanya berhubungan langsung dengan kegiatan usahanya.

Faktur Pajak
(SE-48/PJ.3/1988 jo. SE-01/PJ.54/2000)

Perlakuan faktur pajak PPN terhadap Jasa Telekomunikasi adalah sebagai berikut :

  • Tanda pembayaran atau kuitansi pembayaran atas penyerahan jasa telepon ditetapkan oleh Dirjen Pajak sebagai Faktur Pajak
  • Atas penyerahan jasa telekomunikasi dalam bentuk kontrak jangka panjang, misalnya persewaan transponder, wajib dibuat Faktur Pajak dalam hal pihak penyewa memiliki identitas lengkap.

Faktur Pajak bagi PKP Pedagang Eceran
(Pasal 25 PER-03/PJ/2022)

Penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir merupakan penyerahan yang dilakukan secara eceran.

Karakteristik konsumen akhir meliputi:

  1. pembeli barang dan/atau penerima jasa mengonsumsi secara langsung barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima; dan
  2. pembeli barang dan/atau penerima jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang dan/atau jasa yang dibeli atau diterima untuk kegiatan usaha.

PKP yang seluruh atau sebagian kegiatan usahanya melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir, termasuk yang dilakukan melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, merupakan PKP pedagang eceran.

PKP pedagang eceran tidak ditentukan berdasarkan klasifikasi lapangan usaha, tetapi berdasarkan transaksi penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir.

PKP pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak tanpa mencantumkan:

  1. keterangan mengenai identitas Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP, dan
  2. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak

untuk setiap penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir.

Faktur Pajak harus dibuat dengan mencantumkan keterangan yang paling sedikit memuat:

  1. nama, alamat, dan NPWP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP. Diisi sesuai dengan nama, alamat, dan NPWP yang tercantum dalam surat pengukuhan PKP yang menyerahkan BKP atau JKP.
  2. jenis barang atau jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga. Diisi dengan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya mengenai BKP dan/atau JKP yang diserahkan.
  3. PPN atau PPN dan PPnBM yang dipungut, dapat termasuk dalam harga jual atau penggantian atau dicantumkan secara terpisah dari harga jual atau penggantian.
  4. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak, dapat ditentukan sendiri sesuai dengan kelaziman usaha PKP pedagang eceran.

Faktur Pajak dibuat paling sedikit untuk:

  1. Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP; dan
  2. arsip PKP pedagang eceran, dapat berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik sebagai sarana penyimpanan data

PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.

Faktur Pajak tanpa keterangan mengenai identitas Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dan nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak dapat berupa bon kontan, faktur penjualan, segi cash register, karcis, kuitansi, atau tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.

Faktur Pajak dapat berbentuk elektronik.

(3) PKP pedagang eceran dapat melakukan pembetulan atau penggantian dan pembatalan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan kelaziman usaha PKP pedagang eceran.
(4) Bentuk dan ukuran Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disesuaikan dengan kepentingan PKP pedagang eceran.
(5) Pengadaan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh PKP pedagang eceran.

Pasal 28

(1) PKP dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) atas:
  1. pemakaian sendiri BKP dan/atau JKP yang tidak berkaitan dengan kegiatan produksi selanjutnya atau digunakan untuk kegiatan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha PKP yang bersangkutan; dan
  2. pemberian cuma-cuma atas BKP dan/atau JKP kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2).
(2) PKP pedagang eceran dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut atau dibebaskan dari pengenaan PPN.

Pasal 29

(1) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), Faktur Pajak atas penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu kepada Pembeli BKP dan/atau Penerima JKP dengan karakteristik konsumen akhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) dibuat sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dan ayat (3).
(2) BKP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
  • angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
  • angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara;
  • tanah dan/atau bangunan; dan
  • senjata api dan/atau peluru senjata api.
(3) JKP tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
  • jasa penyewaan angkutan darat berupa kendaraan bermotor;
  • jasa penyewaan angkutan air berupa kapal pesiar, kapal ekskursi, kapal feri, dan/atau yacht;
  • jasa penyewaan angkutan udara berupa pesawat terbang, helikopter, dan/atau balon udara; dan
  • jasa penyewaan tanah dan/atau bangunan.

Pengusaha  Kena Pajak Pedagang Eceran yang selanjutnya disebut PKP PE adalah Pengusaha Kena Pajak yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dengan cara sebagai berikut :

  1. melalui suatu tempat penjualan eceran seperti toko dan kios atau langsung mendatangi dari satu tempat konsumen akhir ke tempat konsumen akhir lainnya;
  2. dengan cara penjualan eceran yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir, tanpa didahului dengan penawaran tertulis, pemesanan tertulis, kontrak, atau lelang; dan
  3. pada umumnya penyerahan Barang Kena Pajak atau transaksi jual beli dilakukan secara tunai dan penjual langsung menyerahkan Barang Kena Pajak atau pembeli langsung membawa Barang Kena Pajak yang dibelinya.

PKP PE wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.

Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak oleh PKP PE paling sedikit harus memuat keterangan:

  1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak;
  2. jenis Barang Kena Pajak yang diserahkan;
  3. jumlah Harga Jual yang sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai atau besarnya Pajak Pertambahan Nilai dicantumkan secara terpisah;
  4. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut; dan
  5. kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

Faktur Pajak berupa:

  1. bon kontan,
  2. faktur penjualan,
  3. segi cash register,
  4. karcis,
  5. kuitansi, atau
  6. tanda bukti penyerahan atau pembayaran lain yang sejenis.
  • Bentuk dan ukuran formulir Faktur Pajak disesuaikan dengan kepentingan PKP PE. Pengadaan formulir Faktur Pajak dilakukan oleh PKP PE.
  • Kode dan nomor seri Faktur Pajak dapat berupa nomor nota, kode nota, atau ditentukan sendiri oleh PKP PE.
  • Faktur Pajak dibuat paling sedikit dalam 2 (dua) rangkap yang peruntukannya masing-masing sebagai berikut :
    •  Lembar ke-1 : disampaikan kepada pembeli Barang Kena Pajak.
    •  Lembar ke-2 : untuk arsip Pengusaha Kena Pajak yang membuat Faktur Pajak.
  • Faktur Pajak dianggap telah dibuat dalam 2 (dua) rangkap atau lebih dalam hal Faktur Pajak tersebut dibuat dalam 1 (satu) lembar yang terdiri dari 2 (dua) atau lebih bagian atau potongan yang disediakan untuk disobek atau dipotong.
  • Lembar ke-2 Faktur Pajak dapat berupa rekaman Faktur Pajak dalam bentuk media elektronik yaitu sarana penyimpanan data, antara lain: diskette, Digital Data Strorage (DDS) atau Digital Audio Tape (DAT) dan Compact Disc (CD).
Restitusi PPN Barang Bawaan Orang Pribadi Pemegang Paspor Luar Negeri (Turis Asing)
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16E jo. 120/PMK.03/2019)

Dalam rangka menarik Orang Pribadi pemegang paspor Luar Negeri untuk berkunjung ke Indonesia, kepada Orang Pribadi tersebut diberikan Insentif Perpajakan. Insentif tersebut berupa pengembalian PPN dan PPnBM yang sudah dibayar atas pembelian BKP di Indonesia yang kemudian dibawa oleh Orang Pribadi tersebut ke luar Daerah Pabean.

PPN yang sudah dibayar atas Barang Bawaan dapat diminta kembali oleh Turis Asing dapat diminta kembali, dengan syarat bukan merupakan Warga Negara Indonesia atau bukan permanent resident of Indonesia, yang tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 60 (enam puluh) hari sejak tanggal kedatangannya.

Persyaratan PPN dan/atau PPnBM
(120/PMK.03/2019)

PPN tersebut dapat diminta kembali apabila memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1) Nilai PPN paling sedikit Rp. 500.000 (lima ratus ribu rupiah);
2) Pembelian Barang Bawaan dilakukan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sebelum keberangkatan ke luar Daerah Pabean;

Persyaratan Dokumen & Mekanisme Restitusi
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16E jo. 120/PMK.03/2019)

Restitusi dilakukan pada saat turis asing tersebut meninggalkan Indonesia dan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pajak melalui kantor Direktorat Jenderal Pajak yang berada di bandara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Turis Asing mengajukan permintaan pengembalian PPN kepada Direktur Jenderal Pajak melalui UPRPPN Bandara dengan membawa Barang Bawaan dan menunjukkan dokumen:

  1. paspor;
  2. pas naik (boarding pass) untuk keberangkatan Turis Asing ke luar Daerah Pabean; dan
  3. Faktur Pajak Khusus

Lokasi Restitusi (Bandara yang Ditunjuk)
(141/KMK.03/2010 jo. 427/KMK.03/2010 jo. 287/KMK.03/2011)

Lokasi Pengembalian PPN dan PPnBM Bagi Turis Asing adalah :

  1. Bandara Soekarno Hatta, Jakarta;
  2. Bandara Ngurah Rai, Denpasar
  3. Bandara Adisutjipto, Yogyakarta
  4. Bandara Juanda, Surabaya
  5. Bandara Kualanamu, Medan

 

Penyetoran dan Pelaporan
(61/PMK.03/2022 jo. PER-25/PJ/2012)

  • PPN yang terutang sebesar 11% x 20% dari seluruh biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan, harus disetorkan ke kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pengeluaran biaya tersebut. Dalam hal kegiatan membangun sendiri dilakukan oleh PKP, PPN yang tercantum dalam SSP tersebut tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran, karena pembayaran PPN tersebut merupakan pembayaran PPN untuk kegiatan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan PKP yang bersangkutan
  • Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dengan ketentuan sebagai berikut:

    1. orang pribadi atau badan yang merupakan Pengusaha Kena Pajak melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dalam surat pemberitahuan masa Pajak Pertambahan Nilai ke kantor pelayanan pajak terdaftar; dan
    2. orang pribadi atau badan yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak dianggap telah melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sepanjang telah melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai.
      Kewajiban melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dikecualikan bagi orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri dalam hal tidak terdapat penyetoran Pajak Pertambahan Nilai.
  • Pajak Masukan yang dibayar atas kegiatan membangun sendiri tidak dapat dikreditkan

Ketentuan Penting Lain Mengenai Faktur Pajak

a) Faktur Pajak yang tidak memenuhi persyaratan formal dalam hal:
  • e-Faktur tidak mencantumkan keterangan tentang penyerahan BKP dan/atau JKP atau Faktur Pajak pedagang eceran tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) PER-3/PJ/2022;
  • mencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau se sungguhnya; dan/atau
  • berisi keterangan yang tidak sesuai dengan ketentuan pengisian keterangan sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal ini.
Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak yang diisi secara tidak lengkap dan dikenai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP, yaitu denda sebesar 1% dari DPP.
b) Faktur Pajak terlambat dibuat melewati saat Faktur Pajak seharusnya dibuat dikenai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP, yaitu denda sebesar 1% dari DPP.
c) Faktur Pajak dianggap tidak dibuat dalam hal Faktur Pajak dibuat setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat. PKP yang membuat Faktur Pajak tersebut dikenai sanksi administratif sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) UU KUP, yaitu denda sebesar 1% dari DPP. PPN yang tercantum dalam Faktur Pajak tersebut merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan.
d)  PKP diperkenankan untuk membuat Faktur Pajak berbentuk kertas (hardcopy) dalam hal terjadi keadaan tertentu yang disebabkan oleh peperangan, kerusuhan, revolusi, bencana alam, pemogokan, kebakaran, dan sebab lainnya di luar kuasa PKP, yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak sehingga menyebabkan PKP tidak dapat membuat e-Faktur.
 

Restitusi Melalui KPP
(72/PMK.03/2010 jo. 39/PMK.03/2018 s.t.d.t.d. 117/PMK.03/2019 s.t.d.t.d. 209/PMK.03/2021)

Permohonan restitusi kelebihan Pajak Masukan agar disampaikan kepada Kepala KPP dimana PKP yang bersangkutan dikukuhkan dengan cara :

  • mengisi kolom yang tersedia dalam SPT Masa PPN ; atau
  • dengan surat tersendiri.
  • permohonan pengembalian kelebihan pajak ditentukan satu permohonan untuk satu masa pajak.

Dokumen yang harus dilampirkan dalam permohonan :

1. Dalam hal penyerahan/perolehan/penerimaan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak serta pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan atau Barang Kena Pajak tidak berwujud dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean, yaitu Faktur Pajak Keluaran dan Faktur Pajak Masukan yang berkaitan dengan kelebihan pembayaran pajak yang dimintakan pengembalian, termasuk dokumen-dokumen pendukung yaitu :
  • Faktur Penjualan/Faktur Pembelian, apabila faktur pajak dibuat berbeda dengan faktur penjualan/pembelian
  • Bukti pengiriman/penerimaan barang
  • Bukti Penerimaan/pembayaran uang atas pembelian/penjualan barang/jasa
2. Dalam hal impor Barang Kena Pajak, yaitu
  1. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan Surat Setoran Pajak atau bukti pungutan pajak oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PIB tersebut;
  2. Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS), sepanjang termasuk dalam kategori wajib LPS
  3. Surat kuasa kepada atau dokumen lain dari Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) untuk pengurusan barang impor, dalam hal pengurusan dikuasakan kepada PPJK.
3. Dalam hal ekspor barang kena pajak, yaitu :
  1. Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang telah diberikan persetujuan ekspor oleh pejabat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang berwenang dan dilampiri dengan faktur penjualan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan PEB tersebut.
  2. Instruksi pengangkutan (melalui darat, udara atau laut), cean B/L atau Master B/L atau Airway Bill (dalam hal ocean B/L atau Master B/L tidak ada, maka B/L harus dilampiri dengan fotokopi ocean B/L atau Master B/L yang telah dilegalisasi oleh pihak yang menerbitkannya), dan packing list;
  3. Fotokopi wesel ekspor atau bukti penerimaan uang lainnya dari bank, yang telah dilegalisasi oleh bank yang bersangkutan atau fotokopi L/C yang telah dilegalisasi oleh bank koresponden, dalam hal ekspor menggunakan L/C
  4. Asli atau fotokopi yang telah dilegalisasi polis asuransi Barang Kena Pajak yang diekspor, dalam hal Barang Kena Pajak yang diekspor diasuransikan
  5. Sertifikasi dari instansi tertentu seperti Departemen Perindustrian, Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Kehutanan, atau badan lain seperti kedutaan besar negara tujuan, sepanjang diwajibkan adanya sertifikasi.
4. Dalam hal penyerahan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai, yaitu :
  1. Kontrak atau Surat Perintah Kerja (SPK) atau surat pesanan atau dokumen sejenis lainnya; dan
  2. Surat Setoran Pajak.
5. Dalam hal permohonan pengembalian yang diajukan meliputi kelebihan pembayaran pajak akibat kompensasi dari Masa Pajak sebelumnya, maka bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang disampaikan meliputi seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen pada angka 1 sampai dengan angka 4 di atas yang berkenaan dengan kelebihan pembayaran pajak Masa Pajak yang bersangkutan.

Dalam hal permohonan dilakukan oleh Pengusaka Kena Pajak Kriteria Tertentu sesuai dengan Pasal 17C UU KUP, maka bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang diperlukan untuk mengajukan permohonan restitusi seperti yang telah dijelaskan di atas tidak wajib disampaikan. Namun, jika Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu tersebut terdapat kompensasi kelebihan pembayaran pajak dari masa-masa sebelum ditetapkan menjadi Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu maka akan dilakukan pemeriksaan dan Pengusaha Kena Pajak Kriteria Tertentu itu wajib melengkapi bukti-bukti atau dokumen-dokumen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen tersebut di atas disampaikan secara lengkap bersamaan dengan permohonan pengembalian atau disusulkan paling lambat 1 (satu) bulan sejak saat diterimanya permohonan. Jika jangka waktu telah melewati 1 (satu) bulan Pengusaha Kena Pajak tidak melengkapi dokumen-dokumen yang diperlukan maka permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak akan tetap diproses sesuai dengan data atau dokumen yang tersedia dan Kepala KPP akan menerbitkan surat pemberitahuan paling lambat pada saat penyampaian pemberitahuan hasil pemeriksaan.

Dalam hal dokumen-dokumen tersebut disusulkan setelah lewat jangka waktu yang telah ditetapkan yaitu 1 (satu) bulan setelah permohonan maka dokumen-dokumen tersebut tidak akan diperhitungkan, baik pada saat pemeriksaan, pada saat keberatan maupun banding.

Saat diterimanya permohonan secara lengkap adalah saat dimana permohonan pengembalian telah dilengkapi dengan seluruh bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang harus disampaikan, dalam hal bukti-bukti atau dokumen-dokumen disusulkan maka saat diterimanya permohonan secara lengkap adalah saat berakhirnya jangka waktu 1 (satu) bulan sejak saat permohonan diterima.

Pengertian
(KEP-546/PJ/2000 jo. SE-12/PJ.54/1999)

Yang dimaksud dengan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dikenakan PPN dalam rangka restrukturisasi perusahaan adalah :

  1. Penyerahan Barang Kena Pajak sesuai dengan Pasal 16D UU PPN yaitu penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan.
  2. Penyerahan sebagian dari aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas Barang Kena Pajak tersebut.

Penyerahan BKP sebagaimana dimaksud di atas adalah :

a) Penyerahan aktiva dari debitor kepada Bank Kreditor dan atau BPPN melalui program Indonesian Bank Restructuring Agency (IBRA)/Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Indonesian Debt Restructuring Agency (INDRA) dan Jakarta Initiative (Prakarsa Jakarta) adalah merupakan penyerahan yang bersifat sementara dan bukan untuk dimiliki.
b) Penyerahan aktiva dari Bank Kreditor dan atau BPPN dan atau melalui juru lelang kepada pembeli sebenarnya.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
  3. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia  Nomor 1169/KMK.01/1991 Tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha (Leasing)
  4. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-129/PJ/2010 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Transaksi Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi dan Transaksi Penjualan dan Penyewagunausahaan Kembali
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Pengurangan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Barang Kena Pajak yang Dikembalikan dan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Kena Pajak yang Dibatalkan.

Pencabutan Ketentuan Mengenai Penggunaan Metode Q.Q

Dengan diterbitkannya Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-47/PJ/2008 tanggal 29 Agustus 2008 tentang Pencabutan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak dan Surat Penegasan tentang Penggunaan Metode Q.Q Pada Faktur Pajak, maka seluruh surat-surat penegasan yang diterbitkan yang memberikan ijin kepada Pengusaha Kena Pajak untuk dapat menerbitkan Faktur Pajak dengan Metode Q.Q. yang didasarkan pada :

  1. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-25/PJ.32/1989 tentang PPN Berkaitan dengan Ekspor yang Menggunakan Nama/Quota Ekspor Lain;
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-19/PJ.32/1990 tentang PPN atas Jasa Handling Export;
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-09/PJ.531/2000 tentang Penggunaan Metode Q.Q Pada Faktur Pajak (REV 011/00);

dinyatakan tidak berlaku dan dicabut sejak Surat Edaran ini berlaku.

Restitusi atau Pembayaran Pendahuluan Melalui Bapeksta
(KEP-20/PJ/1996)

Restitusi atau Pembayaran Pendahuluan Melalui Bapeksta

PKP Yang Dapat Mengajukan Restitusi/Pembayaran Pendahuluan Melalui Bapeksta adalah:

  • PKP Produsen yang merupakan eksportir BKP
  • PKP Produsen yang melakukan penyerahan BKP ke Kawasan Berikat dan/atau EPTE

Ekspor BKP atau Penyerahan BKP ke Kawasan Berikat dan/atau ke EPTE tersebut harus telah dilakukan.

Pajak yang Dapat Diajukan Restitusi Melalui Bapeksta

Pajak yang Dapat Diajukan Restitusi Melalui Bapeksta :

  • Pajak Masukan atas pembelian atau impor BKP yang bukan barang modal
  • PPn BM, dalam hal yang diekspor adalah BKP Mewah yang mana pada saat perolehannya terutang PPn BM

Dokumen yang Dibutuhkan untuk Permohonan Restitusi atau Pembayaran Pendahuluan agar Diajukan ke Kepala Bapeksta

Untuk permohonan restitusi/pembayaran pendahuluan agar diajukan ke Kepala Bapeksta :

a) Bukti ekspor, yaitu :
  • Asli Laporan Pemeriksaan Suveyor Ekspor (LPSE) dalam hal wajib LPS
  • Copy PEB yang telah difiat muat Ditjen Bea dan Cukai (dalam hal ekspor) atau copy Form EPTE-7 atau Form KB-3 yang telah ditandatangani pejabat DJBC beserta kontrak penjualan ke Kawasan Berikat/EPTE (dalam hal penyerahan ke Kawasan Berikat/EPTE)
  • Copy Bill of Lading (B/L)
b) Asli Faktur Pajak atau Asli Lembar ke 1 SSP atas impor yang telah ditandasahkan oleh  Bank Devisa.
c) Daftar keterkaitan antara BKP yang dibeli atau diimpor dengan BKP yang diekspor atau diserahkan ke Kawasan Berikat/EPTE.
d) Daftar komposisi biaya produksi terhadap nilai ekspor atau nilai ke Kawasan Berikat/EPTE.
e) Keputusan akan diberikan dalam jangka waktu 14 hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

Penyerahan Jasa Interkoneksi Antar Perusahaan Telekomunikasi
(SE-48/PJ.3/1988 jo. SE-01/PJ.54/2000)

  1. Pengertian
    • Interkoneksi adalah keterhubungan jaringan telekomunikasi antara Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang satu dengan yang lainnya.
    • Jasa Interkoneksi adalah jasa penyediaan interkoneksi oleh Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang mengakibatkan tersedianya sarana untuk berkomunikasi bagi pelanggan Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang satu dengan lainnya.
  2. Perlakuan Perpajakan
    • Penyerahan jasa interkoneksi merupakan penyerahan Jasa Kena Pajak, dengan demikian, atas penyerahan jasa interkoneksi tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
    • Untuk keseragaman dalam pelaksanaan di lapangan serta agar dapat memberikan perlakuan yang sama terhadap semua Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi, maka penegasan ini diberlakukan sejak 1 Januari 2000.
    • Dengan diberlakukannya penegasan ini, maka sejak 1 Januari 2000 agar seluruh Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi yang melakukan penyerahan Jasa Interkoneksi wajib memungut, menyetor dan melaporkan PPN yang terutang atas penyerahan Jasa Interkoneksi tersebut, serta melaksanakan kewajiban lainnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Penjualan dan Penyewagunausahaan Kembali (Sale and Leaseback)
(SE-129/PJ/2010)

Perlakuan PPN atas sale and leaseback :

•  Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha dengan hak opsi:
1)  penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak yang dikenai PPN karena:
  1. Barang Kena Pajak yang menjadi objek pembiayaan berasal dari milik lessee, yang dijual oleh lessee untuk kemudian dipergunakan kembali oleh lessee;
  2. lessor pada dasarnya hanya melakukan penyerahan jasa pembiayaan, tanpa bermaksud memiliki dan menggunakan barang yang menjadi objek pembiayaan tersebut;
  3. penyerahan Barang Kena Pajak tersebut dari lessee kepada lessor pada dasarnya merupakan penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang piutang;
2)  penyerahan jasa sewa guna usaha dengan hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) merupakan jasa pembiayaan yang tidak dikenai PPN,
•  Dalam hal penyewagunausahaan kembalinya merupakan sewa guna usaha tanpa hak opsi:
1) penyerahan Barang Kena Pajak dari lessee kepada lessor (sale) dikenai PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan;
2) penyerahan jasa sewa guna usaha tanpa hak opsi oleh lessor kepada lessee (leaseback) dikenai PPN

Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Capital Lease)
(1169/KMK.01/1991 jo. SE-129/PJ/2010)

Kegiatan sewa guna usaha (leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (financial lease) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh penyewa guna usaha (lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.

Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Capital/Finance Lease) terjadi apabila penyewa guna usaha (lessee) memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang disewanya pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga yang telah disetujui bersama antara lessee (penyewa) dengan lessor (yang menyewakan).

Perlakuan PPN atas Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Capital/Finance Lease) adalah sebagai berikut:

  1. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari pemasok (supplier):
    • Barang Kena Pajak tersebut dianggap diserahkan secara langsung oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) kepada lessee;
    • Lessor tidak perlu dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak karena dianggap hanya menyerahkan jasa pembiayaan yang merupakan jenis jasa yang tidak dikenai PPN.
    • Pengusaha Kena Pajak pemasok wajib menerbitkan Faktur Pajak kepada lessee dengan menggunakan identitas lessee sebagai pembeli Barang Kena Pajak/penerima Jasa Kena Pajak (tidak menggunakan metode qualitate qua (q.q.)).
    • Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak sebesar Harga Jual dari Pengusaha Kena Pajak pemasok.
  2. Dalam hal Barang Kena Pajak berupa barang modal yang menjadi objek pembiayaan berasal dari persediaan yang telah dimiliki oleh lessor:
    • Lessor pada dasarnya melakukan dua jenis penyerahan, yaitu:
      1. penyerahan jasa pembiayaan yang tidak dikenai PPN; dan 
      2. penyerahan Barang Kena Pajak, yang merupakan objek PPN.
    • Lessor harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan harus menerbitkan Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak tersebut kepada lessee. Pengukuhan lessor sebagai Pengusaha Kena Pajak ini dilakukan dengan tetap memperhatikan batasan Pengusaha Kecil menurut ketentuan Undang-Undang PPN.
    • Dasar Pengenaan Pajak yang dicantumkan dalam Faktur Pajak adalah Harga Jual, tidak termasuk unsur bunga yang diminta atau seharusnya diminta oleh lessor karena jasa pembiayaan yang diserahkannya.
    • Penggunaan qualitate qua (q.q.) pada bagian nama dan/atau NPWP pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak pada Faktur Pajak yang telah diterbitkan oleh Pengusaha Kena Pajak pemasok (supplier) sebelum diberlakukannya Surat Edaran ini dapat dibenarkan dan tidak menjadikan Faktur Pajak tersebut cacat.

Jenis Produk Rekaman Suara
(KEP-81/PJ./2004 jo. PER - 32/PJ/2016)

Produk Rekaman Suara adalah semua produk rekaman suara yang dibuat di atas media rekaman seperti pita kaset, Compact Disc (CD), dan Video Compact Disc (VCD), Laser Disc (LD), Digital Versatile Disc (DVD) dan media rekaman lain, yang berisi rekaman suara atau rekaman suara beserta tayangan gambar.

Pita Rekaman Suara (Kaset)

  1. Kaset isi jenis A, yaitu :
    • Kaset lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, yang seluruh pencipta dan penyanyinya WNI; atau
    • Lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya WNI.
  2. Kaset isi jenis B, yaitu :
    • Lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/Daerah, selain lagu keagamaan; atau
    • Lagu yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya WNI; atau
    • Lagu instrumentalia yang satu atau lebih penciptanya WNA.
  3. Kaset isi jenis C, yaitu :
    • Lagu yang seluruhnya berbahasa daerah yang seluruh pencipta dan penyanyinya WNA; atau
    • Rekaman cerita, lawak, wayang dan rekaman yang sejenis lainnya dalam bahasa Indonesia/Daerah;atau
    • Suara burung dan suara hewan lainnya; atau
    • Lagu keagamaan.

Rekaman Suara/Lagu di atas Disc (Compact Disc)

  1. Compact Disc jenis CD. 1, yaitu :
    • Lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah, yang seluruh pencipta dan penyanyinya WNI; atau
    • Lagu instrumentalia yang seluruh penciptanya WNA; atau
    • Lagu keagamaan.
  2. Compact Disc jenis CD. 2, yaitu :
    • Lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/Daerah, selain lagu keagamaan; atau
    • Lagu yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya WNA; atau
    • Lagu instrumentalia yang satu atau lebih penciptanya WNA.
  3. Video compact disc jenis Video Cassete Disc Karaoke (VCD.K 1), meliputi :
    • Lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berhasa Indonesia dan berbahasa daerah beserta tayangan gambar (VCD Karaoke), yang seluruh pencipta dan penyanyinya WNI; atau
    • Lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (VCD Karaoke) yang seluruh penciptanya WNI; atau Lagu keagamaan beserta tayangan gambar (VCD Karaoke).
  4. Video compact disc jenis Video Cassete Disc Karaoke (VCD.K 2), meliputi :
    • Lagu berbahasa asing dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa asing dan berbahasa Indonesia/daerah beserta tayangan gambar (VCD Karaoke), selain lagu keagamaan; atau
    • Lagu beserta tayangan gambar (VCD Karaoke) yang satu atau lebih penciptanya atau penyanyinya WNA; atau
    • Lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (VCD Karaoke) yang satu atau lebih penciptanya WNA.
  5. Video compact disc jenis Video Cassete Disc Karaoke ekonomis, yaitu produk rekaman suara di atas VCD dengan harga jual eceran sampai dengan Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah), yang meliputi :
    • Lagu berbahasa Indonesia dan yang berisi lagu campuran yang berbahasa Indonesia dan berbahasa daerah beserta tayangan gambar (VCD Karaoke), yang seluruh pencipta dan penyanyinya WNA; atau
    • Lagu instrumentalia beserta tayangan gambar (VCD Karaoke), yang seluruh penciptanya WNI; atau
    • Lagu keagamaan beserta tayangan gambar (VCD Karaoke).

Jasa Warung Telekomunikasi
(SE-48/PJ.3/1988 jo. SE-01/PJ.54/2000)

Warung telekomunikasi (Wartel) adalah agen jasa telekomunikasi.

Jenis jasa yang diserahkan bukan jasa telekomunikasi melainkan jasa keagenan di bidang telekomunikasi. Mekanisme pengenaan PPN atas penyerahan jasa keagenan di bidang tekekomunikasi oleh Wartel, adalah sebagai berikut:

  • Sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah Penggantian yang diminta atau seharusnya diminta sehubungan dengan penyerahan jasa keagenan tersebut baik berupa komisi atau imbalan lainnya dengan nama dan dalam bentuk apapun;
  • Atas penyerahan jasa keagenan kepada Pengusaha Jasa Telekomunikasi (Misalnya PT Telkom) Wartel menerima sejumlah komisi atau imbalan (fee) dari PT Telkom. Sehubungan dengan hal tersebut, Wartel (selaku Pengusaha Kena Pajak) wajib membuat Faktur Pajak. Dalam hal Pengusaha Jasa Telekomunikasi tersebut adalah PT Telkom (Pemungut PPN), maka pajak yang terutang dipungut oleh PT Telkom.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-48/PJ.3/1988 Tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Telekomunikasi
  3. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.54/2000 Tentang Penegasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Interkoneksi Antar Perusahaan Telekomunikasi
Jenis Jasa Telekomunikasi
(SE-48/PJ.3/1988 jo. SE-01/PJ.54/2000)

Jenis-jenis jasa telekomunikasi yang dikenakan PPN adalah:
  • Telepon Umum Uang Logam (Telepon Umum Coin Box)
  • Telepon Umum Kartu;
  • Percakapan lokal, sambungan langsung jarak jauh, sambungan langsung internasional baik yang pembayarannya dilakukan secara tunai maupun secara kredit;
  • Sewa bulanan;
  • Percakapan sambungan telepon kendaraan bermotor (STKB);
  • Telex baik dalam maupun luar negeri;
  • Komunikasi Radio;
  • Sirkit sewa baik dalam maupun luar negeri;
  • Sistem komunikasi data paket;
  • Radio Panggil Untuk Umum;
  • Sewa Transponder dalam negeri;
  • Tele Conference;
  • VSAT;
  • Dinas Bergerak;
  • Biro Faks baik dalam maupun luar negeri;
  • Jasa Televisi (jasa telekomunikasi yang khusus digunakan untuk keperluan televisi).
Atas pembayaran berupa biaya mutasi, ganti rugi, denda dan biaya lelang yang berkaitan dengan telepon, telex, telegraf tetapi tidak ada kaitannya dengan penyerahan jasa telekomunikasi tidak terutang PPN.

Saat Terutang PPN
(KEP-546/PJ/2000 jo. SE-12/PJ.54/1999)

Saat terutang PPN atas penyerahan aktiva sebagaimana dimaksud di atas adalah :

a) Pada saat penyerahan aktiva oleh Bank Kreditor dan atau BPPN dan atau melalui juru lelang kepada pembeli sebenarnya.
b) Apabila aktiva tersebut tidak dialihkan atau tidak dijual oleh Bank Kreditur dan/atau BPPN dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak aktiva tersebut dialihkan ke Bank Kreditur dan/atau BPPN, maka Bank Kreditur dan/atau BPPN dianggap telah menerima penyerahan BKP dan terutang PPN.

Tata Cara Penyetoran PPN
(KEP-546/PJ/2000 jo. SE-12/PJ.54/1999)

Tata cara penyetoran PPN yang terutang atas penyerahan BKP atau pengalihan aktiva adalah sebagai berikut :

1) Pada saat terjadinya penyerahan sementara.
  1. Penyerahan dari debitor kepada Bank Kreditor dan atau BPPN yang hanya bertindak sebagai pembeli sementara belum merupakan penyerahan yang terutang PPN.
  2. Atas penyerahan aktiva tersebut harus dibuatkan surat keterangan yang dikeluarkan oleh Prakarsa Jakarta dan atau BPPN yang memuat :
    1. pernyataan bahwa penyerahan dimaksud dilakukan dalam rangka restrukturisasi perusahaan melalui mekanisme IBRA/BPPN, INDRA, atau Prakarsa Jakarta.
    2. jenis aktiva yang dialihkan
    3. tanggal pengalihan
  Surat keterangan dibuat minimal dalam rangkap 5 (lima) dengan rincian sebagai berikut :
  • lembar ke-1 untuk debitor pemilik aktiva yang dialihkan
  • lembar ke-2 untuk Prakarsa Jakarta dan atau BPPN
  • lembar ke-3 untuk KPP dimana PKP Debitor pemilik aktiva berdomisili
  • lembar ke-4 dan ke-5 disimpan oleh Bank Kreditor dan atau BPPN untuk kemudian diberikan kepada PKP Pembeli sebenarnya
2) Pada saat terjadinya penyerahan dari Bank Kreditor dan atau BPPN dan atau melalui Juru Lelang kepada pembeli sebenarnya.
  1. tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak Standar.
  2. PPN yang terutang atas penyerahan BKP tersebut dihitung dari harga jual dan atau harga lelang dan disetor seluruhnya dengan menggunakan SSP tersendiri dan dilakukan oleh PKP pembeli.
Dalam mengisi SSP untuk PPN yang disetor oleh PKP pembeli, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
  1. pada kolom nama dan alamat diisi nama dan alamat Bank Kreditor dan atau BPPN yang menyerahkan BKP tersebut.
  2. pada kolom NPWP diisi dengan angka 0 (nol) pada 8 (delapan) digit pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP pembeli bertempat tinggal atau berkedudukan.
  3. pada kolom "Wajib Pajak/Penyetor" disudut kanan bawah diisi nama, cap dan NPWP pembeli BKP tersebut.
3) Penyetoran dilakukan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP.

Produk Rekaman Suara dan/atau Gambar yang Dikenakan PPN dengan Ketentuan Umum

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang terutang atas penyerahan produk rekaman suara, berupa:

  1. Produk rekaman suara yang berisi materi buku pelajaran umum, pelajaran bahasa, atau pelajaran agama;
  2. Laser disc karaoke (LD.K);
  3. Digital versatile disc karaoke (DVD.K);

Dipungut dan disetor sesuai dengan ketentuan umum PPN.

Dasar Pengenaan Pajak
(UU Nomor 42 Tahun 2009 s.t.d.t.d UU Nomor 7 Tahun 2021 jo. SE-22/PJ.51/2002)

Sesuai dengan Pasal 1 angka 18 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, Dasar Pengenaan Pajak atas penyerahan tanah dan/atau bangunan adalah harga jual, yaitu nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk PPN yang dipungut menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pengenaan PPN atas penyerahan tanah dan/atau bangunan, mulai tanggal 1 Juni 2002 dikembalikan sesuai dengan mekanisme dan Dasar Pengenaan Pajak secara umum berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai, yaitu 10% dari harga jual dengan tidak lagi memperhitungkan faktor pengurangan sebesar 20% dari harga jual tanah.

DPP atas PKP Real Estate dan Industrial Estate (SE 22/PJ.51/2002 jo. S-1376/PJ.3/1986)

-  DPP atas Penyerahan Tanah Matang (Kavling) = 80% x Harga Jual Tanah Matang
  PPN yang terutang = 10% x 80% x Harga Jual Tanah Matang
= 8% x Harga Jual Tanah Matang
- DPP atas Penyerahan Bangunan beserta Tanahnya = (80% x Harga Jual Tanah) + Harga Jual Bangunan
  PPN yang Terutang = (8% x Harga Jual Tanah) + (10% x Harga Jual Bangunan)

Berdasarkan UU No.7 Tahun 2021, Dimulai pada tanggal 1 April 2022 besarnya tarif PPN yang terutang adalah sebesar 11% (sebelas persen) dan 12% (duabelas persen) pada 1 Januari 2025.

PPN Atas Jasa Keagenan

  1. atas penyerahan jasa keagenan oleh perusahaan jasa keagenan kepada Pemungut PPN, pajak yang terutang dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pemungut PPN.
  2. atas penyerahan jasa keagenan oleh Pemungut PPN kepada Pemungut PPN, pajak yang terutang dipungut, disetor dan dilaporkan oleh Pemungut PPN yang melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak.
  3. atas penyerahan jasa keagenan kepada perusahaan angkutan yang bukan Pemungut PPN, pajak yang terutang dipungut, disetor dan dilaporkan oleh perusahaan jasa keagenan.

Dasar Pengenaan Pajak atas jasa keagenan adalah jumlah imbalan jasa keagenan yang diterima atau seharusnya diterima oleh perusahaan jasa keagenan. Besarnya PPN yang terutang adalah 10% (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak tersebut.

Penegasan ini berlaku untuk penyerahan jasa keagenan penjualan tiket angkutan darat, angkutan udara dan angkutan laut termasuk angkutan sungai dan danau.

Berdasarkan UU No.7 Tahun 2021, Dimulai pada tanggal 1 April 2022 besarnya tarif PPN yang terutang adalah sebesar 11% (sebelas persen) dan 12% (duabelas persen) pada 1 Januari 2025.

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-22/PJ.51/2002 Tentang Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Tanah dan/atau Bangunan oleh Pengusaha Bidang Real Estat dan Industrial Estat
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-11/PJ.53/2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Penyelenggara Kegiatan (Event Organizer)

Perlakuan bagi Pengalihan Aktiva yang Dilakukan dalam Masa Peralihan (1 Januari 1998 s/d 27 Mei 1999)
(KEP-546/PJ/2000 jo. SE-12/PJ.54/1999)

Perlakuan bagi pengalihan aktiva yang dilakukan dalam masa peralihan, yaitu masa 1 Januari 1998 sampai dengan 27 Mei 1999, adalah sebagai berikut :

a)   Pada saat terjadinya penyerahan sementara (sesuai dengan ketentuan pada butir 4.1.)
b) Pada saat terjadinya penyerahan dari Bank Kreditor dan atau BPPN dan atau melalui Juru Lelang kepada pembeli sebenarnya.
  1. Atas pengalihan tersebut terutang PPN
  2. Tidak perlu dibuatkan Faktur Pajak Standar
  3. Nilai Jual atau Penggantian dari pengalihan aktiva tersebut sudah termasuk PPN, sehingga perhitungan PPN yang terutang atas pengalihan aktiva tersebut adalah sebesar 10/110 X Nilai Jual/Penggantian.
  4. PPN yang terutang atas pengalihan aktiva tersebut disetor seluruhnya dengan menggunakan SSP tersendiri dan dilakukan oleh Bank Kreditor dan atau BPPN. Dalam mengisi SSP untuk PPN yang disetor oleh Bank Kreditor dan atau BPPN, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
    1. Pada kolom nama dan alamat diisi nama dan alamat Bank Kreditor dan atau BPPN yang menyerahkan BKP tersebut Q.Q PKP Pembeli.
    2. Pada kolom NPWP diisi dengan angka 0 (nol) pada 8 (delapan) digit pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak tempat PKP pembeli bertempat tinggal atau berkedudukan.
    3. Pada kolom "Wajib Pajak/Penyetor" disudut kanan bawah diisi nama dan cap Bank Kreditor dan atau BPPN.
c)  Bagi Pembeli :
  1. PPN yang terutang tersebut dapat dikreditkan sepanjang memenuhi pasal 9 ayat (9) UU PPN tahun 1994. (Bukti asli SSP dianggap sebagai Faktur Pajak)
  2. Harus dilaporkan dalam SPT Masa PPN untuk masa pajak saat terjadinya pengalihan aktiva tersebut. Apabila masa terjadinya telah lewat, maka PKP Pembeli harus memperbaiki SPT Masa PPN dengan berpedoman pada Pasal 8 UU KUP Tahun 1994.

Ulasan Perlakuan PPN atas Restrukturisasi Perusahaan lebih lengkap dapat dilihat di Buku Panduan Tentang Perlakuan Perpajakan atas Restrukturisaasi Perusahaan (lampiran SE-23/PJ.42/1999)

Dasar Pengenaan Pajak
  1. Biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh Pengusaha Jasa Penyelenggara kegiatan kepada pengguna jasa penyelenggara kegiatan.
  2. Imbalan yang diperoleh dari kegiatan tersebut termasuk bagi hasil.
  3. Biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha jasa penyelenggara kegiatan kepada pengguna jasa penyelenggara kegiatan karena pembatalan pemesanan kegiatan oleh pengguna jasa penyelenggara kegiatan.

PPN atas Jasa Perdagangan
(SE-145/PJ/2010)

Penyerahan jasa perdagangan dikenai PPN dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di dalam Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut :

  1. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean;
  2. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual dapat berada di dalam atau di luar Daerah Pabean;
  3. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean;
  4. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean; atau
  5. pengusaha jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean, sedangkan penjual barang dan pembeli barang yang salah satunya adalah penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean.

Sedangkan pemanfaatan jasa perdagangan dari luar Daerah Pabean yang dikenai PPN adalah dalam hal kegiatan pemanfaatan jasa perdagangan tersebut dilakukan di dalam Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut :

  1. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan dan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean;
  2. pengusaha jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan dan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean;
  3. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean; atau
  4. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di dalam Daerah Pabean.

Jasa perdagangan tidak dikenai PPN dalam hal penyerahan jasa perdagangan dilakukan di luar Daerah Pabean, dengan kondisi-kondisi sebagai berikut :

  1. pengusaha jasa perdagangan dan penjual barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan pembeli barang berada di dalam Daerah Pabean; atau
  2. pengusaha jasa perdagangan dan pembeli barang selaku penerima jasa perdagangan berada di luar Daerah Pabean, sedangkan penjual barang berada di dalam Daerah Pabean.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan).

Pengertian
(UU Nomor 7 Tahun 2021 Pasal 16B jo. SE-121/PJ/2010)

Pasal 16B ayat (1a) huruf j UU PPN mengatur bahawa jasa keuangan adalah termasuk dalam jenis jasa yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Penjelasan Pasal tersebut menyatakan bahwa jasa keuangan meliputi :

  1. jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
  2. jasa menempatkan dana, meminjamkan dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
  3. jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa :
    1) sewa guna usaha dengan hak opsi;
    2) anjak piutang;
    3) usaha kartu kredit; dan/atau
    4) pembiayaan konsumen;
  4. jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
  5. jasa penjaminan

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (UU Perbankan), mengatur bahwa    :

  1. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
  2. memberikan kredit;
  3. menerbitkan surat pengakuan utang;
  4. membeli, menjual atau menjamin atas risiko sendiri maupun untuk kepentingan dan atas perintah nasabahnya :
    1) surat-surat wesel termasuk wesel yang diakseptasi oleh bank yang masa berlakunya tidak lebih lama daripada kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
    2) surat pengakuan utang dan kertas dagang lainnya yang masa berlakunya tidak lebih lama dari kebiasaan dalam perdagangan surat-surat dimaksud;
    3) kertas perbendaharaan negara dan surat jaminan pemerintah;
    4) Sertifikat Bank Indonesia (SBI);
    5) obligasi
    6) surat dagang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun;
    7) instrumen surat berharga lain yang berjangka waktu sampai dengan 1 (satu) tahun
  5.  memindahkan uang baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah;
  6. menempatkan dana pada, meminjam dana dari, atau meminjamkan dana kepada bank lain, baik dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek atau sarana lainnya;
  7. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan perhitungan dengan atau antar pihak ketiga;
  8. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga;
  9. melakukan kegiatan penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu kontrak;
  10. melakukan penempatan dana dari nasabah kepada nasabah lainnya dalam bentuk surat berharga yang tidak tercatat di bursa efek;
  11. melakukan kegiatan anjak piutang, usaha kartu kredit dan kegiatan wali amanat;
  12. menyediakan pembiayaan dan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
  13. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan oleh bank sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Perlakuan Perpajakan Perbankan

Jenis layanan oleh Bank antara lain:

1. Simpanan, berupa tabungan, deposito, dan giro serta bentuk simpanan lainnya.
atas kegiatan bank dalam menghimpun dana berupa simpanan, merupakan JKP tertentu bersifat strategis yang dibebaskan PPN.
2. Pinjaman, berupa kredit usaha produktif, Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Sindikasi, Kredit Proyek, serta pinjaman lainnya.
atas kegiatan bank dalam menyalurkan dana berupa pinjaman, merupakan JKP tertentu bersifat strategis yang dibebaskan PPN.
3. Layanan Bisnis dan Korporasi, meliputi
a)  Modul penerimaan Negara Generasi Kedua (MPN G2), menerima setoran terkait penerimaan negara meliputi penerimaan pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun penerimaan bea dan cukai, yang harus masuk ke kas negara melalui sistem MPN.

Berdasarkan ketentuan, Pemerintah (Kementerian Keuangan) memberikan imbalan jasa pelayanan terkait dengan kerja sama dalam pemberian layanan penyetoran penerimaan negara. Tarif imbalan jasa pelayanan yang diberikan kepada lembaga persepsi lainnya lebih murah dibandingkan imbalan jasa pelayanan yang dibayarkan kepada bank persepsi. Untuk lembaga persepsi lainnya, Kementerian Keuangan membayarkan sebesar Rp2.000 per transaksi yang berhasil divalidasi dengan Nomor Transaksi Lainnya (NTL) dan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN). Sedangkan untuk bank persepsi, imbalan jasa pelayanan yang dibayarkan sebesar Rp5.000 per transaksi yang berhasil divalidasi dengan Nomor Transaksi Bank (NTB) dan NTPN

Atas jasa Modul penerimaan Negara Generasi Kedua (MPN G2) yang dilakukan Bank, terutang PPN.
b)  Safe Deposit Box, sarana untuk menyimpan dan mengamankan barang-barang berharga. Atas Jasa penyewaan Safe Deposit Box, terutang PPN
c) Bancassurance, merupakan asuransi jiwa yang memberikan garansi perlindungan dengan berbagai manfaat dan pilihan investasi. atas komisi sehubungan dengan asuransi yang dibayarkan oleh nasabah karena produk asuransi dibeli oleh nasabah, terutang PPN.
Pengertian & Istilah
(SE-11/PJ.53/2003)
  1. Jasa penyelenggaraan kegiatan (event organizer) adalah kegiatan usaha yang dilakukan oleh Pengusaha Jasa Penyelenggara Kegiatan antara lain kegiatan berupa penyelenggaraan pameran, pameran konvensi, pergelaran musik, pesta, seminar, peluncuran produk, konferensi pers, dan kegiatan lain yang memanfaatkan jasa penyelenggaraan kegiatan, termasuk di dalamnya yang mendukung kegiatan tersebut baik atas permintaan dari pengguna jasa penyelenggara kegiatan maupun diselenggarakan sendiri oleh Pengusaha Jasa Penyelenggara Kegiatan;
  2. Kegiatan lainnya adalah kegiatan lain dalam bentuk apa pun yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan, misalnya talk show, penarikan undian, fashion show, ajang lomba, dan sejenisnya;
  3. Kegiatan yang mendukung keterselenggaraan suatu kegiatan adalah suatu kegiatan baik sebelum, sesudah, maupun pada saat keterselenggaraan kegiatan, misalnya, pemesanan gedung, penyediaan ruangan, persiapan interior, penyediaan sound system, penyediaan penari latar, dan sebagainya yang memanfaatkan jasa penyelenggara kegiatan;
  4. Pengguna Jasa Penyelenggara Kegiatan adalah Orang Pribadi atau Badan termasuk Orang Asing serta Badan Hukum Asing yang menerima atau memanfaatkan jasa penyelenggaraan kegiatan di dalam daerah pabean;
  5. Atas penyerahan jasa penyelenggara kegiatan tersebut dikenai PPN;
  6. Atas pemanfaatan jasa penyelenggara kegiatan yang berasal dari luar daerah pabean, di dalam daerah pabean dikenai PPN;
  7. Dalam hal terjadi pembatalan pemesanan kegiatan oleh pengguna jasa penyelenggaraan kegiatan dan dikenai biaya pembatalan atau sejenisnya, atas biaya tersebut dikenai PPN;
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-01/PJ.32/2000 Tentang Penegasan PPN atas Jasa Keagenan (Penjualan Tiket)
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-145/PJ/2010 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai atas Jasa Perdagangan.

Pengertian
(SE-145/PJ/2010)

Jasa perdagangan adalah jasa yang diberikan oleh orang atau badan kepada pihak lain, dengan menghubungkan pihak lain tersebut kepada pembeli barang pihak lain itu, atau menghubungkan pihak lain tersebut kepada penjual barang yang akan dibeli pihak lain itu. Dengan demikian, jasa perdagangan dapat berupa jasa perantara, jasa pemasaran, dan jasa mencarikan penjual atau pembeli.

Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 63/PMK.03/2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Hasil Tembakau
Dasar Hukum
  1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 182/PMK.03/2007 tentang Tata Cara Pelaporan Surat Pemberitahuan Masa bagi Wajib Pajak dengan Kriteria Tertentu yang Dapat Melaporkan Beberapa Masa Pajak dalam Satu Surat Pemberitahuan Masa.
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9/PMK.03/2018 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2014 Tentang Surat Pemberitahuan (SPT).
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/PJ./2022 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai Bagi Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Selain Instansi Pemerintah Dan Bagi Pihak Lain.
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25PJ/2014 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-44PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, Dan Tata Cara Pengisian Serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).
  7. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-02/PJ/2019 tentang Tata Cara Penyampaian, Penerimaan, Dan Pengolahan Surat Pemberitahuan.
  8. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
  9. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-10/PJ/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-45/PJ/2010 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) bagi Pengusaha Kena Pajak yang Menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan.
  10. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN).

DPP dan Tarif
(63/PMK.03/2022)

Pajak Pertambahan Nilai yang dikenakan atas penyerahan Hasil Tembakau dihitung dengan cara mengalikan tarif Pajak Pertambahan Nilai dengan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak.

Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

  1. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penetapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Nilai Lain sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan formula sebesar 100/(100+t) dikali Harga Jual Eceran Hasil Tembakau, untuk penyerahan Hasil Tembakau, dengan ketentuan t merupakan angka pada tarif Pajak Pertambahan Nilai.

Berdasarkan tarif Pajak Pertambahan Nilai dari Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak, Pajak Pertambahan Nilai atas penyerahan Hasil Tembakau terutang berdasarkan pembulatan dihitung sebesar:

  1. 9,9 % (sembilan koma sembilan persen) dikali Harga Jual Eceran Hasil Tembakau, untuk penyerahan Hasil Tembakau yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. 10,7% (sepuluh koma tujuh persen) dikali Harga Jual Eceran Hasil Tembakau, untuk penyerahan Hasil Tembakau yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.

Reimbursement Perolehan BKP Dan/Atau JKP Kepada Kontraktor Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi
(158/PMK.02/2016 jo.119/PMK.02/2019)

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak atau nilai berupa uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.

Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan indonesia untuk pelaksanaan eksplorasi dan eksploitasi.

First Tranche Petroleum yang selanjutnya disingkat FTP adalah sejumlah tertentu minyak mentah dan/atau gas bumi yang diproduksi dari suatu wilayah kerja dalam satu tahun kalender, yang dapat diambil dan diterima oleh SKK Migas dan/atau Kontraktor dalam tiap tahun kalender, sebelum dikurangi pengembalian biaya operasi dan penanganan produksi (own use).

Kontraktor yang mengoperasikan Wilayah Kerja memiliki hak memperoleh Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM atas perolehan barang kena pajak dan/atau jasa kena pajak. Hak memperoleh Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM tersebut dapat diajukan oleh Kontraktor setelah setoran Bagian Negara diterima di rekening kas negara.

Bagian Negara yang dimaksud adalah berupa setoran FTP dan/atau Equity dari Kontraktor sebagaimana diatur dalam Kontrak Kerja Sama.

Jumlah pengajuan permintaan Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM tidak melampaui jumlah Bagian Negara yang telah disetorkan oleh Kontraktor

Dalam hal Kontrak Kerja Sama mengatur Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM menggunakan Bagian Negara tidak termasuk FTP, Nilai Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM kepada Kontraktor paling tinggi hanya sebesar Equity.

Kontraktor dapat mengajukan permintaan Pembayaran Kembali (Reimbursement) PPN atau PPN dan PPnBM kepada SKK Migas atas jumlah PPN atau PPN dan PPnBM yang telah disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi/pos persepsi, dilengkapi dengan dokumen:

  1. asli atau fotokopi Surat Setoran Pajak yang telah mendapatkan NTPN, NTB/NTP, atau fotokopi Surat Setoran Pajak yang diberi cap dan tandatangan bank persepsi/pos persepsi untuk Surat Setoran Pajak elektronik; dan
  2. Surat konfirmasi penerimaan negara yang diterbitkan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara setempat, dalam hal Kontraktor menyetorkan PPN atau PPN dan PPnBM tidak menggunakan billing system; dan
  3. asli surat keterangan fiskal.
Ketentuan Bentuk dan Pengisian SPT

Ketentuan SPT Masa PPN 1111 SPT Masa PPN 1111 DM

Bentuk

  • Kertas Folio/F4; berat minimal 70 gram
  • Pengaturan ukuran kertas pada printer menggunakan ukuran kertas 8,5 x 13 inchi (215 x 330 mm)
  • Kertas Folio/F4; berat minimal 70 gram
  • Pengaturan ukuran kertas pada printer menggunakan ukuran kertas 8,5 x 13 inchi (215 x 330 mm)

Printer

  • Formulir kertas (hard copy); atau
  • Data elektronik, yang disampaikan dalam media elektronik; atau melalui e-Filing

Tidak menggunakan printer dotmatrix

Larangan PKP yang telah menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk data elektronik, tidak diperbolehkan lagi untuk menyampaikan SPT Masa PPN 1111 dalam bentuk formulir kertas (hard copy) PKP yang telah menyampaikan SPT Masa PPN 1111 DM dalam bentuk data elektronik, tidak diperbolehkan lagi untuk menyampaikan SPT Masa PPN 1111 DM dalam bentuk formulir kertas (hard copy)
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan 158/PMK.02/2016 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 218/PMK.02/2014 Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak Kepada Kontraktor Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi
  3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.02/2019 Tentang Tata Cara Pembayaran Kembali (Reimbursement) Pajak Pertambahan Nilai Atau Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Perolehan Barang Kena Pajak Dan/Atau Jasa Kena Pajak Kepada Kontraktor Dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas Bumi

Jenis SPT Masa PPN

a. SPT Masa PPN 1111

Digunakan oleh PKP yang menggunakan mekanisme Pajak Masukan dan Pajak Keluaran (Normal, terdiri dari:
  1. Induk SPT Masa PPN 1111 – Formulir 1111; dan
  2. Lampiran SPT Masa PPN 111:
    1. Formulir 1111 AB – Rekapitulasi Penyerahan dan Perolehan
    2. Formulir 1111 A1 – Daftar Ekspor BKP berwujud, BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP
    3. Formulir 1111 A2 – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak
    4. Formulir 1111 B1 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Impor BKP dan Pemanfaatan BKP Tidak Berwujud/JKP dari Luar Daerah Pabean
    5. Formulir 1111 B2 – Daftar Pajak Masukan yang Dapat Dikreditkan atas Perolehan BKP/JKP Dalam Negeri
    6. Formulir 1111 B3 – Daftar Pajak Masukan yang Tidak Dapat Dikreditkan atau Mendapat Fasilitas
Pembetulan SPT Masa 111
  • SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dalam bentuk data elektronik, SPT Masa PPN Pembetulan dilampiri dengan Lampiran SPT;
  • SPT Masa PPN 1111 yang disampaikan dalam bentuk formulir kertas (hard copy), SPT Masa PPN Pembetulan cukup dilampiri dengan Lampiran SPT yang dibetulkan.
 
b. SPT Masa PPN 1111 DM

Kriteria PKP yang dapat menggunakan SPT 1111 DM (pedoman penghitungan pengkreditan PM untuk menghitung PM yang dapat dikreditkan):

  • PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran dan PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran;
  • PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi Rp 1,8 Milyar dapat memilih untuk menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan PM untuk menghitung PM yang dapat dikreditkan.

Besarnya PM yang dapat dikreditkan yang dihitung dengan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan PM adalah sebagai berikut:

  • Bagi PKP yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas secara eceran sebesar 90% dari PK;
  • Bagi PKP yang melakukan penyerahan emas perhiasan secara eceran sebesar 80% dari PK
  • Bagi PKP yang mempunyai peredaran usaha dalam 1 tahun buku tidak melebihi Rp 1,8 Milyar adalah sebesar:
  • 0% dari PK untuk penyerahan JKP;
  • 70% dari PK untuk penyerahan BKP

Pada prinsipnya PKP yang menggunakan Deemed PM akan selalu mengalami Kurang Bayar, namun PKP masih dimungkinkan mengalami Lebih Bayar, antara lain apabila:

  • PKP melakukan pembetulan SPT yang menyebabkan peredaran usaha menjadi lebih kecil; atau
  • Terdapat nota retur atau nota pembatalan yang jumlahnya lebih besar daripada jumlah penyerahan dalam masa pajak yang bersangkutan; atau
  • Terdapat PM hasil kompensasi dari Masa Pajak sebelumnya, namun hanya untuk LB masa sebelumnya PKP tersebut menggunakan Deemed PM. Dengan demikian, apabila LB tersebut berasal dari Masa Pajak pada saat PKP tersebut menggunakan mekanisme normal, kelebihan tersebut tidak dapat dikompensasikan.

Sesuai mekanisme Deemed PM, PKP tidak diperkenankan untuk mengkreditkan PM atas perolehan barang (termasuk barang modal) atau jasa yang diterima, sehingga PKP tersebut:

  • Tidak akan pernah melakukan perhitungan kembali PM yang telah dikreditkan (dalam hal barang modal tersebut digunakan untuk penyerahan yang terutang dan tidak terutang PPN); dan
  • Tidak akan pernah mengalami skema gagal berproduksi

SPT Masa 1111 DM:

  • Induk SPT Masa PPN 1111 DM – Formulir 1111 DM
  • Formulir 1111 A DM – Daftar Pajak Keluaran atas Penyerahan Dalam Negeri dengan Faktur Pajak
  • Formulir 1111 R DM – Daftar Pengembalian BKP dan Pembatalan JKP oleh PKP yang menggunakan Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan (kedua lampiran di atas lebih ditujukan untuk kepentingan konfirmasi)
 
c. SPT Masa PPN 1107 PUT

SPT Masa PPN 1107 PUT ini khusus untuk pemungut PPN. Pemungut PPN adalah Bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang oleh Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) kepada Bendaharawan Pemerintah, badan, atau instansi Pemerintah tersebut.
SPT Masa PPN 1107 PUT terdiri dari :

  1. Induk SPT - Formulir 1107 PUT (F.1.2.32.02);
  2. Lampiran SPT Masa PPN 1107 PUT
    1. Lampiran 1 Daftar PPN dan PPnBM yang Dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah – Formulir 1107 PUT 1 (D.1.2.32.03);
    2. Lampiran 2 Daftar PPN dan PPnBM yang Dipungut oleh Selain Bendaharawan Pemerintah - Formulir 1107 PUT 2 (D.1.2.32.04)

Dalam hal SPT dilaporkan NIHIL karena Pemungut PPN tidak melakukan pemungutan PPN atau PPN dan PPnBM, maka Lampiran SPT tidak perlu disampaikan.

PPN Atas Kendaraan Bermotor Bekas

Pengertian Kendaraan Bermotor Bekas

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, menyatakan bahwa ”Kendaraan Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel.”

Adapun Kendaraan Bermotor dikelompokkan berdasarkan jenisnya yaitu sebagai berikut:

  1. sepeda motor
  2. mobil
  3. mobil penumpang,
  4. mobil bus
  5. mobil barang
  6. kendaraan khusus

Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 KEP-238/PJ./2002, bahwa:
“Kendaraan bermotor Bekas adalah kendaraan bermotor baik beroda dua atau lebih atau yang kondisinya bukan baru, telah terdaftar pada instansi yang berwenang atau memiliki nomor polisi.”

Subjek PPN atas Kendaraan Bermotor Bekas
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu berupa penyerahan kendaraan bermotor bekas yang merupakan pedagang yang melakukan penyerahan kendaraan bermotor bekas

Kewajiban PKP atas Kendaraan Bermotor Bekas

  1. Memungut pajak yang terutang
  2. Menerbitkan Faktur Pajak untuk setiap Penyerahan BKP dan/atau JKP
  3. Menyetorkan PPN yang kurang bayar
  4. Melaporkan penghitungan pajak dalam SPT Masa PPN

Dasar Pengenaan Pajak
DPP atas kendaraan bermotor bekas adalah harga jual.

“Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak.”

Tarif PPN

Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha tertentu berupa penyerahan kendaraan bermotor bekas wajib memungut dan menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan kendaraan bermotor bekas dengan besaran tertentu.

Besaran tertentu diperoleh dari -->10% x tarif PPN x Harga Jual.

Tarif efektif:

• Berlaku sejak tanggal 1 April 2022:
1,1%  (10% x 11%)
• Berlaku paling lambat 1 Januari 2025:
1,2% (10% x 12%)

    
Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan

PKP kendaraan bermotor bekas yang dalam suatu Masa Pajak melakukan:

  1. penyerahan yang terutang PPN dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan dimaksud dapat dikreditkan; dan
  2. penyerahan yang terutang PPN dan Pajak Masukan yang berkenaan dengan penyerahan dimaksud tidak dapat dikreditkan dan/atau penyerahan yang tidak terutang PPN.

Pajak Masukan dapat dikreditkan

Pajak Masukan atas perolehan BKP atau JKP, impor BKP, serta pemanfaatan BKP tidak berwujud dan/atau pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam Daerah Pabean, yang berhubungan dengan penyerahan kendaraan bermotor bekas oleh PKP yang melakukan kegiatan usaha tertentu berupa penyerahan kendaraan bermotor bekas, tidak dapat dikreditkan.

Contoh Penghitungan

Bapak Ali melakukan kegiatan usaha berupa jual beli mobil bekas. Kegiatan usaha tersebut sudah berjalan sejak tahun 2019. Namun, peredaran bruto Bapak Ali selama tahun 2019 dan tahun 2021 masih dibawah Rp4.800.000.000,00. Kemudian, selama tahun 2021 omzet atas penjualan mobil bekas pada bulan Januari 2022 s.d. Mei  2022 mencapai Rp 4,5 miliar. Sementara omzet bulan Juni 2022 adalah Rp 400 Juta.

Pada tanggal 8 Agustus Bapak Ali melakukan penyerahan mobil bekas yaitu mobil Kijang Innova seharga Rp367.800.000,00 kepada CV Jaya Makmur Abadi. Kemudian, dalam rangka memperingati HUT RI ke-77, Bapak Ali membuat kebijakan potongan harga atau diskon selama penjualan di bulan Agustus 2022. Diskon tersebut diberikan sebesar 2% dari harga jual.

Maka PPN yang terutang atas penyerahan mobil bekas tersebut adalah

DPP = Harga Jual - Potongan Diskon
= Rp367.800.000 - (2% x  Rp367.800.000)
= Rp367.800.000 - Rp7.356.000
= Rp360.444.000
PPN Terutang = 10% x 11% x DPP
= 10% x 11% x Rp360.444.000
= 1,1% x Rp360.444.000
= Rp3.964.884

    
     


Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan
Definisi
(63/PMK.03/2022)
  1. Hasil Tembakau adalah Hasil Tembakau yang meliputi sigaret, cerutu, rokok daun, tembakau iris, rokok elektrik, dan hasil pengolahan tembakau lainnya, dengan tidak mengindahkan digunakan atau tidak bahan pengganti atau bahan pembantu dalam pembuatannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
  2. Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut Produsen adalah orang pribadi atau badan hukum yang mengusahakan pabrik Hasil Tembakau dan memenuhi persyaratan sebagai pengusaha pabrik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
  3. Importir Barang Kena Cukai berupa Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut Importir adalah orang pribadi atau badan hukum yang memasukkan barang kena cukai berupa Hasil Tembakau ke dalam daerah pabean.
  4. Pengusaha Penyalur Hasil Tembakau yang selanjutnya disebut Pengusaha Penyalur adalah orang pribadi atau badan hukum yang menyalurkan atau menjual Hasil Tembakau, termasuk yang menjual secara eceran kepada konsumen akhir.
  5. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
  6. Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah harga jual, penggantian, nilai impor, nilai ekspor, atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
  7. Nilai Lain adalah nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
  8. Harga Jual Eceran adalah harga yang ditetapkan sebagai dasar penghitungan besarnya cukai.
  9. Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

PPN atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto

DPP dan Tarif PPN atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto

Dikenakan pada pembeli/penerima Aset Kripto

DPP = Nilai Transaksi

Tarif PPN:

  • 0,11% = Jika Exchanger terdaftar di Bappebti
  • 0,22 = Jika Exchanger tidak terdaftar di Bappebti

Contoh Penghitungan
 

  • Penjual A menjual satu unit Koin B seharga Rp12.000.000 ke Pembeli-B
  • Transaksi dilakukan di exchanger X, sebuah platform pedagang fisik aset kripto (PFAK) yang terdaftar di Bappebti

Exchanger X memungut:

  • PPN dari Pembeli B: Rp12.000.000 x 0,11% = Rp13.200
  • PPh Pasal 22 dari Penjual A: Rp12.000.000 x 0,1% = Rp12.000

Catatan:

  • Dalam transaksi swap, kedua belah pihak menjadi penjual dan juga pembeli. Jadi tiap pihak dikenai PPN dan PPh.
  • Jika exchanger bertindak sebagai penjual/pembeli, maka ketentuan pajaknya sama dengan ketentuan transaksi perdagangan aset kripto. Sederhananya, pihak yang melepas aset kripto adalah penjual (kena PPh) dan pihak yang menerima adalah pembeli (kena PPN).

Pajak Masukan (PM) sehubungan penyerahan Aset Kripto tidak dapat dikreditkan Penjual.

Pajak Masukan
(63/PMK.03/2022)

(1) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sehubungan dengan penyerahan Hasil Tembakau oleh Produsen dan/atau lmportir dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(2) Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, serta pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean sehubungan dengan penyerahan Hasil Tembakau oleh Pengusaha Penyalur tidak dapat dikreditkan.

 

Pendahuluan

Latar Belakang Diluncurkannya e-Faktur

Yang mendasari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) membuat aplikasi ini adalah karena memperhatikan masih terdapat penyalahgunaan Faktur Pajak, diantaranya wajib pajak non Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerbitkan faktur pajak padahal tidak berhak menerbitkan faktur pajak, faktur pajak yang terlambat diterbitkan, faktur pajak fiktif, atau faktur pajak ganda. Juga karena beban administrasi yang begitu besar bagi pihak DJP maupun bagi PKP.

Keuntungan menggunakan e-Faktur

Bagi Penjual:

Dapat menikmati kemudahan antara lain: tanda tangan basah digantikan dengan tanda tangan elektronik, e-Faktur tidak harus dicetak sehingga mengurangi biaya kertas, biaya cetak, dan biaya penyimpanan, aplikasi e-Faktur sekaligus pembuatan SPT Masa PPN dan memperoleh kemudahan dapat meminta nomor seri Faktur Pajak melalui website Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sehingga tidak perlu lagi datang ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP).

Bagi Pembeli:
Terlindungi dari penyalahgunaan Faktur Pajak yang tidak sah, karena e-Faktur dilengkapi dengan pengaman berupa QR code yang dapat diverifikasi dengan smartphone/HP tertentu yang beredar di pasar. Sehingga PKP pembeli memperoleh kepastian bahwa PPN yang disetor oleh pembeli datanya telah dilaporkan ke DJP oleh pihak penjual.

Aplikasi e-Faktur

Aplikasi atau sistem elektronik yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak berupa:

  1. Aplikasi e-Faktur Client Desktop;
  2. Aplikasi e-Faktur Web Based; atau
  3. Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H).

Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H) dilakukan melalui 2 (dua) cara:

  1. dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur; atau
  2. dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur melalui Penyelenggara e-Faktur Host-to-Host (H2H).

Pengusaha Kena Pajak yang menggunakan Aplikasi e-Faktur Host-to-Host (H2H) atau Penyelenggara e-Faktur Host-to-Host (H2H) ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak yang diterbitkan berdasarkan permohonan tertulis dan setelah dilakukan pengujian sistem (User Acceptance Test/UAT) oleh Direktorat Jenderal Pajak.

Ketentuan Umum
(63/PMK.03/2022)

Atas penyerahan Hasil Tembakau yang dibuat di dalam negeri oleh Produsen atau Hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri oleh Importir, dikenai Pajak Pertambahan Nilai.

Dalam hal PPN atas Hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri telah dilunasi, atas impor Hasil Tembakau yang dibuat di luar negeri dimaksud tidak dikenai PPN Impor.

Atas impor Hasil Tembakau yang memperoleh fasilitas cukai tidak dipungut atau pembebasan cukai, dikenai PPN impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

PPN atas Jasa Verifikasi Transaksi (Mining) Aset Kripto

Miners melakukan kegiatan layanan verifikasi transaksi aset kripto dan mendapat insentif berupa:

  • penghasilan dari sistem Aset Kripto berupa block reward, imbalan atas jasa pelayanan verifikasi transaksi (transaction fee), imbalan atas jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool), atau penghasilan lain dari sistem Aset Kripto; dan/atau
  • penghasilan lainnya.

DPP dan Tarif PPN atas Jasa Verifikasi Transaksi (Mining) Aset Kripto

Dikenakan pada pembeli/penerima Aset Kripto

DPP = nilai konversi aset kripto dan jasa mining sudah terdapat verifikasi transaksi aset.

Tarif PPN = 1,1%

Ketentuan Umum

No
Ketentuan
Berdasarkan UU No.1/2020 dan Peraturan
Turunannya (PP N0.19/2021 dan PMK 18/2021)
1. Pajak Masukan yang boleh dikreditkan Atas perolehan BKP atau JKP yang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan 
2. Hak Restitusi Akhir Tahun
3. Batas waktu dinyatakan PKP gagal berproduksi atau PKP belum melakukan penyerahan
  1. Tiga tahun sejak pertama kali mengkreditkan PM bagi PKP yang kegiatan usaha utamanya adalah sektor perdagangan atau penyerahan jasa;
  2. Lima tahun sejak pertama kali mengkreditkan PM bagi PKp yang kegiatan usaha utamanya adalah sektor yang menghasilkan BKP; dan
  3. Enam tahun sejak pertama kali mengkreditkan PM bagi PKP yang sektor usahanua termasuk dalam ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai percepatan pelaksanaan proyek strategi nasional yang mendapatkan penugasan pemeritah
4. Sanksi atas pembayaran Kembali PM yang telah dikreditkan atau dikembalikan karena PKP dianggap mengalami gagal berproduksi atau belum melakukan penyerahan Tidak Ada
5. Konsekuensi jika PKP tidak melakukan pembayaran Kembali PM dalam jangka waktu yang telah ditentukan Ditagih dengan SKPKB berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf f UU KUP
6. Pengecualian kewajiban membayar Kembali PM yang telah dikreditkan Kedaan kahar atau force majeure dengan status bencana nasional yang harus dinyatakan oleh pejabat/instansi yang berwenang
 

Definisi

Keadaan gagal berproduksi adalah apabila dalam jangka waktu tertentu:

  1. PKP dengan kegiatan usaha utama pada sektor perdagangan tidak melakukan kegiatan penyerahan BKP dan/atau ekspor BKP
  2. PKP dengan kegiatan usaha utama pada sektor jasa tidak melakukan kegiatan penyerahan JKP dan/atau ekspor JKP; atau
  3. PKP dengan kegiatan usaha pada sektor yang menghasilkan BKP, tidak melakukan kegiatan penyerahan BKP dan/atau ekspor BKP yang dihasilkan sendiri.

Termasuk dalam kriteria belum melakukan penyerahan apabila dalam jangka waktur tertentu, PKP semata-mata melakukan kegiatan:

  1. Pemakaian sendiri;
  2. Pemberian Cuma-Cuma;
  3. Penyerahan ke cabang, antarcabang, atau penyerahan ke pusat;
  4. Penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan; dan/atau
  5. Penyerahan BKP dan/atau JKP yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan utama PKP.

Objek Pajak Kripto

Pasal 2 PMK 68/2022 disebutkan yang menjadi objek pajak aset kripto atau pengenaan PPN kripto adalah:

  • Penyerahan BKP Tidak Berwujud berupa aset kripto oleh penjual aset kripto
  • Penyerahan JKP berupa jasa penyediaan Sarana Elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan aset kripto, oleh penyelenggara PMSE
  • Penyerahan JKP berupa jasa verifikasi transaksi aset kripto dan/atau jasa manajemen kelompok penambang aset kripto (mining pool) oleh penambang aset kripto
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 62/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Liquefied Petroleum Gas Tertentu
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 68/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto

Pencantuman Identitas Pembeli

e-Faktur harus mencantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang salah satunya paling sedikit memuat: nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak. Dikecualikan dari hal tersebut, bagi pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki

Nomor Pokok Wajib Pajak, maka identitas pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi wajib diisi dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. nama dan alamat pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak diisi dengan nama dan alamat sebagaimana tercantum dalam Kartu Tanda Penduduk atau Paspor; dan
  2. Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak diisi dengan NPWP 00.000.000.0-000- 000 dan wajib mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor Paspor untuk Warga Negara Asing (WNA).

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak Orang Pribadi yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak harus menyampaikan keterangan berupa nama, alamat dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau nomor Paspor untuk Warga Negara Asing (WNA) kepada Pengusaha Kena Pajak yang membuat e-Faktur. Dalam hal Pengusaha Kena Pajak penjual tidak mencantumkan keterangan dan/atau keterangan dalam aplikasi atau sistem elektronik yang telah di tentukan dan/atau disediakan Direktorat Jenderal Pajak, e-Faktur tidak dapat diterbitkan.

Dalam hal e-Faktur diterbitkan dengan tidak mencantumkan keterangan yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan/atau sesungguhnya, e-Faktur tersebut termasuk e-Faktur yang diterbitkan tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya.

Petunjuk Pengisian SPT

Petunjuk pengisian lengkap SPT Masa PPN 1111, 1111 DM dan 1107-PUT dapat dilihat di menu Formulir TaxBase 6.0

Persiapan Penggunaan Aplikasi eFaktur

Aplikasi e-faktur

Dapat diperoleh di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Pengusaha Kena Pajak (PKP) dikukuhkan atau dapat mendownload pada laman:

•   e-Faktur Windows 32 bit, aplikasi bisa di download di
http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Windows_32bit.zip
•   e-Faktur Windows 64 bit, aplikasi bisa di download di
http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Windows_64bit.zip
•   e-Faktur Linux 32 bit, aplikasi bisa di download di
http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Lin32.zip
•   e-Faktur Linux 64 bit, aplikasi bisa di download di
http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Lin64.zip
•   e-Faktur Macinthos 64 bit, aplikasi bisa di download di
http://svc.efaktur.pajak.go.id/installer/EFaktur_Mac64.zip


Persiapan Penggunaan Aplikasi e-faktur

Dalam menggunakan aplikasi e-Faktur Pengusaha Kena Pajak harus melakukan langkah-langkah berikut ini:

  • Telah memiliki Sertifikat Elektronik
  • Menyiapkan komputer, rekomendasi kebutuhan untuk dapat menjalankan aplikasi e-Faktur Pajak adalah
    1. perangkat keras berupa: Processor Dual Core. 3 GB RAM, 50 GB harddisk space, VGA dengan minimal resolusi layar 1024x768, Mouse, dan Keyboard dan
    2. perangkat lunak berupa Sistem Operasi : Linux / Mac OS / Microsoft Windows, Java versi 1.7, dan Adobe Reader
  • Terhubung dengan jaringan internet baik direct connection ataupun proxy
  • Menyiapkan password permintaan Nomor seri Faktur Pajak (e-NOFA)
  • Menyiapkan username penandatangan Faktur Pajak
  • Menyiapkan nomor seri faktur pajak yang telah didapatkan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) atau dari website Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
  • Menyiapkan data transaksi faktur pajak atau menyiapkan data impor sesuai manual user aplikasi.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor PMK-18/PMK.03/2021 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja Di Bidang Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Serta Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak
  4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-03/PJ/2022 tentang Faktur Pajak
  5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-04/PJ/2020 Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, Dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak
  6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-29/PJ/2015 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Pengisian serta Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)
  7. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ/2020 Tentang Tata Cara Penyelesaian Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak

DPP Dan Tarif PPN

DPP dan Tarif PPN atas Penyerahan Pupuk Bersubsisi Untuk Sektor Pertanian

Pengenaan PPN atas Penyerahan Pupuk terbagi menjadi:

  • PPN dibayar oleh Pemerintah atas penyerahan Pupuk Bersubsidi yang bagian harga pupuknya mendapatkan subsidi
  • PPN dibayar oleh pembeli atas penyerahan Pupuk Bersubsidi yang bagian harga pupuknya tidak mendapatkan subsidi

Dasar Pengenaan Pajak:

DPP Nilai Lain:

  • Bagian harga yang mendapatkan subsidi = 100/(100+t) x Jumlah Pembayaran Subsidi
  • Bagian harga yang tidak mendapatkan subsidi = 100/(100+t) x Harga Eceran Tertinggi

t = merupakan angka pada tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku.

Tarif PPN

  • 11% mulai berlaku 1 April 2022; atau
  • 12% mulai berlaku 1 Januari 2025

Contoh Penghitungan

Contoh 1

Pada tanggal 18 Mei 2022, PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai produsen Pupuk Bersubsidi mengajukan permintaan pembayaran subsidi Pupuk Bersubsidi kepada KPA sebesar Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah) atas penyerahan Pupuk Bersubsidi yang telah dilakukan selama bulan April 2022. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku adalah sebesar 11%.

Maka PPN yang terutang atas penyerahan Pupuk Bersubsidi adalah

DPP = 100/(100+t) x Jumlah Pembayaran Subsidi
= 100/111 x Rp100.000.000.000,00
= Rp90.090.090.090,09
PPN = DPP x Tarif
= 11% x Rp90.090.090.090,09
= Rp9.909.909.909,00

  
Contoh 2

Pada tanggaI 19 April 2022, PT Pupuk Indonesia (Persero) sebagai produsen Pupuk Bersubsidi menyerahkan 5.000 ton pupuk Urea (bersubsidi) kepada distributor. Harga eceran tertinggi pupuk Urea yang berlaku sebesar Rp2.250,00 (dua ribu dua ratus lima puluh rupiah) per kilogram. Tarif Pajak Pertambahan Nilai yang berlaku adalah sebesar 11%.

Maka PPN yang terutang atas penyerahan Pupuk Bersubsidi adalah

DPP = 100/(100+t) x Harga Eceran Tertinggi
= 100/111 x 5.000.000 x Rp2.250,00
= Rp10.135.135.135,13
PPN = DPP x Tarif
= 11% x Rp10.135.135.135,13
= Rp1.114.864.864,00
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 65/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Kendaraan Bermotor Bekas

Pajak Masukan

Ketentuan Pengkreditan Pajak Masukan

Sesuai dengan pasal 8 PMK 66/PMK.03/2022 bahwa Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Pupuk Bersubsidi yang dilakukan oleh produsen, dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan pengkreditan Pajak Masukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan

Namun Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak sehubungan dengan penyerahan Pupuk Bersubsidi yang dilakukan oleh distributor dan pengecer tidak dapat dikreditkan.

Penyetoran PPN
(PMK 60/PMK.03/2022)
  1. Pemungut PPN PMSE wajib menyetorkan PPN yang dipungut untuk setiap Masa Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
  2. Penyetoran PPN yang dipungut dilakukan secara elektronik ke rekening kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyetoran pajak secara elektronik.
  3. Pemungut PPN PMSE dapat melakukan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menggunakan:
    1. mata uang Rupiah, dengan kurs yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri yang berlaku pada tanggal penyetoran;
    2. mata uang Dollar Amerika Serikat; atau
    3. mata uang asing lainnya yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak

PPN Atas Jasa Keagamaan

a.   Jenis Jasa Keagamaan Tidak Kena PPN
Berikut jasa perjalanan ibadah keagamaan sebagaimana diatur dalam PMK No. 71 Tahun 2022 yang tidak kena PPN atau bukan merupakan Jasa Kena Pajak (Non-JKP):
1. Jasa Keagamaan
Jasa keagamaan yang tidak kena PPN atau jasa keagamaan yang bukan jasa kena pajak (Non-JKP) meliputi:
  • Jasa pelayanan rumah ibadah
  • Pemberian kotbah
  • Penyelenggaraan kegiatan keagamaan
  • Jasa lainnya di bidang keagamaan
2. Jasa Perjalanan Ibadah Umroh dan lainnya
Jasa perjalanan ibadah umroh dan lainnya merupakan jasa yang tidak kena PPN atau karena jasa perjalanan umroh dan ibadah lainnya ini adalah Non-JKP / bukan merupakan jasa kena pajak.
b. Jasa Perjalanan Ibadah Keagamaan yang Dikenakan PPN
Jika jasa perjalanan haji, umroh dan ibadah lainnya tidak kena PPN, maka jenis jasa perjalanan keagamaan sebagaimana diatur dalam PMK 71/2022 berikut ini dikenakan pajak pertambahan nilai, diantaranya:
•  Tarif PPN Jasa Perjalanan 1,1%
PPN Jasa perjalanan ke tempat lain dalam perjalanan ibadah keagamaan sebesar 1,1% dari harga jual paket penyelenggaraan perjalanan jika tagihan dirinci antara perjalanan ibadah keagamaan dengan perjalanan ke tempat lain
•  Tarif PPN Jasa Perjalanan 0,55%
PPN jasa perjalanan ke tempat lain dalam perjalanan ibadah keagamaan sebesar 0,55% dari keseluruhan tagihan jika tidak dirinci.
  Jadi, ketentuan taif PPN berdasarkan PMK 71/2022 tersebut bukanlah jasa keagamaan untuk ibadah keagamaannya, melainkan jasa perjalanan ke tempat lain dalam hal ini perjalanan wisata di sela-sela perjalanan ibadah keagamaan.
Pemungutan PPN
(PMK 60/PMK.03/2022)

1. Pajak Pertambahan Nilai yang harus dipungut oleh Pemungut Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yaitu:
  1. sebesar 11% (sebelas persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak, yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022; dan
  2. sebesar 12% (dua belas persen) dikalikan dengan dasar pengenaan pajak, yang mulai berlaku pada saat diberlakukannya penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
Dasar pengenaan pajak yaitu sebesar nilai berupa uang yang dibayar oleh Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dilakukan pada saat pembayaran oleh Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa.  

2.

Pemungut PPN PMSE membuat bukti pungut PPN atas PPN yang dipungut, dapat berupa commercial invoice, billing, order receipt, atau dokumen lain yang sejenis, serta menyebutkan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan telah dilakukan pembayaran.

3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud meliputi:   
  1. penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model, rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual, hak kekayaan industrial, atau hak serupa lainnya;
  2. penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah;
  3. penggunaan pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial;
  4. penggunaan bantuan tambahan atau pelengkap dalam penggunaan atau hak menggunakan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan sebagaimana dimaksud pada huruf b, atau pemberian pengetahuan atau informasi sebagaimana dimaksud pada huruf c, berupa:  
    1. penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa;
    2. penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa; dan
    3. penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radio komunikasi;
  5. penggunaan atau hak menggunakan film gambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio; dan
  6. perolehan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual, hak kekayaan industrial, atau hak lainnya sebagaimana dimaksud pada huruf a sampai dengan huruf e.
Pemanfaatan BKP tidak berwujud termasuk pemanfaatan Barang Digital.

4.

Pemanfaatan JKP termasuk pemanfaatan Jasa Digital.

Tanggung Jawab Renteng PPN
(UU Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 16F)

Pengertian

Renteng mengandung arti berendeng atau beruntun-runtun (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Istilah ini digunakan untuk sesuatu yang berurutan. Kata renteng biasanya disatukan dengan kata lain untuk memberikan pengertian baru sesuai dengan kata yang diikutinya. Tidak ada definisi resmi yang dapat dipakai sebagai rujukan dalam menjelaskan kata ini. Untuk kepentingan pembahasan ini, tanggung jawab secara renteng diartikan sebagai pelimpahan beban tanggung jawab secara beruntun kepada pihak berikutnya sesuai urut-urutan. Paling tidak diperlukan dua pihak untuk dapat terlaksananya tanggung jawab renteng.

Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (selanjutnya ditulis UU PPN 1984 perubahan ketiga), tanggung jawab secara renteng tercantum dalam Pasal 16F. Selengkapnya berbunyi sbb:

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.

Penjelasannya menyatakan demikian:

Sesuai dengan prinsip beban pembayaran PPN yang melekat pada pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa. karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

Dari ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa pembeli, yang sesuai dengan karakteristik PPN sebagai pajak atas konsumsi merupakan pemikul beban pajak sesungguhnya, dibebani tanggung jawab secara renteng apabila:

  1. pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa; dan
  2. pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa.

Dengan demikian, tanggung jawab secara renteng pada konteks Pasal 16F adalah pelimpahan beban tanggung jawab pembayaran ke Kas Negara atas pajak terutang, yang timbul akibat penyerahan barang kena pajak (Pasal 4 huruf a) atau penyerahan jasa kena pajak (Pasal 4 huruf c), kepada pembeli yang mestinya menjadi tanggung jawab penjual sebagai akibat pajak terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual dan pembeli tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak.

Ketentuan ini berlaku terhadap objek pajak berdasarkan Pasal 4 huruf a dan huruf c dimana yang menjadi subjek pajak dalam arti yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak penjual.

Ilustrasi:

PT ABC telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang bergerak dalam bidang perdagangan besar komputer, pada tanggal 20 April 2019 menyerahkan 10 unit komputer kepada PT XYZ dengan total Harga Jual Rp70.000.000,00. Atas penyerahan ini terutang PPN sebesar 10% x Rp70.000.000 = Rp7.000.000. Mekanisme umum yang diatur dalam UU PPN 1984 atas transaksi tersebut adalah:

  1. PT ABC menerbitkan Faktur Pajak untuk memungut PPN sebesar Rp7.000.000.
  2. Faktur Pajak terdiri dari dua lembar, yaitu:
    • lembar pertama diberikan kepada PT XYZ sebagai bukti beban pajak yang seharusnya dibayar;
    • lembar kedua menjadi arsip PT ABC sebagai bukti pemungutan pajak.
  3. PT ABC wajib menyetor pajak yang dipungut untuk setiap Masa Pajak ke Kas Negara.
  4. PT XYZ wajib membayar pajak terutang tersebut kepada PT ABC.
  5. Bagi PT XYZ, Faktur Pajak tersebut merupakan bukti formil bagi pengreditan pajak dalam suatu Masa Pajak.

Namun, berdasarkan ketentuan Pasal 16F, apabila PT XYZ tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar maka PT XYZ dibebani tanggung jawab secara renteng atas pajak dimaksud. Sesuai dengan UU KUP perubahan kedua (UU Nomor 16 Tahun 2000), Pasal 33 yang berbunyi:

Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya bertanggungjawab secara renteng atas pembayaran pajak pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar

Penjelasannya:

Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu, sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggungjawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pembeli jasa.

Dalam perubahan ketiga UU KUP yaitu UU Nomor 28 Tahun 2007 yang mulai berlaku 1 Januari 2008, Pasal 33 ini dihapus. Namun dalam UU PPN 1984 perubahan ketiga yang mulai berlaku 1 April 2010 ketentuan mengenai tanggung renteng ini dihidupkan kembali.

Karakteristik PPN Indonesia

Beberapa karakteristik PPN yang berlaku di Indonesia beserta aplikasinya berkaitan dengan tanggung jawab renteng, yaitu:

•    Pajak objektif

Pajak objektif adalah suatu jenis pajak yang saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yang disebut taatbestand. Taatbestand adalah keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang juga disebut dengan nama objek pajak. Sebagai pajak objektif, timbulnya kewajiban untuk membayar Pajak Pertambhan Nilai tidak membedakan antara konsumen berupa orang atau badan, antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan berpenghasilan rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa dari jenis yang sama, mereka diperlakukan sama (Untung Sukardji, 2006).

Yang menjadi subjek pajak dalam pengertian pajak objektif di atas adalah konsumen yaitu selaku pihak yang memikul beban pajak. Dalam pajak objektif kondisi subjektif konsumen tidak dipertimbangkan untuk menentukan suatu peristiwa hukum terutang pajak. Siapapun konsumennya sepanjang peristiwa hukum tersebut merupakan objek pajak maka terhadap konsumen tersebut dikenai pajak yang sama. Lain halnya dengan pajak subjektif seperti Pajak Penghasilan yang kondisi subjektif pihak yang memikul beban pajak menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan pajak terutang. Sebagai contoh Pajak Penghasilan bagi Orang Pribadi berbeda dengan Pajak Penghasilan bagi badan. Demikian pula Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang menikah berbeda dengan Pajak Penghasilan bagi orang pribadi yang bujangan.

•    Pajak atas konsumsi umum dalam negeri

Hakikat PPN di Indonesia adalah pajak atas konsumsi, yaitu pajak yang timbul akibat suatu peristiwa hukum menjadi beban konsumen baik secara yuridis maupun ekonomis. Hal ini berarti, yang dikenai pajak adalah barang-barang atau jasa yang dikonsumsi, bukan barang-barang dalam proses produksi atau dengan kata lain barang-barang atau jasa yang dikonsumsi pada area konsumen akhir. Sepanjang barang-barang itu masih dalam siklus produksi atau distribusi pengenaan PPN pada area itu bersifat sementara yang dapat dilimpahkan kepada pembeli berikutnya melalui mekanisme pengreditan pajak masukan

Pajak Pertambahan Nilai sebagai pajak atas konsumsi tersurat jelas dalam penjelasan atas UU PPN 1984 perubahan terakhir, yaitu pada alenia pertama, yang berbunyi:

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.

Meskipun merupakan pajak atas konsumsi, tidak seperti Pasal 4 (1) huruf b (impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKP tidak berwujud), dan huruf e (pemanfaatan JKP), ketentuan mengenai objek pajak yang diatur dalam Pasal 4 huruf a dan huruf c diuraikan dalam sudut pandang penjual bukan konsumen. Hal ini bisa dimengerti karena yang menjadi subjek pajak dalam arti yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara atas pajak yang terutang untuk Pasal 4 huruf a dan c adalah penjual bukan pembeli. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa ketentuan ini untuk kepentingan administratif bagi asas yang dianut sebagai Pajak Tidak Langsung dan mestinya tidak menjadikannya bias sebagai pajak atas konsumsi.

•    Pajak Tidak Langsung

Untuk membedakan pajak langsung dan pajak tidak langsung dalam konteks bahasan ini perlu kiranya penulis uraikan pengertian subjek pajak. Subjek pajak memiliki dua arti yaitu:

1) Sebagai pemikul beban pajak; dan
2) Penanggung jawab pembayaran pajak terutang ke Kas Negara.

Pada Pajak Penghasilan dua arti ini melekat pada satu pihak yaitu penerima penghasilan. Penerima penghasilan yang berdasarkan UU PPh adalah Wajib Pajak, selain sebagai pemikul beban pajak juga dibebani tanggung jawab atas pembayarannya ke Kas Negara. Lain halnya dalam PPN, khususnya pada pasal-pasal yang menerapkan karakteristik Pajak Tidak Langsung, antara pemikul beban pajak dan penanggungjawab pembayaran ke Kas Negara berada pada pihak yang berbeda.

Pemikul beban pajak adalah konsumen sedangkan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara adalah penjual. Seperti pada ilustrasi di atas, Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT ABC adalah bukti pungutan atas PPN terutang yang timbul ketika menjual 10 unit komputer. Selanjutnya penjual wajib menyetorkan setiap pajak yang dipungut dalam setiap Masa Pajak ke Kas Negara. Kewajiban pembeli adalah membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Dan faktur pajak itu bagi pembeli adalah bukti beban pajak.

Bagaimana Timbulnya Pajak Terutang dari Sisi Penjual dan Pembeli

•    Pajak Terutang dalam Sudut Pandang PKP Penjual

Secara material yang pertama kali menentukan suatu peristiwa hukum (dalam konteks Pasal 4 huruf a dan huruf c) itu terutang PPN adalah penjual. Syarat suatu peristiwa hukum itu terutang PPN secara kumulatif yaitu:

1) yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak;
2) di dalam daerah Pabean; dan
3) yang menyerahkan adalah pengusaha (dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya).

Secara material pembeli tidak ikut dan tidak dapat menentukan suatu penyerahan itu terutang PPN atau tidak, sebab pembeli tidak mengetahui kondisi hukum syarat nomor 3). Jadi sebenarnya tidak ada beban kewajiban material, dalam menentukan suatu peristiwa hukum itu terutang pajak, yang bisa dilekatkan pada pembeli untuk kasus dimaksud. Pembeli lebih bersifat pasif. Penjuallah yang menentukan.

Jika menurut penjual (belum tentu menurut UU) atas penyerahan barang atau jasa itu tidak terutang pajak maka yang demikian ini sah adanya sampai dapat dibuktikan bahwa itu tidak benar. Pembuktian bahwa itu tidak benar berdasarkan UU KUP ada di pihak fiskus (DJP) bukan di pihak pembeli. Hal ini juga sejalan dengan ketentuan yang menetapkan penjual sebagai subjek pajak yaitu yang bertanggung jawab terhadap pembayaran ke Kas Negara atas utang pajak yang timbul.

Jadi meskipun PPN adalah pajak atas konsumsi (hal yang menjadi dasar pemikiran tanggung renteng dalam penjelasan UU PPN 1984) tidak serta merta melekat kewajiban material penentuan terutangnya pajak pada konsumen. Kecuali barangkali kalau kita menganut karakteristik PPN sebagai Pajak Langsung. Jika tidak ada kewajiban materil yang melekat dalam penentuan pajak terutang di pihak pembeli maka tidak mungkin diikuti dengan kewajiban formil berkaitan dengan pelunasan pajak terutang oleh pihak pembeli.

Karena kewajiban material dalam menentukan pajak terutang berada di pihak penjual maka sekiranya timbul pajak yang terutang akan selalu diikuti dengan kewajiban formil demi terealisasi menjadi penerimaan Negara. Kewajiban bagi penjual BKP/JKP diatur dalam Pasal 3A UU PPN 1984 yang meliputi:

- Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
- Memungut pajak terutang melalui penerbitan Faktur Pajak;
- Menyetor pajak yang dipungut dengan menggunakan Surat Setoran Pajak; dan
- Melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Masa PPN.

Sebagai konsekuensi apabila penjual tidak memungut PPN atas penjualan BKP/JKP yang menurut ketentuan terutang PPN, maka yang akan dituntut adalah penjual. Penuntutan dapat dilakukan melalui penerbitan surat ketetapan pajak setelah dilakukan pemeriksaan disertai dengan penerapan sanksi.

Lain halnya dengan Pasal 4 huruf b (impor BKP), huruf d (pemanfaatan BKP tidak berwujud) dan huruf e (pemanfaatan JKP) UU PPN 1984, di mana konsumen ditetapkan sebagai pihak yang memikul beban pajak sekaligus juga penanggung jawab atas pembayaran ke Kas Negara, karena penjual BKP/JKP yang berada di luar negeri tidak mungkin untuk dibebani kewajiban pemungutan pajak terutang. Timbulnya pajak terutang dalam Pasal 4 huruf b, d dan e tidak mewajibkan importir atau konsumen yang memanfaatkan BKP/JKP untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Kewajiban formil yang melekat berdasarkan Pasal 3A meliputi:
-    Membayar pajak yang terutang; dan
-    Melaporkannya.

•    Pajak Terutang dalam Sudut Pandang PKP Penjual

Bagaimana konsumen mengetahui bahwa atas pembelian barang itu terutang PPN?

Pertanyaan ini perlu dijawab untuk melihat apakah tanggung jawab renteng tepat diterapkan pada konsumen. Seperti telah diuraikan di atas bahwa konsumen tidak dibebani kewajiban material dalam menentukan suatu peristiwa hukum itu terutang PPN. Bagi konsumen, suatu pembelian barang atau jasa itu terutang PPN hanya apabila atas pembelian itu diterbitkan faktur pajak. Selama tidak diterbitkan faktur pajak maka bagi konsumen, atas pembelian itu dianggap tidak terutang PPN bahkan meskipun dikemudian hari dapat dibuktikan oleh fiskus bahwa secara material ternyata terutang PPN. Kewajiban untuk membayar pajak terutang atas pembelian barang atau jasa itu timbul bersamaan dengan terbitnya faktur pajak.

Pajak terutang yang timbul atau yang tercantum dalam faktur pajak adalah utang yang wajib dibayar oleh konsumen kepada penjual. Dan sifat dari utang ini adalah utang piutang biasa yang menjadi ranah hukum perdata bukan utang pajak dalam ranah hukum publik. Apabila konsumen tidak membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak, tidak dapat kemudian oleh fiskus diterbitkan surat ketetapan pajak untuk memaksanya membayar. Meski faktur pajak sesungguhnya adalah bentuk lain dari suatu penetapan, namun pajak yang terutang di dalamnya adalah utang pajak antara penjual dan Negara.

Utang pajak yang timbul akibat peristiwa hukum yang menurut ketentuan (Pasal 4 huruf a dan c) terutang PPN, baik atasnya diterbitkan faktur pajak maupun tidak, adalah utang pajak antara penjual dengan negara yang merupakan ranah hukum publik. Selanjutnya atas pajak terutang ini proses pelunasan oleh penjual atau penagihannya kepada penjual dilakukan dengan ketentuan formil dalam UU di bidang perpajakan.

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada dasar yang bisa dijadikan acuan bagi pelimpahan tanggung jawab pembayaran pajak terutang kepada konsumen pada ranah hukum publik untuk pajak terutang atas penyerahan BKP atau JKP dari penjual kepada pembeli.

Paradoks Tanggung Jawab secara Renteng (UU Nomor 42 tahun 2009 Pasal 16F)
(UU Nomor 42 tahun 2009 Pasal 16F)

Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.
Pasal ini memiliki beberapa kelemahan yang berpotensi menimbulkan praktik hukum yang tidak adil khususnya bagi konsumen. Secara normatif, kondisi hukum yang menimbulkan tanggung jawab renteng terhadap pembeli adalah apabila:

  1. pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa; dan
  2. pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar.

Kedua syarat tersebut bersifat kumulatif. Syarat pertama mengandung pengertian bahwa telah dilakukan tindakan penagihan kepada penjual atau pemberi jasa ybs.
Pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar dapat disebabkan hal-hal sbb:

  1. Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual;
  2. Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapi tidak atau belum dibayar oleh pembeli.

Akan diuraikan di bawah ini implikasi dari masing-masing kondisi berkaitan dengan tanggung jawab renteng.

1)
Tidak diterbitkan faktur pajak oleh penjual

Faktur pajak yang tidak diterbitkan oleh penjual padahal atas transaksi itu terutang pajak berdasarkan hasil pemeriksaan fiskus dapat menimbulkan implikasi yang berbeda bagi penjual dan bagi pembeli. Apabila faktur pajak tidak diterbitkan oleh penjual, ini berarti atas transaksi itu menurut penjual tidak terutang pajak dan sah berdasarkan undang-undang sampai ditemukan bukti bahwa transaksi ini terutang pajak. Akibat kesalahan penjual ini, fiskus dapat menerbitkan surat ketetapan pajak untuk menagih pajak terutang yang semestinya dipungut ditambah sanksi administrasi kepada penjual. Meskipun PPN adalah beban pembeli tetapi akibat kesalahan materil penentuan pajak terutang oleh penjual, atas pajak yang semestinya terutang itu akan menjadi beban penjual. Ini konsekuensi dari karakteristik PPN sebagai pajak tidak langsung dimana fungsi penetapan dilekatkan pada penjual.

Bagi pembeli, karena tidak diterbitkan faktur pajak maka atas transaksi ini tidak terutang pajak meskipun dikemudian hari ditemukan bukti bahwa transaksi itu terutang pajak. Pembeli tidak mungkin dibebani pembayaran pajak apabila tidak diterbitkan faktur pajak. Karena pembeli tidak dibebani kewajiban materil dalam menentukan suatu pembelian adalah terutang pajak, dengan alasan:

a) Pembeli tidak mengetahui dan tidak ada kewajiban dalam undang-undang untuk mengetahui kondisi hukum penjual apakah pengusaha kena pajak atau bukan;
b) Tidak ada kewenangan bagi pembeli untuk menerbitkan faktur pajak atau mekanisme penetapan lainnya yang diatur undang-undang sebagai sarana untuk melakukan pembayaran pajak terutang sekiranya penjual tidak menerbitkan faktur pajak atas penyerahan yang mestinya terutang.

Dengan demikian selama penjual tidak menjalankan fungsi penetapan pajak (dalam bentuk menerbitkan faktur pajak) maka ini berarti tidak pernah ada utang pajak yang timbul bagi pembeli dari sudut pandang pembeli.

2)
Diterbitkan faktur pajak oleh penjual tetapi tidak atau belum dibayar oleh pembeli

Tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak telah dibayar bisa juga berarti bahwa faktur pajak telah diterbitkan tetapi pembeli belum atau tidak membayar pajak terutang yang tercantum dalam faktur pajak. Pembeli memang wajib membayar pajak yang terutang yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual. Tetapi kewajiban membayar pajak ini sederajat dengan kewajiban membayar harga barangnya pada penjual.

Faktur pajak didefinisikan dalam Pasal 1 angka 23 UU PPN perubahan ketiga sebagai bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak. Dari definisi itu maka jelas bahwa apabila telah diterbitkan faktur pajak maka utang pajak berada di pihak yang memungut yaitu penjual. Maka ke penjuallah selayaknya tanggungjawab pembayaran itu dialamatkan. Ketika faktur pajak diterbitkan, muncul utang piutang antara penjual dan Negara.

Bagi pembeli, faktur pajak bukan bukti pembayaran tetapi bukti beban pajak. Sebagaimana tersirat dalam definisi mengenai Pajak Masukan dalam Pasal 1 angka 24 yaitu:

Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak.

Frasa PPN yang seharusnya sudah dibayar pada definisi Pajak Masukan menunjukkan beban. Maka faktur pajak itu bukan bukti pembayaran pajak tetapi bukti beban pajak yang harus dipikul pembeli atas pembelian barang atau jasa yang terutang pajak. Pelunasan beban pajak ini dilakukan dengan pembayaran kepada penjual.

Tentu timbul pertanyaan bukti seperti apa yang dapat diterima sebagai bukti bahwa pajak telah dibayar kepada penjual? Adakah ketentuan dalam undang-undang pajak yang mengatur jatuh tempo pembayaran pajak oleh pembeli kepada penjual? Dapatkah pembeli membayar langsung ke Kas Negara setelah menerima faktur pajak dari penjual dan kepadanya diberikan SSP sebagai bukti pembayaran? Adakah ketentuan yang mengatur pengalihan utang piutang biasa antara pembeli dan penjual ke dalam utang pembeli kepada negara dalam undang-undang pajak, kaitannya dengan pajak terutang ini? Jika pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh seperangkat peraturan perundang-undangan pajak kita maka terdapat banyak missing link untuk sampai pada tanggung jawab renteng.

Di samping itu, jika pembeli tidak dapat menunjukkan bukti bahwa pajak yang tercantum dalam faktur pajak telah dibayar dan untuk itu diterbitkan surat ketetapan pajak beserta sanksinya maka akan terjadi pemajakan ganda untuk satu objek pajak. Pembeli, disamping harus melunasi utang pajak yang tercantum dalam surat ketetapan pajak yang merupakan ranah hukum publik, juga harus melunasi pajak yang tercantum dalam faktur pajak kepada penjual yang merupakan ranah hukum perdata untuk satu peristiwa hukum.

Bisakah Tanggung Jawab Renteng Diterapkan dalam PPN dengan Karakteristik Pajak Tidak Langsung?

Bisa saja, tetapi tidak dengan syarat sebagaimana diberlakukan dalam Pasal 16F. Syarat yang ditetapkan harus betul-betul tepat bahwa konsumen berada dalam kapasitas yang memang layak untuk dibebani tanggung jawab renteng.

Misalkan terdapat bukti persekongkolan antara penjual dan pembeli dimana penjual selanjutnya tidak diketahui rimbanya dan pajak masukan yang menjadi beban pembeli dan tidak pernah dibayar dikreditkan oleh pembeli. Tetapi ini tentunya masuk ke area pidana. Dan harus bisa dibuktikan adanya persekongkolan antara penjual dan pembeli. Untuk menghindari ini DJP perlu melakukan pembinaan yang intensif terhadap PKP di wilayah kerjanya masing-masing.

Penyetoran dan Pelaporan

Penyetoran paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir dan sebelum SPT Masa PPN disampaikan.

Pelaporan paling lama akhir bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
Pengertian Dan Istilah

•   Pupuk Bersubsidi
Pupuk yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari Pemerintah untuk kebutuhan petani yang dilaksanakan atas dasar program Pemerintah sehingga pupuk dapat dijual dengan harga lebih murah kepada petani.
Produsen pupuk bersubsidi merupakan perusahaan yang resmi ditunjuk oleh pemerintah.
•  Nilai Lain
Nilai berupa uang yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak.
•  Kuasa Pengguna Anggaran
Pejabat yang memperoleh kewenangan dan tanggung jawab dari pengguna anggaran untuk menggunakan anggaran yang dikuasakan kepadanya.
•   Harga Eceran Tertinggi
Harga Pupuk Bersubsidi yang mengacu pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian, untuk dibeli oleh petani atau kelompok tani secara tunai dalam kemasan tertentu di penyalur lini IV.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 71/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu.

Pengertian Dan Jenis Aset Kripto

Pengertian

•  Mata Uang Kripto
Aset digital yang dirancang untuk bekerja sebagai media pertukaran yang menggunakan kriptografi yang kuat untuk mengamankan transaksi keuangan, mengontrol proses pembuatan unit tambahan, dan memverifikasi transfer aset.
•  Aset Kripto
komoditi tidak berwujud yang berbentuk aset digital, menggunakan kriptografi, jaringan peer-to-peer, dan buku besar yang terdistribusi, untuk mengatur penciptaan unit baru, memverifikasi transaksi, dan
mengamankan transaksi tanpa campur tangan pihak  lain.
•  Perdagangan Aset Kripto
Tempat proses jual beli Aset Kripto dengan mata uang fiat, tukar-menukar Aset Kripto dengan Aset Kripto lainnya (swap), dan tukar-menukar Aset Kripto dengan barang selain Aset Kripto dan/atau jasa.
•  Exchanger Aset Kripto
Tempat untuk memfasilitasi jual beli aset kripto, tukar-menukar antar Aset Kripto (swap) atau dompet elektronik (e-wallet).
•  Mining Aset Kripto
Tempat yang menyediakan jasa verifikasi transaksi Aset Kripto, dan jasa manajemen kelompok Penambang Aset Kripto (mining pool).  

Jenis Aset Kripto

  • Bitcoin (BTC),
  • Ethereum (ETH),
  • Theter (USTD),
  • Binance Coin (BNB),
  • USD Coin (USDC), dan lainnya. 

Bitcoin dan crypto currency lainnya bukan merupakan alat pembayaran yang sah di NKRI.

Aset Kripto ditetapkan sebagai Komoditi yang dapat dijadikan Subjek Kontrak Berjangka yang diperdagangkan di Bursa Berjangka.

Dasar Hukum

  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 60/PMK.03/2022 Tentang Tata Cara Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 Tentang Batasan Kriteria Tertentu Pemungut serta Penunjukan Pemungut, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean di Dalam Daerah Pabean Melalui Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

Pemungut PPN
(PMK 60/PMK.03/2022 jo.PER-12/PJ/2020)

Pemungut PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE adalah :

a)  Pelaku Usaha PMSE yang ditunjuk oleh Menteri.
b)  Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE dalam hal PPN yang terutang atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean yang berasal dari transaksi antara Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri dengan Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa.
c)  Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, PPMSE Luar Negeri, atau PPMSE Dalam Negeri yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE dalam hal Pedagang Luar Negeri atau Penyedia Jasa Luar Negeri melakukan transaksi dengan Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa melalui PPMSE Luar Negeri atau PPMSE Dalam Negeri.
d)  Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa dalam hal pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean selain yang dipungut PPN yang tertera pada huruf b dan c.

Pelaku Usaha PMSE yang ditunjuk oleh Menteri adalah yang telah memenuhi batasan kriteria tertentu, yaitu:

  1. nilai transaksi dengan Pembeli di Indonesia melebihi Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun atau Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dalam 1 (satu) bulan; dan/atau
  2. jumlah traffic atau pengakses di Indonesia melebihi 12.000 (dua belas ribu) dalam 1 (satu) tahun atau 1.000(seribu) dalam 1 (satu) bulan.

Pelaku Usaha PMSE yang belum ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE, tetapi memilih untuk ditunjuk sebagai Pemungut PPN PMSE, dapat menyampaikan pemberitahuan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Pelaporan PPN
(PMK 60/PMK.03/2022)
  1. Pelaporan PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dan/atau JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean melalui PMSE dilaporkan oleh Pemungut PPN PMSE secara triwulanan untuk periode 3 (tiga) Masa Pajak, paling lama akhir bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir.
  2. Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
    a. jumlah Pembeli Barang dan/atau Penerima Jasa;
    b. jumlah pembayaran;
    c. jumlah PPN yang dipungut; dan
    d. jumlah PPN yang telah disetor,
    untuk setiap Masa Pajak.
  3. Laporan berbentuk elektronik dan disampaikan melalui aplikasi atau sistem yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dasar Hukum
  1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
  2. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 6/PMK.03/2021 Tentang Penghitungan dan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai serta Pajak Penghasilan atas Penyerahan/Penghasilan sehubungan dengan Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer
  3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 71/PMK.03/2022 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Atas Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu
Pengertian Dan Istilah
(PMK 60/PMK.03/2022)
  1. Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik adalah pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan.
  2. Penyelenggara PMSE Luar Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar Daerah Pabean.
  3. Penyelenggara PMSE Dalam Negeri adalah Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di dalam Daerah Pabean.
  4. Pelaku Usaha PMSE adalah orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan usaha di bidang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik yang terdiri dari Pedagang Luar Negeri, Penyedia Jasa Luar Negeri, Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Luar Negeri, dan/atau Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik Dalam Negeri.
  5. Barang Digital adalah setiap barang tidak berwujud yang berbentuk informasi elektronik atau digital meliputi baik barang yang merupakan hasil konversi atau pengalihwujudan maupun barang yang secara originalnya berbentuk elektronik, paling sedikit berupa piranti lunak, multimedia, dan/atau data elektronik.
  6. Jasa Digital adalah jasa yang dikirim melalui internet atau jaringan elektronik, bersifat otomatis atau hanya melibatkan sedikit campur tangan manusia, dan tidak mungkin untuk memastikannya tanpa adanya teknologi informasi, paling sedikit berupa layanan jasa berbasis piranti lunak.

PPN Atas Penjualan Pulsa, Kartu Perdana, Token dan Voucer

PPN atas Pulsa dan Kartu Perdana

Rantai distribusi penjualan pulsa dan kartu perdana, mulai dari:

Operator telekomunikasi => distributor utama atau tingkat 1 => server atau tingkat 2 => distributor besar atau tingkat 3 => distributor seterusnya => sampai dengan pedagang eceran.

Berdasarkan PMK 6/2021, pemungutan PPN hanya sampai distributor tingkat 2 atau server. Sehingga distributor kecil dan pengecer tidak dipungut PPN dari pulsa dan kartu perdana.

Distributor pulsa juga dapat menggunakan struk tanda terima pembayaran sebagai Faktur Pajak, sehingga tidak perlu membuat e-Faktur lagi.

Tarif PPN:

  • 11% mulai berlaku 1 April 2022; atau
  • 12% mulai berlaku 1 Januari 2025

Contoh Perhitungan PPN Terutang atas Penyerahan Pulsa dan Kartu Perdana.

Pada tanggal 2 Januari 2023 PT A menerima deposit terkait dengan penjualan Pulsa dan/atau Kartu Perdana sebesar Rp10.000.000,00 dari PT B. Pada tanggal 3 Januari 2023 PT A menjual Kartu

Perdana dan Pulsa di gerai resmi PT A kepada Tuan X seharga Rp15.000,00.

Pemungutan PPN atas penyerahan Pulsa dan/atau Kartu Perdana oleh PT A sebagai berikut:

  1. PT A sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib memungut PPN atas penyerahan Pulsa dan/atau Kartu Perdana kepada PT B pada tanggal 2 Januari 2023, sebesar 11% x Rp10.000.000,00 = Rp1.100.000,00.
  2. Pada tanggal 3 Januari 2023 PT A wajib memungut PPN atas penyerahan Kartu Perdana dan Pulsa kepada Tuan X sebesar 11% x Rp15.000,00 = Rp1.650,00.

PPN atas Token Listrik

Token adalah listrik yang termasuk barang kena pajak yang bersifat strategis sesuai dengan ketentuan pada bidang perpajakan.

Listrik dikenakan PPN jika pemakaian dayanya di atas 6600 watt. Kurang dari itu tidak kena PPN.

Berdasarkan PMK6/2021. PPN token listrik dikenakan hanya atas jasa penjualan/pembayaran token listrik berupa komisi atau selisih harga yang diterima penjual, bukan nilai atas token listriknya.

Tarif PPN:

  • 11% mulai berlaku 1 April 2022; atau
  • 12% mulai berlaku 1 Januari 2025

Contoh Kasus

Saat seseorang membayar tagihan listrik melalui bank atau marketplace, dia akan dipungut biaya administrasi (Fee). Biayanya mulai dari Rp2.000 hingga Rp2.500 atau lebih dan tidak ada PPN listrik yang dipungut di sana.

Adapun fee yang diterima oleh bank ataupun marketplace itulah yang merupakan objek PPN. PPN dikenakan atas biaya administrasi tersebut. Bank ataupun marketplace selanjutnya harus membayar PPN atas jasa tersebut kepada negara.

Hal yang sama saat kita membeli token listrik dari distributor token. Tidak ada PPN yang dipungut di sana. Distributor token cuma memungut fee atau biaya administrasi dari masyarakat, yang membeli token.

Untuk biaya administrasi atau fee atau nilai lebih yang dipungut dari konsumen oleh distributor token merupakan objek PPN dan harus dipungut PPN. Distributor token selanjutnya harus membayar

PPN kepada negara sebanyak 11%. Sedangkan masyarakat tidak membayar PPN sama sekali atas token yang dibelinya.

PPN atas Voucher

PPN dikenakan atas imbalan atau komisi atau fee yang diterima oleh distributor voucher dari penyelenggara voucher.

Dalam PMK 6/2021, PPN hanya dikenakan atas jasa penjualan atau pemasaran voucher berupa komisi atau selisih harga yang diperoleh agen penjual, bukan atas nilai voucher.

Tarif PPN:

  • 11% mulai berlaku 1 April 2022; atau
  • 12% mulai berlaku 1 Januari 2025

Contoh Kasus

Pak Bayu membeli voucher permainan (game) di sebuah toko. Toko itu tidak memungut PPN kepada Pak Bayu atas pembelian voucher permainan itu.

Sebaliknya yang terjadi, toko tersebut mendapatkan imbalan dari penerbit voucher.

Imbalan itulah yang akan dipungut PPN sehingga Pak Bayu sebagai pembeli voucher di toko tersebut tidak dipungut PPN.

Pak Bayu baru dikenakan PPN ketika hendak menggunakan vouchernya. Misalnya, menukarkan voucher itu di Google, yang menjual permainan itu melalui aplikasi Google Playstore.

Dengan aturan terbaru ini, memangkas pajak berganda. Dengan begitu, Pak Bayu tidak bayar PPN dua kali.

Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
(PER-03/PJ/2022 s.t.d.t.d PER-11/PJ/2022 jo. SE-26/PJ/2015, SE-08/PJ/2020)

A. Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak
Format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak terdiri dari 16 (enam belas) digit, yaitu:
  1. 2 (dua) digit pertama adalah Kode Transaksi;
  2. 1 (satu) digit berikutnya adalah Kode Status; dan
  3. 13 (tiga belas) digit berikutnya adalah Nomor Seri Faktur Pajak.
Sehingga format Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak secara keseluruhan menjadi sebagai berikut:

 

Penulisan Kode dan Nomor Seri pada Faktur Pajak, harus lengkap sesuai dengan banyaknya digit.
Direktorat Jenderal Pajak memberikan NSFP kepada PKP sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan.
Misalnya, untuk tahun 2022 akan dimulai dari NSFP 000-22.00000001, dan seterusnya.
Contoh penulisan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak sebagai berikut:
010.0-22.00000001, berarti penyerahan yang terutang PPN dan PPN-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, status Faktur Pajak normal (bukan Faktur Pajak pengganti), dengan NSFP 000-22.00000001 sesuai dengan NSFP yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak, tahun pembuatan Faktur Pajak 2022.
011.0-22.00000001, berarti penyerahan yang terutang PPN dan PPN-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP, status Faktur Pajak pengganti, dengan NSFP 000-22.00000001 sesuai dengan NSFP Faktur Pajak yang diganti, tahun pembuatan Faktur Pajak yang diganti 2022.
 
B. Tata Cara Penggunaan Kode dan Nomor Seri Faktur Pajak.
a. Tata Cara Penggunaan Kode Transaksi pada Faktur Pajak
1. Kode Transaksi diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
- 01 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Kode transaksi ini digunakan dalam hal bukan merupakan jenis penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 02 sampai dengan kode transaksi 09.
- 02 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada pemungut PPN instansi pemerintah yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya dipungut oleh pemungut PPN instansi pemerintah.
- 03 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP kepada Pemungut PPN Lainnya (selain instansi pemerintah) yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya dipungut oleh pemungut PPN lainnya (selain instansi pemerintah).
Pemungut PPN Lainnya selain instansi pemerintah, yaitu pemungut PPN yang ditunjuk berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur mengenai penunjukan pemungut PPN yang bersangkutan. Termasuk pemungut PPN lainnya yaitu Perusahaan yang tunduk terhadap kontrak karya pertambangan yang di dalam kontrak tersebut secara lex specialist ditunjuk sebagai pemungut PPN. 
- 04 digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang dasar pengenaan pajaknya menggunakan nilai lain sebagaimana diatur dalam Pasal 8A ayat (1) Undang-Undang PPN yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP .
- 05 Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang PPN-nya dipungut dengan besaran tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 9A ayat (1) Undang-Undang PPN yang PPN-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Kode transaksi ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP oleh PKP yang:
  1. mempunyai peredaran usaha dalam 1 (satu) tahun buku tidak melebihi jumlah tertentu;
  2. melakukan kegiatan usaha tertentu; dan/atau
  3. melakukan penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu.
- 06 Digunakan untuk penyerahan lainnya yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP dan/atau JKP.
Kode transaksi ini digunakan atas penyerahan BKP dan/atau JKP selain jenis penyerahan pada kode transaksi 01 sampai dengan kode transaksi 05, dan kode transaksi 07 sampai dengan kode transaksi 09, antara lain sebagai berikut.
  1. Penyerahan yang menggunakan tarif selain tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang PPN.
  2. Penyerahan BKP kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang PPN.
- 07 Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atau ditanggung pemerintah.
Kode transaksi ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atau ditanggung pemerintah berdasarkan peraturan khusus yang berlaku, antara lain sebagai berikut. :
  1. Ketentuan yang mengatur mengenai bea masuk, bea masuk tambahan, PPN dan PPnBM, dan pajak penghasilan dalam rangka pelaksanaan proyek pemerintah yang dibiayai dengan dana pinjaman/hibah luar negeri.
  2. Ketentuan yang mengatur mengenai tempat penimbunan berikat.
  3. Ketentuan yang mengatur mengenai biaya operasi yang dapat dikembalikan dan perlakuan pajak penghasilan di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.
  4. Ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan avtur untuk keperluan angkutan udara luar negeri.
  5. Ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan bahan bakar minyak untuk kapal angkutan laut luar negeri.
  6. Ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang tidak dipungut PPN.
  7. Ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan perpajakan pada kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi dengan kontrak bagi hasil gross split.
  8. Ketentuan yang mengatur mengenai impor dan penyerahan alat angkutan tertentu serta penyerahan dan pemanfaatan JKP terkait alat angkutan tertentu yang tidak dipungut PPN.
  9. Ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan kawasan ekonomi khusus.
  10. Ketentuan yang mengatur mengenai penyelenggaraan kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas,
  11. Ketentuan yang mengatur mengenai tata cara pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak penjualan dan perlakuan PPN dan/atau PPnBM bagi kontraktor perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara generasi I.
  12. Ketentuan yang mengatur mengenai PPN ditanggung pemerintah.
- 08 Digunakan untuk penyerahan BKP dan/atau JKP yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM. .
Kode transaksi ini digunakan atas penyerahan yang mendapat fasilitas dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM berdasarkan peraturan khusus yang berlaku, antara lain sebagai berikut :
  1. Ketentuan yang mengatur mengenai impor dan/atau penyerahan BKP tertentu dan/atau JKP tertentu yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
  2. Ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan jasa kebandarudaraan tertentu kepada perusahaan angkutan udara niaga untuk pengoperasian pesawat udara yang melakukan penerbangan luar negeri.
  3. Ketentuan yang mengatur mengenai penyerahan air bersih yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
  4. Ketentuan yang mengatur mengenai perlakuan PPN atas penyerahan jasa kepelabuhanan tertentu kepada perusahaan angkutan laut yang melakukan kegiatan angkutan laut luar negeri.
  5. Ketentuan yang mengatur mengenai impor dan/atau penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan PPN.
  6. Ketentuan yang mengatur mengenai pemberian pembebasan PPN dan/atau PPnBM kepada perwakilan negara asing dan badan internasional serta pejabatnya
- 09 Digunakan untuk penyerahan BKP berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan sebagaimana diatur dalam Pasal 16D Undang-Undang PPN yang PPN-nya dipungut oleh PKP yang melakukan penyerahan BKP.
2 )  Penyerahan yang mendapat fasilitas PPN atau PPN dan PPnBM tidak dipungut atau ditanggung pemerintah, atau dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN dan PPnBM, tetap menggunakan kode transaksi 07 atau 08, meskipun jenis penyerahannya juga termasuk dalam kategori penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 01 sampai dengan 06 dan kode transaksi 09.
3)   Dalam hal jenis penyerahannya tidak termasuk dalam kategori penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 07 dan 08, penyerahan kepada pemungut PPN yang PPN atau PPN dan PPnBM-nya dipungut oleh pemungut PPN yang bersangkutan tetap menggunakan kode transaksi 02 atau 03, meskipun jenis penyerahannya juga termasuk dalam kategori penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 04, 05, 06, dan 09.
4) Dalam hal jenis penyerahannya tidak termasuk dalam kategori penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 07 dan 08 serta 02 dan 03, penyerahan yang menggunakan tarif selain tarif sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang PPN dan penyerahan kepada orang pribadi pemegang paspor luar negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 16E Undang-Undang PPN tetap menggunakan kode transaksi 06, meskipun jenis penyerahannya juga termasuk dalam kategori penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 04, 05, dan 09.
5) Dalam hal jenis penyerahannya tidak termasuk dalam kategori penyerahan sebagaimana dimaksud pada kode transaksi 02 sampai dengan 09 maka kode transaksi yang digunakan yaitu kode transaksi 01.
6) Dalam hal penyerahannya kepada pemungut PPN, tetapi PPN atau PPN dan PPnBM yang terutang dikecualikan dari pemungutan oleh pemungut PPN yang bersangkutan maka kode transaksi yang digunakan yaitu kode transaksi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 5).
b. Tata Cara Penggunaan Kode Status pada Faktur Pajak
1) Kode Status, diisi dengan ketentuan sebagai berikut:
1) 0 (nol) untuk status normal; atau
2)   1 (satu) untuk status pengganti.
2)   Dalam hal dibuat Faktur Pajak pengganti ke-2, ke-3, dan seterusnya, maka kode status yang digunakan tetap kode status 1 (satu).
c. Tata Cara Penggunaan NSFP
1) NSFP terdiri dari 11 (sebelas) digit nomor urut yang dipisahkan oleh 2 (dua) digit tahun pembuatan pada digit keempat dan digit kelima.
2)   NSFP diberikan dalam bentuk blok nomor dengan jumlah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal ini. Contoh:
PKP meminta dan dapat diberikan 100 NSFP maka NSFP yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak dapat berupa:
- 900.22.00000001 s.d. 900.22.00000100;
- 900.22.99999901 s.d. 901.22.00000000;
- 900.22.99999999 s.d. 901.22.00000098, dan sebagainya.
3) NSFP digunakan untuk pembuatan Faktur Pajak dalam tahun yang sama dengan 2 (dua) digit tahun pembuatan yang tertera dalam NSFP sebagaimana dimaksud pada angka 1) mulai tanggal surat pemberian NSFP.
Berdasarkan contoh sebagaimana dimaksud pada angka 2) maka NSFP hanya dapat digunakan untuk pembuatan Faktur Pajak dalam tahun 2022.
C. Penegasan Penggunaan Nomor Seri Faktur Pajak dan Tata Cara Pembuatan Faktur Pajak
1. Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
2. Nomor Seri Faktur Pajak yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak digunakan untuk membuat Faktur Pajak pada tanggal Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak atau tanggal sesudahnya dalam tahun yang sama dengan Kode Tahun yang tertera pada Nomor Seri Faktur Pajak tersebut.
Contoh:
- PKP A menerima Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak tertanggal 10 November 2022 dengan Nomor Seri Faktur Pajak 004-19.00000001.
- Dengan demikian, PKP A hanya dapat menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut untuk membuat Faktur Pajak tanggal 10 November 2022 atau tanggal setelahnya dalam tahun 2022.
- PKP A dilarang menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut untuk membuat Faktur Pajak sebelum tanggal 10 November 2022.
3.  Sesuai dengan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-24/PJ/2012 dan perubahannya, Faktur Pajak dengan tanggal mendahului (sebelum) tanggal surat pemberian Nomor Seri Faktur Pajak merupakan Faktur Pajak yang mencantumkan keterangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya, sehingga merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
Contoh:
- PKP A menerima Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak tertanggal 10 November 2022 dengan Nomor Seri Faktur Pajak 004-19.00000001.
- PKP A menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut di atas untuk pembuatan Faktur Pajak tertanggal 1 November 2022.
  
  Ketentuan terkait contoh di atas adalah:
a. Pasal 1 angka 8 PER-24/PJ/2012 dan perubahannya :
Nomor Seri Faktur Pajak adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.
b. Pasal 1 angka 9 PER-24/PJ/2012 dan perubahannya :
Faktur Pajak Tidak Lengkap adalah Faktur Pajak yang tidak mencantumkan keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau mencantumkan keterangan tidak sebenarnya atau sesungguhnya dan/atau mengisi keterangan yang tidak sesuai dengan tata cara dan prosedur sebagaimana diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini.
Faktur Pajak yang dibuat oleh PKP A telah mencantumkan keterangan berupa tanqgal pembuatan Faktur Pajak yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya. Tanggal pembuatan Faktur Pajak yang sebenarnya atau sesungguhnya dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak tersebut baru dapat dilakukan oleh PKP A paling cepat tanggal 10 November 2019. Dengan demikian, Faktur Pajak yang telah dibuat oleh PKP A dengan tanggal 1 November 2019 tersebut merupakan Faktur Pajak Tidak Lengkap.
4. PKP yang menerbitkan Faktur Pajak Tidak Lengkap dikenai sanksi administrasi sesuai dengan Pasal 14 ayat (4) Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sedangkan  bagi PKP Pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena Pajak tidak dapat mengkreditkan Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum di dalam Faktur Pajak Tidak Lengkap sesuai dengan ketentuan Pasal 9 ayat (2b) dan ayat (8) huruf f Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai.
5. Terbatas hanya untuk Faktur Pajak Tidak Lengkap sebagaimana dimaksud pada angka 3, PKP diperkenankan melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Terhadap Faktur Pajak Tidak Lengkap tersebut dilakukan pembatalan Faktur Pajak;
b. Dibuat Faktur Pajak baru dengan menggunakan Nomor Seri Faktur Pajak yang sama dengan Faktur Pajak Tidak Lengkap yang telah dibatalkan tersebut;
c. Tanggal Faktur Pajak yang baru dibuat tersebut tidak boleh mendahului (sebelum)  tanggal Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak yang bersangkutan.
  
Contoh:
- PKP A menerima Surat Pemberian Nomor Seri Faktur Pajak tertanggal 10 November 2019 dengan Nomor Seri Faktur Pajak 004-19.00000001.
- PKP A membuat Faktur Pajak dengan Kode dan Nomor Seri 010.004-19.00000001 dengan tanggal Faktur Pajak 1 November 2019.
- Hal-hal yang dapat dilakukan oleh PKP A adalah:
  1. Faktur Pajak tanggal 1 November 2019 dengan Nomor Seri 010.004-19.00000001 dibatalkan.
  2. PKP A membuat Faktur Pajak yang baru dengan Nomor Seri Faktur Pajak yang sama yaitu 010.004-19.00000001 dengan tanggal Faktur Pajak tanggal 10 November 2019 atau tanggal setelahnya dalam tahun 2019.
6. Dalam hal Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5 ternyata diketahui bahwa saat seharusnya Faktur Pajak tersebut dibuat adalah pada tanggal 1 November 2022, maka Faktur Pajak tersebut merupakan Faktur Pajak yang dibuat tidak tepat waktu oleh Pengusaha Kena Pajak.
7 Dalam hal Faktur Pajak yang tidak tepat waktu sebagaimana dimaksud pada angka 6 dibuat setelah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak saat Faktur Pajak seharusnya dibuat, PKP dianggap tidak menerbitkan Faktur Pajak.
8. Pembatalan dan pembuatan Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 5 dan 6 dapat dilakukan sepanjang Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dimana Faktur Pajak tersebut dilaporkan belum dilakukan pemeriksaan, belum dilakukan pemeriksaan bukti permulaan yang bersifat terbuka, dan/atau PKP belum menerima Surat Pemberitahuan Hasil Verifikasi.
9. Faktur Pajak yang mencantumkan keterangan yang sebenarnya atau sesungguhnya namun dibuat tidak tepat waktu oleh PKP sebagaimana dimaksud pada angka 6 dapat dikreditkan sebagai Pajak Masukan sepanjang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
10. Direktorat Jenderal Pajak hanya dapat memberikan Nomor Seri Faktur Pajak dengan 2 (dua) digit tahun penerbitan sesuai dengan tahun diberikannya Nomor Seri Faktur Pajak tersebut.
D.  Tata Cara Penyelesaian Permintaan Nomor Seri Faktur Pajak
NSFP adalah nomor seri yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak kepada PKP dengan mekanisme tertentu untuk penomoran Faktur Pajak yang berupa kumpulan angka, huruf, atau kombinasi angka dan huruf yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Permintaan NSFP diajukan oleh Pengusaha Kena Pajak dengan cara:
  • Daring (online) melalui laman (website) yang ditentukan dan/atau disediakan oleh Direktorat Jenderal Pajak dengan harus terlebih dahulu memiliki Sertifikat Elektronik.; ata
  • langsung kepada Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan atau melalui Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP) dengan cara menyampaikan Surat Permintaan NSFP.
PKP dapat mengajukan permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu secara langsung kepada Kepala KPP tempat PKP dikukuhkan atau melalui Kepala KP2KP dengan cara menyampaikan Surat Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu yang disebabkan:
  1. Baru dikukuhkan sebagai PKP, diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Masa Pajak sejak dikukuhkan sebagai PKP;
  2. PKP yang telah melakukan pemusatan tempat PPN terutang diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) Masa Pajak sejak berlakunya pemusatan tempat PPN terutang.; dan/atau
  3. PKP mengalami peningkatan usaha,
yang karena kegiatan usahanya membutuhkan NSFP dengan Jumlah Tertentu.

NSFP dengan Jumlah Tertentu hanya diberikan kepada PKP yang memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. memiliki Kode Aktivasi dan Password;
  2. telah mengaktivasi Akun PKP; dan
  3. telah melaporkan SPT Masa PPN untuk 3 (tiga) Masa Pajak terakhir yang telah jatuh tempo secara berturut-turut pada tanggal PKP mengajukan permintaan NSFP.

Format Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Petunjuk Pengisian
Surat Pemberitahuan Kode Aktivasi
 
(1) Diisi dengan nama kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(2) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(3) Diisi dengan alamat, nomor telepon dan nomor faksimile kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan, laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, serta nomor telepon dan alamat posel (email) layanan informasi dan pengaduan kring pajak sesuai dengan tata naskah dinas.
(4) Diisi dengan nomor surat pemberitahuan Kode Aktivasi.
(5) Diisi dengan tanggal surat pemberitahuan Kode Aktivasi.
(6) Diisi dengan nama PKP.
(7) Diisi dengan NPWP PKP.
(8) Diisi dengan alamat PKP.
(9) Diisi dengan nomor surat permintaan aktivasi akun PKP.
(10) Diisi dengan tanggal surat permintaan aktivasi akun PKP.
(11) Diisi dengan Kode Aktivasi PKP.
(12) Diisi dengan usemame PKP.
(13) Diisi dengan alamat posel (email) PKP yang tercantum dalam surat permintaan aktivasi akun PKP.
(14) Diisi dengan tanda tangan Kepala Seksi Pelayanan atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.
(15) Diisi dengan nama dan NIP Kepala Seksi Pelayanan atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.

surat permintaan NSFP (selain dengan jumlah tertentu).

 

Petunjuk Pengisian
Surat Permintaan NSFP (Selain dengan Jumlah Tertentu)

(1) Diisi dengan nomor surat permintaan NSFP sesuai dengan administrasi persuratan PKP.
(2) Diisi dengan tanggal surat permintaan NSFP ditandatangani.
(3) Diisi dengan jumlah lampiran yang disertakan dalam surat permintaan NSFP.
(4) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(5) Diisi dengan alamat kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(6) Diisi dengan nama PKP orang pribadi atau wakil/kuasa PKP yang menandatangani surat permintaan NSFP.
(7) Diisi dengan jabatan wakil/kuasa PKP yang menandatangani surat permintaan NSFP. Dalam hal surat permintaan NSFP ditandatangani sendiri oleh PKP orang pribadi, kolom ini tidak perlu diisi.
(8) Diisi dengan nama PKP.
(9) Diisi dengan NPWP PKP.
(10) Diisi dengan alamat PKP.
(11) Diisi dengan jumlah angka permintaan NSFP.
(12) Diisi dengan jumlah terbilang permintaan NSFP sebagaimana dimaksud pada angka (11).
(13) Diisi dengan tahun pembuatan Faktur Pajak.
(14) Diisi dengan Masa Pajak SPT Masa PPN.
(15) Diisi dengan jumlah Faktur Pajak yang dibuat dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (14).
(16) Diisi dengan tanda tangan PKP orang pribadi atau wakil/kuasa PKP sebagaimana dimaksud pada angka (6).

Surat permintaan NSFP dengan jumlah tertentu.



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Petunjuk Pengisian
Surat Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu
 
(1) Diisi dengan nomor surat permintaan NSFP sesuai dengan administrasi persuratan PKP.
(2) Diisi dengan tanggal surat permintaan NSFP ditandatangani.
(3) Diisi dengan jumlah lampiran yang disertakan dalam surat permintaan NSFP.
(4) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(5) Diisi dengan alamat kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(6) Diisi dengan nama PKP orang pribadi atau wakil/kuasa PKP yang menandatangani surat permintaan NSFP.
(7) Diisi dengan jabatan wakil/kuasa PKP yang menandatangani surat permintaan NSFP. Dalam hal surat permintaan NSFP ditandatangani sendiri oleh PKP orang pribadi, kolom ini tidak perlu diisi.
(8) Diisi dengan nama PKP.
(9) Diisi dengan NPWP PKP.
(10) Diisi dengan alamat PKP.
(11) Diisi dengan jumlah angka permintaan NSFP, yang mencerminkan proyeksi kebutuhan NSFP selama 3 (tiga) Masa Pajak.
(12) Diisi dengan jumlah terbilang permintaan NSFP sebagaimana dimaksud pada angka (11).
(13) Diisi dengan tahun pembuatan Faktur Pajak.
(14) Diisi dengan tanda silang (X) pada kotak yang sesuai dengan alasan permintaan NSFP dengan jumlah tertentu.
(15) Diisi dengan Masa Pajak SPT Masa PPN.
(16) Diisi dengan jumlah Faktur Pajak yang dibuat dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada Masa Pajak sebagaimana dimaksud pada angka (15). Dalam hal isian pada angka (14) diisi dengan alasan pemusatan tempat PPN atau PPN dan PPnBM terutang, kolom ini diisi dengan jumlah keseluruhan Faktur Pajak yang dibuat dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN oleh PKP tempat pemusatan PPN atau PPN dan PPnBM terutang serta seluruh PKP yang tempat PPN atau PPN dan PPnBM terutangnya dipusatkan.
(17)  Diisi dengan tanda tangan PKP orang pribadi atau wakil/kuasa PKP sebagaimana dimaksud pada angka (6).

CONTOH FORMAT SURAT PEMBERIAN NSFP DALAM BENTUK ELEKTRONIK

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PETUNJUK PENGISIAN
SURAT PEMBERIAN NSFP DALAM BENTUK ELEKTRONIK

(1) Diisi dengan nama kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(2) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(3) Diisi dengan alamat, nomor telepon dan nomor faksimile kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan, laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, serta nomor telepon dan alamat posel (email) layanan informasi dan pengaduan kring pajak sesuai dengan tata naskah dinas.
(4) Diisi dengan tahun pembuatan Faktur Pajak.
(5) Diisi dengan jumlah NSFP yang diberikan.
(6) Diisi dengan nama PKP.
(7) Diisi dengan NPWP PKP.
(8) Diisi dengan nomor surat pemberian NSFP dalam bentuk elektronik.
(9) Diisi dengan tanggal surat pemberian NSFP dalam bentuk elektronik.
(10) Diisi dengan nomor surat permintaan NSFP.
(11) Diisi dengan nomor awal NSFP yang diberikan.
(12) Diisi dengan nomor akhir NSFP yang diberikan.

Surat pemberian NSFP (selain dengan jumlah tertentu).



 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Petunjuk Pengisian
Surat Permintaan NSFP (Selain dengan Jumlah Tertentu)

(1) Diisi dengan nama kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(2) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(3) Diisi dengan alamat, nomor telepon dan nomor faksimile kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan, laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, serta nomor telepon dan alamat posel (email) layanan informasi dan pengaduan kring pajak sesuai dengan tata naskah dinas.
(4) Diisi dengan nomor surat pemberian NSFP.
(5) Diisi dengan tanggal surat pemberian NSFP.
(6) Diisi dengan nama PKP.
(7) Diisi dengan NPWP PKP.
(8) Diisi dengan alamat PKP.
(9) Diisi dengan nomor surat permintaan NSFP.
(10) Diisi dengan tanggal surat permintaan NSFP.
(11) Diisi dengan jumlah NSFP yang diberikan.
(12) Diisi dengan nomor awal NSFP yang diberikan.
(13) Diisi dengan nomor akhir NSFP yang diberikan
(14)   Diisi dengan tahun pembuatan Faktur Pajak
(15)  Diisi dengan tanda tangan Kepala Seksi Pelayanan atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.
(16)  Diisi dengan nama dan NIP Kepala Seksi Pelayanan atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.

 


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Petunjuk Pengisian
Surat Permintaan NSFP dengan Jumlah Tertentu
 
(1) Diisi dengan nama kantor wilayah Direktorat Jenderal Pajak yang membawahkan kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(2) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(3) Diisi dengan alamat, nomor telepon dan nomor faksimile kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan, laman resmi Direktorat Jenderal Pajak, serta nomor telepon dan alamat posel (email) layanan informasi dan pengaduan kring pajak sesuai dengan tata naskah dinas.
(4) Diisi dengan nomor surat pemberian NSFP dengan jumlah tertentu.
(5) Diisi dengan tanggal surat pemberian NSFP dengan jumlah tertentu.
(6) Diisi dengan nama PKP.
(7) Diisi dengan NPWP PKP.
(8) Diisi dengan alamat PKP.
(9) Diisi dengan nomor surat permintaan NSFP dengan jumlah tertentu.
(10) Diisi dengan tanggal surat permintaan NSFP dengan jumlah tertentu.
(11) Diisi dengan jumlah NSFP yang diberikan.
(12) Diisi dengan nomor awal NSFP yang diberikan.
(13) Diisi dengan nomor akhir NSFP yang diberikan.
(14)   Diisi dengan tahun pembuatan Faktur Pajak.
(15)  Diisi dengan tanda tangan Kepala Seksi Pelayanan atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.
(16)  Diisi dengan nama dan NIP Kepala Seksi Pelayanan atau kepala kantor pelayanan, penyuluhan, dan konsultasi perpajakan.


SURAT PERMOHONAN CETAK ULANG KODE AKTIVASI DAN KIRIM ULANG PASSWORD


 

Petunjuk Pengisian
Permohonan Cetak Ulang Kode Aktivasi/Kirim Ulang Password
 
(1) Diisi dengan nomor surat permohonan cetak ulang Kode Aktivasi/kirim ulang Password sesuai dengan administrasi persuratan PKP.
(2) Diisi dengan tanggal surat permohonan cetak ulang Kode Aktivasi/kirim ulang Password ditandatangani.
(3) Diisi dengan jumlah lampiran yang disertakan dalam surat permohonan cetak ulang Kode Aktivasi/kirim ulang Password.
(4) Diisi dengan nama kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(5) Diisi dengan alamat kantor pelayanan pajak tempat PKP dikukuhkan.
(6) Diisi dengan nama PKP orang pribadi atau wakil/kuasa PKP yang menandatangani surat permohonan cetak ulang Kode Aktivasi/kirim ulang Password.
(7) Diisi dengan jabatan wakil/kuasa PKP yang menandatangani surat permohonan cetak ulang Kode Aktivasi/kirim ulang Password. Dalam hal surat permohonan cetak ulang Kode Aktivasi/kirim ulang Password ditandatangani sendiri oleh PKP orang pribadi, kolom ini tidak perlu diisi.
(8) Diisi dengan nama PKP.
(9) Diisi dengan NPWP PKP.
(10) Diisi dengan alamat PKP.
(11) Diisi dengan alamat posel (email) utama yang dimiliki PKP.
(12) Diisi dengan alamat posel (email) alternatif selain alamat posel (email) sebagaimana dimaksud pada angka (11).
(13) Diisi dengan tanda tangan PKP orang pribadi atau wakil/kuasa PKP sebagaimana dimaksud pada angka (6).
 

Approval & Validasi e-Faktur

Approval

Faktur yang telah memperoleh persetujuan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) merupakan Faktur Pajak yang sah proses penerbitannya. Dalam hal keterangan yang tercantum pada e-Faktur merupakan keterangan yang tidak sebenarnya atau tidak sesungguhnya maka e-Faktur tersebut tidak memenuhi kriteria lagi sebagai Faktur Pajak yang sah.

Berdasarkan PER-03/PJ/2022 telah diatur bahwa e-Faktur yang tidak memperoleh persetujuan dari DJP bukan merupakan Faktur Pajak.

Pada prinsipnya yang perlu dimintakan approval Direktorat Jenderal Pajak (DJP) adalah atas:

  • Faktur Pajak Keluaran; dan
  • Faktur Pajak Masukan
  • Faktur Pajak Pengganti,
  • Pembatalan Faktur Pajak Keluaran,
  • Perekaman Retur Pajak Keluaran
  • Pembatalan Faktur Pajak,
  • Pembuatan Retur Pajak Masukan

Pengecekan Approval

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan melakukan pengecekan, meliputi:

  1. NPWP (apakah NPWP penerbit Faktur atau NPWP lawan transaksi penerbit Faktur valid)
  2. Status PKP (Apakah Penerbit Faktur merupakan PKP pada saat tanggal Faktur Pajak diterbitkan dan Apakah PKP yang menerbitkan Faktur merupakan PKP yang wajib menerbitkan e-Faktur)
  3. Nomor Seri Faktur Pajak (NSFP, Apakah Nomor Seri yang tertera di Faktur Pajak benar merupakan jatah nomor seri penerbit Faktur Pajak dan Apakah tanggal Faktur Pajak tidak kurang dari/sebelum tanggal Pemberitahuan NSFP dari DJP)

Proses Approval

Pada bagian administrasi Faktur (baik masukan maupun keluaran) terdapat kolom status approval. Kolom ini menjelaskan status approval:

  1. Belum Approve (untuk Faktur Pajak yang belum di-upload/dilaporkan ke Direktorat Jenderal Pajak, DJP)
  2. Siap Approve (untuk Faktur Pajak yang sudah diupload (tidak dapat diubah), menunggu dilakukannya start uploader pada menu management upload-upload faktur)
  3. Approval Sukses (menunjukkan Faktur Pajak yang telah dilaporkan dan memperoleh persetujuan DJP)
  4. Reject (menunjukkan Faktur Pajak yang ditolak sistem disebabkan hal tertentu misal Nomor seri Faktur Pajak bukan jatah Pengusaha Kena Pajak, PKP)
  5. Bukan Faktur e-Tax (merupakan status Approval khusus untuk Pajak Masukan yang diperoleh dari PKP yang belum menggunakan e-Faktur)

Validasi Faktur Pajak Keluaran Aplikasi e-Faktur

 

Validasi Faktur Pajak Masukan Aplikasi e-Faktur

 

Sertifikat Elektronik

Definisi Sertifikat Elektronik

Sertifikat Elektronik adalah sertifikat yang bersifat elektronik yang memuat Tanda Tangan Elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam Transaksi Elektronik yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sertifikasi Elektronik.

Fungsi Sertifikat Elektronik

Sebagai prasyarat untuk mendapatkan layanan perpajakan secara elektronik (melalui akun PKP) dalam melaksanakan ketentuan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai seperti penggunaan aplikasi e-Faktur, permintaan nomor seri Faktur Pajak secara online dan layanan lainnya.

Bahwa 1 (satu) Sertifikat Elektronik diberikan untuk 1 (satu) PKP dan 1 (satu) Sertifikat Elektronik digunakan untuk 1 (satu) aplikasi e-Faktur sehingga 1 (satu) aplikasi e-Faktur tidak dapat digunakan untuk beberapa PKP, kecuali apabila PKP tersebut mempunyai cabang.

Cara Mendapatkan Sertifikat Elektronik

Pengusaha Kena Pajak (PKP) dapat memperoleh Sertifikat Elektronik dengan cara mengajukan permintaan Sertifikat Elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan dengan menyampaikan Surat Permintaan Sertifikat Elektronik. Selanjutnya petugas di KPP akan memandu PKP untuk melakukan prosedur berikutnya.

Apabila PKP pindah Kantor Pelayanan Pajak (KPP) berarti NPWP PKP tersebut akan berubah (bagian kode KPP) sehingga PKP harus meminta kembali sertifikat elektronik ke KPP yang baru. Sertifikat elektronik dari KPP lama otomatis tidak dapat digunakan.

Persyaratan dan Ketentuan Sertifikat Elektronik

Untuk memperoleh Sertifikat Elektronik, Pengusaha Kena Pajak (PKP) harus melakukan langkah-langkah berikut:

  • Surat permintaan sertifikat elektronik ditandatangani dan disampaikan oleh pengurus PKP yang bersangkutan secara langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan dan tidak diperkenankan untuk dikuasakan ke pihak lain.
  • Pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah:
    1. Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam UU KUP;
    2. Namanya tercantum dalam SPT tahunan PPh Badan tahun pajak sebelum tahun diajukannya surat permintaan sertifikat elektronik.
  • SPT Tahunan PPh Badan sebagaimana dimaksud pada huruf b yang telah jatuh tempo pada saat pengajuan surat permintaan sertifikat elektronik harus sudah disampaikan ke KPP dengan dibuktikan asli SPT Tahunan PPh Badan beserta bukti penerimaan surat/tanda terima pelaporan SPT.
  • Dalam hal pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf b namanya tidak tercantum dalam SPT Tahunan PPh Badan, maka pengurus tersebut harus menunjukkan asli surat pengangkatan pengurus yang bersangkutan dan menunjukkan asli akta pendirian perusahaan atau asli penunjukan sebagai BUT/permanent establishment dari perusahaan induk di luar negeri dan menyerahkan fotocopy dokumen tersebut.
  • Pengurus sebagaimana dimaksud pada huruf a harus menunjukkan asli kartu identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan asli Kartu Keluarga (KK), serta menyerahkan fotocopy dokumen tersebut.
  • Dalam hal pengurus merupakan Warga Negara Asing harus menunjukkan asli paspor, asli Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS), atau asli Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), dan menyerahkan fotocopy dokumen tersebut.
  • Menyampaikan softcopy pas foto terbaru yang disimpan dalam compact disc (CD) sebagai kelengkapan surat permintaan Sertifikat Elektronik.
  • Seluruh berkas persyaratan di atas disampaikan ke Petugas Khusus yang bertugas di Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) di KPP tempat PKP dikukuhkan.

Sertifikat Elektronik Expired

Sertifikat Elektronik memiliki masa berlaku yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, yaitu 2 (dua) tahun dihitung sejak tanggal Sertifikat Elektronik diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Maka masa berlaku dapat diketahui dengan menghitung sejak tanggal sertifikat elaktronik diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak.

Secara teknis, masa berlaku sertifikat elaktronik dapat dilihat di Alat Peramban (browser) seperti Google Chrome dan Mozilla Firefox. Sebelum melakukan pegecekan masa berlaku atau tanggal expired sertifikat elektronik, pastikan kembali bahwa sebelumnya telah dilakukan instalasi Sertifikat Elektronik ke browser. Untuk pengecekan tanggal expired Sertifikat Elektronik pada browser, dapat dilakukan langkah sebagai berikut :

A.    Melalui browser Google Chrome

Klik Settings → Show Advanced Settings → HTTPS/SSL → Klik Manage Certificate → Sertifikat digital akan tertampil kemudian klik view

B.    Melalui browser Mozilla Firefox

Klik garis horizontal 3 di bagian kanan atas browser → Klik Option → Pilih advance → View Certificate

FORMAT FORMULIR PERMINTAAN SERTIFIKAT ELEKTRONIK
 




FORMAT BUKTI PENERBITAN SERTIFIKAT ELEKTRONIK